UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH: PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT (RSUP) FATMAWATI JAKARTA Karya Ilmiah Akhir Diajukan Sebagai Persayaratan untuk Memperoleh Gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Oleh: SANTI DAMAYANTI 0806483550 PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012 i Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 KATA PENGANTAR Puji serta syukur praktikan panjatkan kehadirat Alloh SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, akhirnya praktikan dapat menyelesaikan laporan karya tulis ilmiah analisis praktik residensi keperawatan medikal bedah pada pasien dengan gangguan sistem endokrin dengan penerapan teori adaptasi Roy Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta. Dalam penyusunan laporan ini, praktikan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2. Ibu Astuti Yuni Nursasi, SKp.,MN selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 3. Ibu DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App. Sc. selaku Supervisor utama yang telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir 4. Ibu Lestari Sukamarini, S.Kp., MNS, Selaku supervisor yang juga telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir 5. Ibu Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn, selaku direktur utama RSUP Fatmawati Jakarta yang telah memberikan ijin praktik residensi 6. Ibu Rita Herawati,S.Kp.,M.Kep, selaku Supervisor Klinik yang telah memberikan masukan dan arahan dalam kegiatan inovasi. 7. Ibu Endang Widuri,S.Kp, selaku Kepala Ruang lantai V selatan IRNA B RSUP Fatmawati Jakarta. 8. Seluruh staff di lantai V selatan dan utara IRNA B serta IRJ penyakit dalam RSUP Fatmawati Jakarta. 9. Rekan-rekan mahasiswa khususnya residensi keperawatan endokrin Program Magister Keperawatan Medikal Bedah yang telah saling mendukung dan membantu selama proses pendidikan. 10. Ibu dan suami tercinta yang senantiasa tidak pernah putus dalam memberikan doa dan motivasi kepada praktikan selama mengikuti pendidikan. 11. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. vi Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal kebaikan yang akan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Selanjutnya praktikan sangat mengaharapkan masukan, saran dan kritik demi perbaikan Karya Ilmiah Akhir ini sehingga dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan pelayanan keperawatan Depok, Juli 2012 Praktikan vii Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA Laporan Praktek Residensi Spesialis KMB, Juli 2012 Santi Damayanti Laporan Praktek Residensi Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Sistem Endokrin di RSUP Fatmawati Jakarta ABSTRAK Program residensi keperawatan dilaksanakan untuk meningkatkan kompetensi dalam memberikan asuhan keperawatan lanjut pada kasus Keperawatan Medikal Bedah. Program residensi ini dilaksanakan di RSUP Fatmawati Jakarta dengan menerapkan peran perawat spesialis sebagai pemberi asuhan keperawatan, peneliti, dan inovator. Asuhan keperawatan dilakukan dengan menerapan Teori Adaptasi Roy pada klien 34 DM tipe 2. Asuhan keperawatan dilaksanakan pada 1 pasien kasus utama dan 33 kasus kelola pada pasien dengan DM tipe 2. Peran sebagai peneliti dilakukan dengan menerapkan Self-Efficacy Enhancing Intervention Program (SEEIP) pada pasien DM. Program ini bertujuan meningkatkan efikasi diri pasien, sehingga percaya diri mampu dalam melakukan perawatan mandiri. SEEIP dilakukan pada 10 pasien DM tipe 2, dengan hasil peningkatan skor Diabetes Management Sel Efficacy Scale (DMSES) sebanyak 38,8 poin dan Perceived Therapeutic Efficacy Scale (PTES) sebanyak 34,7 poin. Peran praktikan sebagai inovator dengan menyelenggarakan pelatihan selama 2 hari pada, tentang irigasi luka dengan tehnik 13 psi dan pengkajian ulkus kaki diabetik dengan Clinical Sign And Simptom Checklist For Diabetic Foot Ulcer (CSSC-DFU) pada perawat RSUP Fatmawati Jakarta. Hasil pelatihan menunjukkan ada peningkatan pemahaman materi pelatihan dan sebagian besar perawat mampu melakukan irigasi dengan tehnik 13 psi dan pengkajian CSSC-DFU dengan baik. Kesimpulannya adalah aplikasi Teori Adaptasi Roy dapat dilakukan pada asuhan keperawatan pasien dengan gangguan sistem endokrin metabolik, terutama pada pasien diabetes mellitus. Pelaksanaan SEEIP lebih efektif dalam meningkatkan efikasi diri pasien dengan melibatkan semua tim edukator dan pandu diabetes sebagai role model. Perawat RSUP Fatmawati dapat memahami dan melakukan irigasi luka dengan tehnik 13 psi dan pengkajian ulkus kaki diabetik dengan CSSC-DFU setelah dilakukan pelatihan. Kata kunci : system endokrin, Teori Adapatasi Roy, Self-Efficacy Enhancing Intervention Program viii Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 GRADUATE PROGRAMS FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA Residency Practice Report of Medical Surgical Nursing Specialist, January 2010 Santi Damayanti Residency Practice Reports of Endocrine System of Medical Surgical Nursing Specialist in Fatmawati State Hospital Jakarta ABSTRACT Nursing residency program implemented to increase competence in providing advanced nursing care in many Medical Surgical Problem. Residency program are implemented in Fatmawati Hospital to implement some roles as nursing care provider, researcher and innovator. Role of nursing care provider is performed by the application of the Roy Adaptation Theory in the nursing care of 34 patients with type 2 diabetes mellitus. Role of researcher carried out by implementing the Enhancing Self-Efficacy Intervention Program (SEEIP) in patients with diabetes mellitus. The program aimed to improve self efficacy of the patient, the patients patients could be more confident on diabetes self care. SEEIP result showed increasing scores of Diabetes Management Efficacy Scale (DMSES) are average 38.8 points and increased scores Perceived Therapeutic Efficacy Scale (PTES) are average 34.7 points. Role of innovator by carrying of training nurse in Fatmawati hospital during two days, with title wound irrigation with 13 psi techniques and the assessment diabetic foot ulcer with Clinical Sign And Symptoms Checklist For Diabetic Foot Ulcer (DFU-CSSC) form. The results of training are an increased understanding and they are able to do. Suggestion is application of Roy's adaptation theory can be done on nursing care of the patients with endocrine system problems. SEEIP implementation requires collaboration with other teams of diabetes educator and diabetes guide as role model in providing motivation to patients in self-care. Nurses of Fatmawati hospital could understand and perform wound irrigation with 13 psi techniques and the assessment diabetik foot ulcer with CSSC-DFU after training Key words: endocrine system, Roy adaptation theory, Self-Efficacy Enhancing Intervention Program ix Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………......... LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………….. SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ………………………… HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………..… HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………… KATA PENGANTAR………………………………………………………… ABSTRAK…………………………………………………………………….. DAFTAR ISI…………………………………………………………………... DAFTAR TABEL……………………………………………………………... DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….. DAFTAR DIAGRAM………………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………... BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……………………………………………….. 1.2 Tujuan Penulisan……………………………………………... 1.3 Manfaat……………………………………………………….. BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus……………………………………………... 2.1.1 Pengertian…………………………………………….. 2.1.2 Klasifikasi…………………………………………… 2.1.3 Patofisiologi…………………………………………. 2.1.4 Diagnosis ……………………………………………. 2.1.5 Komplikasi …………………………………………. 2.1.6 Pengelolaan…………………………………………. 2.2 Teori Adaptasi Roy…………………………………………… 2.2.1 Manusia……………………………………………….. 2.2.2 Lingkungan…………………………………………... 2.2.3 Kesehatan…………………………………………….. 2.2.4 Keperawatan…………………………………………. 2.3 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Asuhan Keperawatan Pasien dengan Diabetes Mellitus 2.3.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus……………………. 2.3.2 Diagnosa Keperawatan……………………………….. 2.3.3 Tujuan Keperawatan………………………………….. 2.3.4 Intervensi Keperawatan………………………………. 2.3.5 Evaluasi Keperawatan………………………………... BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN 3.1 Gambaran Kasus Kelolaan Utama……………………………. 3.2 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama 3.2.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus…………………… 3.2.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis………………….. 3.2.1.2 Mode Adaptasi Konsep Diri……………….. 3.2.1.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran………………. 3.2.1.4 Mode Adaptasi Interdependen……………… 3.2.2 Diagnosa Keperawatan………………………………. x Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 i ii iii iv v vi vii x xiii xiv xv xvii 1 3 4 6 6 7 8 11 12 17 20 21 22 22 22 23 29 32 32 36 37 38 38 38 43 45 45 46 BAB 4 BAB 5 3.2.2.1 Mode Adaptasi Fisiologis…………………... 3.2.2.2 Mode Adaptasi Konsep Diri……………….. 3.2.2.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran………………. 3.2.2.4 Mode Adaptasi Interdependen……………… 3.2.3 Penetapan Tujuan……………………………………... 3.2.4 Intervensi Keperawatan………………………………. 3.2.5 Evaluasi Keperawatan………………………………... 3.3 Pembahasan Berdasarkan Teori Adaptasi Roy……………….. 3.3.1 Mode Adaptasi Fisiologis……………………………. 3.3.1.1 Infeksi, risiko sepsis ……………………….. 3.3.1.2 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh……………………………. 3.3.1.3 Nyeri akut ………………………………….. 3.3.1.4 Tidak efektifnya perfusi jaringan perifer...... 3.3.1.5 Retensi urine................................................... 3.3.1.6 Intoleransi aktivitas………………………… 3.3.2 Mode Adaptasi Konsep Diri………………………….. 3.3.2.1 Gangguan citra tubuh...................................... 3.3.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran………………………… 3.3.3.1 Perubahan Penampilan Peran……………… 3.3.4 Mode Adaptasi Interdependen……………………….. 3.3.4.1 Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik.. 3.4 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada 33 Kasus Kelolaan……………………………………………………….. 3.4.1 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh………………………………………………….. 3.4.2 Infeksi, risiko sepsis …………………………………. 3.4.3 Kekurangan volume cairan…………………………… 3.4.4 Kelebihan volume cairan…………………………….. 3.4.5 Pola nafas tidak efektif……………………………….. 3.4.6 Nyeri akut…………………………………………….. 3.4.7 Intoleransi aktivitas…………………………………… 3.4.8 Kecemasan …………………………………………… 3.4.9 Koping tidak efektif…………………………………... 3.4.10 Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik……........... PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING PADA GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN 4.1 Hasil Journal Reading (Critical Review)…………………………. 4.2 Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian……………….. 4.2.1 Tahap Perencanaan …………………………………… 4.2.2 Tahap penerapan………………………………………. 4.2.3 Hasil penerapan EBN………………………………….. 4.2.4 Evaluasi dan Desiminasi………………………………. 4.3 Pembahasan……………………………………………………. KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN 5.1 Analisis Situasi………………………………………………... 5.2 Kegiatan Inovasi………………………………………………. xi Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 45 45 45 46 47 47 47 62 62 62 65 68 69 70 73 74 75 75 76 77 77 76 76 83 83 84 84 85 86 86 87 88 93 97 97 98 99 102 103 107 109 5.2.1 Kontrak pelaksanaan Kegiatan………………………. 5.2.2 Sosialisasi Program Inovasi…………………………... 5.2.3 Pelaksanaan Program Inovasi………………………… 5.2.4 Materi pelatihan………………………………………. 5.2.5 Evaluasi pelaksanaan kegiatan……………………….. 5.3 Pembahasan…………………………………………………… BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan……………………………………………………… 6.2 Saran…………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 109 110 110 112 114 117 120 121 DAFTAR TABEL Hal Tabel 2.1 Penentuan kebutuhan kalori………………………………………… 19 Tabel 3.1 Pemeriksaan Kaki………….…………………………………… 41 Tabel 3.2 Rencana Asuhan Keperawatan, Implementasi dan Evaluasi pada Ny. T................................................................................................ Tabel 4.1 48 Tahap Self-Efficacy Enhancement Intervention Program (SEEIP)……………………………………………………… xiii Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 98 DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 3.5 Penatalaksanaan DM secara komprehensif dengan pendekatan keluarga……………………………………… xiv Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 89 DAFTAR DIAGRAM Hal Diagram 4.1 Skor DMSES sebelum dan sesudah dilakukan SEEIP ………….. 99 Diagram 4.2 Skor PTES sebelum dan sesudah dilakukan SEEIP …………….. 100 Diagram 4.3 Nilai rata-rata DMSES dan PTES sebelum dan sesudah SEEIP ... 100 Diagram 4.4 Skore DMSES kelompok kontrol………………………………... 101 Diagram 4.5 Skore PTES kelompok kontrol ………………………………….. 102 Diagram 4.6 Rata-rata DMSES dan PTES kelompok kontrol …………………. 102 Diagram 5.1 Rata-Rata Nilai Pre Dan Post Tes Peserta Pelatihan…………….. 115 Diagram 5.2 Evaluasi Pelaksanaan pelatihan………………………………....... 115 xv Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Resume keperawatan dengan pendekatan teori adaptasi Roy Lampiran 2 Gambar kaki dan ulkus kaki diabetik Ny. T Lampiran 3 Gambar radiologi pedis dan kruris dextra Lampiran 4 Perkembangan Post Op STSG Kruris Dan Ulkus Plantar Dextra Lampiran 5 Booklet DM dan penatalaksanaan perawatan diri Lampiran 6 Diabetes Managemen Self-Efficacy Scale (DMSES) dan Perceived Therapeutic Efficacy Scale (PTES) Lampiran 7 Pelaksanaan SEEIP pada Pasien DM tipe 2 Lampiran 8 Pre tes dan Post tes Pelatihan Lampiran 9 Materi Pelatihan Lampiran 10 Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan Lampiran 11 Clinical Sign And Simptom Checlist for Diabetic Foot Ulcer (CSSC-DFU) Lampiran 12 Evaluasi tehnik Irigasi 13 Psi Lampiran 13 Kompetensi ners spesialis KMB peminatan endokrin Lampiran 14 Curiculum Vitae xvi Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH: PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT (RSUP) FATMAWATI JAKARTA Karya Ilmiah Akhir Oleh: SANTI DAMAYANTI 0806483550 PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012 xvii Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keperawatan merupakan bentuk pelayanan profesional berupa pemenuhan kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu baik sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis dan sosial agar mencapai derajat kesehatan yang optimal. Tujuan pemberian asuhan keperawatan yaitu meningkatkan respon adaptasi terhadap fungsi fisiologis, fungsi konsep diri, fungsi peran dan fungsi interdependen (Roy & Andrews, 1999). Kondisi seperti ini harus disikapi oleh perawat sebagai pemberi pelayanan kesehatan yaitu memberikan asuhan keperawatan secara holistik dan komprehensif. Selain peran sebagai pemberi pelayanan kesehatan, peran perawat juga sebagai pengambil keputusan klinik, pendidik, sebagai peneliti dan sebagai advokat bagi pasien, oleh karena itu dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan untuk menyikapi dengan semakin berkembangnya tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang paripurna, maka ilmu dan ketrampilan keperawatan perlu ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan yang berlandaskan ilmu, riset dan teknologi keperawatan. Salah satu upaya dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan pendidikan ilmu keperawatan, yaitu dengan menempuh pendidikan keperawatan berkelanjutan melalui pendidikan program spesialis keperawatan medikal bedah. Program ners spesialis ini terdiri dari beberapa kekhususan dan salah satunya adalah kekhususan sistem endokrin yang merupakan bagian dari proses mengimplementasikan dan memperdalam kemampuan klinik keperawatan, khususnya keperawatan sistem endokrin. Kegiatan praktik klinik residensi keperawatan endokrin dilaksanakan di ruang rawat inap penyakit dalam, Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan poliklinik penyakit dalam Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta selama dua semester selama periode 26 September 2011 – 11 Mei 2012. Adapun kompetensi yang harus dicapai oleh praktikan selama praktek residensi keperawatan ini adalah 1 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 2 memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan gangguan sistem endokrin dengan pendekatan teori adaptasi Roy, memberikan intervensi keperawatan dengan berbasis hasil pembuktian ilmiah atau Evidence Based Nursing (EBN) dan melakukan inovasi dalam rangka mengembangkan dan memperbaiki sistem asuhan keperawatan di pelayanan klinik. Selama praktik klinik residensi keperawatan, praktikan memberikan asuhan keperawatan kepada 34 pasien dengan gangguan sistem endokrin. Kasus yang ditemui aadalah Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 dengan komplikasi akut antara lain: Ketoasidosis Diabetikum (KAD), ketosis, hipoglikemia dan DM tipe 2 dengan komplikasi kronis, antara lain: ulkus kaki diabetik, Cronic Kidney Disease (CKD), Cronic Heart Disease (CHF). Gangguan sistem endokrin seperti Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit kronis, pasien akan mengalami banyak perubahan sejalan dengan perjalanan penyakit meliputi dan dapat mengakibatkan berbagai komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. Pasien DM tidak hanya mengalami perubahan fisiologis tetapi juga mengalami perubahan konsep diri, perubahan peran dan perubahan fungsi interdependensi. Perlu asuhan keperawatan yang tepat untuk mengatasi kondisi tersebut, sehingga pasien mampu untuk beradaptasi dengan perubahan yang dialami. Asuhan keperawatan dengan pendekatan teori adaptasi Roy, merupakan suatu model konsep yang sesuai untuk kondisi pasien dengan penyakit kronis, dimana teori adaptasi Roy berfokus terhadap pentingnya penanganan stimulus yang terjadi sehingga pasien mampu adaptif terhadap perubahan yang terjadi. Roy memandang keperawatan sebagai peningkat adaptasi individu dan kelompok pada setiap 4 model adaptasi yang berkontribusi pada kesehatan, kualitas hidup, dan meninggal dengan bermartabat (Roy & Andrew, 1999). Selain memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan gangguan sistem endokrin, praktikan dituntut untuk mampu menerapkan intervensi keperawatan mandiri yang berbasis pada pembuktian ilmiah. Kegiatan tersebut merupakan salah satu peran perawat sebagai peneliti, dimana sebagai perawat spesialis dituntut untuk mampu menggunakan hasil riset terkini untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan melalui pemberian asuhan keperawatan yang Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 3 berbasis fakta. Adapun intervensi kegiatan mandiri yang dilakukan oleh praktikan adalah penerapan Self-Efficacy Enhancing Intervention Program (SEEIP) yaitu intervensi untuk meningkatkan efikasi diri pasien diabetes melitus tipe 2 yang dirawat di RSUP Fatmawati Jakarta sehingga mampu mandiri dalam perawatan diri. Kompetensi yang harus dicapai oleh praktikan selama praktik klinik residensi keperawatan yaitu mampu menjalankan peran dan fungsi perawat spesialis sebagai leader, educator dan innovator. Kegiatan yang dilakukan praktikan dalam menjalankan peran dan fungsi tersebut adalah dengan melakukan kegiatan inovasi tentang irigasi ulkus kaki diabetes dengan tekanan 13 psi dan pengkajian ulkus kaki diabetik dengan menggunakan format pengkajian pada infeksi ulkus diabetik dengan metode Clinical Sign And Simptom Checklist For Diabetic Foot Ulcer (CSSC-DFU). Berdasarkan uraian diatas, dalam laporan analisis kegiatan praktek residensi keperawatan ini, praktikan akan memaparkan analisis kegiatan praktek klinik residensi keperawatan selama praktik di RSUP Fatmawati Jakarta, adapun kegiatannya meliputi memberikan asuhan keperawatan, khususnya pada pasien dengan gangguan sistem endokrin dengan pendekatan model konsep teori adaptasi Roy, menerapkan intervensi mandiri keperawatan berdasarkan hasil pembuktian ilmiah/Evidence Base Nursing (EBN) dan memberikan inovasi keperawatan 1.2 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. 1.2.1 Tujuan Umum Melakukan analisis terhadap kegiatan praktek residensi keperawatan medikal bedah dengan peminatan keperawatan sistem endokrin di RSUP Fatmawati Jakarta. 1.2.2 Tujuan Khusus Melakukan analisis hasil kegiatan praktek residensi keperawatan medikal bedah meliputi: Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 4 a. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem endokrin dengan pendekatan teori adaptasi Roy. b. Peran perawat dalam menerapkan hasil penelitian pada area keperawatan pada pasien gangguan sistem endokrin berdasarkan pembuktian. c. Peran perawat sebagai inovator, educator dan preceptor pada area keperawatan terhadap teman sejawat (perawat ruangan, mahasiswa keperawatan) dan pada pasien dengan gangguan sistem endokrin. 1.3 Manfaat 1.3.1 Pelayanan Keperawatan Hasil analisis ini diharapkan dapat : a. Digunakan sebagai bahan masukan atau pertimbangan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien dengan gangguan sistem endokrin dengan menggunakan pendekatan teori adaptasi Roy, sehingga berdampak dalam meningkatkan kemampuan adaptasi pasien terhadap berbagai macam perubahan pada dirinya yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dan mutu pelayanan kesehatan. b. Menumbuhkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan hasil-hasil penelitian sebagai dasar pengambilan keputusan klinik pada berbagai kasus gangguan sistem metabolik endokrin. 1.3.2 Pengembangan Ilmu Pengetahuan Keperawatan Hasil analisis ini diharapkan dapat : a. Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu keperawatan dalam hal penerapan peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, melakukan intervensi mandiri perawat berdasarkan pembuktian dan sebagai inovator pada area keperawatan medikal bedah khususnya gangguan sistem endokrin. b. Dipergunakan sebagai bahan acuan dan gambaran dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem endokrin dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 5 1.3.3 Pendidikan Keperawatan Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan kurikulum pembelajaran khususnya dalam ilmu keperawatan medikal bedah untuk meningkatkan mutu asuhan keperawatan terkait dengan intervensi keperawatan secara mandiri, khususnya pada area praktek keperawatan pasien dengan gangguan sistem endokrin berdasarkan EBN. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab 2 ini akan di uraikan tentang landasan teori DM tipe 2, Theory Roy’s Mode Adaptation dan penerapan Roy’s Mode Adaptation pada asuhan keperawatan pasien DM. 2.1 Diabetes Mellitus (DM) 2.1.1 Pengertian DM sudah dikenal sejak tiga puluh tahun sebelum masehi,dua ratus tahun kemudian Arateus menamai penyakit diabetes dari kata diabere yang artinya tabung untuk mengalirkan cairan dari suatu tempat ke tempat lain, diabetes di gambarkan dengan melelehnya daging dan tungkai ke dalam urin, sedangkan kata mellitus berarti madu, tahun 1674 Willis menggambarkan urin pasien diabetes manis seperti digelimangi madu dan gula. Saat ini pengertian DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik peningkatan kadar gula di dalam darah atau hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes Association (ADA), 2010 dalam Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), 2011); (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). Menurut Porth (2007) DM adalah suatu gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak akibat dari ketidak seimbangan antara ketersediaan insulin dengan kebutuhan insulin. Dapat berupa defesiensi insulin absolut, gangguan pengeluaran insulin oleh sel beta pankreas, ketidakadekuatan atau kerusakan pada reseptor insulin, atau produksi insulin yang tidak aktif atau kerusakan insulin sebelum bekerja. Sedangkan LeMone & Burke (2008) mendefinisikan DM sebagai suatu penyakit kronik umumnya pada orang dewasa yang memerlukan pengawasan medis dan pendidikan tentang perawatan diri. Berdasarkan beberapa pengertian DM di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari DM merupakan penyakit kronik metabolik (karbohidrat, protein dan lemak) yang 6 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 7 ditandai dengan hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, kerja insulin atau kedua-duanya sehingga memerlukan pengawasan dan pengelolaan medis sepanjang hidupnya serta membutuhkan pendidikan kesehatan tentang perawatan diri. 2.1.2 Klasifikasi DM diklasifikasikan menjadi empat jenis, antara lain: DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain serta diabetes kehamilan. Berikut ini penjelasan klasifikasi penyakit DM berdasarkan penyebabnya (LeMone & Burke, 2008 & Maulana, 2008): a. DM tipe 1 DM tipe 1 diakibatkan oleh destruksi sel beta pankreas, yang ditandai dengan kekurangan insulin absolut, peningkatan glukosa darah, pemecahan lemak dan protein tubuh. DM tipe 1 terbagi 2, yaitu : DM tipe 1A yaitu diabetes yang diakibatkan proses immunologi (immune-mediated diabetes), yang ditandai destruksi autoimun sel beta. sebelumnya disebut dengan diabetes juvenile, terjadi lebih sering pada orang remaja tetapi dapat terjadi pada semua tingkat usia dan DM tipe 1B yaitu diabetes idiopatik yang tidak diketahui penyebabnya. b. DM tipe 2 Pasien DM tipe 2 paling banyak diantara DM yang lain, jumlahnya mencapai 90–95 % dari seluruh pasien dengan diabetes. DM tipe 2 banyak dialami oleh dewasa tua (usia > 40 tahun) dan individu yang obesitas (CDC, 2005). Pasien DM tipe 2 umumnya mempunyai riwayat resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin belum menyebabkan diabetes secara klinis karena sel beta pankreas masih dapat mengkompensasinya dengan terjadi hiperinsulinemia sehingga gula darah masih normal atau sedikit meningkat. Dalam waktu yang lama akan terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan menunjukkan gejala klinis akibat ketidaksanggupan sel beta pankreas (Sudoyo, 2006). Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 8 c. DM tipe lain (Others Specific Types) Merupakan gangguan endokrin yang menimbulkan hiperglikemia akibat peningkatan produksi glukosa hati atau penurunan penggunaan glukosa oleh sel (Porth, 2007). Sebelumnya dikenal dengan istilah diabetes sekunder, diabetes tipe ini menggambarkan diabetes yang dihubungkan dengan keadaan dan sindrom tertentu, misalnya diabetes yang terjadi dengan penyakit pankreas atau pengangkatan jaringan pankreas dan penyakit endokrin seperti akromegali atau syndrom chusing, karena zat kimia atau obat, infeksi dan endokrinopati (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). d. DM pada kehamilan (Gestational Diabetes Melitus/GDM) Diabetes kehamilan terjadi pada intoleransi glukosa yang diketahui selama kehamilan pertama. Jumlahnya sekitar 2–4 % kehamilan. Wanita dengan diabetes kehamilan akan mengalami peningkatan risiko terhadap diabetes setelah 5– 10 tahun melahirkan (Porth, 2007). 2.1.3 Patofisiologi Dalam kondisi normal insulin di sekresi oleh sel beta pankreas, insulin digunakan untuk transport glukosa ke dalam sel. Pada DM tipe 1 insulin tidak diproduksi karena reaksi autoimun yang mengakibatkan peradangan sel beta pankreas (insulitis) yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta, sedangkan pada DM tipe 2 kekurangan sekresi insulin dapat diakibatkan penurunan fungsi sel beta. Penurunan sel beta pankreas dapat disebabkan oleh: a)Glukotoksisitas, b)Lipotoksisitas FFA, c)Resistensi insulin, d) Deposit amiloid, e)efek inkretin, f) Umur, dan g) Genetik. Berikut ini penjelasannya pada keadaan tersebut (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011) : a) Glukotoksisitas Peningkatan kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan stres oksidatif, IL-1β dan NF-КB dengan akibat apoptosis atau kematian sel beta (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 9 b) Lipotosisitas Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam proses lipolisis akan mengalami metabolisme non oksidatif menjadi ceramide yang toksis terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). Peningkatan kadar asam lemak bebas, obesitas, dapat berkontribusi terhadap patogenesis DM tipe 2. Asam lemak bebas dapat mengganggu penggunaan glukose dalam otot-otot skeletal, meningkatkan produksi glukosa oleh hati, dan gangguan fungsi sel beta. c) Penumpukan amiloid Pada keadaan resistensi insulin kerja insulin di hambat hingga kadar glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin, sehingga terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi amylin dari sel beta yang akan di tumpuk di sekitar sel beta hingga menjadi amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri hingga akhirnya jumlah sel beta dalam pulau langerhansa menjadi berkurang. Pada DM tipe 2 jumlah sel beta berkurang sampai 50-60% dari normal (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). Pulau-pulau amiloid polipeptida atau amilin yang disekresi oleh sel beta dan seperti membentuk kumpulan amiloid fibril ditemukan di dalam pulau-pulau secara individu pada pasien DM tipe 2 yang lama, penumpukan amiloid kemungkinan menyebabkan gangguan sekresi insulin (Smeltzer, et al,2008) d) Resistensi Insulin Resistensi insulin adalah penurunan kemampuan insulin dalam beraksi secara efektif pada jaringan target (otot dan hati). Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor yang berperan antara lain: obesitas terutama yang bersifat sentral, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kurang gerak badan serta faktor herediter (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). Resistensi insulin mengganggu Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 10 penggunaan glukosa oleh jaringan dan peningkatan produksi glukosa oleh hati; kedua efek ini berkontribusi terhadap hiperglikemia. Peningkatan produksi glukosa oleh hati akan meningkatkan kadar gula darah puasa, dan penurunan pemakaian glukosa perifer mengakibatkan hiperglikemia postprandial (Suyono, 2007). e) Efek inkretin Inkretin mempunyai efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatnya sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel beta (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). Dengan terjadinya penurunan fungsi sel beta pankreas menyebabkan penurunan sekresi insulin sehingga mengakibatkan meningkatan counterregulatory hormone yang akan mengubah glukosa dari sumber lain : penurunan glycogenesis (konversi glukosa menjadi glikogen), peningkatan glycogenolysis (konversi glycogen menjadi glukosa), peningkatan gluconeogenesis (pembentukan glukosa dari sumber nonkarbohidrat seperti asam amino dan laktat), peningkatan lypolisis (pemecahan tigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas), peningkatan ketogenesis (pembentukan keton dari asam lemak bebas) dan proteolisis (pemecahan protein dengan pelepasan asam amino dalam otot), sehingga menyebabkan peningkatan gula darah atau hiperglikemi (Ignatavicius & Workman, 2006). Hiperglikemi menyebabkan hiperosmolaritas serum, menarik air dari intraseluler ke intravaskuler, sehingga akan menyebabkan peningkatan volume darah dan menyebabkan peningkatan aliran darah ke ginjal, dan akan mengakibatkan peningkatan urine output atau diuresis osmotik, kondisi ini dinamakan poliuri. Diuresis osmotis akan mengakibatkan dehidrasi dan memeberikan sinyal ke pusat pengaturan rasa haus di hipotalamus, sehingga mendorong seseorang untuk banyak minum atau yang disebut polidipsi. Karena penurunan sekresi insulin atau terjadi resistensi insulin, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, yang mengakibatakan tubuh menjadi mudah lelah Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 11 dan lemah, produksi energi turun. Penurunan energi tersebut menstimulasi lapar, dan seseorang makan dengan jumlah lebih banyak (poliphagi). Walaupun pasien DM banyak makan, pasien mengalami penurunan berat badan yang cepat akibat dehidrasi, lipolisis dan proteolisis (Black & Hawk, 2005; LeMone & Burke, 2008). 2.1.4 Diagnosis Dalam menegakkan diagnosis DM perlu pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan kadar gula darah, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa yang diambil dari plasma darah vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai WHO. Berikut ini kriteria diagnostik untuk DM tipe 2, menurut ADA (2011 dalam Perkeni, 2011), yaitu : a. Gejala klasik DM berupa : poliuri, polidipsi, polifagi, dan penurunan BB ditambah dengan kadar gula darah plasma sewaktu ≥200mg/dl. b. Gejala klasik DM di tambah kadar glukosa plasma puasa ≥126mg/dl (darah vena), ≥ 100 (darah kapiler). c. Kadar glukosa plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥200mg/dl. Pemeriksaan diagnostik perlu diberikan tidak hanya pada mereka yang mempunya tanda gejala DM saja, akan tetapi bagi yang mempunyai risiko DM juga perlu dilakukan, adapun orang-orang yang berisiko DM antara lain : 1) usia ≥ 45 tahun; 2) Usia lebih muda dengan Indeks masa badan (IMT) > 23 kg/m2 di sertai faktor risiko : a) kebiasaan tidak aktif beraktivitas fisik; b), turunan pertama dari orang tua DM; c) riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4.000 gram atau riwayat DM gestasional; d) hipertensi (> atau = 140/90 mmHg), e) Kolesterol HDL < atau = 35 mg/dL dan trigliserida (TG) > atau = 250 mg/dL, f) Menderita polikistik ovarial sindrom (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin, g) Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau gula darah puasa terganggu (TGPT) sebelumnya, h) memiliki riwayat penyakit kardiovaskular. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 12 2.1.5 Komplikasi Komplikasi yang terjadi pada pasien DM terbagi menjadi 2 yaitu : komplikasi akut dan komplikasi kronik (Black & Hawk, 2005; Ignatavicius & Workman, 2006; LeMone & Burke, 2008; Soegondo, Soewondo & Subekti, 2007 & Maulana, 2008): 2.1.5.1 Komplikasi akut Ada tiga komplikasi akut pada pasien DM, yang terjadi berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek, antara lain : 1) Hipoglikemi Hipoglikemi merupakan komplikasi akut yang sering terjadi pada pasien DM tipe 2 yang mendapatkan terapi obat hipoglikemik oral (OHO) biasanya adalah dari golongan sulfonil urea dengan intake kurang. Pengertian hipoglikemia adalah kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dl, hal ini disebabkan oleh aktifitas fisik yang berlebihan, sesudah melahirkan, sembuh dari sakit, intake kalori yang kurang dari aturan yang telah ditentukan, minum alkohol dan minum obat yang mempunyai efek menurunkan kadar gula darah (misal: chlorampenicol, probenecid, salicylates dan sulfanamides) (Boedisantoso dalam Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). 2) Ketoasidosis Diabetik(KAD) KAD merupakan merupakan komplikasi akut dan kondisi kegawatan metabolik endokrin yang sering juga di jumpai. KAD adalah suatu kondisi terkumpulnya badan keton di dalam darah (ketosis) dan dieksresi melalui urin (ketonuria) akibat peningkatan metabolisme lemak untuk memenuhi kebutuhan energi akibat ketidakcukupan glukosa di dalam sel, kondisi ini diakibatkan oleh kekurangan insulin berat, infeksi, tidak mematuhi aturan makan yang telah di tentukan (intake kalori terlalu banyak) dan stres. 3) Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) HHNK yaitu sindrom hiperglikemia berat (600-2000 mg/dl), hiperosmolar dan penurunan kesadaran. Hiperglikemi menyebabkan diuresis osmotik sehingga Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 13 terjadi dehidrasi dan gangguan elektrolit. Pada HHNK tidak terjadi ketosis dan asidosis metabolik seperti yang terjadi pada KAD, karena jumlah insulin pada HHNK masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak mencukupi untuk mencegah hiperglikemi. 2.1.5.2 Komplikasi kronik Komplikasi kronis terdiri dari komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neuropati 1) Komplikasi makrovaskuler Komplikasi makrovaskuler yang paling sering terjadi adalah: penyakit arteri koroner, penyakit cerebrovaskuler, hipertensi dan penyakit vaskuler perifer Smeltzer, et al (2008). a) Penyakit arteri koroner / Coronary arteri disease (CAD). CAD menjadi faktor risiko utama berkembang menjadi myocard infark (MI) pada pasien DM tipe 2. CAD merupakan penyebab kematian terbesar pada pasien DM (NIH, 2004 dalam LeMone & Burke, 2008). b) Penyakit Cerebrovaskuler/Stroke Pasien DM tipe 2 usia dewasa tua, mempunyai risiko stroke 2-6 kali. Aterosklerosis pada pembuluh darah serebral berkembang pada usia muda dan menjadi lebih meningkat pada pasien DM (Porth, 2005 dalam LeMone & Burke, 2008). c) Hipertensi Hipertensi yaitu TD ≥ 140/90 mmHg komplikasi yang bisaanya muncul pada DM. Hipertensi terdapat 20% - 40% dari semua orang DM, dan faktor risiko terbesar dari penyakit kardiovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati dan nefropati. d) Penyakit vaskuler perifer Penyakit pembuluh darah perifer diekstremitas bawah, sering terjadi pada pasien DM. Penurunan sirkulasi vaskuler perifer berkembang menjadi Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 14 insufisiensi vaskuler perifer dengan klaudikasio intermiten pada tungkai bawah dan ulserasi pada kaki. Oklusi dan thrombosis pembuluh darah besar dan arteri kecil dan arteriol, mengarah menjadi ganggren (nekrosis, atau kematian jaringan). Ganggren DM dapat merupakan penyebab amputasi nontrauma pada tungkai bawah. Iskemik menjadi salah satu penyebab ulkus diabetik, iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. kondisi ini disebabkan adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai (William, 2003). Menurut Levin (2001) menyebutkan bahwa ulkus kaki diabetik disebabkan oleh 3 faktor yaitu: penyakit vaskular perifer/ penyakit arteri perifer, neuropati otonom dan neuropati perifer. Penyakit vaskular perifer menyebabkan aterosklerosis dan emboli kolesterol, sehingga menyebabkan suplay oksigen dan darah balik terhambat, hal ini yang mengakibatkan kerusakan jaringan terutama di ekstremitas bawah. Neuropati otonom menurunkan respon pada vascular dan menurunkan suplay oksigen dan nutrisi sehingga terjadi gangguan proses penyembuhan luka. Neuropati otonom juga mengakibatkan kulit kering bersisik dan pecah-pecah sehingga akan mengakibatkan perlukaan. Autosimpatektomi akibat neuropati otonom meningkatkan reabsorbsi tulang yang dampaknya membuat keterbatasan gerak sendi dan deformitas kaki. Kelainan bentuk kaki (kaki charcot’s) kondisi ini menyebabkan titik tekan baru pada daerah plantar, memunculkan calus dan menimbulkan ulkus. Neuropati perifer menurunkan kemampuan sensorik dan motorik ekstremitas bawah, Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 15 sehingga terjadi penurunan sensasi terhadap suhu, nyeri dan mekanik yang membuat pasien tidak menyadari adanya cedera atau trauma. 2) Komplikasi Mikrovaskuler. Perubahan mikrovaskuler merupakan kelainan struktur dalam membran pembuluh darah kecil dan kapiler. Kelainan pada pembuluh darah ini menyebabkan dinding pembuluh darah menebal, dan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Komplikasi mikrovaskuler antara lain (Sudoyo, et al. 2006) : a) Retinopati diabetik Adanya kerusakan dari pembuluh darah kapiler retina dapat menyebabkan timbulnya retinopati (Pandelaki dalam Sudoyo, et al. 2006). Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20 – 74 tahun. Pasien DM memilki risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Pada diabetes tipe 2 ketika didiagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik nonploriferatif. Setelah 20 tahun, prevalensi meningkat menjadi lebih dari 60%. b) Nefropati diabetik Nefropati diabetikum ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 - 6 bulan (Hendromartono dalam Sudoyo, et al, 2006), kondisi ini diakibatkan oleh perubahan patologi pada ginjal yang menurunkan fungsi ginjal dan meningkatkan kegagalan ginjal (Ignatavicius & Workman, 2006). Nefropati diabetik terjadi pada 20% - 30% pada DM tipe 1 setelah 20 tahun dan pada DM tipe 2 terdapat kurang dari 20% (Skyler, 2001 dalam Ignatavicius & Workman, 2006). c) Neuropati diabetik Neuropati diabetik merupakan sindroma penyakit yang mempengaruhi semua jenis saraf, yaitu saraf perifer, otonom dan spinal (Sudoyo, et al. 2006). Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 16 Neuropati disebabkan oleh penebalan dari dinding pembuluh darah yang menyuplai saraf, menyebabkan penurunan nutrisi, demielinisasi pada sel Schawnn dan pembentukan dan akumulasi sorbitol di dalam sel Schawnn, terjadi gangguan konduksi. Manifestasi neuropati perifer yang muncul pada awal adalah paresthesia bagian distal (perasaan subyektif sensasi seperti numbness dan tingling) nyeri seperti terbakar atau tertusuk dan perasaan kaki dingin pada jari kaki dan kaki, jari tangan dan tangan, Kondisi ini yang sering menyebabkan terjadinya ulkus kaki diabetik. Neuropati otonom merupakan kerusakan fungsi saraf otonom, meliputi: (1)Disfungsi kelenjar keringat, ditandai dengan berkurangnya produksi keringat pada tangan dan kaki sehingga menyebabkan kulit kaki kering dan bersisik.(2) Disfungsi kardiovaskuler, sehingga membatasi kapasitas latihan perorangan dan meningkatkan risiko cardiovasculer event selama latihan yang ditandai dengan tachycardia saat istirahat (>100x/mnt), orthostasis (penurunan tekanan darah sistolik > 20 mmHg) tanpa diikuti respon denyut jantung yang sesuai, sapai dengan kemungkinan serangan kematian tiba-tiba dan silent myocardial ischemia. (3) Disfungsi gastrointestinal, neuropati otonom gastrointestinal menyebabkan perubahan motilitas saluran cerna bagian atas (gastroparesis) ditandai dengan disfagia, anoreksia, nyeri di epigastrium seperti terbakar, mual dan muntah. (4)Disfungsi genitourinaria. Neuropati otonom mengakibatkan penurunan fungsi kandung kemih, yaitu berupa ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih dengan komplet, penurunan atau hilangnya sensasi penuhnya kandung kencing sehingga menyebabkan retensi dan inkotinensia urin, selain itu dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kencing. Neuropati otonom mengakibatkan disfungsi seksual pada laki-laki berupa gangguan ejakulasi dan impoten, sedangkan pada wanita terjadi perubahan lubrikasi vagina dan gangguan orgasme (LeMone & Burke, 2008). Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 17 2.1.6 Pengelolaan Dalam mengelola DM tujuan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang DM, sedangkan tujuan khusunya terdapat 2 tujuan, yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendeknya adalah menghilangkan keluhan atau gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat serta mencapai target pengendalian glukosa darah. Tujuan jangka panjangnya lebih jauh lagi, yaitu mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortalitas DM (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011; Perkeni, 2011). Terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan DM: perencanaan makan latihan jasmani, pemantauan gula darah, terapi obat yang berkhasiat hipoglikemik atau insulin (jika diperlukan) dan pendidikan kesehatan atau penyuluhan (Smeltzer et al, 2008; Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). Di Indonesia pengelolaan dan pengendalian DM berdasarkan konsensus Perkeni yang telah direvisi tahun 2011 yaitu terdapat 4 pilar utama pengelolaan DM, antara lain : a. Edukasi Penyuluhan untuk rencana pengelolaah sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan bagi pasien diabetes yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, dan penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan perawatan pasien diabetes (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011). Pada DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien menujua perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku sehat, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya meningkatkan motivasi (Perkeni, 2011). Upaya tesebut dilakukan supaya penyandang DM mampu adaptasi dengan perubahan yang ada pada dirinya, hal ini sesuai dengan teori adaptasi Calissta Roy, bahwa manusia adalah mahluk yang Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 18 adaptif yang holistik dalam interaksi dengan lingkungan dan terhadap perubahan yang ada dalam diriya. b. Terapi Nutrisi Medis (TNM) TNM merupakan bagian dari penatalaksanaan DM secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga). Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan terutama pada mereka yang menggunakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) atau insulin (Perkeni, 2011). Menurut Soegondo, Soewondo & Subekti (2011) perencanaan makan bertujuan membantu pasien DM memperbaiki kebisaaan gizi. Dalam penatalaksanaan TNM yang harus di per hatikan antara lain : 1) Komposisi makanan yang dianjurkan Komposisi makanan seimbang sangat dianjurkan dalam perencanaan makanan pasien DM. Perkeni (2011) menyarankan adanya keseimbangan sumber karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut: karbohidrat 45 – 65%, protein 10 – 20 %, lemak 20 – 25%. Komposisi makanar lain yang perlu di perhatikan adalah asupan natrium dan serat. Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM tidak boleh lebih dari 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur, jika hipertensi pembatasan natrium sampai 2400 mg. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 gr/hari. 2) Kebutuhan kalori Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang DM, diantaranya adalah dengan penghitungan Berat badan Ideal (BBI) dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Penghitungan Body mass index (BMI) = indeks massa tubuh. (IMT). Rumus IMT adalah BB(kg)/{TB(m)}2. Klasfikasi status gizi pasien sebagai berikut: IMT < 18,5 termasuk BB kurang, IMT 18,5 – Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 19 22,9 termasuk BB normal, IMT > 23,0 termasuk BB lebih. Untuk kepentingan klinis praktis, dan untuk penentuan jumlah kalori yang digunakan rumus Broca, yaitu: BBI =90%x (TB dalam cm-100)x 1k g. Sedangkan bagi pria dengan tinggi badan dibawah 160cm dengan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi (TB dalam cm -100)x 1 kg. Bila BB < BBI- 10 % termasuk kurus; BB normal yaitu BBI ± 10%, BB gemuk bila > BBI + 10%. Kebutuhan kalori kemudian disesuaikan dengan jenis kelamin, umur, aktivitas fisik atau pekerjaan, dan BB (Perkeni, 2011). Untuk penghitungan kebutuhan kalori, dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini Tabel 2.1 Penentuan kebutuhan kalori Faktor koreksi Jenis Kelamin Koreksi / Penyesuaian : Pria: BBI (kg) X 30 kalori/kg Wanita: BBI (kg)X 25kalori/kg 40 -59 tahun : - 5% 60-69 tahun :- 10% >70 tahun : -20% Istirahat (duduk-duduk, nonton tv) : + 10% ringan (kerja kantor, IRT, guru, dll) : + 20% sedang ( mahasiswa, pegawai industri) : +30% Berat (petani,buruh, atlit, penari : +40 % Sangat berat (tukang becak,tukang gali) : + 50% Umur Aktivitas Berat Badan Gemuk : - 20 -30% kurus : + 20 -30% Komplikasi infeksi, trauma, operasi yang menyebabkan tiap kenaikan suhu 1 0 C : + 13 % Kehamilan/ Hamil trimester I = + 150 kalori laktasi Hamil trimester II& III = + 350 kalori Hamil trimester laktasi = + 550 kalori Sumber : Soegondo, Soewondo & Subekti (2011); Perkeni, (2011); 3) Pilihan makanan Pilihan makan penyandang DM, untuk sumber karbohidrat di konsumsi 3-7 porsi/penukar sehari (tergantung dari status gizi). Sumber vitamin dan mineral : sayuran 2-3 porsi/penukar, buah 2-4 porsi/penukar sehari. Sumber Protein: lauk hewani 3 porsi/penukar, lauk nabati 2-3 porsi/penukar sehari. Batasi konsumsi gula, lemak/ minyak dan garam. Perkembangan terkini, pemilihan makan pasien DM berdasarkan Glikemik Index dan modifikasi karbohidrat. Pilih makanan dengan indeks glikemik rendah. Indeks glikemik adalah respon glukosa darah tubuh terhap makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 20 c. Latihan jasmani Latihan jasmani sangat penting dalam penatalaksanaan DM karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Latihan jasmani dianjurkan dilakukan secara teratur (3 – 4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, sifatnya continuous, rhytmical, interval, progressive, endurance training (CRIPE). Jenisnya aerobik seperti berjalan kaki, bersepeda santai, senam,dan berenang. Latihan jasmani disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani, sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur) (Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2011; Perkeni, 2011). d. Obat yang berkhasiat hipoglikemik Pengelolaan farmakologis DM berupa : obat hipoglikemik oral (OHO) dan insulin. Intervensi farmakologis dilakukan apabila sasaran glukosa darah belum tercapai dengan perencanaan makan dan latihan jasmani. Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 5 golongan: pertama sebagai pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue), kedua sebagai penambah sensitivitas terhadap insulin, ketiga bekerja sebagai penghambat glukoneogenesis, keempat sebagai penghambat absorbsi glukosa dan DP IV inhibitor (Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2011; Perkeni, 2011). Secara keseluruhan sebanyak 20 – 25% pasien DM tipe 2 kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Berdasarkan lama kerja insulin dibagi menjadi 5: insulin kerja cepat, insulin kerja pendek, insulin kerja menengah, insulin kerja panjang dan insulin campuran kerja pendek dan menengah. 2.2 Teori Adaptasi Roy Berdasarkan filosofi teori adaptasi Roy menyatakan bahwa manusia selalu dihadapkan berbagai persoalan yang kompleks, sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi dalam memenuhi kebutuhannya, untuk mampu dengan beradaptasi lingkungan, manusia dengan berespon dengan melakukan peran dan fungsi secara Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 21 optimal untuk memelihara integritas diri dari keadaan rentang sehat sakit dari keadaan lingkungan sekitarnya. Roy menegaskan bahwa manusia merupakan sistem adaptif yang holistik dalam berinteraksi dengan lingkungan, berikut ada 4 aspek penting dalam teori adapatasi Roy, antara lain : 2.2.1 Person (manusia) Dalam paradigma Roy, manusia dipandang sebagai sistem yang adaptif, dimana adaptasi merupakan proses dan hasil dari pikiran dan perasaan seseorang. Sistem adaptif memiliki input berupa stimulus dan level adaptasi dan output berupa respon perilaku sebagai umpan balik, dan kontrol proses sebagai mekanisme koping (Roy & Andrew,1999). Stimulus merupakan faktor lingkungan internal maupun eksternal yang menimbulkan atau membangkitkan respon yang terbagi menjadi 3: 1)Stimulus fokal adalah stimulus (internal, eksternal) yang paling segera dikenali dalam sistem manusia, langsung beradaptasi dengan kesadaran dan akan mempunyai pengaruh kuat terhadap seorang individu; 2)Stimulus kontekstual merupakan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi bagaimana seseorang menghadapi atau berespon terhadap stimulus fokal baik secara positif atau negatif; 3)Stimulus residual merupakan faktor lingkungan yang efeknya belum jelas terhadap situasi yang dihasilkan (Tomey & Alligod, 2006). Dari stimulus menghasilkan respon berupa perilaku, Roy mengidentifikasi terdapat 4 mode adaptif perilaku tersebut, antara lain : a) Physiological function mode Berhubungan dengan proses fisik dan kimia dalam fungsi dan aktifitas kehidupan organisme. Merupakan respon fisik terhadap stimulus dari lingkungan. kebutuhan dasar yang teridentifikasi dalam physiological function berhubungan dengan kebutuhan dasar integritas fisik antara lain : oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktifitas dan istirahat, proteksi, indera, cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa, fungsi neurologi dan fungsi endokrin (Roy & Andrew, 1999). b) Self-concept mode Fokus dari mode ini adalah psikologis dan aspek spiritual dari seseorang. Selfconcept merupakan gabungan dari keyakinan pada diri sendiri pada satu waktu, Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 22 terbentuk dari persepsi diri dan persepsi dari orang lain. Terdiri dari : (1) the physical self, yang melibatkan sensasi dan gambaran diri, (2) the personal self, yang terdiri dari self-consistency, self-ideal atau expentancy, dan the moral-ethicalspiritual self. c) Role function mode The role function mode merupakan pola interaksi seseorang dalam berhubungan dengan orang lain yang direfleksikan sebagai peran primer, sekunder, dan tersier. Peran primer merupakan sebagian besar perilaku seseorang dan didefinisikan sebagai jenis kelamin, umur, dan tahap perkembangan. Peran sekunder merupakan asumsi seseorang tentang tugas yang berhubungan dengan tahap perkembangan dan peran primer. Peran tersier berhubungan peran primer menuju peran sekunder dan menghadirkan cara seseorang menemukan peran berhubungan dengan kewajiban yang bersifat sementara. d) Interdependence Hubungan saling ketergantungan meliputi kesediaan dan kemampuan untuk memberi dan menerima di antara mereka, antara lain cinta, kasih sayang, menghormati, memelihara, pengetahuan, ketrampilan, komitmen, waktu dan kemampuan. 2.2.2 Environment (Lingkungan) Lingkungan merupakan semua kondisi, keadaan yang mempengaruhi perkembangan dan perilaku dari seseorang atau kelompok. Lingkungan merupakan input kepada seseorang sebagai sistem adaptif meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor tersebut bisa sedikit atau besar, negatif atau positif. 2.2.3. Health (kesehatan) Kesehatan merupakan suatu keadaan yang menjadikan seseorang utuh dan terintegrasi. Integritas seseorang ditunjukkan sebagai kemampuan mencapai tujuan kelangsungan hidup, tumbuh, reproduksi dan kekuasaan. Tujuan praktik Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 23 keperawatan menurut mode Roy adalah meningkatkan kesehatan seseorang dengan meningkatkan respon adaptif. 2.2.4 Nursing (keperawatan) Berdasarkan teori adaptasi Roy , tujuan keperawatan adalah meningkatkan adaptasi dari setiap 4 mode, dengan meningkatkan respon adaptif dan menurunkan respon inefektif, yang berkontribusi terhadap kesehatan seseorang dan kualitas hidup. Menurut Roy proses keperawatan merupakan pendekatan pemecahan masalah dari mengumpulkan data, identifikasi kebutuhan seseorang, seleksi dan implementasi pelayanan keperawatan dan evaluasi dari tujuan keperawatan yang diberikan. The Roy Adaptation Mode(RAM) memberikan acuan kepada perawat dalam melakukan proses keperawatan. Terdapat 6 langkah dalam proses keperawatan menurut Roy meliputi (Roy & Andrew, 1999) : 1) pengkajian perilaku dan stimulus; 2) Diagnosa keperawatan; 3) tujuan keperawatan;4) intervensi keperawatan; 5) evaluasi keperawatan. 2.3 Penerapan Roy’s Mode Adaptation pada asuhan keperawatan pasien DM 2.3.1 Pengkajian perilaku dan stimulus Langkah-langkah dalam pengkajian perilaku meliputi : pengumpulan data perilaku keadaan adaptif dan inefektif manusia yang sekarang. Pengkajian perilaku dengan cara anamnesa dan observasi. Pengkajian perilaku dengan cara anamnesa, misalnya : keluhan utama, riwayat kesehatan dan sebagainya. Pengkajian perilaku dengan cara observasi melalui inspeksi, auskultasi dan pengukuran. Setelah mengkaji perilaku, perawat juga perlu mengkaji stimulus internal dan eksternal yang mempengaruhi perilaku klien. Stimuli yang mempengaruhi perilaku meliputi focal, contekstual dan residual. Pengkajian stimuli tersebut adalah : stimulus yang mempengaruhi adaptasi, antara lain : budaya (status sosial ekonomi, etnis dan keyakinan), keluarga (struktur dan tugas-tugas), tahap perkembangan (usia, jenis kelamin, tugas, keturunan, genetik), mode integritas adaptif (fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan mode interdependen), efektifitas kognator (persepsi, Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 24 pengetahuan dan ketrampilan), pertimbangan lingkungan (perubahan lingkungan internal dan eksternal, pengobatan, penggunaan obat, alkohol, tembakau, stabilitas politik dan ekonomi) (Roy & Andrew,1999). Pengkajian perilaku pada pasien DM dilakukan pada seluruh mode adaptasi meliputi fisiologi, konsep diri, fungsi peran dan saling ketergantungan. Pada mode fisiologi, beberapa perilaku inefektif dapat ditemukan pada pasien DM, berikut ini pengkajian perilaku dan pengkajian stimulus, antara lain : a. Mode fisiologi Pengkajian mode fisiologi meliputi : 1) Oksigenasi Kebutuhan oksigenasi merupakan kebutuhan tubuh akan oksigen dan proses dasar kehidupan meliputi ventilasi, pertukaran gas dan transportasi gas (Vairo, 1984 dalam Roy& Andrew,1991). Jika proses berfungsi efektif dan oksigen lingkungan tercukupi, maka oksigenasi jaringan tubuh terpenuhi. Pada pasien dengan kasus DM pengkajian perilaku mode fisiologis oksigenasi meliputi respirasi rate, suara nafas, dispnea, batuk, analisa gas darah. Pengkajian perilaku fungsi sirkulasi meliputi nadi, tekanan darah, suara jantung, kulit, membran mukosa, Capilary Refile Time (CRT). Pengkajian stimulusnya berupa keutuhan struktur organ pernafasan, berupa bersihan jalan nafas, kondisi muskuloskeletal tulang dada, fungsi kontrol syaraf pusat, infeksi paru (TB paru, pneumonia, bronkitis kronis), fungsi pompa jantung (infark miocard, CHF), penurunan curah jantung (dehidrasi, anemia). 2) Nutrisi Nutrisi menyangkut makanan yang dimakan seseorang dan bagaimana tubuh menggunakan (Williams,1995 dalam Roy & Andrew, 1999). Nutrisi merupakan suatu proses dimana seseorang mengambil nutrient dan mengasimilasi dan menggunakan untuk mempertahankan jaringan tubuh, mendukung pertumbuhan dan menyediakan energi. Pada kebutuhan nutrisi terdapat 2 proses yang diidentifikasi yaitu digestif dan metabolisme. Pengkajian perilaku mode Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 25 fisiologi nutrisi pada kasus DM meliputi : proses pencernaan (perubahan pola makan/poliphagi, alergi terhadap makanan, nyeri uluhati), proses metabolisme (tinggi badan berat badan, nafsu makan dan rasa haus/polidipsi, profil nutrisi, hasil laboratorium: gula darah sewaktu, gula darah puasa, albumin, hemoglobin, profil lemak). Pengkajian stimulus yang perlu dikaji dalam masalah nutrisi antara lain kondisi psikolois kecemasan akibat proses penyakit yang dialami pasien, mengakibatkan penurunan motivasi untuk makan sehingga dapat menyebabkan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan. Faktor lain adalah makanan kesenangan pasien yang tidak sesuai dengan makanan yang disajikan selama dalam perawatan, ketidaktahuan pasien tentang terapi nutrisi yang diberikan. Lingkungan yang kurang nyaman memungkinkan menyebabkan penurunan nafsu makan. 3) Eliminasi Eliminasi terbagi menjadi 2, yaitu : eliminasi intestinal dan eliminasi urine. Eliminasi intestinal merupakan keluarnya substansi yang tidak terdigestif melalui anus dalam bentuk feses. Sedangkan eliminasi urine merupakan eliminasi cairan sisa metabolisme dan kelebihan ion hasil proses penyaringan dari ginjal. Pengkajian eliminasi intestinal pada pasien DM meliputi: karakterstik feses (jumlah, warna, konsistensi, frekuansi, bau dan kemampuan), peristaltik usus, nyeri atau ketidaknyamanan dan pemeriksaan laboratorium. Pengkajian eliminasi urine pasien DM meliputi : jumlah dan karakteristik urin (poliuria), pola berkemih (retensi urine, inkontinensia urin), nyeri berkemih, dan pemeriksaan urinalisis. Pada pasien DM mengalami perubahan pola berkemih dimana terjadi poliuri atau sering kencing karena diuresis osmotik. Pada pasien DM yang mengalami komplikasi nefropathi yang jatuh dalam kondisi chronic renal failure (CRF) muncul gejala penurunan produksi urine karena menurun kemampuan ginjal dalam proses filtrasi. Pengkajian stimulus difokuskan pada hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perilaku yang Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 26 maladaptif, misal : hiperglikemia, penggunaan obat, faktor lingkungan yang kurang nyaman. 4) Aktifitas dan istirahat Aktifitas merupakan gerak tubuh dalam melakukan pekerjaan sehari-hari dan proteksi diri. Istirahat merupakan perubahan aktifitas yang memerlukan energi minimal, selama istirahat energi dikembalikan. Pengkajian perilaku pada aktifitas/mobilitas pada pasien DM antara lain, aktifitas fisik, fungsi motorik, pengkajian fungsi gerak, massa dan tonus otot, kekuatan otot, mobilitas sendi, postur dan gaya berjalan. Sedangkan pengkajian stimulus pada mobilitas antara lain, kondisi fisik (injuri otot atau tulang, penyakit sistem saraf pusat), kondisi psikologis, lingkungan sekitar, kebiasaan perorangan. Pengkajian perilaku pada kebutuhan istirahat atau tidur antara lain, kuantitas dan kualitas istirahat sehari-hari, pola tidur, tanda gangguan tidur. Sedangkan pengkajian stimulus kebutuhan istirahat atau tidur antara lain, faktor lingkungan, tahap perkembangan, kondisi psikologis, lingkungan ruangan rumah sakit, penggunaan obat dan alkohol. 5) Proteksi Kebutuhan fisiologi terhadap proteksi meliputi 2 proses dasar kehidupan, yaitu : proses pertahanan nonspesifik dan proses pertahanan spesifik. Proses pertahanan nonspesifik berhubungan dengan 2 kategori mekanisme proteksi meliputi barier membrane permukaan yang melibatkan kulit dan membrane mukosa, pertahanan kimia dan sel, fagositosis, respon inflamasi, antimikrobial, dan panas. Proses pertahanan spesifik tubuh adalah sistem imun. Menurut Marieb (1994, dalam Roy & Andrew, 1999), sistem imun merupakan sistem fungsional yang mengenali adanya molekul asing (antigen) dan bertindak untuk menonaktifkan atau menghancurkan. Pengkajian proteksi pada pasien DM antara lain kulit, rambut, kuku, membran mukosa, kemampuan diri untuk Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 27 perbaikan infeksi, suhu tubuh, respon inflamasi, sensitifitas terhadap nyeri dan suhu, dan pemeriksaan laboratorium (bakteri, leukosit). Pasien DM muncul perilaku maladaptif ditandai adanya perubahan kulit, dengan adanya neuropati otonom dan sensori, kondisi tersebut meningkatkan risiko terjadinya ulkus kaki diabetik (Perkeni, 2011). Pengkajian stimulus difokuskan pada hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perilaku yang maladaptif meliputi adanya ulkus kaki diabetik, anemia, usia lanjut, dan lingkungan. 6) Indera Indra merupakan proses dimana energi seperti cahaya, suara, panas, getaran kimia dan tekanan, ke dalam aktifitas saraf dan menimbulkan persepsi. Pengkajian indra pada pasien DM meliputi: pengkajian ketajaman mata, fungsi pendengaran, fungsi perasa (sentuhan, tekanan, kinestetik, suhu dan nyeri). Pengkajian stimulus difokuskan pada hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perilaku yang maladaptif, meliputi: neuropati sensori, neuropati otonom, riwayat DM yang tidak terkontrol, dan usia lanjut. 7) Cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa Adaptasi cairan, elektrolit dan keseimbangan asam basa merupakan proses homeostasis. Menurut Marieb (1994 dalam Roy & Andrew, 1999) homeostasis sebagai mempertahankan kestabilan lingkungan internal dalam tubuh. Pengkajian perilaku cairan dan elektrolit pada pasien DM meliputi keluhan mual, muntah,keluhan haus, poliuria, polidipsi, perdarahan, oedema, urine output, membrane mukosa, turgor kulit, suhu kulit, kesemutan, penurunan kesadaran, disorientasi, TTV, dan pemeriksaan laboratorium (hemoglobin, hematkorit, elektrolit). Pengkajian stimulus difokuskan pada hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perilaku yang maladaptif, meliputi tingginya kadar gula darah, penurunan fungsi ginjal. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 28 8) Fungsi neurologis Pengkajian perilaku fungsi nurologis pada pasien DM antara lain tingkat kesadaran (menggunakan GCS/Glasgow Coma Scale), respon motorik, respon terhadap nyeri, orientasi dan tingkat kesadaran. Pasien DM dengan komplikasi makrovaskuler yang menyebabkan gangguan sirkulasi serebro vaskuler, pasien bisa mengalami stroke. Pengkajian stimulus meliputi patofisiologi, kadar hemoglobin dan analisa gas darah, status nutrisi, aktifitas dan istirahat, stres, pengetahuan, lingkungan fisik, dan pengobatan. 9) Fungsi endokrin Sistem endokrin terdiri dari pituitary, thyroid, parathyroid, adrenal, pineal, thymus, pancreas, gonad dan hypothalamus. Pengkajian perilaku fungsi endokrin pada pasien DM meliputi: pemeriksaan kadar gula darah sewaktu, kadar gula darah puasa, Pemeriksaan HbA1c atau A1C merupakan pemeriksaan darah yang mengambarkan rata-rata kadar gula darah pada jangka waktu tertentu kurang lebih sekitar 2-3 bulan. Pengkajian stimulus berkaitan dengan fungsi endokrin antara lain terkait disfungsi kelenjar yang disebabkan oleh trauma, penyakit, keganasan serta kondisi lingkungan (Roy & Andrews, 1999). b. Mode konsep diri Pengkajian konsep diri pada pasien DM berdasarkan RAM, memiliki 2 komponen : the physical self (sensasi tubuh dan gambaran diri) dan the personal self (konsistensi diri, ideal diri dan motal etik spiritual diri). DM merupakan penyakit kronis yang memerlukan perawatan dan pengelolaan seumur hidup untuk mencegah terjadinya komplikasi. Diperlukan kemampuan pasien untuk beradaptasi dengan perubahan yang muncul akibat proses penyakit itu sendiri ataupun karena pengelolaan yang harus dijalani oleh pasien. Pada pasien DM sering muncul kecemasan akan prognosa penyakit, ketidakberdayaan akibat perawatan yang harus dilakukan dalam waktu yang lama ataupun komplikasi dari penyakit yang terjadi (Roy & Andrews, 1999). Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 29 c. Mode fungsi peran Pengkajian fungsi peran dalam RAM pada pasien DM meliputi pengkajian fungsi peran primer, sekunder dan tersier. Pasien DM yang mengalami perubahan baik fisik akibat kelemahan yang dialami, disfungsi seksual, perawatan di rumah sakit yang lama, komplikasi yang muncul seperti, retinopati, ulkus sampai dengan dilakukan amputasi menyebabkan pasien tidak dapat berperan dan beraktifitas seperti sebelumnya, seperti berperan sebagai kepala rumah tangga dalam mencari nafkah, sebagai ibu rumah tangga yang merawat anak, peran sebagai masayarakat dalam lingkungan sosialnya (Roy & Andrews, 1999). d. Mode interdependen Interdependen merupakan hubungan dekat seseorang, kepuasan akan kebutuhan kasih sayang, berkembang, dan sumber untuk mencapai integritas relasi. Melalui kasih sayang, perkembangan, dan sumber proses dimana orang tumbuh sebagai seseorang dan berkontribusi sebagai anggota dalam kelompok sosial. Pada pasien DM, menurut Trigwell (2001) dalam Fischer, (2005) depresi atau stres emosional pada DM menyebabkan buruknya ketaa tan dalam perawatan mandiri (diet, latihan fisik dan merokok) yang akan memungkinkan muncul klinis yang buruk. Ketidakberdayaan, ketergantungan dengan orang lain sering muncul pada pasien DM yang mengalami perubahan psikososial, merasa tidak mampu, merasa lemah, merasa tidak berguna. Lebih banyak muncul pada pasien DM yang telah mengalami komplikasi seperti nefropati diabetik, retinopati ataupun amputasi pada ulkus diabetik. 2.3.2 Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan dalam teori adaptasi Roy merupakan suatu pernyataan yang diperoleh dari suatu perumusan interpretasi data terhadap status adaptasi seseorang yang dihubungkan antara perilaku dengan beberapa stimulus yang berkaitan Dalam merumuskan diagnosa keperawatan Roy menunjukkan 3 metode, yaitu: 1) Menggunakan tipe yang berhubungan dengan 4 model adaptasi. 2) Menggunakan Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 30 diagnosa dengan mengobservasi respon dalam satu model berdasar stimuli yang paling mempengaruhi. 3) Menggunakan respon dalam satu atau beberapa model adaptif yang berhubungan stimulus yang sama (Roy & Andrew, 1999). Diagnosa keperawatan pasien DM dengan pendekatan teori adaptasi Roy (Roy & Andrews, 1999) disesuaikan dengan diagnosa keperawatan yang disepakati Nanda 2009-2011 (Herdman, 2011). yaitu: a) Mode fisiologi 1) Oksigenasi dan sirkulasi , diagnosa keperawatan yang muncul antara lain : a) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, dispnea;nyeri b) bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi sekret, infeksi c) perfusi jaringan (perifer, renal, cardial) tidak efektif berhubungan dengan diabetes mellitus,hiperlipidemia; d) penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas, perubahan preload. 2) Nutrisi, diagnosa keperawatan yang muncul antara lain: a) Perubahan Nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh dalam menggunakan glukosa, defisiensi insulin dan atau resistensi insulin, asupan nutrisi tidak adekuat (mual, muntah, anoreksia); b) ketidakseimbangan nutrisi: lebih dari kebutuhan berhubungan dengan intake berlebihan (poliphagia). 3) Eliminasi, diagnosa keperawatan yang muncul antara lain inhibisi arkus refleks, neurogenik bladder : a) retensi urin; b)inkontinensia urin neurogenik bladder 4) Aktivitas dan istirahat, diagnosa keperawatan yang muncul antara lain : a) Keletihan berhubungan dengan, penurunan produksi energi, peningkatan kebutuhan energi, perubahan kimia tubuh, kondisi fisik yang lemah, anemia; b) Defisit perawatan diri (toileting/higeining) berhubungan dengan kelemahan, keterbatasan fisik, penurunan motivasi; c) intoleransi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 aktivitas 31 5) Proteksi, diagnosa keperawatan yang muncul Infeksi, risiko sepsis berhubungan dengan penurunan fungsi leukosit, penyembuhan yang lambat, gangguan sirkulasi sekunder akibat hiperglikemia. 6) Indera, diagnosa keperawatan yang muncul antara lain: a) Risiko cedera/trauma berhubungan dengan gangguan penglihatan, hypoglikemia, hipokalemia, penurunan sensasi taktil; b)Perubahan persepsi/sensori (taktil/visual) berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin/elektrolit, perubahan neurovaskuler perifer; c) nyeri (akut/kronis). 7) Cairan,elektrolit dan keseimbangan asam basa, diagnosa keperawatan yang muncul antara lain :a) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (akibat hiperglikemia), asupan cairan tidak adekuat; b) Risiko kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan filtrasi glomerulus akibat nefropati diabetik. 8) Fungsi neurologi, diagnosa keperawatan yang muncul: perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan diabetes mellitus, hiperlipidemia 9)Fungsi endokrin, diagnosa keperawatan yang muncul antara lain: a) risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah b) Mode konsep diri 1) The physical self (sensasi tubuh dan gambaran diri): a) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ulkus, gangren diabetes, post amputasi; b) Disfungsi seksual/perubahan pola seksual berhubungan dengan impotensi akibat neuropati, gangguan genitourinaria (wanita), kurangnya pengetahuan. 2) The personal self (konsistensi diri, ideal diri dan motal etik spiritual diri): a) Kecemasan/ketakutan berhubungan dengan, ketidakmampuan merawat diabetes, ancaman komplikasi diabetes; b) Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit kronis, program pengobatan yang dijalani, masa perawatan yang lama, ketergantungan dengan orang lain. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 32 c) Mode Fungsi peran Diagnosa keperawatan yang ditegakkan berupa 1)perubahan penampilan peran berhubungan perubahan status kesehatan, 2)ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pengetahuan. d) Mode Interdependensi Diagnosa keperawatan yang muncul antara lain : 1) Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak adekuatnya dukungan sosial, krisis situasi, tidak adekuatnya tingkat persepsi, tingginya derajat ancaman akibat penyakit; 2) Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan aturan perawatan diri yang kompleks, informasi atau pemahaman tidak adekuat atau tidak lengkap, perubahan fungsi keluarga; 3) Hambatan interaksi sosial berhubungan keterbatasan mobilitas fisik; 2.3.3 Tujuan keperawatan Tujuan keperawatan merupakan menetapkan pernyataan tentang perilaku yang diharapakan hasil dari pelayanan keperawatan. Pernyataan tujuan terdiri dari 3 kesatuan, yaitu : a) perilaku yang diobservasi, b) perubahan yang diharapkan, dan c) kriteria waktu yang disusun untuk mencapai tujuan. Tujuan keperawatan pada pasien DM adalah tercapainya perilaku adaptif pasien pada mode fisiologi, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi disesuaikan dengan Nursing Outcome Classification (NOC) (Wilkinson, 2007; Moorhead, Johnson & Maas, 2003). 2.3.4 Intervensi Keperawatan Intervensi merupakan memilih pendekatan keperawatan untuk meningkatkan adaptasi dengan merubah stimulus atau kekuatan proses adaptif. Untuk meningkatkan adaptasi, perlu untuk mengatur stimulus yang mempengaruhi perilaku dengan pertimbangan. Ini diperlukan untuk merubah stimulus fokal atau meluaskan level adaptasi melalui manajemen stimulus lain, atau mendukung aktifitas kognator dan regulator. Pengelolaan stimulus terdiri dari merubah, meningkatkan, menurunkan, menghilangkan atau mempertahankan. Dalam memilih pendekatan, Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 33 perawatan mempertimbangkan alternatif yang mungkin dan kemudian memilih pendekatan dengan kesempatan yang tinggi untuk mencapai tujuan (Roy & Andrew, 1999). Intervensi keperawatan pada pasien DM mengacu pada Nursing Intervension Classification (NIC) (Wilkinson, 2007; McCloskey & Bulechek, 2004). adalah sebagai berikut: a) Mode fisiologi 1) Oksigenasi dan sirkulasi : NIC pada masalah oksigenasi berupa: manajemen jalan nafas, monitoring respiratori, terapi oksigen, pemberian obat, monitoring tanda vital, stabilisasi jalan nafas, fisioterapi dada, batuk efektif, pengaturan posisi. NIC pada masalah sirkulasi antara lain: manajemen asam basa, monitoring dan manajemen cairan-elektrolit, perawatan kaki, regulasi hemodinamik, manajemen hipovolemik dan atau hipervolemik, interpretasi data laboratorium, manajemen ekstremitas bawah, manajemen neurologis, manajemen sensasi perifer, monitoring tanda vital, terapi oksigen, monitoring neurologi, monitoring respirasi, pemberian pengobatan. 2) Nutrisi : NIC untuk masalah ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi antara lain : monitoring nutrisi, manajemen nutisi, manajemen metabolik, konseling nutrisi, konseling nutrisi, manajemen berat badan, terapi nutrisi, peningkatan aktivitas. 3) Eliminasi Diagnosa gangguan eliminasi urin, NIC nya antara lain : monitoring cairan, manajemen cairan, kateterisasi urin ,manajemen eliminasi urin, terapi latihan kontrol muskuler, terapi relaksasi sederhana, perawatan perineal. 4) Aktivitas dan istirahat : NIC untuk masalah intoleransi aktivitas antara lain: manajemen energi, monitor tanda-tanda vital, manajemen nutrisi, manajemen pengobatan. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 34 memandikan,perawatan kaki,kuku,rambut,oral higiene,perawatan perineal, manajemen energi, membantu perawatan diri, manajemen energi, terapi aktivitas, manajemen nutrisi, manajemen nyeri, dukungan spiritual, manajemen lingkungan. 5) Proteksi : NIC untuk masalah risiko infeksi berupa : monitoring vital sign, kontrol infeksi, manajemen infeksi, manajemen luka, manajemen metabolik, manajemen nutrisi, pencegahan infeksi, manajemen lingkungan, perawatan perineal, personal hygiene, manajmen pengobatan. 6) Indera : NIC untuk masalah perubahan persepsi sensori antara lain : manajemen lingkungan, manajemen energi, pencegahan jatuh/cedera, mencegah risiko jatuh, terapi latihan (ambulasi, keseimbangan), dukungan emosional, meningkatkan harga diri, perawatan mata,manajemen nutrisi,manajemen tekanan, manajemen sensasi perifer, pengaturan posisi, manajemen pengobatan, monitor tanda vital, manajemen nyeri, menurunkan cemas, manajemen lingkungan, posisi, meningkatkan koping,terapi sentuhan,terapi relaksasi, guided imagery sederhana, PMR (progressive Muscle Relaxation), terapi musik, humor, pemijatan sederhana, pemberian analgetik. 7) Cairan, elektrolit dan keseimbangan asam basa: NIC untuk masalah gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa, antara lain: monitoring dan manajemen cairan, monitoring dan manajemen elektrolit, monitoring vital sign, manajemen hipovolemia, regulasi hemodinamik, manajemen nutrisi, manajemen nutrisi, manajemen metabolik dan manajemen pengobatan. 8) Fungsi neurologi: perfusi jaringan cerebral tidak efektif, NICnya berupa monitoring dan manajemen asam basa, monitoring dan manajemen cairan, Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 35 monitoring vital sign, terapi oksigen, regulasi hemodinamik, manajemen hipovolemia, monitoring dan manajemen nutrisi, monitoring neurologi. 9) Fungsi endokrin : risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah, NIC nya berupa: monitoring glukosa darah, manajemen hiperglikemia atau hipoglikemia, edukasi, peningkatan kesadaran diri, konseling, dukungan keluarga. b) Mode konsep diri NIC untuk diagnosa keperawatan dengan gangguan konsep diri meliputi: manajemen kecemasan, peningkatan koping, konseling, distraksi, dukungan kelompok, peningkatan harga diri c) Mode Fungsi peran NICnya berupa: dukungan pemberi perawatan, peningkatan peran, peningkatan harga diri, peningkatan kesadaran diri, edukasi, peningkatan koping, konseling. 2) ketidakefektifan regimen pengobatan: modifikasi perilaku, peningkatan koping, konseling, dukungan emosional, dukungan keluarga, dukungan kelompok, peningkatan harga diri, peningkatan kesadaran diri, memfasilitasi pembelajaran, edukasi. Untuk mengatasi ketidakefektifan regimen pengobatan maka diberikan edukasi, edukasi diabetes yang efektif tidak hanya sebatas pemberian pengetahuan untuk mengubah kognitif akan tetapi edukasi harus bermuatan motivasil dan perubahan perilaku dalam upaya membawa pasien menuju perubahan. Salah satu pendekatan dalam edukasi DM dengan Self Efficacy Enhancing Intervention Program (SEEIP), karena dengan efikasi diri yang tinggi akan membuat pasien teguh dan yakin dalam mencapai tujuan, walaupun dengan berbagai tantangan yang ada (Bandura, 1997). d) Mode Interdependensi Koping individu tidak efektif: NICnya berupa reduksi cemas, manajemen perilaku, konseling, dukungan pengambilan keputusan, dukungan emosional, Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 36 peningkatan harga diri, relaksasi, peningkatan koping, memfasilitasi pembelajaran. (McCloskey & Bulechek, 2004; Wilkinson, 2005) 2.3.5 Evaluasi keperawatan Tahap terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi, meliputi pengkajian respon perilaku dalam relasi untuk menentukan tujuan. Jika tujuan dicapai intervensi akan efektif. Jika tujuan tidak tercapai perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut baik pengkajian perilaku maupun pengkajian stimulus dan mempertimbangkan tujuan dan intervensi. Pengkajian ulang dilakukan dengan tujuan mendapatkan perilaku inefektif yang muncul dan stimulus baik fokal, kontekstual dan residual yang menyebabkan tujuan belum tercapai sehingga bisa dirumuskan kembali intervensi yang sesuai untuk merubah stimulus tersebut dan kembali dievaluasi setelah intervensi keperawatan di berikan (Roy & Andrews, 1999). Dalam evaluasi terdapat dua respon adaptasi yang dinyatakan Roy, berdasarkan tujuan yaitu: 1) Respon yang adaptif dimana terminologinya adalah manusia dapat mencapai tujuan atau keseimbangan sistem tubuh manusia. 2) Respon yang tidak adaptif atau inefektif dimana manusia tidak dapat mengontrol dari terminologi keseimbangan sistem tubuh manusia, atau tidak dapat mencapai tujuan yang akan diraih. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN Pada bab 3 ini, praktikan akan menggambarkan asuhan keperawatan pada 1 (satu) kasus kelolaan utama, dan analisis asuhan keperawatan dari 33 (tiga puluh tiga) kasus kelolaan lainnya pada pasien dengan gangguan sistem endokrin selama praktikan melakukan praktek residensi. Adapun pendekatan teori yang digunakan pada semua kasus kelolaan adalah pendekatan The Roy’s Adaptation Models. 3.1.Gambaran Kasus Kelolaan Utama Ny. T, 49 tahun, pendidikan terakhir SD, suku Jawa, seorang ibu rumah tangga dengan 4 orang anak, pekerjaan sehari-hari sebelum sakit sebagai penjual sayur. Pasien selama ini tinggal bersama suami dan satu anak laki-laki bungsu yang masih berusia 9 tahun. Pasien masuk rumah sakit tanggal 27 Pebruari 2012 melalui Polikilinik penyakit dalam RSUP Fatmawati Jakarta, dengan keluhan utama terdapat ulkus di kaki kanan, pasien berencana untuk operasi Split Thicknes Skine Graft (STSG), atas anjuran dokter. 1 bulan sebelum masuk RS pasien pernah dirawat di RSUP Fatmawati Jakarta selama 3 minggu dengan keluhan yang sama (ulkus di tumit kanan, selulitis dipunggung dan pergelangan kaki kanan), saat dirawat pasien dianjurkan operasi amputasi digiti V pedis dextra dan debridement. Pasien menolak amputasi dan hanya bersedia debridement, 17 hari post operasi debridement pasien pulang paksa karena alasan biaya. 1 bulan kemudian pasien masuk RS lagi kiriman dari poliklinik bedah,untuk berencana operasi STSG di kruris kanan. Riwayat terjadinya ulkus: 3 bulan sebelum masuk RS, pasien sering menggunakan alas kaki dengan insole keras dan tajam (sandal refleksi) dengan tujuan untuk mengurangi gejala kesemutan dan baal pada kaki, setelah kurang lebih 3 minggu setelah menggunakan alas kaki refleksi, pasien merasakan timbul kapalan (kalus). Kalus tersebut kemudian retak dan muncul luka di tumit kaki kanan. Di rumah luka dirawat sendiri dengan cara dibersihkan menggunakan rivanol. Tetapi luka tidak kunjung sembuh, bertambah meluas, bengkak di punggung dan pergelangan kaki kanan, 37 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 38 keluar nanah dan berbau. Pasien mengatakan mempunyai penyakit DM sejak 2 tahun yang lalu tanpa kontrol teratur, pasien pernah mendapatkan obat hipoglikemia oral (OHO) tapi tidak tahu namanya. Riwayat 3p (polidipsi, poliphagi, poliuri), riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir > 4000 gr, riwayat hipertensi 20 tahun yang lalu tanpa pengobatan. 3.2.Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama Asuhan keperawatan dilakukan secara holistik dan komprehensif mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi dengan menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy. 3.2.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus 3.2.1.1 Mode Adaptasi fisiologis a. Oksigen dan Sirkulasi 1) Pengkajian Perilaku Respirasi: Tidak ada keluhan sesak nafas, nyeri dada dan batuk, bentuk dada simetris, ekspansi paru kiri – kanan sama, tidak ada retraksi dinding dada, tidak tampak adanya penggunaan otot bantu pernafasan, frekwensi nafas 18 x/menit, teratur, nafas tidak berbau aseton, pernafasan cuping hidung tidak ada, fremitus taktile paru kanan dengan paru kiri sama, perkusi paru sonor/sonor, bunyi nafas vesikuler pada lapangan paru kanan – kiri, batuk (-), wheezing (-/-), ronchi (-/-). Pemeriksaan laboratorium AGD: PH : 7,454; PC02 : 31,4 mmHg; P02 : 100,8 mmHg; HC03 : 21,5 mmol/l; saturasi 02 : 97,9 %. Sirkulasi : TD: 130/80 mmHg, Mean Arteri Pressure (MAP) = 96,6 mmHg, denyut nadi 84 x/menit, kuat, dan teratur, Ictus Cordis tidak tampak, Ictus cordis teraba kuat, akral hangat, pengisian kapiler Capilarry Refill Time (CRT) 3detik. Bunyi jantung S1,S2 reguler, Gallop dan murmur tidak ada, tidak terdapat distensi vena jugularis. Pada pemeriksaan foto thorax Cardio Toracic Ratio (CTR) > 50% (kesan : cardiomegali ringan), aorta kalsifikasi, pasien datang ke poli dengan tekanan darah yang tinggi 150/100 mmHg. Ada riwayat hipertensi grade I tidak terkontrol. Pemeriksaan konjungtiva anemis, pasien mengeluh pusing, ekstremitas hangat, pitting edema kaki kanan. Hasil pemeriksaan Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 39 Laboratorium PT/ APTT:14,4/ 49,2; D-Dimer: 600, GDP 179 mg/dL; GD 2 jam PP: 247 mg/dl, ABI dextra tidak terkaji karena terdapat luka didorsal pedis dan daerah tibialis posterior ABI sinistra = 0.92. 2) Pengkajian Stimulus Stimuli fokal: hipertensi, anemia; stimuli kontektual: riwayat hipertensi 20 tahun yang lalu tidak terkontrol; stimuli residual: defisit pengetahuan tentang hipertensi dan penatalaksanaanya. b. Nutrisi 1) Pengkajian Perilaku Antropometri: penurunan berat badan (BB) 25 kg dalam waktu 2 tahun, BB saat ini: 50 Kg, TB: 150 cm, IMT: 22,2(normal), BBI: 45 kg. Biochemical (28/02/2012): Hb 7.3 gr/dl, Ht 22%, protein total 6.49; albumin 2.90 g/dl; globulin 3.50 g/dl; A1C = 6,7 %; GDP: 179 mg/dL; GD 2 jam PP: 247 mg/dl, LDL: 60 mg/dl, HDL: 39 mg/dl, trigliserida : 85 mg/dl. Pemeriksaan fisik : rambut rontok, konjungtiva anemis, tubuh tampak lemah, tonus otot lembek, peristaltik usus (+) 10 x/mnt. Dietary histori/intake nutrisi: Di RS pasien mendapatkan diet DM :1700 kkalori/hr+ RG (rendah garam) < 2 gr/hr + protein 80 gr/hr, pasien makan hanya ½ porsi yang dihabiskan, sehingga asupan nutrisi pasien sekitar 850 kkal/hari. Pasien mengatakan bosan dengan makanan yang disajikan rumah sakit. 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal: hiperglikemia, anoreksia, hipoalbuminemia; Stimulus kontekstual: bosan dengan makanan yang di sajikan RS (diet DM dan rendah garam); Stimulus residual: kurangnya pemahaman tentang pengaturan makan DM dan hipertensi. c. Eliminasi 1) Pengkajian Perilaku Eliminasi feses: feses berwarna kuning, konsistensi lunak, kesulitan BAB tidak ada, BAB 1 x/ hari, peristaltik usus 10x/mnt. Eliminasi urin: pasien menyatakan 2 tahun sebelum masuk RS sering kencing. 1 bulan sebelum masuk RS pasien Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 40 merasakan perut bagian bawah (kandung kemih) membesar dan teraba keras, dan mengecil setelah dipasang kateter, saat pengkajian terpasang dower catether (hari ke-1), daerah uretrus uretra bersih, vulva bersih, urine jernih, urine out put 1500 cc/24 jam, ureum : 9 mg/dl, creatinin : 0,5 mg/dl 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal: neurogenic bladder, retensi urine; stimulus kontekstual: riwayat DM yang tidak terkontrol 2 tahun yang lalu. Stimulus residual: faktor lingkungan d. Aktivitas dan istirahat 1) Pengkajian Perilaku Aktifitas : saat pengkajian pasien terlihat lemah, semua aktivitas dilakukan di tempat tidur dengan bantuan keluarga, karena terdapat ulkus di kaki kanan dan klien mengatakan takut nyeri jika banyak aktivitas. Pasien mengatakan badan terasa lemas, mudah lelah. Kebutuhan istirahat: menurut pasien kebutuhan tidur cukup, tidak mengalami kendala dalam kebutuhan istirahat tidur 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal: hiperglikemia, kelemahan fisik, penurunan energi, ulkus kaki diabeteik; Stimulus konstektual: anemia, intake nutrisi kurang, imobilisasi; stimulus residual: koping inefektif e. Proteksi 1) Pengkajian Perilaku Kulit kaki kering bersisik, terdapat kalus pada ke dua kaki (gambar 3.2, lampiran 2 ; tabel 3.1). Suhu tubuh 36,50 C, pada sekitar luka teraba hangat. Terdapat ulkus diabetik di tumit kanan dan terdapat luka post op debridement di daerah cruris kanan. Pengkajian PEDIS (International Consensus on the Diabetik Foot, 2003 dalam Sudoyo 2006) : (a) Perfusion : (1) Palpasi arteri dorsalis pedis kanan tidak terkaji karena terdapat luka, arteri dorsalis pedis kiri teraba kuat. Palpasi arteri tibialis posterior kanan tidak terkaji, kiri teraba kuat. ABI : kanan tidak terkaji, kiri : 0,92. (b) Extent : kaki kanan terdapat luka post debridement daerah cruris dengan luas 25 cm x 6 cm dan ulkus di daerah plantar dengan luas 3x4 cm. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 41 (c) Depth : (2) Deep ulcer (bawah dermis, subkutan, fascia, tendon) (d) Infeksi : (3) Terlihat edema pada sekitar dorsal pedis, terdapat seroma dari luka post op debridement, tampak eritema pada 2 cm sekitar luka. Keluar pus dari ulkus diplantar dektra, terdapat slough, warna dasar luka merah (jaringan granulasi), jaringan mudah berdarah , berbau, sekitar luka tampak kehijauan. Keluar pus sela digiti 4 dan 5 (kondisi luka pasien seperti dalam gambar 3.1 lampiran 2). Hasil foto rontgen pedis tampak osteomilitis metatarsal V distal dan digiti V phalax I pedis dextra (gambar 3.3 lampiran 3) (e) Sensasi : (2) pasien merasakan baal pada kedua telapak kaki. Nyeri pada luka post debridement maupun di ulkus daerah plantar kaki kanan. Klasifikasi berdasarkan Wagner (Sudoyo, 2006), ulkus kaki diabetik Ny. T dalam kategori 3: ulkus dalam dengan infeksi. Kondisi kaki pasien seperti dalam gambar 3.2 (lampiran 2). Tabel 3.1 Pemeriksaan kaki Kaki Ya Kulit kaki Tumit pecahpecah Rambut menipis Tinea pedis Kalus Corns Hiperpigmentasi edema Healed ulcer Kanan Tidak Ya √ √ √ Kanan Ya Tidak Ya Kiri Tidak √ √ Pes cavus Charcot Foot √ √ √ Jari Kaki Hammer toe Claw toe Hiperestensi Maserasi interdigital √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Kaki Telapak Kaki Hallux valgus √ √ √ √ √ Kiri tidak √ √ √ √ √ Kuku Kaki Kuku Kaki Menebal Rapuh √ √ √ Infeksi Ingrowing nail √ √ √ Perubahan warna atrophi √ √ √ √ Sumber : Australian Podiatry Council, 2006; Diabetes Care Program of Nova Scotia 2009 √ √ √ 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal : adanya luka post operasi debridemen cruris kanan, dan ulkus kaki diabetik di plantar kanan. Stimulus kontesktual: anemia, hiperglikemia, hipoalbumin, riwayat DM 2 tahun tidak terkontrol, stimulus residual : kurangnya Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 42 pengetahuan tentang perawatan kaki DM (perawatan kaki yang salah, riwayat memakai sandal dengan insole tajam dan keras). f. Sensori 1) Pengkajian Perilaku Pasien merasa baal dan kesemutan telapak kaki dan jari kaki (+), kesemutan sejak 4 bulan yang lalu, uji sentuhan dengan menggunakan monofilamen semmes weinstein 10 gram ditemukan penurunan sensitifitas telapak kaki kanan dan kaki kiri (digiti 1-5 dan di bawahnya), sensasi fibrasi (-/-). Pasien merasakan nyeri di ulkus kaki kanan dan luka daerah pedis, skala nyeri 6, nyeri bertambah saat dilakukan perawatan luka dan jika banyak bergerak, sifat nyeri berdenyut, pasien tampak melindungi kaki kanannya dan takut bergerak. Mata : reaksi cahaya pupil (+/+), ketajaman penglihatan menurun. Telinga : fungsi pendengaran baik, dapat mendengar suara orang lain dengan jelas, dapat menjawab pertanyaan dan jawaban sesuai dengan maksud pertanyaan. Lidah bersih, fungsi pengecap tidak ada keluhan, fungsi pembauan tidak ada keluhan 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal: neuropati sensori, stimulus konstektual: riwayat DM sejak 2 tahun yang lalu, dengan pengobatan tidak teratur; stimulus residual : pengetahuan yang kurang tentang pengelolaan DM. g. Cairan dan elektrolit 1) Pengkajian Perilaku Pasien mengatakan sering haus, intake : minum 1500cc, parenteral : 1300cc, output : urine 2500cc/24 jam, faeces : 200cc, IWL :200cc, balance cairan : 100 cc/24jam, turgor kulit sedang, tidak ada mual dan muntah. TD: 130/80 mmHg, denyut nadi, 84 x/menit, kuat, dan teratur. Hasil laboratorium tanggal 28/02/12 : natrium = 141 meq/l; kalium = 3,21meq/l; klorida = 109 meq/l, GDP 179 mg/dL; GD 2 jam PP : 247 mg/dl, ureum: 9 mg/dl, creatinin : 0,5 mg/dl, BUN : 4,194 mg/dL. Osmolalilas serum: 2(Na) + glucosa / 18 + BUN / 2,8 =2(141)+247/18+4,194/2,8= 297,44 mOsm/L. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 43 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal : diuresis osmosis, stimulus kontekstual : hiperglikemia, stimulus residual : kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan DM. h. Fungsi neurologi 1) Pengkajian Perilaku Penampilan umum: sedang, kesadaran compos mentis (GCS: 15) status mental baik, fungsi intelektual baik, tidak ada kaku kuduk, refleks pupil terhadap cahaya baik, kekuatan dan pergerakan ekstremitas bilateral simetris. Fungsi Kognitif: Orientasi waktu, tempat, dan orang baik, uji sentuhan dengan menggunakan monofilamen semmes weinstein 10 gram terdapat penurunan sensitifitas telapak dan jari kaki kanan dan kaki kiri. 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal : neuropati sensoris, stimulus kontekstual : hiperglikemia, riwayat DM 2 tahun yang lalu tidak terkontrol; stimulus residual : defisit pengetahuan tentang DM dan penatalaksanaanya. i. Fungsi endokrin 1) Pengkajian Perilaku Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus sejak 2 tahun yang lalu yang tidak terkontrol. Riwayat penurunan BB 25 kg dalam waktu 2 tahun, riwayat gejala 3P (polidipsi, poliuri, poliphagia), terdapat ulkus kaki diabetik, hasil laboratorium tanggal 28/2/12= GDP 179 mg/dL; GD 2 jam PP : 247 mg/dl, A1c 6,7%. 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal : resistensi insulin; stimulus kontekstual: riwayat DM 2 tahun yang lalu yang tidak terkontrol; stimulus residual: kurangnya pengetahuan dalam pengelolaan DM. 3.2.1.2 Model Adaptasi Konsep Diri a. Physical Self 1) Pengkajian Perilaku Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 44 a) Sensasi diri: pasien mengeluh tubuhnya terasa lemas dan mudah lelah. Pasien mengatakan badannya semakin kurus, kulit keriput, kakinya penuh luka tidak bagus seperti dulu. Pasien menyatakan menyesal menggunakan alas kaki refleksi yang menyebabkan kakinya kapalan dan luka. b) Body image: pasien hanya merasa sedih dengan kondisi kakinya yang penuh luka dan badannya yang semakin kurus. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: ulkus kaki diabetik, penurunan BB; stimulus kontekstual: hiperglikemia kronis; stimulus residual: koping inefektif. b. Personal Self 1) Pengkajian Perilaku a) Moral/etik/spiritual Pasien beragama Islam dan menurut pasien sampai saat ini dirinya masih berusaha untuk menjalankan kewajibannya sesuai kemampuannya. Pasien sholat ditempat tidur, pasien selalu meminta kesembuhan supaya bisa beraktivitas kembali. b) Self consistency Pasien cenderung lebih banyak diam, melamun namun ketika ditanya pasien mau menjawab. Pasien mengatakan dirinya sedih dan ketakutan akan kehilangan kaki kanannya, pasien cenderung menghindari untuk tidak melihat kakinya saat balutan dibuka. c) Ideal diri Pasien mengatakan sebelum sakit dirinya masih bisa melakukan segalanya sendiri, tapi sekarang setelah sakit mau jalan saja susah. Pasien menginginkan kakinya kembali sembuh, bisa berjalan dan beraktivitas kembali. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: ulkus kaki diabetik; stimulus kontekstual: hiperglikemia kronis; stimulus residual: koping inefektif. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 45 3.2.1.3 Model Fungsi Peran a. Pengkajian Perilaku Peran primer : Ny. T sebagai ibu rumah tangga usia 49 tahun dengan 4 anak, tinggal serumah dengan suami dan anak bungsu, ketiga anak lainnya sudah bekerja. Peran sekunder: saat Ny. Y sakit (sebelum masuk RS), terkadang masih membantu suaminya untuk berjualan dirumah walau sambil duduk. Peran tersier: saat sakit aktivitas rutin Ny. T dimasyarakat menjadi berkurang. Peran sebagai pasien: 2 tahun yang lalu pasien pernah mendapatkan obat hipoglikemia oral, tetapi tidak diminum secara teratur karena merasa badannya sudah merasa nyaman, riwayat hipertensi 20 tahun yang lalu tanpa pengobatan. Riwayat rawat inap dahulu, pasien menolak amputasi. Saat dirawat sekarang, pasien pernah meminta keluarga untuk membelikan makanan diluar, karena merasa bosan dengan makanan yang disajikan RS. Pasien menyatakan pernah mendapatkan penyuluhan tetang diabetes sebanyak 1 kali, tetapi banyak yang lupa isi materi yang telah disampaikan b. Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: kurang pengetahuan tentang DM dan hipertensi serta penatalaksanaan; Stimulus kontekstual: kurang pajanan informasi; Stimulus residual: koping inefektif. 3.2.1.4 Model Adaptasi Interdependen a. Pengkajian Perilaku 1) Receptive behavior Pasien masih sering kepikiran dan merasa sedih dengan kondisi kakinya yang tidak kunjung sembuh, pasien tidak percaya luka di kakinya begitu cepat meluas dan berbau hanya dalam beberapa bulan, terkadang pasien merasa takut jika harus diamputasi dan kehilangan kaki kanannya. 2 tahun sebelum masuk RS pasien di diagnosa DM tipe 2 tetapi tidak melakukan kontrol teratur karena sibuk berdagang dan tidak memahami tentang penatalaksanaan DM. Saat di rawat di RS pasien mendapatkan dukungan dari keluarganya, terutama suaminya yang selalu berada didekat pasien dan merawat pasien membantu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 46 2) Contributive behavior Pasien mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga, tetangga, petugas kesehatan dan teman sekamarnya. b. Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: ulkus kaki diabetik, penyakit kronis, dan terapi jangka panjang; stimulus kontekstual: riwayat DM tidak terkontrol; stimulus residual: koping inefektif. 3.2.2 Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang muncul pada Ny.T adalah sebagai berikut : 3.2.2.1 adaptasi fisiologi 1) Infeksi, risiko sepsis berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, penurunan fungsi leukosit, perubahan sirkulasi darah perifer 2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh menggunakan glukosa, status hipermetabolik, proses infeksi, anoreksia; penurunan masukan oral; 3) Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit 4) Tidak efektifnya perfusi jaringan perifer berhubungan dengan imobilitas, hipertensi, diabetes mellitus, 5) Retensi urin berhubungan dengan neuropati bladder 6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan produksi energi, peningkatan kebutuhan energi, perubahan kimia tubuh, kondisi fisik yang lemah 3.2.2.2 Mode adaptasi konsep diri 7) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan kondisi fisik. 3.2.2.3 Mode adaptasi konsep peran 8) Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang penatalaksanaan DM. 3.2.2.4 Mode adaptasi fungsi interdependensi 9) Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis dan pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan tentang koping yang efektif. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 47 3.2.3 Penetapan Tujuan Penetapan tujuan merupakan penetapan suatu penetapan yang jelas tentang hasil (outcome) perilaku individu yang akan dicapai melalui asuhan keperawatan. Tujuan intervensi keperawatan adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan perilaku adaptif dan untuk merubah perilaku inefektif menjadi perilaku adaptif (Roy & Andrews, 1999). 3.2.4 Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan berfokus pada upaya yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fokus intervensi adalah stimulus yang mempengaruhi perilaku individu, untuk itu intervensi yang dibuat ditujukan untuk mengatur stimulus-stimulus yang ada sehingga dapat meningkatkan adaptasi individu. Manajemen stimulus mencakup upaya merubah, mempertahankan stimulus meningkatkan, menurunkan, menghilangkan atau yang ada. Intervensi keperawatan setiap diagnosa keperawatan tercantum pada tabel 3.2. 3.2.5 Evaluasi Evaluasi keperawatan Teori Adaptasi Roy didasarkan pada perilaku yang diharapkan dibandingkan perilaku yang ditunjukkan seseorang, apakah bergerak kearah pencapaian tujuan (adaptif) atau bertolak belakang dari tujuan yang ditentukan (inefektif). Evaluasi dilakukan setiap hari dan didokumentasikan dalam catatan perkembangan dengan format SOAP. Hasil akhir dari evaluasi keperawatan tercantum dalam tabel 3.2. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 48 Tabel 3.2 Rencana Asuhan Keperawatan, Implementasi dan Evaluasi pada Ny. T NO 1 DIAGNOSA KEPERAWATAN Infeksi, risiko sepsis berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, penurunan fungsi leukosit, perubahan sirkulasi darah perifer ditandai dengan : Kulit kaki kiri kering bersisik, Terdapat calus pada ke dua kaki. sekitar luka teraba hangat. Terdapat ulkus diabetik di tumit dan terdapat luka post op debridement di daerah kruris kanan. Pengkajian PEDIS : (a) Perfusion : Palpasi Arteri dorsalis pedis kanan tidak terkaji, kiri teraba. Palpasi asteri tibialis posterior kanan tidak terkaji, kiri teraba kuat. ABI : kanan tidak terkaji, kiri 0,92. TUJUAN NOC : pertahanan tubuh adekuat, setelah diberikan asuhan keperawatan 10 x 24 jam infeksi dapat teratasi, dengan kriteria hasil : TTV stabil : TD 110120/70-80 mmHg, RR 1624 x/menit, N 60-100 x/menit, S 36,2 – 37,2 0C Tidak terdapat tandatanda sepsis Tidak terjadi perluasan infeksi terutama pada luka ulkus. Tidak ada luka tambahan, terutama pada area yang tertekan CSSC-DFU : Nyeri berkurang, Edema ektremitas berkurang atau hilang, perbedaan suhu kulit pada sisi proksimal minimal (< 20C), produksi eksudat serous & eksudat sanguins, minimal atau tidak ada, tidak ada kegagalan penyembuhan luka, warna granulasi INTERVENSI NIC : Manajemen infeksi Manajemen metabolik Manajemen luka Manajemen nutrisi Vaskuler kontrol Presurres control Aktivitas regulator 1. Obervasi tanda infeksi atau inflamasi (demam, kemerahan pada kulit, drainase luka, urine keruh) tiap 6 jam. 2. monitor TTV terutama suhu dan nilai laboratorium seperti adanya peningkatan leukosit atau tanda infeksi 3. monitor luka secara teratur terhadap perubahan warna, jaga kebersihan kulit 4. manajemen infeksi & luka : a. Lakukan tindakan keperawatan dengan teknik aseptik, pertahankan sterilisasi saat rawat luka b. Debridemen jaringan nekrotik c. Lakukan irigasi luka dengan tehnik 13 psi pada ulkus kaki diabetik (slough) d. Lakukan teknik aseptic saat Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 EVALUASI Setelah 5 hari post op STSG , mode adaptasi fisiologis : proteksi masih inefektif, luka post operasi STSG basah, banyak slough dan pus, kulit donor tidak bisa menempel GDS pasien juga masih tinggi (186g/dl) albumin masih rendah (3,2 g/dl)., Hb:10,2 gr/dl setelah 16 hari perawatan dalam masalah infeksi menunjukkan sebagian perilaku adaptif, dimana tanda-tanda infeksi berkurang : luka post operasi STSG kemerahan (jaringan granulasi), jaringan nekrotik atau slough berkurang, pus minimal (perkembangan luka dalam gambar 3.4 lampiran 4).Hasil laboratorium GDS 116 mg/dl serta albumin darah 3,7 g/dl, HB : 11 gr/dl. Leukosit : 7,5 rb/ul. TD : 120/80 mmHg, P : 80x/mnt, S : 35,6%, RR : 20 x/mnt S : klien menyatakan selalu menjaga kebersihan diri dengan mandi O: Kulit kaki lembab, tidak kering dan 49 (b) Extent : Kaki kanan : terdapat luka post debridement daerah cruris dengan panjang 25 cm dan ulkus di daerah plantar dengan luas 3x4 cm. (c) Depth : fascia, otot (d) infeksi : Terlihat bengkak pada sekitar dosrsal pedis, terdapat seroma dari luka post op debridement, tampak eritema pada 2 cm sekitar luka. Keluar pus dari ulkus diplantar dektra, terdapat slough, mudah berdarah, warna dasar luka merah (jaringan granulasi), berbau, sekitar luka tampak kehijauan. Keluar pus sela digiti 4 dan 5 (e) Sensasi : pasien merasakan baal pada kedua kaki. Nyeri ringan pada luka post merah, jaringan granulasi tidak rapuh, kantong dasar luka berkurang, bau yang menyengat berkurang, kerusakan pada tepi luka berkurang. ABI : 0,9 – 1,3 PT : 10 – 14 detik APTT : 27,4 – 39,3detik D-D-Dimer : 0-300 ng/ml Lekosit : 4000-10000/uL GD puasa: 80 – 100 gr/dl GD 2 jam PP: 80-145 mg/dl A1C < 6,5 % melakukan tindakan invasive 5. manajemen nutrisi: anjurkan untuk menghabiskan diet yang disediakan RS (diet DM 1700 kalori+ RG < 2 gr + protein 80 gr/hr) 6. Presurres kontrol: membersihkan dikedua telapak kaki, kalus meninggikan kaki kanan 15-22 cm dari posisi supinasi untuk mengurangi tekanan dan bengkak Aktivitas kognator : 7. Ajarkan keluarga dan pasien cara mencuci tangan yang benar 8. Anjurkan menjaga kebersihan diri dan lingkungan. 9. Anjurkan dan ajarkan menggunakan kruk untuk ambulasi 10. Ajarkan keluarga dan pasien untuk mengenali tanda-tanda sepsis (badan panas > 38,50C, penurunan kesadaran Kolaborasi : 11. Lakukan pemeriksaan kultur pus 12. Humulin 30/70 :10-0-10 UI 13. Beri terapi antibiotik : Metronidazole 500 mg/8 jam Ceftriaxone 2 gr/ 12 jam 14. Terapi heparin 2x 5000 u Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 pecah-pecah Telapak kaki bersih, tidak ada kalus sekitar luka teraba hangat. Pengkajian PEDIS : o Perfusion : Palpasi arteri dorsalis pedis kanan tidak terkaji, kiri teraba kuat. Palpasi asteri tibialis posterior kanan tidak terkaji, kiri teraba kuat. ABI : kanan tidak terkaji, kiri 1,0 o Extent: Kaki kanan: terdapat luka post STSG daerah cruris dengan panjang 22 cmx5cm dan ulkus di daerah plantar dengan luas 3x4 cm. o Depth : fascia (jaringan granulasi, warna merah) o infeksion: Bengkak pada sekitar dorsal pedis berkurang, tampak eritema pada 1 cm sekitar luka. Tidak tampak pus dari ulkus diplantar kanan dektra, warna dasar luka merah (jaringan granulasi), tidak berbau, o Sensasi : pasien merasakan baal pada kedua kaki. nyeri ringan pada luka post debridement maupun di ulkus daerah plantar. (gambar 3.4 lampiran 4) CSSC-DFU :Nyeri berkurang, edema tidak ada, perbedaan suhu kulit pada sisi proksimal (0,50C), eksudat serous tidak ada, eksudat sanguins 50 2 debridement maupun di ulkus daerah plantar. ABI kanan tidak terkaji, ABI kiri 0,92 Lab tgl 28/2/12 : HB : 7,3 gr/dl, Eritrosit: 2,80 juta/dl, A1C: 6,7 %; GDP 179 mg/dL; GD 2 jam PP: 247 mg/dl, Leukosit 7,4 ribu/ul, LED : 119 mm, PT/ APTT:14,4/ 49,2; DDimer : 600, albumin : 2,90 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh menggunakan glukosa, status hipermetabolik, proses infeksi, anoreksia; penurunan masukan oral ditandai dengan : minimal, warna granulasi merah, jaringan granulasi mudah berdarah, kantong dasar luka berkurang, bau menyengat tidak ada, kerusakan pada tepi luka berkurang. Hasil laboratorium GDS 116 mg/dl serta albumin darah 3,7 g/dl, HB : 11 gr/dl. Leukosit : 7,5 rb/ul. TD 120/80 mmHg, nadi 84 x/mnt. Pemeriksaan laboratorium PT : 14,2 detik, APTT : 45,2 detik, D.Dimer : 300 ng/ml TD : 120/80 mmHg, P : 80x/mnt, S : 35,6%, RR : 20 x/mnt A : masalah teratasi sebagian, sebagian perilaku masih inefektif NOC : intake nutrisi adekuat, setelah diberikan asuhan keperawatan 7 x 24 jam, mampu mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil : Melaporkan adanya keadekuatan energi. Anoreksia (-) Mual/Muntah (-/-) Data Subjektif : Tidak ada penurunan BB Pasien menyatakan tidak Pasien memahami manfaat P : Lanjutkan intervensi : manajemen infeksi, manajemen metabolik, manajemen luka, manajemen nutrisi, presurres control . Pada hari ke 3 perawatan, sebagian NIC : perilaku masih inefektif, pasien Monitoring nutrisi merasakan masih lemes. Perilaku adaptif Manajemen nutrisi nafsu makan sedikit meningkat, makan Kontrol metabolik yang di habiskan ½- ¾ porsi dari yang Aktivitas regulator 1. Monitor pemasukan diet pasien disediakan 3x/sehari setiap kali waktu makan. 2. Identifikasi diet pasien dan Setelah 7 hari perawatan dalam masalah bandingkan dengan pola makan nutrisi ini adalah Ny. T menunjukkan sebagian perilaku adaptif, dimana pasien sekitar 1-2 bulan terakhir. 3. Auskultasi bising usus. Perhatikan telah menghabiskan diet yang diberikan keluhan nyeri abdomen/kembung, padanya, keluhan penurunan nafsu Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 51 nutrisi. nafsu makan Pasien mengatakan bosan Intake nutrisi adekuat (menghabiskan porsi dengan makanan yang disajikan rumah sakit makan yang telah disediakan). Data Objektif : Porsi yang diberikan TD : 110/70 -120/80mmHg hanya habis ½ porsi Hasil laboratorium dalam Penurunan BB 25 kg batas normal : o HB : 12-14 gr/dl dalam waktu 2 tahun, o Protein total : 6,00-8,00 BB: 50 Kg, TB: 150 cm, , gr/dl IMT : 22,2 o Albumin: 3.4 - 4.8gr/dl BBI:(150cm - 100)kgo GD puasa: 80 – 100 gr/dl 10%= 50 kg - 5kg = 45 o GD 2 jam PP: 80-145 kg. mg/dl Laboratorium tanggal o A1C < 6,5 % 28/2/12 : Hb 7,3 gr/dl, o Profil lipid : protein total 6.49, LDL : <100 mg/dl, albumin 2.90 g/dl, HDL : > 40 mg/dl, globulin 3.50 g/dl, A1C = trigliserida : < 150 mg/dl 6,7 %; GDP 179 mg/dL; GD 2 jam PP : 247 mg/dl, LDL : 60 mg/dl, HDL : 42 mg/dl, trigliserida : 85 mg/dl Rambut rontok, konjungtiva anemis RS pasien Di mendapatkan diet DM :1700 kkalori/hr+ RG < 2 gr/hr + protein 80 gr/hr. mual, muntah. 4. Identifikasi makanan yang disukai pasien dan latar belakang budaya. 5. Monitor tanda-tanda hipoglikemi (penurunan tingkat kesadaran, kulit teraba dingin, takikardi dan lemah, berkeringat dingin, sakit kepala, lapar dan pandangan terasa gelap) 6. Menjaga kebersihan mulut pasien Aktivitas kognator : 7. Berikan edukasi kesehatan tentang manfaat nutrisi bagi proses penyembuhan. 8. Motivasi makan dalam porsi kecil tapi sering. Kolaborasi : 9. Periksa gula darah dengan rutin 1/ 2 Jam sebelum makan atau sesuai kondisi. 10. Berikan diet DM 1700 kkal, RG < 2 gr/hr + protein 80 gr/hr 11. Berikan terapi humulin 30/70 :10-010 UI 12. Berikan terapi : Ondancentron 3 x 4 mg. 13. Monitor Hb dan albumin 14. Pemberian transfusi PRC Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 makan tidak ada, pasien juga mengatakan akan berusaha mematuhi diit yang telah dianjurkan bagi kesembuhan dirinya pemeriksaan gula darah sewaktu pasien yaitu 116 mg/dl. Perilaku inefektif masih ditemukan pada hasil albumin darah yang masih rendah (3,2 g/dl), Hb:10,2 gr/dl. S: Pasien mengatakan makan yang disediakan selalu habis, pasien menyatakan mematuhi aturan makan Pasien mengatakan keluhan penurunan nafsu makan tidak ada O: Porsi makan yang disajikan RS dihabiskan Tonus otot baik Energi pasien meningkat pasien mampu mobilisasi duduk dan beraktivitas ringan (makan, berhias) dengan mandiri Keadaan gigi dan mulut bersih GDS 116 mg/dl Albumin 3,2 g/dl Hb:10,2 gr/dl LDL : 65 mg/dl, HDL : 45 mg/dl, trigliserida : 76 mg/dl TD : 120/80 mmHg, P : 80x/mnt A : masalah teratasi sebagian, sebagian perilaku adaptif P : Lanjutkan intervensi 52 3 Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan ditandai : Data subyektif : Mengeluh nyeri pada daerah luka (paha kanan, kruris kanan dan plantar kanan). Pasien menyatakan nyeri bertambah saat dirawat dan saat kaki kanan banyak bergerak Pasien menyatakan nyeri berkurang saat kaki diistirahatkan dengan sedikit ditinggikan Sifat nyeri berdenyut Skala nyeri 6 Data obyektif : Ekspresi wajah menahan saat nyeri, terutama dilakukan perawatan luka. Pasien gelisah dan merengek saat dilakukan perawatan luka Pasien tampak melindungi daerah yang sakit Pasien takut tampak menggerakkan kaki kanannya NOC : Tingkat kenyamanan adaptif. Setelah diberikan asuhan keperawatan 7x 24 jam pasien dapat mengontrol nyeri dengan kriteria hasil : Skala Nyeri 0-3 Nyeri berkurang atau hilang Pasien mampu mendemonstrasikan tindakan untuk mengurangi nyeri Eskpresi wajah relaks Keluhan nyeri berkurang saat perawatan luka atau saat kaki kanan digerakkan Edema pedis kanan berkurang atau hilang Vital sign : Nadi : 60-100x/mnt RR : 14-18x/mnt ABI : 0,90 -1,2 Albumin : 3,5-4,5 PT: 10 – 14 detik APTT : 27,4 – 39,3 detik D-D-Dimer:0-300 ng/ml. GD puasa: 80 – 100 gr/dl GD 2 jamPP:80-145g/dl. monitoring nutrisi manajemen nutrisi Pada hari ke 5 post operasi, kenyamanan NIC : masih inefektif, pasien masih merasakan Manajemen Nyeri nyeri, terutama di daerah donor (paha Manajemen metabolik kanan) Vaskuler kontrol Pada hari ke 7 post operasi sebagian Presurres kontrol perilaku mulai adaptif Analgetic administration S: Manajemen pengobatan pasien mengatakan nyeri berkurang skala nyeri 4 Aktifitas Keperawatan : nyeri hilang timbul, masih terasa Regulator : nyeri saat dilakukan perawatan luka nyeri (lokasi, 1. Monitoring nyeri terbatas di daerah luka karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya O: nyeri dan faktor presipitasi) mempraktekkan pasien mampu 2. Monitoring tanda-tanda vital tehnik relaksasi 3. Amati perlakuan non verbal yang menunjukkan ketidaknyamanan, ekspresi wajah lebih rileks 4. Identifikasi dampak nyeri terhadap Vital sign : TD 120/80mmHg, nadi kualitas hidup (misal:tidur, selera 84 x/mnt, respirasi 18x/mnt. makan, aktivitas, berfikir, mood, dan Daerah donor, kemerahan (granulasi tanggung jawab peran) dan epitelisasi) 5. kontrol faktor lingkungan yang dapat Pasien tidak takut menggerakkan mempengaruhi respon kaki kanannya ketidaknyamanan (misal: Edema kaki berkurang temperature ruangan, cahaya, ABI kiri : 1,0, kanan tidak terkaji kebisingan) Pemeriksaan laboratorium : Leukosit 6. atur posisi senyaman mungkin : 7,5 rb/ul. PT : 14,2 detik, APTT : elevasikan kaki 15-22 cm dengan 45,2 detik, D.Dimer : 300 ng/ml bantalan lunak. A : perilaku pasien sebagian inefektif 7. Motivasi pasien untuk istirahat yang P : lanjutkan intervensi adekuat/tidur untuk memfasilitasi Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 53 TD : 130/80 mmHg, HR : 92x/menit, RR: 22 x/ menit. Pitting edema pedis kanan Lab tgl 28/2/12 : HB : 7,3 gr/dl, Eritrosit: 2,80 juta/dl A1C = 6,7 %; GDP 179 mg/dL; GD 2 jam PP : 247 mg/dl, Leukosit 7,4 ribu/ul, LED : 119 mm, PT/ APTT:14,4/49,2; DDimer : 600, albumin : 2,90 4 Tidak efektifnya perfusi jaringan perifer berhubungan dengan imobilitas, hipertensi, diabetes mellitus ditandai dengan : Data subyektif : Pasien merasa baal dan kesemutan telapak kaki (+) kesemutan sejak 4 bulan yang lalu Data obyektif : ABI Kaki kanan tidak terkaji, ABI kaki kiri 0,92 Pulsasi nadi poplitea A1C < 6,5 % penurunan nyeri 8. Melibatkan keluarga dalam modalitas penurun nyeri, jika mungkin. Monitoring nyeri Manajemen nyeri Manajemen perawatan luka pressure control Kognator : 9. Beri informasi tentang nyeri, misal penyebab nyeri, berapa lama berakhir,antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur. 10. Ajarkan teknik penggunaan nonfarmakologi (relaksasi, imaginasi terbimbing, distraksi, dan pijatan) Kolaborasi : 11. Kolaborasi pemberian gabapentin 100mg/8 jam NIC : Manajemen metabolik Vaskuler kontrol Presurres kontrol Manajemen pengobatan obat NOC : perfusi jaringan adekuat Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 x 24 jam perfusi jaringan menjadi efektif dengan kriteria Hasil : Pasien mengatakan Regulator : pada 1. Monitor sensasi tajam, tumpul dan baal/kesemutan kakinya berkurang panas, dingin, parasthesia, Pulsasi dorsalis pedis/ hipoesthesia tibialis posterior teraba 2. monitor warna kulit, temperatur, kuat hidrasi, tekstur. Pemeriksaaan penunjang : 3. Periksa adanya perubahan pada kaki GDS : 70-140 mg/dl, dan kaji riwayat ulser pada kaki HB : 12-14 gr/dl 4. Monitor kekuatan otot kaki dan ABI : 0,9 – 1,3 pergelangan kaki Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Evaluasi pada hari ke 3 post operasi perfusi jaringan perifer masih inefektif, kaki kanan masih edema, CRT 3 detik, konjungtiva pucat, pasien masih mengeluh kesemutan. Sebagian perilaku adaptif pada hari ke 7 : S: Pasien menyatakan kaku pada persendian dan kebas serta kesemutan berkurang. bisa melakukan Pasien menyatakan beberapa gerakan senam kaki O: pemeriksaan dengan dengan monofilamen 10gr, hasil negatif 54 5 Edema ekstremitas berkurang atau hilang CRT : < 3 detik. PT : 10 – 14 detik APTT : 27,4 – 39,3detik D-D-Dimer : 0-300 ng/ml TD : 120/80 mmHg terutama di daerah tumit dan 2 titik di bawah ibu jari dan kelingking edema kaki kanan berkurang kaki tidak kering sensasi fibrasi (-/-). Pulsasi nadi poplitea kaki kanan dan kiri teraba sama kuat. ABI kiri : 1,0, kanan tidak terkaji Kognator : TD : 120/80 mmHg 9. Anjurkan pasien untuk memakai Hasil Laboratorium : stoking elastis PT : 14,2 detik 10. Diskusikan atau identifikasi APTT : 45,2 detik penyebab sensasi abnormal atau D.Dimer : 300 ng/ml perubahan sensasi.. A : masalah teratasi sebagian, perilaku 11. Jaga kebersihan tempat tidur pasien masih inefektif 12. Periksa sepatu, kantong, dan pakaian apakah ada kerut/lipatan P : lanjutkan intervensi atau benda tajam. Manajemen metabolik 13. Lindungi bagian tubuh dari Vaskuler kontrol perubahan suhu yang ekstrim Presurres kontrol 14. Ajarkan tentang senam kaki diabetik pada kaki yang sehat. Kolaborasi : 15. Humulin 30/70 :10-0-10 UI 16. Beri terapi antibiotic : Metronidazole 500 mg/8 jam Ceftriaxone 2 gr/ 12 jam 17. Terapi heparin 2x 5000 u 18. Captopril 12,5 mg/12 jam Pada hari ke 4 post operasi STSG, Retensi urine berhubungan NOC : pola eliminasi efektif NIC : sebagian perilaku pasien masih inefektif, dengan neuropati bladder di Setelah diberikan asuhan Monitoring cairan pasien belum bisa merasakan dorongan tandai dengan : keperawatan 7 x 24 jam manajemen eliminasi urin untuk berkemih, saat di latih untuk Data subyektif : retensi dapat teratasi, dengan Perawatan cateter urin Kanan : lemah, kiri :kuat Akral hangat Pitting edema kaki kanan uji sentuhan dengan menggunakan semmes monofilamen weinstein 10 gram ditemukan penurunan sensitifitas kaki dan kaki kiri (digiti 1-5 dan di bawahnya), CRT : 3 detik Refleks lutut (+/+), sensasi fibrasi (-/-). Laboratorium tgl 28/2/12 : Hb 7,3 gr/dl, Ht 22%, protein total 6.49, albumin 2.90 g/dl, globulin 3.50 g/dl, A1C = 6,7 %; GDP 179 mg/dL; GD 2 jam PP : 247 mg/dl, PT :14,4 detik, APTT: 49,2 detik; DDimer : 600 ng/ml 5. Palpasi nadi dorsal pedis dan nadi posterior tibial 6. Periksa adanya nyeri pada saat istirahat, nyeri pada malam hari (kladikausio intermitent) 7. Latih senam kaki 8. Elevasikan tungkai 15-22 cm Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 55 Pasien menyatakan 1 bulan sebelum masuk RS pasien merasakan perut bagian bawah (kandung kemih) membesar dan teraba keras, dan mengecil setelah dipasang kateter. Tidak ada keluhan nyeri panas saat berkemih. Data Obyektif : Terpasang dower catether, sejak 1 hari yang lalu, daerah introitus uretra dan vagina bersih, tidak ada kemerahan (eritema) sekitar vulva urine jernih. Tidak ada distensi vesika urinaria Urine out put 1500 cc/24 jam, ureum : 9 mg/dl, creatinin : 0,5 mg/dl 6 Kriteria Hasil : Pasien mampu mendemonstrasikan senam otot dasar panggul. Tidak ada distensi kandung kemih. Pasien menyatakan puas setelah berkemih (tidak ada residu). Daerah perineal bersih perawatan retensi urine perawatan perineal terapi latihan : kontrol otot Regulator : 1. Monitor urine output : jumlah, warna, karakteristik. 2. Monitor keluhan distensi kandung kemih 3. Latih bladder training 4. Berikan perawatan perineal 5. Latih senam otot dasar panggul Kognator : 6. Ajarkan dan anjurkan pasien untuk senam otot dasar panggul Kolaborasi : 7. Pemeriksaan urinalisa 8. Pemeriksaan lumbosakral 9. Intermiten kateter k/p Intoleransi aktivitas NOC : energi adekuat NIC : berhubungan dengan: Setelah dilakukan tindakan Manajemen energi penurunan produksi energi, keperawatan selama 10 x 24 Exercise promotion Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 bladder training. Pada hari ke 7 post operasi STSG sebagian perilaku mulai adaptif S: mengatakan mampu Pasien melakukan senam otot dasar panggul 4-5 kali sehari. Pasien mengatakan merasa lebih bugar dan kuat saat berlatih senam otot dasar panggul. Pasien menyatakan belum merasakan ada dorongan untuk berkemih ketika dilakukan bladder training O: Hasil pemeriksaan lumbosakral dalam batas normal. Kateter dilepas. Perineal bersih A : perilaku pasien sebagian inefektif P : lanjutkan intervensi : Monitoring urine output Terapi latihan kontrol otot dasar panggul, anjurkan untuk tetap melanjutkan latihan selama di rumah 4-5 kali dalam sehari. Anjurkan pasien untuk ketempat pelayanan kesehatan jika mengalami keluhan tidak bisa berkemih Setelah 10 hari perawatan menunjukkan sebagain perilaku pasien mulai adaptif: S : pasien mengatakan tidak mudah letih 56 7 kondisi fisik yang lemah di jam kelelahan pada Ny. T berkurang atau terkontrol tandai dengan : Kriteria Hasil : Data Subjektif : Mengungkapkan peningkatan tingkat Pasien mengatakan lemas dan cepat lelah energi. Menunjukkan perbaikan Data Objektif : kemampuan untuk Pasien terlihat lemah berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan Aktivitas terbatas diatas GD puasa: 80 – 100 gr/dl tempat tidur Konjungtiva anemis GD 2 jamPP:80-145g/dl. TD : 130/80 mmHg, HR : A1C < 6,5 % 88x/menit, RR : 20 x/ menit. Laboratorium tgl 28/2/12 : Hb 7,3 gr/dl, protein total 6.49, albumin 2.90 g/dl (3.4-4.8), globulin 3.50 g/dl, A1C = 6,7 %; GDP 179 mg/dL; GD 2 jam PP : 247 mg/dl. Gangguan citra tubuh NOC berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 10x24 jam perubahan kondisi fisik perawatan diharapakan pasien adaptif tandai dengan : terhadap perubahan pada Data Subjektif : fisiknya, persepsi pasien Pasien manyatakan positif terhadap penampilan dirinya semakin kurus, tubuh sendiri di tandai dengan kulit keriput, kakinya : penuh luka tidak bagus Pasien mampu secara seperti dulu. adaptif dalam penerimaan Pasien menyatakan O: Regulator 1. Diskusikan dengan pasien kebutuhan pasien melaksanakan mampu akan aktivitas. aktivitas ringan (makan, mandi dan Berikan aktivitas alternatif dengan berhias) sehari-hari dengan bantuan periode istirahat yang cukup. minimal, 2. Pantau nadi, frekuensi pernafasan pasien terlihat lebih segar dan tidak dan tekanan darah sebelum/sesudah hanya tiduran, melakukan aktivitas. aktivitas masih terbatas di tempat 3. Tingkatkan partisipasi pasien dalam tidur melakukan aktivitas sehari-hari Vital sign : TD 120/80mmHg, nadi sesuai toleransi. 84 x/mnt, respirasi 20x/mnt, suhu 4. Berikan makanan yang mengandung 36.3°C nutrien sesuai dietnya (diet DM Hb 11 gr/dl, albumin darah 3,7 g/dl 1700 kkal& RG < 2 gr/hr). A : masalah teratasi/ sebagian, perilaku 5. Observasi tanda pasien sebagian inefektif hipoglikemia/hiperglikemia P : lanjutkan intervensi Kolaborasi : Manajemen energi 6. Pantau pemeriksaan GDS, pH danExercise promotion HCO3 7. Berikan humulin 30/70 10-0-10 8. Pemberian transfusi PRC Hasil evaluasi menunjukkan perilaku adaptif dari pasien. S: Pasien mulai menerima kondisinya dan juga kebutuhan pengobatan bagi kelangsungan hidupnya. O: Regulator 1. Kaji respon verbal/non verbal pasien Pasien terlihat lebih tenang ketika berinteraksi dengan tentang tubuhnya praktikan,petugas kesehatan, 2. Dorong pengungkapan perasaan, keluarga dan teman sekamarnya, persepsi dan ketakutan. yang terkadang di selingi dengan 3. Kaji kemampuan pasien teknik NIC : Manajemen pencapaian citra tubuh Manajemen ansietas Manaemen stress Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 57 menyesal menggunakan alas kaki refleksi yang menyebabkan kakinya kapalan dan luka. Data Objektif : Pasien tampak sedih ketika mengungkapkan perasaanya Pasien terkadang menghindar melihat kakinya saat balutan di buka gambaran diri, peran diri dan fungsi interdependen . Pasien mampu beradaptasi dengan kondisinya saat ini Pasien mampu beraktivitas dengn bantuan minimal Pasien mampu adaptif menerima peran sebagai ibu rumah tangga dengan kondisinya sekarang. Pasien mampu adaptif dalam berinteraksi dengan petugas kesehatan , keluarga dan sesama pasien mengurangi kecemasan 4. Dengarkan pasien dengan empati. 5. Identifikasi tingkat kecemasan 6. Tentukan harapan pasien tentang gambaran tubuhnya 7. Berikan penguatan yang positif dalam melakukan aktifitas seharihari 8. Yakinkan pasien dengan sentuhan 9. Berikan lingkungan yang tenang 10. Dorong untuk berpikir rasional dan berpikir posistif 11. Bantu untuk latihan afirmasi 12. Dampingi pasien dan bantu pasien mengidentifikasi situasi yang mencetuskan kecemasan 13. Gunakan pendekatan yang tenang dan pasti. 14. Ciptakan suasana yang mendukung rasa aman/percaya. 15. Dampingi pasien untuk menjelaskan gambaran yang realistis terhadap peristiwa yang akan terjadi. 16. Bantu pasien untuk mengambil/membuat keputusan dalam perawatan dirinya. 17. Motivasi pasien untuk mendekatkan diri pada Tuhan Kognator: 18. Ajarkan tehnik relaksasi. 19. Sediakan informasi yang actual tentang diagnosa, perawatan dan prognosis Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 bercanda. Pasien mau melihat kondisi kakinya ketika balutan di buka Pasien mengatakan dirinya memang masih merasa sedih dengan kondisi kakinya saat ini, namun jika kehendak Tuhan seperti ini dirinya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali melakukan yang terbaik bagi diri dan keluarganya. Pasien yakin, dengan ikhlas terhadap penyakit yang dideritanya sekarang dapat sebagai penggugur dosa. A: masalah teratasi P : pertahankan intervensi 58 8 Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang penatalaksanaan DM di tandai dengan : Data Subjektif: Pasien menyatakan 2 tahun sebelum masuk RS pasien di diagnosa DM tipe 2 tetapi tidak melakukan kontrol teratur karena sibuk berdagang dan tidak memahami tentang penatalaksanaan DM. Data Obyektif : Skor atau nilai DMSES (Diabetes Mellitus Selfefficacy Scale): 115 Skore PTES (Perceived Therapeutic Efficacy Scale): 78 NOC : regimen terapeutik efektif Pasien mampu adaptif dalam fungsi fisiologis endokrin (mampu memahami DM dan penatalaksanaanya) setelah 7 hari dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria hasil : Pasien dan keluarga memahami :1. DM dan komplikasinya.2. aktifitas fisik pasien DM.3. perencanaan makan DM. 4. pemeriksaan kaki dan perawatan kaki DM. 5.cara menyuntikan insulin. Pasien mematuhi diet yang dianjurkan Pasien mematuhi regimen penatalaksanaan DM Pasien dapat menjelaskan kembali dan mendemostrasikan cara menyuntikan insulin, cara menyusun dan memilih 20. Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang perkembangan penyakit, perawatan luka pada kaki 21. Jelaskan kepada pasien menggunakan jaminan untuk biaya rumah sakit bila memungkinkan. NIC : Edukasi dengan pendekatan SEEIP (Self Efficacy Enhancing Intervention Program) Regulator : 1. Bina hubungan saling percaya 2. Tentukan tujuan pendiidkan kesehatan dengan pasien yaitu : memahami tentang DM dan komplikasinya, perencanaan makan, aktivitas fisik, pengobatan dan perawatan kaki diabetik. 3. Libatkan keluarga atau penunggu pasien dalam program pendidikan kesehatan 4. Berikan edukasi dan konseling dengan pendekatan SEEIP. 5. Libatkan dokter dan ahli gizi dalam edukasi dan konseling 6. Lakukan evaluasi pada akhir program pendidikan kesehatan : dengan menanyakan dan menganjurkan pasien untuk mendemonstrasikan kembali cara menyuntikan insulin, cara menyusun dan memilih menu makan diabetisi, perawatan kaki dan senam dan kaki Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Hasil evaluasi menunjukkan perilaku yang adaptif dari pasien S: Pasien mengatakan memahami apa yang telah disampaikan oleh praktikan tentang DM, komplikasinya dan perawatannya. O: Pasien mampu menjelaskan kembali dan mendemostrasikan cara menyuntikan insulin, cara menyusun dan memilih menu makan sesuai diitnya, Pasien mampu mendemonstrasikan cara perawatan kaki Pasien mampu mengikuti gerakan senam kaki pada kaki yang sehat Skor atau nilai DMSES (Diabetes Scale): Mellitus Self-efficacy meningkat menjadi 138 Skore PTES (Perceived Therapeutic Efficacy Scale): meningkat menjadi 110 A: masalah teratasi P : pertahankan intervensi Anjurkan pasien untuk mengikuti edukasi di poliklinik penyakit dalam dan 59 bergabung ke persadia diabetik. menu makan sesuai diitnya, perawatan kaki Kognator : dan senam dan kaki 7. Diskusikan dengan pasien diabetik. programpendidikan kesehatan yang dilakukan, teknik yang digunakan, waktu dan tempat pelaksanaan. 9 Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis dan pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan tentang koping yang efektif ditandai dengan : NOC : koping adaptif Terjadi peningkatan adaptasi terhadap mekanisme koping setelah dilakukan tindakan selama 5x24 jam, dengan kriteria hasil: a. Menyatakan memahami pengaruh kondisi terhadap dirinya. Data subjektif: b. Menyatakan kemauan Pasien menyatakan masih untuk menggunakan belum percaya dengan sumber-sumber yang ada. kondisi kakinya saat ini c. Menggunakan support Pasien mengatakan system yang ada menyesal memakai alas d. Bisa menggunakan kaki rematik yang teknik relaksasi saat membuat kakinya mengalami stressmampu kapalan menggunakan koping yg Pasien mengatakan sedih efektif harus berpisah lama dengan anak bungsunya yang masih kecil Data Obyektif : Pasien tampak sedih ketika mengungkapkan Hasil evaluasi menunjukkan perilaku yang adaptif dari pasien S: Pasien mengatakan walaupun dirinya tidak sekuat dulu lagi tapi akan berusaha untuk tetap sehat sehingga bisa terus Aktifitas Regulator: Eksplorsi koping yang biasa merawat anak dan pasien akan tetap digunakan, dukung koping yang berusaha melakukan aktifitas sesuai dengan kemampuanny, kembali lagi positif. berjualan sayur di rumahnya Identifikasi harapan pasien. Bantu pasien mengidentifikasi O: pasien terlihat lebih tenang, banyak kemampuan dalam mengatasi stress. mendekatkan diri dengan Tuhan ketika Berikan pujian atas koping positif. sedih A: masalah teratasi Aktifitas cognator: Diskusikan tentang koping yang P : pertahankan intervensi efektif Diskusikan peran keluarga dlm merubah perilaku dan membantu pasien dlm beradaptasi & meningkatkan koping efektif. NIC : Peningkatan koping Konseling Pembelajaran individu Jelaskan tentang penyakit & penatalaksanaannya untuk membantu pasien dlm mengambil keputusan. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 60 perasaanya. 10 Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang penatalaksanaan DM di tandai dengan : Data Subjektif: Pasien menyatakan 2 tahun sebelum masuk RS pasien di diagnosa DM tipe 2 tetapi tidak melakukan kontrol teratur karena sibuk berdagang dan tidak memahami tentang penatalaksanaan DM. 2 tahun yang lalu pasien pernah mendapatkan obat hipoglikemia oral, tetapi tidak diminum secara teratur karena merasa badannya sudah merasa nyaman, Riwayat hipertensi 20 tahun yang lalu tanpa pengobatan. Pernah mendapatkan penyuluhan tetang diabetes sebanyak 1 NOC : regimen terapeutik efektif Pasien mampu adaptif dalam fungsi fisiologis endokrin (mampu memahami DM dan penatalaksanaanya) setelah 7 hari dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria hasil : Pasien dan keluarga memahami :1. DM dan komplikasinya.2. aktifitas fisik pasien DM.3. perencanaan makan DM. 4. pemeriksaan kaki dan perawatan kaki DM. 5.cara menyuntikan insulin. Pasien mematuhi diet yang dianjurkan Pasien mematuhi regimen penatalaksanaan DM Pasien dapat menjelaskan kembali dan mendemostrasikan cara menyuntikan insulin, cara menyusun dan memilih menu makan sesuai diitnya, perawatan kaki dan senam dan kaki diabetik. NIC : Edukasi dengan pendekatan SEEIP (Self Efficacy Enhancing Intervention Program) Regulator : 8. Bina hubungan saling percaya 9. Tentukan tujuan pendiidkan kesehatan dengan pasien yaitu : memahami tentang DM dan komplikasinya, perencanaan makan, aktivitas fisik, pengobatan dan perawatan kaki diabetik. 10. Libatkan keluarga atau penunggu pasien dalam program pendidikan kesehatan 11. Berikan edukasi dan konseling dengan pendekatan SEEIP. 12. Libatkan dokter dan ahli gizi dalam edukasi dan konseling 13. Lakukan evaluasi pada akhir program pendidikan kesehatan : dengan menanyakan dan menganjurkan pasien untuk mendemonstrasikan kembali cara menyuntikan insulin, cara menyusun dan memilih menu makan diabetisi, perawatan kaki dan senam dan kaki diabetik. Kognator : 14. Diskusikan dengan pasien programpendidikan kesehatan yang dilakukan, teknik yang digunakan, Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Hasil evaluasi menunjukkan perilaku yang adaptif dari pasien S: Pasien mengatakan memahami apa yang telah disampaikan oleh praktikan tentang DM, komplikasinya dan perawatannya. O: Pasien mampu menjelaskan kembali dan mendemostrasikan cara menyuntikan insulin, cara menyusun dan memilih menu makan sesuai diitnya, Pasien mampu mendemonstrasikan cara perawatan kaki Pasien mampu mengikuti gerakan senam kaki pada kaki yang sehat Skor atau nilai DMSES (Diabetes Scale): Mellitus Self-efficacy meningkat menjadi 138 Skore PTES (Perceived Therapeutic Efficacy Scale): meningkat menjadi 110 A: masalah teratasi P : pertahankan intervensi Anjurkan pasien untuk mengikuti edukasi di poliklinik penyakit dalam dan bergabung ke persadia 61 kali, tetapi banyak yang lupa isi materi yang telah disampaikan waktu dan tempat pelaksanaan. Data Obyektif : Tidak mematuhi diit RS (makan dari luar) Skor atau nilai DMSES (Diabetes Mellitus Selfefficacy Scale): 115 Skore PTES (Perceived Therapeutic Efficacy Scale): 78. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 62 3.3 Pembahasan Berdasarkan Teori Adaptasi Roy Pembahasan asuhan keperawatan pada Ny. T dengan penerapan teori adaptasi Roy, yang dimulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi. Adapun tujuan dari asuhan keperawatan ini sesuai dengan Teori Adaptasi Roy yaitu membantu seseorang untuk beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi selama sehat dan sakit (Perry & Potter, 2005). Kebutuhan terhadap asuhan keperawatan terjadi ketika seseorang tidak dapat beradaptasi terhadap kebutuhan lingkungan internal dan eksternal. Perawat memegang peranan untuk membantu pasien beradaptasi terhadap kebutuhannya tersebut. Berikut ini praktikan akan membahas asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada Ny. T berdasarkan perubahan kebutuhan dari empat model adaptasi menurut Teori Adaptasi Roy. 3.3.1 Mode adaptasi fisiologis Menurut Roy, ada sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus dipenuhi seseorang untuk mempertahankan integritasnya. Dari pengkajian fisiologis tersebut, ada 6 masalah keperawatan yang didapat pada Ny. T, yaitu: 3.3.1.1 Infeksi, risiko sepsis berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, penurunan fungsi leukosit, perubahan sirkulasi darah perifer. Diagnosa keperawatan risiko infeksi didefinisikan sebagai kondisi individu yang mengalami peningkatan risiko terserang organisme patogenik dengan faktor risiko adanya penyakit kronis, imunitas tidak adekuat, pertahanan tubuh primer tidak adekuat (misal: integritas kulit tidak utuh, jaringan yang mengalami trauma), pertahanan tubuh sekunder yang tidak adekuat (misal penurunan HB, leukopenia), malnutrisi, serta pengetahuan yang kurang untuk menghindari pajanan patogen (Herdman, 2011). Peningkatan kadar glukosa darah tidak terkendali menyebabkan abnormalitas leukosit sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh sistem phlagositosis-bakterisid intra selluler. Seperti pada Ny. T yang mempunyai riwayat DM yang tidak terkontrol 2 tahun yang lalu, kondisi ini diperberat dengan masih adanya sumber infeksi berupa osteomilitis di metatarsal V distal dan digiti V phalax I pedis dextra. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 63 Infeksi kulit pada ektremitas bawah merupakan infeksi yang paling sering terjadi. Ulkus kaki terinfeksi biasanya melibatkan mikro organisme, yang tersering terlibat adalah. Stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob (Perkeni, 2011). Menurut Black & Hawk (2005) terdapat 3 faktor yang berkontribusi pada perkembangan infeksi, antara lain : kelemahan fungsi lekosit, neuropati diabetik, dan ketidakcukupan vaskularisasi. Buruknya kontrol glikemik meningkatkan peran dari ketiga faktor tersebut. Lokasi yang mengalami infeksi akan sembuh perlahan karena terjadi kerusakan sistem vaskuler yang tidak bisa membawa oksigen, sel darah putih, nutrisi, dan antibodi ke lokasi yang mengalami infeksi. Ulkus kaki pada Ny.T diawali dengan ketidaktahuan dalam perawatan kaki DM, pasien memakai alas kaki dengan insole yang tajam dan keras (alas kaki refleksi) yang menyebabkan munculnya kalus dan ulkus. Baal yang dirasakan Ny.T karena neuropati sensori, Neuropati sensori akibat kadar glukosa darah tidak terkendali, menimbulkan perubahan jaringan syaraf karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia (neuropati), menurunnya reflek otot, atrofi otot, kulit kering dan hilang rasa (Black & Hawk, 2005). Ny.T juga mengalami neuropati autonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit kering, tampak mengkilat, kulit ujung jari pecah-pecah dan hal ini mudah mengalami perlukaan. Proses terjadinya ulkus kaki pada Ny.T karena tekanan/ beban berat badan, jaringan yang mengalami tekanan berlebihan akan memicu sel syaraf untuk mengirimkan impuls ke otak. Tekanan yang berlebihan akan diartikan sebagai nyeri sehingga tubuh akan berespon untuk mengistirahatkan daerah tersebut. Respon lokal yang terjadi dijaringan tersebut berupa pelepasan fibrin, neutrofil, platelet dan plasma beserta peningkatan aliran yang menyebabkan edema. Edema menekan pembuluh darah kapiler, semakin lama akan menyebabkan iskemik. Jaringan yang iskemik menyebabkan semakin meningkatkan pelepasan mediator inflamasi (James, Timothy & Dirk, 2000). Pengkajian luka: luas ulkus plantar kanan 3 x 4 cm, grade II karena luka telah mencapai jaringan sub kutis yang meliputi fasia dan otot. Ditemukan cairan serosapurulenta dari ulkus, bau, maserasi di kulit sekitar luka. Kondisi ini di akibatkan oleh beberapa faktor Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 64 antara lain buruknnya pasokan darah ke ekstremitas bagian bawah menyebabkan sulitnya penyembuhan jaringan lunak yang luka. Pada pemeriksaan Ny. T menunjukkan kaki kanan edema, pucat, pengosongan pembuluh perifer 3 detik, nadi poplitea kaki kanan teraba lebih kecil di banding yang kiri. Pada pemeriksaan Doppler sonografi didapatkan nilai ABI (Ankle Brakhial Indeks) kaki kanan tidak terkaji, kaki kiri nilai 0,92 , albumin : 2,9, HB : 10, 2 gr/dl, masih adanya sumber infeksi, dari hasil foto rontgen pedis di ketemukan osteomilitis metatarsal V distal dan digiti V phalanx I pedis dextra (gambar 3.3, lampiran 3). Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah infeksi, risiko sepsis pada Ny.T adalah dengan melalui aktifitas regulator dan cognator yang meliputi manajemen infeksi, manajemen metabolik, manajemen luka, manajemen nutrisi, kontrol tekanan dan edukasi. Beberapa intervensi keperawatan yang dilakukan pada Ny. T berupa manajemen luka yaitu melakukan perawatan luka yang aseptik dan antiseptik, membuang jaringan terinfeksi dan nekrotik secara teratur. Perawatan luka pada Ny.T dilakukan dengan menggunakan cairan normal saline yaitu NaCl 0.9%. Pembersihan menggunakan cairan ini menurut Nursing Best Practice Guidline (2005) dilakukan pada luka dengan infeksi, karena cairan ini dapat membersihkan debris luka. Pada ulkus pedis yang terdapat slough dilakukan irigasi dengan tekanan 13 psi, berdasarkan penelitian dari Joanna Briggs Institute (2006) irigasi dengan tehnik 13 yang statistik mampu menurunkan infeksi (p=0.017) dan inflamasi (p=0.034). Kontrol metabolik, yaitu dengan pengendalian keadaan metabolik sebaik mungkin seperti:, pemantauan kadar glukosa darah, karena bila kadar gula darah tidak terkontrol bahkan lebih dari 300 mg/dl akan mempersulit penyembuhan luka. Humulin 30/70 :10-0-10 UI, merupakan jenis insulin campuran insulin kerja pendek dan kerja menengah, manfaat Insulin, selain dapat memperbaiki status metabolik dengan cepat, terutama kadar glukosa darah, juga memiliki efek lain yang bermanfaat, antara lain perbaikan inflamasi. Intervensi kontrol vaskuler yaitu memperbaiki suplai vaskuler dengan kolaborasi pemberian heparin 5000 u/ 12 jam, untuk memperbaiki aterosklerotik. Intervensi kontrol tekanan, dengan meninggikan kaki 15-22 cm dari posisi supinasi dan mencegah penekanan pada luka, menganjurkan pasien berjalan dengan bantuan kruk, dengan kaki kanan tidak untuk menumpu berat badan. Tindakan pencegahan untuk mencegah luka baru dengan memberikan lotion atau kream Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 65 pada kaki yang kering dan pecah-pecah di sekitar luka kecuali di celah-celah antara jarijari kaki sehingga tidak menambah luas luka. Kontrol infeksi: dengan memberikan ceftriaxone 2 x 1 g dan metronidazole 500 mg/8 jam. Ceftriaxone bersifat bakterisidal, metronidazole untuk bakteri yang bersifat anaerob. Hasil evaluasi pada Ny. T Pada post operasi STSG hari ke lima, luas luka pada kruris kaki kanan 25 x 6 cm2. Kulit donor terlihat tidak menempel, diketemukan slough dan pus di kulit donor. Ulkus pada plantar pedis kanan masih berbau, masih terdapat slough, mudah berdarah pada jaringan granulasi, pasien direncanakan untuk pemeriksaan atherografi, akan tetapi karena faktor keterbatasan ekonomi, pemeriksaan tersebut tidak dilakukan. Setelah 16 hari perawatan, menunjukkan sebagian perilaku adaptif, dimana tanda-tanda infeksi berkurang: luka post operasi STSG kemerahan (jaringan granulasi), Slough berkurang, (perkembangan luka dalam gambar 3.4 lampiran 4). ABI: kanan tidak terkaji, kiri 1,0, hasil laboratorium GDS 116 mg/dl serta albumin darah 3,7 g/dl, HB : 11 gr/dl. leukosit : 7,5 rb/ul, PT : 14,2 detik, APTT : 45,2 detik, D.Dimer : 300 ng/ml Kriteria waktu yang ditetapkan tidak sesuai dengan hasil, hal ini diakibatkan keterlambatan penyebuhan luka, akibat faktor internal (hipoalbumin, hiperkoabilitas, hiperglikemia yang belum terkontrol) dan faktor ekternal infeksi). Saat pasien pulang, mode fisiologi proteksi masih inefektif. Rekomendasinya anjurkan dan motivasi pasien untuk kontrol ke poliklinik secara teratur, ajarkan cara pencegahan infeksi. Menurut praktikan perlu ada upaya sistem rujukan untuk menyelesaikan masalah ini, karena banyak pasien dengan ulkus kaki diabetik yang pulang paksa karena alasan keterbatasan biaya. Kerjasama dengan keperawatan komunitas untuk melanjutkan program perawatan sangat di harapkan untuk mengatasi komplikasi yang diakibatkan infeksi akibat perawatan yang tidak tuntas. 3.3.1.2 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh menggunakan glukosa, status hipermetabolik, proses infeksi, anoreksia, penurunan masukan oral. Perubahan nutrisi adalah resiko terjadinya keadaan individu yang mengalami asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Batasan karakteristik untuk menegakkan diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah menghindari makan, Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 66 kurang minat terhadap makan, kehilangan rambut yang berlebihan, tonus otot menurun, serta melaporkan asupan makanan yang tidak adekuat (Herdman, 2011). Pada Ny. T ditemukan data tidak adekuatnya intake nutrisi dimana pasien hanya makan ½ porsi yang diberikan, menyatakan tidak nafsu makan, bosan dengan makanan yang disajikan dari RS, terjadi penurunan berat badan 25 kg dalam 2 tahun terakhir, klien mempunyai riwayat DM sejak 2 tahun yang lalu yang tidak terkontrol dan riwayat hipertensi sejak 20 tahun yang lalu yang tidak terkontrol. BB sekarang : 50 Kg, TB: 150 cm, IMT : 22,2, rambut rontok, konjungtiva anemis, tonus otot lembek, badan lemah. Hasil laboratorium tanggal 28/2/12: Hb 7,3 gr/dl, protein total 6.49, albumin 2.90 g/dl, globulin 3.50 g/dl, A1C = 6,7 %; GDP 179 mg/dL; GD 2 jam PP : 247 mg/dl. Menurut Roy, perilaku adaptif pada pemenuhan nutrisi ditunjukkan adanya kemampuan beradaptasi pada digestif dan metabolisme (Roy & Andrew, 1999). Penurunan BB yang cepat, keluhan badan lemah dan cepat lelah pada Ny. T akibat hiperglikemia dan riwayat DM yang tidak terkontrol. Kondisi tersebut akibat resistensi insulin sehingga glukosa tidak terdistribusikan ke sel-sel yang mengakibatkan starvasi sel, kurangnya nutrisi pada jaringan tubuh, yang mengakibatakan tubuh menjadi mudah lelah dan lemah, produksi energi turun. Penurunan energi tersebut menstimulasi rasa lapar, dan seseorang makan dengan jumlah lebih banyak (poliphagi). Ketika kadar insulin menurun, terjadi peningkatan produksi glukagon yang menyebabkan glikogenolisis (pemecahan glikogen yang disimpan dihati menjadi glukosa) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa selain dari karbohidrat, yang diperoleh dari protein dan lemak). Sehingga walaupun pasien DM banyak makan, pasien mengalami penurunan berat badan yang cepat. Pembentukan glukosa dari simpanan lemak akan menyebabkan peningkatan asam lemak bebas yang ditandai dengan peningkatan profil lipid (Black & Hawk, 2005; LeMone & Burke, 2008). Pada Ny. T profil lipid masih dalam batas normal LDL : 60 mg/dl, HDL : 42 mg/dl, trigliserida : 85 mg/dl, akan tetapi perlu diwaspadai komplikasi penyakit vaskuler karena Ny. T mempunya riwayat hipertensi selama 20 tahun yang tidak terkontrol. Ny. T mengalami hipoalbumin, dari hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 28/2/12 protein total 6.49, albumin 2.90 g/dl, globulin 3.50 g/dl Hipoalbuminemia merupakan Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 67 masalah yang sering dihadapai pada pasien dengan penyakit kronik, seperti DM. Albumin merupakan protein serum dengan jumlah paling besar yaitu 50 % dari seluruh protein tubuh.. Albumin menjaga tekanan onkotik koloid plasma sebesar 75-80 %. Jika terjadi hipoalbumin maka akan terjadi ketidakseimbangan tekanan hidrostatik yang akan menyebabkan terjadinya edema. Fungsi albumin yang lain adalah sebagai transport berbagai macam substasi termasuk bilirubin, asam lemak, logam, ion, hormone, dan obatobatan. Hipoalbumin yang terjadi pada Ny. T disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kekurangan intake protein yang dilihat dari riwayat intake nutrisi yang inadekuat (anoreksia). Defesiensi intake protein terjadi kerusakan pada reticulum endoplasma sel yang berpengaruh pada sintesis albumin dalan sel hati. Penyebab hipoalbumin lainnya akibat peningkatan pengeluaran albumin karena inflamasi akut ataupun kronis. Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat respon inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, bedah, trauma) mengakibatkan penurunan kadar albumin melalaui mekanisme: (1) Peningkatan permeabilitas vascular (albumin berdifusi ke ekstravaskular); (2) Peningkatan degradasi albumin; (3) Penurunan sintesis albumin (TNF-α yang berperan dalam penurunan trankripsi gen albumin) (Black & Hawk, 2005). Tujuan terapi gizi medis pada pasien diabetes melitus tipe II membantu memperbaiki kebiasaan gizi, mempertahankan glukosa darah, mencapai kadar serum lipid optimal, memberikan energi yang cukup, mencapai berat badan yang memadai dan menghindari terjadinya komplikasi (Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2011). Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah perubahan nutrisi pada Ny.T adalah dengan melalui aktifitas regulator dan cognator yang meliputi monitoring nutrisi, manajemen nutrisi dan edukasi dengan pendekatan SEEIP tentang pentingnya diit yang dianjurkan untuk kesembuhan penyakit, hal ini diharapkan agar terjadi perubahan prilaku pada pasien dan keluarga agar dapat menyadari faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhannya terhadap kebutuhan nutrisi. Tindakan kolaborasi meliputi penyediaan diet DM 1700 kkal, RG < 2 gr/hr + protein 80 gr/hr, humulin 30/70 :10-0-10 UI, Ondancentron 4 mg/ 8 jam, dan monitor Hb dan albumin. Diet DM 1700 kalori pada Ny T diberikan berdasarkan Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 68 penghitungan rumus Brocca, yang dikoreksi berdasarkan faktor jenis kelamin, usia, aktivitas dan stress metabolik. Makanan dibagi dalam 3 porsi besar : makan pagi (20%), makan siang (30%), makan sore (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makanan besar. Distribusi makanan berdasarkan konsesus Perkeni (2011) yaitu : 1) Karbohidrat 45%- 65% (191,25 – 276,25 gram); 2) Lemak 20-25% (37,8 – 47,2gram); protein 10-20 % (42,5-85 gram). Tidak ada perubahan distribusi makanan, karena profil lipid dan fungsi ginjal pasien masih dalam batas normal. Pasien diberikan diet rendah garam < 2gr/hari, karena pasien juga mengidap hipertensi, intervensi yang di berikan kepada Ny. T berupa penyuluhan pembatasan sumber natrium. Hipoalbumin dikoreksi dengan pemberian protein 80 gr/hari. Kebutuhan protein dalam keadaan stress metabolik yaitu > 1.5 gram /KgBB, dengan keadaan fungsi ginjal dan hati yang normal. Pemberian protein diperoleh dari pemberian ekstra putih telur selama di RS dan menganjurkan keluarga memberikan ikan gabus (dengan tetap memperhatikan diit RG < 2gr/hari), untuk variatif menu, mengantisipasi kebosanan pada pasien. Berdasarkan penelitian Supriyatno (2003) konsumsi ikan gabus (Ophiochepalus striatus) meningkatkan kadar albumin darah pasien pasca operasi dapat mempercepat penyembuhan luka hingga 30% (dari rerata 10 hari menjadi 7 hari). Untuk mengatasi anemia pada Ny. T penatalaksanaanyanya berupa kolaborasi pemberian PRC (Packet Red Cel)sebanyak 600 cc. Hasil evaluasi pada Ny. T hari ke-3 sebagian perilaku masih inefektif, pasien merasakan masih lemes, pasien menyatakan bosan dengan makanan yang disajikan, karena rasanya hambar. Perilaku adaptif nafsu makan sedikit meningkat, makan yang dihabiskan ½- ¾ porsi dari yang disediakan. Setelah 7 hari perawatan dalam masalah nutrisi ini adalah Ny. T menunjukkan sebagian perilaku adaptif, dimana pasien telah menghabiskan makan yang disediakan RS, keluhan penurunan nafsu makan tidak ada, pasien juga mengatakan akan berusaha mematuhi diit yang telah dianjurkan bagi kesembuhan dirinya. Perilaku inefektif masih ditemukan pada hasil pemeriksaan gula darah sewaktu pasien yaitu 116 mg/dl serta albumin darah yang masih rendah (3,2 g/dl). 3.3.1.3 Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan. Nyeri adalah sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual atau potensial, kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan (Herdman, 2011). Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 69 Rasa nyeri disebabkan oleh kerusakan jaringan, kondisi ini menyebabkan impuls nyeri yang berasal dari nosiseptor disalurkan ke SSP melalui serat aferen. Pada kondisi peradangan akibat cedera jaringan, akan terjadi pengaktifan oleh zat-zat kimia, terutama bradikinin (suatu zat yang dalam keadaan normal inaktif dan diaktifkan oleh enzimenzim yang dikeluarkan ke dalam CES oleh jaringan yang rusak) yang menstimulasi nosiseptor polimodal sebagai jalur nyeri lambat (Price & Wilson, 2008). Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah infeksi, risiko sepsis pada Ny.T adalah dengan melalui aktifitas regulator dan cognator yang meliputi, manajemen nyeri, kontrol metabolik, kontrol vaskuler kontrol, presurres kontrol, analgetik administration, manajemen pengobatan. Manajemen nyeri yang dilakukan antara lain mengajarkan tehnik relaksasi, nafas abdomen dengan frekuensi lambat, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri punggung dan nyeri pasca operasi (Lorenti, 1991; Miller & Perry, 1990). Memberikan tehnik distraksi, yaitu memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain rasa nyeri, tehnik ini menjadi strategi yang sangat berhasil dalam menurunkan tingkat nyeri (Fabio et al, 2006). Tindakan kolaborasi pemberian obat neuralgia gabapentin 100mg/8 jam, yang diindikasikan untuk nyeri pada neuropati diabetik. Hasil evaluasi pada hari ke 5 post operasi, kenyamanan masih inefektif, pasien masih merasakan nyeri terutama di daerah donor (paha kanan). Pada hari ke 7 post operasi sebagian perilaku mulai adaptif pasien mengatakan nyeri berkurang, skala nyeri 4, nyeri hilang timbul, masih terasa nyeri saat dilakukan perawatan luka, nyeri terbatas di daerah luka, pasien mampu mempraktekkan tehnik relaksasi, ekspresi wajah lebih rileks, vital sign: TD 120/80mmHg, nadi 84 x/mnt, respirasi 18x/mnt. Rekomendasi: anjurkan pasien melakukan tehnik relaksasi seperti yang telah diajarkan sebelumnya, anjurkan pasien untuk meninggikan kaki kanannya 15-22 cm, anjurkan pasien tidak menumpu pada kaki yang sakit saat berjalan, anjurkan untuk kontrol kakinya secara teratur. 3.3.1.4 Tidak efektifnya perfusi jaringan perifer berhubungan dengan hiperkoabilitas, hipertensi, diabetes mellitus. Penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat mengganggu kesehatan dengan batasan karakteristik edema, denyut nadi lemah atau tidak ada, perubahan sensasi, perubahan suhu kulit, keterlambatan penyembuhan luka perifer, Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 70 pulsasi arteri kurang, warna kulit pucat, warna tidak kembali pada penurunan kaki, nyeri ekstremitas, klaudikasi, perubahan karakteristik kulit (warna, elastisitas, rambut, kelembaban, kuku, sensasi, suhu) (Herdman, 2011). Pada Ny. T diketemukan tanda dan gejala berupa baal dan kesemutan ditelapak kaki, pengkajian ABI (Ankle Brakial Index) kaki kanan tidak bisa terkaji, karena terdapatnya luka di dorsal pedis dan daerah tibialis posterior, ABI kaki kiri 0,92. ABI merupakan pemeriksaan membandingkan tekanan sistolik ankle dengan brachial, yang berguna untuk menentukan perfusi arteri ekstremitas. Menurut Mohler (2003), nilai ABI >1,30 menggambarkan tidak ada kompresi pembuluh darah, nilai ABI 0,91-1,30 normal, nilai ABI 0,41-0,90 PAD ringan sampai sedang, ABI 0,00-0,40 PAD berat. Ny. T mempunyai riwayat hipertensi 20 tahun yang lalu, dimana hipertensi meningkatkan risiko terjadinya PAD 10% pada suatu studi (Faxon, 2004). Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi insulin/ sindrom metabolik dan sering menyertai DM tipe 2. Hipertensi akan memperberat disfungsi endotel dan meningkatkan risiko penyakit jantung koroner. Hipertensi disertai stres oksidatif dan aktivitas spesies oksigen radikal, yang selanjutnya akan memediasi terjadinya kerusakan pembuluh darah akibat aktivasi angiotensin II dan penurunan aktivitas enzim super oxide dismutate (Sudoyo, 2006) Ny. T mengalami hiperkoagulabilitas, dilihat dari hasil pemeriksaan D dimer mengalami peningkatan (600mg/ml). D-dimer adalah suatu jenis uji sampel darah di laboratorium yang bertujuan untuk membantu melakukan diagnosis penyakit dan kondisi yang menyebabkan hiperkoagulabilitas: suatu kecenderungan darah untuk membeku melebihi ukuran normal. Salah satu kondisi yang umum ditemukan adalah pada trombosis vena dalam (DVT/ deep vein thrombosis) yang berhubungan dengan pembekuan darah di dalam pembuluh darah balik (vena) di dalam tubuh terutama di kaki yang menyebabkan penyumbatan alirah darah di kaki sehingga menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan Carr, 2001). Pada diabetes melitus terjadi keadaan hiperkoagulabilitas dengan aktivasi trombosit yang bersifat kronik, pengaktifan sistem koagulasi dan penurunan fibrinolisis (Carr, 2001). Pada penderita DM terjadi peningkatan substansi yang mengaktivasi trombosit dan substansi yang menyebabkan vasokonstriksi. Perubahan-perubahan pada sel endotel tersebut akan menyebabkan peningkatan produksi dari tissue factor (TF), substansi Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 71 prokoagulan utama yang ditemukan pada plak aterosklerotik, juga berhubungan dengan aktivasi dan agregasi dari trombosit (Yngen, 2005). Pada penderita DM, terjadi kerusakan endotel pembuluh darah sehingga terjadi keadaan hiperfungsi trombosit serta penurunan dari mekanisme anti agregasi. Pasien dengan peningkatan jumlah trombosit yang patologis (trombositosis) memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit thrombosis (Yngen, 2005). Risiko trombosis vena pada Ny. T dapat diperberat dengan riwayat imobilisasi yang lama atau stasis vena. Stasis mengganggu pembersihan faktor koagulasi aktif dan membatasi aksesbilitas trombin di vena menempel ke trombomodulin. Protein ini terdapat dalam densitas terbesar di pembuluh darah kapiler (Yngen, 2005). Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakefektifan perfusi jaringan perifer pada Ny.T adalah dengan melalui aktifitas regulator dan cognator yang meliputi manajemen metabolik, vaskuler kontrol dan presures kontrol, yaitu dengan monitor sensasi tajam, tumpul dan panas, dingin; Inspeksi warna kulit, temperatur, hidrasi, tekstur; palpasi nadi dorsal pedis dan nadi posterior tibial; periksa adanya perubahan bentuk pada kaki; monitor kekuatan otot kaki dan pergelangan kaki; monitoring nadi dorsal pedis dan nadi posterior tibial periksa adanya nyeri pada saat istirahat, nyeri pada malam hari,mengajarkan senam kaki, anjurkan klien untuk memakai stoking elastis, mengelevasikan kaki 15-22 cm, ajarkan pasien tetang perawatan kaki, melakukan kolaborasi dengan dokter pemberian humulin 30/70 : 10-0-10 UI, terapi heparin 5000 U/12 jam dan captopril 12,5 mg/12 jam, untuk memperbaiki metabolik dan kontrol vaskulernya. Salah satu intervensi keperawatan yang diberikan adalah dengan mengajarkan dan memotivasi pasien untuk tetap melakukan senam kaki diabetik pada kaki yang sehat dan mobilisasi. Senam kaki harus dilakukan secara teratur, minimal lima kali dalam sehari. Tujuannya adalah melancarkan aliran darah kaki sehingga nutrisi untuk jaringan lebih lancar, menguatkan otot betis dan telapak kaki sehingga sewaktu berjalan kaki menjadi lebih stabil, menambah kelenturan sendi sehingga kaki terhindar dari sendi kaku, memelihara fungsi saraf latihan ini bermanfaat agar koordinasi gerak tetap terpelihara, meningkatkan ketahanan jantung dan paru sehingga daya tahan aktivitas fisik bertambah, Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 72 menambah toleransi jalan, dan meningkatkan skill dan motivasi. Indikator yang dapat digunakan untuk melihat perbaikan vaskularisasi pembuluh darah kaki dengan diberikannya intervensi senam kaki diabetik adalah perbaikan dari nilai ABI dan monofilamen 10 gr (National Diabetes Education Program, 2008). Mengelevasikan kaki 15-22 cm dan menganjurkan menggunakan stoking elastis membantu memberikan kompresi otot betis yang dapat menghindari penumpukan darah vena diekstremitas bawah (Tossaddak, 1998). Pasien rencanakan angiografi, tetapi karena keterbatasan ekonomi, tindakan tersebut tidak dilakukan. Kolaborasi pemberian heparin sebagai antikoagulan meingkatkan efek antitrombin III dalam menetralkan trombin dan protease serum (Tossaddak, 1998). Captopril sebagai ACE inhibitor mencegah produksi angiotensi II, sejenis vasokonstrikstor kuat yang menstimulasi produksi aldosteron dengan menghambat proses konversinya ke bentuk aktif. Akibatnya adalah vasodilatasi sistemik. Hasil evaluasi pada Ny. T ke 3 post operasi perfusi jaringan perifer masih inefektif, kaki kanan masih edema, CRT 3 detik, konjungtiva masih pucat, pasien masih mengeluh kesemutan. Pasien menunjukkan sebagian perilaku adaptif, yaitu mampu mengikuti gerakan senam kaki dan gerakan peregangan ekstremitas atas. Setelah hari ke-7 hari post operasi dimana keluhan kaku pada persendian dan kebas serta kesemutan berkurang, pemeriksaan dengan dengan monofilamen 10 gr, hasil negatif terutama di daerah tumit 2 titik di bawah ibu jari dan kelingking, edema kaki kanan berkurang, kaki tidak kering, sensasi fibrasi (-/+), pulsasi nadi poplitea kanan dan kiri teraba kuat. ABI kiri: 1,0. Tekanan darah : TD 120/80 mmHg, nadi 84 x/mnt. Pemeriksaan laboratorium PT: 14,2 detik, APTT: 45,2 detik, D.Dimer: 300 ng/ml. Rekomendasi intervensi tindak lanjut pasien dianjurkan tetap melakukan senam kaki diabetes, menggunakan stoking elastis, menganjarkan memakai kruk saat berjalan menghindari penekanan berlebihan pada kaki kanan (off loading), anjurkan untuk kontrol DM dan hipertensinya secara teratur. 3.3.1.5 Retensi urine berhubungan dengan neuropati bladder. Retensi urin yaitu tidak dapat mengosongkan urin secara tuntas. Karakteristiknya: palpasi vesika urinaria terasa tegang, sakit saat buang air kecil, sampai dengan tidak keluarnya urin sama sekali (Herdman, 2011). Neuropati otonom sering mempengaruhi organ yang mengontrol buang Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 73 air kecil dan fungsi seksual. Kerusakan saraf dapat menggangu pengosongan kandung kemih, sisa urine dalam kandung kemih dapat memungkinkan bakteri tumbuh di kandung kemih yang menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika saraf kandung kemih yang rusak, inkontinensia dan retensi urin terjadi karena seseorang tidak dapat merasakan saat kandung kemih penuh atau tidak dapat mengontrol otot-otot spinkter urine untuk mengeluarkan urin (National Diabetes Information Clearinghouse, 2008). Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah retensi urin pada Ny.T adalah dengan melalui aktifitas regulator dan cognator yang meliputi : monitoring cairan, manajemen eliminasi urin, perawatan selang urin, perawatan retensi urine, perawatan perineal, bladder training, terapi latihan: kontrol otot dasar panggul (kegel exercise), yaitu gerakan seperti menahan kencing yang ditahan selama 3 detik kemudian rileks, latihan ini diulang 10-15 kali tiap sesi, dianjurkan untuk dilakukan 3 atau lebih dalam sehari, menganjurkan pasien untuk memakai pakaian yang longgar tidak menekan kandung kemih (Healthwise, 2011). Hasil evaluasi pada Ny. T, hari ke 3 post operasi STSG, sebagian perilaku pasien masih inefektif, pasien belum bisa merasakan dorongan untuk berkemih, saat di latih untuk bladder training. Pada hari ke-7 post operasi STSG sebagian perilaku mulai adaptif, pasien mengatakan mampu melakukan senam otot dasar panggul 4-5 kali sehari, Pasien belum merasakan ada dorongan untuk berkemih saat dilakukan bladder training. Rekomendasi : anjurkan pasien untuk melanjutkan latihan/senam otot dasar panggul, anjurkan segera datang ke tempat pelayanan kesehatan jika merasakan keluhan dalam berkemih. 3.3.1.6 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan produksi energi, peningkatan kebutuhan energi, perubahan kimia tubuh, kondisi fisik yang lemah, anemia. Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau ingin dilakukan dengan batasan karakteristik menyatakan letih, lemah, ketidaknyamanan setelah beraktivitas (Herdman, 2011). Pada Ny. T ditemukan data pasien mengeluh lemas dan cepat capek, aktivitas terbatas di atas tempat tidur, pasien juga mengalami anemia dengan kadar Hb 7,3gr/dl. Pada pasien diabetes melitus terdapat ketidakmampuan Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 74 untuk menghasilkan insulin dan terjadi resistensi insulin sehingga glukosa tidak bisa masuk ke dalam otot hal ini akan mengakibatkan menurunnya simpanan kalori sehingga menyebabkan kelelahan dan kelemahan, kondisi ini diperberat dengan adanya anemia pada Ny. T. Anemia adalah penurunan konsentrasi hemoglobin atau sel darah merah kurang dari normal dengan tanda HB <13 gr/dl pada laki-laki, <12 gr/dl pada perempuan, dan hematokrit < 40% pada laki-laki dan < 36% pada perempuan. Kemungkinan penyebab terjadinya anemia pada Ny. T antara lain,penurunan produksi sel darah merah akibat riwayat intake nutrisi (Fe, vitamin B12, asam folat) yang kurang, ataupun akibat karena blood loss dari ulkus dan luka post debridement ataupun akibat riwayat penggunaan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDS) seperti aspirin. Pada kondisi anemia, dimana tidak adekuatnya jumlah hemoglobin yang mengikat 02 untuk diedarkan keseluruh tubuh untuk proses metabolisme, akan menyebabkan tanda dan gejala berupa pucat, badan lemah dan mudah lelah, kondisi ini juga terjadi pada Ny. T. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi intoleransi aktivitas pada Ny.T adalah melakukan sejumlah aktivitas regulator dan cognator yang terdiri dari manajemen energi dan exercise promotion. Intervensi yang di berikan antara lain yaitu membantu perawatan diri pasien, melakukan manajemen anemia dan mengajarkan teknik untuk mengurangi kelelahan dan menghemat energi dengan cara mencari alternatif perawatan diri sesuai dengan kemampuan pasien. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai toleransi. Berikan makanan yang mengandung nutrien sesuai dietnya (diet DM 1700 kkal& RG < 2 gr/hr),observasi tanda hipoglikemia/hiperglikemia. Hasil evaluasi setelah 10 hari perawatan menunjukkan perilaku pasien mulai adaptif dimana pasien mengatakan keluhan kelemahan berkurang, pasien tidak mudah letih, pasien mampu melaksanakan aktivitas ringan (makan, mandi dan berhias) sehari-hari dengan bantuan minimal, pasien terlihat lebih segar dan tidak hanya tiduran, hasil laboratorium : albumin darah 3,7 g/dl, HB : 11 gr/dl. Vital sign : TD 120/80 mmHg, nadi 84 x/mnt, respirasi 20x/mnt, suhu 36.3°C. 3.3.2 Mode adaptasi konsep diri Berdasarkan Teori Adaptasi Roy, konsep diri terdiri dari dua komponen yaitu physical self yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 75 tubuhnya, serta personal self yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, spiritual dan perasaan cemas. 3.3.2.1 Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan kondisi fisik. Gangguan citra tubuh merupakan konfusi pada gambaran mental dari fisik diri seseorang dengan batasan karateristik dalam menegakkan masalah tersebut adalah terdapat perubahan aktual pada fungsi dan struktur depersonalisasi bagian tubuh yang hilang, takut atau penolakan dari orang lain, berfokus pada kekuatan atau penampilan di masa lalu, perubahan kemampuan baik fisik maupun interaksi sosial, kehilangan bagian tubuh, menunjukkan keengganan melihat atau menyentuh bagian tubuh yang sakit. Intervensi yang dilakukan praktikan untuk mengatasi masalah gangguan citra tubuh pada Ny. T adalah dengan melakukan aktivitas untuk meningkatkan mekanisme koping regulator dan cognator, diantaranya dengan mendorong pasien untuk mengutarakan perasaan dan ketakutan yang dirasakannya, membagi perasaannya dengan keluarga, mendiskusikan tentang penyakit dan pentingnya program pengobatan DM serta menganjurkan keluarga untuk selalu memberikan dukungan kepada pasien. Hasil evaluasi menunjukkan, setelah 10 hari perawatan perilaku pasien dalam mode konsep diri mulai adaptif. Pasien mulai menerima kondisinya dan juga kebutuhan pengobatan bagi kelangsungan hidupnya. Pasien terlihat lebih tenang ketika berinteraksi dengan praktikan, petugas kesehatan, keluarga dan teman sekamarnya, yang terkadang di selingi dengan bercanda. Pasien mau melihat kondisi kakinya ketika balutan di buka.Pasien mengatakan dirinya memang masih merasa sedih dengan kondisi kakinya saat ini, namun jika kehendak Tuhan seperti ini dirinya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali melakukan yang terbaik bagi diri dan keluarganya. Pasien yakin, dengan ikhlas terhadap penyakit yang dideritanya sekarang dapat sebagai penggugur dosa. 3.3.3 Mode adaptasi fungsi peran Mode adaptasi fungsi peran terkait dengan pola-pola interaksi sosial seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran primer, sekunder dan tersier. Fokus model ini adalah bagaimana seseorang dapat memerankan dirinya sesuai kedudukannya Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 76 dan peran sebagai pasien saat dirawat. Pada model ini praktikan mengangkat satu diagnosa keperawatan, yaitu: 3.3.3.1 Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang penatalaksanaan DM. Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik merupakan suatu pola pengaturan dan integrasi program hidup sehari-hari untuk penanganan penyakit atau gejala sisanya yang tidak memuaskan dalam mencapai tujuan kesehatan yang spesifik (Wilkinson, 2007). Batasan karateristik dalam menegakkan diagnosa risiko ketidakefektifan regimen terapeutik antara lain pilihan hidup sehari-hari, pasien/keluarga mengungkapkan tidak mengambil tindakan untuk memasukkan rutinitas penanganan ke dalam rutinitas seharihari, pasien/keluarga mengungkapkan keinginan untuk mengatur penanganan penyakit dan pencegahan gejala sisa, mengungkapkan kesulitan melakukan kegiatan yang dianjurkan untuk mencegah komplikasi. Kondisi ini terjadi pada Ny. T, pasien mengatakan dalam 2 tahun terakhir ini setelah dinyatakan DM pasien tidak kontrol secara teratur. Disaaat kakinya merasa sering kesemutan, pasien sering menggunakan alas kaki refleksi dengan harapan, kesemutan di kakinya bisa berkurang, akan tetapi setelah beberapa minggu memakai alas kaki refleksi, muncul kapalan (kalus) yang tebal, semakin lama kapalan retak, muncul luka, bengkak dan nyeri pasien belum mengetahui dengan benar bagaimana perawatan kaki yang harus dilakukan pada pasien DM. Intervensi untuk mengatasi masalah risiko ketidakefektifan regimen terapeutik pada Ny. T antara lain : bina hubungan saling percaya, tentukan tujuan pendiidkan kesehatan dengan pasien yaitu: memahami tentang perawatan kaki diabetik, perawatan luka diabetik dan diit DM, Libatkan keluarga dalam program pendidikan kesehatan, berikan SEEIP (self Efficacy Enhanching intervention Program) untuk meningkatkan efikasi diri pada pasien, lakukan evaluasi pada akhir program pendidikan kesehatan : dengan menanyakan kembali tentang perawatan kaki diabetik, perawatan luka diabetik dan diit DM. Diskusikan dengan pasien program pendidikan kesehatan yang dilakukan Hasil evaluasi akhir setelah 7 hari menunjukkan perilaku pasien adaptif dimana pasien sudah dapat mengikuti program terapeutik, pasien menghabiskan nutrisi yang telah Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 77 disediakan, pasien memahami pentingnya penatalaksanaan DM. Pasien mampu mempraktekkan cara perawatan kaki, mampu mengikuti gerakan senam kaki pada kaki yang sehat, mendemostrasikan cara menyuntikan insulin dengan benar, cara menyusun dan memilih menu makan sesuai diitnya, Skor atau nilai DMSES (Diabetes Mellitus Selfefficacy Scale): meningkat dari 115 menjadi 138 dan skore PTES (Perceived Therapeutic Efficacy Scale): meningkat dari 78 menjadi 110. 3.3.4 Mode adaptasi interdependensi Mode ini adalah bagian akhir dari mode adaptasi yang dijabarkan oleh Roy, dimana fokusnya adalah interaksi untuk saling memberi dan menerima cinta kasih, perhatian dan saling menghargai. Pada mode ini praktikan mengangkat satu diagnosa keperawatan, yaitu: 3.3.4.1.Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis dan pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan tentang koping yang efektif. Koping individu tidak efektif adalah ketidakmampuan membuat penilaian yang tepat terhadap stressor atau ketidakmampuan untuk menggunakan sumber yang tersedia (Wilkinson, 2007). Batasan karakteristik untuk mengangkat masalah ini adalah: perubahan dalam kebiasaan komunikasi, kelelahan, kurangnya perilaku yang berfokus pada pencapaian tujuan, ketidakmampuan memperhatikan informasi, penurunan penggunaan dukungan sosial (Herdman, 2011). Berdasarkan karakteristik yang ditemukan dari hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada Ny. T didapatkan inefektif pada mode interdependensi, dimana pasien merasa sedih dengan kondisinya saat ini, adanya ketidakberdayaan yang ditunjukkan oleh pasien merasa dirinya tidak mampu lagi beraktivitas seperti sebelum sakit. Dari pengkajian stimulus didapatkan data: stress karena penyakit kronis, dirawat di RS dengan waktu yang relatif lama, dan jauh dari putranya yang masih kecil, yang masih membutuhkan perhatian dan perawatan dari Ny. T Intervensi yang dilakukan pada Ny. T untuk membantu mengatasi perubahan peran dari peran sebagai ibu rumah tangga menjadi pasien, ini diantaranya dengan: menggunakan teknik yang menenangkan dengan melakukan komunikasi terapeutik guna meningkatkan kepercayaan pasien, memberikan konseling kepada pasien dengan membantu pasien untuk menemukan kekuatan yang ada pada dirinya, melibatkan anggota keluarga lainnya dalam memberikan dukungan kepada pasien sehingga dengan intervensi-intervensi Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 78 tersebut koping pasien dapat meningkat; melakukan peningkatan koping, dalam hal ini praktikan memotivasi pasien untuk tetap membicarakan setiap apa yang dirasakan dengan keluarga/perawat; meningkatkan dukungan keluarga dengan menganjurkan keluarga agar selalu memberikan semangat dan motivasi kepada pasien. Hasil analisis menunjukkan setelah 7 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif, Pasien mengatakan walaupun dirinya tidak sekuat dulu lagi tapi akan berusaha untuk tetap sehat sehingga bisa terus merawat anak dan pasien akan tetap berusaha melakukan aktifitas sesuai dengan kemampuannya, kembali lagi berjualan sayur di rumahnya, suami pasien mengatakan bahwa pasien sudah lebih jarang melamun dan lebih banyak mendekatkan diri ke Tuhan dengan memperbanyak sholat sunnah, berdoa, dzikir dan membaca Alqur’an 3.4 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada 33 (Tiga Puluh Tiga) Kasus Kelolaan Selama kegiatan praktek residensi kekhususan sistem endokrin, praktikan melakukan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy. Sebagaimana kasus kelolaan utama, praktikan juga melakukan asuhan keperawatan pada kurang lebih 33 kasus lainnya (lampiran 1) dengan gangguan sistem endokrin yang diklasifikasikan berdasarkan masalah keperawatan adaptasi, yaitu : 3.4.1.1 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah, kondisi metabolik. Batasan karakteristik penegakan diagnosa keperawatan ini adalah terjadi kehilangan berat badan dengan asupan makanan yang adekuat, berat badan kurang dari 20% atau lebih dari ideal terhadap tinggi badan, asupan makanan tidak adekuat karena mual, muntah (Wilkinson, 2006). Dari 33 kasus kelola, 25 kasus (75%) mengalami inefektif kebutuhan nutrisi, keluhan yang sering muncul berupa anoreksia, mual, muntah serta penurunan BB yang cepat. Keluhan anoreksia, mual dan muntah menjadi keluhan utama pada hipoglikemia yaitu sebanyak 4 kasus. Pasien DM mengalami resistensi insulin dan penurunan produksi insulin yang menyebabkan glukogenolisis (pembentukan glukosa selain dari karbohidrat, yang diperoleh dari protein dan lemak) sehingga menyebabkan pasien mengalami penurunan berat badan yang cepat. Selain itu pada pasien DM bisa terjadi neuropati otonom yang mengenai organ pencernaan (gastroparesis). Gastroparesis Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 79 diabetika adalah terjadinya neuropati diabetika yang mengakibatkan rusaknya syarafsyaraf ekstrinsik lambung (Meari & Malagelada, 1995). Gejala-gejala yang bisa ditemukan pada penderita gastroparesis diabetika antara lain mual, muntah, anoreksia, nyeri abdomen, rasa cepat kenyang, rasa tidak enak diperut bagian atas, rasa terbakar di dada (heart burn), regurgitasi asam, sendawa, halitosis dan penurunan berat badan (May & Gpyal(1994 dalam Sutadi 2003). Kondisi ini yang sering menyebabkan intake inadekuat dan risiko menyebabkan hipoglikemia. Intervensi keperawatan yang diberikan antara lain monitoring nutrisi, manajemen nutrisi, manajemen metabolik, manajemen berat badan, terapi nutrisi, manajemen pengobatan. Mengatur porsi kecil namun sering dengan kadar lemak dan serat yang rendah dan tetap menjaga asupan kalori yang cukup (Meari & Malagelada, 1995 dalam Sutadi 2003). Pengaturan makan pada pasien diabetis: Small frequent, terbagi dalam 3 makan utama, dan 2-3 makan selingan (1 porsi, tambahan sesudah makan malam,terutama bagi penyandang diabetes yang mendapat OAD atau insulin menjelang makan malam). Hasil evaluasi pasien mulai mampu adaptasi pada mode fisiologi nutrisi rata-rata pada hari ke 4, di tandai dengan berkurangnya keluhan mual, muntah dan meningkatnya nafsu makan. Ada 3 pasien yang masih inefektif kebutuhan nutrisi pada hari ke 4 hal ini diakibatkan penurunan motivasi, faktor peningkatan usia, kurangnya dukungan keluarga dan perburukan kondisi. 3.4.1.2 Risiko infeksi berhubungan dengan tingginya kadar gula darah, penurunan fungsi leukosit, perubahan sirkulasi darah perifer. Dari ke 33 kasus yang praktikan kelola, diketemukan 16 kasus dengan risiko infeksi akibat pertahanan primer inadekuat berupa 1 kasus amputasi below knee, 9 kasus ulkus kaki diabetik, 5 kasus infeksi kulit dan abses serta 1 kasus ulkus dekubitus, seperti yang diungkapkan oleh Brem, et al, (2006, dalam American Society of Plastic Surgery, 2007) Sekitar 12% - 25% pasien diabetes mengalami ulkus dikaki. Kondisi ini diakibatkan oleh ketidak tahuan pasien dalam perawatan kaki diabetik dan masih rendahnya kesadaran akan penatalaksanaan DM secara holistik dan berkesinambungan. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 80 Hampir semua pasien DM dengan ulkus kaki diabetik atau infeksi kulit yang praktikan temui selama praktik residensi, mempunyai riwayat keluhan kesemutan dan baal. Menurut LeMone & Burke (2008) dijelaskan bahwa neuropati diabetik disebabkan oleh penebalan dari dinding pembuluh darah yang menyuplai saraf, menyebabkan penurunan nutrisi, demielinisasi pada sel Schawnn dan pembentukan dan akumulasi sorbitol di dalam sel Schawnn, terjadi gangguan konduksi. Baal yang dialami pasien yang sering menyebabkan terjadinya ulkus kaki diabetik, akibat trauma mekanik, termal dan tekanan. Secara umum, gejala neuropati muncul 10-20 tahun setelah seseorang didiagnosa diabetes dan risiko diperberat dengan kondisi kontrol glikemik yang buruk, kadar lemak darah yang tinggi, hipertensi dan kegemukan (Black & Hawk, 2005). Hampir semua pasien dengan ulkus kaki diabetik datang dengan kondisi yang sudah infeksi luas bahkan terjadi gas gangren dan ostemilitis yang menyebabkan kontrol metabolik menjadi lebih buruk dan membutuhkan lama rawat lebih panjang serta membutuhkan biaya yang lebih besar pula apalagi jika harus dilakukan amputasi. Menurut ADA (2004 dalam Smeltzer, et al. 2008). 50-75% kasus amputasi kaki merupakan pasien dengan diabetes. Sebesar 50% amputasi ini sebenarnya dapat dicegah dengan perawatan kaki yang baik dan benar setiap harinya. Pasien dengan infeksi ulkus kaki diabetik rata-rata dirawat lebih dari 2 minggu. Pasien diabetes yang tidak terkontrol mengalami kelainan fungsi sel pertahanan utama (neutrofil, monosit dan makrofag) yaitu tidak seimbangnya fungsi kemotaksis dan fagositosis yang menyebabkan penderita diabetes lebih rentan terhadap infeksi (Smeltzer et al, 2008). Intervensi keperawatan yang dilakukan berupa aktivitas regulator dan kognator untuk mengatasi masalah infeksi adalah manajemen pencegahan, manajemen infeksi, manajemen nyeri, manajemen luka, manajemen metabolik, manajemen nutrisi, manajemen lingkungan, kontrol vaskuler, kontrol tekanan dan edukasi yang, tindakan kolaborasi: injeksi insulin sesuai dengan program, koreksi anemia, koreksi hipoalbumin, koreksi trombolitik. Dari 16 kasus ulkus dan infeksi kulit, hanya 1 kasus yang mengalami amputasi below knee. 5 kasus yang menolak dilakukan amputasi, karena ketakutan akan kecacatan dan ketidaktersediaan biaya. menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy, rata-rata pasien mampu adaptif terhadap mode fisiologi proteksi pada hari ke-10-14 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 81 ditunjukkan dengan ulkus kaki membaik, berkurangnya slough dan eksudat, tumbuhnya jaringan granulasi, status glikemik membaik. Pasien dengan ulkus kaki diabetik hampir semua pulang dalam fase proliferasi, rekomendasinya berupa edukasi dan kerjasama multidisiplin secara berkesinambungan untuk mencegah reinfeksi, kontrol glikemik, mencegah munculnya ulkus kembali, dan rehabilitasi fisik dengan kondisi yang dialami pasien pasca perawatan. Berdasarkan analisa praktikan tahap adaptasi bervariasi tiap pasien tergantung dari luasnya luka, ada tidaknya penyulit seperti infeksi, hipoalbumin, gangguan anteri perifer, status metabolik, anemia. Ada 2 pasien adaptasi terhadap risiko infeksi memanjang lebih dari 14 hari, diakibatkan faktor usia, luasnya ulkus, riwayat imobilisasi yang lama, status nutrisi buruk. 3.4.1.3 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (diuresis osmosis) Batasan karakteristik pada diagnosa ini berupa: penurunan tekanan darah, penurunan tekanan, dan volume nadi, penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, peningkatan hematokrit, peningkatan frekuensi nadi, keluhan haus dan kelemahan (Herdman, 2011). Dari ke 33 kasus yang praktikan kelola, ada 11 pasien yang mengalami kekurangan volume cairan, masalah kekurangan volume cairan rata-rata menjadi masalah utama pada ketosis dan ketoasidosis diabetik (KAD). Hyperglycemia menyebabkan hiperosmolaritas serum, menarik air dari intraseluler ke intravaskuler, sehingga akan menyebabkan peningkatan volume darah dan menyebabkan peningkatan aliran darah ke ginjal, dan akan mengakibatkan peningkatan urine output atau diuresis osmotik, kondisi ini dinamakan poliuri. Diuresis osmotis akan mengakibatkan dehidrasi dan memberikan sinyal ke pusat pengaturan rasa haus di hipotalamus, sehingga mendorong seseorang untuk banyak minum atau yang disebut polidipsi (Black & Hawk, 2005; LeMone & Burke, 2008). Pada diuresis osmotik menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Pasien ketoasidosis diabetik yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24 jam (Smeltzer,et al 2008). Intervensi keperawatan spesifik yang diberikan pada masalah keperawatan ini meliputi monitoring dan manajemen cairan dan elektrolit, monitoring tanda-tanda vital, kesadaran Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 82 dan status hidrasi, monitor kadar gula darah, monitoring analisa gas darah,monitor elektrolit, manajemen asam-basa, kolaborasi terapi cairan intravena (NaCl 0,9% atau RL sebanyak 4-6L/24jam: 2 liter loading dalam 2 jam pertama, 80 tetes permenit selama 4 jam berikutnya, lalu 30-50 tetes permenit selama 18 jam (protokol RSUP Fatmawati Jakarta), kolaborasi medikasi (insulin, elektrolit, bikarbonat), dan pemberian edukasi tentang penyakit dan terapi yang harus dijalankan. Hasil evaluasi rata-rata pasien dengan kekurangan volume cairan dapat menunjukkan sebagian perilaku adaptif pada 12 jam pertama setelah resusitasi cairan. Ditunjukkan dengan peningkatan tekanan darah, kekuatan nadi. Dalam fase pemeliharaan (maintenance) di ruang rawat inap pasien mampu adaptasi dalam kekurangan kebutuhan cairan rata-rata pada hari ke 3 setelah perawatan. 3.4.1.4 Kelebihan volume cairan ganguan mekanisme regulasi Kelebihan volume cairan adalah peningkatan retensi cairan isotonik, dengan batasan karakteristik edema, dispnea, distensi vena jugularis, perubahan pol pernafasan, perubahan tekanan darah, penambahan BB dalam waktu singkat, oliguria. (Herdman, 2011). Dari ke 33 kasus yang praktikan kelola, ada 4 pasien yang mengalami kelebihan volume cairan, yaitu 1 kasus CKD (Cronik Kidney Disease), 2 kasus CHF (Cronik Heart Failure) dan 1 kasus sirosis hepatis. CKD diakibatkan kemunduran fungsi ginjal dan kerusakan nefron secara progresif menyebabkan nefron yang masih berfungsi menjadi hipertrofi karena menyaring zat terlarut dalam jumlah besar, akibatnya ginjal mengalami kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan urin secara baik. Dengan demikian ginjal akan semakin rusak, jumlah nefron yang berfungsi berkurang dan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) total semakin menurun, sehingga tubuh tidak mampu mengeluarkan cairan, garam dan produk sisa lainnya melalui ginjal, akibatnya water overload (Price & Wilson, 2003, Black & Hawks, 2005). Kondisi inefektif pada mode fisiologi eliminasi lainnya berupa nefropati diabetikum. Menurut Smeltzer et.al (2008) juga disebutkan bahwa penderita DM memiliki resiko sebesar 20% hingga 40% untuk menderita penyakit renal. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa segera sesudah terjadi diabetes, khususnya bila kadar glukosa darah meninggi, maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress yang menyebabkan kebocoran protein darah ke dalam urin. Sebagai akibatnya, tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 83 Kenaikan tekanan (hipertensi) tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan ginjal secara progresif. DM dengan hipertensi diketemukan sebanyak 6 kasus (18%). Kondisi ini harus dikelola dengan baik, sehingga kerusakan nefron bisa dicegah. Kontrol tekanan darah yang agresif harus dilakukan pada semua penderita diabetes. UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) menyimpulkan bahwa setiap penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10 mmHg akan mengurangi risiko komplikasi diabetes sebesar 12%, mengurangi risiko kematian 15%, risiko infark miokard 11% dan komplikasi mikrovaskuler 13%. Indikasi pengobatan hipertensi jika tekanan darah sistolik > 130 mmHg dan atau tekanan darah sistolik >80 mmHg dengan target penurunan < 130/80 mmHg, atau < 125/75mmHg bila disertai proteinuria (Perkeni, 2011). Intervensinya dilakukan pendekatan perubahan perilaku atau perubahan pola hidup sekurang-kurangnya selama tiga bulan, yang meliputi: pembatasan asupan garam, pengaturan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan rokok, dan konsumsi alkohol tak berlebihan. Berdasarkan penelitian Dietary Approach to Stop Hypertension (DASH) modifikasi gaya hidup secara nyata dapat menurunkan tekanan darah. Asupan garam yang berlebihan terbukti menyebabkan efek yang buruk pada penderita diabetes karena dapat mengurangi efek obat antihipertensif. Pembatasan garam dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 5 mmHg dan diastolik sebesar 2-3 mmHg (Brata, 2008). Intervensi keperawatan spesifik yang diberikan pada masalah keperawatan kelebihan volume cairan meliputi monitoring dan manajemen cairan dan elektrolit, monitoring tanda-tanda vital, monitor balance cairan dan BBI, monitor kadar gula darah, monitoring analisa gas darah, kolaborasi medikasi, dan pemberian edukasi tentang penyakit dan terapi yang harus dijalankan termasuk menjalani hemodialisa untuk pasien CKD. Evaluasi pada kasus hipervolemia adaptif rata-rata pada hari ke 5. Pada pasien DM dengan komplikasi CKD direkomendasikan rujukan ke spesialis urologi untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut sehingga pasien mampu adaptif dalam pembatasan intake cairan. Pembatasan cairan merupakan salah satu komponen intervensi yang paling menimbulkan stress, membuat tidak nyaman dan sering sulit bagi pasien untuk beradaptasi terhadapnya, khususnya jika pasien mengalami haus (LeMone & Burke, Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 84 2008; Black & Hawks, 2005; Lewis, et al, 2005). Menurut Black & Hawks (2005) dan Smeltzer & Bare (2008), banyaknya asupan cairan cairan yang diperbolehkan pada pasien gagal ginjal tahap akhir ditentukan dengan jumlah kemih yang dikeluarkan selama 24 jam + 500 ml (IWL). Untuk pasien DM dengan hipertensi, rekomendasi lebih lanjut kepasien berupa upaya promotif memberikan edukasi ke pasien dan keluarga dalam perilaku yang lebih sehat dengan mengurangi rokok, diet rendah garam, kontrol tekanan darah, aktivitas fisik. Upaya tersebut perlu tindakan yang berkesinambungan sehingga mereka adaptif dalam berperilaku berperilaku hidup sehat, karena rata-rata pasien DM dengan hipertensi mempunyai riwayat hipertensi yang tidak terkontrol. Kondisi yang memperberat berupa profil lipid yang meningkat, yang berisiko terjadinya aterosklerosis. Pembentukan glukosa dari simpanan lemak akan menyebabkan peningkatan asam lemak bebas yang ditandai dengan peningkatan profil lipid (Black & Hawk, 2005; LeMone & Burke, 2008). 3.4.1.5 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan dispnea, takipnea, hiperventilasi Pola nafas tidak efektif adalah inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat (Herdman, 2011). Dari 33 kasus, praktikan mengelola 9 kasus dengan masalah pola nafas tidak efektif, masalah ini menjadi masalah utama pada pada infeksi paru, yaitu pada 1 kasus pneumonia, 2 kasus TB paru dan 1 kasus efusi pleura, sisanya diketemukan pada KAD dan CHF. Pasien DM mudah mengalami infeksi terutama infeksi paru, hal ini diakibatkan kelemahan fungsi leukosit, buruknya kontrol glikemik, gangguan vaskularisasi sehingga inefektif dalam transport oksigen, sel darah putih, dan antibodi ke lokasi yang mengalami infeksi (Black & Hawk, 2005), selain itu faktor peningkatan usia dan imobilisasi lama menjadi kontribusi terjadinya pneumonia, baik pneumonia yang didapat sebelum masuk RS (Community Aquired Pneumonia) ataupun didapatkan selama pasien dirawat di RS (hospital aquared pneumonia). Intervensi keperawatan yang dilakukan berupa monitoring pernafasan, monitor tanda vital, monitoring asam basa, manajemen asam basa, pengaturan posisi, managemen jalan nafas, fisioterapi dada, meningkatkan batuk efektif, terapi oksigen, manajemen infeksi, manajemen energi, kontrol metabolik, manajemen pengobatan. Hasil evaluasi pasien mampu adaptasi pada mode fisiologi oksigenasi rata-rata pada hari ke 3-4 ditunjukan dengan pola nafas efektif. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 85 3.4.1.6 Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik, kerusakan jaringan Nyeri akut merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Batasan karakteristiknya berupa melaporkan nyeri secara verbal, ekspresi perilaku terhadap nyeri berupa gelisah, menangis, waspada, mendesah, sikap tubuh melindungi (Wilkinson, 2007; Herdman, 2011). Dari 33 kasus diketemukan 16 kasus dengan masalah nyeri akut, keluhan ini dirasakan pasien terutama saat dilakukan perawatan luka. Nyeri harus diatasi karena kadar gula juga dipengaruhi oleh faktor respon stress. Respon stress dapat meningkatkan pengeluaran hormon kortisol yang akan meningkatkan kadar gula darah, selain itu pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa reaksi stress operasi dan nyeri dapat menurunkan sensitivitas insulin. Respon stress yang ditunjukkan oleh tubuh karena kerusakan jaringan pada keadaan seperti syok, trauma, operasi, anestesi, gangguan fungsi paru, infeksi dan gagal fungsi organ multipel yang dapat menyebabkan perubahan pada fisiologis tubuh juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar gula darah dalam tubuh (Desborough, 2000) Intervensi yang dilakukan antara lain dengan melalui aktifitas regulator dan cognator yang meliputi, manajemen nyeri, kontrol metabolik, kontrol vaskuler kontrol, presurres kontrol, kolaborasi analgetik administration, manajemen pengobatan. Manajemen nyeri yang dilakukan antara lain mengajarkan tehnik relaksasi, nafas abdomen dengan frekuensi lambat, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri punggung dan nyeri pasca operasi (Miller & Perry, 1990). Memberikan tehnik distraksi, yaitu memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain rasa nyeri, tehnik ini menjadi strategi yang sangat berhasil dalam menurunkan tingkat nyeri (Fabio et al, 2006). Kolaborasi dengan dokter dalam pengaturan waktu pemberian obat analgetik yang diberikan, 30-60 menit sebelum melakukan perawatan luka, melihat dari waktu puncak reaksi obat. Hasil evaluasi rata-rata pasien adaptif terhadap kebutuhan rasa nyaman pada hari ke 7-10, kondisi ini bervariasi tergantung luas luka dan ada tidaknya infeksi. Rekomendasi: anjurkan pasien melakukan tehnik relaksasi seperti yang telah diajarkan saat merasakan sakit, anjurkan pasien tidak menumpu pada Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 86 kaki yang sakit saat berjalan (off loading) dan meninggikan kaki yang sakit 15-22 cm saat posisi berbaring. 3.4.1.7 Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen Intoleransi aktifitas merupakan suatu keadaan individu tidak cukup mempunyai energi fisiologi atau psikologi untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktifitas seharihari yang diinginkan. Batasan karakteristik masalah intoleransi aktifitas antara lain adalah ketidaknyamanan atau dispnea yang membutuhkan pengerahan tenaga, melaporkan keletihan atau kelemahan secara verbal (Wilkinson, 2007; Herdman, 2011). diketemukan 15 kasus dengan masalah intoleransi aktivitas. Pada pasien DM mengalami penurunan sekresi insulin atau terjadi resistensi insulin, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, yang mengakibatakan tubuh menjadi mudah lelah dan lemah, produksi energi turun (Black & Hawk, 2005; LeMone & Burke, 2008). Intervensi keperawatan yang diberikan pada masalah keperawatan ini meliputi: manajemen energi, manajemen nutrisi, manajemen nyeri, managemen lingkungan: nyaman, terapi oksigen, terapi latihan: ambulasi, terapi latihan: mobilitas sendi, terapi aktifitas. Dengan menggunakan pendekatan teori adaptasi Roy, rata-rata pasien mampu adaptif terhadap aktivitas dan istirahat pada hari ke 4 yang ditandai dengan berkurangnya keluhan lemas, menunjukkan peningkatan tingkat energi. pasien mampu ambulasi dengan bantuan minimal, sedangkan pada pasien dengan infeksi ulkus kaki diabetik yang luas mampu adaptasi terhadap kebutuhan aktivitas rata-rata pada hari ke 10-14, karena pada kondisi ini kontrol glikemik pasien mulai membaik dan nyeri berkurang. 3.4.1.8 Kecemasan berhubungan dengan berkembangnya komplikasi penyakit Ansietas didefiniskan sebagai sutau keresahan, perasaan ketidaknyamanan yang tidak mudah disertai respon autonomis; sumber seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu; perasaan khawatir yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Batasan karateristik diagnosa tersebut antara lain keterbatasan produktifitas, gelisah, insomnia, tidak perhatian, fokus pada diri sendiri,khawatir, gemetar (Wilkinson, 2007; Herdman, 2011). Dari 33 kasus kelola, rata-rata pasien menunjukkan perilaku inefektif Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 87 pada mode konsep diri, dimana umumya pasien mengalami cemas dengan penyakit dan rencana pengobatannya, tingkat kecemasan berbeda-beda tiap pasien, tingkat kecemasan berat telihat pada kasus DM dengan ulkus kaki dan amputasi akibat perubahan kondisi fisik/ risiko kecacatan, selain kecemasan pasien juga mengalami gangguan citra tubuh. Intervensi yang lakukan berupa aktivitas regulator dan cognator meliputi pemberian edukasi tentang proses penyakit dan kebutuhan pengobatan, terapi relaksasi, manajemen stress, terapi kognitif, manajemen self-confidence dan self-esteem, manajemen marah dan menurunkan kecemasan. Hasil evaluasi menunjukkan rata-rata pasien mengalami penurunan kecemasan setelah diberikan edukasi dan perilaku adaptif pada mode konsep diri tercapai pada hari ke-3 perawatan, akan tetapi pada pasien dengan infeksi ulkus kaki diabetik adaptasi terhadap kecemasan lebih membutuhkan waktu lebih panjang, terutama pasien dengan amputasi below knee sehingga perlu rujukan ke psikiater ataupun keperawatan spesialis jiwa dalam manajemen stress secara berkesinambungan. 3.4.1.9 Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis dan pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan tentang koping yang efektif. Batasan karakteristik berupa perubahan dalam kebiasaan komunikasi, kelelahan, ketidakmampuan memenuhi peran yang diharapkan, penurunan penggunaan dukungan sosial, kurangnya perilaku yang berfokus pada pencapaian tujuan, ketidakmampuan memperhatikan informasi. (Herdman, 2011). Dari 33 kasus kelola ketidakefektifan koping dijumpai 9 pasien, dimana rata-rata penyebab inefektifitas koping tersebut karena penyakit kronis yang diderita dengan pengobatan jangka panjang ditambah dengan kecacatan fisik, kondisi tersebut diperburuk jika tidakadekuatya dukungan dan motivasi dari keluarga. Intervensi yang dilakukan berupa aktivitas regulator dan cognator meliputi peningkatan koping, manajemen stress, terapi kognitif dimulai dengan identifikasi pikiran atau koping negatif dan perilaku mal adaptif yang diakibatkan pikiran negatif tersebut, melatih pasien untuk mengurangi pikiran negatif dengan merubah pikiran secara rasional, membantu merubah perilaku yang maladaptif dengan perilaku yang positif dengan mengingatkan kembali hal-hal positif yang telah pasien lakukan, bantu pasien mencapai tujuan yang positif dengan pemanfaatan support system dari keluarga atau orang terdekat. Libatkan keluarga dalam perawatan dengan memberikan edukasi dalam merawat pasien. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 88 Berdasarkan hasil evaluasi koping efektif rata-rata pada hari ke 4-7 setelah perawatan pasien menunjukkan perilaku koping yang adaptif, dengan menunjukkan perilaku yang konstruktif, kooperatif dalam tindakan keperawatan. Tetapi terdapat 3 pasien yang menunjukkan koping inefektif, hal ini diakibatkan tidak ada support system dari keluarga, keluarga terkesan mengabaikan pasien. Dalam hal ini perawat perlu identifikasi masalah yang ada dalam keluarga, sehingga perlu ada kerjasama multidisiplin dengan perawat komunitas ataupun perawat jiwa. 3.4.1.10 Risiko ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan defisit pengetahuan penatalaksanaan DM dan perawatan kaki, salah dalam memahami informasi yang ada Dari 33 kasus yang praktikan kelola hampir semua mengalami perilaku inefektif pada mode ini, karena rata-rata pasien DM tipe 2 dialami oleh usia lebih dari 45 tahun dan rata-rata pasien DM tipe 2 yang dirawat inap mengalami komplikasi, sehingga membutuhkan bantuan, perhatian dan dukungan dari orang-orang sekitar sehingga penatalaksanaan terapi DM terus dapat diterapkan. Penyakit DM merupakan penyakit kronis yang membutuhkan kepatuhan dalam penatalaksanaannya, karena penatalaksanaan dilakukan sepanjang sisa hidupnya. Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk meningkatkan mekanisme koping regulator dan cognator pada mode ini adalah dengan melakukan, edukasi dengan pendekatan SEEIP, dukungan keluarga dan peningkatan koping. Hasil evaluasi, rata-rata perilaku adaptif pasien pada hari ke 5-7. Berdasarkan pengamatan praktikan, rata-rata hasil evaluasi pada pasien kelolaan menunjukkan adanya perubahan pengetahuan dan keyakinan diri pada pasien, perilaku yang tadinya inefektif akhirnya menjadi adaptif, meskipun sikap untuk menjadi adaptif membutuhkan waktu dan lamanya berbeda-beda, berdasarkan motivasi, efikasi diri, kondisi penyakit, koping mekanisme, dan dukungan keluarga. Menurut analisa praktikan efektifitas intervensi keperawatan yang diberikan berhubungan dengan efikasi diri dan motivasi diri pasien terhadap penyakitnya. Pasien yang mempunyai efikasi diri dan motivasi yang tinggi terhadap penyakitnya mampu mencapai perilaku adaptif yang lebih cepat dan lebih baik. Efikasi diri dan motivasi akan menjadi lebih efektif jika mendapatkan dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 89 Berdasarkan hasil analisis praktikan terhadap 33 kasus kelolaan, hampir semua pasien mengalami komplikasi dengan gula darah tidak terkontrol. Kondisi seperti ini perlu kerjasama dalam penatalaksanaan DM secara komprehensif, dimulai dari tindakan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif yang melibatkan peran serta keluarga dan masyarakat. Penatalaksanaan DM secara komprehensif dengan pendekatan keluarga dapat dilihat pada gambar 3.5. Gambar 3.5. Penatalaksanaan DM secara komprehensif dengan pendekatan keluarga Penatalaksanaan multidisiplin ← Periode Prapatogenesis → ← Periode Patogenesis Interaksi antara faktor intrinsik, penyebab DM & faktor ekstrinsik Masa penyakit dini Peningkatan kesehatan Penyuluhan/konseling : Kebiasaan hidup sehat Kebersihan diri dan lingkungan Keseimbangan sosial, fisik, psikologis Risiko keluarga (screning pemeriksaan gula darah) Perlindungan khusus Memberikan : Suplemen untuk keseimbangan metabolisme tubuh Memberikan panduan diet dan program olahraga Deteksi Dini Dokter umum/keluarga Ahli gizi Perwat generalis Perawat sp komunitas Edukator Dokter umum/keluarga Perawat generalis Perawat komunitas Ahli gizi Psikolog Edukator Pekerja sosial Masa penyakit terkendali Pengobatan/ Tindakan Memberikan obat-obatan Perawatan luka Rujukan Konseling hidup sehat, kesehatan dan pembinaan keluarga Melakukan pemeriksaan Umum Glukosa darah Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan berkala Dokter sp. metabolik endokrin Perawat sp. endokrin, Rujukan ke dokter & perawat sp.urologi, neurologi, cardiologi, mata Psikiatri & perawat sp. Jiwa Perawat komunitas Edukator Dokter umum Perawat generalis Perawat sp. Endokrin Ahli gizi Podiatri edukator → Masa lanjut Pemulihan Evaluasi : Hidup sehat Diet&latihan jasmani Menilai data tindak lanjut agenda pemantauan, konseling keluarga Dokter sp. metabolik endokrin Perawat sp. Endokrin Perawat komunitas Dokter rehabilitasi medik Podiatri Fisioterapis Okupasi terapi Edukator Sumber : Soegondo, Soewondo& Subekti (2011) Upaya penatalaksanaan DM dengan pendekatan keluarga dengan melakukan family mapping, yaitu menilai siapa yang memungkinkan dapat diberdayakan untuk menyelesaikan masalah DM dalam keluarga untuk melakukan perawatan (care giver), pemantauan keluhan/ gejala kegawatan selama dirumah, melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat. Dengan penatalaksanaan DM secara komprehensif Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 90 dengan multidisiplin dan melibatkan peran serta masyarakat, keluarga dan pasien sendiri diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi pada DM. Dari hasil penerapan Teori Adaptasi Roy terhadap 33 kasus kelolaan dapat disimpulkan bahwa pemberian asuhan keperawatan dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy dapat memberikan asuhan keperawatan secara holistik meliputi fungsi fisiologis, fungsi konsep diri, fungsi peran dan fungsi interdepen, sangat sesuai untuk pengelolaan asuhan keperawatan pada kasus metabolik endokrin terutama DM karena termasuk penyakit kronis dan menimbulkan banyak komplikasi yang melibatkan berbagai gangguan pada hampir seluruh sistem tubuh dan aspek, psikologis, sosial, kultural dan spiritual. Penerapan teori adaptasi Roy bisa diaplikasikan dari pengkajian sampai dengan evaluasi. Diagnosa Keperawatan yang praktikan tegakkan dengan merujuk diagnosa Nanda 20092011, adapun Intervensi keperawatan yang praktikan berikan berupa penggabungan intervensi dalam teori adaptasi Roy dengan NIC (Nursing Intervention Criteria) dan NOC (Nursing Outcome Criteria) yang selalu diterapkan dalam pemberian asuhan keperawatan. Dalam NIC itu sendiri terdiri dari berbagai aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan aktivitas regulator dan cognator seperti dalam teori Adaptasi Roy dan taksonomi dalam NIC (fisiologis dasar, fisiologis kompleks, perilaku, keamanan, keluarga, sistem kesehatan dan komunitas) juga tidak jauh berbeda dengan fungsi model adaptasi Roy (model fisiologis, model konsep diri, model peran dan interdependensi). Tujuan akhir dari penerapan teori Adaptasi Roy adalah membantu pasien agar dapat mencapai perilaku adaptif dalam menghadapi stimulus yang ada akibat kondisi sakit. Evaluasi untuk pasien yang telah mencapai perilaku adaptif, dengan mempertahankan intervensi yang ada, sedangkan untuk pasien yang masih berperilaku inefektif perlu di kaji kembali dan perlu reintervensi. Menurut analisa praktikan setelah menggunakan asuhan keperawatan dengan pendekatan teori adaptasi Roy, maka praktikan merekomendasikan agar asuhan keperawatan dengan pendekatan teori adaptasi Roy hendaknya dapat diterapkan pada pelayanan perawatan di klinik dan diperkenalkan ke peserta didik keperawatan, karena dengan pendekatan teori adaptasi Roy dapat membantu pasien berperilaku adaptif mencapai kualitas hidupnya. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 BAB 4 PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING PADA GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN Peran praktikan sebagai peneliti diaplikasikan dengan cara menerapkan hasil penelitian yang akan diuraikan dalam bab ini. Adapun isi bab ini meliputi identifikasi masalahmasalah penelitian, identifikasi hasil-hasil penelitian dan menerapkan hasil penelitian dalam pengambilan keputusan klinik. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronik dengan angka mortalitas dan biaya perawatan pasien DM semakin meningkat. Pasien dengan DM mempunyai kesadaran yang masih rendah dalam berpartisipasi dalam perawatan kesehatan dirinya. Edukasi Diabetes telah menjadi komponen penting dari manajemen diabetes sejak 1930-an dan semakin diakui sebagai bagian integral dari manajemen penyakit kronis. Tujuan edukasi pasien diabetes tipe 2 adalah untuk mengoptimalkan kontrol metabolik; mencegah komplikasi akut dan kronis; meningkatkan kualitas hidup dengan mempengaruhi perilaku pasien dan menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, sikap dan perilaku yang diperlukan untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan (Falvo 2004; Snoek dan Visser 2003). Beberapa penelitian menunjukkan pasien yang diberi informasi tentang penyakit dan pengobatannya, lebih mungkin untuk berhasil dalam mengelola penyakit mereka (Ellis et al, 2004). Salah satu pilar penatalaksanaan DM adalah edukasi, Edukasi merupakan proses interaktif yang mendorong terjadinya pembelajaran, dan pembelajaran merupakan upaya penambahan pengetahuan baru, sikap, dan keterampilan melalui penguatan praktik dan pengalaman tertentu (Potter & Perry, 2009). Edukasi merupakan suatu upaya untuk memberikan informasi yang diharapkan meningkatkan pengetahuan pasien dan akan meningkatkan efikasi diri pasien. Selanjutnya dengan efikasi diri yang baik akan mampu meningkatkan keyakinan pasien dalam melakukan perawatan diri, karena efikasi diri merupakan mediator antara pengetahuan dan tindakan (Heye, et al, 2002). Melalui beberapa penelitian, kerangka efikasi diri telah muncul sebagai model untuk menjelaskan dan mediasi perubahan perilaku yang dinamis, termasuk perilaku yang berkaitan dengan mengelola kondisi penyakit kronis yang memerlukan pengobatan jangka panjang dan dalam upaya promotif meningkatkan gaya hidup sehat (Bandura, 92 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 1997). Sehingga diharapkan dengan efikasi diri yang baik pasien lebih percaya diri dalam melakukan perawatan diri DM meliputi pengaturan makan, olah raga, pemeriksaan gula darah, pengobatan dan melakukan perawatan kaki. Berdasarkan latar belakang ini, bahwa pasien DM hendaknya mempunya efikasi diri yang baik, sehingga dapat menurunkan morbiditas dan motalitas akibat ketidakpatuhan pasien pada regimen terapeutik. Berikut ini critical review dari beberapa jurnal tentang efikasi diri yang nantinya akan diterapkan pada pasien DM. 4.1 Penelaahan Kritis Penelitian (Critical Review) 4.1.1.Jurnal utama dengan judul : Effectiveness of self-management for persons with type 2 diabetes following the implementation of a self-efficacy enhancing intervention program in Taiwan Penelitian ini dilakukan Wu et al, pada tahun 2007 di Taiwan yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh intervensi program peningkatan self-efficacy untuk pasien diabetes tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen dengan menggunakan kelompok kontrol, lama penelitian dilakukan selama 6 bulan. Jumlah sample sebanyak 145 pasien DM Tipe 2 yang menjalani rawat jalan di klinik Taipe (kelompok intervensi 72 orang, kelompok kontrol 73 orang). Pada kelompok intervensi mendapatkan SelfEfficacy Enhancing Intervention Program (SEEIP) yang terdiri dari 4 langkah : 1) Melihat video tentang pengalaman diabetisi dalam pengelolaan Diabetes mellitus selama 10 menit; 2) Menerima booklet tentang DM dan penatalaksanaan perawatan diri diabetesi; 3) Konseling intervensi peningkatan efikasi diri; 4) Follow up aktivitas perawatan diri setelah intervensi selesai (baseline), bulan ke 3 dan bulan ke 6. Pada kelompok kontrol mendapatkan edukasi secara konvensional dengan metode ceramah dan tanya jawab. Instrumen penelitian menggunakan beberapa instrumen yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, adapun intrumen penelitiannya meliputi : a. The Chinese version of the Diabetes management Self Efficacy Scale (C-DMSES) yang mengukur efikasi diri terhadap manajemen DM tipe 2 dikembangkan dengan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 versi bahasa cina supaya dapat dimengerti oleh responden , terdiri dari 20 item dengan dengan menggunakan uji reliabilitas analisis regresi R=0,57; t=10,75; p=<0,01) dan uji validitas pearson’s correlation soefficient (r=0,55; p<0,01). b. The Chinese version of the perceived Therapeutic Efficacy Scale (C-PTES) Instrumen ini juga digunakan untuk mengukur skala efikasi diri atau kepercayaan diri yang dirasakan kuesioner mengukur kepercayaan diri dalam manajemen diri penalataksanaan DM. Adapun hasil reliabilitas instrumen masing-masing subvariabel untuk efikasi diri aktivitas perawatan diri: perawatan kaki (R =0,45, p<0,01), diet (R=0,039, p<0,01); exercise (R=0,33, p<0,01) dan tes gula darah (R= 0,23, p<0,01). Hasil penelitian ini membandingkan skor C-DMSES dan C-PTES pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Setelah dilakukan analisis menunjukan hasil efikasi diri dan kepuasan pasien meningkat pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,01). Aktivitas perawatan diri meningkat pada kelompok intervensi (p<0,01). Peserta dalam kelompok intervensi lebih sedikit dirawat di rumah sakit atau mengunjungi ruang gawat darurat dibandingkan kelompok kontrol pada bulan ke 6 follow-up. Penelitian ini mengungkapkan bahwa program self-efficacy untuk diabetes diterima dan efektif dalam jangka pendek dalam manajemen diri orang dengan diabetes tipe 2. Dari hasil penelitian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa intervensi SEEIP sangat diperlukan untuk meningkatkan efikasi diri dan meningkatkan aktivitas perawatan diri pasien, sehingga kontrol glikemik menjadi lebih baik dan dapat menekan angka kejadian komplikasi akibat diabetes. Penelitian ini mengungkapkan bahwa program intervensi peningkatan self-efficacy untuk diabetes efektif dalam jangka pendek dalam manajemen diri pasien diabetes tipe 2. Penelitian ini mempunyai kekuatan dan kelemahan, adapun kekuatan dalam penelitian ini antara lain : 1) Tujuan penelitian sudah disampaikan peneliti dengan jelas; 2) Alat ukur yang digunakan sesuai dengan tujuan penelitian dan disebutkan dengan jelas serta telah dilakukan uji reliabilitas; 3) Hasil analisis data ditampilkan dengan lengkap sehingga dapat dianalisa pada kelompok intervensi maupun Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 kelompok kontrol; 4)Hasil penelitian dapat menjawab tujuan penelitian; 5) Instrumen penelitian sederhana, sehingga mudah di terapkan dan di pahami oleh responden. Penelitian ini juga mempunyai kelemahan, antara lain: 1) Dalam pelaksanaan intervensi tidak disampaikan dengan lengkap, berapa menit total waktu yang dibutuhkan untuk masing- masing tahap; 2) peneliti tidak melampirkan isi booklet yang digunakan dalam penelitian. 4.1.2. Jurnal pendukung 4.1.2.1 A brief structured education programme enhances self-care practices and improves glycaemic control in Malaysians with poorly controlled diabetes Penelitian dilakukan Tan, et al (2005), yang bertujuan untuk menilai efektivitas program pendidikan diabetes terstruktur berdasarkan konsep self-efficacy pada perawatan diri dan kontrol glikemik pada pasien rawat jalan di Malaysia menggunakan desain single-blind. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 164 peserta dengan diabetes tidak terkontrol dipilih secara acak menggunakan komputer yang kemudian dibagi menjadi 2 kelompok: kelompok kontrol (n = 82) dan kelompok intervensi (n = 82). Pada kelompok intervensi di berikan perlakuan memberikan edukasi tentang praktek perawatan diri pasien diabetes: meliputi diet, aktivitas fisik, kepatuhan pengobatan dan Self Monitoring Blood Glucose (SMBG)/ pengontrolan Gula Darah Mandiri selama lebih dari 12 minggu. Evaluasi perawatan diri dilakukan pada minggu 0 dan 12 menggunakan kuesioner pre dan post tes pada kedua kelompok bersama-sama, selain itu, juga dilihat kadar hemoglobin A1c terglikasi (HbA1c) dan pengetahuan responden tentang diabetes. Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok intervensi, SMBG meningkat (p = <0,001), aktivitas fisik (p = 0,001), HbA1c (P = 0,03), pengetahuan tentang diabetes (p = <0,001). Pada Minggu 12, terdapat perbedaan HbA1c, frekuensi SMBG, kepatuhan pengobatan dan perubahan berat badan yang signifikan (P = 0,03) pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pengetahuan tetang Diabetes (p = <0,001), kadar HbA1c (p = <0,001), SMBG (P = <0,001) dan kepatuhan pengobatan (P = 0,008) meningkat dari baseline pada kelompok intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol, hanya pengetahuan diabetes meningkat (p = <0,001). Temuan ini dapat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 memberikan kontribusi pada pengembangan manajemen diri pendidikan diabetes di Malaysia. Kekuatan penelitian ini antara lain :1) Hasil penelitian dapat menjawab tujuan penelitian; 2) Hasil analisis data ditampilkan sehingga dapat dianalisa pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol; 3) Hasil penelitian dapat menjawab tujuan penelitian. Kelemahan penelitian ini antara lain : 1) Peneliti tidak menampilkan metode penelitian dengan jelas; 2) Peneliti tidak mencantumkan instrumen yang lengkap dan tidak menampilkan hasil uji instrumen yang di gunakan 4.1.2.2.Self-efficacy and self-care behavior of Malaysian patients with type 2 diabetes: a cross sectional survey Penelitian dilakukan Sharoni dan Wu (2007), penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara self-efficacy dan perawatan diri perilaku untuk menentukan tingkat efektivitas diri dan untuk menguji perbedaan self-efficacy menurut variabel pasien, termasuk keadaan kesehatan, pasien DM tipe 2 di Malaysia. Sampel terdiri 388 responden, metode penelitian survey dengan pendekatan crossectional. Hasil penelitian menyatakan ada hubungan positif yang signifikan antara self-efficacy dan perilaku perawatan diri (P <0,001). Tingkat self-efficacy adalah cukup tinggi (mean = 7,570). Ada perbedaan yang signifikan antara self-efficacy dan tingkat pendidikan (P <0,05), durasi diabetes (P <0,05), dan komplikasi diabetes (P <0,05). Self-efficacy dapat digunakan sebagai model untuk memahami perawatan diri perilaku. Intervensi keperawatan individual berdasarkan teori efektivitas diri harus digunakan pada pasien diabetes berisiko tinggi sehingga dapat membantu dan meningkatkan perilaku perawatan diri. Kekuatan dalam penelitian ini antara lain : 1) tujuan penelitian sudah disampaikan peneliti dengan jelas; 2) Hasil analisis data ditampilkan dengan lengkap, dengan menampilkan analisa data sub variabel; 3) Hasil penelitian dapat menjawab tujuan penelitian. Adapun kelemahan dalam penelitian ini antara lain : 1)peneliti tidak mencantumkan instrumen yang lengkap ; 2) peneliti tidak menampilkan hasil uji instrumen yang di gunakan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Dari beberapa hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa intervensi program peningkatan efikasi diri dapat membantu pasien DM untuk memahami dan membuat keputusan perawatan diri yang akan dilakukan. Dari ke 3 jurnal tersebut diatas yang paling relefan untuk diterapkan di RSUP Fatmawati yaitu jurnal dengan judul Effectiveness of self-management for persons with type 2 diabetes following the implementation of a self-efficacy enhancing intervention program in Taiwan. Metode edukasi dengan pendekatan SEEIP atau Program peningkatan efikasi diri bertujuan untuk meningkatkan keyakinan individu dalam memilih perawatan yang dilakukan terhadap dirinya untuk mengobati atau mengelola penyakit yang diderita sehingga aktivitas perawatan diri pasien dapat dicapai dengan optimal. 4.2 Penerapan Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian Penerapan Evidence Based Nursing (EBN) berupa Self-Efficacy Enhancement Intervention Program (SEEIP) atau program intervensi peningkatan efikasi diri dilaksanakan selama 4 minggu pada bulan Maret-April 2012 di IRNA B lantai V selatan RSUP Fatmawati Jakarta. 4.2.1 Tahap perencanaan Kegiatan penerapan EBN diawali dengan meminta izin melakukan praktek di IRNA B lantai V selatan. Setelah mendapatkan izin, praktikan membuat proposal penerapan EBN dengan bimbingan supervisor utama, supervisor akademik dan klinik, kemudian melakukan sosialisasi rencana penerapan EBN dengan kepala Ruang, Wakil Kepala Ruang, Primary Nurse (PN), tim edukator dan perawat di RS Fatmawati Jakarta dengan harapan dapat meneruskan program intervensi yang akan dilakukan. Setelah sosialisasi dilakukan, praktikan melakukan pendekatan dengan edukator dan pandu diabetes untuk mendiskusikan media edukasi yang akan digunakan untuk penerapan EBN yaitu berupa video dan booklet sehingga penerapan EBN yang dilakukan dapat berkesinambungan. Setelah media edukasi telah siap, dilanjutkan ke tahap penerapan EBN Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 4.2.2 Tahap penerapan Dalam tahap penerapan diawali dengan melakukan identifikasi pasien sesuai kriteria inklusi, yaitu pasien yang bisa komunikasi dengan baik, bisa membaca dan menulis, pernah mendapatkan OHO, kemudian pasien tersebut ditanyakan kesediaannya dan kesiapannya dalam mendapatkan edukasi dengan pendekatan SEEIP. Setelah pasien paham dan bersedia, kemudian dilakukan pengukuran efikasi diri pasien dalam pengelolaan DM dengan menggunakan kuesioner Diabetes management sel efficacy Scale (DMSES) dan Perceived Therapeutic Efficacy Scale (PTES) serta mengkaji pengetahuan dan pengalaman pasien masa lalu dalam penatalaksanaan DM, dari hasil pengkajian di dapatkan hasil semua pasien DM tipe II yang dirawat di IRNA B lantai V selatan menunjukkan ketidaktepatan dalam pengambilan keputusan menentukan tindakan perawatan yang harus dilakukan. Kondisi yang diketemukan, seperti pasien menolak makan, karena khawatir gula darah tinggi, banyak makan camilan karbohidrat karena merasa lapar, minum OHO tidak teratur dan tidak sesuai resep dokter, tidak melakukan pengobatan secara teratur dan menggunakan alas kaki yang keras, sehingga muncul kalus. Ketidakmampuan pasien dalam menentukan tindakan perawatan yang harus dilakukan akan membawa pasien kembali kambuh dan risiko muncul komplikasi jika penatalaksanaan DM yang diambil tidak tepat. Secara garis besarnya edukasi dengan pendekatan SEEIP dilakukan 4 tahap, berdasarkan teori efikasi diri yang dikembangkan Bandura (1997). Adapun tahap dalam SEEIP diperlihatkan pada table 4.1, sedangkan penerapan SEEIP lebih rinci dilampiran dilampiran 7. Tabel 4.1 Tahap Self-Efficacy Enhancement Intervention Program (SEEIP). Tahap Aktifitas Pertama Melihat video tentang DM dan penatalaksanaannya serta pengalaman pasien dengan DM tipe 2 selama 10 menit Kedua Menerima booklet (lampiran 5) tentang DM dan penatalaksanaan perawatan diri dan menjelaskan isi booklet (setiap pertemuan satu tema, dengan durasi waktu sesuai kesepakatan dengan pasien) 1. Penyakit DM, tanda gejala dan komplikasinya 2. Diet DM 3. Obat DM dan insulin 4. Olah raga dan perawatan kaki Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Ketiga Konseling program peningkatan efikasi diri antara pasien dengan fasilitator keempat Evaluasi atau follow up tentang efikasi diri dengan menggunakan kuesioner DMSES dan PTES Sumber : Wu ett al (2007) 4.2.3 Hasil Penerapan EBN Berikut diagram hasil penerapan EBN dengan menggunakan instrumen DMSES dan PTES (lampiran 6) yang praktikan lakukan di lantai V selatan RSUP Fatmawati Jakarta untuk melihat elihat perubahan efikasi diri pasien DM tipe II sebelum dan setelah mendapatkan SEEIP. Penerapan SEEIP dilakukan pada 10 pasien DM tipe 2, selama bulan Maret sampai April 2012. Berdasarkan diagram 4.1 menunjukkan bahwa rata-rata rata terjadi peningkatan skore DMSES pada semua pasien, walaupun berbeda-beda berbeda interval kenaikannya pada tiap pasien dengan interval tertinggi 56 poin yaitu pada pasien no 5 dan terendah pada pasien no 10 yaitu dengan kenaikan 12 poin. Berdasarkan analisis praktikan kondisi ini diakibatkan karena faktor usia, penurunan kondisi fisik selama se masa perawatan, kurangnya dukungan dari keluarga keluarga, keluarga terkesan mengabaikan pasien, jarang terlibat dalam perawatan pasien pasien,, kondisi tersebut praktikan antisipasi dengan melibatkan pasien dan keluarganya yang satu kamar dalam memberikan support system selama proses penerapan SEEIP berlangsung. Diagram 4.1 Skor DMSES sebelum dan sesudah dilakukan SEEIP Di Irna B lantai V selatan RSUP Fatmawati Jakarta, Maret-April April 2012 150 100 50 Pre Test 0 Post Tes Untuk skore PTES sebelum dan sesudah SEEIP dan ditampilkan n pada diagram 4.2 4. di bawah ini. Berdasarkan diagram 4.2 semua pasien mengalami peningkatan skor PTES dengan interval bervariasi, skor tertinggi pada pasien no 7 sebanyak 48 poin dan interval terendah pada pasien no 10 yaitu hanya 7 poin. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Diagram 4.2 Skor PTES sebelum dan sesudah dilakukan SEEIP di Irna B lantai V selatan RSUP Fatmawati Jakarta, Maret-April April 2012 150 100 50 Pre Tes 0 Post Test Dari kedua diagram diatas terlihat bahwa efikasi diri semua pasien mengalami peningkatan setelah mendapatkan edukasi dengan pendekatan SEEIP SEEIP.. Peningkatan yang signifikan terlihat baik pada pasien no 5 dan 7. Berdasarkan pendapat pasien tersebut, dirinya sangat yakin bisa melakukan perawatan DM nya setelah mendapatkan penjelasan dan simulasi tentang yang telah di diberikan, pasien yang salah dalam perencanaan makan diabetes, setelah mendapatkan edukasi dengan pendekatan SEEIP sekarang yakin bisa memilih dan mengatur perencanaan makan sesuai diitnya. Selama proses edukasi dengan pendekatan SEEIP pasien mampu mendemonstrasikan kembali peng pengaturan aturan menu dengan menggunakan daftar penukar bahan makan, mampu mendemonstrasikan cara perawatan kaki, mampu mengikuti dan melakukan senam kaki serta mampu mendemonstrasikan kembali cara injeksi insulin insulin. Nilai rata-rata rata untuk DMSES dan PTES pada kelompok intervensii dapat dilihat dalam diagram 4.3, dimana keduanya mengalami peningkatan pen sebelum dan sesudah diberikan berikan SEEIP. Diagram 4.3 Nilai rata rata-rata DMSES dan PTES sebelum dan sesudah SEEIP di Irna B lantai V RSUP Fatmawati Jakarta Maret-April April 2012 150 100 50 0 Pre tes Post tes DMSES PTES Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Berdasarkan diagram diatas terjadi peningkatan skor DMSES sebanyak 38,8 poin dan PTES sebanyak 34,7 poin setelah di berikan SEEIP. Rata-rata rata pasien mengalami peningkatan efikasi diri ssetelah program SEEIP selesai diberikan. berikan. Sebagai pembanding, praktikan juga mengambil data untuk kelompok kontrol sebanyak 9 pasien DM tipe 2, kelompok kontrol merupakan kelompok dengan karakteristik yang sama dengan kelompok perlakukan, hanya saja kelompok kontrol mendapatkan edukasi dengan tehnik ceramah dan tanya jawab seperti yang telah dilakukan di ruangan. Berikut ini hasil evaluasi pada kelompok kontrol dengan menggunakan instrumen DMSES ddan PTES. Diagram 4.4 Skore DMSES kelompok kontrol di Irna B lantai V RSUP Fatmawati Jakarta, Maret Maret-April April 2012 120 100 80 60 40 20 0 Pre Tes Post Tes Berdasarkan diagram iagram 4.4 menunjukan 6 pasien mengalami engalami peningkatan pada skor DMES akan tetapi peningkatannya tidak signifikan, 2 pasien mengalami penurunan skor dan 1 pasien dengan skor yang sama. Pasien yang mengalami penurunan skor DMES pada pasien no 3 dan 7. Berdasarkan analisis praktikan, hal ini diakibatkan, pasien maupun keluarga kurang termotivasi dalam mengikuti edukasi, edukasi selain itu terdapat penurunan kondisi pasien selama pasien dirawat rawat sehingga menurunkan menu efikasi diri pada pasien dalam merawat dirinya sendiri (diagram 4.4). ). Demikian pula untuk skor PTES PTES, rata-rata rata kenaikan setelah edukasi tidak signifikan, ada 2 pasien mengalami penurunan skor nilai yaitu pada pasien 3 dan 8 (diagram 4.5). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Diagram 4.5 Skore PTES kelompok kontrol di Irna B lantai V RSUP Fatmawati Jakarta, Maret-April April 2012 120 100 80 60 40 20 0 Pre Tes Post Tes Ps Ps Ps Ps Ps Ps Ps Ps Ps 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Diagram 4.6 Nilai rata rata-rata rata DMSES dan PTES kelompok kontrol di Irna B lantai V RSUP Fatmawati Jakarta, Maret-April April 2012 100 80 pre tes 60 post tes DMSES PTES Berdasarkan diagram 4.6 diatas rata-rata kenaikan skore tidak terlalu signifikan seperti pada kelompok intervensi. Kenaikan skore DMSES sebanyak 1,38 poin dan PTES mengalami kenaikan 2,9 poin. 3.2.4 Evaluasi dan Desiminasi Setelah penerapan EBN selesai dilakukan selama bulan Maret Maret- April, kemudian hasil penerapan EBN tersebut disampaikan ke Karu, wakil karu,, edukator dan PN RSUP Fatmawati, hasilnya mendapatkan tanggapan yang positif. Booklet yang digunakan praktikan dalam penerapan EBN akan dilanjutkan oleh edukator dalam memberikan edukasi kepada pasien, karena sselama elama ini media edukasi yang digunakan di sangat minimal. Metode edukasi yang semula berupa ceramah dan tanya jawab hanya dari edukator, setelah penerapan EBN, kemudian metode edukasi selanjutnya dikembangkan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 dengan mendatangkan seorang pandu diabetes sebagai role model dalam pelaksanaan DM secara mandiri. 4.3 Pembahasan Potter dan Perry (2005) menyatakan bahwa keyakinan diri pasien tentang kesehatan dapat menjadi motivasi yang kuat untuk mengambil tindakan yang dapat mengurangi proses penyakit atau mengurangi tingkat keparahan. Peran perawat sebagai edukator ikut andil dalam memberikan pengetahuan dan motivasi kepada pasiennya, seperti yang di ungkapkan oleh Henderson (1966) dalam Potter dan Perry (2005) bagian dari peran perawat adalah untuk meningkatkan tingkat pemahaman pasien dan dengan demikian meningkatkan kesehatan. Pelaksanaan intervensi program peningkatan efikasi diri bermafaat untuk meningkatkan keyakinan diri pasien untuk merawat dirinya sendiri. Program tersebut menekankan keikutsertaan pasien dalam belajar yang secara tidak langsung dipengaruhi keinginan untuk mendapatkan pengetahuan dan kemampuan dalam perawatan dirinya. Trento, et al. (2004) dalam Atak, Gurkan & Kose (2006) menjelaskan bahwa kelompok pendidikan kesehatan meningkatkan pengetahuan pemecahan masalah mengenai DM dan meningkatkan pengambilan keputusan tentang perubahan gaya hidup untuk melakukan manajemen penyakit. Begitu pula Anderson, et al (1995) dalam Atak, Gurkan, & Kose (2006) melakukan studi mengenai efek pendidikan kesehatan tentang DM, dengan pendidikan kesehatan tentang manajemen penyakit didapatkan perubahan psikososial dan ketrampilan dimana seseorang dengan DM tipe 2 berkembang keyakinannya tentang koping psikososial DM yang disebut keyakinan diri DM. Dapat disimpulkan pendidikan kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup dan keyakinan diri. Pasien yang mengikuti SEEIP rata-rata mempunyai riwayat masalah ketidakefektifan regimen terapetik berhubungan dengan kurangnya pengetahuan dan akhirnya mengambil keputusan yang tidak tepat mengenai tindakan perawatan yang diambil untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Kesalahan dalam penatalaksanaan DM antara lain kesalahan dalam perencanaan makan, aturan dalam meminum OHO dan cara perawatan kaki, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 sehingga sebagain besar pasien datang dengan komplikasi dan gula darah tidak terkontrol. Seperti halnya studi eksplorasi yang dilakukan Norris (2002) mengenai pengetahuan diabetes dan hasil, didapatkan 50% sampai 80% penderita DM kurang pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk manajemen DM. Pengetahuan sangat penting untuk mencapai kontrol gula darah yang baik, mencegah komplikasi, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan biaya perawatan. Berdasarkan pernyataan terdahulu, Walker (1999 dalam Ikeme, 2008) menyatakan bahwa pengetahuan penting dalam mempengaruhi perubahan perilaku. Peningkatan perilaku sehat melalui pendidikan meningkatkan kepercayaan diri pasien mengambil tanggung jawab dalam menjaga kesehatannya. Pengetahuan yang baik dapat menghasilkan kebiasaan mempertahankan kesehatan yang lebih baik pula (Redman, 1993 dalam Perry & Potter, 2006). Pengetahuan yang dimiliki akan memberikan keyakinan terhadap individu dalam setiap mengambil keputusan dan dalam perilaku. Individu akan mengadopsi perilaku dengan tahapan-tahapan : individu mulai menyadari adanya stimulus, individu mulai berpikir dan mempertimbangkan, individu mulai mencoba perilaku baru, individu menggunakan perilaku baru (Rogers, 1974 dalam Setiawati & Dermawan, 2008). Pengelolaan penyakit pada penderita DM tipe 2 memerlukan kepatuhan untuk mencapai kontrol gula darah yang baik, yang dapat mencegah terjadi komplikasi dari penyakit DM itu sendiri. Keyakinan pasien tentang kesehatan dapat menjadi motivasi yang kuat dalam pengelolaan penyakit. Efikasi diri merupakan keyakinan dalam kemampuan seseorang untuk mengatur dan melaksanakan program tindakan yang diperlukan untuk mengelola situasi yang akan terjadi (Bandura, 1995). Self -Efficacy Enchem ent Intervention program merupakan salah satu tehnik pembelajaran untuk meningkatkan efikasi diri pasien yang diadopsi Teori kognitif sosial (social cognitive theory, SCT) yang dikemukakan oleh Bandura menyatakan ada tiga faktor yang berperan penting dalam pembelajaran yaitu: perilaku, person (kognitif) dan lingkungan, faktor kognitif yang dimaksud adalah efikasi diri (Bandura, 1997). Efikasi diri dikembangkan oleh empat sumber utama yang berpengaruh, antara lain: (1) Enactive mastery experiences (pengalaman penguasaan tindakan) yaitu Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 mengelola tuntutan tugas dengan berhasil; (2) vicarious experience (pengalaman permodelan) adalah dengan melihat orang-orang yang mirip dengan dirinya; (3) Verbal persuasion ( persuasi verbal) tentang kemampuan untuk berhasil dalam kegiatan tertentu; (4) Somatic and emotional state (kondisi somatik dan emosional ), menunjukkan kekuatan pribadi dan kerentanan. Pemahaman keempat sumber ini akan membantu perawat untuk menetapkan intervensi yang membantu pasien mengadopsi perilaku sehat (Potter & Perry, 2009). Berdasar evaluasi penerapan EBN, pelaksanaan edukasi dengan pendekatan SEEIP secara umum berjalan dengan baik dengan menunjukkan hasil efikasi diri pasien setelah dilakukan SEEIP lebih baik, dibandingkan dengan metode konvensional (ceramah dan tanya jawab). Faktor pendukung selama pelaksanaan SEEIP sangat membantu praktikan, yaitu berupa dukungan dan kerjasama edukator, pandu diabetes dan kepala ruangan, serta tersedianya alat peraga (food model, set perawatan kaki, contoh macam-macam OHO,pen insulin dan maniqin injeksi) yang bisa digunakan untuk simulasi dan demonstrasi selama tahap konseling. Adapun hambatan yang praktikan temui selama penerapan EBN, tidak tersedianya TV dan DVD untuk menanyangkan video, tetapi hal ini penulis antisipasi dengan menggunakan laptop dan proyektor. Upaya penerapan SEEIP secara berkesinambungan yaitu dengan 1) Menyampaikan hasil penerapan EBN ini ke edukator, kepala ruang dan pemegang kebijakan RS tentang manfaat SEEIP, 2) memberikan booklet panduan hidup sehat dengan diabetes ke edukator sebagai media edukasi, 3) merekomendasikan tehnik edukasi tidak hanya sebatas meningkatkan pemahaman/kognitif, tetapi juga melatih psikomotor dengan cara simulasi dan demonstrasi dengan alat peraga yang tersedia, 4) melibatkan peran serta pandu diabetes sebagai role model dalam perawatan diabetes secara mandiri selama edukasi. 5) melakukan pendekatan kepada edukator bahwa SEEIP diberikan sejak pasien masuk ke RS dengan melibatkan peran serta keluarga. Pasien dan keluarga diposisikan sebagai mitra yang memiliki kewenangan untuk menentukan masalah atau topik sesuai dengan kondisi atau dibutuhkan pasien, sehingga saat pasien keluar dari RS, pasien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri. Kemampuan pasien memutuskan perawatan yang dilakukan akan membantu meningkatkan status kesehatan, mencegah komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Edukasi hendaknya dilakukan tidak hanya sebatas selama pasien dirawat akan tetapi dilakukan berkesinambungan sejak fase prapatogenesis sampai dengan fase patogenesis, sehingga pasien mampu adaptif dalam perawatan dirinya sendiri. Perlu kerjasama multidisiplin dalam upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Peningkatan keyakinan diri pasien pasien terhadap kemampuan pasien dalam mengelola penyakitnya sehingga memungkinkan pasien untuk mematuhi perawatan yang harus dilakukan baik selama pasien di rawat maupun selama pasien berada di rumah, sehingga kualitas hidup pasien menjadi lebih baik. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 BAB 5 KEGIATAN INOVASI PADA PENGELOLAAN PASIEN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN Salah satu peran perawat spesialis yaitu mampu memberikan inovasi keperawatan di tatanan klinik dengan tujuan menggerakkan atau menguatkan sistem yang sudah berjalan di ruangan, ataupun jika suatu sistem tersebut tidak lagi relefan lagi dengan perkembangan ilmu yang ada, maka perlu pembaharuan berdasarkan Evidence Based Nursing (EBN). Sebagai perawat spesialis diharapkan mampu berperan sebagai pemimpin klinik (clinical leadership), konsultan, fasilitator, koordinator, role model, dan advokat baik bagi pasien maupun perawat generalis. Hadirnya perawat spesialis ini diharapkan mampu meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang selalu berkesinambungan melalui pembaharuanpembaharuan dan inovasi dibidang keperawatan sehingga pelaksanaan asuhan keperawatan semakin berkualitas. Dalam bab ini akan disampaikan kegiatan inovasi selama penulis praktik di RSUP Fatmawati Jakarta. 5.1 Analisa situasi RSUP Fatmawati didirikan pada tahun 1954 oleh Ibu Fatmawati Soekarno yang semula sebagai RS yang mengkhususkan Penderita TBC Anak dan Rehabilitasinya. RSUP Fatmawati terus berkembang, berdasarkan penilaian Tim Akreditasi RS, pada tahun 2007 RSUP Fatmawati memperoleh status Akreditasi Penuh Tingkat Lengkap 16 Pelayanan. Pada tahun 2011, RSUP Fatmawati telah menyandang sertifikat Terakreditasi ISO 9001 : 2008 dan OHSAS 18001 : 2007 dan saat ini sedang menuju untuk mendapatkan sertifikat JCI (Join Commission International) tahun 2013. Sampai saat ini RSUP Fatmawati masih menjadi RS rujukan wilayah Jakarta Selatan, Depok dan Bogor. Dari 10 penyakit terbanyak pada tahun 2010 di RSUP Fatmawati, diabetes mellitus menempati urutan pertama. Jumlah kunjungan pasien DM tipe 2 ke Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Fatmawati Jakarta pada tahun 2010 setiap bulannya rata rata 1500 kunjungan, baik pasien lama maupun pasien baru. Irna B lantai 5 selatan merupakan ruang rawat inap yang merawat pasien dengan kasus penyakit dalam termasuk kasus metabolik endokrin, yang terbagi menjadi 3 107 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 108 unit ruang rawat, yaitu High Care Unit (HCU), ruang rawat inap laki-laki (5 ruang) dan ruang rawat inap perempuan (4 ruang). Di unit ruang laki-laki dan perempuan masing-masing mempunyai 1 ruang untuk merawat pasien dengan kasus metabolik endokrin dan masing-masing juga mempunyai ruang isolasi yang bisanya dipergunakan untuk merawat pasien DM tipe 2 dengan ulkus kaki diabetik, di HCU digunakan untuk merawat pasien dengan kasus kegawatan, misalnya kegawatan metabolik endokrin (KAD). Jumlah pasien diabetes yang dirawat khususnya di ruang rawat inap penyakit dalam di gedung Teratai lantai 5 Selatan pada bulan September 2011 hingga Februari 2012 sebanyak 123 pasien terdiri dari 36 (29.1%) pasien mengalami ulkus diabetik dan 87 (69.9%) pasien dengan tanpa ulkus. Berdasarkan informasi perawat di Irna B lantai V, sejak bulan Januari 2012 beberapa kasus DM tipe 2 dengan ulkus kaki diabetik, terinfeksi kuman psedomonas aeruginosa yang dikarakteristikkan warna sekitar ulkus berwarna kehijauan, kondisi ini berlangsung sampai bulan Maret 2012, dimana dalam 1 bulan terakhir diketemukan 3 dari 11 kasus ulkus diabetik yang terinfeksi pseudomonas aeruginosa. Dengan adanya infeksi pseudomanas akan mempersulit penyembuhan dan menyebabkan kontrol metabolik menjadi lebih buruk. Adapun upaya yang telah di tempuh oleh perawat ruangan berupa mensterilkan ruangan, perawatan luka dengan metode surgical debridement lokal atau nekrotomi serta irigasi luka. Metode Irigasi luka yang dilakukan oleh perawat di ruangan selama ini dengan menggunakan tehnik irigasi Nacl 0,9% yang langsung diguyurkan langsung dari botol salin (80%) dan dengan menggosok atau mengusap dengan kasa yang telah dilembabkan dengan Nacl 0,9% (20%) data ini diperoleh berdasarkan hasil observasi dan wawancara selama bulan Oktober-Desember. Berdasarkan hasil studi metaanalisis dari The Joanna Briggs Institute (2006) yang menyatakan bahwa irigasi luka dengan menggunakan tekanan 13 psi (syringe 12 cc dengan jarum 22 G) dengan cairan Nalc 0,9% terbukti secara klinis mampu menurunkan infeksi (p=0,017) dan inflamasi (p=0,034). Keefektifan hasil penelitian ini juga pernah dibuktikan pada 9 pasien dengan ulkus kaki diabetik, berdasarkan hasil pengamatan metode ini mampu mampu menurunkan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 109 terjadinya infeksi pada ulkus kaki diabetik dengan parameter Clinical Sign And Simptom Checklist For Diabetic Foot Ulcer (CSSC-DFU) yang ditunjukkan dengan penurunan nyeri, menurunkan edema, menurunkan perbedaan suhu kulit pada sisi proksimal, meminimalkan produksi eksudat, eksudat serous, eksudat sanguins, mencegah kegagalan penyembuhan, mencegah perubahan warna granulasi menjadi pucat, mencegah kerapuhan granulasi, mengurangi pembentukan kantong pada dasar luka, mengurangi bau yang menyengat, mencegah kerusakan pada tepi luka. Berdasarkan perlakuan pada 1 pasien yang mengalami infeksi pseudomonas aureus pada tendon, didapatkan data bahwa irigasi 13 psi mampu mengangkat sisa debris yang berwarna hijau sehingga mencegah tindakan debridement pada tendon Berdasarkan keefektifan metode irigasi 13 psi dalam menurunkan kejadian infeksi ulkus kaki diabetik, maka penting menyampaikan dan mensosialisasikan tindakan tersebut kepada perawat di RSUP Fatmawati khususnya perawat yang kesehariannya melakukan perawatan luka, melalui pelatihan tentang tehnik irigasi 13 psi dan pengkajian luka infeksi dengan format Clinical Sign And Simptom Checklist For Diabetic Foot Ulcer (CSSC-DFU). 5.2 Kegiatan Inovasi 5.2.1 Kontrak pelaksanaan kegiatan Pelaksanaan kegiatan didasari atas fenomena masalah keperawatan yang ada saat itu, yaitu cukup banyak angka kejadian infeksi ulkus kaki diabetik salah satunya akibat pseudomonas. Kemudian fenomena tersebut dibahas oleh tim atau kelompok inovasi bersama kepala ruangan, wakil kepala ruang dan beberapa perawat primer, dan ternyata apa yang ditemukan tim inovasi juga dirasakan oleh perawat primer dan kepala ruangan. Kepala ruangan mengatakan bahwa dalam 2 bulan terakhir kejadian ulkus DM dengan infeksi pseudomonas cukup tinggi, sehingga perlu suatu metode untuk menurunkan atau menghilangkan kejadian tersebut. Langkah selanjutnya adalah membagikan kuesioner yang berisi pertanyaan tentang pemahaman perawat tentang irigasi luka dengan metode 13 psi dan kesediaan perawat untuk mengikuti pelatihan irigasi 13 psi. Adapun hasilnya Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 110 adalah 57.5% perawat pernah mendengar adanya irigasi 13 psi setelah dilakukan sosialisasi, 40% tidak pernah, namun hanya 30% yang pernah melakukan tekhnik tersebut, sehingga hampir seluruh perawat di Irna B lantai 5 selatan (92.5%) menginginkan adanya pelatihan tentang pengkajian, pemeriksaan dan perawatan kaki diabetik dengan menggunakan metode irigasi 13 Psi.Setelah melakukan diskusi dengan kepala ruangan, dan PN, akhirnya disepakati untuk membuat suatu program pelatihan tentang tekhnik irigasi 13 Psi pada ulkus kaki diabetik dan luka infeksi serta pengkajian infeksi ulkus kaki diabetik dengan metode CSSC-DFU. 5.2.2 Sosialisasi program inovasi Langkah awal dimulai dengan pembuatan proposal kegiatan program inovasi mengenai tekhnik irigasi 13 Psi pada ulkus kaki diabetik dan pengkajian pada infeksi ulkus diabetik dengan metode CSSC-DFU yang di konsultasikan ke supervisor akademik dan supervisor klinik, yang selanjutnya disosialisasikan kepada kepala ruangan, wakil kepala ruang, PN dan perawat pelaksana di Irna B lantai V selatan RSUP Fatmawati Jakarta di ruang edukasi Irna B lantai V selatan. Sosialisai kedua rencana program inovasi yang dilaksanakan di Irna C lantai 4, kegiatan dilaksanakan pada hari Jum’at 16 Mei 2012 tanggal pukul 13.00 WIB. Kegiatan dihadiri oleh PN Irna B lantai 5 selatan dan team wound care (yang terdiri dari perawat Irna B lantai 4,5, dan 6 utara selatan, Irna C lantai 5 dan 1, poliklinik penyakit dalam) RSUP Fatmawati. 5.2.3 Pelaksanaan program inovasi Tempat pelaksanaan inovasi kegiatan program inovasi berlangsung selama 2 hari yaitu pada tanggal 17-18 April 2012. Penyampaian materi bertempat diruang pendidikan lantai I gedung Prof. Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta sedangkan hands on atau pelaksanaan praktek di lakukan di Irna B lantai 5 selatan dan utara. Jumlah keseluruhan peserta pelatihan sebanyak 40 orang, pada pertama tanggal 17 April 2012 peserta sebanyak 20 orang, yang dihadiri perawat Irna B lantai IV utara, lantai V utara dan selatan, sedangkan pada hari kedua pada tanggal 18 April 2012 peserta sebanyak 20 orang yang dihadiri perawat Irna B lantai IV selatan, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 111 lantai V utara, V selatan, lantai VI utara, lantai VI selatan, Irna C lantai I dan III serta tim wound care paviliun anggrek. Pelaksanaan kegiatan pelatihan inovasi yang berbasis berbasis Evidence Based Nursing dilaksanakan selama 2 hari, pada hari pertama (Selasa, 17 April 2012) mulai dari jam 07.30 – 13.30 WIB, Diawali dengan laporan ketua panitia tentang rencana pelatihan yang akan dilakukan kemudian dilanjutkan dengan pemberian sambutan dari supervisor akademik, Ketua Komite Keperawatan RSUP Fatmawati dan Kepala Bidang Keperawatan RSUP Fatmawati yang sekaligus membuka acara pelatihan. Pre tes berikan sebelum pemberian materi pengkajian kaki diabetik infeksius dengan metode CSSC-DFU dan tekhnik irigasi 13 psi pada ulkus kaki diabetes sebagai kontrol infeksi dan inflamasi (lampiran 8) dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Setelah pemberian materi peserta pelatihan kemudian mengikuti hands on atau praktek langsung luka dilakukan oleh penulis sebagai pelatih bersama PN Irna B lantai V selatan sebagai fasilitator. Tempat pelaksanaan handson irigasi luka 13 psi dilakukan di High Care Unit (HCU) Irna B lantai V selatan. Selama handson peserta pelatihan diberikan kesempatan untuk mendemosntrasikan kembali dan peserta pelatihan tugas untuk observasi pelaksanaan tindakan untuk kemudian dipersentasikan. Kelompok menyampaikan hasil pengkajian dan pelaksanaan hands on serta menyampaikan kendala dan solusinya. Hasil pengamatan peserta pelatihan berupa kondisi ulkus dengan warna putih atau kuning dilakukan irigasi dengan tekanan 13 psi, sedangkan dengan warna merah (jaringan granulasi) dilakukan irigasi dengan tekanan 7 psi menggunakan cairan normal saline 0,9%. Presentasi diakhiri dengan membuat kesepakatan bersama dengan peserta pelatihan untuk tetap melaksanakan tekhnik irigasi 13 psi pada luka yang terinfeksi, terutama pada ulkus kaki diabetes sebagai kontrol infeksi dan inflamasi di ruangan masing-masing. Setelah presentasi selesai, dilakukan evaluasi terhadap pemahaman materi yang telah disampaikan dengan memberikan post tes ke peserta pelatihan. Hari kedua pada hari dabu, 18 April 2012 di mulai dengan memberikan soal pre tes dilanjutkan pemberian materi pengkajian kaki diabetik infeksius dengan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 112 metode CSSC-DFU dan tekhnik irigasi 13 psi pada ulkus kaki diabetes sebagai kontrol infeksi dan inflamasi dilanjutkan dengan tanya jawab. Setelah mater selesai peserta pelatihan dibawa ke Ruang HCU Irna B lantai V Selatan dan ruang 501 Irna B lantai V Utara RSUP Fatmawati Jakarta untuk melanjutkan sesi pelaksanaan Hands on atau praktek langsung kepada pasien dilakukan oleh penulis sebagai pelatih bersama PN dan wakil kepala ruang lantai V selatan sebagai fasilitator. Peserta diberi kesempatan untuk mendemonstrasikan kembali ketrampilan yang telah disimulasikan, peserta pelatihan juga diberi tugas untuk melakukan evaluasi pelaksanaan handson untuk kemudian hasilnya diperentasikan. Hasil pengamatan peserta pelatihan berupa kondisi ulkus dengan warna putih atau kuning (ulkus infeksi) dilakukan irigasi dengan tekanan 13 psi, sedangkan dengan warna merah (jaringan granulasi) dilakukan irigasi dengan tekanan 7 psi menggunakan cairan normal saline 0,9%. Presentasi diakhiri dengan membuat kesepakatan bersama dengan peserta pelatihan untuk tetap melaksanakan tekhnik irigasi 13 psi pada luka yang terinfeksi, terutama pada ulkus kaki diabetes sebagai kontrol infeksi dan inflamasi di ruangan masingmasing. Kegiatan dilanjutkan dengan melakukan evaluasi terhadap pemahaman materi dengan memberikan soal post test. Pelatihan ditutup oleh kepala seksi perencanaan dan pengembangan keperawatan yang mewakili Kepala Bidang Keperawatan RSUP Fatmawati Jakarta. Dalam acara penutupan tersebut disampaikan bahwa irigasi dengan tehnik 13 psi hendaknya diaplikasikan diruangan masing-masing dan diajarkan juga ke perawat yang lain, yang tidak mengikuti pelatihan dan disampaikan pula bahwa materi pelatihan tersebut akan menjadi acuan untuk perbaikan dan pengembangan Standart Operating Prosedur yang telah ada. 5.2.4 Materi Pelatihan 5.2.4.1 Pengkajian kaki diabetik infeksius dengan metode CSSC-DFU Format CSSC-DFU ini telah diperkenalkan oleh Gardner, Hillis, dan Frantz. (2009) berdasarkan rekomendasi Infection Disease Society of America (IDSCDFU) merupakan salah satu metode untuk mendiagnosa infeksi ulkus kaki Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 113 diabetik melalui pemeriksaan klinis tanda-tanda infeksi. Terdapat 12 tanda-tanda yang dapat mengidentifikasi adanya infeksi. Adapun 12 tanda yang dikaji meliputi: peningkatan keluhan nyeri, eritema, edema, suhu, eksudat purulent, eksudat sanguinos, eksudat serous, keterlambatan penyembuhan luka, perubahan warna jaringan granulasi, jaringan granulasi menjadi rapuh, kantung pada luka, dan kerusakan tepi luka (lampiran 10). 5.2.4.2 Tekhnik irigasi 13 psi pada ulkus kaki diabetes sebagai kontrol infeksi dan inflamasi. Materi ini berdasarkan studi metaanalisis dari Joanna Briggs institute (2006). Adapun tahap dalam irigasi luka luka dengan metode 13 psi adalah sebagai berikut : a. Persiapan alat: 1) 1 set irigasi luka steril : kom steril,bengkok steril, spuit irigasi 12 cc, needle 22G atau kateter iv 22G 2) Cairan irigasi (Nacl 0,9%) 3) Sarung tangan steril, Sarung tangan bersih disposable 4) Alas kedap air/ underpad 5) Kassa steril 6) Kantong plastic untuk tempat sampah 7) Celemak (jika perlu) 8) Selimut mandi 9) Plester & gunting plester sesuai kondisi luka 10) Korentang b. Jelaskan prosedur kepada klien, c. cek order medis untuk pelaksanaan irigasi luka d. Dekatkan alat e. Cuci tangan f. Tutup pintu dan korden, g. Pakai selimut mandi jika diperlukan. h. Posisikan klien sedemikian rupa sehingga cairan irigasi dapat mengalir dari bagian atas luka ke bagian bawah luka,letakkan alas kedap air di bawah klien. i. Pastikan cairan irigasi sesuai suhu tubuh Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 114 j. Buka area luka, dekatkkan kantong plastik, pakai skort jika diperlukan. k. Buka perekat/plester, pakai sarung tangan bersih untuk membuka balutan lama, l. Kaji jumlah, tipe, dan bau drainase, observasi kondisi luka m.Buang balutan lama di kantong plastik, lepas sarung tangan dan buang ke kantong. n. Gunakan teknik aseptic, buka peralatan dan bahan yang akan dipakai. o. Tuangkan cairan irigasi ke container/kom steril. Jumlah menyesuaikan dengan kondisi luka, mulai 200 – 500 ml. p. Pakai sarung tangan steril pada tangan yang dominan q. Letakkan bengkok steril di bagian bawah luka untuk menampung cairan irigasi dengan menggunakan tangan bukan dominant. r. Dengan menggunakan tangan yang dominan, isi spuit dengan cairan irigasi, semprotkan cairan irigasi pada luka. Jarak ujung spuit dengan luka 2,5 cm, Jika menggunakan kateter IV, masukkan pada luka untuk menjangkau bagian luka yang tidak terkena semprotan cairan irigasi. s. Teruskan irigasi sampai bersih. upayakan untuk tetap menjaga kestabilan aliran semprotan. t. Keringkan luka,tutup dengan kassa u. Lepaskan sarung tangan dan buang di kantong plastik, Plester luka v. Cuci tangan, bereskan alat, buat klien merasa nyaman w. Kaji balutan tiap shift, catat perubahan pada luka, tampilan luka dan drainase dan dokumentasi. 5.2.5 Evaluasi Evaluasi pelatihan meliputi evaluasi tentang pemahaman materi pelatihan, evaluasi pelaksanaan kegiatan pelatihan, dan evaluasi psikomotor dengan menggunakan kuesioner dan cheklist 5.2.5.1 Evaluasi pemahaman materi pelatihan Evaluasi terhadap pemahaman materi pelatihan dengan menggunakan pertanyaan pre dan post tes (lampiran 8). Pada hari pertama dan hari kedua pelatihan terdapat peningkatan pengetahuan tentang materi pelatihan. Rata-rata nilai pre dan post tes seperti dalam diagram 5.1. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 115 Diagram 5.1 Rata-Rata Nilai Pre Dan Post Tes Peserta Pelatihan Pre Test 57.62 76 Post Test 56.5 Hari ke 1 74.75 Hari ke 2 Dari diagram 5.1, menunjukkan nilai rata-rata peserta hari pertama maupun kedua mengalami peningkatan pemahaman terhadap materi pelatihan dengan rerata kenaikan 19,38 pada hari pertama dan 18,25 pada hari kedua. Hal ini dapat disimpulkan bahwa materi pelatihan yang disampaikan dapat dipahami dengan mudah oleh peserta pelatihan. 5.2.5.2 Evaluasi pelaksanaan kegiatan Evaluasi selama kegiatan pelatihan berlangsung dengan menggunakan kuesioner tentang terhadap materi, sarana dan prasarana, tempat, konsumsi dan pelaksanaan hands on (lampiran 9). Berikut ini hasil evaluasi pelaksanaan pelatihan (diagram 5.2). Diagram 5.2 Evaluasi Pelaksanaan pelatihan 100% 80% 60% Sgt Menarik 40% Menarik 20% krg Menarik 0% Materi Sarana & Prasarana Tempat konsumsi Hands on Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 116 Berdasarkan diagram 5.2 di atas, rata-rata peserta merasa puas dan sangat tertarik dengan materi, praktik serta sarana prasarana pelatihan yang diberikan, adapun yang menjadi kendala saat pelaksanaan pelatihan berupa tempat pelatihan yang dirasa sebagian peserta pelatihan kurang nyaman, karena gangguan tekhnis, tetapi bisa segera diatasi. Hasil evaluasi selama hands on berlangsung, peserta pelatihan mampu melakukan pengkajian infeksi ulkus kaki diabetik dengan menggunakan format CSSC-DFU dan mampu melakukan irigasi dengan tekanan 13 Psi pada kondisi luka yang tepat. Selama pelaksanaan hands on Beberapa peserta merasakan kendala berupa cipratan cairan irigasi yang mengenai perawat. Solusi untuk kondisi tersebut dengan cara pengaturan posisi dan tehnik irigasi yang benar, dengan jarak minimal 3 cm dan arah penyemprotan tegak lurus. Penggunaan APD yang benar, posisi yang tepat serta modifikasi alat dengan menggunakan sterofoam untuk mencegah percikan cairan irigasi mengenai perawat. 5.2.5.3 Evaluasi psikomotor Evaluasi psikomotor pelaksanaan irigasi dengan tekanan 13 psi dilakukan di Irna B lantai V selatan selama 2 minggu terhitung setelah pelatihan selesai, dari 8 perawat yang dievaluasi 2 orang (25%) melakukan dengan sempurna, 3 orang tidak melepaskan needle saat menghisap cairan dan 2 orang tidak menjelaskan prosedur tindakan ke pasien dan 1 orang posisi dan arah irigasi yang kurang tepat (format evaluasi dilampiran 11) Berdasarkan evaluasi psikomotor terhadap pelaksanaan pengkajian ulkus kaki diabetik dengan format CSSC-DFU, dari 8 perawat yang dievaluasi 6 orang (75%) melakukan dengan tepat sesuai prosedur, 1 orang melakukan pengukuran suhu dengan infra red yang kurang tepat dan 1 orang yang belum bisa membedakan serous dan sanguins. Berdasarkan kedua evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa program inovasi dapat diterima dan dapat dilaksanakan oleh perawat dengan mudah. Prosedur irigasi dengan metode 13 psi ini menjadi masukan komite Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 117 keperawatan untuk memperbaiki SOP (Standart Operating Procedure) tehnik irigasi yang sudah ada. 5.3 Pembahasan Inovasi merupakan kegiatan pembaharu atau pengembangan sistem yang sudah ada dalam rangka meningkatkan pelayanan keperawatan menjadi lebih baik. Inovasi yang dilakukan oleh kelompok yaitu melakukan pengkajian ulkus kaki diabetik dengan format CSSC-DFU dan tekhnik irigasi 13 psi pada ulkus kaki diabetes sebagai kontrol infeksi dan inflamasi. Kegiatan inovasi ini mendapatkan respon yang baik dari kepala bidang keperawatan, komite keperawatan, kepala diklit keperawatan, kepala ruang, PN dan perawat pelaksana serta tim wound care RSUP Fatmawati Jakarta. Respon yang baik ini diharapkan dapat memberikan motivasi kepada pelaksana keperawatan untuk melakukan perubahan dengan melanjutkan kegiatan ini sebagai prosedur tetap di ruangan dalam rangka memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan luka inflamasi ataupun luka terinfeksi terutama pada pasien dengan ulkus kaki diabetik. Inovasi tehnik irigasi 13 psi dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Joanna Briggs Institute (2006) yang menyatakan bahwa irigasi luka dengan menggunakan tekanan 13 psi (syringe 12 cc dengan jarum 22 G) dengan cairan Nalc 0,9% terbukti secara klinis mampu menurunkan infeksi (p=0,017) dan inflamasi (p=0,034). Sebagai salah satu metode mendiagnosa infeksi ulkus kaki diabetik melalui pemeriksaan klinis tanda-tanda infeksi yaitu dengan CSSC-DFU ini telah diperkenalkan oleh Stephen L. Hillis dan Rita A. Frantz (2009) berdasarkan rekomendasi Infection Disease Society of America (IDSC-DFU). Metode pengkajian ulkus kaki diabetik dengan CSSC-DFU ini sangat sederhana, bisa dilakukan oleh perawat vokasional maupun perawat profesional di ruang rawat inap maupun rawat jalan, sebagai deteksi awal terhadap inflamasi dan infeksi ulkus diabetik. Kegiatan inovasi berupa gerakan pembaharu atau perubahan, seperti pendapat Lewins (1951) dalam Marquis dan Houston (2003) menjelaskan bahwa proses berubah memerlukan tahapan-tahapan yang harus dilalui yaitu unfreezing, movement, dan refreezing. Pada tahap unfreezing dilakukan mulai dari penelahaan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 118 hasil-hasil penelitian tentang pentingnya pengkajian dan perawatan ulkus kaki diabetik, kemudian kelompok residen peminatan endokrin melakukan desiminasi awal program inovasi yang akan dilakukan. Dalam desiminasi awal tersebut semua yang hadir menyepakati pentingnya kegiatan pelatihan inovasi ini dan menghendaki pelatihan inovasi tidak hanya diberikan ke perawat di Irna B lantai 5 selainkan juga mengikutsertakan perawat ruangan yang merawat pasien dengan kasus luka. Setelah proposal kegiatan inovasi telah disetujui kemudian dilakukan kegiatan pelatihan inovasi selama 2 hari dengan jumlah peserta pelatihan sebanyak 40 orang. Movement sebagai tahap kedua dari proses berubah dapat dilihat dari pelaksanaan kegiatan tekhnik irigasi 13 psi pada ulkus kaki diabetes sebagai kontrol infeksi dan inflamasi yang dilakukan di Irna B lantai 5 selatan. Perawat pelaksana di beri kewenangan untuk melakukan tehnik irigasi 13 psi dan pengkajian ulkus kaki diabetik dengan format CSSC-DFU dan kepala ruangan beserta wakilnya sebagai penanggung jawab sekaligus evaluator dalam pelaksanaanya. Selama masa evaluasi perawat menyatakan kesiapannya untuk melanjutkan kegiatan inovasi ini di ruangan. Tahap refreezing merupakan tahap akhir dimana perubahan telah dilaksanakan dan inovasi (perubahan) menjadi bagian dari kegiatan yang ada di ruangan. Berdasarkan evaluasi selama 2 minggu setelah periode selesainya kegiatan inovasi, tehnik irigasi 13 psi dan pengkajian ulkus kaki diabetik dengan format CSSC-DFU telah dilakukan oleh semua perawat yang telah mengikuti pelatihan inovasi dengan evaluator kepala ruang dan wakil kepala ruang sebagai penanggung jawab, kegiatan inovasi ini dapat dilanjutkan dan menjadi bagian dari asuhan keperawatan dalam mengatasi masalah risiko infeksi pada pasien DM dengan ulkus kaki diabetik Berdasarkan hasil evaluasi dengan menggunakan pre dan post test, ada peningkatan pemahaman materi pada peserta pelatihan dengan kenaikan rata-rata 14 poin. Dan berdasarkan evaluasi psikomotor 25% perawat mampu melakukan irigasi 13 dengan sempurna dan 75 % perawat mampu melakukan pengkajian dengan CSSC-DFU dengan sempurna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 119 metode ini sederhana dan dapat dilakukan oleh perawat vokasional maupun profesional. Selama evaluasi terdapat beberapa kendala yang dirasakan oleh perawat berupa keterbatasan alat, syringe 12 cc yang tersedia di RSUP Fatmawati dengan ukuran jarum yang kurang sesuai, solusinya dengan mengganti jarum dengan IV cath abocat) dengan ukuran 22 G, hal ini mempunyai keuntungan untuk meminimalkan trauma tertusuk saat irigasi. Kendala yang dirasakan saat pengkajian ulkus kaki diabetik dengan CSSC-DFU berupa tidak tersedianya sarana berupa termometer inframerah, solusinya dengan menyediakan alat tersebut di ruangan dan mengusulkan ke kepala ruang untuk pengadaan alat tersebut mengingat pentingnya kegunaanya untuk mendeteksi tanda-tanda infeksi pada luka. Evaluasi pelaksanaan inovasi dilakukan di Irna B lantai V selatan sebagai pilot project, harapan kedepannya kegiatan inovasi (irigasi tehnik 13 psi dan pengkajian CSSCDFU) dapat terus dilakukan sebagai SOP yang baru dan dilakukan juga oleh seluruh perawat di RSUP Fatmawati yang terkait dengan perawatan luka, khususnya ulkus kaki diabetik. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN Sebagai penutup, dalam bab ini menguraikan simpulan dan saran terkait dengan analisis pengalaman praktikan yang diperoleh selama menjalani praktek residensi keperawatan dalam menjalankan peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, dengan mengaplikasikan Teori Adaptasi Roy pada pasien dengan gangguan sistem endokrin, menjalankan peran sebagai peneliti dalam penerapan intervensi keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah dan peran sebagai inovator dalam melaksanakan proyek inovasi. 6.1 Simpulan 6.1.1 Teori Adaptasi Roy dapat diterapkan pada asuhan keperawatan pasien dengan gangguan sistem endokrin, karena memenuhi semua aspek kebutuhan yang mendasar dari pasien, yaitu meliputi pemenuhan kebutuhan fisik, konsep diri, adaptasi dan ketergantungan. Dengan penerapan Teori Adaptasi Roy ini diharapkan pasien dapat mampu beradaptasi dengan penyakitnya serta perawatan dan pengobatan yang harus dijalani pasien selanjutnya, seperti perencanaan makan, aktivitas fisik, pemeriksaan gula darah dan pengobatan yang harus dijalani pasien seumur hidupnya. 6.1.2 Pada praktek keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah didapatkan bahwa SEEIP dapat meningkatkan efikasi diri pasien DM tipe 2. Hasil penerapan intervensi SEEIP terhadap 10 orang pasien yang rawat inap di Irna B lantai 5 selatan RSUP Fatmawati Jakarta menunjukkan bahwa intervensi ini efektif dalam meningkatkan efikasi diri pasien di bandingkan dengan model konvensional. 6.1.3 Kegiatan inovasi merupakan suatu kegiatan pengembangan metode (dapat berupa modifikasi metode yang sudah ada atau metode baru) dalam praktek keperawatan yang disusun berdasarkan fenomena masalah yang ada di lahan praktek dan kebutuhan ruangan, yang dikembangkan melalui proses journal reading dan study literature. Proyek inovasi yang dilakukan praktikan adalah kegiatan pengkajian 113 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 114 infeksi ulkus diabetik dengan metode CSSC-DFU dan tehnik irigasi 13 Psi pada ulkus kaki diabetik di RSUP Fatmawati Jakarta. Proyek inovasi yang telah dilakukan mendapatkan sambutan dan dukungan yang baik dari pihak struktural dan juga perawat ruangan di lihat dari hasil evaluasi pelaksanaan kegiataan berupa adanya tindak lanjut pelaksanaan program tehnik irigasi 13 Psi. 6.2 Saran 6.2.1 Perawat hendaknya dapat menerapkan dan mengembangkan Teori Adaptasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem endokrin, sehingga perlu dibuat format pengkajian yang mengacu pada Teori Adaptasi Roy, berupa pengkajian perilaku dan stimulus pada 4 mode adaptasi. 6.2.2 Sebagai perawat professional hendaknya mampu memberikan Intervensi keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah, dan perawat spesialis diharapkan dapat menjadi inovator dalam mengembangkan intervensi keperawatan mandiri berdasarkan pembuktian ilmiah terkini agar dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien. 6.2.3 DM tipe 2 merupakan penyakit yang bisa dikontrol dan bisa dicegah komplikasinya jika diketahui dan ditangani sejak dini, untuk itu perlu penatalaksanaan secara komprehensif yang melibatkan peran serta masyarakat, keluarga maupun pasien itu sendiri baik dalam tahap prapatogenesis dengan upaya peningkatan kesehatan dan perlindungan khusus maupun pada tahap patogenesis dengan deteksi dini, pengobatan dan pemulihan. Perlu pemetaan keluarga (family mapping) yaitu menilai anggota keluarga yang mungkin dapat diberdayakan untuk melakukan perawatan kepada pasien, melakukan pemantauan keluhan dan gejala kegawatan selama dirumah. Oleh karena itu perlu kerjasama dan sistem rujukan ke keperawatan komunitas dalam upaya preventif dan promotif pada pasien gangguan metabolik endokrin khususnya diabetes mellitus, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien menjadi lebih baik serta dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi DM. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 DAFTAR PUSTAKA. Atak, N. Gurkan,T. & Kose, K. (2006) The effect of education on knowledge, self management behaviours and self efficacy of patients with type 2 diabetes.Department of Health Education, Faculty of Health Sciences, University of Ankara, Turkey: Australian journal of advanced nursing volume 26 number 2 Australian Podiatry Council, (2006); Basic Foot Assessment Checklist. National Association of Diabetes Centres.Australia. Bandura, A. (1995). Self-efficacy in changing societies.Cambridge, England: Cambridge University Press. Bandura, A .(1997). Self-efficacy. Diperoleh 15 Februari 2012. .http://www. des.emory. edu/mfp/effbook5.html. Banerji, M. (2007). The foundation of diabetes self management: glucose monitoring. Diabetes Educator, 33(Suppl.4):87S-90S Black, J.M., & Hawk, J.H. (2005). Medical Surgical Nursing Clinical Management for Positive Outcomes. 7th Ed. Philadelphia: Mosby. Brata,S.(2008). Hipertensi dan ttp://www.strokebethesda.com Diabetes. Bethesda Stroke Center Carr, M.E., (2001). Diabetes mellitus: A hypercoagulable state. Journal Diabetes Complications, 15, 44-54 Centers for Disease Control and Prevention. (2005). National diabetes fact sheet:General information and national estimates on diabetes in the United States, 2005. Diperoleh 10 November 2011. Ellis, S. et al (2004). Diabetes patient education: a meta-analysis and meta-regression. Patient Education and Counselling, 52(1):97-105. Desborough JP. (2000). The stress response to trauma and surgery. British Journal of anaesthesia 85(1):109-17. Diabetes Care Program of Nova Scotia .(2009). Foot Risk Assessment Form Guide. Fabio, G et al (2006) Emotional Modulation of Pain: Is It the Sensation or What We Recall?. The Journal of Neuroscience, November 1, 2006. 26(44):11454 –11461. France. Falvo .(2004). Effective patient education: a guide to increased compliance. Sudbury.Massachusetts USA : Jones and Barlett Publishers Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Faxon, D.P et al. (2004). Atherosclerotic vasculer Disease confrence Writing Group III . Pathophysiology circulation Fernandez, Ritin, Griffiths, Rhonda & Ussia, Cheryl (2004) Effectiveness of solutions, techniques and pressure in wound cleansing. JBI Reports 2(7), 231-270. Fischer, D.M. (2005). Empowerment and Patient-Generated Treatment Plans in Native Amricans with Type 2 Diabetes. http://proquest.umi.com/ pqdweb. diperoleh tanggal 15 Februari 2012. Funnell, et al (2010). Living Well With Diabetes. www.krames.com.Canada : The stayWell Copany. Healthwise, 2011. Neurogenic Bladder. www.network.Health.org/.../healthwise.../abk4... Herdman,T. Heather (2011). Nanda International Diagnose keperawatan Definisi dan klasifikasi 2009 – 20011 alih bahasa Sumarwati et al. Jakarta : ECG. Haye, L.M.,Foster, L.,Bartlett, K.M., Adkins, S. (2002). A preoperative intervention for pain reduction, improved mobility, and self- efficacy. applied nursing research Vol.16.No.2 (august 2002)pp 174-18.3 Gardner, S. Hillis, L., dan Frantz, R. A. (2009). Clinical signs of infection in diabetic foot ulcers with high microbial load. Biological Research for Nursing, 11( 2) Ignatavicius, D.D., & Workman, M.L. (2006). Medical surgical nursing. 5th Ed. St. Louis, Missouri: Elsevier Saunders. Ikeme, A. (2008). An Internet Evaluation of Diabetic’s Self-Reported Knowledge of Diabetes, Attitudes toward Diabetes,Self Care Empowerment Levels, and Diabetic Compliactions. http://proquest.umi.com/pqdweb?index diperoleh tanggal 20 Januari 2012. Krames patient education.(2010). A self Care workbook. Living Well with Diabetes. Lithograped in Canada James WD, Timothy GB & Dirk ME. (2000). Cutaneous Signs and Diagnosis. In: Andrew’sDisease of The Skin, Clinical Dermatology 10 Th edition. Philadelpia:WB Saunders Company, LeMone, P., & Burke, K. (2008). Clinical handbook for medical-surgical nursing . (3 rd ed). Upper Saddle River , NJ : Prentice Hall. Maulana, Mirza. (2008). Mengenal diabetes melitus : Panduan praktis menangani penyakit kencing manis. Jogjakarta : Kata Hati. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 May RJ. & Gpyal RK.(1994) Effects of diabetes mellitus on the digestive system. In: Kahn CR, Weif GC, eds. Joslin's Diabetes I. Mellitus. 13111 ed. Pensylvilnia: Lea & Febiger McCloskey,.J.C & Bulechek,G.M. (2003).Nursing Intervention Classification 2nd edition.philadelphia: Mosby Meari, F & Malagelada JR (1995). Gastroparesis and dyspepsia in patients with diabetes mellitus. Eur J Gastroenterol HE:patol Mohler, E. R. (2003). Peripheral Arterial Identification and implication. Arch Intern Med. 163:2306-2314. Moorhead,S.; Johnson,M & Maas,M (2003) Nursing Outcomes Classification.Iowa outcomes project. Third edition. USA: Mosby Norris, S., Lau, J., Smith, S., Schmid, C. and Engelgau, C. 2002. Self management education for adults with type 2 diabetes. Diabetes Care, 25(7):1159-1171 Perkeni. (2006).Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia :Jakarta :PB.Perkeni Porth, C.M, (2007). Essentials of pathophysiology: Concepts of altered health states. 2 nd edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins. Potter, P., A., & Perry, A., G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan : Konsep, proses, dan praktik. Jakarta : EGC. Potter, P., A., & Perry, A.G. (2009). Fundamental Keperawatan.Edisi 7 buku 1 & 2. Jakarta: Salemba Medika Price, S.A., & Wilson M.W, (2008). Patofisiologi konsep klinik proses-proses penyakit, Ed 2. Jakarta: EGC Rhonda M Jones, (2008). Sistem Vaskuler Perifer.Terj. Ni Luh Agustini Leonita, D. Lyrawati. Roy, S.C., & Andrews, H.A. (1999). The roy adaptation model. 2th Ed. USA : Appleton & Lange. Setiawati, S., & Dermawan, A., C. (2008). Proses pembelajaran dalam pendidikan kesehatan. Jakarta : Trans Info Media Sharoni dan Wu (2007), Self-efficacy and self-care behavior of Malaysian patients with type 2 diabetes: a cross sectional survey. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2002). Buku ajar keperawatan medical bedah brunner & suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, JL., Cheever, K.H. (2008). Brunner & Suddarth”s: textbook of medical-surgical nursing. 11 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. Snoek,F & Visser,A. (2003). Improving quality of life in diabetes: how effective is education? Patient Education and Counselling. 51(1):1-3. Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I. (2011). Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I., Oemardi, M., Semiardji, G. & Soebardi, S. (2002). Petunjuk praktis pengelolaan diabetes melitus tipe 2. Jakarta : PB Perkeni. Soegondo, S., Rudianto, A., Manaf, A., Subekti, I., Pranoto, A., Arsana, P.M., et al. (2006). Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta : PB Perkeni. Sokunbi, D.O., Wadhana, N.K., Suh, H., (1994) Vascular Disease Outcome and Thrombocytosis in Diabetic and Nondiabetic End-Stage Renal Disease Patients on Peritoneal Dialysis. Adv Perit Dial, 10, 77-80 Stipanovic, A.R. (2002). The Effects of Diabetes Education on Self Efficacy and Self Care of Adults with Type 2 Diabetes. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Suliha, U., Herawani, Sumiati, & Resnayati, Y. (2002). Pendidikan kesehatan dalam keperawatan. Jakarta : EGC Sustrani, L., Alam, S. & Hadibroto, I. (2006). Diabetes. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sutadi,S.M (2003) Gastroperasis diabetika. FK bagian ilmu penyakit dalam USU. repository.usu.ac.id/bitstream/.../3370/1/penydalam-srimaryani8.pdf Tan,M.Y, et all (2005) A brief structured education programme enhances self-care practices and improves glycaemic control in Malaysians with poorly controlled diabetes Taylor, Shelley. (1995). Health Psychologi. New York: McGraw-Hill Inc. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 The Joanna Briggs Institute (JBI). (2006)Solutions, techniques and pressure in wound cleansing Best Practice evidence based information sheets for health professional vol. 10(2) ISSN: 1329-1874 Tommey & Alligood. (2006). Nursing Theorists and Their Work. Missouri: Mosby. Toobert, Hampson, & Glasgow. (2000). The Summary of Diabetes Self-Care Activities Measure: Result from 7 Studies and Revised Scale. Diabetes Care. 23(7). http://care.diabetesjournals.org/cgi/reprint/23/7/943, diperoleh tanggal 15 Agustus 2008. Tosaddak A, MN uddin. Etiology and prevention of venous thromboembolism :Medicine Digest 199 Vahid, Z, Alehe, S.R & Faranak, J. (2008) The Effect Of Empowerment Program Education On Self Efficacy. http://www.medwelljournals.com/fulltext /rjbs/2008/850-855.pdf, diperoleh tanggal 8 September 2011 . Wassermann, L.R., Balcerzak, S.P., Berk, P.D., Berlin, N.I., Donovan, P.B., Dresch, C., et al. (1981). Influence of therapy on cause of death in polycytemia vera. Trans AssocAm Phys, 94, 30-38 William C. The Diabetic Foot, In ( Ellenberg, Rifkin’s, eds), Diabetes Mellitus, Sixth Edision, USA, 2003 Wilkinson, J.M. (2005). Nursing diagnosis handbook: With NIC intervention and NOC outcomes. 8 th ed. New Jersey: Prentice Hall. Wisconsin Diabetes Prevention and Control Program (2011). Diabetes Self care Information and Record Booklet. Wisconsin Diabetes Advisor Group and other partners. Wright, B. (2008). Panduan bagi penderita diabetes. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Wu,S.F.V, Courtney,M.Edward,H.,McDowell,J.,Shortridge-Bagett,L.M, Cahng, P.J (2006). Self-efficacy, outcome expectation and self care behavior in people with type diabetes in taiwan. http://www.ebscohost.com/dynamed.. Diperoleh 7 Oktober 2011 Wu,S.F.V (2007). Effectiveness of self management for person with type 2 diabetes following the implementation of a self-efficacy enhancing intervention program in Taiwan. Queensland University of Technology. diperoleh tanggal 8 Oktober 2011 dari http://eprint.qut.edu.au/16385/Shu_Fang_Wu_Thesis.pdf Yngen, M., (2005). Platelet function in diabetes mellitus, Thesis. Stockholm: Karolinska University Press. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 ___.Daftar Diit Diabetes Melitus. Instalasi Gizi RSUP Fatmawati. Jakarta Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 1 RESUME KEPERAWATAN DENGAN PENDEKATAN TEORI ADAPTASI ROY Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 2 Gambar 3.1 Kondisi Luka kaki kanan (Tanggal 28 Februari 2012) Cruris Plantar Gambar 3.2 Kondisi kaki Ny.T Kaki Kanan Kalus &Ulkus di plantar Kaki Kiri Kaki kering, penipisan lemak subkutan Setelah kalus di bersihkan Setelah kalus dibersihkan Kalus Kaki kanan Kalus kaki kiri Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 3 Gambar 3.3 Pemeriksaan Radiologi pedis dextra Kesan Pedis dextra: Osteomilitis metatarsal V distal dan digiti V phalanx I pedis dextra. Dapat sesuai permulaan diabetic foot dextra Kesan cruris dextra : Tidak tampak kelainan pada tulangtulang kruris. tidak tampak tanda osteomilitis Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 4 Gambar 3.4 Perkembangan Post Op STSG Kruris Dan Ulkus Plantar Dextra Cruris Plantar Post STSG hari ke 5 (5/3/12) 5/3/12 Post STSG hari ke 7 (7/3/12) 7/3/12 Post STSG hari ke 13 (13/3/12 ) 13/3/12 Post STSG hari ke 15 (15/3/12) 14/3/12 Post STSG hari ke 16 (16/3/12) 16/3/12 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 5 Booklet DM dan Penatalaksanaan Perawatan Diri Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 6 Kuesioner Diabetes management sel efficacy Scale (DMSES) dan Perceived Therapeutic Efficacy Scale (PTES) Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 KUESIONER PROFIL RESPONDEN 1. 2. Jenis kelamin : Nama :_______________________ 1. Laki-laki. 2. Perempuan Umur:_______________________ 3. Pendidikan terakhir 4.Pekerjaan 1. Tidak sekolah 1. tidak bekerja/pensiun/IRT 2. SD 2. Buruh/petani/pedagang/Wiraswasta 3. SLTP 3. PNS/TNI/POLRI 4. SLTA 4. lain-lain , sebutkan…………. 5. PT/akademi 5.. Lama Mengidap DM/kencing Manis : ____________________________ 7 Status pernikahan 6. Riwayat mondok dengan diabetes : ___________________________ 1. Belum menikah 2. Janda/duda 3. Menikah 8 TB :______________cm BB :______________Kg 9 Sejak mengidap diabetes, pernahkan Tidak mendapat penyuluhan tentang Ya : diabetes Edukasi kelompok ____ kali Edukasi individu _____kali 10 Komplikasi Diabetes Tidak Ya : retinopati. ginjal Penyakit Jantung ulkus kaki diabetik gangguan syaraf Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 penyakit SKALA EFIKASI DIRI MANAJEMENT DIABETES DIABETES MANAGEMENT SELF-EFFICACY SCALA (DMSES) No Saya percaya diri untuk 1. Saya mampu memeriksa kadar gula darah saya jika dibutuhkan Saya mampu mengenali dan mengatasi kadar gula darah saya ketika kadar gula darah saya terlalu tinggi Saya mampu mengenali dan mengatasi kadar gula darah saya ketika kadar gula darah saya terlalu rendah Saya mampu memilih makanan yang benar untuk kesehatan saya Saya mampu memilih dan mengkonsumsi bahan makanan sesuai dengan diet diabetes Saya mampu mempertahankan berat badan yang ideal 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9. 10 11 12 13 Saya mampu memeriksa kedua kaki (misal melihat lecet, luka, kapalan) Saya mampu untuk berolah raga sesuai saran dokter (jalan kaki, senam, bersepeda) Saya mampu mengikuti aturan makan ketika saya sedang sakit Saya mampu mengikuti aturan makan yang sehat setiap saat Saya mampu untuk berolah raga jika dokter menganjurkan saya Ketika saya berolah raga saya mampu untuk mengatur makan sesuai anjuran ahli gizi Saya mampu untuk mengikuti diet ketika saya berpergian Ya Ya Mungkin Pasti Pasti Mungkin Tidak Tidak 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 14 Saya mampu memilih makanan dan menjaga diet saya ketika bepergian 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 15 Saya mampu untuk mengikuti diet ketika suasana hati saya gembira 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 16 Saya mampu untuk memilih makanan dan mengikuti diet ketika saya makan di luar atau saat ada pesta 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 17 Saya mampu untuk mengikuti diet ketika suasana hati saya sedih, stres atau cemas 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 18 Saya rasa saya mampu ke dokter/RS minimal 4 kali dalam setahun untuk memeriksa diabetes saya 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 19 Saya mampu minum obat diabetes sesuai resep secara teratur 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 20 Saya mampu minum obat diabetes ketika saya sakit 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 PERCEIVED THERAPEUTIC EFFICACY SCALE (PTES) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9. 10 Saya percaya diri untuk Percaya diri tinggi Tingkat kepercayaan diri dalam kemampuan mengontrol gula darah Tingkat kepercayaan diri dalam kemampuan menjaga kadar gula darah stabil dan mencegah kadar gula darah meningkat melebihi dari normal Tingkat kepercayaan diri dalam kemampuan membatasi komplikasi yang berat (kebutaan atau masalah luka dikaki) Tingkat kepercayaan diri mencegah lebih banyak komplikasi Tingkat kepercayaan diri dalam kemampuan memelihara dosis obat untuk mengontrol diabetes yang efektif Tingkat kepercayaan diri dalam minum obat tiap hari sesuai resep dokter untuk mengontrol gula darah Secara keseluruhan tingkat kepercayaan dalam nilai pengobatan diabetes Tingkat kepercayaan diri dalam kemampuan pengobatan secara umum dalam mengontrol diabetes Tingkat kepercayaan diri dalam mematuhi anjuran dokter atau ahli gizi Tingkat kepercayaan mengatasi diabetes diri dalam kemampuan Tidak Percaya diri 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 7 PELAKSANAAN SELF-EFFICACY ENHANCEMENT INTERVENTION PROGRAM (SEEIP) PADA PASIEN DM TIPE 2 Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 PELAKSANAAN SEEIP PADA PASIEN DM TIPE 2 Tah ap I Perte muan 1 Tujuan Implementasi 1. Diketahui tingkat pemahaman tentang DM dan penatalaksanaanya 2. Diketahui efikasi diri pasien dalam perawatan DM 3. Diketahui kemampuan 1. Mengkaji kemampuan belajar pasien & tingkat pemahaman pasien tentang DM dan perawatannya 2. Mengkaji pengalaman pasien dalam perawatan DM sebelumnya 3. Mengkaji efikasi diri pasien dalam merawat penyakitnya 4. Membantu menentukan tujuan pembelajaran dan kontrak waktu 5. Melihat video tentang pengalaman diabetisi yang terkontrol dalam perawatan DMnya 1. Memberikan Booklet 2. Menjelaskan tentang DM dan komplikasi 3. Konseling tentang SEEIP dalam mengenal tanda-tanda hiperglikemia dan hipoglikemia serta penatalaksanaanya : a. Mengkaji pengalaman pasien dalam mengenali tandatanda hiperglikemia dan hipoglikemia serta pengalaman mengatasinya dan tingkat keberhasilannya. b. Mengingatkan/menceritakan kembali pengalamanan diabetisi (yang telah terkontrol baik) dalam perawatan. c. Membantu pasien dan keluarga dalam mengambil tindakan yang terbaik ketika terjadi hipoglikemia dan hiperglikemia dan kesiapan belajar II, III 2 II, III 3 1. Diketahuinya tingkat pengetahuan pasien tentang tanda hiperglikemia dan hipoglikemia 2. Diketahuinya pengalaman pasien dalama mengatasi hiperglikemia dan hipoglikemia 3. Pasien dan keluarga mampu membuat keputusan terbaik dalam mengatasi hiperglikemia dan hipoglikemia 1. Diketahui pengalaman pasien tentang pengaturan makan 2. Pasien mampu memilih makanan sesuai dengan diitnya Materi Media/ Metode pengalaman diabetisi 1. Kuesioner yang terkontrol dalam DMSES& dalam perawatan PTES DMnya. 2. Laptop Waktu 1. Pengertian DM 2. Penyebab DM 3. Tanda gejala hiperglikemia dan hipoglikemia 4. Cara mengatasi hiperglikemia dan hipoglikemia 1. Booklet 2. Lembar balik 30 Menit/ Sesuai kesepa katan Media : 1. Booklet 2. Leaflet 3. Food model 30 Menit/ Sesuai kesepa katan 1. Menjelaskan tentang pengaturan makan DM (dengan 1. Tujuan pengaturan melibatkan ahli gizi) makanan 2. Konseling tentang SEEIP dalam pengaturan makan : 2. Prinsip pengaturan a. Mengkaji pengalaman pasien dalam pengaturan makan makan sebelum dirawat serta riwayat kadar gula darah 3. Pengaturan makan b. Mengingatkan/menceritakan kembali pengalamanan dengan diabetisi (yang telah terkontrol baik) dalam pengaturan menggunakan makan. daftar bahan c. Mensimulasikan contoh menu diabetisi. makanan penukar. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Metode : diskusi, simulasi & 20 menit II, III II, III 4 5 1. Diketahui pengalaman pasien tentang pengobatan DM (OHO/insulin) 2. Pasien mampu memahami jenis OHO dan aturan minumnya 3. Pasien mampu memahami jenis insulin & mampu mendemontrasikan cara injeksi insulin (untuk pasien yang mendapatkan insulin) 1. Diketahui pengalaman pasien tentang olah raga 2. Diketahui pengalaman pasien tentang perawatan kaki 3. Pasien mampu memahami Aturan olahraga pada diabetisi 4. Pasien mampu memahami dan mendemontrasikan cara perawatan kaki dan senam kaki diabetes 5. Diketahui efikasi diri pasien setelah SEEIP d. Membantu pasien dan keluarga mendemonstrasikan memilih dan merencanakan makanan sesuai dietnya. 1. Menjelaskan tentang pengobatan DM. 1. Jenis pengobatan 2. Konseling tentang SEEIP dalam pengaturan makan : diabetes a. Mengkaji pengalaman pasien dalam pengobatan DM (OHO/insulin) 2. Cara aturan (OHO/insulin) minum OHO b. Mengingatkan/menceritakan kembali pengalamanan injeksi diabetisi (yang telah terkontrol baik) dalam pengobatan. 3. cara insulin (untuk c. Mensimulasikan cara injeksi insulin (untuk pasien yang pasien yang mendapatkan insulin). mendapatkan d. Membantu pasien dan keluarga mendemonstrasikan insulin). injeksi insulin (untuk pasien yang mendapatkan insulin). 1. Menjelaskan tentang olah raga, perawatan kaki dan senam 1. Manfaat, lama, frekuensi, kaki DM. intensitas, jenis, 2. Konseling tentang SEEIP dalam pengaturan makan : tahapan dan a. Mengkaji pengalaman pasien dalam olah raga dan syarat olahraga. perawatan kaki DM b. Menampilkan tayangan diabetisi (yang telah terkontrol 2. Perawatan kaki diabetes baik) dalam perawatan kaki 3. Senam kaki c. Mensimulasikan cara perawatan kaki dan senam kaki pasien diabetes d. Membantu dan memfasilitasi mendemonstrasikan perawatan kaki DM dan senam kaki 3. Mengkaji effikasi diri pasien dengan kuesioner DMSES dan PTES Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 demonstrasi Media : 1. Booklet 2. Leaflet 3. Alat peraga 30 Menit/ Sesuai kesepa katan Metode : diskusi, simulasi & demonstrasi Media : 1. Booklet 2. Video 3. Alat peraga. 4. kuesioner DMSES dan PTES Metode : Diskusi Simulasi dan demonstrasi 30 Menit/ Sesuai kesepa katan Lampiran 8 Pre Tes dan Post Tes Pelatihan Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Soal Evaluasi Pelatihan Pretest & Posttest Pilihlah jawaban yang paling benar dari pertanyaan berikut ini 1. Apa alat yang digunakan dalam melakukan irigasi 13 psi? a. Spuit 12 cc tanpa jarum b. Spuit 10 cc dengan jarum ukuran 12G c. Spuit 12 cc dengan jarum ukuran 22G 2. Jika tidak ditemukan jarum ukuran 22G untuk irigasi luka, apakah tindakan anda selanjutnya? a. Ganti dengan foley kateter b. Menggunakan kateter IV ukuran 22G c. Semprotkan cairan dengan spuit ukuran 10 cc 3. Cairan yang dapat digunakan dalam irigasi luka adalah a. NaCl 0.9% b. Campuran Betaine dan Polyhexanide c. Jawaban a & b benar 4. Warna dasar luka yang perlu dilakukan irigasi 13 psi adalah a. Kuning b. Merah karena gumpalan darah c. Jawaban a dan b benar 5. Manfaat metode irigasi 13 psi adalah a. Menurunkan koloni bakteri b. Meningkatkan inflamasi c. Murah dan mudah dilakukan Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 9 Materi Pelatihan Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 10 Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan Petunjuk : Isikan tanda silang sesuai dengan kolom yang sesuai NO Materi Kriteria Sangat Menarik 1 Materi 2 Sarana & Prasarana 3 Tempat/ Ruangan 4 Konsumsi 5 Pelaksanaan Workshop/ Hands On Menarik Kurang Menarik Saran : ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………. …………………………………….. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 11 Clinical Sign And Simptom Checklist For Diabetic Foot Ulcer (CSSC-DFU) Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 LEMBAR EVALUASI PELAKSANAAN EVIDENCE BASED NURSING RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH SUB ENDOKRIN Nama Observer : Kode : Botol/ Spuilt * Tgl MRS : Nama Pasien : A. Karakteristik Responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Data Jenis Kelamin Usia Terapi Antibiotik sistemik Hitung RBC Hitung Leukosit Albumin (gr/dl) HbA1C & Gula darah Ukuran luka kedalaman Durasi luka Prosentasi nekrotik : : ABI Batasan Primer Jenis DM Riwayat merokok Tingkat nyeri No 1 2 3 : : : : : : : ………… cm2 …………cm ( )Tidak ada ( ) 1 – 50%\ ( ) > 50% : : : : (0)(1)(2)(3)(4)(5)(6)(7)(8)(9)(10) Keterangan : tanda *: coret salah satu : : B . Kesimpulan Bakteri Hasil Kultur : : 12 13 14 15 16 ( ) Laki-Laki ( ) Perempuan Tanggal Observasi No Reg 4 Jenis Bakteri Staphylococcus aureus Pseudomonas aeruginosa Campuran Escherichia coli Morganella morgani Stenotrophomonas maltophilia Proteus miribilis S maltophilia Acinetobacter baumanni Enterobacter cloacae Citrobacter koseri Serratia marcescens Jenis lain Group B streptococcus diphteriods Candida albicans Positif Negatif Keterangan : _____________________________________ _____________________________________ _____________________________________ _____________________________________ Sumber : Gardner, Hillis, dan Frantz. (2009) Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Nama Observer : Kode : Botol/ Spuilt * Tgl MRS : Nama Pasien : C. CLINICAL SIGN & SYMPTOM CHECKLIST DFU 1. TANDA KLASIK INFEKSI No 1 Idikator Nyeri 2 eritema 3 edema 4 Perbedaa n suhu kulit 5 Eksudat purulen Kriteria ( ) tidak timbul nyeri pada area ulkus ( ) saat ini nyeri berkurang dibandingkan sebelumnya ( ) nyeri saat ini = nyeri sebelumnya ( ) saat ini nyeri tambah berat di banding sebelumnya ( ) warna seperti kulit sekitar ( ) warna merah pucat pada kulit sekitar ( ) warna gelap pada kulit sekitar ( ) piting edema () tidak ada piting edema Keterangan : dilakukan dengan melakukan tekanan menggunakan jari telunjuk pada jarak 4 cm dari tepi luka ditunggu 5 detik untuk melihat perubahan () ya ()tidak Hasil thermometer : 4cm= 10cm= Keterangan : dilakukan dengan membandingkan suhu kulit 4 cm dari tepi luka dengan kulit sejauh 10cm sisi proksimal dari luka. Disentuh dengan tangan sisi dorsal carpal ( ) ya ( ) Tidak Keterangan : diketemukan cairan tebal berwarna kuning, krem atau hijau pada kassa yang dilepas 1 jam setelah dibersihkan dengan Ns 0,9% lalu ditutup dengan kassa Keterangan tanda *: coret salah satu, sesuai intervensi Tanggal Observasi No Reg : : 2. TANDA SPESIFIK LUKA SEKUNDER N o 1 Indikator Kriteria Serous Eksudat ( ) Ya ( ) Tidak Keterangan: cairan jernih pada kassa yang dilepas 1 jam setelah dibersihkan dengan Ns 0,9% dan ditutup dengan kassa ( ) Ya ( ) Tidak Keterangan : cairan merah pada kassa yang dilepas 1 jam setelah dibersihkan dengan Ns 0,9% dan ditutup dengan kassa ( ) Ya ( ) Tidak Keterangan : ya, jika ditemukan tidak ada perubahan luas permukaan luka selama 4 minggu dari timbulnya luka ( ) Ya ( ) Tidak Keterangan : ya jika ditemukan perubahan warna jaringan granulasi menadi pucat, kehitaman dan kusam ( ) Ya ( ) Tidak Keterangan : mudah berdarah ketika dilakukan penekanan dengan lidi kapas ( ) Ya ( ) Tidak Keterangan : diketemukan kantung yang berisi cairan non granulasi sekitar jaringan granulasi ( ) Ya ( ) Tidak ( ) Ya ( ) Tidak Keterangan: kerusakan pada janringan epitel di tepi luka, bukan karena trauma. 2 Sanguin Eksudat 3 Kegagal an penyemb uhan 4 Perubah an warna granulasi 5 Jaringan granulasi menjadi rapuh Kantung pada dasar luka Bau pd luka Kerusak an tepi luka 6 7 8 Sumber : Gardner, Hillis, dan Frantz. (2009) Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 12 EVALUASI TEHNIK IRIGASI 13 PSI Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 PEDOMAN EVALUASI PELAKSANAAN IRIGASI LUKA 13 PSI DI RUANGAN PERAWATAN Petunjuk: Isikan tanda (V) pada kolom paling kanan sesuai dengan kriteria evaluasi sebagai berikut: 2 = Dilakukan dan benar 1 = Dilakukan tapi kurang tepat 0 = Tidak dilakukan NO 1 2. 3 4 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12 13. Kriteria Evaluasi PERSIAPAN ALAT 1. 1 set irigasi luka steril a. Container / kom steril b. Bengkok steril c. Spuit irigasi 12 cc d. Needle 22G atau kateter iv 22G 2. Cairan irigasi sesuai indikasi 3. Sarung tangan steril 4. Sarung tangan bersih disposable 5. Alas kedap air/ underpad 6. Kassa steril, surgi pads atau abds 7. Kantong plastic untuk tempat sampah 8. Skort (jika perlu) 9. Selimut mandi 10.Plester + gunting plester sesuai kondisi luka 11.Korentang PELAKSANAAN a. Jelaskan prosedur kepada klien. b. Cek order medis untuk pelaksanaan irigasi luka. Dekatkan alat Cuci tangan a. Tutup pintu dan korden. b. Pakai selimut mandi jika diperlukan a. Posisikan klien sedemikian rupa sehingga cairan irigasi dapat mengalir dari bagian atas luka ke bagian bawah luka. b. Letakkan alas kedap air di bawah klien. Pastikan cairan irigasi sesuai suhu tubuh. a. Buka area luka. b. Dekatkkan kantong plastik c. Pakai skort jika diperlukan a. Buka perekat/plester b. Pakai sarung tangan bersih untuk membuka balutan lama a. Kaji jumlah, tipe, dan bau drainase. b. Observasi kondisi luka a. Buang balutan lama di kantong plastik b. Lepas sarung tangan dan buang ke kantong. Gunakan teknik aseptic, buka peralatan dan bahan yang akan dipakai. Tuangkan cairan irigasi ke container/kom steril. Jumlah menyesuaikan dengan kondisi luka, mulai 200 – 500 ml. Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Kriteria Unjuk Kerja 0 1 2 14.. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22 Pakai sarung tangan steril pada tangan yang dominant. Letakkan bengkok steril di bagian bawah luka untuk menampung cairan irigasi dengan menggunakan tangan bukan dominant. a. Dengan menggunakan tangan yang dominant, isi spuit dengan cairan irigasi. b. Semprotkan cairan irigasi pada luka. Jarak ujung spuit dengan luka 2,5 cm. c. Jika menggunakan kateter IV, masukkan pada luka untuk menjangkau bagian luka yang tidak terkena semprotan cairan irigasi. Teruskan irigasi sampai bersih. Upayakan untuk tetap menjaga kestabilan aliran semprotan. Keringkan luka. Tutup dengan kassa. a. Lepaskan sarung tangan dan buang di kantong plastik b. Plester luka a. Cuci tangan b. Bereskan alat c. Buat klien merasa nyaman Kaji balutan tiap shift. Catat perubahan pada luka, tampilan luka dan drainase dokumentasi Perawat Evaluator (………………………………………………) (……………………………………………) Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 13 LAPORAN PENCAPAIAN KOMPETENSI RESIDENSI KMB ENDOKRIN Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 Lampiran 12 CURICULUM VITAE Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012 LAMPIRAN Analisis praktik..., Santi Damayanti, FIK UI, 2012