BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hasil pertanian di Indonesia semakin meningkat, setelah adanya pupuk kimia. Penggunaan pupuk kimia saat ini sangat meluas, meskipun dengan dampak positifnya terlihat dari meningkatnya produksi pertanian tetapi dampak negatif penggunaan pupuk kimia secara terus-menerus menyebabkan perubahan struktur tanah, pemadatan, dan pencemaran lingkungan (Kurnia dkk, 2004). Pupuk kimia dikategorikan sebagai sumber pencemar karena adanya kandungan logam berat serta senyawa tertentu, dimana logam berat ataupun senyawa tersebut tidak diperlukan dalam jumlah banyak sehingga dapat membahayakan lingkungan. Contohnya pupuk posfat mengandung Pb antara 7-225 ppm (Darmono, 1995). Penggunaan pupuk kimia menyebabkan pencemaran tanah pada lahan pertanian. Selain pupuk kimia, pabrik atau industri tekstil yang dibangun di sekitar lahan pertanian juga dapat menyebabkan pencemaran. Hal ini terjadi, karena limbah industri dibuang ke badan air atau sungai yang digunakan untuk sumber pengairan bagi lahan pertanian. Unsur-unsur kimia yang terbawa limbah selanjutnya mengendap didalam tanah, dan proses ini berulang dengan berjalannya waktu sehingga terjadi akumulasi logam berat di dalam tanah. Logam berat adalah unsur logam dengan berat molekul tinggi dan merupakan pencemaran lingkungan yang utama, diantaranya adalah Cd, Cr, Cu, Hg, Pb dan Zn (Triyono dkk, 2013). Salah satu logam berat yang mencemari tanah adalah Pb atau timbal. Timbal memiliki sifat fisik berwarna kelabu kebiruan dan terdapat dalam jumlah kecil pada batu-batuan dan tanah (Anies, 2006). Salah satu teknik yang digunakan dalam pemulihan lingkungan yang tercemar adalah bioremediasi. Bioremediasi adalah tindakan proses biologi yang dapat dilakukan untuk menurunkan kadar polutan yang bersifat toksik terhadap lingkungan, akibat adanya zat yang menyebabkan pencemaran dengan cara mengolah kontaminan dengan memanfaatkan mikroba, tanaman, Universitas Sumatera Utara enzim tanaman atau enzim mikroba (Priadie, 2012). Teknik bioremediasi dengan menggunakan tanaman mendapat perhatian yang cukup luas, karena terbukti lebih murah dibandingkan dengan teknik lainnya. Fitoremediasi adalah salah satu teknik dari bioremediasi dengan menggunakan tumbuhan untuk menghilangkan polutan dari tanah atau perairan yang terkontaminasi. Fitoremediator dapat berupa herba, semak bahkan pohon. Semua tumbuhan mampu menyerap logam dalam jumlah yang bervariasi, tetapi beberapa tumbuhan mampu mengakumulasi unsur logam tertentu dalam konsentrasi yang cukup tinggi (Juhaeti dkk, 2005). Tanaman seperti belimbing wuluh, jabon, dan petai merupakan tanaman yang berpotensi dapat dijadikan sebagai tanaman pengakumulasi logam Pb. Tanaman jabon memiliki pertumbuhan yang relatif cepat sehingga dapat dijadikan untuk reklamasi lahan bekas tambang (Junaedi, 2009). Belimbing wuluh dapat tumbuh dan berkembang pada lingkungan tercemar sedangkan petai dengan perakaran kuat dan dapat menyuburkan tanah ini juga cocok ditanam untuk memulihkan kembali lahan-lahan kritis (Wiriadinata dan Bamroongrugsa, 2010) Untuk mempercepat proses fitoremediasi dapat digunakan mikoriza. Mikoriza tidak hanya meningkatkan laju transfer nutrisi di akar tanaman inang, tetapi juga meningkatkan ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Selain itu, mikoriza juga membantu mempertahankan stabilitas pertumbuhan tanaman pada kondisi tercemar (Arisutanti dan Purwani, 2013). Aprilia dan Purwani (2013) pemberian dosis mikoriza Glomus fasciculatum dengan dosis 25 gram dapat meningkatkan efisiensi serapan Pb pada tanaman Euphorbia milii serta meningkatkan akumulasi logam Pb pada akar tanaman euphorbia. Rossiana (2003) pengaruh pemberian mikoriza pada tanaman sengon menyebabkan terjadinya penurunan kadar logam Pb, Zn, dan Cu pada tanah penurunan tertinggi terjadi pada konsentrasi 5%, yaitu Pb (10,1 ppm), Zn (16,6 ppm), dan Cu (21,55 ppm). Penelitian tentang fitoremediasi menggunakan tanaman seperti belimbing wuluh, jabon, dan petai dalam mengakumulasi logam Pb belum dilaporkan, Universitas Sumatera Utara dan penambahan mikoriza pada setiap tanaman tersebut juga belum dilaporkan. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh pemberian fungi mikoriza arbuskula (fma) terhadap akumulasi logam Pb pada tanaman belimbing wuluh, jabon, dan petai yang ditumbuhkan pada media yang mengandung Pb. 2. Berapa dosis pemberian fungi mikoriza arbuskula (fma) yang optimal dalam mengakumulasi logam Pb tanaman belimbing wuluh, jabon, dan petai yang ditumbuhkan pada media yang mengandung Pb. 3. Jenis tanaman diantara tanaman belimbing wuluh, jabon, dan petai yang paling efektif dalam akumulasi logam Pb. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh pemberian fungi mikoriza arbuskula (fma) terhadap akumulasi logam Pb tanaman belimbing wuluh, jabon, dan petai. 2. Mengetahui dosis pemberian fungi mikoriza arbuskula (fma) yang optimal terhadap akumulasi logam Pb tanaman belimbing wuluh, jabon, dan petai. 3. Mengetahui jenis tanaman yang paling efektif dalam mengakumulasi logam Pb . 1.4. Hipotesis Penelitian 1. Terjadi peningkatan akumulasi logam Pb dengan penggunaan fungi mikoriza arbuskula (fma) pada tanaman belimbing wuluh, jabon, dan petai. 2. Terdapat perbedaan kemampuan jenis tanaman dalam mengakumulasi logam Pb pada tanaman belimbing wuluh, jabon, dan petai. 3. Terdapat perbedaan dosis mikoriza dalam mengakumulasi logam Pb. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Menginformasikan kepada masyarakat tentang kemampuan fitoremediasi dalam mengakumulasi logam Pb dibantu fungi mikoriza arbuskula (fma) untuk mengurangi kandungan logam Pb dalam tanah. 2. Sebagai sumber data pendukung atau referensi tambahan bagi peneliti lain. Universitas Sumatera Utara