Rice, as a staple food for Indonesian, should be available at all

advertisement
REKONSTRUKSI KLIMAT LAUT PERAIRAN INDONESIA DENGAN
MENGGUNAKAN REGIONAL OCEAN MODELING SYSTEMS (ROMS)
Ibnu Sofian
BadanKoordinasiSurveidanPemetaanNasional (BAKOSURTANAL)
Jl. Jakarta-Bogor KM 46 Cibinong 16911 INDONESIA,
Phone/Fax: +62-21-87906041
Email: [email protected]
ABSTRAK
Rekonstruksi klimat laut dari tahun 1960 sampai 2008, di Perairan Indonesia dilakukan dengan
menggunakanRegional Ocean Modeling Systems (ROMS).Hasil validasi model menunjukkan bahwa
model laut dapat digunakan untuk merekonstruksi data klimat laut.Model mempunyai korelasi
sedang sampai tinggi yang berkisar antara 0.4 sampai 0.97 dengan data altimeter dari tahun 1993
sampai 2008. Estimasi arus permukaan hasil model menunjukkan bahwa air lautpermukaan di
Perairan Indonesia, cenderung bergerak dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Selanjutnya,
hasil rekonstruksi sea level menunjukkan bahwa terjadi perubahan tingkat kenaikan sea level rise
(SLR) dari 0.1cm/tahun (1960-2008) menjadi 0.6cm/tahun(1993-2010). Perubahan dinamika SLR ini
sejalan dengan trenpeningkatan SLR global dari 2.1mm/tahun sejak tahun 1960, menjadi
3.0mm/tahun dari tahun 1993. Pada akhirnya, jika perubahan berlanjut, maka tinggi sea level pada
tahun 2100 menjadi 60cm relative terhadap sea level tahun 2000.
Kata Kunci: Rekonstruksi, KlimatLaut, Indonesia, ROMS
ABSTRACT
Reconstruction of the ocean climate in the Indonesian seas from 1960 to 2008 has been conducted
using the Regional Ocean Modeling Systems (ROMS). Model validation result shows that the ocean
model can be used to reconstruct the ocean climate. ROMS has moderate to high correlations that
varying from 0.4 to 0.97 with altimeter from 1993 to 2008. Long-term model-estimated surface
currents indicate the surface water within the Indonesia Seas flow from the Pacific to Indian Oceans.
Moreover, based on the reconstruction of the sea level illustrate that sea level rise (SLR) in Indonesia
Seas increases from 0.1cm/yr (1960-2008) to 0.6cm/yr (1993-2010). This dynamic SLR changes is
related with the rising of the global SLR from 2.1mm/yr to 3.0mm/yr since 1960’s to 1990’s,
respectively. Eventually, if this trend continues, the sea level in 2100 will be 60cm higher than the
one in 2000.
Key Words: Reconstruction, Ocean Climate, Indonesia, ROMS1.
Diterima (received): 3-10-2011; disetujui untuk publikasi (accepted): 10-11-2011
136
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dengan
semakin
meningkatnya
konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfir,
yang mencapai 408 ppm, pada tahun
2010, menyebabkan peningkatan suhu
bumi. Dan pada akhirnya, menyebabkan
terjadinya perubahan pola curah hujan
sebagai salah satu indikator iklim,
kenaikan suhu udara, permukaan laut,
dan tinggi muka laut.
Seiring dengan semakin intensifnya
proses pemanasan global, intensitas
terjadinyai El Niño dan La Niña semakin
meningkat. Pada umumnya El Niño
terjadi antara 2 tahun sampai 7 tahun
sekali, tetapi sejak tahun 1970, frekuensi
El Niño dan La Niña menjadi 2 tahun
sampai 4 tahun. Sebagai tambahan,
pada waktu terjadinya El Niño tahun
1997/1998, Indonesia pada umumnya
mengalami musim kering yang panjang,
dan pada saat terjadinya La Niña tahun
1999, Indonesia mengalami kenaikan
curah hujan yang tinggi, dan kenaikan
tinggi muka air laut sebesar 20cm
sampai 30cm, sehingga menyebabkan
banjir di sebagian besar wilayah
Indonesia, terutama di wilayah pesisir.
Sementara
itu,
berdasarkan
hasil
penelitian yang terdahulu, dengan
menggunakan data tinggi muka laut di
Laut
Jawa
hasil
model
IPCC,
menunjukkan bahwa frekuensi El Niño
dan La Niña dari tahun 2000 sampai
2100, akan meningkat menjadi 2 tahun
sekali. Hal ini menyebabkan terjadinya
perubahan pola curah hujan dan total
curah hujan. Disamping juga berpotensi
menyebabkan terjadinya cuaca ekstrim
yang berdampak pada sektor pertanian,
transportasi darat dan laut serta bencana
alam seperti angin puting beliung
maupun tanah longsor.
Kontribusi mencairnya es terhadap
kenaikan tinggi muka laut (SLR, sea level
rise) merupakan topik yang cukup
menarik dalam konteks pemanasan
global dan perubahan iklim. Apabila
semua es meleleh, masing-masing,
Greenland dan Antartika Barat akan
menaikkan sea level sekitar 7m dan 3m
sampai
5m.
Dengan
demikian,
mencairnya es dalam jumlah yang sedikit
sekalipun, akan berpengaruh terhadap
SLR yang cukup tinggi, dengan dampak
sosial ekonomi yang tinggi pada daerah
dataran rendah di pesisir (Cazenave dan
Llovel,
2010).
Proyeksi
Intergovernmental Panel On Climate
Change (IPCC) AR4 terhadap pencairan
es, didasarkan pada perbedaan massa es
mencair dan massa es yang terbentuk.
Karena massa es mencair lebih besar
dibandingkan dengan pembentukan es,
maka
lapisan
es
di
Greenland
berkontribusi pada kenaikan permukaan
laut (Ridley, et al, 2005.). Sebaliknya,
Antartika
diproyeksikan
mengalami
peningkatan
pembentukan
dan
penimbunan es, sehingga penimbunan
es di Antartika dan mencairnya es di
Greenland akan saling meniadakan satu
sama lain. Dengan demikian, sebagian
besar kontribusi mencairnya es terhadap
kenaikan sea level hanya terbatas pada
mencairnya gletser dan tutupan es di
daerah pegunungan (Meehl, et al, 2007).
Rahmstorf (2007) melakukan proyeksi
Sea Level Rise (SLR) pada akhir abad ke137
21,
dengan menggunakan hubungan
antara SLR dan suhu permukaan laut.
SLR pada akhir abad ke-21, berkisar
antara 50cm sampai 140cm, relatif
terhadap sea level pada tahun 1990.
Hasil proyeksi SLR ini lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil proyeksi SLR
dalam IPCC AR4. Sementara itu,
kontribusi penambahan massa air karena
pencairan es terhadap kenaikan sea level
sebelum tahun 1990, hanya terbatas
pada mencairnya gletser (Bindoff, et al,
2007). Sehingga, prediksi Rahmstorf's
(2007) tidak termasuk SLR karena
mencairnya es di Antartika dan
Greenland. Abdalati (2006) berpendapat
bahwa jika seluruh lapisan es di bumi
mencair,
maka
kontribusi
es
ini
berpotensi menaikkan sea level sekitar
70m, dan sebagian besar es ini terletak
di daerah kutub yang sangat sensitif.
Meskipun, perubahan besar ini mungkin
akan memakan waktu ribuan tahun,
tetapi dari hasil penelitian baru-baru ini
menunjukkan bahwa respon perubahan
massa es akibat perubahan iklim yang
terjadi,
lebih
tinggi
dari
yang
diperkirakan
sebelumnya
(Abdalati,
2006).
Bryan (1995) menghitung thermosteric
(kenaikan
sea
level
karena
bertambahnya volume air laut akibat
kenaikan
suhu)
SLR
dengan
menggunakan
model
laut
untuk
meniadakan pengaruh dan kontribusi
mencairnya es terhadap karakteristik sea
level. Hasil model menunjukkan bahwa
rata-rata SLR sekitar 15cm ± 5cm yang
diakibatkan oleh CO2 di atmosfer, dengan
tingkat kenaikan CO2 dua kali lipat
138
selama 80 tahun model berjalan. Di sisi
lain, dengan menggunakan model laut
dan data altimeter, Ishii et al (2006)
menjelaskan bahwa hampir setengah
dari kenaikan permukaan laut baru-baru
ini, merupakan dampak dari ekspansi
termal di wilayah tropis dan subtropis
antara 60°S sampai 60°N. Selanjutnya,
thermosteric SLR dari tahun 1955 sampai
2003 mencapai 0.35±0.08mm/tahun
(Ishii et al, 2006.). Selain itu, Antonov et
al. (2005) menjelaskan bahwa kontribusi
ekspansi termal air laut dari kedalaman
0m sampai 700m sekitar 0.33mm/tahun
terhadap global SLR dari tahun 1955
sampai 2003, dengan total thermosteric
SLR, sekitar 1.23mm/yr dari tahun 1993
sampai 2003 berdasarkan data altimeter.
Selanjutnya, Cabanes et al (2001) juga
melaporkan bahwa total SLR dari tahun
1993 sampai 1998 sekitar 3.2±0.2mm/yr.
Berdasarkan kondisi ini, reanalisis data
klimat laut menjadi sangat penting,
untuk mengetahui perubahan data laut,
meliputi salinitas dan temperatur dari
permukaan sampai kedalaman lebih dari
4000m. Untuk itu, penggunaan model
tidak
bisa
dielakkan
mengingat
keterbatasan data observasi klimatologi
laut di Perairan Indonesia.
Tujuan Penelitian
Penelitian
ini
dilakukan
untuk
rekonstruksi sea level dari tahun1960
dengan menggunakan Regional Ocean
Modeling Systems (ROMS) dan nesting
terhadap model global hasil asimilasi
dengan data observasi (SODA-POP,
Simple Oceanic Data Assimilation-Parallel
Ocean Program) yang selanjutnya
akandisebut IND-ROMS.
DATA DAN KONFIGURASI MODEL
Data
Dalam yang digunakan dalam penelitian
ini dapat dijelaskan seperti berikut:
1. Data altimeter daritahun 1993
sampai
2008
dari
AVISO
denganresolusi
0.33°Lon/Lat
(AVISO, 2009).
2. Data
Simple
Ocean
Data
Assimilation (SODA) daritahun
1993 sampai 2008 (Carton et al,
2000).
3. Data NCEP Reanalysis dari tahun
1960 sampai tahun 2008.
Konfigurasi Model
IND-ROMS
modelini
didasarkan
padaROMS(Shchepetkin andMcWilliams,
2005)yang merupakanmodelhidrostatik,
3D model, primitive equation danfree
surface
ocean
model
dengan
menggunakan s-koordinat secara vertikal.
Model ini diimplementasikan di perairan
Indonesia dari 15°S sampai 15°N dan
90°E
sampai
150°E
dengan
menggunakan uniform grid, dengan
jarak 12.5 km.
Pada ROMS, kedalaman 𝑧 ditransformasi
menjadi s-koordinat yang mengikuti pola
batimetri (Song and Haidvogel, 1994;
Shchepetkin andMcWilliams, 2005), yang
didefinisikan seperti persamaan berikut:
𝑧 𝑥, 𝑦, 𝜎 = 𝜎ℎ 𝑚𝑖𝑛 + 𝐶(𝜎)(ℎ 𝑥, 𝑦 − ℎ 𝑚𝑖𝑛 (1)
dimana ℎ (𝑥, 𝑦) adalah kedalaman, 𝜎
adalah jarak vertikal dari permukaan
yang diukur sebagai fraksi ketinggian
kolom air secara lokal. Sementara
𝐶(𝜎) adalah fungsi matematis untuk
menghitung jarak grid secara vertikal,
yang dapat dijabarkan seperti berikut:
1
𝐶 𝜎 = 1 − 𝜃𝑏
sinh 𝜃 𝜎
sinh 𝜃
1
tanh 𝜃 𝜎+2
+ 𝜃𝑏 (
2
tanh
𝜃
2
− 1)(2)
dengan parameter 𝜃 = 5 , 𝜃𝜎 = 0.4 dan
ℎ 𝑚𝑖𝑛 = 10𝑚. Vertikal grid IND-ROMS ini
terdiri dari 32 level. Pada model ini
model vertical-mixing yang digukanan
adalah KPP (K-profile Parameterization)
yang dikembangkan oleh Large et al
(1994). Detil persamaan fisis dan
logaritma matematis dapat ditemukan di
Shchepetkin andMcWilliams (2005).
Selanjutnya, model ini menggunakan
data ETOPO2 untuk batimetri, dengan
kedalaman laut minimum sebesar 2m.
ModelIND-ROMSdiinisialisasipada1
Januari 1960dari interpolasi secara
horizontal
data
salinitas,temperatur
dankecepatanarus
serta
ketinggian
permukaanlaut
dari
SODA.Karena
perbedaan resolusi antara SODA dan
IND-ROMS,
padadaerah
tertentu
dimanabatimetri IND-ROMS lebih dalam
daribatimetriSODA, maka nilai IND-ROMS
menggunakan
nilaibawahSODAyang
diulangsecara
vertikal.
Disisi
lain,
karenaSODA
danIND-ROMS
menggunakankedalamanminimumyang
berbeda, beberapa daerahpantai diSODA
merupakandaratan,sementara
daerah
tersebut merupakan poingridlaut diINDROMS. Dalamkasus ini maka temperatur
dansalinitas
diekstrapolasi
secara
horizontal. Namun,kecepatanarus di poin
titik-titiktersebut
diinisialisasidengan
0m/det,karenapoindaratan dititik terluar
modelmerupakan
batas
dimana
139
kecepatan arus akan menghilang.
Sementara itu prosedur nesting yang
digunakan
menggunakan
skema
interpolasi yang sama dengan proses
inisialisasi.
IND-ROMS
berelaksasi
terhadap SODA dengan menggunakan
skema sponge layer.
Validasi Model
Korelasi ROMS dan altimeter secara
spasial ditunjukkan pada Gambar 1.
Korelasi antara ROMS dan altimeter
relatif tinggi dengan koefisien korelasi
(CC) antara 0.4 sampai 0.97. Korelasi
tertinggi terjadi di Laut Jawa, sebagian
Gambar 1. Distribusi spasial korelasi
koefisien antara altimeter dan IND-ROMS
HASIL DAN PEMBAHASAN
Long-term
mean
sea
level
tidak terlihat jelas. Arus di Laut Jawa dan
Selat Karimata cenderung bergerak ke
selatan dan timur, dengan kecepatan
rendah yang berkisar antara 0m/det
sampai 15cm/det. Sementara itu, arus
permukaan di Selat Makassar sebagai
jalur utama Indonesian ThroughFlow
(ITF) cenderung bergerak ke selatan
dengan kecepatan antara 50cm/det
sampai lebih dari 1m/det dan bergerak
menuju ke Samudera Hindia melalui
Selat Timor, Lombok dan Bali.
Sea
dan
kecepatan arus permukaan
Kuat dan pola arus dominan di perairan
Indonesia ditunjukkan pada Gambar 2.
Sementara long-termmean sea level dan
pola arus yg dominan dari tahun 1960
sampai 2008 ditunjukkan pada Gambar
3.Mindanao eddies terlihat jelas dengan
kecepatan arus permukaan lebih dari
1m/det, sementara Halmahera Eddies
140
Selat Karimata, pantai selatan Jawa dan
pantai barat Sumatera. Selanjutnya
daerah dengan korelasi sedang sampai
tinggi adalah Samudera Pasifik utara
Pulau Papua, Laut Sulawesi, Laut Banda
dan sebagian Laut Cina Selatan. Sea
level hasil perhitungan IND-ROMS
mempunyai korelasi rendah sampai
sedang dengan altimeter di daerah
messo-scale dan large-scale eddies di
Samudera Hindia selatan Jawa, di
sebelah tenggara Pulau Papua, dan Laut
Cina Selatan bagian utara. Selanjutnya,
secara umum, IND-ROMS model dapat
digunakan untuk merekonstruksi data
iklim laut di Perairan Indonesia.
level gradient akibat adanya
perbedaan topografi dan penyempitan
Selat
Karimata
sebelah
selatan,
menyebabkan
terjadinya
perbedaan
ketinggian sea level antara sea level di
Selat Karimata dan Laut Jawa. sebesar
20cm sampai 25cm. Dimana sea level di
Selat Karimata lebih tinggi 20cm sampai
25cm dibandingkan dengan Laut Jawa
(Gambar 3). Selanjutnya pola arus anticlockwiseMindanao
Eddy
yang
disebabkan oleh Pacific North Equatorial
Current (PNEC) yang bergerak menuju
Kepulauan Filipina. Pada saat PNEC
mencapai Filipina, arus permukaan ini
terpecah, dengan bagian yang lebih kecil
begerak keselatan untuk memulai
menjadi Pacific Equatorial Counter
Current (PECC), sedangka bagian
terbesar bergerak keutara menjadi arus
Kuroshiyo.
Gambar
4
menunjukkan
profil
temperatur di katulistiwa dari 90°E
sampai 150°E pada bulan Januari selama
30 tahun, dengan pola data profil yang
mengikuti pola topografi laut. Terlihat
juga temperatur laut di Laut Jawa
dengan kedalaman yang rendah, antara
40m sampai 50m. Sementara itu, terlihat
juga lapisan termoklin (suhu 20°C
sampai 10°C) antara 100m sampai lebih
dari 300m. Lapisan termoklin di
Samudera Hindia relatif lebih dalam
dibandingkan dengan lapisan termoklin
di
Samudera
Pasifik,
meskipun
kedalaman lapisan ini, akan bervariasi
seiring perubahan musim.
Gambar 2.Kuat dan pola arus dominan di
Gambar 5 menunjukkan profil salinitas
dari permukaan sampai kedalaman 4500.
Pada lapisan termoklin, salinitas di
Samudera Pasifik dan Hindia tropis,
berkisar antara 35 sampai 35.5 dengan
salinitas pada lapisan termoklin di
Samudera
Hindia
lebih
tinggi
dibandingkan dengan Samudera Pasifik.
Secara umum, Samudera Pasifik tropis
mempunyai salinitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan Samudera Hindia.
Pada akhirnya, perbedaan salinitas dan
kedalaman termoklin ini menunjukkan
terjadinya pergerakan massa air laut dari
Samudera Pasifik ke Samudera Hindia
melalui ITF.
Perairan Indonesia dari 1960 sampai
2008
Gambar 3.Long-term mean sea level dan
pola arus signifikan di Perairan Indonesia
dari 1960 sampai 2008
Salinitas dan Temperatur
Karena IND-ROMS merupakan model
dengan kemampuan 3D, dan 4D seiring
perubahan waktu. Maka estimasisalinitas,
temperatur dan kecepatan arus hasil
perhitungan dengan IND-ROMS, dari
permukaan sampai kedalaman 4500m,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4
dan 5.
Gambar 4.Profil temperatur laut di 0°
(katulistiwa) dari 90°E sampai 150°E
141
Gambar 5.Profil Salinitas di 0°
(katulistiwa) dari 90°E sampai 150°E
Estimasi Dynamic Sea Level Rise
Estimasi Dynamic Sea Level Rise
dilakukan
dengan
membandingkan
tingkat kenaikan SLR dari data model
IND_ROMS dari tahun 1960 sampai 2008,
dan SLR altimeter dari tahun 1993
sampai 2010. Gambar 5 dan 6, masingmasing menunjukkan SLR estimasi INDROMS dari tahun 1960 sampai 2008, dan
SLR altimeter dari tahun 1993 sampai
2010. Rata-rata SLR estimasi IND-ROMS
dan altimeter, masing-masing adalah
0.1cm/tahun dan 0.6cm/tahun.
Berdasarkan
perbandingan
tingkat
kenaikan SLR dari dua data ini,
menunjukkan bahwa SLR secara umum
mengalami peningkatan. Peningkatan
Gambar 6.Distribusi spasial SLR dari
tahun 1960 sampai 2008 hasil
perhitungan IND-ROMS
142
SLR tertinggi terjadi di Samudera Pasifik
dengan
peningkatan
sebesar
0.7cm/tahun. Selanjutnya Laut Banda,
Laut Sulawesi, dan selatan Papua
mengalami
kenaikan
SLR
sebesar
0.5cm/tahun
sampai
0.6cm/tahun.
Sementara itu SLR di Samudera Hindia
mengalami tingkat kenaikan yang lebih
rendah, yang bervariasi dari 0.1cm/tahun
sampai 0.7cm/tahun. Kenaikan tingkat
SLR di perairan Indonesia, sejalan
dengan perubahan tingkat kenaikan SLR
Global yang ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar
7
menunjukkan
hasil
rekonstruksi SLR dari data pasang surut
global yang menunjukkan bahwa telah
terjadi kenaikan sea level sebesar 20cm
sejak
tahun
1870.
SLR
hanya
0.9mm/tahun pada awal abad ke-19 dan
meningkat menjadi 3.0mm/tahun pada
beberapa
dekade
terakhir
ini.
Selanjutnya, jika tingkat kenaikan SLR ini
berlanjut, maka SLR rate pada akhir
abad
ke-21,
akan
mencapai
1.5cm/tahun, dan global sea level akan
naik sebesar ±60cm pada tahun 2100
relatif terhadap sea level tahun 2000.
Gambar 7. Distribusi spasial SLR dari
tahun 1993 sampai 2010berdasarkan
data altimeter
tahun 1993 sampai 2010.
DAFTARPUSTAKA
Gambar 7.Dynamic SLR daritahun 1870
sampai 2010, dengan SLR tahun 1870
sampai 2001 berdasarkan data
pasangsurut, dan data altimeter
daritahun 1993 sampai 2010 (Hansen,
2010)
KESIMPULAN
Hasil
validasi
IND-ROMS
dengan
altimeter menunjukkan bahwa IND-ROM
mempunyai korelasi sedang sampai
tinggi yang berkisar antara 0.4 sampai
0.97. Dari hasil validasi ini, menunjukkan
bahwa penggunaan model numerik
dapat digunakan untuk rekonstruksi data
klimat laut di Perairan Indonesia.
Hasil model menunjukkan bahwa arus di
Laut Jawa dan Selat Karimata cenderung
bergerak ke selatan dan timur, dengan
kecepatan rendah yang berkisar antara
0m/det sampai 15cm/det. Sementara itu,
arus permukaan di Selat Makassar
sebagai
jalur
utama
Indonesian
ThroughFlow (ITF) cenderung bergerak
ke selatan dengan kecepatan antara
50cm/det sampai lebih dari 1m/det dan
bergerak menuju ke Samudera Hindia
melalui Selat Timor, Lombok dan Bali.
Selanjutnya,
hasil
model
juga
menunjukkan bahwa SLR meningkat
secara signifikan dari tahun 1960 sampai
2008 sebesar 0.1cm/tahun (IND-ROMS),
menjadi 0.6cm/tahun (Altimeter) dari
Abdalati, W., 2006, Recent changes in
high-latitude glaciers, ice caps and
ice sheets, weather-April 2006, 61,
4, 95-101.
Antonov, J. I., S. Levitus and T. P. Boyer
(2005), Thermosteric sea level rise,
1955–2003, Geoph. Res. Lett, VOL.
32, L12602, 1-4.
AVISO,
2009,
Ssalto/Duacs
User
Handbook : (M)SLA and (M)ADT
Near-Real Time and Delayed Time
Products, SALP-MU-P-EA-21065-CLS,
Edition 1.10.
Bindoff, N.L., Solomon, S., D. Qin, M.
Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B.
Averyt, M. Tignor, and H.L. Miller,
2007. Observations: Oceanic climate
change and sea level. In: Solomon
S, et al. (eds.). Climate Change
2007: The Physical Science Basis.
Contribution of Working Group I to
the Fourth Assessment Report of
the Intergovernmental Panel on
Climate
Change.
Cambridge
University Press, Cambridge, United
Kingdom, 385-432.
Bryan, K., 1996, The steric component of
sea level rise associated with
enhanced greenhouse gasses: a
model study, Climate Dynamic, 12,
545-555
Cabanes, C., A. Cazenave and C. L.
Provost, 2001, Sea level rise during
40years determined from satellite
and in-situ observations, Science,
143
294, 840-842
Carton, J.A., G. Chepurin, X. Cao, and
B.S. Giese, 2000a: A Simple Ocean
Data Assimilation analysis of the
global upper ocean 1950-1995, Part
1: methodology, J. Phys. Oceanogr.,
30, 294-309.
Cazenave, A. and W. Llovel, 2010.
Contemporary
of
Sea
Level
Rise.Annual Review of Marine
Science, Vol. 2, 145-173.
Hansen, J., 2010, Global temperature
change, PNAS, 103, 39, 1428814293.
Ishii, M., M. Kimoto, K. Sakamoto and S.
Iwasaki, 2006, Steric sea level
changes estimated from historical
ocean subsurface temperature and
salinity analysis, J. Oceanography,
62, 155-170.
Large, W. G., J. C. McWilliams, and S. C.
Doney, 1994. Oceanic vertical
mixing: a review and a model with
nonlocal
boundary
layer
parameterization.
J.
Rev.
Geophysics, 32, 363-403.
Meehl GA, et al., 2007. Global climate
projections. In: Solomon S., et.al.
144
(eds.), Climate Change 2007: The
Physical Science Basis. Contribution
of Working Group I to the Fourth
Assessment
Report
of
the
Intergovernmental Panel on Climate
Change. Cambridge University Press,
Cambridge, United Kingdom, 747–
845.
Rahmstorf, S., 2007: A semi-empirical
approach to projecting future sealevel rise. Science, 315, 368-370.
Ridley, J.K., P. Huybrechts, J.M. Gregory,
and J.A. Lowe, 2005: Elimination of
the Greenland ice sheet in a high
CO2 climate. Journal of Climate,
Vol18, 3409-3427.
Shchepetkin,
A.
F.
and
J.
C.
McWilliams.The
regional
ocean
modeling system (roms): A splitexplicit, free-surface, topographyfollowing coordinates oceanic model.
Ocean Modeling, 9:347–404, 2005.
Song, Y. and D. B. Haidvogel.A semiimplicit ocean circulation model
using a generalizedtopographyfollowing
coordinate
system.J.
Comp. Phys., 115(1):228–244, 1994.
Download