BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan barang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pengadaan barang/ jasa pemerintah dalam literatur asing seringkali
disebut dengan istilah public procurement. Istilah tersebut menurut Kashap
(2004) merujuk kepada aktifitas belanja yang dilakukan oleh pemerintah
(baik pusat maupun daerah) terhadap barang dan ataupun jasa yang
dibutuhkan untuk menjalankan aktivitas pemerintahan. Pengadaan pada
sektor publik merupakan bisnis yang sangat besar. O rganisation for
Econom ic Co-operation and Development (OEC D) menyatakan bahwa
besarnya dana yang terlibat membuat pengadaan pada sektor publik menjadi
faktor yang berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara. Berdasarkan
estimasi dari beberapa lembaga internasional, pengadaan barang dan jasa
pemerintah (pengadaan pada sektor publik) rata-rata menggunakan 5 sampai
dengan 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara (OECD, 2011;
UNODC, 2013).
Namun sayangnya, berbagai penyimpangan kerap terjadi dalam
proses pengadaan barang dan jasa pada sektor publik. Kolusi dan korupsi
sering berjalan beriringan dengan proses pengadaan pada sektor publik
(M ogiliansky & Sonin, 2006). Korupsi dalam pengadaan barang/ jasa pada
dasarnya diw ujudkan dalam bentuk penyuapan (A uriol, 2004; Compte et al.,
2005, Büchner et al., 2008). Penyuapan tersebut dibagi menjadi dua macam,
yaitu penyuapan bersifat aktif dan yang bersifat pasif (Auriol, 2004).
1
Penyuapan bersifat aktif terjadi pada saat calon penyedia memberikan
sejumlah materi tertentu kepada pemangku kebijakan dalam rangka untuk
mendapatkan keuntungan dari proses pengadaan yang diikutinya (ibid). Pada
penyuapan yang bersifat pasif, penyuapan terjadi pada saat penyedia
memenuhi nilai suap yang diminta oleh pemangku kebijakan agar tetap dapat
dilibatkan dalam proses pengadaan (ibid). Kondisi penyuapan pasif tersebut
lebih mengarah pada konteks pemerasan.
Berdasarkan berbagai data yang ada, kerugian keuangan negara yang
ditimbulkan akibat penyimpangan terhadap ketentuan pelaksanaan pengadaan
barang/ jasa pemerintah ternyata nilainya luar biasa besar. United Nations
Office on D rugs and Crime (UNODC) menyatakan bahwa sekitar 10 sampai
dengan 25 persen dari nilai kontrak hasil pengadaan barang/ jasa pemerintah
di seluruh dunia telah dikorupsi (U NODC, 2013). Sebagai ilustrasi pada
tahun 2014, PDB Indonesia m enurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun
tersebut sebesar Rp10.542,693 5 trilyun (BPS, 2015), sedangkan data dari
Lembaga
Kebijakan
Pengadaan
Barang/
Jasa
Pemerintah
(LKPP)
menunjukkan bahwa nilai belanja pengadaan barang/ jasa pemerintah (baik
pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) pada tahun yang sama
adalah sebesar Rp828,3 trilyun (LKPP, 2015). A pabila digunakan angka
persentase terendah dari UNODC tentang nilai kontrak hasil pengadaan yang
dikorupsi, yaitu 10 persen, maka dana yang dikorupsi sebesar Rp82,83
trilyun. Nilai yang luar biasa besar untuk ukuran negara Indonesia.
Compte et al. (2005) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan
kompetisi, korupsi dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah membuat
2
kompetisi yang terjadi di dalam proses pe ngadaan tersebut menjadi berjalan
tidak fair. Selain itu harga yang terjadi dalam proses pengadaan tersebut juga
jauh lebih tinggi daripada harga pasar. Hal tersebut karena harga yang
diberikan para peserta pengadaan sudah termasuk alokasi untuk praktek
korupsi tersebut. Untuk itu diperlukan sistem yang memungkinkan pengadaan
dapat diakses seluas-luasnya oleh semua pihak, dalam hal ini peserta yang
dapat mengikuti pengadaan tersebut tidak terbatas kepada peserta -peserta
yang mampu membuat kesepakatan/ kolusi dengan pihak penyelenggara,
namun juga peserta-peserta umum lainnya. Salah satu cara untuk mencegah
praktek kolusi dalam pengadaan adalah dengan meningkatkan pengadaan
secara online / secara elektronik (Han et al., 2012). Pengadaan secara
elektronik mampu menyediakan akses yang luas kepada semua penyedia
barang/ jasa yang ingin menjadi peserta dalam proses pengadaan barang/ jasa
pemerintah. Selain itu semua peserta dapat menerima informasi yang sama.
Sehingga diharapkan pengadaan yang berlangsung menjadi lebih fair.
Indonesia
mulai
mengatur
mengenai
pengadaan
barang/
jasa
pemerintah secara elektronik sejak 2010. Hal ini ditunjukkan dengan
ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 . Sesuai dengan
peraturan tersebut,
seluruh
Kementerian/
Lembaga
pemerintah
wajib
melaksanakan Pengadaan Barang/ Jasa secara elektronik untuk sebagian/
seluruh paket-paket pekerjaan pada Tahun Anggaran 2012. Pengadaan
barang/ jasa pemerintah secara elektronik di Indonesia dilakukan dengan
3
sistem yang disebut Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) atau lebih
sering disebut e-procurement.
Namun penerapan e-procurement di Indonesia masih belum mam pu
menekan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di Indonesia. Hal ini
ditunjukkan oleh data yang dikeluarkan Kom isi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Pada tabel 1, dalam rentang waktu 2004 sampai dengan 2014 kasus
korupsi terkait pengadaan barang/ jasa menem pati peringkat kedua (atau
sebesar 32,34%) dari seluruh kasus korupsi yang ditangani KP K. Apabila
lebih spesifik dilihat dari 2010 (di mana e-procurement mulai wajib
dilakukan oleh seluruh instansi pemerintah) sampai dengan 2014, jum lah
kasus korupsi dalam pengadaan barang/ jasa di pemerintah jumlahnya masih
relatif stabil seperti sebelum periode 2010.
Tabel 1.
Penanganan Korupsi oleh KPK
Berdasarkan Jenis Perkara, 2004-2014
Jenis
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Jum lah Rerata
%
Pengadaan
Barang/Jasa
2
12
8
14
18
16
16
10
8
9
15
128
11,64
31,14
Perijinan
0
0
5
1
3
1
0
0
0
3
5
18
1,64
4,38
Penyuapan
0
7
2
4
13
12
19
25
34
50
20
186
16,91
45,26
Pungutan
0
0
7
2
3
0
0
0
0
1
6
19
1,73
4,62
Penyalahgunaan
Anggaran
0
0
5
3
10
8
5
4
3
0
4
42
3,82
10,22
TPPU
0
0
0
0
0
0
0
0
2
7
5
14
1,27
3,41
M erintangi Proses
KPK
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
3
5
0,45
1,22
Jum lah
2
19
27
24
47
37
40
39
49
70
57
411
Sumber: KPK (2015) diolah.
4
Dalam hal efisiensi biaya –di mana korupsi juga menghasilkan
inefisiensi biaya, penerapan e-procurement di Indonesia masih dapat
dikatakan belum berhasil. Penelitian Lewis-Faupel et al. (2014) tentang
pengadaan di sektor manufaktur melalui e-procurement di Indonesia
menemukan bahwa meskipun menghasilkan efektifitas yang tinggi melalui
peningkatan kualitas waktu penyelesaian pekerjaan dan hasil pekerjaan yang
relatif lebih baik, pengadaan di Indonesia tidak menghasilkan efisiensi dari
sisi biaya (biaya yang mesti dibayar pemerintah tetap tinggi). Efisiensi biaya
yang tidak tercapai dalam sistem e-procurement di Indonesia berkebalikan
dengan tujuan penerapan e-procurement itu sendiri, di mana e-procurement
diharapakan dapat membuat persaingan dapat menjadi lebih fair sehingga
harga yang dicapai merupakan harga yang paling efisien menurut pasar sesuai
dengan kualitas yang ditentukan (Compte et al., 2005; Han et al., 2012).
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bliss & Tella (1997) yang
menyatakan bahwa kompetisi yang tinggi tidak serta merta menurunkan
praktek korupsi dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah. Secara umum hal
tersebut lebih disebabkan karena adanya ketidakpastian terkait biaya yang
akan timbul pada saat transaksi dilakukan. M aksudnya adalah apabila pejabat
publik yang memiliki sifat korup berhadapan dengan sejumlah calon
penyedia dalam pengadaan barang dan jasa (dalam kondisi kompetisi tinggi),
biaya-biaya transaksi yang akan timbul tetaplah tidak diketahui. Gap
informasi mengenai biaya tersebut merupakan pintu masuk untuk terjadinya
praktek korupsi.
5
Selain Bliss & Tella (1997), pendapat lain berasal dari Celentani &
Ganuza (2002) yang menyatakan bahwa kompetisi justru akan meningkatkan
korupsi. Celentani & Ganuza (2002) melihat bahwa kompetisi yang tinggi
akan membuat biaya yang muncul akibat kompetisi tersebut akan semakin
besar. Situasi tersebut akan dimanfaatkan oleh pihak penyelenggara
pengadaan
untuk
meminta
uang
suap
agar
calon
penyedia
dapat
memenangkan kompetisi yang ada. Hal tersebut di atas sesuai dengan
penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Büchner et al. (2008) yang
menunjukkan bahwa meskipun para penyelenggara pengadaan dikenal
berperilaku anti korupsi dan personelnya bukan orang yan g dikenal
(anonym ous) oleh peserta pengadaan, para peserta pengadaan tetap memiliki
tendensi untuk melakukan suap kepada penyelenggara secara aktif.
Terkait dengan fenomena korupsi, game theory dapat menjelaskan
keputusan seseorang untuk berperilaku koruptif ataupun keputusan seseorang
dalam menghadapi lingkungan (nature) yang koruptif dengan lebih efektif
(M cRae, 1982). Game Theory digunakan untuk memahami pengambilan
keputusan dari para decission m aker (O sborne, 2003). M odel dalam
penelitian ini dibentuk dari interaksi antara strategi para pelaku pengadaan, di
mana para pelaku pengadaan disini merupakan rational agents. Para pelaku
yang rasional akan berusaha menerapkan strategi yang tepat untu k
menghasilkan payoff yang paling optimal. Perilaku para pelaku pengadaan
dalam pengambilan keputusan, yaitu para penyedia dalam berinteraksi
dengan
pemerintah
selaku
penyelenggara
pengadaan
dengan
nature
6
penyelenggara yang korup ataupun yang tidak merupak an hal yang menarik
untuk dianalisis menggunakan game theory.
1.2.
Rumusan Masalah
Korupsi dalam pengadaan barang/ jasa pada sektor publik merupakan
hal yang sering terjadi dan menyebabkan infisiensi biaya. M eskipun telah
menerapkan e-procurement sejak tahun 2010, korupsi terkait pengadaan
barang/ jasa di Indonesia masih cukup tinggi. A danya gap informasi
mengenai biaya transaksi yang akan timbul membuat para pelaku pengadaan
(calon penyedia) cenderung untuk menyediakan sejumlah biaya sebagai
konsekuensi adanya gap informasi tersebut. Hasilnya adalah efisiensi dalam
pengadaan barang/ jasa pada sektor publik di Indonesia belum tercapai. O leh
karena itu, penelitian mengenai pemodelan untuk menganalisis mekanisme
korupsi dalam pengadaan barang/ jasa pada sektor publik di Indonesia, baik
yang menggunakan sistem manual maupun e-procurement cukup menarik
untuk dilakukan.
1.3.
Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang akan dianalisis lebih lanjut dalam
penelitian ini adalah; “Bagaimana mekanisme korupsi dalam pengadaan
barang dan jasa pada sektor publik di Indonesia baik menggunakan metode
manual maupun dengan e-procurement?”.
7
1.4.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis mekanisme korupsi
dalam pengadaan barang dan jasa pada sektor publik di Indonesia baik
menggunakan metode manual maupun dengan e-procurement.
1.5.
Metodologi Penelitian
Pemodelan korupsi pengadaan barang/ jasa pada sektor publik di
Indonesia dalam penelitian ini akan menggunakan game theory sebagai alat
analisisnya. M odel dalam penelitian ini dibentuk dari interaksi antara strategi
para pelaku pengadaan, di mana para pelaku pengadaan disini merupakan
rational agents. Para pelaku yang rasional akan berusaha menerapkan strategi
yang tepat untuk menghasilkan payoff yang paling optimal. Perilaku yang
dianalisis adalah perilaku para pelaku pengadaan dalam pengambilan
keputusan,
yaitu
perilaku
para
penyedia
dalam
berinteraksi
dengan
pemerintah selaku penyelenggara pengadaan dengan nature penyelenggara
yang korup ataupun yang tidak.
Penelitian ini akan membangun model dari fenomena korupsi
pengadaan barang/ jasa pada sektor publik di Indonesia baik yang
menggunakan sistem manual maupun secara elektronik ke dalam sebuah
game untuk kemudian dicari solusi optimum dari model tersebut secara
matematis. Studi pustaka terhadap penelitian-penelitian tentang fenomena
korupsi pengadaan barang/ jasa pada sektor publik maupun pengamatan
penulis selama terlibat dalam pengadaan baik sebagai penyedia (peserta)
8
pengadaan maupun sebagai penyelenggara pengadaan akan dilakukan kajian
untuk menentukan berbagai elemen yang akan dimasukkan ke dalam payoffs
masing-masing strategi yang diambil oleh masing-masing pihak. Solusi dari
game yang ini akan dihitung dengan metode backward induction, di mana
titik keseimbangan dari game yang dimainkan merupakan kumpulan solusi
dari masing-masing tahapan permainan. Penghitungan solusi dengan metode
tersebut akan menghasilkan petunjuk secara teoritis, mengenai mekanisme
korupsi pada pengadaan barang/ jasa pada sektor publik di Indonesia.
1.6.
Manfaat Penelitian
M anfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah
Sebagai bahan pertim bangan dalam pengambilan kebijakan terkait
pengadaan barang/ jasa pada sektor publik di Indonesia.
2. Bagi masyarakat
M emberikan pemahaman mengenai mekanisme korupsi dalam pengadaan
barang dan jasa pada sektor publik di Indonesia.
1.7.
Sistematika Penulisan
Pembahasan penelitian ini akan meliputi beberapa bab, yaitu:

Bab I
Bab pertama ini merupakan bab pendahuluan, meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,
9
manfaat penelitian, metodologi penelitian, jadwal waktu penelitian, dan
sistematika penulisan.

Bab II
Bab kedua secara umum akan dibahas mengenai teori–teori yang
mendasari penelitian mengenai korupsi pengadaan barang/ jasa pada
sektor publik.

Bab III
Bab ketiga akan dibahas secara rinci mengenai penerapan game theory
dalam pemodelan korupsi pengadaan barang/ jasa pada sektor publik
dengan menggunakan asumsi-asumsi yang disesuaikan dengan kondisi
nyata di lapangan. Payoffs dari sebuah game merupakan net benefits
(benefits – costs) dari pilihan strategi yang ditempuh ole h masing-masing
pemain. Solusi optimal dari game ini didapat dari proses backward
induction yang disebut dengan Subgame Perfect Nash Equilibrium .

Bab IV
Bab keempat ini akan mem berikan kesimpulan dan saran yang
bermanfaat serta beberapa topik untuk pembaha san selanjutnya yang
masih terkait dengan korupsi pada pengadaan barang/ jasa pada sektor
publik.
10
Download