BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang lain. Interaksi sosial membuat manusia bertemu dan berhubungan dengan berbagai macam orang. Dari proses interaksi dengan orang lain, memungkinkan manusia untuk menjalin hubungan interpersonal yang lebih dekat. Pertemanan adalah salah satu bentuk hubungan interpesonal yang sering ditemui manusia. Menurut Hays (dalam Demir & Weitekamp, 2007) pertemanan adalah saling ketergantungan secara sukarela diantara dua orang, yang memudahkan untuk mendapatkan dukungan sosio-emosional, juga melibatkan berbagai jenis dan derajat dari companionship, intimasi, afeksi, dan mutual assistance. Pertemanan merupakan subjek yang telah diteliti oleh para ilmuwan ilmu sosial. Studi terhadap pertemanan dianggap penting karena pertemanan merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia, misalnya well being. Hal ini telah disebutkan dalam berbagai literatur. Orang yang dapat menyebutkan nama beberapa teman dekat tempat mereka bisa berbagi hal yang pribadi, terbukti lebih sehat (Burt dalam Myers dan Diener, 1995), selain itu mereka juga lebih bahagia daripada orang yang hanya memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki teman dekat (House, Landis, & Umberson dalam Myers dan Diener, 1995). Hal ini mengindikasikan bahwa pertemanan berhubungan dengan kebahagiaan seseorang. Kebahagiaan merupakan hal yang dicari oleh banyak orang. Hasil survey terhadap lebih dari 7.000 mahasiswa di 42 negara yang berbeda menunjukkan bahwa mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup merupakan salah satu tujuan 1 terpenting mereka (Suh, Diener, Oishi, & Triandis, 1998 dalam Baumgardner, 2010). Kebahagiaan juga merupakan hal yang berhubungan dengan aspek penting lain dalam kehidupan manusia. Menurut Baumgardner (2010), orang yang bahagia memiliki kehidupan sosial yang kaya, pertemanan yang memuaskan, dan pernikahan yang bahagia. Dengan demikian, kebahagiaan merupakan objek studi yang patut mendapatkan perhatian. Kebahagiaan ditandai dengan tingginya kepuasan hidup dan kadar emosi positif, serta rendahnya kadar emosi negatif (Carr, 2004). Emosi positif-yang merupakan unsur kebahagiaan- berkontribusi terhadap pengembangan diri, dan produktivitas. Emosi positif membuat proses pikiran-tindakan menjadi lebih luas. Hal ini memungkinkan individu memiliki pilihan yang lebih luas untuk memberdayakan potensi dalam dirinya, yang dapat membawa pada pengembangan diri yang lebih baik. Pengembangan diri akan memungkinkan individu untuk merasakan emosi positif, dan siklus ini akan terus berlanjut, berputar seperti spiral. Contoh sederhana, individu yang merasa senang akan terdorong untuk bermain, dan menciptakan kesempatan untuk meningkatkan hubungan sosial (melalui bermain), selain itu juga merangsang untuk menciptakan karya atau penemuan solusi masalah dengan cara yang kreatif. Peningkatan kualitas hubungan sosial (dengan bermain) dan penciptaan karya melalui proses kreatif tersebut akan membawa pada transformasi dan pengembangan diri yang bisa menciptakan kembali emosi positif (Frederickson dalam Carr, 2004). Dapat disimpulkan bahwa emosi positif memicu tindakantindakan positif yang akan membawa kepada pengembangan diri yang positif. Selain itu, siklus tersebut akan terus berlanjut selama emosi positif terus dihasilkan. Kebahagiaan merupakan bentuk kesejahteraan (well being) yang sifatnya subjektif, berbeda dengan jenis well being lain (seperti tingkat ekonomi, tingkat 2 kesehatan) yang dapat diukur dengan data yang objektif. Untuk mengukur tingkat kesehatan di suatu daerah misalnya, salah satu indikatornya adalah kematian ibu hamil, atau jumlah jumlah orang yang menderita penyakit serius. Data tersebut didapat dari sebuah pengukuran terhadap objek yang dapat dihitung (misalnya jumlah orang yang sakit, bayi yang meninggal). Menurut Baumgardner (2010), data-data tersebut mengungkapkan fakta dari kehidupan orang-orang, namun tidak dapat menjelaskan apa yang orang-orang pikir dan rasakan terhadap fakta tersebut. Sedangkan, variabel kebahagiaan merupakan hal yang subjektif karena penilaian kebahagiaan dapat berbeda pada masing-masing individu. Hal ini disebut sebagai Subjective Well Being (SWB). Subjective well being merupakan evaluasi orang tehadap kehidupannya sendiri—baik secara afektif maupun kognitif. Orang merasakan SWB yang melimpah ketika mereka mengalami perasaan nyaman yang melimpah dan hanya sedikit perasaan tidak nyaman, ketika terlibat dalam kegiatan yang menarik dan ketika mereka merasakan banyak kesenangan dan sedikit rasa sakit, dan ketika mereka puas dengan hidup mereka (Diener, 2000). Dengan demikian, orang yang memiliki tingkat SWB yang tinggi adalah orang yang bahagia. Diener (dalam Baumgardner, 2010) mengatakan bahwa dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap well-being, hanya hubungan sosial yang dapat memprediksi secara konsisten kebahagiaan melintasi berbagai budaya. Argumen ini diperkuat dengan banyak penelitian mengenai hubungan sosial. Penelitian-penelitian telah dilakukan untuk mencari tahu hubungan pertemanan dengan kebahagiaan. Diantaranya adalah bahwa kualitas pertemanan dengan sahabat baik berpengaruh signifikan terhadap kebahagiaan (Demir, Ozdemir & Weitekamp, 2007). Penelitian Emmons (1999b dalam Baumgardner, 3 2010) menunjukkan bahwa orang mencantumkan hubungan dekat sebagai salah satu tujuan hidup terpenting dan sumber utama dari makna hidup mereka. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan dengan orang lain –khususnya hubungan dekat- merupakan faktor penting dalam kehidupan seseorang. Pertemanan, yang merupakan salah satu bentuk hubungan dekat, tampaknya memiliki peran penting dalam well being seseorang. Dalam kaitannya dengan kebahagiaan, hubungan dekat banyak diteliti karena hubungan ini dianggap memliki dampak yang paling besar terhadap kehidupan manusia. Yang dimaksud dengan hubungan dekat diantaranya adalah pertemanan, hubungan romantis atau pacaran, dan pernikahan (Baumgardner, 2010). Berbagai penelitian lain menunjukkan bahwa pertemanan memiliki korelasi dengan kebahagiaan. Studi yang dilakukan Demir & Weitekamp (2007) menunjukkan bahwa kualitas pertemanan berhubungan dengan kebahagiaan pada dewasa muda. Yang menarik, hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kualitas pertemanan memiliki korelasi yang lebih tinggi pada kebahagiaan melebihi faktor kepribadian dan jumlah teman. Hasil penelitian lain dari Demir & Weitekamp (2007) juga menyimpulkan bahwa kualitas hubungan dengan sahabat dekat memiliki hubungan yang signifikan terhadap kebahagiaan. Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa kebahagiaan merupakan hal penting yang dicari banyak orang. Dari penelitian sebelumnya, kualitas pertemanan memiliki hubungan terhadap kebahagiaan. Penelitian tersebut dilakukan di benua Amerika. Peneliti menilai bahwa, penelitian serupa (mengenai hubungan kualitas pertemanan dengan kebahagiaan) juga perlu dilakukan di Indonesia. Hal ini untuk menguji apakah kesimpulan hasil penelitian sebelumnya berlaku pada konteks wilayah di Indonesia. 4 Subjek yang dipilih untuk penelitian ini adalah golongan anak muda yang sedang beranjak dewasa. Generasi muda saat ini berbeda dengan generasi dulu yang setelah menyelesaikan sekolah biasanya dapat langsung bekerja dan menjadi mandiri secara finansial, banyak kaum muda sekarang yang belum memiliki gambaran yang jelas mengenai apa yang akan mereka lakukan dalam 10 tahun mendatang (Papalia, 2007). Hal ini bisa jadi karena tuntutan pendidikan pada generasi muda sekarang berbeda dengan generasi dulu. Hal ini sejalan dengan karakteristik perkembangan anak muda menurut Arnett (2000) yang disebut emerging adult. Arnett (2000) mengatakan bahwa emerging adult berada pada umur 18-25 tahun, dimana sebagian besar mereka sedang menjalani pendidikan dan pelatihan yang berguna untuk pekerjaan dalam jangka panjang. Dengan kata lain, mereka sedang menjalani masa pendidikan tinggi atau perkuliahan. Menempuh perkuliahan dianggap jalan penting menuju kedewasaan (Montgomery & Cote dalam Papalia, 2007). Hal ini tampaknya benar terutama pada kaum muda di kota-kota besar. Hasil penelitian yang dilakukan Kompas pada 1988 (dalam Sarwono, 2001) terhadap 700 pelajar SLTA di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya, diperoleh data bahwa 98% siswa SLTA dan 78,62% siswa SLTA Kejuruan ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ini menunjukkan bahwa minat siswa terhadap pendidikan tinggi cukup tinggi. Data Kementrian Pendidikan Nasional (2010) mencatat jumlah mahasiswa terdaftar di DKI Jakarta pada tahun 2008 /2009 sebanyak 1.171.441. Sebagai perbandingan, hasil sensus sementara jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2010 menurut data Badan Pusat Statistik (2009) adalah 9,607,787. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kira-kira 1/9 penduduk Jakarta adalah mahasiswa. 5 Golongan mahasiswa inilah yang akan dijadikan subjek penelitian ini. Penelitian ini bermaksud untuk mencari tahu hubungan antara kualitas pertemanan dengan subjective well being pada golongan mahasiswa. Untuk mempersempit ruang lingkup penelitian, peneliti membatasi populasi pada mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara. 1.2 Identifikasi Masalah Dari pemaparan di atas, didapatkan identifikasi masalah yaitu “apakah ada hubungan antara kualitas pertemanan dengan subjective well being pada mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara?”. 1.3 Tujuan Penelitian Mencari tahu hubungan antara kualitas pertemanan dengan subjective well being pada mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat teoritis: 1. Sebagai referensi untuk penelitian yang berhubungan dengan kualitas pertemanan dan subjective well being Manfaat praktis: 1. Mengetahui hubungan antara kualitas pertemanan dengan subjective well being pada mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara. 2. Mengetahui gambaran subjective well being dan kualitas pertemanan, khususnya pada mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara. 6