PEMIKIRAN SEYYED HOSSEIN NASR TENTANG EPISTEMOLOGI

advertisement
PEMIKIRAN SEYYED HOSSEIN NASR
TENTANG EPISTEMOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang secara khusus diminati
semenjak abad ke 17, namun semenjak pertengahan abad ke 20 ini, ia mengalami
perkembangan yang sedemikian pesat dan begitu beragam ke arah berbagai
jurusan. Sebab utamanya adalah tumbuhnya cabang-cabang ilmu pengetahuan
secara terus menerus, tanpa henti.1
Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam perkembangan
epistemologi pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai
ilmu pengetahuan. Pandangan ini merupakan kritik terhadap pandangan
Aristoteles yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung,
namun harus bersipat kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu
pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat
kemampuan manusia di bumi ini. Pandangan itu dikemukakan oleh Francis Bacon
de Verulam (1561-1626) yang berdiri pada ambang pintu masuk zaman modern.
Menurutnya, dalam rangka itulah ilmu-ilmu pengetahuan betul-betul berkembang
menjadi nyata dalam sejarah Barat sejak abad ke-15. Menurut Bacon pula, ilmu
pengetahuan manusia hanya berarti jika tampak dalam kekuasaan manusia,
"human knowledge adalah human power2 . Pada abad-abad berikutnya, di dunia
Barat dan —mau tak mau juga di dunia luar Barat— dijumpai keyakinan dan
kepercayaan bahwa kemajuan yang dicapai oleh pengetahuan manusia, khususnya
ilmu-ilmu alam, akan membawa perkembangan manusia pada masa depan yang
semakin gemilang dan makmur.
Sebagai akibatnya, ilmu-ilmu pengetahuan selama masa modern sangat
mempengaruhi dan mengubah manusia dan dunia-nya. Terjadilah revolusi industri
1
. C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia, 1991, h. ix
pertama (mulai sekitar tahun 1800 dengan pemakaian mesin-mesin mekanis), lalu
revolusi industri kedua (mulai sekitar tahun 1900 dengan pemakian listrik dan
titik awal pemakaian sinar-sinar), dan kemudian revolusi industri ketiga yang
ditandai dengan penggunaan kekuatan atom, dan penggunaan komputer yang
sedang kita saksikan dewasa ini. Dengan demikian, adanya perubahan pandangan
tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam membentxik
peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula, tampaknya, muncul
semacam kecenderungan yang ter-jalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan —
dan juga para ilmuwan— untuk maju dan maju terujs tanpa henti dan tanpa batas.
Penemuan dan perumusan mutakhir menjadi langkah awal untuk penemuan dan
perumusan berikutnya. Setiap langkah merupakan suatu tantangan baru lagi
dengan tahap: pengamatan-hipotesa-hukum-teori yang tak ada hentinya, disusul
oleh perbaikan dan pembaharuan serta pengetatan tahap-tahap yang sudah
ditempuh3.
Kecenderungan kedua ialah hasrat untuk selalu menerap-kan apa yang
dihasilkan ilmu pengetahuan, balk dalam dunia teknik mikro maupun makro.
Dengan demikian, tampaklah bahwa semakin pengetahuan maju, semakin
keinginan itu meningkat sampai memaksa, merajalela, dan bahkan membabi buta.
Aki-batnya, ilmu pengetahuan dan hasilnya menjadi tidak manu-siawi lagi,
bahkan justru memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan
menghasilkannya. Kecendrungan yang kedua ini lebih mengerikan dari yang
pertama, namun tak dapat dilepaskan dari kecenderungan pertama.
Beberapa ciri dari epistemologi modern, yang dianggap menjadi penyebab
timbulnya kr.isis di atas, dapat ditelusuri dari unsur-unsurnya. Pertama, tujuan
ilmu pengetahuan ada-lah hanya untuk diterapkan. Ini, terutama adalah akibat dari
pengaruh pemikiran Francis Bacon yang menegaskan bahwa ilmu pengetahuan
dapat dikatakan bermakna bila ia dapat meningkatkan kekuasaan manusia, baik
atas alam maupun sesama4. Dengan demikian, ilmu pengetahuan harus bernilai
praktis bagi manusia, di antaranya dalam bentuk teknologi. Akibat-nya,
2
3
Ibid., hal. 139
Ibid., hal. 181-182
1
menaklukkan alam dan mengeksploitasinya habis-habisan tidaklah dapat dianggap
sebagai kesalahan. Kedua, metode yang digunakan adalah deduksi-induksi
(logico-hypotetico-verifikasi)5, sebagai pengaruh dari pemikiran positivisme.
Selain Bateson, tokoh ilmuwan lainnya yang mengajukan kritik terhadap
epistemologi modern, dapat disebutkan di si-ni, seperti Max Horkheimer (18951973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969), dan Erich Fromm (19001980). Kritik mereka terarah kepada masyarakat yang merupakan hasil perkembangan ilmu-ilmu alam yang salah satu akibatnya ialah manusia diasingkan
(is alienated) dari dirinya sendiri. Alienasi di sini diartikan dari sudut sosio
budaya dan psikologi. Menurut mereka, keadaan keterasingan itu kurang dilihat
oleh para ahli ilmu yang masih condong ke positivisme6.
Tokoh lainnya yang banyak memberikan perhatian pada masalah manusia
modern ialah Seyyed Hossein Nasr, seorang di antara sedikit pemikir Muslim
kontemporer paling terkemu-ka pada tingkat internasional, yang banyak
memberikan perhatian pada masalah-masalah manuaia modern. Kritiknya
terhadap manusia modern cukup tajam, seperti terlihat dalam dua karyanya yang
menyangkut topik ini: Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(1968), dan Islam and the Plight of Modern Man (1975). Nasr mendasarkan
pembahasannya tentang problem manusia modern dengan melihat manusia Barat
modern, yang selanjutnya mempunyai banyak pengikut dan peniru, termasuk di
wilayah dunia Muslim.
Selanjutnya
mengenai
pandangan
Nasr
tentang
kedudukan
ilmu
pengetahuan, khususnya dalam Islam, dan bidang inilah yang semula menjadi
keahlian profesionalnya, bahwa ilmu pengetahuan dan seni dalam Islam
berdasarkan atas gagasan tentang tawhid yang menjadi inti dari wahyu Islam.
Dengan demikian, menurut Nasr, seluruh seni Islam apakah dalam ben-tuk AlHambra atau Masjid Paris, dalam berbagai keragamannya tidak terlepas dari
"keesaan Tuhan" (Divine unity). Dalam kerangka ini, ilmu pengetahuan yang
dapat disebut Islami adalah ilmu pengetahuan yang mengungkapkan "ketauhidan
4
5
Ibid
Yuyun S.Suryasumantri, Fisafat Ilmu, Jakarta, Sinar Harapan, 1990, hal. 120.
2
alam".
Lebih lanjut, Nasr mengeritik ilmu pengetahuan modern Barat, bahwa ilmu
pengetahuan modern mereduksi seluruh kualitas kepada kuantitas, mereduksi
seluruh yang esensial —dalam pengertian metafisik— kepada material dan substansial. Dengan demikian, pandangan dunia metafisis nyaris sirna dalam ilmu
pengetahuan modern. Kalaupun ada, meta-fisika direduksi menjadi filsafat
rasional yang selanoutnya sekedar pelengkap Ilmu pengetahuan alam dan
matematika. Bahkan, kosmologi diturunkan derajatnya dengan memandangnya
hanya semacam superstisi. Dengan pandangannya itu, ilmu pengetahuan modern
menyingkirkan pengetahuan kosmologi dari wacananya. Padahal menurut Nasr,
kosmologi adalah "ilmu sakral" (scientia sacra.) yang menjelaskan kaitan materi
dengan wahyu dan doktrin metafisis7.
Di kalangan Barat, khususnya Amerika Serikat, Seyyed Hossein Nasr
adalah ilmuwan muslim yang amat disegani saat ini, terutama sepeninggal Ismail
Raj i Al-Farouqi dan Fazlurrahman, dalam kajian-kajian keislaman8. Dalam
mengo-mentari pemikiran Seyyed Hossein Nasr, Azyumardi Azra mengemukakan
bahwa pemikiran Seyyed Hossein Nasr sangat kompleks dan multidimensi. Hal
itu tercermin dari karya-karya tulisnya yang membahas berbagai topik meliputi
persoalan manusia modern, ilmu pengetahuan, seni, hingga sufisme. Namun
demikian, menurut Azyumardi, pemikirannya tentang ilmu pengetahuan
merupakan keahlian profesionalnya, karena semua gelar yang diperolehnya di
M.I.T (Massachusetts Institute of Technology ) dan Universitas Harvard
berkenaan dengan sejarah ilmu pengetahuan (Islam). Selanjutnya, dikemukakan
bahwa gagasan tentang "kesatuan" ( tawhid) tidak hanya merupakan anggapan
dasar ilmu pengetahuan dan seni Islam, tawhid juga mendominasi ekspresinya 9.
B.
Perumusan Masalah
6
Ibid. , hal. 92.
Ibid., hal. 22
8
16.Nur A. Fadil Lubis, "Kecenderungan Kajian Keislaman di Amerika", dalam Ulumul
Quran, Vol. IV, No. 4, 1993, h. 81.
9
Azyumardi Azra, "Memperkenalkan pemikiran Hossein Nasr", dalam Seminar Sehari
Spiritualitas, Krisis Dunia Modern, dan Agama Masa Depan, Jakarta: Yayasan Paramadina, h. 35.
7
3
Perumusan masalah tersebut diperinci menjadi lima pertanyaan penelitian,
yaitu:
1.
Bagaimana sejarah epistemologi menurut Seyyed Hussein Nasr?
2.
Bagaimana pemikiran Seyyed Hussein Nasr tentang obyek pengetahuan?
3.
Bagaimana pemikiran Seyyed Hussein Nasr tentang Sifat pengetahuan?
4.
Bagaimana pemikiran Seyyed Hussein Nasr tentang jalan memperoleh
pengetahuan?
5.
Bagaimana Seyyed Hussein Nasr tentang epistemologi tradisional sebagai
alternatif?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara lebih terinci penelitian ini diarahkan untuk mengetahui tentang hal-
hal sebagai berikut:
1.
sejarah epistemologi menurut Seyyed Hussein Nasr
2.
pemikiran Seyyed Hussein Nasr tentang obyek pengetahuan
3.
pemikiran Seyyed Hussein Nasr tentang Sifat pengetahuan
4.
pemikiran Seyyed Hussein Nasr tentang jalan memperoleh pengetahuan
5.
pemikiran Seyyed Hussein Nasr tentang epistemologi tradisional sebagai
alternatif
Manfaat yang diharapkan agar hasil penelitian ini nantinya, paling tidak,
akan turut memperkaya khazanah pengetahuan tentang epistemologi dengan
memperkenalkan salah seorang tokoh pemikir Islam. Lebih dari itu diharapkan
agar hasil penelitian ini juga dapat merangsang para peneliti lain untuk
mengadakan penelitian lebih lanjut terhadap jenis penelitian serupa dengan tema
yang berbeda, sehingga bisa melengkapi dari kekurangan yang ada dalam
penelitian ini.
D.
Metode Penelitian
Berdasar atas pokok masalah di atas, data yang relevan yang dihimpun
dalam penelitian ini dapat diperoleh dengan cara menyelami dan menangkap arti
4
serta merekonstruksi pemikiran Nasr. Upaya itu dimulai dengan mengumpulkan
dan mengkaji karya-karya Nasr pribadi yang menggambarkan pemikirannya
tentang epistemologi. Karya-karya langsung Nasr tersebut dalam penelitian ini
dikelompokkan sebagai bahan kepustakaan primer. Upaya selanjutnya adalah,
mengkaji mono-grafi dan karya-karya yang membahas pemikiran Nasr. Di
samping itu, dikaji pula buku-buku lainnya yang menyang-kut filsafat, terutama
filsafat pengetahuan, ensiklopedi, dan kamus filsafat. Di dalam penelitian ini,
buku-buku tersebut dikelompokkan sebagai bahan kepustakaan sekunder.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Kehidupan Awal Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr, satu di antara sedikit pemikir Islam internasional
mutakhir, dilahirkan pada tahun 1933 di Teheran, Iran, negara tempat lahirnya
para sufi, filosof, ilmuwan dan penyair muslim terkemuka 10. Ia dilahirkan dan
dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama dan dibesarkan dalam tradisi dan
locus ulama Syi'ah tradisional yang mencakup tokoh seperti Thabathaba’i,
Hazbini, dan Muthahhari.
Keahlian profesional Nasr dalam bidang filsafat dan sejarah ilmu
pengetahuan, tampaknya tidak lepas dari pengaruh lingkungan intelektual Iran,
tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, dan Amerika serikat, tempat ia melanjutkan
studi. Iran dapat dipandang sebagai tempat yang merepresentasikan kontinuitas
perkembangan pemikiran keagamaan, khususnya filsafat dan sufisme di dunia
Islam hingga abad-abad terakhir. Seperti yang diakui Nasr sendiri, bahwa filsafat
Islam memiliki kehidupan yang lebih panjang di bagian timur ketimbang di
bagian barat dunia Islam. Di Persia, filsafat Islam tetap bertahan hidup selama
beberapa abad terakhir. Satu bagian periode dari abad VII/XIII sampai X/XVI
diciri-kan oleh penyesuaian besar antar berbagai ajaran Islam.
Selama tiga abad berbagai ajaran pemikiran Islam mencapai puncaknya
dalam periode Safawid di Persia dengan ajaran Isfahan, yang dihubungkan dengan
ibu kota Safawid, sebagai pusatnya. Tokoh terpenting ajaran ini ialah Sadr al-Din
Shirazi, yang dikenal sebagai Mulla Sadra (lahir di Shiraz tahun 979 /1571). Ia
merupakan tokoh yang berpengaruh dalam kelanjutan tradisi Islam sampai hari
ini, yang dianggap sebagai metafisikawan muslim terbesar. Mulla Sadra menulis
sekitar limapuluh buku, sebagian besar dalam bahasa Arab, yang terpenting
adalah Al-Asfar al-Arba'ah (The Four Journeys), buku teks tingkat tinggi pada
10
Untuk menyebut beberapa nama, Mulla Sadra dan Sabziwari dalam bidang filsafat;
Jalaluddin Rumi, Hafidz, dan Sa'di dalam bidang tasawuf dan sya'ir; Umar Khayam dan Al-Biruni
dan sebagainya. Secara lebih lengkap lihat Nasr, Sains dan Peradaban dalam Islam Bandung,
Pustaka, 1986
6
filsafat Islam tradisional di madrasah-madrasah Iran hingga hari ini. 11
Selama periode Qajar, Teheran secara bertahap mening-kat menjadi pusat
studi filsafat Islam, dan kebanyakan guru-guru yang terkenal di akhir periode
Qajar dan Pahlevi se-perti Mirza Mahdi Asytiyani (w. 1373/1953), Sayyid
Muhammad Kazim 'Assar (w. 1394/1975), dan Sayyid Abu al-Hasan Qazwini (w.
1394/1975), mengajar di Teheran. Setelah Perang Dunia II, Qum Juga menjadi
suatu pusat pengajaran filsafat Islam yang penting, dengan salah seorang tokoh
utamanya 'Allamah Sayid Mohammad Hossain Thabathaba'i (w. 1402/1981) yang
menuli Ushul-i Falsafah wa Rawish-i Ri "alism (The Principles of Philosophy and
the Method of Realism)12.
Selain secara geografis-historis, tradisi keagamaan syi'ah juga merupakan
faktor pendukung berkembangnya pemi-kiran filsafat di Persia. Seperti apa yang
diakui Nasr, haruslah dibedakan antara tanggapan kaum Sunni dengan kaum
Syi'ah terhadap filsafat. Kalangan Sunni menolak hampir seluruhnya filsafat
setelah Ibn Rusyd, kecuali logika dan kesinambungan pengaruh filsafat dalam
metoda argumentasi, juga beberapa paham kosmologis yang masih ada dalam
formulasi teologi dan doktrin sufi tertentu.
Akan tetapi, di kalangan Syi'ah, filsafat aliran peripatetik dan illuminasi
terus di ajarkan dan merupakan tradisi yang hidup sepanjang zaman di sekolahsekolah agama Syi'ah13. Pernyataan Nasr tersebut sekaligus, merupakan
pengingkaran terhadap tuduhan yang dilancarkan beberapa orientalis bahwa
kegiatan intelektual ummat Islam, khususnya filsafat, telah mati.14
Apa yang dinyatakan para orientalis ini, bukan saja terkesan sangat obyektif,
tetapi juga memiliki dampak-dampak yang sangat serius, terutama dengan
11
Nasr, Theology, Philosophy and Spirituality, diterjemahkan dalam "Intelektual Islam:
Teologi, Filsafat dan Gnosis, Yogyakarta, CIIS Press, 1995
12
Ibid
13
Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1986, h.
271
14
Setidaknya ada tiga buah dalih yang digunakan kalangan orientalis untuk meyakinkan
ummat Islam, tentang kemandegan kegiatan intelektual ini. Pertama, isu tentang tertutupnya pintu
ijtihad yang telah berlangsung selama seribu tahun. Kedua, serangan al-Ghazali terhadap filsafat,
melalui karyanya yang monumental Tahafut al-Falasifah dan ketiga, meninggalnya Ibn Rushd,
yang dianggap sebagai simbol rasionalisme Islam, lihat Suharsono, "Kata Pengantar", dalam Nasr,
Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis Yogyakarta, CIIS Press, 1995.
7
perspektif dan penyikapan umat Islam belakangan terhadap dimensi-dimensi
intelektual. Pada satu sisi, gema tertutupnya pintu ijtihad dan serangan-serangan
Al-Ghazali terhadap filsafat, misalnya, terus menerus diresonansi, sehingga
mampu membungkam setiap potensi intelektual ummat Islam yang akan
berkembang. Pada sisi lain para orientalis, dengan rasa super, meyakinkan
terutama terhadap kalangan cendekiawan muslim, bahwa intelektualisme Barat
adalah "pisau analisis" yang paling tajam untuk membedah berbagai persoalan
ummat manusia. Sejauh kaitan dengan ini, Seyyed Hossein Nasr menunjukkan
bahwa tudingan para orientalis terhadap kegiatan intelektual ummat Islam, terlalu
banyak memiliki cacat dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.
8
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Di dalam bab sebelumnya, terutama mengenai tinjauan karya Nasr, tidak
dijumpai karyanya yang secara langsung membahas epistemologi. Meskipun
demikian, beberapa pemikirannya dapat diidentifikasi sebagai anggapan pokok
mengenai epistemologi, hal itu dapat dilihat, secara tersebar, hampir dalam
seluruh karyanya. Pemikiran-pemikirannya itu dapat dikelompokkan, di sini, pada
pemikirannya
tentang
realitas,
pra-anggapan
pengetahuan,
metodologi
pengetahuan, dan hierarki pengetahuan.
Selanjutnya, agar dapat diperoleh gambaran tentang posisi pemikiran
epistemologi Nasr dalam rentang sejarah dan ciri-ciri khusus yang dapat
dibedakan dari pemikiran epistemologi lainnya, terlebih dahulu dipaparkan
sejarah epistemologi secara umum.
A.
Sejarah Epistemologi
Istilah epistemology pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier dalam
karyanya Institute of Metaphysics, di mana ia membagi filsafat menjadi dua
cabang: metafisika dan epistemologi. 15 Epistemologi, atau filsafat pengetahuan,
adalah cabang filsafat yang mempelopori dan mencoba menentukan kodrat dan
skope
pengetahuan,
pengandaian-pengandaian
dan
dasarnya,
serta
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Para
filosof pra Sokratik, yaitu filosof pertama di dalam tradisi Barat, tidak
memberikan perhatian kepada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan
perhatian, terutama, kepada alam dan kemungkinan perubahan-nya, sehingga
mereka kerap dijuluki filosof alam.
Dalam menguraikan pemikiran tentang epistemologi, Plato mengawalinya
dengan menegaskan bahwa realitas Itu tidak berubah. Menurut anggapannya, satusatunya pengetahuan sejati ialah apa yang disebutnya episteme, yaitu pengetahuan
yang tunggal dan tak berubah sesuai dengan idea-idea abadi. Apa yang tampak di
15
Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, New Jersey: Adams & Company, 1971, h.
9
dunia ini hanyalah bayangan (copy) dari yang baka. Bayangan itu banyak,
bermacam-macam, dan selalu berubah.16 Dengan demikian, kebenaran menurut
Plato bersipat apriori (dari kata Latin prius: sebelum. Pandangan ini ingin
menentukan apa kiranya yang mendahului adanya segala kenyataan itu). Bagi
Plato, benda-benda inderawi bukanlah obyek pengetahuan, melainkan obyek
opini. Demikian pula, pencerapan inderawi bukanlah pengetahuan, melainkan
sekedar opini karena selalu dalam perubahan dan kemungkinan salah. 17
Sistem epistemologi yang dibangun Descartes yang didasarkan atas
kebenaran apriori dan rasio ini mendapat sanggahan dari mazhab empirisme
dengan tokohnya John Locke. Bagi Locke, seluruh pengetahuan bersumber dari
pengalaman, bukan dari ide-ide bawaan yang apriori. Gagasan berasal dari dua
sumber, yaitu sensasi dan persepsi jiwa. Menurutnya, persepsi adalah langkah dan
tingkatan pertama menuju pengetahuan. Dengan demikian, Locke lebih
mementingkan pengetahuan inderawi ketimbang pengetahuan lainnya. 18
Pemikiran epistemologi post-Kantian diwarnai oleh munculnya positivisme
August Comte (1798-1857). Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui,
yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian atau persoalan di
luar yang ada, sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang
diketahui secara postif adalah segala yang tampak, segala gejala. Dengan
demikian, positivisms membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan kepada bidang
gejala-gejala saja.
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga
tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang berkeyakinan
bahwa di balik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus (kekuatan
adikodrati, atau dewa-dewa); pada tahap metafisik, kekuatan adikodrati itu diubah
menjadi kekuatan yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian
yang bersipat umum yang disebut alam dan dipandangnya sebagai asal segala
gejala; pada tahap positif, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik
94
16
Ibid., h. 9
Ib i d. , h. 10. Lihat pula C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja
Ilmu-Ilmu, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991, h. 9-11.
18
Ibid., h. 589
17
10
pengetahuan teologis maupun metafisis dipandang tidak berguna. Menurutnya,
tidaklah berguna melacak asal dan tuouan akhir seluruh alam semesta ini atau
melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan
hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan
pengamatan dan dengan memakai akal.19
Pada abad ke 20, epistemologi mengalami perkembangan yang ditandai
dengan munculnya pemikiran-pemikiran baru. Satu di antaranya muncul dari
Lingkaran Wina Lingkaran Wina (Jerman: Wiener Kreis; Inggris: Vienna Circle),
suatu komunitas intelektual yang terdiri atas sarjana-sarjana ilmu pasti dan alam di
Wina, ibukota Austria. Komunitas ini didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun
1924 sampai dengan tahun 1938. Pandangan yang dikemukakan oleh Lingkaran
Wina disebut neopositivisme, kerap juga dinamakan positivisme-logis atau
empirisme-logis.
Epistemologi mengalami perkembangan baru lagi dalam masa dua atau tiga
dasawarsa terakhir ini. Perkembangan itu ditandai dengan adanya perhatian besar
terhadap sedarah ilmu serta peranan yang dimainkan sejarah ilmu dalam
mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan
ilmiah yang sesungguhnya terjadi.
Perkembangan baru
ini dinamakan
“pemberontakan terhadap positivisme”. Tokoh-tokoh epistemologi baru ini antara
lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter, Stephen
Toulmin, dan Imre Lakatos. 20 Kajian singkat atas pemikiran tokoh-tokoh itu
dibatasi, di sini, hanya pada pemikiran Thomas Kuhn dan Paul Feyerabend.
Dalam pada itu, telah muncul pemikiran epistemologi paling mutakhir y4 ang
menyoroti unsur-unsur pokok epistemologi modern dengan perspektif keagamaan
(tradisional) dari Seyyed Hossein Nasr. Ia mencoba melakukan rekonsiliasi
epistemologis antara agama dengan ilmu pengetahuan, setelah terjadi “perceraian”
di antara keduanya sejak masa renaisans di Eropa. Dalam hubungan ini,
epistemologi modern dapat dipandang sebagai produk dari suatu kesadaran .yang
memberontak dan menolak gagasan wahyu dan semua implikasinya.
19
Ibid., h. 111
11
B.
Pemikiran tentang Obyek Pengetahuan
Jika pemikiran modern memandang bahwa obyek ilmu pengetahuan
hanyalah realitas empirik, Nasr memandangnya keseluruhan realitas dari yang
eksternal hingga yang paling internal. Menurutnya. berbagai realitas itu dipadukan
dalam kalimat tauhid la ilaha ilia Allah (tiada tuhan selain Allah) sebagai konsep
dasar Islam.21 Makna terdalam dari kalimat tersebut adalah tidak ada wujud
(realitas) selain wujud Tuhan. Kandungan makna itu, menurut Nasr, tidak harus
menunjuk kepada panteisme yang memandang realitas lain selain Tuhan sebagai
tuhan, melainkan harus dipahami bahwa adanya realitas lain selain Tuhan tidak
lain hanyalah cermin dari sekian banyak “kehadiran Ilahiah” (al-hadharat alIlahiyah).
Ia melanjutkan, bahwa banyaknya kehadiran Ilahi itu dapat disederhanakan
dengan membaginya ke dalam lima keberadaan (al-hadharat. al-Ilahiyah alKhamsah) untuk menggambarkan hierarki seluruh realitas dalam urutan menurun:
(1) kehadiran hakikat ilahiyah, esensi Tuhan (hahut); (2) keberadaan nama dan
sifat Tuhan (lahut); (3) kehadiran malaikat (jabarut); (4) keberadaan psikis dan
manifestasi halus, disebut juga dunia perantara (malakut); dan (5) keberadaan fana
atau dunia fisikal (nasut).22
Keberadaan hakikat Ilahiah, adalah wujud yang tidak dapat dikenal dan
tidak dapat dijangkau oleh apapun, kecuali Tuhan sendiri. Oleh karena itu, Ia
absolut murni.23 Keberadaan atau dunia hahut, lahut, dan jabarut berada di atas
bentuk-bentuk dan manifestasi formal. Sedang dunia malakut mempunyai bentuk
meskipun bukan materi dalam pengertian peripatetik biasa.
Nama Tuhan tidak dikenal di dunia ini. Ialu ia menyebutkan nama dan sifatsifat-Nya untuk dikenal. Dan, secara emanasi, lahirlah apa yang disebut lahut
yang dapat dipersamakan dengan prinsip kreatif atau wujud, yaitu prinsip
ontologis dari keseluruhan kosmos. Dengan demikian, ia absolut terhadap seluruh
20
C. Verhaak, op. cit., h. 163.
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Krisis of Modern Man. London:
Mandala Books, h. 18.
22
Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1986, h. 74.
Lihat pula Knowledge and the Sacred, 1981. h. 199.
23
Hahut berasal dari huwa yang berarti Dia; jadi, dapat diterjemahkan sebagai quiddity
21
12
ciptaan. Agar dapat sampai ke dunia, diciptakanlah dunia juga a'yan tsabitah,
dimana pola-pola dasar (archetype). Malakut adalah mediator antara Tuhan
dengan dunia psikis manusia. Malakut adalah keberadaan cahaya atau substansi
jiwa yang ada dalam diri manusia, salah satu bagiannya adalah intelek, sebagai
cahaya Ilahi yang mampu menghubungkan manusia dengan malakut. Intelek, bagi
manusia, merupakan ciri utama yang melampaui realitas lain. Karena intelek
itulah, manusia kerap disebut mikrokosmos, sebagai simbol dari makrokosmos.
Nasut adalah keberadaan alam fisik. Ia merupakan manifestasi yang paling akhir,
ia juga merupakan lambang ketuhanan. Oleh karena itu, intelek disebut juga ayat.
Ia bukan hanya bersifat material melainkan memiliki makna. Hierarki keberadaan
itulah yang disebut manifestasi Tuhan (tajalliyat).24
Doktrin keesaan (tawhid) adalah formulasi metafisikal yang paling
mendalam. Ia mempunyai berbagai aspek dan tingkat pengertian: pertama,
penekanan pada karakter kesementaraan dan ketaksubstansialan segala sesuatu
selain Allah (masiwa Allah) dan dengan mengikuti urutan ciptaan: yang material
adalah yang paling tidak permanen; Kedua, penekanan pada “sesuatu yang lain”
sehingga realitas tertinggi menekankan pada kebenaran bahwa Allah sepenuhnya
berada di atas seluruh pemikiran dan pengertian awam tentang makna istilah kata
“ilah” dalam formulasi di atas.
Dengan mengikuti terminologi Al-Qur'an, Nasr mengemukakan empat
kualitas dunia tertinggi: awal, akhir, zhahir, dan bathin,25 yang satu sama lain
bersifat komplementer. Dua sifat Ilahi pertama, yang Awal dan yang Akhir,
bersesuaian dengan kepercayaan waktu di dunia atas asal Ilahi. Tuhan Yang Awal
berarti bahwa seluruh realitas berasal dari-Nya, sedangkan Tuhan Yang Akhir
berarti semua realitas akan kembali kepada-Nya.26 Dengan kata lain, Ia adalah
asal sekaligus tujuan. Dan, dua sifat Ilahi berikutnya, Yang Zhahir dan Yang
Bathin, berhubungan dengan ruang. Tuhan Yang Zhahir dan Yang Bathin berarti
atau ipseity.
24
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, New York: Caravan Books, 1976, h. 111112.
25
Lihat Al-Qur'an, Surat 37 : 3.
26
Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban dalam Islam, loc. cit.
13
Yang mencakup segalanya.27
Metafisika, bagi Nasr, merupakan pengetahuan tentang yang real. Ia
menjelaskan asal-usul dan tujuan semua realitas, tentang yang absolut dan relatif.
Oleh karena itu, Nasr mengusulkan jika manusia ingin tinggal di dunia lebih lama,
prinsip-prinsip metafisis harus dihidupkan kembali.28
C.
Pemikiran tentang Sifat Pengetahuan
Konsep sentral Nasr adalah unitas. Ia adalah paham kesatupaduan dan
interelasi dari segala yang ada, sehingga dengan merenungkan kesatupaduan
kosmos, seseorang dapat menuju ke arah kesatupaduan Ilahi yang dibayangkan
dalam kesatuan Alam. Ide unitas dalam ilmu pengetahuan ini merupakan ide
turunan dari syahadah: la ilaha ilia Allah. Lebih jauh, menurut Nasr, ide unitas
bukanlah hanya sebagai sifat ilmu pengetahuan dan seni Islam, ia juga
mendominasi pengungkapan ilmu pengetahuan dan seni tersebut.29 Dengan
konsep unitas itu pula memungkinkan terjadinya integrasi keaneka-ragaman
pengetahuan ke dalam keterpaduan. Dalam kata lain, ide unitas itu memungkinkan
integrasi pengetahuan dan tindakan manusia ke dalam sebuah kesatuan yang
harmo.
Sesungguhnya, menurut Nasr, ide unitas semacam ini tidak hanya khas
Islam tetapi lazim dalam semua peradaban tradisional, termasuk Kristen. Namun,
aplikasinya di dalam Islam mampu melahirkan sesuatti yang unik, yang tidak ditemukan dalam derajat yang sama pada peradaban dari tradisi lainnya.
Menurut Nasr, kosmologi mampu untuk menjadi “alat integrasi konseptual”
karena tujuannya “untuk mengadakan sebuah pengetahuan yang memperlihatkan
kesalingterkaitan segala sesuatu dan mengadakan hubungan dengan tingkattingkat hierarki kosmik satu sama lain dan, akhirnya, dengan prinsip tertinggi.
Dengan demikian, ia menjadi sebuah pengetahuan yang memungkinkan terjadinya
integrasi keanekaragaman ke dalam keterpaduan”.30
27
Ibid., h. 75
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature, op. cit., h. 81.
29
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Pradaban dalam Islam, op. cit., h. 1-5.
30
Seyyed Hossein Nasr, ed.'The Cosmos and the Natural Order", dalam Islamic
28
14
Menurut Nasr, adanya perbedaan pandangan dan lahirnya berbagai
pemikiran tentang ilmu pengetahuan, tak lain karena adanya perbedaan tingkat
fakultas yang dimiliki manusia. Fakultas-fakultas itu adalah intelek, imajinasi,
rasio, dan indera.31 Intelek di sini, digunakan dalam pengertian asal, intellectus
(Latin) atau nous (Yunani). Dalam bahasa Al-Qur'an disebut ‘aql yang berarti
mengikat manusia ke asalnya (origin). Secara etimologis, intellect atau ‘aql
mempunyai makna yang sama dengan agama karena agama mengikat manusia
kepada Tuhan. Pengertian itu, dalam paham modern, menurut Nasr, telah
mengalami reduksi menjadi hanya reason semata-mata.32
D.
Pemikiran tentang Jalan Memperoleh Pengetahuan
Menurut Nasr ketika ia memaparkan perkembangan ilmu pengetahuan Islam
secara historis, para ilmuwan Muslim menggunakan metode yang majemuk dalam
menciptakan elemen ilmu pengetahuan Islam yang sesuai dengan makna term
“sains” saat ini. Ilmu pengetahuan Islam senantiasa berupaya menerapkan
metode-metode yang beragam sesuai dengan watak subyek yang dipelajari dan
cara-cara
memahami
subyek
tersebut.
Para
ilmuwan
Muslim,
dalam
menumbuhkan dan mengembangkan beraneka ragam ilmu pengetahuan telah
menggunakan berbagai metodologi, dari rasionalisasi dan interpretasi Kitab Suci
hingga observasi dan eksperimentasi.33
Kendati dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern sendiri telah terjadi
pergeseran konsep metodologi yang ditandai dengan penyingkiran gagasan yang
menyatakan hanya ada satu metodologi yang bertanggung jawab atas terciptanya
ilmu pengetahuan, dan berlanjut dengan penerimaan pluralitas metodologi oleh
kalangan ilmuwan modern, perbedaannya dengan ilmu pengetahuan Islam tetap
tampak. Demikian itu, disebabkan metodologi ilmu pengetahuan dalam Islam
Spirituality: Foundation, dari World Spirituality: An Encyclopedic History of the fieligious Quest,
London: Routledge & Kegan Paul, 1987, h.350.
31
Nasr, Sains dan Peradaban dalam Islam, loc. cit. , h.18.
32
Nasr, Knowledge and The Sacred, op. cit., h. 14.
33
Tentang pemaparan Nasr mengenai ilmu pengetahuan Islam sebagai sains yang memiliki
metodologinya sendiri, lihat berbagai karya Nasr tentang ilmu pengetahuan Islam, khususnya,
Science and Civilization in Islam; An Introduction to Islamic Cosmological Doctrine, (Cambridge
MA: Harvard University Press, 1964) dan (London: Thames & Hudson, 1978); Islamic Science,
15
didasarkan atas sebuah epistemologi yang secara fundamental berbeda dengan
epistemologi yang dominan dalam ilmum pengetahuan modern.
Menurut Nasr, keimanan kepada wahyu Al-Qur'an akan menyingkap semua
kemungkinan yang terdapat . pada akal manusia. Ketundukan kepada wahyu ,pada
setiap tingkat membuat akal mampu untuk mengaktualisasikan kemungkinankemungkinan ini. Pengembangan akal muslim didasarkan atas suatu kesadaran
yang utuh tentang prinsip ini. Dalam perspektif ini, dalam memecahkan masalahmasalah filosofis dan ilmiahnya. 34
Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa penyucian jiwa dipandang
sebagai bagian yang terpadu dari metodologi pengetahuan. Penyucian jiwa
menjadi perhatian utama, untuk proteksi dan penggunaan akal manusia dengan
benar. Suasana religius dan spiritual yang tercipta dari Al-Qur'an sekaligus
menghilangkan rintangan bagi pertumbuhan akal yang wajar dan optimal, dan
tentunya, dengan cara yang benar.
E.
Epistemologi Tradisional sebagai Alternatif
Di dalam karya-karanya, Nasr menunjukkan signifikansi religius dari upaya
penegakan ilmu pengetahuan. Ia mengidentifikasi diri sebagai ilmuwan
tradisional. Terma tradisi, menurut Nasr, menyiratkan sesuatu yang sakral. 35
Dengan penggunaan terma tradisi di sini, Nasr tampak menginginkan
adanya kejelasan alur dan posisi pemikirannya untuk dilihat secara berbeda dari
pemikiran “kontra tradisi”. Mereka itu diidentifikasi sebagai kelompok ilmuwan
modern, para pemikir Muslim modernis, dan fundamentalis. Pembedaan secara
kontras ini dilakukan Nasr mengingat masing-masing kelompok itu memiliki
karakteristik spesifik.
Dalam wacana ilmu pengetahuan, tradisi dihadapkan pada terma modern.
Dalam hubungan ini, terma modern bukan dimaksudkan sebagai kontemporer atau
“Reflection on Methodology in the Islamic Sciences” dalam Hamdard Islamicus, (1980), h. 3-13
34
Nasr, Islamic Cosmological Doctrine, op. cit. , h.181
35
Tentang makna tradisi, lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah
Dunia Modern, Bandung: Pustaka, 1994, h. 1-13. Lihat pula Knowledge and The Sacred, New
York: 1981, h. 65 dan seterusnya. Berkenaan dengan tradisi, Schuon menulis, “Tradisi bukanlah
suatu mitologi yang kekanak-kanakan dan usang melainkan suatu sains yang benar-benar nyata.
16
mengikuti zaman, melainkan sesuatu yang terpisah dari yang transenden. Dengan
demikian, modernisme dipertentangkan dengan al-din. Modernisme mengimplikasikan semua yang semata-mata manusiawi dan semua yang tercerai dan
terpisah dari sumber yang Ilahi.
Sekurang-kurangnya ada tiga karakteristik utama yang dapat dijumpai
dalam ilmu pengetahuan modern (1) ilmu pengetahuan modern bersifat
antropomorfik. Ia menunjukkan kriteria instrumen-instrumen pengetahuan adalah
semata-mata manusia.36 Sebaliknya, ilmu pengetahuan tradisional benar-benar
non-antropomorfik, dalam pengertian bahwa locus dan wadah pengetahuan
bukanlah pikiran manusia melainkan, pada akhirnya, kecerdasan Ilahi. Ilmu
pengetahuan didasarkan atas kecerdasan yang dimiliki tingkat supra manusiawi, 37
(2) Tidak adanya prinsip-prinsip yang menjadi ciri ilmu pengetahuan modern
karena empirisme, rasionalisme, dan rasionalisme-empirik tidak dapat bertindak
sebagai prinsip-prinsip dalam pengertian metafisika, (3) tidak memiliki kepekaan
terhadap yang sakral. 38 Sementara itu Islam tidak mengenal konsep profan atau
sekuler karena dalam Islam, Yang Esa merasuk ke dalam kedalam dunia
multiplisitas dan tidak mengesampingkan domain apapun dari tradisi. 39
Secara keseluruhan tampaknya, Nasr mengemukakan sebuah kebutuhan
untuk menghidupkan kembali kosmologi tradisional di dunia modern. Kosmologi
ini memiliki peran penting di dalam setiap usulan yang bertujuan membangkitkan
kesadaran akan kesatuan ilmu pengetahuan dan pengetahuan spiritual.
Dari “Kata Pengantar” untuk Understanding Islam.
36
Lihat A. Koestler dan J.R. Smythies (ed.), Beyond Reductionism, London: 1959. Lihat
pula E.F. Schumacher, Keluar Dari emelut. Jakarta: LP3ES, 1981, terutama Bab I.
37
Lihat F. Bruner, Science et Realite, Paris, 1956.
38
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, op. cit., h. 100
39
ini terbukti dengan tidak adanya terma seperti itu di dalam bahasa Arab klasik.
17
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasar atas kajian terhadap Seyyed Hossein Nasr dan pemikirannya, dapat
disimpulkan di sini, bahwa Nasr adalah sosok ilmuwan yang sangat kritis terhadap
rasionalitas Barat dan keyakinan Barat terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ia juga melakukan evaluasi kritis tentang kegagalan dan kesuksesan masa lalu di
dunia Muslim maupun Barat, di samping mengambil tindakan terhadap situasi
kontemporer , khususnya pada tingkat ide-ide.
Dalam kaitan ini, Nasr menawarkan suatu filsafat pengetahuan yang
didasarkan atas prinsip-prinsip agama, menurutnya, obyek pengetahuan adalah
segala realitas. Realitas itu abadi, universal, dan memiliki kesatuan dan hirarki.
Realitas tertinggi adalah hakikat Ilahi, kemudian realitas nama dan sifat-Nya,
realitas malaikat, realitas jiwa atau alam halus, dan realitas fisik yaitu manusia.
Adanya kesatuan dan hirarki realitas itu melahirkan hirarki pengetahuan, yaitu
pengetahuan intelektual, rasional, dan inderawi.
Mengenai sifat pengetahuan, Nasr mendasarkannya pada prinsip dasar
agama, tawhid. Dalam Islam, kesadaran religius terhadap tawhid merupakan
sumber dan semangat ilmiah dalam seluruh wilayah pengetahuan. Oleh karena itu,
tradisi intelektual Islam tidak menerima gagasan bahwa ilmu-ilmu kealaman lebih
ilmiah daripada ilmu atau pengetahuan lainnya. Demikian pula, gagasan
obyektivitas yang begitu esensial dalam kegiatan ilmiah tidak dapat dipisahkan
dari kesadaran religius dan spiritual. Dalam perspektif Islam, pencarian
obyektivitas dalam upaya intelektual bukan hanya sah dan dianjurkan, dan berakar
pada fitrah manusia, tetapi juga memiliki signifikansi religius yang besar.
Mengenai jalan memeperoleh pengetahuan, Nasr mendukung gagasan
kemajemukan metodologi. Lebih dari itu, epistemologi Nasr memiliki pandangan
yang menyatu tentang kemajemukan metodologi itu. Kendati Nasr juga mengakui
bahwa kini metodologi majemuk telah diterima oleh segmen-segmen tertentu
dalam masyarakat ilmiah modern, tetapi menurutnya, itu tidak mencakup totalitas
metodologi ilmu pengetahuan Islam. Hal itu karena sekalipun para filosof ilmu
18
pengetahuan kontemporer berbicara tentang penggunaan Kitab Suci dalam
metodologi ilmu pengetahuan modern, mereka tidak memberikannya status
epistemologis yang sama seperti yang dilakukan oleh ilmu-ilmu pengetahuan
tradisional.
Dalam pandangan tradisional, persoalan metodologi secara konseptual tidak
dapat dipisahkan dengan tujuan akhir kognisi manusia yang ada kaitannya dengan
persoalan tujuan ruhaniah manusia. Nasr menegaskan bahwa terdapat hubungan
konseptual yang dalam antara dimensi batiniah Islam, dengan kedalam dan
keluasan pemikiran ilmiah Muslim, dan ilmu pengetahuan yang menyubur dalam
peradaban Islam. Upaya untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan Islam di
dunia modern menghendaki para ilmuwan Muslim agar mencurahkan perhatian
yang besar pada keterkaitan yang erat itu. Dalam hubungan ini, epistemologi
tradisional yang diajukan Nasr dapat menjadi alternatif bag! upaya tersebut.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir. Filsafat Umum. Bandung: Rosdakarya, 1990.
Alfons Taryadi. Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper.
Jakarta: Gramedia, 1989.
All Fauzi, Ihsan.* “Seyyed Hossein Nasr dan Perspektif Tradisionalisme Islam.”
dalam Republika, 28 Juni 1993.
al-'Amili, Hasan Muhammad Makki. Nadhriyyah al-Ma*rifah. Qum: Al-Markaz
al-Alami Li al-Dirasat al-Islamiyah, 1981.
Anshari, Endang Saefuddin. Ilmu, Filsafat dan agama. Surabaya: Bina Ilmu,
1985.
Azra,
Azyumardi. “Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi.” Ulumul
Qur”an, no. 4, vol. IV, 1993.
_____. “Seminar Sehari tentang 'Spiritualitas, Krisis Dunia Modern, dan Agama
Masa Depan”. Tanggal 28 Juni 1993, Jakarta: Yayasan PARAMADINA,
1993.
Bakar, Osman. Tauhid & Sains. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994.
Baqir, Haidar. “Filsafat Sains Islami: Khayalan atau Kenyataan.” dalam Mahdi
Ghulsyani. Filsafat Sain menurut Al-Qur^an. Bandung:'Mizan, 1990.
Bateson, Gregory. Step to An Ecology of Mind. New York:
Paladin, 1971.
Capra, Frithjof. The Tao of Physics. Boulder: Sambala, 1975.
————. The Turning Point: Science, Societi and The Rising Culture. Bantan
Editioona, Boulder: Sambala, 1983
Cassirer, Ernest. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia, 1992.
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Qur'an, 1982.
Durant, Will. The Story of Philosophy. New York: Simon & Schuter, 1993.
Eaton, Hasan. “Knowledge and The Sacred: Reflections.” dalam Islamic
Quarterly, vol. XXVI, no. 3, 1982.
Eaton, M. Ralph. “Knowledge and The Sacred: Reflection.” dalam Islamic
Quarterly, no. 3, vol. XXVI, 1982.
————, ed. Descartes Selections. New York: Scribner's, 1927.
Edward, Paul, ed. The Encyclopedia of philosophy, vol. 3 London-New York:
Macmillan Publishing Co., 1972.
20
Fakhry, Mao id. Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Jaya, 1987.
Feyerabend, Paul. Against Method. Atlantik Nighlands: Humanities Press, 1975.
Gelsweik, Richard. The Way of Discovery. New York: Oxford University Press,
1977.
Hadiwiyono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Hadi, Hardono. P. “Epistemologi”. Disadur dari Kenneth T. Gallagher. The
Philosophy of Knowledge. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Hidayat, Komaruddin. “Tinjauan Sufistik Terhadap Manusia Modern Menurut
seyyed Hossein Nasr.” dalam M. Dawam Raharjo, peny.. Insan kamil.
Jakarta: Graffitipress, 1987.
Huxley, Aldous. The Perenial Philosophy. London: Fontana Books, 1959.
Kuhn, Thomas, S. The Strukture of Scientific Revolution. London 1970.
Maarif, Ahmad Syafi'i. Islam: Kenapa Tidak. Yogyakarta: Sha-lahuddin Press,
1983.
Muhaqqiq, Mahdi. “Traditional Philosophy in Iran.” dalam A2-Tauhid. no. 3, vol.
Ill, 1986.
Nasr, Seyyed Hossein. Falsafah, Kesusastraan dan Sen! Halus. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Nasr, Seyyed Hossein. “Filsafat Perenial: Perspektif Alternatif Untuk Studi
Agama.” dalam Ulumul Qur^an, no. 3, vol. Ill, 1992.
Nasr, Seyyed Hossein. Ideals and Relities of Islam. London: George Alien &
Unwin, 1975.
Nasr, Seyyed Hossein Islamic Life and Thought. London: George Alien & Un-in,
1981.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam dan Nestapa Manusia modern. Bandung: Pustaka,
1983.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam dalam Clta dan Fakta. Jakarta: Leppenas, 1981.
Nasr, Seyyed Hossein Knowledge and the Sacred. New York: Crossroad
Publishing Co., 1981.
Nasr, Seyyed Hossein. Man and Nature. London: Mandala Books, 1976. ..
Muhammad Kekasih Allah. Bandung: Mizan, 1992.
Nasr, Seyyed Hossein. “Mulla Sadra.” dalam M.M. Sharif. A History of Muslim
Philosophy. Wisbaden: Ottohorrassoeitz, 1968.
Nasr, Seyyed Hossein. Pengenalan Doktrin Kosmologi Islam. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992.
Nasr, Seyyed Hossein. “Pengantar”. dalam M.H. Thabathaba’i. Islam Syi’ah.
Jakarta: Grafitipers, 1989.
21
Nasr, Seyyed Hossein. “Preface”, dalam Frithjof Schoun. Islam and the Perenial
Philosophy. London: World of Islam Festival Publishing Co., 1976.
Nasr, Seyyed Hossein. Sadr al-Din al-Shirazi and His Transcendent Theosophy.
Teheran: Iranian Imperial Academy of Philosophy 1976.
Nasr, Seyyed Hossein. Sains dan Peradaban dalam Islam. Bandung: Pustaka,
1986.
Nasr, Seyyed Hossein. “Sang Alim dari Tabriz.” dalam M.H. Thabathaba’i.
Menyingkap Rahasia Al-Quran. Bandung: Mizan, 1987.
Nasr, Seyyed Hossein. Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Mizan, 1993.
Nasr, Seyyed Hossein. “Suhrawardi.” dalam M.M. Sharif. A. History of Muslim
Philosopohy. Wisbaden: Ottohor-rasswitz, 1986.
Nasr, Seyyed Hossein. “The Meaning and Role of Philosophy in Islam.” dalam
Studia Islamica, vol. XXXVII, Paris, 1973.
Nasr, Seyyed Hossein. “The Meanig of Nature In Various Intelectual Perspectives
in Islam.” dalam Islamic Quarterly, vol. XVI, no. 4., 1972.
Nasr, Seyyed Hossein. Three Muslim Sages. New York: Karapan Books, 1976.
Nasr, Seyyed Hossein. Traditional Islam In The Modern World. London: KPI
Limited, 1987.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam and Plight of Modern Man. London: Longman,
1975.
Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Science: An Illustrated Study. London: World of
Islam Festival Publising Co., 1976.
Nasr, Seyyed Hossein. Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis.
Yogyakarta: CIIS Press., 1995.
Nasr, Seyyed Hossein. Tasawuf: Dulu dan Sekarang. Jakarta: Pustaka Firdaus
1991.
Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam, An Introduction to
Islamic Cosmological Doctrine. Cambridge: Harvard University Press,
1964.
Nasr, Seyyed Hossein “Intelect and Intuition.” dalam S. Azam, ed. Islam and
Contemporary Society. Islamic Council of Europe, 1982.
Nasr, Seyyed Hossein. Theology, Philosophy
Crossroad Publishing Co., 1991
and
Spirituality.
London:
Nasr, Seyyed Hossein. “The Cosmos and the Natural Order.” dalam World
Spirituality: An Encyclopedic History of The Religious Quest.
London: Routledge & Kegan Paul, 1987.
Poeradisastra, S.I. Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern.
Jakarta: P3M, 1986.
22
Peursen, Van, C.A. Orientasi di Alam Filsafat. terjemahan dari Filosofische
Orientatie. Jakarta: Gramedia, 1991.
Popper, Karl R. The Logic of Scientific Discovery. New York, London: Harper &
Row, 1968.
Qara’i, Ali Qulli. “Post-Ibn Rushd Islamic Philosophy in Iran.” dalam Al-Tauhid.
vol. III, No. 3, 1986.
Rachman, Budhy Munawar. “Perenialisme dan Kritik Terhadap Modernisme.”
dalam Kompas, 22 Mei 1993.
Rakhmat, Jalaluddin. “Kearifan Perenial:
Republika, 14 dan 16 Desember 1993.
Paradigma Baru sains.” dalam
Ravertz, J.J. Scientific Knowledge and its Social Problems. London: Oxford
University Press, 1973.
Roberston, James. Alternatif yang Sehat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990.
Runes, Dagobert D. Dictionary of Philosophy. New Jersey: Adams and Co., 1971.
Russel, Bertrand. Dampak Ilmu Pengetahuan atas Masyarakat. Jakarta:
Gramedia, 1992.
Russel, Bertrand. History of Western Philosophy. London: George Alien &
Unwin, 1945.
Sardar, Ziauddin. Masa Depan Islam. Bandung: Mizan, 1987.
Sardar, Ziauddin. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Bandung: Mizan
1991.
Schuon, Frithjof. Islam and the Perenial Philosophy. London: World of Islam
Festival Publishing Co., 1978.
Schuon, Frithjof. Understanding Islam. London: Mandala Books, 1976.
Schuon, Frithjof. Esoterism as Principle and as way Middlesex: Perenial
Books, 1981
Schrodinger, E. My View of The World. Cambridge, 1964. Schumacher, E.F.
Keluar dari Kemelut. Jakarta: LP3ES, 1989.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harap-an, 1990.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor, 1989.
Thabathaba’i, M.H. Islam Syi^ah. Jakarta: Grafitipers, 1989
Tibawi, A.L. “Scince and Civilization In Islam: Review.” dalam Islamic
Quarterly, vol. XIV, no. 1, 1970.
Verhaak, C. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia, 1989.
Wahid, Abdurrahman. “Pengantar.” dalam S.H. Nasr. Islam dalam Cita dan
Fakta. Jakarta: Leppenas, 1981.
23
Whitehead, Alfred, N. Science and The Modern World. New York: New
American Library, 1957.
24
Download