REKONSTRUKSI KLIMAT LAUT PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN REGIONAL OCEAN MODELING SYSTEMS (ROMS) Ibnu Sofian BadanKoordinasiSurveidanPemetaanNasional (BAKOSURTANAL) Jl. Jakarta-Bogor KM 46 Cibinong 16911 INDONESIA, Phone/Fax: +62-21-87906041 Email: [email protected] ABSTRAK Rekonstruksi klimat laut dari tahun 1960 sampai 2008, di Perairan Indonesia dilakukan dengan menggunakanRegional Ocean Modeling Systems (ROMS).Hasil validasi model menunjukkan bahwa model laut dapat digunakan untuk merekonstruksi data klimat laut.Model mempunyai korelasi sedang sampai tinggi yang berkisar antara 0.4 sampai 0.97 dengan data altimeter dari tahun 1993 sampai 2008. Estimasi arus permukaan hasil model menunjukkan bahwa air lautpermukaan di Perairan Indonesia, cenderung bergerak dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Selanjutnya, hasil rekonstruksi sea level menunjukkan bahwa terjadi perubahan tingkat kenaikan sea level rise (SLR) dari 0.1cm/tahun (1960-2008) menjadi 0.6cm/tahun(1993-2010). Perubahan dinamika SLR ini sejalan dengan trenpeningkatan SLR global dari 2.1mm/tahun sejak tahun 1960, menjadi 3.0mm/tahun dari tahun 1993. Pada akhirnya, jika perubahan berlanjut, maka tinggi sea level pada tahun 2100 menjadi 60cm relative terhadap sea level tahun 2000. Kata Kunci: Rekonstruksi, KlimatLaut, Indonesia, ROMS ABSTRACT Reconstruction of the ocean climate in the Indonesian seas from 1960 to 2008 has been conducted using the Regional Ocean Modeling Systems (ROMS). Model validation result shows that the ocean model can be used to reconstruct the ocean climate. ROMS has moderate to high correlations that varying from 0.4 to 0.97 with altimeter from 1993 to 2008. Long-term model-estimated surface currents indicate the surface water within the Indonesia Seas flow from the Pacific to Indian Oceans. Moreover, based on the reconstruction of the sea level illustrate that sea level rise (SLR) in Indonesia Seas increases from 0.1cm/yr (1960-2008) to 0.6cm/yr (1993-2010). This dynamic SLR changes is related with the rising of the global SLR from 2.1mm/yr to 3.0mm/yr since 1960’s to 1990’s, respectively. Eventually, if this trend continues, the sea level in 2100 will be 60cm higher than the one in 2000. Key Words: Reconstruction, Ocean Climate, Indonesia, ROMS1. Diterima (received): 3-10-2011; disetujui untuk publikasi (accepted): 10-11-2011 136 PENDAHULUAN Latar Belakang Dengan semakin meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfir, yang mencapai 408 ppm, pada tahun 2010, menyebabkan peningkatan suhu bumi. Dan pada akhirnya, menyebabkan terjadinya perubahan pola curah hujan sebagai salah satu indikator iklim, kenaikan suhu udara, permukaan laut, dan tinggi muka laut. Seiring dengan semakin intensifnya proses pemanasan global, intensitas terjadinyai El Niño dan La Niña semakin meningkat. Pada umumnya El Niño terjadi antara 2 tahun sampai 7 tahun sekali, tetapi sejak tahun 1970, frekuensi El Niño dan La Niña menjadi 2 tahun sampai 4 tahun. Sebagai tambahan, pada waktu terjadinya El Niño tahun 1997/1998, Indonesia pada umumnya mengalami musim kering yang panjang, dan pada saat terjadinya La Niña tahun 1999, Indonesia mengalami kenaikan curah hujan yang tinggi, dan kenaikan tinggi muka air laut sebesar 20cm sampai 30cm, sehingga menyebabkan banjir di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di wilayah pesisir. Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian yang terdahulu, dengan menggunakan data tinggi muka laut di Laut Jawa hasil model IPCC, menunjukkan bahwa frekuensi El Niño dan La Niña dari tahun 2000 sampai 2100, akan meningkat menjadi 2 tahun sekali. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan pola curah hujan dan total curah hujan. Disamping juga berpotensi menyebabkan terjadinya cuaca ekstrim yang berdampak pada sektor pertanian, transportasi darat dan laut serta bencana alam seperti angin puting beliung maupun tanah longsor. Kontribusi mencairnya es terhadap kenaikan tinggi muka laut (SLR, sea level rise) merupakan topik yang cukup menarik dalam konteks pemanasan global dan perubahan iklim. Apabila semua es meleleh, masing-masing, Greenland dan Antartika Barat akan menaikkan sea level sekitar 7m dan 3m sampai 5m. Dengan demikian, mencairnya es dalam jumlah yang sedikit sekalipun, akan berpengaruh terhadap SLR yang cukup tinggi, dengan dampak sosial ekonomi yang tinggi pada daerah dataran rendah di pesisir (Cazenave dan Llovel, 2010). Proyeksi Intergovernmental Panel On Climate Change (IPCC) AR4 terhadap pencairan es, didasarkan pada perbedaan massa es mencair dan massa es yang terbentuk. Karena massa es mencair lebih besar dibandingkan dengan pembentukan es, maka lapisan es di Greenland berkontribusi pada kenaikan permukaan laut (Ridley, et al, 2005.). Sebaliknya, Antartika diproyeksikan mengalami peningkatan pembentukan dan penimbunan es, sehingga penimbunan es di Antartika dan mencairnya es di Greenland akan saling meniadakan satu sama lain. Dengan demikian, sebagian besar kontribusi mencairnya es terhadap kenaikan sea level hanya terbatas pada mencairnya gletser dan tutupan es di daerah pegunungan (Meehl, et al, 2007). Rahmstorf (2007) melakukan proyeksi Sea Level Rise (SLR) pada akhir abad ke137 21, dengan menggunakan hubungan antara SLR dan suhu permukaan laut. SLR pada akhir abad ke-21, berkisar antara 50cm sampai 140cm, relatif terhadap sea level pada tahun 1990. Hasil proyeksi SLR ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil proyeksi SLR dalam IPCC AR4. Sementara itu, kontribusi penambahan massa air karena pencairan es terhadap kenaikan sea level sebelum tahun 1990, hanya terbatas pada mencairnya gletser (Bindoff, et al, 2007). Sehingga, prediksi Rahmstorf's (2007) tidak termasuk SLR karena mencairnya es di Antartika dan Greenland. Abdalati (2006) berpendapat bahwa jika seluruh lapisan es di bumi mencair, maka kontribusi es ini berpotensi menaikkan sea level sekitar 70m, dan sebagian besar es ini terletak di daerah kutub yang sangat sensitif. Meskipun, perubahan besar ini mungkin akan memakan waktu ribuan tahun, tetapi dari hasil penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa respon perubahan massa es akibat perubahan iklim yang terjadi, lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya (Abdalati, 2006). Bryan (1995) menghitung thermosteric (kenaikan sea level karena bertambahnya volume air laut akibat kenaikan suhu) SLR dengan menggunakan model laut untuk meniadakan pengaruh dan kontribusi mencairnya es terhadap karakteristik sea level. Hasil model menunjukkan bahwa rata-rata SLR sekitar 15cm ± 5cm yang diakibatkan oleh CO2 di atmosfer, dengan tingkat kenaikan CO2 dua kali lipat 138 selama 80 tahun model berjalan. Di sisi lain, dengan menggunakan model laut dan data altimeter, Ishii et al (2006) menjelaskan bahwa hampir setengah dari kenaikan permukaan laut baru-baru ini, merupakan dampak dari ekspansi termal di wilayah tropis dan subtropis antara 60°S sampai 60°N. Selanjutnya, thermosteric SLR dari tahun 1955 sampai 2003 mencapai 0.35±0.08mm/tahun (Ishii et al, 2006.). Selain itu, Antonov et al. (2005) menjelaskan bahwa kontribusi ekspansi termal air laut dari kedalaman 0m sampai 700m sekitar 0.33mm/tahun terhadap global SLR dari tahun 1955 sampai 2003, dengan total thermosteric SLR, sekitar 1.23mm/yr dari tahun 1993 sampai 2003 berdasarkan data altimeter. Selanjutnya, Cabanes et al (2001) juga melaporkan bahwa total SLR dari tahun 1993 sampai 1998 sekitar 3.2±0.2mm/yr. Berdasarkan kondisi ini, reanalisis data klimat laut menjadi sangat penting, untuk mengetahui perubahan data laut, meliputi salinitas dan temperatur dari permukaan sampai kedalaman lebih dari 4000m. Untuk itu, penggunaan model tidak bisa dielakkan mengingat keterbatasan data observasi klimatologi laut di Perairan Indonesia. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk rekonstruksi sea level dari tahun1960 dengan menggunakan Regional Ocean Modeling Systems (ROMS) dan nesting terhadap model global hasil asimilasi dengan data observasi (SODA-POP, Simple Oceanic Data Assimilation-Parallel Ocean Program) yang selanjutnya akandisebut IND-ROMS. DATA DAN KONFIGURASI MODEL Data Dalam yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan seperti berikut: 1. Data altimeter daritahun 1993 sampai 2008 dari AVISO denganresolusi 0.33°Lon/Lat (AVISO, 2009). 2. Data Simple Ocean Data Assimilation (SODA) daritahun 1993 sampai 2008 (Carton et al, 2000). 3. Data NCEP Reanalysis dari tahun 1960 sampai tahun 2008. Konfigurasi Model IND-ROMS modelini didasarkan padaROMS(Shchepetkin andMcWilliams, 2005)yang merupakanmodelhidrostatik, 3D model, primitive equation danfree surface ocean model dengan menggunakan s-koordinat secara vertikal. Model ini diimplementasikan di perairan Indonesia dari 15°S sampai 15°N dan 90°E sampai 150°E dengan menggunakan uniform grid, dengan jarak 12.5 km. Pada ROMS, kedalaman 𝑧 ditransformasi menjadi s-koordinat yang mengikuti pola batimetri (Song and Haidvogel, 1994; Shchepetkin andMcWilliams, 2005), yang didefinisikan seperti persamaan berikut: 𝑧 𝑥, 𝑦, 𝜎 = 𝜎ℎ 𝑚𝑖𝑛 + 𝐶(𝜎)(ℎ 𝑥, 𝑦 − ℎ 𝑚𝑖𝑛 (1) dimana ℎ (𝑥, 𝑦) adalah kedalaman, 𝜎 adalah jarak vertikal dari permukaan yang diukur sebagai fraksi ketinggian kolom air secara lokal. Sementara 𝐶(𝜎) adalah fungsi matematis untuk menghitung jarak grid secara vertikal, yang dapat dijabarkan seperti berikut: 1 𝐶 𝜎 = 1 − 𝜃𝑏 sinh 𝜃 𝜎 sinh 𝜃 1 tanh 𝜃 𝜎+2 + 𝜃𝑏 ( 2 tanh 𝜃 2 − 1)(2) dengan parameter 𝜃 = 5 , 𝜃𝜎 = 0.4 dan ℎ 𝑚𝑖𝑛 = 10𝑚. Vertikal grid IND-ROMS ini terdiri dari 32 level. Pada model ini model vertical-mixing yang digukanan adalah KPP (K-profile Parameterization) yang dikembangkan oleh Large et al (1994). Detil persamaan fisis dan logaritma matematis dapat ditemukan di Shchepetkin andMcWilliams (2005). Selanjutnya, model ini menggunakan data ETOPO2 untuk batimetri, dengan kedalaman laut minimum sebesar 2m. ModelIND-ROMSdiinisialisasipada1 Januari 1960dari interpolasi secara horizontal data salinitas,temperatur dankecepatanarus serta ketinggian permukaanlaut dari SODA.Karena perbedaan resolusi antara SODA dan IND-ROMS, padadaerah tertentu dimanabatimetri IND-ROMS lebih dalam daribatimetriSODA, maka nilai IND-ROMS menggunakan nilaibawahSODAyang diulangsecara vertikal. Disisi lain, karenaSODA danIND-ROMS menggunakankedalamanminimumyang berbeda, beberapa daerahpantai diSODA merupakandaratan,sementara daerah tersebut merupakan poingridlaut diINDROMS. Dalamkasus ini maka temperatur dansalinitas diekstrapolasi secara horizontal. Namun,kecepatanarus di poin titik-titiktersebut diinisialisasidengan 0m/det,karenapoindaratan dititik terluar modelmerupakan batas dimana 139 kecepatan arus akan menghilang. Sementara itu prosedur nesting yang digunakan menggunakan skema interpolasi yang sama dengan proses inisialisasi. IND-ROMS berelaksasi terhadap SODA dengan menggunakan skema sponge layer. Validasi Model Korelasi ROMS dan altimeter secara spasial ditunjukkan pada Gambar 1. Korelasi antara ROMS dan altimeter relatif tinggi dengan koefisien korelasi (CC) antara 0.4 sampai 0.97. Korelasi tertinggi terjadi di Laut Jawa, sebagian Gambar 1. Distribusi spasial korelasi koefisien antara altimeter dan IND-ROMS HASIL DAN PEMBAHASAN Long-term mean sea level tidak terlihat jelas. Arus di Laut Jawa dan Selat Karimata cenderung bergerak ke selatan dan timur, dengan kecepatan rendah yang berkisar antara 0m/det sampai 15cm/det. Sementara itu, arus permukaan di Selat Makassar sebagai jalur utama Indonesian ThroughFlow (ITF) cenderung bergerak ke selatan dengan kecepatan antara 50cm/det sampai lebih dari 1m/det dan bergerak menuju ke Samudera Hindia melalui Selat Timor, Lombok dan Bali. Sea dan kecepatan arus permukaan Kuat dan pola arus dominan di perairan Indonesia ditunjukkan pada Gambar 2. Sementara long-termmean sea level dan pola arus yg dominan dari tahun 1960 sampai 2008 ditunjukkan pada Gambar 3.Mindanao eddies terlihat jelas dengan kecepatan arus permukaan lebih dari 1m/det, sementara Halmahera Eddies 140 Selat Karimata, pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatera. Selanjutnya daerah dengan korelasi sedang sampai tinggi adalah Samudera Pasifik utara Pulau Papua, Laut Sulawesi, Laut Banda dan sebagian Laut Cina Selatan. Sea level hasil perhitungan IND-ROMS mempunyai korelasi rendah sampai sedang dengan altimeter di daerah messo-scale dan large-scale eddies di Samudera Hindia selatan Jawa, di sebelah tenggara Pulau Papua, dan Laut Cina Selatan bagian utara. Selanjutnya, secara umum, IND-ROMS model dapat digunakan untuk merekonstruksi data iklim laut di Perairan Indonesia. level gradient akibat adanya perbedaan topografi dan penyempitan Selat Karimata sebelah selatan, menyebabkan terjadinya perbedaan ketinggian sea level antara sea level di Selat Karimata dan Laut Jawa. sebesar 20cm sampai 25cm. Dimana sea level di Selat Karimata lebih tinggi 20cm sampai 25cm dibandingkan dengan Laut Jawa (Gambar 3). Selanjutnya pola arus anticlockwiseMindanao Eddy yang disebabkan oleh Pacific North Equatorial Current (PNEC) yang bergerak menuju Kepulauan Filipina. Pada saat PNEC mencapai Filipina, arus permukaan ini terpecah, dengan bagian yang lebih kecil begerak keselatan untuk memulai menjadi Pacific Equatorial Counter Current (PECC), sedangka bagian terbesar bergerak keutara menjadi arus Kuroshiyo. Gambar 4 menunjukkan profil temperatur di katulistiwa dari 90°E sampai 150°E pada bulan Januari selama 30 tahun, dengan pola data profil yang mengikuti pola topografi laut. Terlihat juga temperatur laut di Laut Jawa dengan kedalaman yang rendah, antara 40m sampai 50m. Sementara itu, terlihat juga lapisan termoklin (suhu 20°C sampai 10°C) antara 100m sampai lebih dari 300m. Lapisan termoklin di Samudera Hindia relatif lebih dalam dibandingkan dengan lapisan termoklin di Samudera Pasifik, meskipun kedalaman lapisan ini, akan bervariasi seiring perubahan musim. Gambar 2.Kuat dan pola arus dominan di Gambar 5 menunjukkan profil salinitas dari permukaan sampai kedalaman 4500. Pada lapisan termoklin, salinitas di Samudera Pasifik dan Hindia tropis, berkisar antara 35 sampai 35.5 dengan salinitas pada lapisan termoklin di Samudera Hindia lebih tinggi dibandingkan dengan Samudera Pasifik. Secara umum, Samudera Pasifik tropis mempunyai salinitas yang lebih rendah dibandingkan dengan Samudera Hindia. Pada akhirnya, perbedaan salinitas dan kedalaman termoklin ini menunjukkan terjadinya pergerakan massa air laut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui ITF. Perairan Indonesia dari 1960 sampai 2008 Gambar 3.Long-term mean sea level dan pola arus signifikan di Perairan Indonesia dari 1960 sampai 2008 Salinitas dan Temperatur Karena IND-ROMS merupakan model dengan kemampuan 3D, dan 4D seiring perubahan waktu. Maka estimasisalinitas, temperatur dan kecepatan arus hasil perhitungan dengan IND-ROMS, dari permukaan sampai kedalaman 4500m, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 dan 5. Gambar 4.Profil temperatur laut di 0° (katulistiwa) dari 90°E sampai 150°E 141 Gambar 5.Profil Salinitas di 0° (katulistiwa) dari 90°E sampai 150°E Estimasi Dynamic Sea Level Rise Estimasi Dynamic Sea Level Rise dilakukan dengan membandingkan tingkat kenaikan SLR dari data model IND_ROMS dari tahun 1960 sampai 2008, dan SLR altimeter dari tahun 1993 sampai 2010. Gambar 5 dan 6, masingmasing menunjukkan SLR estimasi INDROMS dari tahun 1960 sampai 2008, dan SLR altimeter dari tahun 1993 sampai 2010. Rata-rata SLR estimasi IND-ROMS dan altimeter, masing-masing adalah 0.1cm/tahun dan 0.6cm/tahun. Berdasarkan perbandingan tingkat kenaikan SLR dari dua data ini, menunjukkan bahwa SLR secara umum mengalami peningkatan. Peningkatan Gambar 6.Distribusi spasial SLR dari tahun 1960 sampai 2008 hasil perhitungan IND-ROMS 142 SLR tertinggi terjadi di Samudera Pasifik dengan peningkatan sebesar 0.7cm/tahun. Selanjutnya Laut Banda, Laut Sulawesi, dan selatan Papua mengalami kenaikan SLR sebesar 0.5cm/tahun sampai 0.6cm/tahun. Sementara itu SLR di Samudera Hindia mengalami tingkat kenaikan yang lebih rendah, yang bervariasi dari 0.1cm/tahun sampai 0.7cm/tahun. Kenaikan tingkat SLR di perairan Indonesia, sejalan dengan perubahan tingkat kenaikan SLR Global yang ditunjukkan pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan hasil rekonstruksi SLR dari data pasang surut global yang menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan sea level sebesar 20cm sejak tahun 1870. SLR hanya 0.9mm/tahun pada awal abad ke-19 dan meningkat menjadi 3.0mm/tahun pada beberapa dekade terakhir ini. Selanjutnya, jika tingkat kenaikan SLR ini berlanjut, maka SLR rate pada akhir abad ke-21, akan mencapai 1.5cm/tahun, dan global sea level akan naik sebesar ±60cm pada tahun 2100 relatif terhadap sea level tahun 2000. Gambar 7. Distribusi spasial SLR dari tahun 1993 sampai 2010berdasarkan data altimeter tahun 1993 sampai 2010. DAFTARPUSTAKA Gambar 7.Dynamic SLR daritahun 1870 sampai 2010, dengan SLR tahun 1870 sampai 2001 berdasarkan data pasangsurut, dan data altimeter daritahun 1993 sampai 2010 (Hansen, 2010) KESIMPULAN Hasil validasi IND-ROMS dengan altimeter menunjukkan bahwa IND-ROM mempunyai korelasi sedang sampai tinggi yang berkisar antara 0.4 sampai 0.97. Dari hasil validasi ini, menunjukkan bahwa penggunaan model numerik dapat digunakan untuk rekonstruksi data klimat laut di Perairan Indonesia. Hasil model menunjukkan bahwa arus di Laut Jawa dan Selat Karimata cenderung bergerak ke selatan dan timur, dengan kecepatan rendah yang berkisar antara 0m/det sampai 15cm/det. Sementara itu, arus permukaan di Selat Makassar sebagai jalur utama Indonesian ThroughFlow (ITF) cenderung bergerak ke selatan dengan kecepatan antara 50cm/det sampai lebih dari 1m/det dan bergerak menuju ke Samudera Hindia melalui Selat Timor, Lombok dan Bali. Selanjutnya, hasil model juga menunjukkan bahwa SLR meningkat secara signifikan dari tahun 1960 sampai 2008 sebesar 0.1cm/tahun (IND-ROMS), menjadi 0.6cm/tahun (Altimeter) dari Abdalati, W., 2006, Recent changes in high-latitude glaciers, ice caps and ice sheets, weather-April 2006, 61, 4, 95-101. Antonov, J. I., S. Levitus and T. P. Boyer (2005), Thermosteric sea level rise, 1955–2003, Geoph. Res. Lett, VOL. 32, L12602, 1-4. AVISO, 2009, Ssalto/Duacs User Handbook : (M)SLA and (M)ADT Near-Real Time and Delayed Time Products, SALP-MU-P-EA-21065-CLS, Edition 1.10. Bindoff, N.L., Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor, and H.L. Miller, 2007. Observations: Oceanic climate change and sea level. In: Solomon S, et al. (eds.). Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom, 385-432. Bryan, K., 1996, The steric component of sea level rise associated with enhanced greenhouse gasses: a model study, Climate Dynamic, 12, 545-555 Cabanes, C., A. Cazenave and C. L. Provost, 2001, Sea level rise during 40years determined from satellite and in-situ observations, Science, 143 294, 840-842 Carton, J.A., G. Chepurin, X. Cao, and B.S. Giese, 2000a: A Simple Ocean Data Assimilation analysis of the global upper ocean 1950-1995, Part 1: methodology, J. Phys. Oceanogr., 30, 294-309. Cazenave, A. and W. Llovel, 2010. Contemporary of Sea Level Rise.Annual Review of Marine Science, Vol. 2, 145-173. Hansen, J., 2010, Global temperature change, PNAS, 103, 39, 1428814293. Ishii, M., M. Kimoto, K. Sakamoto and S. Iwasaki, 2006, Steric sea level changes estimated from historical ocean subsurface temperature and salinity analysis, J. Oceanography, 62, 155-170. Large, W. G., J. C. McWilliams, and S. C. Doney, 1994. Oceanic vertical mixing: a review and a model with nonlocal boundary layer parameterization. J. Rev. Geophysics, 32, 363-403. Meehl GA, et al., 2007. Global climate projections. In: Solomon S., et.al. 144 (eds.), Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom, 747– 845. Rahmstorf, S., 2007: A semi-empirical approach to projecting future sealevel rise. Science, 315, 368-370. Ridley, J.K., P. Huybrechts, J.M. Gregory, and J.A. Lowe, 2005: Elimination of the Greenland ice sheet in a high CO2 climate. Journal of Climate, Vol18, 3409-3427. Shchepetkin, A. F. and J. C. McWilliams.The regional ocean modeling system (roms): A splitexplicit, free-surface, topographyfollowing coordinates oceanic model. Ocean Modeling, 9:347–404, 2005. Song, Y. and D. B. Haidvogel.A semiimplicit ocean circulation model using a generalizedtopographyfollowing coordinate system.J. Comp. Phys., 115(1):228–244, 1994.