IJTIHAD OLEH : RINNANIK, S.H.I BAB I Pengertian Ijtihad • Secara etimologi, Ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban • Secara terminologi, Ijtihad berarti mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ tentang suatu masalah dari sumber hukum yang terperinci. Ijtihad (Arab: )اجتهادadalah sebuah usaha yang sungguhsungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam. Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. B. Tujuan Ijtihad untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. C. Fungsi Ijtihad • Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist. Dasar Hukum Ijtihad • Qs. An-Nisa’: 59 “Hai orang-orang beriman taatilah Alloh dan RosulNya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh dan Rosul, jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian... • Qs. An- Nisa’: 83 “...Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rosul dan ulil amri di antara mereka , tentulah orang-orang yng ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka.” Lanjutan • Qs. Asy-syura: 38 ...Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah diantara mereka... • Qs. Ali Imran:159 ...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu... • Hadits Nabi Ummatku tdk akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah (HR. Tarmizi) • Apabila hakim memutuskan hukum dan ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala dan jika ijtihadnya keliru maka ia mendapat satu pahala BAB II Macam-macam Ijtihad A. Ijma' Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. B. Qiyâs Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya Beberapa definisi qiyâs (analogi) ~ Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya. ~ Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya. ~ Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh). C. Istihsân Beberapa definisi Istihsân ~ Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar. ~ Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak. ~ Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan. ~ Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya. D. Mushalat murshalah Mushalat murshalah adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan. E. Sududz Dzariah Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat. F. Istishab Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya. G. Urf Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adatistiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis. BAB III CARA-CARA IJTIHAD MUJTAHID BERIJTIHAD dengan memperhatikan dalil-dalil yang tinggi tingkatannya kemudian berurut pada tingkatan berikutnya. Urutan berikut sebagai berikut: 1) Nash Alqur’an 2) Khabar (hadis) mutawatir 3) Khabar Ahad, 4) Zahir Qur’an 5) zahir hadis Apabila dalam urutan itu tidak didapatkan, hendaknya memperhatikan perbuatan-perbuatan Nabi kemudian taqrirnya. Jika melalui ini pun tidak didapatkan, maka hendaknya memperhatikan fatwa-fatwa sahabat. Jika tidak didapat, barulah ditetapkan melalui qiyas atau dengan salah satu dalil yang dapat dibenarkan melalui syara, dengan memperhatikan kemaslahatan (kebaikan). Jika didapatkan dalil yang berlawanan, hendaknya mengumpulkan dalil-dalil men urut kaidah yang dibenarkan. Jika tidak mungkin mengumpulkan, diambil salah satu yang lebih kuat Apabila sama-sama kuat, hendaknya menasakhkan, atau mencari yang terdahulu dan yang kemudian, yang dahulu itulah yang dibatalkan. Kalau tidak diketahui, hendaknya berhenti (tawaquf), tidak boleh menetapkan hukum dengan dalil yang bertentangan, hendaknya menggunakan dalil yang lebih renddah tingkatannya. Demikian ketatnya cara berijtihad sehingga hanya orang yang memiliki kemampuan optimal saja yang mampu menjadi mujtahid. Syarat-syarat Mujtahid • Mengetahui isi Alqur’an dan hadis yang bersangkutan dengan hukum, meski pun tidak hapal di luar kepala. • Mengetahui bahasa arab dengan berbagai ilmu kebahasaannya, seperti nahwu, sharaf, maani, bayan, badi, agar dapat menafsirkan ayat-ayat Alqur’an atau sunnah dengan cara yang benar. • Mengetahui kaidah-kaidah ilmu ushul yang seluas-luasnya, karena ilmu ini menjadi dasar berijtihad. • Mengetahui soal-soal ijma, supaya tidak timbul pendapat yang bertentangan dengan hasil ijma • Mengetahui nasikh-mansukh dalam alqur’an • Mengetahui ilmu riwyah dan dapat membedakan mana hadist yang sahih dan hasan, mana yang dhaif, naqbul dan mardud • Mengetahui rahasia-rahasia tasyri (asrarusy sya’riyah), yaitu kaidah-kaidah yang menerangkan tujuan syara dalam meletakkan beban taklif kepada mukallaf BAB IV Kedudukan Ijtihad Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut : a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif. b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain. c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan � ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah. d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah. e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam. BAB V Ijtihad Dari Masa ke Masa Salah satu mekanisme ijtihad yang dilakukan pada masa Khafilah Abu Bakar As-Shiddiq adalah dengan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah menentukan hukum terhadap suatu permasalahan. Suatu hari, salah seorang sahabat yakni Amr bin Ash diketahui melaksanakan shalat tanpa terlebih dahulu mandi padahal dia dalam keadaan junub. Amr ketika itu hanya bertayamum. Kontan hal tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan para sahabat. Untuk menengahi persoalan itu, Rasulullah SAW lantas bersabda dalam rangka membenarkan perbuatan Amr, "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala." (HR Bukhari dan Muslim). Dalam buku Ensiklopedi Islam, dari sejarahnya, ijtihad memang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan beliau sendiri merupakan mujtahid (ahli ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas pada masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh Alquran. Bila hasil ijtihad Rasulullah benar maka akan turun wahyu membenarkannya. Adapun jika sebaliknya, turunlah wahyu untuk meluruskan kesalahan tersebut. Ijtihad banyak digunakanan pada masa sahabat sebab setelah wafatnya Rasul, tentu saja wahyu tidak lagi diturunkan demikian pula hadis pun tidak bertambah. Sementara di sisi lain, problema yang timbul di tengah umat makin bertambah, baik ragam maupun jumlah. Salah satu mekanisme ijtihad yang dilaksanakan pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah dengan mengumpulkan para sahabat guna bermusyarawah serta menentukan hukum terhadap permasalahan tertentu. Hal yang sama juga dilakukan pada masa kekhalifahan berikutnya terutama pada masalah-masalah yang tidak ditemukan nash-nya dalam Alquran. Ijtihad ini kian mengalami perkembangan setelah masa sahabat. Kemunculan sejumlah mujtahid besar semisal Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibn Shihad az-Zuhri, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan masih banyak lagi, menandai hal tersebut. Pada abad kedua dan keempat Hijriyah, ijtihad mencapai masa perkembangan paling pesat. Masa ini pula kemudian dikenal dengan periode pembukuan sunah dan fikih demikian pula munculnya para mujtahid terkemuka yang merupakan imam-imam mazhab, antara lain Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii serta Imam Hanbali. Akan tetapi ijtihad mulai mengalami kemunduran setelah abad keempat Hijriyah. Muncul pendapat yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup lantaran umat Muslim merasa sudah cukup dengan pendapat mujtahid sebelumnya Selain itu, tidak lagi muncul mujtahid-mujtahid handal yang memiliki kemampuan seperti para mujtahid sebelumnya. Sebenarnya, apa ijtihad itu? Dalam bidang fikih, ijtihad berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (mengistinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut para ahli ushul fikih, antara lain Imam asySyaukani dan Imam az-Zarkansi, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syarak (hukum Islam) yang operasional dengan istinbat (mengambil kesimpulan hukum). Terdapat tiga hukum ijtihad seperti ditetapkan oleh ahli ushul fikih, antara lain fardlu ain (wajib bagi setiap orang), fardlu kifayah (cukup dilakukan sebagian orang) serta mandub (sunah). Dalam pandangan Ketua Ikatan Dai Indonesia, KH Ahmad Satori, saat ini ijtihad juga banyak diterapkan untuk menjawab dan mencari solusi terhadap permasalahan kekinian atau ibadah yang sifatnya ghoiru mahdhah (ibadah yang bukan termasuk 'paket' dari Rasulullah) atau yang berupa bidang muamalah. Sementara yang sifatnya ibadah mahdhah atau ibadah yang dipaketkan oleh Rasulullah seperti haji, puasa, dan shalat tidak bisa untuk diijtihadkan. "Maka ketika ada sementara pihak yang melakukan inovasi dalam hal shalat dan ibadah lainnya, tentu saja para ulama dan umat Muslim sangat keberatan. Karena memang tidak pernah ada ijtihad untuk praktek ibadah sejak dahulu kala," tegas Ahmad Satori Namun begitu, Ahmad menolak jika dikatakan Islam agak kaku terkait penerapan inovasi pada bidang ibadah. Dia mengatakan bahwa dalam persoalan tauhid ini, ada hal-hal yang sifatnya konstan dan tidak bisa diganggu gugat dan ada pula hal-hal yang dapat disesuaikan."Misalnya saja kiblat umat Islam yakni Kabah di Makkah, apakah bisa begitu saja kita alihkan ke tempat lain? Tentu saja tidak bisa kan." Sebaliknya pada beberapa praktek ibadah, ambil contoh ketika harus melaksanakan shalat di perjalanan, maka seorang Muslim bisa tidak harus shalat menghadap kiblat. Ini menunjukkan bahwa Islam juga bisa sangat fleksibel dalam penerapan ibadah. Pada kesempatan terpisah, Thabrani Syabirin, Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, juga menyatakan penerapan ijtihad pada umumnya hanya untuk hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan aktual bagi kemaslahatan umat. Ini antara lain menyangkut praktek jual beli, utang piutang, bunga perbankan dan sebagainya. Sementara untuk persoalan ibadah, Thabrani sependapat bahwa tidak bisa diutak-atik.