analisis praktik residensi keperawatan medikal bedah

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL
BEDAH: PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY PADA PASIEN
DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT (RSUP) FATMAWATI
JAKARTA
Karya Ilmiah Akhir
Diajukan Sebagai Persayaratan untuk Memperoleh Gelar
Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Oleh:
SANTI DAMAYANTI
0806483550
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2012
i
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur praktikan panjatkan kehadirat Alloh SWT, karena atas rahmat dan
karunia-Nya, akhirnya praktikan dapat menyelesaikan laporan karya tulis ilmiah
analisis praktik residensi keperawatan medikal bedah pada pasien dengan gangguan
sistem endokrin dengan penerapan teori adaptasi Roy Di Rumah Sakit Umum Pusat
(RSUP)
Fatmawati
Jakarta.
Dalam
penyusunan laporan
ini,
praktikan
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
2. Ibu Astuti Yuni Nursasi, SKp.,MN selaku Ketua Program Studi Pascasarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
3. Ibu DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App. Sc. selaku Supervisor utama yang telah
memberikan masukan dan arahan selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir
4. Ibu Lestari Sukamarini, S.Kp., MNS, Selaku supervisor yang juga telah
memberikan masukan dan arahan selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir
5. Ibu Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn, selaku direktur utama RSUP
Fatmawati Jakarta yang telah memberikan ijin praktik residensi
6. Ibu Rita Herawati,S.Kp.,M.Kep, selaku Supervisor Klinik yang telah
memberikan masukan dan arahan dalam kegiatan inovasi.
7. Ibu Endang Widuri,S.Kp, selaku Kepala Ruang lantai V selatan IRNA B RSUP
Fatmawati Jakarta.
8. Seluruh staff di lantai V selatan dan utara IRNA B serta IRJ penyakit dalam
RSUP Fatmawati Jakarta.
9. Rekan-rekan mahasiswa khususnya residensi keperawatan endokrin Program
Magister Keperawatan Medikal Bedah yang telah saling mendukung dan
membantu selama proses pendidikan.
10. Ibu dan suami tercinta yang senantiasa tidak pernah putus dalam memberikan
doa dan motivasi kepada praktikan selama mengikuti pendidikan.
11. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
vi
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal kebaikan yang akan mendapat
balasan yang lebih baik dari Allah SWT.
Selanjutnya praktikan sangat mengaharapkan masukan, saran dan kritik
demi
perbaikan Karya Ilmiah Akhir ini sehingga dapat digunakan untuk pengembangan
ilmu dan pelayanan keperawatan
Depok,
Juli 2012
Praktikan
vii
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
Laporan Praktek Residensi Spesialis KMB, Juli 2012
Santi Damayanti
Laporan Praktek Residensi Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Sistem
Endokrin di RSUP Fatmawati Jakarta
ABSTRAK
Program residensi keperawatan dilaksanakan untuk meningkatkan kompetensi
dalam memberikan asuhan keperawatan lanjut pada kasus Keperawatan Medikal
Bedah. Program residensi ini dilaksanakan di RSUP Fatmawati Jakarta dengan
menerapkan peran perawat spesialis sebagai pemberi asuhan keperawatan, peneliti,
dan inovator. Asuhan keperawatan dilakukan dengan menerapan Teori Adaptasi Roy
pada klien 34 DM tipe 2. Asuhan keperawatan dilaksanakan pada 1 pasien kasus
utama dan 33 kasus kelola pada pasien dengan DM tipe 2. Peran sebagai peneliti
dilakukan dengan menerapkan Self-Efficacy Enhancing Intervention Program
(SEEIP) pada pasien DM. Program ini bertujuan meningkatkan efikasi diri pasien,
sehingga percaya diri mampu dalam melakukan perawatan mandiri. SEEIP
dilakukan pada 10 pasien DM tipe 2, dengan hasil peningkatan skor Diabetes
Management Sel Efficacy Scale (DMSES) sebanyak 38,8 poin dan Perceived
Therapeutic Efficacy Scale (PTES) sebanyak 34,7 poin. Peran praktikan sebagai
inovator dengan menyelenggarakan pelatihan selama 2 hari pada, tentang irigasi
luka dengan tehnik 13 psi dan pengkajian ulkus kaki diabetik dengan Clinical Sign
And Simptom Checklist For Diabetic Foot Ulcer (CSSC-DFU) pada perawat RSUP
Fatmawati Jakarta. Hasil pelatihan menunjukkan ada peningkatan pemahaman
materi pelatihan dan sebagian besar perawat mampu melakukan irigasi dengan
tehnik 13 psi dan pengkajian CSSC-DFU dengan baik. Kesimpulannya adalah
aplikasi Teori Adaptasi Roy dapat dilakukan pada asuhan keperawatan pasien
dengan gangguan sistem endokrin metabolik, terutama pada pasien diabetes
mellitus. Pelaksanaan SEEIP lebih efektif dalam meningkatkan efikasi diri pasien
dengan melibatkan semua tim edukator dan pandu diabetes sebagai role model.
Perawat RSUP Fatmawati dapat memahami dan melakukan irigasi luka dengan
tehnik 13 psi dan pengkajian ulkus kaki diabetik dengan CSSC-DFU setelah
dilakukan pelatihan.
Kata kunci :
system endokrin, Teori Adapatasi Roy, Self-Efficacy Enhancing
Intervention Program
viii
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
GRADUATE PROGRAMS FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF
INDONESIA
Residency Practice Report of Medical Surgical Nursing Specialist, January 2010
Santi Damayanti
Residency Practice Reports of Endocrine System of Medical Surgical Nursing
Specialist in Fatmawati State Hospital Jakarta
ABSTRACT
Nursing residency program implemented to increase competence in providing
advanced nursing care in many Medical Surgical Problem. Residency program are
implemented in Fatmawati Hospital to implement some roles as nursing care
provider, researcher and innovator. Role of nursing care provider is performed by
the application of the Roy Adaptation Theory in the nursing care of 34 patients with
type 2 diabetes mellitus. Role of researcher carried out by implementing the
Enhancing Self-Efficacy Intervention Program (SEEIP) in patients with diabetes
mellitus. The program aimed to improve self efficacy of the patient, the patients
patients could be more confident on diabetes self care. SEEIP result showed
increasing scores of Diabetes Management Efficacy Scale (DMSES) are average
38.8 points and increased scores Perceived Therapeutic Efficacy Scale (PTES) are
average 34.7 points. Role of innovator by carrying of training nurse in Fatmawati
hospital during two days, with title wound irrigation with 13 psi techniques and the
assessment diabetic foot ulcer with Clinical Sign And Symptoms Checklist For
Diabetic Foot Ulcer (DFU-CSSC) form. The results of training are an increased
understanding and they are able to do. Suggestion is application of Roy's adaptation
theory can be done on nursing care of the patients with endocrine system problems.
SEEIP implementation requires collaboration with other teams of diabetes educator
and diabetes guide as role model in providing motivation to patients in self-care.
Nurses of Fatmawati hospital could understand and perform wound irrigation with
13 psi techniques and the assessment diabetik foot ulcer with CSSC-DFU after
training
Key words: endocrine system, Roy adaptation theory, Self-Efficacy Enhancing
Intervention Program
ix
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………….........
LEMBAR PERSETUJUAN …………………………………………………..
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME …………………………
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………..…
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………
KATA PENGANTAR…………………………………………………………
ABSTRAK……………………………………………………………………..
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...
DAFTAR TABEL……………………………………………………………...
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………..
DAFTAR DIAGRAM…………………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………...
BAB 1 : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………..
1.2 Tujuan Penulisan……………………………………………...
1.3 Manfaat………………………………………………………..
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus……………………………………………...
2.1.1 Pengertian……………………………………………..
2.1.2 Klasifikasi……………………………………………
2.1.3 Patofisiologi………………………………………….
2.1.4 Diagnosis …………………………………………….
2.1.5 Komplikasi ………………………………………….
2.1.6 Pengelolaan………………………………………….
2.2 Teori Adaptasi Roy……………………………………………
2.2.1 Manusia………………………………………………..
2.2.2 Lingkungan…………………………………………...
2.2.3 Kesehatan……………………………………………..
2.2.4 Keperawatan………………………………………….
2.3 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Asuhan Keperawatan
Pasien dengan Diabetes Mellitus
2.3.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus…………………….
2.3.2 Diagnosa Keperawatan………………………………..
2.3.3 Tujuan Keperawatan…………………………………..
2.3.4 Intervensi Keperawatan……………………………….
2.3.5 Evaluasi Keperawatan………………………………...
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM
ENDOKRIN
3.1 Gambaran Kasus Kelolaan Utama…………………………….
3.2 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama
3.2.1
Pengkajian Perilaku dan Stimulus……………………
3.2.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis…………………..
3.2.1.2 Mode Adaptasi Konsep Diri………………..
3.2.1.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran……………….
3.2.1.4 Mode Adaptasi Interdependen………………
3.2.2
Diagnosa Keperawatan……………………………….
x
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
x
xiii
xiv
xv
xvii
1
3
4
6
6
7
8
11
12
17
20
21
22
22
22
23
29
32
32
36
37
38
38
38
43
45
45
46
BAB 4
BAB 5
3.2.2.1 Mode Adaptasi Fisiologis…………………...
3.2.2.2 Mode Adaptasi Konsep Diri………………..
3.2.2.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran……………….
3.2.2.4 Mode Adaptasi Interdependen………………
3.2.3 Penetapan Tujuan……………………………………...
3.2.4 Intervensi Keperawatan……………………………….
3.2.5 Evaluasi Keperawatan………………………………...
3.3 Pembahasan Berdasarkan Teori Adaptasi Roy………………..
3.3.1
Mode Adaptasi Fisiologis…………………………….
3.3.1.1 Infeksi, risiko sepsis ………………………..
3.3.1.2 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh…………………………….
3.3.1.3 Nyeri akut …………………………………..
3.3.1.4 Tidak efektifnya perfusi jaringan perifer......
3.3.1.5 Retensi urine...................................................
3.3.1.6 Intoleransi aktivitas…………………………
3.3.2 Mode Adaptasi Konsep Diri…………………………..
3.3.2.1 Gangguan citra tubuh......................................
3.3.3
Mode Adaptasi Fungsi Peran…………………………
3.3.3.1 Perubahan Penampilan Peran………………
3.3.4 Mode Adaptasi Interdependen………………………..
3.3.4.1 Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik..
3.4 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada 33 Kasus
Kelolaan………………………………………………………..
3.4.1 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh…………………………………………………..
3.4.2 Infeksi, risiko sepsis ………………………………….
3.4.3 Kekurangan volume cairan……………………………
3.4.4 Kelebihan volume cairan……………………………..
3.4.5 Pola nafas tidak efektif………………………………..
3.4.6 Nyeri akut……………………………………………..
3.4.7 Intoleransi aktivitas……………………………………
3.4.8 Kecemasan ……………………………………………
3.4.9 Koping tidak efektif…………………………………...
3.4.10 Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik……...........
PENERAPAN
EVIDENCE
BASED
NURSING
PADA
GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN
4.1 Hasil Journal Reading (Critical Review)………………………….
4.2 Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian………………..
4.2.1 Tahap Perencanaan ……………………………………
4.2.2 Tahap penerapan……………………………………….
4.2.3 Hasil penerapan EBN…………………………………..
4.2.4 Evaluasi dan Desiminasi……………………………….
4.3 Pembahasan…………………………………………………….
KEGIATAN
INOVASI
PADA
GANGGUAN
SISTEM
ENDOKRIN
5.1 Analisis Situasi………………………………………………...
5.2 Kegiatan Inovasi……………………………………………….
xi
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
45
45
45
46
47
47
47
62
62
62
65
68
69
70
73
74
75
75
76
77
77
76
76
83
83
84
84
85
86
86
87
88
93
97
97
98
99
102
103
107
109
5.2.1 Kontrak pelaksanaan Kegiatan……………………….
5.2.2
Sosialisasi Program Inovasi…………………………...
5.2.3 Pelaksanaan Program Inovasi…………………………
5.2.4 Materi pelatihan……………………………………….
5.2.5 Evaluasi pelaksanaan kegiatan………………………..
5.3 Pembahasan……………………………………………………
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan………………………………………………………
6.2 Saran……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
109
110
110
112
114
117
120
121
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1
Penentuan kebutuhan kalori…………………………………………
19
Tabel 3.1
Pemeriksaan Kaki………….……………………………………
41
Tabel 3.2
Rencana Asuhan Keperawatan, Implementasi dan Evaluasi pada
Ny. T................................................................................................
Tabel 4.1
48
Tahap Self-Efficacy Enhancement Intervention Program
(SEEIP)………………………………………………………
xiii
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
98
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 3.5
Penatalaksanaan
DM
secara
komprehensif
dengan
pendekatan keluarga………………………………………
xiv
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
89
DAFTAR DIAGRAM
Hal
Diagram 4.1
Skor DMSES sebelum dan sesudah dilakukan SEEIP …………..
99
Diagram 4.2
Skor PTES sebelum dan sesudah dilakukan SEEIP ……………..
100
Diagram 4.3
Nilai rata-rata DMSES dan PTES sebelum dan sesudah SEEIP ...
100
Diagram 4.4
Skore DMSES kelompok kontrol………………………………...
101
Diagram 4.5
Skore PTES kelompok kontrol …………………………………..
102
Diagram 4.6
Rata-rata DMSES dan PTES kelompok kontrol ………………….
102
Diagram 5.1
Rata-Rata Nilai Pre Dan Post Tes Peserta Pelatihan……………..
115
Diagram 5.2
Evaluasi Pelaksanaan pelatihan……………………………….......
115
xv
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Resume keperawatan dengan pendekatan teori adaptasi Roy
Lampiran 2
Gambar kaki dan ulkus kaki diabetik Ny. T
Lampiran 3
Gambar radiologi pedis dan kruris dextra
Lampiran 4
Perkembangan Post Op STSG Kruris Dan Ulkus Plantar Dextra
Lampiran 5
Booklet DM dan penatalaksanaan perawatan diri
Lampiran 6
Diabetes Managemen Self-Efficacy Scale (DMSES) dan Perceived
Therapeutic Efficacy Scale (PTES)
Lampiran 7
Pelaksanaan SEEIP pada Pasien DM tipe 2
Lampiran 8
Pre tes dan Post tes Pelatihan
Lampiran 9
Materi Pelatihan
Lampiran 10
Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan
Lampiran 11
Clinical Sign And Simptom Checlist for Diabetic Foot Ulcer (CSSC-DFU)
Lampiran 12
Evaluasi tehnik Irigasi 13 Psi
Lampiran 13
Kompetensi ners spesialis KMB peminatan endokrin
Lampiran 14
Curiculum Vitae
xvi
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL
BEDAH: PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY PADA PASIEN
DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT (RSUP) FATMAWATI
JAKARTA
Karya Ilmiah Akhir
Oleh:
SANTI DAMAYANTI
0806483550
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2012
xvii
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Keperawatan merupakan bentuk pelayanan profesional berupa pemenuhan
kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu baik sehat maupun sakit yang
mengalami gangguan fisik, psikis dan sosial agar mencapai derajat kesehatan
yang optimal. Tujuan pemberian asuhan keperawatan yaitu meningkatkan respon
adaptasi terhadap fungsi fisiologis, fungsi konsep diri, fungsi peran dan fungsi
interdependen (Roy & Andrews, 1999). Kondisi seperti ini harus disikapi oleh
perawat sebagai pemberi pelayanan kesehatan yaitu memberikan asuhan
keperawatan secara holistik dan komprehensif. Selain peran sebagai pemberi
pelayanan kesehatan, peran perawat juga sebagai pengambil keputusan klinik,
pendidik, sebagai peneliti dan sebagai advokat bagi pasien, oleh karena itu dalam
upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan untuk menyikapi dengan
semakin berkembangnya tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang
paripurna, maka ilmu dan ketrampilan keperawatan perlu ditingkatkan melalui
pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan yang berlandaskan ilmu, riset dan
teknologi keperawatan.
Salah satu upaya dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan pendidikan
ilmu
keperawatan,
yaitu
dengan
menempuh
pendidikan
keperawatan
berkelanjutan melalui pendidikan program spesialis keperawatan medikal bedah.
Program ners spesialis ini terdiri dari beberapa kekhususan dan salah satunya
adalah kekhususan sistem endokrin yang merupakan bagian dari proses
mengimplementasikan dan memperdalam kemampuan klinik keperawatan,
khususnya keperawatan sistem endokrin.
Kegiatan praktik klinik residensi keperawatan endokrin dilaksanakan di ruang
rawat inap penyakit dalam, Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan poliklinik penyakit
dalam Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta selama dua semester
selama periode 26 September 2011 – 11 Mei 2012. Adapun kompetensi yang
harus dicapai oleh praktikan selama praktek residensi keperawatan ini adalah
1
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
2
memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan gangguan sistem
endokrin dengan pendekatan teori adaptasi Roy, memberikan intervensi
keperawatan dengan berbasis hasil pembuktian ilmiah atau Evidence Based
Nursing (EBN) dan melakukan inovasi dalam rangka mengembangkan dan
memperbaiki sistem asuhan keperawatan di pelayanan klinik.
Selama praktik klinik residensi keperawatan, praktikan memberikan asuhan
keperawatan kepada 34 pasien dengan gangguan sistem endokrin. Kasus yang
ditemui aadalah Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 dengan komplikasi akut antara
lain: Ketoasidosis Diabetikum (KAD), ketosis, hipoglikemia dan DM tipe 2
dengan komplikasi kronis, antara lain: ulkus kaki diabetik, Cronic Kidney Disease
(CKD), Cronic Heart Disease (CHF). Gangguan sistem endokrin seperti Diabetes
mellitus merupakan suatu penyakit kronis, pasien akan mengalami banyak
perubahan sejalan dengan perjalanan penyakit meliputi dan dapat mengakibatkan
berbagai komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. Pasien DM tidak hanya
mengalami perubahan fisiologis tetapi juga mengalami perubahan konsep diri,
perubahan peran dan perubahan fungsi interdependensi. Perlu asuhan keperawatan
yang tepat untuk mengatasi kondisi tersebut, sehingga pasien mampu untuk
beradaptasi dengan perubahan yang dialami. Asuhan keperawatan dengan
pendekatan teori adaptasi Roy, merupakan suatu model konsep yang sesuai untuk
kondisi pasien dengan penyakit kronis, dimana teori adaptasi Roy berfokus
terhadap pentingnya penanganan stimulus yang terjadi sehingga pasien mampu
adaptif terhadap perubahan yang terjadi. Roy memandang keperawatan sebagai
peningkat adaptasi individu dan kelompok pada setiap 4 model adaptasi yang
berkontribusi pada kesehatan, kualitas hidup, dan meninggal dengan bermartabat
(Roy & Andrew, 1999).
Selain memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan gangguan sistem
endokrin, praktikan dituntut untuk mampu menerapkan intervensi keperawatan
mandiri yang berbasis pada pembuktian ilmiah. Kegiatan tersebut merupakan
salah satu peran perawat sebagai peneliti, dimana sebagai perawat spesialis
dituntut untuk mampu menggunakan hasil riset terkini untuk meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan melalui pemberian asuhan keperawatan yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
3
berbasis fakta. Adapun intervensi kegiatan mandiri yang dilakukan oleh praktikan
adalah penerapan Self-Efficacy Enhancing Intervention Program (SEEIP) yaitu
intervensi untuk meningkatkan efikasi diri pasien diabetes melitus tipe 2 yang
dirawat di RSUP Fatmawati Jakarta sehingga mampu mandiri dalam perawatan
diri.
Kompetensi yang harus dicapai oleh praktikan selama praktik klinik residensi
keperawatan yaitu mampu menjalankan peran dan fungsi perawat spesialis
sebagai leader, educator dan innovator. Kegiatan yang dilakukan praktikan dalam
menjalankan peran dan fungsi tersebut adalah dengan melakukan kegiatan inovasi
tentang irigasi ulkus kaki diabetes dengan tekanan 13 psi dan pengkajian ulkus
kaki diabetik dengan menggunakan format pengkajian pada infeksi ulkus diabetik
dengan metode Clinical Sign And Simptom Checklist For Diabetic Foot Ulcer
(CSSC-DFU).
Berdasarkan uraian diatas, dalam laporan analisis kegiatan praktek residensi
keperawatan ini, praktikan akan memaparkan analisis kegiatan praktek klinik
residensi keperawatan selama praktik di RSUP Fatmawati Jakarta, adapun
kegiatannya meliputi memberikan asuhan keperawatan, khususnya pada pasien
dengan gangguan sistem endokrin dengan pendekatan model konsep teori adaptasi
Roy, menerapkan intervensi mandiri keperawatan berdasarkan hasil pembuktian
ilmiah/Evidence Base Nursing (EBN) dan memberikan inovasi keperawatan
1.2
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.
1.2.1 Tujuan Umum
Melakukan analisis terhadap kegiatan praktek residensi keperawatan medikal
bedah dengan peminatan keperawatan sistem endokrin di RSUP Fatmawati
Jakarta.
1.2.2 Tujuan Khusus
Melakukan analisis hasil kegiatan praktek residensi keperawatan medikal bedah
meliputi:
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
4
a. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien gangguan
sistem endokrin dengan pendekatan teori adaptasi Roy.
b. Peran perawat dalam menerapkan hasil penelitian pada area keperawatan pada
pasien gangguan sistem endokrin berdasarkan pembuktian.
c. Peran perawat sebagai inovator, educator dan preceptor pada area
keperawatan
terhadap
teman
sejawat
(perawat
ruangan,
mahasiswa
keperawatan) dan pada pasien dengan gangguan sistem endokrin.
1.3 Manfaat
1.3.1 Pelayanan Keperawatan
Hasil analisis ini diharapkan dapat :
a. Digunakan sebagai bahan masukan atau pertimbangan dalam memberikan
asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien dengan gangguan sistem
endokrin dengan menggunakan pendekatan teori adaptasi Roy, sehingga
berdampak dalam meningkatkan kemampuan adaptasi pasien terhadap
berbagai macam perubahan pada dirinya yang akhirnya dapat meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan dan mutu pelayanan kesehatan.
b. Menumbuhkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan hasil-hasil
penelitian sebagai dasar pengambilan keputusan klinik pada berbagai kasus
gangguan sistem metabolik endokrin.
1.3.2 Pengembangan Ilmu Pengetahuan Keperawatan
Hasil analisis ini diharapkan dapat :
a. Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu keperawatan dalam hal
penerapan peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, melakukan
intervensi mandiri perawat berdasarkan pembuktian dan sebagai inovator pada
area keperawatan medikal bedah khususnya gangguan sistem endokrin.
b. Dipergunakan sebagai bahan acuan dan gambaran dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien gangguan sistem endokrin dengan pendekatan Teori
Adaptasi Roy.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
5
1.3.3 Pendidikan Keperawatan
Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan
kurikulum pembelajaran khususnya dalam ilmu keperawatan medikal bedah
untuk meningkatkan mutu asuhan keperawatan terkait dengan intervensi
keperawatan secara mandiri, khususnya pada area praktek keperawatan pasien
dengan gangguan sistem endokrin berdasarkan EBN.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab 2 ini akan di uraikan tentang landasan teori DM tipe 2, Theory Roy’s Mode
Adaptation dan penerapan Roy’s Mode Adaptation pada asuhan keperawatan pasien
DM.
2.1 Diabetes Mellitus (DM)
2.1.1 Pengertian
DM sudah dikenal sejak tiga puluh tahun sebelum masehi,dua ratus tahun
kemudian Arateus menamai penyakit diabetes dari kata diabere yang artinya
tabung untuk mengalirkan cairan dari suatu tempat ke tempat lain, diabetes
di gambarkan dengan melelehnya daging dan tungkai ke dalam urin,
sedangkan kata mellitus berarti madu, tahun 1674 Willis menggambarkan
urin pasien diabetes manis seperti digelimangi madu dan gula. Saat ini
pengertian DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik peningkatan kadar gula di dalam darah atau hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya
(American Diabetes Association (ADA), 2010 dalam Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (Perkeni), 2011); (Soegondo, Soewondo & Subekti,
2011). Menurut Porth (2007) DM adalah suatu gangguan metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak
akibat dari ketidak seimbangan antara
ketersediaan insulin dengan kebutuhan insulin. Dapat berupa defesiensi
insulin absolut, gangguan pengeluaran insulin oleh sel beta pankreas,
ketidakadekuatan atau kerusakan pada reseptor insulin, atau produksi insulin
yang tidak aktif atau kerusakan insulin sebelum bekerja.
Sedangkan LeMone & Burke (2008) mendefinisikan DM sebagai suatu
penyakit kronik umumnya pada orang dewasa yang memerlukan pengawasan
medis dan pendidikan tentang perawatan diri. Berdasarkan beberapa
pengertian DM di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari DM
merupakan penyakit kronik metabolik (karbohidrat, protein dan lemak) yang
6
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
7
ditandai dengan hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, kerja insulin atau kedua-duanya sehingga memerlukan pengawasan
dan pengelolaan medis sepanjang hidupnya serta membutuhkan pendidikan
kesehatan tentang perawatan diri.
2.1.2 Klasifikasi
DM diklasifikasikan menjadi empat jenis, antara lain: DM tipe 1, DM tipe 2,
DM tipe lain serta diabetes kehamilan. Berikut ini penjelasan klasifikasi
penyakit DM berdasarkan penyebabnya (LeMone & Burke, 2008 &
Maulana, 2008):
a. DM tipe 1
DM tipe 1 diakibatkan oleh destruksi sel beta pankreas, yang ditandai dengan
kekurangan insulin absolut, peningkatan glukosa darah, pemecahan lemak
dan protein tubuh. DM tipe 1 terbagi 2, yaitu : DM tipe 1A yaitu diabetes
yang diakibatkan proses immunologi (immune-mediated diabetes), yang
ditandai destruksi autoimun sel beta. sebelumnya disebut dengan diabetes
juvenile, terjadi lebih sering pada orang remaja tetapi dapat terjadi pada
semua tingkat usia dan DM tipe 1B yaitu diabetes idiopatik yang tidak
diketahui penyebabnya.
b. DM tipe 2
Pasien DM tipe 2 paling banyak diantara DM yang lain, jumlahnya mencapai
90–95 % dari seluruh pasien dengan diabetes. DM tipe 2 banyak dialami oleh
dewasa tua (usia > 40 tahun) dan individu yang obesitas (CDC, 2005). Pasien
DM tipe 2 umumnya mempunyai riwayat resistensi insulin. Awalnya
resistensi insulin belum menyebabkan diabetes secara klinis karena sel beta
pankreas masih dapat mengkompensasinya dengan terjadi hiperinsulinemia
sehingga gula darah masih normal atau sedikit meningkat. Dalam waktu
yang lama akan terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan menunjukkan
gejala klinis akibat ketidaksanggupan sel beta pankreas (Sudoyo, 2006).
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
8
c. DM tipe lain (Others Specific Types)
Merupakan gangguan endokrin yang menimbulkan
hiperglikemia akibat
peningkatan produksi glukosa hati atau penurunan penggunaan glukosa oleh
sel (Porth, 2007). Sebelumnya dikenal dengan istilah diabetes sekunder,
diabetes tipe ini menggambarkan diabetes yang dihubungkan dengan
keadaan dan sindrom tertentu, misalnya diabetes yang terjadi dengan
penyakit pankreas atau pengangkatan jaringan pankreas dan penyakit
endokrin seperti akromegali atau syndrom chusing, karena zat kimia atau
obat, infeksi dan endokrinopati (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011).
d. DM pada kehamilan (Gestational Diabetes Melitus/GDM)
Diabetes kehamilan terjadi pada intoleransi glukosa yang diketahui selama
kehamilan pertama. Jumlahnya sekitar 2–4 % kehamilan. Wanita dengan
diabetes kehamilan akan mengalami peningkatan risiko terhadap diabetes
setelah 5– 10 tahun melahirkan (Porth, 2007).
2.1.3 Patofisiologi
Dalam kondisi normal insulin di sekresi oleh sel beta pankreas, insulin
digunakan untuk transport glukosa ke dalam sel. Pada DM tipe 1 insulin
tidak diproduksi karena reaksi autoimun yang mengakibatkan peradangan sel
beta pankreas (insulitis) yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen
sel beta, sedangkan pada DM tipe 2 kekurangan sekresi insulin dapat
diakibatkan penurunan fungsi sel beta. Penurunan sel beta pankreas dapat
disebabkan oleh: a)Glukotoksisitas, b)Lipotoksisitas FFA, c)Resistensi
insulin, d) Deposit amiloid, e)efek inkretin, f) Umur, dan g) Genetik. Berikut
ini penjelasannya pada keadaan tersebut (Soegondo, Soewondo & Subekti,
2011) :
a) Glukotoksisitas
Peningkatan kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebabkan
peningkatan stres oksidatif, IL-1β dan NF-КB dengan akibat apoptosis atau
kematian sel beta (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011).
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
9
b) Lipotosisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam
proses lipolisis akan mengalami metabolisme non oksidatif menjadi
ceramide yang toksis terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis (Soegondo,
Soewondo & Subekti, 2011). Peningkatan kadar asam lemak bebas, obesitas,
dapat berkontribusi terhadap patogenesis DM tipe 2. Asam lemak bebas
dapat
mengganggu
penggunaan
glukose
dalam
otot-otot
skeletal,
meningkatkan produksi glukosa oleh hati, dan gangguan fungsi sel beta.
c) Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin kerja insulin di hambat hingga kadar glukosa
darah
akan
meningkat,
karena
itu
sel
beta
akan
berusaha
mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin, sehingga terjadi
hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi
amylin dari sel beta yang akan di tumpuk di sekitar sel beta hingga menjadi
amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri hingga akhirnya jumlah sel
beta dalam pulau langerhansa menjadi berkurang. Pada DM tipe 2 jumlah sel
beta berkurang sampai 50-60% dari normal (Soegondo, Soewondo &
Subekti, 2011). Pulau-pulau amiloid polipeptida atau amilin yang disekresi
oleh sel beta dan seperti membentuk kumpulan amiloid fibril ditemukan di
dalam pulau-pulau secara individu pada pasien DM tipe 2 yang lama,
penumpukan amiloid kemungkinan menyebabkan gangguan sekresi insulin
(Smeltzer, et al,2008)
d) Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah penurunan kemampuan insulin dalam beraksi
secara efektif pada jaringan target (otot dan hati). Penyebab resistensi insulin
pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor yang
berperan antara lain: obesitas terutama yang bersifat sentral, diet tinggi
lemak dan rendah karbohidrat, kurang gerak badan serta faktor herediter
(Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). Resistensi insulin mengganggu
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
10
penggunaan glukosa oleh jaringan dan peningkatan produksi glukosa oleh
hati; kedua efek ini berkontribusi terhadap hiperglikemia. Peningkatan
produksi glukosa oleh hati akan meningkatkan kadar gula darah puasa, dan
penurunan pemakaian
glukosa perifer
mengakibatkan
hiperglikemia
postprandial (Suyono, 2007).
e) Efek inkretin
Inkretin mempunyai efek langsung terhadap sel beta dengan cara
meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatnya sekresi insulin dan
mengurangi apoptosis sel beta (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011).
Dengan terjadinya penurunan fungsi sel beta pankreas menyebabkan
penurunan
sekresi
insulin
sehingga
mengakibatkan
meningkatan
counterregulatory hormone yang akan mengubah glukosa dari sumber lain :
penurunan glycogenesis (konversi glukosa menjadi glikogen), peningkatan
glycogenolysis
(konversi
glycogen
menjadi
glukosa),
peningkatan
gluconeogenesis (pembentukan glukosa dari sumber nonkarbohidrat seperti
asam amino dan laktat), peningkatan lypolisis (pemecahan tigliserida
menjadi gliserol dan asam lemak bebas), peningkatan ketogenesis
(pembentukan keton dari asam lemak bebas) dan proteolisis (pemecahan
protein dengan pelepasan asam amino dalam otot), sehingga menyebabkan
peningkatan gula darah atau hiperglikemi (Ignatavicius & Workman, 2006).
Hiperglikemi
menyebabkan hiperosmolaritas serum, menarik air dari
intraseluler ke intravaskuler, sehingga akan menyebabkan peningkatan
volume darah dan menyebabkan peningkatan aliran darah ke ginjal, dan
akan mengakibatkan peningkatan urine output atau diuresis osmotik, kondisi
ini dinamakan poliuri. Diuresis osmotis akan mengakibatkan dehidrasi dan
memeberikan sinyal ke pusat pengaturan rasa haus di hipotalamus, sehingga
mendorong seseorang untuk banyak minum atau yang disebut polidipsi.
Karena penurunan sekresi insulin atau terjadi resistensi insulin, glukosa tidak
dapat masuk ke dalam sel, yang mengakibatakan tubuh menjadi mudah lelah
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
11
dan lemah, produksi energi turun. Penurunan energi tersebut menstimulasi
lapar, dan seseorang makan dengan jumlah lebih banyak (poliphagi).
Walaupun pasien DM banyak makan, pasien mengalami penurunan berat
badan yang cepat akibat dehidrasi, lipolisis dan proteolisis (Black & Hawk,
2005; LeMone & Burke, 2008).
2.1.4 Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis DM perlu pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan kadar gula darah, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa yang diambil dari plasma darah vena ataupun kapiler
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
WHO. Berikut ini kriteria diagnostik untuk DM tipe 2, menurut ADA (2011
dalam Perkeni, 2011), yaitu :
a. Gejala klasik DM berupa : poliuri, polidipsi, polifagi, dan penurunan
BB ditambah dengan kadar gula darah plasma sewaktu ≥200mg/dl.
b. Gejala klasik DM di tambah kadar glukosa plasma puasa ≥126mg/dl
(darah vena), ≥ 100 (darah kapiler).
c. Kadar glukosa plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
≥200mg/dl.
Pemeriksaan diagnostik perlu diberikan tidak hanya pada mereka yang
mempunya tanda gejala DM saja, akan tetapi bagi yang mempunyai risiko
DM juga perlu dilakukan, adapun orang-orang yang berisiko DM antara lain
: 1) usia ≥ 45 tahun; 2) Usia lebih muda dengan Indeks masa badan (IMT) >
23 kg/m2 di sertai faktor risiko : a) kebiasaan tidak aktif beraktivitas fisik;
b), turunan pertama dari orang tua DM; c) riwayat melahirkan bayi dengan
BB lahir bayi > 4.000 gram atau riwayat DM gestasional; d) hipertensi (>
atau = 140/90 mmHg), e) Kolesterol HDL < atau = 35 mg/dL dan trigliserida
(TG) > atau = 250 mg/dL, f) Menderita polikistik ovarial sindrom (PCOS)
atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin, g) Adanya
riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau gula darah puasa
terganggu (TGPT) sebelumnya, h) memiliki riwayat penyakit kardiovaskular.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
12
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien DM terbagi menjadi 2 yaitu : komplikasi akut
dan komplikasi kronik (Black & Hawk, 2005; Ignatavicius & Workman, 2006;
LeMone & Burke, 2008; Soegondo, Soewondo & Subekti, 2007 & Maulana, 2008):
2.1.5.1 Komplikasi akut
Ada tiga komplikasi akut pada pasien DM, yang terjadi berhubungan dengan
gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek, antara lain :
1) Hipoglikemi
Hipoglikemi merupakan komplikasi akut yang sering terjadi pada pasien DM
tipe 2 yang mendapatkan terapi obat hipoglikemik oral (OHO) biasanya adalah
dari golongan sulfonil urea dengan intake kurang. Pengertian hipoglikemia
adalah kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dl, hal ini disebabkan oleh
aktifitas fisik yang berlebihan, sesudah melahirkan, sembuh dari sakit, intake
kalori yang kurang dari aturan yang telah ditentukan, minum alkohol dan minum
obat
yang
mempunyai
efek
menurunkan
kadar
gula
darah
(misal:
chlorampenicol, probenecid, salicylates dan sulfanamides) (Boedisantoso dalam
Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011).
2) Ketoasidosis Diabetik(KAD)
KAD merupakan merupakan komplikasi akut dan kondisi kegawatan metabolik
endokrin yang sering juga di jumpai. KAD adalah suatu kondisi terkumpulnya
badan keton di dalam darah (ketosis) dan dieksresi melalui urin (ketonuria)
akibat peningkatan metabolisme lemak untuk memenuhi kebutuhan energi akibat
ketidakcukupan glukosa di dalam sel, kondisi ini diakibatkan oleh kekurangan
insulin berat, infeksi, tidak mematuhi aturan makan yang telah di tentukan
(intake kalori terlalu banyak) dan stres.
3) Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
HHNK yaitu sindrom hiperglikemia berat (600-2000 mg/dl), hiperosmolar dan
penurunan kesadaran. Hiperglikemi menyebabkan diuresis osmotik sehingga
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
13
terjadi dehidrasi dan gangguan elektrolit. Pada HHNK tidak terjadi ketosis dan
asidosis metabolik seperti yang terjadi pada KAD, karena jumlah insulin pada
HHNK masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak mencukupi untuk
mencegah hiperglikemi.
2.1.5.2 Komplikasi kronik
Komplikasi kronis terdiri dari komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan
neuropati
1) Komplikasi makrovaskuler
Komplikasi makrovaskuler yang paling sering terjadi adalah: penyakit
arteri koroner, penyakit cerebrovaskuler, hipertensi dan penyakit vaskuler
perifer Smeltzer, et al (2008).
a) Penyakit arteri koroner / Coronary arteri disease (CAD).
CAD menjadi faktor risiko utama berkembang menjadi myocard infark
(MI) pada
pasien DM tipe 2. CAD merupakan penyebab kematian
terbesar pada pasien DM (NIH, 2004 dalam LeMone & Burke, 2008).
b) Penyakit Cerebrovaskuler/Stroke
Pasien DM tipe 2 usia dewasa tua, mempunyai risiko stroke 2-6 kali.
Aterosklerosis pada pembuluh darah serebral berkembang pada usia muda
dan menjadi lebih meningkat pada pasien DM (Porth, 2005 dalam LeMone
& Burke, 2008).
c) Hipertensi
Hipertensi yaitu TD ≥ 140/90 mmHg komplikasi yang bisaanya muncul
pada DM. Hipertensi terdapat 20% - 40% dari semua orang DM, dan faktor
risiko terbesar dari penyakit kardiovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler
seperti retinopati dan nefropati.
d) Penyakit vaskuler perifer
Penyakit pembuluh darah perifer diekstremitas bawah, sering terjadi pada
pasien DM. Penurunan sirkulasi vaskuler perifer berkembang menjadi
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
14
insufisiensi vaskuler perifer dengan klaudikasio intermiten pada tungkai
bawah dan ulserasi pada kaki. Oklusi dan thrombosis pembuluh darah
besar dan arteri kecil dan arteriol, mengarah menjadi ganggren (nekrosis,
atau kematian jaringan). Ganggren DM dapat merupakan penyebab
amputasi nontrauma pada tungkai bawah.
Iskemik menjadi salah satu penyebab ulkus diabetik, iskemik merupakan
suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan darah dalam
jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. kondisi ini disebabkan
adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi
jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi
pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin
dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga
timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai (William,
2003).
Menurut Levin (2001) menyebutkan bahwa ulkus kaki diabetik disebabkan
oleh 3 faktor yaitu: penyakit vaskular perifer/ penyakit arteri perifer,
neuropati otonom dan neuropati perifer. Penyakit vaskular perifer
menyebabkan aterosklerosis dan emboli kolesterol, sehingga menyebabkan
suplay oksigen dan darah balik terhambat, hal ini yang mengakibatkan
kerusakan jaringan terutama di ekstremitas bawah. Neuropati otonom
menurunkan respon pada vascular dan menurunkan suplay oksigen dan
nutrisi sehingga terjadi gangguan proses penyembuhan luka. Neuropati
otonom juga mengakibatkan kulit kering bersisik dan pecah-pecah
sehingga akan mengakibatkan perlukaan. Autosimpatektomi akibat
neuropati otonom meningkatkan reabsorbsi tulang yang dampaknya
membuat keterbatasan gerak sendi dan deformitas kaki. Kelainan bentuk
kaki (kaki charcot’s) kondisi ini menyebabkan titik tekan baru pada daerah
plantar, memunculkan calus dan menimbulkan ulkus. Neuropati perifer
menurunkan kemampuan sensorik dan motorik ekstremitas bawah,
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
15
sehingga terjadi penurunan sensasi terhadap suhu, nyeri dan mekanik yang
membuat pasien tidak menyadari adanya cedera atau trauma.
2) Komplikasi Mikrovaskuler.
Perubahan mikrovaskuler merupakan kelainan struktur dalam membran
pembuluh darah kecil dan kapiler. Kelainan pada pembuluh darah ini
menyebabkan dinding pembuluh darah menebal, dan mengakibatkan penurunan
perfusi jaringan. Komplikasi mikrovaskuler antara lain (Sudoyo, et al. 2006) :
a) Retinopati diabetik
Adanya kerusakan dari pembuluh darah kapiler retina dapat menyebabkan
timbulnya retinopati (Pandelaki dalam Sudoyo, et al. 2006). Retinopati diabetik
merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa antara
20 – 74 tahun. Pasien DM memilki risiko 25 kali lebih mudah mengalami
kebutaan dibanding nondiabetes. Pada diabetes tipe 2 ketika didiagnosis diabetes
ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik nonploriferatif.
Setelah 20 tahun, prevalensi meningkat menjadi lebih dari 60%.
b) Nefropati diabetik
Nefropati diabetikum ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam)
pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 - 6 bulan
(Hendromartono dalam Sudoyo, et al, 2006), kondisi ini diakibatkan oleh
perubahan patologi pada ginjal yang menurunkan fungsi ginjal dan
meningkatkan kegagalan ginjal (Ignatavicius & Workman, 2006). Nefropati
diabetik terjadi pada 20% - 30% pada DM tipe 1 setelah 20 tahun dan pada DM
tipe 2 terdapat kurang dari 20% (Skyler, 2001 dalam Ignatavicius & Workman,
2006).
c) Neuropati diabetik
Neuropati diabetik merupakan sindroma penyakit yang mempengaruhi semua
jenis saraf, yaitu saraf perifer, otonom dan spinal (Sudoyo, et al. 2006).
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
16
Neuropati disebabkan oleh penebalan dari dinding pembuluh darah yang
menyuplai saraf, menyebabkan penurunan nutrisi,
demielinisasi pada sel
Schawnn dan pembentukan dan akumulasi sorbitol di dalam sel Schawnn, terjadi
gangguan konduksi. Manifestasi neuropati perifer yang muncul pada awal
adalah paresthesia bagian distal (perasaan subyektif sensasi seperti numbness
dan tingling) nyeri seperti terbakar atau tertusuk dan perasaan kaki dingin pada
jari kaki dan kaki, jari tangan dan tangan, Kondisi ini yang sering menyebabkan
terjadinya ulkus kaki diabetik.
Neuropati otonom merupakan kerusakan fungsi saraf otonom, meliputi:
(1)Disfungsi kelenjar keringat, ditandai dengan berkurangnya produksi keringat
pada tangan dan kaki sehingga menyebabkan kulit kaki kering dan bersisik.(2)
Disfungsi kardiovaskuler, sehingga membatasi kapasitas latihan perorangan dan
meningkatkan risiko cardiovasculer event selama latihan yang ditandai dengan
tachycardia saat istirahat (>100x/mnt), orthostasis (penurunan tekanan darah
sistolik > 20 mmHg) tanpa diikuti respon denyut jantung yang sesuai, sapai
dengan kemungkinan serangan kematian tiba-tiba dan silent myocardial
ischemia. (3) Disfungsi gastrointestinal, neuropati otonom gastrointestinal
menyebabkan perubahan motilitas saluran cerna bagian atas (gastroparesis)
ditandai dengan disfagia, anoreksia, nyeri di epigastrium seperti terbakar, mual
dan muntah. (4)Disfungsi genitourinaria. Neuropati otonom mengakibatkan
penurunan fungsi kandung kemih, yaitu berupa ketidakmampuan mengosongkan
kandung kemih dengan komplet, penurunan atau hilangnya sensasi penuhnya
kandung kencing sehingga menyebabkan retensi dan inkotinensia urin, selain itu
dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kencing. Neuropati otonom
mengakibatkan disfungsi seksual pada laki-laki berupa gangguan ejakulasi dan
impoten, sedangkan pada wanita terjadi perubahan lubrikasi vagina dan
gangguan orgasme (LeMone & Burke, 2008).
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
17
2.1.6 Pengelolaan
Dalam mengelola DM tujuan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang DM, sedangkan tujuan khusunya terdapat 2 tujuan, yaitu tujuan jangka
pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendeknya adalah menghilangkan
keluhan atau gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat serta mencapai
target pengendalian glukosa darah. Tujuan jangka panjangnya lebih jauh lagi, yaitu
mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan
tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortalitas DM (Soegondo, Soewondo &
Subekti, 2011; Perkeni, 2011). Terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan
DM: perencanaan makan latihan jasmani, pemantauan gula darah, terapi obat yang
berkhasiat hipoglikemik atau insulin (jika diperlukan) dan pendidikan kesehatan atau
penyuluhan (Smeltzer et al, 2008; Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011).
Di Indonesia pengelolaan dan pengendalian DM berdasarkan konsensus Perkeni
yang telah direvisi tahun 2011 yaitu terdapat 4 pilar utama pengelolaan DM, antara
lain :
a. Edukasi
Penyuluhan untuk rencana pengelolaah sangat penting untuk mendapatkan hasil
yang maksimal. Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai
pengetahuan dan keterampilan bagi pasien diabetes yang bertujuan menunjang
perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, dan
penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang lebih baik. Edukasi
merupakan bagian integral dari asuhan perawatan pasien diabetes (Soegondo,
Soewondo & Subekti, 2011). Pada DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya
hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang
diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim
kesehatan mendampingi pasien menujua perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku sehat, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan
upaya meningkatkan motivasi (Perkeni, 2011). Upaya tesebut dilakukan supaya
penyandang DM mampu adaptasi dengan perubahan yang ada pada dirinya, hal ini
sesuai dengan teori adaptasi Calissta Roy, bahwa manusia adalah mahluk yang
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
18
adaptif yang holistik dalam interaksi dengan lingkungan dan terhadap perubahan
yang ada dalam diriya.
b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian dari penatalaksanaan DM secara total. Kunci keberhasilan
TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,
perawat, pasien dan keluarga). Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM
hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pada penyandang DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan terutama pada mereka yang menggunakan
Obat Hipoglikemik Oral (OHO) atau insulin (Perkeni, 2011). Menurut Soegondo,
Soewondo & Subekti (2011) perencanaan makan bertujuan membantu pasien DM
memperbaiki kebisaaan gizi. Dalam penatalaksanaan TNM yang harus di per hatikan
antara lain :
1) Komposisi makanan yang dianjurkan
Komposisi makanan seimbang sangat dianjurkan dalam perencanaan makanan
pasien DM. Perkeni (2011) menyarankan adanya keseimbangan sumber
karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai
berikut: karbohidrat 45 – 65%, protein 10 – 20 %, lemak 20 – 25%. Komposisi
makanar lain yang perlu di perhatikan adalah asupan natrium dan serat. Anjuran
asupan natrium untuk penyandang DM tidak boleh lebih dari 6-7 gram (1 sendok
teh) garam dapur, jika hipertensi pembatasan natrium sampai 2400 mg. Anjuran
konsumsi serat adalah ± 25 gr/hari.
2) Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang DM, diantaranya adalah dengan penghitungan Berat badan Ideal
(BBI) dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Penghitungan Body mass index (BMI) =
indeks massa tubuh. (IMT). Rumus IMT adalah BB(kg)/{TB(m)}2. Klasfikasi
status gizi pasien sebagai berikut: IMT < 18,5 termasuk BB kurang, IMT 18,5 –
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
19
22,9 termasuk BB normal, IMT > 23,0 termasuk BB lebih. Untuk kepentingan
klinis praktis, dan untuk penentuan jumlah kalori yang digunakan rumus Broca,
yaitu: BBI =90%x (TB dalam cm-100)x 1k g. Sedangkan bagi pria dengan tinggi
badan dibawah 160cm dengan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi
menjadi (TB dalam cm -100)x 1 kg. Bila BB < BBI- 10 % termasuk kurus; BB
normal yaitu BBI ± 10%, BB gemuk bila > BBI + 10%. Kebutuhan kalori
kemudian disesuaikan dengan jenis kelamin, umur, aktivitas fisik atau pekerjaan,
dan BB (Perkeni, 2011). Untuk penghitungan kebutuhan kalori, dapat dilihat
pada Tabel 2.1 berikut ini
Tabel 2.1 Penentuan kebutuhan kalori
Faktor koreksi
Jenis Kelamin
Koreksi / Penyesuaian :
Pria: BBI (kg) X 30 kalori/kg
Wanita: BBI (kg)X 25kalori/kg
40 -59 tahun : - 5%
60-69 tahun :- 10%
>70 tahun
: -20%
Istirahat (duduk-duduk, nonton tv)
: + 10%
ringan (kerja kantor, IRT, guru, dll)
: + 20%
sedang ( mahasiswa, pegawai industri) : +30%
Berat (petani,buruh, atlit, penari
: +40 %
Sangat berat (tukang becak,tukang gali) : + 50%
Umur
Aktivitas
Berat Badan
Gemuk
: - 20 -30%
kurus
: + 20 -30%
Komplikasi
infeksi, trauma, operasi yang menyebabkan tiap kenaikan suhu 1 0 C : + 13
%
Kehamilan/
Hamil trimester I
= + 150 kalori
laktasi
Hamil trimester II& III
= + 350 kalori
Hamil trimester laktasi
= + 550 kalori
Sumber : Soegondo, Soewondo & Subekti (2011); Perkeni, (2011);
3) Pilihan makanan
Pilihan makan penyandang DM, untuk sumber karbohidrat di konsumsi 3-7
porsi/penukar sehari (tergantung dari status gizi). Sumber vitamin dan mineral :
sayuran 2-3 porsi/penukar, buah 2-4 porsi/penukar sehari. Sumber Protein: lauk
hewani 3 porsi/penukar, lauk nabati 2-3 porsi/penukar sehari. Batasi konsumsi gula,
lemak/ minyak dan garam. Perkembangan terkini, pemilihan makan pasien DM
berdasarkan Glikemik Index dan modifikasi karbohidrat. Pilih makanan dengan
indeks glikemik rendah. Indeks glikemik adalah respon glukosa darah tubuh terhap
makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
20
c. Latihan jasmani
Latihan jasmani sangat penting dalam penatalaksanaan DM karena efeknya dapat
menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskuler.
Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan
glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Latihan jasmani dianjurkan
dilakukan secara teratur (3 – 4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit,
sifatnya continuous, rhytmical, interval, progressive, endurance training (CRIPE).
Jenisnya aerobik seperti berjalan kaki, bersepeda santai, senam,dan berenang.
Latihan jasmani disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani, sedapat
mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur)
(Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2011; Perkeni, 2011).
d. Obat yang berkhasiat hipoglikemik
Pengelolaan farmakologis DM berupa : obat hipoglikemik oral (OHO) dan insulin.
Intervensi farmakologis dilakukan apabila sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan perencanaan makan dan latihan jasmani. Berdasarkan cara kerjanya OHO
dibagi menjadi 5 golongan: pertama sebagai pemicu sekresi insulin (insulin
secretagogue), kedua sebagai penambah sensitivitas terhadap insulin, ketiga bekerja
sebagai penghambat glukoneogenesis, keempat sebagai penghambat absorbsi
glukosa dan DP IV inhibitor (Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2011; Perkeni,
2011). Secara keseluruhan sebanyak 20 – 25% pasien DM tipe 2 kemudian akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Berdasarkan
lama kerja insulin dibagi menjadi 5: insulin kerja cepat, insulin kerja pendek, insulin
kerja menengah, insulin kerja panjang dan insulin campuran kerja pendek dan
menengah.
2.2 Teori Adaptasi Roy
Berdasarkan filosofi teori adaptasi Roy menyatakan bahwa manusia selalu
dihadapkan berbagai persoalan yang kompleks, sehingga dituntut untuk melakukan
adaptasi dalam memenuhi kebutuhannya, untuk mampu dengan beradaptasi
lingkungan, manusia dengan berespon dengan melakukan peran dan fungsi secara
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
21
optimal untuk memelihara integritas diri dari keadaan rentang sehat sakit dari
keadaan lingkungan sekitarnya. Roy menegaskan bahwa manusia merupakan sistem
adaptif yang holistik dalam berinteraksi dengan lingkungan, berikut ada 4 aspek
penting dalam teori adapatasi Roy, antara lain :
2.2.1
Person (manusia)
Dalam paradigma Roy, manusia dipandang sebagai sistem yang adaptif, dimana
adaptasi merupakan proses dan hasil dari pikiran dan perasaan seseorang. Sistem
adaptif memiliki input berupa stimulus dan level adaptasi dan output berupa respon
perilaku sebagai umpan balik, dan kontrol proses sebagai mekanisme koping (Roy &
Andrew,1999). Stimulus merupakan faktor lingkungan internal maupun eksternal
yang menimbulkan atau membangkitkan respon yang terbagi menjadi 3:
1)Stimulus fokal adalah stimulus (internal, eksternal) yang paling segera dikenali
dalam sistem manusia, langsung beradaptasi dengan kesadaran dan akan mempunyai
pengaruh kuat terhadap seorang individu; 2)Stimulus kontekstual merupakan faktor
internal dan eksternal yang mempengaruhi bagaimana seseorang menghadapi atau
berespon terhadap stimulus fokal baik secara positif atau negatif; 3)Stimulus
residual merupakan faktor lingkungan yang efeknya belum jelas terhadap situasi
yang dihasilkan (Tomey & Alligod, 2006). Dari stimulus menghasilkan respon
berupa perilaku, Roy mengidentifikasi terdapat 4 mode adaptif perilaku tersebut,
antara lain :
a) Physiological function mode
Berhubungan dengan proses fisik dan kimia dalam fungsi dan aktifitas kehidupan
organisme. Merupakan respon fisik terhadap stimulus dari lingkungan. kebutuhan
dasar yang teridentifikasi dalam physiological function berhubungan dengan
kebutuhan dasar integritas fisik antara lain : oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktifitas
dan istirahat, proteksi, indera, cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa, fungsi
neurologi dan fungsi endokrin (Roy & Andrew, 1999).
b) Self-concept mode
Fokus dari mode ini adalah psikologis dan aspek spiritual dari seseorang. Selfconcept merupakan gabungan dari keyakinan pada diri sendiri pada satu waktu,
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
22
terbentuk dari persepsi diri dan persepsi dari orang lain. Terdiri dari : (1) the
physical self, yang melibatkan sensasi dan gambaran diri, (2) the personal self, yang
terdiri dari self-consistency, self-ideal atau expentancy, dan the moral-ethicalspiritual self.
c) Role function mode
The role function mode merupakan pola interaksi seseorang dalam berhubungan
dengan orang lain yang direfleksikan sebagai peran primer, sekunder, dan tersier.
Peran primer merupakan sebagian besar perilaku seseorang dan didefinisikan
sebagai jenis kelamin, umur, dan tahap perkembangan. Peran sekunder merupakan
asumsi seseorang tentang tugas yang berhubungan dengan tahap perkembangan dan
peran primer. Peran tersier berhubungan peran primer menuju peran sekunder dan
menghadirkan cara seseorang menemukan peran berhubungan dengan kewajiban
yang bersifat sementara.
d) Interdependence
Hubungan saling ketergantungan meliputi kesediaan dan kemampuan untuk
memberi dan menerima di antara mereka, antara lain cinta, kasih sayang,
menghormati, memelihara, pengetahuan, ketrampilan, komitmen, waktu dan
kemampuan.
2.2.2
Environment (Lingkungan)
Lingkungan merupakan semua kondisi, keadaan yang mempengaruhi perkembangan
dan perilaku dari seseorang atau kelompok. Lingkungan merupakan input kepada
seseorang sebagai sistem adaptif meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
tersebut bisa sedikit atau besar, negatif atau positif.
2.2.3. Health (kesehatan)
Kesehatan merupakan suatu keadaan yang menjadikan seseorang utuh dan
terintegrasi. Integritas seseorang ditunjukkan sebagai kemampuan mencapai tujuan
kelangsungan hidup,
tumbuh, reproduksi dan kekuasaan. Tujuan praktik
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
23
keperawatan menurut mode Roy adalah meningkatkan kesehatan seseorang dengan
meningkatkan respon adaptif.
2.2.4 Nursing (keperawatan)
Berdasarkan teori adaptasi Roy , tujuan keperawatan adalah meningkatkan adaptasi
dari setiap 4 mode, dengan meningkatkan respon adaptif dan menurunkan respon
inefektif, yang berkontribusi terhadap kesehatan seseorang dan kualitas hidup.
Menurut Roy proses keperawatan merupakan pendekatan pemecahan masalah dari
mengumpulkan data, identifikasi kebutuhan seseorang, seleksi dan implementasi
pelayanan keperawatan dan evaluasi dari tujuan keperawatan yang diberikan. The
Roy Adaptation Mode(RAM) memberikan acuan kepada perawat dalam melakukan
proses keperawatan. Terdapat 6 langkah dalam proses keperawatan menurut Roy
meliputi (Roy & Andrew, 1999) : 1) pengkajian perilaku dan stimulus; 2) Diagnosa
keperawatan; 3) tujuan keperawatan;4) intervensi keperawatan; 5) evaluasi
keperawatan.
2.3 Penerapan Roy’s Mode Adaptation pada asuhan keperawatan pasien DM
2.3.1 Pengkajian perilaku dan stimulus
Langkah-langkah dalam pengkajian perilaku meliputi : pengumpulan data perilaku
keadaan adaptif dan inefektif manusia yang sekarang. Pengkajian perilaku dengan
cara anamnesa dan observasi. Pengkajian perilaku dengan cara anamnesa, misalnya :
keluhan utama, riwayat kesehatan dan sebagainya. Pengkajian perilaku dengan cara
observasi melalui inspeksi, auskultasi dan pengukuran.
Setelah mengkaji perilaku, perawat juga perlu mengkaji stimulus internal dan
eksternal yang mempengaruhi perilaku klien. Stimuli yang mempengaruhi perilaku
meliputi focal, contekstual dan residual. Pengkajian stimuli tersebut adalah :
stimulus yang mempengaruhi adaptasi, antara lain : budaya (status sosial ekonomi,
etnis dan keyakinan), keluarga (struktur dan tugas-tugas), tahap perkembangan (usia,
jenis kelamin, tugas, keturunan, genetik), mode integritas adaptif (fisiologis, konsep
diri, fungsi peran dan mode interdependen), efektifitas kognator (persepsi,
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
24
pengetahuan dan ketrampilan), pertimbangan lingkungan (perubahan lingkungan
internal dan eksternal, pengobatan, penggunaan obat, alkohol, tembakau, stabilitas
politik dan ekonomi) (Roy & Andrew,1999). Pengkajian perilaku pada pasien DM
dilakukan pada seluruh mode adaptasi meliputi fisiologi, konsep diri, fungsi peran
dan saling ketergantungan. Pada mode fisiologi, beberapa perilaku inefektif dapat
ditemukan pada pasien DM, berikut ini
pengkajian perilaku dan pengkajian
stimulus, antara lain :
a. Mode fisiologi
Pengkajian mode fisiologi meliputi :
1) Oksigenasi
Kebutuhan oksigenasi merupakan kebutuhan tubuh akan oksigen dan proses
dasar kehidupan meliputi ventilasi, pertukaran gas dan transportasi gas (Vairo,
1984 dalam Roy& Andrew,1991). Jika proses berfungsi efektif dan oksigen
lingkungan tercukupi, maka oksigenasi jaringan tubuh terpenuhi. Pada pasien
dengan kasus DM pengkajian perilaku mode fisiologis oksigenasi meliputi
respirasi rate, suara nafas, dispnea, batuk, analisa gas darah.
Pengkajian
perilaku fungsi sirkulasi meliputi nadi, tekanan darah, suara jantung, kulit,
membran mukosa, Capilary Refile Time (CRT). Pengkajian stimulusnya berupa
keutuhan struktur organ pernafasan, berupa bersihan jalan nafas, kondisi
muskuloskeletal tulang dada, fungsi kontrol syaraf pusat, infeksi paru (TB paru,
pneumonia, bronkitis kronis), fungsi pompa jantung (infark miocard, CHF),
penurunan curah jantung (dehidrasi, anemia).
2) Nutrisi
Nutrisi menyangkut makanan yang dimakan seseorang dan bagaimana tubuh
menggunakan (Williams,1995 dalam Roy & Andrew, 1999). Nutrisi merupakan
suatu proses dimana seseorang mengambil nutrient dan mengasimilasi dan
menggunakan untuk mempertahankan jaringan tubuh, mendukung pertumbuhan
dan menyediakan energi. Pada kebutuhan nutrisi terdapat 2 proses yang
diidentifikasi yaitu digestif dan metabolisme. Pengkajian perilaku mode
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
25
fisiologi nutrisi pada kasus DM meliputi : proses pencernaan (perubahan pola
makan/poliphagi, alergi terhadap makanan, nyeri uluhati), proses metabolisme
(tinggi badan berat badan, nafsu makan dan rasa haus/polidipsi, profil nutrisi,
hasil laboratorium: gula darah sewaktu, gula darah puasa, albumin, hemoglobin,
profil lemak). Pengkajian stimulus yang perlu dikaji dalam masalah nutrisi
antara lain kondisi psikolois kecemasan akibat proses penyakit yang dialami
pasien, mengakibatkan penurunan motivasi untuk makan sehingga dapat
menyebabkan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan. Faktor lain adalah
makanan kesenangan pasien yang tidak sesuai dengan makanan yang disajikan
selama dalam perawatan, ketidaktahuan pasien tentang terapi nutrisi yang
diberikan. Lingkungan yang kurang nyaman memungkinkan menyebabkan
penurunan nafsu makan.
3) Eliminasi
Eliminasi terbagi menjadi 2, yaitu : eliminasi intestinal dan eliminasi urine.
Eliminasi intestinal merupakan keluarnya substansi yang tidak terdigestif
melalui anus dalam bentuk feses. Sedangkan eliminasi urine merupakan
eliminasi cairan sisa metabolisme dan kelebihan ion hasil proses penyaringan
dari ginjal. Pengkajian eliminasi intestinal pada pasien DM meliputi:
karakterstik feses (jumlah, warna, konsistensi, frekuansi, bau dan kemampuan),
peristaltik usus, nyeri atau ketidaknyamanan dan pemeriksaan laboratorium.
Pengkajian eliminasi urine pasien DM meliputi : jumlah dan karakteristik urin
(poliuria), pola berkemih (retensi urine, inkontinensia urin), nyeri berkemih,
dan pemeriksaan urinalisis. Pada pasien DM mengalami perubahan pola
berkemih dimana terjadi poliuri atau sering kencing karena diuresis osmotik.
Pada pasien DM yang mengalami komplikasi nefropathi yang jatuh dalam
kondisi chronic renal failure (CRF) muncul gejala penurunan produksi urine
karena menurun kemampuan ginjal dalam proses filtrasi. Pengkajian stimulus
difokuskan pada hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perilaku yang
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
26
maladaptif, misal : hiperglikemia, penggunaan obat, faktor lingkungan yang
kurang nyaman.
4) Aktifitas dan istirahat
Aktifitas merupakan gerak tubuh dalam melakukan pekerjaan sehari-hari dan
proteksi diri. Istirahat merupakan perubahan aktifitas yang memerlukan energi
minimal, selama istirahat energi dikembalikan. Pengkajian perilaku pada
aktifitas/mobilitas pada pasien DM antara lain, aktifitas fisik, fungsi motorik,
pengkajian fungsi gerak, massa dan tonus otot, kekuatan otot, mobilitas sendi,
postur dan gaya berjalan. Sedangkan pengkajian stimulus pada mobilitas antara
lain, kondisi fisik (injuri otot atau tulang, penyakit sistem saraf pusat), kondisi
psikologis, lingkungan sekitar, kebiasaan perorangan.
Pengkajian perilaku pada kebutuhan istirahat atau tidur antara lain, kuantitas
dan kualitas istirahat sehari-hari, pola tidur, tanda gangguan tidur. Sedangkan
pengkajian stimulus kebutuhan istirahat atau tidur antara lain, faktor
lingkungan, tahap perkembangan, kondisi psikologis, lingkungan ruangan
rumah sakit, penggunaan obat dan alkohol.
5) Proteksi
Kebutuhan fisiologi terhadap proteksi meliputi 2 proses dasar kehidupan, yaitu :
proses pertahanan nonspesifik dan proses pertahanan spesifik. Proses
pertahanan nonspesifik berhubungan dengan 2 kategori mekanisme proteksi
meliputi barier membrane permukaan yang melibatkan kulit dan membrane
mukosa, pertahanan kimia dan sel, fagositosis, respon inflamasi, antimikrobial,
dan panas. Proses pertahanan spesifik tubuh adalah sistem imun. Menurut
Marieb (1994, dalam Roy & Andrew, 1999), sistem imun merupakan sistem
fungsional yang mengenali adanya molekul asing (antigen) dan bertindak untuk
menonaktifkan atau menghancurkan. Pengkajian proteksi pada pasien DM
antara lain kulit, rambut, kuku, membran mukosa, kemampuan diri untuk
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
27
perbaikan infeksi, suhu tubuh, respon inflamasi, sensitifitas terhadap nyeri dan
suhu, dan pemeriksaan laboratorium (bakteri, leukosit).
Pasien DM muncul perilaku maladaptif ditandai adanya perubahan kulit,
dengan adanya neuropati otonom dan sensori, kondisi tersebut meningkatkan
risiko terjadinya ulkus kaki diabetik (Perkeni, 2011). Pengkajian stimulus
difokuskan pada hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perilaku yang
maladaptif meliputi adanya ulkus kaki diabetik, anemia, usia lanjut, dan
lingkungan.
6) Indera
Indra merupakan proses dimana energi seperti cahaya, suara, panas, getaran
kimia dan tekanan, ke dalam aktifitas saraf dan menimbulkan persepsi.
Pengkajian indra pada pasien DM meliputi: pengkajian ketajaman mata, fungsi
pendengaran, fungsi perasa (sentuhan, tekanan, kinestetik, suhu dan nyeri).
Pengkajian stimulus difokuskan pada hal-hal yang mempengaruhi terjadinya
perilaku yang maladaptif, meliputi: neuropati sensori, neuropati otonom,
riwayat DM yang tidak terkontrol, dan usia lanjut.
7) Cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa
Adaptasi cairan, elektrolit dan keseimbangan asam basa merupakan proses
homeostasis. Menurut Marieb (1994 dalam Roy & Andrew, 1999) homeostasis
sebagai mempertahankan
kestabilan lingkungan internal dalam
tubuh.
Pengkajian perilaku cairan dan elektrolit pada pasien DM meliputi keluhan
mual, muntah,keluhan haus, poliuria, polidipsi, perdarahan, oedema, urine
output, membrane mukosa, turgor kulit, suhu kulit, kesemutan, penurunan
kesadaran, disorientasi, TTV, dan pemeriksaan laboratorium (hemoglobin,
hematkorit, elektrolit). Pengkajian stimulus difokuskan pada hal-hal yang
mempengaruhi terjadinya perilaku yang maladaptif, meliputi tingginya kadar
gula darah, penurunan fungsi ginjal.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
28
8) Fungsi neurologis
Pengkajian perilaku fungsi nurologis pada pasien DM antara lain tingkat
kesadaran (menggunakan GCS/Glasgow Coma Scale), respon motorik, respon
terhadap nyeri, orientasi dan tingkat kesadaran. Pasien DM dengan komplikasi
makrovaskuler yang menyebabkan gangguan sirkulasi serebro vaskuler, pasien
bisa mengalami stroke. Pengkajian stimulus meliputi patofisiologi, kadar
hemoglobin dan analisa gas darah, status nutrisi, aktifitas dan istirahat, stres,
pengetahuan, lingkungan fisik, dan pengobatan.
9) Fungsi endokrin
Sistem endokrin terdiri dari pituitary, thyroid, parathyroid, adrenal, pineal,
thymus, pancreas, gonad dan hypothalamus. Pengkajian perilaku fungsi
endokrin pada pasien DM meliputi: pemeriksaan kadar gula darah sewaktu,
kadar gula darah puasa, Pemeriksaan HbA1c atau A1C merupakan pemeriksaan
darah yang mengambarkan rata-rata kadar gula darah pada jangka waktu
tertentu kurang lebih sekitar 2-3 bulan. Pengkajian stimulus berkaitan dengan
fungsi endokrin antara lain terkait disfungsi kelenjar yang disebabkan oleh
trauma, penyakit, keganasan serta kondisi lingkungan (Roy & Andrews, 1999).
b. Mode konsep diri
Pengkajian konsep diri pada pasien DM berdasarkan RAM, memiliki 2
komponen : the physical self (sensasi tubuh dan gambaran diri) dan the personal
self (konsistensi diri, ideal diri dan motal etik spiritual diri). DM merupakan
penyakit kronis yang memerlukan perawatan dan pengelolaan seumur hidup
untuk mencegah terjadinya komplikasi. Diperlukan kemampuan pasien untuk
beradaptasi dengan perubahan yang muncul akibat proses penyakit itu sendiri
ataupun karena pengelolaan yang harus dijalani oleh pasien. Pada pasien DM
sering muncul kecemasan akan prognosa penyakit, ketidakberdayaan akibat
perawatan yang harus dilakukan dalam waktu yang lama ataupun komplikasi
dari penyakit yang terjadi (Roy & Andrews, 1999).
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
29
c. Mode fungsi peran
Pengkajian fungsi peran dalam RAM pada pasien DM meliputi pengkajian
fungsi peran primer, sekunder dan tersier. Pasien DM yang mengalami
perubahan baik fisik akibat kelemahan yang dialami, disfungsi seksual,
perawatan di rumah sakit yang lama, komplikasi yang muncul seperti, retinopati,
ulkus sampai dengan dilakukan amputasi menyebabkan pasien tidak dapat
berperan dan beraktifitas seperti sebelumnya, seperti berperan sebagai kepala
rumah tangga dalam mencari nafkah, sebagai ibu rumah tangga yang merawat
anak, peran sebagai masayarakat dalam lingkungan sosialnya (Roy & Andrews,
1999).
d. Mode interdependen
Interdependen merupakan hubungan dekat seseorang, kepuasan akan kebutuhan
kasih sayang, berkembang, dan sumber untuk mencapai integritas relasi. Melalui
kasih sayang, perkembangan, dan sumber proses dimana orang tumbuh sebagai
seseorang dan berkontribusi sebagai anggota dalam kelompok sosial. Pada
pasien DM, menurut Trigwell (2001) dalam Fischer, (2005) depresi atau stres
emosional pada DM menyebabkan buruknya ketaa tan dalam perawatan mandiri
(diet, latihan fisik dan merokok) yang akan memungkinkan muncul klinis yang
buruk. Ketidakberdayaan, ketergantungan dengan orang lain sering muncul pada
pasien DM yang mengalami perubahan psikososial, merasa tidak mampu,
merasa lemah, merasa tidak berguna. Lebih banyak muncul pada pasien DM
yang telah mengalami komplikasi seperti nefropati diabetik, retinopati ataupun
amputasi pada ulkus diabetik.
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan dalam teori adaptasi Roy merupakan suatu pernyataan yang
diperoleh dari suatu perumusan interpretasi data terhadap status adaptasi seseorang
yang dihubungkan antara perilaku dengan beberapa stimulus yang berkaitan Dalam
merumuskan diagnosa keperawatan Roy menunjukkan 3 metode, yaitu: 1)
Menggunakan tipe yang berhubungan dengan 4 model adaptasi. 2) Menggunakan
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
30
diagnosa dengan mengobservasi respon dalam satu model berdasar stimuli yang
paling mempengaruhi. 3) Menggunakan respon dalam satu atau beberapa model
adaptif yang berhubungan stimulus yang sama (Roy & Andrew, 1999). Diagnosa
keperawatan pasien DM dengan pendekatan teori adaptasi Roy (Roy & Andrews,
1999) disesuaikan dengan diagnosa keperawatan yang disepakati Nanda 2009-2011
(Herdman, 2011). yaitu:
a) Mode fisiologi
1) Oksigenasi dan sirkulasi , diagnosa keperawatan yang muncul antara lain : a)
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, dispnea;nyeri b)
bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi sekret, infeksi c)
perfusi jaringan (perifer, renal, cardial) tidak efektif berhubungan dengan
diabetes mellitus,hiperlipidemia; d) penurunan curah jantung berhubungan
dengan perubahan kontraktilitas, perubahan preload.
2) Nutrisi, diagnosa keperawatan yang muncul antara lain: a) Perubahan Nutrisi
(kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh
dalam menggunakan glukosa, defisiensi insulin dan atau resistensi insulin,
asupan nutrisi tidak adekuat (mual, muntah, anoreksia); b) ketidakseimbangan
nutrisi: lebih dari kebutuhan berhubungan dengan intake berlebihan (poliphagia).
3) Eliminasi, diagnosa keperawatan yang muncul antara lain inhibisi arkus
refleks, neurogenik bladder : a) retensi urin; b)inkontinensia urin neurogenik
bladder
4) Aktivitas dan istirahat, diagnosa keperawatan yang muncul antara lain : a)
Keletihan berhubungan dengan, penurunan produksi energi, peningkatan
kebutuhan energi, perubahan kimia tubuh, kondisi fisik yang lemah, anemia; b)
Defisit perawatan diri (toileting/higeining) berhubungan dengan kelemahan,
keterbatasan
fisik,
penurunan
motivasi;
c)
intoleransi
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
aktivitas
31
5) Proteksi, diagnosa keperawatan yang muncul Infeksi, risiko sepsis
berhubungan dengan penurunan fungsi leukosit, penyembuhan yang lambat,
gangguan sirkulasi sekunder akibat hiperglikemia.
6) Indera, diagnosa keperawatan yang muncul antara lain: a) Risiko
cedera/trauma berhubungan dengan gangguan penglihatan, hypoglikemia,
hipokalemia,
penurunan
sensasi
taktil;
b)Perubahan
persepsi/sensori
(taktil/visual) berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin/elektrolit,
perubahan neurovaskuler perifer; c) nyeri (akut/kronis).
7) Cairan,elektrolit dan keseimbangan asam basa, diagnosa keperawatan yang
muncul antara lain :a) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
diuresis osmotik (akibat hiperglikemia), asupan cairan tidak adekuat; b) Risiko
kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan filtrasi glomerulus
akibat nefropati diabetik.
8) Fungsi neurologi, diagnosa keperawatan yang muncul: perfusi jaringan
cerebral tidak efektif berhubungan dengan diabetes mellitus, hiperlipidemia
9)Fungsi endokrin, diagnosa keperawatan yang muncul antara lain: a) risiko
ketidakstabilan kadar glukosa darah
b) Mode konsep diri
1)
The physical self (sensasi tubuh dan gambaran diri): a) Gangguan citra tubuh
berhubungan dengan ulkus, gangren diabetes, post amputasi; b) Disfungsi
seksual/perubahan pola seksual berhubungan dengan impotensi akibat neuropati,
gangguan genitourinaria (wanita), kurangnya pengetahuan.
2)
The personal self (konsistensi diri, ideal diri dan motal etik spiritual diri): a)
Kecemasan/ketakutan berhubungan dengan, ketidakmampuan merawat diabetes,
ancaman komplikasi diabetes; b) Ketidakberdayaan berhubungan dengan
penyakit kronis, program pengobatan yang dijalani, masa perawatan yang lama,
ketergantungan dengan orang lain.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
32
c) Mode Fungsi peran
Diagnosa keperawatan yang ditegakkan berupa 1)perubahan penampilan peran
berhubungan perubahan status kesehatan, 2)ketidakefektifan regimen terapeutik
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pengetahuan.
d) Mode Interdependensi
Diagnosa keperawatan yang muncul antara lain : 1) Koping individu tidak efektif
berhubungan dengan tidak adekuatnya dukungan sosial, krisis situasi, tidak
adekuatnya tingkat persepsi, tingginya derajat ancaman akibat penyakit; 2)
Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan aturan perawatan diri yang
kompleks, informasi atau pemahaman tidak adekuat atau tidak lengkap,
perubahan fungsi keluarga; 3) Hambatan interaksi sosial berhubungan
keterbatasan mobilitas fisik;
2.3.3 Tujuan keperawatan
Tujuan keperawatan merupakan menetapkan pernyataan tentang perilaku yang
diharapakan hasil dari pelayanan keperawatan. Pernyataan tujuan terdiri dari 3
kesatuan, yaitu : a) perilaku yang diobservasi, b) perubahan yang diharapkan, dan c)
kriteria waktu yang disusun untuk mencapai tujuan. Tujuan keperawatan pada pasien
DM adalah tercapainya perilaku adaptif pasien pada mode fisiologi, konsep diri,
fungsi
peran
dan
interdependensi
disesuaikan
dengan
Nursing
Outcome
Classification (NOC) (Wilkinson, 2007; Moorhead, Johnson & Maas, 2003).
2.3.4 Intervensi Keperawatan
Intervensi merupakan memilih pendekatan keperawatan untuk meningkatkan
adaptasi dengan merubah stimulus atau kekuatan proses adaptif. Untuk
meningkatkan adaptasi, perlu untuk mengatur stimulus yang mempengaruhi perilaku
dengan pertimbangan. Ini diperlukan untuk merubah stimulus fokal atau meluaskan
level adaptasi melalui manajemen stimulus lain, atau mendukung aktifitas kognator
dan regulator. Pengelolaan stimulus terdiri dari merubah, meningkatkan,
menurunkan, menghilangkan atau mempertahankan. Dalam memilih pendekatan,
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
33
perawatan mempertimbangkan alternatif yang mungkin dan kemudian memilih
pendekatan dengan kesempatan yang tinggi untuk mencapai tujuan (Roy & Andrew,
1999). Intervensi keperawatan pada pasien DM mengacu pada Nursing Intervension
Classification (NIC) (Wilkinson, 2007; McCloskey & Bulechek, 2004). adalah
sebagai berikut:
a) Mode fisiologi
1) Oksigenasi dan sirkulasi :
NIC pada masalah oksigenasi berupa: manajemen jalan nafas, monitoring
respiratori, terapi oksigen, pemberian obat, monitoring tanda vital, stabilisasi
jalan nafas, fisioterapi dada, batuk efektif, pengaturan posisi. NIC pada
masalah sirkulasi antara lain: manajemen asam basa, monitoring dan
manajemen cairan-elektrolit, perawatan kaki, regulasi hemodinamik,
manajemen
hipovolemik
dan
atau
hipervolemik,
interpretasi
data
laboratorium, manajemen ekstremitas bawah, manajemen neurologis,
manajemen sensasi perifer, monitoring tanda vital, terapi oksigen,
monitoring neurologi, monitoring respirasi, pemberian pengobatan.
2) Nutrisi :
NIC untuk masalah ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi antara lain :
monitoring nutrisi, manajemen nutisi, manajemen metabolik, konseling
nutrisi, konseling nutrisi, manajemen berat badan, terapi nutrisi, peningkatan
aktivitas.
3) Eliminasi
Diagnosa gangguan eliminasi urin, NIC nya antara lain : monitoring cairan,
manajemen cairan, kateterisasi urin ,manajemen eliminasi urin, terapi latihan
kontrol muskuler, terapi relaksasi sederhana, perawatan perineal.
4) Aktivitas dan istirahat :
NIC untuk masalah intoleransi aktivitas antara lain: manajemen energi,
monitor tanda-tanda vital,
manajemen nutrisi, manajemen pengobatan.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
34
memandikan,perawatan kaki,kuku,rambut,oral higiene,perawatan perineal,
manajemen energi, membantu perawatan diri, manajemen energi, terapi
aktivitas, manajemen nutrisi, manajemen nyeri, dukungan spiritual,
manajemen lingkungan.
5) Proteksi :
NIC untuk masalah risiko infeksi berupa : monitoring vital sign, kontrol
infeksi, manajemen infeksi, manajemen luka, manajemen metabolik,
manajemen nutrisi, pencegahan infeksi, manajemen lingkungan, perawatan
perineal, personal hygiene, manajmen pengobatan.
6) Indera :
NIC untuk masalah perubahan persepsi sensori antara lain : manajemen
lingkungan, manajemen energi, pencegahan jatuh/cedera, mencegah risiko
jatuh, terapi latihan (ambulasi, keseimbangan), dukungan emosional,
meningkatkan harga diri, perawatan mata,manajemen nutrisi,manajemen
tekanan, manajemen sensasi perifer, pengaturan posisi, manajemen
pengobatan, monitor tanda vital, manajemen nyeri, menurunkan cemas,
manajemen lingkungan, posisi, meningkatkan koping,terapi sentuhan,terapi
relaksasi, guided imagery sederhana, PMR (progressive Muscle Relaxation),
terapi musik, humor, pemijatan sederhana, pemberian analgetik.
7) Cairan, elektrolit dan keseimbangan asam basa:
NIC untuk masalah gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan
keseimbangan asam basa, antara lain: monitoring dan manajemen cairan,
monitoring dan manajemen elektrolit, monitoring vital sign, manajemen
hipovolemia, regulasi hemodinamik, manajemen nutrisi, manajemen nutrisi,
manajemen metabolik dan manajemen pengobatan.
8) Fungsi neurologi: perfusi jaringan cerebral tidak efektif, NICnya berupa
monitoring dan manajemen asam basa, monitoring dan manajemen cairan,
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
35
monitoring vital sign, terapi oksigen, regulasi hemodinamik, manajemen
hipovolemia, monitoring dan manajemen nutrisi, monitoring neurologi.
9) Fungsi endokrin : risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah, NIC nya
berupa:
monitoring
glukosa
darah,
manajemen
hiperglikemia
atau
hipoglikemia, edukasi, peningkatan kesadaran diri, konseling, dukungan
keluarga.
b) Mode konsep diri
NIC untuk diagnosa keperawatan dengan gangguan konsep diri meliputi:
manajemen kecemasan, peningkatan koping, konseling, distraksi, dukungan
kelompok, peningkatan harga diri
c) Mode Fungsi peran
NICnya berupa: dukungan pemberi perawatan, peningkatan peran, peningkatan
harga diri, peningkatan kesadaran diri, edukasi, peningkatan koping, konseling. 2)
ketidakefektifan regimen pengobatan: modifikasi perilaku, peningkatan koping,
konseling, dukungan emosional, dukungan keluarga, dukungan kelompok,
peningkatan harga diri, peningkatan kesadaran diri, memfasilitasi pembelajaran,
edukasi. Untuk mengatasi ketidakefektifan regimen pengobatan maka diberikan
edukasi, edukasi diabetes yang efektif tidak hanya sebatas pemberian
pengetahuan untuk mengubah kognitif akan tetapi edukasi harus bermuatan
motivasil dan perubahan perilaku dalam upaya membawa pasien menuju
perubahan. Salah satu pendekatan dalam edukasi DM dengan Self Efficacy
Enhancing Intervention Program (SEEIP), karena dengan efikasi diri yang
tinggi akan membuat pasien teguh dan yakin dalam mencapai tujuan, walaupun
dengan berbagai tantangan yang ada (Bandura, 1997).
d) Mode Interdependensi
Koping individu tidak efektif: NICnya berupa reduksi cemas, manajemen
perilaku, konseling, dukungan pengambilan keputusan, dukungan emosional,
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
36
peningkatan
harga
diri,
relaksasi,
peningkatan
koping,
memfasilitasi
pembelajaran. (McCloskey & Bulechek, 2004; Wilkinson, 2005)
2.3.5 Evaluasi keperawatan
Tahap terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi, meliputi pengkajian respon
perilaku dalam relasi untuk menentukan tujuan. Jika tujuan dicapai intervensi akan
efektif. Jika tujuan tidak tercapai perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut baik
pengkajian perilaku maupun pengkajian stimulus dan mempertimbangkan tujuan
dan intervensi. Pengkajian ulang dilakukan dengan tujuan mendapatkan perilaku
inefektif yang muncul dan stimulus baik fokal, kontekstual dan residual yang
menyebabkan tujuan belum tercapai sehingga bisa dirumuskan kembali intervensi
yang sesuai untuk merubah stimulus tersebut dan kembali dievaluasi setelah
intervensi keperawatan di berikan (Roy & Andrews, 1999). Dalam evaluasi terdapat
dua respon adaptasi yang dinyatakan Roy, berdasarkan tujuan yaitu:
1) Respon yang adaptif dimana terminologinya adalah manusia dapat mencapai
tujuan atau keseimbangan sistem tubuh manusia.
2) Respon yang tidak adaptif atau inefektif dimana manusia tidak dapat mengontrol
dari terminologi keseimbangan sistem tubuh manusia, atau tidak dapat mencapai
tujuan yang akan diraih.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN
SISTEM ENDOKRIN
Pada bab 3 ini, praktikan akan menggambarkan asuhan keperawatan pada 1 (satu) kasus
kelolaan utama, dan analisis asuhan keperawatan dari 33 (tiga puluh tiga) kasus kelolaan
lainnya pada pasien dengan gangguan sistem endokrin selama praktikan melakukan
praktek residensi. Adapun pendekatan teori yang digunakan pada semua kasus kelolaan
adalah pendekatan The Roy’s Adaptation Models.
3.1.Gambaran Kasus Kelolaan Utama
Ny. T, 49 tahun, pendidikan terakhir SD, suku Jawa, seorang ibu rumah tangga
dengan 4 orang anak, pekerjaan sehari-hari sebelum sakit sebagai penjual sayur.
Pasien selama ini tinggal bersama suami dan satu anak laki-laki bungsu yang masih
berusia 9 tahun. Pasien masuk rumah sakit tanggal 27 Pebruari 2012 melalui
Polikilinik penyakit dalam RSUP Fatmawati Jakarta, dengan keluhan utama terdapat
ulkus di kaki kanan, pasien berencana untuk operasi Split Thicknes Skine Graft
(STSG), atas anjuran dokter. 1 bulan sebelum masuk RS pasien pernah dirawat di
RSUP Fatmawati Jakarta selama 3 minggu dengan keluhan yang sama (ulkus di
tumit kanan, selulitis dipunggung dan pergelangan kaki kanan), saat dirawat pasien
dianjurkan operasi amputasi digiti V pedis dextra dan debridement. Pasien menolak
amputasi dan hanya bersedia debridement, 17 hari post operasi debridement pasien
pulang paksa karena alasan biaya. 1 bulan kemudian pasien masuk RS lagi kiriman
dari poliklinik bedah,untuk berencana operasi STSG di kruris kanan. Riwayat
terjadinya ulkus: 3 bulan sebelum masuk RS, pasien sering menggunakan alas kaki
dengan insole keras dan tajam (sandal refleksi) dengan tujuan untuk mengurangi
gejala kesemutan dan baal pada kaki, setelah kurang lebih 3 minggu setelah
menggunakan alas kaki refleksi, pasien merasakan timbul kapalan (kalus). Kalus
tersebut kemudian retak dan muncul luka di tumit kaki kanan. Di rumah luka dirawat
sendiri dengan cara dibersihkan menggunakan rivanol. Tetapi luka tidak kunjung
sembuh, bertambah meluas, bengkak di punggung dan pergelangan kaki kanan,
37
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
38
keluar nanah dan berbau. Pasien mengatakan mempunyai penyakit DM sejak 2 tahun
yang lalu tanpa kontrol teratur, pasien pernah mendapatkan obat hipoglikemia oral
(OHO) tapi tidak tahu namanya. Riwayat 3p (polidipsi, poliphagi, poliuri), riwayat
melahirkan bayi dengan BB lahir > 4000 gr, riwayat hipertensi 20 tahun yang lalu
tanpa pengobatan.
3.2.Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama
Asuhan keperawatan dilakukan secara holistik dan komprehensif mulai dari
pengkajian sampai dengan evaluasi dengan menggunakan pendekatan Teori
Adaptasi Roy.
3.2.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus
3.2.1.1 Mode Adaptasi fisiologis
a. Oksigen dan Sirkulasi
1) Pengkajian Perilaku
Respirasi: Tidak ada keluhan sesak nafas, nyeri dada dan batuk, bentuk dada
simetris, ekspansi paru kiri – kanan sama, tidak ada retraksi dinding dada, tidak
tampak adanya penggunaan otot bantu pernafasan, frekwensi nafas 18 x/menit,
teratur, nafas tidak berbau aseton, pernafasan cuping hidung tidak ada, fremitus
taktile paru kanan dengan paru kiri sama, perkusi paru sonor/sonor, bunyi nafas
vesikuler pada lapangan paru kanan – kiri, batuk (-), wheezing (-/-), ronchi (-/-).
Pemeriksaan laboratorium AGD: PH : 7,454; PC02 : 31,4 mmHg; P02 : 100,8
mmHg; HC03 : 21,5 mmol/l; saturasi 02 : 97,9 %.
Sirkulasi : TD: 130/80 mmHg, Mean Arteri Pressure (MAP) = 96,6 mmHg,
denyut nadi 84 x/menit, kuat, dan teratur, Ictus Cordis tidak tampak, Ictus cordis
teraba kuat, akral hangat, pengisian kapiler Capilarry Refill Time (CRT) 3detik.
Bunyi jantung S1,S2 reguler, Gallop dan murmur tidak ada, tidak terdapat
distensi vena jugularis. Pada pemeriksaan foto thorax Cardio Toracic Ratio
(CTR) > 50% (kesan : cardiomegali ringan), aorta kalsifikasi, pasien datang ke
poli dengan tekanan darah yang tinggi 150/100 mmHg. Ada riwayat hipertensi
grade I tidak terkontrol. Pemeriksaan konjungtiva anemis, pasien mengeluh
pusing, ekstremitas hangat, pitting edema kaki kanan. Hasil pemeriksaan
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
39
Laboratorium PT/ APTT:14,4/ 49,2; D-Dimer: 600, GDP 179 mg/dL; GD 2 jam
PP: 247 mg/dl, ABI dextra tidak terkaji karena terdapat luka didorsal pedis dan
daerah tibialis posterior ABI sinistra = 0.92.
2) Pengkajian Stimulus
Stimuli fokal: hipertensi, anemia; stimuli kontektual: riwayat hipertensi 20 tahun
yang lalu tidak terkontrol; stimuli residual: defisit pengetahuan tentang hipertensi
dan penatalaksanaanya.
b. Nutrisi
1) Pengkajian Perilaku
Antropometri: penurunan berat badan (BB) 25 kg dalam waktu 2 tahun, BB saat
ini: 50 Kg, TB: 150 cm,
IMT: 22,2(normal), BBI: 45 kg. Biochemical
(28/02/2012): Hb 7.3 gr/dl, Ht 22%, protein total 6.49; albumin 2.90 g/dl;
globulin 3.50 g/dl; A1C = 6,7 %; GDP: 179 mg/dL; GD 2 jam PP: 247 mg/dl,
LDL: 60 mg/dl, HDL: 39 mg/dl, trigliserida : 85 mg/dl. Pemeriksaan fisik :
rambut rontok, konjungtiva anemis, tubuh tampak lemah, tonus otot lembek,
peristaltik usus (+) 10 x/mnt. Dietary histori/intake nutrisi: Di RS pasien
mendapatkan diet DM :1700 kkalori/hr+ RG (rendah garam) < 2 gr/hr + protein
80 gr/hr, pasien makan hanya ½ porsi yang dihabiskan, sehingga asupan nutrisi
pasien sekitar 850 kkal/hari. Pasien mengatakan bosan dengan makanan yang
disajikan rumah sakit.
2) Pengkajian stimulus
Stimulus
fokal:
hiperglikemia,
anoreksia,
hipoalbuminemia;
Stimulus
kontekstual: bosan dengan makanan yang di sajikan RS (diet DM dan rendah
garam); Stimulus residual: kurangnya pemahaman tentang pengaturan makan
DM dan hipertensi.
c. Eliminasi
1) Pengkajian Perilaku
Eliminasi feses: feses berwarna kuning, konsistensi lunak, kesulitan BAB tidak
ada, BAB 1 x/ hari, peristaltik usus 10x/mnt. Eliminasi urin: pasien menyatakan
2 tahun sebelum masuk RS sering kencing. 1 bulan sebelum masuk RS pasien
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
40
merasakan perut bagian bawah (kandung kemih) membesar dan teraba keras, dan
mengecil setelah dipasang kateter, saat pengkajian terpasang dower catether
(hari ke-1), daerah uretrus uretra bersih, vulva bersih, urine jernih, urine out put
1500 cc/24 jam, ureum : 9 mg/dl, creatinin : 0,5 mg/dl
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal: neurogenic bladder, retensi urine; stimulus kontekstual: riwayat
DM yang tidak terkontrol 2 tahun yang lalu. Stimulus residual: faktor lingkungan
d. Aktivitas dan istirahat
1) Pengkajian Perilaku
Aktifitas : saat pengkajian pasien terlihat lemah, semua aktivitas dilakukan di
tempat tidur dengan bantuan keluarga, karena terdapat ulkus di kaki kanan dan
klien mengatakan takut nyeri jika banyak aktivitas. Pasien mengatakan badan
terasa lemas, mudah lelah. Kebutuhan istirahat: menurut pasien kebutuhan tidur
cukup, tidak mengalami kendala dalam kebutuhan istirahat tidur
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal: hiperglikemia, kelemahan fisik, penurunan energi, ulkus kaki
diabeteik; Stimulus konstektual: anemia, intake nutrisi kurang, imobilisasi;
stimulus residual: koping inefektif
e. Proteksi
1) Pengkajian Perilaku
Kulit kaki kering bersisik, terdapat kalus pada ke dua kaki (gambar 3.2, lampiran
2 ; tabel 3.1). Suhu tubuh 36,50 C, pada sekitar luka teraba hangat. Terdapat
ulkus diabetik di tumit kanan dan terdapat luka post op debridement di daerah
cruris kanan. Pengkajian PEDIS (International Consensus on the Diabetik Foot,
2003 dalam Sudoyo 2006) :
(a) Perfusion : (1) Palpasi arteri dorsalis pedis kanan tidak terkaji karena terdapat
luka, arteri dorsalis pedis kiri teraba kuat. Palpasi arteri tibialis posterior
kanan tidak terkaji, kiri teraba kuat. ABI : kanan tidak terkaji, kiri : 0,92.
(b) Extent : kaki kanan terdapat luka post debridement daerah cruris dengan luas
25 cm x 6 cm dan ulkus di daerah plantar dengan luas 3x4 cm.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
41
(c) Depth : (2) Deep ulcer (bawah dermis, subkutan, fascia, tendon)
(d) Infeksi : (3) Terlihat edema pada sekitar dorsal pedis, terdapat seroma dari
luka post op debridement, tampak eritema pada 2 cm sekitar luka. Keluar pus
dari ulkus diplantar dektra, terdapat slough, warna dasar luka merah (jaringan
granulasi), jaringan mudah berdarah , berbau, sekitar luka tampak kehijauan.
Keluar pus sela digiti 4 dan 5 (kondisi luka pasien seperti dalam gambar 3.1
lampiran 2). Hasil foto rontgen pedis tampak osteomilitis metatarsal V distal
dan digiti V phalax I pedis dextra (gambar 3.3 lampiran 3)
(e) Sensasi : (2) pasien merasakan baal pada kedua telapak kaki. Nyeri pada luka
post debridement maupun di ulkus daerah plantar kaki kanan.
Klasifikasi berdasarkan Wagner (Sudoyo, 2006), ulkus kaki diabetik Ny. T
dalam kategori 3: ulkus dalam dengan infeksi. Kondisi kaki pasien seperti
dalam gambar 3.2 (lampiran 2).
Tabel 3.1
Pemeriksaan kaki
Kaki
Ya
Kulit kaki
Tumit
pecahpecah
Rambut menipis
Tinea pedis
Kalus
Corns
Hiperpigmentasi
edema
Healed ulcer
Kanan
Tidak
Ya
√
√
√
Kanan
Ya Tidak
Ya
Kiri
Tidak
√
√
Pes cavus
Charcot Foot
√
√
√
Jari Kaki
Hammer toe
Claw toe
Hiperestensi
Maserasi interdigital
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Kaki
Telapak Kaki
Hallux valgus
√
√
√
√
√
Kiri
tidak
√
√
√
√
√
Kuku Kaki
Kuku Kaki
Menebal
Rapuh
√
√
√
Infeksi
Ingrowing nail
√
√
√
Perubahan warna
atrophi
√
√
√
√
Sumber : Australian Podiatry Council, 2006; Diabetes Care Program of Nova Scotia 2009
√
√
√
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal : adanya luka post operasi debridemen cruris kanan, dan ulkus
kaki diabetik di plantar kanan. Stimulus kontesktual: anemia, hiperglikemia,
hipoalbumin, riwayat DM 2 tahun tidak terkontrol, stimulus residual : kurangnya
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
42
pengetahuan tentang perawatan kaki DM (perawatan kaki yang salah, riwayat
memakai sandal dengan insole tajam dan keras).
f. Sensori
1) Pengkajian Perilaku
Pasien merasa baal dan kesemutan telapak kaki dan jari kaki (+), kesemutan
sejak 4 bulan yang lalu, uji sentuhan dengan menggunakan monofilamen semmes
weinstein 10 gram ditemukan penurunan sensitifitas telapak kaki kanan dan kaki
kiri (digiti 1-5 dan di bawahnya), sensasi fibrasi (-/-). Pasien merasakan nyeri di
ulkus kaki kanan dan luka daerah pedis, skala nyeri 6, nyeri bertambah saat
dilakukan perawatan luka dan jika banyak bergerak, sifat nyeri berdenyut, pasien
tampak melindungi kaki kanannya dan takut bergerak. Mata : reaksi cahaya pupil
(+/+), ketajaman penglihatan menurun. Telinga : fungsi pendengaran baik, dapat
mendengar suara orang lain dengan jelas, dapat menjawab pertanyaan dan
jawaban sesuai dengan maksud pertanyaan. Lidah bersih, fungsi pengecap tidak
ada keluhan, fungsi pembauan tidak ada keluhan
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal: neuropati sensori, stimulus konstektual: riwayat DM sejak 2
tahun yang lalu, dengan pengobatan tidak teratur; stimulus residual :
pengetahuan yang kurang tentang pengelolaan DM.
g. Cairan dan elektrolit
1) Pengkajian Perilaku
Pasien mengatakan sering haus, intake : minum 1500cc, parenteral : 1300cc,
output : urine 2500cc/24 jam, faeces : 200cc, IWL :200cc, balance cairan : 100 cc/24jam, turgor kulit sedang, tidak ada mual dan muntah. TD: 130/80
mmHg, denyut nadi, 84 x/menit, kuat, dan teratur. Hasil laboratorium tanggal
28/02/12 : natrium = 141 meq/l; kalium = 3,21meq/l; klorida = 109 meq/l, GDP
179 mg/dL; GD 2 jam PP : 247 mg/dl, ureum: 9 mg/dl, creatinin : 0,5 mg/dl,
BUN : 4,194 mg/dL. Osmolalilas serum: 2(Na) + glucosa / 18 + BUN / 2,8
=2(141)+247/18+4,194/2,8= 297,44 mOsm/L.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
43
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal : diuresis osmosis, stimulus kontekstual : hiperglikemia, stimulus
residual : kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan DM.
h. Fungsi neurologi
1) Pengkajian Perilaku
Penampilan umum: sedang, kesadaran compos mentis (GCS: 15) status mental
baik, fungsi intelektual baik, tidak ada kaku kuduk, refleks pupil terhadap cahaya
baik, kekuatan dan pergerakan ekstremitas bilateral simetris. Fungsi Kognitif:
Orientasi waktu, tempat, dan orang baik, uji sentuhan dengan menggunakan
monofilamen semmes weinstein 10 gram terdapat penurunan sensitifitas telapak
dan jari kaki kanan dan kaki kiri.
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal : neuropati sensoris, stimulus kontekstual : hiperglikemia, riwayat
DM 2 tahun yang lalu tidak terkontrol; stimulus residual : defisit pengetahuan
tentang DM dan penatalaksanaanya.
i. Fungsi endokrin
1) Pengkajian Perilaku
Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus sejak 2 tahun yang lalu yang
tidak terkontrol. Riwayat penurunan BB 25 kg dalam waktu 2 tahun, riwayat
gejala 3P (polidipsi, poliuri, poliphagia), terdapat ulkus kaki diabetik, hasil
laboratorium tanggal 28/2/12= GDP 179 mg/dL; GD 2 jam PP : 247 mg/dl, A1c
6,7%.
2) Pengkajian stimulus
Stimulus fokal : resistensi insulin; stimulus kontekstual: riwayat DM 2 tahun
yang lalu yang tidak terkontrol; stimulus residual: kurangnya pengetahuan dalam
pengelolaan DM.
3.2.1.2 Model Adaptasi Konsep Diri
a. Physical Self
1) Pengkajian Perilaku
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
44
a) Sensasi diri: pasien mengeluh tubuhnya terasa lemas dan mudah lelah. Pasien
mengatakan badannya semakin kurus, kulit keriput, kakinya penuh luka tidak
bagus seperti dulu. Pasien menyatakan menyesal menggunakan alas kaki
refleksi yang menyebabkan kakinya kapalan dan luka.
b) Body image: pasien hanya merasa sedih dengan kondisi kakinya yang penuh
luka dan badannya yang semakin kurus.
2) Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: ulkus kaki diabetik, penurunan BB; stimulus kontekstual:
hiperglikemia kronis; stimulus residual: koping inefektif.
b. Personal Self
1) Pengkajian Perilaku
a) Moral/etik/spiritual
Pasien beragama Islam dan menurut pasien sampai saat ini dirinya masih
berusaha untuk menjalankan kewajibannya sesuai kemampuannya. Pasien
sholat ditempat tidur, pasien selalu meminta kesembuhan supaya bisa
beraktivitas kembali.
b) Self consistency
Pasien cenderung lebih banyak diam, melamun namun ketika ditanya pasien
mau menjawab. Pasien mengatakan dirinya sedih dan ketakutan akan
kehilangan kaki kanannya, pasien cenderung menghindari untuk tidak
melihat kakinya saat balutan dibuka.
c) Ideal diri
Pasien mengatakan sebelum sakit dirinya masih bisa melakukan segalanya
sendiri, tapi sekarang setelah sakit mau jalan saja susah. Pasien
menginginkan kakinya kembali sembuh, bisa berjalan dan beraktivitas
kembali.
2) Pengkajian Stimulus
Stimulus fokal: ulkus kaki diabetik; stimulus kontekstual: hiperglikemia kronis;
stimulus residual: koping inefektif.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
45
3.2.1.3 Model Fungsi Peran
a. Pengkajian Perilaku
Peran primer : Ny. T sebagai ibu rumah tangga usia 49 tahun dengan 4 anak, tinggal
serumah dengan suami dan anak bungsu, ketiga anak lainnya sudah bekerja. Peran
sekunder: saat Ny. Y sakit (sebelum masuk RS), terkadang masih membantu
suaminya untuk berjualan dirumah walau sambil duduk. Peran tersier: saat sakit
aktivitas rutin Ny. T dimasyarakat menjadi berkurang. Peran sebagai pasien: 2 tahun
yang lalu pasien pernah mendapatkan obat hipoglikemia oral, tetapi tidak diminum
secara teratur karena merasa badannya sudah merasa nyaman, riwayat hipertensi 20
tahun yang lalu tanpa pengobatan. Riwayat rawat inap dahulu, pasien menolak
amputasi. Saat dirawat sekarang, pasien pernah meminta keluarga untuk membelikan
makanan diluar, karena merasa bosan dengan makanan yang disajikan RS. Pasien
menyatakan pernah mendapatkan penyuluhan tetang diabetes sebanyak 1 kali, tetapi
banyak yang lupa isi materi yang telah disampaikan
b. Pengkajian Stimulus
Stimulus
fokal:
kurang
pengetahuan
tentang
DM
dan
hipertensi
serta
penatalaksanaan; Stimulus kontekstual: kurang pajanan informasi; Stimulus residual:
koping inefektif.
3.2.1.4 Model Adaptasi Interdependen
a. Pengkajian Perilaku
1) Receptive behavior
Pasien masih sering kepikiran dan merasa sedih dengan kondisi kakinya yang
tidak kunjung sembuh, pasien tidak percaya luka di kakinya begitu cepat meluas
dan berbau hanya dalam beberapa bulan, terkadang pasien merasa takut jika
harus diamputasi dan kehilangan kaki kanannya. 2 tahun sebelum masuk RS
pasien di diagnosa DM tipe 2 tetapi tidak melakukan kontrol teratur karena sibuk
berdagang dan tidak memahami tentang penatalaksanaan DM. Saat di rawat di
RS pasien mendapatkan dukungan dari keluarganya, terutama suaminya yang
selalu berada didekat pasien dan merawat pasien membantu dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-harinya.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
46
2) Contributive behavior
Pasien mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga, tetangga, petugas
kesehatan dan teman sekamarnya.
b. Pengkajian stimulus:
Stimulus fokal: ulkus kaki diabetik, penyakit kronis, dan terapi jangka panjang;
stimulus kontekstual: riwayat DM tidak terkontrol; stimulus residual: koping
inefektif.
3.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada Ny.T adalah sebagai berikut :
3.2.2.1 adaptasi fisiologi
1) Infeksi, risiko sepsis berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, penurunan
fungsi leukosit, perubahan sirkulasi darah perifer
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan tubuh menggunakan glukosa, status hipermetabolik, proses infeksi,
anoreksia; penurunan masukan oral;
3) Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit
4) Tidak efektifnya perfusi jaringan perifer berhubungan dengan imobilitas, hipertensi,
diabetes mellitus,
5) Retensi urin berhubungan dengan neuropati bladder
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan produksi energi, peningkatan
kebutuhan energi, perubahan kimia tubuh, kondisi fisik yang lemah
3.2.2.2 Mode adaptasi konsep diri
7) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan kondisi fisik.
3.2.2.3 Mode adaptasi konsep peran
8) Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan defisit pengetahuan
tentang penatalaksanaan DM.
3.2.2.4 Mode adaptasi fungsi interdependensi
9) Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis dan
pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan tentang koping yang
efektif.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
47
3.2.3 Penetapan Tujuan
Penetapan tujuan merupakan penetapan suatu penetapan yang jelas tentang hasil
(outcome) perilaku individu yang akan dicapai melalui asuhan keperawatan. Tujuan
intervensi keperawatan adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan perilaku
adaptif dan untuk merubah perilaku inefektif menjadi perilaku adaptif (Roy & Andrews,
1999).
3.2.4 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan berfokus pada upaya yang digunakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Fokus intervensi adalah stimulus yang mempengaruhi perilaku
individu, untuk itu intervensi yang dibuat ditujukan untuk mengatur stimulus-stimulus
yang ada sehingga dapat meningkatkan adaptasi individu. Manajemen stimulus
mencakup
upaya
merubah,
mempertahankan stimulus
meningkatkan,
menurunkan,
menghilangkan
atau
yang ada. Intervensi keperawatan setiap diagnosa
keperawatan tercantum pada tabel 3.2.
3.2.5 Evaluasi
Evaluasi keperawatan Teori Adaptasi Roy didasarkan pada perilaku yang diharapkan
dibandingkan perilaku yang ditunjukkan seseorang, apakah bergerak kearah pencapaian
tujuan (adaptif) atau bertolak belakang dari tujuan yang ditentukan (inefektif). Evaluasi
dilakukan setiap hari dan didokumentasikan dalam catatan perkembangan dengan format
SOAP. Hasil akhir dari evaluasi keperawatan tercantum dalam tabel 3.2.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
48
Tabel 3.2
Rencana Asuhan Keperawatan, Implementasi dan Evaluasi pada Ny. T
NO
1
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Infeksi,
risiko
sepsis
berhubungan
dengan
tingginya kadar gula darah,
penurunan fungsi leukosit,
perubahan sirkulasi darah
perifer ditandai dengan :
 Kulit kaki kiri kering
bersisik,
 Terdapat calus pada ke
dua kaki.
 sekitar
luka
teraba
hangat.
 Terdapat ulkus diabetik
di tumit dan terdapat luka
post op debridement di
daerah kruris kanan.
 Pengkajian PEDIS :
(a) Perfusion :
Palpasi
Arteri
dorsalis pedis kanan
tidak terkaji, kiri
teraba. Palpasi asteri
tibialis
posterior
kanan tidak terkaji,
kiri teraba kuat. ABI
: kanan tidak terkaji,
kiri 0,92.
TUJUAN
NOC :
pertahanan tubuh
adekuat, setelah diberikan
asuhan keperawatan 10 x 24
jam infeksi dapat teratasi,
dengan kriteria hasil :
 TTV stabil : TD 110120/70-80 mmHg, RR 1624 x/menit, N 60-100
x/menit, S 36,2 – 37,2 0C
 Tidak terdapat tandatanda sepsis
 Tidak terjadi perluasan
infeksi terutama pada luka
ulkus.
 Tidak ada luka tambahan,
terutama pada area yang
tertekan
 CSSC-DFU :
Nyeri berkurang, Edema
ektremitas berkurang atau
hilang, perbedaan suhu
kulit pada sisi proksimal
minimal (< 20C), produksi
eksudat serous & eksudat
sanguins, minimal atau
tidak ada, tidak ada
kegagalan penyembuhan
luka, warna granulasi
INTERVENSI
NIC :
 Manajemen infeksi
 Manajemen metabolik
 Manajemen luka
 Manajemen nutrisi
 Vaskuler kontrol
 Presurres control
Aktivitas regulator
1. Obervasi tanda infeksi atau inflamasi
(demam, kemerahan pada kulit,
drainase luka, urine keruh) tiap 6 jam.
2. monitor TTV terutama suhu dan nilai
laboratorium
seperti
adanya
peningkatan leukosit atau tanda
infeksi
3. monitor luka secara teratur terhadap
perubahan warna, jaga kebersihan
kulit
4. manajemen infeksi & luka :
a. Lakukan tindakan keperawatan
dengan teknik aseptik, pertahankan
sterilisasi saat rawat luka
b. Debridemen jaringan nekrotik
c. Lakukan irigasi luka dengan tehnik
13 psi pada ulkus kaki diabetik
(slough)
d. Lakukan teknik aseptic saat
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
EVALUASI

Setelah 5 hari post op STSG , mode
adaptasi fisiologis : proteksi masih
inefektif, luka post operasi STSG
basah, banyak slough dan pus, kulit
donor tidak bisa menempel GDS
pasien juga masih tinggi (186g/dl)
albumin masih rendah (3,2 g/dl).,
Hb:10,2 gr/dl

setelah 16 hari perawatan dalam
masalah
infeksi
menunjukkan
sebagian perilaku adaptif, dimana
tanda-tanda infeksi berkurang : luka
post operasi STSG kemerahan
(jaringan
granulasi),
jaringan
nekrotik atau slough berkurang, pus
minimal (perkembangan luka dalam
gambar 3.4 lampiran 4).Hasil
laboratorium GDS 116 mg/dl serta
albumin darah 3,7 g/dl, HB : 11
gr/dl. Leukosit : 7,5 rb/ul. TD :
120/80 mmHg, P : 80x/mnt, S :
35,6%, RR : 20 x/mnt
S : klien menyatakan selalu menjaga
kebersihan diri dengan mandi
O:
 Kulit kaki lembab, tidak kering dan
49
(b) Extent :
Kaki kanan : terdapat
luka
post
debridement daerah
cruris
dengan
panjang 25 cm dan
ulkus
di
daerah
plantar dengan luas
3x4 cm.
(c) Depth : fascia, otot
(d) infeksi :
Terlihat
bengkak
pada sekitar dosrsal
pedis,
terdapat
seroma dari luka post
op
debridement,
tampak eritema pada
2 cm sekitar luka.
Keluar pus dari ulkus
diplantar
dektra,
terdapat
slough,
mudah
berdarah,
warna dasar luka
merah
(jaringan
granulasi),
berbau,
sekitar luka tampak
kehijauan.
Keluar
pus sela digiti 4 dan
5
(e) Sensasi : pasien
merasakan baal pada
kedua kaki. Nyeri
ringan pada luka post








merah, jaringan granulasi
tidak rapuh, kantong dasar
luka berkurang, bau yang
menyengat
berkurang,
kerusakan pada tepi luka
berkurang.
ABI : 0,9 – 1,3
PT : 10 – 14 detik
APTT : 27,4 – 39,3detik
D-D-Dimer : 0-300 ng/ml
Lekosit : 4000-10000/uL
GD puasa: 80 – 100 gr/dl
GD 2 jam PP: 80-145
mg/dl
A1C < 6,5 %
melakukan tindakan invasive
5. manajemen nutrisi: anjurkan untuk 
menghabiskan diet yang disediakan 
RS (diet DM 1700 kalori+ RG < 2 gr 
+ protein 80 gr/hr)
6. Presurres kontrol: membersihkan
dikedua
telapak
kaki,
kalus
meninggikan kaki kanan 15-22 cm
dari posisi supinasi untuk mengurangi
tekanan dan bengkak
Aktivitas kognator :
7. Ajarkan keluarga dan pasien cara
mencuci tangan yang benar
8. Anjurkan menjaga kebersihan diri dan
lingkungan.
9. Anjurkan dan ajarkan menggunakan
kruk untuk ambulasi
10. Ajarkan keluarga dan pasien untuk
mengenali tanda-tanda sepsis (badan
panas > 38,50C, penurunan kesadaran
Kolaborasi :
11. Lakukan pemeriksaan kultur pus
12. Humulin 30/70 :10-0-10 UI
13. Beri terapi antibiotik :
 Metronidazole 500 mg/8 jam
 Ceftriaxone 2 gr/ 12 jam
14. Terapi heparin 2x 5000 u

Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
pecah-pecah
Telapak kaki bersih, tidak ada kalus
sekitar luka teraba hangat.
Pengkajian PEDIS :
o Perfusion : Palpasi arteri dorsalis
pedis kanan tidak terkaji, kiri
teraba kuat. Palpasi asteri tibialis
posterior kanan tidak terkaji, kiri
teraba kuat. ABI : kanan tidak
terkaji, kiri 1,0
o Extent: Kaki kanan: terdapat
luka post STSG daerah cruris
dengan panjang 22 cmx5cm dan
ulkus di daerah plantar dengan
luas 3x4 cm.
o Depth
:
fascia
(jaringan
granulasi, warna merah)
o infeksion: Bengkak pada sekitar
dorsal pedis berkurang, tampak
eritema pada 1 cm sekitar luka.
Tidak tampak pus dari ulkus
diplantar kanan dektra, warna
dasar luka merah (jaringan
granulasi), tidak berbau,
o Sensasi : pasien merasakan baal
pada kedua kaki. nyeri ringan
pada luka post debridement
maupun di ulkus daerah plantar.
(gambar 3.4 lampiran 4)
CSSC-DFU :Nyeri berkurang, edema
tidak ada, perbedaan suhu kulit pada
sisi proksimal (0,50C), eksudat
serous tidak ada, eksudat sanguins
50

2
debridement maupun
di
ulkus
daerah
plantar. ABI kanan
tidak terkaji, ABI kiri
0,92
Lab tgl 28/2/12 : HB : 7,3
gr/dl, Eritrosit: 2,80
juta/dl, A1C: 6,7 %;
GDP 179 mg/dL; GD 2
jam PP: 247 mg/dl,
Leukosit 7,4 ribu/ul, LED
: 119 mm, PT/
APTT:14,4/ 49,2; DDimer : 600, albumin :
2,90
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan
tubuh
menggunakan
glukosa,
status
hipermetabolik,
proses infeksi, anoreksia;
penurunan masukan oral
ditandai dengan :


minimal, warna granulasi merah,
jaringan granulasi mudah berdarah,
kantong dasar luka berkurang, bau
menyengat tidak ada, kerusakan pada
tepi luka berkurang.
Hasil laboratorium GDS 116 mg/dl
serta albumin darah 3,7 g/dl, HB : 11
gr/dl. Leukosit : 7,5 rb/ul. TD 120/80
mmHg, nadi 84 x/mnt. Pemeriksaan
laboratorium PT : 14,2 detik, APTT :
45,2 detik, D.Dimer : 300 ng/ml
TD : 120/80 mmHg, P : 80x/mnt, S :
35,6%, RR : 20 x/mnt
A : masalah teratasi sebagian, sebagian
perilaku masih inefektif
NOC : intake nutrisi adekuat,
setelah diberikan asuhan
keperawatan 7 x 24 jam,
mampu
mempertahankan
masukan nutrisi yang adekuat
dengan kriteria hasil :
 Melaporkan
adanya
keadekuatan energi.
 Anoreksia (-)
 Mual/Muntah (-/-)
Data Subjektif :
 Tidak ada penurunan BB
 Pasien menyatakan tidak  Pasien memahami manfaat
P : Lanjutkan intervensi : manajemen
infeksi,
manajemen
metabolik,
manajemen luka, manajemen nutrisi,
presurres control .
Pada hari ke 3 perawatan, sebagian
NIC :
perilaku
masih
inefektif,
pasien
 Monitoring nutrisi
merasakan masih lemes. Perilaku adaptif
 Manajemen nutrisi
nafsu makan sedikit meningkat, makan
 Kontrol metabolik
yang di habiskan ½- ¾ porsi dari yang
Aktivitas regulator
1. Monitor pemasukan diet pasien disediakan
3x/sehari setiap kali waktu makan.
2. Identifikasi
diet
pasien
dan Setelah 7 hari perawatan dalam masalah
bandingkan dengan pola makan nutrisi ini adalah Ny. T menunjukkan
sebagian perilaku adaptif, dimana pasien
sekitar 1-2 bulan terakhir.
3. Auskultasi bising usus. Perhatikan telah menghabiskan diet yang diberikan
keluhan nyeri abdomen/kembung, padanya, keluhan penurunan nafsu
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
51
nutrisi.
nafsu makan
Pasien mengatakan bosan  Intake nutrisi adekuat
(menghabiskan
porsi
dengan makanan yang
disajikan rumah sakit
makan
yang
telah
disediakan).
Data Objektif :
 Porsi yang diberikan  TD : 110/70 -120/80mmHg
hanya habis ½ porsi
 Hasil laboratorium dalam
 Penurunan BB 25 kg
batas normal :
o HB : 12-14 gr/dl
dalam waktu 2 tahun,
o Protein total : 6,00-8,00
 BB: 50 Kg, TB: 150 cm, ,
gr/dl
IMT : 22,2
o
Albumin: 3.4 - 4.8gr/dl
 BBI:(150cm - 100)kgo
GD puasa: 80 – 100 gr/dl
10%= 50 kg - 5kg = 45
o
GD 2 jam PP: 80-145
kg.
mg/dl
 Laboratorium
tanggal
o A1C < 6,5 %
28/2/12 : Hb 7,3 gr/dl,
o Profil lipid :
protein
total
6.49,
LDL : <100 mg/dl,
albumin
2.90
g/dl,
HDL
: > 40 mg/dl,
globulin 3.50 g/dl, A1C =
trigliserida
: < 150 mg/dl
6,7 %; GDP 179 mg/dL;
GD 2 jam PP : 247
mg/dl, LDL : 60 mg/dl,
HDL : 42 mg/dl,
trigliserida : 85 mg/dl
 Rambut
rontok,
konjungtiva anemis
RS
pasien
 Di
mendapatkan diet DM
:1700 kkalori/hr+ RG < 2
gr/hr + protein 80 gr/hr.

mual, muntah.
4. Identifikasi makanan yang disukai
pasien dan latar belakang budaya.
5. Monitor tanda-tanda hipoglikemi
(penurunan tingkat kesadaran, kulit
teraba dingin, takikardi dan lemah,
berkeringat dingin, sakit kepala, lapar
dan pandangan terasa gelap)
6. Menjaga kebersihan mulut pasien
Aktivitas kognator :
7. Berikan edukasi kesehatan tentang
manfaat
nutrisi
bagi
proses
penyembuhan.
8. Motivasi makan dalam porsi kecil
tapi sering.
Kolaborasi :
9. Periksa gula darah dengan rutin 1/ 2
Jam sebelum makan atau sesuai
kondisi.
10. Berikan diet DM 1700 kkal, RG < 2
gr/hr + protein 80 gr/hr
11. Berikan terapi humulin 30/70 :10-010 UI
12. Berikan terapi : Ondancentron 3 x 4
mg.
13. Monitor Hb dan albumin
14. Pemberian transfusi PRC
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
makan tidak ada, pasien juga mengatakan
akan berusaha mematuhi diit yang telah
dianjurkan bagi kesembuhan dirinya
pemeriksaan gula darah sewaktu pasien
yaitu 116 mg/dl. Perilaku inefektif masih
ditemukan pada hasil albumin darah
yang masih rendah (3,2 g/dl), Hb:10,2
gr/dl.
S:
 Pasien mengatakan makan yang
disediakan selalu habis, pasien
menyatakan mematuhi aturan makan
 Pasien
mengatakan
keluhan
penurunan nafsu makan tidak ada
O:
 Porsi makan yang disajikan RS
dihabiskan
 Tonus otot baik
 Energi pasien meningkat pasien
mampu
mobilisasi
duduk
dan
beraktivitas ringan (makan, berhias)
dengan mandiri
 Keadaan gigi dan mulut bersih
 GDS 116 mg/dl
 Albumin 3,2 g/dl
 Hb:10,2 gr/dl
 LDL : 65 mg/dl, HDL : 45 mg/dl,
trigliserida : 76 mg/dl
 TD : 120/80 mmHg, P : 80x/mnt
A : masalah teratasi sebagian, sebagian
perilaku adaptif
P : Lanjutkan intervensi
52
3
Nyeri akut berhubungan
dengan kerusakan jaringan
ditandai :
Data subyektif :
 Mengeluh nyeri pada
daerah luka (paha kanan,
kruris kanan dan plantar
kanan).
 Pasien menyatakan nyeri
bertambah saat dirawat
dan saat kaki kanan
banyak bergerak
 Pasien menyatakan nyeri
berkurang
saat
kaki
diistirahatkan
dengan
sedikit ditinggikan
 Sifat nyeri berdenyut
 Skala nyeri 6
Data obyektif :
 Ekspresi wajah menahan
saat
nyeri,
terutama
dilakukan perawatan luka.
 Pasien
gelisah
dan
merengek saat dilakukan
perawatan luka
 Pasien tampak melindungi
daerah yang sakit
 Pasien
takut
tampak
menggerakkan
kaki
kanannya
NOC : Tingkat kenyamanan
adaptif.
Setelah diberikan asuhan
keperawatan 7x 24 jam pasien
dapat
mengontrol
nyeri
dengan kriteria hasil :
 Skala Nyeri 0-3
 Nyeri berkurang atau
hilang
 Pasien mampu
mendemonstrasikan
tindakan untuk
mengurangi nyeri
 Eskpresi wajah relaks
 Keluhan nyeri berkurang
saat perawatan luka atau
saat kaki kanan digerakkan
 Edema pedis kanan
berkurang atau hilang
 Vital sign :
 Nadi : 60-100x/mnt
 RR : 14-18x/mnt
 ABI : 0,90 -1,2
 Albumin : 3,5-4,5
 PT: 10 – 14 detik
 APTT : 27,4 – 39,3 detik
 D-D-Dimer:0-300 ng/ml.
 GD puasa: 80 – 100 gr/dl
 GD 2 jamPP:80-145g/dl.
 monitoring nutrisi
 manajemen nutrisi
Pada hari ke 5 post operasi, kenyamanan
NIC :
masih inefektif, pasien masih merasakan
 Manajemen Nyeri
nyeri, terutama di daerah donor (paha
 Manajemen metabolik
kanan)
 Vaskuler kontrol
Pada hari ke 7 post operasi sebagian
 Presurres kontrol
perilaku mulai adaptif
 Analgetic administration
S:
 Manajemen pengobatan
 pasien mengatakan nyeri berkurang
 skala nyeri 4
Aktifitas Keperawatan :
 nyeri hilang timbul, masih terasa
Regulator :
nyeri saat dilakukan perawatan luka
nyeri
(lokasi,
1. Monitoring

nyeri
terbatas di daerah luka
karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas, atau beratnya
O:
nyeri dan faktor presipitasi)
mempraktekkan
 pasien
mampu
2. Monitoring tanda-tanda vital
tehnik relaksasi
3. Amati perlakuan non verbal yang
menunjukkan ketidaknyamanan,
 ekspresi wajah lebih rileks
4. Identifikasi dampak nyeri terhadap  Vital sign : TD 120/80mmHg, nadi
kualitas hidup (misal:tidur, selera
84 x/mnt, respirasi 18x/mnt.
makan, aktivitas, berfikir, mood, dan  Daerah donor, kemerahan (granulasi
tanggung jawab peran)
dan epitelisasi)
5. kontrol faktor lingkungan yang dapat  Pasien tidak takut menggerakkan
mempengaruhi
respon
kaki kanannya
ketidaknyamanan
(misal:  Edema kaki berkurang
temperature
ruangan,
cahaya,  ABI kiri : 1,0, kanan tidak terkaji
kebisingan)
 Pemeriksaan laboratorium : Leukosit
6. atur posisi senyaman mungkin
: 7,5 rb/ul. PT : 14,2 detik, APTT :
elevasikan kaki 15-22 cm dengan
45,2 detik, D.Dimer : 300 ng/ml
bantalan lunak.
A : perilaku pasien sebagian inefektif
7. Motivasi pasien untuk istirahat yang P : lanjutkan intervensi
adekuat/tidur untuk memfasilitasi
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
53
 TD : 130/80 mmHg, HR :
92x/menit, RR: 22 x/
menit.
 Pitting edema pedis kanan
 Lab tgl 28/2/12 : HB : 7,3
gr/dl, Eritrosit: 2,80 juta/dl
A1C = 6,7 %; GDP 179
mg/dL; GD 2 jam PP : 247
mg/dl,
Leukosit
7,4
ribu/ul, LED : 119 mm,
PT/ APTT:14,4/49,2; DDimer : 600, albumin :
2,90
4
Tidak efektifnya perfusi
jaringan perifer berhubungan
dengan imobilitas, hipertensi,
diabetes mellitus ditandai
dengan :
Data subyektif :
 Pasien merasa baal dan
kesemutan telapak kaki
(+)
 kesemutan sejak 4 bulan
yang lalu
Data obyektif :
 ABI Kaki kanan tidak
terkaji, ABI kaki kiri
0,92
 Pulsasi nadi poplitea
 A1C < 6,5 %
penurunan nyeri

8. Melibatkan
keluarga
dalam 
modalitas penurun nyeri, jika 
mungkin.

Monitoring nyeri
Manajemen nyeri
Manajemen perawatan luka
pressure control
Kognator :
9. Beri informasi tentang nyeri, misal
penyebab nyeri, berapa lama
berakhir,antisipasi ketidaknyamanan
dari prosedur.
10. Ajarkan
teknik
penggunaan
nonfarmakologi (relaksasi, imaginasi
terbimbing, distraksi, dan pijatan)
Kolaborasi :
11. Kolaborasi
pemberian
gabapentin 100mg/8 jam
NIC :
 Manajemen metabolik
 Vaskuler kontrol
 Presurres kontrol
 Manajemen pengobatan
obat
NOC : perfusi jaringan
adekuat
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 7 x 24
jam perfusi jaringan menjadi
efektif dengan kriteria Hasil :
 Pasien
mengatakan Regulator :
pada 1. Monitor sensasi tajam, tumpul dan
baal/kesemutan
kakinya berkurang
panas,
dingin,
parasthesia,
 Pulsasi dorsalis pedis/
hipoesthesia
tibialis posterior teraba 2. monitor warna kulit, temperatur,
kuat
hidrasi, tekstur.
 Pemeriksaaan penunjang :
3. Periksa adanya perubahan pada kaki
GDS : 70-140 mg/dl,
dan kaji riwayat ulser pada kaki
HB : 12-14 gr/dl
4. Monitor kekuatan otot kaki dan
 ABI : 0,9 – 1,3
pergelangan kaki
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Evaluasi pada hari ke 3 post operasi
perfusi jaringan perifer masih inefektif,
kaki kanan masih edema, CRT 3 detik,
konjungtiva pucat,
pasien masih
mengeluh kesemutan. Sebagian perilaku
adaptif pada hari ke 7 :
S:
 Pasien menyatakan
kaku pada
persendian
dan
kebas
serta
kesemutan berkurang.
bisa melakukan
Pasien menyatakan
beberapa gerakan senam kaki
O:
 pemeriksaan
dengan
dengan
monofilamen 10gr, hasil negatif
54
5
 Edema ekstremitas
berkurang atau hilang
 CRT : < 3 detik.
 PT : 10 – 14 detik
 APTT : 27,4 – 39,3detik
 D-D-Dimer : 0-300 ng/ml
 TD : 120/80 mmHg
terutama di daerah tumit dan 2 titik
di bawah ibu jari dan kelingking
edema kaki kanan berkurang
kaki tidak kering
sensasi fibrasi (-/-).
Pulsasi nadi poplitea kaki kanan dan
kiri teraba sama kuat. ABI kiri : 1,0,
kanan tidak terkaji
Kognator :
 TD : 120/80 mmHg
9. Anjurkan pasien untuk memakai  Hasil Laboratorium :
stoking elastis
PT : 14,2 detik
10. Diskusikan
atau
identifikasi

APTT : 45,2 detik
penyebab sensasi abnormal atau

D.Dimer : 300 ng/ml
perubahan sensasi..
A : masalah teratasi sebagian, perilaku
11. Jaga kebersihan tempat tidur pasien masih inefektif

12. Periksa sepatu, kantong, dan
pakaian apakah ada kerut/lipatan P : lanjutkan intervensi
atau benda tajam.
 Manajemen metabolik
13. Lindungi bagian tubuh dari
 Vaskuler kontrol
perubahan suhu yang ekstrim
 Presurres kontrol
14. Ajarkan tentang senam kaki
diabetik pada kaki yang sehat.
Kolaborasi :
15. Humulin 30/70 :10-0-10 UI
16. Beri terapi antibiotic :
Metronidazole 500 mg/8 jam
Ceftriaxone 2 gr/ 12 jam
17. Terapi heparin 2x 5000 u
18. Captopril 12,5 mg/12 jam
Pada hari ke 4 post operasi STSG,
Retensi urine berhubungan NOC : pola eliminasi efektif NIC :
sebagian perilaku pasien masih inefektif,
dengan neuropati bladder di Setelah diberikan asuhan  Monitoring cairan
pasien belum bisa merasakan dorongan
tandai dengan :
keperawatan 7 x 24 jam  manajemen eliminasi urin
untuk berkemih, saat di latih untuk
Data subyektif :
retensi dapat teratasi, dengan  Perawatan cateter urin



Kanan : lemah, kiri :kuat
Akral hangat
Pitting edema kaki kanan
uji sentuhan dengan
menggunakan
semmes
monofilamen
weinstein
10
gram
ditemukan
penurunan
sensitifitas kaki dan kaki
kiri (digiti 1-5 dan di
bawahnya),
CRT : 3 detik
Refleks
lutut
(+/+),
sensasi fibrasi (-/-).
Laboratorium tgl 28/2/12
: Hb 7,3 gr/dl, Ht 22%,
protein
total
6.49,
albumin
2.90
g/dl,
globulin 3.50 g/dl, A1C =
6,7 %; GDP 179 mg/dL;
GD 2 jam PP : 247
mg/dl, PT :14,4 detik,
APTT: 49,2 detik; DDimer : 600 ng/ml
5. Palpasi nadi dorsal pedis dan nadi
posterior tibial
6. Periksa adanya nyeri pada saat 
istirahat, nyeri pada malam hari 
(kladikausio intermitent)

7. Latih senam kaki

8. Elevasikan tungkai 15-22 cm
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
55

Pasien menyatakan 1
bulan sebelum masuk RS
pasien merasakan perut
bagian bawah (kandung
kemih) membesar dan
teraba
keras,
dan
mengecil
setelah
dipasang kateter.
 Tidak ada keluhan nyeri
panas saat berkemih.
Data Obyektif :
 Terpasang
dower
catether, sejak 1 hari
yang
lalu,
daerah
introitus
uretra
dan
vagina bersih, tidak ada
kemerahan
(eritema)
sekitar vulva
 urine jernih.
 Tidak ada distensi vesika
urinaria
 Urine out put 1500 cc/24
jam, ureum : 9 mg/dl,
creatinin : 0,5 mg/dl
6
Kriteria Hasil :
 Pasien
mampu
mendemonstrasikan
senam otot dasar panggul.
 Tidak
ada
distensi
kandung kemih.
 Pasien menyatakan puas
setelah berkemih (tidak
ada residu).
 Daerah perineal bersih
 perawatan retensi urine
 perawatan perineal
 terapi latihan : kontrol otot
Regulator :
1. Monitor urine output : jumlah,
warna, karakteristik.
2. Monitor keluhan distensi kandung
kemih
3. Latih bladder training
4. Berikan perawatan perineal
5. Latih senam otot dasar panggul
Kognator :
6. Ajarkan dan anjurkan pasien untuk
senam otot dasar panggul
Kolaborasi :
7. Pemeriksaan urinalisa
8. Pemeriksaan lumbosakral
9. Intermiten kateter k/p
Intoleransi
aktivitas NOC : energi adekuat
NIC :
berhubungan
dengan: Setelah dilakukan tindakan  Manajemen energi
penurunan produksi energi, keperawatan selama 10 x 24  Exercise promotion
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
bladder training.
Pada hari ke 7 post operasi STSG
sebagian perilaku mulai adaptif
S:
mengatakan
mampu
 Pasien
melakukan senam otot dasar panggul
4-5 kali sehari.
 Pasien mengatakan merasa lebih
bugar dan kuat saat berlatih senam
otot dasar panggul.
 Pasien menyatakan belum merasakan
ada dorongan untuk berkemih ketika
dilakukan bladder training
O:
 Hasil pemeriksaan lumbosakral
dalam batas normal.
 Kateter dilepas.
 Perineal bersih
A : perilaku pasien sebagian inefektif
P : lanjutkan intervensi :
 Monitoring urine output
 Terapi latihan kontrol otot dasar
panggul, anjurkan untuk tetap
melanjutkan latihan selama di rumah
4-5 kali dalam sehari.
 Anjurkan pasien untuk ketempat
pelayanan kesehatan jika mengalami
keluhan tidak bisa berkemih
Setelah 10 hari perawatan menunjukkan
sebagain perilaku pasien mulai adaptif:
S : pasien mengatakan tidak mudah letih
56
7
kondisi fisik yang lemah di jam kelelahan pada Ny. T
berkurang atau terkontrol
tandai dengan :
Kriteria Hasil :
Data Subjektif :
 Mengungkapkan
peningkatan
tingkat
 Pasien mengatakan lemas
dan cepat lelah
energi.
 Menunjukkan perbaikan
Data Objektif :
kemampuan
untuk
 Pasien terlihat lemah
berpartisipasi
dalam
aktivitas yang diinginkan
 Aktivitas terbatas diatas
 GD puasa: 80 – 100 gr/dl
tempat tidur
 Konjungtiva anemis
 GD 2 jamPP:80-145g/dl.
 TD : 130/80 mmHg, HR :
 A1C < 6,5 %
88x/menit, RR : 20 x/
menit.
 Laboratorium tgl 28/2/12 :
Hb 7,3 gr/dl, protein total
6.49, albumin 2.90 g/dl
(3.4-4.8), globulin 3.50
g/dl, A1C = 6,7 %; GDP
179 mg/dL; GD 2 jam PP :
247 mg/dl.
Gangguan
citra
tubuh NOC
berhubungan
dengan Setelah dilakukan tindakan
10x24
jam
perubahan
kondisi
fisik perawatan
diharapakan pasien adaptif
tandai dengan :
terhadap perubahan pada
Data Subjektif :
fisiknya, persepsi pasien
 Pasien manyatakan
positif terhadap penampilan
dirinya semakin kurus,
tubuh sendiri di tandai dengan
kulit keriput, kakinya
:
penuh luka tidak bagus
 Pasien
mampu
secara
seperti dulu.
adaptif
dalam
penerimaan
 Pasien menyatakan
O:
Regulator
1. Diskusikan dengan pasien kebutuhan  pasien
melaksanakan
mampu
akan
aktivitas.
aktivitas ringan (makan, mandi dan
Berikan aktivitas alternatif dengan
berhias) sehari-hari dengan bantuan
periode istirahat yang cukup.
minimal,
2. Pantau nadi, frekuensi pernafasan  pasien terlihat lebih segar dan tidak
dan tekanan darah sebelum/sesudah
hanya tiduran,
melakukan aktivitas.
 aktivitas masih terbatas di tempat
3. Tingkatkan partisipasi pasien dalam
tidur
melakukan aktivitas sehari-hari  Vital sign : TD 120/80mmHg, nadi
sesuai toleransi.
84 x/mnt, respirasi 20x/mnt, suhu
4. Berikan makanan yang mengandung
36.3°C
nutrien sesuai dietnya (diet DM  Hb 11 gr/dl, albumin darah 3,7 g/dl
1700 kkal& RG < 2 gr/hr).
A : masalah teratasi/ sebagian, perilaku
5. Observasi
tanda pasien sebagian inefektif
hipoglikemia/hiperglikemia
P : lanjutkan intervensi
Kolaborasi :
Manajemen energi
6. Pantau pemeriksaan GDS, pH danExercise promotion
HCO3
7. Berikan humulin 30/70 10-0-10
8. Pemberian transfusi PRC
Hasil evaluasi menunjukkan perilaku
adaptif dari pasien.
S: Pasien mulai menerima kondisinya
dan juga kebutuhan pengobatan bagi
kelangsungan hidupnya.
O:
Regulator
1. Kaji respon verbal/non verbal pasien  Pasien terlihat lebih tenang ketika
berinteraksi
dengan
tentang tubuhnya
praktikan,petugas
kesehatan,
2. Dorong pengungkapan perasaan,
keluarga dan teman sekamarnya,
persepsi dan ketakutan.
yang
terkadang di selingi dengan
3. Kaji kemampuan pasien teknik
NIC :
 Manajemen pencapaian citra tubuh
 Manajemen ansietas
 Manaemen stress
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
57
menyesal menggunakan
alas kaki refleksi yang
menyebabkan kakinya
kapalan dan luka.


Data Objektif :
 Pasien tampak sedih ketika 
mengungkapkan
perasaanya
 Pasien terkadang
menghindar melihat

kakinya saat balutan di
buka
gambaran diri, peran diri
dan fungsi interdependen .
Pasien mampu beradaptasi
dengan kondisinya saat ini
Pasien mampu beraktivitas
dengn bantuan minimal
Pasien mampu adaptif
menerima peran sebagai
ibu rumah tangga dengan
kondisinya sekarang.
Pasien mampu adaptif
dalam berinteraksi dengan
petugas
kesehatan
,
keluarga dan sesama pasien
mengurangi kecemasan
4. Dengarkan pasien dengan empati.
5. Identifikasi tingkat kecemasan
6. Tentukan harapan pasien tentang
gambaran tubuhnya
7. Berikan penguatan yang positif
dalam melakukan aktifitas seharihari
8. Yakinkan pasien dengan sentuhan
9. Berikan lingkungan yang tenang
10. Dorong untuk berpikir rasional dan
berpikir posistif
11. Bantu untuk latihan afirmasi
12. Dampingi pasien dan bantu pasien
mengidentifikasi
situasi
yang
mencetuskan kecemasan
13. Gunakan pendekatan yang tenang
dan pasti.
14. Ciptakan suasana yang mendukung
rasa aman/percaya.
15. Dampingi pasien untuk menjelaskan
gambaran yang realistis terhadap
peristiwa yang akan terjadi.
16. Bantu
pasien
untuk
mengambil/membuat
keputusan
dalam perawatan dirinya.
17. Motivasi pasien untuk mendekatkan
diri pada Tuhan
Kognator:
18. Ajarkan tehnik relaksasi.
19. Sediakan informasi yang actual
tentang diagnosa, perawatan dan
prognosis
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
bercanda.
Pasien mau melihat kondisi kakinya
ketika balutan di buka
 Pasien mengatakan dirinya memang
masih merasa sedih dengan kondisi
kakinya saat ini, namun
jika
kehendak Tuhan seperti ini dirinya
tidak bisa berbuat apa-apa kecuali
melakukan yang terbaik bagi diri dan
keluarganya.
 Pasien yakin, dengan ikhlas terhadap
penyakit yang dideritanya sekarang
dapat sebagai penggugur dosa.
A: masalah teratasi
P : pertahankan intervensi

58
8
Risiko
ketidakefektifan
regimen
terapeutik
berhubungan dengan defisit
pengetahuan
tentang
penatalaksanaan DM
di
tandai dengan :
Data Subjektif:
 Pasien menyatakan 2
tahun sebelum masuk RS
pasien di diagnosa DM
tipe 2 tetapi tidak
melakukan
kontrol
teratur karena sibuk
berdagang dan tidak
memahami
tentang
penatalaksanaan DM.
Data Obyektif :
 Skor atau nilai DMSES
(Diabetes Mellitus Selfefficacy Scale): 115
 Skore PTES (Perceived
Therapeutic
Efficacy
Scale): 78
NOC : regimen terapeutik
efektif
Pasien mampu adaptif dalam
fungsi fisiologis endokrin
(mampu memahami DM dan
penatalaksanaanya) setelah 7
hari
dilakukan
tindakan
keperawatan dengan kriteria
hasil :
 Pasien
dan
keluarga
memahami :1. DM dan
komplikasinya.2. aktifitas
fisik
pasien
DM.3.
perencanaan makan DM.
4. pemeriksaan kaki dan
perawatan kaki DM. 5.cara
menyuntikan insulin.
 Pasien mematuhi diet yang
dianjurkan
 Pasien mematuhi regimen
penatalaksanaan DM
 Pasien dapat menjelaskan
kembali
dan
mendemostrasikan
cara
menyuntikan insulin, cara
menyusun dan memilih
20. Jelaskan kepada pasien dan keluarga
tentang perkembangan penyakit,
perawatan luka pada kaki
21. Jelaskan
kepada
pasien
menggunakan jaminan untuk biaya
rumah sakit bila memungkinkan.
NIC :
Edukasi dengan pendekatan SEEIP (Self
Efficacy
Enhancing
Intervention
Program)
Regulator :
1. Bina hubungan saling percaya
2. Tentukan
tujuan
pendiidkan
kesehatan dengan pasien yaitu :
memahami tentang DM dan
komplikasinya, perencanaan makan,
aktivitas fisik,
pengobatan dan
perawatan kaki diabetik.
3. Libatkan keluarga atau penunggu
pasien dalam program pendidikan
kesehatan
4. Berikan edukasi
dan konseling
dengan pendekatan SEEIP.
5. Libatkan dokter dan ahli gizi dalam
edukasi dan konseling
6. Lakukan evaluasi pada akhir
program pendidikan kesehatan :
dengan
menanyakan
dan
menganjurkan
pasien
untuk
mendemonstrasikan kembali cara
menyuntikan insulin, cara menyusun
dan memilih menu makan diabetisi,
perawatan kaki dan senam dan kaki
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Hasil evaluasi menunjukkan perilaku
yang adaptif dari pasien
S: Pasien mengatakan memahami apa
yang telah disampaikan oleh praktikan
tentang
DM,
komplikasinya
dan
perawatannya.
O:
 Pasien mampu menjelaskan kembali
dan
mendemostrasikan
cara
menyuntikan insulin, cara menyusun
dan memilih menu makan sesuai
diitnya,
 Pasien mampu mendemonstrasikan
cara perawatan kaki
 Pasien mampu mengikuti gerakan
senam kaki pada kaki yang sehat
 Skor atau nilai DMSES (Diabetes
Scale):
Mellitus
Self-efficacy
meningkat menjadi 138
 Skore PTES (Perceived Therapeutic
Efficacy Scale): meningkat menjadi
110
A: masalah teratasi
P : pertahankan intervensi
Anjurkan pasien untuk mengikuti
edukasi di poliklinik penyakit dalam dan
59
bergabung ke persadia
diabetik.
menu
makan
sesuai
diitnya, perawatan kaki Kognator :
dan senam dan kaki 7. Diskusikan
dengan
pasien
diabetik.
programpendidikan kesehatan yang
dilakukan, teknik yang digunakan,
waktu dan tempat pelaksanaan.
9
Koping
tidak
efektif
berhubungan dengan krisis
situasi akibat penyakit
kronis dan pengobatan
yang lama dan kompleks;
kurang
pengetahuan
tentang
koping
yang
efektif ditandai dengan :
NOC : koping adaptif
Terjadi peningkatan adaptasi
terhadap mekanisme koping
setelah dilakukan tindakan
selama 5x24 jam, dengan
kriteria hasil:
a. Menyatakan
memahami
pengaruh kondisi terhadap
dirinya.
Data subjektif:
b. Menyatakan
kemauan
 Pasien menyatakan masih
untuk
menggunakan
belum percaya dengan
sumber-sumber yang ada.
kondisi kakinya saat ini
c. Menggunakan
support
 Pasien
mengatakan
system yang ada
menyesal memakai alas d. Bisa
menggunakan
kaki
rematik
yang
teknik relaksasi saat
membuat
kakinya
mengalami stressmampu
kapalan
menggunakan koping yg
 Pasien mengatakan sedih
efektif
harus berpisah lama
dengan anak bungsunya
yang masih kecil
Data Obyektif :
 Pasien tampak sedih
ketika mengungkapkan
Hasil evaluasi menunjukkan perilaku
yang adaptif dari pasien
S:
Pasien mengatakan walaupun dirinya
tidak sekuat dulu lagi tapi akan berusaha
untuk tetap sehat sehingga bisa terus
Aktifitas Regulator:
 Eksplorsi
koping
yang
biasa merawat anak dan pasien akan tetap
digunakan, dukung koping yang berusaha melakukan aktifitas sesuai
dengan kemampuanny, kembali lagi
positif.
berjualan sayur di rumahnya
 Identifikasi harapan pasien.
 Bantu
pasien
mengidentifikasi
O: pasien terlihat lebih tenang, banyak
kemampuan dalam mengatasi stress.
mendekatkan diri dengan Tuhan ketika
 Berikan pujian atas koping positif.
sedih
A: masalah teratasi
Aktifitas cognator:
 Diskusikan tentang koping yang P : pertahankan intervensi
efektif
 Diskusikan peran keluarga dlm
merubah perilaku dan membantu
pasien
dlm
beradaptasi
&
meningkatkan koping efektif.
NIC :
 Peningkatan koping
 Konseling
 Pembelajaran individu
Jelaskan
tentang
penyakit
&
penatalaksanaannya untuk membantu
pasien dlm mengambil keputusan.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
60
perasaanya.
10
Risiko
ketidakefektifan
regimen
terapeutik
berhubungan dengan defisit
pengetahuan
tentang
penatalaksanaan DM
di
tandai dengan :
Data Subjektif:
 Pasien menyatakan 2
tahun sebelum masuk RS
pasien di diagnosa DM
tipe 2 tetapi tidak
melakukan
kontrol
teratur karena sibuk
berdagang dan tidak
memahami
tentang
penatalaksanaan DM.
 2 tahun yang lalu


pasien
pernah
mendapatkan
obat
hipoglikemia
oral,
tetapi tidak diminum
secara teratur karena
merasa badannya sudah
merasa nyaman,
Riwayat hipertensi 20
tahun yang lalu tanpa
pengobatan.
Pernah mendapatkan
penyuluhan
tetang
diabetes sebanyak 1
NOC : regimen terapeutik
efektif
Pasien mampu adaptif dalam
fungsi fisiologis endokrin
(mampu memahami DM dan
penatalaksanaanya) setelah 7
hari
dilakukan
tindakan
keperawatan dengan kriteria
hasil :
 Pasien
dan
keluarga
memahami :1. DM dan
komplikasinya.2. aktifitas
fisik
pasien
DM.3.
perencanaan makan DM.
4. pemeriksaan kaki dan
perawatan kaki DM. 5.cara
menyuntikan insulin.
 Pasien mematuhi diet yang
dianjurkan
 Pasien mematuhi regimen
penatalaksanaan DM
 Pasien dapat menjelaskan
kembali
dan
mendemostrasikan
cara
menyuntikan insulin, cara
menyusun dan memilih
menu
makan
sesuai
diitnya, perawatan kaki
dan senam dan kaki
diabetik.
NIC :
Edukasi dengan pendekatan SEEIP (Self
Efficacy
Enhancing
Intervention
Program)
Regulator :
8. Bina hubungan saling percaya
9. Tentukan
tujuan
pendiidkan
kesehatan dengan pasien yaitu :
memahami tentang DM dan
komplikasinya, perencanaan makan,
aktivitas fisik,
pengobatan dan
perawatan kaki diabetik.
10. Libatkan keluarga atau penunggu
pasien dalam program pendidikan
kesehatan
11. Berikan edukasi
dan konseling
dengan pendekatan SEEIP.
12. Libatkan dokter dan ahli gizi dalam
edukasi dan konseling
13. Lakukan evaluasi pada akhir
program pendidikan kesehatan :
dengan
menanyakan
dan
menganjurkan
pasien
untuk
mendemonstrasikan kembali cara
menyuntikan insulin, cara menyusun
dan memilih menu makan diabetisi,
perawatan kaki dan senam dan kaki
diabetik.
Kognator :
14. Diskusikan
dengan
pasien
programpendidikan kesehatan yang
dilakukan, teknik yang digunakan,
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Hasil evaluasi menunjukkan perilaku
yang adaptif dari pasien
S: Pasien mengatakan memahami apa
yang telah disampaikan oleh praktikan
tentang
DM,
komplikasinya
dan
perawatannya.
O:
 Pasien mampu menjelaskan kembali
dan
mendemostrasikan
cara
menyuntikan insulin, cara menyusun
dan memilih menu makan sesuai
diitnya,
 Pasien mampu mendemonstrasikan
cara perawatan kaki
 Pasien mampu mengikuti gerakan
senam kaki pada kaki yang sehat
 Skor atau nilai DMSES (Diabetes
Scale):
Mellitus
Self-efficacy
meningkat menjadi 138
 Skore PTES (Perceived Therapeutic
Efficacy Scale): meningkat menjadi
110
A: masalah teratasi
P : pertahankan intervensi
Anjurkan pasien untuk mengikuti
edukasi di poliklinik penyakit dalam dan
bergabung ke persadia
61
kali, tetapi
banyak
yang lupa isi materi
yang telah disampaikan
waktu dan tempat pelaksanaan.
Data Obyektif :
 Tidak mematuhi diit


RS (makan dari luar)
Skor atau nilai DMSES
(Diabetes Mellitus Selfefficacy Scale): 115
Skore PTES (Perceived
Therapeutic
Efficacy
Scale): 78.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
62
3.3
Pembahasan Berdasarkan Teori Adaptasi Roy
Pembahasan
asuhan keperawatan pada Ny. T dengan penerapan teori adaptasi Roy, yang
dimulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi. Adapun tujuan dari asuhan keperawatan ini
sesuai dengan Teori Adaptasi Roy yaitu membantu seseorang untuk beradaptasi terhadap
perubahan kebutuhan fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi selama sehat dan
sakit (Perry & Potter, 2005). Kebutuhan terhadap asuhan keperawatan terjadi ketika seseorang
tidak dapat beradaptasi terhadap kebutuhan lingkungan internal dan eksternal. Perawat
memegang peranan untuk membantu pasien beradaptasi terhadap kebutuhannya tersebut. Berikut
ini praktikan akan membahas asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada Ny. T berdasarkan
perubahan kebutuhan dari empat model adaptasi menurut Teori Adaptasi Roy.
3.3.1
Mode adaptasi fisiologis
Menurut Roy, ada sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus dipenuhi seseorang untuk
mempertahankan integritasnya. Dari pengkajian fisiologis tersebut, ada 6 masalah keperawatan
yang didapat pada Ny. T, yaitu:
3.3.1.1 Infeksi, risiko sepsis berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, penurunan fungsi
leukosit, perubahan sirkulasi darah perifer. Diagnosa keperawatan risiko infeksi
didefinisikan sebagai kondisi individu yang mengalami peningkatan risiko terserang
organisme patogenik dengan faktor risiko adanya penyakit kronis, imunitas tidak adekuat,
pertahanan tubuh primer tidak adekuat (misal: integritas kulit tidak utuh, jaringan yang
mengalami trauma), pertahanan tubuh sekunder yang tidak adekuat (misal penurunan HB,
leukopenia), malnutrisi, serta pengetahuan yang kurang untuk menghindari pajanan
patogen (Herdman, 2011). Peningkatan kadar glukosa darah tidak terkendali
menyebabkan abnormalitas leukosit sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang
terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid menurun sehingga bila ada
infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh sistem phlagositosis-bakterisid
intra selluler. Seperti pada Ny. T yang mempunyai riwayat DM yang tidak terkontrol 2
tahun yang lalu, kondisi ini diperberat dengan masih adanya sumber infeksi berupa
osteomilitis di metatarsal V distal dan digiti V phalax I pedis dextra.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
63
Infeksi kulit pada ektremitas bawah merupakan infeksi yang paling sering terjadi. Ulkus
kaki terinfeksi biasanya melibatkan mikro organisme, yang tersering terlibat adalah.
Stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob (Perkeni, 2011).
Menurut Black & Hawk (2005) terdapat 3 faktor yang berkontribusi pada perkembangan
infeksi, antara lain : kelemahan fungsi lekosit, neuropati diabetik, dan ketidakcukupan
vaskularisasi. Buruknya kontrol glikemik meningkatkan peran dari ketiga faktor tersebut.
Lokasi yang mengalami infeksi akan sembuh perlahan karena terjadi kerusakan sistem
vaskuler yang tidak bisa membawa oksigen, sel darah putih, nutrisi, dan antibodi ke
lokasi yang mengalami infeksi.
Ulkus kaki pada Ny.T diawali dengan ketidaktahuan dalam perawatan kaki DM, pasien
memakai alas kaki dengan insole yang tajam dan keras (alas kaki refleksi) yang
menyebabkan munculnya kalus dan ulkus. Baal yang dirasakan Ny.T karena neuropati
sensori, Neuropati sensori akibat kadar glukosa darah tidak terkendali, menimbulkan
perubahan jaringan syaraf karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga
mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia (neuropati),
menurunnya reflek otot, atrofi otot, kulit kering dan hilang rasa (Black & Hawk, 2005).
Ny.T juga mengalami neuropati autonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga
kulit kering, tampak mengkilat, kulit ujung jari pecah-pecah dan hal ini mudah
mengalami perlukaan.
Proses terjadinya ulkus kaki pada Ny.T karena tekanan/ beban berat badan, jaringan yang
mengalami tekanan berlebihan akan memicu sel syaraf untuk mengirimkan impuls ke
otak. Tekanan yang berlebihan akan diartikan sebagai nyeri sehingga tubuh akan
berespon untuk mengistirahatkan daerah tersebut. Respon lokal yang terjadi dijaringan
tersebut berupa pelepasan fibrin, neutrofil, platelet dan plasma beserta peningkatan aliran
yang menyebabkan edema. Edema menekan pembuluh darah kapiler, semakin lama akan
menyebabkan iskemik. Jaringan yang iskemik menyebabkan semakin meningkatkan
pelepasan mediator inflamasi (James, Timothy & Dirk, 2000).
Pengkajian luka: luas ulkus plantar kanan 3 x 4 cm, grade II karena luka telah mencapai
jaringan sub kutis yang meliputi fasia dan otot. Ditemukan cairan serosapurulenta dari
ulkus, bau, maserasi di kulit sekitar luka. Kondisi ini di akibatkan oleh beberapa faktor
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
64
antara lain buruknnya pasokan darah ke ekstremitas bagian bawah menyebabkan sulitnya
penyembuhan jaringan lunak yang luka. Pada pemeriksaan Ny. T menunjukkan kaki
kanan edema, pucat, pengosongan pembuluh perifer 3 detik, nadi poplitea kaki kanan
teraba lebih kecil di banding yang kiri. Pada pemeriksaan Doppler sonografi didapatkan
nilai ABI (Ankle Brakhial Indeks) kaki kanan tidak terkaji, kaki kiri nilai 0,92 , albumin
: 2,9, HB : 10, 2 gr/dl, masih adanya sumber infeksi, dari hasil foto rontgen pedis di
ketemukan osteomilitis metatarsal V distal dan digiti V phalanx I pedis dextra (gambar
3.3, lampiran 3).
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah infeksi, risiko sepsis pada Ny.T
adalah dengan melalui aktifitas regulator dan cognator yang meliputi manajemen infeksi,
manajemen metabolik, manajemen luka, manajemen nutrisi, kontrol tekanan dan edukasi.
Beberapa intervensi keperawatan yang dilakukan pada Ny. T berupa manajemen luka
yaitu melakukan perawatan luka yang aseptik dan antiseptik, membuang jaringan
terinfeksi dan nekrotik secara teratur. Perawatan luka pada Ny.T dilakukan dengan
menggunakan cairan normal saline yaitu NaCl 0.9%. Pembersihan menggunakan cairan
ini menurut Nursing Best Practice Guidline (2005) dilakukan pada luka dengan infeksi,
karena cairan ini dapat membersihkan debris luka. Pada ulkus pedis yang terdapat slough
dilakukan irigasi dengan tekanan 13 psi, berdasarkan penelitian dari Joanna Briggs
Institute (2006) irigasi dengan tehnik 13 yang statistik mampu menurunkan infeksi
(p=0.017) dan inflamasi (p=0.034). Kontrol metabolik, yaitu dengan pengendalian
keadaan metabolik sebaik mungkin seperti:, pemantauan kadar glukosa darah, karena bila
kadar gula darah tidak terkontrol bahkan lebih dari 300 mg/dl akan mempersulit
penyembuhan luka. Humulin 30/70 :10-0-10 UI, merupakan jenis insulin campuran
insulin kerja pendek dan kerja menengah, manfaat Insulin, selain dapat memperbaiki
status metabolik dengan cepat, terutama kadar glukosa darah, juga memiliki efek lain
yang bermanfaat, antara lain perbaikan inflamasi. Intervensi kontrol vaskuler yaitu
memperbaiki suplai vaskuler dengan kolaborasi pemberian heparin 5000 u/ 12 jam, untuk
memperbaiki aterosklerotik. Intervensi kontrol tekanan, dengan meninggikan kaki 15-22
cm dari posisi supinasi dan mencegah penekanan pada luka, menganjurkan pasien
berjalan dengan bantuan kruk, dengan kaki kanan tidak untuk menumpu berat badan.
Tindakan pencegahan untuk mencegah luka baru dengan memberikan lotion atau kream
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
65
pada kaki yang kering dan pecah-pecah di sekitar luka kecuali di celah-celah antara jarijari kaki sehingga tidak menambah luas luka. Kontrol infeksi: dengan memberikan
ceftriaxone 2 x 1 g dan metronidazole 500 mg/8 jam. Ceftriaxone bersifat bakterisidal,
metronidazole untuk bakteri yang bersifat anaerob.
Hasil evaluasi pada Ny. T Pada post operasi STSG hari ke lima, luas luka pada kruris
kaki kanan 25 x 6 cm2. Kulit donor terlihat tidak menempel, diketemukan slough dan pus
di kulit donor. Ulkus pada plantar pedis kanan masih berbau, masih terdapat slough,
mudah berdarah pada jaringan granulasi, pasien direncanakan untuk pemeriksaan
atherografi, akan tetapi karena faktor keterbatasan ekonomi, pemeriksaan tersebut tidak
dilakukan. Setelah 16 hari perawatan, menunjukkan sebagian perilaku adaptif, dimana
tanda-tanda infeksi berkurang: luka post operasi STSG kemerahan (jaringan granulasi),
Slough berkurang, (perkembangan luka dalam gambar 3.4 lampiran 4). ABI: kanan tidak
terkaji, kiri 1,0, hasil laboratorium GDS 116 mg/dl serta albumin darah 3,7 g/dl, HB : 11
gr/dl. leukosit : 7,5 rb/ul, PT : 14,2 detik, APTT : 45,2 detik, D.Dimer : 300 ng/ml
Kriteria waktu yang ditetapkan tidak sesuai dengan hasil, hal ini diakibatkan
keterlambatan penyebuhan luka, akibat faktor internal (hipoalbumin, hiperkoabilitas,
hiperglikemia yang belum terkontrol) dan faktor ekternal infeksi). Saat pasien pulang,
mode fisiologi proteksi masih inefektif. Rekomendasinya anjurkan dan motivasi pasien
untuk kontrol ke poliklinik secara teratur, ajarkan cara pencegahan infeksi. Menurut
praktikan perlu ada upaya sistem rujukan untuk menyelesaikan masalah ini, karena
banyak pasien dengan ulkus kaki diabetik yang pulang paksa karena alasan keterbatasan
biaya. Kerjasama dengan keperawatan komunitas untuk melanjutkan program perawatan
sangat di harapkan untuk mengatasi komplikasi yang diakibatkan infeksi akibat
perawatan yang tidak tuntas.
3.3.1.2 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan tubuh menggunakan glukosa, status hipermetabolik, proses infeksi,
anoreksia, penurunan masukan oral.
Perubahan nutrisi adalah resiko terjadinya keadaan individu yang mengalami asupan
nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Batasan karakteristik untuk
menegakkan diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah menghindari makan,
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
66
kurang minat terhadap makan, kehilangan rambut yang berlebihan, tonus otot menurun,
serta melaporkan asupan makanan yang tidak adekuat (Herdman, 2011). Pada Ny. T
ditemukan data tidak adekuatnya intake nutrisi dimana pasien hanya makan ½ porsi yang
diberikan, menyatakan tidak nafsu makan, bosan dengan makanan yang disajikan dari
RS, terjadi penurunan berat badan 25 kg dalam 2 tahun terakhir, klien mempunyai
riwayat DM sejak 2 tahun yang lalu yang tidak terkontrol dan riwayat hipertensi sejak 20
tahun yang lalu yang tidak terkontrol. BB sekarang : 50 Kg, TB: 150 cm, IMT : 22,2,
rambut rontok, konjungtiva anemis, tonus otot lembek, badan lemah. Hasil laboratorium
tanggal 28/2/12: Hb 7,3 gr/dl, protein total 6.49, albumin 2.90 g/dl, globulin 3.50 g/dl,
A1C = 6,7 %; GDP 179 mg/dL; GD 2 jam PP : 247 mg/dl. Menurut Roy, perilaku
adaptif pada pemenuhan nutrisi ditunjukkan adanya kemampuan beradaptasi pada
digestif dan metabolisme (Roy & Andrew, 1999).
Penurunan BB yang cepat, keluhan badan lemah dan cepat lelah pada Ny. T akibat
hiperglikemia dan riwayat DM yang tidak terkontrol. Kondisi tersebut akibat resistensi
insulin sehingga glukosa tidak terdistribusikan ke sel-sel yang mengakibatkan starvasi
sel, kurangnya nutrisi pada jaringan tubuh, yang mengakibatakan tubuh menjadi mudah
lelah dan lemah, produksi energi turun. Penurunan energi tersebut menstimulasi rasa
lapar, dan seseorang makan dengan jumlah lebih banyak (poliphagi). Ketika kadar insulin
menurun, terjadi peningkatan produksi glukagon yang menyebabkan glikogenolisis
(pemecahan glikogen yang disimpan dihati menjadi glukosa) dan glukoneogenesis
(pembentukan glukosa selain dari karbohidrat, yang diperoleh dari protein dan lemak).
Sehingga walaupun pasien DM banyak makan, pasien mengalami penurunan berat badan
yang cepat. Pembentukan glukosa dari simpanan lemak akan menyebabkan peningkatan
asam lemak bebas yang ditandai dengan peningkatan profil lipid (Black & Hawk, 2005;
LeMone & Burke, 2008). Pada Ny. T profil lipid masih dalam batas normal LDL : 60
mg/dl, HDL : 42 mg/dl, trigliserida : 85 mg/dl, akan tetapi perlu diwaspadai komplikasi
penyakit vaskuler karena Ny. T mempunya riwayat hipertensi selama 20 tahun yang tidak
terkontrol.
Ny. T mengalami hipoalbumin, dari hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 28/2/12
protein total 6.49, albumin 2.90 g/dl, globulin 3.50 g/dl Hipoalbuminemia merupakan
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
67
masalah yang sering dihadapai pada pasien dengan penyakit kronik, seperti DM.
Albumin merupakan protein serum dengan jumlah paling besar yaitu 50 % dari seluruh
protein tubuh.. Albumin menjaga tekanan onkotik koloid plasma sebesar 75-80 %. Jika
terjadi hipoalbumin maka akan terjadi ketidakseimbangan tekanan hidrostatik yang akan
menyebabkan terjadinya edema. Fungsi albumin yang lain adalah sebagai transport
berbagai macam substasi termasuk bilirubin, asam lemak, logam, ion, hormone, dan obatobatan.
Hipoalbumin yang terjadi pada Ny. T
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
kekurangan intake protein yang dilihat dari riwayat intake nutrisi yang inadekuat
(anoreksia). Defesiensi intake protein terjadi kerusakan pada reticulum endoplasma sel
yang berpengaruh pada sintesis albumin dalan sel hati. Penyebab hipoalbumin lainnya
akibat peningkatan pengeluaran albumin karena inflamasi akut ataupun kronis. Pada
inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat respon inflamasi pada
stress fisiologis (infeksi, bedah, trauma) mengakibatkan penurunan kadar albumin
melalaui mekanisme: (1) Peningkatan permeabilitas vascular (albumin berdifusi ke
ekstravaskular); (2) Peningkatan degradasi albumin; (3) Penurunan sintesis albumin
(TNF-α yang berperan dalam penurunan trankripsi gen albumin) (Black & Hawk, 2005).
Tujuan terapi gizi medis pada pasien diabetes melitus tipe II membantu memperbaiki
kebiasaan gizi, mempertahankan glukosa darah, mencapai kadar serum lipid optimal,
memberikan energi yang cukup, mencapai berat badan yang memadai dan menghindari
terjadinya komplikasi (Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2011). Intervensi yang
dilakukan untuk mengatasi masalah perubahan nutrisi pada Ny.T adalah dengan melalui
aktifitas regulator dan cognator yang meliputi monitoring nutrisi, manajemen nutrisi dan
edukasi dengan pendekatan SEEIP tentang pentingnya diit yang dianjurkan untuk
kesembuhan penyakit, hal ini diharapkan agar terjadi perubahan prilaku pada pasien dan
keluarga agar dapat menyadari faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhannya
terhadap kebutuhan nutrisi. Tindakan kolaborasi meliputi penyediaan diet DM 1700 kkal,
RG < 2 gr/hr + protein 80 gr/hr, humulin 30/70 :10-0-10 UI, Ondancentron 4 mg/ 8 jam,
dan monitor Hb dan albumin. Diet DM 1700 kalori pada Ny T diberikan berdasarkan
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
68
penghitungan rumus Brocca, yang dikoreksi berdasarkan faktor jenis kelamin, usia,
aktivitas dan stress metabolik. Makanan dibagi dalam 3 porsi besar : makan pagi (20%),
makan siang (30%), makan sore (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara
makanan besar. Distribusi makanan berdasarkan konsesus Perkeni (2011) yaitu : 1)
Karbohidrat 45%- 65% (191,25 – 276,25 gram); 2) Lemak 20-25% (37,8 – 47,2gram);
protein 10-20 % (42,5-85 gram). Tidak ada perubahan distribusi makanan, karena profil
lipid dan fungsi ginjal pasien masih dalam batas normal. Pasien diberikan diet rendah
garam < 2gr/hari, karena pasien juga mengidap hipertensi, intervensi yang di berikan
kepada Ny. T berupa penyuluhan pembatasan sumber natrium. Hipoalbumin dikoreksi
dengan pemberian protein 80 gr/hari. Kebutuhan protein dalam keadaan stress metabolik
yaitu > 1.5 gram /KgBB, dengan keadaan fungsi ginjal dan hati yang normal. Pemberian
protein diperoleh dari pemberian ekstra putih telur selama di RS dan menganjurkan
keluarga memberikan ikan gabus (dengan tetap memperhatikan diit RG < 2gr/hari), untuk
variatif menu, mengantisipasi kebosanan pada pasien. Berdasarkan penelitian Supriyatno
(2003) konsumsi ikan gabus (Ophiochepalus striatus) meningkatkan kadar albumin darah
pasien pasca operasi dapat mempercepat penyembuhan luka hingga 30% (dari rerata 10
hari menjadi 7 hari). Untuk mengatasi anemia pada Ny. T penatalaksanaanyanya berupa
kolaborasi pemberian PRC (Packet Red Cel)sebanyak 600 cc.
Hasil evaluasi pada Ny. T hari ke-3 sebagian perilaku masih inefektif, pasien merasakan
masih lemes, pasien menyatakan bosan dengan makanan yang disajikan, karena rasanya
hambar. Perilaku adaptif nafsu makan sedikit meningkat, makan yang dihabiskan ½- ¾
porsi dari yang disediakan. Setelah 7 hari perawatan dalam masalah nutrisi ini adalah Ny.
T menunjukkan sebagian perilaku adaptif, dimana pasien telah menghabiskan makan
yang disediakan RS, keluhan penurunan nafsu makan tidak ada, pasien juga mengatakan
akan berusaha mematuhi diit yang telah dianjurkan bagi kesembuhan dirinya. Perilaku
inefektif masih ditemukan pada hasil pemeriksaan gula darah sewaktu pasien yaitu 116
mg/dl serta albumin darah yang masih rendah (3,2 g/dl).
3.3.1.3 Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan. Nyeri adalah sensori yang
tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual atau
potensial, kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan (Herdman, 2011).
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
69
Rasa nyeri disebabkan oleh kerusakan jaringan, kondisi ini menyebabkan impuls nyeri
yang berasal dari nosiseptor disalurkan ke SSP melalui serat aferen. Pada kondisi
peradangan akibat cedera jaringan, akan terjadi pengaktifan oleh zat-zat kimia, terutama
bradikinin (suatu zat yang dalam keadaan normal inaktif dan diaktifkan oleh enzimenzim yang dikeluarkan ke dalam CES oleh jaringan yang rusak) yang menstimulasi
nosiseptor polimodal sebagai jalur nyeri lambat (Price & Wilson, 2008).
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah infeksi, risiko sepsis pada Ny.T
adalah dengan melalui aktifitas regulator dan cognator yang meliputi, manajemen nyeri,
kontrol metabolik, kontrol vaskuler kontrol, presurres kontrol, analgetik administration,
manajemen pengobatan. Manajemen nyeri yang dilakukan antara lain mengajarkan tehnik
relaksasi, nafas abdomen dengan frekuensi lambat, beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri punggung dan nyeri pasca
operasi (Lorenti, 1991; Miller & Perry, 1990). Memberikan
tehnik distraksi, yaitu
memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain rasa nyeri, tehnik ini menjadi strategi
yang sangat berhasil dalam menurunkan tingkat nyeri (Fabio et al, 2006). Tindakan
kolaborasi pemberian obat neuralgia gabapentin 100mg/8 jam, yang diindikasikan untuk
nyeri pada neuropati diabetik.
Hasil evaluasi pada hari ke 5 post operasi, kenyamanan masih inefektif, pasien masih
merasakan nyeri terutama di daerah donor (paha kanan). Pada hari ke 7 post operasi
sebagian perilaku mulai adaptif pasien mengatakan nyeri berkurang, skala nyeri 4, nyeri
hilang timbul, masih terasa nyeri saat dilakukan perawatan luka, nyeri terbatas di daerah
luka, pasien mampu mempraktekkan tehnik relaksasi, ekspresi wajah lebih rileks, vital
sign: TD 120/80mmHg, nadi 84 x/mnt, respirasi 18x/mnt. Rekomendasi: anjurkan pasien
melakukan tehnik relaksasi seperti yang telah diajarkan sebelumnya, anjurkan pasien
untuk meninggikan kaki kanannya 15-22 cm, anjurkan pasien tidak menumpu pada kaki
yang sakit saat berjalan, anjurkan untuk kontrol kakinya secara teratur.
3.3.1.4 Tidak efektifnya perfusi jaringan perifer berhubungan dengan hiperkoabilitas,
hipertensi, diabetes mellitus. Penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat
mengganggu kesehatan dengan batasan karakteristik edema, denyut nadi lemah atau tidak
ada, perubahan sensasi, perubahan suhu kulit, keterlambatan penyembuhan luka perifer,
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
70
pulsasi arteri kurang, warna kulit pucat, warna tidak kembali pada penurunan kaki, nyeri
ekstremitas, klaudikasi, perubahan karakteristik kulit (warna, elastisitas, rambut,
kelembaban, kuku, sensasi, suhu) (Herdman, 2011). Pada Ny. T diketemukan tanda dan
gejala berupa baal dan kesemutan ditelapak kaki, pengkajian ABI (Ankle Brakial Index)
kaki kanan tidak bisa terkaji, karena terdapatnya luka di dorsal pedis dan daerah tibialis
posterior, ABI kaki kiri 0,92. ABI merupakan pemeriksaan membandingkan tekanan
sistolik ankle dengan brachial, yang berguna untuk menentukan perfusi arteri ekstremitas.
Menurut Mohler (2003), nilai ABI >1,30 menggambarkan tidak ada kompresi pembuluh
darah, nilai ABI 0,91-1,30 normal, nilai ABI 0,41-0,90 PAD ringan sampai sedang, ABI
0,00-0,40 PAD berat.
Ny. T mempunyai riwayat hipertensi 20 tahun yang lalu, dimana hipertensi meningkatkan
risiko terjadinya PAD 10% pada suatu studi (Faxon, 2004). Hipertensi merupakan salah
satu faktor dalam resistensi insulin/ sindrom metabolik dan sering menyertai DM tipe 2.
Hipertensi akan memperberat disfungsi endotel dan meningkatkan risiko penyakit
jantung koroner. Hipertensi disertai stres oksidatif dan aktivitas spesies oksigen radikal,
yang selanjutnya akan memediasi terjadinya kerusakan pembuluh darah akibat aktivasi
angiotensin II dan penurunan aktivitas enzim super oxide dismutate (Sudoyo, 2006)
Ny. T mengalami hiperkoagulabilitas, dilihat dari hasil pemeriksaan D dimer mengalami
peningkatan (600mg/ml). D-dimer adalah suatu jenis uji sampel darah di laboratorium
yang bertujuan untuk membantu melakukan diagnosis penyakit dan kondisi yang
menyebabkan hiperkoagulabilitas: suatu kecenderungan darah untuk membeku melebihi
ukuran normal. Salah satu kondisi yang umum ditemukan adalah pada trombosis vena
dalam (DVT/ deep vein thrombosis) yang berhubungan dengan pembekuan darah di
dalam pembuluh darah balik (vena) di dalam tubuh terutama di kaki yang menyebabkan
penyumbatan alirah darah di kaki sehingga menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan
Carr, 2001). Pada diabetes melitus terjadi keadaan hiperkoagulabilitas dengan aktivasi
trombosit yang bersifat kronik, pengaktifan sistem koagulasi dan penurunan fibrinolisis
(Carr, 2001). Pada penderita DM terjadi peningkatan substansi yang mengaktivasi
trombosit dan substansi yang menyebabkan vasokonstriksi. Perubahan-perubahan pada sel
endotel tersebut akan menyebabkan peningkatan produksi dari tissue factor (TF), substansi
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
71
prokoagulan utama yang ditemukan pada plak aterosklerotik, juga berhubungan dengan
aktivasi dan agregasi dari trombosit (Yngen, 2005).
Pada penderita DM, terjadi kerusakan endotel pembuluh darah sehingga terjadi keadaan
hiperfungsi trombosit serta penurunan dari mekanisme anti agregasi. Pasien dengan
peningkatan jumlah trombosit yang patologis (trombositosis) memiliki resiko yang lebih
tinggi untuk menderita penyakit thrombosis (Yngen, 2005). Risiko trombosis vena pada
Ny. T dapat diperberat dengan riwayat imobilisasi yang lama atau stasis vena. Stasis
mengganggu pembersihan faktor koagulasi aktif dan membatasi aksesbilitas trombin di
vena menempel ke trombomodulin. Protein ini terdapat dalam densitas terbesar di
pembuluh darah kapiler (Yngen, 2005).
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakefektifan perfusi jaringan
perifer pada Ny.T adalah dengan melalui aktifitas regulator dan cognator yang meliputi
manajemen metabolik,
vaskuler
kontrol
dan
presures
kontrol,
yaitu
dengan
monitor sensasi tajam, tumpul dan panas, dingin; Inspeksi warna kulit, temperatur,
hidrasi, tekstur; palpasi nadi dorsal pedis dan nadi posterior tibial; periksa adanya
perubahan bentuk pada kaki; monitor kekuatan otot kaki dan pergelangan kaki;
monitoring nadi dorsal pedis dan nadi posterior tibial periksa adanya nyeri pada saat
istirahat, nyeri pada malam hari,mengajarkan senam kaki, anjurkan klien untuk memakai
stoking elastis, mengelevasikan kaki 15-22 cm, ajarkan pasien tetang perawatan kaki,
melakukan kolaborasi dengan dokter pemberian humulin 30/70 : 10-0-10 UI, terapi
heparin 5000 U/12 jam dan captopril 12,5 mg/12 jam, untuk memperbaiki metabolik dan
kontrol vaskulernya.
Salah satu intervensi keperawatan yang diberikan adalah dengan mengajarkan dan
memotivasi pasien untuk tetap melakukan senam kaki diabetik pada kaki yang sehat dan
mobilisasi. Senam kaki harus dilakukan secara teratur, minimal lima kali dalam sehari.
Tujuannya adalah melancarkan aliran darah kaki sehingga nutrisi untuk jaringan lebih
lancar, menguatkan otot betis dan telapak kaki sehingga sewaktu berjalan kaki menjadi
lebih stabil, menambah kelenturan sendi sehingga kaki terhindar dari sendi kaku,
memelihara fungsi saraf latihan ini bermanfaat agar koordinasi gerak tetap terpelihara,
meningkatkan ketahanan jantung dan paru sehingga daya tahan aktivitas fisik bertambah,
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
72
menambah toleransi jalan, dan meningkatkan skill dan motivasi. Indikator yang dapat
digunakan untuk melihat perbaikan vaskularisasi pembuluh darah kaki dengan
diberikannya intervensi senam kaki diabetik adalah perbaikan dari nilai ABI dan
monofilamen 10 gr (National Diabetes Education Program, 2008). Mengelevasikan kaki
15-22 cm dan menganjurkan menggunakan stoking elastis
membantu memberikan
kompresi otot betis yang dapat menghindari penumpukan darah vena diekstremitas
bawah (Tossaddak, 1998). Pasien rencanakan angiografi, tetapi karena keterbatasan
ekonomi, tindakan tersebut tidak dilakukan. Kolaborasi pemberian heparin sebagai
antikoagulan meingkatkan efek antitrombin III dalam menetralkan trombin dan protease
serum (Tossaddak, 1998). Captopril sebagai ACE inhibitor mencegah produksi
angiotensi II, sejenis vasokonstrikstor kuat yang menstimulasi produksi aldosteron
dengan menghambat proses konversinya ke bentuk aktif. Akibatnya adalah vasodilatasi
sistemik.
Hasil evaluasi pada Ny. T ke 3 post operasi perfusi jaringan perifer masih inefektif, kaki
kanan masih edema, CRT 3 detik, konjungtiva masih pucat, pasien masih mengeluh
kesemutan. Pasien menunjukkan sebagian perilaku adaptif, yaitu mampu mengikuti
gerakan senam kaki dan gerakan peregangan ekstremitas atas. Setelah hari ke-7 hari post
operasi dimana keluhan kaku pada persendian dan kebas serta kesemutan berkurang,
pemeriksaan dengan dengan monofilamen 10 gr, hasil negatif terutama di daerah tumit
2 titik di bawah ibu jari dan kelingking, edema kaki kanan berkurang, kaki tidak kering,
sensasi fibrasi (-/+), pulsasi nadi poplitea kanan dan kiri teraba kuat. ABI kiri: 1,0.
Tekanan darah : TD 120/80 mmHg, nadi 84 x/mnt. Pemeriksaan laboratorium PT: 14,2
detik, APTT: 45,2 detik, D.Dimer: 300 ng/ml. Rekomendasi intervensi tindak lanjut
pasien dianjurkan tetap melakukan senam kaki diabetes, menggunakan stoking elastis,
menganjarkan memakai kruk saat berjalan menghindari penekanan berlebihan pada kaki
kanan (off loading), anjurkan untuk kontrol DM dan hipertensinya secara teratur.
3.3.1.5 Retensi urine berhubungan dengan neuropati bladder. Retensi urin yaitu tidak
dapat mengosongkan urin secara tuntas. Karakteristiknya: palpasi vesika urinaria terasa
tegang, sakit saat buang air kecil, sampai dengan tidak keluarnya urin sama sekali
(Herdman, 2011). Neuropati otonom sering mempengaruhi organ yang mengontrol buang
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
73
air kecil dan fungsi seksual. Kerusakan saraf dapat menggangu pengosongan kandung
kemih, sisa urine dalam kandung kemih dapat memungkinkan bakteri tumbuh di kandung
kemih yang menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika saraf kandung kemih yang rusak,
inkontinensia
dan retensi urin terjadi karena seseorang tidak dapat merasakan saat
kandung kemih penuh atau tidak dapat mengontrol otot-otot spinkter urine untuk
mengeluarkan urin (National Diabetes Information Clearinghouse, 2008).
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah retensi urin pada Ny.T adalah dengan
melalui aktifitas regulator dan cognator yang meliputi : monitoring cairan, manajemen
eliminasi urin, perawatan selang urin, perawatan retensi urine, perawatan perineal,
bladder training, terapi latihan: kontrol otot dasar panggul (kegel exercise), yaitu gerakan
seperti menahan kencing yang ditahan selama 3 detik kemudian rileks, latihan ini diulang
10-15 kali tiap sesi, dianjurkan untuk dilakukan 3 atau lebih dalam sehari, menganjurkan
pasien untuk memakai pakaian yang longgar tidak menekan kandung kemih (Healthwise,
2011).
Hasil evaluasi pada Ny. T, hari ke 3 post operasi STSG, sebagian perilaku pasien masih
inefektif, pasien belum bisa merasakan dorongan untuk berkemih, saat di latih untuk
bladder training. Pada hari ke-7 post operasi STSG sebagian perilaku mulai adaptif,
pasien mengatakan mampu melakukan senam otot dasar panggul 4-5 kali sehari, Pasien
belum merasakan ada dorongan untuk berkemih saat dilakukan bladder training.
Rekomendasi : anjurkan pasien untuk melanjutkan latihan/senam otot dasar panggul,
anjurkan segera datang ke tempat pelayanan kesehatan jika merasakan keluhan dalam
berkemih.
3.3.1.6 Intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
penurunan
produksi
energi,
peningkatan kebutuhan energi, perubahan kimia tubuh, kondisi fisik yang lemah, anemia.
Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk
melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau ingin
dilakukan dengan batasan karakteristik menyatakan letih, lemah, ketidaknyamanan
setelah beraktivitas (Herdman, 2011). Pada Ny. T ditemukan data pasien mengeluh
lemas dan cepat capek, aktivitas terbatas di atas tempat tidur, pasien juga mengalami
anemia dengan kadar Hb 7,3gr/dl. Pada pasien diabetes melitus terdapat ketidakmampuan
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
74
untuk menghasilkan insulin dan terjadi resistensi insulin sehingga glukosa tidak bisa
masuk ke dalam otot hal ini akan mengakibatkan menurunnya simpanan kalori sehingga
menyebabkan kelelahan dan kelemahan, kondisi ini diperberat dengan adanya anemia
pada Ny. T. Anemia adalah penurunan konsentrasi hemoglobin atau sel darah merah
kurang dari normal dengan tanda HB <13 gr/dl pada laki-laki, <12 gr/dl pada perempuan,
dan hematokrit < 40% pada laki-laki dan < 36% pada perempuan. Kemungkinan
penyebab terjadinya anemia pada Ny. T antara lain,penurunan produksi sel darah merah
akibat riwayat intake nutrisi (Fe, vitamin B12, asam folat) yang kurang, ataupun akibat
karena blood loss dari ulkus dan luka post debridement ataupun akibat riwayat
penggunaan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDS) seperti aspirin. Pada
kondisi anemia, dimana tidak adekuatnya jumlah hemoglobin yang mengikat 02 untuk
diedarkan keseluruh tubuh untuk proses metabolisme, akan menyebabkan tanda dan
gejala berupa pucat, badan lemah dan mudah lelah, kondisi ini juga terjadi pada Ny. T.
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi intoleransi aktivitas pada Ny.T adalah
melakukan sejumlah aktivitas regulator dan cognator yang terdiri dari manajemen energi
dan exercise promotion. Intervensi yang di berikan antara lain
yaitu membantu
perawatan diri pasien, melakukan manajemen anemia dan mengajarkan teknik untuk
mengurangi kelelahan dan menghemat energi dengan cara mencari alternatif perawatan
diri sesuai dengan kemampuan pasien. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan
aktivitas sehari-hari sesuai toleransi. Berikan makanan yang mengandung nutrien sesuai
dietnya (diet DM 1700 kkal& RG < 2 gr/hr),observasi tanda hipoglikemia/hiperglikemia.
Hasil evaluasi setelah 10 hari perawatan menunjukkan perilaku pasien mulai adaptif
dimana pasien mengatakan keluhan kelemahan berkurang, pasien tidak mudah letih,
pasien mampu melaksanakan aktivitas ringan (makan, mandi dan berhias) sehari-hari
dengan bantuan minimal,
pasien terlihat lebih segar dan tidak hanya tiduran, hasil
laboratorium : albumin darah 3,7 g/dl, HB : 11 gr/dl. Vital sign : TD 120/80 mmHg, nadi
84 x/mnt, respirasi 20x/mnt, suhu 36.3°C.
3.3.2
Mode adaptasi konsep diri
Berdasarkan Teori Adaptasi Roy, konsep diri terdiri dari dua komponen yaitu physical self yaitu
bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
75
tubuhnya, serta personal self yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, spiritual dan
perasaan cemas.
3.3.2.1 Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan kondisi fisik. Gangguan citra
tubuh merupakan konfusi pada gambaran mental dari fisik diri seseorang dengan batasan
karateristik dalam menegakkan masalah tersebut adalah terdapat perubahan aktual pada
fungsi dan struktur depersonalisasi bagian tubuh yang hilang, takut atau penolakan dari
orang lain, berfokus pada kekuatan atau penampilan di masa lalu, perubahan kemampuan
baik fisik maupun interaksi sosial, kehilangan bagian tubuh, menunjukkan keengganan
melihat atau menyentuh bagian tubuh yang sakit.
Intervensi yang dilakukan praktikan untuk mengatasi masalah gangguan citra tubuh pada
Ny. T adalah dengan melakukan aktivitas untuk meningkatkan mekanisme koping
regulator dan cognator, diantaranya dengan mendorong pasien untuk mengutarakan
perasaan dan ketakutan yang dirasakannya, membagi perasaannya dengan keluarga,
mendiskusikan tentang penyakit dan pentingnya program pengobatan DM serta
menganjurkan keluarga untuk selalu memberikan dukungan kepada pasien.
Hasil evaluasi menunjukkan, setelah 10 hari perawatan perilaku pasien dalam mode
konsep diri mulai adaptif. Pasien mulai menerima kondisinya dan juga kebutuhan
pengobatan bagi kelangsungan hidupnya. Pasien terlihat lebih tenang ketika berinteraksi
dengan praktikan, petugas kesehatan, keluarga dan teman sekamarnya, yang terkadang di
selingi dengan bercanda. Pasien mau melihat kondisi kakinya ketika balutan di
buka.Pasien mengatakan dirinya memang masih merasa sedih dengan kondisi kakinya
saat ini, namun jika kehendak Tuhan seperti ini dirinya tidak bisa berbuat apa-apa
kecuali melakukan yang terbaik bagi diri dan keluarganya. Pasien yakin, dengan ikhlas
terhadap penyakit yang dideritanya sekarang dapat sebagai penggugur dosa.
3.3.3
Mode adaptasi fungsi peran
Mode adaptasi fungsi peran terkait dengan pola-pola interaksi sosial seseorang dalam
hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran primer, sekunder dan tersier.
Fokus model ini adalah bagaimana seseorang dapat memerankan dirinya sesuai kedudukannya
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
76
dan peran sebagai pasien saat dirawat. Pada model ini praktikan mengangkat satu diagnosa
keperawatan, yaitu:
3.3.3.1 Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan defisit pengetahuan
tentang penatalaksanaan DM.
Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik merupakan suatu pola pengaturan dan
integrasi program hidup sehari-hari untuk penanganan penyakit atau gejala sisanya yang
tidak memuaskan dalam mencapai tujuan kesehatan yang spesifik (Wilkinson, 2007).
Batasan karateristik dalam menegakkan diagnosa risiko ketidakefektifan regimen
terapeutik antara lain pilihan hidup sehari-hari, pasien/keluarga mengungkapkan tidak
mengambil tindakan untuk memasukkan rutinitas penanganan ke dalam rutinitas seharihari, pasien/keluarga mengungkapkan keinginan untuk mengatur penanganan penyakit
dan pencegahan gejala sisa, mengungkapkan kesulitan melakukan kegiatan yang
dianjurkan untuk mencegah komplikasi.
Kondisi ini terjadi pada Ny. T, pasien mengatakan dalam 2 tahun terakhir ini setelah
dinyatakan DM pasien tidak kontrol secara teratur. Disaaat kakinya merasa sering
kesemutan, pasien sering menggunakan alas kaki refleksi dengan harapan, kesemutan di
kakinya bisa berkurang, akan tetapi setelah beberapa minggu memakai alas kaki refleksi,
muncul kapalan (kalus) yang tebal, semakin lama kapalan retak, muncul luka, bengkak
dan nyeri pasien belum mengetahui dengan benar bagaimana perawatan kaki yang harus
dilakukan pada pasien DM.
Intervensi untuk mengatasi masalah risiko ketidakefektifan regimen terapeutik pada Ny.
T antara lain : bina hubungan saling percaya, tentukan tujuan pendiidkan kesehatan
dengan pasien yaitu: memahami tentang perawatan kaki diabetik, perawatan luka diabetik
dan diit DM, Libatkan keluarga dalam program pendidikan kesehatan, berikan SEEIP
(self Efficacy Enhanching intervention Program) untuk meningkatkan efikasi diri pada
pasien, lakukan evaluasi pada akhir program pendidikan kesehatan : dengan menanyakan
kembali tentang perawatan kaki diabetik, perawatan luka diabetik dan diit DM.
Diskusikan dengan pasien program pendidikan kesehatan yang dilakukan
Hasil evaluasi akhir setelah 7 hari menunjukkan perilaku pasien adaptif dimana pasien
sudah dapat mengikuti program terapeutik, pasien menghabiskan nutrisi yang telah
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
77
disediakan, pasien memahami pentingnya penatalaksanaan DM. Pasien mampu
mempraktekkan cara perawatan kaki, mampu mengikuti gerakan senam kaki pada kaki
yang sehat, mendemostrasikan cara menyuntikan insulin dengan benar, cara menyusun
dan memilih menu makan sesuai diitnya, Skor atau nilai DMSES (Diabetes Mellitus Selfefficacy Scale): meningkat dari 115 menjadi 138 dan skore PTES (Perceived Therapeutic
Efficacy Scale): meningkat dari 78 menjadi 110.
3.3.4
Mode adaptasi interdependensi
Mode ini adalah bagian akhir dari mode adaptasi yang dijabarkan oleh Roy, dimana fokusnya
adalah interaksi untuk saling memberi dan menerima cinta kasih, perhatian dan saling
menghargai. Pada mode ini praktikan mengangkat satu diagnosa keperawatan, yaitu:
3.3.4.1.Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis dan
pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan tentang koping yang efektif.
Koping individu tidak efektif adalah ketidakmampuan membuat penilaian yang tepat
terhadap stressor atau ketidakmampuan untuk menggunakan sumber yang tersedia
(Wilkinson, 2007). Batasan karakteristik untuk mengangkat masalah ini adalah:
perubahan dalam kebiasaan komunikasi, kelelahan, kurangnya perilaku yang berfokus
pada pencapaian tujuan, ketidakmampuan memperhatikan informasi, penurunan
penggunaan dukungan sosial (Herdman, 2011). Berdasarkan karakteristik yang
ditemukan dari hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada Ny. T didapatkan inefektif
pada mode interdependensi, dimana pasien merasa sedih dengan kondisinya saat ini,
adanya ketidakberdayaan yang ditunjukkan oleh pasien merasa dirinya tidak mampu lagi
beraktivitas seperti sebelum sakit. Dari pengkajian stimulus didapatkan data: stress
karena penyakit kronis, dirawat di RS dengan waktu yang relatif lama, dan jauh dari
putranya yang masih kecil, yang masih membutuhkan perhatian dan perawatan dari Ny. T
Intervensi yang dilakukan pada Ny. T untuk membantu mengatasi perubahan peran dari
peran sebagai ibu rumah tangga menjadi pasien, ini diantaranya dengan: menggunakan
teknik yang menenangkan dengan melakukan komunikasi terapeutik guna meningkatkan
kepercayaan pasien, memberikan konseling kepada pasien dengan membantu pasien
untuk menemukan kekuatan yang ada pada dirinya, melibatkan anggota keluarga lainnya
dalam memberikan dukungan kepada pasien sehingga dengan intervensi-intervensi
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
78
tersebut koping pasien dapat meningkat; melakukan peningkatan koping, dalam hal ini
praktikan memotivasi pasien untuk tetap membicarakan setiap apa yang dirasakan dengan
keluarga/perawat; meningkatkan dukungan keluarga dengan menganjurkan keluarga agar
selalu memberikan semangat dan motivasi kepada pasien. Hasil analisis menunjukkan
setelah 7 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif, Pasien mengatakan
walaupun dirinya tidak sekuat dulu lagi tapi akan berusaha untuk tetap sehat sehingga
bisa terus merawat anak dan pasien akan tetap berusaha melakukan aktifitas sesuai
dengan kemampuannya, kembali lagi berjualan sayur di rumahnya, suami pasien
mengatakan bahwa pasien sudah lebih jarang melamun dan lebih banyak mendekatkan
diri ke Tuhan dengan memperbanyak sholat sunnah, berdoa, dzikir dan membaca Alqur’an
3.4 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada 33 (Tiga Puluh Tiga) Kasus Kelolaan
Selama kegiatan praktek residensi kekhususan sistem endokrin, praktikan melakukan asuhan
keperawatan dengan menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy. Sebagaimana kasus kelolaan
utama, praktikan juga melakukan asuhan keperawatan pada kurang lebih 33 kasus lainnya
(lampiran 1) dengan gangguan sistem endokrin
yang diklasifikasikan berdasarkan masalah
keperawatan adaptasi, yaitu :
3.4.1.1 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual dan muntah, kondisi metabolik.
Batasan karakteristik penegakan diagnosa keperawatan ini adalah terjadi kehilangan berat
badan dengan asupan makanan yang adekuat, berat badan kurang dari 20% atau lebih dari
ideal terhadap tinggi badan, asupan makanan tidak adekuat karena mual, muntah
(Wilkinson, 2006). Dari 33 kasus kelola, 25 kasus (75%) mengalami inefektif kebutuhan
nutrisi, keluhan yang sering muncul berupa anoreksia, mual, muntah serta penurunan BB
yang cepat. Keluhan anoreksia, mual dan muntah
menjadi keluhan utama pada
hipoglikemia yaitu sebanyak 4 kasus. Pasien DM mengalami resistensi insulin dan
penurunan produksi insulin yang menyebabkan glukogenolisis (pembentukan glukosa
selain dari karbohidrat, yang diperoleh dari protein dan lemak) sehingga menyebabkan
pasien mengalami penurunan berat badan yang cepat. Selain itu pada pasien DM bisa
terjadi neuropati otonom yang mengenai organ pencernaan (gastroparesis). Gastroparesis
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
79
diabetika adalah terjadinya neuropati diabetika yang mengakibatkan rusaknya syarafsyaraf ekstrinsik lambung
(Meari & Malagelada, 1995). Gejala-gejala yang bisa
ditemukan pada penderita gastroparesis diabetika antara lain mual, muntah, anoreksia,
nyeri abdomen, rasa cepat kenyang, rasa tidak enak diperut bagian atas, rasa terbakar di
dada (heart burn), regurgitasi asam, sendawa, halitosis dan penurunan berat badan (May
& Gpyal(1994 dalam Sutadi 2003). Kondisi ini yang sering menyebabkan intake
inadekuat dan risiko menyebabkan hipoglikemia.
Intervensi keperawatan yang diberikan antara lain monitoring nutrisi, manajemen nutrisi,
manajemen metabolik, manajemen berat badan, terapi nutrisi, manajemen pengobatan.
Mengatur porsi kecil namun sering dengan kadar lemak dan serat yang rendah dan tetap
menjaga asupan kalori yang cukup (Meari & Malagelada, 1995 dalam Sutadi 2003).
Pengaturan makan pada pasien diabetis: Small frequent, terbagi dalam 3 makan utama,
dan 2-3 makan selingan (1 porsi, tambahan sesudah makan malam,terutama bagi
penyandang diabetes yang mendapat OAD atau insulin menjelang makan malam). Hasil
evaluasi pasien mulai mampu adaptasi pada mode fisiologi nutrisi rata-rata pada hari ke
4, di tandai dengan berkurangnya keluhan mual, muntah dan meningkatnya nafsu makan.
Ada 3 pasien yang masih inefektif kebutuhan nutrisi pada hari ke 4 hal ini diakibatkan
penurunan motivasi, faktor peningkatan usia, kurangnya dukungan keluarga dan
perburukan kondisi.
3.4.1.2 Risiko infeksi berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, penurunan fungsi
leukosit, perubahan sirkulasi darah perifer.
Dari ke 33 kasus yang praktikan kelola, diketemukan 16 kasus dengan risiko infeksi
akibat pertahanan primer inadekuat berupa 1 kasus amputasi below knee, 9 kasus ulkus
kaki diabetik, 5 kasus infeksi kulit dan abses serta 1 kasus ulkus dekubitus, seperti yang
diungkapkan oleh Brem, et al, (2006, dalam American Society of Plastic Surgery, 2007)
Sekitar 12% - 25% pasien diabetes mengalami ulkus dikaki. Kondisi ini diakibatkan oleh
ketidak tahuan pasien dalam perawatan kaki diabetik dan masih rendahnya kesadaran
akan penatalaksanaan DM secara holistik dan berkesinambungan.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
80
Hampir semua pasien DM dengan ulkus kaki diabetik atau infeksi kulit yang praktikan
temui selama praktik residensi, mempunyai riwayat keluhan kesemutan dan baal.
Menurut LeMone & Burke (2008) dijelaskan bahwa neuropati diabetik disebabkan oleh
penebalan dari dinding pembuluh darah yang menyuplai saraf, menyebabkan penurunan
nutrisi, demielinisasi pada sel Schawnn dan pembentukan dan akumulasi sorbitol di
dalam sel Schawnn, terjadi gangguan konduksi. Baal yang dialami pasien yang sering
menyebabkan terjadinya ulkus kaki diabetik, akibat trauma mekanik, termal dan tekanan.
Secara umum, gejala neuropati muncul 10-20 tahun setelah seseorang didiagnosa
diabetes dan risiko diperberat dengan kondisi kontrol glikemik yang buruk, kadar lemak
darah yang tinggi, hipertensi dan kegemukan (Black & Hawk, 2005).
Hampir semua pasien dengan ulkus kaki diabetik datang dengan kondisi yang sudah
infeksi luas bahkan terjadi gas gangren dan ostemilitis yang menyebabkan kontrol
metabolik menjadi lebih buruk dan membutuhkan lama rawat lebih panjang serta
membutuhkan biaya yang lebih besar pula apalagi jika harus dilakukan amputasi.
Menurut ADA (2004 dalam Smeltzer, et al. 2008). 50-75% kasus amputasi kaki
merupakan pasien dengan diabetes. Sebesar 50% amputasi ini sebenarnya dapat dicegah
dengan perawatan kaki yang baik dan benar setiap harinya. Pasien dengan infeksi ulkus
kaki diabetik rata-rata dirawat lebih dari 2 minggu. Pasien diabetes yang tidak terkontrol
mengalami kelainan fungsi sel pertahanan utama (neutrofil, monosit dan makrofag) yaitu
tidak seimbangnya fungsi kemotaksis dan fagositosis yang menyebabkan penderita diabetes
lebih rentan terhadap infeksi (Smeltzer et al, 2008).
Intervensi keperawatan yang dilakukan berupa aktivitas regulator dan kognator untuk
mengatasi masalah infeksi adalah manajemen pencegahan, manajemen infeksi,
manajemen nyeri, manajemen luka, manajemen metabolik, manajemen nutrisi,
manajemen lingkungan, kontrol vaskuler, kontrol tekanan dan edukasi yang, tindakan
kolaborasi: injeksi insulin sesuai dengan program, koreksi anemia, koreksi hipoalbumin,
koreksi trombolitik. Dari 16 kasus ulkus dan infeksi kulit, hanya 1 kasus yang mengalami
amputasi below knee. 5 kasus yang menolak dilakukan amputasi, karena ketakutan akan
kecacatan dan ketidaktersediaan biaya. menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy,
rata-rata pasien mampu adaptif terhadap mode fisiologi proteksi pada hari ke-10-14
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
81
ditunjukkan dengan ulkus kaki membaik, berkurangnya slough dan eksudat, tumbuhnya
jaringan granulasi, status glikemik membaik. Pasien dengan ulkus kaki diabetik hampir
semua pulang dalam fase proliferasi, rekomendasinya berupa edukasi dan kerjasama
multidisiplin secara berkesinambungan untuk mencegah reinfeksi, kontrol glikemik,
mencegah munculnya ulkus kembali, dan rehabilitasi fisik dengan kondisi yang dialami
pasien pasca perawatan. Berdasarkan analisa praktikan tahap adaptasi bervariasi tiap
pasien tergantung dari luasnya luka, ada tidaknya penyulit seperti infeksi, hipoalbumin,
gangguan anteri perifer, status metabolik, anemia. Ada 2 pasien adaptasi terhadap risiko
infeksi memanjang lebih dari 14 hari, diakibatkan faktor usia, luasnya ulkus, riwayat
imobilisasi yang lama, status nutrisi buruk.
3.4.1.3 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (diuresis
osmosis)
Batasan karakteristik pada diagnosa ini berupa: penurunan tekanan darah, penurunan
tekanan, dan volume nadi, penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, peningkatan
hematokrit, peningkatan frekuensi nadi, keluhan haus dan kelemahan (Herdman, 2011).
Dari ke 33 kasus yang praktikan kelola, ada 11 pasien yang mengalami kekurangan
volume cairan, masalah kekurangan volume cairan rata-rata menjadi masalah utama pada
ketosis dan ketoasidosis diabetik (KAD). Hyperglycemia menyebabkan hiperosmolaritas
serum, menarik air dari intraseluler ke intravaskuler, sehingga akan menyebabkan
peningkatan volume darah dan menyebabkan peningkatan aliran darah ke ginjal, dan
akan mengakibatkan peningkatan urine output atau diuresis osmotik, kondisi ini
dinamakan poliuri. Diuresis osmotis akan mengakibatkan dehidrasi dan memberikan
sinyal ke pusat pengaturan rasa haus di hipotalamus, sehingga mendorong seseorang
untuk banyak minum atau yang disebut polidipsi (Black & Hawk, 2005; LeMone &
Burke, 2008). Pada diuresis osmotik menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti
sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Pasien ketoasidosis diabetik
yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium,
kalium serta klorida selama periode waktu 24 jam (Smeltzer,et al 2008).
Intervensi keperawatan spesifik yang diberikan pada masalah keperawatan ini meliputi
monitoring dan manajemen cairan dan elektrolit, monitoring tanda-tanda vital, kesadaran
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
82
dan status hidrasi, monitor kadar gula darah, monitoring analisa gas darah,monitor
elektrolit, manajemen asam-basa, kolaborasi terapi cairan intravena (NaCl 0,9% atau RL
sebanyak 4-6L/24jam: 2 liter loading dalam 2 jam pertama, 80 tetes permenit selama 4
jam berikutnya, lalu 30-50 tetes permenit selama 18 jam (protokol RSUP Fatmawati
Jakarta), kolaborasi medikasi (insulin, elektrolit, bikarbonat), dan pemberian edukasi
tentang penyakit dan terapi yang harus dijalankan. Hasil evaluasi rata-rata pasien dengan
kekurangan volume cairan dapat menunjukkan sebagian perilaku adaptif pada 12 jam
pertama setelah resusitasi cairan. Ditunjukkan dengan peningkatan tekanan darah,
kekuatan nadi. Dalam fase pemeliharaan (maintenance) di ruang rawat inap pasien
mampu adaptasi dalam kekurangan kebutuhan cairan rata-rata pada hari ke 3 setelah
perawatan.
3.4.1.4 Kelebihan volume cairan ganguan mekanisme regulasi
Kelebihan volume cairan adalah peningkatan retensi cairan isotonik, dengan batasan
karakteristik edema, dispnea, distensi vena jugularis, perubahan pol pernafasan,
perubahan tekanan darah, penambahan BB dalam waktu singkat, oliguria. (Herdman,
2011). Dari ke 33 kasus yang praktikan kelola, ada 4 pasien yang mengalami kelebihan
volume cairan, yaitu 1 kasus CKD (Cronik Kidney Disease), 2 kasus CHF (Cronik Heart
Failure) dan 1 kasus sirosis hepatis. CKD diakibatkan kemunduran fungsi ginjal dan
kerusakan nefron secara progresif menyebabkan nefron yang masih berfungsi menjadi
hipertrofi karena menyaring zat terlarut dalam jumlah besar, akibatnya ginjal mengalami
kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan urin secara baik. Dengan demikian
ginjal akan semakin rusak, jumlah nefron yang berfungsi berkurang dan LFG (Laju
Filtrasi Glomerulus) total semakin menurun, sehingga tubuh tidak mampu mengeluarkan
cairan, garam dan produk sisa lainnya melalui ginjal, akibatnya water overload (Price &
Wilson, 2003, Black & Hawks, 2005). Kondisi inefektif pada mode fisiologi eliminasi
lainnya berupa nefropati diabetikum. Menurut Smeltzer et.al (2008) juga disebutkan
bahwa penderita DM memiliki resiko sebesar 20% hingga 40% untuk menderita penyakit
renal. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa segera sesudah terjadi diabetes, khususnya
bila kadar glukosa darah meninggi, maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress
yang menyebabkan kebocoran protein darah ke dalam urin. Sebagai akibatnya, tekanan
dalam pembuluh darah ginjal meningkat.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
83
Kenaikan tekanan (hipertensi) tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk
terjadinya nefropati yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan ginjal secara
progresif. DM dengan hipertensi diketemukan sebanyak 6 kasus (18%). Kondisi ini harus
dikelola dengan baik, sehingga kerusakan nefron bisa dicegah. Kontrol tekanan darah
yang agresif harus dilakukan pada semua penderita diabetes. UKPDS (United Kingdom
Prospective Diabetes Study) menyimpulkan bahwa setiap penurunan tekanan darah
sistolik sebesar 10 mmHg akan mengurangi risiko komplikasi diabetes sebesar 12%,
mengurangi risiko kematian 15%, risiko infark miokard 11% dan komplikasi
mikrovaskuler 13%. Indikasi pengobatan hipertensi jika tekanan darah sistolik > 130
mmHg dan atau tekanan darah sistolik >80 mmHg dengan target penurunan < 130/80
mmHg, atau < 125/75mmHg bila disertai proteinuria (Perkeni, 2011). Intervensinya
dilakukan pendekatan perubahan perilaku atau perubahan pola hidup sekurang-kurangnya
selama tiga bulan, yang meliputi: pembatasan asupan garam, pengaturan berat badan,
meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan rokok, dan konsumsi alkohol tak berlebihan.
Berdasarkan penelitian Dietary Approach to Stop Hypertension (DASH) modifikasi gaya
hidup secara nyata dapat menurunkan tekanan darah. Asupan garam yang berlebihan
terbukti menyebabkan efek yang buruk pada penderita diabetes karena dapat mengurangi
efek obat antihipertensif. Pembatasan garam dapat menurunkan tekanan darah sistolik
sebesar 5 mmHg dan diastolik sebesar 2-3 mmHg (Brata, 2008).
Intervensi keperawatan spesifik yang diberikan pada masalah keperawatan kelebihan
volume cairan meliputi monitoring dan manajemen cairan dan elektrolit, monitoring
tanda-tanda vital, monitor balance cairan dan BBI, monitor kadar gula darah, monitoring
analisa gas darah, kolaborasi medikasi, dan pemberian edukasi tentang penyakit dan
terapi yang harus dijalankan termasuk menjalani hemodialisa untuk pasien CKD.
Evaluasi pada kasus hipervolemia adaptif rata-rata pada hari ke 5. Pada pasien DM
dengan komplikasi CKD direkomendasikan rujukan ke spesialis urologi untuk
mendapatkan perawatan lebih lanjut sehingga pasien mampu adaptif dalam pembatasan
intake cairan. Pembatasan cairan merupakan salah satu komponen intervensi yang paling
menimbulkan stress, membuat tidak nyaman dan sering sulit bagi pasien untuk
beradaptasi terhadapnya, khususnya jika pasien mengalami haus (LeMone & Burke,
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
84
2008; Black & Hawks, 2005; Lewis, et al, 2005). Menurut Black & Hawks (2005) dan
Smeltzer & Bare (2008), banyaknya asupan cairan cairan yang diperbolehkan pada pasien
gagal ginjal tahap akhir ditentukan dengan jumlah kemih yang dikeluarkan selama 24 jam
+ 500 ml (IWL). Untuk pasien DM dengan hipertensi, rekomendasi lebih lanjut kepasien
berupa upaya promotif memberikan edukasi ke pasien dan keluarga dalam perilaku yang
lebih sehat dengan mengurangi rokok, diet rendah garam, kontrol tekanan darah, aktivitas
fisik. Upaya tersebut perlu tindakan yang berkesinambungan sehingga mereka adaptif
dalam berperilaku berperilaku hidup sehat, karena rata-rata pasien DM dengan hipertensi
mempunyai riwayat hipertensi yang tidak terkontrol. Kondisi yang memperberat berupa
profil lipid yang meningkat, yang berisiko terjadinya aterosklerosis. Pembentukan
glukosa dari simpanan lemak akan menyebabkan peningkatan asam lemak bebas yang
ditandai dengan peningkatan profil lipid (Black & Hawk, 2005; LeMone & Burke, 2008).
3.4.1.5 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan dispnea, takipnea, hiperventilasi
Pola nafas tidak efektif adalah inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi
adekuat (Herdman, 2011). Dari 33 kasus, praktikan mengelola 9 kasus dengan masalah
pola nafas tidak efektif, masalah ini menjadi masalah utama pada pada infeksi paru, yaitu
pada 1 kasus pneumonia, 2 kasus TB paru dan 1 kasus efusi pleura, sisanya diketemukan
pada KAD dan CHF. Pasien DM mudah mengalami infeksi terutama infeksi paru, hal ini
diakibatkan kelemahan fungsi leukosit, buruknya kontrol glikemik, gangguan
vaskularisasi sehingga inefektif dalam transport oksigen, sel darah putih, dan antibodi ke
lokasi yang mengalami infeksi (Black & Hawk, 2005), selain itu faktor peningkatan usia
dan imobilisasi lama menjadi kontribusi terjadinya pneumonia, baik pneumonia yang
didapat sebelum masuk RS (Community Aquired Pneumonia) ataupun didapatkan selama
pasien dirawat di RS (hospital aquared pneumonia).
Intervensi keperawatan yang dilakukan berupa monitoring pernafasan, monitor tanda
vital, monitoring asam basa, manajemen asam basa, pengaturan posisi, managemen jalan
nafas, fisioterapi dada, meningkatkan batuk efektif, terapi oksigen, manajemen infeksi,
manajemen energi, kontrol metabolik, manajemen pengobatan. Hasil evaluasi pasien
mampu adaptasi pada mode fisiologi oksigenasi rata-rata pada hari ke 3-4 ditunjukan
dengan pola nafas efektif.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
85
3.4.1.6 Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik, kerusakan jaringan
Nyeri akut merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Batasan
karakteristiknya berupa melaporkan nyeri secara verbal, ekspresi perilaku terhadap nyeri
berupa gelisah, menangis, waspada, mendesah, sikap tubuh melindungi (Wilkinson,
2007; Herdman, 2011). Dari 33 kasus diketemukan 16 kasus dengan masalah nyeri akut,
keluhan ini dirasakan pasien terutama saat dilakukan perawatan luka. Nyeri harus diatasi
karena kadar gula juga dipengaruhi oleh faktor respon stress. Respon stress dapat
meningkatkan pengeluaran hormon kortisol yang akan meningkatkan kadar gula darah,
selain itu pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa reaksi stress operasi dan nyeri
dapat menurunkan sensitivitas insulin. Respon stress yang ditunjukkan oleh tubuh
karena kerusakan jaringan pada keadaan seperti syok, trauma, operasi, anestesi,
gangguan fungsi paru, infeksi dan gagal fungsi organ multipel yang dapat menyebabkan
perubahan pada fisiologis tubuh juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kadar gula darah dalam tubuh (Desborough, 2000)
Intervensi yang dilakukan antara lain dengan melalui aktifitas regulator dan cognator
yang meliputi, manajemen nyeri, kontrol metabolik, kontrol vaskuler kontrol, presurres
kontrol, kolaborasi analgetik administration, manajemen pengobatan. Manajemen nyeri
yang dilakukan antara lain mengajarkan tehnik relaksasi, nafas abdomen dengan
frekuensi lambat, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam
menurunkan nyeri punggung dan nyeri pasca operasi (Miller & Perry, 1990).
Memberikan tehnik distraksi, yaitu memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain
rasa nyeri, tehnik ini menjadi strategi yang sangat berhasil dalam menurunkan tingkat
nyeri (Fabio et al, 2006). Kolaborasi dengan dokter dalam pengaturan waktu pemberian
obat analgetik yang diberikan, 30-60 menit sebelum melakukan perawatan luka, melihat
dari waktu puncak reaksi obat. Hasil evaluasi rata-rata pasien adaptif terhadap
kebutuhan rasa nyaman pada hari ke 7-10, kondisi ini bervariasi tergantung luas luka
dan ada tidaknya infeksi. Rekomendasi: anjurkan pasien melakukan tehnik relaksasi
seperti yang telah diajarkan saat merasakan sakit, anjurkan pasien tidak menumpu pada
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
86
kaki yang sakit saat berjalan (off loading) dan meninggikan kaki yang sakit 15-22 cm
saat posisi berbaring.
3.4.1.7 Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
Intoleransi aktifitas merupakan suatu keadaan individu tidak cukup mempunyai energi
fisiologi atau psikologi untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktifitas seharihari yang diinginkan. Batasan karakteristik masalah intoleransi aktifitas antara lain adalah
ketidaknyamanan atau dispnea yang membutuhkan pengerahan tenaga, melaporkan
keletihan atau kelemahan secara verbal (Wilkinson, 2007; Herdman, 2011). diketemukan
15 kasus dengan masalah intoleransi aktivitas. Pada pasien DM mengalami penurunan
sekresi insulin atau terjadi resistensi insulin, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel,
yang mengakibatakan tubuh menjadi mudah lelah dan lemah, produksi energi turun
(Black & Hawk, 2005; LeMone & Burke, 2008). Intervensi keperawatan yang diberikan
pada masalah keperawatan ini meliputi: manajemen energi, manajemen nutrisi,
manajemen nyeri, managemen lingkungan: nyaman, terapi oksigen, terapi latihan:
ambulasi, terapi latihan: mobilitas sendi, terapi aktifitas. Dengan menggunakan
pendekatan teori adaptasi Roy, rata-rata pasien mampu adaptif terhadap aktivitas dan
istirahat pada hari ke 4 yang ditandai dengan berkurangnya keluhan lemas, menunjukkan
peningkatan tingkat energi. pasien mampu ambulasi dengan bantuan minimal, sedangkan
pada pasien dengan infeksi ulkus kaki diabetik yang luas mampu adaptasi terhadap
kebutuhan aktivitas rata-rata pada hari ke 10-14, karena pada kondisi ini kontrol glikemik
pasien mulai membaik dan nyeri berkurang.
3.4.1.8 Kecemasan berhubungan dengan berkembangnya komplikasi penyakit
Ansietas didefiniskan sebagai sutau keresahan, perasaan ketidaknyamanan yang tidak
mudah disertai respon autonomis; sumber seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui
oleh individu; perasaan khawatir yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.
Batasan karateristik diagnosa tersebut antara lain keterbatasan produktifitas, gelisah,
insomnia, tidak perhatian, fokus pada diri sendiri,khawatir, gemetar (Wilkinson, 2007;
Herdman, 2011). Dari 33 kasus kelola, rata-rata pasien menunjukkan perilaku inefektif
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
87
pada mode konsep diri, dimana umumya pasien mengalami cemas dengan penyakit dan
rencana pengobatannya, tingkat kecemasan berbeda-beda tiap pasien, tingkat kecemasan
berat telihat pada kasus DM dengan ulkus kaki dan amputasi akibat perubahan kondisi
fisik/ risiko kecacatan, selain kecemasan pasien juga mengalami gangguan citra tubuh.
Intervensi yang lakukan berupa aktivitas regulator dan cognator meliputi pemberian
edukasi tentang proses penyakit dan kebutuhan pengobatan, terapi relaksasi, manajemen
stress, terapi kognitif, manajemen self-confidence dan self-esteem, manajemen marah dan
menurunkan kecemasan. Hasil evaluasi menunjukkan rata-rata pasien mengalami
penurunan kecemasan setelah diberikan edukasi dan perilaku adaptif pada mode konsep
diri tercapai pada hari ke-3 perawatan, akan tetapi pada pasien dengan infeksi ulkus kaki
diabetik adaptasi terhadap kecemasan lebih membutuhkan waktu lebih panjang, terutama
pasien dengan amputasi below knee sehingga perlu rujukan ke psikiater ataupun
keperawatan spesialis jiwa dalam manajemen stress secara berkesinambungan.
3.4.1.9 Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis dan
pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan tentang koping yang efektif.
Batasan karakteristik berupa perubahan dalam kebiasaan komunikasi, kelelahan,
ketidakmampuan memenuhi peran yang diharapkan, penurunan penggunaan dukungan
sosial, kurangnya perilaku yang berfokus pada pencapaian tujuan, ketidakmampuan
memperhatikan informasi. (Herdman, 2011). Dari 33 kasus kelola ketidakefektifan
koping dijumpai 9 pasien, dimana rata-rata penyebab inefektifitas koping tersebut karena
penyakit kronis yang diderita dengan pengobatan jangka panjang ditambah dengan
kecacatan fisik, kondisi tersebut diperburuk jika tidakadekuatya dukungan dan motivasi
dari keluarga. Intervensi yang dilakukan berupa aktivitas regulator dan cognator meliputi
peningkatan koping, manajemen stress, terapi kognitif dimulai dengan identifikasi pikiran
atau koping negatif dan perilaku mal adaptif yang diakibatkan pikiran negatif tersebut,
melatih pasien untuk mengurangi pikiran negatif dengan merubah pikiran secara rasional,
membantu merubah perilaku yang maladaptif dengan perilaku yang positif dengan
mengingatkan kembali hal-hal positif yang telah pasien lakukan, bantu pasien mencapai
tujuan yang positif dengan pemanfaatan support system dari keluarga atau orang terdekat.
Libatkan keluarga dalam perawatan dengan memberikan edukasi dalam merawat pasien.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
88
Berdasarkan hasil evaluasi koping efektif rata-rata pada hari ke 4-7 setelah perawatan
pasien menunjukkan perilaku koping yang adaptif, dengan menunjukkan perilaku yang
konstruktif, kooperatif dalam tindakan keperawatan. Tetapi terdapat 3 pasien yang
menunjukkan koping inefektif, hal ini diakibatkan tidak ada support system dari keluarga,
keluarga terkesan mengabaikan pasien. Dalam hal ini perawat perlu identifikasi masalah
yang ada dalam keluarga, sehingga perlu ada kerjasama multidisiplin dengan perawat
komunitas ataupun perawat jiwa.
3.4.1.10 Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan defisit pengetahuan
penatalaksanaan DM dan perawatan kaki, salah dalam memahami informasi yang ada
Dari 33 kasus yang praktikan kelola hampir semua mengalami perilaku inefektif pada
mode ini, karena rata-rata pasien DM tipe 2 dialami oleh usia lebih dari 45 tahun dan
rata-rata pasien DM tipe 2 yang dirawat inap mengalami komplikasi, sehingga
membutuhkan bantuan, perhatian dan dukungan dari orang-orang sekitar sehingga
penatalaksanaan terapi DM terus dapat diterapkan. Penyakit DM merupakan penyakit
kronis yang membutuhkan kepatuhan dalam penatalaksanaannya, karena penatalaksanaan
dilakukan sepanjang sisa hidupnya.
Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk meningkatkan mekanisme koping regulator
dan cognator pada mode ini adalah dengan melakukan, edukasi dengan pendekatan
SEEIP, dukungan keluarga dan peningkatan koping. Hasil evaluasi, rata-rata perilaku
adaptif pasien pada hari ke 5-7. Berdasarkan pengamatan praktikan, rata-rata hasil
evaluasi pada pasien kelolaan menunjukkan adanya perubahan pengetahuan dan
keyakinan diri pada pasien, perilaku yang tadinya inefektif akhirnya menjadi adaptif,
meskipun sikap untuk menjadi adaptif membutuhkan waktu dan lamanya berbeda-beda,
berdasarkan motivasi, efikasi diri, kondisi penyakit, koping mekanisme, dan dukungan
keluarga. Menurut analisa praktikan efektifitas intervensi keperawatan yang diberikan
berhubungan dengan efikasi diri dan motivasi diri pasien terhadap penyakitnya. Pasien
yang mempunyai efikasi diri dan motivasi yang tinggi terhadap penyakitnya mampu
mencapai perilaku adaptif yang lebih cepat dan lebih baik. Efikasi diri dan motivasi akan
menjadi lebih efektif jika mendapatkan dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
89
Berdasarkan hasil analisis praktikan terhadap 33 kasus kelolaan, hampir semua pasien
mengalami komplikasi dengan gula darah tidak terkontrol. Kondisi seperti ini perlu
kerjasama dalam penatalaksanaan DM secara komprehensif, dimulai dari tindakan
preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif yang melibatkan peran serta keluarga dan
masyarakat. Penatalaksanaan DM secara komprehensif dengan pendekatan keluarga
dapat dilihat pada gambar 3.5.
Gambar 3.5. Penatalaksanaan DM secara komprehensif dengan pendekatan keluarga
Penatalaksanaan
multidisiplin
← Periode Prapatogenesis
→
←
Periode Patogenesis
Interaksi antara faktor intrinsik, penyebab DM
& faktor ekstrinsik
Masa penyakit
dini
Peningkatan
kesehatan
Penyuluhan/konseling :
 Kebiasaan
hidup
sehat
 Kebersihan diri dan
lingkungan
 Keseimbangan sosial,
fisik, psikologis
 Risiko
keluarga
(screning
pemeriksaan
gula
darah)
Perlindungan
khusus
Memberikan :
 Suplemen untuk
keseimbangan
metabolisme
tubuh
 Memberikan
panduan diet dan
program
olahraga
Deteksi Dini







 Dokter
umum/keluarga
 Ahli gizi
 Perwat generalis
 Perawat sp
komunitas
 Edukator
Dokter umum/keluarga
Perawat generalis
Perawat komunitas
Ahli gizi
Psikolog
Edukator
Pekerja sosial
Masa penyakit
terkendali
Pengobatan/
Tindakan
Memberikan
obat-obatan
Perawatan luka
Rujukan
Konseling hidup
sehat, kesehatan
dan pembinaan
keluarga
Melakukan
pemeriksaan
 Umum
 Glukosa darah
 Pemeriksaan
Penunjang
 Pemeriksaan
berkala




 Dokter sp. metabolik
endokrin
 Perawat sp. endokrin,
 Rujukan ke dokter &
perawat sp.urologi,
neurologi, cardiologi,
mata
 Psikiatri & perawat
sp. Jiwa
 Perawat komunitas
 Edukator



Dokter umum
Perawat generalis
Perawat sp.
Endokrin
Ahli gizi
Podiatri
edukator



→
Masa lanjut
Pemulihan
Evaluasi :
 Hidup sehat
 Diet&latihan
jasmani
Menilai
data
tindak
lanjut
agenda
pemantauan,
konseling
keluarga
 Dokter sp.
metabolik endokrin
 Perawat sp.
Endokrin
 Perawat komunitas
 Dokter rehabilitasi
medik
 Podiatri
 Fisioterapis
 Okupasi terapi
 Edukator
Sumber : Soegondo, Soewondo& Subekti (2011)
Upaya penatalaksanaan DM dengan pendekatan keluarga dengan melakukan family
mapping, yaitu menilai siapa yang memungkinkan dapat diberdayakan untuk
menyelesaikan masalah DM dalam keluarga untuk melakukan perawatan (care giver),
pemantauan keluhan/ gejala kegawatan selama dirumah, melakukan rujukan ke fasilitas
kesehatan yang ada di masyarakat. Dengan penatalaksanaan DM secara komprehensif
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
90
dengan multidisiplin dan melibatkan peran serta masyarakat, keluarga dan pasien sendiri
diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi pada DM.
Dari hasil penerapan Teori Adaptasi Roy terhadap 33 kasus kelolaan dapat disimpulkan
bahwa pemberian asuhan keperawatan dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy dapat
memberikan asuhan keperawatan secara holistik meliputi fungsi fisiologis, fungsi konsep
diri, fungsi peran dan fungsi interdepen, sangat sesuai untuk pengelolaan asuhan
keperawatan pada kasus metabolik endokrin terutama DM karena termasuk penyakit
kronis dan menimbulkan banyak komplikasi yang melibatkan berbagai gangguan pada
hampir seluruh sistem tubuh dan aspek, psikologis, sosial, kultural dan spiritual.
Penerapan teori adaptasi Roy bisa diaplikasikan dari pengkajian sampai dengan evaluasi.
Diagnosa Keperawatan yang praktikan tegakkan dengan merujuk diagnosa Nanda 20092011, adapun Intervensi keperawatan yang praktikan berikan berupa penggabungan
intervensi dalam teori adaptasi Roy dengan NIC (Nursing Intervention Criteria) dan
NOC (Nursing Outcome Criteria) yang selalu diterapkan dalam pemberian asuhan
keperawatan.
Dalam NIC itu sendiri terdiri dari berbagai aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan
aktivitas regulator dan cognator seperti dalam teori Adaptasi Roy dan taksonomi dalam
NIC (fisiologis dasar, fisiologis kompleks, perilaku, keamanan, keluarga, sistem
kesehatan dan komunitas) juga tidak jauh berbeda dengan fungsi model adaptasi Roy
(model fisiologis, model konsep diri, model peran dan interdependensi). Tujuan akhir
dari penerapan teori Adaptasi Roy adalah membantu pasien agar dapat mencapai perilaku
adaptif dalam menghadapi stimulus yang ada akibat kondisi sakit. Evaluasi untuk pasien
yang telah mencapai perilaku adaptif, dengan mempertahankan intervensi yang ada,
sedangkan untuk pasien yang masih berperilaku inefektif perlu di kaji kembali dan perlu
reintervensi. Menurut analisa praktikan setelah menggunakan asuhan keperawatan
dengan pendekatan teori adaptasi Roy, maka praktikan merekomendasikan agar asuhan
keperawatan dengan pendekatan teori adaptasi Roy hendaknya dapat diterapkan pada
pelayanan perawatan di klinik dan diperkenalkan ke peserta didik keperawatan, karena
dengan pendekatan teori adaptasi Roy dapat membantu pasien berperilaku adaptif
mencapai kualitas hidupnya.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
BAB 4
PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING
PADA GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN
Peran praktikan sebagai peneliti diaplikasikan dengan cara menerapkan hasil penelitian
yang akan diuraikan dalam bab ini. Adapun isi bab ini meliputi identifikasi masalahmasalah penelitian, identifikasi hasil-hasil penelitian dan menerapkan hasil penelitian
dalam pengambilan keputusan klinik. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit
kronik dengan angka mortalitas dan biaya perawatan pasien DM semakin meningkat.
Pasien dengan DM mempunyai kesadaran yang masih rendah dalam berpartisipasi
dalam perawatan kesehatan dirinya. Edukasi Diabetes telah menjadi komponen penting
dari manajemen diabetes sejak 1930-an dan semakin diakui sebagai bagian integral dari
manajemen penyakit kronis. Tujuan edukasi pasien diabetes tipe 2 adalah untuk
mengoptimalkan
kontrol
metabolik;
mencegah
komplikasi
akut
dan
kronis;
meningkatkan kualitas hidup dengan mempengaruhi perilaku pasien dan menghasilkan
perubahan dalam pengetahuan, sikap dan perilaku yang diperlukan untuk memelihara
atau meningkatkan kesehatan (Falvo 2004; Snoek dan Visser 2003).
Beberapa penelitian menunjukkan pasien yang diberi informasi tentang penyakit dan
pengobatannya, lebih mungkin untuk berhasil dalam mengelola penyakit mereka (Ellis
et al, 2004). Salah satu pilar penatalaksanaan DM adalah edukasi, Edukasi merupakan
proses interaktif yang mendorong terjadinya pembelajaran, dan pembelajaran merupakan
upaya penambahan pengetahuan baru, sikap, dan keterampilan melalui penguatan
praktik dan pengalaman tertentu (Potter & Perry, 2009). Edukasi merupakan suatu
upaya untuk memberikan informasi yang diharapkan meningkatkan pengetahuan pasien
dan akan meningkatkan efikasi diri pasien. Selanjutnya dengan efikasi diri yang baik
akan mampu meningkatkan keyakinan pasien dalam melakukan perawatan diri, karena
efikasi diri merupakan mediator antara pengetahuan dan tindakan (Heye, et al, 2002).
Melalui beberapa penelitian, kerangka efikasi diri telah muncul sebagai model untuk
menjelaskan dan mediasi perubahan perilaku yang dinamis, termasuk perilaku yang
berkaitan dengan mengelola kondisi penyakit kronis yang memerlukan pengobatan
jangka panjang dan dalam upaya promotif meningkatkan gaya hidup sehat (Bandura,
92
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
1997). Sehingga diharapkan dengan efikasi diri yang baik pasien lebih percaya diri
dalam melakukan perawatan diri DM meliputi pengaturan makan, olah raga,
pemeriksaan gula darah, pengobatan dan melakukan perawatan kaki.
Berdasarkan latar belakang ini, bahwa pasien DM hendaknya mempunya efikasi diri
yang baik, sehingga dapat menurunkan morbiditas dan motalitas akibat ketidakpatuhan
pasien pada regimen terapeutik. Berikut ini critical review dari beberapa jurnal tentang
efikasi diri yang nantinya akan diterapkan pada pasien DM.
4.1 Penelaahan Kritis Penelitian (Critical Review)
4.1.1.Jurnal utama dengan judul : Effectiveness of self-management for persons with
type 2 diabetes following the implementation of a self-efficacy enhancing intervention
program in Taiwan
Penelitian ini dilakukan Wu et al, pada tahun 2007 di Taiwan yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh intervensi program peningkatan self-efficacy untuk pasien diabetes
tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen dengan menggunakan
kelompok kontrol, lama penelitian dilakukan selama 6 bulan. Jumlah sample sebanyak
145 pasien DM Tipe 2 yang menjalani rawat jalan di klinik Taipe (kelompok intervensi
72 orang, kelompok kontrol 73 orang). Pada kelompok intervensi mendapatkan SelfEfficacy Enhancing Intervention Program (SEEIP) yang terdiri dari 4 langkah : 1)
Melihat video tentang pengalaman diabetisi dalam pengelolaan Diabetes mellitus selama
10 menit; 2) Menerima booklet tentang DM dan penatalaksanaan perawatan diri
diabetesi; 3) Konseling intervensi peningkatan efikasi diri; 4) Follow up aktivitas
perawatan diri setelah intervensi selesai (baseline), bulan ke 3 dan bulan ke 6. Pada
kelompok kontrol mendapatkan edukasi secara konvensional dengan metode ceramah
dan tanya jawab.
Instrumen penelitian menggunakan beberapa instrumen yang telah dilakukan uji
validitas dan reliabilitas, adapun intrumen penelitiannya meliputi :
a. The Chinese version of the Diabetes management Self Efficacy Scale (C-DMSES)
yang mengukur efikasi diri terhadap manajemen DM tipe 2 dikembangkan dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
versi bahasa cina supaya dapat dimengerti oleh responden , terdiri dari 20 item
dengan dengan menggunakan uji reliabilitas analisis regresi R=0,57; t=10,75;
p=<0,01) dan uji validitas pearson’s correlation soefficient (r=0,55; p<0,01).
b. The Chinese version of the perceived Therapeutic Efficacy Scale (C-PTES)
Instrumen ini juga digunakan untuk mengukur skala efikasi diri atau kepercayaan
diri yang dirasakan kuesioner mengukur kepercayaan diri dalam manajemen diri
penalataksanaan
DM.
Adapun
hasil
reliabilitas
instrumen
masing-masing
subvariabel untuk efikasi diri aktivitas perawatan diri: perawatan kaki (R =0,45,
p<0,01), diet (R=0,039, p<0,01); exercise (R=0,33, p<0,01) dan tes gula darah (R=
0,23, p<0,01).
Hasil penelitian ini membandingkan skor C-DMSES dan C-PTES pada kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen. Setelah dilakukan analisis menunjukan hasil
efikasi diri dan kepuasan pasien meningkat pada kelompok intervensi dibandingkan
dengan kelompok kontrol (p<0,01). Aktivitas perawatan diri meningkat pada
kelompok intervensi (p<0,01). Peserta dalam kelompok intervensi lebih sedikit
dirawat di rumah sakit atau mengunjungi ruang gawat darurat dibandingkan
kelompok kontrol pada bulan ke 6 follow-up. Penelitian ini mengungkapkan bahwa
program self-efficacy untuk diabetes diterima dan efektif dalam
jangka pendek
dalam manajemen diri orang dengan diabetes tipe 2. Dari hasil penelitian diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa intervensi SEEIP sangat diperlukan untuk
meningkatkan efikasi diri dan meningkatkan aktivitas perawatan diri pasien,
sehingga kontrol glikemik menjadi lebih baik dan dapat menekan angka kejadian
komplikasi akibat diabetes. Penelitian ini mengungkapkan bahwa program
intervensi peningkatan self-efficacy untuk diabetes efektif dalam jangka pendek
dalam manajemen diri pasien diabetes tipe 2.
Penelitian ini mempunyai kekuatan dan kelemahan, adapun kekuatan dalam
penelitian ini antara lain : 1) Tujuan penelitian sudah disampaikan peneliti dengan
jelas; 2) Alat ukur yang digunakan sesuai dengan tujuan penelitian dan disebutkan
dengan jelas serta telah dilakukan uji reliabilitas; 3) Hasil analisis data ditampilkan
dengan lengkap sehingga dapat dianalisa pada kelompok intervensi maupun
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
kelompok kontrol; 4)Hasil penelitian dapat menjawab tujuan penelitian; 5)
Instrumen penelitian sederhana, sehingga mudah di terapkan dan di pahami oleh
responden.
Penelitian ini juga mempunyai kelemahan, antara lain: 1) Dalam
pelaksanaan intervensi tidak disampaikan dengan lengkap, berapa menit total waktu
yang dibutuhkan untuk masing- masing tahap; 2) peneliti tidak melampirkan isi
booklet yang digunakan dalam penelitian.
4.1.2. Jurnal pendukung
4.1.2.1 A brief structured education programme enhances self-care practices and
improves glycaemic control in Malaysians with poorly controlled diabetes
Penelitian dilakukan
Tan, et al (2005), yang bertujuan untuk menilai efektivitas
program pendidikan diabetes terstruktur berdasarkan konsep self-efficacy pada
perawatan diri dan kontrol glikemik pada pasien rawat jalan di Malaysia menggunakan
desain single-blind. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 164 peserta dengan
diabetes tidak terkontrol dipilih secara acak menggunakan komputer yang kemudian
dibagi menjadi 2 kelompok: kelompok kontrol (n = 82) dan kelompok intervensi (n =
82). Pada kelompok intervensi di berikan perlakuan memberikan edukasi tentang
praktek perawatan diri pasien diabetes: meliputi diet, aktivitas fisik, kepatuhan
pengobatan dan Self Monitoring Blood Glucose (SMBG)/ pengontrolan Gula Darah
Mandiri selama lebih dari 12 minggu. Evaluasi perawatan diri dilakukan pada minggu 0
dan 12 menggunakan kuesioner pre dan post tes pada kedua kelompok bersama-sama,
selain itu, juga dilihat kadar hemoglobin A1c terglikasi (HbA1c) dan pengetahuan
responden tentang diabetes.
Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok intervensi,
SMBG
meningkat (p =
<0,001), aktivitas fisik (p = 0,001), HbA1c (P = 0,03), pengetahuan tentang diabetes (p =
<0,001). Pada Minggu 12, terdapat perbedaan HbA1c, frekuensi SMBG, kepatuhan
pengobatan dan perubahan berat badan yang signifikan (P = 0,03) pada kelompok
intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pengetahuan tetang Diabetes (p =
<0,001), kadar HbA1c (p = <0,001), SMBG (P = <0,001) dan kepatuhan pengobatan (P
= 0,008) meningkat dari baseline pada kelompok intervensi. Sedangkan pada kelompok
kontrol, hanya pengetahuan diabetes meningkat (p = <0,001). Temuan ini dapat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
memberikan kontribusi pada pengembangan manajemen diri pendidikan diabetes di
Malaysia.
Kekuatan penelitian ini antara lain :1) Hasil penelitian
dapat menjawab tujuan
penelitian; 2) Hasil analisis data ditampilkan sehingga dapat dianalisa pada kelompok
intervensi maupun kelompok kontrol; 3) Hasil penelitian
dapat menjawab tujuan
penelitian. Kelemahan penelitian ini antara lain : 1) Peneliti tidak menampilkan metode
penelitian dengan jelas; 2) Peneliti tidak mencantumkan instrumen yang lengkap dan
tidak menampilkan hasil uji instrumen yang di gunakan
4.1.2.2.Self-efficacy and self-care behavior of Malaysian patients with type 2 diabetes: a
cross sectional survey
Penelitian dilakukan Sharoni dan Wu (2007), penelitian ini bertujuan untuk meneliti
hubungan antara self-efficacy dan perawatan diri perilaku untuk menentukan tingkat
efektivitas diri dan untuk menguji perbedaan self-efficacy menurut variabel pasien,
termasuk keadaan kesehatan, pasien
DM tipe 2 di Malaysia. Sampel terdiri 388
responden, metode penelitian survey dengan pendekatan crossectional.
Hasil penelitian menyatakan ada hubungan positif yang signifikan antara self-efficacy
dan perilaku perawatan diri (P <0,001). Tingkat self-efficacy adalah cukup tinggi (mean
= 7,570). Ada perbedaan yang signifikan antara self-efficacy dan tingkat pendidikan (P
<0,05), durasi diabetes (P <0,05), dan komplikasi diabetes (P <0,05). Self-efficacy dapat
digunakan sebagai model untuk memahami perawatan diri perilaku. Intervensi
keperawatan individual berdasarkan teori efektivitas diri harus digunakan pada pasien
diabetes berisiko tinggi sehingga dapat membantu dan meningkatkan perilaku perawatan
diri.
Kekuatan dalam penelitian ini antara lain : 1) tujuan penelitian sudah disampaikan
peneliti dengan jelas; 2) Hasil analisis data ditampilkan dengan lengkap, dengan
menampilkan analisa data sub variabel; 3) Hasil penelitian dapat menjawab tujuan
penelitian. Adapun kelemahan dalam penelitian ini antara lain : 1)peneliti tidak
mencantumkan instrumen yang lengkap ; 2) peneliti
tidak menampilkan hasil uji
instrumen yang di gunakan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Dari beberapa hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa intervensi program
peningkatan efikasi diri dapat membantu pasien DM untuk memahami dan membuat
keputusan perawatan diri yang akan dilakukan. Dari ke 3 jurnal tersebut diatas yang
paling relefan untuk diterapkan di RSUP Fatmawati yaitu jurnal dengan judul
Effectiveness of self-management for persons with type 2 diabetes following the
implementation of a self-efficacy enhancing intervention program in Taiwan. Metode
edukasi dengan pendekatan SEEIP atau Program peningkatan efikasi diri bertujuan
untuk meningkatkan keyakinan individu dalam memilih perawatan yang dilakukan
terhadap dirinya untuk mengobati atau mengelola penyakit yang diderita sehingga
aktivitas perawatan diri pasien dapat dicapai dengan optimal.
4.2 Penerapan Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian
Penerapan Evidence Based Nursing (EBN) berupa Self-Efficacy Enhancement
Intervention Program (SEEIP) atau program intervensi peningkatan efikasi diri
dilaksanakan selama 4 minggu pada bulan Maret-April 2012 di IRNA B lantai V selatan
RSUP Fatmawati Jakarta.
4.2.1 Tahap perencanaan
Kegiatan penerapan EBN diawali dengan meminta izin melakukan praktek di IRNA B
lantai V selatan. Setelah mendapatkan izin, praktikan membuat proposal penerapan EBN
dengan bimbingan supervisor utama, supervisor akademik dan klinik, kemudian
melakukan sosialisasi rencana penerapan EBN dengan kepala Ruang, Wakil Kepala
Ruang, Primary Nurse (PN), tim edukator dan perawat di RS Fatmawati Jakarta dengan
harapan dapat meneruskan program intervensi yang akan dilakukan. Setelah sosialisasi
dilakukan, praktikan melakukan pendekatan dengan edukator dan pandu diabetes untuk
mendiskusikan media edukasi yang akan digunakan untuk penerapan EBN yaitu berupa
video dan booklet sehingga penerapan EBN yang dilakukan dapat berkesinambungan.
Setelah media edukasi telah siap, dilanjutkan ke tahap penerapan EBN
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
4.2.2 Tahap penerapan
Dalam tahap penerapan diawali dengan melakukan identifikasi pasien sesuai kriteria
inklusi, yaitu pasien yang bisa komunikasi dengan baik, bisa membaca dan menulis,
pernah mendapatkan OHO, kemudian pasien tersebut ditanyakan kesediaannya dan
kesiapannya dalam mendapatkan edukasi dengan pendekatan SEEIP. Setelah pasien
paham dan bersedia, kemudian dilakukan pengukuran efikasi diri pasien dalam
pengelolaan DM dengan menggunakan kuesioner Diabetes management sel efficacy
Scale (DMSES) dan Perceived Therapeutic Efficacy Scale (PTES) serta mengkaji
pengetahuan dan pengalaman pasien masa lalu dalam penatalaksanaan DM, dari hasil
pengkajian di dapatkan hasil semua pasien DM tipe II yang dirawat di IRNA B lantai V
selatan menunjukkan ketidaktepatan dalam pengambilan keputusan menentukan
tindakan perawatan yang harus dilakukan. Kondisi yang diketemukan, seperti pasien
menolak makan, karena khawatir gula darah tinggi, banyak makan camilan karbohidrat
karena merasa lapar, minum OHO tidak teratur dan tidak sesuai resep dokter, tidak
melakukan pengobatan secara teratur dan menggunakan alas kaki yang keras, sehingga
muncul kalus. Ketidakmampuan pasien dalam menentukan tindakan perawatan yang
harus dilakukan akan membawa pasien kembali kambuh dan risiko muncul komplikasi
jika penatalaksanaan DM yang diambil tidak tepat. Secara garis besarnya edukasi
dengan pendekatan SEEIP dilakukan 4 tahap, berdasarkan teori efikasi diri yang
dikembangkan Bandura (1997). Adapun tahap dalam SEEIP diperlihatkan pada table
4.1, sedangkan penerapan SEEIP lebih rinci dilampiran dilampiran 7.
Tabel 4.1 Tahap Self-Efficacy Enhancement Intervention Program (SEEIP).
Tahap
Aktifitas
Pertama Melihat video tentang DM dan penatalaksanaannya serta pengalaman
pasien dengan DM tipe 2 selama 10 menit
Kedua
Menerima booklet (lampiran 5) tentang DM dan penatalaksanaan
perawatan diri dan menjelaskan isi booklet (setiap pertemuan satu tema,
dengan durasi waktu sesuai kesepakatan dengan pasien)
1. Penyakit DM, tanda gejala dan komplikasinya
2. Diet DM
3. Obat DM dan insulin
4. Olah raga dan perawatan kaki
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Ketiga
Konseling program peningkatan efikasi diri antara pasien dengan fasilitator
keempat Evaluasi atau follow up tentang efikasi diri dengan menggunakan
kuesioner DMSES dan PTES
Sumber : Wu ett al (2007)
4.2.3 Hasil Penerapan EBN
Berikut diagram hasil penerapan EBN dengan menggunakan instrumen DMSES dan
PTES (lampiran 6) yang praktikan lakukan di lantai V selatan RSUP Fatmawati Jakarta
untuk melihat
elihat perubahan efikasi diri pasien DM tipe II sebelum dan setelah
mendapatkan SEEIP. Penerapan SEEIP dilakukan pada 10 pasien DM tipe 2, selama
bulan Maret sampai April 2012. Berdasarkan diagram 4.1 menunjukkan bahwa rata-rata
rata
terjadi peningkatan skore DMSES pada semua pasien, walaupun berbeda-beda
berbeda
interval
kenaikannya pada tiap pasien dengan interval tertinggi 56 poin yaitu pada pasien no 5
dan terendah pada pasien no 10 yaitu dengan kenaikan 12 poin. Berdasarkan analisis
praktikan kondisi ini diakibatkan karena faktor usia, penurunan kondisi fisik selama
se
masa perawatan, kurangnya dukungan dari keluarga
keluarga, keluarga terkesan mengabaikan
pasien, jarang terlibat dalam perawatan pasien
pasien,, kondisi tersebut praktikan antisipasi
dengan melibatkan pasien dan keluarganya yang satu kamar dalam memberikan support
system selama proses penerapan SEEIP berlangsung.
Diagram 4.1
Skor DMSES sebelum dan sesudah dilakukan SEEIP
Di Irna B lantai V selatan RSUP Fatmawati Jakarta, Maret-April
April 2012
150
100
50
Pre Test
0
Post Tes
Untuk skore PTES sebelum dan sesudah SEEIP dan ditampilkan
n pada diagram 4.2
4. di
bawah ini. Berdasarkan diagram 4.2 semua pasien mengalami peningkatan skor PTES
dengan interval bervariasi, skor tertinggi pada pasien no 7 sebanyak 48 poin dan interval
terendah pada pasien no 10 yaitu hanya 7 poin.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Diagram 4.2
Skor PTES sebelum dan sesudah dilakukan SEEIP
di Irna B lantai V selatan RSUP Fatmawati Jakarta, Maret-April
April 2012
150
100
50
Pre Tes
0
Post Test
Dari kedua diagram diatas terlihat bahwa efikasi diri semua pasien mengalami
peningkatan setelah mendapatkan edukasi dengan pendekatan SEEIP
SEEIP.. Peningkatan yang
signifikan terlihat baik pada pasien no 5 dan 7. Berdasarkan pendapat pasien tersebut,
dirinya sangat yakin bisa melakukan perawatan DM nya setelah mendapatkan penjelasan
dan simulasi tentang yang telah di
diberikan, pasien yang salah dalam perencanaan makan
diabetes, setelah mendapatkan edukasi dengan pendekatan SEEIP sekarang yakin bisa
memilih dan mengatur perencanaan makan sesuai diitnya. Selama proses edukasi dengan
pendekatan SEEIP pasien mampu mendemonstrasikan kembali peng
pengaturan
aturan menu dengan
menggunakan daftar penukar bahan makan, mampu mendemonstrasikan cara perawatan
kaki, mampu mengikuti dan melakukan senam kaki serta mampu mendemonstrasikan
kembali cara injeksi insulin
insulin. Nilai rata-rata
rata untuk DMSES dan PTES pada kelompok
intervensii dapat dilihat dalam diagram 4.3, dimana keduanya mengalami peningkatan
pen
sebelum dan sesudah diberikan
berikan SEEIP.
Diagram 4.3
Nilai rata
rata-rata DMSES dan PTES sebelum dan sesudah SEEIP
di Irna B lantai V RSUP Fatmawati Jakarta Maret-April
April 2012
150
100
50
0
Pre tes
Post tes
DMSES
PTES
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Berdasarkan diagram diatas terjadi peningkatan skor DMSES sebanyak 38,8 poin
dan PTES sebanyak 34,7 poin setelah di berikan SEEIP. Rata-rata
rata pasien mengalami
peningkatan efikasi diri ssetelah program SEEIP selesai diberikan.
berikan. Sebagai
pembanding, praktikan juga mengambil data untuk kelompok kontrol sebanyak 9
pasien DM tipe 2, kelompok kontrol merupakan kelompok dengan karakteristik yang
sama dengan kelompok perlakukan, hanya saja kelompok kontrol mendapatkan
edukasi dengan tehnik ceramah dan tanya jawab seperti yang telah dilakukan di
ruangan. Berikut ini hasil evaluasi pada kelompok kontrol dengan menggunakan
instrumen DMSES ddan PTES.
Diagram 4.4
Skore DMSES kelompok kontrol
di Irna B lantai V RSUP Fatmawati Jakarta, Maret
Maret-April
April 2012
120
100
80
60
40
20
0
Pre Tes
Post Tes
Berdasarkan diagram
iagram 4.4 menunjukan 6 pasien mengalami
engalami peningkatan pada skor
DMES akan tetapi peningkatannya tidak signifikan, 2 pasien mengalami penurunan
skor dan 1 pasien dengan skor yang sama. Pasien yang mengalami penurunan skor
DMES pada pasien no 3 dan 7. Berdasarkan analisis praktikan, hal ini diakibatkan,
pasien maupun keluarga kurang termotivasi dalam mengikuti edukasi,
edukasi selain itu
terdapat penurunan kondisi pasien selama pasien dirawat
rawat sehingga menurunkan
menu
efikasi diri pada pasien dalam merawat dirinya sendiri (diagram 4.4).
).
Demikian pula untuk skor PTES
PTES, rata-rata
rata kenaikan setelah edukasi tidak signifikan,
ada 2 pasien mengalami penurunan skor nilai yaitu pada pasien 3 dan 8 (diagram
4.5).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Diagram 4.5
Skore PTES kelompok kontrol
di Irna B lantai V RSUP Fatmawati Jakarta, Maret-April
April 2012
120
100
80
60
40
20
0
Pre Tes
Post Tes
Ps Ps Ps Ps Ps Ps Ps Ps Ps
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Diagram 4.6
Nilai rata
rata-rata
rata DMSES dan PTES kelompok kontrol
di Irna B lantai V RSUP Fatmawati Jakarta, Maret-April
April 2012
100
80
pre tes
60
post tes
DMSES
PTES
Berdasarkan diagram 4.6 diatas rata-rata kenaikan skore tidak terlalu signifikan
seperti pada kelompok intervensi. Kenaikan skore DMSES sebanyak 1,38 poin dan
PTES mengalami kenaikan 2,9 poin.
3.2.4 Evaluasi dan Desiminasi
Setelah penerapan EBN selesai dilakukan selama bulan Maret
Maret- April, kemudian hasil
penerapan EBN tersebut disampaikan ke Karu, wakil karu,, edukator dan PN RSUP
Fatmawati, hasilnya mendapatkan tanggapan yang positif. Booklet yang digunakan
praktikan dalam penerapan EBN akan dilanjutkan oleh edukator dalam memberikan
edukasi kepada pasien, karena sselama
elama ini media edukasi yang digunakan
di
sangat
minimal. Metode edukasi yang semula berupa ceramah dan tanya jawab hanya dari
edukator, setelah penerapan EBN, kemudian metode edukasi selanjutnya dikembangkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
dengan mendatangkan seorang pandu diabetes sebagai role model dalam pelaksanaan
DM secara mandiri.
4.3 Pembahasan
Potter dan Perry (2005) menyatakan bahwa keyakinan diri pasien tentang kesehatan
dapat menjadi motivasi yang kuat untuk mengambil tindakan yang dapat mengurangi
proses penyakit atau mengurangi tingkat keparahan. Peran perawat sebagai edukator ikut
andil dalam memberikan pengetahuan dan motivasi kepada pasiennya, seperti yang di
ungkapkan oleh Henderson (1966) dalam Potter dan Perry (2005) bagian dari peran
perawat adalah untuk meningkatkan tingkat pemahaman pasien dan dengan demikian
meningkatkan kesehatan. Pelaksanaan intervensi program
peningkatan efikasi diri
bermafaat untuk meningkatkan keyakinan diri pasien untuk merawat dirinya sendiri.
Program tersebut menekankan keikutsertaan pasien dalam belajar yang secara tidak
langsung dipengaruhi keinginan untuk mendapatkan pengetahuan dan kemampuan
dalam perawatan dirinya.
Trento, et al. (2004) dalam Atak, Gurkan & Kose (2006) menjelaskan bahwa kelompok
pendidikan kesehatan meningkatkan pengetahuan pemecahan masalah mengenai DM
dan meningkatkan pengambilan keputusan tentang perubahan gaya hidup untuk
melakukan manajemen penyakit. Begitu pula Anderson, et al (1995) dalam Atak,
Gurkan, & Kose (2006) melakukan studi mengenai efek pendidikan kesehatan tentang
DM, dengan pendidikan kesehatan tentang manajemen penyakit didapatkan perubahan
psikososial dan ketrampilan dimana seseorang dengan DM tipe 2 berkembang
keyakinannya tentang koping psikososial DM yang disebut keyakinan diri DM. Dapat
disimpulkan pendidikan kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup dan keyakinan
diri.
Pasien yang mengikuti SEEIP rata-rata mempunyai riwayat masalah ketidakefektifan
regimen terapetik berhubungan dengan kurangnya pengetahuan dan akhirnya mengambil
keputusan yang tidak tepat mengenai tindakan perawatan yang diambil untuk mengatasi
masalah yang dihadapi. Kesalahan dalam penatalaksanaan DM antara lain kesalahan
dalam perencanaan makan, aturan dalam meminum OHO dan cara perawatan kaki,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
sehingga sebagain besar pasien datang dengan komplikasi dan gula darah tidak
terkontrol.
Seperti halnya studi eksplorasi yang dilakukan Norris (2002) mengenai pengetahuan
diabetes dan hasil, didapatkan 50% sampai 80% penderita DM kurang pengetahuan dan
ketrampilan yang diperlukan untuk manajemen DM. Pengetahuan sangat penting untuk
mencapai kontrol gula darah yang baik, mencegah komplikasi, meningkatkan kualitas
hidup dan menurunkan biaya perawatan. Berdasarkan pernyataan terdahulu, Walker
(1999 dalam Ikeme, 2008) menyatakan bahwa pengetahuan penting dalam
mempengaruhi perubahan perilaku. Peningkatan perilaku sehat melalui pendidikan
meningkatkan kepercayaan diri pasien mengambil tanggung jawab dalam menjaga
kesehatannya. Pengetahuan yang baik dapat menghasilkan kebiasaan mempertahankan
kesehatan yang lebih baik pula (Redman, 1993 dalam Perry & Potter, 2006).
Pengetahuan yang dimiliki akan memberikan keyakinan terhadap individu dalam setiap
mengambil keputusan dan dalam perilaku. Individu akan mengadopsi perilaku dengan
tahapan-tahapan : individu mulai menyadari adanya stimulus, individu mulai berpikir
dan mempertimbangkan, individu mulai mencoba perilaku baru, individu menggunakan
perilaku baru (Rogers, 1974 dalam Setiawati & Dermawan, 2008). Pengelolaan penyakit
pada penderita DM tipe 2 memerlukan kepatuhan untuk mencapai kontrol gula darah
yang baik, yang dapat mencegah terjadi komplikasi dari penyakit DM itu sendiri.
Keyakinan pasien tentang kesehatan dapat menjadi motivasi yang kuat dalam
pengelolaan penyakit. Efikasi diri merupakan keyakinan dalam kemampuan seseorang
untuk mengatur dan melaksanakan program tindakan yang diperlukan untuk mengelola
situasi yang akan terjadi (Bandura, 1995).
Self -Efficacy Enchem ent Intervention program
merupakan salah satu tehnik
pembelajaran untuk meningkatkan efikasi diri pasien yang diadopsi Teori kognitif
sosial (social cognitive theory, SCT) yang dikemukakan oleh Bandura menyatakan ada
tiga faktor yang berperan penting dalam pembelajaran yaitu: perilaku, person
(kognitif) dan lingkungan, faktor kognitif yang dimaksud adalah efikasi diri (Bandura,
1997). Efikasi diri dikembangkan oleh empat sumber utama yang berpengaruh, antara
lain: (1) Enactive mastery experiences (pengalaman penguasaan tindakan) yaitu
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
mengelola tuntutan tugas dengan berhasil; (2) vicarious experience (pengalaman
permodelan) adalah dengan melihat orang-orang yang mirip dengan dirinya; (3) Verbal
persuasion ( persuasi verbal) tentang kemampuan untuk berhasil dalam kegiatan
tertentu; (4) Somatic and emotional state (kondisi somatik dan emosional ),
menunjukkan kekuatan pribadi dan kerentanan. Pemahaman keempat sumber ini akan
membantu perawat untuk menetapkan intervensi yang membantu pasien mengadopsi
perilaku sehat (Potter & Perry, 2009).
Berdasar evaluasi penerapan EBN, pelaksanaan edukasi dengan pendekatan SEEIP
secara umum berjalan dengan baik dengan menunjukkan hasil efikasi diri pasien setelah
dilakukan SEEIP lebih baik, dibandingkan dengan metode konvensional (ceramah dan
tanya jawab). Faktor pendukung selama pelaksanaan SEEIP sangat membantu praktikan,
yaitu berupa dukungan dan kerjasama edukator, pandu diabetes dan kepala ruangan,
serta tersedianya alat peraga (food model, set perawatan kaki, contoh macam-macam
OHO,pen insulin dan maniqin injeksi) yang bisa digunakan untuk simulasi dan
demonstrasi selama tahap konseling. Adapun hambatan yang praktikan temui selama
penerapan EBN, tidak tersedianya TV dan DVD untuk menanyangkan video, tetapi hal
ini penulis antisipasi dengan menggunakan laptop dan proyektor. Upaya penerapan
SEEIP secara berkesinambungan yaitu dengan 1) Menyampaikan hasil penerapan EBN
ini ke edukator, kepala ruang dan pemegang kebijakan RS tentang manfaat SEEIP, 2)
memberikan booklet panduan hidup sehat dengan diabetes ke edukator sebagai media
edukasi, 3) merekomendasikan tehnik edukasi tidak hanya sebatas meningkatkan
pemahaman/kognitif, tetapi juga melatih psikomotor dengan cara simulasi dan
demonstrasi dengan alat peraga yang tersedia, 4) melibatkan peran serta pandu diabetes
sebagai role model dalam perawatan diabetes secara mandiri selama edukasi.
5)
melakukan pendekatan kepada edukator bahwa SEEIP diberikan sejak pasien masuk ke
RS dengan melibatkan peran serta keluarga. Pasien dan keluarga diposisikan sebagai
mitra yang memiliki kewenangan untuk menentukan masalah atau topik sesuai dengan
kondisi atau dibutuhkan pasien, sehingga saat pasien keluar dari RS, pasien mampu
melakukan perawatan diri secara mandiri. Kemampuan pasien memutuskan perawatan
yang dilakukan akan membantu meningkatkan status kesehatan, mencegah komplikasi
dan meningkatkan kualitas hidup
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Edukasi hendaknya dilakukan tidak hanya sebatas selama pasien dirawat akan tetapi
dilakukan berkesinambungan sejak fase prapatogenesis sampai dengan fase patogenesis,
sehingga pasien mampu adaptif dalam perawatan dirinya sendiri. Perlu kerjasama
multidisiplin dalam upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Peningkatan
keyakinan diri pasien pasien terhadap kemampuan pasien dalam mengelola penyakitnya
sehingga memungkinkan pasien untuk mematuhi perawatan yang harus dilakukan baik
selama pasien di rawat maupun selama pasien berada di rumah, sehingga kualitas hidup
pasien
menjadi
lebih
baik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
BAB 5
KEGIATAN INOVASI PADA PENGELOLAAN PASIEN
GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN
Salah satu peran perawat spesialis yaitu mampu memberikan inovasi keperawatan
di tatanan klinik dengan tujuan menggerakkan atau menguatkan sistem yang
sudah berjalan di ruangan, ataupun jika suatu sistem tersebut tidak lagi relefan
lagi dengan perkembangan ilmu yang ada, maka perlu pembaharuan berdasarkan
Evidence Based Nursing (EBN). Sebagai perawat spesialis diharapkan mampu
berperan sebagai pemimpin klinik (clinical leadership), konsultan, fasilitator,
koordinator, role model, dan advokat baik bagi pasien maupun perawat generalis.
Hadirnya perawat spesialis ini diharapkan mampu meningkatkan mutu pelayanan
asuhan keperawatan yang selalu berkesinambungan melalui pembaharuanpembaharuan dan inovasi dibidang keperawatan sehingga pelaksanaan asuhan
keperawatan semakin berkualitas. Dalam bab ini akan disampaikan kegiatan
inovasi selama penulis praktik di RSUP Fatmawati Jakarta.
5.1
Analisa situasi
RSUP Fatmawati didirikan pada tahun 1954 oleh Ibu Fatmawati Soekarno yang
semula
sebagai
RS
yang
mengkhususkan
Penderita
TBC
Anak
dan
Rehabilitasinya. RSUP Fatmawati terus berkembang, berdasarkan penilaian Tim
Akreditasi RS, pada tahun 2007 RSUP Fatmawati memperoleh status Akreditasi
Penuh Tingkat Lengkap 16 Pelayanan. Pada tahun 2011, RSUP Fatmawati telah
menyandang sertifikat Terakreditasi ISO 9001 : 2008 dan OHSAS 18001 : 2007
dan saat ini sedang menuju untuk mendapatkan sertifikat JCI (Join Commission
International) tahun 2013. Sampai saat ini RSUP Fatmawati masih menjadi RS
rujukan wilayah Jakarta Selatan, Depok dan Bogor. Dari 10 penyakit terbanyak
pada tahun 2010 di RSUP Fatmawati, diabetes mellitus menempati urutan
pertama. Jumlah kunjungan pasien DM tipe 2 ke Poliklinik Penyakit Dalam RSUP
Fatmawati Jakarta pada tahun 2010 setiap bulannya rata rata 1500 kunjungan,
baik pasien lama maupun pasien baru.
Irna B lantai 5 selatan merupakan ruang rawat inap yang merawat pasien dengan
kasus penyakit dalam termasuk kasus metabolik endokrin, yang terbagi menjadi 3
107
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
108
unit ruang rawat, yaitu High Care Unit (HCU), ruang rawat inap laki-laki (5
ruang) dan ruang rawat inap perempuan (4 ruang). Di unit ruang laki-laki dan
perempuan masing-masing mempunyai 1 ruang untuk merawat pasien dengan
kasus metabolik endokrin dan masing-masing juga mempunyai ruang isolasi yang
bisanya dipergunakan untuk merawat pasien DM tipe 2 dengan ulkus kaki
diabetik, di HCU digunakan untuk merawat pasien dengan kasus kegawatan,
misalnya kegawatan metabolik endokrin (KAD).
Jumlah pasien diabetes yang dirawat khususnya di ruang rawat inap penyakit
dalam di gedung Teratai lantai 5 Selatan pada bulan September 2011 hingga
Februari 2012 sebanyak 123 pasien terdiri dari 36 (29.1%) pasien mengalami
ulkus diabetik
dan 87 (69.9%) pasien dengan tanpa ulkus. Berdasarkan
informasi perawat di Irna B lantai V, sejak bulan Januari 2012 beberapa kasus
DM tipe 2 dengan ulkus kaki diabetik, terinfeksi kuman psedomonas aeruginosa
yang dikarakteristikkan warna sekitar ulkus berwarna kehijauan, kondisi ini
berlangsung sampai bulan Maret 2012, dimana dalam 1 bulan terakhir
diketemukan 3 dari 11 kasus ulkus diabetik yang terinfeksi pseudomonas
aeruginosa. Dengan adanya infeksi pseudomanas akan mempersulit penyembuhan
dan menyebabkan kontrol metabolik menjadi lebih buruk. Adapun upaya yang
telah di tempuh oleh perawat ruangan berupa mensterilkan ruangan, perawatan
luka dengan metode surgical debridement lokal atau nekrotomi serta irigasi luka.
Metode Irigasi luka yang dilakukan oleh perawat di ruangan selama ini dengan
menggunakan tehnik irigasi Nacl 0,9% yang langsung diguyurkan langsung dari
botol salin (80%) dan dengan menggosok atau mengusap dengan kasa yang telah
dilembabkan dengan Nacl 0,9% (20%) data ini diperoleh berdasarkan hasil
observasi dan wawancara selama bulan Oktober-Desember.
Berdasarkan hasil studi metaanalisis dari The Joanna Briggs Institute (2006)
yang menyatakan bahwa irigasi luka dengan menggunakan tekanan 13 psi
(syringe 12 cc dengan jarum 22 G) dengan cairan Nalc 0,9% terbukti secara
klinis mampu menurunkan infeksi (p=0,017) dan inflamasi (p=0,034). Keefektifan
hasil penelitian ini juga pernah dibuktikan pada 9 pasien dengan ulkus kaki
diabetik, berdasarkan hasil pengamatan metode ini mampu mampu menurunkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
109
terjadinya infeksi pada ulkus kaki diabetik dengan parameter Clinical Sign And
Simptom Checklist For Diabetic Foot Ulcer (CSSC-DFU) yang ditunjukkan
dengan penurunan nyeri, menurunkan edema, menurunkan perbedaan suhu kulit
pada sisi proksimal, meminimalkan produksi eksudat, eksudat serous, eksudat
sanguins, mencegah kegagalan penyembuhan, mencegah perubahan warna
granulasi
menjadi
pucat,
mencegah
kerapuhan
granulasi,
mengurangi
pembentukan kantong pada dasar luka, mengurangi bau yang menyengat,
mencegah kerusakan pada tepi luka. Berdasarkan perlakuan pada 1 pasien yang
mengalami infeksi pseudomonas aureus pada tendon, didapatkan data bahwa
irigasi 13 psi mampu mengangkat sisa debris yang berwarna hijau sehingga
mencegah tindakan debridement pada tendon
Berdasarkan keefektifan metode irigasi 13 psi dalam menurunkan kejadian infeksi
ulkus kaki diabetik, maka penting menyampaikan dan mensosialisasikan
tindakan tersebut kepada perawat di RSUP Fatmawati khususnya perawat yang
kesehariannya melakukan perawatan luka, melalui pelatihan tentang tehnik
irigasi 13 psi dan pengkajian luka infeksi dengan format Clinical Sign And
Simptom Checklist For Diabetic Foot Ulcer (CSSC-DFU).
5.2
Kegiatan Inovasi
5.2.1 Kontrak pelaksanaan kegiatan
Pelaksanaan kegiatan didasari atas fenomena masalah keperawatan yang ada saat
itu, yaitu cukup banyak angka kejadian infeksi ulkus kaki diabetik salah satunya
akibat pseudomonas. Kemudian fenomena tersebut dibahas oleh tim atau
kelompok inovasi bersama kepala ruangan, wakil kepala ruang dan beberapa
perawat primer, dan ternyata apa yang ditemukan tim inovasi juga dirasakan oleh
perawat primer dan kepala ruangan. Kepala ruangan mengatakan bahwa dalam 2
bulan terakhir kejadian ulkus DM dengan infeksi pseudomonas cukup tinggi,
sehingga perlu suatu metode untuk menurunkan atau menghilangkan kejadian
tersebut.
Langkah selanjutnya adalah membagikan kuesioner yang berisi pertanyaan
tentang pemahaman perawat tentang irigasi luka dengan metode 13 psi dan
kesediaan perawat untuk mengikuti pelatihan irigasi 13 psi. Adapun hasilnya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
110
adalah 57.5% perawat pernah mendengar adanya irigasi 13 psi setelah dilakukan
sosialisasi, 40% tidak pernah, namun hanya 30% yang pernah melakukan
tekhnik tersebut, sehingga hampir seluruh perawat di Irna B lantai 5 selatan
(92.5%) menginginkan adanya pelatihan tentang pengkajian, pemeriksaan dan
perawatan kaki diabetik dengan menggunakan metode irigasi 13 Psi.Setelah
melakukan diskusi dengan kepala ruangan, dan PN, akhirnya disepakati untuk
membuat suatu program pelatihan tentang tekhnik irigasi 13 Psi pada ulkus kaki
diabetik dan luka infeksi serta pengkajian infeksi ulkus kaki diabetik dengan
metode CSSC-DFU.
5.2.2 Sosialisasi program inovasi
Langkah awal dimulai dengan pembuatan proposal kegiatan program inovasi
mengenai tekhnik irigasi 13 Psi pada ulkus kaki diabetik dan pengkajian pada
infeksi ulkus diabetik dengan metode CSSC-DFU yang di konsultasikan ke
supervisor akademik dan supervisor klinik, yang selanjutnya disosialisasikan
kepada kepala ruangan, wakil kepala ruang, PN dan perawat pelaksana di Irna B
lantai V selatan RSUP Fatmawati Jakarta di ruang edukasi Irna B lantai V selatan.
Sosialisai kedua rencana program inovasi yang dilaksanakan di Irna C lantai 4,
kegiatan dilaksanakan pada hari Jum’at 16 Mei 2012 tanggal pukul 13.00 WIB.
Kegiatan dihadiri oleh PN Irna B lantai 5 selatan dan team wound care (yang
terdiri dari perawat Irna B lantai 4,5, dan 6 utara selatan, Irna C lantai 5 dan 1,
poliklinik penyakit dalam) RSUP Fatmawati.
5.2.3 Pelaksanaan program inovasi
Tempat pelaksanaan inovasi kegiatan program inovasi berlangsung selama 2 hari
yaitu pada tanggal 17-18 April 2012. Penyampaian materi bertempat diruang
pendidikan lantai I gedung Prof. Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta sedangkan
hands on atau pelaksanaan praktek di lakukan di Irna B lantai 5 selatan dan utara.
Jumlah keseluruhan peserta pelatihan sebanyak 40 orang, pada pertama tanggal 17
April 2012 peserta sebanyak 20 orang, yang dihadiri perawat Irna B lantai IV
utara, lantai V utara dan selatan, sedangkan pada hari kedua pada tanggal 18 April
2012 peserta sebanyak 20 orang yang dihadiri perawat Irna B lantai IV selatan,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
111
lantai V utara, V selatan, lantai VI utara, lantai VI selatan, Irna C lantai I dan III
serta tim wound care paviliun anggrek.
Pelaksanaan kegiatan pelatihan inovasi yang berbasis berbasis Evidence Based
Nursing dilaksanakan selama 2 hari, pada hari pertama (Selasa, 17 April 2012)
mulai dari jam 07.30 – 13.30 WIB, Diawali dengan laporan ketua panitia tentang
rencana pelatihan yang akan dilakukan kemudian dilanjutkan dengan pemberian
sambutan dari supervisor akademik, Ketua Komite Keperawatan RSUP
Fatmawati dan Kepala Bidang Keperawatan RSUP Fatmawati yang sekaligus
membuka acara pelatihan. Pre tes berikan sebelum pemberian materi pengkajian
kaki diabetik infeksius dengan metode CSSC-DFU dan tekhnik irigasi 13 psi pada
ulkus kaki diabetes sebagai kontrol infeksi dan inflamasi (lampiran 8) dilanjutkan
dengan sesi tanya jawab.
Setelah pemberian materi peserta pelatihan kemudian mengikuti hands on atau
praktek langsung luka dilakukan oleh penulis sebagai pelatih bersama PN Irna B
lantai V selatan sebagai fasilitator. Tempat pelaksanaan handson irigasi luka 13
psi dilakukan di High Care Unit (HCU) Irna B lantai V selatan. Selama handson
peserta pelatihan diberikan kesempatan untuk mendemosntrasikan kembali dan
peserta pelatihan tugas untuk observasi pelaksanaan tindakan untuk kemudian
dipersentasikan. Kelompok menyampaikan hasil pengkajian dan pelaksanaan
hands on serta menyampaikan kendala dan solusinya. Hasil pengamatan peserta
pelatihan berupa kondisi ulkus dengan warna putih atau kuning dilakukan irigasi
dengan tekanan 13 psi, sedangkan dengan warna merah (jaringan granulasi)
dilakukan irigasi dengan tekanan 7 psi menggunakan cairan normal saline 0,9%.
Presentasi diakhiri dengan membuat kesepakatan bersama dengan peserta
pelatihan untuk tetap melaksanakan tekhnik irigasi 13 psi pada luka yang
terinfeksi, terutama pada ulkus kaki diabetes sebagai kontrol infeksi dan inflamasi
di ruangan masing-masing. Setelah presentasi selesai, dilakukan evaluasi terhadap
pemahaman materi yang telah disampaikan dengan memberikan post tes ke
peserta pelatihan.
Hari kedua pada hari dabu, 18 April 2012 di mulai dengan memberikan soal pre
tes dilanjutkan pemberian materi pengkajian kaki diabetik infeksius dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
112
metode CSSC-DFU dan tekhnik irigasi 13 psi pada ulkus kaki diabetes sebagai
kontrol infeksi dan inflamasi dilanjutkan dengan tanya jawab. Setelah mater
selesai peserta pelatihan dibawa ke Ruang HCU Irna B lantai V Selatan dan ruang
501 Irna B lantai V Utara RSUP Fatmawati Jakarta untuk melanjutkan sesi
pelaksanaan Hands on atau praktek langsung kepada pasien dilakukan oleh
penulis sebagai pelatih bersama PN dan wakil kepala ruang lantai V selatan
sebagai fasilitator. Peserta diberi kesempatan untuk mendemonstrasikan kembali
ketrampilan yang telah disimulasikan, peserta pelatihan juga diberi tugas untuk
melakukan
evaluasi
pelaksanaan
handson
untuk
kemudian
hasilnya
diperentasikan. Hasil pengamatan peserta pelatihan berupa kondisi ulkus dengan
warna putih atau kuning (ulkus infeksi) dilakukan irigasi dengan tekanan 13 psi,
sedangkan dengan warna merah (jaringan granulasi) dilakukan irigasi dengan
tekanan 7 psi menggunakan cairan normal saline 0,9%. Presentasi diakhiri dengan
membuat
kesepakatan
bersama
dengan
peserta
pelatihan
untuk
tetap
melaksanakan tekhnik irigasi 13 psi pada luka yang terinfeksi, terutama pada
ulkus kaki diabetes sebagai kontrol infeksi dan inflamasi di ruangan masingmasing.
Kegiatan dilanjutkan dengan melakukan evaluasi terhadap pemahaman materi
dengan memberikan soal post test. Pelatihan ditutup oleh kepala seksi
perencanaan dan pengembangan keperawatan yang mewakili Kepala Bidang
Keperawatan RSUP Fatmawati Jakarta. Dalam acara penutupan tersebut
disampaikan bahwa irigasi dengan tehnik 13 psi hendaknya diaplikasikan
diruangan masing-masing dan diajarkan juga ke perawat yang lain, yang tidak
mengikuti pelatihan dan disampaikan pula bahwa materi pelatihan tersebut akan
menjadi acuan untuk perbaikan dan pengembangan Standart Operating Prosedur
yang telah ada.
5.2.4 Materi Pelatihan
5.2.4.1 Pengkajian kaki diabetik infeksius dengan metode CSSC-DFU
Format CSSC-DFU ini telah diperkenalkan oleh Gardner, Hillis, dan Frantz.
(2009) berdasarkan rekomendasi Infection Disease Society of America (IDSCDFU) merupakan salah satu metode untuk mendiagnosa infeksi ulkus kaki
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
113
diabetik melalui pemeriksaan klinis tanda-tanda infeksi. Terdapat 12 tanda-tanda
yang dapat mengidentifikasi adanya infeksi. Adapun 12 tanda yang dikaji
meliputi: peningkatan keluhan nyeri, eritema, edema, suhu, eksudat purulent,
eksudat sanguinos, eksudat serous, keterlambatan penyembuhan luka, perubahan
warna jaringan granulasi, jaringan granulasi menjadi rapuh, kantung pada luka,
dan kerusakan tepi luka (lampiran 10).
5.2.4.2 Tekhnik irigasi 13 psi pada ulkus kaki diabetes sebagai kontrol infeksi dan
inflamasi. Materi ini berdasarkan studi metaanalisis dari Joanna Briggs institute
(2006). Adapun tahap dalam irigasi luka luka dengan metode 13 psi adalah
sebagai berikut :
a. Persiapan alat:
1) 1 set irigasi luka steril : kom steril,bengkok steril, spuit irigasi 12 cc, needle
22G atau kateter iv 22G
2) Cairan irigasi (Nacl 0,9%)
3) Sarung tangan steril, Sarung tangan bersih disposable
4) Alas kedap air/ underpad
5) Kassa steril
6) Kantong plastic untuk tempat sampah
7) Celemak (jika perlu)
8) Selimut mandi
9) Plester & gunting plester sesuai kondisi luka
10) Korentang
b. Jelaskan prosedur kepada klien,
c. cek order medis untuk pelaksanaan irigasi luka
d. Dekatkan alat
e. Cuci tangan
f. Tutup pintu dan korden,
g. Pakai selimut mandi jika diperlukan.
h. Posisikan klien sedemikian rupa sehingga cairan irigasi dapat mengalir dari
bagian atas luka ke bagian bawah luka,letakkan alas kedap air di bawah klien.
i. Pastikan cairan irigasi sesuai suhu tubuh
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
114
j. Buka area luka, dekatkkan kantong plastik, pakai skort jika diperlukan.
k. Buka perekat/plester, pakai sarung tangan bersih untuk membuka balutan lama,
l. Kaji jumlah, tipe, dan bau drainase, observasi kondisi luka
m.Buang balutan lama di kantong plastik, lepas sarung tangan dan buang ke
kantong.
n. Gunakan teknik aseptic, buka peralatan dan bahan yang akan dipakai.
o. Tuangkan cairan irigasi ke container/kom steril. Jumlah menyesuaikan dengan
kondisi luka, mulai 200 – 500 ml.
p. Pakai sarung tangan steril pada tangan yang dominan
q. Letakkan bengkok steril di bagian bawah luka untuk menampung cairan irigasi
dengan menggunakan tangan bukan dominant.
r. Dengan menggunakan tangan yang dominan, isi spuit dengan cairan irigasi,
semprotkan cairan irigasi pada luka. Jarak ujung spuit dengan luka 2,5 cm, Jika
menggunakan kateter IV, masukkan pada luka untuk menjangkau bagian luka
yang tidak terkena semprotan cairan irigasi.
s. Teruskan irigasi sampai bersih. upayakan untuk tetap menjaga kestabilan aliran
semprotan.
t. Keringkan luka,tutup dengan kassa
u. Lepaskan sarung tangan dan buang di kantong plastik, Plester luka
v. Cuci tangan, bereskan alat, buat klien merasa nyaman
w. Kaji balutan tiap shift, catat perubahan pada luka, tampilan luka dan drainase
dan dokumentasi.
5.2.5 Evaluasi
Evaluasi pelatihan meliputi evaluasi tentang pemahaman materi pelatihan,
evaluasi pelaksanaan kegiatan pelatihan, dan evaluasi psikomotor dengan
menggunakan kuesioner dan cheklist
5.2.5.1 Evaluasi pemahaman materi pelatihan
Evaluasi terhadap pemahaman materi pelatihan dengan menggunakan pertanyaan
pre dan post tes (lampiran 8). Pada hari pertama dan hari kedua pelatihan terdapat
peningkatan pengetahuan tentang materi pelatihan. Rata-rata nilai pre dan post tes
seperti dalam diagram 5.1.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
115
Diagram 5.1
Rata-Rata Nilai Pre Dan Post Tes Peserta Pelatihan
Pre Test
57.62
76
Post Test
56.5
Hari ke 1
74.75
Hari ke 2
Dari diagram 5.1, menunjukkan nilai rata-rata peserta hari pertama
maupun kedua mengalami peningkatan pemahaman terhadap materi
pelatihan dengan rerata kenaikan 19,38 pada hari pertama dan 18,25 pada
hari kedua. Hal ini dapat disimpulkan bahwa materi pelatihan yang
disampaikan dapat dipahami dengan mudah oleh peserta pelatihan.
5.2.5.2 Evaluasi pelaksanaan kegiatan
Evaluasi selama kegiatan pelatihan berlangsung dengan menggunakan
kuesioner tentang terhadap materi, sarana dan prasarana, tempat, konsumsi
dan pelaksanaan hands on (lampiran 9). Berikut ini hasil evaluasi
pelaksanaan pelatihan (diagram 5.2).
Diagram 5.2
Evaluasi Pelaksanaan pelatihan
100%
80%
60%
Sgt Menarik
40%
Menarik
20%
krg Menarik
0%
Materi
Sarana &
Prasarana
Tempat
konsumsi Hands on
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
116
Berdasarkan diagram 5.2 di atas, rata-rata peserta merasa puas dan sangat
tertarik dengan materi, praktik serta sarana prasarana pelatihan yang
diberikan, adapun yang menjadi kendala saat pelaksanaan pelatihan berupa
tempat pelatihan yang dirasa sebagian peserta pelatihan kurang nyaman,
karena gangguan tekhnis, tetapi bisa segera diatasi.
Hasil evaluasi selama hands on berlangsung, peserta pelatihan mampu
melakukan pengkajian infeksi ulkus kaki diabetik dengan menggunakan
format CSSC-DFU dan mampu melakukan irigasi dengan tekanan 13 Psi
pada kondisi luka yang tepat. Selama pelaksanaan hands on Beberapa
peserta merasakan kendala berupa cipratan cairan irigasi yang mengenai
perawat. Solusi untuk kondisi tersebut dengan cara pengaturan posisi dan
tehnik irigasi yang benar, dengan jarak minimal 3 cm dan arah
penyemprotan tegak lurus. Penggunaan APD yang benar, posisi yang tepat
serta modifikasi alat dengan menggunakan sterofoam untuk mencegah
percikan cairan irigasi mengenai perawat.
5.2.5.3 Evaluasi psikomotor
Evaluasi psikomotor pelaksanaan irigasi dengan tekanan 13 psi dilakukan
di Irna B lantai V selatan selama 2 minggu terhitung setelah pelatihan
selesai, dari 8 perawat yang dievaluasi 2 orang (25%) melakukan dengan
sempurna, 3 orang tidak melepaskan needle saat menghisap cairan dan 2
orang tidak menjelaskan prosedur tindakan ke pasien dan 1 orang posisi
dan arah irigasi yang kurang tepat (format evaluasi dilampiran 11)
Berdasarkan evaluasi psikomotor terhadap pelaksanaan pengkajian ulkus
kaki diabetik dengan format CSSC-DFU, dari 8 perawat yang dievaluasi 6
orang (75%) melakukan dengan tepat sesuai prosedur, 1 orang melakukan
pengukuran suhu dengan infra red yang kurang tepat dan 1 orang yang
belum bisa membedakan serous dan sanguins.
Berdasarkan kedua evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa program
inovasi dapat diterima dan dapat dilaksanakan oleh perawat dengan mudah.
Prosedur irigasi dengan metode 13 psi ini menjadi masukan komite
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
117
keperawatan untuk memperbaiki SOP (Standart Operating Procedure)
tehnik irigasi yang sudah ada.
5.3
Pembahasan
Inovasi merupakan kegiatan pembaharu atau pengembangan sistem yang sudah
ada dalam rangka meningkatkan pelayanan keperawatan menjadi lebih baik.
Inovasi yang dilakukan oleh kelompok yaitu melakukan pengkajian ulkus kaki
diabetik dengan format CSSC-DFU dan tekhnik irigasi 13 psi pada ulkus kaki
diabetes sebagai kontrol infeksi dan inflamasi. Kegiatan inovasi ini mendapatkan
respon yang baik dari kepala bidang keperawatan, komite keperawatan, kepala
diklit keperawatan, kepala ruang, PN dan perawat pelaksana serta tim wound care
RSUP Fatmawati Jakarta. Respon yang baik ini diharapkan dapat memberikan
motivasi kepada pelaksana keperawatan untuk melakukan perubahan dengan
melanjutkan kegiatan ini sebagai prosedur tetap di ruangan dalam rangka
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan luka inflamasi ataupun luka
terinfeksi terutama pada pasien dengan ulkus kaki diabetik.
Inovasi tehnik irigasi 13 psi dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Joanna Briggs Institute (2006) yang menyatakan bahwa irigasi
luka dengan menggunakan tekanan 13 psi (syringe 12 cc dengan jarum 22 G)
dengan cairan Nalc 0,9% terbukti secara klinis mampu menurunkan infeksi
(p=0,017) dan inflamasi (p=0,034). Sebagai salah satu metode mendiagnosa
infeksi ulkus kaki diabetik melalui pemeriksaan klinis tanda-tanda infeksi yaitu
dengan CSSC-DFU ini telah diperkenalkan oleh Stephen L. Hillis dan Rita A.
Frantz (2009) berdasarkan rekomendasi Infection Disease Society of America
(IDSC-DFU). Metode pengkajian ulkus kaki diabetik dengan CSSC-DFU ini
sangat sederhana, bisa dilakukan oleh perawat vokasional maupun perawat
profesional di ruang rawat inap maupun rawat jalan, sebagai deteksi awal terhadap
inflamasi dan infeksi ulkus diabetik.
Kegiatan inovasi berupa gerakan pembaharu atau perubahan, seperti pendapat
Lewins (1951) dalam Marquis dan Houston (2003) menjelaskan bahwa proses
berubah memerlukan tahapan-tahapan yang harus dilalui yaitu unfreezing,
movement, dan refreezing. Pada tahap unfreezing dilakukan mulai dari penelahaan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
118
hasil-hasil penelitian tentang pentingnya pengkajian dan perawatan ulkus kaki
diabetik, kemudian kelompok residen peminatan endokrin melakukan desiminasi
awal program inovasi yang akan dilakukan. Dalam desiminasi awal tersebut
semua yang hadir menyepakati pentingnya kegiatan pelatihan inovasi ini dan
menghendaki pelatihan inovasi tidak hanya diberikan ke perawat di Irna B lantai 5
selainkan juga mengikutsertakan perawat ruangan yang merawat pasien dengan
kasus luka. Setelah proposal kegiatan inovasi telah disetujui kemudian dilakukan
kegiatan pelatihan inovasi selama 2 hari dengan jumlah peserta pelatihan
sebanyak 40 orang.
Movement sebagai tahap kedua dari proses berubah dapat dilihat dari pelaksanaan
kegiatan tekhnik irigasi 13 psi pada ulkus kaki diabetes sebagai kontrol infeksi
dan inflamasi yang dilakukan di Irna B lantai 5 selatan. Perawat pelaksana di beri
kewenangan untuk melakukan tehnik irigasi 13 psi dan pengkajian ulkus kaki
diabetik dengan format CSSC-DFU dan kepala ruangan beserta wakilnya sebagai
penanggung jawab sekaligus evaluator dalam pelaksanaanya. Selama masa
evaluasi perawat menyatakan kesiapannya untuk melanjutkan kegiatan inovasi ini
di ruangan.
Tahap refreezing merupakan tahap akhir dimana perubahan telah dilaksanakan
dan inovasi (perubahan) menjadi bagian dari kegiatan yang ada di ruangan.
Berdasarkan evaluasi selama 2 minggu setelah periode selesainya kegiatan
inovasi, tehnik irigasi 13 psi dan pengkajian ulkus kaki diabetik dengan format
CSSC-DFU telah dilakukan oleh semua perawat yang telah mengikuti pelatihan
inovasi dengan evaluator kepala ruang dan wakil kepala ruang sebagai
penanggung jawab, kegiatan inovasi ini dapat dilanjutkan dan menjadi bagian dari
asuhan keperawatan dalam mengatasi masalah risiko infeksi pada pasien DM
dengan ulkus kaki diabetik
Berdasarkan hasil evaluasi dengan menggunakan pre dan post test, ada
peningkatan pemahaman materi pada peserta pelatihan dengan kenaikan rata-rata
14 poin. Dan berdasarkan evaluasi psikomotor 25% perawat mampu melakukan
irigasi 13 dengan sempurna dan 75 % perawat mampu melakukan pengkajian
dengan CSSC-DFU dengan sempurna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
119
metode ini sederhana dan dapat dilakukan oleh perawat vokasional maupun
profesional.
Selama evaluasi terdapat beberapa kendala yang dirasakan oleh perawat berupa
keterbatasan alat, syringe 12 cc yang tersedia di RSUP Fatmawati dengan ukuran
jarum yang kurang sesuai, solusinya dengan mengganti jarum dengan IV cath
abocat) dengan ukuran 22 G, hal ini mempunyai keuntungan untuk meminimalkan
trauma tertusuk saat irigasi. Kendala yang dirasakan saat pengkajian ulkus kaki
diabetik dengan CSSC-DFU berupa tidak tersedianya sarana berupa termometer
inframerah, solusinya dengan menyediakan alat tersebut di ruangan dan
mengusulkan ke kepala ruang untuk pengadaan alat tersebut mengingat
pentingnya kegunaanya untuk mendeteksi tanda-tanda infeksi pada luka. Evaluasi
pelaksanaan inovasi dilakukan di Irna B lantai V selatan sebagai pilot project,
harapan kedepannya kegiatan inovasi (irigasi tehnik 13 psi dan pengkajian CSSCDFU) dapat terus dilakukan sebagai SOP yang baru dan dilakukan juga oleh
seluruh perawat di RSUP Fatmawati yang terkait dengan perawatan luka,
khususnya ulkus kaki diabetik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
Sebagai penutup, dalam bab ini menguraikan simpulan dan saran terkait dengan
analisis pengalaman praktikan yang diperoleh selama menjalani praktek residensi
keperawatan dalam menjalankan peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, dengan
mengaplikasikan Teori Adaptasi Roy pada pasien dengan gangguan sistem endokrin,
menjalankan peran sebagai peneliti dalam penerapan intervensi keperawatan
berdasarkan pembuktian ilmiah dan peran sebagai inovator dalam melaksanakan
proyek inovasi.
6.1 Simpulan
6.1.1 Teori Adaptasi Roy dapat diterapkan pada asuhan keperawatan pasien dengan
gangguan sistem endokrin, karena memenuhi semua aspek kebutuhan yang mendasar
dari pasien, yaitu meliputi pemenuhan kebutuhan fisik, konsep diri, adaptasi dan
ketergantungan. Dengan penerapan Teori Adaptasi Roy ini diharapkan pasien dapat
mampu beradaptasi dengan penyakitnya serta perawatan dan pengobatan yang harus
dijalani pasien selanjutnya, seperti perencanaan makan, aktivitas fisik, pemeriksaan
gula darah dan pengobatan yang harus dijalani pasien seumur hidupnya.
6.1.2 Pada praktek keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah didapatkan bahwa
SEEIP dapat meningkatkan efikasi diri pasien DM tipe 2. Hasil penerapan intervensi
SEEIP terhadap 10 orang pasien yang rawat inap di Irna B lantai 5 selatan RSUP
Fatmawati Jakarta menunjukkan bahwa intervensi ini efektif dalam meningkatkan
efikasi diri pasien di bandingkan dengan model konvensional.
6.1.3 Kegiatan inovasi merupakan suatu kegiatan pengembangan metode (dapat
berupa modifikasi metode yang sudah ada atau metode baru) dalam praktek
keperawatan yang disusun berdasarkan fenomena masalah yang ada di lahan praktek
dan kebutuhan ruangan, yang dikembangkan melalui proses journal reading dan
study literature. Proyek inovasi yang dilakukan praktikan adalah kegiatan pengkajian
113
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
114
infeksi ulkus diabetik dengan metode CSSC-DFU dan tehnik irigasi 13 Psi pada ulkus
kaki diabetik di RSUP Fatmawati Jakarta. Proyek inovasi yang telah dilakukan
mendapatkan sambutan dan dukungan yang baik dari pihak struktural dan juga
perawat ruangan di lihat dari hasil evaluasi pelaksanaan kegiataan berupa adanya
tindak lanjut pelaksanaan program tehnik irigasi 13 Psi.
6.2 Saran
6.2.1 Perawat hendaknya dapat menerapkan dan mengembangkan Teori Adaptasi
Roy dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
endokrin, sehingga perlu dibuat format pengkajian yang mengacu pada Teori
Adaptasi Roy, berupa pengkajian perilaku dan stimulus pada 4 mode adaptasi.
6.2.2 Sebagai perawat professional hendaknya mampu memberikan Intervensi
keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah, dan perawat spesialis diharapkan dapat
menjadi
inovator
dalam
mengembangkan
intervensi
keperawatan
mandiri
berdasarkan pembuktian ilmiah terkini agar dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan yang diberikan kepada pasien.
6.2.3 DM tipe 2 merupakan penyakit yang bisa dikontrol dan bisa dicegah
komplikasinya jika diketahui dan ditangani sejak dini, untuk itu perlu
penatalaksanaan secara komprehensif yang melibatkan peran serta masyarakat,
keluarga maupun pasien itu sendiri baik dalam tahap prapatogenesis dengan upaya
peningkatan kesehatan dan perlindungan khusus maupun pada tahap patogenesis
dengan deteksi dini, pengobatan dan pemulihan. Perlu pemetaan keluarga (family
mapping) yaitu menilai anggota keluarga yang mungkin dapat diberdayakan untuk
melakukan perawatan kepada pasien, melakukan pemantauan keluhan dan gejala
kegawatan selama dirumah. Oleh karena itu perlu kerjasama dan sistem rujukan ke
keperawatan komunitas dalam upaya preventif dan promotif pada pasien gangguan
metabolik endokrin khususnya diabetes mellitus, sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien menjadi lebih baik serta dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas akibat komplikasi DM.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA.
Atak, N. Gurkan,T. & Kose, K. (2006) The effect of education on knowledge, self
management behaviours and self efficacy of patients with type 2
diabetes.Department of Health Education, Faculty of Health Sciences, University
of Ankara, Turkey: Australian journal of advanced nursing volume 26 number 2
Australian Podiatry Council, (2006); Basic Foot Assessment Checklist. National
Association of Diabetes Centres.Australia.
Bandura, A. (1995). Self-efficacy in changing societies.Cambridge, England: Cambridge
University Press.
Bandura, A .(1997). Self-efficacy. Diperoleh 15 Februari 2012. .http://www. des.emory.
edu/mfp/effbook5.html.
Banerji, M. (2007). The foundation of diabetes self management: glucose monitoring.
Diabetes Educator, 33(Suppl.4):87S-90S
Black, J.M., & Hawk, J.H. (2005). Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Positive Outcomes. 7th Ed. Philadelphia: Mosby.
Brata,S.(2008).
Hipertensi
dan
ttp://www.strokebethesda.com
Diabetes.
Bethesda
Stroke
Center
Carr, M.E., (2001). Diabetes mellitus: A hypercoagulable state. Journal Diabetes
Complications, 15, 44-54
Centers for Disease Control and Prevention. (2005). National diabetes fact sheet:General
information and national estimates on diabetes in the United States, 2005.
Diperoleh 10 November 2011.
Ellis, S. et al (2004). Diabetes patient education: a meta-analysis and meta-regression.
Patient Education and Counselling, 52(1):97-105.
Desborough JP. (2000). The stress response to trauma and surgery. British Journal of
anaesthesia 85(1):109-17.
Diabetes Care Program of Nova Scotia .(2009). Foot Risk Assessment Form Guide.
Fabio, G et al (2006) Emotional Modulation of Pain: Is It the Sensation or What We
Recall?. The Journal of Neuroscience, November 1, 2006. 26(44):11454 –11461.
France.
Falvo .(2004). Effective patient education: a guide to increased compliance.
Sudbury.Massachusetts USA : Jones and Barlett Publishers
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Faxon, D.P et al. (2004). Atherosclerotic vasculer Disease confrence Writing Group III .
Pathophysiology circulation
Fernandez, Ritin, Griffiths, Rhonda & Ussia, Cheryl (2004) Effectiveness of solutions,
techniques and pressure in wound cleansing. JBI Reports 2(7), 231-270.
Fischer, D.M. (2005). Empowerment and Patient-Generated Treatment Plans in Native
Amricans with Type 2 Diabetes. http://proquest.umi.com/ pqdweb. diperoleh
tanggal 15 Februari 2012.
Funnell, et al (2010). Living Well With Diabetes. www.krames.com.Canada : The
stayWell Copany.
Healthwise, 2011. Neurogenic Bladder. www.network.Health.org/.../healthwise.../abk4...
Herdman,T. Heather (2011). Nanda International Diagnose keperawatan Definisi dan
klasifikasi 2009 – 20011 alih bahasa Sumarwati et al. Jakarta : ECG.
Haye, L.M.,Foster, L.,Bartlett, K.M., Adkins, S. (2002). A preoperative intervention for
pain reduction, improved mobility, and self- efficacy. applied nursing research
Vol.16.No.2 (august 2002)pp 174-18.3
Gardner, S. Hillis, L., dan Frantz, R. A. (2009). Clinical signs of infection in diabetic
foot ulcers with high microbial load. Biological Research for Nursing, 11( 2)
Ignatavicius, D.D., & Workman, M.L. (2006). Medical surgical nursing. 5th Ed. St.
Louis, Missouri: Elsevier Saunders.
Ikeme, A. (2008). An Internet Evaluation of Diabetic’s Self-Reported Knowledge of
Diabetes, Attitudes toward Diabetes,Self Care Empowerment Levels, and
Diabetic Compliactions.
http://proquest.umi.com/pqdweb?index diperoleh
tanggal 20 Januari 2012.
Krames patient education.(2010). A self Care workbook. Living Well with Diabetes.
Lithograped in Canada
James WD, Timothy GB & Dirk ME. (2000). Cutaneous Signs and Diagnosis. In: Andrew’sDisease
of The Skin, Clinical Dermatology 10 Th edition. Philadelpia:WB Saunders Company,
LeMone, P., & Burke, K. (2008). Clinical handbook for medical-surgical nursing . (3 rd
ed). Upper Saddle River , NJ : Prentice Hall.
Maulana, Mirza. (2008). Mengenal diabetes melitus : Panduan praktis menangani
penyakit kencing manis. Jogjakarta : Kata Hati.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
May RJ. & Gpyal RK.(1994) Effects of diabetes mellitus on the digestive system. In:
Kahn CR, Weif GC, eds. Joslin's Diabetes I. Mellitus. 13111 ed. Pensylvilnia:
Lea & Febiger
McCloskey,.J.C & Bulechek,G.M. (2003).Nursing Intervention Classification 2nd
edition.philadelphia: Mosby
Meari, F & Malagelada JR (1995). Gastroparesis and dyspepsia in patients with
diabetes mellitus. Eur J Gastroenterol HE:patol
Mohler, E. R. (2003). Peripheral Arterial Identification and implication. Arch Intern
Med. 163:2306-2314.
Moorhead,S.; Johnson,M & Maas,M (2003) Nursing Outcomes Classification.Iowa
outcomes project. Third edition. USA: Mosby
Norris, S., Lau, J., Smith, S., Schmid, C. and Engelgau, C. 2002. Self management
education for adults with type 2 diabetes. Diabetes Care, 25(7):1159-1171
Perkeni. (2006).Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Indonesia :Jakarta :PB.Perkeni
Porth, C.M, (2007). Essentials of pathophysiology: Concepts of altered health states. 2
nd edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Potter, P., A., & Perry, A., G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan : Konsep,
proses, dan praktik. Jakarta : EGC.
Potter, P., A., & Perry, A.G. (2009). Fundamental Keperawatan.Edisi 7 buku 1 & 2.
Jakarta: Salemba Medika
Price, S.A., & Wilson M.W, (2008). Patofisiologi konsep klinik proses-proses penyakit,
Ed 2. Jakarta: EGC
Rhonda M Jones, (2008). Sistem Vaskuler Perifer.Terj. Ni Luh Agustini Leonita, D.
Lyrawati.
Roy, S.C., & Andrews, H.A. (1999). The roy adaptation model. 2th Ed. USA : Appleton
& Lange.
Setiawati, S., & Dermawan, A., C. (2008). Proses pembelajaran dalam pendidikan
kesehatan. Jakarta : Trans Info Media
Sharoni dan Wu (2007), Self-efficacy and self-care behavior of Malaysian patients with
type 2 diabetes: a cross sectional survey.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2002). Buku ajar keperawatan medical bedah brunner &
suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, JL., Cheever, K.H. (2008). Brunner & Suddarth”s:
textbook of medical-surgical nursing. 11 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
&Wilkins.
Snoek,F & Visser,A. (2003). Improving quality of life in diabetes: how effective is
education? Patient Education and Counselling. 51(1):1-3.
Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I. (2011). Penatalaksanaan diabetes melitus
terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I., Oemardi, M., Semiardji, G. & Soebardi, S.
(2002). Petunjuk praktis pengelolaan diabetes melitus tipe 2. Jakarta : PB
Perkeni.
Soegondo, S., Rudianto, A., Manaf, A., Subekti, I., Pranoto, A., Arsana, P.M., et al.
(2006). Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia 2011. Jakarta : PB Perkeni.
Sokunbi, D.O., Wadhana, N.K., Suh, H., (1994) Vascular Disease Outcome and
Thrombocytosis in Diabetic and Nondiabetic End-Stage Renal Disease Patients
on Peritoneal Dialysis. Adv Perit Dial, 10, 77-80
Stipanovic, A.R. (2002). The Effects of Diabetes Education on Self Efficacy and Self
Care of Adults with Type 2 Diabetes.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (2006). Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Suliha, U., Herawani, Sumiati, & Resnayati, Y. (2002). Pendidikan kesehatan dalam
keperawatan. Jakarta : EGC
Sustrani, L., Alam, S. & Hadibroto, I. (2006). Diabetes. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Sutadi,S.M (2003) Gastroperasis diabetika. FK bagian ilmu penyakit dalam USU.
repository.usu.ac.id/bitstream/.../3370/1/penydalam-srimaryani8.pdf
Tan,M.Y, et all (2005) A brief structured education programme enhances self-care
practices and improves glycaemic control in Malaysians with poorly controlled
diabetes
Taylor, Shelley. (1995). Health Psychologi. New York: McGraw-Hill Inc.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
The Joanna Briggs Institute (JBI). (2006)Solutions, techniques and pressure in wound
cleansing Best Practice evidence based information sheets for health
professional vol. 10(2) ISSN: 1329-1874
Tommey & Alligood. (2006). Nursing Theorists and Their Work. Missouri: Mosby.
Toobert, Hampson, & Glasgow. (2000). The Summary of Diabetes Self-Care Activities
Measure: Result from 7 Studies and Revised Scale. Diabetes Care. 23(7).
http://care.diabetesjournals.org/cgi/reprint/23/7/943, diperoleh tanggal 15
Agustus 2008.
Tosaddak A, MN uddin. Etiology and prevention of venous thromboembolism :Medicine
Digest 199
Vahid, Z, Alehe, S.R & Faranak, J. (2008) The Effect Of Empowerment Program
Education On Self Efficacy.
http://www.medwelljournals.com/fulltext
/rjbs/2008/850-855.pdf, diperoleh tanggal 8 September 2011
.
Wassermann, L.R., Balcerzak, S.P., Berk, P.D., Berlin, N.I., Donovan, P.B., Dresch, C.,
et al. (1981). Influence of therapy on cause of death in polycytemia vera. Trans
AssocAm Phys, 94, 30-38
William C. The Diabetic Foot, In ( Ellenberg, Rifkin’s, eds), Diabetes Mellitus,
Sixth Edision, USA, 2003
Wilkinson, J.M. (2005). Nursing diagnosis handbook: With NIC intervention and NOC
outcomes. 8 th ed. New Jersey: Prentice Hall.
Wisconsin Diabetes Prevention and Control Program (2011). Diabetes Self care
Information and Record Booklet. Wisconsin Diabetes Advisor Group and other
partners.
Wright, B. (2008). Panduan bagi penderita diabetes. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Wu,S.F.V, Courtney,M.Edward,H.,McDowell,J.,Shortridge-Bagett,L.M, Cahng, P.J
(2006). Self-efficacy, outcome expectation and self care behavior in people with
type diabetes in taiwan. http://www.ebscohost.com/dynamed.. Diperoleh 7 Oktober
2011
Wu,S.F.V (2007). Effectiveness of self management for person with type 2 diabetes
following the implementation of a self-efficacy enhancing intervention program in
Taiwan. Queensland University of Technology. diperoleh tanggal 8 Oktober 2011
dari http://eprint.qut.edu.au/16385/Shu_Fang_Wu_Thesis.pdf
Yngen, M., (2005). Platelet function in diabetes mellitus, Thesis. Stockholm: Karolinska
University Press.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
___.Daftar Diit Diabetes Melitus. Instalasi Gizi RSUP Fatmawati. Jakarta
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 1
RESUME KEPERAWATAN DENGAN
PENDEKATAN TEORI ADAPTASI ROY
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 2
Gambar 3.1
Kondisi Luka kaki kanan (Tanggal 28 Februari 2012)
Cruris
Plantar
Gambar 3.2
Kondisi kaki Ny.T
Kaki Kanan
Kalus &Ulkus di plantar
Kaki Kiri
Kaki kering, penipisan lemak subkutan
Setelah kalus di bersihkan
Setelah kalus dibersihkan
Kalus Kaki kanan
Kalus kaki kiri
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 3
Gambar 3.3
Pemeriksaan Radiologi pedis dextra
Kesan Pedis dextra:
Osteomilitis metatarsal V distal dan digiti V phalanx I pedis dextra. Dapat sesuai
permulaan diabetic foot dextra
Kesan cruris dextra :
Tidak tampak kelainan pada tulangtulang kruris. tidak tampak tanda
osteomilitis
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 4
Gambar 3.4
Perkembangan Post Op STSG Kruris Dan Ulkus Plantar Dextra
Cruris
Plantar
Post STSG hari ke 5 (5/3/12)
5/3/12
Post STSG hari ke 7 (7/3/12)
7/3/12
Post STSG hari ke 13 (13/3/12 )
13/3/12
Post STSG hari ke 15 (15/3/12)
14/3/12
Post STSG hari ke 16 (16/3/12)
16/3/12
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 5
Booklet DM dan
Penatalaksanaan Perawatan Diri
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 6
Kuesioner
Diabetes management sel efficacy Scale (DMSES)
dan Perceived Therapeutic Efficacy Scale (PTES)
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
KUESIONER
PROFIL RESPONDEN
1.
2. Jenis kelamin :
Nama :_______________________
1. Laki-laki.
2. Perempuan
Umur:_______________________
3.
Pendidikan terakhir
4.Pekerjaan
1. Tidak sekolah
1. tidak bekerja/pensiun/IRT
2. SD
2. Buruh/petani/pedagang/Wiraswasta
3. SLTP
3. PNS/TNI/POLRI
4. SLTA
4. lain-lain , sebutkan………….
5. PT/akademi
5.. Lama Mengidap DM/kencing Manis :
____________________________
7
Status pernikahan
6. Riwayat mondok dengan diabetes :
___________________________
1. Belum menikah
2. Janda/duda
3. Menikah
8
TB :______________cm
BB :______________Kg
9
Sejak mengidap diabetes, pernahkan
Tidak
mendapat penyuluhan tentang
Ya :
diabetes
Edukasi kelompok ____ kali
Edukasi individu _____kali
10 Komplikasi Diabetes
Tidak
Ya :
retinopati.
ginjal
Penyakit Jantung
ulkus kaki diabetik
gangguan syaraf
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
penyakit
SKALA EFIKASI DIRI MANAJEMENT DIABETES
DIABETES MANAGEMENT SELF-EFFICACY SCALA (DMSES)
No
Saya percaya diri untuk
1.
Saya mampu memeriksa kadar gula darah saya jika
dibutuhkan
Saya mampu mengenali dan mengatasi kadar gula darah
saya ketika kadar gula darah saya terlalu tinggi
Saya mampu mengenali dan mengatasi kadar gula darah
saya ketika kadar gula darah saya terlalu rendah
Saya mampu memilih makanan yang benar untuk
kesehatan saya
Saya mampu memilih dan mengkonsumsi bahan
makanan sesuai dengan diet diabetes
Saya mampu mempertahankan berat badan yang ideal
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8
9.
10
11
12
13
Saya mampu memeriksa kedua kaki (misal melihat
lecet, luka, kapalan)
Saya mampu untuk berolah raga sesuai saran dokter
(jalan kaki, senam, bersepeda)
Saya mampu mengikuti aturan makan ketika saya sedang
sakit
Saya mampu mengikuti aturan makan yang sehat setiap
saat
Saya mampu untuk berolah raga jika dokter
menganjurkan saya
Ketika saya berolah raga saya mampu untuk mengatur
makan sesuai anjuran ahli gizi
Saya mampu untuk mengikuti diet ketika saya
berpergian
Ya
Ya
Mungkin
Pasti
Pasti
Mungkin
Tidak
Tidak
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
14
Saya mampu memilih makanan dan menjaga diet saya
ketika bepergian
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
15
Saya mampu untuk mengikuti diet ketika suasana hati
saya gembira
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1
0
16
Saya mampu untuk memilih makanan dan mengikuti diet
ketika saya makan di luar atau saat ada pesta
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1
0
17
Saya mampu untuk mengikuti diet ketika suasana hati
saya sedih, stres atau cemas
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
18
Saya rasa saya mampu ke dokter/RS minimal 4 kali
dalam setahun untuk memeriksa diabetes saya
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
19
Saya mampu minum obat diabetes sesuai resep secara
teratur
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
20
Saya mampu minum obat diabetes ketika saya sakit
10
9
8 7
6
5 4 3 2 1 0
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
PERCEIVED THERAPEUTIC EFFICACY SCALE (PTES)
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8
9.
10
Saya percaya diri untuk
Percaya diri
tinggi
Tingkat kepercayaan diri dalam kemampuan
mengontrol gula darah
Tingkat kepercayaan diri dalam kemampuan
menjaga kadar gula darah stabil dan mencegah
kadar gula darah meningkat melebihi dari normal
Tingkat kepercayaan diri dalam kemampuan
membatasi komplikasi yang berat (kebutaan atau
masalah luka dikaki)
Tingkat kepercayaan diri mencegah lebih banyak
komplikasi
Tingkat kepercayaan diri dalam kemampuan
memelihara dosis obat untuk mengontrol diabetes
yang efektif
Tingkat kepercayaan diri dalam minum obat tiap
hari sesuai resep dokter untuk mengontrol gula
darah
Secara keseluruhan tingkat kepercayaan dalam nilai
pengobatan diabetes
Tingkat kepercayaan diri dalam kemampuan
pengobatan secara umum dalam mengontrol
diabetes
Tingkat kepercayaan diri dalam mematuhi anjuran
dokter atau ahli gizi
Tingkat kepercayaan
mengatasi diabetes
diri
dalam
kemampuan
Tidak
Percaya
diri
10
9
8
7
6 5 4 3 2 1 0
10
9
8
7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8
7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8
7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8
7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8
7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8
7 6
5 4 3 2 1 0
10
9
8
7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8
7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8
7
6
5 4 3 2 1 0
10
9
8
7
6
5 4 3 2 1 0
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 7
PELAKSANAAN
SELF-EFFICACY ENHANCEMENT
INTERVENTION PROGRAM (SEEIP)
PADA PASIEN DM TIPE 2
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
PELAKSANAAN SEEIP PADA PASIEN DM TIPE 2
Tah
ap
I
Perte
muan
1
Tujuan
Implementasi
1. Diketahui tingkat
pemahaman tentang DM
dan penatalaksanaanya
2. Diketahui efikasi diri pasien
dalam perawatan DM
3. Diketahui kemampuan
1. Mengkaji kemampuan belajar pasien & tingkat pemahaman
pasien tentang DM dan perawatannya
2. Mengkaji pengalaman pasien dalam perawatan DM
sebelumnya
3. Mengkaji efikasi diri pasien dalam merawat penyakitnya
4. Membantu menentukan tujuan pembelajaran dan kontrak
waktu
5. Melihat video tentang pengalaman diabetisi yang terkontrol
dalam perawatan DMnya
1. Memberikan Booklet
2. Menjelaskan tentang DM dan komplikasi
3. Konseling tentang SEEIP dalam mengenal tanda-tanda
hiperglikemia dan hipoglikemia serta penatalaksanaanya :
a. Mengkaji pengalaman pasien dalam mengenali tandatanda hiperglikemia dan hipoglikemia serta pengalaman
mengatasinya dan tingkat keberhasilannya.
b. Mengingatkan/menceritakan kembali pengalamanan
diabetisi (yang telah terkontrol baik) dalam perawatan.
c. Membantu pasien dan keluarga dalam mengambil
tindakan yang terbaik ketika terjadi hipoglikemia dan
hiperglikemia
dan kesiapan belajar
II,
III
2
II,
III
3
1. Diketahuinya tingkat
pengetahuan pasien tentang
tanda hiperglikemia dan
hipoglikemia
2. Diketahuinya pengalaman
pasien dalama mengatasi
hiperglikemia dan
hipoglikemia
3. Pasien dan keluarga mampu
membuat keputusan terbaik
dalam mengatasi
hiperglikemia dan
hipoglikemia
1. Diketahui pengalaman
pasien tentang pengaturan
makan
2. Pasien mampu memilih
makanan sesuai dengan
diitnya
Materi
Media/
Metode
pengalaman diabetisi 1. Kuesioner
yang terkontrol dalam
DMSES&
dalam perawatan
PTES
DMnya.
2. Laptop
Waktu
1. Pengertian DM
2. Penyebab DM
3. Tanda gejala
hiperglikemia dan
hipoglikemia
4. Cara mengatasi
hiperglikemia dan
hipoglikemia
1. Booklet
2. Lembar
balik
30
Menit/
Sesuai
kesepa
katan
Media :
1. Booklet
2. Leaflet
3. Food
model
30
Menit/
Sesuai
kesepa
katan
1. Menjelaskan tentang pengaturan makan DM (dengan
1. Tujuan pengaturan
melibatkan ahli gizi)
makanan
2. Konseling tentang SEEIP dalam pengaturan makan :
2. Prinsip pengaturan
a. Mengkaji pengalaman pasien dalam pengaturan makan
makan
sebelum dirawat serta riwayat kadar gula darah
3. Pengaturan makan
b. Mengingatkan/menceritakan kembali pengalamanan
dengan
diabetisi (yang telah terkontrol baik) dalam pengaturan
menggunakan
makan.
daftar bahan
c. Mensimulasikan contoh menu diabetisi.
makanan penukar.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Metode :
diskusi,
simulasi &
20
menit
II,
III
II,
III
4
5
1. Diketahui pengalaman
pasien tentang pengobatan
DM (OHO/insulin)
2. Pasien mampu memahami
jenis OHO dan aturan
minumnya
3. Pasien mampu memahami
jenis insulin & mampu
mendemontrasikan cara
injeksi insulin (untuk pasien
yang mendapatkan insulin)
1. Diketahui pengalaman
pasien tentang olah raga
2. Diketahui pengalaman
pasien tentang perawatan
kaki
3. Pasien mampu memahami
Aturan olahraga pada
diabetisi
4. Pasien mampu memahami
dan mendemontrasikan cara
perawatan kaki dan senam
kaki diabetes
5. Diketahui efikasi diri pasien
setelah SEEIP
d. Membantu pasien dan keluarga mendemonstrasikan
memilih dan merencanakan makanan sesuai dietnya.
1. Menjelaskan tentang pengobatan DM.
1. Jenis pengobatan
2. Konseling tentang SEEIP dalam pengaturan makan :
diabetes
a. Mengkaji pengalaman pasien dalam pengobatan DM
(OHO/insulin)
2. Cara
aturan
(OHO/insulin)
minum OHO
b. Mengingatkan/menceritakan kembali pengalamanan
injeksi
diabetisi (yang telah terkontrol baik) dalam pengobatan. 3. cara
insulin
(untuk
c. Mensimulasikan cara injeksi insulin (untuk pasien yang
pasien
yang
mendapatkan insulin).
mendapatkan
d. Membantu pasien dan keluarga mendemonstrasikan
insulin).
injeksi insulin (untuk pasien yang mendapatkan insulin).
1. Menjelaskan tentang olah raga, perawatan kaki dan senam 1. Manfaat, lama,
frekuensi,
kaki DM.
intensitas, jenis,
2. Konseling tentang SEEIP dalam pengaturan makan :
tahapan dan
a. Mengkaji pengalaman pasien dalam olah raga dan
syarat olahraga.
perawatan kaki DM
b. Menampilkan tayangan diabetisi (yang telah terkontrol 2. Perawatan kaki
diabetes
baik) dalam perawatan kaki
3. Senam kaki
c. Mensimulasikan cara perawatan kaki dan senam kaki
pasien
diabetes
d. Membantu
dan
memfasilitasi
mendemonstrasikan perawatan kaki DM dan senam kaki
3. Mengkaji effikasi diri pasien dengan kuesioner DMSES
dan PTES
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
demonstrasi
Media :
1. Booklet
2. Leaflet
3. Alat
peraga
30
Menit/
Sesuai
kesepa
katan
Metode :
diskusi,
simulasi &
demonstrasi
Media :
1. Booklet
2. Video
3. Alat
peraga.
4. kuesioner
DMSES
dan PTES
Metode :
Diskusi
Simulasi dan
demonstrasi
30
Menit/
Sesuai
kesepa
katan
Lampiran 8
Pre Tes dan Post Tes Pelatihan
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Soal Evaluasi Pelatihan Pretest & Posttest
Pilihlah jawaban yang paling benar dari pertanyaan berikut ini
1.
Apa alat yang digunakan dalam melakukan irigasi 13 psi?
a. Spuit 12 cc tanpa jarum
b. Spuit 10 cc dengan jarum ukuran 12G
c. Spuit 12 cc dengan jarum ukuran 22G
2.
Jika tidak ditemukan jarum ukuran 22G untuk irigasi luka, apakah tindakan anda
selanjutnya?
a. Ganti dengan foley kateter
b. Menggunakan kateter IV ukuran 22G
c. Semprotkan cairan dengan spuit ukuran 10 cc
3.
Cairan yang dapat digunakan dalam irigasi luka adalah
a. NaCl 0.9%
b. Campuran Betaine dan Polyhexanide
c. Jawaban a & b benar
4.
Warna dasar luka yang perlu dilakukan irigasi 13 psi adalah
a. Kuning
b. Merah karena gumpalan darah
c. Jawaban a dan b benar
5.
Manfaat metode irigasi 13 psi adalah
a. Menurunkan koloni bakteri
b. Meningkatkan inflamasi
c. Murah dan mudah dilakukan
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 9
Materi Pelatihan
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 10
Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan
Petunjuk :
Isikan tanda silang sesuai dengan kolom yang sesuai
NO
Materi
Kriteria
Sangat Menarik
1
Materi
2
Sarana & Prasarana
3
Tempat/ Ruangan
4
Konsumsi
5
Pelaksanaan Workshop/
Hands On
Menarik
Kurang
Menarik
Saran :
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………. ……………………………………..
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 11
Clinical Sign And Simptom Checklist
For Diabetic Foot Ulcer (CSSC-DFU)
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
LEMBAR EVALUASI PELAKSANAAN EVIDENCE BASED NURSING
RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
SUB ENDOKRIN
Nama Observer :
Kode : Botol/ Spuilt *
Tgl MRS :
Nama Pasien :
A. Karakteristik Responden
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Data
Jenis Kelamin
Usia
Terapi Antibiotik
sistemik
Hitung RBC
Hitung Leukosit
Albumin (gr/dl)
HbA1C & Gula
darah
Ukuran luka
kedalaman
Durasi luka
Prosentasi nekrotik
:
:
ABI
Batasan Primer
Jenis DM
Riwayat merokok
Tingkat nyeri
No
1
2
3
:
:
:
:
:
:
:
………… cm2
…………cm
( )Tidak ada
( ) 1 – 50%\
( ) > 50%
:
:
:
:
(0)(1)(2)(3)(4)(5)(6)(7)(8)(9)(10)
Keterangan : tanda *: coret salah satu
:
:
B . Kesimpulan Bakteri Hasil Kultur
:
:
12
13
14
15
16
( ) Laki-Laki
( ) Perempuan
Tanggal Observasi
No Reg
4
Jenis Bakteri
Staphylococcus aureus
Pseudomonas aeruginosa
Campuran
Escherichia coli
Morganella morgani
Stenotrophomonas
maltophilia
Proteus miribilis
S maltophilia
Acinetobacter baumanni
Enterobacter cloacae
Citrobacter koseri
Serratia marcescens
Jenis lain
Group B streptococcus
diphteriods
Candida albicans
Positif
Negatif
Keterangan :
_____________________________________
_____________________________________
_____________________________________
_____________________________________
Sumber : Gardner, Hillis, dan Frantz. (2009)
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Nama Observer :
Kode : Botol/ Spuilt *
Tgl MRS :
Nama Pasien :
C. CLINICAL SIGN & SYMPTOM CHECKLIST DFU
1. TANDA KLASIK INFEKSI
No
1
Idikator
Nyeri
2
eritema
3
edema
4
Perbedaa
n suhu
kulit
5
Eksudat
purulen
Kriteria
( ) tidak timbul nyeri pada area ulkus
( ) saat ini nyeri berkurang dibandingkan
sebelumnya
( ) nyeri saat ini = nyeri sebelumnya
( ) saat ini nyeri tambah berat di banding
sebelumnya
( ) warna seperti kulit sekitar
( ) warna merah pucat pada kulit sekitar
( ) warna gelap pada kulit sekitar
( ) piting edema
() tidak ada piting edema
Keterangan : dilakukan dengan melakukan
tekanan menggunakan jari telunjuk pada
jarak 4 cm dari tepi luka ditunggu 5 detik
untuk melihat perubahan
() ya
()tidak
Hasil thermometer : 4cm= 10cm=
Keterangan
:
dilakukan
dengan
membandingkan suhu kulit 4 cm dari tepi
luka dengan kulit sejauh 10cm sisi proksimal
dari luka. Disentuh dengan tangan sisi dorsal
carpal
( ) ya
( ) Tidak
Keterangan : diketemukan cairan tebal
berwarna kuning, krem atau hijau pada kassa
yang dilepas 1 jam setelah dibersihkan
dengan Ns 0,9% lalu ditutup dengan kassa
Keterangan tanda *: coret salah satu, sesuai intervensi
Tanggal Observasi
No Reg
:
:
2. TANDA SPESIFIK LUKA SEKUNDER
N
o
1
Indikator
Kriteria
Serous
Eksudat
( ) Ya
( ) Tidak
Keterangan: cairan jernih pada kassa yang
dilepas 1 jam setelah dibersihkan dengan Ns
0,9% dan ditutup dengan kassa
( ) Ya
( ) Tidak
Keterangan : cairan merah pada kassa yang
dilepas 1 jam setelah dibersihkan dengan Ns
0,9% dan ditutup dengan kassa
( ) Ya
( ) Tidak
Keterangan : ya, jika ditemukan tidak ada
perubahan luas permukaan luka selama 4
minggu dari timbulnya luka
( ) Ya
( ) Tidak
Keterangan : ya jika ditemukan perubahan
warna jaringan granulasi menadi pucat,
kehitaman dan kusam
( ) Ya
( ) Tidak
Keterangan : mudah berdarah ketika dilakukan
penekanan dengan lidi kapas
( ) Ya
( ) Tidak
Keterangan : diketemukan kantung yang berisi
cairan non granulasi sekitar jaringan granulasi
( ) Ya
( ) Tidak
( ) Ya
( ) Tidak
Keterangan: kerusakan pada janringan epitel
di tepi luka, bukan karena trauma.
2
Sanguin
Eksudat
3
Kegagal
an
penyemb
uhan
4
Perubah
an warna
granulasi
5
Jaringan
granulasi
menjadi
rapuh
Kantung
pada
dasar
luka
Bau pd
luka
Kerusak
an tepi
luka
6
7
8
Sumber : Gardner, Hillis, dan Frantz. (2009)
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 12
EVALUASI TEHNIK IRIGASI 13 PSI
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
PEDOMAN EVALUASI
PELAKSANAAN IRIGASI LUKA 13 PSI
DI RUANGAN PERAWATAN
Petunjuk:
Isikan tanda (V) pada kolom paling kanan sesuai dengan kriteria evaluasi sebagai berikut:
 2 = Dilakukan dan benar
 1 = Dilakukan tapi kurang tepat
 0 = Tidak dilakukan
NO
1
2.
3
4
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12
13.
Kriteria Evaluasi
PERSIAPAN ALAT
1. 1 set irigasi luka steril
a. Container / kom steril
b. Bengkok steril
c. Spuit irigasi 12 cc
d. Needle 22G atau kateter iv 22G
2. Cairan irigasi sesuai indikasi
3. Sarung tangan steril
4. Sarung tangan bersih disposable
5. Alas kedap air/ underpad
6. Kassa steril, surgi pads atau abds
7. Kantong plastic untuk tempat sampah
8. Skort (jika perlu)
9. Selimut mandi
10.Plester + gunting plester sesuai kondisi luka
11.Korentang
PELAKSANAAN
a. Jelaskan prosedur kepada klien.
b. Cek order medis untuk pelaksanaan irigasi luka.
Dekatkan alat
Cuci tangan
a. Tutup pintu dan korden.
b. Pakai selimut mandi jika diperlukan
a. Posisikan klien sedemikian rupa sehingga cairan irigasi dapat
mengalir dari bagian atas luka ke bagian bawah luka.
b. Letakkan alas kedap air di bawah klien.
Pastikan cairan irigasi sesuai suhu tubuh.
a. Buka area luka.
b. Dekatkkan kantong plastik
c. Pakai skort jika diperlukan
a. Buka perekat/plester
b. Pakai sarung tangan bersih untuk membuka balutan lama
a. Kaji jumlah, tipe, dan bau drainase.
b. Observasi kondisi luka
a. Buang balutan lama di kantong plastik
b. Lepas sarung tangan dan buang ke kantong.
Gunakan teknik aseptic, buka peralatan dan bahan yang akan
dipakai.
Tuangkan cairan irigasi ke container/kom steril. Jumlah
menyesuaikan dengan kondisi luka, mulai 200 – 500 ml.
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Kriteria Unjuk Kerja
0
1
2
14..
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22
Pakai sarung tangan steril pada tangan yang dominant.
Letakkan bengkok steril di bagian bawah luka untuk menampung
cairan irigasi dengan menggunakan tangan bukan dominant.
a. Dengan menggunakan tangan yang dominant, isi spuit dengan
cairan irigasi.
b. Semprotkan cairan irigasi pada luka. Jarak ujung spuit dengan
luka 2,5 cm.
c. Jika menggunakan kateter IV, masukkan pada luka untuk
menjangkau bagian luka yang tidak terkena semprotan cairan
irigasi.
Teruskan irigasi sampai bersih. Upayakan untuk tetap menjaga
kestabilan aliran semprotan.
Keringkan luka.
Tutup dengan kassa.
a. Lepaskan sarung tangan dan buang di kantong plastik
b. Plester luka
a. Cuci tangan
b. Bereskan alat
c. Buat klien merasa nyaman
Kaji balutan tiap shift. Catat perubahan pada luka, tampilan luka
dan drainase dokumentasi
Perawat
Evaluator
(………………………………………………)
(……………………………………………)
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 13
LAPORAN PENCAPAIAN KOMPETENSI
RESIDENSI KMB ENDOKRIN
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Lampiran 12
CURICULUM VITAE
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
LAMPIRAN
Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012
Download