analisis leading indicator untuk business cycle

advertisement
ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK BUSINESS CYCLE
INDONESIA
OLEH
MELA SETIANA
H14102115
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
RINGKASAN
MELA SETIANA. H14102115. Analisis Leading Indicator untuk Business Cycle
Indonesia (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR).
Perekonomian suatu negara yang naik turun (business cycle) sepanjang
waktu membuat para pelaku usaha seperti investor dan pemerintah membutuhkan
kepastian akan kestabilan kondisi perekonomian negara di masa depan agar para
investor dapat merencanakan kegiatan usahanya dan menghindari kebangkrutan,
sedangkan pemerintah sebagai pembuat kebijakan (policy maker) dapat membuat
kebijakan yang lebih terarah. Salah satu solusinya dengan menggunakan
Composite Leading Index (CLI) yang diyakini kemampuannya sebagai alat
peramalan yang dapat dipercaya.
Pembentukan CLI Indonesia selama ini terhambat karena beberapa sebab,
antara lain : tidak dimilikinya software untuk mengolah data, keterbatasan dalam
penyediaan data, serta masih terbatasnya pemilihan seri acuan menggunakan
single series daripada multiple series. Saat ini, Indonesia melalui Bank Indonesia
bekerjasama dengan lembaga internasional OECD, dan melakukan pelatihan
dengan Cabinett-office Jepang dalam mengembangkan konsep pembentukan CLI.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung CLI Indonesia dengan
menggunakan dua seri acuan, yaitu PDB dan IPI, membandingkan hasil analisis
keduanya, dimana proses pembentukan CLInya menggunakan konsep yang
dikembangkan OECD. Selain itu, mengidentifikasi variabel-variabel
ekonomimakro yang digunakan dalam penelitian ini ke dalam tiga jenis business
cycle indicator (BCI), yaitu leading, lagging, dan coincident indicator. Setelah
CLI dibentuk, maka kinerjanya dievaluasi terhadap pergerakan siklikal seri acuan.
Metode yang digunakan untuk membentuk CLI dalam penelitian ini
adalah metode OECD. Proses penghilangan unsur musiman dan irregular
menggunakan program seasonally adjusted, dan estimasi trend dilakukan
menggunakan metode Hodrick-Prescott filter. Kedua program ini terdapat dalam
software Eviews. Penentuan titik balik mengacu pada prosedur Bry-Boschan,
sedangkan penentuan kriteria BCI dilakukan melalui analisis visual grafik dan
hasil analisis korelasi silang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada lima titik balik dalam PDB,
yang terdiri dari tiga titik lembah dan dua titik puncak, sehingga untuk PDB
terdapat dua siklus panjang dengan masing-masing durasi siklus adalah 16 dan 23
triwulan. Sementara untuk IPI, terdapat enam titik balik, yang terdiri dari tiga titik
lembah dan tiga titik puncak, sehingga untuk IPI juga terdapat dua siklus panjang
dengan masing-masing durasi siklus 18 dan 13 triwulan. Dilihat dari pergerakan
siklikalnya, titik balik IPI terjadi lebih dulu daripada titik balik PDB, berarti
dapat disimpulkan bahwa IPI merupakan leading bagi PDB.
Dari 18 variabel yang dianalisis, hanya ada sembilan yang tergolong
sebagai leading indicator untuk PDB, yaitu: M1, nilai tukar, indeks harga saham
gabungan, impor non migas, total impor, impor barang konsumsi, produksi nikel,
impor bahan baku, dan ekspor kayu lapis. Hanya ada dua variabel yang termasuk
sebagai leading indicator IPI, yaitu: impor barang konsumsi dan produksi nikel.
CLI yang dibentuk dari kumpulan leading indicators baik untuk PDB
maupun IPI terlihat mampu mengikuti pergerakan siklikal dari masing-masing
seri acuannya. Kemampuan prediksi CLI untuk PDB mempunyai kisaran jarak 1.2
triwulan s/d 7.4 triwulan. CLI IPI memiliki kemampuan prediksi antara 2.4
triwulan s/d 5.8 triwulan.
Berdasarkan hasil penelitian, meskipun CLI yang dibentuk mampu
mengikuti pergerakan siklikal dari seri acuan, tetapi nilai koefisien korelasi untuk
kedua CLI masih rendah, hanya sekitar 0.50 yang berarti masih membutuhkan
penelitian lanjutan. Kinerja dari komposit ini perlu terus diuji dengan data terbaru
untuk dinilai tingkat kerelevanannya dengan kondisi perekonomian yang terus
berubah Sangat diharapkan bagi lembaga pemerintah maupun swasta dapat terus
bekerja sama dengan lembaga atau universitas untuk mengembangkan metodologi
pembentukan CLI yang lebih balik dan hasilnya yang dapat lebih dipercaya
keakuratannya dengan software yang mudah diperoleh dan diaplikasikan untuk
perekonomian Indonesia.
Pemerintah sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia sebagai otoritas
moneter dapat bekerja sama membuat kebijakan yang memperhatikan leading
indicators. Seperti jika BI menjaga agar nilai tukar rupiah tidak terlalu
berfluktuasi, maka kegiatan perdagangan luar negeri bisa berjalan baik, didukung
oleh kebijakan dari pemerintah agar kegiatan ekspor bisa meningkat, seperti
memudahkan perizinan dan pemberian kredit kepada pengusaha ekspor.
ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK BUSINESS CYCLE
INDONESIA
Oleh
MELA SETIANA
H14102115
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, dengan
judul “Analisis Leading Indicator untuk Business Cycle Indonesia”. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Topik mengenai business cyle sangat menarik untuk dikaji, dan leading
indicator sebagai bagian dari jenis business cycle indicator (BCI) diyakini
memiliki kemampuan sebagai alat peramalan yang dapat dipercaya, sehingga
dapat memprediksi arah pergerakan perekonomian negara untuk beberapa waktu
ke depan. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi para pelaku bisnis, pemerintah, dan
juga bagi masyarakat umum. Karena alasan itulah, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan topik tersebut, dan juga dikarenakan penelitian
mengenai topik business cycle ini belum banyak dilakukan di Indonesia.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan
tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dukungan baik secara moril maupun materil
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih kepada :
1. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc, yang telah memberikan bimbingan dan arahan
baik secara teknik maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
2. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MSc yang telah menguji hasil karya ini. Semua
saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam
penyempurnaan skripsi ini.
3. Syamsul Hidayat Pasaribu, SE, MSi, atas perbaikan tata cara penulisan skripsi
ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini
sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
4. Kedua orang tua penulis, yang selalu ada saat penulis membutuhkan,
kesabaran dan dorongan mereka sangat besar artinya dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Mas Ipung, yang tanpa lelah dan selalu bersedia
memberi bantuan, masukan, dan motivasi kepada penulis.
5. Yati Nuryati, Spi, MSi, atas kebaikannya untuk mengajarkan penulis dalam
proses pengolahan data.
6. Siti Masyitho, yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar hasil
penelitian skripsi penulis dan banyak memberikan masukan yang sangat
bermanfaat.
7. Teman-teman seperjuangan, Ulan dan Diana, terima kasih atas kebersamaan,
diskusi, saran, kritik, dan segala bentuk bantuan yang telah diberikan dengan
ikhlas.
8. Peserta seminar hasil penelitian skripsi penulis, atas masukan, saran dan kritik
yang sangat membantu penulis dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.
9. Sahabat dan teman-teman penulis, atas segala dukungan dan bantuan bahkan
tanpa diminta saat penulis membutuhkan, serta pihak-pihak lain yang telah
sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak
yang membacanya. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini memiliki banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk kesempurnaan tulisan ini.
Bogor, Juli 2006
Mela Setiana
H14102115
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2006
Mela Setiana
H14102115
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. vi
I.
PENDAHULUAN ............................................................................. 1
Latar Belakang ......................................................................................... 1
Perumusan Masalah ................................................................................. 5
Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8
Manfaat Penelitian ................................................................................... 8
II.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 10
Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................... 10
Definisi Business Cycle .......................................................................... 11
Fluktuasi Ekonomi ................................................................................. 13
2.3.1. Real Business Cycle ................................................... 13
2.3.2. Teori Ekonomi New Keynessian ............................... 15
Business Cycle Indicator ........................................................................ 16
2.4.1. Leading Indicator ....................................................... 17
2.4.2. Lagging Indicator ...................................................... 17
2.4.3. Coincident Indicator .................................................. 18
Karakteristik Hubungan Indikator
dalam Business Cycle .......................................................... 18
Teknik Analisis Siklikal ......................................................................... 19
2.6.1. Classical Cycle Analysis ............................................ 20
2.6.2. Growth Cycle Analysis ............................................... 20
2.6.3. Growth Rate Cycle Analysis ...................................... 22
Penelitian Terdahulu .............................................................................. 22
Kerangka Pemikiran ............................................................................... 25
III.
METODE PENELITIAN ................................................................. 28
Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 28
Metode Analisis Data ............................................................................. 30
3.2.1. Pembentukan CLI Berdasarkan Metode OECD ........ 30
3.2.2. Kategori Volatilitas ................................................... 42
3.2.3. Penentuan Kategori Jenis Indikator .......................... 43
IV.
TINJAUAN SINGKAT PEMBENTUKAN CLI ............................. 46
Pembentukan CLI di Luar Negeri .......................................................... 46
Pembentukan CLI di Indonesia .............................................................. 47
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 53
Pola dan Karakteristik Indikator Business Cycle ................................... 53
5.1.1. Karakteristik dan Titik Balik PDB ............................. 54
5.1.2. Karakteristik dan Titik Balik IPI ................................ 59
5.1.3. Perbandingan Seri Acuan PDB dan IPI ..................... 64
Pemilihan dan Karakteristik Kandidat Komponen ................................ 65
5.2.1. Perbandingan Terhadap PDB ..................................... 66
5.2.2. Perbandingan Terhadap IPI ........................................ 69
5.2.3. Keterkaitan Kandidat dengan Seri Acuan .................. 72
5.3.
Pembentukan CLI Indonesia ................................................ 74
5.3.1. CLI untuk PDB .......................................................... 74
5.3.2. CLI untuk IPI ............................................................. 77
VI.
5.4.
Evaluasi Indeks Komposit.................................................... 79
5.5.
Dokumentasi Fakta Empirik Business Cycle ...................... 81
5.5.
Perbandingan dengan Hasil Penelitian Sebelumnya ............ 83
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 88
Kesimpulan ............................................................................................ 88
Saran....................................................................................................... 89
Saran Penelitian Selanjutnya ................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 92
LAMPIRAN ................................................................................................. 94
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Indikator Dasar Makroekonomi Indonesia 1992-2004 ............................ 2
2. Perbandingan Metodologi Pembentuk CLI............................................ 50
3. Karakteristik Titik Balik dari Seri Acuan PDB...................................... 57
4. Karakteristik Titik Balik dari Seri Acuan IPI ........................................ 62
5. Perbandingan Titik Balik PDB dan IPI .................................................. 65
6. Perhitungan CV Variabel-variabel Ekonomimakro ............................... 67
7. Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia Terhadap PDB .................. 68
8. Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia Terhadap IPI ..................... 71
9. Perbandingan Titik Balik CLI dan PDB ................................................ 77
10. Perbandingan Titik Balik CLI dan IPI ................................................... 79
11. Karakteristik CLI ................................................................................... 80
12. Perbandingan Titik Balik Beberapa Negara ........................................... 86
13. Komponen Indikator Pembentuk CLI .................................................... 87
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Tahapan Business Cycle ......................................................................... 12
2. Pembentukan CLI Berdasarkan Metode OECD .................................... 27
3. Grafik log PDB ..................................................................................... 54
4. Grafik Trend PDB ................................................................................. 56
5. Grafik Siklikal dan Titik Balik PDB ...................................................... 58
6. Grafik log IPI ........................................................................................ 60
7. Grafik Trend IPI .................................................................................... 61
8. Grafik Siklikal dan Titik Balik IPI ......................................................... 62
9. Grafik Siklikal PDB dan IPI .................................................................. 64
10. Seri Acuan PDB dan CLI ...................................................................... 75
11. Titik Balik CLI untuk PDB .................................................................... 76
12. Seri Acuan IPI dan CLI .......................................................................... 77
13. Titik Balik CLI untuk IPI ....................................................................... 78
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Ekonomimakro yang Digunakan dalam Analisis .......................... 94
2. Grafik Fluktuasi Siklikal Variabel dan PDB.......................................... 98
3. Grafik Fluktuasi Siklikal Variabel dan IPI .......................................... 107
4. Hasil Cross Corelation Variabel dan PDB ......................................... 116
5. Hasil Cross Corelation Variabel dan IPI ............................................ 122
6. Hasil Cross Corelation PDB dan IPI .................................................. 128
7. Hasil Cross Corelation CLI dan Seri Acuan ....................................... 128
DAFTAR SINGKATAN
BCD
: Business Cycle Development
BCI
: Business Cycle Indicator
BPS
: Badan Pusat Statistik
CIND
: Conjungtuur Indonesia
CLI
: Composite Leading Index
CSIS
: Centre for Strategic and International Studies
CV
: Coefficient Variation
DSM
: Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter
ECRI
: Economic Cycle Research Institute
HPF
: Hodrick Prescott Filter
IHSG
: Indeks Harga Saham Gabungan
IPI
: Industrial Production Index
MODBI
: Macroeconometric Model of Bank Indonesia
MPI
: Manufacturing Production Index
NBER
: National Bureau of Economic Research
OECD
: Organization for Economic Co-operation and Development
PAT
: Phase Average Trend
PDB
: Produk Domestik Bruto
QPS
: Quadratic Probability Score
REER
: Real Effective Exchange Rate
SBI
: Sertifikat Bank Indonesia
SEKI
: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia
SOFIE
: Short Term Forecast Model of Indonesian Economy
SMGR
: Smooth Growth Rate
TSP
: Time Series Program
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak selalu berjalan maju, ada
kalanya dimana pertumbuhan ekonomi terganggu oleh berbagai macam faktor,
baik faktor ekonomi maupun faktor nonekonomi. Faktor-faktor pengganggu ini
dapat membuat negara berada dalam periode resesi, yaitu periode di mana terjadi
penurunan tingkat produksi, pendapatan, dan belanja yang diikuti naiknya tingkat
pengangguran. Periode resesi ini dapat berlangsung dalam jangka waktu singkat,
tetapi dapat juga dalam jangka waktu cukup panjang, tergantung dari respon yang
diberikan oleh para pembuat kebijakan dalam proses penanggulangannya.
Periode resesi tersebut tidak akan berlaku untuk selamanya, tetapi selalu
diikuti oleh kembalinya masa pertumbuhan ekonomi negara (periode ekspansi).
Kedua periode ini dipastikan akan muncul silih berganti membentuk suatu siklus.
Hal ini dalam ilmu ekonomi, dikenal sebagai business cycle (siklus bisnis), ada
juga yang menyebutnya sebagai siklus perekonomian atau siklus perdagangan.
Fenomena business cycle ini tidak hanya terjadi di negara maju saja, tetapi di
seluruh negara di dunia. Perekonomian Indonesia pun tidak terlepas dari keadaan
ini, dimana selama lebih dari dua dasawarsa terakhir telah mengalami
perkembangan yang sangat cepat dan kondisi perekonomian yang naik turun.
Oleh karena itu, keberadaan posisi perekonomian suatu negara dalam
business cycle sangat penting untuk diketahui guna menghindari terjadinya resesi
yang berkepanjangan. Jika terjadi ancaman akan timbulnya resesi maka
pemerintah atau otoritas moneter seperti Bank Indonesia akan mengeluarkan
kebijakan agar resesi dapat dihindari atau setidaknya dapat meminimalisasi
dampak negatif yang ditimbulkannya. Sebaliknya, jika perekonomian berada pada
periode ekspansi, maka pemerintah dan Bank Indonesia perlu menghindari
kebijakan yang dapat mengganggu kondisi tersebut.
Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat digambarkan melalui perubahan
indikator-indikator ekonomimakro setiap tahunnya, antara lain seperti tingkat
pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), dan inflasi. Tabel berikut ini
menunjukkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia periode sebelum krisis
dinilai cukup stabil dengan pertumbuhan ekonomi yang positif, yang mana
banyak dipengaruhi oleh pertumbuhan sektor swasta yang relatif pesat. Tingkat
inflasi pun masih berada pada posisi satu digit (kurang dari 10 persen) dinilai
masih cukup stabil.
Tabel 1. Indikator Dasar Makroekonomi Indonesia 1992-2004
Waktu
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tingkat Pertumbuhan
PDB (%)
6.5
6.5
7.5
8.2
7.9
4.6
-13.2
0.8
4.8
4.2
3.7
4.1
5.0
Inflasi (%)
7.5
9.6
9.2
7.3
6.5
11.1
77.6
2.2
9.0
12.6
10.0
5.0
6.4
Sumber: Statistika Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, berbagai edisi.
Kondisi sebaliknya dapat dilihat saat terjadi krisis moneter di beberapa
negara di Asia, Amerika Latin, maupun Eropa Timur sekitar tahun 1997-1998
yang ditandai dengan jatuhnya nilai mata uang Baht kemudian merambat ke
negara-negara di Asia, melalui efek menular (contagion effect) karena semakin
terintegrasi dan terbukanya perekonomian internasional, termasuk ke Indonesia.
Untuk kasus krisis di Indonesia, diperburuk dengan kondisi situasi politik yang
rumit, dimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepemimpinan
pada masa tersebut mulai menurun yang membuat kondisi pertumbuhan
perekonomian negara melemah dan terkontraksi dari rata-rata sekitar tujuh persen
sebelum krisis menjadi minus 13.2 persen. Tingkat inflasi naik sangat tinggi
menjadi dua digit, dari 11.1 persen tahun 1997 sampai 77.6 persen ditahun 1998,
yang merupakan kondisi terparah dari dampak krisis. Indonesia termasuk negara
yang sangat lambat dalam usaha pemulihan ekonomi negara dikarenakan banyak
peristiwa tak terduga yang merugikan citra negara dimata internasional.
Banyak perusahaan yang terpaksa tutup, terjadi disintermediasi perbankan
dimana fungsi bank dalam menyalurkan dana ke masyarakat melalui kredit
semakin dibatasi karena tingginya resiko yang harus ditanggung. Hal ini membuat
para pelaku usaha seperti investor dan pemerintah membutuhkan kepastian akan
kestabilan kondisi perekonomian negara di masa depan agar para investor dapat
merencanakan kegiatan usahanya dan menghindari kebangkrutan, sedangkan
pemerintah sebagai pembuat kebijakan (policy maker) dapat membuat kebijakan
yang lebih terarah untuk mencegah terjadinya kondisi resesi yang buruk sehingga
pertumbuhan ekonomi bisa lebih berkesinambungan dengan tingkat inflasi yang
moderat.
Oleh karena itu, perlu dibuat suatu alat peramalan yang dapat memprediksi
kondisi perekonomian suatu negara beberapa waktu ke depan melalui analisis
siklikal indikator yang didukung oleh teknologi komputer. Salah satu perangkat
yang dapat digunakan dalam memprediksi kondisi perekonomian dalam waktu
cepat dan akurat adalah dengan menganalisis indikator-indikator ekonomi.
Pengidentifikasian indikator-indikator ekonomi ini bisa dimasukkan ke dalam tiga
jenis indikator, yaitu leading, lagging, dan coincident indicator. Penggunaan
leading indicator untuk memperkirakan arah pergerakan perekonomian negara ke
depan. Lagging indicator berguna untuk mengkonfirmasi prediksi yang dibuat
oleh leading indicator, sementara coincident indicator digunakan untuk
menentukan kondisi perekonomian negara saat ini
Menurut Zhang dan Zhuang (2002), hingga saat ini paling tidak terdapat
tiga alasan utama mengapa leading indicator semakin luas digunakan oleh banyak
negara. Pertama, Composite Leading Index (CLI) bisa digunakan untuk
mengindikasikan pendeteksian dini terhadap kapan titik balik (turning points) dari
business cycle itu terjadi, sehingga para pelaku bisnis bisa menyesuaikan strategi
penjualan atau investasinya, dan para investor bisa merealokasikan asetnya
diantara alternatif investasi lain untuk meningkatkan pendapatannya. Kedua,
penggunaan model makroekonometrik, seperti Macroeconometric Model of Bank
Indonesia (MODBI) dan Short Term Forecast Model of Indonesian Economy
(SOFIE) dianggap tidak dapat memprediksi kapan titik balik akan terjadi,
terutama jika terjadi perubahan struktural dalam perekonomian, karena sifat
parameter-parameternya yang tidak stabil. Ketiga, leading indicator memiliki
track record yang cukup baik sehingga diyakini mempunyai kemampuan sebagai
alat forecasting.
Sifat dari leading indicator yang mengarah ke depan (forward looking)
sesuai untuk diterapkan di Indonesia karena saat ini Bank Indonesia sudah
merubah kerangka kebijakan moneternya dari base money targetting menjadi
inflation targetting yang juga bersifat forward looking, artinya kebijakan moneter
pada saat ini ditujukan untuk merespon tekanan inflasi ke depan. Hal ini
dikarenakan single objective Bank Indonesia yaitu untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah yang tercermin dari tingkat inflasi.
Melalui perangkat leading indicator yang dapat diandalkan (reliable),
maka dapat diketahui pergerakan siklikal dan titik balik dari business cycle,
sehingga arah kebijakan moneter dapat diukur oleh pemerintah untuk memikirkan
timing yang tepat dalam mengeluarkan suatu kebijakan. Dalam membuat proyeksi
peramalan perekonomian menggunakan leading indicator, tentunya perlu
diketahui terlebih dahulu variabel-variabel ekonomi yang mana yang dapat
dijadikan acuan untuk indikator-indikator dini melalui analisis siklikal. Setelah
variabel acuan ditentukan maka dapat diketahui variabel-variabel ekonomimakro
mana yang akan digunakan untuk melakukan metode peramalan perekonomian
Indonesia atau yang tergolong sebagai leading indicator.
1.2.
Perumusan Masalah
Meskipun konsep penggunaan CLI nampaknya sangat jelas dan straight
forward, tetapi untuk mengaplikasikannya banyak menghadapi kendala. Untuk
membentuk suatu CLI yang dapat dipercaya, diperlukan sejumlah indikator
dengan frekuensi data yang tinggi, dan untuk setiap indikatornya membutuhkan
time series yang panjang. Oleh karena itu, CLI lebih banyak diaplikasikan di
negara maju daripada di negara berkembang. Hal ini umumnya disebabkan oleh
ketersediaan data di negara berkembang tidak dalam frekuensi yang tinggi dan
hanya tersedia di tahun-tahun terakhir saja, biasanya data tersedia dalam bentuk
triwulan, bahkan ada yang hanya tersedia dalam bentuk tahunan.
Setelah terjadi krisis moneter di Asia sekitar tahun 1997-1998 lalu, banyak
negara berkembang yang mulai menyadari pentingnya pembentukan CLI untuk
membuat peramalan ekonomi sehingga berusaha memperbaiki sistem statistikal
nasionalnya yang dimulai oleh negara Rusia pada pertengahan tahun 1990an. Hal
ini akan sangat berguna di masa depan agar selanjutnya data dapat tersedia dalam
frekuensi tinggi, tidak terputus dan dengan periode time series yang panjang.
Kendala lain adalah tidak dimilikinya perangkat lunak (software) untuk
mengolah data, seperti pada tahun 1997, pembentukan CLI Indonesia dilakukan
oleh lembaga Economic Cycle Research Institute (ECRI) di New York yang
bekerja sama dengan Bank Indonesia. Perbaikan dan pengembangan teknologi
pembentukan CLI memang terus dilakukan tetapi software yang digunakan untuk
mengolah data sulit untuk diaplikasikan karena tidak bersifat user friendly dan
membutuhkan seseorang yang memiliki dasar-dasar pemrogaman untuk
mengoperasikannya (Wuryandari et. al, 2002).
Keterbatasan pengetahuan dan teknologi para peneliti Indonesia membuat
Indonesia melalui Bank Indonesia melakukan kerjasama dan pelatihan dengan
lembaga-lembaga internasional. Saat ini Bank Indonesia bekerjasama dengan
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan
melakukan pelatihan dengan Cabinet-Office Jepang untuk menyempurnakan
pembentukan CLI agar dapat lebih diandalkan.
Dari sisi metodologi, permasalahan terdapat pada penentuan indikator
sebagai seri acuan yang merupakan dasar dari pembentukan CLI, karena kandidat
komponen akan merujuk pada seri acuan tersebut. Perbedaan pendapat para
peneliti business cycle menekankan apakah siklus acuan diturunkan dari data time
series ekonomi tunggal (single series) atau kumpulan beberapa data time series
menjadi indeks komposit (multiple series). Penggunaan pendekatan indeks
komposit banyak dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
Jepang, Spanyol, dan Inggris. Sementara penggunaan pendekatan single series
dilakukan oleh institusi OECD dan Statistics Canada. Oleh karena itu, diperlukan
suatu penelitian yang dapat mengevaluasi perbedaan antara hasil analisis dari
kedua seri acuan tersebut.
Berdasarkan
penjelasan
di
atas
maka
dapat
dirumuskan
suatu
permasalahan yang berhubungan dengan proses pembentukan CLI untuk
meramalkan kondisi perekonomian Indonesia sekarang dan di masa depan.
Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana
perhitungan CLI Indonesia dengan menggunakan konsep OECD yang dijadikan
referensi oleh Bank Indonesia saat ini? Adakah perbedaan dari analisis kedua seri
acuan (single series dan multiple series) yang digunakan untuk membentuk CLI?
Selain itu, variabel-variabel apa sajakah yang memenuhi kriteria untuk dapat
dijadikan sebagai leading, lagging, dan coincident indicator? Setelah didapat
kandidat komposit berupa leading indicators, maka dapat dibuat CLI Indonesia
yang kembali menimbulkan pertanyaan: Apakah CLI yang telah dibuat mampu
mengikuti pergerakan dari seri acuan? Untuk selanjutnya, penelitian ini berusaha
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
1.3.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1).
menghitung CLI Indonesia menggunakan konsep yang dikembangkan oleh
OECD;
(2).
menganalisis perbedaan dari hasil analisis single series dan multiple series
sebagai seri acuan dalam pembentukan CLI Indonesia;
(3).
menganalisis leading, coincident, dan lagging indicator untuk business
cycle Indonesia;
(4).
menghasilkan dan mengevaluasi kinerja CLI Indonesia yang telah dibuat
terhadap pergerakan seri acuan.
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk beberapa pihak,
diantaranya :
(1).
Bagi pemerintah dan Bank Indonesia selaku otoritas fiskal dan moneter,
penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan terutama
untuk antisipasi dan penentuan timing yang tepat dalam mengeluarkan
dan menetapkan kebijakan-kebijakan ekonomi. Selain itu, penelitian ini
bisa menjadi bahan evaluasi dari aplikasi metode pembentukan CLI
Indonesia yang dikembangkan OECD bekerja yang pernah dilakukan oleh
Bank Indonesia sebelumnya.
(2).
Bagi penulis, penelitian ini sangat menambah wawasan dan pengetahuan
penulis tentang perkembangan teori business cycle, jenis-jenis business
cycle dan manfaatnya serta penerapannya dalam kajian pertumbuhan
ekonomi negara.
(3).
Bagi para pelaku ekonomi dan forecaster, penelitian ini dapat memberikan
gambaran tentang volatilitas business cycle di Indonesia selama kurun
waktu tiga belas tahun terakhir dengan menggunakan dua seri acuan.
(4).
Bagi pihak-pihak lain, penelitian ini juga dapat dijadikan acuan dan bahan
rujukan untuk penelitian selanjutnya yang masih berhubungan dengan
business cycle.
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi negara merupakan cerminan dari proses kenaikan
output perkapita dalam jangka panjang. Sasaran utama dari pertumbuhan ekonomi
berupa kenaikan tingkat produktivitas riil (pendapatan nasional) dan taraf hidup
masyarakat (pendapatan riil perkapita). Banyak ekonom yang berpendapat bahwa
proses pertumbuhan ekonomi ini bersifat self generating yang berarti
pertumbuhan
terjadi
bila
kecenderungan
output
perkapita
naik,
dan
kecenderungan itu berasal dari perekonomian itu sendiri bukan berasal dari luar
dan yang bersifat sementara.
Setiap negara pasti memiliki tujuan mencapai kondisi perekonomian yang
terus tumbuh. Oleh karenanya pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan
ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan output nasionalnya. Hal ini
disebabkan adanya pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi yang positif berarti
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam teori pertumbuhan ekonomi,
dikenal model pertumbuhan Solow, dimana model tersebut menunjukkan tingkat
output perekonomian dan pertumbuhannya sepanjang waktu dipengaruhi oleh
tabungan, pertumbuhan populasi, dan kemajuan teknologi (teknik, proses, metode
produksi yang baru, dan produk-produk baru) memainkan suatu peranan penting
dalam menyeimbangkan pengembalian yang menurun pada saat jumlah modal
meningkat (Mankiw, 2000).
Pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia sekarang dinilai lebih stabil
daripada beberapa tahun sebelumnya, dilihat dari PDB riilnya yang kurang volatil.
Terutama karena banyak negara di dunia saat ini mulai mengeluarkan kebijakan
yang arahnya demi kemajuan negara, menganut kerangka inflation targetting serta
meningkatkan kemandirian bank sentral dalam menjalankan fungsinya. Volatilitas
berhubungan negatif dengan bank lending dan berhubungan positif dengan trade
flow (Ceccheti, Lagunes, dan Krause, 2006).
2.2.
Definisi Business Cycle
Definisi business cycle atau trade cycle (siklus perekonomian atau siklus
perdagangan) menurut Wesley C. Mitchell dan Arthur F. Burns dalam Niemira
dan Klein (1994) adalah:
“Business cycles are a type of fluctuation found in the aggregate
economic activity of nations that organize their work mainly in business
enterprises: a cycle consist of expansion occuring at about the same time
in many economic activities, followed by similarly general recessions,
contractions, and revival which merge into the expansion phase of the next
cycle; this sequence of changes is recurrent but not periodic; in duration
business cycle vary from more than one year to ten or twelve years; they
are not divisible into shoerter cycles of similar character with amplitudes
approximating their own”
Sedangkan definisi business cycle yang tercantum dalam kamus ekonomi adalah
sebagai fluktuasi dari tingkat kegiatan perekonomian (PDB riil) yang saling
bergantian antara masa depresi dan masa kemakmuran (boom).
Ada empat tahapan dalam siklus perekonomian: tahap pertama adalah
masa depresi (depression), yaitu suatu periode penurunan permintaan agregat
yang cepat yang dibarengi dengan rendahnya tingkat output dan tingkat
pengangguran yang tinggi yang secara bertahap mencapai dasar yang paling
rendah; tahap yang kedua adalah tahap pemulihan (recovery), yaitu peningkatan
permintaan agregat yang dibarengi dengan peningkatan output dan penurunan
tingkat pengangguran; tahap yang ketiga adalah masa kemakmuran (prosperity),
yaitu permintaan agregat yang mencapai dan kemudian melewati taraf output
yang terus-menerus (PDB potensial) pada saat puncak siklus telah dicapai, dimana
tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dicapai dan adanya kelebihan permintaan
mengakibatkan naiknya tingkat harga-harga umum (inflasi); tahap keempat adalah
masa
resesi
(recession),
dimana
permintaan
agregat
menurun,
yang
mengakibatkan penurunan yang kecil dari output dan tenaga kerja, seperti yang
terjadi pada tahap awal, seiring dengan hal ini maka akan muncul masa depresi.
Tahapan-tahapan ini dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut ini :
Gambar 1. Tahapan Business Cycle
Sumber: Pass dan Lowes (1994)
Setiap siklus memiliki 2 jenis titik balik (turning points), yaitu titik puncak
(peak) dan titik lembah (trough). Kedua titik balik ini menandakan sinyal apabila
arah dari pergerakan siklikal suatu indikator berubah dari periode ekspansi ke
periode kontraksi atau jika terjadi sebaliknya. Kedua titik balik ini hanya dapat
ditentukan menggunakan data time series yang merupakan deviasi dari trendnya,
yaitu merupakan definisi dari business cycle yang digunakan dalam penelitian ini.
Dapat disimpulkan bahwa tahapan ini akan datang silih berganti sepanjang waktu
dalam perkonomian suatu negara.
2.3.
Fluktuasi Ekonomi
Dalam perkembangan teori tentang fluktuasi ekonomi, dunia ekonomi
dihadapkan pada dua pandangan yang berbeda dalam menjelaskan terjadinya
fluktuasi output dan kesempatan kerja dalam jangka pendek. Perbedaan
pandangan ini terletak pada perbedaan penyebab fluktuasi ekonomi yang
merupakan deviasi dari tingkat alami atau sebagai perubahan dalam tingkat output
alami. Dua teori tentang fluktuasi ekonomi yang paling umum saat ini adalah teori
Real Business Cycle dan teori New Keynessian.
2.3.1. Teori Real Business Cycle
Teori Real Business Cycle memberi kontribusi penting dalam ilmu
ekonomi dengan memberi sudut pandang baru yang berbeda dalam mengkaji
fluktuasi jangka pendek dari output dan kesempatan kerja (employment) yang
dijelaskan dengan menggunakan substitusi tenaga kerja antar-waktu, dimana
dalam teori ini fluktuasi dianggap sebagai perubahan dalam tingkat output alami,
atau keseimbangan. Dengan tetap mempertahankan model klasik sebagai acuan,
teori ini mengasumsikan bahwa harga dan upah adalah fleksibel, bahkan dalam
jangka pendek. Dengan asumsi complete price flexibility, teori ini menganut
classical dichotomy dimana variabel-variabel nominal, seperti pergerakan uang
dan tingkat harga tidak mempengaruhi pergerakan variabel di sektor riil seperti
output dan pengangguran (Mankiw, 2000).
Untuk menjelaskan pergerakan sektor riil, teori ini menyatakan pergerakan
tersebut disebabkan oleh faktor alami di sektor itu sendiri seperti terjadinya
technological shock yang membuat produktivitas meningkat berakhir pada
perekonomian yang juga meningkat. Dengan kata lain semua fluktuasi di sektor
riil seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, tingkat konsumsi dan
investasi merupakan hasil reaksi dari individu-individu terhadap perubahan dalam
perekonomian.
Sementara selama periode resesi atau yang disebut sebagai kemunduran
teknologi, output dan insentif untuk bekerja akan berkurang yang dikarenakan
teknologi produksi yang menurun. Asumsi lain yang juga penting dalam teori ini
adalah netralitas uang dalam perekonomian, yang juga berlaku untuk jangka
pendek, dimana kebijakan moneter tidak akan mempengaruhi variabel-variabel
riil, seperti output dan kesempatan kerja.
Teori ini banyak mendapat kritik, karena para pengeritik berpendapat
bahwa kemunduran teknologi adalah hal yang tidak masuk akal, dimana
akumulasi pengetahuan teknologi hanya akan melambat dan tidak mungkin terjadi
sebaliknya. Bukan hanya technological shock yang dikritik tetapi mereka juga
tidak mendukung netralitas uang, dengan pemberian bukti bahwa data
menunjukkan penurunan money supply selalu disertai dengan perubahan di sektor
riil seperti tingginya pengangguran dan rendahnya output. Penganut teori ini
memberikan keterangan sebaliknya dengan argumentasi bahwa perubahan dalam
perekonomian seperti tingginya output akibat faktor alami akan mempengaruhi
permintaan akan uang. Meningkatnya permintaan akan uang ini akan direspon
oleh bank sentral dengan menambah money supply (Mankiw, 2000).
Perubahan dalam perekonomian karena faktor-faktor alami ini akan
menyebabkan terjadinya siklus dalam pergerakan variabel-variabel di sektor riil.
Siklus ini dipercaya terjadi dalam setiap variabel di sektor riil dan dapat dilihat
dengan menghilangkan faktor-faktor musiman, trend dan irregular dari data.
Sampai saat ini teori real business cycle yang dianut oleh sedikit ekonom namun
cukup signifikan ini terus berkembang. Bahkan, ada sebuah organisasi di Amerika
Serikat yang terus melakukan penelitian dan menciptakan terobosan baru dalam
model-model ekonomi untuk menjelaskan teori real business cycle ini.
2.3.2. Teori Ekonomi New Keynessian
Para pengeritik teori real business cycle umumnya berasal dari penganut
aliran new keynessian. Banyak dari mereka percaya bahwa fluktuasi output dan
kesempatan kerja dalam jangka pendek disebabkan oleh terjadinya fluktuasi
dalam permintaan agregat akibat lambatnya upah dan harga dalam menyesuaikan
dengan kondisi ekonomi yang sedang berubah. Dengan kata lain teori ini percaya
bahwa upah dan harga bersifat kaku/sulit berubah, sehingga peranan pemerintah
melalui kebijakan moneter dan fiskal sangat diperlukan untuk menstabilkan
perekonomian. Karena teori ini dibangun di atas model permintaan agregat dan
penawaran agregat tradisional, maka dalam teori ini dikatakan bahwa perubahan
harga dari biaya sekecil apapun akan memiliki dampak makroekonomi yang besar
karena adanya eksternalitas permintaan agregat. Teori ini telah memasukkan
guncangan pada sisi penawaran, ketidakstabilan moneter dan guncangan terhadap
permintaan uang dalam modelnya (Mankiw, 2000).
2.4.
Business Cycle Indicators
Business Cycle Indicators (BCI) merupakan salah satu bentuk indikator
yang biasa digunakan untuk meramalkan keadaan ekonomi di masa depan atau
trend ekonomi. Contohnya, statistik sosial dan ekonomi yang dipublikasikan
berbagai sumber seperti departemen pemerintahan. Indikator ekonomi mempunyai
dampak
yang
besar
terhadap
pasar,
mengetahui
bagaimana
harus
menginterpretasikannya dan menganalisis indikator tersebut merupakan hal yang
sangat penting bagi para pelaku usaha, termasuk investor.
Setiap indikator harus memenuhi beberapa aturan kriteria, dimana ada tiga
kategori timing indikator, yang diklasifikasikan menurut tipe peramalan yang
dihasilkannya, yaitu leading, lagging, dan coincident indicator. Variabel-variabel
ekonomi yang termasuk dalam setiap jenis indikator bisa berbeda-beda untuk tiap
negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hal ini dikarenakan
perbedaan sistem ekonomi yang dianut suatu negara, kondisi perekonomian,
respon dari setiap kebijakan yang dikeluarkan, dan lain sebagainya.
2.4.1. Leading Indicator (Indikator Pendahulu)
Dalam kamus ekonomi, pengertian dari leading indicator (indikator
periode mendatang) adalah suatu rangkaian data statistik periode lalu yang
menunjukkan kecenderungan yang mencerminkan perubahan-perubahan pada
waktu mendatang dalam beberapa sektor ekonomi terkait atau sebagai sinyal
kejadian di masa depan. Singkatnya, leading indicator merupakan beberapa
variabel ekonomi yang bergerak mendahului pergerakan variabel utama ekonomi.
Berdasarkan informasi ini, maka dapat dibuat suatu peramalan tentang
perubahan-perubahan yang akan terjadi pada tahun-tahun yang akan datang atau
dengan kata lain dapat memprediksi siklus ekonomi yaitu kapan perekonomian
akan mencapai puncak (peak), masih berlanjut (steady), mulai menurun
(contraction), sampai di titik terendah (trough), dan kembali naik (expansion)
seperti yang telah dibahas dalam definisi dari business cycle sebelumnya, karena
perubahan-perubahan tersebut selalu mengikuti pola yang konsisten pada kurun
waktu yang relatif konstan. Sedangkan untuk mengetahui lama periode naik atau
turun dapat diprediksi dengan lagging dan coincident indicator.
2.4.2. Lagging Indicator (Indikator Pengikut)
Pengertian lagging indicator merupakan kebalikan dari leading indicator.
Lagging indicator atau yang disebut juga sebagai indikator periode lalu adalah
suatu rangkaian data statistik yang pada periode lalu telah menunjukkan
kecenderungan yang mencerminkan perubahan-perubahan pada waktu lalu dalam
beberapa sektor ekonomi yang saling berkaitan, atau singkatnya adalah perubahan
indikator yang bergerak naik/turun setelah pergerakan variabel utama.
Pentingnya untuk mengetahui lagging indicator adalah karena lagging
indicator dapat mengkonfirmasi sebuah pola ekonomi yang sedang terjadi atau
akan terjadi. Ramalan tentang perubahan-perubahan yang akan terjadi pada tahun
berjalan dapat dibuat, karena perubahan-perubahan tersebut mengikuti pola yang
tidak berubah pada kurun waktu yang relatif sama.
2.4.3. Coincident Indicator (Indikator Pengiring)
Coincident indicator merupakan indikator yang bergerak naik/turun
bersamaan dengan naik/turunnya variabel utama atau kondisi yang terjadi dalam
perekonomian. Indikator ini tidak meramalkan peristiwa-peristiwa ekonomi yang
akan terjadi di masa depan, tapi jenis indikator ini berubah seiring dengan
perubahan yang terjadi dalam perekonomian atau pasar saham. Contoh coincident
indikator yang paling umum adalah pendapatan perkapita, dimana pendapatan
perkapita yang tinggi akan mengindikasikan perekonomian yang kuat.
2.5.
Karakteristik Hubungan Indikator dalam Business Cycle
Setiap variabel-variabel ekonomi yang termasuk ke dalam salah satu dari
indikator dini yang telah dijelaskan di atas, memiliki hubungan yang bermacammacam terhadap business cycle. Berikut ini akan dijabarkan mengenai hubungan
antara indikator-indikator ekonomi dengan business cycle, yang terbagi menjadi
tiga, yaitu:
ƒ
Procyclical, hubungan dimana arah pergerakan dari indikator-indikator
ekonomi sama dengan perubahan yang terjadi pada perekonomian suatu
negara. Ketika perekonomian membaik,
maka dapat dipastikan bahwa
indikatornya akan mengalami peningkatan.
ƒ
Countercyclical, hubungan dimana indikator-indikator ekonomi memiliki
arah gerak yang
berlawanan dengan perekonomian suatu negara yang
sedang terjadi.
ƒ
Acyclical, indikator-indikator ekonomi tidak memiliki hubungan dengan
perubahan yang terjadi pada perekonomian suatu negara. Apapun kondisi
perekonomian tersebut, baik dalam kondisi yang cukup bagus maupun
dalam kondisi buruk, perubahan yang terjadi dalam indikator tersebut tetap
tidak terpengaruh dan berada pada trend-nya sendiri.
2.6.
Teknik Analisis Siklikal
Dalam metode pembentukan CLI, terdapat tiga jenis metode yang dapat
digunakan untuk menganalisis pergerakan siklikal. Tiga metode tersebut adalah
classical cycle analysis, growth cycle analysis, dan growth rate cycle analysis.
Berikut ini akan dijabarkan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing teknik
analisis siklikal :
2.6.1. Classical Cycle Analysis
Dalam metode klasik ini, analisis siklikal dilakukan dengan melihat
pergerakan business cycle dari gerakan ekspansi dan kontraksi seluruh aktivitas
perekonomian secara absolut. Perekonomian akan dikatakan berada dalam kondisi
ekspansi jika secara absolut business cycle menunjukkan kenaikan. Sebaliknya
jika secara absolut business cycle menunjukkan penurunan, maka perekonomian
berada dalam kondisi resesi (Buchori, 1998).
Mitchell dan Burns sebagai peneliti pertama yang membentuk leading
indicator menggunakan pendekatan klasik dalam mendefinisikan business cycle
tahun 1946. Tetapi metode ini tidak dapat diterapkan di Indonesia karena
perekonomian negara yang terus meningkat dalam jangka waktu panjang sejak
tahun 1966, kecuali saat terjadi krisis tahun 1997, karena nantinya tidak akan ada
gerakan business cyclenya.
2.6.2. Growth Cycle Analysis
Pendekatan growth cycle adalah modifikasi dari teori real business cycle,
dimana growth cycle merupakan siklus naik/turun pertumbuhan PDB relatif
terhadap trend-nya. Dalam hal ini, yang termasuk dalam kontraksi growth cycle
adalah perlambatan seperti penurunan absolut dalam aktivitas ekonomi, sementara
yang termasuk kontraksi business cycle hanya penurunan absolut (resesi).
Penggunaan growth cycle mengemuka setelah leading indicator yang
berdasarkan pendekatan classical cycles tidak mampu menjelaskan masa
ekspansif perekonomian, khususnya di Amerika Serikat dan Jerman, pada sekitar
tahun 1960an. Perbedaan utama antara growth cycle dan classical cycles terletak
pada perhitungan masa ekspansi dan masa kontraksi. Pada classical cycles,
perhitungan masa ekspansi dan kontraksi tersebut menggunakan level absolutnya.
Sebagai contoh, suatu ekonomi belum dikatakan mencapai titik lembah apabila
nilai absolutnya tidak menunjukkan kontraksi. Sementara itu, penentuan titik balik
pada growth cycle berdasarkan pada perhitungan trend jangka panjangnya atau
dengan kata lain growth cycles ditunjukkan oleh pembalikan arah dari suatu cycles
di sepanjang trend jangka panjangnya.
Menurut Niemira dan Klein (1994), pendekatan growth cycle ini juga
dianggap
memiliki
beberapa
kelebihan
bila
dibandingkan
dengan
classical/traditional cycles. Beberapa kelebihan analisis menggunakan growth
cycles, yaitu:
i.
Jumlah cycles yang dihasilkan oleh growth cycles lebih banyak karena
growth cycle lebih sensitif dalam menunjukkan perubahan, bahkan untuk
perubahan yang tidak terlalu drastis (mild) sekalipun, dalam kurun waktu
yang sama, bila dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh classical
cycles;
ii.
Panjang dan amplitudo growth cycles lebih simetris dibandingkan dengan
classical cycles;
iii.
Dalam memprediksi cycles menggunakan pendekatan growth cycles,
hasilnya akan lebih akurat bila dibandingkan dengan classical cycles.
2.6.3. Growth Rate Cycle Analysis
Metode ini menganalisis business cycle dengan cara membandingkan
pertumbuhan perekonomian dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya
melalui proses pemulusan (smoothing). Proses pemulusan ini dilakukan untuk
menghilangkan titik-titik ekstrem apabila pertumbuhan point-to-point dihitung
langsung. Pertumbuhan ekonomi dikatakan meningkat apabila Smooth Growth
Rate (SMGR) positif dan sebaliknya menurun apabila SMGR negatif. Pada saat
SMGR menurun, kemungkinan akan mendahului atau dapat bersamaan dengan
penurunan business cycle sebagai sinyal terjadinya resesi. Metode perhitungannya
dikembangkan oleh Geoffrey H. Moore dan Victor Zarnowitz, yaitu sebagai
berikut:
⎡⎛ i =t −13
⎞ ⎤
Untuk data dalam bentuk value level, SMGR = ⎢⎜ X t ∑ X t −1 ⎟ − 1⎥
⎠ ⎦
⎣⎝ i =t −1
⎡⎛ i =t −13
⎞⎤
Untuk data dalam bentuk rate (growth), SMGR = ⎢⎜ X t ∑ X t −1 ⎟⎥
⎠⎦
⎣⎝ i =t −1
2.7.
12 / 6.5
(2.1)
12 / 6.5
(2.2)
Penelitian-penelitian Terdahulu
Meskipun telah banyak dilakukan penelitian tentang indikator dini dari
business cycle untuk berbagai negara di dunia, tetapi hasil yang didapatkan
berbeda-beda, terutama dalam pemilihan variabel yang menjadi indikator dini,
karena perbedaan kondisi dan sejarah perekonomian suatu negara. Beberapa
penelitian terus mengembangkan model yang terbaik yang dapat dipergunakan
untuk memprediksi perekonomian negara beberapa waktu ke depan.
Hubungan antarvariabel bisa dilihat dari hasil korelasi silangnya. Siregar
dan Ward (2002), menemukan dalam penelitiannya bahwa output nasional dan
tingkat suku bunga bisa berhubungan negatif atau positif, tergantung dari angka
lead atau lag yang digunakan. Berdasarkan ukuran dari korelasi dalam tingkat
absolutnya, terlihat bahwa kedua variabel tersebut berhubungan negatif. Korelasi
silang yang digunakan adalah korelasi silang Pearson.
Zhang dan Zhuang (2002) yang meneliti leading indicator untuk business
cycle Malaysia dan Filipina menunjukkan dalam periode penelitian selama
January 1981-Maret 2002, composite leading index yang dianalisis dengan
menggunakan metode HP filter dalam proses estimasi trendnya, dengan seri acuan
adalah monthly index of industrial production (IPI) untuk Malaysia dan monthly
index of manufacturing production (MPI) untuk Philippines yang menghasilkan
komposit yang terdiri dari enam leading indicator untuk masing-masing negara.
Proses
penentuan
titik
baliknya
menggunakan
penghitungan
Quadratic
Probability Score (QPS), dimana nilai QPS berada antara 0 dan dua. Jika nilai
QPS sama dengan nol berarti prediksi yang dibuat tepat, sementara jika nilai
QPSnya sama dengan dua berarti tidak ada satu sinyal yang benar.
Di Indonesia sendiri, telah dilakukan beberapa penelitian yang
berhubungan dengan business cycle, seperti penelitian Wuryandari, et.al (2002)
tentang leading economic indicator dengan menggunakan metode OECD dan
PDB sebagai seri acuannya. Dengan menggunakan pendekatan growth cycle, CLI
dapat memprediksi titik balik dari siklus pertumbuhan PDB sekitar enam bulan
sebelumnya. Komponen pembentuknya adalah produksi batu bara, penjualan
BBM, PDB Jepang, total impor, Real Effective Exchange Rate (REER), dan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Dalam mengembangkan CLI di Indonesia, BPS juga melakukan penelitian
sendiri dan menemukan enam titik balik dari business cycle Indonesia selama
periode Januari 1985-Desember 2003 dengan menggunakan metode Phase
Average Trend (PAT), dan menggunakan PDB sebagai series acuan (Sutomo dan
Irawan, 2003). Nilsson dan Brunet (2005) meneliti Composite Leading Index
(CLI) untuk beberapa negara yang bukan anggota OECD, salah satunya adalah
Indonesia. Dengan menggunakan metode PAT dan Hodrick-Prescott (HP) filter,
mereka menemukan bahwa hanya ada lima indikator yang bisa dikategorikan
sebagai CLI yang mempengaruhi business cycle Indonesia dari luar (komponen
eksternal), yaitu impor, ekspor, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat, sedangkan dari sisi keuangan (financial), yaitu call money rate dan the
Jakarta composite price share index.
Umumnya penelitian-penelitian yang mirip di luar negeri menganalisis
banyak sekali indikator sebelum akhirnya mendapatkan indikator terbaik yang
dapat digunakan untuk membuat peramalan. Seperti penelitian Kibritcioglu, Kose
dan Ugur (1999) yang berusaha menginvestigasi dan mendiskusikan daya prediksi
akan krisis mata uang menggunakan pendekatan leading economic indicator
dengan studi kasus negara Turki.
Mereka menganalisis pergerakan siklikal dari 51 indikator untuk
mendapatkan LEI. Unsur musimannya dihilangkan dengan program X-11, dan
proses estimasi trend yang menggunakan HP filter. Hasilnya dari 51 indikator,
hanya lima yang bisa diidentifikasikan sebagai leading indicator, yaitu terms of
trade, opini kemungkinan ekspor dibanding bulan sebelumnya, jumlah pesanan
dari pasar ekspor tiga bulan terakhir, jumlah pesanan dari pasar ekspor tiga bulan
ke depan, dan nilai tukar. Perbedaan utamanya adalah
penelitian tersebut
menggunakan foreign exchange market pressure index sebagai seri acuannya.
Hasilnya ternyata LEI yang dihasilkan masih mungkin memprediksi tipe krisis
yang disebabkan oleh peran dasar kebijakan yang rendah, tetapi untuk jenis krisis
yang lain akan sangat sulit untuk diprediksi.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang mirip di
Indonesia adalah penelitian ini menggunakan dua seri acuan dalam penentuan
leading, lagging, dan coincident indicatornya, yaitu PDB dan IPI yang dianalisis
dalam bentuk triwulanan. Penelitian ini berusaha membandingkan hasil analisis
dari kedua seri acuan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga berusaha
menyempurnakan pemilihan variabel-variabel yang dianalisis menjadi bagian dari
business cycle indicator dari penelitian-penelitian sebelumnya dan mengevaluasi
apakah variabel-variabel tersebut masih relevan untuk dijadikan sebagai leading
indicator dengan kondisi perekonomian sekarang.
2.8.
Kerangka Pemikiran
Dalam kerangka pemikiran penelitian ini akan dijabarkan prosedur
penentuan leading, lagging, dan coincident indicator, menggunakan metode
OECD. Penelitian ini menggunakan dua seri acuan yaitu single series yang
diwakili oleh PDB dan multiple series yang diwakili oleh IPI, dalam bentuk data
triwulan. Sebelum dapat ditentukan titik balik dari pergerakan siklikal seri acuan,
maka data dibersihkan dari unsur musiman dan irregular menggunakan program
seasonally adjusted. Estimasi trend dilakukan menggunakan metode HP filter,
sedangkan proses detrending (pemisahan unsur trend dan siklikal) dilakukan
dengan mengurangi nilai seri data yang telah dihilangkan unsur musimannya
dengan seri data trend yang telah diestimasi sebelumnya. Penentuan titik balik
baik untuk seri acuan maupun variabel-variabel ekonomimakro yang digunakan
dalam penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada kriteria Bry-Boshan.
Komposit hanya menggabungkan variabel-variabel yang tergolong dalam
leading indicator setelah memenuhi kriteria statisitik, dan pergerakan siklikalnya
terjadi lebih dulu daripada pergerakan siklikal seri acuan. Proses pembentukan
CLI dilakukan setelah data diseragamkan periodenya, selanjutnya menormalisasi
data detrended variabel-variabel ekonomimakro yang merupakan komponen
komposit, dan merubahnya ke dalam bentuk indeks. Tahapan terakhir dalam
pembentukan komposit adalah agregasi seluruh variabel yang tergolong dalam
leading indicator yaitu dengan dicari nilai rata-ratanya.
Tanda panah yang terdapat dalam gambar berikut (Gambar 2)
menunjukkan urutan dalam prosedur pembentukan composite leading indicator.
Setiap tahapan memiliki prosedur ataupun bahan pertimbangannya masingmasing. Output merupakan hasil yang diharapkan dapat diperoleh jika prosedur
dan pertimbangan tersebut telah dilakukan. Untuk lebih rincinya, penjelasan setiap
tahapan akan dibahas dalam bab berikutnya, yaitu bab metode penelitian.
Penentuan Seri Acuan
Pertimbangan:
• Single/multiple series
• Lag data
• Aktual data/proxy
Output:
Seri acuan dan nilai
statistik
Penentuan Titik Balik Seri Acuan
Pembersihan data:
• Adjusting for seasonality
• Estimasi trend-HP filter
• Detrending
• Prosedur Bry-Boschan
Output:
Puncak dan lembah
Pemilihan Komponen Pembentuk Komposit
Pertimbangan:
• Relevansi ekonomi
• Ketersediaan data
• Kriteria statistik
Output:
Komponen komposit
Pembentukan Komposit Indikator
Prosedur awal:
• Penyeragaman periode
• Normalisasi
• Agregasi
Output:
composite leading index
dengan titik balik dan nilai
statistiknya
Gambar 2. Pembentukan CLI Berdasarkan Metode OECD
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Cara
pengumpulan data didasarkan atas pencarian, pemilihan, dan pencatatan dari
dokumen statistik berbagai lembaga terkait seperti Bank Indonesia (BI), dan
Badan Pusat Statistik (BPS) serta beberapa bahan pustaka lainnya berupa literatur
dari buku-buku, majalah, dan internet yang berhubungan dengan topik penelitian.
Pengambilan data mencakup indikator-indikator ekonomi yang mempengaruhi
perekonomian Indonesia dan mengacu kepada beberapa penelitian sebelumnya.
Data PDB didapat dari Bank Indonesia dan data IPI diperoleh dari Centre
for Strategic and International Studies (CSIS). Data PDB dan IPI inilah yang
akan dianalisis menjadi seri acuan. Data-data lain yang akan dianalisis sebagai
komponen pembentuk komposit, yaitu produksi minyak mentah, produksi Liquid
Natural Gas (LNG), produksi timah, produksi tembaga, produksi nikel, total
ekspor, ekspor non migas, ekspor udang, ekspor kayu lapis, total impor, impor
non migas, impor barang konsumsi, impor bahan baku, impor barang modal yang
didapat dari seri indikator ekonomi terbitan Badan Pusat Statistik (BPS). Data
lainnya yaitu IHSG, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan, M1,
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS,
didapat dari seri Statistik Ekonomi
Keuangan Indonesia (SEKI) terbitan Bank Indonesia.
Awalnya lebih banyak data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, tetapi
tidak semuanya bisa didapatkan. Data PDB tersedia dalam bentuk triwulan,
sedangkan data IPI tersedia dalam bentuk bulanan, tetapi hanya bisa tersedia
mulai tahun 1993 dengan tahun dasar 2000. Beberapa variabel yang diperoleh dari
BPS masih memiliki beberapa nilai dengan angka sementara dan tidak direvisi
pada terbitan berikutnya. Solusinya dengan membuat data dalam bentuk bulanan
menjadi triwulan.
Selain itu, pihak BPS tergolong lambat dalam penyediaan data. Terbitan
seri indikator terakhir dari BPS yang diperoleh dalam waktu pengumpulan data
pada bulan Mei 2006 adalah seri indikator bulan Februari 2006 dengan isi data
terakhir baru sampai bulan Oktober 2005. Bank Indonesia sendiri juga memiliki
keterbatasan dalam penyediaan data. Seperti seri SEKI yang diterbitkan memiliki
format penulisan yang berbeda dalam selang beberapa tahun, sehingga
mempersulit dalam proses pencatatan data.
Beberapa data juga baru tersedia akhir-akhir ini, seperti penyaluran kredit
properti hanya tersedia mulai dari tahun 2000. Pada data tingkat suku bunga SBI 3
bulan, dan suku bunga deposito memiliki data yang terputus-putus, terutama saat
terjadi krisis moneter tahun 1997-1998 dan pasca krisis. Atas dasar inilah seluruh
variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk triwulan
dengan periode penelitian mulai dari tahun 1993 triwulan satu sampai dengan
tahun 2005 triwulan ketiga. Sebenarnya bisa saja dilakukan interpolasi data
triwulan menjadi data bulanan, namun kemungkinan besar data bulanan tersebut
misleading, karena metode interpolasi akan menghilangkan titik balik data
triwulan.
3.2.
Metode Analisis Data
Metode penentuan CLI yang diterapkan oleh OECD sebenarnya juga
mengacu pada metode yang dikembangkan oleh National Bureau of Economic
Research (NBER), dengan perbedaan mendasar pada penentuan seri acuan
(reference series), yaitu menggunakan single series atau multiple series. Penelitian
ini menganalisis dan membandingkan hasil analisis diantara keduanya.
Secara statistik data time series terdiri dari empat komponen, yaitu
seasonal factor, cyclical factor, irregular component, dan trend. Metode
pembentukan CLI ini memisahkan komponen siklikal dari ketiga komponen
lainnya. Kemudian, komponen siklikal tersebut dianalisis gerakannya dan
dibandingkan dengan gerakan siklikal dari indikator yang dijadikan seri acuan.
Proses
penghilangan
faktor
musiman
dan
irregular
dilakukan
dengan
menggunakan program X-12 dalam Eviews dan proses estimasi trendnya
menggunakan metode Hodrick-Prescott filter yang juga terdapat pada program
Eviews. Untuk menganalisis perbandingan gerakan siklikal antara kandidat
komponen dan seri acuan menggunakan analisis visual grafik dan analisis korelasi
silang.
3.2.1. Pembentukan CLI Berdasarkan Metode OECD
Berikut ini merupakan penjabaran secara rinci prosedur pembentukan CLI
mengacu pada metode OECD, yang sebelumnya telah digambarkan kerangka
prosedurnya dalam bab tinjauan pustaka. Prosedur pembentukan CLI ini terbagi
atas empat tahap, seperti yang terdapat dalam penelitian Wuryandari et al (2002) :
1.
Penentuan Seri Acuan
Pemilihan dan penetapan seri acuan merupakan langkah awal dalam proses
pembentukan CLI, dan merupakan tahapan yang paling penting. Hal ini
dikarenakan seri acuan tersebut akan digunakan sebagai rujukan dalam pemilihan
kandidat komponen leading indicator, sehingga banyak hal yang perlu
diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam tahapan ini.
Penelitian ini mengamati volatilitas dari business cycle di Indonesia, oleh
karena itu diperlukan suatu seri acuan yang mampu mencerminkan kegiatan
ekonomi di Indonesia. Pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah apakah suatu
seri acuan cukup menggunakan single series atau harus menggunakan multiple
series. Umumnya, single series yang bisa dijadikan seri acuan adalah data PDB
yang biasanya memiliki lag sekitar tiga bulan. Sedangkan multiple series yang
biasa digunakan sebagai acuan adalah IPI.
Perbedaan ini disebabkan karena ada sebagian pendapat yang merasa
penggunaan data PDB sebagai seri acuan sudah cukup menangkap kegiatan
ekonomi suatu negara, meskipun semuanya tergantung pada ketersediaan data dan
derajat keyakinan terhadap seri tersebut. Sementara itu, sebagian pendapat lain
yang
merasa
penggunaan
single
series
sebagai
acuan
kurang
dapat
menggambarkan kegiatan perekonomian negara secara keseluruhan. Selain itu,
jika data yang digunakan adalah data sementara, akan ada kemungkinan terjadi
kesalahan dalam pengukuran (measurement errors).
2.
Penentuan Titik Balik Seri Acuan
Langkah selanjutnya adalah proses pembersihan data dari unsur musiman,
trend, dan irregular sebelum dilakukan penentuan titik balik dari seri acuan yang
sudah ditentukan di awal. Berikut ini merupakan tahapan dari prosedur
pembersihan data :
a.
Adjusting for seasonality
Untuk membersihkan data time series dari fluktuasi musiman dan
irregular dapat dilakukan dengan menggunakan program X-12 dari Eviews. Hal
ini tidak perlu dilakukan apabila data yang digunakan merupakan data
pertumbuhan tahunan karena data tersebut diasumsikan sudah tidak mengandung
unsur musiman lagi.
b.
Estimasi trend
Metode OECD yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
Hodrick-Prescott filter. Alternatif metode penghilangan unsur trend yang lain
seperti metode PAT (Phase Average Trend) tidak dilakukan dikarenakan kendala
software yang tidak dimiliki, yaitu program CIND dan Javelin 3 plus.
Metode HP (Hodrick-Prescott) filter
Metode HP filter berfungsi untuk mengestimasi trend dan kemudian
menghilangkannya. Metode HP filter merupakan alat analisis ekonomi yang
sederhana dan sangat fleksibel dan merupakan pilihan inti dari trend. Komponen
trend bersifat stokastik tapi bergerak mulus sepanjang waktu dan tidak
berhubungan dengan komponen siklikal.
Metode HP filter membutuhkan penghitungan dari komponen trend yaitu
Y* untuk t=1,2,3,..... dari data seri yang telah dihilangkan unsur musiman dan
irregularnya, yaitu Y. T dapat diestimasi dengan meminimalisasi fungsi
kerugiannya, yaitu:
T
∑ (Yt − Y * t )
t =1
dimana
λ
2
T −1
+ λ ∑ [(Y * t + 1 − Y * t ) − (Y * t − Y * t − 1)]
2
(3.1)
t =2
merupakan parameter yang merefleksikan varian dari
komponen trend relatif terhadap komponen siklikal. Bisa juga diartikan sebagai
faktor pembobot yang mengontrol seberapa mulus hasil trend tersebut. Nilai λ
yang rendah akan menghasilkan trend yang mengikuti seri yang telah dihilangkan
unsur musimannya secara dekat, sedangkan nilai λ yang tinggi tidak akan
menghasilkan fluktuasi jangka pendek dari seri yang telah dihilangkan unsur
musimannya. Nilai λ untuk data tahunan adalah 100, dan untuk data triwulanan
yang diberikan oleh Hodrick dan Prescott adalah 1600, sedangkan untuk data
bulanan, nilai λ yang diberikan adalah 14400.
c.
Detrending
Tahapan ini bertujuan untuk memisahkan unsur siklikal dari unsur trend
setelah seri acuan bersih dari fluktuasi musiman dan irregular. Tahapan ini
dilakukan dengan cara mengurangi seri data yang telah dihilangkan unsur
musiman dan irregularnya menggunakan program seasonally adjusted dengan
seri data yang telah dihilangkan unsur trendnya. Hasil akhirnya berupa pergerakan
siklikal seri acuan, yang kemudian dapat dilihat bentuk business cyclenya.
Setelah seri data dibersihkan dari unsur musiman, irregular, dan trend
maka selanjutnya dapat dilanjutkan dengan proses identifikasi titik balik (turning
points) berdasarkan metode Bry-Boschan routine:
Adapun kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dalam proses penentuan titik balik
menggunakan metode Bry-Boschan, yaitu:
a)
Periode dengan nilai yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari nilai
lainnya dalam rentang 5 bulan sebelum dan sesudahnya diidentifikasi
sebagai titik balik potensial.
b)
Suatu fase (puncak ke lembah atau lembah ke puncak) memiliki minimum
durasi 5 bulan.
c)
Suatu siklus (puncak ke puncak atau lembah ke lembah) memiliki
minimum durasi 15 bulan.
d)
Apabila terdapat dua atau lebih titik balik yang sejenis (puncak ke puncak
atau lembah ke lembah) dan berurutan, maka dipilih puncak yang tertinggi
atau lembah yang terendah.
e)
Apabila terdapat dua atau lebih titik balik dengan nilai yang sama, maka
titik terakhirlah yang dipilih sebagai titik balik.
f)
Titik balik yang terdapat dalam kurun waktu enam bulan atau kurang dari
awal dan akhir periode suatu seri data, maka titik tersebut tidak
diperhitungkan sebagai titik balik.
Kriteria lain yang bisa dijadikan acuan adalah kriteria yang disarankan
oleh Artis et al. seperti yang terdapat dalam working paper Zhang dan Zhuang
(2002), kriteria-kriteria tersebut, antara lain:
a)
Titik puncak dan titik lembah mengikuti satu sama lain.
b)
Jarak minimum yang diperlukan antara dua titik balik (sebuah fase) adalah
sembilan bulan.
c)
Jarak minimum yang diperlukan untuk dua alternatif titik balik (siklus dari
puncak ke puncak atau dari lembah ke lembah) adalah 24 bulan.
d)
Titik balik dilokasikan pada nilai ekstrim dalam sebuah fase. Jika ada lebih
dari satu nilai ekstrim dalam satu fase, maka observasi yang terakhir yang
dipilih sebagai titik balik.
e)
Observasi yang terjadi bersamaan dengan kejadian nonekonomi (seperti
guncangan, bencana alam, dll) akan dihiraukan untuk tujuan menganalisis
titik balik kecuali titik balik yang didefinisikan dilokasikan bersebelahan
dengan observasi tersebut.
Dalam penelitian ini, penentuan titik balik mengacu pada kriteria yang
disarankan Bry-Boschan karena jika durasi antartitik balik terlalu jauh, seperti
yang disarankan Artis et al. dalam working paper Zhang dan Zhuang (2002),
banyak kemungkinan akan menghilangkan titik balik potensial yang mungkin
terjadi selama durasi tersebut.
3.
Pemilihan Komponen Pembentuk CLI
Tahapan selanjutnya adalah pemilihan kandidat komposit, tetapi
sebelumnya, perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu apakah data yang akan
dipilih memiliki pergerakan co-movement terhadap seri acuan yang bersifat
leading, lagging, atau coincident. Hal ini dilakukan karena komponen pembentuk
CLI hanya terdiri dari variabel-variabel ekonomimakro yang tergolong sebagai
leading indicator.
Berikut ini merupakan faktor-faktor yang dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan seleksi terhadap data variabel sebelum ditetapkan
sebagai kandidat:
1.
Relevansi Ekonomi
Dalam hal ini, data variabel harus memiliki makna ekonomi yang sangat
berkaitan dengan seri acuan, antara lain seperti:
i.
mengandung unsur yang dapat menyebabkan fluktuasi kegiatan
ekonomi
(prime
movers),
maksudnya
fluktuasi
aktivitas
perekonomian dipengaruhi terutama oleh sejumlah kekuatan yang
dapat diukur seperti kebijakan fiskal dan moneter, contohnya adalah
money supply, nilai tukar;
ii.
mengandung unsur ekspektasi pelaku ekonomi (expectation sensitive
indicator), hal ini cenderung merefleksikan antisipasi terhadap
aktivitas ekonomi yang akan datang, contohnya adalah survey
konsumen kegiatan usaha, IHSG dimana permintaan saham
tergantung rasio price-earning dan perkiraan keuntungan perusahaan
sehingga pergerakan IHSG menggambarkan kondisi ekonomi yang
akan datang dalam waktu dekat;
iii.
mengukur kegiatan ekonomi pada awal proses produksi (early stage
indicator), ada jarak antara keputusan untuk memproduksi dan
pelaksanaan produksi yang sebenarnya, contohnya adalah ijin
membangun, produksi barang antara, pesanan-pesanan baru;
iv.
dapat menyesuaikan dengan cepat terhadap perubahan kegiatan
ekonomi (rapidly responsive indicator), contohnya adalah jumlah
jam kerja lembur, maksudnya industri lebih mudah meningkatkan
jam kerja dibandingkan harus meningkatkan jumlah pekerja dalam
memenuhi permintaan.
2.
Ketersediaan Data
Pemilihan data variabel yang akan digunakan tidak sembarang dan
memiliki banyak hal yang harus diperhatikan, seperti: (i) sedapat mungkin
menggunakan data dengan frekuensi publikasi yang lebih tinggi; (ii) data
tidak sering mendapat revisi terutama mencakup periode penelitian; (iii)
publikasi data tersedia dalam waktu cepat (timeliness of publication) dan
mudah untuk diperoleh; (iv) data tersedia dalam rentang waktu yang
panjang dan berkesinambungan, serta tidak terdapat data yang terputus.
3.
Stasioneritas
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai variabel dalam
komposit harus merupakan data stasioner yang telah bersih dari unsur
musiman, irregular dan trend.
4.
Kriteria Statistik
Setelah data dinyatakan stasioner, maka syarat akhir yang harus dipenuhi
adalah data harus memiliki perilaku siklikal tertentu, beberapa diantaranya
adalah: (i) seri data harus memiliki periode yang panjang dan periode
leading antara titik balik kandidat leading indicator konsisten dengan titik
balik seri acuan; (ii) seri data harus memiliki cyclical conformity antara
kandidat indikator dengan seri acuan yang ditunjukkan oleh korelasi yang
tinggi antar keduanya; (iii) dalam seri data tidak terdapat siklus ekstra
maupun siklus yang hilang (missing cycles) dibandingkan dengan
pergerakan siklus seri acuan; (iv) seri data memiliki pergerakan data yang
mulus, dalam arti pergerakan siklikal dapat dengan mudah dibedakan dari
pergerakan data yang irregular.
Penentuan struktur data seri kandidat dan data seri acuan dilakukan
terlebih dahulu sebelum memasuki proses perhitungan deviasi dari trend. Ada dua
macam perhitungan deviasi seri terhadap trend, yaitu:
ƒ
Seri yang bersifat multiplicative, dalam arti amplitudo dari komponen
musiman meningkat sejalan dengan berjalannya waktu, maka terhadap seri
tersebut dilakukan perhitungan ratio to trend.
ƒ
Seri yang bersifat additive, dalam arti amplitudo dari komponen musiman
cenderung sama sepanjang periode termasuk apabila terdapat data yang
bernilai negatif, maka terhadap seri tersebut dilakukan perhitungan
difference from trend.
Pemilihan penggunaan variabel yang tepat dalam komposit ditentukan
berdasarkan pemenuhan kriteria-kriteria yang telah disebutkan di atas, dengan
penekanan pada perilaku siklikal dari seri data. Selanjutnya, untuk mengetahui
titik balik seri kandidat, dapat dilakukan melalui proses yang sama dengan
penentuan titik balik seri acuan, yaitu dengan menggunakan metode Bry-Boschan
routine.
4.
Pembentukan Composite Leading Index
Tahap selanjutnya setelah proses pemilihan variabel-variabel yang akan
dijadikan sebagai kandidat komposit adalah proses penyusunan komposit
indikator. Tujuan membentuk CLI adalah untuk memprediksi titik balik dan
menyediakan peringatan dini dari penurunan/peningkatan aktivitas ekonomi.
Jika diasumsikan ada dua data time series , X dan Y, dimana Y adalah
composite leading index dan X adalah seri acuan. Pergerakan dalam X bisa
diartikan sebagai proses menuju 2 rezim: rezim penurunan dan rezim peningkatan.
Titik balik terjadi ketika terjadi pergantian rezim. Oleh karena itu, kita berharap
pola pergerakan Y akan mirip dengan pergerakan dalam X, tapi dengan beberapa
waktu penyesuaian, dimana Y akan bergerak mendahului X beberapa periode
sehingga Y bisa membuat sinyal awal tentang pergerakan dalam X.
Dari sudut pandang para pembuat kebijakan, pelaku bisnis, dan investor,
adalah ideal menerima sinyal peringatan dari titik balik dengan lead time yang
tepat sehingga kebijakan yang tepat bisa direncanakan dan diberlakukan. Jika lead
timenya terlalu lama, resiko akan adanya sinyal yang salah akan menjadi tinggi.
Faktanya, meningkatkan lead time dalam sebuah sinyal memiliki kecenderungan
untuk meningkatkan resiko memiliki lebih banyak sinyal yang salah (Zhang dan
Zhuang, 2002).
Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk membentuk komposit
leading indikator ini adalah sebagai berikut:
1.
Penyeragaman periode
Seri data yang telah terpilih menjadi kandidat akan diseragamkan
periodisasinya menjadi data triwulanan. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan dalam proses analisis, agar pergerakan siklikalnya bisa
sama.
2.
Normalisasi
Tahap selanjutnya adalah melakukan normalisasi seri data. Prosedur ini
dilakukan agar seluruh pergerakan siklikal memiliki amplitude yang sama.
Tanpa proses normalisasi ini, maka pergerakan siklikal komposit indikator
dapat didominasi oleh pergerakan indikator dengan amplitude siklikal
yang besar. Metode normalisasi yang digunakan adalah dengan
mengurangi seri data dengan nilai rata-rata, sehingga diperoleh angka
selisih. Selanjutnya, membagi angka selisih dengan rata-rata dari nilai
absolut selisih tersebut. Penjelasan matematis dari proses normalisasi ini
dijabarkan sebagai berikut :
xi =
Xi − X
S
(3.9)
Keterangan:
Xi = data yang sudah distandarisasi (normalisasi)
Xi = data original
X = nilai rata-rata
S = standar deviasi
Terakhir, data yang telah dinormalisasi tersebut diubah ke dalam bentuk
indeks dengan cara menambahkan nilai 100.
3.
Lagging
Tahap ini hanya dilakukan apabila kandidat indikator yang dipilih terbagi
dalam dua kelompok yaitu “longer leading” dan “shorter leading”.
Pembentukan komposit yang terdiri dari kedua kelompok indikator
tersebut dapat memberikan hasil yang kurang baik berdasarkan penelitian
Buchori (1998). Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dari hasil
adalah dengan memajukan periode lead dari longer leading indicator.
Proses lagging tidak dilakukan dalam penelitian ini karena tidak ada
pembagian kelompok dalam kandidat indikator.
4.
Pembobotan
Penggabungan beberapa indikator ke dalam suatu komposit dapat
dilakukan dengan memberikan bobot yang berbeda kepada setiap
indikator, misalnya, berdasarkan kemampuan secara historis untuk
memprediksi siklus. Dalam hal ini, OECD menggunakan nilai bobot yang
sama (equal weights) untuk setiap indikator pembentuk komposit, karena
secara tidak langsung pembobotan telah dilakukan dalam proses
normalisasi.
3.
Agregasi
Tahap selanjutnya adalah pembentukan indeks komposit, yaitu dengan
menghitung nilai rata-rata dari seluruh indikator yang dipilih.
3.2.2. Kategori Volatilitas
Proses penentuan kategori volatilitas dari pergerakan siklikal suatu
indikator dilakukan dengan cara mencari nilai standar deviasi dari seri data
terlebih dahulu untuk kemudian dibagi dengan nilai rata-rata dari seri data yang
telah dipisahkan dari unsur trendnya. Hasil dari pembagian tersebut diubah
menjadi bentuk persentase. Kriteria yang harus diperhatikan adalah untuk
indikator yang memiliki Coefficient Variation (CV) lebih dari 100 persen berarti
volatilitasnya tergolong tinggi. Sedangkan indikator yang memiliki CV lebih dari
50 persen tapi kurang dari 100 persen termasuk dalam kategori volatilitasnya
medium, dan untuk indikator yang CV-nya kurang dari 50 persen termasuk dalam
indikator yang volatilitasnya rendah. Berikut merupakan cara penghitungan secara
matematisnya:
x=
∑x
n
S=
(3.2)
n
n
n∑ xi − (∑ xi ) 2
2
i =1
i =1
n(n − 1)
(3.3)
Dari dua persamaan di atas maka dapat dirumuskan penghitungan Cvnya
adalah :
CV =
S
.100%
X
Keterangan :
S = standar deviasi
X = nilai rata-rata
(3.4)
3.2.3. Kategori Business Cycle Indicator
Pengelompokan indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini
ke dalam kategori leading, lagging, dan coincident indicator dilakukan dengan
membandingkan pergerakan siklikal variabel ekonomimakro dengan pergerakan
siklikal seri acuan. Cara membandingkannya menggunakan analisis visual grafik
dan analisis korelasi silang. Pendekatan korelasi silang ini merupakan studi
tentang hubungan bivariate (hubungan antardua variabel). Hubungan ini bisa
bernilai positif atau negatif, tergantung dari angka lag atau lead yang digunakan
(Siregar dan Ward, 2002).
Korelasi menurut Gaynor dan Kirkpatrick adalah pengukuran hubungan
antara dua variabel. Jika satu variabel (X) cenderung mengalami peningkatan
seperti halnya peningkatan yang terjadi pada variabel lain (Y), maka r (korelasi)
akan positif. Jika X cenderung meningkat saat Y menurun, maka r akan negatif.
Jika tidak ada hubungan antara kedua variabel, maka dapat dikatakan tidak ada
korelasi, atau r sama dengan nol.
Cara menghitung korelasi (r) berdasarkan konsep covariance. Covariance
adalah rata-rata dari hasil silang dua variabel yang acak:
n
Cov( X , Y ) =
∑ ( X − X )(Y − Y )
i =1
n
(3.5)
Jika covariance dibagi hasil standar deviasi dari dua variabel, maka akan didapat
nilai r:
r=
Cov( X , Y )
S X SY
(3.6)
Formula ini juga bisa ditulis dalam bentuk yang ekuivalen berikut ini:
n∑i =1 XY − ∑i =1 Y
n
r=
n
n∑i =1 X 2 − (∑i =1 X ) 2 n∑i =1 Y 2 − (∑i =1 Y ) 2
n
n
n
n
(3.7)
Pengukuran korelasi silang ini mencakup range waktu dari -8 sampai +8.
Setelah itu, nilai koefisien yang terbesar pada waktu tertentu akan menunjukkan
indikator tersebut tergolong pada jenis indikator yang mana. Misalnya, suatu
variabel X memiliki koefisien korelasi terbesar pada saat lead dua (+2) dengan
nilai sebesar 0.70, dengan demikian variabel tersebut bersifat leading dengan time
lead 2 triwulan, jika data yang digunakan dalam bentuk triwulan. Jika koefisien
korelasi suatu variabel yang terbesar berada pada saat t (0), maka variabel tersebut
bersifat coincident, sedangkan jika berada pada saat lag (t-i) maka variabel
tersebut bersifat lagging.
Adakalanya suatu variabel yang telah digolongkan ke dalam kriteria
tertentu ternyata memiliki nilai koefisien korelasi lain yang besarnya tidak jauh
berbeda dari nilai koefisien korelasi terbesar dan berada pada range waktu yang
berbeda. Hal ini berarti perlu dilakukan uji signifikansi koefisien korelasi tersebut.
Jika ternyata nilai koefisien korelasi kedua signifikan, berarti variabel tersebut
memiliki dua kecenderungan jenis indikator.
Pengujian signifikansi koefisien korelasi dapat dilakukan dengan
membandingkan nilai t-statistic dengan kritikal nilai t-table. Untuk itu, kita
membuat dua hipotesis:
H0 : ρ = 0 (tidak ada hubungan)
H1 : ρ ≠ 0 (ada hubungan)
Uji statistik digunakan untuk menguji hipotesis ini adalah t-statistic dengan
derajat bebas = n – 2:
t=
r−ρ
r
n−2
=
=r
Sr
Sr
1− r 2
(3.8)
Jika nilai t-statistic lebih besar dari kritikal t-table untuk α = 0.05 maka
keputusannya adalah tolak H0, maksudnya ada hubungan antara kedua variabel.
IV. TINJAUAN SINGKAT PEMBENTUKAN CLI
4.1.
Pembentukan CLI di Luar Negeri
Pendekatan leading indicator dan peramalan bisnis dirintis oleh salah satu
organisasi di Amerika Serikat, yaitu NBER (National Bureau of Economic
Research) lebih dari setengah abad yang lalu. Sejarah dari leading indicator
(indikator pendahulu), pertama kali dibentuk pada masa Pra Perang Dunia I, yang
dikenal dengan sebutan Harvard ABC curves. Kurva ini mengklasifikasikan
indikator-indikator siklikal ke dalam satu dari tiga kelas: spekulasi (kurva A),
aktivitas ekonomi (kurva B), dan pasar uang (kurva C). Meskipun Harvard ABC
curves tidak dapat bertahan seiring dengan pengujian waktu, namun prosesnya
bertahan sampai sekarang.
Pada musim gugur sekitar tahun 1937, NBER diminta oleh Henry
Morgenthau, Jr yang pada saat itu menjabat sebagai secretary of treasury, untuk
mengembangkan indikator yang dapat mengantisipasi siklus perubahan ekonomi.
Sejak saat itu konsep leading, lagging dan coincident indicator menjadi semakin
berkembang. Sebelumnya, klasifikasi waktu dilihat sebagai produk dari para
peneliti NBER untuk menemukan penyebab dari business cycle (Niemira dan
Klein, 1994).
Sejak Oktober 1961, Departemen Perdagangan di Amerika Serikat mulai
menerbitkan Business Cycle Development (BCD), sebuah peninjauan statistik dari
indikator siklikal yang telah diidentifikasi oleh NBER. Kemudian publikasi ini
berganti nama menjadi Business Conditions Digest, selanjutnya berubah lagi
menjadi Survey of Current Business. Tidak ada perubahan dalam isi dan
pendekatan yang digunakan, meskipun para peneliti yakin bahwa tehnik analisis
business cycle lambat laun akan memudar. Saat ini, pendekatan indikator menjadi
lebih baik dan lebih luas digunakan oleh pemerintah di negara-negara lain dengan
menerbitkan leading indicators untuk negara-negaranya masing-masing.
Wesley C. Mitchell dan Arthur F. Burns merupakan dua peneliti dari
NBER yang menerbitkan kumpulan leading indicator yang dapat dipercaya
(reliable) untuk pertama kalinya, mulai saat itu, banyak dilakukan riset untuk
mengembangkan dan meyempurnakan leading indicator baik dari segi konsep
maupun teknis (Niemira dan Klein, 1994). Beberapa lembaga lain selain NBER
yang turut berpartisipasi adalah CIBCR (Center for International Business Cycle
Research’s) di Inggris, ECRI (Economic Cycle Research Institute) di New York
dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang
memiliki kantor pusat di Paris.
4.2.
Pembentukan CLI di Indonesia
Di Indonesia, penerapan penggunaan perangkat leading indicator
mengalami perjalanan panjang dan berliku bahkan sampai sekarang pun masih
mengalami kendala. Awalnya, sekitar tahun 1992, Bank Indonesia mulai merintis
pembentukan leading indicator dengan menggunakan pendekatan growth cycle,
yang mana bekerjasama dengan CPB (Central Planning Bureau) Netherland.
Kendala utama yang dihadapi adalah penggunaan software yang sulit
diaplikasikan.
Selanjutnya
Bank
Indonesia
bekerjasama
dengan
ECRI
mengembangkan pembentukan CLI yang lebih baik menggunakan pendekatan
growth rate cycle sekitar tahun 1997-1998. Saat itu mulai dibentuk pula leading
indicator untuk inflasi. Kendala yang dihadapi masih seputar software yang tidak
dimiliki Bank Indonesia membuat pembentukan leading indicator masih
dilaksanakan ECRI, dan Indonesia hanya menyediakan data yang dibutuhkan saja.
.
Peninjauan kembali konsep pembentukan leading indicator dilakukan
berdasarkan pembelajaran ulang baik dari pendidikan maupun studi pustaka. Hasil
yang didapat menimbulkan kerancuan karena penggunaan penggabungan
pendekatan growth cycle dan growth rate cycle. Sampai saat ini, Bank Indonesia
masih bekerjasama dengan OECD dan membuat pelatihan oleh Cabinet-Office
Jepang dalam rangka menyempurnakan leading indicator yang dapat dipercaya.
Salah satu direktorat Bank Indonesia, yaitu Direktorat Statistik Ekonomi dan
Moneter (DSM) mengembangkan suatu indikator yang disebut prompt indicator,
yang bertujuan untuk memberikan informasi lebih awal mengenai perkembangan
ekonomi, agar arah kebijakan moneter dapat lebih terarah dan menghindari
kemungkinan terjadinya krisis.
Sampai saat ini, metode pembentukan leading indicator di Indonesia terus
berkembang seiring dengan peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mendukungnya. Ada beberapa metode yang dapat digunakan
untuk membentuk composite leading index. Indonesia sendiri banyak mengacu
pada metode yang dikembangkan OECD, yang mana juga mengacu pada metode
yang dikembangkan oleh NBER. Tetapi dalam metode OECD pun, terdapat
beberapa alternatif cara dalam proses pengestimasian unsur trend-nya, bisa
menggunakan metode PAT (Phase Average Trend) atau metode HP (HodrickPrescott) filter.
Kelemahan dari metode PAT ini adalah tidak stabilnya titik balik
perekonomian yang telah ditentukan, khususnya pada akhir periode, sehingga
akan mempengaruhi prediksi arah perekonomian dan lead time dari suatu
indikator. Pengguna metode ini harus berhati-hati khususnya pada saat melakukan
up dating data karena ada kemungkinan up dating tersebut akan menyebabkan
terbentuknya titik balik baru. Pada situasi ini, metode PAT akan menghitung
pertumbuhan trend baru yang kemungkinan akan secara drastis merubah slope
garis trend, sehingga akan mempengaruhi kestabilan titik balik perekonomian
yang telah ditentukan. (Buchori, 1998). Selain itu untuk dapat menggunakan
metode PAT ini membutuhkan software yang jarang digunakan dan tidak bersifat
user friendly yaitu Javelin 3 plus, program CIND (Conjungtuur Indonesia), dan
Micro TSP (Time Series Program) version 7.0.
Meskipun begitu, tidak ada
metode yang sempurna dalam memprediksi trend, termasuk HP filter, karena
proyeksi trend merupakan suatu hal yang sangat sulit, seperti yang dikemukakan
oleh Hodrick dan Prescott.
Banyak sekali kendala yang harus dihadapi dalam pembentukan CLI ini
selain dari permasalahan metode dan softwarenya. Penentuan seri acuan
merupakan dasar utama masalah, dimana terdapat perbedaan pendapat dari para
peneliti yang menggunakan single series dan yang menggunakan multiple series.
Indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian sebelumnya dan tergolong
ke dalam leading indicators mungkin juga sudah tidak relevan lagi dan telah
berubah fungsi bila dilihat dari kondisi ekonomi negara pasca krisis saat ini.
Dalam setiap penelitian, tidak ada indikator atau komposit indikator yang
sangat sempurna, sehingga diperlukan review secara berkala untuk siklikal
indikator, seperti halnya untuk setiap metodologi peramalan untuk meyakinkan
bahwa indikator-indikator yang digunakan sebelumnya masih mewakili proses
ekonomi dan secara tehnik masih menjadi indikator yang baik, dan perlu juga
untuk menambah atau mengganti beberapa indikator dengan indikator baru ke
dalam komposit.
Berikut
akan
dijabarkan
perbandingan
perbedaan
metodologi
pembentukan CLI Indonesia dari awal pembentukannya sampai metodologi yang
digunakan sebelum akhirnya menerapkan metode OECD. Kegagalan metode
Leading Indicator (LI-2000) antara lain disebabkan oleh :
1.
Ketidakjelasan dari pendekatan analisa siklikal yang digunakan karena
adengan danya penggabungan teknik analisis siklikal membuat proses
trend adjustment terjadi berulang-ulang, yang sebetulnya tidak perlu
dilakukan dalam data berbentuk pertumbuhan.
2.
Data yang sudah dalam bentuk pertumbuhan seharusnya tidak perlu
dilakukan dekomposisi data, tetapi pada metode LI-2000 tetap dilakukan
sehingga proses pembersihan datanya dilakukan berulang.
3.
Tidak dilakukan proses eliminasi data ekstrim, menjadi penyebab
pergerakan leading indicator sangat berfluktuasi.
Tabel 2. Perbandingan Metodologi dalam Pembentukan CLI Indonesia
Konsep
Central Planning Bureau
Growth cycle
Seri rujukan
Seri tunggal
Persiapan data
Interpolasi
program CIND
Dekomposisi
• Menghilangkan
unsur
seasonal, trend dan irregular
• Seasonal
adjustment
menggunakan X-11
• Irregular dihilangkan dengan
weighted MA
• Detrending dengan Phase
Average Trend
• Pembobotan sama
• Pembobotan sama (pembobotan secara
tidak langsung pada saat standarisasi
• Amplitude
adjustment:
data, berdasarkan volatilitas)
standarisasi dan normalisasi
Amplitude adjustment : standarisasi,
•
• Analisa siklus dilakukan pada
normalisasi dan pengalian dengan
data deviasi dari trend PAT
amplitude adjustment factor
(rasio terhadap trend)
• Analisa siklus dilakukan pada data
SMGR
Pembentukan
Komposit
menggunakan
Economic Cycle Research Institute
LI-2000
Classical business cycle dan Growth Rate Gabungan antara growth cycle dan
Cycle (SMGR)
growth rate cycle (SMGR)
Seri tunggal
• Komposit beberapa indikator (LIE)
• Seri tunggal (LII)
• Interpolasi menggunakan A2Q (program • Interpolasi data kuartalan dengan
ECRI)
metode sederhana (dibagi 3)
• Data dibuat stasioner
• Data tidak dibuat stasioner
• Hanya menghilangkan unsur seasonal
• Menghilangkan unsur seasonal,
trend, dan irregular
• Seasonal adjustment dengan X-11 yang
dimodifikasi dengan memasukkan imlek • Seasonal adjustment dengan X-11
Eviews
adjustment
dengan
• Seasonal
menghitung rasio
• Komponen I = (C+I) – C
• Detrending dengan Phase Average
Trend
• Pembobotan berdasarkan korelasi
dan volatilitas (secara garis besar
sama dengan amplitude adjustment,
namun tidak dikalikan dengan
amplitude adjustment factor
• Analisa siklus dilakukan pada
deviasi data SMGR dari trend PAT
(difference dari trend)
Penentuan titik
balik
• Analisa grafis
• Koefisien korelasi
• Metode Bry-Boschan
• Metode Bry-Boschan (12 CMA,
Spencer curve B, MCD 9 MA)
• Clustering untuk penentuan final titik
balik
• PAT digunakan untuk menentukan
rata-rata shock kembali ke trendnya.
Angka rata-rata tersebut menentukan
nilai MA untuk MCD
• Dihitung lead profile berdasarkan
confidence interval (randomized test of
match pair)
• Metode Bry-Boschan (12 MA,
Spencer curve B, MCD 6 MA)
V.
5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola dan Karakteristik Indikator Business Cycle Indonesia
Setelah pada bab sebelumnya dijelaskan mengenai metodologi dari
pembentukan leading indicator berdasarkan metode growth cycle OECD, maka
pada bagian ini akan dijelaskan mengenai aplikasi metode tersebut dalam
menentukan titik balik dari seri acuan dan pembentukan composite leading index
ekonomi Indonesia. Seri acuan yang digunakan dalam penyusunan leading
indicator dalam penelitian ini ada dua, yaitu Produk Domestik Bruto (PDB) dan
Industrial Production Index (IPI). Hal ini dilakukan karena selama ini dalam
penelitian mengenai business cycle di Indonesia selalu menggunakan PDB sebagai
seri acuan, sementara penelitian serupa tentang business cycle untuk negara lain,
menggunakan IPI sebagai seri acuannya. Oleh karena itu, penelitian ini akan
menganalisis, mengevaluasi, dan membandingkan hasil analisis diantara
keduanya.
Pada bagian ini, hasil analisis stylized facts akan disajikan dalam
gambaran
evolusi
trend
dan
fluktuasi
siklikal
seri
acuan,
kemudian
menggambarkan hubungan keterkaitan siklikal indikator kandidat komposit
dengan siklikal seri acuan yang terbagi dua. Metode yang digunakan untuk
menghilangkan
unsur
musiman
dan
irregular
dari
variabel-variabel
ekonomimakro adalah program seasonally adjusted dari X-12 dalam software
Eviews 4.1, dan metode yang digunakan untuk mengestimasi trend
adalah
metode Hodrick Prescott filter, yang juga dilakukan dalam software Eviews 4.1.
Sedangkan proses detrending (pemisahan unsur siklikal dari unsur trend-nya) dan
pembentukan CLI melalui normalisasi dilakukan dalam program Microsoft Excel.
5.1.1. Karakteristik dan Titik Balik Produk Domestik Bruto (PDB)
Alasan pemilihan PDB sebagai salah satu seri acuan yang digunakan
dalam pembentukan leading indicator ini adalah karena PDB dianggap sebagai
salah satu alat ukur kegiatan ekonomi yang paling akurat dalam level agregat.
Berikut ini merupakan gambar data triwulanan PDB dalam bentuk logaritma dari
tahun 1993 triwulan satu sampai dengan tahun 2005 triwulan tiga. Dari grafik
dapat dilihat bahwa perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan yang
positif sebelum terjadinya krisis tahun 1997.
Gambar 3. Grafik log PDB
Dampak dari krisis dirasakan sejak tahun 1997 triwulan ketiga, dimana
perekonomian Indonesia mulai mengalami pertumbuhan yang negatif. Hal ini
berlangsung sampai sekitar tahun 2000, karena situasi dalam negeri yang rumit
membuat Indonesia termasuk ke dalam negara yang proses pemulihan
ekonominya lambat. Akhir tahun 2003 pertumbuhan ekonomi mulai meningkat
kembali meskipun belum mencapai pertumbuhannya semula. Tetapi, setelah akhir
2004, pertumbuhan Indonesia meningkat pesat, dimana hal ini menunjukkan
bahwa Indonesia sudah terlepas dari pengaruh krisis moneter beberapa tahun
silam.
Grafik PDB dalam bentuk logaritma ini menunjukkan adanya fluktuasi
musiman (seasonal oscillations). Fluktuasi musiman ini berarti umumnya dalam
kegiatan ekonomi ada kecenderungan untuk menguat pada triwulan keempat dan
terkompensasi dengan penurunan selama triwulan pertama dalam satu tahun
kalender. Sebelum menganalisis pergerakan siklikal dari seri acuan, maka
komponen musiman ini harus dihilangkan dahulu. Proses penghilangan unsur
musiman dapat dilakukan langsung oleh program X-12 yang dikembangkan oleh
Census Bureau di Amerika Serikat dan telah dimasukkan ke dalam beberapa
software, termasuk Eviews.
Gambar 4 dan 5 masing-masing merupakan plot dari trend PDB dan
siklikal PDB. Plot ini didapat dari regresi menggunakan metode HP filter yang
mengestimasi trendnya dan kemudian dipisahkan dari unsur siklikalnya. Trend
PDB menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia dalam kurun waktu tiga belas
tahun terakhir mengalami tiga fase, yaitu fase peningkatan sampai periode tahun
1995, kemudian mengalami fase perlambatan sampai periode tahun 2000, dan
kembali lagi ke fase peningkatan sampai akhir periode penelitian. Jika saja pada
fase perlambatan yang dimulai tahun 1995 tersebut dicermati oleh pemerintah,
maka sebenarnya dapat dilakukan evaluasi atas kebijakan yang sudah dilakukan
dan membuat perencanaan kebijakan selanjutnya untuk menghindari kondisi yang
memburuk, yaitu terjadinya krisis moneter di Asia, yang didahului oleh Thailand.
Gambar 4. Grafik Trend PDB
Hasil growth cycle dalam plot estimasi siklikal PDB sebagai seri acuan
selama periode penelitian, yaitu untuk rentang waktu tiga belas tahun (1993.12005.3) memiliki dua siklus yang panjang dengan masing-masing durasi siklus
selama 16 triwulan dan 23 triwulan, sehingga rata-rata setiap siklus mencapai 19.5
triwulan, seperti yang dirangkum dalam Tabel 3. Terdapat lima titik balik yang
dapat ditangkap oleh pergerakan siklikal PDB, yang terdiri dari tiga titik lembah
dan dua titik puncak. Rata-rata durasi masa ekspansi adalah 9.5 triwulan, dan ratarata durasi masa kontraksinya adalah 10 triwulan.
Tabel 3. Karakteristik Titik Balik dari Seri Acuan PDB
Titik Balik
Fase / Siklus
Ekspansi
Kontraksi
Siklus No.1
Ekspansi
Kontraksi
Siklus No.2
Rata-rata
Ekspansi
Kontraksi
Siklus
Lembah
1994.4
1994.4
1998.4
1998.4
Puncak
1997.3
1997.3
2000.4
2000.4
Lembah
1998.4
1998.4
2004.3
2004.3
Durasi
(triwulan)
Fase Siklus
11
5
16
8
15
23
9.5
10
19.5
Selama periode penelitian dari tahun 1993 triwulan pertama sampai
dengan tahun 2005 triwulan ketiga, terjadi dua masa ekspansi dan dua masa
kontraksi, seperti akan dijabarkan berikut ini: masa ekspansi panjang pertama
terjadi pada L1-P1 (1994.4-1997.3), yang disebabkan oleh meningkatnya ekspor
non migas dan meningkatnya permintaan domestik, khususnya dari sektor non
pajak.
Selanjutnya terjadi kontraksi karena terjadinya krisis moneter dan krisis
keuangan pada P1-L2 (1997.3-1998.4), direfleksikan oleh penurunan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tajam sebesar minus lebih dari 13 persen, dimana
terjadi pemborongan dollar AS yang makin lama makin besar akibat isu yang
beredar luas di masyarakat. Hal ini berarti meningkatnya aliran dana ke luar
negeri (capital flight). Fase ekonomi kontraksi ini, dimulai oleh depresiasi besar
dari nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dari US$1= 2.450 rupiah di bulan
Juni 1997 menjadi 3.035 rupiah di bulan Agustus 1997, kemudian menjadi 10.375
rupiah bulan Januari 1998, sampai pada akhirnya mencapai 14.900 rupiah pada
bulan Juni 1998 (Sutomo dan Irawan, 2003). Hal tersebut juga ditunjukkan oleh
plot trend PDB yang berubah menjadi mendatar.
Gambar 5. Grafik Siklikal dan Titik Balik PDB
Hutang pemerintah Indonesia tahun 1997, menurut data dari Bank Dunia
mencapai 70 persen terhadap PDB yaitu sebesar $90 milyar. Hal ini
menggambarkan kondisi ekonomi Indonesia yang demikian kritis. Meskipun
termasuk lambat, tetapi perekonomian Indonesia mulai pulih dan memasuki masa
ekspansi kedua, yaitu L2-P2 (1998.4-2000.4), dimana perekonomian mengalami
pertumbuhan yang positif. Tercatatnya pertumbuhan ekonomi sebesar minus 9.4
persen pada kuartal pertama tahun 1999 (kuartal sebelumnya tercatat sebesar
minus 17.7 persen) sedikit banyak menandai sudah terlampaunya titik balik dari
resesi ekonomi. Hal ini diperkuat dengan tercapainya pertumbuhan PDB positif
pada kuartal kedua tahun 1999 sebesar 1.8 persen (Alisjahbana dan Yusuf, 1999).
Peningkatan ini terutama disebabkan oleh naiknya permintaan domestik,
khususnya dari sektor konsumsi.
Masa kontraksi terakhir yang diperoleh selama periode penelitian adalah
pada saat P2-L3 (2000.4-2004.3). Meskipun mengalami perlambatan, tetapi tidak
terlalu volatil, artinya pergerakan siklikalnya tidak berada terlalu jauh dari
trendnya. Menurut data yang diperoleh dari BPS, hal ini dikarenakan menurunnya
pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar minus 1.03 persen awal tahun 2002,
dan juga adanya penurunan investasi fisik sebesar minus 2.45 persen. Pertengahan
tahun 2002, dari sektor pertambangan-penggalian juga tidak terlihat menunjukkan
peningkatan. Tahun 2003 terjadi penurunan PDB sebesar minus 2.78 persen yang
sebagian besar disebabkan oleh pola musiman di sektor pertanian yang turun
sebesar minus 22.29 persen.
5.1.2. Karakteristik dan Titik Balik Industrial Production Index (IPI)
Variabel IPI juga dijadikan seri acuan sebagai perbandingan dari
penggunaan seri acuan PDB. Banyak penelitian tentang business cycle, terutama
yang berasal dari luar negeri yang merasa bahwa memilih seri tunggal sebagai
acuan dianggap kurang mewakili kondisi perekonomian negaranya, sehingga
mereka lebih percaya bahwa menggunakan seri acuan yang terdiri dari indeks
komposit akan lebih mewakili perekonomian negaranya, dimana IPI ini diukur
dari sektor-sektor seperti manufaktur, pertambangan, dan industri. Pengukuran IPI
ini tidak termasuk sektor pertanian, konstruksi, dan industri jasa.
Gambar 6. Grafik log IPI Indonesia
Seperti halnya grafik PDB yang ditunjukkan sebelumnya, grafik IPI dalam
bentuk logaritma juga menunjukkan adanya unsur musiman, sehingga diberi
perlakuan yang sama dengan PDB dan seluruh variabel ekonomimakro yang
dianalisis dalam penelitian ini, yaitu dihilangkan dengan program X-12 dalam
software Eviews. Tidak jauh berbeda dari pola pergerakan PDB, pola pergerakan
IPI
memiliki
kecenderungan
meningkat sampai pertengahan tahun 1995,
kemudian mengalami perlambatan tapi tidak statis seperti halnya dalam trend
PDB yang mendatar, trend IPI tetap meningkat meskipun tidak sebesar
pertumbuhan semula sebelum krisis.
Gambar 7. Grafik Trend IPI
Hasil growth cycle dalam plot estimasi siklikal IPI sebagai seri acuan
selama periode penelitian, yaitu untuk rentang waktu tiga belas tahun (1993.12005.3) memiliki dua siklus yang panjang dengan masing-masing durasi siklus
selama 18 triwulan dan 13 triwulan, sehingga rata-rata setiap siklus mencapai 15.5
triwulan, seperti yang dapat dilihat dalam Tabel 4. Terdapat enam titik balik yang
dapat ditangkap oleh pergerakan siklikal IPI, yang terdiri dari tiga titik lembah
dan tiga titik puncak. Rata-rata durasi ekspansi adalah 8.3 triwulan, dan kontraksi
adalah 7 triwulan.
Tabel 4. Karakteristik Titik Balik dari Seri Acuan IPI
Titik Balik
Fase / Siklus
Ekspansi
Kontraksi
Siklus No.1
Ekspansi
Kontraksi
Siklus No.2
Ekspansi
Rata-rata
Ekspansi
Kontraksi
Siklus
Lembah
1994.1
1994.1
1998.3
1998.3
2001.4
Puncak
1997.1
1997.1
1999.4
1999.4
2003.4
Lembah
1998.3
1998.3
2001.4
2001.4
Durasi
(triwulan)
Fase Siklus
12
6
18
5
8
13
8
8.3
7
Gambar 8. Grafik Siklikal dan Titik Balik IPI
15.5
Dalam grafik siklikal IPI, terlihat pergerakannya yang lebih volatil
daripada grafik siklikal PDB. Peningkatan pertumbuhan ekonomi, terjadi sampai
awal tahun 1997, tepat sebelum terjadinya krisis. Krisis moneter memberi tekanan
pada pembangunan industri dan perdagangan berupa krisis kepercayaan dari dunia
usaha dan masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini tercermin dari
aksi pemborongan bahan kebutuhan pokok oleh masyarakat luas melebihi
kebutuhan normal yang biasa dikonsumsi masyarakat.
Pada masa kontraksi pertama, yaitu P1-L2 (1997.1-1998.3), dapat dilihat
terjadi penurunan perekonomian yang cukup tajam, hal ini dikarenakan aktivitas
perdagangan luar negeri seperti ketergantungan pada barang impor yang relatif
tinggi dan nilai tukar rupiah yang berfluktuasi pada tingkat jauh di atas normal,
terutama terhadap dollar Amerika Serikat. Sementara keuntungan yang didapat
dari ekspor karena depresiasi nilai tukar rupiah, terutama bagi produk
berkandungan lokal tinggi, mendapat kendala berupa langkanya peti kemas untuk
ekspor dan keterbatasan devisa untuk impor bahan baku. Khususnya untuk tahun
1998, nilai ekspor Indonesia telah turun dan hanya mencapai kurang lebih US$ 50
milyar sementara nilai impor hampir mencapai US$ 60 milyar. Hal ini dapat
ditafsirkan sebagai suatu gejala makin menurunnya daya saing produk Indonesia.
Setelah itu, perekonomian Indonesia mengalami peningkatan dalam
kegiatan perekonomian, yaitu pada periode L2-P2 (1998.3-1999.2). Hal ini tidak
berlangsung lama, karena perekonomian kembali lagi memasuki masa kontraksi
yang cukup tajam, P2-L3 (1999.4-2001.4). Sampai akhir tahun 2004,
perekonomian tergolong pada masa ekspansi. Hasil akhir analisis titik balik yang
diperoleh tidak jauh berbeda dari hasil analisis siklikal PDB, hanya saja umumnya
titik balik yang didapat dari pergerakan siklikal IPI terjadi lebih dulu daripada titik
balik dari pergerakan siklikal PDB.
5.1.3. Perbandingan Seri Acuan PDB dan IPI
Bila dilihat dari grafik pergerakan siklikal dan perbandingan titik baliknya,
maka perbedaan antara kedua seri acuan tersebut akan lebih mudah dilihat. Seperti
yang ditunjukkan oleh gambar berikut ini :
Gambar 9. Pergerakan Siklikal Seri Acuan PDB dan IPI
Salah satu penjelasan dari perbedaan hubungan antara PDB dan IPI adalah
dalam pergerakan siklikal IPI, titik balik yang dapat ditangkap lebih banyak pada
pasca krisis dan terjadi lebih dulu daripada titik balik yang terjadi pada pergerakan
siklikal PDB. Bila dilihat dari hasil korelasi silang antara IPI dan PDB, maka IPI
merupakan leading indicator bagi PDB dengan koefisien 0.60 pada lead satu.
Hasil keluaran komputernya bisa dilihat pada Lampiran 6, sementara perbedaan
durasi antara titik balik seri acuan PDB dan titik balik seri acuan IPI bisa dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 5. Perbandingan Titik Balik Seri Acuan PDB dan IPI
Seri Acuan
PDB
IPI
IPI
(triwulan)
Lead (-)
5.2.
Titik Balik
Lembah
Puncak
Lembah
Puncak
Lembah
Puncak
1994.4
1994.1
1997.3
1997.1
1998.4
1998.3
2000.4
1999.4
2001.4
2003.4
-3
-2
-1
-4
Lembah
2004.3
Average
-2.5
Pemilihan dan Karakteristik Kandidat Komponen
Secara ideal, pemilihan kandidat komponen komposit leading seyogyanya
memenuhi beberapa kriteria, seperti memiliki relevansi ekonomi, ketersediaan
data, dan pemenuhan kriteria statistik. Relevansi ekonomi antara kandidat
komponen komposit dengan pertumbuhan ekonomi diperlukan untuk dapat
menjelaskan
secara
teori
bagaimana
hubungan
suatu
variabel
dengan
pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Pada umumnya, suatu variabel yang
mempunyai hubungan yang dapat dijelaskan secara teori, juga tercermin dari
besaran-besaran statistiknya, seperti nilai korelasi silang yang cukup tinggi.
Dalam penelitian ini, kriteria-kriteria tersebut diusahakan untuk dapat
dipenuhi. Namun demikian, masalah ketersediaan data dan kemudahan dalam
perolehannya merupakan penghambat utama dalam penelitian ini mengingat
dalam metode yang digunakan untuk membentuk CLI memerlukan jumlah data
yang cukup banyak. Dengan coverage atau keterlibatan variabel yang terbatas
akan mengurangi akurasi dari leading indicator yang terbentuk. Namun di lain
pihak, apabila sebagian besar variabel dilibatkan meskipun banyak yang tidak
mencukupi jumlah datanya, akan membuat metode yang digunakan tidak dapat
melakukan perhitungan dengan baik.
5.2.1. Perbandingan Variabel Ekonomimakro Terhadap Seri Acuan PDB
Meskipun dalam penelitian ini, variabel yang dianalisis tidak terlalu
banyak, tetapi diharapkan hasilnya bisa dipercaya. Setelah penentuan titik balik
seri acuan, maka dapat dilihat dari pola siklikal variabel ekonomimakro dari
timingnya dibandingkan dari pola siklikal seri acuan, apakah akan menjadi
leading, lagging, atau coincident indicator. Setelah diketahui jenis indikatornya,
maka selanjutnya untuk variabel yang tergabung dalam leading indicator berarti
menjadi kandidat indeks komposit.
Perbandingan pergerakan siklikal dari variabel ekonomimakro dengan seri
acuan dilakukan dengan analisis visual grafik dan analisis korelasi silang. Grafik
perbandingan fluktuasi siklikal setiap variabel ekonomimakro dengan seri
acuannya, baik terhadap PDB maupun terhadap IPI dapat dilihat pada Lampiran 2
dan 3.
Penentuan kategori volatilitas dari pergerakan siklikal variabel-variabel
dalam penelitian ini didapat dari hasil pembagian standar deviasi setiap variabel
ekonomimakro dengan nilai rata-rata masing-masing seri data, dan dibuat dalam
bentuk persen. Variabel yang tergolong memiliki volatilitas yang tinggi berarti
hasil pembagiannya lebih dari 100 persen. Sementara variabel-variabel yang
tergolong memiliki volatilitas rendah berarti hasil pembagiannya kurang dari 50
persen. Hasil perbandingan korelasi silang untuk penentuan jenis indikator setiap
variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.
Berikut merupakan hasil perhitungan untuk kriteria volatilitas variabel-variabel
ekonomimakro yang digunakan dalam penelitian ini :
Tabel 6. Perhitungan CV Variabel-variabel Ekonomimakro
Variabel
Standar Deviasi
Rata-rata
CV (%)
DX ( Total Ekspor)
0,086552745
0,002601471
33,271
DXNM (Ekspor Non Migas)
0,081457815
7,84314E-08
1038587,135
DXU (Ekspor Udang)
0,151813438
5,88235E-08
2580828,444
DXK (Ekspor Kayu Lapis)
0,153932787
0,001068725
144,034
DM (Total Impor)
0,163814583
1,74153E-17
9,40638E+15
DMNM (Impor Non Migas)
0,196862997
-9,80392E-08
-2008002,571
DMBK (Impor Barang Konsumsi)
0,215131569
-5,88235E-08
-3657236,675
DMBB (Impor Bahan Baku)
0,170850492
1,17647E-07
1452229,181
DMBM (Impor Barang Modal)
0,263254531
2,33444E-13
1,1277E+12
DER (Nilai Tukar)
0,245438845
-5,88235E-08
-4172460,372
DM1 (M1)
0,051263566
5,88235E-07
87148,063
DSBI (SBI 1 bulan)
0,094591255
-5,88235E-08
-1608051,333
DPM (Produksi Minyak)
0,044045337
5,88235E-07
74877,073
DPT (Produksi Timah)
0,185884503
-1,96078E-08
-9480109,644
DPTM (Produksi Tembaga)
0,228225417
-5,88235E-07
-387983,209
DPN (Produksi Nikel)
0,222986762
1,17647E-06
189538,748
DPL (Produksi LNG)
0,075163806
5,88235E-07
127778,470
DIHSG (IHSG)
0,186405632
-5,88235E-08
-3168895,738
DPDB (Produk Domestik Bruto)
0,045730468
-5,88235E-07
-77741,795
DIPI (Industrial Production Index)
0,072229239
5,22458E-17
1,38249E+15
Tabel 7. Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia Terhadap PDB
Fase Pergerakan
Leading Indicators:
1. M1
2. Nilai tukar (ER)
3. IHSG
4. Impor Non Migas (MNM)
5. Impor Barang Konsumsi (MBK)
6. Impor (M)
7. Produksi Nikel (PN)
8. Impor Bahan baku (MBB)
9. Ekspor Kayu Lapis (XK)
Rata-rata
Coincident Indicators:
1. Ekspor (X)
2. Ekspor non migas (XNM)
3. Impor barang modal (MBM)
Rata-rata
Lagging Indicators:
1. Produksi timah (PT)
2. Produksi tembaga (PTm)
3. Produksi LNG (PL)
4. Produksi Minyak (PM)
5. SBI 1 bulan (SBI)
6. Ekspor udang (XU)
Rata-rata
Volatilitas
Cross Corelation
Lead/Lag
Coefficient
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
-1
-1
-1
-1
-6
-1
-3
-1
-2
-1.9
0.62
0.75
0.48
0.75
0.47
0.71
0.43
0.70
0.48
0.60
Rendah
Tinggi
Tinggi
0
0
0
0
0.41
0.39
0.58
0.46
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
+2
+2
+2
+8
+5
+8
+4.5
0.36
0.16
0.29
0.40
0.56
0.27
0.34
Dapat dilihat dari tabel bahwa yang termasuk ke dalam leading indicators
adalah variabel ekonomimakro, seperti M1, nilai tukar, indeks harga saham
gabungan, impor non migas, total impor, impor barang konsumsi, produksi nikel,
impor bahan baku, dan ekspor kayu lapis. Rata-rata dari kesepuluh variabel
tersebut menunjukkan lead time 1.9 triwulan dari seri acuan PDB dengan
koefisien korelasi 0.60. Untuk coincident indicators rata-rata koefisien
korelasinya 0.46, dan untuk rata-rata koefisien korelasi silang lagging indicators
adalah 0.34, dengan waktu lag rata-rata 4.5 triwulan.
Ada beberapa variabel yang memiliki kecenderungan termasuk dalam 2
jenis indikator, setelah memperhatikan nilai-nilai koefisien korelasi yang terbesar
dan melakukan uji signifikansi koefisien korelasi jika ada nilai koefisien korelasi
yang tidak jauh berbeda dari nilai yang terbesar dan berada pada range waktu
yang berbeda. Seperti total ekspor memiliki koefisien korelasi terbesar 0.4138
yang berada pada posisi coincident, dan 0.4076 pada posisi lag 7. Hasil uji
signifikansinya menunjukkan nilai t-statistic 3.15.
Variabel impor barang modal memiliki koefisien korelasi terbesar 0.5834
yang berada pada posisi coincident, dan 0.5610 pada posisi lead 1. Hasil uji
signifikansinya menunjukkan nilai t-statistic 2.8. Sementara variabel ekspor non
migas memiliki koefisien korelasi terbesar 0.3861 yang berada pada posisi
coincident, dan 0.3717 pada posisi lag 1. Hasil uji signifikansinya menunjukkan
nilai t-statistic 4.72. Nilai t-table untuk α = 0.05 adalah 1.684. Dapat dilihat
bahwa nilai t-statistic lebih besar daripada nilai t-table, berarti variabel-variabel
tersebut memiliki 2 hubungan jenis indikator. Hal ini berarti jika periode
penelitian yang digunakan lebih panjang untuk selanjutnya, maka ada
kemungkinan variabel-variabel tersebut telah berubah fungsi.
5.2.2. Perbandingan Variabel Ekonomimakro Terhadap Seri Acuan IPI
Meskipun data hasil analisis yang digunakan adalah sama, bila
dibandingkan dengan karakteristik dari seri acuan yang berbeda, maka akan
berdampak pada hasil yang berbeda. Suatu variabel ekonomimakro bisa bertindak
sebagai leading indicator bila dibandingkan dengan seri acuan PDB, tetapi bisa
bertindak sebagai coincident atau bahkan menjadi lagging bila dibandingkan
dengan seri acuan IPI.
Terbukti dari hasil yang telah dirangkum dalam Tabel 7, variabel-variabel
ekonomimakro utama seperti indeks harga saham gabungan, nilai tukar, total
impor, ekspor kayu lapis dan impor non migas yang sebelumnya menjadi leading
indicator untuk seri acuan PDB, tergolong dalam coincident indicators bila
mengacu pada IPI. Sedangkan impor barang konsumsi dan produksi nikel juga
termasuk sebagai leading indicator IPI, tetapi dengan lead time berturut-turut 4
dan 1 triwulan. Hal ini berarti beberapa triwulan lebih dulu daripada saat mereka
mengacu pada PDB, karena seperti yang dijelaskan sebelumnya IPI merupakan
leading bagi PDB dengan lead time 1 triwulan.
Lead time untuk rata-rata leading indicators IPI adalah 2.5 triwulan,
dengan hasil analisis koefisien korelasinya sekitar 0.50. Sedangkan untuk
coincident dan lagging indicators berturut-turut adalah 0.53 dan 0.40 dengan ratarata durasi lag adalah 4.25 triwulan. Variabel impor bahan baku memiliki
koefisien korelasi terbesar 0.5424 yang berada pada posisi lag 8, dan 0.5408 pada
posisi coincident. Sementara variabel SBI 1 bulan memiliki koefisien korelasi
terbesar 0.5450 yang berada pada posisi coincident, dan 0.5323 pada posisi lag 6.
Variabel yang memiliki kecenderungan tergolong dalam 2 kategori
indikator dan setelah diuji melalui perbandingan antara t-statistic dan t-table. Nilai
t-statistic untuk variabel impor bahan baku dan SBI 1 bulan berturut-turut adalah :
4.49 dan 4.37, sementara nilai t-table adalah 1.684, sehingga dapat disimpulkan
ternyata signifikan. Artinya variabel impor bahan baku yang bersifat lagging, juga
memiliki kecenderungan untuk menjadi coincident. dan suku bunga SBI 1 bulan
yang tergolong coincident indicator juga memiliki kecenderungan termasuk
dalam lagging indicator.
Tabel 8. Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia Terhadap IPI
Cross Corelation
Fase Pergerakan
Leading Indicators:
1. Impor Barang Konsumsi (MBK)
2. Produksi Nikel (PN)
Rata-rata
Coincident Indicators:
1. Ekspor (X)
2. IHSG
3. Impor Non Migas (MNM)
4. Nilai Tukar (ER)
5. Impor (M)
6. M1
7. Ekspor Kayu Lapis (XK)
8. SBI 1 bulan (SBI)
Rata-rata
Lagging Indicators:
1. Impor Barang Modal (MBM)
2. Produksi Timah (PT)
3. Ekspor Udang (XU)
4. Produksi Minyak (PM)
5. Produksi Tembaga (PTm)
6. Produksi LNG (PL)
7. Ekspor non migas (XNM)
8. Impor Bahan Baku (MBB)
Rata-rata
Volatilitas
Lead/Lag
Coefficient
Rendah
Tinggi
-4
-1
-2.5
0.55
0.45
0.50
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.41
0.46
0.56
0.67
0.54
0.54
0.51
0.55
0.53
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
+2
+5
+3
+5
+5
+3
+3
+8
+4.25
0.62
0.28
0.27
0.43
0.33
0.30
0.38
0.54
0.40
5.2.3. Keterkaitan Kandidat Komposit dengan Seri Acuan
Keterkaitan masing-masing kandidat komposit dengan seri acuan dapat
dijelaskan sebagai berikut. Meningkatnya produksi pertambangan dalam sektor
produksi menunjukkan bahwa negara berada dalam kondisi yang baik dan
kegiatan usaha berlangsung aktif yang berarti pertumbuhan ekonomi yang positif,
seperti meningkatnya produksi nikel, produksi minyak, produksi LNG, produksi
tembaga, dan produksi timah.
Dari sisi sektor moneter dan pasar keuangan, suku bunga SBI mempunyai
hubungan yang terbalik dengan perekonomian, dalam hal ini suku bunga SBI
bersifat kontrasiklikal dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi suku bunga
SBI menyebabkan hutang pemerintah yang menumpuk yang berarti menurunnya
pertumbuhan ekonomi. Sementara, perkembangan pasar modal yang tercermin
dari IHSG lebih mengacu pada aspek sentimen yang mewarnai kondisi
perekonomian Indonesia. Nilai IHSG yang meningkat merefleksikan sentimen
positif, hal ini juga merefleksikan iklim investasi yang positif, sehingga hubungan
antara nilai IHSG dengan investasi ini cenderung positif. Meningkatnya investasi
berarti meningkat pula perekonomian negara. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
korelasi silangnya dengan seri acuan yang bernilai positif pada saat t = 0, artinya
pergerakan IHSG bersifat prosiklikal.
Uang memiliki peran penting dalam perekonomian suatu negara. Dalam
setiap aktivitas ekonomi pasti melibatkan uang, baik itu dalam kegiatan produksi,
konsumsi, maupun investasi. Dapat disimpulkan bahwa jumlah uang beredar
merupakan salah satu indikator ekonomimakro utama yang merupakan
pertimbangan penting dalam pengambilan kebijakan ekonomi oleh pemerintah
dan otoritas moneter. Dalam penelitian ini, didapat variabel M1 berhubungan
negatif dengan pertumbuhan ekonomi, dengan kata lain M1 bersifat
kontrasiklikal, artinya peningkatan jumlah uang yang beredar dimasyarakat akan
meningkatkan tingkat harga umum, jika hal ini terus berlangsung akan
menimbulkan inflasi sehingga pertumbuhan ekonomi menurun
Sementara itu, kandidat komponen eksternal terdiri dari sektor
perdagangan internasional seperti kegiatan ekspor dan impor. Ekspor bersih yang
didapat dari pengurangan jumlah total ekspor dari total impor meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini, variabel total ekspor maupun total
impor bersifat prosiklikal, hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar
barang-barang yang diekspor dari Indonesia tidak murni memiliki kandungan
lokal. Sebagian dari bahan bakunya merupakan produk impor dari negara lain,
sehingga dapat disimpulkan bahwa jika terjadi peningkatan ekspor maka juga
akan terjadi peningkatan impor, yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
negara.
Pertumbuhan impor barang modal dan bahan baku berkaitan erat dengan
kegiatan
di
sektor
produksi.
Impor
barang
modal
yang
meningkat
mengindikasikan akan terjadi setup suatu investasi baik berupa proyek,
pembukaan industri baru ataupun ekspansi usaha. Dilain pihak, peningkatan
pertumbuhan impor bahan baku lebih mengindikasikan kegiatan produksi yang
meningkat. Kegiatan produksi yang meningkat ini dapat disebabkan oleh adanya
investasi baru ataupun semata-mata karena adanya permintaan yang meningkat
dan diusahakan dipenuhi oleh sektor produksi (Sutomo dan Irawan, 2003).
Sementara itu, kegiatan ekspor yang meningkat dapat menstimulir investor
untuk berinvestasi dalam rangka memenuhi kebutuhan ekspor. Hubungan antara
masing-masing kandidat komponen dengan pertumbuhan ekonomi dapat pula
dilihat dari nilai korelasi silangnya. Namun, nilai korelasi silang ini tidak
menunjukkan hubungan kausalitas, hanya hubungan secara statistik saja, pada saat
kapan (lead/lag) suatu variabel dapat merefleksikan gerakan variabel yang lain,
seperti yang dijadikan sebagai seri acuan. Di samping itu, meskipun nilai korelasi
silang suatu variabel relatif kecil, seringkali setelah dikombinasikan dengan
variabel yang lain, nilai korelasi silang dari kombinasi tersebut menjadi lebih
besar.
5.3.
Pembentukan Composite Leading Index Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, CLI dibentuk oleh kumpulan
leading
indicators
yang
diharapkan
mampu
meramalkan
pergerakan
perekonomian Indonesia yang diproxy dari PDB dan IPI. Oleh karena hasil
leading indicators sedikit berbeda untuk seri acuan PDB dan IPI, maka akan
dibuat dua CLI untuk kemudian diperbandingkan hasilnya.
5.3.1. CLI untuk Seri acuan PDB
Pembentukan CLI dari seri acuan PDB terdiri dari seluruh indikator yang
termasuk dalam leading indicators, agar hasilnya bisa lebih baik dan dapat
dipercaya. Indikator-indikator tersebut adalah M1, nilai tukar, IHSG, impor non
migas, impor barang konsumsi, total impor, produksi nikel, impor bahan baku,
dan ekspor kayu lapis. Hasil pembentukan CLInya setelah dinormalisasi dapat
dilihat dari grafik perbandingan pergerakan siklikalnya dengan seri acuan PDB.
Dapat dilihat pada grafik (Gambar 10) bahwa pergerakan CLI cukup baik
mengikuti pergerakan siklikal seri acuan PDB, meskipun terlihat pergerakan CLI
lebih volatil daripada pergerakan PDB. Berikut akan dijabarkan titik balik yang
ditentukan dalam pergerakan CLI melalui grafik terpisah dan karakteristik ratarata dari setiap perbedaan lead time antara titik balik seri acuan PDB dan CLI.
Gambar 10. Seri Acuan PDB dan CLI
Gambar 11. Titik Balik CLI untuk PDB
Agar lebih mudah untuk diperbandingkan, maka perbandingan titik balik
seri acuan PDB dan CLI disajikan dalam bentuk tabel. Terlihat bahwa CLI
mampu menangkap semua titik balik yang ada pada seri acuan PDB, dan
memprediksi titik puncak terakhir selama periode penelitian yang tidak ada dalam
PDB, yaitu pada tahun 2004 triwulan keempat, yang berarti selama akhir periode
penelitian diramalkan akan mengalami kontraksi ekonomi. Bukti awalnya adalah
pada tahun 2005 pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)
sebanyak dua kali. Dengan banyaknya terjadi bencana alam yang tidak bisa
dihindari menimbulkan banyak kerugian pada rakyat dan semakin membebani
kehidupan masyarakat umum serta menurunkan daya belinya. Rata-rata lead
timenya adalah 3.4 triwulan untuk setiap titik balik yang terjadi.
Tabel 9. Perbandingan Titik Balik CLI dan Seri Acuan PDB
Seri
Acuan
PDB
CLI
CLI
(triwulan)
Lead (-)
Lembah
1994.4
1994.2
Puncak
1997.3
1997.1
-2
-2
Titik Balik
Lembah Puncak Lembah
1998.4
2000.4
2004.3
1998.3
2000.3
2001.4
Puncak
Average
2004.4
-3.4
-1
-1
-11
5.3.2. CLI untuk Seri acuan IPI
Pembentukan CLI dari seri acuan IPI hanya terdiri dari dua indikator yaitu:
impor barang konsumsi, dan produksi nikel. Meskipun nilai koefisien korelasi
antara produksi nikel dengan seri acuan IPI tidak mencapai 0.50 tetapi diharapkan
jika digabung dengan indikator lain dapat lebih meningkatkan korelasinya. Hasil
pembentukan CLInya dapat dilihat dari grafik perbandingan pergerakan
siklikalnya dengan seri acuan IPI.
Gambar 12. Seri Acuan IPI dan CLI
Seperti halnya CLI untuk seri acuan PDB, hasil CLI untuk seri acuan IPI
juga dapat mengikuti pergerakan siklikal IPI, dengan volatilitas yang sama
tingginya dengan volatilitas IPI. Berikut akan dijabarkan titik balik yang
ditentukan dalam pergerakan CLI melalui grafik terpisah dan karakteristik ratarata dari setiap perbedaan lead time antara titik balik seri acuan IPI dan CLInya.
Gambar 13. Titik Balik CLI untuk IPI
Seperti halnya hasil CLI untuk seri acuan PDB, CLI untuk seri acuan IPI
mampu menangkap semua titik balik yang ada pada pergerakan siklikal seri acuan
IPI, dengan rata-rata lead timenya setiap titik balik adalah 1.8 triwulan yang
berarti lebih cepat 1.6 triwulan daripada CLI untuk seri acuan PDB (Tabel 9).
Titik lembah ketiga pada CLI berhimpitan dengan titik lembah pada IPI, dengan
demikian CLI telah berubah fungsi menjadi coincident pada periode tersebut.
Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi selanjutnya mengenai indikator
pembentuk CLI, agar CLI bisa lebih dapat dipercaya keakuratannya.
Titik lembah terakhir (2005.2) yang terdapat pada akhir periode penelitian
diberi tanda garis putus-putus karena titik tersebut sebenarnya belum bisa
diperhitungkan sebagai titik lembah karena posisinya yang berada kurang dari
enam bulan dari akhir periode series data penelitian. Oleh karenanya belum
memenuhi syarat dari penentuan titik balik berdasarkan kriteria Bry-Boschan,
meskipun begitu, titik tersebut sangat potensial untuk menjadi titik lembah. Jika
titik tersebut berhasil diidentifikasi sebagai titik lembah, maka dapat disimpulkan
bahwa untuk masa setelah periode penelitian, perekonomian akan mengalami
ekspansi.
Tabel 10. Perbandingan Titik Balik CLI dan Seri Acuan IPI
Seri
Acuan
IPI
CLI
CLI
(triwulan)
Lead (-)
5.4.
Lembah
1994.1
1993.4
Puncak
1997.1
1996.1
Lembah
1998.3
1997.4
Titik Balik
Puncak
Lembah
1999.4
2001.4
1999.3
2001.4
Puncak
2003.4
2003.2
Average
-1.8
-1
-4
-3
-1
0
-2
Evaluasi indeks komposit
Kedua composite leading index yang telah dijelaskan sebelumnya
mempunyai karakteristik yang ditunjukkan oleh nilai-nilai statistiknya. Berikut ini
merupakan karakterisitk dari masing-masing komposit yang disajikan dalam
bentuk tabel agar lebih mudah untuk dievaluasi:
Tabel 11. Karakterisitk CLI Indonesia
Mean lead (+) at TP
All
Peak Trough
TP
CLI
PDB
CLI
IPI
•
•
•
Median lead (+) at TP
All
Peak Trough
TP
Standard
Deviation
Cross Corelation
Lead
Coef.
(+)
1.5
4.7
3.1
1.5
2
1.8
4.3
1
0.49
4.3
4
4.1
4
4
4
1.7
2
0.53
Mean / Median lead (+) at turning point adalah nilai rata-rata / tengah dari jarak antara titik
balik CLI dengan titik balik seri acuan.
Standard deviation adalah deviasi rata-rata jarak antara titik balik CLI dan seri acuan.
Cross Corelation adalah nilai yang mencerminkan hubungan antara CLI dengan seri acuan.
Berdasarkan nilai-nilai statistiknya, maka masing-masing komposit dapat
dievaluasi sebagai berikut :
•
Dilihat dari jarak antara titik balik CLI dengan seri acuan PDB, nilai rataratanya 3.1 triwulan sedangkan nilai tengahnya 1.8 triwulan, sementara
deviasinya cukup besar yaitu 4.3 triwulan. Dengan demikian antara titik
balik CLI dengan seri acuan PDB mempunyai kisaran jarak 1.2 triwulan
s/d 7.4 triwulan atau sekitar 3.6 bulan s/d 22.2 bulan. Sedangkan dari nilai
korelasi silangnya menunjukkan bahwa hubungan antara CLI dengan seri
acuan PDB mempunyai hubungan paling dekat pada lead 1 triwulan yaitu
0.49.
•
Dilihat dari jarak antara titik balik CLI dengan seri acuan IPI, nilai rataratanya 4.1 triwulan sedangkan nilai tengahnya 4 triwulan, sementara
deviasinya yaitu 1.7 triwulan. Dengan demikian antara titik balik CLI
dengan seri acuan IPI mempunyai kisaran jarak 2.4 triwulan s/d 5.8
triwulan atau sekitar 7 bulan s/d 17 bulan. Sedangkan dari nilai korelasi
silangnya menunjukkan bahwa hubungan antara CLI dengan seri acuan IPI
mempunyai hubungan paling dekat pada lead 2 triwulan yaitu 0.53.
CLI untuk seri acuan IPI relatif lebih konsisten karena dengan nilai tengah
4 triwulan, kemampuan prediksinya berada dalam kisaran 2.4 – 5.8 triwulan.
Meskipun kedua komposit memiliki koefisien korelasi yang tidak terlalu tinggi,
yaitu hanya sekitar 0.50 tetapi hasil pergerakan kurva leading indicatornya cukup
mewakili pergerakan siklikal seri acuan meskipun lebih volatil.
5.5.
Dokumentasi Fakta Empirik Business Cycle Indonesia
Hasil analisis pemisahan komponen trend dan siklikal dari data time series
ekonomimakro dalam penelitian ini setelah dianalisis pola dan karakteristiknya
dengan melihat grafik pergerakan siklikal dan korelasinya dengan kedua seri
acuan, yaitu PDB dan IPI maka selanjutnya dapat dibuat stylized facts untuk
dijadikan sebuah dokumentasi fakta empirik membandingan dengan teori dan
hasil empirik penelitian sebelumnya. Berikut ini merupakan beberapa fakta yang
diperoleh berdasarkan hasil analisis penelitian ini dan telah teruji secara empirik :
1.
Bentuk pergerakan siklikal business cycle baik dengan seri acuan PDB
maupun IPI terlihat tidak simetris untuk setiap siklusnya.
2.
Umumnya rata-rata masa ekspansi lebih panjang daripada rata-rata masa
kontraksi, tetapi hal ini hanya berlaku untuk business cycle dengan seri
acuan IPI. Sementara kondisi yang sebaliknya terdapat pada business cycle
dengan seri acuan PDB, dimana rata-rata masa kontraksinya lebih panjang
daripada rata-rata masa ekspansinya, meskipun perbedaan durasi antara
rata-rata setiap periodenya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 0.5 triwulan.
3.
Variabel yang digunakan sebagai alternatif seri acuan seperti IPI dilihat
dari pergerakan siklikalnya dapat disimpulkan merupakan leading bagi
seri acuan PDB, karena titik baliknya terjadi lebih dulu daripada titik balik
PDB.
4.
Pergerakan siklikal seri acuan IPI lebih volatil daripada pergerakan siklikal
seri acuan PDB, sehingga mampu menangkap titik balik lebih banyak
daripada titik balik pada PDB.
5.
Untuk Indonesia, lebih baik menggunakan seri acuan PDB daripada seri
acuan IPI karena perekonomiannya yang masih sebagian besar ditopang
dari sektor pertanian, bukan dari sektor manufaktur, pertambangan dan
industri, dimana merupakan sektor-sektor yang diukur untuk mendapatkan
nilai IPI.
6.
Meskipun variabel-variabel ekonomimakro yang digunakan sama tetapi
hasil pengkategorian jenis indikator untuk setiap variabel bisa berbeda bila
dibandingkan dengan seri acuan yang berbeda.
7.
Variabel-variabel yang sebelumnya tergolong menjadi leading indicator,
bila dianalisis ulang dengan penambahan data time series beberapa periode
yang akan datang dan tetap menggunakan seri acuan yang sama, bisa
berubah fungsinya menjadi coincident atau bahkan menjadi lagging
indicator. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi perekonomian negara,
kebijakan yang diterapkan pada indikator tersebut, dll.
8.
Beberapa variabel yang bersifat prosiklikal terhadap seri acuan PDB dan
IPI adalah total ekspor, ekspor non migas, ekspor kayu lapis, total impor,
impor non migas, impor bahan baku, impor modal, dan indeks harga
saham gabungan.
9.
Variabel-variabel yang berhubungan negatif dengan seri acuan baik untuk
PDB maupun IPI adalah nilai tukar (Rp/US$), M1, dan suku bunga SBI 1
bulan.
10.
Variabel-variabel yang tidak memiliki hubungan dengan seri acuan atau
yang bersifat a-siklikal adalah ekspor udang, impor barang konsumsi,
produksi minyak, produksi timah, produksi tembaga, produksi nikel, dan
produksi LNG.
5.6.
Perbandingan dengan Hasil Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian mengenai leading indicators sebelumnya baik untuk
di Indonesia sendiri maupun di negara lain menjadi bahan rujukan dan
mengevaluasi hasilnya sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini.
Penelitian ini menemukan bahwa untuk indikator seperti total impor, impor non
migas, impor barang konsumsi, impor bahan baku, ekspor kayu lapis merupakan
bagian dari komposit leading ekonomi sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Damanik dan Avenzora tahun 2003 lalu.
Indikator lain yang juga termasuk sebagai leading menurut Damanik dan
Avenzora (2003), seperti ekspor non migas, dan impor barang modal sudah
berubah fungsi menjadi coincident, dan ekspor udang yang sebelumnya termasuk
leading, menurut hasil analisis tergolong sebagai lagging indicator. Total ekspor
yang menurut penelitian Wuryandari et al. dari Bank Indonesia (2002) termasuk
dalam leading, juga sudah berubah fungsi menjadi coincident.
Berikut ini akan disajikan hasil penentuan titik balik seri acuan dan
indikator-indikator pembentuk komposit beberapa negara yang telah dianalisis
oleh peneliti-peneliti dari luar negeri sebelumnya, agar menjadi bahan
perbandingan dari hasil penelitian ini. Dari hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa negara-negara seperti Afrika Selatan, India, Brazil, dan Cina
memiliki business cycle dengan volatilitas yang tinggi yang ditunjukkan
banyaknya titik balik yang ada, dalam artian kondisi perekonomiannya mudah
berubah. Seri acuan yang umum digunakan adalah index of industrial production
dan GDP, hanya filipina yang menggunakan index of manufacturing production
sebagai seri acuannya.
Hasil kompositnya untuk Malaysia mampu memprediksi kesemua
sembilan titik balik dengan rata-rata lead time 1.5 bulan untuk titik puncak dan 3.4
bulan untuk titik lembah. Rata-rata masa ekspansi dan kontraksinya adalah 31.8
bulan dan 24.3 bulan. Titik balik Filipina bisa diprediksi tujuh dari delapan
dengan masing-masing rata-rata lead time untuk titik puncak dan titik lembahnya
adalah 5.8 bulan dan 6 bulan. Rata-rata masa ekspansi Filipina adalah 33.3 bulan
dan rata-rata masa kontraksinya 28 bulan. Untuk Brazil rata-rata kontraksinya
terjadi selama 16 bulan dan untuk ekspansinya 21.3 bulan.
Rata-rata masa
ekspansi untuk Cina adalah 21.4 bulan, sedangkan rata-rata masa kontraksinya
adalah 13.3 bulan, tidak jauh berbeda dari Brazil. Indian memiliki rata-rata masa
ekspansi yang pendek dari Brazil dan Cina karena volatilitas business cyclenya
yang tinggi, yaitu 19.9 bulan dan rata-rata masa kontraksi 18.1 bulan.
Volatilitas business cycle Rusia dan Afrika Selatan yang rendah membuat
rata-rata ekspansi dan kontraksinya panjang. Untuk Rusia, rata-rata masa ekspansi
dan masa kontraksi berturut-turut adalah 28.5 bulan dan 22 bulan. Sementara ratarata masa ekspansi dan masa kontraksi Afrika Selatan berturut-turut adalah 27.3
bulan dan 25.7 bulan. Hasil dalam penelitian ini terbagi dua, untuk business cycle
PDB, rata-rata masa ekspansinya adalah 38 bulan dan rata-rata masa kontraksi 40
bulan. Untuk business cycle IPI, rata-rata masa ekspansi dan masa kontraksi
berturut-turut adalah 33 bulan dan 28 bulan.
Tabel 12. Perbandingan Titik Balik Beberapa Negara
TP Malaysia Philippines
/
IPI
IMP
RS
P
T
P
T
P
T
4/1983
11/1982
P
8/1984
8/1984
T
5/1987
11/1986
P
12/1990
7/1989
T
12/1992
P
T 10/1993
P
T
P
8/1997
11/1997
T 11/1998
1/1999
P
9/2000
11/2000
T 12/2001
P
T
*hasil penelitian ini
South Africa
GDP
IPI
Q3/1974
Q4/1977
Q3/1981
10/1975
3/1978
12/1981
Q2/1983
Q1/1984
Q4/1986
Q4/1988
Q4/1992
Q2/1994
Q2/1995
1/1983
6/1984
5/1987
Q2/1997
Q4/1998
Q3/2000
Q4/2001
Q2/2002
Q3/2003
4/1989
4/1993
5/1995
4/1997
3/1999
4/2002
Brazil
GDP
IPI
2/1981
12/1981
7/1982
3/1984
2/1987
11/1988
12/1989
Q3/1991
Q3/1992
Q4/1994
Q1/1996
Q3/1997
Q1/1999
Q1/2001
Q4/2001
Q4/2002
Q3/2003
8/1992
12/1994
5/1995
10/1997
12/1998
12/2000
10/2001
11/2002
China
India
Russia
IPI
IPI
IPI
GDP
IPI
1/1979
2/1980
2/1981
2/1982
9/1982
4/1985
2/1986
9/1988
8/1990
1/1991
12/1991
10/1994
1/1995
5/1997
2/1999
7/2000
2/2002
12/1979
6/1981
1/1983
2/1984
2/1986
7/1987
1/1988
3/1990
1/1993
7/1994
11/1997
9/1998
2/2000
12/2002
Q4/1994
Q3/1997
Q4/1998
Q4/2000
Q1/1994
Q1/1997
Q3/1998
Q4/1999
Q4/2001
Q4/2003
2/1996
11/1996
10/1997
10/1998
3/2000
2/2002
Indonesia*
Q3/2004
Tabel 13. Komponen Indikator yang Digunakan dalam Pembentukan CLI
Brazil
Export volume
Industrial production semi-and
non-durable goods
Spong iron production
Negara
Sales of motor cars for
/Komponen
domestic market
Share priced index, FGV 100E
Terms of trade
Finished good stock, inverted
Order books
China
Broad money supply
Cargo handled at ports
Chemical feltilizer
Enterprise deposits
Imports from Asia
Non-ferrous production
South Africa
Building plans
Business confidence,
manufacturing
Negara
Interest rate spread
/Komponen Motor cars sales
Order inflow, manufacturing
Share price index, total
Malaysia
Stock price index
(local currency)
Stock price index in
US$
Exports (in US$)
Money supply (M1)
Industrial production
in Korea
US federal fund rate
*hasil penelitian ini untuk CLI PDB
India
Business Confidence
Imports
Exchange rate, USD, inverted
Money Supply M1
Deposit interest rate, inverted
Share price index, BSE Dollex
IPI basic goods
IPI intermediate goods
Philippines
Stock price index (in US$)
Exchange rate (peso per US$)
Discount rate (reversed)
Manufacturing employment
Money supply (M1)
Industrial production in Korea
Russia
Business Confidence, industry
Selling prices, future tendency,
industry
Business situation, construction
Stock level, retail trade
Crude oil price, world
Balance of payments, current
Net trade
Indonesia*
M1
Nilai tukar (ER)
IHSG
Impor Non Migas (MNM)
Impor Barang Konsumsi (MBK)
Impor (M)
Produksi Nikel (PN)
Impor Bahan baku (MBB)
Ekspor Kayu Lapis (XK)
VI.
6.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk membentuk suatu sistem leading indicator
untuk business cycle Indonesia menggunakan data ekonomimakro yang tersedia
yang mengacu pada metode yang dikembangkan OECD, dengan pandangan untuk
memprediksi titik balik dari siklus pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang
diwakili oleh PDB dan IPI. Secara keseluruhan, CLI dinilai dapat bekerja cukup
baik meskipun dengan koefisien korelasi yang tidak terlalu tinggi.
Dilihat dari grafik pergerakan siklikalnya selama periode penelitian
(1993.1–2005.3), pergerakan IPI lebih volatil daripada pergerakan PDB. Ada
lima titik balik dalam PDB, terdiri dari tiga titik lembah dan dua titik puncak.
Sedangkan untuk IPI, ada enam titik balik yang dapat ditangkap, yang terdiri dari
tiga titik puncak dan tiga titik lembah. Titik balik pada IPI terjadi lebih dulu
daripada titik balik PDB dengan rata-rata lead time 2,5 triwulan, sehingga IPI
tergolong leading indicator bagi PDB.
Setelah menganalisis 18 variabel ekonomimakro yang tersedia dari
berbagai sumber, didapat 9 variabel yang termasuk leading indicator untuk PDB,
yaitu M1, nilai tukar, IHSG, impor non migas, impor barang konsumsi, total
impor, produksi nikel, impor bahan baku, dan ekspor kayu lapis dengan rata-rata
lead time 1.9 triwulan dan rata-rata koefisien korelasi 0.60. Variabel yang
termasuk dalam coincident indicators adalah total ekspor, ekspor non migas, dan
impor barang modal dengan rata-rata koefisien korelasi 0.45.
Untuk IPI yang telah disimpulkan merupakan leading bagi PDB, hanya
produksi nikel dan impor barang konsumsi saja yang termasuk ke dalam leading
indicator dengan rata-rata lead time 2.5 triwulan dan memiliki rata-rata koefisien
korelasi sebesar 0.50. Sedangkan variabel seperti indeks harga saham gabungan,
nilai tukar, total impor, ekspor kayu lapis dan impor non migas yang sebelumnya
menjadi leading indicator untuk seri acuan PDB, berubah fungsi menjadi
coincident indicators, ditambah dengan impor barang modal sehingga rata-rata
koefisien korelasinya 0.53.
CLI PDB terdiri dari seluruh variabel yang termasuk ke dalam leading
indicators dan mampu memprediksi enam titik balik dari lima titik balik pada
PDB dengan rata-rata sinyal leading
time 3.1 triwulan setiap titik baliknya.
Kemampuan prediksi CLI PDB berkisar antara 3.6 bulan s/d 22.2 bulan.
Sedangkan untuk CLI IPI mampu memprediksi keenam titik balik yang ada
dengan rata-rata sinyal leading time 4 triwulan untuk setiap titik balik
Kemampuan prediksi CLI IPI berkisar antara 7 bulan s/d 17 bulan.
6.2.
Saran
Meskipun CLI yang dibentuk mampu mengikuti pergerakan siklikal dari
seri acuan, tetapi nilai koefisien korelasi untuk kedua CLI masih rendah, hanya
sekitar 0.50 yang berarti masih membutuhkan penelitian lanjutan. Kinerja dari
hasil komposit ini perlu terus diuji dengan data terbaru untuk dinilai tingkat
kerelevanannya dengan kondisi perekonomian yang terus berubah.
Baik lembaga pemerintah maupun swasta diharapkan dapat terus bekerja
sama dengan lembaga pemerintah maupun swasta, atau juga universitasuniversitas di Indonesia, salah satunya adalah IPB untuk mengembangkan
metodologi pembentukan CLI yang lebih balik dan hasilnya yang dapat lebih
dipercaya
keakuratannya
dengan
software
yang
mudah
diperoleh
dan
diaplikasikan untuk perekonomian Indonesia.
Untuk lembaga penyedia data, diharapkan untuk memperbaiki sistem
statistikalnya, sehingga data bisa tersedia dengan time series yang panjang, tidak
terputus dan dalam frekuensi yang tinggi. Selain itu juga dapat mulai
menyediakan data-data seperti building permits, unit labor cost, consumer
expectation dan manufacturing productivity growth yang sangat berpotensi
menjadi leading indicator menurut penelitian serupa di luar negeri. Apabila data
tersebut telah tersedia, dan bukan proksinya maka perlu dilakukan penyusunan
kembali CLI Indonesia.
Pemerintah sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia sebagai otoritas
moneter dapat bekerja sama membuat kebijakan yang memperhatikan variabel
yang tergolong dalam leading. Seperti jika BI menjaga agar nilai tukar rupiah
tidak terlalu berfluktuasi, maka kegiatan perdagangan luar negeri bisa berjalan
baik, didukung oleh kebijakan dari pemerintah agar kegiatan ekspor bisa
meningkat, seperti memudahkan perizinan dan pemberian kredit kepada
pengusaha ekspor, terutama untuk produk yang memiliki kandungan lokal yang
tinggi.
6.3.
Saran Penelitian Selanjutnya
Disebabkan oleh keterbatasan data beberapa variabel penting yang tidak
dapat dianalisis dalam penelitian ini, beberapa variabel tersebut adalah kredit
penyaluran properti, suku bunga deposito dan suku bunga SBI 3 bulan. Untuk
selanjutnya dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan penambahan beberapa
variabel penting seperti yang telah disebutkan dan bisa juga ditambah dengan data
neraca pembayaran, kredit investasi, kredit modal kerja, dan investasi yang
selanjutnya bisa dibedakan menjadi penanaman modal asing (PMA) dan
penanaman modal dalam negeri (PMDN) karena nantinya pencatatan data di masa
depan akan semakin baik.
Bisa juga dimasukkan variabel-variabel yang tergolong ke dalam leading
indicators untuk negara lain, apakah terdapat kesamaan hasil bila diaplikasikan di
Indonesia. Penggunaan lagging dan coincident indicator kurang diperdalam
dalam penelitian ini, selanjutnya indikator tersebut dapat juga dibentuk ke dalam
komposit untuk mengkonfirmasi prediksi yang telah dibuat oleh CLI. Selain itu,
pembahasan penelitian bisa diperluas lagi dengan meneliti guncangan apa yang
terjadi selama ini dan penyebab guncangan-guncangan tersebut. Hal ini akan
sangat bermanfaat bagi para pembuat kebijakan untuk membuat suatu antisipasi
kebijakan untuk merespon guncangan yang akan terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, A.S., dan A.A. Yusuf. 1999. “Tinjauan Triwulanan Perekonomian
Indonesia”. Fakultas Ekonomi. Universitas Padjajaran, Bandung.
Bank Indonesia. 1993-2005. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Bank
Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 1993-2006. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2001-2006. “Produk Domestik Bruto Indonesia”.
http://www.bps.go.id/releases/Gross_Domestic_Product/Bahasa_Indonesia
/more2.html
Buchori, A. 1998. “Penyempurnaan Leading Economic Indicators for Indonesia”.
Kertas Kerja Staf UREM-30-006. Bank Indonesia, Jakarta.
Ceccheti, S.G., A.F. Lagunes, dan S. Krause. Januari 2006. “Assesing The Source
of Change In The Volatility of Real Growth”. NBER Working Paper. No.
11946.
Damanik, M., dan H., A. Avenzora. Februari 2003. “Composite Leading Indicator
in Indonesia”. Makalah dalam Joint OECD-ESCAP Workshop on
Composite Leading Indicators and Business Tendency Surveys, Bangkok.
Thailand.
Gaynor, P.E., dan R.C. Kirkpatrick. Introduction to Time Series Modeling and
Forecasting in Business and Economics. McGraw-Hill, Inc, New York.
Investopedia. “What are leading, lagging and coincident indicators? What are they
for?”. http://www.investopedia.com/ask/answers/177.asp
Investopedia.
“What
Are
Economic
http://www.investopedia.com/university/releases/
Indicators?”.
Kibritcioglu, B., B. Kose, dan G. Ugur. Juni 1999. “A Leading Iindicators
Approach to The Predictability of Currency Crises: The Cases of Turkey”.
General Directorate of Economic Research. Turkey.
Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi. Iman Nurmawan [penerjemah]. Edisi
ke-4. Erlangga, Jakarta.
Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets.
Edisi ke-6. Columbia University, New York.
Niemira, P. M., dan P. A. Klein, 1994. Forecasting Financial and Economic
Cycles. John Wiley & Sons, Inc, New York.
Nilsson, R., dan O. Brunet. Desember 2005. “Composite Leading Indicators for
Major OECD Non-economies Countries: Brazil, China, India, Indonesia,
Russian Federation, South Africa”. OECD Working Papers Series.
Pass, C., dan B. Lowes. 1994. Lowes Collins Kamus Lengkap Ekonomi. Erlangga,
Jakarta.
Siregar, H., dan B. D. Ward. 2002. “Can Monetary Policy/Shock Stabilise
Indonesian Macroeconomic Fluctuations?” Monetary and Financial
Management in Asia in the 21st Century. World Scientific. New Jersey.
Supriana, T. 2004. Dampak Guncangan Struktural Terhadap Fluktuasi
Ekonomimakro Indonesia: Suatu Kajian Business Cycle Dari Sisi
Permintaan [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Sutomo, S., dan P.B. Irawan. 2003. “Developments of Composite Leading Index
(CLIs) in Indonesia”. BPS-statistics Indonesia, Jakarta.
Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Wuryandari et al. 2002. “Penyempurnaan Leading Indikator Ekonomi dan
Leading Indikator Inflasi”. Bagian Studi Riil-Direktorat Riset Ekonomi
dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia, Jakarta.
Zhang, W., dan J. Zhuang. Desember 2002 “Leading Indicators of Business Cycle
in Malaysia and The Philippines”. ERD Working Papers. No.32. Asian
Development Bank. Manila.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Ekonomimakro yang Digunakan Dalam Analisis
PERIODE
1993Q1
1993Q2
1993Q3
1993Q4
1994Q1
1994Q2
1994Q3
1994Q4
1995Q1
1995Q2
1995Q3
1995Q4
1996Q1
1996Q2
1996Q3
1996Q4
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
X
Juta US$
3008.5
2981.2
3084.1
3194.7
3032.3
3567.8
3481.2
3768.1
3484.5
3834.1
3940.3
4524.3
3954.8
4136.0
4330.9
4682.5
4087.6
4366.6
4707.4
4704.3
4554.7
4481.4
4009.4
3906.3
3953.0
XNM
Juta US$
2116.3
2155.3
2308.8
2437.3
2280.5
2725.2
2726.6
2759.8
2600.9
2975.6
3125.1
3495.2
2977.3
3298.3
3383.2
3452.8
3113.2
3577.9
3790.5
3701.2
3839.5
3861.9
3385.6
3238.8
3307.1
XU
Juta US$
77.9
60.7
98.0
67.2
89.6
81.8
108.1
71.7
82.0
99.1
107.0
64.3
89.3
75.8
103.3
86.1
65.7
82.1
87.9
74.7
87.7
128.0
72.7
56.6
72.7
XK
Juta US$
306.8
430.2
361.1
333.5
411.6
305.4
295.7
289.5
272.6
316.3
280.6
283.1
278.0
300.8
312.0
347.4
330.1
314.8
231.7
232.2
178.0
159.0
166.2
181.5
210.8
M
Juta US$
2191.2
2628.7
2682.1
2821.5
2619.1
2806.8
2857.2
3364.0
3250.5
3964.2
3847.1
3504.5
3563.1
4012.2
3644.9
3826.4
3823.6
3572.2
3452.5
3178.2
2365.1
2150.4
2230.5
2401.9
1976.4
MNM
Juta US$
2079.2
2396.2
2473.1
2590.1
2377.8
2632.7
2605.2
3040.9
2925.6
3671.7
3603.8
3212.7
3254.5
3728.2
3398.6
3491.8
4087.6
4416.6
4707.1
2787.8
2166.6
2017.3
2008.9
2162.9
1800.9
MBK
Juta US$
81.3
108.0
97.8
112.2
124.5
115.0
118.2
165.2
216.1
220.7
209.4
235.9
266.1
255.2
170.3
189.1
229.6
136.7
169.4
155.1
144.3
190.1
140.2
254.9
188.4
MBB
Juta US$
1572.8
1862.0
1857.9
1972.2
1883.9
2076.4
2213.9
2388.5
2433.5
2900.5
2861.4
2469.6
2558.5
2760.1
2599.2
2739.9
2773.7
2685.3
2411.5
2323.3
1582.0
1405.9
1642.4
1783.4
1432.2
MBM
Juta US$
537.1
658.7
726.4
734.1
610.7
615.4
515.0
810.3
600.9
829.5
776.3
799.0
738.5
996.9
875.4
897.4
820.3
750.2
871.6
699.8
638.8
554.4
447.9
363.6
355.8
ER
Rp/ $ US
2071
2088
2108
2110
2144
2160
2181
2200
2219
2246
2276
2308
2338
2342
2340
2383
2419
2450
3275
4650
8325
14900
10700
8025
8685
PERIODE
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
2003Q1
2003Q2
2003Q3
2003Q4
2004Q1
2004Q2
2004Q3
2004Q4
2005Q1
2005Q2
2005Q3
X
Juta US$
4537.1
4487.2
4951.4
5346.2
5772.9
5226.0
5238.0
4846.7
4350.1
4217.2
4554.9
5094.9
5142.3
4860.6
5161.9
5295.3
5056.8
5235.5
5086.9
5931.0
7240.0
6626.3
7364.7
6894.1
7522.0
XNM
Juta US$
3577.9
3339.2
3847.5
4160.4
4433.5
3913.6
3877.2
3758.4
3382.5
3351.0
3566.9
4127.5
4069.6
3683.4
3865.6
4202.0
3896.2
4065.4
3888.3
4578.8
5766.3
5286.1
5590.0
5377.4
5802.1
XU
Juta US$
91.0
72.4
73.2
91.7
90.4
83.9
76.3
77.8
71.6
83.5
64.5
79.5
61.8
57.2
77.9
79.0
83.2
71.7
45.7
81.5
78.8
69.4
68.3
67.3
86.4
XK
Juta US$
185.8
205.1
176.1
188.2
160.2
130.0
163.6
138.2
164.8
137.0
130.2
168.2
159.7
129.8
139.2
138.5
135.9
192.9
92.9
122.2
164.4
145.1
125.0
100.7
99.4
M
Juta US$
2154.9
2155.1
2265.1
2473.5
3446.2
3331.6
3094.4
2703.3
2132.9
2085.5
2362.7
2438.9
2860.2
2945.1
2817.5
2446.9
2740.3
2885.3
3469.7
3781.9
4245.5
4972.8
5177.1
4820.6
4920.7
MNM
Juta US$
1649.3
1772.9
1787.5
1999.5
2761.6
3034.5
2607.4
2185.1
1655.3
1704.3
1805.6
2015.2
2288.5
2340.6
2205.3
1918.9
2056.3
2308.4
2519.7
2910.6
3100.5
3775.2
3502.1
3508.9
3113.6
MBK
Juta US$
368.0
142.8
161.2
198.4
258.2
232.8
229.1
179.2
164.6
143.8
190.4
213.8
216.0
268.5
209.8
244.6
224.3
302.7
300.7
320.0
344.0
381.9
380.9
358.2
463.9
MBB
Juta US$
1587.4
1717.9
1860.2
1859.3
2735.7
2491.2
2383.6
2087.4
1635.1
1565.7
1804.5
1911.7
2110.7
2326.4
2157.4
1935.1
2127.0
2169.5
2787.7
2897.0
3300.9
3801.0
4203.3
3755.3
3792.3
MBM
Juta US$
199.5
294.4
243.7
415.8
452.3
607.6
481.7
445.6
333.2
376.0
367.8
313.4
533.5
350.2
450.3
267.2
389.0
413.1
381.3
564.9
600.6
789.9
592.9
707.1
664.5
ER
Rp/ $ US
8386
7100
7590
8735
8780
9595
10400
11440
9675
10400
9655
8730
9015
8940
8908
8285
8389
8465
8587
9415
9170
9290
9480
9713
10310
Lampiran 1. Lanjutan
PERIODE
1993Q1
1993Q2
1993Q3
1993Q4
1994Q1
1994Q2
1994Q3
1994Q4
1995Q1
1995Q2
1995Q3
1995Q4
1996Q1
1996Q2
1996Q3
1996Q4
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
M1
M Rp
30592
31142
34802
36805
37908
39886
42195
45374
44908
47046
48981
52677
53162
56448
59685
64089
63565
69950
66258
78343
98270
109480
102563
101197
105705
SBI
%
0.1250
0.1074
0.0911
0.0883
0.0845
0.0994
0.1155
0.1244
0.1428
0.1474
0.1402
0.1399
0.1399
0.1399
0.1396
0.1280
0.1107
0.1050
0.2200
0.2000
0.2775
0.5800
0.6876
0.3844
0.3784
PM
1000 Barrel
46667
44728
44760
47062
46938
45031
44942
46710
46853
44663
44761
46900
46827
44477
44386
46719
46556
43981
44384
47858
48006
44121
42471
44497
44086
PT
metric ton
1890
2645
2570
2470
1890
2650
2895
2620
2350
2750
4408
3753
3999
4493
4530
3163
4564
4666
5330
4859
4165
4940
4646
3669
3571
PTm
metric ton
77509
45389
95193
109769
76935
82289
92941
120756
120911
128103
132322
146877
128670
152910
153580
157750
143330
169650
148910
172512
225980
195730
249160
292750
234330
PN
metric ton
154516
204224
103088
80697
170086
201603
191398
213217
183433
234724
230251
301899
272062
218016
351725
424278
266497
244305
274625
158743
193965
238113
244014
308593
222150
PL
000 MMBTU
114211
101601
99379
123453
123085
102139
111576
129601
111576
103637
93441
120038
124213
92966
106440
126916
125345
93232
107079
135222
114111
94425
118660
115177
128317
IHSG
Indeks
310.758
360.346
419.961
588.765
492.373
457.295
497.970
469.640
428.641
492.277
493.240
513.847
585.705
594.259
573.939
637.432
662.236
724.556
546.688
401.712
541.425
445.920
276.150
398.038
393.625
PDB
M Rp
78529.7
79380.5
85254.1
86611.7
85605.0
87888.2
91142.9
90004.8
92563.1
94340.3
98293.8
98595.4
97874.8
100634.6
106562.1
108726.2
105260.9
105867.1
112212.7
109904.9
100535.7
91742.0
94258.2
89839.2
94371.1
IPI
Indeks
58.80
66.81
70.43
66.96
58.77
74.97
76.56
75.61
65.50
82.64
84.60
83.21
90.77
99.81
101.09
95.29
99.93
101.32
101.49
92.43
84.68
82.98
85.87
84.49
88.04
PERIODE
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
2003Q1
2003Q2
2003Q3
2003Q4
2004Q1
2004Q2
2004Q3
2004Q4
2005Q1
2005Q2
2005Q3
M1
M Rp
118124
124633
124663
133832
135431
162185
148375
160143
164237
177731
166173
174017
181791
191939
181239
195219
207587
223799
219087
233726
240911
253818
250492
267635
273954
SBI
%
0.1302
0.1251
0.1103
0.1174
0.1362
0.1453
0.1582
0.1665
0.1757
0.1762
0.1676
0.1511
0.1322
0.1293
0.1140
0.0953
0.0866
0.0831
0.0742
0.0734
0.0739
0.0743
0.0744
0.0825
0.1000
PM
1000 Barrel
39851
35090
41788
42445
43662
43539
42597
40028
39431
40934
40564
38023
36529
36658
35464
33998
34691
34890
34456
37484
36448
37707
35752
36592
31318
PT
metric ton
4425
3802
3378
4490
5058
4171
4804
5123
3596
7896
5322
8328
8981
5086
6309
7291
4050
3918
5276
7949
6757
4356
7184
6402
6757
PTm
metric ton
188570
215370
259431
250949
285717
320504
284115
293372
270828
277412
291429
262620
375166
370077
82694
337993
267368
172098
163824
261244
288498
402320
270544
252610
288498
PN
metric ton
285624
352463
243255
175077
381934
380145
262173
257739
364041
326694
334786
387058
363300
345403
312952
506415
421719
366937
355254
321089
398947
477408
298396
251355
398947
PL
000 MMBTU
121881
143996
136444
102102
117622
131449
109814
90105
86493
119238
121418
98342
120970
120526
101332
105535
117935
110499
117177
104705
104817
115049
114139
103654
106742
IHSG
Indeks
547.937
676.919
583.276
515.110
421.336
416.321
381.050
437.620
392.479
392.036
481.775
505.009
419.307
424.945
398.004
505.499
597.652
691.895
735.677
732.401
820.134
1000.233
1080.165
1122.376
1079.275
PDB
M Rp
96940.4
94654.0
98244.5
98191.9
100862.9
100717.6
102226.9
102456.3
104685.0
102386.2
104833.3
107037.3
110804.0
106512.9
109661.4
111995.8
115795.3
111504.7
114625.6
116754.4
120877.5
118538.2
128272.4
135511.5
148800.9
IPI
Indeks
97.23
97.25
98.59
102.33
109.40
93.24
102.47
109.14
109.58
82.27
101.75
109.99
114.77
87.42
114.52
116.38
121.55
116.92
113.67
116.26
127.27
120.81
121.85
119.99
127.77
Lampiran 2. Grafik Fluktuasi Siklikal Variabel Ekonomimakro dan PDB
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 3. Grafik Fluktuasi Siklikal Variabel Ekonomimakro dan IPI
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 4. Hasil Cross Corelation Variabel Ekonomimakro dan PDB
Date: 07/05/06 Time:
20:47
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DER,DPDB(-i)
******| .
***| .
. *| .
. |* .
. |**.
. |***
. |***
. |***
. |**.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DER,DPDB(+i)
******| .
********| .
*******| .
******| .
****| .
.**| .
. *| .
. | .
. |* .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.6007
-0.3428
-0.0484
0.1067
0.2171
0.2722
0.2989
0.2880
0.2186
-0.6007
-0.7469
-0.7228
-0.5661
-0.3911
-0.2387
-0.1347
-0.0087
0.0863
Date: 07/05/06 Time:
20:48
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DIHSG,DPDB(-i)
. |****
. |**.
. *| .
.**| .
***| .
***| .
. *| .
. | .
. |* .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DIHSG,DPDB(+i)
. |****
. |*****
. |*****
. |****
. |***
. |* .
. |* .
. *| .
.**| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.3737
0.2258
-0.0413
-0.2372
-0.3246
-0.2667
-0.1470
-0.0022
0.1420
0.3737
0.4795
0.4760
0.3731
0.2772
0.1467
0.0736
-0.0440
-0.1550
Date: 07/05/06 Time:
21:04
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DM1,DPDB(-i)
DM1,DPDB(+i)
i
lag
lead
*****| .
***| .
. | .
. |* .
. |* .
. |* .
. |* .
. |* .
. |* .
*****| .
******| .
*****| .
****| .
.**| .
. *| .
. *| .
. | .
. |* .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.4957
-0.2518
0.0070
0.0495
0.0531
0.0786
0.1114
0.1325
0.0593
-0.4957
-0.6180
-0.5302
-0.3795
-0.1855
-0.0805
-0.0592
0.0152
0.0588
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lampiran 4. Lanjutan
Date: 07/05/06 Time:
21:04
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DM,DPDB(-i)
. |******
. |****
. |***
. |* .
. | .
.**| .
***| .
****| .
*****| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DM,DPDB(+i)
. |****** |
. |******* |
. |******* |
. |****** |
. |**** |
. |***
|
. |* .
|
. | .
|
. *| .
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.6215
0.4490
0.2581
0.0986
-0.0104
-0.1684
-0.3274
-0.4306
-0.4764
0.6215
0.7115
0.6761
0.5622
0.3953
0.2675
0.1237
-0.0339
-0.1260
Date: 07/05/06 Time:
21:05
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DMBB,DPDB(-i)
. |******
. |****
. |**.
. | .
. *| .
***| .
****| .
*****| .
*****| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DMBB,DPDB(+i)
i
lag
lead
. |****** |
. |******* |
. |******* |
. |****** |
. |**** |
. |***
|
. |* .
|
. | .
|
. *| .
|
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.5810
0.3801
0.1707
0.0112
-0.0949
-0.2633
-0.3856
-0.4626
-0.4606
0.5810
0.6993
0.6884
0.5742
0.3942
0.2770
0.1460
-0.0007
-0.0739
Date: 07/05/06 Time:
21:06
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DMBK,DPDB(-i)
. |* .
. *| .
.**| .
***| .
.**| .
. *| .
. *| .
. | .
. *| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DMBK,DPDB(+i)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
|* .
|**.
|***
|****
|****
|*****
|*****
|****
|**.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.0659
-0.0503
-0.1671
-0.2494
-0.1648
-0.1419
-0.0540
-0.0230
-0.0458
0.0659
0.1901
0.3048
0.4025
0.4161
0.4536
0.4667
0.3609
0.1780
Lampiran 4. Lanjutan
Date: 07/05/06 Time:
21:07
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DMBM,DPDB(-i)
. |******
. |*****
. |*****
. |****
. |***
. |**.
. *| .
***| .
*****| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DMBM,DPDB(+i)
. |******
. |******
. |****
. |***
. |**.
. |* .
. *| .
.**| .
***| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.5834
0.5450
0.5000
0.4297
0.3151
0.1809
-0.1183
-0.3060
-0.4696
0.5834
0.5610
0.4339
0.3053
0.2000
0.0662
-0.0827
-0.2078
-0.2627
Date: 07/05/06 Time:
21:08
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DMNM,DPDB(-i)
. |******
. |*****
. |****
. |**.
. |* .
. | .
.**| .
***| .
****| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DMNM,DPDB(+i)
. |****** |
. |******** |
. |****** |
. |**** |
. |**.
|
. |* .
|
. | .
|
. *| .
|
.**| .
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.6450
0.5021
0.3536
0.2431
0.1235
-0.0299
-0.2033
-0.3266
-0.4010
0.6450
0.7476
0.6461
0.4398
0.2206
0.0582
-0.0324
-0.1370
-0.1872
Date: 07/05/06 Time:
21:14
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DPL,DPDB(-i)
DPL,DPDB(+i)
i
lag
lead
. *| .
.**| .
***| .
***| .
***| .
.**| .
. | .
. |**.
. |**.
. *|
. *|
. *|
. *|
. *|
. |
. |
. |
. |
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.0992
-0.2067
-0.2888
-0.2708
-0.2705
-0.2149
0.0116
0.1973
0.2511
-0.0992
-0.0968
-0.0801
-0.0681
-0.0543
-0.0376
0.0163
-0.0350
0.0125
|
|
|
|
|
|
|
|
|
.
.
.
.
.
.
.
.
.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lampiran 4. Lanjutan
Date: 07/05/06 Time:
21:17
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DPM,DPDB(-i)
DPM,DPDB(+i)
i
lag
lead
. |* .
. |**.
. |**.
. |**.
. |***
. |**.
. |* .
.**| .
****| .
. |* .
. |**.
. |* .
. |* .
. | .
. | .
. *| .
.**| .
.**| .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.1483
0.2005
0.2167
0.2215
0.3025
0.1950
0.0508
-0.1929
-0.3957
0.1483
0.1736
0.1090
0.0950
0.0109
-0.0269
-0.1352
-0.1563
-0.1715
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Date: 07/05/06 Time:
21:18
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DPN,DPDB(-i)
. | .
. |* .
. |* .
. |* .
. *| .
. *| .
. *| .
. *| .
. *| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DPN,DPDB(+i)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
| .
|**.
|***
|****
|****
|**.
|* .
| .
| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.0462
0.0620
0.1221
0.0587
-0.1119
-0.1125
-0.0481
-0.1010
-0.1063
0.0462
0.2161
0.3391
0.4325
0.4223
0.2188
0.0800
0.0439
0.0357
Date: 07/05/06 Time:
21:18
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DPT,DPDB(-i)
DPT,DPDB(+i)
i
lag
lead
. |***
. |***
. |****
. |***
. |***
. |**.
. |* .
. |* .
. *| .
. |***
. |**.
. |**.
. |* .
. | .
. | .
. *| .
.**| .
***| .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.2794
0.3215
0.3579
0.3209
0.2649
0.1573
0.1088
0.0670
-0.0538
0.2794
0.2091
0.2256
0.1268
0.0206
-0.0389
-0.1364
-0.2092
-0.2680
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lampiran 4. Lanjutan
Date: 07/05/06 Time:
21:19
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DPTM,DPDB(-i)
DPTM,DPDB(+i)
i
lag
lead
. *| .
. *| .
.**| .
. | .
. |* .
. |* .
. | .
. *| .
. *| .
. *| .
. | .
. |* .
. |* .
. | .
. | .
. | .
. | .
. | .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.0813
-0.0994
-0.1579
-0.0327
0.0692
0.0799
0.0370
-0.0497
-0.0892
-0.0813
-0.0389
0.0575
0.0937
0.0200
0.0309
0.0078
-0.0334
-0.0112
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Date: 07/05/06 Time:
21:20
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DSBI,DPDB(-i)
****| .
.**| .
. |* .
. |****
. |*****
. |******
. |*****
. |****
. |***
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DSBI,DPDB(+i)
i
lag
lead
****| .
*****| .
*****| .
****| .
***| .
.**| .
. *| .
. | .
. | .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.4174
-0.2381
0.1137
0.4038
0.5219
0.5568
0.5263
0.4397
0.2925
-0.4174
-0.5105
-0.4712
-0.3765
-0.2876
-0.2180
-0.1040
-0.0195
0.0103
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Date: 07/05/06 Time:
21:24
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DX,DPDB(-i)
. |****
. |****
. |***
. |* .
. *| .
.**| .
****| .
****| .
***| .
DX,DPDB(+i)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
. |****
. |****
. |****
. |***
. |**.
. |* .
. *| .
. *| .
. *| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.4138
0.3578
0.3121
0.1091
-0.0679
-0.2437
-0.3550
-0.4076
-0.3433
0.4138
0.3964
0.3872
0.2874
0.2297
0.0555
-0.0880
-0.0763
-0.1193
Lampiran 4. Lanjutan
Date: 07/05/06 Time:
21:26
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DXK,DPDB(-i)
. |**.
. |* .
. *| .
.**| .
. *| .
. *| .
. *| .
. *| .
. | .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DXK,DPDB(+i)
. |**.
. |****
. |*****
. |****
. |**.
. | .
. *| .
. *| .
.**| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.2164
0.0782
-0.0764
-0.1511
-0.1372
-0.0493
-0.0544
-0.0460
0.0263
0.2164
0.3915
0.4762
0.4062
0.2510
0.0359
-0.1417
-0.0628
-0.2300
Date: 07/05/06 Time:
21:27
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DXNM,DPDB(-i)
DXNM,DPDB(+i)
i
lag
lead
. |****
. |****
. |***
. |**.
. |* .
. *| .
.**| .
***| .
.**| .
. |****
. |***
. |***
. |**.
. |* .
. | .
. *| .
. *| .
. *| .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.3861
0.3717
0.3396
0.1901
0.0830
-0.0517
-0.1616
-0.2533
-0.2236
0.3861
0.3245
0.3012
0.2134
0.1472
0.0064
-0.0943
-0.0756
-0.1303
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Date: 07/05/06 Time:
21:28
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DXU,DPDB(-i)
DXU,DPDB(+i)
i
lag
lead
. |**.
. |**.
. |***
. |* .
. | .
. *| .
.**| .
***| .
***| .
. |**.
. | .
. | .
. | .
. |* .
. |* .
. *| .
. |* .
. |* .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.1697
0.2043
0.2565
0.0743
0.0048
-0.1455
-0.2127
-0.2495
-0.2704
0.1697
0.0287
-0.0050
0.0454
0.0689
0.0816
-0.0608
0.1056
0.0942
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lampiran 5. Hasil Analisis Cross Corelation Variabel Ekonomimakro dan IPI
Date: 07/03/06 Time:
12:17
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DER,DIPI(-i)
DER,DIPI(+i)
*******| .
*****| .
***| .
. *| .
. |* .
. |***
. |***
. |****
. |****
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*******| .
******| .
*****| .
****| .
.**| .
. | .
. |* .
. |**.
. |***
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.6704
-0.5360
-0.2636
-0.0683
0.1015
0.2618
0.3523
0.4056
0.4370
-0.6704
-0.6348
-0.5331
-0.3726
-0.2358
-0.0217
0.1254
0.2409
0.2671
Date: 07/03/06 Time:
12:20
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DIHSG,DIPI(-i)
. |*****
. |****
. |**.
. | .
. *| .
.**| .
.**| .
.**| .
.**| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DIHSG,DIPI(+i)
. |*****
. |***
. |***
. |**.
. |* .
.**| .
.**| .
.**| .
***| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.4563
0.4016
0.2034
0.0474
-0.0443
-0.1782
-0.2409
-0.2405
-0.2123
0.4563
0.3394
0.2720
0.2043
0.1201
-0.1650
-0.1608
-0.2055
-0.2866
Date: 07/03/06 Time:
12:21
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DM1,DIPI(-i)
DM1,DIPI(+i)
i
lag
lead
******| .
***| .
.**| .
. | .
. |* .
. |**.
. |* .
. |**.
. |***
******| .
*****| .
****| .
.**| .
***| .
. | .
. |* .
. |**.
. |* .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.5435
-0.3143
-0.1497
-0.0371
0.1158
0.1574
0.1295
0.1910
0.3054
-0.5435
-0.5125
-0.3665
-0.2080
-0.2536
-0.0397
0.1027
0.2432
0.1433
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lampiran 5. Lanjutan
Date: 07/03/06 Time:
12:21
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DM,DIPI(-i)
DM,DIPI(+i)
. |***** |
. |***** |
. |**** |
. |**** |
. |**.
|
. | .
|
. *| .
|
***| .
|
*****| .
|
. |*****
. |*****
. |***
. |**.
. |* .
. *| .
.**| .
.**| .
.**| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.5414
0.4979
0.4390
0.3651
0.2098
0.0174
-0.1391
-0.3059
-0.5090
0.5414
0.4788
0.3072
0.2263
0.1207
-0.0516
-0.1761
-0.1768
-0.1751
Date: 07/03/06 Time:
12:22
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DMBB,DIPI(-i)
. |*****
. |*****
. |****
. |***
. |* .
. *| .
.**| .
****| .
******| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DMBB,DIPI(+i)
. |*****
. |*****
. |***
. |**.
. |**.
. *| .
. *| .
.**| .
. *| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.5408
0.4774
0.3680
0.3025
0.1321
-0.0616
-0.2017
-0.3609
-0.5424
0.5408
0.4879
0.3404
0.2297
0.1615
-0.0543
-0.1177
-0.1616
-0.1437
Date: 07/03/06 Time:
12:23
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DMBK,DIPI(-i)
. |**.
. | .
. *| .
. *| .
***| .
***| .
.**| .
. *| .
.**| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DMBK,DIPI(+i)
. |**.
. |****
. |****
. |****
. |******
. |***
. |**.
. |* .
. | .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.1624
-0.0132
-0.0996
-0.1362
-0.3066
-0.2788
-0.2098
-0.0952
-0.2158
0.1624
0.3620
0.3761
0.4340
0.5532
0.2657
0.2461
0.1349
0.0290
Lampiran 5. Lanjutan
Date: 07/03/06 Time:
12:24
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DMBM,DIPI(-i)
. |****
. |****
. |******
. |*****
. |*****
. |***
. |**.
. *| .
***| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DMBM,DIPI(+i)
i
lag
lead
. |****
. |* .
. |* .
. | .
. *| .
.**| .
***| .
.**| .
.**| .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.4288
0.4006
0.6169
0.4671
0.5398
0.3261
0.1794
-0.0944
-0.2709
0.4288
0.1505
0.0775
0.0130
-0.1468
-0.1633
-0.2906
-0.2007
-0.1828
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Date: 07/03/06 Time:
12:25
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DMNM,DIPI(-i)
. |******
. |*****
. |*****
. |****
. |***
. |**.
. | .
.**| .
*****| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DMNM,DIPI(+i)
. |******
. |****
. |**.
. |* .
. *| .
.**| .
.**| .
.**| .
.**| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.5575
0.5270
0.5033
0.4207
0.3517
0.1699
-0.0114
-0.2360
-0.4448
0.5575
0.4252
0.2465
0.0834
-0.0725
-0.1775
-0.2175
-0.2360
-0.2245
Date: 07/03/06 Time:
12:26
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DPL,DIPI(-i)
. *| .
. *| .
. *| .
***| .
.**| .
***| .
.**| .
. *| .
. |* .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DPL,DIPI(+i)
i
lag
lead
. *| .
. |* .
. |**.
. *| .
. | .
. |**.
. | .
. *| .
. | .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.0515
-0.1108
-0.1356
-0.3048
-0.2225
-0.2604
-0.2049
-0.1101
0.1402
-0.0515
0.0829
0.1585
-0.0455
-0.0196
0.1687
0.0044
-0.0759
-0.0334
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lampiran 5. Lanjutan
Date: 07/03/06 Time:
12:28
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DPM,DIPI(-i)
DPM,DIPI(+i)
i
lag
lead
. | .
. |* .
. |****
. |***
. |****
. |****
. |***
. |* .
.**| .
. | .
. *| .
.**| .
.**| .
.**| .
***| .
.**| .
. | .
. |**.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.0319
0.1543
0.3536
0.3516
0.3949
0.4287
0.2960
0.0574
-0.1480
-0.0319
-0.0836
-0.1838
-0.2412
-0.1964
-0.2522
-0.1871
-0.0334
0.1758
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Date: 07/03/06 Time:
12:29
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DPN,DIPI(-i)
. |***
. |* .
. *| .
. | .
. | .
.**| .
****| .
.**| .
. *| .
DPN,DIPI(+i)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
. |***
. |*****
. |****
. |**.
. |* .
. |* .
. |***
. *| .
***| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.2692
0.1029
-0.0685
0.0116
0.0356
-0.1495
-0.3471
-0.1859
-0.1341
0.2692
0.4536
0.4479
0.2528
0.1187
0.1553
0.2580
-0.0473
-0.2683
Date: 07/03/06 Time:
12:30
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DPT,DIPI(-i)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
| .
|* .
|* .
|***
|**.
|***
|* .
|**.
|* .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DPT,DIPI(+i)
i
lag
lead
. | .
. |* .
. |* .
. | .
.**| .
. |* .
. | .
. *| .
. *| .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.0329
0.1255
0.1187
0.2772
0.2035
0.2833
0.1076
0.2137
0.1067
0.0329
0.1009
0.1485
0.0132
-0.1928
0.0794
0.0155
-0.0857
-0.0687
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lampiran 5. Lanjutan
Date: 07/03/06 Time:
12:31
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DPTM,DIPI(-i)
DPTM,DIPI(+i)
i
lag
lead
.**| .
. |* .
.**| .
.**| .
. |* .
. |***
. | .
. | .
. | .
.**| .
.**| .
. | .
. *| .
. |* .
. |* .
. | .
. |* .
. | .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.2286
0.1091
-0.2060
-0.1689
0.0709
0.3253
0.0047
0.0424
0.0469
-0.2286
-0.1574
-0.0281
-0.0684
0.0577
0.1479
0.0322
0.0815
0.0157
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Date: 07/03/06 Time:
12:31
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DSBI,DIPI(-i)
******| .
|
*****| .
|
.**| .
|
. | .
|
. |**.
|
. |**** |
. |***** |
. |***** |
. |***** |
DSBI,DIPI(+i)
i
lag
lead
******| .
*****| .
****| .
***| .
. *| .
. |* .
. |**.
. |**.
. |**.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-0.5450
-0.4625
-0.2285
0.0263
0.2261
0.4252
0.5323
0.5239
0.5107
-0.5450
-0.4783
-0.3608
-0.2520
-0.1231
0.0971
0.2007
0.1874
0.2055
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Date: 07/03/06 Time:
12:32
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DX,DIPI(-i)
. |****
. |***
. |****
. |****
. |**.
. |* .
.**| .
****| .
****| .
DX,DIPI(+i)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
. |****
. |***
. |* .
. | .
. *| .
. *| .
.**| .
.**| .
.**| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.4138
0.3422
0.3657
0.3684
0.1847
0.0775
-0.1623
-0.3542
-0.3770
0.4138
0.3366
0.1303
-0.0361
-0.0588
-0.1300
-0.1540
-0.2429
-0.2090
Lampiran 5. Lanjutan
Date: 07/03/06 Time:
12:33
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DXK,DIPI(-i)
DXK,DIPI(+i)
. |*****
. |***
. |* .
. |* .
.**| .
. | .
.**| .
***| .
***| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
. |*****
. |****
. |**.
. |**.
. |* .
. *| .
.**| .
****| .
.**| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.5109
0.3081
0.0886
0.0528
-0.1567
0.0062
-0.1941
-0.2692
-0.3363
0.5109
0.3873
0.2288
0.2070
0.1118
-0.0738
-0.2350
-0.3893
-0.1867
Date: 07/03/06 Time:
12:34
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DXNM,DIPI(-i)
DXNM,DIPI(+i)
i
lag
lead
. |***
. |***
. |***
. |****
. |***
. |**.
. | .
.**| .
.**| .
. |***
. |**.
. | .
. | .
. *| .
. *| .
. *| .
. *| .
. *| .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.2982
0.2907
0.2752
0.3751
0.2753
0.2266
0.0099
-0.1754
-0.2338
0.2982
0.2013
0.0295
-0.0252
-0.0914
-0.1135
-0.0970
-0.1078
-0.1239
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Date: 07/03/06 Time:
12:35
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DXU,DIPI(-i)
. |* .
. | .
. |**.
. |***
. |* .
. |* .
.**| .
.**| .
. *| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DXU,DIPI(+i)
i
lag
lead
. |* .
. |* .
. *| .
. | .
. *| .
. *| .
. |* .
. |* .
. | .
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.0554
-0.0277
0.1929
0.2654
0.0902
0.0962
-0.2247
-0.1541
-0.0878
0.0554
0.0809
-0.0423
0.0421
-0.1424
-0.0537
0.1112
0.0810
0.0173
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lampiran 6. Hasil Analisis Cross Corelation PDB dan IPI
Date: 07/06/06 Time:
00:41
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
DIPI,DPDB(-i)
. |*****
. |****
. |**.
. |* .
. | .
.**| .
***| .
***| .
.**| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DIPI,DPDB(+i)
. |*****
. |******
. |******
. |*****
. |***
. |**.
. |* .
. *| .
.**| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.5078
0.3843
0.2091
0.0803
-0.0388
-0.1671
-0.2783
-0.2781
-0.1764
0.5078
0.6022
0.5964
0.4944
0.3050
0.1601
0.0528
-0.0802
-0.2105
Lampiran 7. Hasil Analisis Cross Corelation CLI dan Seri Acuan
Date: 07/06/06 Time:
03:10
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
CLI,PDB(-i)
. |*****
. |***
. |* .
. | .
. *| .
.**| .
****| .
****| .
***| .
CLI,PDB(+i)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
.
.
.
.
.
.
.
.
.
|*****
|*****
|****
|****
|****
|***
|**.
|* .
|* .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.4692
0.3314
0.1113
-0.0177
-0.1214
-0.1837
-0.3559
-0.3740
-0.2768
0.4692
0.4864
0.4020
0.4186
0.3665
0.2841
0.2316
0.1439
0.0827
Date: 07/03/06 Time:
22:59
Sample: 1993:1 2005:3
Included observations: 51
Correlations are asymptotically consistent approximations
CLI,DIPI(-i)
. |***
. |* .
. *| .
. *| .
.**| .
***| .
****| .
.**| .
.**| .
CLI,DIPI(+i)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
. |***
. |*****
. |*****
. |****
. |****
. |***
. |***
. |* .
.**| .
|
|
|
|
|
|
|
|
|
i
lag
lead
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.2803
0.0594
-0.1083
-0.0789
-0.1713
-0.2755
-0.3617
-0.1829
-0.2253
0.2803
0.5285
0.5336
0.4420
0.4294
0.2709
0.3261
0.0546
-0.1582
Download