peringatan - Perpustakaan UNISBA

advertisement
PERINGATAN !!!
Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan
referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila
Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan
pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan
karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
ANALISIS FOTO FESYEN MAJALAH JEUNE SEBAGAI
LIFESTYLE ANAK MUDA BANDUNG
Studi Semiotika Roland Barthes Tentang Foto Fesyen Majalah Jeune
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung
Disusun Oleh:
Rahmah Novianti
10080002050
Manajemen Komunikasi
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2007
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: Analisis Foto Fesyen Majalah JEUNE Sebagai Lifestyle
Anak Muda Bandung
Sub Judul
: Suatu Studi Studi Semiotika Roland Barthes Tentang
Foto Fesyen Majalah Jeune
Nama
: Rahmah Novianti
NPM
: 10080002050
Bidang Kajian
: Manajemen Komunikasi
Menyetujui :
Pembimbing I
Pembimbing II
Hj. Rini Rinawati, Dra., M.Si
Satya Indra Karsa, Drs
Mengetahui :
Ketua Bidang Kajian Manajemen Komunikasi
Anne Maryani, Dra, M.Si.
ABSTRAK
Gaya hidup merupakan hal yang selalu menyentuh masyarakat dari jaman ke
jaman. Gaya hidup dalam bentuk apapun, termasuk fesyen. Pada perkembangannya
fesyen adalah hal yang paling menentukan sebuah gaya hidup yang paling dasar dan
secara mudah dapat dilihat dari gaya berpakaian seseorang. Rentang perjalanan fesyen
pun sudah sepanjang peradaban manusia itu sendiri, tak pernah lepas diri kita akan
busana yang kita gunakan dan bagaimana sebuah rancangan mode seorang perancang
mode mengubah cara hidup kita, dan bagaimana kita memandang diri terhadap
lingkungan dan budaya. Pengetahuan setiap orang tentang fesyen pun tidak lepas dari
peran media massa sebagai pendukungnya. Yang bermula dari foto-foto pada majalah
ataupun koran, hingga tayangan televisi.
Pada majalah, foto biasanya merupakan pelengkap dari berita tulis. Namun,
selain melengkapi, foto juga berfungsi meyakinkan dan memberi variasi yang menarik
bagi para pembaca, tak terkecuali foto fesyen. Karena pada masa ini adalah masa
dimana semua orang berlomba menjadi pusat perhatian dilingkungannya, sehingga
perkembangan fesyen menjadi sangat beragam. Mengingat dalam abad gaya hidup
penampilan adalah segalanya, dan perhatian terhadap urusan penampilan pun
sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah. Urusan penampilan atau presentasi
diri ini sudah lama menjadi perbincangan sosiologi dan kritikus budaya. Adapun judul
penelitian ini adalah ”Analisis Foto Fesyen Majalah Jeune Sebagai Lifestyle Anak Muda
Bandung”.
Hal-hal yang penulis teliti dalam kaitannya dengan judul penelitian adalah
bagaimana makna tanda denotatif foto fesyen yang meliputi tampilan foto secara
keseluruhan juga makna tanda konotatif foto fesyen yang meliputi.pakaian, model, dan
detail pada foto tersebut.
Majalah yang menjadi objek penelitian penulis adalah majalah Jeune.Majalah
fesyen Bandung yang segmentasi pasarnya adalah anak muda. Majalah ini adalah
majalah fesyen yang memiliki tujuan akhir untuk menangkap fenomena dan attitude
fesyen seseorang lalu membahas dan menggambarkannya dalam rubrik foto fesyen.
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode kualitatif dengan teori
Semiotika Roland Barthes, yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam
sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Relasi tanda tersebut
menurut Barthes dibagi menjadi dua tingkatan, masing-masing detonasi dan konotasi.
Denotasi yang diambil adalah kesan makna paling nyata dari tanda, dengan kata
lain denotasi merupakan keterangan dari isi seluruh gambar tersebut. Foto menonjolkan
karakter warna lebih kuat pada objek tertentu dengan fokus yang lebih lembut dan efek
cahaya yang lebih gelap menimbulkan kesan dingin dan dramatis.
Konotasinya memberikan kesan klasik yang kental pada era tahun 70-80an serta
ingin menciptakan suatu hal dari kehidupan untuk menanti sesuatu
yang
mengambarkan kegundahan dalam suatu penantian.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Pertama-tama Penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, dan
shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW serta para
sahabat-sahabatnya. Atas berkat Rahmat-Nya lah, Penulis dapat menyelesaikan tugas
akhir ini dengan baik dan tepat pada waktunya sebagai syarat untuk mendapatkan
gelar sarjana S1 di Fakultas Ilmu Komunikasi.
Pada akhirnya setelah berjuang menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul
“Analisis Foto Fesyen Majalah Jeune Sebagai Lifestyle Anak Muda Bandung”
dapat terselesaikan juga, namun dirasakan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna
sehingga saran dan kritik sangat Penulis nantikan guna penyempurnaan untuk ke
depannya.
Mudah-mudahan dengan dilakukannya Penulisan mengenai Analisis Foto
Fesyen ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya umumnya, dan untuk
mahasiswa Fikom Unisba khususnya. Dan Penulisan yang telah Penulis lakukan ini
semoga bermanfaat bagi generasi selanjutnya yang mencoba meneliti Penulisan yang
serupa.
Dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Adapun ucapan terima kasih tersebut Penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Dr. Yusuf Hamdan, Drs., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Bandung, atas izin riset pada penyusunan
skripsi ini.
i
2. Ibu Anne Maryani. Dra, M.Si, selaku bidang kajian Ilmu Manajemen
Komunikasi yang telah memberikan bimbingan pada awal penyusunan skripsi
ini.
3. Ibu Hj. Rini Rinawati, Dra., M.Si, selaku pembimbing I yang selalu dengan
sabar membimbing Penulis dan terima kasih atas waktu yang telah diluangkan
oleh beliau serta berbagai masukan dan pengetahuan-pengetahuan baru yang
Penulis dapatkan selama bimbingan.
4. Bapak Satya Indra Karsa, Drs, selaku pembimbing II yang ditengah
kesibukannya telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada
penulis.
5. Septiawan Santana (ka asep), ibu ike dan pak ferry, terima kasih atas
nasihatnya.
6. Segenap jajaran dosen-dosen dan staf Fakultas Ilmu Komunikasi yang telah
memberikan masukan serta membantu kelancaran perizinan dalam penulisan
skripsi ini.
7. Jeune Magazine yang bersedia menjadi objek penelitian penulis dan telah
banyak meluangkan waktunya di tengah kesibukannya mempersiapkan setiap
edisi baru.
8. Mama, yang dapat mengerti kehidupan anaknya, terima kasih telah
memberikan kasih sayang, dukungan serta pengertiannya kepada Penulis yang
merupakan penyemangat dan nyawa dalam menyelesaikan tugas akhir ini. J
t’aime mom! Alm papa (Bpk. Bachtiar) yang hanya mengizinkan anaknya
masuk Unisba. Alhamdulillah pap, satu langkah lagi anakmu menjadi lulusan
Unisba.
ii
9. Keluarga besar Badaruddin Abbas, keluarga besar Ardilla, terima kasih telah
menjadi saudara terbaikku.
10. Sahabat-sahabatku ku tercinta Citra, Ririe, Angie, Tebe, Rumput Hijau
Family, keluarga IT Gallery, bucayers, kucingku dirumah yang telah
menemani dan menghibur penulis apabila kejenuhan datang, dan memberi
dukungan yang besar kepada penulis dalam menyelesaikan Penulisan ini..
11. Teman-teman Ilmu Komunikasi angkatan 2002, maupun teman seperjuangan
dalam penulisan skripsi ini, walaupun penulis banyak tertinggal lulus oleh
kalian tapi penulis bersyukur, akhirnya penulis termotivasi untuk cepat
menyelesaikan penulisan ini.
12. Serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang sangat
membantu dalam proses penulisan skripsi ini.
Semoga berbagai bantuan, dukungan dan do’a yang telah diberikan untuk
penulis mendapat balasan dari Allah SWT, amien. Akhir kata penulis berharap,
semoga skripsi ini banyak memberikan manfaat bagi semua pihak dan menjadi
sumbangan yang berguna bagi perkembangan Ilmu Komunikasi.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Rahmah Novianti
10080002050
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
MOTTO
ABSTRAK
KATA PENGANTAR……………………………………....................
i
DAFTAR ISI
……………………………………....................
iv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………....................
vii
BAB I
1
BAB II
PENDAHULUAN
……………………………........
1.1
Latar Belakang Masalah
………………....
1
1.2
Perumusan Masalah …………………………
5
1.3
Identifikasi masalah …………………………
6
1.4
Tujuan Penelitian
…………………………
6
1.5
Kegunaan Penelitian ........................................
6
1.6
Pembatasan Masalah ………………………....
7
1.7
Pengertian Istilah
…………………………
7
1.8
Kerangka Pemikiran ............…………………
8
1.9
Metode Penelitian
11
1.10
Teknik Pengumpulan Data
………………....
15
1.11
Tahap-tahap Penelitian
............................
16
1.12
Organisasi Karangan …………………………
17
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Komunikasi
…………………………
…………………………
18
…...…………………
18
2.1.1 Pengertian Komunikasi ............................
18
2.1.2 Proses Komunikasi
............................
19
2.1.3 Tujuan Komunikasi
…………………
19
2.1.4 Pengertian Komunikasi Nonverbal ……
20
2.2
Semiotika
……………..………………......
24
2.3
Majalah
…………………………………
25
Sejumlah Kategori Majalah …………
29
2.4
Foto Fashion …………………………………
29
2.5
Gaya Hidup (Lifestyle)
…………………
30
METODE DAN OBJEK PENELITIAN ………..........
34
3.1
Karakteristik Penelitian Kualitatif
………..
34
3.2
Semiotika Signifikasi Roland Barthes ………..
38
3.3.1 Denotasi
………………………….
39
3.3.2 Konotasi
………………………….
39
3.3.3
………………………….
40
2.3.1
BAB III
BAB IV
Mitos
3.3
Sumber dan Jenis Data
……………...…..
41
3.4
Cara Pengumpulan Data
……………...
42
3.5
Objek Penelitian
………………….............
44
3.5.1
Profil Jeune
.........................................
44
3.5.2
Sejarah Majalah Jeune ..........................
44
3.5.3
Rubrikasi Jeune
..................................
46
………...............………………….
48
PEMBAHASAN
4.1
Pengantar Pembahasan Masalah
………….....
48
4.2
BAB V
Daftar Pustaka
Lampiran
Analisis Makna Denotatif dan Konotatif
……
52
4.2.1 Analisis Aspek Foto (Non-verbal)
…..
52
4.2.1.1 Objek Pertama dan Kedua
…...
53
4.2.2 Analisis Aspek Teks (Verbal) …………..
62
PENUTUP
……………………………....…………..
68
5.1
Kesimpulan
…………………………………..
68
5.2
Saran ………....………………………………..
70
.............………………………………………….
viii
………...........................………………………………...
x
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Keragaman dalam berpakaian pada anak muda saat ini merupakan suatu
budaya yang tidak pernah habis dari zaman ke zaman.. Keragaman yang dapat
dijadikan pengenal atau identitas pribadi yang biasanya dikatakan sebagai gaya
hidup.
“Gaya hidup adalah suatu kata-kata yang sering disalahgunakan. Para
ilmuan sosial,jurnalis,dan orang awan menggunakannya untuk menunjuk
pada hampir semua minat, bias fesyen, Zen,Budhisme atau masakan
Perancis….Jika tahun 1970-an adalah petunjuk hal tersebut, kata gaya
hidup akan serta-merta memasukan segalanya pada saat yang sama tidak
bermakna apapun”. (Sobel,1981 : 1).
Istilah tersebut sangat sering dipakai, tapi juga terdapat permasalahan
dalam mendefinisikannya sesuatu yang sesamar gaya hidup. Gaya hidup adalah
pola-pola hidup yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lain.
Budaya bisa didefinisikan sebagai keseluruhan gaya hidup suatu masyarakat –
kebiasaan/adat-istiadat, sikap,dan nilai-nilai mereka, suatu pemahaman yang sama
yang menyatukan mereka sebagai suatu masyarakat.
Gaya hidup yang berlangsung tanpa henti bisa berawal hanya dari sebuah
icon yang ditimbulkan dari seseorang untuk membuat dirinya berbeda dari orang
lain. Hal ini terjadi pada perkembangan fesyen, dan hal yang paling menentukan
sebuah gaya hidup yang paling dasar dapat dilihat dari gaya berpakaian, oleh
karena itu peneliti ingin membahas gaya hidup (lifestyle) melalui media fotografi
fesyen yang terdapat pada majalah JEUNE edisi Champion Issues.
1
Penulis mencoba untuk mengkaitkan gaya hidup dengan mode pada dunia
fesyen yang ada di Bandung dan yang ada di media massa cetak, dalam hal ini
majalah JEUNE.
Rentang perjalanan mode dunia sudah sepanjang peradaban manusia itu
sendiri, tak pernah lepas diri kita akan busana yang kita gunakan dan bagaimana
sebuah rancangan mode seoran gperancang mode mengubah cara hidup kita, dan
bagaimana kita memandang diri terhadap lingkungan dan budaya.
Pada majalah, foto biasanya merupakan pelengkap dari berita tulis.
Namun, selain melengkapi, foto juga berfungsi meyakinkan dan memberi variasi
yang menarik bagi para pembaca. Dengan melihat gambar-gambar, mata dan otak
pembaca tidak begitu lelah seperti ketika membaca berita-berita yang
berkepanjangan. Dengan keunggulan tersebut fotografi mampu mengungkapkan,
mengulas masalah secara analitis dan sintetis dan memberikan kesimpulan secara
gamblang, sehingga dapat dimengerti oleh pembacanya secara merata.
Tiap orang yang melihat gambar pada koran atau majalah, timbul dalam
dirinya rasa keingintahuan yang sangat dalam akan suatu informasi. Orang –orang
yang ingin tahu ini terdapat diseluruh lapisan masyarakat. tentunya pada politik,
olahraga, hiburan, fesyen, dan masalah yang timbul pada lingkunyan masyarakat
kita sendiri.
Foto fesyen berkembang seiring dengan dunia mode, menciptakan secara
pasti sebuah aliran yang berkembang secepat perkembangan dunia mode itu
sendiri, ia ber-evolusi menjadi bentuk olah rasa yang tinggi. Foto fesyen tidak lagi
berbentuk tapi berkembang menjadi aliran yang mengutamakan artistik tinggi
yang mewakili rancangan itu sendiri dengan tingkat persaingan dalam menjual
2
ide, konsep dan tidak hanya dari sisi rancangan mode, tapi juga tehnik fotografi,
tata make-up dan rambut, tata gaya, tata ruang dan lain sebagainya yang
menghasilkan sebuah hasil karya seni.
Foto fesyen memiliki pengertian sendiri, bukan merupakan pengartian
terpisah dari foto dan fesyen, foto fesyen secara pengertian dasar memiliki
pengetian gambaran foto yang mengkhususkan diri pada bidang fotografer model
baik benda mati
maupun benda hidup. Untuk lebih jelasnya foto fesyen
cenderung pada foto model yang
berbusana. Foto dapat membuat rasa
keterlibatan orang yang melihatnya, karena rasa keterlibatan orang yang
melihatnya. Dan seterusnya melinatkan emosional.
Dalam perkembangan dunia foto fesyen saat ini terjadi sebuah
pengulangan bentuk penggarapan yang tercipta akan inspirasi akan masa-masa
kejayaan dunia fesyen
era 40 sampai dengan 70-an, dimana masa 80-an
merupakan masa kegelapan dunia mode. Era 80-an ini sudah dilupakan, karena
pada masa ini adalah tahun dimana semua orang berlomba menjadi orang aneh,
fesyennya sangat beragam, namun memiliki khasnya, era ’cupu’ (culun atau
kurang pergaulan) kata anak sekarang. Penterjemahan sebuah konsep foto atas
sebuah mode, tidak lagi terbatas akan era yang diwakilinya .
Foto-foto yang dirancang khusus dan di kenakan oleh model foto, bisa
berupa foto di catwalk, studio atau lokasi khusus, dan berbeda dengan kategori
model yang tidak menonjolkan unsur-unsur detil busana.
Dalam abad gaya hidup, penampilan adalah segalanya. Perhatian terhadap
urusan penampilan sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah. Urusan
penampilan atau presentasi diri ini sudah lama menjadi perbincangan sosiologi
3
dan kritikus budaya. Kata gaya dalam bahasa Indonesia merupakan padanan kata
dari kata ”style” dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Yunani ”Stilus”
yang artinya adalah alat tulis atau tulis tangan. Mayer Schapiro mendefinisikan
gaya sebagai ” bentuk yang konstan yang kadang kala unsur-unsur, kualitaskualitas dan ekspresi konstan dari perorangan maupun kelompok” (Mayer dalam
Subandi, 1997:165). Definisi ini juga mencakup gaya hidup dan gaya peradaban.
Tetapi dafinisi yang cukup jelas adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh
Alvin Toffler, yaitu
”Alat yang dipakai individu intuk menunjuk identifikasi diri mereka
dengan subkultur-subkultur tertentu. Setiap gaya hidup disusun melalui
mosaik beberapa item, super product yang menyediakan cara untuk
mengorganisir prosuk dan idea”
Gaya dapat dipelajadi karena ia bersifat beragam dan sadar diri. Gaya pun
mengenak masa hidup (lahir, muda, dewasa, mati) dan gaya yang telah usang
biasanya disebut dekaden. Sedangkan, ketika ciri-ciri gaya yang sengaja dilebihlebihkan, hal itu mulai memasuki pembicaraan tentang penggayaan atau styling.
Pengertian penggayaan disini adalah memberikan bentuk tertentu sesuai dengan
gaya yang pernah ada di masa sebelumnya. Pandangan ini lahir karena menurut
Harley Earl, masyarakat sangat rapuh terhadap perubahan gaya yang dilakukan
secara evolusi.
Karena itu peneliti memiliki keinginan untuk mengkaji lebih dalam
mengenai tanda maupun simbol yang terdapat pada foto fesyen dalam majalah
JEUNE. Mengenai mengapa peneliti mengambil objek penelitian fesyen, hal ini
mengingat kota Bandung merupakan pusat dari kota wisata belanja.
Peneliti ingin mengkaitkan kembali foto fesyen dengan gaya hidup melalui
studi kualitatif dengan melalui pendekatan semiotika Roland Barthes. Media yang
4
digunakan oleh peneliti adalah majalah JEUNE yang memiliki rubrik foto fesyen,
isi dari majalah JEUNE sendiri lebih menitikberatkan konten majalah pada
fotografi untuk memperkuat isi dibandingkan text. Oleh karena itu majalah
JEUNE lebih dikenal sebagai majalah fesyen.
Untuk
mempersempit
bidang
penelitian
maka
penulis
mencoba
menuliskannya dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis mencoba merumuskan
masalahnya, yaitu: ”Analisis Foto Fesyen Majalah JEUNE sebagai Lifestyle
Anak Muda Bandung”
1.3
Identifikasi Masalah
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan diatas, maka penulis dapat
mengidentifikasikan masalah menjadi :
1. Bagaimana makna tanda denotatif foto fesyen pada majalah JEUNE ?
2. Bagaimana makna tanda konotatif foto fesyen pada majalah JEUNE ?
1.4
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui makna tanda denotatif foto fesyen pada majalah
JEUNE.
2. Uuntuk mengetahui makna tanda konotatif foto fesyen pada majalah
JEUNE.
5
1.5
Kegunaan penelitian
Kegunaan penelitian ini secara luas adalah
1. Secara teoritis dan metodologis penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman
studi komunikasi pada umumnya.
2. Selain itu penulis ingin mengetahui lebih luas, tentang makna tanda
foto fesyen di majalah JEUNE pada anak Bandung.
3. Penulis juga ingin mengetahui perkembangan fesyen anak muda
Bandung.
4. Pada akhirnya penulis ingin mengetahui tentang fotografi terutama
foto fesyen, karena memiliki bidang tersendiri.
1.6
Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas isi yang lebih sistematis dari penelitian ini maka
dilakukan pembatasan masalah agar dapat lebih terarah, yakni :
1. Majalah
yang di teliti adalah majalah JEUNE pada edisi No.15
Champion Issue tahun 2006 halaman 30-31.
2. Aspek yang di teliti adalah aspek foto fesyen yang berupa foto,
ilustrasi, dan warna yang terdapat di halaman bagian dalam majalah.
1.7
Pengertian Istilah
1. Foto Fesyen : foto-foto busana yang dirancang khusus dan dikenakan
oleh medel foto, bisa berupa foto di catwalk, studio atau lokasi khusus
6
dan berbeda dengan kategori model yang tidak menonjolkan unsurunsur detil busana. (Barnard, 1996:83)
2. Majalah : Merupakan pers berkala yang menggunakan sampul, yang
memuat bermacam-macam tulisan yang dihiasi ilustrasi maupun fotofoto. (Junaedhi, 1995:155)
3. Life Style (gaya hidup) : mendefinisikan sikap dan membantu
memahami apa yang orang lakukan serta merupakan bagian dari
modernitas.(Fiske, 1990:89)
4. Denotasi merupakan hubungan antara signifier dan signified dalam
sebuah tanda terhadap realitas eksternal atau makna paling nyata dari
tanda (Sobur, 2004:128).
5. Konotasi menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu
dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari
kebudayaan, konotasi mempunyai makna subjektif atau paing tidak
makna intersubjektif (Sobur, 2004:128).
6. Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa
fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tandatanda.
Semiotik
konvensi-konvensi,
itu
mempelajari
yang
sistem-sistem,
memungkinkan
mempunyai arti (Sobur, 2004:96).
7
aturan-aturan,
tanda-tanda
tersebut
1.8
Kerangka Pemikiran
1.8.1 Foto Fesyen
Foto-foto yang dirancang khusus dan di kenakan oleh model foto, bisa
berupa foto di catwalk, studio atau lokasi khusus, dan berbeda dengan kategori
model yang tidak menonjolkan unsur-unsur detil busana. Foto fesyen memiliki
pengertian sendiri, bukan merupakan pengartian terpisah dari foto dan fesyen, foto
fesyen secara pengertian dasar memiliki pengetian gambaran foto yang
mengkhususkan diri pada bidang fotografi model baik benda mati maupun benda
hidup. Untuk lebih jelasnya foto fesyen cenderung pada foto model yang
berbusana. Foto dapat membuat rasa keterlibatan orang yang melihatnya, karena
rasa keterlibatan orang yang melihatnya. Dan seterusnya melibatkan emosional.
Dalam perkembangan dunia foto fesyen saat ini terjadi sebuah
pengulangan bentuk penggarapan yang tercipta akan inspirasi akan masa-masa
kejayaan dunia fesyen
era 40 sampai dengan 70-an, dimana masa 80-an
merupakan masa kegelapan dunia mode. Era 80-an ini sudah dilupakan, karena
pada masa ini adalah tahun dimana semua orang berlomba menjadi orang aneh,
fesyennya sangat beragam, namun memiliki khasnya, era ’cupu’ (red. culun atau
kurang pergaulan) kata anak sekarang. Penterjemahan sebuah konsep foto atas
sebuah mode, tidak lagi terbatas akan era yang diwakilinya .
1.8.2
Life Style ( Gaya Hidup )
Dalam dunia modern, gaya hidup kita mendefinisikan sikap, nilai-nilai,
dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial kita. gaya hidup (lifestyle)
mengungkapkan bagaimana kita harus mengklasifikasikannya, bagaimana istilah
8
tersebut menjadi semakin penting, dan apa persisnya gaya hidup itu. Dalam gaya
hidup, penampilan adalah segalanya. Perhatian terhadap urusan penampilan
sebenarnya bukanlah hal baru dalam sejarah. Life style yang biasa disebut dengan
gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern, atau yang biasa di sebut
medernitas. Maksudnya adalah siapapun yang hidup dalam masyarakat modern
akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakan
sendiri atau orang lain. Gaya hidup adalah pola tindakan yang membedakan antara
satu orang dengan orang lain. Oleh karena itu, gaya hidup membantu memahami
(yakni menjelaskan tapi bukan berarti membenarkan) apa yang orang lakukan,
mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi
dirinya ataupun orang lain.
1.8.3
Majalah
Majalah adalah salah satu bagian dari pers yang membawa misi
penerangan, pendidikan, dan hiburan. Penerbitan majalah pertama kali di London,
inggris; yang kemudian menyusul penerbitan-penerbitan yang lainnya pada tahun
1741 di Amerika Serikat, tetapi baru pada abad ke-19 majalah menunjukan
perkembangan yang cukup pesat.
”Majalah merupakan penerbitan pers berkala yang menggunakan kertas
sampul, yang memuat yang bermacam-macam tulisan yang dihiasi ilustrasi
maupun foto-foto”. (Junaedhi, 1995:155).
Dengan demikian majalah adalah salah satu sumber informasi yang
semakin populer dewasa ini. Ia mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam
kehidupan masyarakat, terutama pada masyarakat modern.
9
Pada dasarnya, studi media massa mencakup pencarian pesan dan
makna-makna dalam materinya, karena sesungguhnnya semiotika komunikasi,
seperti halnya basis komunikasi, proses komunikasi, dan intinya adalah makna
(Sobur, 2003:110).
Abad ke-20 yang dikenal sebagai abad revolusi informasi telah
membawa dunia pers khususnya pemajalahan ke arah perkembangan yang sangat
pesat. Ini terlihat banyaknya majalah-majalah yang beredar tidak hanya di negaranegara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia.
Nama-nama majalah seperti; Hai, Kartini, Kawanku dan lain-lain telah
memiliki kelompoknya masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat
modern lebih bersifat selektif terhadap media tang diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan informasi.
Karena itulah sebagian orang mengatakan, majalah merupakan perpaduan
antara surat kabar dan buku. Majalah memiliki ruang dan waktu yang lebih leluasa
untuk menyajikan suatu peristiwa dengan selengkap-lengkapnya, sehingga isi
majalah biasanya lebih mendalam dan lengkap dibanding surat kabar harian.
Onong Uchjana Effendy mengartikan majalah sebagai ”media cetak yang
diterbitkan secara berkala, berulang-ulang secara teratur seminggu sekali, dua
minggu sekali, atau satu tahun sekali”.
1.9
Metode Penelitian
1.9.1
Penelitian Kualitatif
Bentuk penelitian ini bersifat kualitatif, ”merupakan penelitian yang
bertujuan untuk menganalisis sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat,
10
penelitian ini tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip
angka atau metode statistik” (Mulyana, 2001:150), karena metode penelitian ini
meyakini bahwa fenomena yang terjadi di masyarakat tidak bisa dilihat dan
ditentukan dengan angka-angka, fenomena yang terjadi di masyarakat merupakan
sebuah akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.9.2 Semiotika
Dalam semiotika, yang dijadikan pokok perhatiannya di sini adalah tanda.
Studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiologi atau
somiotika. Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama:
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang
menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa
dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup
cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu
masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi
yang tersedia untuk menstransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknya sendiri.
11
1.9.3 Semiotika Roland Barthes
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika signifikasi
Roland Barthes. Semiotika signifikasi adalah semiotika ( ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda) yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di
dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Relasi tanda
tersebut menurut Barthes dibagi menjadi dua tingkatan, masing-masing detonasi
dan konotasi (dalam pengertian Barthes disebut dengan mitos). (Sobur,2003:viii).
Kemudian lebih lanjut dikatakan pula bahwa Barthes menempatkan
ideologi dengan mitos karena baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan
antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi
(Budiman dalam Sobur, 2003: 71). Pengertian mitos sendiri adalah mengenai
bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang
realitas atau gejala alam.
Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai dominasi.
Mitos primitif misalnya mengenai hidup dan mati. Mitos masa kini misalnya
tentang femininitas, maskulinitas, atau kesukesan (Fiske, dalam Sobur, 2004:128).
Selain itu juga, fokus perhatian Barthes mengenai gagasan tentang signifikasi dua
tahap (two order of signification) dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
12
Gambar 2. Signifikasi dua tahap Barthes
tatanan pertama
realitas
tatanan kedua
tanda
kultur
Konotasi
Bentuk
Penanda
denotasi
Petanda
Isi
mitos
Sumber: John Fiske (1990:88 dalam Sobur, 2001:127).
Tatanan pertandaan pertama menggambarkan relasi antara penanda dan
petanda di dalam tanda dan antara tanda dengan referennya dalam realitas
eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Sebuah foto tentang
sorang model mendenotasikan model tertentu; kata “model” mendenotasikan
seseorang yang bergaya dengan mengenakan busana yang dirancang
secara
khusus. Pada salah satu foto menggunakan fokus yang tajam, menampilkan
warna-warna lembut dengan pencahayaan yang lebih kuat. Sementara foto yang
lain lebih menonjolkan karakter warna lebih kuat pada objek tertentu dengan
fokus yang lebih lembut dan efek cahaya yang lebih gelap menimbulkan kesan
dingin dan dramatis. Kedua foto tersebut dapat diambil pada waktu yang hampir
bersamaan dengan kamera yang lensanya hanya berbeda beberapa sentimeter.
Makna denotatifnya akan sama. Perbedaannya akan ada dalam konotasinya.
Dalam istilah yang dipakai Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan
salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi
menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan
13
perasaan atau emosi penggunanya dan nilai kulturalnya. Bagi Barthes faktor
penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan
pertama merupakan tanda konotasi.
1.10
Teknik Pengumpulan Data
1.
menurut pandangan pribadi intinya...............
2.
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan
seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu.
Wawancara secara garis besar dibagi dua, yakni wawancara tak terstruktur
dan wawancara terstruktur (Mulyana, 2003:180). Wawancara tidak
terstruktur mirip dengan percakapan informal. Metode ini bertujuan
memperoleh bentuk-bentuk informasi tertentu dari semua responden.
Wawancara tak terstruktur bersifat luwes, susunan pertanyaannya dan
susunan kata-kata dalam setiap pernyataan dapat di ubah pada saat
wawancara, termasuk karakteristik sosial-budaya responden yang dihadapi
(Mulyana, 2003:181). Dalam hal ini, peneliti akan melakukan wawancara
dengan fotografer (irvan fajar), Araji sebagai penata gaya, wardrobe,
model (Jasmin) dan beberapa orang yang fesyennya terpengaruh dari foto
tersebut.
3.
Observasi. Menurut Denzim, observasi atau pengamatan berperan serta
adalah strategi yang secara simultan memadukan analisis dokumen,
wawancara, dengan responden dan informan, partisipasi dan observasi
langsung serta introspeksi diri (Mulyana, 2003:163).
14
4.
Studi dokumentatif adalah studi menggunakan dokumen-dokumen yang
ada hubungannya dengan kasus yang di teliti.
5.
Studi kepustakaan adalah studi yang berkaitan dengan dokumentasi serta
buku-buku dan literatur lainnya yang relevan dengan masalah penelitian.
1.11
Tahap-tahap Penelitian
1. Tahapan Pra Lapangan
1). Menyusun rancangan penelitian.
Faktor yang mempengaruhi penulis dalam melakukan penelitian ini
karena
adanya ketertarikan penulis untuk menganalisis foto fesyen.
2). Memilih lapangan penelitian
Dengan cara menjajaki dan memahami lapangan untuk melihat apakah
terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan.
2. Tahapan Pekerjaan Lapangan
Pada tahapan ini penulis mulai memahami latar belakang penelitian,
penulis
melakukan
pendekatan
dengan
subjek
penelitian
serta
mengumpulkan data
3. Tahapan Terakhir Analisis Data
Pada tahapan ini penulis mulai melakukan pencatatan akhir pengumpulan
data, reduksi data, dan pengorganisisian data yang diperoleh dan dilakukan
secara cermat, lengkap dan teratur sesuai dengan perkembangan data yang
di peroleh.
15
1.12
Organisasi Karangan
Di dalam sistematika penulisan ini, penulis membuat garis besar
pembahasan yang dibagi kedalam bab dan sub-bab sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN, yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, pembatasan masalah, pengertian istilah, metode
penelitian, kerangka pemikiran, teknik pengumpulan data, dan
organisasi karangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, yang meliputi tijauan bahasa jurnalistik,
artikel, semiotika dan media massa, stukturalisme dan semiotika,
pengertian foto fesyen dan life style
BAB III
METODE
DAN
OBJEK
PENELITIAN,
rang
meliputi
pembahasan tentang karakteristik penelitian kualitatif,
unit
analisis, dan prosedur pengumpulan data profil, sejarah, rubrikasi
dan tema champion issue di edisi no.15.
BAB IV
PEMBAHASAN, yang merupakan BAB pembahasan hasil
penelitian.
BAB V
PENUTUP, yang meliputi kesimpulan dari penelitian yang
dilakukan saran bagi kemajuan bersama.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Tinjauan Komunikasi
2. 1. 1 Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin Communis yang
artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang
atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar kata dalam bahasa Latin
Communico yang artinya membagi (Cherry dalam Stuart, 1983).
Komunikasi didefinisikan secara luas sebagai “berbagi pengalaman”.
Sampai batas tertentu, setiap makhluk dapat dikatakan melakukan komunikasi
dalam pengertian berbagi pengalaman. Namun, dalam hal ini yang dimaksud
adalah komunikasi manusia (human communication).
Komunikasi menurut Shannon dan Weaver (1949) adalah bentuk interaksi
manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau
tidak disengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa
verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi.
2.1.2
Proses Komunikasi
Menurut Shannon dan Weaver (1949) proses komunikasi dapat
diklasifikasikan menjadi 4, yaitu :
1. Proses komunikasi secara primer (primary process)
Adalah proses penyampaian pikiran oleh komunikator kepada
komunikan dengan menggunakan suatu lambang (symbol) sebagai
media atau saluran. Lambang ini umumnya bahasa, tetapi dalam
situasi-situasi komunikasi tertentu lambang-lambang yang
17
dipergunakan dapat berupa kial (gesture), yakni gerak anggota
tubuh, gambar, warna, dan lain sebagainya.
2. Proses komunikasi secara sekunder
Adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media
kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.
Komunikator menggunakan media kedua ini karena komunikan
yang dijadikan sasaran komunikasinya jauh tempatnya atau banyak
jumlahnya atau kedua-duanya, jauh dan banyak. Kalau komunikan
jauh, dipergunakanlah surat atau telepon, jika banyak dipakailah
perangkat pengeras suara, apabila jauh dan banyak dipergunakan
surat kabar, radio, atau televisi.
3. Proses komunikasi secara linear
Adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan sebagai titik terminal. Komunikasi linear ini
berlangsung baik dalam situasi komunikasi tatap muka maupun
dalam situasi komunikasi bermedia.
4. Proses komunikasi secara sirkular
Adalah proses komunikasi yang mendapat feedback atau umpan
balik, yaitu terjadinya arus dari komunikan ke komunikator.
Dengan terjadinya umpan balik kepada komunikator dapat
diketahui apakah komunikasi tersebut berhasil atau gagal.
2.1.3 Tujuan Komunikasi
Seperti telah disebutkan di atas bahwa komunikasi itu bertujuan salah
satunya untuk mengubah sikap orang lain. Adapun tujuan dari komunikasi yang
sesungguhnya adalah :
a. Mengubah sikap (to change the attitude)
Komunikasi bertujuan untuk mengubah sikap dari para audiensnya,
dimana tentu saja perubahan yang diharapkan oleh komunikator
merupakan perubahan sikap yang positif dan sesuai dengan harapan
dari komunikatornya.
b. Mengubah opini/ pendapat/ pandangan (to change the opinion)
Tujuan lain dari komunikasi yaitu mengubah opini/ pendapat/
pandangaan dari audiensnya, maka seorang komunikator harus pandai
mempengaruhi audiens untuk mengikuti apa yang menjadi tujuan dari
kegiatan komunikasi tersebut.
c. Mengubah perilaku (to change the behavior)
Komunikasi dilakukan salah satunya adalah untuk mengubah perilaku
seseorang, perubahan perilaku tersebut tergantung dari pesan yang
disampaikan oleh komunikator. Jika pesan yang disampaikan oleh
komunikator merupakan pesan yang positif maka perubahan
perilakunya pun akan positif dan sebaliknya.
18
d. Mengubah masyarakat (to change the society)
Kekuatan komunikasi bahkan dapat mengubah masyarakat, jika tyjuan
komunikasi yang telah dijelaskan di atas telah berhasil dilakukan, maka
komunitas orang tersebut atau masyarakat tersebut akan berubah sesuai
dengan harapan dari komunikator (Effendy, 1993 : 55).
2.1.4
Pengertian Komunikasi Nonverbal
Seseorang yang diam tidaklah sembarang diam. Ia mungkin sedang
menyusun rencana untuk bertindak. Diam sama kuatnya dengan pesan-pesan
verbal yang diucapkan dalam kata-kata. Dengan berdiam diri maka anda telah
berkomunikasi secara nonverbal. Komunikasi nonverbal disebut juga dengan
komunikasi tanpa kata, karena tidak menggunakan kata-kata. Para ahli pun
berpendapat bahwa ”diam pun merupakan satu bentuk komunikasi antar pribadi”.
(Liliweri, 1994 : 88).
Sedangkan dalam buku Human Communication, dikatakan definisi secara
harfiah, komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata, merupakan
penyederhanaan berlebihan (over simplification), karena kata yang berbentuk
tulisan tetap dianggap ”verbal” meskipun tidak memiliki unsur suara. (Tubbs dan
Moss dalam Mulyana, 1996 : 112)
Dalam
memahami
pengertian
akan
komunikasi
nonverbal
lebih
memudahkan kita, bila kita memahami karakteristik dari komunikasi nonverbal
itu terlebih dahulu. Untuk selanjutnya akan dapat diketahui fungsi dari
komunikasi nonverbal itu sendiri. Sementara itu gambaran komunikasi nonverbal
yang lebih luas dijelaskan oleh R.L. Birdwhstell dalam bukunya Introduction to
Kinesics. Beliau mencoba menganalisa mengenai ”Body Communication”, lalu
memberikan kerangka pada Comprehensive coding schema bagi gerakan badan,
yaitu :
19
Seperti linguist menampilkan ”phone” sebagai suara minimal, maka
Birdwhstell menyelidiki ”kine morphine”. Yaitu serangkaian gerakan yang
mengandung pengertian dalam konteks suatu pola yang berlebihan. Dari
uraian tersebut maka disimpulkan, bahwa nonverbal communication
adalah komunikasi dengan gejala-gejala yang menyangkut gerak-gerik,
sikap ekspresi muka, pakaian yang bersifat simbolik, dan gejala yang
sama”. (Birdwhstell dalam Meinanda, 1981 : 13)
Sementara itu Liliweri mengemukakan bahwa ”komunikasi nonverbal
acapkali dipergunakan untuk menggambarkan perasaan atau emosi. Jika pesan
yang diterima melalui sistem verbal tidak menunjukan kekuatan pesan maka anda
dapat menerima tanda-tanda nonverbal lainnya sebagai pendukung”. (Liliweri,
1994 : 89)
Ditambahkan lagi oleh seorang ahli komunikasi, beliau mengatakan suatu
teorinya bahwa komunikasi tidak dapat dielakkan dalam situasi sosial apapun
karena semua perilaku, tidak hanya kata-kata menunjukan komunikasi, bahkan
tanpa kata pun manusia sudah dapat dikatakan berkomunikasi, menurut
Watzlawick dan Beavin (1967) bahwa “kehadiran manusia terhadap sesamanya
ditandai dengan perilaku, dan perilaku itu bersifat komunikatif” (Watzlawick dan
Beavin dalam Liliweri, 1994:87).
Tetapi sebenarnya simbol-simbol nonverbal itu dalam kenyataannya lebih
sulit ditafsirkan dibandingkan dengan simbol-simbol verbal. Dalam menafsirkan
simbol-simbol nonverbal itu kita perlu mempelajari serta mengamati berdasarkan
kebiasaan atau budaya yang berkembang saat itu.
Komunikasi nonverbal juga mempunyai aspek-aspek penting yang perlu
diperhatikan seperti informasinya, pernyataan, keakraban, kontrol sosial, dan
saran-saran yang bisa membantu tujuan komunikasi nonverbal. Dari pemahaman
20
tentang hakikat komunikasi nonverbal diatas, Alo Liliweri dalam bukunya yang
berjudul Komunikasi Verbal dan Nonverbal (1994 : 98), merumuskan
karakteristik komunikasi nonverbal sebagai berikut :
1. Prinsip umum komunikasi antar pribadi adalah manusia tidak dapat
menghindari komunikasi.
2. Pernyataan perasan dan emosi.
3. Informasi tentang isi dan relasi.
4. Reliabilitas dari pesan nonverbal.
“We can’t not communicate” merupakan benar adanya karena dalam
mencari pengetahuan tersebut dibutuhkan interaksi dengan sesama manusia yang
disebut komunikasi. Demikian pula dengan komunikasi nonverbal, karena untuk
berkomunikasi manusia tidak mungkin tidak menggunakan pesan nonverbal.
Itulah prinsip pertama. Diam juga merupakan komunikasi, itu sebabnya Edward
T. Hall menamai bahasa nonverbal ini sebagai “bahasa diam”(silent language)
dan ”dimensi tersembunyi” (hidden dimension) suatu budaya. Disebut diam dan
tersembunyi karena pesan-pesan nonverbal tertanam dalam konteks komunikasi.
Melalui pesan nonverbal, orang-orang memberi banyak isyarat kepada kita
atau informasi, mengenai emosi-emosi, perhatian, kepribadian, bahkan status
sosial. Dalam Human Communication, komunikasi nonverbal diklasifikasikan
dalam beberapa jenis, isyarat spasial, isyarat temporal, isyarat visual dan isyarat
vokal.
Sementara itu dalam buku Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Barker dan
Collins (1983) mengelompokan komunikasi nonverbal dalam :
1. Suasana komunikasi
a. Ruang / space.
b. Suhu, cahaya, warna
2. Unsur- unsur pernyataan diri.
a. Pakaian
21
b. Sentuhan/ perabaan
c. Waktu
3. Gerakan tubuh
a. Bentuk-bentuk gerakan tubuh
b. Kontak mata
c. Ekspresi tubuh
d. Gerakan anggota tubuh
e. Penggunaan gerakan tubuh
4. Unsur paralinguistik
a. Karakteristik suara
b. Gangguan suara.
(Barker dan Collins dalam Liliweri, 1994 : 114)
Dalam memahami pengertian akan pengelompokan komunikasi nonverbal
lebih memudahkan kita memahami karakteristik dari komunikasi nonverbal itu
lebih dahulu. Tema klasifikasi komunikasi nonverbal mendapat perbedaan dari
setiap para ahli komunikasi namun perbedaan tersebut nampak terlihat hanya
dalam pengelompokannnya saja, tidak dalam isinya.
Klasifikasi-klasifikasi komunikasi diatas menunjukan semua kekuatankekuatan yang ada pada komunikasi nonverbal sebagai salah satu cara untuk
meningkatkan kualitas komunikasi.
2.2
Semiotika
Kita semua, saya, anda, teman-teman anda sering kali menggunakan
makna tanpa memikirkan makna itu sendiri. Pakar komunikasi sering
menyebutkan kata ‘makna’ ketika mereka merumuskan definisi komunikasi.
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss (1994:6), misalnya, menyatakan, “komunikasi
adalah proses pembentukan makna diantara dua orang atau lebih”. Juga Judy C.
Person dan Paul E. Nelson (1979:3), ”komunikasi adalah proses memahami dalam
berbagai makna”. (Sobur 2003:255).
22
Makna sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau
bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa. Terdapat banyak komponen dalam makna
yang dibangkitkan suatu kata atau kalimat (Brown dalam Mulyana, 2001:256).
Saussure menjelaskan ‘tanda’ sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan
dari dua bidang seperti halnya selembar kertas yaitu bidang penanda (signifier)
untuk menjelaskan ‘bentuk’ atau ‘ekspresi’; dan bidang petanda (signified), untuk
menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Dalam melihat relasi petanda ini, Saussure
menekankan perlunya semacam konvensi sosial, yang mengatur pengkombinasian
tanda dan maknanya.(Sobur:viii).
Pierce melihat tanda (representasmen) sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda
(intepretant). ’Tanda’, menurut pandangan Pierce adalah ”...something which
stands to somebody for samething in some respect or capacity” . Tampak pada
definisi Pierce ini peran ’subjek’ (somebody) sebagai bagian tidak terpisahkan dari
pertandaan, yang menjadi landasan bagi semiotika komunikasi.
Semiotika memfokuskan perhatiannya terutama pada teks. Model-model
proses yang linier tidak banyak memberi perhatian terhadap teks karena perhatian
juga tahapan lain dalam proses komunikasi. Semiotika lebih suka memilih istilah
”pembaca” (bahkan untuk foto sebuah lukisan) untuk ”penerima” karena hal
secara tidak langsung menunjukan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga
pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya; oleh
karena itu pembacaan ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya. Pembaca
membantu menciptakan makna menunjukkan fungsi yang berbeda-beda.
23
2.3
Majalah
Majalah adalah salah satu sumber informasi yang semakin populer dewasa
ini. Ia mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam khidupan masyarakat,
terutama pada masyarakat modern.
Sebagai media massa cetak, majalah sering kali disamakan dengan surat
kabar karena beberapa kesamaan kriteria yang dimiliki keduanya. Tetapi
sesungguhnya majalah memiliki kriteria-kriteria serta pengertian lain yang
membedakan dari surat kabar. Majalah merupakan penerbitan pers berkala yang
menggunakan kertas sampul, yang memuat bermacam-macam tulisan yang dihiasi
ilustrasi maupun foto-foto. (Junaedhi, 1995:155).
Pada dasarnya, studi media massa mencakup pencarian pesan dan maknamakna dalam materinya, karena sesungguhnya semiotika komunikasi, seperti
halnya basis komunikasi, proses komunikasi, dan intinya adalah makna (Sobur,
2003:110).
Media khusus majalah dengan tema seksualitas atau sensualitas memang
tumbuh dan berkembang luar biasa. Daya tarik media kategori ini di mata
konsumen barangkali terletak pada tampilan gambarnya dan desain grafis yang
menarik.
Majalah adalah salah satu bagian dari pers yang membawa misi
penerangan, pendidikan, dan hiburan. Penerbitan majalah dimulai pertama kali di
London, Inggris; yang kemudian menyusul penerbitan-penerbitan lainnya pada
tahun 1741 di Amerika Serikat, tetapi baru pada abad ke-19 majalah menunjukan
perkembangan yang cukup pesat.
24
Abad ke-20 yang dikenal sebagai abad revolusi informasi telah membawa
dunia pers khususnya permajalahan kearah perkembangan yang sangat pesat. Ini
terlihat dari banyaknya majalah-majalah yang beredar tidak hanya di negaranegara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia.
Nama-nama majalah seperti; Hai, Kartini, Kawanku dan lain-lain, telah
memiliki kelompoknya masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat
modern lebih bersifat selektif terhadap media yang diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan informasi.
Karena itulah sebagian orang mengatakan, majalah merupakan perpaduan
antara surat kabar dan buku. Majalah memiliki ruang dan waktu yang lebih leluasa
untuk menyajikan suatu peristiwa dengan selengkap-lengkapnya, sehingga isi
majalah biasanya lebih mendalam dan lengkap dibandingkan surat kabar harian.
Onong Uchjana Effendy mengartikan majalah sebagai “media cetak yang
diterbitkan secara berkala, berulang-ulang secara teratur seminggu sekali, dua
minggu sekali, sebulan sekali, atau satu tahun sekali”.
Seperti media cetak lainnya, majalah juga memilliki sifat-sifat khusus
yang tidak dimiliki oleh radio dan televisi. Onong Uchjana Effendy menjelaskan
dalam buku Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek sebagai berikut :
ƒ
ƒ
Terekam, berita yang disiarkan oleh majalah tersusun dalam alinea,
kalimat dan kata-kata yang terdiri dari huruf-huruf yang tercetak pada
kertas. Setiap peristiwa atau hal-hal lain yang diberitakan terekam
sedemikian rupa sehingga dapat dibaca setiap saat dan dapat dikaji ulang,
didokumentasikan atau menjadi barang bukti tertentu.
Menggunakan perangkat mental secara aktif karena pembaca majalah
tidak seperti pendengar radio atau televise yang hanya tinggal mendengar
atau melihat apa yang disajikan oleh keduanya. Pembaca majalah hanya
menggunakan huruf-huruf yang tercetak mati diatas kertas. (Effendy,
1993:203).
25
Pelayanan Pos Amerika, menjelaskan bahwa “sesuatu” dapat dikatakan
majalah apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
Diterbitkan secara berjadwal, paling sedikit empat kali setahun
Dimunculkan atau dikenalkan dan dialamatkan pada alamat penerbit yang
sudah dikenal
Disusun atau diformatkan dengan menggunakan printed sheet
Diterbitkan untuk menyebarkan informasi tentang suatu karakter dari
public atau dikhususkan pada literature, ilmu pengetahuan, seni, atau
industri yang spesifik
mempunyai daftar pelanggan yang sudah atau akan membayar dengan
harga diatas nominal untuk beberapa terbitan selama periode waktu yang
sudah ditentukan; atau daftar beberapa orang yang sudah menyetujui
secara sepesifik untuk menerima beberapa terbitan yang dikirim kepada
mereka tanpa ditarik biaya.(Biagi, 1990:65).
Tulisan yang dimuat dalam majalah tidak terlalu mementingkan aktualitas
berita karena majalah tidak terbit setiap hari, maka ia tidak melaporkan beritaberita hangat pada hari itu. Ia memuat berita-berita sesuai dengan terbitnya
(mingguan, bulanan, dan sebagainya).
Selain itu, majalah mempunyai keungulan-keunggulan lainnya yakni,
majalah tampil lebih berisikan pengetahuan dari pada hal-hal yang menyangkut
selera dan perasaan dari komunikasinya. Media ini bukan sarana yang dibaca
selintas saja seperti media aktual, tidak juga membutuhkan perhatian pada waktu
tertentu, media ini tidak dengan segera dapat di kesampingkan seperti surat kabar,
majalah dapat disimpan oleh pembaca selama berminggu-minggu, berbulan-bulan,
kadang bertahun-tahun.
2.3.1
Sejumlah Kategori Majalah
Salah satu bentuk media massa yang dikenal luas sejak masa lalu adalah
majalah. Dikalangan kaum elite menurut Wilson (1989) kehadiran majalah sejak
26
tahun 1704 di Inggris mulai dengan terbitnya majalah-majalah seperti Review,
Tatler, Spectator, semuanya terbit di London.
Berikut ini adalah sejumlah kategori majalah, menurut Encyclopedia
Britannica: britannica.com (2000) :
(1) Majalah Umum
(2) Majalah-majalah Berkualitas
(3) Majalah Penerbangan
(4) Majalah Berita
(5) Divisi Majalah dan Koran
(6) Majalah Kota
(7) Majalah Religius
(8) Majalah Pria
(9) Majalah Wanita
(10) Shelter Magazine
(11) Majalah Pertanian
(12) Majalah Olah Raga
(13) Jurnal Perdagangan
(14) Majalah Perusahaan
(15) Majalah Fraternal – Organisasi Persaudaraan
(16) majalah Opini
(17) Publikasi Alternatif
(18) Majalah khusus lainnya (Septiawan, 2005:93-97).
2.4
Foto Fesyen
Foto-foto yang dirancang khusus dan di kenakan oleh model foto, bisa
berupa foto di catwalk, studio atau lokasi khusus, dan berbeda dengan kategori
model yang tidak menonjolkan unsur-unsur detil busana. Foto fesyen memiliki
pengertian sendiri, bukan merupakan pengartian terpisah dari foto dan fesyen, foto
fesyen secara pengertian dasar memiliki arti gambaran foto yang mengkhususkan
diri pada bidang fotografi model baik benda mati maupun benda hidup. Untuk
lebih jelasnya foto fesyen cenderung pada foto model yang berbusana. Foto dapat
membuat rasa keterlibatan orang yang melihatnya, karena rasa keterlibatan orang
yang melihatnya. Dan seterusnya melibatkan emosional.
27
Dalam perkembangan dunia foto fesyen saat ini terjadi sebuah
pengulangan bentuk penggarapan yang tercipta akan masa-masa kejayaan dunia
fesyen
era 40 sampai dengan 70-an, dimana masa 80-an merupakan masa
kegelapan dunia mode. Era 80-an ini sudah dilupakan, karena pada masa ini
adalah tahun dimana semua orang berlomba menjadi orang aneh, fesyennya
sangat beragam, namun memiliki khasnya, era ’cupu’ (red. culun atau kurang
pergaulan) sebutan anak sekarang. Penterjemahan sebuah konsep foto atas sebuah
mode, tidak lagi terbatas akan era yang diwakilinya .
2.5
Gaya Hidup (Lifestyle)
Gaya visual dapat menyatu dengan gaya hidup, karena dalam hidupnya
manusia tidak lepas dari bahasa rupa dua dimensi dan tiga dimensi. Gaya
merupakan suatu sistem bentuk dengan kualitas dan ekspresi bermakna yang
menampakan kepribadian seniman atau pandangan umum suatu kelompok yang
mencampurkan nilai-nilai agama, sosial dan kehidupan moral melalui bentukbentuk yang mencerminkan perasaan. Semua manusia adalah subjek gaya
sehingga kecendruangan satu masyarakat dapat dianalisis melalui spektrum gaya.
Kata “gaya” dalam bahasa Indonesia merupakan padanan dari kata “Style”
dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Yunani “Stilus” yang artinya
adalah alat tulis atau tulis tangan. Mayer Schapiro mendefinisikan gaya sebagai
“bentuk yang konstan dan kadang kala unsur-unsur, kualitas-kualitas dan ekspresi
konstan dari perorangan maupun kelompok” (Dalam Subandy 1997:165). Definisi
ini juga mencakup gaya hidup dan gaya peradaban. Tetapi definisi yang cukup
jelas adalah sebagaimana dikemukakan oleh Alvin Toffler, yaitu :
28
“Alat yang dipakai oleh individu untuk menunjukan identifikasi mereka
dengan subkultur-subkultur tertentu. Setiap gaya hidup disusun melalui
mosaik beberapa item, yaitu super product yang menyediakan cara
mengorganisir produk dan idea”
Gaya dapat dipelajari karena ia bersifat artifisial dan sadar diri. Gaya pun
mengenal masa hidup (lahir, muda, dewasa, mati) dan gaya yang telah usang
biasanya disebut dekaden. Sedangkan, ketika ciri-ciri gaya yang sengaja dilebihlebihkan, hal itu mulai memasuki pembicaraan tentang penggayaan atau styling.
Pengertian penggayaan disini adalah memberikan bentuk tertentu sesuai dengan
gaya yang pernah ada di masa sebelumnya. Pandangan ini lahir karena menurut
Harley Earl, masyarakat sangat rapuh terhadap perubahan gaya yang dilakukan
secara evolusi.
Kebudayaan
yang
dimaksud
sebagai
kebudayaan
massa
(uler)
(mass/pop[ular] culture) dengan ditopang industri kebudayaan (cultural industry)
telah mengkonstruksikan masyarakat yang tidak sekedar berbasis konsumsi, tapi
juga menjadikan semua artefak budaya sebagai produk industri, dan sudah tentu
menjadi komoditas. Suatu kutukan modernitas pun perlahan muncul dan pada
gilirannya melahirkan sebuah wajah masyarakat baru: ”masyarakat komunitas”
(commodity society) yang membiakan kebudayaan pop dan memaksakan
penyembahan, pemujaan, pengkulturan, ecstasy gaya hidup yang tak tepermanai
dalam apa yang disebut humanis seperti Peter L. Berger sebagai “semesta
simbolisme modernitas” dengan bawah sadar pertumbuhan sebagai ideologi yang
memayunginya.
Pada saat ini sistem globalisasi telah menghilangkan batas-batas budaya
lokal, nasional, maupun regional, sehingga arus gelombang gaya hidup global
29
dengan mudahnya berpindah-pindah tempat dengan perantara media massa. Akan
tetapi, gaya hidup yang berkembang saat ini lebih beragam, mengambang dan
tidak hanya dimiliki oleh satu masyarakat khusus, bahkan para konsumerpun
dapat memilih dan membeli gaya hidupnya sendiri. Bahkan menurut Alvin Toffler
saat ini terjadi kekacauan nilai yang diakibatkan oleh runtuhnya sistem nilai
tradisional yang mapan sehingga yang ada hanyalah nilai-nilai terbatas seperti
kotak-kotak nilai. Gaya hidup memang menawarkan rasa identitas dan sekaligus
alat untuk menghindari kebingungan karena begitu banyak pilihan.
Pola-pola kehidupan sosial yang khusus seringkali disederhanakan dengan
istilah budaya. Memang budaya dapat didefinisikan sebagai: “keseluruhan gaya
hidup suatu masyarakat – kebiasaan/adat-istiadat, sikap dan nilai-nilai mereka,
serta pemahaman yang sama yang menyatukan mereka sebagai suatu masyarakat”
(Kepart 1982:93). Gaya hidup adalah seperangkat praktik dan sikap yang masuk
akal dalam konteks tertentu.
Dalam hal ini, tampak juga telah terjadi perubahan selama tahun-tahun
terakhir era modern pada landasan sosial utama dari identitas. Saat ini muncul
perasaan yang menyebar luas mengingat kerja ataupun jabatan secara tradisional
menentukan kelas sosial dan begitu pula cara hidup seseorang, pada paruh kedua
abad ini aktivitas-aktivitas waktu luang dan/atau kebiasaan konsumen semakin
banyak dialami oleh individu-individu sebagai basis identitas sosial mereka.
30
BAB III
METODE DAN OBJEK PENELITIAN
3.1
Karakteristik Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yang membedakannya dengan
penelitian jenis lain. Qualitative research adalah jenis penelitian yang
menghasilkan
penemuan-penemuan
yang
tidak
dapat
dicapai
dengan
menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya
(Strauss dan Corbin, dalam Sukidin, 2002:1).
Dari penelaahan kepustakaan ditemukan bahwa Bogdan dan Biklen
(1982) mengajukan lima buah ciri, sedang Lincoln dan Guba (1985) mengulas
sepuluh ciri penelitian kualitatif. Adapun ciri berdasarkan hasil pengkajian dan
sintesis kedua versi itu adalah:
1. Latar Alamiah
Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada
konteks dari suatu keutuhan (entity). Hal ini dilakukan, menurut Lincoln
dan Guba, karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataankenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan
dari konteksnya.
2. Manusia sebagai Alat (instrumen)
Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain
merupakan alat pengumpul data utama. Hanya “manusia sebagai alat”
sajalah yang dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya dan
31
hanya manusia-lah yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di
lapangan.
3. Metode Kualitatif
Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif
digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode
kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda.
Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara
peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat
menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
4. Analisis Data Secara Induktif
Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif. Analisis
induktif ini digunakan karena beberapa alasan. Pertama, proses induktif
lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda yang terdapat dalam
data. Kedua, analisis induktif lebih dapat membuat hubungan penelitiresponden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akontabel. Ketiga, analisis
demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat
keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan suatu latar
lainnya. Keempat, analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh
bersama yang mempertajam hubungan-hubungan. Kelima, analisis
demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai
bagian dari struktur analitik.
5. Teori dari Dasar (grounded theory)
32
Dengan menggunakan analisis secara induktif, berarti bahwa pencarian
data bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah
dirumuskan sebelum penelitian diadakan. Analisis ini lebih merupakan
pembentukan
abstraksi
berdasarkan
bagian-bagian
yang
telah
dikumpulkan, kemudian dikelompok-kelompokkan. Jadi, penyusunan teori
di sini berasal dari bawah ke atas, yaitu dari sejumlah bagian yang banyak
data yang dikumpulkan dan yang saling berhubungan.
6. Lebih Mementingkan Proses daripada Hasil
Penelitian kualitatif lebih mementingkan segi proses daripada hasil. Hal ini
disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh
lebih jelas apabila diamati dalam proses.
7. Adanya “Batas” yang Ditentukan oleh “Fokus”
Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya
atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. Hal
tersebut disebabkan oleh: pertama, batas menentukan kenyataan ganda
yang kemudian mempertajam fokus. Kedua, penetapan fokus dapat lebih
dekat dihubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus.
8. Adanya Kriteria Khusus untuk Keabsahan Data
Penelitian kualitatif meredefinisikan validitas, reliabilitas dan objektivitas
dalam versi lain dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian
klasik. Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 1996:7) hal itu
disebabkan oleh validitas internal cara lama telah gagal karena hal itu
menggunakan isomorfisme antara hasil penelitian dan kenyataan tunggal
33
di mana penelitian dapat dikonvergensikan. Kedua, validitas eksternal
gagal karena tidak taat asas dengan aksioma dasar dari generalisasinya.
Ketiga, kriteria reliabilitas gagal karena mensyaratkan stabilitas dan
keterlaksanaan secara mutlak dan keduanya tidak mungkin digunakan
dalam paradigma yang didasarkan atas desain yang dapat berubah-ubah.
Keempat, kriteria objektivitas gagal karena penelitian kuantitatif justru
memberi kesempatan interaksi antara peneliti-responden dan peranan nilai.
9. Desain yang Bersifat Sementara
Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus menerus
disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain
yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi.
10. Hasil Penelitian Dirundingkan dan Disepakati Bersama
Penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil
interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang
dijadikan sebagai sumber data. Hal ini disebabkan oleh: pertama, susunan
kenyataan dari merekalah yang akan diangkat oleh peneliti. Kedua, hasil
penelitian bergantung pada hakikat dan kualitas hubungan antara pencari
dengan yang dicari. Ketiga, konfirmasi hipotesis kerja akan menjadi lebih
baik verifikasinya apabila diketahui dan dikonfirmasikan oleh orang-orang
yang ada kaitannya dengan yang diteliti (Moleong, 1996:4-8).
34
3.2
Semiotika Signifikasi Roland Barthes
Semiotika signifikasi adalah semiotika (ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda) yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam sebuah
sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Relasi tanda tersebut
menurut Barthes dibagi menjadi dua tingkatan, masing-masing detonasi dan
konotasi (dalam pengertian Barthes disebut dengan mitos). (Sobur,2003:viii).
Gambar 2. Signifikasi dua tahap Barthes
tatanan pertama
realitas
tatanan kedua
tanda
kultur
Konotasi
Bentuk
Penanda
denotasi
Petanda
Isi
mitos
Sumber: John Fiske (1990:88 dalam Sobur, 2001:127).
3.2.1 Denotasi
Tatanan pertandaan pertama menggambarkan relasi antara penanda dan
petanda di dalam tanda dan antara tanda dengan dengan referennya dalam realitas
eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Sebuah foto tentang
sorang model mendenotasikan model tertentu; kata “model” mendenotasikan
seseorang yang bergaya dengan mengenakan busana yang dirancangkan secara
khusus. Pada salah satu foto menggunakan fokus yang tajam, menampilkan
warna-warna lembut dengan pencahayaan yang lebih kuat. Sementara foto yang
35
lain lebih menonjolkan karakter warna lebih kuat pada objek tertentu dengan
fokus yang lebih lembut dan efek cahaya yang lebih gelap menimbulkan kesan
dingin dan dramatis. Kedua foto tersebut dapat diambil pada waktu yang hampir
bersamaan dengan kamera yang lensanya hanya berbeda beberapa sentimeter.
Makna denotatifnya akan sama. Perbedaannya akan ada dalam konotasinya.
3.2.2
Konotasi
Dalam istilah yang dipakai Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan
salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi
menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi penggunanya dan nilai kulturalnya. Bagi Barthes faktor
penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan
pertama merupakan tanda konotasi. Jika denotasi merupakan mekanis diatas film
tentang objek yang ditangkap kamera, konotasi sendiri adalah bagian manusiawi
dari proses ini dan mencakup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai (frame),
fokus, rana, sudut pandang kamera, mutu film, dan seterusnya. Jadi
kesimpulannya, denotasi adalah apa yang difoto, sedangkan konotasi adalah
bagaimana memfotonya.
3.2.3
Mitos
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja
melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau
memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan
produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif
36
misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa dan sebagainya.
Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu
pengetahuan dan kesuksesan (Fiske, 1990:88 dalam Sobur, 2001:128).
Satu hal penting yang dikaji Barthes dalam studinya mengenai tanda
adalah adanya peran pembaca (reader). Konotasi akan berfungsi hanya jika
pembaca aktif menafsirkannya, walaupun konotasi tersebut adalah sifat asli dari
tanda. Barthes secara panjang lebar menguraikan konotatif sebagai sistem
pemaknaan tataran ke-dua, yang dalam bukunya Mythologies dengan tegas ia
bedakan dengan sistem pemaknaan tataran pertama yang ia sebut denotatif.
Dapat dikatakan bahwa mitos juga merupakan suatu sistem tanda tataran
ke-dua. Seperti yang diungkapkan Sobur (2003:71), dalam mitos terdapat pola
tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu system yang unik,
mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. Di
dalam mitos pula sebuah pertanda dapat memiliki beberapa penanda.
3.3
Sumber dan Jenis Data
Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 1996:112) sumber data
utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah
data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu, maka jenis
data diantaranya:
1. Kata-kata dan tindakan
Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai
merupakan sumber data utama. Pencatatan sumber data utama melalui
wawancara atau pengamatan berperanserta merupakan hasil usaha
37
gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Dalam
penelitian ini, jenis data dari kata-kata dan tindakan didapatkan dalam
proses wawancara dengan orang yang terlibat dalam pembuatan foto
tersebut. Hasil wawancara ini nantinya akan menjadi data tambahan dalam
BAB Pembahasan.
2. Sumber Tertulis
Data tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber
buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi dan
dokumen resmi. Dalam penelitian ini, sumber data tertulis didapatkan dari
majalah Jeune edisi Champion Issues no. 15 tahun 2006, buku-buku
ilmiah, jurnal ilmiah, makalah dan data hasil pencarian di internet.
3. Foto
Saat ini foto sudah lebih banyak dipakai sebagai alat untuk keperluan
penelitian kualitatif. Foto menghasilkan data deskriptif yang cukup
berharga dan sering digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan
hasilnya sering dianalisis secara induktif. Dalam penelitian ini foto yang
diteliti adalah sebuah foto fesyen pada rubrik fesyen.
4. Data Statistik
Penelitian kualitatif sering juga menggunakan data statistik yang telah
tersedia sebagai sumber data tambahan bagi keperluannya. Statistik
misalnya dapat membantu memberi gambaran tentang kecendrungan
subjek pada latar penelitian. Data statistik tidak digunakan dalam
penelitian ini (Moleong, 1996:112-116).
38
3.4
Cara Pengumpulan Data
Dari pembahasan sumber dan jenis data di atas, dalam penelitian ini hanya
dipakai dua jenis data, yakni kata-kata dan tindakan juga sumber tertulis. Adapun
cara pengumpulan kedua jenis data itu adalah:
1. Kata-kata dan tindakan
Dalam hal ini cara pengumpulan datanya adalah dengan wawancara.
Bentuk wawancaranya sendiri adalah wawancara tak terstruktur.
Wawancara tak terstruktur sering juga disebut wawancara mendalam,
wawancara intensif, wawancara kualitatif, wawancara terbuka (opended
interview), wawancara etnografis. Metode ini bertujuan memperoleh
bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua responden, tetapi susunan
kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap responden.
Wawancara tak terstruktur bersifat luwes, susunan pertanyaannya dan
susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat
wawancara (Mulyana, 2003:180-181). Dalam hal ini wawancara dilakukan
dengan fotografer, pengarah gaya, make-up, model, dan juga redaksi dari
Jeune.
2. Sumber Tertulis
Cara pengumpulan data sumber tertulis dilakukan dengan banyak hal. Data
utama berupa foto yang nantinya akan dibahas, didapat dari redaksi
majalah Jeune beserta orang-orang yang terlibat dalam pembuatan foto
tersebut. Selain itu juga, untuk menunjang data yang ada, ditambah data
dari internet serta dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian.
39
Untuk sumber tertulis dari buku digunakan sebagai kajian pustaka juga
sebagai referensi dalam membedah penelitian. Sumber berupa buku
didapatkan dari perpustakaan. Semua data tertulis yang ada digunakan
dalam analisis data. Analisis data, menurut Patton (dalam Moleong,
1996:103) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke
dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Pekerjaan analisis data
adalah
mengurutkan,
mengelompokkan,
memberikan
kode
dan
mengkategorikannya.
3.5
Objek Penelitian
3.5.1
Profil Jeune
3.5.2
Nama Majalah
: Jeune
Segmentasi
: Anak muda 17- 25 tahun
Genre
: Majalah fesyen
Pemimpin Umum
: Faizal Khairul, S.Sos
Pemimpin Redaksi
: Chandra H Johan, S.Sos (che)
Alamat Redaksi
: Jl. Purnawarman No. 51 Bandung
Sejarah Majalah Jeune
Majalah Jeune (baca:Jeun) merupakan produk informasi yang menyajikan
berita dan isi seputar fesyen, bukan sekedar menyajikan foto-foto produk fesyen
semata. Dilengkapi juga dengan free catalogue yang terbit setiap bulannya.
40
Majalah Jeune terbentuk pada tahun 2004 tepatnya di bulan April. Alasan
mengapa menggunakan kata Jeune untuk nama majalah ini, yaitu Jeune sendiri
diambil dari bahasa Perancis yang berarti muda, karena majalah ini di tujukan
untuk anak-anak muda. Lokasi redaksi majalah Jeune bertempat di jalan
Purnawarman no. 51 Bandung. Tempat tersebut memang bukan tempat yang
mudah dikenal, tapi kebanyakan anak muda mengenalnya karena tempatnya yang
satu lokasi dengan salah satu distro di Bandung yang cukup dikenal.
Tujuan dan konsep dari majalah ini adalah untuk mendokumentasikan
fesyen file dan industri fesyen di scene kita. Selain itu juga untuk melaporkan
bagaimana para produsen produk fesyen seperti clothing, distro, dan butik
melakukan aktivitas produknya. Tujuan terakhir majalah ini adalah untuk
menangkap fenomena dan attitude fesyen seseorang lalu membahas dan
menggambarkannya dalam rubrik foto fesyen.
Format awal dari majalah ini adalah free catalogue, yang berfungsi untuk
menampung informasi–informasi mengenai produk dari sebuah perusahaan seperti
fesyen dan musik. Tapi dengan pertimbangan untuk mencapai sasaran konsumen
yang jelas dan tepat sasaran, maka diputuskan untuk dibuat dalam bentuk majalah
dan sekarang ini bahkan dengan tambahan free catalogue. Dengan hadirnya
majalah Jeune, diharapkan pada akhirnya nanti masyarakat tidak hanya bisa
mengetahui hal-hal yang umum saja seperti yang sudah sering mereka lihat.
Namun, ada hal–hal unik yang dipromosikan melalui majalah Jeune ini.
Dengan oplah majalah sekitar 5000 ekslempar per bulannya, cakupan
wilayah pemasaran Jeune sudah meliputi Bandung, Jakarta, Cirebon, Cilegon,
41
Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Makassar, Medan, Banjarmasin,
Bandar Lampung, dan Manado dengan harga jual 20.000 rupiah per eksemplar.
3.5.3
Rubrikasi Jeune
Pada dasarnya majalah Jeune memiliki rubrik besar. Enam rubrik ini selalu
ada di setiap edisinya. Ke-enam rubrik itu adalah:
1. Editorial
Editorial ini berisi tentang pertanyaan, tanggapan, dan jawaban dari
pembaca dan editor Jeune.
2. Jeunius kisser
Rubrik ini berisi foto-foto anak muda dengan ekspresinya masing-masing.
3. Street Opinion
Rubrik ini berisi tentang segala tanggapan anak muda tentang tema
majalah.
4. Foto Fashoin
Rubrik yang memuat tentang foto-foto fesyen.
5. Profil Band
Di rubrik ini pembaca disuguhi berbagai info tentang band-band baru atau
lama. Berisi tanya jawab hasil dari wawancara dengan band tersebut.
6. Fesyen Weekly
Rubrik ini banyak berisi tentang berbagai jenis gaya pakaian yang dipakai
dalam seminggu. Dapat dijadikan sebagai solusi dalam memilih pakaian.
7. Music Review
Rubrik tentang ulasan musik-musik baru dan lama yang akan menjadi hits.
8. Street Wear Style
Berisi foto-foto anak muda yang memiliki gaya sendiri dan unik dalam
berpakaian.
42
Bab IV
PEMBAHASAN
4.1
Pengantar Pembahasan Masalah
Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang selalu terlibat dengan
pemaknaan tanda serta membuat simbol-simbol dalam dirinya sebagai identitas
diri atau sebagai penunjuk bahwa dirinya ingin diakui oleh sesama.
Gaya hidup seakan menjadi sebuah patokan bagi manusia untuk membuat
dirinya merasa diakui. Hal yang paling mudah untuk dilihat dari keberadaan kode
dan simbol dalam diri manusia terkait dengan gaya hidup adalah, dari bentuk
mereka mengenakan pakaian dan penerimaan transmisi dari seluruh bentuk media
massa yang turut mempengaruhi pola pikir manusia dalam menciptakan dirinya
untuk menjadi lebih baik.
Gaya pada dasarnya dapat dipelajari karena ia bersifat artifasial dan sadar
diri. Untuk melihat ciri yang dilebih-lebihkan, hal itu mulai memasuki
pembicaraan tentang penggayaan atau styling. Pengertian penggayaan disini
adalah memberikan bentuk tertentu dengan gaya yang pernah ada pada masa
sebelumnya.
Seseorang melakukan penggayaan pada dirinya tentu telah dipengaruhi
oleh berbagai elemen dalam kehidupannya, baik itu melalui penglihatan ataupun
pengetahuan yang dialami. Elemen-elemen tersebut salah satunya berada pada
peran media sebagai trasmisi media penyebar informasi, terutama pada media
massa cetak seperti majalah dengan bentuk isi dari pemberitaannya membahas
mengenai gaya hidup, khususnya fesyen.
43
Juene, yang terbentuk pada bulan april tahun 2004 ini merupakan bentuk
majalah gaya hidup yang dipilih oleh penulis untuk melakukan penelitian
mengenai fesyen, mengingat tujuan dan konsep dari majalah ini adalah untuk
mendokumentasikan fesyen file dan industri fesyen di scene kita. Selain itu juga
untuk melaporkan bagaimana para produsen produk fesyen seperti clothing,
distro, dan butik melakukan aktivitas produknya. Tujuan terakhir majalah ini
adalah untuk menangkap fenomena dan attitude fesyen seseorang lalu membahas
dan menggambarkannya dalam rubrik foto fesyen.
Maka sebagian besar isi dari majalah Jeune tersebut berisikan mengenai
fesyen dan penuh dengan foto-foto sebagai contoh dari apa yang dikenakan model
dalam memperagakan model-modal pakaian yang sedang ‘in’ atau akan menjadi
tren di masa depan. Dengan oplah majalah mencapai 5000 eksemplar per
bulannya serta cakupan wilayah pemasaran yang meliputi pulau jawa, sumatra,
dan kalimantan, hal tersebut dirasa cukup untuk membuktikan bahwa majalah
Jeune banyak diminati masyarakat terutama anak muda pada umumnya.
Penulis mencoba mencari makna tanda dari foto-foto fesyen yang berada
dalam majalah Jeune menggunakan kerangka kerja penelitian semiotika. Roland
Barthes dengan konotasi dan denotasinya dalam memecahkan makna tanda pada
suatu subjek digunakan peneliti sebagai pemecah permasalahan yang ingin
diketahui.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika signifikasi
Roland Barthes. Semiotika signifikasi adalah semiotika (ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda) yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam
sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Relasi tanda
44
tersebut menurut Barthes dibagi menjadi dua tingkatan, masing-masing detonasi
dan konotasi (dalam pengertian Barthes disebut dengan mitos). (Sobur,2003:viii).
Kemudian lebih lanjut dikatakan pula bahwa Barthes memampatkan
ideologi dengan mitos karena baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan
antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi
(Budiman dalam Sobur, 2003: 71). Pengertian mitos sendiri adalah mengenai
bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang
realitas atau gejala alam.
Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai dominasi.
Mitos primitif misalnya mengenai hidup dan mati. Mitos masa kini misalnya
tentang femininitas, maskulinitas, atau kesukesan (Fiske, dalam Sobur, 2004:128).
Selain itu juga, fokus perhatian Barthes mengenai gagasan tentang signifikasi dua
tahap (two order of signification) dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 3.1 Signifikasi dua tahap Barthes
tatanan pertama
realitas
tatanan kedua
tanda
kultur
Bentuk
Konotasi
Penanda
denotasi
Petanda
Isi
mitos
Sumber: John Fiske (1990:88 dalam Sobur, 2001:127).
45
Tatanan pertandaan pertama menggambarkan relasi antara penanda dan
petanda di dalam tanda dan antara tanda dengan dengan referennya dalam realitas
eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Sebuah foto tentang
sorang model mendenotasikan model tertentu; kata “model” mendenotasikan
seseorang yang bergaya dengan mengenakan busana yang dirancangkan secara
khusus. Pada salah satu foto menggunakan fokus yang tajam, menampilkan
warna-warna lembut dengan pencahayaan yang lebih kuat. Sementara foto yang
lain lebih menonjolkan karakter warna lebih kuat pada objek tertentu dengan
fokus yang lebih lembut dan efek cahaya yang lebih gelap menimbulkan kesan
dingin dan dramatis. Kedua foto tersebut dapat diambil pada waktu yang hampir
bersamaan dengan kamera yang lensanya hanya berbeda beberapa sentimeter.
Makna denotatifnya akan sama. Perbedaannya akan ada dalam konotasinya.
Dalam istilah yang dipakai Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan
salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan petanda kedua. Konotasi
menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi penggunanya dan nilai kulturalnya. Bagi Barthes faktor
penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan
pertama merupakan tanda konotasi.
4.2
Analisis Makna Denotatif dan Konotatif
4.2.1
Analisis Aspek Foto (Non-verbal)
Analisis foto fesyen pada majalah JEUNE halaman 32 sampai dengan
halaman 33 masing-masing halaman memuat satu buah foto. Foto pada halaman
32 model yang berpose dalam gerbong kereta api yang menggunakan setting
46
kereta kotor dan kesan fesyen yang digunakan sekitaran pada tahun 1980an atau
yang sekarang ini lebih dikenal dengan gaya retro. Foto pada halaman 33 masih
dengan tema yang sama, hanya posisi dan setting tempat yang berbeda. Untuk
model yang kedua ini melakukan pemotretan di luar gerbong kereta api, tepatnya
berada pada sambungan gerbong kereta api. Sedangkan model yang menjadi
peraga pada halaman 32-33 masih sama.
4.2.1.1 Objek Pertama dan Kedua
Seorang wanita dengan menggunakan pakaian bergaya retro, warna
hampir keseluruhan hijau seperti blues dan kemeja, celana pendek berwarna
coklat. Gaya rambut diikat pendek dan memegang dompet besar (clutch) berwarna
kuning emas dan mengenakan sepatu datar (flat shoes) berwarna hijau. Serta
aksesoris kalung yang bertumpuk. Lokasi pengambilan gambar pada bagian dalam
gerbong.
Foto ke dua memiliki tema serba merah, dengan lokasi pengambilan
gambar pada bagian belakang gerbong kereta api. Untuk lebih lanjutnya penulis
akan membagi bagian denotasi dan konotasi dari foto-foto tersebut ke dalam tabel
berikut ini:
Gambar / foto 1
Model : Jasmin
Photografer : Irvan Fajar (Ntat)
Wardrobe : Illustre
Stylist : Aji & Nanum
Halaman : 32
Lokasi : Bandung Train Station
47
Tanda
Denotatif
Konotatif
Foto model wanita
Seorang wanita cantik
dengan
tampilan
cukup sopan tetapi
tetap santai.
Seorang
wanita
dengan menggunakan
kemeja hijau bergaris
hitam, menggunakan
jaket blues hijau tua,
berhiaskan
kalung
manik-manik
yang
bertumpuk,
menggunakan celana
pendek
berwarna
coklat, mengenakan
sepatu
datar
(flatshoes),
dan
memegang
dompet
besar
berwarna
dompet besar (clutch)
berwarna
kuning
emas.
Ekspresi wajah
Seseorang
yang Tampilan wajah agak
sedang terdiam seakan menyamping
ke
memikirkan sesuatu.
kanan, dengan sudut
pandang
tajam
kedepan dan terbuka
lebar.
Make up model
Sedikit
berwarna
coklat
gelap
dan
shading pipi yang
menonjol.
Pose model
Gaya atau
model
Warna dasar foto
Dibuat sedikit gelap Kesan tempat yang
dengan retouch editing ditampilkan tua dan
foto dan efek glowing memiliki nilai klasik
48
Memiliki kesan santai
namun sedikit keras
pada
sifat
orang
tersebut
tampilan Berdiri tegak, agak
menyamping
ke
samping kanan, kaki
kanan agak sedikit di
tekuk dan tumpuan
tubuh jatuh pada kaki
kiri model, telapak
tangan kanan terbuka,
sedangkan
untuk
telapak tangan kiri
memegang
dompet
(clutch)
Lokasi pemotretan
Dalam gerbong kereta Gerbong kereta api
api
memiliki nilai dan arti
tersendiri
yang
membuat
sebuah
tampilan foto menjadi
lebih hidup
Gambar 4.1 Model 1
Konotasi : istilah yang digunakan untuk
menunjukan signifikasi tahap kedua.
Denotasi : makna paling nyata dari
tanda, dengan kata lain denotasi merupakan
keterangan dari isi seluruh gambar tersebut.
Dari satu gambar ini akan dipecah dan disesuaikan dengan analisis dalam
tabel yang diberi keterangan dengan menggunakan panah berwarna. Eco
mendefinisikan denotasi sebagai suatu hubungan tanda-isi sederhana. Konotasi
adalah suatu tanda yang berhubungan dengan suatu isi via satu atau lebih fungsi
tanda lain. Contohnya, fungsi tanda dog/ - <dog> ialah suatu denotasi akan
menjadi /dog/-<stingky (berbau busuk)> yang berasal dari hubungan yang rumit.
(Sobur, 2004-128). Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan
tanda
terhadap
sebuah
objek;
sedangkan
konotasi
menggambarkannya (Fiske dalam Sobur, 2004:128).
49
adalah
bagaimana
Konotasinya sendiri menggambarkan seorang wanita yang sedang sedih
tidak bersemangat serta rasa kesal dalam hati yang terlihat dari raut wajahnya
yang kusut dan tanpa senyum. Warna-warna yang terdapat pada foto ini
cenderung gelap atau kelabu, hal-hal tersebut disesuaikan dengan tema dan arahan
gaya.
Gambar 4.2 model 1
Denotasi : Tampilan wajah agak menyamping ke kanan,
dengan sudut pandang tajam kedepan dan terbuka lebar.
Konotasi : Seseorang yang sedang terdiam seakan
memikirkan sesuatu.
Denotasi : Berwarna coklat gelap dan shading pipi yang
tegas.
Konotasi : Memiliki kesan santai namun keras pada
sifat orang tersebut.
Denotasi : Gaya atau tampilan model.
Konotasi : Berdiri tegak, sedikit menyamping ke
samping kanan, kaki kanan sedikit di tekuk dan
tumpuan tubuh jatuh pada kaki kiri model, telapak
tangan kanan terbuka, sedangkan untuk telapak tangan
kiri memegang dompet (clutch).
Gambar 4.3 model 1
Denotasi : Dibuat sedikit gelap dengan retouch
editing foto dan efek glowing.
Konotasi : Kesan tempat yang ditampilkan tua dan
memiliki nilai klasik, agar tampak lebih hidup.
Denotasi : Dalam gerbong kereta api.
Konotasi : Gerbong kereta api memiliki nilai
tersendiri yang membuat sebuah tampilan foto
menjadi lebih hidup.
50
Gambar / foto 2
Model : Jasmin
Photografer : Irvan Fajar (Ntat)
Wardrobe : Illustre
Stylist : Aji & Nanum
Halaman : 33
Lokasi : Bandung Train Station
Tanda
Denotatif
Konotatif
Foto model wanita
Seorang wanita dengan Seorang wanita dengan
penampilan
bergaya menggunakan pakaian
tahun 70-80an
terusan berwarna merah
dengan bagian dada
berwarna putih serta
memiliki rample pada
bagian dada tersebut,
menggunakan topi pet
berwarna
merah,
aksesoris kalung panjang
yang ditumpuk, serta
menyelendangkan
sebuah jaket berwarna
coklat
tua,
dan
mengenakan
sepatu
teplek berwarna merah
marun
(flatshoes).
Dengan background foto
sambungan
gerbong
kereta api.
Ekspresi wajah
Terdiam,
memikirkan Ekpresi wajah pada
dan menantikan suatu model memiliki raut
hal
wajah diam, termenung,
memandang ke bawah,
dan mata yang sayu
Make up model
Menggambarkan
Model tampak minimalis
kegundahan dalam suatu dalam
menggunakan
penantian
make up dan tampak
wajah model lebih lusuh
Pose model
Gaya atau
model
51
tampilan Model
bergaya
menyamping ke kanan
dengan tumpuan berat
tubuh pada kaki kanan,
sedangkan kaki kiri
sedikit menekuk dan
pergelangan kaki melipat
kebagian dalam (posisi
terkilir), tangan kiri
bertumpu pada bagian
dari
penyambung
gerbong kereta api
Warna dasar foto
Memberikan
kesan Warna pada dasar foto
klasikan yang kental cendrung gelap atau
pada era tahun 70-80an
under exposure
Lokasi pemotretan
Salah satu gerbong Ingin menciptakan suatu
kereta
api
bagian hal dari kehidupan untuk
belakang (penyambung menanti.
antar gerbong kereta api)
Surat kabar dan majalah memuat lebih dari kata-kata pada kolom.
Popularitasnya tidak bisa terbayangkan tanpa mempertimbangkan foto-foto,
ilustrasi-ilustrasi, dan iklan-iklan yang muncul hampir di setiap halaman. Tidak
diragukan lagi, karya yang paling berpengaruh perihal budaya pop visual dalam
studi budaya adalah karya fundamental teoritikus budaya Roland Barthes.
Gambar 4.4 model 2
Denotasi: Seorang wanita dengan menggunakan
pakaian terusan berwarna merah. Yang memiliki
banyak pengertian dasar bahwa merah
melambang keberanian dari seseorang.
Konotasi dasar yang dapat diambil dari gambar.
Jelasnya, warna hadir sebagai sekumpulan
pragmatis. Satu kombinasi warna, dipilih dari
paradigma warna, dapat juga dianggap
sintagmatis, seperti pada pakaian yang sedang
digunakan ini.
52
Fotografer Irvan Fajar masih menggunakan teknik yang sama dalam pengolahan
foto digital-nya, bukan hanya itu saja Irvan menggunakan lokasi yang sama untuk
area pemotretan dengan menggunakan kereta api sebagai latar belakang
(background) dari foto, “untuk penempatan pada lokasi kereta api dalam model
ini secara tidak sengaja saya gunakan tempat tersebut, dengan anggapan awal
pribadi saya akan membuat foto tersebut menjadi lebih hidup, terutama jika saya
menggunakan tone plug-in pada photoshop, menurut saya pribadi ini akan
menambah kental gaya yang ingin ditampilkan.” Tutur Irvan.
Gambar 4.5 model 2
Denotasi: wajah model sedikit menunduk dan
menyampingkan wajah ke arah kiri. Arah sudut
pandang menuju ke bawah, dengan raut muka yang
agak sedikit murung.
Konotasi: makna konotasi yang ingin dimunculkan
dari bentuk wajah tersebut merupakan penantian
atau memiliki kemungkinan untuk berpikir
mengenai sesuatu.
Denotasi: wajah merupakan bentuk yang sedikit
banyak menentukan tentang seseorang, terutama
sisi make-up. Make-up yang ditampilkan pada
gambar 4.5 model 2 masih sama seperti pada
gambar 4.2 model 1. Sedikit berwarna coklat gelap.
Konotasi : Memiliki kesan santai namun sedikit
keras pada sifat orang tersebut.
Denotasi : Gaya atau tampilan model.
Konotasi : Berdiri tegak, agak menyamping ke
samping kiri, kaki kanan sedikit tegap namun
menjotok ke dalam dan tumpuan tubuh jatuh pada
kaki kanan model, posisi kaki kiri menekuk dan
pergelangan kaki kiri dilipat kearah dalam, tangan
kanan lurus tertutup jaket coklat, sedangkan untuk
telapak tangan kiri menjadi tumpuan yang
berpegang pada penyambung dari kereta api.
53
Gambar 4.6 model 2
Denotasi : Dibuat sedikit gelap dengan retouch
editing foto.
Konotasi : Kesan tempat yang ditampilkan tua
dan memiliki nilai klasik, agar tampak lebih
hidup.
Denotasi : Salah satu gerbong kereta api.
Konotasi : Gerbong kereta api memiliki nilai
tersendiri yang membuat sebuah tampilan foto
menjadi lebih hidup.
Karena konotasi bekerja pada level yang subjektif, kita seringkali tak
secara sadar menyadarinya. Hard-focus, hitam-putih, pandangan tak manusiawi
atas jalan semuanya terlalui sering dibaca sebagai makna denotatif. Lebih mudah
untuk membaca nilai konotatif sebagai fakta denotatif. Salah satu tujuan utama
analisis semiotika adalah memberi kita metode analitis dan kerangka pikir untuk
menjaga kita dari kesalahan membaca seperti itu.
Konotasi yang dapat disimpulkan dari foto ke dua ini adalah seorang
wanita yang bersedih dan ingin barlari sejauh mungkin meninggalkan masa
lalunya, akan tetapi memiliki semangat yang terpendam untuk memulai lembar
baru dalam hidupnya, hal ini digambarkan dengan warna baju yang dipakai.
Dengan posisi berdiri dan kaki yang menekuk sebelah, dapat diartikan sebagai
ketidak siapan dalam menghadapi masa depannya.
Konotasi dari foto ini kesan yang ingin dibuat oleh fotografer ini adalah
menampilkan sosok seorang wanita dengan tema “Run away train. Run away and
54
never looking back..”. Dengan adanya teks tersebut dapat diambil sebuah
pengertian yang dapat dianalogikan dengan seseorang yang pergi dan jangan
untuk melihat kembali kebelakang, namun memiliki kemungkinan atau semangat
untuk membuka sebuah lembaran baru dalam kehidupan dan jangan pernah
melihat atau mengingat kebelakang (masa lalu).
“Foto ini memang dibuat dengan tanpa senyum sedikit pun dengan wajah
yang suram, ini memiliki pengaruh dari kehadiran tema dalam foto ini” ujar Irvan.
4.2.2 Analisis Aspek Teks (Verbal)
Bahasa verbal, atau kata merupakan alat komunikasi utama yang
merupakan konvensi bersama. Lewat bahasa, berbagai pesan yang disampaikan
dari seorang komunikator kepada komunikan bisa diterima dengan baik. Bahasa
verbal merupakan sarana utama dalam menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud
kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai
aspek realitas individual kita (Mulyana, 2000:238).
Dalam sebuah artikel jurnalistik, bahasa yang digunakan biasanya bahasa
jurnalistik. Bahasa jurnalistik memiliki dua sifat, yakni komunikatif dan spesifik.
Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau ke pokok persoalan (straight
to the point), tidak bertele-tele dan tanpa basa-basi. Spesifik artinya mempunyai
gaya penulisan tersendiri, yakni sederhana, kalimatnya pendek-pendek, katakatanya jelas dan mudah dimengerti orang awam atau massa (Romli, 2002:27).
55
Teks 1
Judul (head): “Run away train. Run away and never looking back..”
‘Ekonomi tulisan’ yang berupaya mendisiplinkan para pembacanya agak
‘menguraikan’ teks-teksnya ketimbang ‘membaca’-nya. Menguraikan sebuah teks
adalah menundukan diri seseorang pada kebenaran-kebenaran, akan tetapi,
membaca mencakup membawakan kemampuan oral teks yang dikembangkan
dalam kondisi sejarah sosial pembaca yang segera. Jadi, membaca adalah sebuah
negosiasi, antara teks yang dihasilkan dari atas dan pembacanya dari bawah.
Kontradiksi yang tidak terpecahkan, tidak stabil, pengetahuan yang belum selesai,
skeptisme, parodi, dan akses kesemuanya mengundang pembacaan : kebenaran
dan objektivitas meminta penguraian. Membaca bersifat partisipatoris, ia
mencakup produksi relevansi; penguraian, persepsi, dan penerimaan terhadap
jarak (sosial dan estetis).
Oleh karena itu, penulis akan mencoba untuk menguraikan tema yang
menjadi caption text pada beberapa foto yang terdapat di majalah Jeune, uraian
sebagi berikut:
Tanda
Denotasi
Konotasi
Run away train. Run Run away train
Run : merupakan kalimat
away
bahasa
and
never
Inggris
yang
memiliki arti lari. Away,
looking back..
dalam bahasa Indonesia
bisa
menjadi
jalan,
berjalan, atau perjalanan.
56
Train, memiliki arti kereta
api
dalam
bahasa
Indonesia.
Arti
keseluruhan dari kalimat
tersebut ‘pergilah kereta
api.’
Run away and never Run,
dalam
Indonesia
looking back..
bahasa
memiliki
arti
lari. Away, dalam bahasa
Indonesia
jalan,
bisa
menjadi
berjalan,
perjalanan.
atau
Train,
memiliki arti kereta api
dalam bahasa Indonesia.
And,
merupakan
mata
bantu yang memiliki arti
dan. Never, dalam bahasa
Indonesia
memiliki
pengertian tidak pernah.
Looking,
dalam
bahasa
Indonesia berati melihat.
Dan Back, memiliki arti
kembali atau kebelakang,
tergantung
57
pada
bentuk
kalimat yang digunakan.
Jika
kata-kata
tersebut
disusun menjadi sebuah
kalimat yang lengkap akan
memiliki
pengetian
‘Berjalanlah dan jangan
pernah
melihat
kebelakang’
Menurut Barthes teks merupakan sebuah objek kenikmatan, sebagaimana
diproklamasikannya dalam buku Sade/Fourie/Loyola : “The text is an object of
pleasure. (Teks adalah objek kenikmatan)” (Culler; Kurniawan dalam Sobur,
2004:52). Sebuah kenikmatan dalam pembacaan teks adalah kesenangan kala
dalam menyusuri halaman demi halaman objek yang dibaca. Sebentuk keasyikan
yang hanya dirasakan oleh pembaca sendiri .
Kenikmatan pembaca itu bersifat individual. Kita tidak akan merasakan
betapa asiknya seseorang ketika membaca sampai tidak memperhatikan lagi apa
yang ada di sekelilingnya bila kita sendiri tidak mencoba merasakan itu dengan
turut membaca tulisan yang sama.
Kenikmatan membaca itu dilukiskan Barthes (1975, dalam Kurniawan
dalam Sobur, 2004:52), seperti ini:
“What I enjoy in a story, is not directly is content, not even is strukture,
but the abrasion I am pose on the fine surface: I speed ahead, I skip, I look
up, I dip in again”(apa yang aku senangi dalam sebuah cerita, bukan
secara isinya, bahkan bukan pula strukturnya, tetapi pengikisan yang aku
terapkan pada permukaan dasarnya: aku ngebut kedepan, aku lewatkan,
58
aku perhatikan, aku cari, aku masuk kedalam lagi). (Kurniawan dalam
Sobur, 2004:52).
Kenikmatan yang dimaksud Barthes, selain dalam ranah bahasa (teks),
juga terkait dengan tubuh. Dalam The Pleasure of the Text,Barthes menunjukan
bahwa konsep kenikmatan yang dianutnya menyangkut atau berada pada rangka
aktivitas semiologi maupun analisis tekstual. Dengan membaca kembali dan
berulang-ulang sebuah teks dengan memotong-motongnya dan menyusunnya
kembali, yang merupakan rekonstruksi utama dalam semiologi dan analisis
tekstual dan struktural itulah Barthes menemukan kenikmatan yang dimaksudnya.
Penulis telah melakukan pemotongan dan penyambungan kembali kalimat
yang dipecah untuk menemukan arti dari setiap kata yang menjadi teks pada
caption text yang berada dalam majalah Jeune yang menjadi tema dari foto yang
dianalisis oleh penulis melalui ilmu semiologi Barthes.
Pemecahan ini dilakukan untuk menemukan makna dibalik kalimat dan
foto-foto yang berada dalam majalah. Karena setiap foto cerita yang bersambung
tentu memiliki tema tersendiri yang menceritakan sesuatu, maka teks dianggap
penting untuk melengkapi sebuah cerita nonverbal yang dibantu teks menjadi
hasil ilustrasi tersendiri bagi seorang pembaca.
59
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
KESIMPULAN
Berdasarkan pada hasil pembahasan pada bab terdahulu, maka penulis
dapat mengambil kesimpulan dari subjek yang diteliti sebagai berikut :
5.1.1 Makna Denotasi pada gambar 4.1 dan 4.2
a. Denotasi gambar 4.1
Denotasi yang dapat diambil adalah kesan makna paling nyata dari tanda,
dengan kata lain denotasi merupakan keterangan dari isi seluruh gambar tersebut.
Seorang wanita dengan menggunakan kemeja hijau bergaris hitam, menggunakan
jaket blues hijau tua, berhiaskan kalung manik-manik yang bertumpuk,
menggunakan celana pendek berwarna coklat, mengenakan sepatu datar
(flatshoes), dan memegang dompet besar (clutch) berwarna kuning emas. Dengan
Make-up yang sedikit gelap serta shading pipi yang menonjol memberikan
petunjuk makna santai namun keras pada karaketrisitik sang model.
b. Denotasi gambar 4.2
Seorang wanita dengan menggunakan pakaian terusan berwarna merah
dengan bagian dada berwarna putih serta memiliki rample pada bagian dada
tersebut, menggunakan topi pet berwarna merah, aksesoris kalung panjang yang
ditumpuk, serta menyelendangkan jaket berwarna coklat tua, dan mengenakan
sepatu datar (flat shoes) berwarna merah marun. Dengan background foto
60
sambungan kereta api. Makna yang ingin diciptakan adalah suatu hal dari
kehidupan untuk menanti, yang ditampilkan seorang model.
5.1.2 Makna Konotasi Pada Gambar 4.1 dan 4.2
a. Konotasi gambar 4.1
Foto menonjolkan karakter warna lebih kuat pada objek tertentu dengan
fokus yang lebih lembut dan efek cahaya yang lebih gelap menimbulkan kesan
dingin dan dramatis. Foto tersebut dapat diambil pada waktu yang hampir
bersamaan dengan kamera yang lensanya hanya berbeda beberapa sentimeter.
Memberikan kesan, tempat yang ditampilkan tua dan nilai klasik gerbong kereta
api yang membuat sebuah tampilan foto menjadi lebih hidup.
b. Konotasi Gambar 4.2
Memberikan kesan klasik yang kental pada era tahun 70-80an serta ingin
menciptakan suatu hal dari kehidupan untuk menanti sesuatu
yang
mengambarkan kegundahan dalam suatu penantian. Konotasi dasar yang dapat
diambil dari gambar.jelasnya, warna hadir sebagai sekumpulan pragmatis. Satu
kombinasi warna, dipilih dari paradigma warna, dapat juga dianggap sintagmatis,
seperti pada pakaian yang sedang digunakan oleh model, karakter yang ingin
ditampilkan adalah karakter terdiam dan termenung
5.2
SARAN
5.2.1 Saran untuk penelitian lebih lanjut
Adapun hasil penelitain ini tidak seutuhnya sempurna,namun penulis
berharap penelitian ini dapat berguna bagi penulis-penulis lainnya, terutama bagi
penulis yang akan meneruskan penelitian ini.Untuk penelitian lebih lanjut, penulis
61
memberikan saran untuk asfek masalah yang penelitiannya dapat lebih jelas,
serperti pemisahan pada makna denotasi dan konotasi dapat diperinci lebih dalam.
5.2.2 Saran untuk subjek penelitian
Saran penulis pada majalah Jeune adalah pada segi pengemasan foto itu
sendiri, bagaimana membuat foto itu lebih “ hidup” lagi, misalnya dengan
eksplorasi kemampuan model, ataupun ,melaui asfek pendukung lainnya seperti,
lokasi pemotretan dan properti yang dipakai. Karena Jeune sebagai
majalah
fesyen anak muda, sehinga dengan perbaikan dalam segi foto ini bisa
mengembangkan ide-ide kreatif seputar fesyen dan menjadi trendsetter fesyen
bagi anak muda khususnya kota Bandung
62
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Onong U. 1986. Dimensi-dimensi Komunikasi. Amumni, Bandung.
______________. 2000. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
______________. 2004. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung....
Meinanda. 1981. Pengantar Ilmu Komunikasi dan Jurnalistik. ARMIKO, Bandung.
Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar. PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung..
Rakhmat, Jalaluddin. 1998. Metode Penelitian Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
______________. 2003. Psikologi Komunikasi. PT. Reamaja Rosdakarya, Bandung.
Ruslan, Rosadi. 1998. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Tubbs, Stewart L and Sylvia Moss. 1996. Human Communication (Prinsip-prinsip
Dasar). PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sumber Lain :
Wawancara dengan Candra
Wawancara dengan Irvan Fajar
Wawancara dengan
www.google.com
NASKAH WAWANCARA
Wawancara dengan Fotografer Irvan Fajar (Ntat)
1. Kapan waktu yang dipilih dalam pemotretan tersebut? Kenapa?
2. Mengapa lokasi pemotretan yang dipilih stasiun kereta api Bandung?
3. Mengapa memilih lokasi pemotretan pada foto ke-1 di lorong kereta, dan ke-2 pada
sambungan gerbong kereta?
4. Apa alasan model tersebut yang dipilih?
5. Mengapa hasil edit ulang foto bernuansa gelap dan semu?
6. Kesan apa yang ingin ditonjolkan dari hasil foto tersebut?
7. Untuk tema yang digunakan,apakah sudah tepat dengan hasil fotonya?
8. Dalam foto-foto
tersebut, mengapa mimik wajah yang diperlihatkan sendu atau
muram?
Wawancara dengan pengarah gaya: Aji dan Nanum
1. Mengapa pakaian tersebut yang dipilih, apa alasannya?
2. Apakah ada pengaruhnya dari warna pakaian yang dipakai dengan tema dari foto
tersebut?
3.
Dari make-up sendiri mengapa menggunakan warna-warna tua dan shading pipi yang
cukup tebal?
Download