PENETAPAN KADAR FAMOTIDIN DALAM

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Obat
Surat
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.193/Kab/B.VII/71 memberikan defenisi berikut untuk obat: “Obat ialah suatu
bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam
menetapkan
diagnosis,
mencegah,
mengurangkan,
menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan
rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah
badan atau bagian badan lainnya (Joenoes, 1990).
Obat akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan
suatu penyakit dengan dosis yang tepat, namun ketika salah menggunakan atau
berlebihan dosis maka akan menimbulkan keracunan, sebaliknya ketika dosisnya
kecil tidak akan diperoleh kesembuhan (Anief, 2000).
Banyak macam dan jenis obat yang bekerja pada saluran cerna, tergantung
pada tujuan penggunaan obat, tiap obat mempuyai cara kerja, tempat kerja dan
kegunaan yang berbeda–beda. Salah satunya adalah antagonis histamin reseptor
H 2 yang dapat menekan sekresi asam lambung. Kerjanya secara kompetitif
terhadap reseptor H 2 yang terdapat pada sel parietal lambung. Antagonis histamin
reseptor H 2 yang sering digunakan adalah simetidin, ranitidin, famotidin dan
nizatidin (Anwar, 2000).
2.2
Sediaan Tablet
Compressi atau tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa–cetak,
berbentuk pipih dengan kedua permukaan rata atau cembung, mengandung satu
jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan (Joenoes, 1990).
Keunggulan sedian tablet menurut Lachman, dkk., (1994) yaitu:
1. Merupakan bentuk sediaan yang utuh dan menawarkan kemampuan
terbaik dari semua bentuk sediaan oral untuk ketepatan ukuran
2. Ongkos pembuatannya paling rendah
3. Bentuk sediaan oral yang paling ringan dan paling kompak
4. Paling murah dan paling mudah dikemas serta dikirim
5. Mudah diberi tanda pengenal pada produk
6. Paling
mudah ditelan dan paling kecil kemungkinan tertinggal
ditenggorokan
7. Dapat dijadikan produk dengan profil pelepasan khusus
8. Paling mudah diproduksi secara besar–besaran
9. Merupakan sediaan obat yang memiliki sifat pencampuran kimia mekanik,
stabilitas mikrobiologi yang paling baik.
Syarat–syarat tablet adalah harus memenuhi keseragaman ukuran,
memenuhi keseragaman bobot, memenuhi uji waktu hancur, memenuhi
keseragaman kandungan dan uji disolusi (Anief, 2000).
2.3
Maag dan Tukak Peptikum (Ulcus Peptikum)
Fungsi saluran cerna adalah untuk mencerna makanan, menyerap sari
makanan dan mengeluarkan yang tidak diserap. Fungsi ini dapat terganggu karena
mual dan muntah, nyeri hingga terjadi ulkus bila asam lambung berlebihan dan
gangguan pencernaan yang lain (Djamuri, 1995).
Penyakit lambung biasanya bersifat menahun dan serangan sakit dapat
hilang timbul. Perasaan sakit seperti ada yang menggigit di daerah lambung
(Oswari, 2009).
2.3.1 Maag
Dalam ilmu kedokteran, penyakit Maag dikenal sebagai dispepsia
(Dyspepsia). Dyspepsia yang paling dikenal adalah radang lambung (gastritis)
maupun tukak lambung (peptic ulcer). Gastritis terjadi apabila penyakit tersebut
hanya manimbulkan radang pada lambung. Penyakit maag menyerang lambungorgan yang terletak disebelah kiri rongga dada dengan posisi miring ke bawah
(Yuliarti, 2009).
Dispepsia sendiri didefenisikan sebagai rasa nyeri atau rasa tidak nyaman
di sekitar ulu hati. Dalam kehidupan sehari–hari, kita sering mendengar banyak
orang mengeluh akan rasa tidak enak pada perut bagian atas, misalnya rasa perut
selalu penuh, mual, perasaan panas pada perut, rasa pedih sebelum atau sesudah
makan. Selain itu keluhan lain, seperti kembung, nafsu makan berkurang dan
sering sendawa juga bisa muncul (Yuliarti, 2009; Hadi, 1986).
Menurut Yuliarti (2009) pengobatan penyakit maag tergantung pada
penyebabnya, umumnya dilakukan dengan pemberian obat–obatan untuk
menetralkan asam lambung, seperti:
1. Antasida, menetralkan asam lambung dan meringankan maag jenis
gastritis.
2. Acid–Blockers, ketika antasida tidak cukup meredakan sakit maag,
umumnya dokter akan memberikan obat jenis simetidin, ranitidine,
nizatidin, ataupun famotidin.
3. Dengan
pemberian
obat
lain
seperti,
omeprazole,
lansoprazole,
rabeprazole dan esomepazol.
2.3.2 Tukak Peptikum (Ulcus Peptikum)
Oleh satu dan lain sebab, cairan lambung bisa menjadi begitu asam
sehingga dapat mengiritasi mukosa bahkan mengikis lapisan ini hingga terjadi
suatu luka yang dikenal sebagai ulkus peptikum. Ulkus peptikum merupakan
diskontinuitas sampai bawah epitel (jaringan mukosa, gaster, duodenum dan
jejunum) yang disebabkan oleh asam lambung dan pepsin (Anwar, 2000; Suratun
dan Lusianah, 2010).
Dikatakan ulkus apabila terjadi robekan mukosa lambung dengan diameter
≥ 5 mm hingga ke lapisan submukosa. Lapisan mukosa lambung pada ulkus
peptikum tidak utuh, sehingga jaringannya terbuka dan kontak terhadap asam
lambung sehingga akan terasa nyeri seperti terbakar pada ulu hati, mual dan
muntah, terutama saat lambung kosong. Ulkus peptikum selain memberikan
keluhan nyeri perut, juga dapat mengakibatkan pendarahan yang fatal (Suratun
dan Lusianah, 2010; Djamuri, 1995).
Tukak peptikum kebanyakan dijumpai di daerah lambung dan duodenum,
terjadi sekitar 98%, sementara ulkus esofagus dan jejunum sangat jarang terjadi.
Tukak duodeni lebih banyak dibandingkan tukak lambung yaitu 4:1 (Anwar,
2000; Tambunan, 1994; Suratun dan Lusianah, 2010).
Morfologi tukak duodeni dan tukak ventrikuli (lambung) hanya berbeda
pada lokalisasi, namun studi genetik menunjukkan bahwa keduanya mungkin
sekali merupakan penyakit yang berbeda (Tambunan, 1994).
2.3.2.1 Ulkus Duodeni
Menurut Tambunan (1994) teori produksi asam lambung berlebihan yang
merupakan faktor utama penyebab tukak duodeni diperkuat bahwa tukak duodeni
meningkat pada keadaan defek:
- jumlah sel parietal meningkat
- sel parietal peka terhadap sekresi asam lambung
- kapasitas sel parietal untuk sekresi asam lambung bertambah
- pengosongan lambung lebih cepat.
Pada penderita tukak duodeni, kadar asam lambung rata–rata meningkat
dua kali lebih tinggi dari normal, berbeda dengan kadar asam pada penderita tukak
lambung. Tukak duodeni cenderung bersifat familial dari pada tukak lambung dan
pada golongan darah O lebih sering terjadi dibanding golongan darah A, B, dan
AB. Kemungkinan terjadinya adalah 38%. Peranan obat dalam konteks etiologi
ulkus duodeni masih kontroversial, golongan obat Non–Steroid Anti Inflammatory
(NSAI) dapat menimbulkan mukosa lambung pada binatang percobaan, namun
sulit dibuktikan hubungannya dengan tukak duodeni (Tambunan, 1994; Hadi,
1986).
2.3.2.2 Ulkus Ventrikuli
Patogenesis tukak lambung lebih sulit dipahami, sekresi asam lambung
pada penderita kurang lebih sama dengan keadaan normal atau sedikit lebih
rendah (Tambunan, 1994).
Sekresi asam lambung yang relatif rendah pada gastritis ada kaitannya
dengan penurunan resistensi mukosa yang merupakan salah satu faktor terjadinya
tukak lambung. Berbeda dengan tukak doudeni, golongan obat NSAI mungkin
merupakan faktor penyebab tukak lambung. Kemungkinan terjadinya tukak
lambung lebih sering dialami oleh golongan darah A, B dan AB. Pada golongan
darah O hanya 19% (Tambunan, 1994; Hadi, 1986).
2.4
Histamin, Antihistamin dan Antagonis Histamin Reseptor H 2
2.4.1 Histamin
Histamin merupakan senyawa normal yang ada dalam jaringan tubuh,
yaitu pada sel mast dan peredaran basofil, yang berperan pada berbagai proses
fisiologis penting. Histamin dikeluarkan dari tempat pengikatan ion pada
kompleks heparin–protein dalam sel mast sebagai hasil reaksi antigen–antibodi
bila terdapat rangsangan dari senyawa alergen (Siswandono dan Soekarjdo, 2000).
Histamin adalah 2-(4-imidazol)etilamin, didapatkan dari tanaman ataupun
jaringan hewan yang merupakan komponen dari beberapa racun dan sekresi
sengat. Histamin dibentuk dari dekarboksilasi asam amino L-histidin, yang
reaksinya dikatalis oleh enzim histidin dekarboksilase dan memerlukan piridoksal
posfat sebagai kofaktor (Gunawan, 2007; Katzung, 2001).
Hisatmin bekerja dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang
terdapat pada permukaan membran. Saat ini ada tiga jenis reseptor histamine yaitu
H 1 , H 2 dan H 3. Aktivasi reseptor H 1 terdapat pada sel otot polos menyebabkan
kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan sekresi
mukus. Histamin juga berperan sebagai neurotransmitter dalam susunan saraf
pusat. Reseptor H 2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung, dan
beberapa sel imun. Aktivasi reseptor H 2 terutama menyebabkan sekresi asam
lambung, sedangkan antihistamin H 2 menghambat efek tersebut. Pada otot polos
bronkus aktivasi reseptor H 1 oleh antihistamin menyebabkan bronkokonstriksi,
sedangkan aktivasi reseptor H 2 oleh agonis reseptor H 2 akan menyebabkan
relaksasi. Meskipun agonis reseptor H 3 berpotensi untuk gastroprotektif dan
antagonis reseptor H 3 berpotensi untuk anti obesitas, sampai saat ini belum ada
agonis maupun antagonis reseptor H 3 yang diizinkan untuk digunakan di klinik
(Gunawan, 2007).
2.4.2 Antihistamin
Sewaktu diketahui bahwa histamin dapat mempengaruhi banyak proses
fisiologik dan patologik, maka dicari obat yang dapat melawan atau menghambat
efek histamin tersebut. Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi ataupun
dapat
menghilangkan
kerja
histamin
dalam
tubuh
dengan
mekanisme
penghambatan secara bersaing dari sisi reseptor khas yaitu H 1 , H 2 dan H 3 . Efek
dari antihstamin bukan suatu reaksi antigen–antibodi karena tidak dapat
menetralkan atau mengubah efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada
umumnya tidak dapat mencegah produksi histamin (Gunawan, 2007)
Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) berdasarkan hambatan pada
reseptor khas, antihistamin dibagi menjadi:
-
Antagonis H 1 digunakan untuk pengobatan gejala akibat reaksi alergi
-
Antagonis H 2 digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada
pengobatan penderita tukak lambung
-
Antagonis H 3 masih dalam penelitian lebih lanjut sebagai pengaturan
sistem kardiovaskular, pengobatan alergi dan kelainan mental.
2.4.3
Antagonis Histamin Reseptor H 2
Antagonis histamin raseptor H 2 adalah senyawa yang dapat menghambat
secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor H 2 sehingga dapat
menghambat sekresi asam lambung. Secara umum digunakan untuk pengobatan
tukak lambung akibat sekresi asam lambung dan tukak usus. Perkembangan
antagonis reseptor H 2 berdasar pada pengamatan bahwa antagonis histamin H 1
tidak mempunyai efek pada sekresi asam lambung yang terjadi pada induksi
histamin. Obat–obat dari golongan ini yang sekarang masih sering digunakan
antara lain simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin dan roksatidin. Karena H 2
reseptor banyak terdapat di jaringan lain selain lambung, maka efek samping
potensial yang diakibatkan oleh blokade histamin H 2 sistemik mungkin saja
terjadi. Efek samping yang biasa terjadi antara lain nyeri otot, pusing dan
kegelisahan (Siswandono dan Soekardjo, 2000; Katzung, 2001; Radde dan
Macleod, 1998).
2.5
Famotidin
Famotidin (facid, famocid, gester, regastin, restadin) merupakan antagonis
kompetitif histamin yang khas pada reseptor H 2 , sehingga secara efektif dapat
menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi
asam lambung. Famotidin merupakan antagonis histamin reseptor H 2 yang kuat
dan sangat selektif dengan masa kerja panjang (Siswandono dan Soekardjo,
2000).
2.5.1 Struktur Famotidin
Rumus bangun:
Nama kimia
: 3-([2-(diaminomethyleneamino)thiazol-4-yl]methylthio-Nsulfamoylpropanimidamide
Rumus molekul : C 8 H 15 N 7 O 2 S 3
Berat Molekul : 337,43
Kandungan
: Famotidin tablet mengandung tidak kurang dari 90,0% dan
tidak lebih dari 110,0% C 8 H 15 N 7 O 2 S 3 dari jumlah yang tertera
pada etiket (United States Pharmacopeia 32, 2009).
2.5.2 Farmakologi Famotidin
Seperti halnya simetidin dan ranitidin, famotidin merupakan antagonis
histamin reseptor H 2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada
keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin lebih
efektif dalam hal mengurangi produksi asam lambung, tiga kali lebih poten dari
pada ranitidin dan dua puluh kali lebih poten dari pada simetidin (Gunawan, 2007;
Anwar, 2000).
Famotidin merupakan antagonis histamin reseptor H 2 yang yang kuat dan
sangat selektif dengan masa kerja panjang, dan digunakan untuk pengobatan tukak
lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis misal sindrom
Zollinger–Ellison, meskipun dalam keadaan ini Imperazol merupakan obat yang
dipilih. Famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum. Efektivitas
famotidin untuk profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis dan pencegahan
tukak setres hampir sama dengan antagonis histamin reseptor H 2 lainnya
(Siswandono dan Soekardjo, 2000; Gunawan, 2007).
2.5.3 Farmakokinetika
Famotidin sebagai salah satu antihistamin penghambat reseptor H 2 yang
merupakan senyawa thiazol (cincin–5 dengan S dan N), mirip ranitidin bila
mengenai sifat farmakokinetik dan tentang efek sampingnya (Tjay dan Rahardja,
2002).
Kadar plasma tertinggi dicapai kira–kira 2 jam setelah penggunaan secara
oral. Waktu paruh eliminasi 3 – 8 jam dan bioavailabilitas 40 – 50%. Metabolit
utama adalah famotidin–S–oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari
dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat waktu
paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam (Gunawan, 2007).
2.5.4 Penggunaan Famotidin
Untuk pengobatan tukak duodenal aktif atau duodenum, dosis penghambat
H 2 yang diberikan pada waktu malam menjelang tidur adalah efektif. Hal yang
sama dilakukan pada penderita tukak lambung. Pada tukak duodenum atau tukak
lambung dosis yang diberikan 40 mg sehari, atau pun yang paling umum adalah
20 mg diberikan dua kali sehari, umumnya 90% tukak sembuh setelah 8 minggu
pengobatan. Dosis pemeliharaan untuk tukak duodenum 20 mg. Untuk pasien
sindrom Zollinger–Ellison dan keadaan hipersekresi asam lambung lainnya, dosis
harus diinduvidualisasikan. Dosis awal peroral yang dianjurkan adalah 20 mg tiap
6 jam (Katzung, 2001; Gunawan, 2007; Anwar, 2000).
2.5.5 Efek Toksis
Obat penghambat H 2 ditoleransi dengan sangat baik dan efek sampingnya
dilaporkan hanya terjadi pada 1 – 2% kasus. Efek yang paling sering terjadi
adalah diare, pening, mengantuk, sakit kepala dan ruam. Efek samping lainnya
termasuk sembelit, muntah, dan nyeri sendi (Katzung, 2001).
Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit
kepala, pusing, konstipasi dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin
nampaknya lebih baik dari pada simetidin karena tidak menimbulkan efek
antiandrogenik (Gunawan, 2007).
2.5.6 Interaksi Obat
Famotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam, warfarin, atau fenitoin di
hati. Kurang efektif apabila diberikan bersama ketokonazol, sebab ketokonazol
memerlukan pH asam untuk bekerja (Gunawan, 2007).
2.6
Penetapan Kadar Famotidin dalam Tablet Magard FA dengan
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi cair kinerja tinggi merupakan cara yang paling baik untuk
penatapan
kadar
famotidin
dalam
tablet
selain
dengan
menggunakan
spektrofotometri.
Kromatografi cair kinerja tinggi atau yang sering juga disebut dengan
HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dikembangkan pada tahun
1960 – 1970–an. Sekarang KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima
secara luas untuk analisa bahan obat (Rohman, 2009).
Dalam beberapa tahun terakhir ini teknologi KCKT dan pemakaiannya
telah sangat berkembang dan walaupun mahal, KCKT telah menjadi analisis rutin
dan bahkan preparatif pada banyak laboratorium (Gritter, dkk., 1991).
Keuntungan utama KCKT dibandingkan dengan KC tradisional menurut
Jhonson dan Stevenson (1991) yaitu:
1. cepat
2. daya pisah baik
3. peka, detektor unik
4. kolom dapat dipakai kembali
5. ideal untuk molekul besar dan ion.
2.6.1 Instrumen KCKT
a.
Wadah fase Gerak
Wadah fase gerak harus bersih dan lembam. Wadah pelarut kosong
ataupun wadah laboratorium bisa digunakan sebagai wadah yang biasanya dapat
menampung fase gerak antara 1 – 2 liter (Rohman, 2009).
b.
Pompa
Pompa yang digunakan dalam sistem KCKT harus dapat menghantarkan
aliran pelarut yang tetap dan terulangkan ke kolom. Pompa harus tahan terhadap
semua jenis pelarut. Bahan yang umum dipakai adalah gelas, baja tahan karat,
teflon dan batu nilam. Sebaiknya mampu memberikan tekanan 5000 – 6000 psi
dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan 3 mL/menit. Untuk tujuan
preparatif, pompa yang digunakan harus mampu mengalirkan fase gerak dengan
kecepatan 20 mL/menit (Rohman, 2009; Gritter, dkk., 1991).
Ada tiga jenis pompa yang sering dipakai untuk KCKT menurut Munson
(1991), yaitu:
1. Pompa kecepatan tetap
2. Pompa tekanan tetap
3. Pompa untuk elusi landaian.
c.
Kolom
Seperti lazimnya kromatografi cair, fase diam dapat berupa permukaan zat
padat yang berfungsi sebagai medium penjerap, atau permukaan cair yang
terdapat pada sejenis zat padat. Banyak fase diam baru telah dikembangkan untuk
KCKT, dan pemakaian bahan tersebut sangat meningkatkan keefisienan dan
kemampuan metode tersebut (Gritter, dkk., 1991).
Menurut Gritter, dkk (1991) jika berbicara tentang kepolaran fase diam
dan fase gerak, kita dapat membedakan jenis metode kromatografi cair kinerja
tinggi, yaitu:
1. Fase normal, yaitu jika fase diam lebih polar dari pada fase geraknya
2. Fase balik, yaitu jika fase diamnya lebih non polar dari pada fase gerak.
d.
Injektor
Sampel–sampel cair dan larutan disuntikan secara langsung ke dalam fase
gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat
penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi
dengan lekuk sampel internal atau eksternal (Rohman, 2009).
e.
Detektor
Detektor adalah gawai pemasok sinyal keluaran sebagai tanggapan
terhadap cuplikan. Alat ini disambungkan keluaran kolom untuk memantau efluen
kolom dalam waktu sebenarnya (Jhonson dan Stevenson, 1991).
Menurut Rohman (2009) detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2
golongan yaitu:
Download