BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia merupakan bagian terpenting dari sebuah organisasi. Dengan adanya MSDM maka hal – hal yang menyangkut dengan karyawan akan ditangani dibagian ini. Untuk lebih memahami apa itu manajemen sumber daya manusia beserta fungsinya, berikut adalah pendapat para ahli seputar MSDM. 2.1.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan salah satu sumber daya yang terdapat dalam organisasi. Mathis dan Jackson (2006:3) mengartikan manajemen sumber daya manusia sebagai rancangan sistem – sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan – tujuan organisasi. Manajemen sumber daya manusia melibatkan semua keputusan dan praktik manajemen yang mempengaruhi secara langsung sumber daya manusianya (Henry Simamora, 2006:5) Sedangkan, Umar (2005:3) menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia sebagai suatu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan atas pengadaan, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pemutusan hubungan kerja dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasian perusahaan secara terpadu. Menurut Dessler (2005 : 2), manajemen SDM merupakan proses memperoleh, melatih, menilai, dan memberikan kompensasi kepada karyawan, memperhatikan kerja mereka, kesehatan, dan keamanan serta masalah keadilan. Adapun, Hasibuan (2007 : 10) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar 9 10 efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu bagian penting dalam perusahaan. Bagaimana suatu perusahaan perlu melatih dan membimbing tenaga kerja sehingga memiliki ketrampilan yang baik sehingga dapat mencapai tujuan organisasi perusahaan secara efisien dan efektif. 2.1.1.2 Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia Tujuan utama manajemen sumber daya manusia adalah untuk meningkatkan kontribusi pegawai terhadap organisasi dalam rangka mencapai produktivitas organisasi yang bersangkutan. Hal ini dapat dipahami karena semua kegiatan organisasi tergantung kepada manusia yang mengelola organisasi yang bersangkutan. Oleh sebab itu, sumberdaya manusia tersebut harus dikelola agar dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam mencapai tujuan organisasi. Tujuan tersebut menurut Sedarmayanti (2010 : 7) dapat dijabarkan ke dalam 4 tujuan yang lebih operasional yaitu sebagai berikut : 1. Tujuan Masyarakat (Social Objective) Tujuan masyarakat adalah untuk bertanggung jawab secara sosial, dalam hal kebutuhan dan tantangan yang timbul dan masyarakat. 2. Tujuan Organisasi (Organization Objective) Tujuan organisasi adalah untuk melihat bahwa manajemen sumber daya manusia itu ada (exist), maka perlu adanya kontribusi terhadap pendayagunaan organisasi secara keseluruhan. 3. Tujuan Fungsi (Functional Objective) Tujuan fungsi adalah untuk memelihara kontribusi bagian lain agar mereka (sumber daya manusia dalam tiap bagian) melaksanakan tugasnya secara optimal. 4. Tujuan Personal (Personal Objective) Tujuan personal adalah untuk membantu pegawai dalam mencapai tujuan pribadinya, guna mencapai tujuan organisasi. Tujuan pribadi pegawai diharapkan dapat dipenuhi, dan ml sudah merupakan motivasi dan 11 pemeliharaan terhadap pegawai yang bersangkutan. Guna mencapai tujuan manajemen sumber daya manusia yang telah dikemukakan, maka suatu bagian atau departemen sumber daya manusia harus mengembangkan, mempergunakan dan memelihara pegawai (sumber daya manusia) agar semua fungsi organisasi dapat berjalan seimbang. Kegiatan manajemen sumber daya manusia merupakan bagian dan proses manajemen sumber daya manusia yang paling sentral dan merupakan rantai kunci dalam mencapai tujuan organisasi. Kegiatan manajemen sumber daya manusia akan berjalan lebih lancar, bila memanfaatkan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia. 2.1.2 Kepuasan Kerja Robbins dan Judge dalam Wibowo (2014: 131) memberikan definisi kepuasan kerja sebagai perasaan positif tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi dari karakteristiknya. Nelson and Quick (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu kondisi emosional yang positif dan menyenangkan sebagai hasil dari penilaian pekerjan atau pengalaman pekerjaan seseorang. Luthans (2006: 243) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan karyawan memberikan hal yang dinilai penting. .Sedangkan, Mathis dan Jackson (2006:121) Kepuasan kerja dihasilkan dari persepsi mereka terhadap pekerjaannya dan derajat kesesuaian antara individu dengan organisasi. Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang. Berdasarkan berbagai pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan yang dirasakan oleh orang yang bekerja di suatu perusahaan, baik perasaan yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan 2.1.2.1 Teori - Teori Kepuasan Kerja Teori kepuasan kerja dikemukakan oleh Hartatik (2014: 226-228). Secara umum ada tiga teori kepuasan kerja. Dimana kesemuanya mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja serta menggambarkan proses yang menentukan kepuasan kerja bagi individu. 12 1. Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory). Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasa. Sehingga, apabila kepuasan diperoleh melebihi apa yang diinginkan maka orang akan menjadi lebih puas lagi, sehingga terjadi ketidaksesuaian yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai. 2. Teori Keadilan (Equity Theory). Teori ini mengungkapkan bahwa orang merasa puas atau tidak tergantung pada ada atau tidaknya keadilan dalam suatu situasi kerja. 3. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory). Menurut teori ini, kepuasan dan ketidakpuasan kerja merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan bukan suatu variabel yang berkelanjutan. Teori ini merumuskan karasteristik pekerjaan menjadi dua kelompok, yaitu satisfies (motivator) dan dissatisfies. Satisfies adalah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari pekerjaan menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, serta ada kesempatan memperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktorfaktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor tersebut tidak selalu menimbulkan ketidakpuasan. Sementara, dissatisfies adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari gaji, pengawasan, hubungan antarpersonal, kondisi kerja dan status. 2.1.2.2 Dimensi - Dimensi Kepuasan Kerja Luthans (2006) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi 5 dimensi spesifik dari pekerjaan yaitu gaji, pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, supervisi dan rekan kerja. • Gaji: sejumlah upah yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa diangap sebagai hal yang pantas dibandingkan dengen orang lain di dalam organisasi. Karyawan memandang gaji sebagai refleksi dari bagaimana manajemen memandang kontribusi mereka terhadap perusahaan. 13 • Pekerjaan itu sendiri: kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan di mana karyawan cenderung memilih pekerjaan yang memberikan tugas yang menarik, pekerjaan yang bervariasi, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. • Kesempatan promosi: faktor yang berhubungan dengan ada atau tidaknya kesempatan memperoleh peningkatan karier selama bekerja. Kesempatan promosi inilah yang memiliki pengaruh yang penting pada kepuasan kerja. • Supervise: kemampuan atasan untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan prilaku kepada bawahan yang mengalami permasalahan dalam pekerjaan. • Rekan Kerja: tingkat dimana rekan kerja yang pandai dan mendukung secara sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dan atasannya dan dengan pegawai lainnya baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaan. 2.1.2.3 Dampak Ketidakpuasan Kerja Menurut Robbins (2013:82-83), tingkat kepuasan kerja karyawan yang rendah akan berdampak pada tindakan-tindakan seperti: 1. Keluar Ketidakpuasan kerja diungkapkan dengan meninggalkan pekerjaan, termasuk mencari pekerjaan lain (turnover). 2. Menyuarakan Ketidakpuasan kerja diungkapkan melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi, termasuk memberikan saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya. 3. Mengabaikan Ketidakpuasan kerja diungkapkan melalui sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, misalnya, sering absen, datang terlambat, malas, dan kinerja yang menurun. 4. Kesetiaan Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari 14 luar dan percaya bahwa organisasi dan manajemen akan melakukan hal yang tepat untuk memperbaiki kondisi. 2.1.3 Stres Kerja Menurut Robbins dan Judge (2013:595) stres adalah kondisi dinamis dimana individu dihadapkan kepada kesempatan, permintaan, atau sumber yang berkaitan dengan apa yang individu inginkan dan yang di mana hasilnya adalah merasa samasama tidak pasti dan penting. Sebagai definisi dapat dikatakan bahwa stres kerja merupakan kondisi ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran dan kondisi fisik seseorang (Siagian, 2007:300). Sedangkan, Luthans (2006) mendefinisikan stres kerja sebagai respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan atau proses psikologi yang merupakan tuntutan psikologis atau fisik yang berlebihan pada seseorang. Adapun Mangkunegara (2008:179) mengemukakan stres kerja sebagai suatu ketegangan atau tekanan yang dialami ketika tuntutan yang dihadapkan melebihi kekuatan yang ada pada diri kita. Sedangkan, Handoko (2008:167) mengemukakan stres sebagai suatu kondisi ketegangan yang dapat mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami tekanan ketika dia tidak dapat memenuhi target sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh perusahaan kepada tiap – tiap karyawan. 2.1.3.1 Dimensi - Dimensi Stres Kerja Luthans (2006) mengemukan bahwa stres kerja dipengaruhi oleh 4 dimensi yaitu: 1.Stressor Ekstraorganisasi Stressor ekstraorganisasi adalah penyebab stress yang berasal dari luar organisasi. Penyebab stress ini dapat terjadi pada organisasi yang bersifat terbuka, yakni keadaan lingkungan eksternal mempengaruhi organisasi. Misalnya perubahan sosial dan teknologi, globalisasi dan keluarga. 2. Stressor Organisasi 15 Stressor organisasi adalah penyebab stres yang berasal dari organisasi tempat karyawan bekerja. Penyebab ini lebih memfokuskan pada kebijakan atau peraturan organisasi yang menimbulkan tekanan yang berlebih pada karyawan 3.Stressor Kelompok Stressor kelompok adalah penyebab stress yang berasal dari kelompok kerja yang setiap hari berinteraksi dengan karyawan, misalnya rekan kerja atau supervisor atau atasan langsung dari karyawan. 4.Stressor Individual Stressor individual adalah penyebab stress yang berasal dari individu yang ada dalam organisasi. Misalnya seorang karyawan terlibat konflik dengan karyawan lainnya, sehingga menimbulkan tekanan tersendiri ketika karyawan tersebut menjalankan tugas dalam organisasi tersebut. 2.1.3.2 Cara Mengatasi Stres Kerja Ada tiga pola yang menurut Mangkunegara (2005, 38) dapat mengatasi stres, yaitu : 1. Pola sehat Pola sehat adalah pola menghadapi stres yang terbaik, yaitu dengan kemampuan mengelola perilaku dan tindakan sehingga adanya stress tidak menimbulkan ganggua n, akan tetapi menjadi sehat dan berkembang. Mereka yang tergolong kelompok ini biasanya mampu mengelola waktu dan kesibukan dengan cara yang baik dan teratur sehingga ia tidak perlu merasa ada sesuatu yang menekan meskipun sebenarnya tantangan dan tekanan cukup banyak. 2. Pola harmonis Pola harmonis adalah pola menghadapi stres dengan kemampuan mengalola waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai hambatan. Dalam pola ini, individu mampu mengendalikan berbagai kesibukan dan tantangan dengan cara mengatur waktu secara teratur. Ia pun selalu menghadapi tugas secara tepat, dan kalau perlu ia mendelegasikan tugas-tugas tertentu kepada orang lain dengan memberikan kepercayaan yang penuh. Dengan demikian akan terjadi keharmonisan dan keseimbangan antara tekanan yang diterima dengan reaksi yang diberikan. Demikian juga terhadap keharmonisan antara dirinya dengan lingkungan. 16 3. Pola patalogis Pola patalogis ialah pola menghadapi stres dengan berdampak berbagai gangguan fisik maupun sosial-psikologis. Dalam pola ini, individu akan menghadapai berbagai tantangan dengan cara-cara yang tidak memiliki kemampuan dan keteraturan mengelola tugas dan waktu. Cara ini dapat menimbulkan reaksi-reaksi yang berbahaya karena bisa menimbulkan berbagai masalah yang buruk. Sedangkan, Robbins dan Judge (2013) menyatakan bahwa stres dalam tingkat rendah sampai sedang dapat menjadi fungsional dan menuju performa tinggi , manajemen mungkin tidak terlalu memikirkan. Tetapi karyawan cenderung meraasa bahwa tingkat stres yang rendah sebagai sesuatu yang tidak diinginkan. Terdapat dua pendekatan yang tepat untuk mengelola stres yaitu pendekatan individu dan pendekatan organisasi. ·1.Pendekatan Individu Dalam pendekatan individu seorang karyawan dapat berusaha seringuntuk mengurangi level stres nya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu pengelolaan waktu,latihan fisik, latihan relaksasi dan dukungan sosial. · 2.Pendekatan Organisasi Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang semuanya di kendalikan oleh manajemen, sehingga faktor-faktor itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin di gunakan oleh manajemen untuk mengatasi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapatan tujuan ,redesain pekerjaan, pengambilan keputusan, komunikasi organisasional dan program kesejahterahaan. 2.1.4 Turnover Intention Menurut Nayaputera, (2011:39) didefinisikan intensi turnover sebagai suatu keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain. Sedangkan Robbins (2008) mendefinisikan turnover intention sebagai penarikan diri seseorang keluar dari suatu organisasi (turnover) dapat diputuskan secara sukarela (voluntary turnover) maupun secara tidak sukarela (involuntary turnover). Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan 17 organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa manarik pekerjaan yang ada saat ini dan tersedianya alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary turnover atau pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja (employer) untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya. Widjaja (2008) juga menjelaskan bahwa turnover intention adalah keinginan untuk berpindah, belum sampai pada tahap realisasi yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Intensi keluar merupakan ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang dapat memicu keinginan seseorang untuk keluar mencari pekerjaan yang baru. Dapat disimpulkan bahwa turnover intention adalah niat atau keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan atau berpindah untuk pekerjaan lain dari tempat dimana mereka bekerja pada saat ini. 2.1.4.1 Pengukuran Turnover Intention Nayaputera (2011) menjelaskan beberapa komponen pengukuran intensi turnover adalah sebagai berikut : 1. Adanya pikiran untuk keluar 2. Keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan lain 3. Mengevaluasi kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang layak di tempat lain. Kemudian Nayaputera (2011), juga menyatakan bahwa sebagian besar karyawan yang meninggalkan organisasi karena alasan sukarela dapat di kategorikan atas perpindahan kerja sukarela yang dapat dihindarkan (avoidable voluntary turnover) dan perpindahan kerja sukarela yang tidak dapat dihindarkan (unvoidablevoluntary turnover). Avoidable voluntary turnover dapat disebabkan karena alasan berupa gaji, kondisi kerja, atasan atau ada organisasi lain yang di rasakan lebih baik sedangkan unvoidablevoluntary turnover dapat disebabkan karena perubahan jalur karir, faktor keluarga, dan faktor kebutuhan diri. Menurut Mathis dan Jackson (2006:126), terdapat juga beberapa alasan karyawan yang berhenti tidak dapat dikendalikan oleh organisasi meliputi: 1. Adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup karyawan. 2. Karyawan pindah ke wilayah yang berbeda secara geografis. 18 3. Karyawan memutuskan untuk tinggal di rumah karena alasan keluarga. 4. Suami atau istri karyawan dipindahkan. 5. Karyawan adalah mahasiswa yang baru lulus dari perguruan tinggi. Menurut Heneman dan Judge (Andestia, 2012:17), terdapat dua jenis perputaran atau perpindahan karyawan yaitu : 1. Voluntary Turnover, yaitu perpindahan yang diinginkan oleh karyawan sendiri karena alasan tertentu, seperti tidak ada kesempatan untuk promosi, pelatihan, masalah keluarga dan lain-lain. 2. Involuntary Turnover, yaitu perpindahan karyawan karena keputusan perusahaan seperti tidak memperpanjang kontrak karyawan karena kurang disiplin atau kinerja yang kurang baik dan perampingan perusahaan yang harus mengurangi jumlah karyawannya. 2.1.4.2 Dampak Turnover Intentions Bagi Perusahaan Semakin besar turnover rate yang terjadi dalam perusahaan, maka semakin besar puladampak kerugian yang harus ditanggung perusahaan. Kerugian tersebut mencakup biaya-biaya seperti (Mathis dan Jackson, 2006:138) : • Biaya Perekrutan Biaya perekrutan meliputi beban perekrutan dan iklan, biaya pencarian, waktu dan gaji pewawancara dan staf SDM, biaya penyerahan karyawan, biaya relokasi dan pemindahan, waktu dan gaji supervisor dan manajerial, biaya pengujian perekrutan, waktu pemeriksaan referensi. • Biaya Pelatihan Biaya training meliputi waktu orientasi yang dibayar, waktu dan gaji staf pelatihan, biaya materi pelatihan, waktu dan gaji para supervisor dan manajer. • Biaya Produktivitas Biaya produktivitas adalah produktivitas yang hilang karena waktu pelatihan karyawan baru, hilangnya hubungan dengan pelanggan, tidak biasa dengan produk dan jasa perusahaan, lebih banyak waktu untuk menggunakan sumber dan sistem perusahaan. 19 • Biaya Pemberhentian Separation cost meliputi waktu dan gaji staf dan supervisor SDM untuk mencegah pemberhentian, waktu wawancara keluar kerja, beban pengangguran, biaya sengketa hukum yang dituntut oleh karyawan yang diberhentikan. 2.2 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian sebelumnya yang ada hubungannya dengan variable kepuasan kerja, stress kerja, dan turnover intention adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian Agung AWS Waspodo, Nurul Chotimah Handayani, dan Widya Paramita (2013) dengan judul “Pengaruh Kepuasan Kerja dan Stres Kerja Terhadap Turnover Intention pada Karyawan PT. Unitex Bogor.” Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 98 karyawan dan dianalisis dengan metode analisis linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kepuasan kerja dan stress kerja secara bersama sama berpengaruh terhadap turnover intention. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Gabriela Syahronica, Moehammad Soe’oed Hakam, dan Ikan Ruhana (2012) dengan judul “Pengaruh Kepuasan Kerja dan Stres Kerja Terhadap Turnover Intention (Studi Pada Karyawan Departemen Dunia Fantasi PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk)”. Penelitian ini mengambil semua populasi sebanyak 55 karyawan. Metode analisis regresi linier berganda juga digunakan sebagai metode dalam penelitian ini dan memberikan hasil bahwa variabel kepuasan kerja dan stres kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap turnover intention. 3. Penelitian Gurun Hermawan (2012) dengan judul “Analisis Pengaruh Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi Terhadap Keinginan untuk Berpindah Pekerjaan”. Penelitian ini dilakukan terhadap 120 karyawan yang bekerja di salah satu perusahaan jasa minyak dan gas terbesar di Jakarta.Metode sampling yang digunakan adalah non-probability sampling dengan teknik Purposive Sampling. Berdasarkan hasil penelitian terdapat pengaruh positif antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional terhadap keinginan untuk berpindah pekerjaan. 20 4. Berikutnya adalah penelitian oleh Khuo – Shun Sun (2011) yang berjudul “The Turnover Intentions for Construction Engineeris”. Hasil dari analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa gaji dan kepuasan kerja serta komitmen afektif adalah faktor utama yang mempengaruhi keinginan berpindah insinyur kontruksi dan menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi dapat diharapkan untuk mengurangi niat insinyur konstruksi untuk berhenti. 5. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Inran Qureshi, Mehwish Ifthikhar, Syed Gohar Abbas, Umar Hassan, Khalid Khan and Khalid Zaman pada tahun 2012 berjudul “Relationship Between Job Stress, Workload, Environment and Employees Turnover Intention”. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sample secara acak sebanyak 250 karyawan dari perusahaan tekstil di Pakistan. Hasil menggambarkan bahwa keinginan berpindah karyawan berhubungan positif dengan stres kerja. Dengan meningkatnya stres kerja maka turnover karyawan akan meningkat dan organisasi harus bersedia untuk mempertahankan karyawan intelektual mereka 2. 3 Kerangka pemikiran Berdasarkan pembahasan penelitian yang sudah dibahas diatas, maka kerangka penelitian ini ditunjukkan oleh model gambar sebagai berikut : KEPUASAN KERJA TURNOVER INTENTION STRES KERJA Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 21 2.4 Hipotesis Menurut Sugiyono (2007), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru pada teori belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini adalah: • Untuk T1 : Ho : Tidak ada pengaruh kepuasan kerja terhadap turnover intention Ha : Ada pengaruh kepuasan kerja terhadap turnover intention • Untuk T2 : Ho : Tidak ada pengaruh stres kerja terhadap turnover intention Ha : Ada pengaruh stres kerja terhadap turnover intention • Untuk T3 : Ho : Tidak ada pengaruh kepuasan kerja dan stres kerja terhadap turnover intention Ha : Ada pengaruh kepuasan kerja dan stress kerja terhadap turnover intention. 22