PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini 3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah 4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah Selamat membaca !!! Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh UPT PERPUSTAKAAN UNISBA ANALISIS FOTO FESYEN MAJALAH JEUNE SEBAGAI LIFESTYLE ANAK MUDA BANDUNG Studi Semiotika Roland Barthes Tentang Foto Fesyen Majalah Jeune Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung Disusun Oleh: Rahmah Novianti 10080002050 Manajemen Komunikasi FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2007 LEMBAR PENGESAHAN Judul : Analisis Foto Fesyen Majalah JEUNE Sebagai Lifestyle Anak Muda Bandung Sub Judul : Suatu Studi Studi Semiotika Roland Barthes Tentang Foto Fesyen Majalah Jeune Nama : Rahmah Novianti NPM : 10080002050 Bidang Kajian : Manajemen Komunikasi Menyetujui : Pembimbing I Pembimbing II Hj. Rini Rinawati, Dra., M.Si Satya Indra Karsa, Drs Mengetahui : Ketua Bidang Kajian Manajemen Komunikasi Anne Maryani, Dra, M.Si. ABSTRAK Gaya hidup merupakan hal yang selalu menyentuh masyarakat dari jaman ke jaman. Gaya hidup dalam bentuk apapun, termasuk fesyen. Pada perkembangannya fesyen adalah hal yang paling menentukan sebuah gaya hidup yang paling dasar dan secara mudah dapat dilihat dari gaya berpakaian seseorang. Rentang perjalanan fesyen pun sudah sepanjang peradaban manusia itu sendiri, tak pernah lepas diri kita akan busana yang kita gunakan dan bagaimana sebuah rancangan mode seorang perancang mode mengubah cara hidup kita, dan bagaimana kita memandang diri terhadap lingkungan dan budaya. Pengetahuan setiap orang tentang fesyen pun tidak lepas dari peran media massa sebagai pendukungnya. Yang bermula dari foto-foto pada majalah ataupun koran, hingga tayangan televisi. Pada majalah, foto biasanya merupakan pelengkap dari berita tulis. Namun, selain melengkapi, foto juga berfungsi meyakinkan dan memberi variasi yang menarik bagi para pembaca, tak terkecuali foto fesyen. Karena pada masa ini adalah masa dimana semua orang berlomba menjadi pusat perhatian dilingkungannya, sehingga perkembangan fesyen menjadi sangat beragam. Mengingat dalam abad gaya hidup penampilan adalah segalanya, dan perhatian terhadap urusan penampilan pun sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah. Urusan penampilan atau presentasi diri ini sudah lama menjadi perbincangan sosiologi dan kritikus budaya. Adapun judul penelitian ini adalah ”Analisis Foto Fesyen Majalah Jeune Sebagai Lifestyle Anak Muda Bandung”. Hal-hal yang penulis teliti dalam kaitannya dengan judul penelitian adalah bagaimana makna tanda denotatif foto fesyen yang meliputi tampilan foto secara keseluruhan juga makna tanda konotatif foto fesyen yang meliputi.pakaian, model, dan detail pada foto tersebut. Majalah yang menjadi objek penelitian penulis adalah majalah Jeune.Majalah fesyen Bandung yang segmentasi pasarnya adalah anak muda. Majalah ini adalah majalah fesyen yang memiliki tujuan akhir untuk menangkap fenomena dan attitude fesyen seseorang lalu membahas dan menggambarkannya dalam rubrik foto fesyen. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode kualitatif dengan teori Semiotika Roland Barthes, yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Relasi tanda tersebut menurut Barthes dibagi menjadi dua tingkatan, masing-masing detonasi dan konotasi. Denotasi yang diambil adalah kesan makna paling nyata dari tanda, dengan kata lain denotasi merupakan keterangan dari isi seluruh gambar tersebut. Foto menonjolkan karakter warna lebih kuat pada objek tertentu dengan fokus yang lebih lembut dan efek cahaya yang lebih gelap menimbulkan kesan dingin dan dramatis. Konotasinya memberikan kesan klasik yang kental pada era tahun 70-80an serta ingin menciptakan suatu hal dari kehidupan untuk menanti sesuatu yang mengambarkan kegundahan dalam suatu penantian. KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Pertama-tama Penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, dan shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW serta para sahabat-sahabatnya. Atas berkat Rahmat-Nya lah, Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan tepat pada waktunya sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana S1 di Fakultas Ilmu Komunikasi. Pada akhirnya setelah berjuang menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul “Analisis Foto Fesyen Majalah Jeune Sebagai Lifestyle Anak Muda Bandung” dapat terselesaikan juga, namun dirasakan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna sehingga saran dan kritik sangat Penulis nantikan guna penyempurnaan untuk ke depannya. Mudah-mudahan dengan dilakukannya Penulisan mengenai Analisis Foto Fesyen ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya umumnya, dan untuk mahasiswa Fikom Unisba khususnya. Dan Penulisan yang telah Penulis lakukan ini semoga bermanfaat bagi generasi selanjutnya yang mencoba meneliti Penulisan yang serupa. Dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Adapun ucapan terima kasih tersebut Penulis ucapkan kepada : 1. Bapak Dr. Yusuf Hamdan, Drs., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, atas izin riset pada penyusunan skripsi ini. i 2. Ibu Anne Maryani. Dra, M.Si, selaku bidang kajian Ilmu Manajemen Komunikasi yang telah memberikan bimbingan pada awal penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Hj. Rini Rinawati, Dra., M.Si, selaku pembimbing I yang selalu dengan sabar membimbing Penulis dan terima kasih atas waktu yang telah diluangkan oleh beliau serta berbagai masukan dan pengetahuan-pengetahuan baru yang Penulis dapatkan selama bimbingan. 4. Bapak Satya Indra Karsa, Drs, selaku pembimbing II yang ditengah kesibukannya telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis. 5. Septiawan Santana (ka asep), ibu ike dan pak ferry, terima kasih atas nasihatnya. 6. Segenap jajaran dosen-dosen dan staf Fakultas Ilmu Komunikasi yang telah memberikan masukan serta membantu kelancaran perizinan dalam penulisan skripsi ini. 7. Jeune Magazine yang bersedia menjadi objek penelitian penulis dan telah banyak meluangkan waktunya di tengah kesibukannya mempersiapkan setiap edisi baru. 8. Mama, yang dapat mengerti kehidupan anaknya, terima kasih telah memberikan kasih sayang, dukungan serta pengertiannya kepada Penulis yang merupakan penyemangat dan nyawa dalam menyelesaikan tugas akhir ini. J t’aime mom! Alm papa (Bpk. Bachtiar) yang hanya mengizinkan anaknya masuk Unisba. Alhamdulillah pap, satu langkah lagi anakmu menjadi lulusan Unisba. ii 9. Keluarga besar Badaruddin Abbas, keluarga besar Ardilla, terima kasih telah menjadi saudara terbaikku. 10. Sahabat-sahabatku ku tercinta Citra, Ririe, Angie, Tebe, Rumput Hijau Family, keluarga IT Gallery, bucayers, kucingku dirumah yang telah menemani dan menghibur penulis apabila kejenuhan datang, dan memberi dukungan yang besar kepada penulis dalam menyelesaikan Penulisan ini.. 11. Teman-teman Ilmu Komunikasi angkatan 2002, maupun teman seperjuangan dalam penulisan skripsi ini, walaupun penulis banyak tertinggal lulus oleh kalian tapi penulis bersyukur, akhirnya penulis termotivasi untuk cepat menyelesaikan penulisan ini. 12. Serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang sangat membantu dalam proses penulisan skripsi ini. Semoga berbagai bantuan, dukungan dan do’a yang telah diberikan untuk penulis mendapat balasan dari Allah SWT, amien. Akhir kata penulis berharap, semoga skripsi ini banyak memberikan manfaat bagi semua pihak dan menjadi sumbangan yang berguna bagi perkembangan Ilmu Komunikasi. Wassalamualaikum Wr. Wb Rahmah Novianti 10080002050 iii DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL LEMBAR PENGESAHAN MOTTO ABSTRAK KATA PENGANTAR…………………………………….................... i DAFTAR ISI …………………………………….................... iv DAFTAR GAMBAR …………………………………….................... vii BAB I 1 BAB II PENDAHULUAN ……………………………........ 1.1 Latar Belakang Masalah ……………….... 1 1.2 Perumusan Masalah ………………………… 5 1.3 Identifikasi masalah ………………………… 6 1.4 Tujuan Penelitian ………………………… 6 1.5 Kegunaan Penelitian ........................................ 6 1.6 Pembatasan Masalah ……………………….... 7 1.7 Pengertian Istilah ………………………… 7 1.8 Kerangka Pemikiran ............………………… 8 1.9 Metode Penelitian 11 1.10 Teknik Pengumpulan Data ……………….... 15 1.11 Tahap-tahap Penelitian ............................ 16 1.12 Organisasi Karangan ………………………… 17 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Komunikasi ………………………… ………………………… 18 …...………………… 18 2.1.1 Pengertian Komunikasi ............................ 18 2.1.2 Proses Komunikasi ............................ 19 2.1.3 Tujuan Komunikasi ………………… 19 2.1.4 Pengertian Komunikasi Nonverbal …… 20 2.2 Semiotika ……………..………………...... 24 2.3 Majalah ………………………………… 25 Sejumlah Kategori Majalah ………… 29 2.4 Foto Fashion ………………………………… 29 2.5 Gaya Hidup (Lifestyle) ………………… 30 METODE DAN OBJEK PENELITIAN ……….......... 34 3.1 Karakteristik Penelitian Kualitatif ……….. 34 3.2 Semiotika Signifikasi Roland Barthes ……….. 38 3.3.1 Denotasi …………………………. 39 3.3.2 Konotasi …………………………. 39 3.3.3 …………………………. 40 2.3.1 BAB III BAB IV Mitos 3.3 Sumber dan Jenis Data ……………...….. 41 3.4 Cara Pengumpulan Data ……………... 42 3.5 Objek Penelitian …………………............. 44 3.5.1 Profil Jeune ......................................... 44 3.5.2 Sejarah Majalah Jeune .......................... 44 3.5.3 Rubrikasi Jeune .................................. 46 ………...............…………………. 48 PEMBAHASAN 4.1 Pengantar Pembahasan Masalah …………..... 48 4.2 BAB V Daftar Pustaka Lampiran Analisis Makna Denotatif dan Konotatif …… 52 4.2.1 Analisis Aspek Foto (Non-verbal) ….. 52 4.2.1.1 Objek Pertama dan Kedua …... 53 4.2.2 Analisis Aspek Teks (Verbal) ………….. 62 PENUTUP ……………………………....………….. 68 5.1 Kesimpulan ………………………………….. 68 5.2 Saran ………....……………………………….. 70 .............…………………………………………. viii ………...........................………………………………... x BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keragaman dalam berpakaian pada anak muda saat ini merupakan suatu budaya yang tidak pernah habis dari zaman ke zaman.. Keragaman yang dapat dijadikan pengenal atau identitas pribadi yang biasanya dikatakan sebagai gaya hidup. “Gaya hidup adalah suatu kata-kata yang sering disalahgunakan. Para ilmuan sosial,jurnalis,dan orang awan menggunakannya untuk menunjuk pada hampir semua minat, bias fesyen, Zen,Budhisme atau masakan Perancis….Jika tahun 1970-an adalah petunjuk hal tersebut, kata gaya hidup akan serta-merta memasukan segalanya pada saat yang sama tidak bermakna apapun”. (Sobel,1981 : 1). Istilah tersebut sangat sering dipakai, tapi juga terdapat permasalahan dalam mendefinisikannya sesuatu yang sesamar gaya hidup. Gaya hidup adalah pola-pola hidup yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lain. Budaya bisa didefinisikan sebagai keseluruhan gaya hidup suatu masyarakat – kebiasaan/adat-istiadat, sikap,dan nilai-nilai mereka, suatu pemahaman yang sama yang menyatukan mereka sebagai suatu masyarakat. Gaya hidup yang berlangsung tanpa henti bisa berawal hanya dari sebuah icon yang ditimbulkan dari seseorang untuk membuat dirinya berbeda dari orang lain. Hal ini terjadi pada perkembangan fesyen, dan hal yang paling menentukan sebuah gaya hidup yang paling dasar dapat dilihat dari gaya berpakaian, oleh karena itu peneliti ingin membahas gaya hidup (lifestyle) melalui media fotografi fesyen yang terdapat pada majalah JEUNE edisi Champion Issues. 1 Penulis mencoba untuk mengkaitkan gaya hidup dengan mode pada dunia fesyen yang ada di Bandung dan yang ada di media massa cetak, dalam hal ini majalah JEUNE. Rentang perjalanan mode dunia sudah sepanjang peradaban manusia itu sendiri, tak pernah lepas diri kita akan busana yang kita gunakan dan bagaimana sebuah rancangan mode seoran gperancang mode mengubah cara hidup kita, dan bagaimana kita memandang diri terhadap lingkungan dan budaya. Pada majalah, foto biasanya merupakan pelengkap dari berita tulis. Namun, selain melengkapi, foto juga berfungsi meyakinkan dan memberi variasi yang menarik bagi para pembaca. Dengan melihat gambar-gambar, mata dan otak pembaca tidak begitu lelah seperti ketika membaca berita-berita yang berkepanjangan. Dengan keunggulan tersebut fotografi mampu mengungkapkan, mengulas masalah secara analitis dan sintetis dan memberikan kesimpulan secara gamblang, sehingga dapat dimengerti oleh pembacanya secara merata. Tiap orang yang melihat gambar pada koran atau majalah, timbul dalam dirinya rasa keingintahuan yang sangat dalam akan suatu informasi. Orang –orang yang ingin tahu ini terdapat diseluruh lapisan masyarakat. tentunya pada politik, olahraga, hiburan, fesyen, dan masalah yang timbul pada lingkunyan masyarakat kita sendiri. Foto fesyen berkembang seiring dengan dunia mode, menciptakan secara pasti sebuah aliran yang berkembang secepat perkembangan dunia mode itu sendiri, ia ber-evolusi menjadi bentuk olah rasa yang tinggi. Foto fesyen tidak lagi berbentuk tapi berkembang menjadi aliran yang mengutamakan artistik tinggi yang mewakili rancangan itu sendiri dengan tingkat persaingan dalam menjual 2 ide, konsep dan tidak hanya dari sisi rancangan mode, tapi juga tehnik fotografi, tata make-up dan rambut, tata gaya, tata ruang dan lain sebagainya yang menghasilkan sebuah hasil karya seni. Foto fesyen memiliki pengertian sendiri, bukan merupakan pengartian terpisah dari foto dan fesyen, foto fesyen secara pengertian dasar memiliki pengetian gambaran foto yang mengkhususkan diri pada bidang fotografer model baik benda mati maupun benda hidup. Untuk lebih jelasnya foto fesyen cenderung pada foto model yang berbusana. Foto dapat membuat rasa keterlibatan orang yang melihatnya, karena rasa keterlibatan orang yang melihatnya. Dan seterusnya melinatkan emosional. Dalam perkembangan dunia foto fesyen saat ini terjadi sebuah pengulangan bentuk penggarapan yang tercipta akan inspirasi akan masa-masa kejayaan dunia fesyen era 40 sampai dengan 70-an, dimana masa 80-an merupakan masa kegelapan dunia mode. Era 80-an ini sudah dilupakan, karena pada masa ini adalah tahun dimana semua orang berlomba menjadi orang aneh, fesyennya sangat beragam, namun memiliki khasnya, era ’cupu’ (culun atau kurang pergaulan) kata anak sekarang. Penterjemahan sebuah konsep foto atas sebuah mode, tidak lagi terbatas akan era yang diwakilinya . Foto-foto yang dirancang khusus dan di kenakan oleh model foto, bisa berupa foto di catwalk, studio atau lokasi khusus, dan berbeda dengan kategori model yang tidak menonjolkan unsur-unsur detil busana. Dalam abad gaya hidup, penampilan adalah segalanya. Perhatian terhadap urusan penampilan sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah. Urusan penampilan atau presentasi diri ini sudah lama menjadi perbincangan sosiologi 3 dan kritikus budaya. Kata gaya dalam bahasa Indonesia merupakan padanan kata dari kata ”style” dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Yunani ”Stilus” yang artinya adalah alat tulis atau tulis tangan. Mayer Schapiro mendefinisikan gaya sebagai ” bentuk yang konstan yang kadang kala unsur-unsur, kualitaskualitas dan ekspresi konstan dari perorangan maupun kelompok” (Mayer dalam Subandi, 1997:165). Definisi ini juga mencakup gaya hidup dan gaya peradaban. Tetapi dafinisi yang cukup jelas adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Alvin Toffler, yaitu ”Alat yang dipakai individu intuk menunjuk identifikasi diri mereka dengan subkultur-subkultur tertentu. Setiap gaya hidup disusun melalui mosaik beberapa item, super product yang menyediakan cara untuk mengorganisir prosuk dan idea” Gaya dapat dipelajadi karena ia bersifat beragam dan sadar diri. Gaya pun mengenak masa hidup (lahir, muda, dewasa, mati) dan gaya yang telah usang biasanya disebut dekaden. Sedangkan, ketika ciri-ciri gaya yang sengaja dilebihlebihkan, hal itu mulai memasuki pembicaraan tentang penggayaan atau styling. Pengertian penggayaan disini adalah memberikan bentuk tertentu sesuai dengan gaya yang pernah ada di masa sebelumnya. Pandangan ini lahir karena menurut Harley Earl, masyarakat sangat rapuh terhadap perubahan gaya yang dilakukan secara evolusi. Karena itu peneliti memiliki keinginan untuk mengkaji lebih dalam mengenai tanda maupun simbol yang terdapat pada foto fesyen dalam majalah JEUNE. Mengenai mengapa peneliti mengambil objek penelitian fesyen, hal ini mengingat kota Bandung merupakan pusat dari kota wisata belanja. Peneliti ingin mengkaitkan kembali foto fesyen dengan gaya hidup melalui studi kualitatif dengan melalui pendekatan semiotika Roland Barthes. Media yang 4 digunakan oleh peneliti adalah majalah JEUNE yang memiliki rubrik foto fesyen, isi dari majalah JEUNE sendiri lebih menitikberatkan konten majalah pada fotografi untuk memperkuat isi dibandingkan text. Oleh karena itu majalah JEUNE lebih dikenal sebagai majalah fesyen. Untuk mempersempit bidang penelitian maka penulis mencoba menuliskannya dalam rumusan masalah sebagai berikut: 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis mencoba merumuskan masalahnya, yaitu: ”Analisis Foto Fesyen Majalah JEUNE sebagai Lifestyle Anak Muda Bandung” 1.3 Identifikasi Masalah Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan diatas, maka penulis dapat mengidentifikasikan masalah menjadi : 1. Bagaimana makna tanda denotatif foto fesyen pada majalah JEUNE ? 2. Bagaimana makna tanda konotatif foto fesyen pada majalah JEUNE ? 1.4 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui makna tanda denotatif foto fesyen pada majalah JEUNE. 2. Uuntuk mengetahui makna tanda konotatif foto fesyen pada majalah JEUNE. 5 1.5 Kegunaan penelitian Kegunaan penelitian ini secara luas adalah 1. Secara teoritis dan metodologis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi komunikasi pada umumnya. 2. Selain itu penulis ingin mengetahui lebih luas, tentang makna tanda foto fesyen di majalah JEUNE pada anak Bandung. 3. Penulis juga ingin mengetahui perkembangan fesyen anak muda Bandung. 4. Pada akhirnya penulis ingin mengetahui tentang fotografi terutama foto fesyen, karena memiliki bidang tersendiri. 1.6 Pembatasan Masalah Untuk memperjelas isi yang lebih sistematis dari penelitian ini maka dilakukan pembatasan masalah agar dapat lebih terarah, yakni : 1. Majalah yang di teliti adalah majalah JEUNE pada edisi No.15 Champion Issue tahun 2006 halaman 30-31. 2. Aspek yang di teliti adalah aspek foto fesyen yang berupa foto, ilustrasi, dan warna yang terdapat di halaman bagian dalam majalah. 1.7 Pengertian Istilah 1. Foto Fesyen : foto-foto busana yang dirancang khusus dan dikenakan oleh medel foto, bisa berupa foto di catwalk, studio atau lokasi khusus 6 dan berbeda dengan kategori model yang tidak menonjolkan unsurunsur detil busana. (Barnard, 1996:83) 2. Majalah : Merupakan pers berkala yang menggunakan sampul, yang memuat bermacam-macam tulisan yang dihiasi ilustrasi maupun fotofoto. (Junaedhi, 1995:155) 3. Life Style (gaya hidup) : mendefinisikan sikap dan membantu memahami apa yang orang lakukan serta merupakan bagian dari modernitas.(Fiske, 1990:89) 4. Denotasi merupakan hubungan antara signifier dan signified dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal atau makna paling nyata dari tanda (Sobur, 2004:128). 5. Konotasi menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan, konotasi mempunyai makna subjektif atau paing tidak makna intersubjektif (Sobur, 2004:128). 6. Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tandatanda. Semiotik konvensi-konvensi, itu mempelajari yang sistem-sistem, memungkinkan mempunyai arti (Sobur, 2004:96). 7 aturan-aturan, tanda-tanda tersebut 1.8 Kerangka Pemikiran 1.8.1 Foto Fesyen Foto-foto yang dirancang khusus dan di kenakan oleh model foto, bisa berupa foto di catwalk, studio atau lokasi khusus, dan berbeda dengan kategori model yang tidak menonjolkan unsur-unsur detil busana. Foto fesyen memiliki pengertian sendiri, bukan merupakan pengartian terpisah dari foto dan fesyen, foto fesyen secara pengertian dasar memiliki pengetian gambaran foto yang mengkhususkan diri pada bidang fotografi model baik benda mati maupun benda hidup. Untuk lebih jelasnya foto fesyen cenderung pada foto model yang berbusana. Foto dapat membuat rasa keterlibatan orang yang melihatnya, karena rasa keterlibatan orang yang melihatnya. Dan seterusnya melibatkan emosional. Dalam perkembangan dunia foto fesyen saat ini terjadi sebuah pengulangan bentuk penggarapan yang tercipta akan inspirasi akan masa-masa kejayaan dunia fesyen era 40 sampai dengan 70-an, dimana masa 80-an merupakan masa kegelapan dunia mode. Era 80-an ini sudah dilupakan, karena pada masa ini adalah tahun dimana semua orang berlomba menjadi orang aneh, fesyennya sangat beragam, namun memiliki khasnya, era ’cupu’ (red. culun atau kurang pergaulan) kata anak sekarang. Penterjemahan sebuah konsep foto atas sebuah mode, tidak lagi terbatas akan era yang diwakilinya . 1.8.2 Life Style ( Gaya Hidup ) Dalam dunia modern, gaya hidup kita mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial kita. gaya hidup (lifestyle) mengungkapkan bagaimana kita harus mengklasifikasikannya, bagaimana istilah 8 tersebut menjadi semakin penting, dan apa persisnya gaya hidup itu. Dalam gaya hidup, penampilan adalah segalanya. Perhatian terhadap urusan penampilan sebenarnya bukanlah hal baru dalam sejarah. Life style yang biasa disebut dengan gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern, atau yang biasa di sebut medernitas. Maksudnya adalah siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakan sendiri atau orang lain. Gaya hidup adalah pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Oleh karena itu, gaya hidup membantu memahami (yakni menjelaskan tapi bukan berarti membenarkan) apa yang orang lakukan, mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya ataupun orang lain. 1.8.3 Majalah Majalah adalah salah satu bagian dari pers yang membawa misi penerangan, pendidikan, dan hiburan. Penerbitan majalah pertama kali di London, inggris; yang kemudian menyusul penerbitan-penerbitan yang lainnya pada tahun 1741 di Amerika Serikat, tetapi baru pada abad ke-19 majalah menunjukan perkembangan yang cukup pesat. ”Majalah merupakan penerbitan pers berkala yang menggunakan kertas sampul, yang memuat yang bermacam-macam tulisan yang dihiasi ilustrasi maupun foto-foto”. (Junaedhi, 1995:155). Dengan demikian majalah adalah salah satu sumber informasi yang semakin populer dewasa ini. Ia mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat, terutama pada masyarakat modern. 9 Pada dasarnya, studi media massa mencakup pencarian pesan dan makna-makna dalam materinya, karena sesungguhnnya semiotika komunikasi, seperti halnya basis komunikasi, proses komunikasi, dan intinya adalah makna (Sobur, 2003:110). Abad ke-20 yang dikenal sebagai abad revolusi informasi telah membawa dunia pers khususnya pemajalahan ke arah perkembangan yang sangat pesat. Ini terlihat banyaknya majalah-majalah yang beredar tidak hanya di negaranegara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Nama-nama majalah seperti; Hai, Kartini, Kawanku dan lain-lain telah memiliki kelompoknya masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat modern lebih bersifat selektif terhadap media tang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan informasi. Karena itulah sebagian orang mengatakan, majalah merupakan perpaduan antara surat kabar dan buku. Majalah memiliki ruang dan waktu yang lebih leluasa untuk menyajikan suatu peristiwa dengan selengkap-lengkapnya, sehingga isi majalah biasanya lebih mendalam dan lengkap dibanding surat kabar harian. Onong Uchjana Effendy mengartikan majalah sebagai ”media cetak yang diterbitkan secara berkala, berulang-ulang secara teratur seminggu sekali, dua minggu sekali, atau satu tahun sekali”. 1.9 Metode Penelitian 1.9.1 Penelitian Kualitatif Bentuk penelitian ini bersifat kualitatif, ”merupakan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat, 10 penelitian ini tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka atau metode statistik” (Mulyana, 2001:150), karena metode penelitian ini meyakini bahwa fenomena yang terjadi di masyarakat tidak bisa dilihat dan ditentukan dengan angka-angka, fenomena yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. 1.9.2 Semiotika Dalam semiotika, yang dijadikan pokok perhatiannya di sini adalah tanda. Studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiologi atau somiotika. Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama: 1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. 2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk menstransmisikannya. 3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. 11 1.9.3 Semiotika Roland Barthes Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika signifikasi Roland Barthes. Semiotika signifikasi adalah semiotika ( ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda) yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Relasi tanda tersebut menurut Barthes dibagi menjadi dua tingkatan, masing-masing detonasi dan konotasi (dalam pengertian Barthes disebut dengan mitos). (Sobur,2003:viii). Kemudian lebih lanjut dikatakan pula bahwa Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman dalam Sobur, 2003: 71). Pengertian mitos sendiri adalah mengenai bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai dominasi. Mitos primitif misalnya mengenai hidup dan mati. Mitos masa kini misalnya tentang femininitas, maskulinitas, atau kesukesan (Fiske, dalam Sobur, 2004:128). Selain itu juga, fokus perhatian Barthes mengenai gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 12 Gambar 2. Signifikasi dua tahap Barthes tatanan pertama realitas tatanan kedua tanda kultur Konotasi Bentuk Penanda denotasi Petanda Isi mitos Sumber: John Fiske (1990:88 dalam Sobur, 2001:127). Tatanan pertandaan pertama menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Sebuah foto tentang sorang model mendenotasikan model tertentu; kata “model” mendenotasikan seseorang yang bergaya dengan mengenakan busana yang dirancang secara khusus. Pada salah satu foto menggunakan fokus yang tajam, menampilkan warna-warna lembut dengan pencahayaan yang lebih kuat. Sementara foto yang lain lebih menonjolkan karakter warna lebih kuat pada objek tertentu dengan fokus yang lebih lembut dan efek cahaya yang lebih gelap menimbulkan kesan dingin dan dramatis. Kedua foto tersebut dapat diambil pada waktu yang hampir bersamaan dengan kamera yang lensanya hanya berbeda beberapa sentimeter. Makna denotatifnya akan sama. Perbedaannya akan ada dalam konotasinya. Dalam istilah yang dipakai Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan 13 perasaan atau emosi penggunanya dan nilai kulturalnya. Bagi Barthes faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. 1.10 Teknik Pengumpulan Data 1. menurut pandangan pribadi intinya............... 2. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. Wawancara secara garis besar dibagi dua, yakni wawancara tak terstruktur dan wawancara terstruktur (Mulyana, 2003:180). Wawancara tidak terstruktur mirip dengan percakapan informal. Metode ini bertujuan memperoleh bentuk-bentuk informasi tertentu dari semua responden. Wawancara tak terstruktur bersifat luwes, susunan pertanyaannya dan susunan kata-kata dalam setiap pernyataan dapat di ubah pada saat wawancara, termasuk karakteristik sosial-budaya responden yang dihadapi (Mulyana, 2003:181). Dalam hal ini, peneliti akan melakukan wawancara dengan fotografer (irvan fajar), Araji sebagai penata gaya, wardrobe, model (Jasmin) dan beberapa orang yang fesyennya terpengaruh dari foto tersebut. 3. Observasi. Menurut Denzim, observasi atau pengamatan berperan serta adalah strategi yang secara simultan memadukan analisis dokumen, wawancara, dengan responden dan informan, partisipasi dan observasi langsung serta introspeksi diri (Mulyana, 2003:163). 14 4. Studi dokumentatif adalah studi menggunakan dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan kasus yang di teliti. 5. Studi kepustakaan adalah studi yang berkaitan dengan dokumentasi serta buku-buku dan literatur lainnya yang relevan dengan masalah penelitian. 1.11 Tahap-tahap Penelitian 1. Tahapan Pra Lapangan 1). Menyusun rancangan penelitian. Faktor yang mempengaruhi penulis dalam melakukan penelitian ini karena adanya ketertarikan penulis untuk menganalisis foto fesyen. 2). Memilih lapangan penelitian Dengan cara menjajaki dan memahami lapangan untuk melihat apakah terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan. 2. Tahapan Pekerjaan Lapangan Pada tahapan ini penulis mulai memahami latar belakang penelitian, penulis melakukan pendekatan dengan subjek penelitian serta mengumpulkan data 3. Tahapan Terakhir Analisis Data Pada tahapan ini penulis mulai melakukan pencatatan akhir pengumpulan data, reduksi data, dan pengorganisisian data yang diperoleh dan dilakukan secara cermat, lengkap dan teratur sesuai dengan perkembangan data yang di peroleh. 15 1.12 Organisasi Karangan Di dalam sistematika penulisan ini, penulis membuat garis besar pembahasan yang dibagi kedalam bab dan sub-bab sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pembatasan masalah, pengertian istilah, metode penelitian, kerangka pemikiran, teknik pengumpulan data, dan organisasi karangan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, yang meliputi tijauan bahasa jurnalistik, artikel, semiotika dan media massa, stukturalisme dan semiotika, pengertian foto fesyen dan life style BAB III METODE DAN OBJEK PENELITIAN, rang meliputi pembahasan tentang karakteristik penelitian kualitatif, unit analisis, dan prosedur pengumpulan data profil, sejarah, rubrikasi dan tema champion issue di edisi no.15. BAB IV PEMBAHASAN, yang merupakan BAB pembahasan hasil penelitian. BAB V PENUTUP, yang meliputi kesimpulan dari penelitian yang dilakukan saran bagi kemajuan bersama. 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Tinjauan Komunikasi 2. 1. 1 Pengertian Komunikasi Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin Communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar kata dalam bahasa Latin Communico yang artinya membagi (Cherry dalam Stuart, 1983). Komunikasi didefinisikan secara luas sebagai “berbagi pengalaman”. Sampai batas tertentu, setiap makhluk dapat dikatakan melakukan komunikasi dalam pengertian berbagi pengalaman. Namun, dalam hal ini yang dimaksud adalah komunikasi manusia (human communication). Komunikasi menurut Shannon dan Weaver (1949) adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak disengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi. 2.1.2 Proses Komunikasi Menurut Shannon dan Weaver (1949) proses komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu : 1. Proses komunikasi secara primer (primary process) Adalah proses penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu lambang (symbol) sebagai media atau saluran. Lambang ini umumnya bahasa, tetapi dalam situasi-situasi komunikasi tertentu lambang-lambang yang 17 dipergunakan dapat berupa kial (gesture), yakni gerak anggota tubuh, gambar, warna, dan lain sebagainya. 2. Proses komunikasi secara sekunder Adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Komunikator menggunakan media kedua ini karena komunikan yang dijadikan sasaran komunikasinya jauh tempatnya atau banyak jumlahnya atau kedua-duanya, jauh dan banyak. Kalau komunikan jauh, dipergunakanlah surat atau telepon, jika banyak dipakailah perangkat pengeras suara, apabila jauh dan banyak dipergunakan surat kabar, radio, atau televisi. 3. Proses komunikasi secara linear Adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan sebagai titik terminal. Komunikasi linear ini berlangsung baik dalam situasi komunikasi tatap muka maupun dalam situasi komunikasi bermedia. 4. Proses komunikasi secara sirkular Adalah proses komunikasi yang mendapat feedback atau umpan balik, yaitu terjadinya arus dari komunikan ke komunikator. Dengan terjadinya umpan balik kepada komunikator dapat diketahui apakah komunikasi tersebut berhasil atau gagal. 2.1.3 Tujuan Komunikasi Seperti telah disebutkan di atas bahwa komunikasi itu bertujuan salah satunya untuk mengubah sikap orang lain. Adapun tujuan dari komunikasi yang sesungguhnya adalah : a. Mengubah sikap (to change the attitude) Komunikasi bertujuan untuk mengubah sikap dari para audiensnya, dimana tentu saja perubahan yang diharapkan oleh komunikator merupakan perubahan sikap yang positif dan sesuai dengan harapan dari komunikatornya. b. Mengubah opini/ pendapat/ pandangan (to change the opinion) Tujuan lain dari komunikasi yaitu mengubah opini/ pendapat/ pandangaan dari audiensnya, maka seorang komunikator harus pandai mempengaruhi audiens untuk mengikuti apa yang menjadi tujuan dari kegiatan komunikasi tersebut. c. Mengubah perilaku (to change the behavior) Komunikasi dilakukan salah satunya adalah untuk mengubah perilaku seseorang, perubahan perilaku tersebut tergantung dari pesan yang disampaikan oleh komunikator. Jika pesan yang disampaikan oleh komunikator merupakan pesan yang positif maka perubahan perilakunya pun akan positif dan sebaliknya. 18 d. Mengubah masyarakat (to change the society) Kekuatan komunikasi bahkan dapat mengubah masyarakat, jika tyjuan komunikasi yang telah dijelaskan di atas telah berhasil dilakukan, maka komunitas orang tersebut atau masyarakat tersebut akan berubah sesuai dengan harapan dari komunikator (Effendy, 1993 : 55). 2.1.4 Pengertian Komunikasi Nonverbal Seseorang yang diam tidaklah sembarang diam. Ia mungkin sedang menyusun rencana untuk bertindak. Diam sama kuatnya dengan pesan-pesan verbal yang diucapkan dalam kata-kata. Dengan berdiam diri maka anda telah berkomunikasi secara nonverbal. Komunikasi nonverbal disebut juga dengan komunikasi tanpa kata, karena tidak menggunakan kata-kata. Para ahli pun berpendapat bahwa ”diam pun merupakan satu bentuk komunikasi antar pribadi”. (Liliweri, 1994 : 88). Sedangkan dalam buku Human Communication, dikatakan definisi secara harfiah, komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata, merupakan penyederhanaan berlebihan (over simplification), karena kata yang berbentuk tulisan tetap dianggap ”verbal” meskipun tidak memiliki unsur suara. (Tubbs dan Moss dalam Mulyana, 1996 : 112) Dalam memahami pengertian akan komunikasi nonverbal lebih memudahkan kita, bila kita memahami karakteristik dari komunikasi nonverbal itu terlebih dahulu. Untuk selanjutnya akan dapat diketahui fungsi dari komunikasi nonverbal itu sendiri. Sementara itu gambaran komunikasi nonverbal yang lebih luas dijelaskan oleh R.L. Birdwhstell dalam bukunya Introduction to Kinesics. Beliau mencoba menganalisa mengenai ”Body Communication”, lalu memberikan kerangka pada Comprehensive coding schema bagi gerakan badan, yaitu : 19 Seperti linguist menampilkan ”phone” sebagai suara minimal, maka Birdwhstell menyelidiki ”kine morphine”. Yaitu serangkaian gerakan yang mengandung pengertian dalam konteks suatu pola yang berlebihan. Dari uraian tersebut maka disimpulkan, bahwa nonverbal communication adalah komunikasi dengan gejala-gejala yang menyangkut gerak-gerik, sikap ekspresi muka, pakaian yang bersifat simbolik, dan gejala yang sama”. (Birdwhstell dalam Meinanda, 1981 : 13) Sementara itu Liliweri mengemukakan bahwa ”komunikasi nonverbal acapkali dipergunakan untuk menggambarkan perasaan atau emosi. Jika pesan yang diterima melalui sistem verbal tidak menunjukan kekuatan pesan maka anda dapat menerima tanda-tanda nonverbal lainnya sebagai pendukung”. (Liliweri, 1994 : 89) Ditambahkan lagi oleh seorang ahli komunikasi, beliau mengatakan suatu teorinya bahwa komunikasi tidak dapat dielakkan dalam situasi sosial apapun karena semua perilaku, tidak hanya kata-kata menunjukan komunikasi, bahkan tanpa kata pun manusia sudah dapat dikatakan berkomunikasi, menurut Watzlawick dan Beavin (1967) bahwa “kehadiran manusia terhadap sesamanya ditandai dengan perilaku, dan perilaku itu bersifat komunikatif” (Watzlawick dan Beavin dalam Liliweri, 1994:87). Tetapi sebenarnya simbol-simbol nonverbal itu dalam kenyataannya lebih sulit ditafsirkan dibandingkan dengan simbol-simbol verbal. Dalam menafsirkan simbol-simbol nonverbal itu kita perlu mempelajari serta mengamati berdasarkan kebiasaan atau budaya yang berkembang saat itu. Komunikasi nonverbal juga mempunyai aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan seperti informasinya, pernyataan, keakraban, kontrol sosial, dan saran-saran yang bisa membantu tujuan komunikasi nonverbal. Dari pemahaman 20 tentang hakikat komunikasi nonverbal diatas, Alo Liliweri dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Verbal dan Nonverbal (1994 : 98), merumuskan karakteristik komunikasi nonverbal sebagai berikut : 1. Prinsip umum komunikasi antar pribadi adalah manusia tidak dapat menghindari komunikasi. 2. Pernyataan perasan dan emosi. 3. Informasi tentang isi dan relasi. 4. Reliabilitas dari pesan nonverbal. “We can’t not communicate” merupakan benar adanya karena dalam mencari pengetahuan tersebut dibutuhkan interaksi dengan sesama manusia yang disebut komunikasi. Demikian pula dengan komunikasi nonverbal, karena untuk berkomunikasi manusia tidak mungkin tidak menggunakan pesan nonverbal. Itulah prinsip pertama. Diam juga merupakan komunikasi, itu sebabnya Edward T. Hall menamai bahasa nonverbal ini sebagai “bahasa diam”(silent language) dan ”dimensi tersembunyi” (hidden dimension) suatu budaya. Disebut diam dan tersembunyi karena pesan-pesan nonverbal tertanam dalam konteks komunikasi. Melalui pesan nonverbal, orang-orang memberi banyak isyarat kepada kita atau informasi, mengenai emosi-emosi, perhatian, kepribadian, bahkan status sosial. Dalam Human Communication, komunikasi nonverbal diklasifikasikan dalam beberapa jenis, isyarat spasial, isyarat temporal, isyarat visual dan isyarat vokal. Sementara itu dalam buku Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Barker dan Collins (1983) mengelompokan komunikasi nonverbal dalam : 1. Suasana komunikasi a. Ruang / space. b. Suhu, cahaya, warna 2. Unsur- unsur pernyataan diri. a. Pakaian 21 b. Sentuhan/ perabaan c. Waktu 3. Gerakan tubuh a. Bentuk-bentuk gerakan tubuh b. Kontak mata c. Ekspresi tubuh d. Gerakan anggota tubuh e. Penggunaan gerakan tubuh 4. Unsur paralinguistik a. Karakteristik suara b. Gangguan suara. (Barker dan Collins dalam Liliweri, 1994 : 114) Dalam memahami pengertian akan pengelompokan komunikasi nonverbal lebih memudahkan kita memahami karakteristik dari komunikasi nonverbal itu lebih dahulu. Tema klasifikasi komunikasi nonverbal mendapat perbedaan dari setiap para ahli komunikasi namun perbedaan tersebut nampak terlihat hanya dalam pengelompokannnya saja, tidak dalam isinya. Klasifikasi-klasifikasi komunikasi diatas menunjukan semua kekuatankekuatan yang ada pada komunikasi nonverbal sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas komunikasi. 2.2 Semiotika Kita semua, saya, anda, teman-teman anda sering kali menggunakan makna tanpa memikirkan makna itu sendiri. Pakar komunikasi sering menyebutkan kata ‘makna’ ketika mereka merumuskan definisi komunikasi. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss (1994:6), misalnya, menyatakan, “komunikasi adalah proses pembentukan makna diantara dua orang atau lebih”. Juga Judy C. Person dan Paul E. Nelson (1979:3), ”komunikasi adalah proses memahami dalam berbagai makna”. (Sobur 2003:255). 22 Makna sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa. Terdapat banyak komponen dalam makna yang dibangkitkan suatu kata atau kalimat (Brown dalam Mulyana, 2001:256). Saussure menjelaskan ‘tanda’ sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya selembar kertas yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan ‘bentuk’ atau ‘ekspresi’; dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Dalam melihat relasi petanda ini, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial, yang mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.(Sobur:viii). Pierce melihat tanda (representasmen) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (intepretant). ’Tanda’, menurut pandangan Pierce adalah ”...something which stands to somebody for samething in some respect or capacity” . Tampak pada definisi Pierce ini peran ’subjek’ (somebody) sebagai bagian tidak terpisahkan dari pertandaan, yang menjadi landasan bagi semiotika komunikasi. Semiotika memfokuskan perhatiannya terutama pada teks. Model-model proses yang linier tidak banyak memberi perhatian terhadap teks karena perhatian juga tahapan lain dalam proses komunikasi. Semiotika lebih suka memilih istilah ”pembaca” (bahkan untuk foto sebuah lukisan) untuk ”penerima” karena hal secara tidak langsung menunjukan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya; oleh karena itu pembacaan ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya. Pembaca membantu menciptakan makna menunjukkan fungsi yang berbeda-beda. 23 2.3 Majalah Majalah adalah salah satu sumber informasi yang semakin populer dewasa ini. Ia mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam khidupan masyarakat, terutama pada masyarakat modern. Sebagai media massa cetak, majalah sering kali disamakan dengan surat kabar karena beberapa kesamaan kriteria yang dimiliki keduanya. Tetapi sesungguhnya majalah memiliki kriteria-kriteria serta pengertian lain yang membedakan dari surat kabar. Majalah merupakan penerbitan pers berkala yang menggunakan kertas sampul, yang memuat bermacam-macam tulisan yang dihiasi ilustrasi maupun foto-foto. (Junaedhi, 1995:155). Pada dasarnya, studi media massa mencakup pencarian pesan dan maknamakna dalam materinya, karena sesungguhnya semiotika komunikasi, seperti halnya basis komunikasi, proses komunikasi, dan intinya adalah makna (Sobur, 2003:110). Media khusus majalah dengan tema seksualitas atau sensualitas memang tumbuh dan berkembang luar biasa. Daya tarik media kategori ini di mata konsumen barangkali terletak pada tampilan gambarnya dan desain grafis yang menarik. Majalah adalah salah satu bagian dari pers yang membawa misi penerangan, pendidikan, dan hiburan. Penerbitan majalah dimulai pertama kali di London, Inggris; yang kemudian menyusul penerbitan-penerbitan lainnya pada tahun 1741 di Amerika Serikat, tetapi baru pada abad ke-19 majalah menunjukan perkembangan yang cukup pesat. 24 Abad ke-20 yang dikenal sebagai abad revolusi informasi telah membawa dunia pers khususnya permajalahan kearah perkembangan yang sangat pesat. Ini terlihat dari banyaknya majalah-majalah yang beredar tidak hanya di negaranegara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Nama-nama majalah seperti; Hai, Kartini, Kawanku dan lain-lain, telah memiliki kelompoknya masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat modern lebih bersifat selektif terhadap media yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan informasi. Karena itulah sebagian orang mengatakan, majalah merupakan perpaduan antara surat kabar dan buku. Majalah memiliki ruang dan waktu yang lebih leluasa untuk menyajikan suatu peristiwa dengan selengkap-lengkapnya, sehingga isi majalah biasanya lebih mendalam dan lengkap dibandingkan surat kabar harian. Onong Uchjana Effendy mengartikan majalah sebagai “media cetak yang diterbitkan secara berkala, berulang-ulang secara teratur seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali, atau satu tahun sekali”. Seperti media cetak lainnya, majalah juga memilliki sifat-sifat khusus yang tidak dimiliki oleh radio dan televisi. Onong Uchjana Effendy menjelaskan dalam buku Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek sebagai berikut : ƒ ƒ Terekam, berita yang disiarkan oleh majalah tersusun dalam alinea, kalimat dan kata-kata yang terdiri dari huruf-huruf yang tercetak pada kertas. Setiap peristiwa atau hal-hal lain yang diberitakan terekam sedemikian rupa sehingga dapat dibaca setiap saat dan dapat dikaji ulang, didokumentasikan atau menjadi barang bukti tertentu. Menggunakan perangkat mental secara aktif karena pembaca majalah tidak seperti pendengar radio atau televise yang hanya tinggal mendengar atau melihat apa yang disajikan oleh keduanya. Pembaca majalah hanya menggunakan huruf-huruf yang tercetak mati diatas kertas. (Effendy, 1993:203). 25 Pelayanan Pos Amerika, menjelaskan bahwa “sesuatu” dapat dikatakan majalah apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. Diterbitkan secara berjadwal, paling sedikit empat kali setahun Dimunculkan atau dikenalkan dan dialamatkan pada alamat penerbit yang sudah dikenal Disusun atau diformatkan dengan menggunakan printed sheet Diterbitkan untuk menyebarkan informasi tentang suatu karakter dari public atau dikhususkan pada literature, ilmu pengetahuan, seni, atau industri yang spesifik mempunyai daftar pelanggan yang sudah atau akan membayar dengan harga diatas nominal untuk beberapa terbitan selama periode waktu yang sudah ditentukan; atau daftar beberapa orang yang sudah menyetujui secara sepesifik untuk menerima beberapa terbitan yang dikirim kepada mereka tanpa ditarik biaya.(Biagi, 1990:65). Tulisan yang dimuat dalam majalah tidak terlalu mementingkan aktualitas berita karena majalah tidak terbit setiap hari, maka ia tidak melaporkan beritaberita hangat pada hari itu. Ia memuat berita-berita sesuai dengan terbitnya (mingguan, bulanan, dan sebagainya). Selain itu, majalah mempunyai keungulan-keunggulan lainnya yakni, majalah tampil lebih berisikan pengetahuan dari pada hal-hal yang menyangkut selera dan perasaan dari komunikasinya. Media ini bukan sarana yang dibaca selintas saja seperti media aktual, tidak juga membutuhkan perhatian pada waktu tertentu, media ini tidak dengan segera dapat di kesampingkan seperti surat kabar, majalah dapat disimpan oleh pembaca selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, kadang bertahun-tahun. 2.3.1 Sejumlah Kategori Majalah Salah satu bentuk media massa yang dikenal luas sejak masa lalu adalah majalah. Dikalangan kaum elite menurut Wilson (1989) kehadiran majalah sejak 26 tahun 1704 di Inggris mulai dengan terbitnya majalah-majalah seperti Review, Tatler, Spectator, semuanya terbit di London. Berikut ini adalah sejumlah kategori majalah, menurut Encyclopedia Britannica: britannica.com (2000) : (1) Majalah Umum (2) Majalah-majalah Berkualitas (3) Majalah Penerbangan (4) Majalah Berita (5) Divisi Majalah dan Koran (6) Majalah Kota (7) Majalah Religius (8) Majalah Pria (9) Majalah Wanita (10) Shelter Magazine (11) Majalah Pertanian (12) Majalah Olah Raga (13) Jurnal Perdagangan (14) Majalah Perusahaan (15) Majalah Fraternal – Organisasi Persaudaraan (16) majalah Opini (17) Publikasi Alternatif (18) Majalah khusus lainnya (Septiawan, 2005:93-97). 2.4 Foto Fesyen Foto-foto yang dirancang khusus dan di kenakan oleh model foto, bisa berupa foto di catwalk, studio atau lokasi khusus, dan berbeda dengan kategori model yang tidak menonjolkan unsur-unsur detil busana. Foto fesyen memiliki pengertian sendiri, bukan merupakan pengartian terpisah dari foto dan fesyen, foto fesyen secara pengertian dasar memiliki arti gambaran foto yang mengkhususkan diri pada bidang fotografi model baik benda mati maupun benda hidup. Untuk lebih jelasnya foto fesyen cenderung pada foto model yang berbusana. Foto dapat membuat rasa keterlibatan orang yang melihatnya, karena rasa keterlibatan orang yang melihatnya. Dan seterusnya melibatkan emosional. 27 Dalam perkembangan dunia foto fesyen saat ini terjadi sebuah pengulangan bentuk penggarapan yang tercipta akan masa-masa kejayaan dunia fesyen era 40 sampai dengan 70-an, dimana masa 80-an merupakan masa kegelapan dunia mode. Era 80-an ini sudah dilupakan, karena pada masa ini adalah tahun dimana semua orang berlomba menjadi orang aneh, fesyennya sangat beragam, namun memiliki khasnya, era ’cupu’ (red. culun atau kurang pergaulan) sebutan anak sekarang. Penterjemahan sebuah konsep foto atas sebuah mode, tidak lagi terbatas akan era yang diwakilinya . 2.5 Gaya Hidup (Lifestyle) Gaya visual dapat menyatu dengan gaya hidup, karena dalam hidupnya manusia tidak lepas dari bahasa rupa dua dimensi dan tiga dimensi. Gaya merupakan suatu sistem bentuk dengan kualitas dan ekspresi bermakna yang menampakan kepribadian seniman atau pandangan umum suatu kelompok yang mencampurkan nilai-nilai agama, sosial dan kehidupan moral melalui bentukbentuk yang mencerminkan perasaan. Semua manusia adalah subjek gaya sehingga kecendruangan satu masyarakat dapat dianalisis melalui spektrum gaya. Kata “gaya” dalam bahasa Indonesia merupakan padanan dari kata “Style” dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Yunani “Stilus” yang artinya adalah alat tulis atau tulis tangan. Mayer Schapiro mendefinisikan gaya sebagai “bentuk yang konstan dan kadang kala unsur-unsur, kualitas-kualitas dan ekspresi konstan dari perorangan maupun kelompok” (Dalam Subandy 1997:165). Definisi ini juga mencakup gaya hidup dan gaya peradaban. Tetapi definisi yang cukup jelas adalah sebagaimana dikemukakan oleh Alvin Toffler, yaitu : 28 “Alat yang dipakai oleh individu untuk menunjukan identifikasi mereka dengan subkultur-subkultur tertentu. Setiap gaya hidup disusun melalui mosaik beberapa item, yaitu super product yang menyediakan cara mengorganisir produk dan idea” Gaya dapat dipelajari karena ia bersifat artifisial dan sadar diri. Gaya pun mengenal masa hidup (lahir, muda, dewasa, mati) dan gaya yang telah usang biasanya disebut dekaden. Sedangkan, ketika ciri-ciri gaya yang sengaja dilebihlebihkan, hal itu mulai memasuki pembicaraan tentang penggayaan atau styling. Pengertian penggayaan disini adalah memberikan bentuk tertentu sesuai dengan gaya yang pernah ada di masa sebelumnya. Pandangan ini lahir karena menurut Harley Earl, masyarakat sangat rapuh terhadap perubahan gaya yang dilakukan secara evolusi. Kebudayaan yang dimaksud sebagai kebudayaan massa (uler) (mass/pop[ular] culture) dengan ditopang industri kebudayaan (cultural industry) telah mengkonstruksikan masyarakat yang tidak sekedar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan semua artefak budaya sebagai produk industri, dan sudah tentu menjadi komoditas. Suatu kutukan modernitas pun perlahan muncul dan pada gilirannya melahirkan sebuah wajah masyarakat baru: ”masyarakat komunitas” (commodity society) yang membiakan kebudayaan pop dan memaksakan penyembahan, pemujaan, pengkulturan, ecstasy gaya hidup yang tak tepermanai dalam apa yang disebut humanis seperti Peter L. Berger sebagai “semesta simbolisme modernitas” dengan bawah sadar pertumbuhan sebagai ideologi yang memayunginya. Pada saat ini sistem globalisasi telah menghilangkan batas-batas budaya lokal, nasional, maupun regional, sehingga arus gelombang gaya hidup global 29 dengan mudahnya berpindah-pindah tempat dengan perantara media massa. Akan tetapi, gaya hidup yang berkembang saat ini lebih beragam, mengambang dan tidak hanya dimiliki oleh satu masyarakat khusus, bahkan para konsumerpun dapat memilih dan membeli gaya hidupnya sendiri. Bahkan menurut Alvin Toffler saat ini terjadi kekacauan nilai yang diakibatkan oleh runtuhnya sistem nilai tradisional yang mapan sehingga yang ada hanyalah nilai-nilai terbatas seperti kotak-kotak nilai. Gaya hidup memang menawarkan rasa identitas dan sekaligus alat untuk menghindari kebingungan karena begitu banyak pilihan. Pola-pola kehidupan sosial yang khusus seringkali disederhanakan dengan istilah budaya. Memang budaya dapat didefinisikan sebagai: “keseluruhan gaya hidup suatu masyarakat – kebiasaan/adat-istiadat, sikap dan nilai-nilai mereka, serta pemahaman yang sama yang menyatukan mereka sebagai suatu masyarakat” (Kepart 1982:93). Gaya hidup adalah seperangkat praktik dan sikap yang masuk akal dalam konteks tertentu. Dalam hal ini, tampak juga telah terjadi perubahan selama tahun-tahun terakhir era modern pada landasan sosial utama dari identitas. Saat ini muncul perasaan yang menyebar luas mengingat kerja ataupun jabatan secara tradisional menentukan kelas sosial dan begitu pula cara hidup seseorang, pada paruh kedua abad ini aktivitas-aktivitas waktu luang dan/atau kebiasaan konsumen semakin banyak dialami oleh individu-individu sebagai basis identitas sosial mereka. 30 BAB III METODE DAN OBJEK PENELITIAN 3.1 Karakteristik Penelitian Kualitatif Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yang membedakannya dengan penelitian jenis lain. Qualitative research adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya (Strauss dan Corbin, dalam Sukidin, 2002:1). Dari penelaahan kepustakaan ditemukan bahwa Bogdan dan Biklen (1982) mengajukan lima buah ciri, sedang Lincoln dan Guba (1985) mengulas sepuluh ciri penelitian kualitatif. Adapun ciri berdasarkan hasil pengkajian dan sintesis kedua versi itu adalah: 1. Latar Alamiah Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Hal ini dilakukan, menurut Lincoln dan Guba, karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataankenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. 2. Manusia sebagai Alat (instrumen) Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hanya “manusia sebagai alat” sajalah yang dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya dan 31 hanya manusia-lah yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. 3. Metode Kualitatif Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. 4. Analisis Data Secara Induktif Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif. Analisis induktif ini digunakan karena beberapa alasan. Pertama, proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda yang terdapat dalam data. Kedua, analisis induktif lebih dapat membuat hubungan penelitiresponden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akontabel. Ketiga, analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan suatu latar lainnya. Keempat, analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan. Kelima, analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik. 5. Teori dari Dasar (grounded theory) 32 Dengan menggunakan analisis secara induktif, berarti bahwa pencarian data bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian diadakan. Analisis ini lebih merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan bagian-bagian yang telah dikumpulkan, kemudian dikelompok-kelompokkan. Jadi, penyusunan teori di sini berasal dari bawah ke atas, yaitu dari sejumlah bagian yang banyak data yang dikumpulkan dan yang saling berhubungan. 6. Lebih Mementingkan Proses daripada Hasil Penelitian kualitatif lebih mementingkan segi proses daripada hasil. Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses. 7. Adanya “Batas” yang Ditentukan oleh “Fokus” Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh: pertama, batas menentukan kenyataan ganda yang kemudian mempertajam fokus. Kedua, penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus. 8. Adanya Kriteria Khusus untuk Keabsahan Data Penelitian kualitatif meredefinisikan validitas, reliabilitas dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian klasik. Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 1996:7) hal itu disebabkan oleh validitas internal cara lama telah gagal karena hal itu menggunakan isomorfisme antara hasil penelitian dan kenyataan tunggal 33 di mana penelitian dapat dikonvergensikan. Kedua, validitas eksternal gagal karena tidak taat asas dengan aksioma dasar dari generalisasinya. Ketiga, kriteria reliabilitas gagal karena mensyaratkan stabilitas dan keterlaksanaan secara mutlak dan keduanya tidak mungkin digunakan dalam paradigma yang didasarkan atas desain yang dapat berubah-ubah. Keempat, kriteria objektivitas gagal karena penelitian kuantitatif justru memberi kesempatan interaksi antara peneliti-responden dan peranan nilai. 9. Desain yang Bersifat Sementara Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. 10. Hasil Penelitian Dirundingkan dan Disepakati Bersama Penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. Hal ini disebabkan oleh: pertama, susunan kenyataan dari merekalah yang akan diangkat oleh peneliti. Kedua, hasil penelitian bergantung pada hakikat dan kualitas hubungan antara pencari dengan yang dicari. Ketiga, konfirmasi hipotesis kerja akan menjadi lebih baik verifikasinya apabila diketahui dan dikonfirmasikan oleh orang-orang yang ada kaitannya dengan yang diteliti (Moleong, 1996:4-8). 34 3.2 Semiotika Signifikasi Roland Barthes Semiotika signifikasi adalah semiotika (ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda) yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Relasi tanda tersebut menurut Barthes dibagi menjadi dua tingkatan, masing-masing detonasi dan konotasi (dalam pengertian Barthes disebut dengan mitos). (Sobur,2003:viii). Gambar 2. Signifikasi dua tahap Barthes tatanan pertama realitas tatanan kedua tanda kultur Konotasi Bentuk Penanda denotasi Petanda Isi mitos Sumber: John Fiske (1990:88 dalam Sobur, 2001:127). 3.2.1 Denotasi Tatanan pertandaan pertama menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda dan antara tanda dengan dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Sebuah foto tentang sorang model mendenotasikan model tertentu; kata “model” mendenotasikan seseorang yang bergaya dengan mengenakan busana yang dirancangkan secara khusus. Pada salah satu foto menggunakan fokus yang tajam, menampilkan warna-warna lembut dengan pencahayaan yang lebih kuat. Sementara foto yang 35 lain lebih menonjolkan karakter warna lebih kuat pada objek tertentu dengan fokus yang lebih lembut dan efek cahaya yang lebih gelap menimbulkan kesan dingin dan dramatis. Kedua foto tersebut dapat diambil pada waktu yang hampir bersamaan dengan kamera yang lensanya hanya berbeda beberapa sentimeter. Makna denotatifnya akan sama. Perbedaannya akan ada dalam konotasinya. 3.2.2 Konotasi Dalam istilah yang dipakai Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai kulturalnya. Bagi Barthes faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika denotasi merupakan mekanis diatas film tentang objek yang ditangkap kamera, konotasi sendiri adalah bagian manusiawi dari proses ini dan mencakup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai (frame), fokus, rana, sudut pandang kamera, mutu film, dan seterusnya. Jadi kesimpulannya, denotasi adalah apa yang difoto, sedangkan konotasi adalah bagaimana memfotonya. 3.2.3 Mitos Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif 36 misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan (Fiske, 1990:88 dalam Sobur, 2001:128). Satu hal penting yang dikaji Barthes dalam studinya mengenai tanda adalah adanya peran pembaca (reader). Konotasi akan berfungsi hanya jika pembaca aktif menafsirkannya, walaupun konotasi tersebut adalah sifat asli dari tanda. Barthes secara panjang lebar menguraikan konotatif sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dalam bukunya Mythologies dengan tegas ia bedakan dengan sistem pemaknaan tataran pertama yang ia sebut denotatif. Dapat dikatakan bahwa mitos juga merupakan suatu sistem tanda tataran ke-dua. Seperti yang diungkapkan Sobur (2003:71), dalam mitos terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu system yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. Di dalam mitos pula sebuah pertanda dapat memiliki beberapa penanda. 3.3 Sumber dan Jenis Data Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 1996:112) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu, maka jenis data diantaranya: 1. Kata-kata dan tindakan Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan berperanserta merupakan hasil usaha 37 gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Dalam penelitian ini, jenis data dari kata-kata dan tindakan didapatkan dalam proses wawancara dengan orang yang terlibat dalam pembuatan foto tersebut. Hasil wawancara ini nantinya akan menjadi data tambahan dalam BAB Pembahasan. 2. Sumber Tertulis Data tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dalam penelitian ini, sumber data tertulis didapatkan dari majalah Jeune edisi Champion Issues no. 15 tahun 2006, buku-buku ilmiah, jurnal ilmiah, makalah dan data hasil pencarian di internet. 3. Foto Saat ini foto sudah lebih banyak dipakai sebagai alat untuk keperluan penelitian kualitatif. Foto menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga dan sering digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering dianalisis secara induktif. Dalam penelitian ini foto yang diteliti adalah sebuah foto fesyen pada rubrik fesyen. 4. Data Statistik Penelitian kualitatif sering juga menggunakan data statistik yang telah tersedia sebagai sumber data tambahan bagi keperluannya. Statistik misalnya dapat membantu memberi gambaran tentang kecendrungan subjek pada latar penelitian. Data statistik tidak digunakan dalam penelitian ini (Moleong, 1996:112-116). 38 3.4 Cara Pengumpulan Data Dari pembahasan sumber dan jenis data di atas, dalam penelitian ini hanya dipakai dua jenis data, yakni kata-kata dan tindakan juga sumber tertulis. Adapun cara pengumpulan kedua jenis data itu adalah: 1. Kata-kata dan tindakan Dalam hal ini cara pengumpulan datanya adalah dengan wawancara. Bentuk wawancaranya sendiri adalah wawancara tak terstruktur. Wawancara tak terstruktur sering juga disebut wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif, wawancara terbuka (opended interview), wawancara etnografis. Metode ini bertujuan memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua responden, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap responden. Wawancara tak terstruktur bersifat luwes, susunan pertanyaannya dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara (Mulyana, 2003:180-181). Dalam hal ini wawancara dilakukan dengan fotografer, pengarah gaya, make-up, model, dan juga redaksi dari Jeune. 2. Sumber Tertulis Cara pengumpulan data sumber tertulis dilakukan dengan banyak hal. Data utama berupa foto yang nantinya akan dibahas, didapat dari redaksi majalah Jeune beserta orang-orang yang terlibat dalam pembuatan foto tersebut. Selain itu juga, untuk menunjang data yang ada, ditambah data dari internet serta dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian. 39 Untuk sumber tertulis dari buku digunakan sebagai kajian pustaka juga sebagai referensi dalam membedah penelitian. Sumber berupa buku didapatkan dari perpustakaan. Semua data tertulis yang ada digunakan dalam analisis data. Analisis data, menurut Patton (dalam Moleong, 1996:103) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Pekerjaan analisis data adalah mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode dan mengkategorikannya. 3.5 Objek Penelitian 3.5.1 Profil Jeune 3.5.2 Nama Majalah : Jeune Segmentasi : Anak muda 17- 25 tahun Genre : Majalah fesyen Pemimpin Umum : Faizal Khairul, S.Sos Pemimpin Redaksi : Chandra H Johan, S.Sos (che) Alamat Redaksi : Jl. Purnawarman No. 51 Bandung Sejarah Majalah Jeune Majalah Jeune (baca:Jeun) merupakan produk informasi yang menyajikan berita dan isi seputar fesyen, bukan sekedar menyajikan foto-foto produk fesyen semata. Dilengkapi juga dengan free catalogue yang terbit setiap bulannya. 40 Majalah Jeune terbentuk pada tahun 2004 tepatnya di bulan April. Alasan mengapa menggunakan kata Jeune untuk nama majalah ini, yaitu Jeune sendiri diambil dari bahasa Perancis yang berarti muda, karena majalah ini di tujukan untuk anak-anak muda. Lokasi redaksi majalah Jeune bertempat di jalan Purnawarman no. 51 Bandung. Tempat tersebut memang bukan tempat yang mudah dikenal, tapi kebanyakan anak muda mengenalnya karena tempatnya yang satu lokasi dengan salah satu distro di Bandung yang cukup dikenal. Tujuan dan konsep dari majalah ini adalah untuk mendokumentasikan fesyen file dan industri fesyen di scene kita. Selain itu juga untuk melaporkan bagaimana para produsen produk fesyen seperti clothing, distro, dan butik melakukan aktivitas produknya. Tujuan terakhir majalah ini adalah untuk menangkap fenomena dan attitude fesyen seseorang lalu membahas dan menggambarkannya dalam rubrik foto fesyen. Format awal dari majalah ini adalah free catalogue, yang berfungsi untuk menampung informasi–informasi mengenai produk dari sebuah perusahaan seperti fesyen dan musik. Tapi dengan pertimbangan untuk mencapai sasaran konsumen yang jelas dan tepat sasaran, maka diputuskan untuk dibuat dalam bentuk majalah dan sekarang ini bahkan dengan tambahan free catalogue. Dengan hadirnya majalah Jeune, diharapkan pada akhirnya nanti masyarakat tidak hanya bisa mengetahui hal-hal yang umum saja seperti yang sudah sering mereka lihat. Namun, ada hal–hal unik yang dipromosikan melalui majalah Jeune ini. Dengan oplah majalah sekitar 5000 ekslempar per bulannya, cakupan wilayah pemasaran Jeune sudah meliputi Bandung, Jakarta, Cirebon, Cilegon, 41 Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Makassar, Medan, Banjarmasin, Bandar Lampung, dan Manado dengan harga jual 20.000 rupiah per eksemplar. 3.5.3 Rubrikasi Jeune Pada dasarnya majalah Jeune memiliki rubrik besar. Enam rubrik ini selalu ada di setiap edisinya. Ke-enam rubrik itu adalah: 1. Editorial Editorial ini berisi tentang pertanyaan, tanggapan, dan jawaban dari pembaca dan editor Jeune. 2. Jeunius kisser Rubrik ini berisi foto-foto anak muda dengan ekspresinya masing-masing. 3. Street Opinion Rubrik ini berisi tentang segala tanggapan anak muda tentang tema majalah. 4. Foto Fashoin Rubrik yang memuat tentang foto-foto fesyen. 5. Profil Band Di rubrik ini pembaca disuguhi berbagai info tentang band-band baru atau lama. Berisi tanya jawab hasil dari wawancara dengan band tersebut. 6. Fesyen Weekly Rubrik ini banyak berisi tentang berbagai jenis gaya pakaian yang dipakai dalam seminggu. Dapat dijadikan sebagai solusi dalam memilih pakaian. 7. Music Review Rubrik tentang ulasan musik-musik baru dan lama yang akan menjadi hits. 8. Street Wear Style Berisi foto-foto anak muda yang memiliki gaya sendiri dan unik dalam berpakaian. 42 Bab IV PEMBAHASAN 4.1 Pengantar Pembahasan Masalah Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang selalu terlibat dengan pemaknaan tanda serta membuat simbol-simbol dalam dirinya sebagai identitas diri atau sebagai penunjuk bahwa dirinya ingin diakui oleh sesama. Gaya hidup seakan menjadi sebuah patokan bagi manusia untuk membuat dirinya merasa diakui. Hal yang paling mudah untuk dilihat dari keberadaan kode dan simbol dalam diri manusia terkait dengan gaya hidup adalah, dari bentuk mereka mengenakan pakaian dan penerimaan transmisi dari seluruh bentuk media massa yang turut mempengaruhi pola pikir manusia dalam menciptakan dirinya untuk menjadi lebih baik. Gaya pada dasarnya dapat dipelajari karena ia bersifat artifasial dan sadar diri. Untuk melihat ciri yang dilebih-lebihkan, hal itu mulai memasuki pembicaraan tentang penggayaan atau styling. Pengertian penggayaan disini adalah memberikan bentuk tertentu dengan gaya yang pernah ada pada masa sebelumnya. Seseorang melakukan penggayaan pada dirinya tentu telah dipengaruhi oleh berbagai elemen dalam kehidupannya, baik itu melalui penglihatan ataupun pengetahuan yang dialami. Elemen-elemen tersebut salah satunya berada pada peran media sebagai trasmisi media penyebar informasi, terutama pada media massa cetak seperti majalah dengan bentuk isi dari pemberitaannya membahas mengenai gaya hidup, khususnya fesyen. 43 Juene, yang terbentuk pada bulan april tahun 2004 ini merupakan bentuk majalah gaya hidup yang dipilih oleh penulis untuk melakukan penelitian mengenai fesyen, mengingat tujuan dan konsep dari majalah ini adalah untuk mendokumentasikan fesyen file dan industri fesyen di scene kita. Selain itu juga untuk melaporkan bagaimana para produsen produk fesyen seperti clothing, distro, dan butik melakukan aktivitas produknya. Tujuan terakhir majalah ini adalah untuk menangkap fenomena dan attitude fesyen seseorang lalu membahas dan menggambarkannya dalam rubrik foto fesyen. Maka sebagian besar isi dari majalah Jeune tersebut berisikan mengenai fesyen dan penuh dengan foto-foto sebagai contoh dari apa yang dikenakan model dalam memperagakan model-modal pakaian yang sedang ‘in’ atau akan menjadi tren di masa depan. Dengan oplah majalah mencapai 5000 eksemplar per bulannya serta cakupan wilayah pemasaran yang meliputi pulau jawa, sumatra, dan kalimantan, hal tersebut dirasa cukup untuk membuktikan bahwa majalah Jeune banyak diminati masyarakat terutama anak muda pada umumnya. Penulis mencoba mencari makna tanda dari foto-foto fesyen yang berada dalam majalah Jeune menggunakan kerangka kerja penelitian semiotika. Roland Barthes dengan konotasi dan denotasinya dalam memecahkan makna tanda pada suatu subjek digunakan peneliti sebagai pemecah permasalahan yang ingin diketahui. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika signifikasi Roland Barthes. Semiotika signifikasi adalah semiotika (ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda) yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Relasi tanda 44 tersebut menurut Barthes dibagi menjadi dua tingkatan, masing-masing detonasi dan konotasi (dalam pengertian Barthes disebut dengan mitos). (Sobur,2003:viii). Kemudian lebih lanjut dikatakan pula bahwa Barthes memampatkan ideologi dengan mitos karena baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman dalam Sobur, 2003: 71). Pengertian mitos sendiri adalah mengenai bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai dominasi. Mitos primitif misalnya mengenai hidup dan mati. Mitos masa kini misalnya tentang femininitas, maskulinitas, atau kesukesan (Fiske, dalam Sobur, 2004:128). Selain itu juga, fokus perhatian Barthes mengenai gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 3.1 Signifikasi dua tahap Barthes tatanan pertama realitas tatanan kedua tanda kultur Bentuk Konotasi Penanda denotasi Petanda Isi mitos Sumber: John Fiske (1990:88 dalam Sobur, 2001:127). 45 Tatanan pertandaan pertama menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda dan antara tanda dengan dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Sebuah foto tentang sorang model mendenotasikan model tertentu; kata “model” mendenotasikan seseorang yang bergaya dengan mengenakan busana yang dirancangkan secara khusus. Pada salah satu foto menggunakan fokus yang tajam, menampilkan warna-warna lembut dengan pencahayaan yang lebih kuat. Sementara foto yang lain lebih menonjolkan karakter warna lebih kuat pada objek tertentu dengan fokus yang lebih lembut dan efek cahaya yang lebih gelap menimbulkan kesan dingin dan dramatis. Kedua foto tersebut dapat diambil pada waktu yang hampir bersamaan dengan kamera yang lensanya hanya berbeda beberapa sentimeter. Makna denotatifnya akan sama. Perbedaannya akan ada dalam konotasinya. Dalam istilah yang dipakai Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan petanda kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai kulturalnya. Bagi Barthes faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. 4.2 Analisis Makna Denotatif dan Konotatif 4.2.1 Analisis Aspek Foto (Non-verbal) Analisis foto fesyen pada majalah JEUNE halaman 32 sampai dengan halaman 33 masing-masing halaman memuat satu buah foto. Foto pada halaman 32 model yang berpose dalam gerbong kereta api yang menggunakan setting 46 kereta kotor dan kesan fesyen yang digunakan sekitaran pada tahun 1980an atau yang sekarang ini lebih dikenal dengan gaya retro. Foto pada halaman 33 masih dengan tema yang sama, hanya posisi dan setting tempat yang berbeda. Untuk model yang kedua ini melakukan pemotretan di luar gerbong kereta api, tepatnya berada pada sambungan gerbong kereta api. Sedangkan model yang menjadi peraga pada halaman 32-33 masih sama. 4.2.1.1 Objek Pertama dan Kedua Seorang wanita dengan menggunakan pakaian bergaya retro, warna hampir keseluruhan hijau seperti blues dan kemeja, celana pendek berwarna coklat. Gaya rambut diikat pendek dan memegang dompet besar (clutch) berwarna kuning emas dan mengenakan sepatu datar (flat shoes) berwarna hijau. Serta aksesoris kalung yang bertumpuk. Lokasi pengambilan gambar pada bagian dalam gerbong. Foto ke dua memiliki tema serba merah, dengan lokasi pengambilan gambar pada bagian belakang gerbong kereta api. Untuk lebih lanjutnya penulis akan membagi bagian denotasi dan konotasi dari foto-foto tersebut ke dalam tabel berikut ini: Gambar / foto 1 Model : Jasmin Photografer : Irvan Fajar (Ntat) Wardrobe : Illustre Stylist : Aji & Nanum Halaman : 32 Lokasi : Bandung Train Station 47 Tanda Denotatif Konotatif Foto model wanita Seorang wanita cantik dengan tampilan cukup sopan tetapi tetap santai. Seorang wanita dengan menggunakan kemeja hijau bergaris hitam, menggunakan jaket blues hijau tua, berhiaskan kalung manik-manik yang bertumpuk, menggunakan celana pendek berwarna coklat, mengenakan sepatu datar (flatshoes), dan memegang dompet besar berwarna dompet besar (clutch) berwarna kuning emas. Ekspresi wajah Seseorang yang Tampilan wajah agak sedang terdiam seakan menyamping ke memikirkan sesuatu. kanan, dengan sudut pandang tajam kedepan dan terbuka lebar. Make up model Sedikit berwarna coklat gelap dan shading pipi yang menonjol. Pose model Gaya atau model Warna dasar foto Dibuat sedikit gelap Kesan tempat yang dengan retouch editing ditampilkan tua dan foto dan efek glowing memiliki nilai klasik 48 Memiliki kesan santai namun sedikit keras pada sifat orang tersebut tampilan Berdiri tegak, agak menyamping ke samping kanan, kaki kanan agak sedikit di tekuk dan tumpuan tubuh jatuh pada kaki kiri model, telapak tangan kanan terbuka, sedangkan untuk telapak tangan kiri memegang dompet (clutch) Lokasi pemotretan Dalam gerbong kereta Gerbong kereta api api memiliki nilai dan arti tersendiri yang membuat sebuah tampilan foto menjadi lebih hidup Gambar 4.1 Model 1 Konotasi : istilah yang digunakan untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Denotasi : makna paling nyata dari tanda, dengan kata lain denotasi merupakan keterangan dari isi seluruh gambar tersebut. Dari satu gambar ini akan dipecah dan disesuaikan dengan analisis dalam tabel yang diberi keterangan dengan menggunakan panah berwarna. Eco mendefinisikan denotasi sebagai suatu hubungan tanda-isi sederhana. Konotasi adalah suatu tanda yang berhubungan dengan suatu isi via satu atau lebih fungsi tanda lain. Contohnya, fungsi tanda dog/ - <dog> ialah suatu denotasi akan menjadi /dog/-<stingky (berbau busuk)> yang berasal dari hubungan yang rumit. (Sobur, 2004-128). Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi menggambarkannya (Fiske dalam Sobur, 2004:128). 49 adalah bagaimana Konotasinya sendiri menggambarkan seorang wanita yang sedang sedih tidak bersemangat serta rasa kesal dalam hati yang terlihat dari raut wajahnya yang kusut dan tanpa senyum. Warna-warna yang terdapat pada foto ini cenderung gelap atau kelabu, hal-hal tersebut disesuaikan dengan tema dan arahan gaya. Gambar 4.2 model 1 Denotasi : Tampilan wajah agak menyamping ke kanan, dengan sudut pandang tajam kedepan dan terbuka lebar. Konotasi : Seseorang yang sedang terdiam seakan memikirkan sesuatu. Denotasi : Berwarna coklat gelap dan shading pipi yang tegas. Konotasi : Memiliki kesan santai namun keras pada sifat orang tersebut. Denotasi : Gaya atau tampilan model. Konotasi : Berdiri tegak, sedikit menyamping ke samping kanan, kaki kanan sedikit di tekuk dan tumpuan tubuh jatuh pada kaki kiri model, telapak tangan kanan terbuka, sedangkan untuk telapak tangan kiri memegang dompet (clutch). Gambar 4.3 model 1 Denotasi : Dibuat sedikit gelap dengan retouch editing foto dan efek glowing. Konotasi : Kesan tempat yang ditampilkan tua dan memiliki nilai klasik, agar tampak lebih hidup. Denotasi : Dalam gerbong kereta api. Konotasi : Gerbong kereta api memiliki nilai tersendiri yang membuat sebuah tampilan foto menjadi lebih hidup. 50 Gambar / foto 2 Model : Jasmin Photografer : Irvan Fajar (Ntat) Wardrobe : Illustre Stylist : Aji & Nanum Halaman : 33 Lokasi : Bandung Train Station Tanda Denotatif Konotatif Foto model wanita Seorang wanita dengan Seorang wanita dengan penampilan bergaya menggunakan pakaian tahun 70-80an terusan berwarna merah dengan bagian dada berwarna putih serta memiliki rample pada bagian dada tersebut, menggunakan topi pet berwarna merah, aksesoris kalung panjang yang ditumpuk, serta menyelendangkan sebuah jaket berwarna coklat tua, dan mengenakan sepatu teplek berwarna merah marun (flatshoes). Dengan background foto sambungan gerbong kereta api. Ekspresi wajah Terdiam, memikirkan Ekpresi wajah pada dan menantikan suatu model memiliki raut hal wajah diam, termenung, memandang ke bawah, dan mata yang sayu Make up model Menggambarkan Model tampak minimalis kegundahan dalam suatu dalam menggunakan penantian make up dan tampak wajah model lebih lusuh Pose model Gaya atau model 51 tampilan Model bergaya menyamping ke kanan dengan tumpuan berat tubuh pada kaki kanan, sedangkan kaki kiri sedikit menekuk dan pergelangan kaki melipat kebagian dalam (posisi terkilir), tangan kiri bertumpu pada bagian dari penyambung gerbong kereta api Warna dasar foto Memberikan kesan Warna pada dasar foto klasikan yang kental cendrung gelap atau pada era tahun 70-80an under exposure Lokasi pemotretan Salah satu gerbong Ingin menciptakan suatu kereta api bagian hal dari kehidupan untuk belakang (penyambung menanti. antar gerbong kereta api) Surat kabar dan majalah memuat lebih dari kata-kata pada kolom. Popularitasnya tidak bisa terbayangkan tanpa mempertimbangkan foto-foto, ilustrasi-ilustrasi, dan iklan-iklan yang muncul hampir di setiap halaman. Tidak diragukan lagi, karya yang paling berpengaruh perihal budaya pop visual dalam studi budaya adalah karya fundamental teoritikus budaya Roland Barthes. Gambar 4.4 model 2 Denotasi: Seorang wanita dengan menggunakan pakaian terusan berwarna merah. Yang memiliki banyak pengertian dasar bahwa merah melambang keberanian dari seseorang. Konotasi dasar yang dapat diambil dari gambar. Jelasnya, warna hadir sebagai sekumpulan pragmatis. Satu kombinasi warna, dipilih dari paradigma warna, dapat juga dianggap sintagmatis, seperti pada pakaian yang sedang digunakan ini. 52 Fotografer Irvan Fajar masih menggunakan teknik yang sama dalam pengolahan foto digital-nya, bukan hanya itu saja Irvan menggunakan lokasi yang sama untuk area pemotretan dengan menggunakan kereta api sebagai latar belakang (background) dari foto, “untuk penempatan pada lokasi kereta api dalam model ini secara tidak sengaja saya gunakan tempat tersebut, dengan anggapan awal pribadi saya akan membuat foto tersebut menjadi lebih hidup, terutama jika saya menggunakan tone plug-in pada photoshop, menurut saya pribadi ini akan menambah kental gaya yang ingin ditampilkan.” Tutur Irvan. Gambar 4.5 model 2 Denotasi: wajah model sedikit menunduk dan menyampingkan wajah ke arah kiri. Arah sudut pandang menuju ke bawah, dengan raut muka yang agak sedikit murung. Konotasi: makna konotasi yang ingin dimunculkan dari bentuk wajah tersebut merupakan penantian atau memiliki kemungkinan untuk berpikir mengenai sesuatu. Denotasi: wajah merupakan bentuk yang sedikit banyak menentukan tentang seseorang, terutama sisi make-up. Make-up yang ditampilkan pada gambar 4.5 model 2 masih sama seperti pada gambar 4.2 model 1. Sedikit berwarna coklat gelap. Konotasi : Memiliki kesan santai namun sedikit keras pada sifat orang tersebut. Denotasi : Gaya atau tampilan model. Konotasi : Berdiri tegak, agak menyamping ke samping kiri, kaki kanan sedikit tegap namun menjotok ke dalam dan tumpuan tubuh jatuh pada kaki kanan model, posisi kaki kiri menekuk dan pergelangan kaki kiri dilipat kearah dalam, tangan kanan lurus tertutup jaket coklat, sedangkan untuk telapak tangan kiri menjadi tumpuan yang berpegang pada penyambung dari kereta api. 53 Gambar 4.6 model 2 Denotasi : Dibuat sedikit gelap dengan retouch editing foto. Konotasi : Kesan tempat yang ditampilkan tua dan memiliki nilai klasik, agar tampak lebih hidup. Denotasi : Salah satu gerbong kereta api. Konotasi : Gerbong kereta api memiliki nilai tersendiri yang membuat sebuah tampilan foto menjadi lebih hidup. Karena konotasi bekerja pada level yang subjektif, kita seringkali tak secara sadar menyadarinya. Hard-focus, hitam-putih, pandangan tak manusiawi atas jalan semuanya terlalui sering dibaca sebagai makna denotatif. Lebih mudah untuk membaca nilai konotatif sebagai fakta denotatif. Salah satu tujuan utama analisis semiotika adalah memberi kita metode analitis dan kerangka pikir untuk menjaga kita dari kesalahan membaca seperti itu. Konotasi yang dapat disimpulkan dari foto ke dua ini adalah seorang wanita yang bersedih dan ingin barlari sejauh mungkin meninggalkan masa lalunya, akan tetapi memiliki semangat yang terpendam untuk memulai lembar baru dalam hidupnya, hal ini digambarkan dengan warna baju yang dipakai. Dengan posisi berdiri dan kaki yang menekuk sebelah, dapat diartikan sebagai ketidak siapan dalam menghadapi masa depannya. Konotasi dari foto ini kesan yang ingin dibuat oleh fotografer ini adalah menampilkan sosok seorang wanita dengan tema “Run away train. Run away and 54 never looking back..”. Dengan adanya teks tersebut dapat diambil sebuah pengertian yang dapat dianalogikan dengan seseorang yang pergi dan jangan untuk melihat kembali kebelakang, namun memiliki kemungkinan atau semangat untuk membuka sebuah lembaran baru dalam kehidupan dan jangan pernah melihat atau mengingat kebelakang (masa lalu). “Foto ini memang dibuat dengan tanpa senyum sedikit pun dengan wajah yang suram, ini memiliki pengaruh dari kehadiran tema dalam foto ini” ujar Irvan. 4.2.2 Analisis Aspek Teks (Verbal) Bahasa verbal, atau kata merupakan alat komunikasi utama yang merupakan konvensi bersama. Lewat bahasa, berbagai pesan yang disampaikan dari seorang komunikator kepada komunikan bisa diterima dengan baik. Bahasa verbal merupakan sarana utama dalam menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita (Mulyana, 2000:238). Dalam sebuah artikel jurnalistik, bahasa yang digunakan biasanya bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik memiliki dua sifat, yakni komunikatif dan spesifik. Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau ke pokok persoalan (straight to the point), tidak bertele-tele dan tanpa basa-basi. Spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni sederhana, kalimatnya pendek-pendek, katakatanya jelas dan mudah dimengerti orang awam atau massa (Romli, 2002:27). 55 Teks 1 Judul (head): “Run away train. Run away and never looking back..” ‘Ekonomi tulisan’ yang berupaya mendisiplinkan para pembacanya agak ‘menguraikan’ teks-teksnya ketimbang ‘membaca’-nya. Menguraikan sebuah teks adalah menundukan diri seseorang pada kebenaran-kebenaran, akan tetapi, membaca mencakup membawakan kemampuan oral teks yang dikembangkan dalam kondisi sejarah sosial pembaca yang segera. Jadi, membaca adalah sebuah negosiasi, antara teks yang dihasilkan dari atas dan pembacanya dari bawah. Kontradiksi yang tidak terpecahkan, tidak stabil, pengetahuan yang belum selesai, skeptisme, parodi, dan akses kesemuanya mengundang pembacaan : kebenaran dan objektivitas meminta penguraian. Membaca bersifat partisipatoris, ia mencakup produksi relevansi; penguraian, persepsi, dan penerimaan terhadap jarak (sosial dan estetis). Oleh karena itu, penulis akan mencoba untuk menguraikan tema yang menjadi caption text pada beberapa foto yang terdapat di majalah Jeune, uraian sebagi berikut: Tanda Denotasi Konotasi Run away train. Run Run away train Run : merupakan kalimat away bahasa and never Inggris yang memiliki arti lari. Away, looking back.. dalam bahasa Indonesia bisa menjadi jalan, berjalan, atau perjalanan. 56 Train, memiliki arti kereta api dalam bahasa Indonesia. Arti keseluruhan dari kalimat tersebut ‘pergilah kereta api.’ Run away and never Run, dalam Indonesia looking back.. bahasa memiliki arti lari. Away, dalam bahasa Indonesia jalan, bisa menjadi berjalan, perjalanan. atau Train, memiliki arti kereta api dalam bahasa Indonesia. And, merupakan mata bantu yang memiliki arti dan. Never, dalam bahasa Indonesia memiliki pengertian tidak pernah. Looking, dalam bahasa Indonesia berati melihat. Dan Back, memiliki arti kembali atau kebelakang, tergantung 57 pada bentuk kalimat yang digunakan. Jika kata-kata tersebut disusun menjadi sebuah kalimat yang lengkap akan memiliki pengetian ‘Berjalanlah dan jangan pernah melihat kebelakang’ Menurut Barthes teks merupakan sebuah objek kenikmatan, sebagaimana diproklamasikannya dalam buku Sade/Fourie/Loyola : “The text is an object of pleasure. (Teks adalah objek kenikmatan)” (Culler; Kurniawan dalam Sobur, 2004:52). Sebuah kenikmatan dalam pembacaan teks adalah kesenangan kala dalam menyusuri halaman demi halaman objek yang dibaca. Sebentuk keasyikan yang hanya dirasakan oleh pembaca sendiri . Kenikmatan pembaca itu bersifat individual. Kita tidak akan merasakan betapa asiknya seseorang ketika membaca sampai tidak memperhatikan lagi apa yang ada di sekelilingnya bila kita sendiri tidak mencoba merasakan itu dengan turut membaca tulisan yang sama. Kenikmatan membaca itu dilukiskan Barthes (1975, dalam Kurniawan dalam Sobur, 2004:52), seperti ini: “What I enjoy in a story, is not directly is content, not even is strukture, but the abrasion I am pose on the fine surface: I speed ahead, I skip, I look up, I dip in again”(apa yang aku senangi dalam sebuah cerita, bukan secara isinya, bahkan bukan pula strukturnya, tetapi pengikisan yang aku terapkan pada permukaan dasarnya: aku ngebut kedepan, aku lewatkan, 58 aku perhatikan, aku cari, aku masuk kedalam lagi). (Kurniawan dalam Sobur, 2004:52). Kenikmatan yang dimaksud Barthes, selain dalam ranah bahasa (teks), juga terkait dengan tubuh. Dalam The Pleasure of the Text,Barthes menunjukan bahwa konsep kenikmatan yang dianutnya menyangkut atau berada pada rangka aktivitas semiologi maupun analisis tekstual. Dengan membaca kembali dan berulang-ulang sebuah teks dengan memotong-motongnya dan menyusunnya kembali, yang merupakan rekonstruksi utama dalam semiologi dan analisis tekstual dan struktural itulah Barthes menemukan kenikmatan yang dimaksudnya. Penulis telah melakukan pemotongan dan penyambungan kembali kalimat yang dipecah untuk menemukan arti dari setiap kata yang menjadi teks pada caption text yang berada dalam majalah Jeune yang menjadi tema dari foto yang dianalisis oleh penulis melalui ilmu semiologi Barthes. Pemecahan ini dilakukan untuk menemukan makna dibalik kalimat dan foto-foto yang berada dalam majalah. Karena setiap foto cerita yang bersambung tentu memiliki tema tersendiri yang menceritakan sesuatu, maka teks dianggap penting untuk melengkapi sebuah cerita nonverbal yang dibantu teks menjadi hasil ilustrasi tersendiri bagi seorang pembaca. 59 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan pada hasil pembahasan pada bab terdahulu, maka penulis dapat mengambil kesimpulan dari subjek yang diteliti sebagai berikut : 5.1.1 Makna Denotasi pada gambar 4.1 dan 4.2 a. Denotasi gambar 4.1 Denotasi yang dapat diambil adalah kesan makna paling nyata dari tanda, dengan kata lain denotasi merupakan keterangan dari isi seluruh gambar tersebut. Seorang wanita dengan menggunakan kemeja hijau bergaris hitam, menggunakan jaket blues hijau tua, berhiaskan kalung manik-manik yang bertumpuk, menggunakan celana pendek berwarna coklat, mengenakan sepatu datar (flatshoes), dan memegang dompet besar (clutch) berwarna kuning emas. Dengan Make-up yang sedikit gelap serta shading pipi yang menonjol memberikan petunjuk makna santai namun keras pada karaketrisitik sang model. b. Denotasi gambar 4.2 Seorang wanita dengan menggunakan pakaian terusan berwarna merah dengan bagian dada berwarna putih serta memiliki rample pada bagian dada tersebut, menggunakan topi pet berwarna merah, aksesoris kalung panjang yang ditumpuk, serta menyelendangkan jaket berwarna coklat tua, dan mengenakan sepatu datar (flat shoes) berwarna merah marun. Dengan background foto 60 sambungan kereta api. Makna yang ingin diciptakan adalah suatu hal dari kehidupan untuk menanti, yang ditampilkan seorang model. 5.1.2 Makna Konotasi Pada Gambar 4.1 dan 4.2 a. Konotasi gambar 4.1 Foto menonjolkan karakter warna lebih kuat pada objek tertentu dengan fokus yang lebih lembut dan efek cahaya yang lebih gelap menimbulkan kesan dingin dan dramatis. Foto tersebut dapat diambil pada waktu yang hampir bersamaan dengan kamera yang lensanya hanya berbeda beberapa sentimeter. Memberikan kesan, tempat yang ditampilkan tua dan nilai klasik gerbong kereta api yang membuat sebuah tampilan foto menjadi lebih hidup. b. Konotasi Gambar 4.2 Memberikan kesan klasik yang kental pada era tahun 70-80an serta ingin menciptakan suatu hal dari kehidupan untuk menanti sesuatu yang mengambarkan kegundahan dalam suatu penantian. Konotasi dasar yang dapat diambil dari gambar.jelasnya, warna hadir sebagai sekumpulan pragmatis. Satu kombinasi warna, dipilih dari paradigma warna, dapat juga dianggap sintagmatis, seperti pada pakaian yang sedang digunakan oleh model, karakter yang ingin ditampilkan adalah karakter terdiam dan termenung 5.2 SARAN 5.2.1 Saran untuk penelitian lebih lanjut Adapun hasil penelitain ini tidak seutuhnya sempurna,namun penulis berharap penelitian ini dapat berguna bagi penulis-penulis lainnya, terutama bagi penulis yang akan meneruskan penelitian ini.Untuk penelitian lebih lanjut, penulis 61 memberikan saran untuk asfek masalah yang penelitiannya dapat lebih jelas, serperti pemisahan pada makna denotasi dan konotasi dapat diperinci lebih dalam. 5.2.2 Saran untuk subjek penelitian Saran penulis pada majalah Jeune adalah pada segi pengemasan foto itu sendiri, bagaimana membuat foto itu lebih “ hidup” lagi, misalnya dengan eksplorasi kemampuan model, ataupun ,melaui asfek pendukung lainnya seperti, lokasi pemotretan dan properti yang dipakai. Karena Jeune sebagai majalah fesyen anak muda, sehinga dengan perbaikan dalam segi foto ini bisa mengembangkan ide-ide kreatif seputar fesyen dan menjadi trendsetter fesyen bagi anak muda khususnya kota Bandung 62 DAFTAR PUSTAKA Effendi, Onong U. 1986. Dimensi-dimensi Komunikasi. Amumni, Bandung. ______________. 2000. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ______________. 2004. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.... Meinanda. 1981. Pengantar Ilmu Komunikasi dan Jurnalistik. ARMIKO, Bandung. Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.. Rakhmat, Jalaluddin. 1998. Metode Penelitian Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. ______________. 2003. Psikologi Komunikasi. PT. Reamaja Rosdakarya, Bandung. Ruslan, Rosadi. 1998. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Tubbs, Stewart L and Sylvia Moss. 1996. Human Communication (Prinsip-prinsip Dasar). PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Sumber Lain : Wawancara dengan Candra Wawancara dengan Irvan Fajar Wawancara dengan www.google.com NASKAH WAWANCARA Wawancara dengan Fotografer Irvan Fajar (Ntat) 1. Kapan waktu yang dipilih dalam pemotretan tersebut? Kenapa? 2. Mengapa lokasi pemotretan yang dipilih stasiun kereta api Bandung? 3. Mengapa memilih lokasi pemotretan pada foto ke-1 di lorong kereta, dan ke-2 pada sambungan gerbong kereta? 4. Apa alasan model tersebut yang dipilih? 5. Mengapa hasil edit ulang foto bernuansa gelap dan semu? 6. Kesan apa yang ingin ditonjolkan dari hasil foto tersebut? 7. Untuk tema yang digunakan,apakah sudah tepat dengan hasil fotonya? 8. Dalam foto-foto tersebut, mengapa mimik wajah yang diperlihatkan sendu atau muram? Wawancara dengan pengarah gaya: Aji dan Nanum 1. Mengapa pakaian tersebut yang dipilih, apa alasannya? 2. Apakah ada pengaruhnya dari warna pakaian yang dipakai dengan tema dari foto tersebut? 3. Dari make-up sendiri mengapa menggunakan warna-warna tua dan shading pipi yang cukup tebal?