Kontroversi Harga Jual Perusahaan Bramantyo Djohanputro, PhD Penulis: Dosen dan konsultan manajemen bidang keuangan, investasi, dan risiko Lecturer and consultant of management in finance, investment, and risk Sekolah Tinggi Manajemen PPM (PPM School of Management) Contact: [email protected] [email protected] Blog: www.bram39.wordpress.com Kontroversi harga jual perusahaan-perusahaan BUMN maupun yang dikelola BPPN telah bergulir sejak krisis sampai saat ini. Kasus penjualan Pabrik Gula Rajawali III di Gorontalo yang pernah mencuat, disusul isu penawaran umum perdana (IPO, initial piblic offering) PT Krakatau Steel, merupakan salah satu saja dari yang telah ada, dan masih akan ada di masa datang. Apalagi penghitungan harga jual perusahaan yang masih tertutup. Harga perusahaan yang sudah terbuka (sudah go public)-pun sering keliru. Bukti empiris menunjukkan contoh, harga perusahaan berdasarkan harga saham yang tercantum di bursa bisa berbeda lebih dari 50% dari harga wajar yang dihitung secara fundamental. Padahal harga saham seharusnya mencerminkan harga wajar karena harga saham sudah mengakomodasikan semua informasi tentang perusahaan yang bersangkutan. Penyimpangan harga perusahaan yang sudah terbuka bisa dianggap sebagai penyimpangan efisiensi informasi. Bagi perusahaan yang belum terbuka, peluang penyimpangan semakin besar dan sumber penyimpangannya pun semakin beragam. Termasuk kemungkinan dilakukan pat gulipat dalam penetapan harga jual dan mekanisme transaksinya. Penghitungan Harga Jual Perusahaan Apakah terjadi kesalahan dalam menetapkan harga jual perusahaan seperti PT tersebut? Mungkin saja, dan sangat mungkin terjadi. Untuk mengetahui kemungkinan penyimpangan, mari kita lihat rumus sederhana penghitungan nilai jual perusahaan berikut ini, yang merupakan model penghitungan harga perusahaan berdasarkan pertumbuhan konstan. Kontroversi Harga Jual Perusahaan# 1 H arg aPerusahaan0 = Pendapa tan Ekuitas0 (1 + g ) ke − g Katakanlah Anda ingin menghitung harga perusahaan hari ini. Yang perlu Anda identifikasi ada tiga variabel. Variabel pertama, pendapatan ekuitas tahun lalu (tahun terakhir). Yang dimaksudkan dengan pendapatan ekuitas adalah semua pendapatan (uang) yang dapat diambil oleh pemegang saham tanpa mengganggu jalannya perusahaan. Sumber utama pendapatan ekuitas adalah laba bersih dan biaya non-tunai seperti depresiasi dan amortiasi. Pendapatan ekuitas tahun terakhir menjadi basis penghitungan ekspektasi pendapatan ekuitas di masa mendatang. Variabel kedua berupa pertumbuhan pendapatan ekuitas, g. pertumbuhan dapat diproyeksikan berdasarkan data historis dan penyesuaian terhadap kondisi masa depan. Semakin baik ekspektasi orang terhadap kondisi ekonomi dan bisnis di masa depan, semakin tinggi pertumbuhan. Variabel ketiga berupa biaya modal atau cost of equity, ke. Biaya modal merupakan tuntutan tingkat pengembalian pemegang saham terhadap investasi yang dilakukannya di perusahaan. Biaya modal berbeda untuk perusahaan yang berbeda. Tinggi rendahnya biaaya modal tergantung pada tingkat risiko perusahaan. Semakin tinggi tingkat risiko, semakin tinggi pula tuntutan tingkat pengembalian modal, yang berarti semakin tinggi ke. Formula di atas jelas menunjukkan bahwa harga jual perusahaan semakin tinggi apabila pendapatan ekuitas semakin tinggi, pertumbuhan juga semakin tinggi, dan biaya modal semakin rendah. Sebaliknya, harga jual perusahaan semakin rendah bila pendapatan ekuitas dan pertumbuhannya semakin rendah, dan biaya modal semakin tinggi. Letak Kontroversi Bila formula penghitungan sudah jelas, di mana letak kontroversinya? Paling tidak ada dua sumber utama kontroversi harga jual perusahaan. Sumber pertama adalah perbedaan asumsi yang digunakan. Ketiga variabel yang digunakan untuk menghitung harga jual perusahaan adalah ekstektasi mengenai variabel itu sendiri. Dan ekspektasi tidakd apat dilepaskan dari asumsi yang diyakini oleh penilai perusahaan maupun pemegang saham. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, dari mana asumsi tersebut muncul? Sebagian penilai perusahaan semata-mata mendasarkan pada data masa lalu sebagai basis asumsi. Semata-mata tergantung pada data historis untuk memprediksi ketiga variabel di atas sangatlah berbahaya. Apalagi bila perusahaan berada pada kondisi buruk dan merosot, dengan kinerja keuangan yang sangat rendah, bahkan merugi. Tentu saja hasilnya akan menunjukkan bahwa pendapatan ekuitas rendah dan pertumbuhan rendah. Kondisi rendahnya kinerja Kontroversi Harga Jual Perusahaan# 2 perusahaan juga menimbulkan persepsi bahwa perusahaan tersebut sangat berisiko, sehingga biaya modal juga meningkat. Itulah sebabnya, semata-mata menggunakan data historis perusahaan bermasalah untuk menghitung harga jualnya bisa dipastikan bahwa harganya akan sangat rendah. Kembali ke esensi penetapan nilai perusahaan, harga jual seharusnya buka semata-mata proyeksi data historis tetapi tentang keyakinan analis terhadap ketiga variabel nilai perusahaan di masa depan. Kontroversi kedua bersumber pada pemilihan metoda penghitungan. Ada dua kelompok metoda penghitungan yang sangat krusial. Kelompok pertama adalah metoda penghitungan variabel. Sebagian analis hanya mau mudahnya, menggunakan data tahun lalu sebagai proyeksi. Cara ini jelas bisa menimbulkan bias. Ada juga yang menggunakan metoda rata-rata data historis sebagai angka proyeksi. Ada juga yang menggunakan metoda regresi linier maupun log-linier. Dan ada juga yang menggunakan berbagai metoda statistik yang leebhi canggih. Berbedaan cara di atas menghasilkan besaran variabel yang berbeda pula. Kelompok metoda kedua berupa metoda penghitungan harga jual itu sendiri. Rumus di atas hanya salah satu formula penghitungaan harga jual perusahaan. Asumsi yang mendasari formula di atas adalah bahwa masa depan perusahaan akan bertumbuh secara konstan. Namun asumsi tersebut sama sekali tidak dapat digunakan dalam kondisi turbulen. Pada saat ekonomi mengalami depresi, bahkan krisis, penyesuaian variabel sangat diperlukan untuk menyesuaikan ekspektasi kebangkitan ekonomi. Dengan terjadinya kebangkitan ekonomi, harga jual perusahaan tentunya akan melesat naik. Oleh karena itu, penilaian harga jual suatu perusahaan buka sematamata pada hasil penilaian itu sendiri. Proses penghitungan juga merupakan faktor penting yang harus diketahui oleh pemegang saham atau pihak berkepentingan. Dalam setiap penghitungan nilai perusahaan, penyampaian proses, pemilihan metoda, pemilihan data, dan hal-hal lain wajib hukumnya untuk disampaikan kepada pemegang saham. Itulah presentasi reguler selama proses penilaian merupakan keharusan. Bila dua penilai menggunakan aasumsi dan metoda yang berbeda, hasil merka akan berbeda juga. Selama penggunaan asumsi dan metoda bisa dipertanggungjawabkan, perbedaan hasil juga dapat dipertanggungjawabkan. Yang menjadi masalah adalah bila perbedaan hasil tidak dapat dipertanggung-jawabkan karena terjadi penyimpangan dalam aspek lain, misalnya bila penghitungan harga jual dan transaksi dilakukan secara patgulipat. Apakah penjualan Pabrik Gula Rajawali III ada unsur korupsi? Saya tidak tahu sama sekali karena saya bukan ahli hukum. Biarkan saja para ahli hukum memperbincangkan dan menyelesaikan sisi hukum dari transaksi strategis penjualan aset negara tersebut. ******** Kontroversi Harga Jual Perusahaan# 3