Informasi laba dalam laporan keuangan pada umumnya penting

advertisement
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
PENGARUH TINGKAT INFLASI, SUKU BUNGA SBI DAN NILAI TUKAR
TERHADAP HARGA SAHAM
Abdul Agung Prasetiyo
[email protected]
Sri Utiyati
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
ABSTRACT
This research studies the inflation level, SBI interest rate, and the exchange to the stock price (dependent) at
the telecommunication companies which are listed in Indonesia Stock Exchange in 2011 – 2012 periods. The
purpose of this research is to find out the stock price at stock market so it will be attractive for investors to be
appointed as the basis in invesment. The samples are 6 telecommunication companies in 2011 and 2012. The
multiple linier regression analysis through F test and t test in the level of significance 5% (α = 0.05) is used as
the analysis technique in this research.The result of t test shows that inflation level and exchange rate have
significant impact under 0.05 which is 0.006 (inflation rate) and 0.035 (Exchange rate) meanwhile the SBI
interest rate has insignificance value above 0.05 which is 0.767 (SBI Interest Rate). It means that the inflation
rate and exchange rate has significant impact on the stock price (dependent). Whereas, SBI interest rate has
insignificant impact on the stock price (dependent). While the result of F test shows that simultaneously the
inflation level, SBI interest rate, and exchange have impact on the stock price is 0.037. The
value shows
that 26.42% (Inflation rate), 5.29% (SBI Interest Rate) and 35.4% (Exchange rate), it shows that exchange
rate has dominant impact on the telecommunication companies’ stock price since its
result is larger than
others that is 35.4%. However, the coefficient value of adjusted
is 37.5%, so investors are also required to
observe the other variables which might have impact on the stock price.
Keywords: Inflation Rate, SBI Interest Rate, Exchange Rate, and Stock Price.
ABSTRAK
Penelitian ini meneliti tentang tingkat inflasi, suku bunga SBI dan nilai tukar terhadap harga saham
(Dependen) pada perusahaan Telekomunikasi yang terdaftar di BEI periode 2011 – 2012. Penelitian ini
untuk mengetahui harga saham yang ada dipasar bursa, sehingga penelitian ini menarik untuk
diangkat sebagai dasar para investor dalam berinvestasi. Sampel yang digunakan sebanyak 6
perusahaan telekomunikasi di tahun 2011 dan tahun 2012. Penelitian ini menggunakan teknik analisis
linear berganda (Multiple Regretion) dengan menggunakan Uji F dan Uji t pada Level of significance 5 %
(α = 0,05). Hasil Uji t menunjukkan bahwa Tingkat Inflasi dan Nilai Tukar berpengaruh signifikan
dibawah 0,05 yaitu sebesar 0,006 (Tingkat Inflasi) dan nilai 0,035 (Nilai Tukar) sedangkan Suku Bunga
SBI memiliki nilai tidak signifikan diatas 0,05 yaitu 0,767 (Suku Bunga SBI). Hal ini berarti Tingkat
Inflasi dan Nilai Tukar mempunyai pengaruh signifikan terhadap Harga Saham (Dependen).
Sedangkan Suku Bunga SBI mempunyai pengaruh tidak signifikan terhadap Harga Saham
(Dependen). Sedangkan dari hasil uji F menunjukkan bahwa Tingkat Inflasi, Suku Bunga SBI dan
Nilai Tukar berpengaruh secara simultan terhadap harga saham sebesar 0,037. Nilai r 2 menunjukkan
bahwa 26,42% (Tingkat Inflasi), 5,29%(Suku Bunga SBI) dan 35,4%(Nilai Tukar), hal ini menunjukkan
bahwa Nilai Tukar yang dominan mempengaruhi harga saham perusahaan Telekomunikasi karena
hasil r2 nya lebih besar daripada yang lain yaitu 35,4%. Meskipun demikian, mengingat nilai koefisien
adjusted R2 sebesar 37,5%, maka investor juga perlu mengamati variabel-variabel lain yang mungkin
berpengaruh terhadap harga saham.
Kata Kunci : Tingkat Inflasi, Suku Bunga SBI, Nilai Tukar dan Harga Saham
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
2
PENDAHULUAN
Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan investasi yang dapat
menghasilkan tingkat keuntungan optimal bagi para investor. Setiap investor sangat
membutuhkan informasi yang relevan dengan perkembangan transaksi di bursa. Hal ini
sangat penting untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun strategi dan
pengambilan keputusan investasi di pasar modal. Dalam mengambil keputusan untuk
melakukan suatu investasi perlu diperhatikan dua hal yaitu return dan resiko investasi.
Investasi pada hakekatnya merupakan penundaan konsumsi pada saat ini dengan tujuan
mendapatkan tingkat pengembalian (return) yang akan diterima di masa yang akan datang.
Pemodal hanya dapat memperkirakan berapa tingkat keuntungan yang diharapkan
(expected return) dan seberapa jauh kemungkinan hasil yang sebenarnya nanti akan
menyimpang dari hasil yang diharapkan. Apabila kesempatan investasi mempunyai tingkat
resiko yang lebih tinggi, maka investor akan mengisyaratkan tingkat keuntungan yang lebih
tinggi pula. Dengan kata lain, semakin tinggi risiko suatu kesempatan investasi maka akan
semakin tinggi pula tingkat keuntungan (return) yang diisyaratkan oleh investor (Hartono,
2000).
Perubahan tingkat suku bunga SBI akan berdampak pada perubahan jumlah investasi
di suatu negara, baik yang berasal dari investor domestik maupun dari investor asing,
khususnya pada jenis investasi portfolio yang umunya berjangka pendek. Perubahan tingkat
suku bunga ini akan berpengaruh pada perubahan jumlah permintaan dan penawaran di
pasar uang domestik.
Suku bunga diskonto adalah tingkat suku bunga SBI yang dibayar oleh Bank-bank
umum apabila meminjam uang dari Bank Sentral. Menurut Keynes (2003), suku bunga SBI
dalam keseimbangan suatu pasar merupakan harga suatu waktu, dimana harga tersebut
adalah hasil pengembalian yang menyamakan pinjaman dan pemberian pinjaman dalam
kegiatan ekonomi. Suatu tingkat suku bunga SBI akan cenderung naik apabila jumlah uang
lebih sedikit dan permintaan terhadap uang lebih banyak. Begitu pula sebaliknya, tingkat
suku SBI akan cenderung turun apabila jumlah uang lebih banyak/besar dan permintaan
terhadap uang lebih sedikit.
Sedangkan teori paritas suku bunga SBI merupakan salah satu teori yang penting
mengenai penentuan tingkat bunga dalam sistem devisa bebas. Teori ini pada dasarnya
bahwa tingkat bunga di suatu negara akan cenderung sama dengan tingkat bunga di negara
lain, setelah diperhitungkan perkiraan laju depresiasi mata uang suatu negara dengan
negara lain.
Berdasarkan Sitinjak (2003) bahwa yang dimaksud dengan Interest Parity adalah suatu
kondisi di mana perbedaan tingkat suku bunga sama dengan perbedaan forward di pasar
yang efisien dengan asumsi tidak ada biaya transaksi (no transaction cost).
Tingkat bunga menentukan jenis-jenis investasi yang akan memberi keuntungan
kepada para pengusaha. Para pengusaha akan melaksanakan investasi yang mereka
rencanakan hanya apabila tingkat pengembalian modal yang mereka peroleh melebihi
tingkat bunga. Dengan demikian besarnya investasi dalam suatu jangka waktu tertentu
adalah sama dengan nilai dari seluruh investasi yang tingkat pengembalian modalnya.
Apabila tingkat bunga menjadi lebih rendah, lebih banyak usaha yang mempunyai tingkat
pengembalian modal yang lebih tinggi daripada tingkat suku bunga. Semakin rendah
tingkat bunga yang harus dibayar para pengusaha, semakin banyak usaha yang dapat
dilakukan para pengusaha. Semakin rendah tingkat bunga semakin banyak investasi yang
dilakukan para pengusaha (Hamzah, 2002).
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara
umum dan terus-menerus (kontinue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
3
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat,
berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai
termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi
juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinue. Inflasi adalah proses
dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang
dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat
tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara
terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk
mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab
meningkatnya harga. Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif tergantung parah
atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif
dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan
nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan
investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak
terkendali hiperinflasi, keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan
lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan
produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti
pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung
dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk
dari waktu ke waktu.
Bank sentral memainkan peranan penting dalam mengendalikan inflasi. Bank sentral
suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi pada tingkat yang
wajar. Beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan yang independen dalam artian
bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh pihak di luar bank sentral termasuk
pemerintah. Hal ini disebabkan karena sejumlah studi menunjukkan bahwa bank sentral
yang kurang independen. salah satunya disebabkan intervensi pemerintah yang bertujuan
menggunakan kebijakan moneter untuk mendorong perekonomian dan akan mendorong
tingkat inflasi yang lebih tinggi. Bank sentral umumnya mengandalkan jumlah uang beredar
dan tingkat suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu, bank
sentral juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik. Hal ini
disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal dicerminkan oleh tingkat
inflasi maupun eksternal kurs. Saat ini pola inflation targeting banyak diterapkan oleh bank
sentral di seluruh dunia, termasuk oleh Bank Indonesia.
Analisis teknikal merupakan upaya memperkirakan harga saham dengan mengamati
perubahan harga saham pada masa lalu. Pemikiran yang mendasari bahwa harga saham
mencerminkan informasi yang relevan melalui perubahan harga pada masa lalu (Hamzah,
2002).
TINJAUAN TEORETIS DAN HIPOTESIS
Inflasi
Inflasi dikatakan sebagai suatu proses kenaikan harga secara umum, yaitu adanya
kecenderungan bahwa harga barang meningkat secara terus-menerus. Inflasi juga
merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinue. Dimana Inflasi bukan
berarti tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum
tentu menunjukkan inflasi.
Dikatakan tingkat harga secara umum karena barang dan jasa itu banyak sekali jumlah
dan jenisnya. Ada kemungkinan harga sejumlah barang yang turun, tetapi banyak barang
lainnya yang justru naik harganya. Kenaikan satu dua barang saja bukan merupakan inflasi,
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
4
kecuali bila kenaikan harga barang tersebut meluas pada sebagian besar harga barangbarang lainya.
Faktor-Faktor Inflasi
1. Kenaikan harga
Harga barang dapat di katakan naik jika harganya menjadi tinggi dari harga sebelumnya.
2. Bersifat umum
Kenaikan harga suatu barang tidak dapat di katakan inflasi jika naiknya barang tersebut
tidak menyebabkan harga-harga secara umum .
3. Berlangsung terus-menerus
Naiknya harga suatu barang tidak dapat di katakan inflasi jika naiknya barang tersebut
terjadinya hanya sesaat, inflasi itu dilakukan dalam rentang minimal bulanan.
Ada beberapa faktor masalah sosial yang muncul dari inflasi yaitu :
1. Menurunya tingkat kesejahtraan rakyat.
2. Memburuknya distribusi pendapatan.
3. Terganggunya stabilitas ekonomi.
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif tergantung parah atau tidaknya
inflasi.
1.
Dampak positif
Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat
mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan
membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi.
2.
Dampak negatif
dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi),
keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi
tidak bersemangat kerja, menabung atau mengadakan investasi dan produksi karena harga
meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau
karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi
harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Penyebab Inflasi
Tarikan permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) (demand pull inflation) terjadi
akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya
likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada
tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan
permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap
faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu
kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat.
Desakan (tekanan) produksi dan/atau distribusi (cost push inflation).
terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan
distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
5
signifikan. Adanya ketidaklancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang
tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan
berlakunya hukum permintaan penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai
perekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang
baru.
Penggolongan Inflasi
Berdasarkan asalnya :
1.
Inflasi yang berasal dari dalam negeri
terjadi akibat terjadinya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang
baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal.
2.
Inflasi yang berasal dari luar negeri
Inflasi yang terjadi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat
biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang.
Berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga :
1. Inflasi Tertutup (Closed Inflation)
Jika kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu.
2. Inflasi Terbuka (Open Inflation)
Apabila kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum.
3. Inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi)
Apabila serangan inflasi demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus
berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama
disebabkan nilai uang terus merosot.
Berdasarkan keparahannya inflasi :
1. Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun)
2. Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)
3. Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun)
4. Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun)
Teori Inflasi
Teori Kuantitas, yaitu teori yang menganalisis peranan dari :
Jumlah uang beredar
Menurut teori ini, pertambaham volume uang yang beredar sangat dominan
terhadap kemungkinan timbulnya inflasi. Kenaikan harga yang tidak dibarengi dengan
pertambahan jumlah uang beredar sifatnya hanya sementara. Dengan demikian menurut
teori ini, apabila jmlah uang tidak ditambah, kenaikan harga akan berhenti dengan
sendirinya.
Ekspektasi masyarakat mengenai kemungkinan kenaikan harga (peranan psikologis).
Berdasarkan teori ini, walaupun jumlah uang bertambah tetapi masyarakat belum menduga
adanya kenaikan, maka pertambahan uang beredar hanya akan menambah simpanan atau
uang kas karena belum dibelanjakan. Dengan demikian harga barang-barang tidak naik. Jika
masyarakat menduga bahwa besok bahwa dalam waktu dekat harga barang akan naik,
masyarakat cenderung membelanjakan uangnya karena khawatir akan penurunan nilai
uang, sehingga akan memicu inflasi.
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
6
Teori Inflasi Keynes
Menurut Keynes, inflasi pada dasarnya disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
permintaan masyarakat (demand) terhadap barang-barang dagangan (stock), dimana
permintaan lebih banyak dibandingkan dengan barang yang tersedia, sehingga terdapat gap
yang disebut inflationaty gap.
Teori Struktural
Teori ini berlandaskan kepada struktur perekonomian dari suatu negara (umumnya negara
berkembang). Menurut teori ini, inflasi disebabkan oleh :
Ketidak-elastisan penerimaan eksport. Hasil ekspor meningkat namun lambat dibandingkan
dengan pertumbuhan sektor lainnya. Peningkatan hasil eksport yang lambat antara lain
disebabkan karena harga barang yang dieksport kurang menguntungkan dibandingkan
dengan kebutuhan barang-barang import yang harus dibayar. Dengan kata lain daya tukar
barang-barang negera tersebut semakin memburuk.
Ketidak-elastisan Supply produksi bahan makanan. Terjadi ketidakseimbangan antara
pertumbuhan produksi bahan makanan dengan jumlah penduduk, sehingga mengakibatkan
kelonjakan kenaikan harga bahan makanan. Hal ini dapat menimbulkan tuntutan kenaikan
upah dari kalangan buruh atau pegawai tetap akibat kenaikan biaya hidup. Kenaikan upah
selanjutnya akan meningkatkan biaya produksi dan mendorong terjadinya inflasi.
Suku bunga SBI
Menurut Samsul (2006), suku bunga SBI adalah biaya untuk meminjam uang dan
diukur dalam dollar per tahun untuk setiap satu dollar yang dipinjamnya.
Menurut Sunariyah (2003), tingkat bunga ditentukan oleh permintaan dan penawaran akan
uang (yang akan ditentukan dalam pasar uang). Perubahan tingkat suku bunga SBI
selanjutnya akan mempengaruhi keinginan seseorang/institusi untuk melakukan suatu
investasi. Contohnya ada pada surat-surat berharga, dimana harga dari surat-surat berharga
tersebut dapat naik ataupun turun, yang kenaikan ataupun penurunannya sangat
tergantung pada level berapa tingkat bunga yang terjadi pada saat itu (bila tingkat bunga
naik, maka harga dari surat-surat berharga tersebut akan turun dan begitu juga sebaliknya),
sehinggga kemungkinan besar para pemegang surat-surat berharga akan mendapat
kerugian (capital loss) ataupun mendapat keuntungan (capital gain).
Pada suku bunga SBI terdapat dua jenis yaitu; Pertama adalah suku bunga nominal suku bunga dalam nilai uang tertentu. Suku bunga ini merupakan nilai yang dapat dibaca
secara umum dan menunjukan sejumlah rupiah yang akan diterima untuk setiap satu satuan
rupiah yang diinvestasikan. Kedua adalah suku bunga riil - suku bunga yang telah
terkoreksi akibat adanya inflasi. Dimana suku bunga ini adalah suku bunga nominal
dikurangi tingkat inflasi.
Menurut Brigham dan Houston Suku bunga SBI adalah jumlah bunga yang
dibayarkan per unit waktu yang disebut sebagai persentase dari jumlah yang dipinjamkan.
Modal dialokasikan diantara para peminjam dengan tingkat bunga perusahaan dengan
peluang investasi yang paling menguntungkan akan bersedia dan mampu untuk membayar
sebagian besar modal, sehingga perusahaan tersebut cenderung menariknya dari
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien atau dari perusahaan yang produknya sedang
tidak dibutuhkan (Agus, 2001).
Pada dasarnya suku bunga SBI menurut Keynes (2003) dapat dibedakan menjadi
suku bunga SBI sederhana dan suku bunga SBI majemuk. Suku bunga SBI sederhana
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
7
mengambil asumsi bahwa yang dinvestasikan hanya jumlah pokok investasinya saja
sedangkan bunga tidak ikut di investasikan.
Nilai Tukar
Menurut Sugiyono (2008) nilai tukar mata uang adalah sejumlah besaran uang pada
suatu mata uang yang dapat dipertukarkan kepada sejumlah besaran uang pada suatu mata
uang lainnya, atau harga dari satu mata uang yang dapat dipertukarkan kepada sejumlah
besaran uang pada mata uang lainnya.
Sedangkan menurut Hamzah (2002), nilai tukar adalah harga rupiah terhadap mata
uang negara lain. Jadi nilai tukar rupiah merupakan nilai dari satu mata uang rupiah yang
ditranslasikan ke dalam mata uang negara lain. Misalnya nilai tukar Rupiah terhadap
Dollar-US, Yen-Jepang, EURO-Uni Eropa, dan lain sebagainya.
Kurs ataupun nilai tukar inilah yang juga menjadi salah satu indikator yang
mempengaruhi perdagangan di pasar uang dan saham, karena melemahnya kurs Rupiah
terhadap mata uang asing khususnya Dollar AS, akan memiliki pengaruh negatif terhadap
perekonomian dan pasar modal (Sitinjak, 2003).
Dalam perekonomian internasional, perubahan kurs atau konvertabilitas mata uang
(currency convertability), yaitu penggunaan mata uang yang dapat dengan mudah
dipertukarkan dengan mata uang lain - International Convertible Curenncy. Dimana penentuan
nilai tukar ini menjadi sangat penting bagi perekonomian suatu negara karena hal tersebut
merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan
mengisolasi perekonomian suatu negara dari gejolak perekonomian global ( Hamzah, 2010).
Nilai tukar ini menjadi suatu yang sangat fundamental, karena kegiatan pembiayaan
ekspor dan/atau impor membutuhkan suatu alat pembayaran yang sah dan berlaku secara
internasional, bahkan kemampuan dan kondisi perekonomian suatu negara dapat
ditentukan oleh adanya fluktuasi dari nilai tukar tersebut. Karena nilai tukar ini memang
secara alami dapat berubah-ubah atau berfluktuasi sepanjang masa, dimana faktor-faktor
yang mempengaruhinya adalah relative price, relative interest rate, relative economic growth rates
& current acount balance.
Dari tahun 2000 hingga tahun 2010, nilai tukar Rupiah terhadap US Dolar sempat
menyentuh ke-titik terendahnya yaitu Rp. 12,360.00 per 1 US$ pada bulan November 2008.
Devaluasi ini disebabkan juga oleh krisis subprime mortgage di US, yang menyebabkan
terjadinya krisis global di seluruh dunia, yang kemudian menyebabkan terjadinya kenaikan
inflasi (imported inflation) di Indonesia.
Peristiwa diatas tentunya akan membuat persepsi investor menjadi buruk, dimana
situasi ini akan membuat perekonomian Indonesia melambat serta akan memperburuk
kinerja emiten di BEI. Sehingga akibatnya para investor mengurangi bobot portofolio
sahamnya untuk menghindari kerugian yang akan mungkin terjadi.
Harga Saham
Harga saham merupakan harga jual beli yang sedang berlaku di pasar efek yang
ditentukan oleh kekuatan pasar dalam arti tergantung pada kekuatan permintaan
(penawaran) dan penawaran (permintaan jual). Harga pasar saham juga menunjukkan nilai
dari perusahaan itu sendiri. Semakin tinggi nilai dari harga pasar saham suatu perusahaan,
maka investor akan tertarik untuk menjual sahamnya. Bursa saham merupakan salah satu
indikator perekonomian suatu negara maka diperlukan suatu perhitungan tentang transaksi
yang terjadi dalam bursa sepanjang periode tertentu. Perhitungan ini akan digunakan
sebagai tolak ukur kondisi perekonomian suatu negara.
Penetapan harga saham dalam proses kegiatan emisi saaham oleh suatu
perusahaan emiten merupakan hal yang sangat penting, karena proses ini mempengaruhi
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
8
proses dari emisi itu sendiri. Menurut sunariyah (2003:170), harga saham diartikan sebagai
harga pasar ( market value) yaitu harga saham yang ditentukan dan dibentuk oleh mekanisme
pasar modal. Harga saham pada hakikatnya merupakan penerimaan besarnya pengorbanan
yang harus dilakukan oleh setiap investor untuk penyertaan dalam perusahaan.
Harga saham dipasar sekunder akan bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan
dan penawaran yang terjadi atas saham. Tinggi rendahnya harga saham lebih banyak
dipengaruhi oleh pertimbangan pembeli dan penjual tentang kondisi internal dan eksternal.
Penentuan harga saham merupakan keputusan yang didasarkan informasi tentang
perusahaan. Investor pada umumnya akan memperoleh informasi pertama tentang
perusahaan melalui prospectus keuangan perusahaan jika informasi itu cukup berkualitas,
sehingga keputusan yang dibuat oleh pemakai informasi akan semakin baik. Dengan
tersedianya informasi yang berkualitas dapat membantu investor untuk menentukan harga
sekuritas secara wajar. Harga saham merupakan fungsi nilai perusahaan. Dengan demikian,
seberapa jauh relevansi atau kegunaan suatu informasi dapat diketahui dengan mempelajari
hubungan antara pergerakan harga atau (return) saham dengan keberadaan informasi
tersebut.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Saham
Banyak faktor yang mempengaruhi harga saham, yakni seluruh yang terkait
dengan pasar dan bisa berpengaruh pada harga. Harga saham dipengaruhi oleh beberapa
faktor internal, eksternal, dan teknikal. Karena banyaknya faktor yang bisa mempengaruhi
harga saham, dengan sendirinya kapan saham naik dan kapan saham turun tak bisa
ditentukan dengan tepat. Paling tidak investor hanya bisa memprediksi harga saham.
Prediksipun berdasarkan kecenderungan (trend), yang bekalnya adalah kinerja historikal
dari pergerakan harga saham.
Menurut Samsul (2006:209), untuk menilai sekuritas khususnya saham dapat dipengaruhi
oleh faktor makro dan faktor mikro.
Faktor makro
Faktor makro merupakan faktor yang berada di luar perusahaan, tetapi mempunyai
pengaruh terhadap kenaikan atau penurunan kinerja perusahaan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Faktor makro mempengaruhi kinerja perusahaan dan perubahan kinerja perusahaan
secara fundamental mempengaruhi harga saham di pasar. Investor akan memberi nilai
saham sesuai dengan kinerja perusahaan saat ini dan prospek kinerja perusahaan di masa
datang. Jika kinerja meningkat, maka harga saham akan meningkat dan jika kinerja
menurun, maka harga saham akan menurun. Jika salah satu variabel makro berubah, maka
investor akan bereaksi positif atau negative tergantung pada apakah perubahan variabel
makro itu bersifat positif atau negative di mata investor. Faktor makro terdiri dari :
1. Interest Rate
2. Inflation
3. Economic Grouth Rate
4. Regulation
5. Foreign Exchange Rate
Faktor mikro
Faktor mikro merupakan faktor yang berada di dalam perusahaan, yang mempunyai
pengaruh terhadap kenaikan atau penurunan kinerja perusahaan baik secara langsung. Baik
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
9
buruknya kinerja perusahaan tercermin dari rasio-rasio keuangan yang secara rutin
diterbitkan oleh emiten. Pada umumnya, perusahaan yang sudah go public diwajibkan oleh
peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam untuk menerbitkan laporan keuangan baik yang
sudah diaudit maupun yang belum diaudit.
Faktor mikro yang mempunyai pengaruh terhadap harga saham suatu perusahaan berada
dalam perusahaan itu sendiri, yaitu variabel-variabel :
1. Laba bersih per saham (EPS)
2. Nilai buku per saham (BVS)
3. Rasio ekuitas terhdap utang (DER)
4. Rasio laba bersih terhadap ekuitas (ROE)
5. Current Ratio (CR)
6. Return On Invesment (ROI)
7. Price Earning Ratio (PER)
8. Debt Price Ratio (DPR)
Rasio keuangan lainnya, seperti current ratio, quick ratio, cash rasio, inventory turnover,
dan account receivable lebih mencerminkan kekuatan manajemen dalam mengendalikan
operasional. Jika rasio keuangan sangat baik tetapi hasil akhirnya yang tercermin dalam
harga saham, rasio ekuitas terhadap utang, dan return on equity sangat rendah, maka hal itu
tidak berarti apa-apa bagi investor. Oleh karena itu, bagi investor yang penting adalah hasil
akhir yang dicapai manajemen dan bukan proses atau cara memperoleh hasil tersebut
(Samsul, 2006:2004).
Sertifikasi Bank Indonesia
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.8/13/DPM tentang Penerbitan
Sertifikat Bank Indonesia melalui Lelang. Maka SBI adalah surat berharga dalam mata uang
Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indoenesia (BI) sebagai pengakuan utang berjangka
waktu pendek. Tujuan dari penerbitan SBI adalah untuk menjaga stabilitas moneter, yaitu BI
berkewajiban memelihara kestabilan nilai rupiah. Dengan suatu paradigma yang dianut
yaitu, jumlah uang primer (uang kartal + uang giral di BI) yang berlebihan dapat
mengurangi kestabilan nilai Rupiah. SBI diterbitkan dan dijual oleh BI untuk mengelola
kelebihan uang primer tersebut.
Dasar hukum penerbitan SBI adalah UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral,
Surat Keputusan Direksi BI No.31/67/KEP/DIR tanggal 23 Juli 1998 tentang Penerbitan dan
Perdagangan SBI serta Intervensi Rupiah, dan Peraturan BI No.6/2/PB I/2004 tanggal 16
Februari 2004 tentang BI - Scripless Securities Settelement System.
Adapun karakteristik SBI adalah; 1) Jangka waktu maksimum 12 bulan dan
sementara waktu hanya diterbitkan untuk jangka waktu 1, 3, dan 6 bulan. 2) Denominasinya
dari yang terkecil Rp. 50 juta hingga yang terbesar Rp. 100 miliar. 3) Pembelian SBI oleh
masyarakat minimal Rp. 100 juta dan selebihnya dengan kelipatan Rp. 50 juta. 4) Pembelian
SBI menggunakan nilai tunai berdasarkan diskonto murni (true discount) dengan rumus
perhitungan yaitu; Nilai Tunai = [nilai nominal * 360 hari] dibagi dengan {360 hari + [tingkat
diskonto * jangka waktu]}. 5) Pembelian SBI memperoleh hasil berupa diskonto yang dibayar
di muka. Nilai diskoto = nilai nominal - nilai tunai. 6) Pajak penghasilan (PPh) atas diskonto
dikenakan secara final sebesar 15%. 7) SBI diterbitkan tanpa warkat (scripless). 8) SBI dapat
diperdagangkan di pasar sekunder.
Sistem perdagangan SBI adalah dengan sistem lelang, penggunaan SBI pada
dasarnya sama dengan Treasury Bills (T-Bills) di pasar uang AS. Dengan instrumen SBI ini
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
10
maka secara tidak langsung BI akan dapat mempengaruhi tingkat bunga di pasar uang
dengan cara menggunakan Stop Out Rate (SOR).
SOR adalah tingkat suku bunga yang diterima oleh Bank Indonesia atas penawaran
tingkat bunga dari peserta lelang. Selanjutnya SOR tersebut akan dapat digunakan sebagai
indikator tingkat suku bunga transaksi di pasar uang pada umumnya.
Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan oleh
mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal Juli 2005, BI menggunakan
mekanisme "BI rate" (suku bunga BI), yaitu BI mengumumkan target suku bunga SBI yang
diinginkan BI untuk pelelangan pada masa periode tertentu. BI rate ini kemudian yang
digunakan sebagai acuan para pelaku pasar dalam mengikuti pelelangan.
Tujuan Penerbitan SBI
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia berkewajiban memelihara kestabilan nilai
rupiah. Dalam paradigma yang dianut, jumlah uang primer (uang kartal ditambah uang
giral di Bank Indonesia ) yang berlebihan dapat mengurangi kestabilan nilai rupiah. SBI
diterbitkan dan dijual oleh Bank Indonesia untuk mengurangi kelebihan uang tersebut.
Dasar Hukum Penerbitan SBI
Adapun dasar hukum penerbitan Sertifikat Bank Iindonesia adalah surat keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 31/67/KEP/DIR tanggal 23 Juli 1998 tentang penerbitan dan
perdagangan SBI serta intervensi Rupiah.
Pihak yang Berhak Memiliki SBI
Sejalan dengan ide dasar penerbitan SBI sebagai salah satu piranti operasi pasar
terbuka, penjualan SBI diprioritaskan pada lembaga perbankan. Tetapi tidak tertutup
kemungkianan masyarakat baik perorangan maupun perusahaan untuk dapat memiliki SBI.
Pembelian SBI oleh masyarakat tidak dapat dilakukan secara langsung kepada Bank
Indonesia , melainkan harus melalui bank umum serta pialang pasar uang dan pialang pasar
modal yang ditunjuk Bank Indonesia .
Karakteristik SBI
1. Jangka waktu maksimum 12 bulan.
2. Denominasi dari yang terendah Rp. 50 juta sampai tertinggi Rp. 100 Milyar.
3. Pembelian SBI oleh masyararakat minimal Rp. 100 juta dan selebihnya dengan kelipatan
Rp. 50 juta.
4. SBI diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto.
5. Nilai diskonto dihitung sebagai berikut:
Nilai diskonto: Nilai nominal – Nilai tunai
Exchange Rutes (nilai tukar uang) atau yang lebih populer dikenal dengan sebutan
kurs mata uang adalah catatan harga pasar dari mata uang asing (foreign currency)dalam
harga mata uang domestik (domestic currency) atau resiprokalnya, yaitu harga mata uang
domestik dalam mata uang asing. Nilai mata uang merepresentasikan tingkat harga
pertukaran dari satu mata uang ke mata uang yang lainnya dan digunakan dalam berbagai
transaksi, antara lain transaksi perdagangan internasional, turisme, investasi internasional,
ataupun aliran uang jangka pendek antar Negara, yang melewati batas-batas geografis
ataupun batas-batas hukum.
Karena setiap Negara mempunyai hubungan dalam investasi dan perdagangan
dengan beberapa Negara lainnya, maka tidak ada satu nilai tukar yang dapat mengukur
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
11
secara memadai daya beli (purchasing power) dari mata uang domestik atas mata uang
asing secara umum. Konsep-konsep dari nilai tukar yang efektif telah dikembangkan untuk
mengukur rata-rata tertimbang (weighted average) harga dari mata uang asing dalam mata
uang domestik. Begitu juga berbagai skema penimbangan (weighting) telah diajukan,
termasuk di dalamnya timbangan (weight) impor untuk merefleksikan daya beli terhadap
barang-barang impor, timbangan perdagangan bilateral untuk merefleksikan pentingnya
hubungan perdagangan dengan negara asing tertentu, timbangan perdagangan global untuk
mereflesikan pentingnya berbagai mata uang dalam perdagangan global (dunia), dan juga
timbangan elastisitas porsi perdagangan untuk merefleksikan tingkatan yang berbeda dari
daya saing (competitiveness) sebuah Negara dengan Negara-negara lainnya.
Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI Terhadap Harga Saham
Menurut Hamzah (2002), kenaikan suku bunga SBI akan berakibat terhadap
menurunnya harga saham begitu juga sebaliknya. Dalam menghadapi kenaikan suku bunga
SBI, para pemegang saham cenderung akan menjual sahamnya sampai tingkat suku bunga
kembali pada tingkat yang dianggap normal.
Kenaikan suku bunga SBI akan sangat berpengaruh bagi pelaku pasar modal.
Pergerakan suku bunga SBI yang fluktuatif dan cenderung meningkat akan mempengaruhi
pergerakan sektor rill yang dicerminkan oleh pergerakan return saham. Akibat
meningkatnya suku bunga SBI, para pemilik modal akan lebih suka menanamkan uangnya
di bank dari pada berinvestasi dalam bentuk saham (Hamzah, 2010).
Suku bunga SBI yang rendah akan menyebabkan biaya peminjaman yang lebih
rendah. Suku bunga SBI yang rendah akan merangsang investasi dan aktivitas ekonomi
yang akan menyebabkan harga saham meningkat. Dalam dunia properti, suku bunga SBI
berperan dalam meningkatkan aktivitas ekonomi sehingga berdampak kuat pada kinerja
perusahaan properti yang berakibat langsung pada meningkatnya return saham. Pengaruh
signifikan dari suku bunga terhadap harga saham sebagaimana yang ditemukan Samsul
(2006) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif antara suku bunga dan harga
saham.
Kaitan antara suku bunga SBI dan harga saham dikemukakan pula oleh Keynes
(2003) yang menyatakan bahwa perubahan harga saham dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yang salah satunya adalah suku bunga. Hal tersebut didukung pula dengan penelitian yang
dilakukan oleh Utami (2003) yang menemukan secara empiris pengaruh suku bunga
terhadap harga saham selama krisis di Indonesia. Teori tersebut didukung dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sugiyono (2008) bahwa suku bunga berpengaruh negatif
terhadap harga saham.
Jadi dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat suku bunga SBI
berpengaruh terhadap harga saham. Dengan kata lain, apabila ada perubahan tingkat suku
bunga SBI, maka akan berpengaruh terhadap harga saham.
Analisis Fundamental
Analisis fundamental mencoba memperkirakan harga saham di masa yang akan datang
dengan,
i. Mengestimasi nilai faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi harga saham di masa
yang akan datang.
ii. Menerapkan hubungan variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga
saham.
Model ini sering disebut sebagai share price forecasting model, dan sering dipergunakan dalam
berbagai pelatihan analisis sekuritas.
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
12
Dalam membuat model peramalan harga saham tersebut, langkah yang penting adalah
mengidentifikasikan faktor-faktor fundamental (seperti penjualan, pertumbuhan penjualan,
biaya, kebijikan dividen, dan sebagainya) yang diperkirakan akan mempengaruhi harga
saham. Setelah itu, bagaimana membuat suatu model dengan memasukkan faktor-faktor
tersebut dalam analisis. Para praktisi cenderung menyukai penggunaan model yang tidak
terlalu rumit, mudah dipahami, dan mendasarkan diri atas informasi akuntansi.
Rerangka Pemikiran
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan pada landasan teori maka dapat
disusun kerangka pikir yang menggambarkan tentang pemerolehan return yang ditentukan
oleh harga saham di BEI, dimana harga tersebut dipengaruhi oleh Tingkat Inflasi, Suku
Bunga SBI dan Nilai Tukar, kerangka berfikirnya dapat dilihat sebagai berikut :
INFLASI
(X1)
SUKU BUNGA
(X2)
HARGA SAHAM
(Y)
NILAI TUKAR
(X3)
Gambar 1
Model Penelitian
Perumusan Hipotesis
Hipotesis merupakan proposisi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara
empiris dan biasanya dikembangkan dari telaah teoritis sebagai jawaban sementara dari
masalah atau pertanyaan penelitian yang memerlukan pengujian secara empiris.
1. H1 : Tingkat Inflasi berpengaruh signifikan terhadap harga saham pada perusahaan
Telekomunikasi di Bursa Efek Indonesia periode 2011 – 2012.
2. H2 : Suku Bunga SBI berpengaruh signifikan terhadap harga saham perusahaan
Telekomunikasi di Bursa Efek Indonesia periode 2011 – 2012.
3. H3 : Nilai Tukar berpengaruh signifikan terhadap harga saham pada perusahaan
Telekomunikasi di Bursa Efek Indonesia periode 2011 – 2012.
4. H4 : Tingkat Inflasi, Suku bunga SBI dan Nilai Tukar secara simultan berpengaruh
positif terhadap harga saham pada perusahaan Telekomunikasi di Bursa Efek Indonesia
periode 2011 – 2012.
5. H5 : Nilai Tukar berpengaruh secara dominan terhadap harga saham pada perusahaan
Telekomunikasi di Bursa Efek Indonesia periode 2011 – 2012.
Teknik Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sample secara non random
sampling yaitu pemilihan dari suatu populasi tidak harus memberi kesempatan yang sama
kepada semua anggota populasi untuk menjadi anggota sampel, lebih khususnya
menggunakan metode purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan kriteriakriteria atau pertimbangan-pertimbangan tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
13
terhadap obyek yang akan diteliti. Pengambilan sampel ini didasarkan pada pertimbanganpertimbangan atau kriteria-kriteria sebagai berikut :
1. Sample yang dipilih adalah perusahaan jasa telekomunikasi yang go public di Bursa Efek
Indonesia pada periode tahun yang diteliti (tahun 2011-2012).
2. Saham perusahaan jasa telekomunikasi aktif diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia
pada periode tahun yang diteliti (tahun 2011-2012).
3. Laporan keuangan perusahaan periode 2011-2012 tersedia di Bursa Efek Indonesia.
Melihat adanya kriteria-kriteria tersebut diatas, dengan demikian ada 5 perusahaan
yang memenuhi kriteria menjadi sampel sebagai berikut :
TABEL 1
Daftar Perusahaan Telekomunikasi yang Digunakan Sebagai Sampel
No
Kode
1
BTEL
2
EXCL
3
ISAT
4
TLKM
5
FREN
6
TELE
Sumber Bursa Efek Indonesia
Nama Emiten
PT. Bakrie Telcom Tbk
PT. XL Axiata Tbk
PT. Indosat Tbk
PT. Telekomikasi Indonesia Tbk
PT. Smartfren Telecom Tbk
PT. Inovisi Infracom Tbk
Teknik Pengumpulan Data
a. Jenis Data
Di dalam penelitian ini pengumpulan data dan penafsiran hasilnya menggunakan
angka, maka penelitian ini dinamakan penelitian kuantitatif, serta jenis data yang
digunakan oleh peneliti bersumber dari data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari
sumber selain responden yang menjadi sasaran penelitian. Data sekunder berupa bukti,
catatan atau laporan historis yang tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang
terpublikasi dan yang tidak terpublikasi.
b. Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder
yang diperoleh dari Pojok BEI Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia pada tahun 2011
dan tahun 2012.
c. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan salah satu bagian dalam penelitian, yaitu suatu
kegiatan pengadaan data untuk keperluan penelitian. Menurut Moh Nazir pengumpulan
data adalah suatu prosedur yang sistematik dan standard untuk memperoleh data yang
diperlukan.
Dalam menggunakan metode ini, penulis memperoleh data tentang laporan
perusahaan telekomunikasi dan saham perusahaan telekomunikasi dalam Bursa Efek
Indonesia.
Variabel dan Definisi Operasional Variabel
Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi :
1. Variabel Bebas, yang meliputi : Tingkat Inflasi, Suku Bunga SBI dan Nilai Tukar.
2. Variabel Terikat, adalah Harga Saham.
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
14
Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel adalah kalimat penjelas tentang bagaimana operasi
atau kegiatan yang harus dilakukan untuk memperoleh data yang dimaksud. Variabel
sebagai segala sesuatu yang akan dijadikan objek penelitian dan faktor yang berperan
dalam peristiwa yang akan diteliti dengan pemberian simbol dan ukuran.
Adapun definisi operasional variabel yang digunakan dalam pembahasan adalah
sebagai berikut :
1. Tingkat Inflasi sebagai variabel bebas (X1)
Tingkat inflasi berguna untuk mengetahui suatu proses yang terjadi karena kenaikan
harga secara umum, yaitu adanya kecenderungan bahwa harga barang meningkat secara
terus-menerus.
2. Suku Bunga SBI sebagai variabel bebas (X2)
Suku bunga berguna sebagai biaya meminjam uang yang diukur dalam waktu satu tahun
dan tidak berpengaruh terhadap harga saham.
3. Nilai Tukar (X3)
Nilai tukar berguna menjadi sesuatu yang sangat fundamental, karena kegiatan
pembiayaan ekspor dan impor membutuhkan suatu alat pembayaran yang sah dan
berlaku secara internasional, bahkan kemampuan serta kondisi perekonomian suatu
negara dapat ditentukan oleh adanya fluktuasi dari nilai tukar tersebut.
4. Harga Saham sebagai variabel terikat (Y)
Harga saham di dalam penelitian ini merupakan variabel dependen, yaitu yang
berpengaruh dalam variabel independennya (Inflasi, Suku Bunga dan Nilai Tukar).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengujian Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
terikat atau pengganggu dan variabel bebas keduanya atau residual memiliki distribusi
normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau
mendekati normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan
ploting data akan dibandingkan dengan garis diagonal (Ghozali, 2009: 107).
Seperti yang diketahui juga bahwa uji T dan F mengansumsikan bahwa nilai
residual mengikuti distribusi normal, Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi
tidak valid untuk jumlah sample kecil. Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual
berdistribusi normal atau tidak yaitu dengan grafik dan uji statistik (Ghozali, 2006).
1. Analisis Grafik
Salah satu cara termudah melihat normalitas residual adalah dengan melihat grafik
histogram dengan membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang
mendekati normal. Metode lain yang dapat digunakan adalah dengan melihat normal
probability plot yang membandingkan distribusi komulatif dari distribusi normal. Dasar
pengambilan keputusan dari analisis normal probability plot adalah sebagai berikut :
a. Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis menunjukkan
pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.
b. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal atau tidak mengikuti arah garis diagonal,
maka tidak menunjukkan pola distribusi normal, dan model regresi ini tidak memenuhi
asumsi normalitas.
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
15
2. Analisis Statistik
Untuk mendeteksi normalitas data dapat pula dilakukan melalui analisis statistik yang
salah satunya dapat dilihat melalui Uji t dan Uji F.
Dalam grafik normalitas plot terlihat data mengumpul di sekitar garis diagonal dan
mengikuti arah garis diagonal, maka dapat disimpulkan variabel memiliki data yang
terdistribusi normal. Hal ini mengindikasikan bahwa penelitian ini layak menggunakan
parametrik, seperti : uji t dalam pembahasannya.
Sedangkan untuk uji sample Kolmogorov-Smirnov Test dalam statistik dapat
ditunjukkan dengan tabel 2 berikut ini.
Tabel 2
Uji Normalitas
Descriptive Statistics
N
Minimum Maximum
Mean
Std.
Deviation
Tingkat Inflasi
104
12.41%
801.65%
218.3004%
168.44035%
Suku Bunga SBI
104
5.00%
83.00%
43.4712%
18.03285%
Nilai Tukar
104
26.69%
120.91%
30.3990%
28.24474%
Harga Saham
104
23.940%
270.080%
96.10106%
55.050360%
Valid N
104
(listwise)
Sumber : Data sekunder yang diolah
Data dalam tabel 2 menunjukkan Tingkat Inflasi, Suku Bunga SBI, Nilai Tukar dan
Harga Saham yang hasil statistik Kolmogorov – Smirnov Testnya normal. Dimana
standard deviasi dari data tersebut yaitu 168,44035 (TI), 18,03285 (SBI), 28,24474 (NT) dan
55,050360 (HS).
Pengujian Asumsi Klasik
Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas ditujukan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dan residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika
variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut
homoskedastis dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas Model regresi yang baik
adalah yang homokedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas.
Cara untuk mendeteksinya atau melihat ada tidaknya heterokedasitisitas adalah dilakukan
dengan cara melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat atau dependen
(ZPRED) dengan residualnya (SRESID). Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat
dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scaterplot antar SRESID
dan ZPRED, dapat ditunjukkan dengan sumbu X adalah residual (Y prediksi – Y
sesungguhnya) yang telah distudentized.
Dasar analisis dari uji heteroskedastis melalui grafik plot dapat diperlihatkan sebagai
berikut (Ghozali, 2009: 37):
1). Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur
(bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi
heteroskedastisitas.
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
16
2). Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0
pada sumbu Y secara acak, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
Dalam gambar 3 (scatter plot) terlihat tidak ada pola yang jelas, serta titik – titik menyebar
di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka dapat disimpulkan tidak terjadi
heteroskedastisitas.
Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan
adanya korelasi yang tinggi atau sempurna antar variabel bebas atau disebut juga dengan
independen (Ghozali, 2009; 25).
Untuk mengetahui apakah terjadi multikolinearitas dalam suatu model regresi dapat
dilihat dari nilai VIF (Variance Inflation Factor). Regresi bebas dari gangguan
multikolinieritas apabila nilai VIF<10. Berdasarkan pengujian uji asumsi multikolinieritas
dengan SPSS, didapatkan output sebagai berikut:
Tabel 3
Uji Multikolinieritas
1
Coefficientsa
Collinearity
Model
Statistics
Tolerance
VIF
Tingkat Inflasi
.662
1.511
Suku Bunga SBI
.625
1.601
Nilai Tukar
.913
1.095
a. Dependent Variable: Harga Saham
Sumber : Data sekunder yang diolah
Hasil yang diperoleh bahwa semua variabel bebas memiliki angka VIF 10, antara lain
untuk VIF pada variabel Tingkat Inflasi (X1) sebesar 1,511; VIF variabel Suku Bunga SBI
(X2) sebesar 1,601; VIF untuk variabel Nilai Tukar (X3) sebesar 1,095. Melihat hasil VIF pada
semua variabel penelitian yaitu < 10, maka data-data penelitian digolongkan tidak
terdapat gangguan multikolinearitas dalam model regresinya.
Uji Autokorelasi
Uji autokolerasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linier ada
kolerasi antar kesalahan penggangu (residual) pada periode t dengan kesalahan pada
periode t-1 (sebelumnya). Penyimpangan asumsi ini biasanya muncul pada observasi yang
menggunakan data time series. Penyimpangan autokorelasi dalam penelitian di uji dengan
uji Durbin-Watson (DW-test) (Santoso, 2002: 219).
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
17
Tabel 4
Uji Autokorelasi
Model Summaryb
Durbin-Watson
Model
1
1.820a
a. Predictors: (Constant), Nilai Tukar, Suku Bunga SBI,
Tingkat Inflasi
b. Dependent Variable: Harga Saham
Dari tabel hasil perhitungan di atas dapat dilihat nilai DW sebesar 1,820. Dapat
disimpulkan tidak terdapat autokorelasi karena nilai Durbin Watson berada antara 1,764 <
DW > 2,236. Dengan demikian asumsi non autokorelasi terpenuhi.
Sedangkan di dalam tabel interval koefisiensi korelasi 1,820 terletak lebih dari 0,80 – 1,000
maka terjadi hubungan yang sangat kuat dan non autokorelasi terpenuhi.
4.2.1. Regresi Linier Berganda
Penelitian ini menganalisis pengaruh Tingkat Inflasi (X1), Suku Bunga SBI (X2) dan Nilai
Tukar (X3) terhadap Harga Saham (Y) pada perusahaan Telekomunikasi yang tercatat di
BEI periode 2011 – 2012. Hasil persamaan regresi dapat dilihat pada tabel 5 :
Tabel 5
Persamaan Regresi
Model
1
(Constant)
Tingkat Inflasi
Suku Bunga
SBI
Nilai Tukar
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error Harga Saham
117.449
24.853
.020
.039
.063
T
Sig.
4.726
.520
.000
.006
.113
.379
.037
.297
.767
.428
.200
.220
2.139
.035
a. Dependent Variable: Harga Saham
Sumber : Data sekunder yang diolah
Dari tabel diperoleh hasil regresi linier berganda yaitu sebagai berikut :
Y = 117,449 + 0,020 (TI) + 1,113 (SBI) + 0,428 (NT)
Dan pembahasan model regresi tersebut dapat dijelaskan bahwa :
a. Konstanta dikatakan nilai mutlak y apabila Tingkat Inflasi, Suku Bunga SBI dan Nilai
Tukar = 0, maka Harga Saham sebesar 117,449.
b. Koefisien regresi X1 (Tingkat Inflasi) sebesar 0,020 artinya apabila pada Tingkat Inflasi
naik sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan Harga Saham sebesar 2,0% ; bila variabel
lain konstan.
c. Koefisien regresi X2 (Suku Bunga SBI) sebesar 1,113 artinya apabila pada Suku Bunga
SBI naik sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan Harga Saham sebesar 111,3% ; bila
variabel lain konstan.
d. Koefisien regresi X3 (Nilai Tukar) sebesar 0,428 artinya apabila ROE naik sebesar 1%
akan menyebabkan kenaikan Harga Saham sebesar 42,8% ; bila variabel lain konstan.
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
18
Goodness of Fit
Analisis Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model
dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai R 2 terletak antara 0 sampai dengan 1
(0 ≤ R2 ≤ 1). Tujuan menghitung koefisien determinasi adalah untuk mengetahui pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat.
Jika dalam proses mendapatkan nilai R2 yang tinggi adalah baik, tetapi jika nilai R2 rendah
tidak berarti model regresi jelek (Ghozali, 2009: 15).
Nilai R2 pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 6 :
Tabel 6
Output Koefisien Determinasi
Model Summary
Model
R
R Square
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
a
1
.766
.655
.375
111.69998
a.
Predictors: (Constant), Nilai Tukar, Suku Bunga SBI, Tingkat Inflasi
b.
Dependent Variabel: Harga Saham
Sumber : Data sekunder yang diolah
Nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,375 Hal ini berarti varians Tingkat
Inflasi (X1), Suku Bunga SBI (X2), Nilai Tukar (X3) dapat menjelaskan harga saham (Y)
sebesar 37,5%. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 100% - 37,5 = 62,5% dijelaskan oleh faktor
– faktor lain diluar dari variabel-variabel yang di teliti.
Uji F
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang
dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama/ simultan terhadap
variabel dependen ( Ghozali, 2009 :16).
Berikut hasil Uji F yang diolah menggunakan SPSS disajikan dalam tabel 7 :
Tabel 7
Uji F
ANOVAa
Model
Sum of
Squares
Df
Regression
34855.924
1
Residual
297289.911
Total
312145.835
a. Dependent Variable: Harga Saham
4
99
103
Mean
Square
8713.981
3002.928
F
Sig.
2,902
b. Predictors: (Constant), Nilai Tukar, Suku Bunga SBI, Tingkat Inflasi
Sumber : Data sekunder yang diolah
.037b
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
19
Dari tabel uji F dapat dilihat, nilai signifikansi sebesar 0,037 dan nilai F hitung sebesar
2,902 Nilai signifikan lebih kecil dari 0,05 (0,037<0,05) menunjukkan adanya pengaruh
Tingkat Inflasi, Suku Bunga SBI dan Nilai Tukar terhadap Harga Saham. Maka dapat
disimpulkan variabel Tingkat Inflasi, Suku Bunga SBI dan Nilai Tukar tidak berpengaruh
secara simultan terhadap harga saham.
Uji t
Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan
antara variabel bebas : Tingkat Inflasi(X1), Suku Bunga SBI (X2) dan Nilai Tukar (X3)
terhadap Harga Saham (Y). Berikut hasil uji t disajikan dalam tabel 8 :
Tabel 8
Uji t
Model
1
Coefficientsa
T
(Constant)
Tingkat Inflasi
Suku Bunga SBI
Nilai Tukar
Sig.
4.726
.520
.297
2.139
.000
.006
.767
.035
a. Dependent Variable: Harga Saham
Sumber: Data sekunder yang diolah
Dari tabel 8 terlihat 2 variabel yang signifikan yaitu Tingkat Inflasi dan Nilai Tukar serta 1
variabel yang tidak signifikan yaitu Suku Bunga SBI, Hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
1. Variabel Tingkat Inflasi yaitu nilai t hitung yaitu sebesar 0,520 serta nilai signifikansi
yang lebih kecil dari 0,05 (0,006<0,05) hal ini berarti berpengaruh secara signifikan
terhadap Harga Saham.
2. Variabel Suku Bunga SBI memiliki nilai t hitung yaitu sebesar 0,297 serta nilai
signifikansi lebih besar dari 0,05 (0,767>0,05) hal ini berarti tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap Harga Saham.
3. Variabel Nilai Tukar memiliki nilai t hitung yaitu sebesar 2,139 serta nilai signifikansi
lebih kecil dari 0,05 (0,035<0,05) hal ini berarti berpengaruh secara signifikan terhadap
Harga Saham.
Koefisien Determinasi Parsial
Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana kontribusi dari masing-masing
variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) secara individu (parsial). Dimana analisis ini
dinyatakan oleh besarnya kuadrat koefisien parsial dengan kata lain r2 = koefisien
determinasi parsial.
Jika nilai r2 dari variabel bebas secara parsial menunjukkan angka yang terbesar,
maka variabel tersebut punya pengaruh dominan terhadap harga saham perusahaan
telekomunikasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Dimana koefisien determinasi parsial di atas dihitung dengan menggunakan program SPSS.
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
20
Berikut disajikan tabel hasil r2 adalah sebagai berikut :
Tabel 9
Koefisien Korelasi dan Determinasi Parsial
Variabel
r
r2
Tingkat Inflasi
0.514
0.2642
Suku Bunga SBI
-0.230
0.0529
Nilai Tukar
0.595
0,3540
Sumber: Hasil Output SPSS
Dari Korelasi Parsial diatas maka dapat diperoleh koefisien determinasi parsial dengan
penjelasan sebagai berikut:
1. Besarnya kontribusi Tingkat Inflasi sebesar 26,42% yang menunjukkan besarnya
pengaruh tingkat inflasi terhadap harga saham perusahaan telekomunikasi yang tercatat di
bursa Efek Indonesia.
2. Besarnya kontribusi Suku Bunga SBI sebesar 5,29% yang menunjukkan besarnya
pengaruh tingkat inflasi terhadap harga saham perusahaan telekomunikasi yang tercatat di
bursa Efek Indonesia.
3. Besarnya kontribusi Nilai Tukar sebesar 35,4% yang menunjukkan besarnya pengaruh
tingkat inflasi terhadap harga saham perusahaan telekomunikasi yang tercatat di bursa Efek
Indonesia.
Dari penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa variabel yang mempunyai
pengaruh yang dominan adalah Nilai Tukar karena mempunyai koefisien determinasi
parsialnya paling besar yaitu sebesar 35,4 %.
Hasil penelitian menunjukkan perusahaan mampu menghasilkan keuntungan dari ekuitas
yang digunakan. Semakin tinggi Nilai Tukar semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan keuntungan. Semakin tinggi keuntungan yang dihasilkan perusahaan akan
menjadikan investor tertarik akan nilai saham. Bagi investor ini merupakan ukuran
keberhasilan manajemen dalam mendayagunakan modalnya untuk menghasilkan
keuntungan. Laba yang dicapai oleh perusahaan merupakan salah satu tujuan pokok
perusahaan dan sebagai tolak ukur yang dipakai manajer, pemegang saham dan kreditor
dalam memprediksi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang akan datang
dan dapat mengevaluasi secara lebih baik tentang peluang untuk bisa memperoleh kembali
pembayaran atas investasi.
Pembahasan
Pada penelitian diajukan tiga hipotesis, berdasarkan rumusan masalah, tujuan yang ingin
dicapai pada penelitian ini serta tinjauan teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka
hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tingkat inflasi dan nilai tukar secara parsial mempunyai pengaruh signifikan,
sedangkan suku bunga SBI tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
harga saham perusahaan telekomunikasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
21
2. Tingkat inflasi, suku bunga SBI dan nilai tukar secara simultan mempunyai pengaruh
signifikan terhadap harga saham perusahaan telekomunikasi yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia.
3. Nilai Tukar secara dominan mempunyai pengaruh signifikan terhadap harga saham
perusahaan telekomunikasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Investor mungkin hanya tertarik untuk memperoleh keuntungan jangka pendek bukan
untuk berinvestasi dalam jangka waktu yang panjang sehingga kurang memperhatikan
Harga Saham. Selain itu, terdapat faktor –faktor ekonomi makro seperti inflasi, tingkat
bunga, pertumbuhan ekonomi yang menjadi pertimbangan – pertimbangan investor
dalam melakukan suatu investasi.
Variabel Inflasi dapat dipaparkan dalam tabel berikut ini :
Tabel 10
Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 2011-2012
(dalam prosentase)
Bulan
2011
2012
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Rata-Rata
0,89
0,13
-0,32
-0,31
0,12
0,55
0,67
0,93
0,27
-0,12
0,34
0,57
3,79
0,76
0,05
0,07
0,21
0,07
0,62
0,70
0,95
0,01
0,16
0,07
0,54
4,30
Sumber : Bank Indonesia (internet)
Tabel 10 memperlihatkan bahwa terjadi kecenderungan peningkatan inflasi dari tahun 2011
ke tahun 2012, dengan rata-rata inflasi sebesar 3,79% di tahun 2011 dan 4,30% ditahun 2012.
Tabel diatas memperlihatkan inflasi ditahun 2012 jauh lebih baik dari inflasi tahun 2011,
karena di tahun 2012 tidak terlihat hasil inflasi yang minus, sedangkan ditahun 2011 yaitu
bulan Maret, April dan Oktober data inflasi mengalami pemerosotan yang tajam hingga
minus.
Sedangkan di tabel 20 Berikut ini merupakan tabel yang menunjukkan Tingkat Suku Bunga
SBI pasar perusahaan Telekomunikasi, bersumber dari Bursa Efek Indonesia (BEI) Stiesia
Surabaya tahun 2007-2012.
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
22
Tabel 11
SBI 2007 – 2012
NO
TAHUN
BI RATE (%)
01
2007
8,00
02
2008
9,25
03
2009
6,50
04
2010
6,50
05
2011
6,00
06
2012
5,75
Sumber: BEI (Bursa Efek Indonesia)
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa tingkat suku bunga SBI dari tahun ke
tahun sangat bervariatif, dengan demikian untuk mengetahui perhitungan harga saham
maka perlu diperhatikan tingkat suku bunga SBInya.
Sedangkan Nilai tukar didalam penelitian ini menjadi suatu yang sangat fundamental,
karena kegiatan pembiayaan ekspor dan/atau impor membutuhkan suatu alat pembayaran
yang sah dan berlaku secara internasional, bahkan kemampuan dan kondisi perekonomian
suatu negara dapat ditentukan oleh adanya fluktuasi dari nilai tukar tersebut. Karena nilai
tukar ini memang secara alami dapat berubah-ubah atau berfluktuasi sepanjang masa,
dimana faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah relative price, relative interest rate,
relative economic growth rates & current acount balance.
Dari tahun 2000 hingga tahun 2010, nilai tukar Rupiah terhadap US Dolar sempat
menyentuh ke-titik terendahnya yaitu Rp. 12,360.00 per 1 US$ pada bulan November 2008.
Devaluasi ini disebabkan juga oleh krisis subprime mortgage di US, yang menyebabkan
terjadinya krisis global di seluruh dunia, yang kemudian menyebabkan terjadinya kenaikan
inflasi (imported inflation) di Indonesia.
Peristiwa diatas tentunya akan membuat persepsi investor menjadi buruk, dimana situasi ini
akan membuat perekonomian Indonesia melambat serta akan memperburuk kinerja emiten
di BEI. Sehingga akibatnya para investor mengurangi bobot portofolio sahamnya untuk
menghindari kerugian yang akan mungkin terjadi. Nilai Tukar dapat ditunjukkan dengan
tabel berikut ini :
Tabel 12
Perkembangan Nilai Tukar Rp/USD Di Indonesia Tahun 2005 – 2012
Nilai Tukar
Pertumbuhan
Tahun
(Rp/USD)
(%)
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber: Bank Indonesia (Internet)
9.113
9.036
9.447
11.005
9.466
9.065
9.879
9.336
-0,01
0,05
0,16
-0,14
-0,04
0,09
-0,05
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
23
Dari tabel 12 ditunjukkan bahwa perkembangan nilai tukar dari tahun 2005 – 2012
cenderungan tidak terlalu fluktuatif. Pada tahun 2005 nilai tukar Rupiah terhadap USD yaitu
Rp 9.311/USD, sedangkan pada tahun 2006 nilai tukar rupiah terhadap USD menguat yaitu
sebesar Rp9.036/USD. Pada tahun selanjutnya tahun 2007 rupiah mengalami depresiasi
yaitu Rp9.447/USD, dan pada tahun 2008 Rupiah mengalami depresiasi yang cukup besar
yaitu menjadi Rp 11.005/USD.
Meskipun pada tahun 2008 nilai tukar Rupiah terhadap USD cukup besar namun karena
perekonomian yang berangsur membaik mampu menguatkan kembali nilai tukar, yaitu
sebesar Rp 9.466/USD, dan pada tahun – tahun selanjutnya hingga tahun 2012 nilai tukar
rupiah terhadap USD cenderung stabil yaitu dikisaran Rp 9.065/USD hingga Rp 9.879/USD.
Berfluktuasinya nilai tukar dari tahun 2005 – 2012 dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai
dari demand – supply di pasar valuta asing, tingkat suku bunga, pendapatan rill hingga
kebijakan pemerintah yang memiliki tujuan tertentu dalam mendevaluasi maupun
merevaluasi nilai tukar.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ditarik beberapa kesimpulan
pada pengujian pengaruh antara Tingkat Inflasi (X1), Suku Bunga SBI (X2) dan Nilai Tukar
(X3), terhadap Harga Saham pada perusahaan Telekomunikasi di Bursa Efek Indonesia
periode 2011 – 2012 :
1. Tingkat Inflasi (X1) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Y (harga saham), hal
ini dilihat dari nilai t hitung yaitu sebesar 0,520 dengan nilai signifikansi yang lebih kecil
dari 0,05 yaitu (0,006<0,05).
2. Suku Bunga SBI (X2) berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Y (harga
saham), hal ini dilihat dari nilai t hitung yaitu sebesar 0,297 dengan nilai signifikansi yang
lebih besar dari 0,05 yaitu (0,767>0,05).
3. Nilai Tukar (X3) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Y (harga saham), hal ini
dilihat dari nilai t hitung yaitu sebesar 2,139 dengan nilai signifikansi yang lebih kecil dari
0,05 yaitu (0,035<0,05).
4. Hasil perhitungan nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) adalah sebesar 0,375 Hal
ini berarti varians Tingkat Inflasi (X1), Suku Bunga SBI (X2) dan Nilai Tukar (X3) dapat
menjelaskan Harga Saham (Y) sebesar 37,5% Ini menunjukkan bahwa masih banyak
variabel independen di luar fungsi yang dapat mempengaruhi Harga Saham yaitu sebesar
0,625 atau 62,5%.
5. Sedangkan hasil r2 nya yaitu 26,42%(Tingkat Inflasi), 5,29%(Suku Bunga SBI) dan
35,4%(Nilai Tukar), dengan demikian yang paling dominan berpengaruh terhadap harga
saham perusahaan Telekomunikasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 20112012 adalah Nilai Tukar.
Keterbatasan dan Saran Bagi Penelitian Berikutnya
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jumlah sampel yang digunakan hanya kelompok Perusahaan Telekomunikasi saja
sehingga dirasakan kurang mewakili seluruh perusahaan yang ada di BEI.
2. Variabel yang digunakan hanya 3 yaitu Tingkat Inflasi, Suku Bunga SBI dan Nilai
Tukar. Sedangkan faktor-faktor lain seperti peraturan pemerintah, inflasi, kestabilan
politik, tingkat bunga tidak tercakup dalam penelitian.
Karena adanya keterbatasan tersebut, maka agenda untuk penelitian mendatang adalah
sebagai berikut :
Jurnal Ilmu & Riset Manajemen Vol. 3 No. 7 (2014)
24
1. Dengan mengindikasikan perlunya memperhitungkan tingkat inflasi, suku bunga SBI
dan nilai tukar terhadap harga saham. Di samping itu, perlu dilakukan perluasan
penelitian yang menghubungkan antara variabel ekonomi (seperti tingkat bunga, kurs
rupiah terhadap valuta asing, neraca pembayaran, ekspor-impor dan kondisi ekonomi
lainnya) serta variabel non ekonomi (seperti kondisi politik) yang mungkin signifikan
berpengaruh terhadap harga saham di BEI.
2. Memperpanjang periode pengamatan mengingat, investor dalam jangka yang relatif
pendek tidak menggunakan tingkat inflasi, suku bunga SBI dan nilai tukar dalam
memprediksi harga saham. Penelitian berikutnya diharapkan dapat menggunakan sampel
penelitian yang lebih besar dari perusahaan – perusahaan Telekomunikasi yang terdaftar
dan aktif di BEI.
Daftar Pustaka
Agus, Z. 2001. Dampak Suku Bunga Terhadap Return Saham Obligasi dan Hutang Jangka Pendek.
Jurnal Manajemen, FE UNTAR, 2001.
Ferdinand. 2006. Analisis Regresi Linier. Edisi Pertama. Yogyakarta : BPFE
Ghozali, I. 2009. Ekonometrika: Teori, Konsep, dan Aplikasi dengan SPSS 17. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
--------------.2006. Analisis Data Statistika dan Penelitian, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Hamzah, H. 2002. Nilai Tukar Terhadap Suatu Investasi. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
--------------.2010. Tingkat Suku Bunga SBI. Jakarta
Hartono, J. 2000. Teori Portofolio dan Investasi, Edisi Ketujuh,
Yogyakarta: BPFE.
Husnan, S. 2001. Dasar-Dasar Teori Portofolio. Edisi Ketiga. UPP AMP YKPN Salemba Empat.
Keynes.2003. Teori Portofolio, Edisi Satu. Yogyakarta : BPFE.
Samsul, M. 2006. Pasar Modal dan Manajemen portofolio. Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. 2008. Perbedaan Pengaruh Inflasi, Tingkat Suku Bunga, dan Nilai Tukar Rupiah/US
Dollar Terhadap Return Saham. Tesis. Program Pascasarjana Magister Manajemen
Universitas Diponegoro (tidak dipublikasikan).
Sitinjak. 2003. Analisis Risiko Saham Biasa yang Dikeluarkan Dari Lantai Bursa: Studi Empirik Di
Bursa Efek Jakarta, Jurnal.
Santoso, W. 2002. Perkembangan dan Prospek Pasar Modal di Indonesia. (Event Study: Pendekatan
Manajemen Startegik). JurnalBisnis Strategi. Vol 13/juli.
Sunariyah, H. 2003. Pengantar Pengetahuan Pasar Modal. Jogjakarta. UPP AMP YKPN.
------------------.2003. Market Value Terhadap Harga Saham. 2003. Edisi Kedua. Salemba
Empat:170.
Utami. 2003. Tingkat Suku Bunga SBI, Edisi Ketiga, Jakarta.
Wahyu, F. 2009. Analisis Pengaruh Suku Bunga, Volume Perdagangan Dan Kurs Terhadap Return
Saham Sektor Properti Yang Listed Di Bei (Studi Kasus Pada Saham Sektor Properti yang
Listed di BEI Periode 2003-2007). Tesis. Program Pascasarjana Magister Manajemen
Universitas Diponegoro.
Direksi Bank Indonesia No. 31/67/KEP/DIR. Tahun 1998. tentang penerbitan dan
perdagangan SBI serta intervensi rupiah.
●●●
Download