makalah islam - simbi kemenag

advertisement
Mam
MAKALAH ISLAM
Idul Iitri yang Berkesalehan Sosial
22, Juli 2014
Makalah Islam
Idul Iitri yang Berkesalehan Sosial
Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag
Kepala Subdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat
Kemenag RI
Pengasuh Life Skill PPDN Semarang
Sekarang kita berhari raya Idul fitri – hari
kemenangan –bersama-sama yakni Senin, 28 Juli 2014,
setelah sebulan penuh kita menjalankan ibadah puasa
Ramadan. Kebersamaan ini kiranya sangatlah besar
artinya bagi kita bangsa Indonersia yang baru saja
menyelesaikan Pemilihan Presiden dan wakil Presiden
yang masih menyelami – masa anomi – masa transisi –
masa di mana nilai-nilai lama telah kita tinggal namun
belum menemukan nilai-nilai baru. Sehingga sangatlah
tepat jika dijadikan sebagai momentum kebersamaan
untuk memperbaikilebih baikkondisi masyarakat dan
negara untuk menuju pada mewujudkan masyarakat yang
benar-benar madani yang penuh dengan nilai-nilai moral
berperikemanusiaan (humanis) dan berkesalehan sosial.
Arti Puasa dan Idul fitri
Idul fitri yang arti secara bahasa kembali ke fitrah
kemanusiaan, juga sering disebut sebagai hari
kemenangan, karena ia datang didahului oleh peperangan
atau pertandingan; pertandingan antar suara kalbu yang
mengajak ketakwaan dan bisikan hawa nafsu. Jadi istilah
kemenangan ini lahir karena adanya proses pertandingan
di bulan Ramadan dengan kesediaan diri berpuasa,
melakukan tarawih, tadarus, beriktikaf di masjid,
mengeluarkan zakat, infak, sedekah dan sebagainya dari
ibadah-ibadah di bulan Ramadan.
Namun demikian ada pula orang yang
merayakannya sebagai hari kemenangan. Padahal
sebelumnya ia tidak ikut melakukan pertandingan apaapa. Ia menang tanpa bertanding. Artinya ikut merayakan
hari raya tanpa mau bersusah payah menahan diri dari
godaan nafsu dan menjalankan syari’at puasa. Kepuasaan
yang dirasakan oleh orang yang menang tanpa bertanding
yang demikian kiranya sifatnya semu adanya.
Padahal hakekat Idul fitri sebagai kembali ke
fitrah kemanusian terasa demikian penting dihadirkan
sekarang ini, karena sampai sekarang negara kita belum
menampakkan tanda-tanda membaik. Bahkan yang
nampak nilai-nilai perikemanusiaan terasa sudah tidak
diperdulikan lagi. Untuk bisa kembali sebagai manusia
yang fitri, kita harus menghadirkan makna puasa yang
dijalankan selama satu bulan.
Ada sebuah hadis yang mengatakan bahwa ketika
suatu hari, Rasulullah mendengar seorang wanita sedang
memaki-maki pembantunya, padahal ia sedang berpuasa.
Nabi lalu mengambil makanan dan berkata kepadanya:
“makanlah!”. “Saya sedang puasa, ya Rasulullah”,
jawab si perempuan. “Bagaimana mungkin berpuasa,
padahal telah kau caci pembantumu. Puasa bukan hanya
menahan makan dan minum. Allah menjadikan puasa
sebagai penghalang dari hal-hal yang tercela”, ujar
Nabi, lalu Nabi bersabda:”Alangkah sedikitnya orang
yang berpuasa, tetapi sungguh banyak orang yang
lapar.” Dari uraian ini, nampak bahwa ada perbedaan
antara puasa dengan menahan diri.
Secara umum, para ahli fiqh mendefinisikan puasa
dengan “menahan diri dari segala sesuatu yang merusak,
dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah”. Dalam
definisi tentang shaum, ada kata “imsak”. Dalam bahasa
Arab, kata dasarnya adalah “amsaka” yang dapat disusul
dengan “an” yang berarti “menahan diri dari” atau
disusul dengan “bi” yang berarti “berpegang teguh pada
perintah Allah dan Rasul”. Sehingga hakekat puasa pada
dasarnya terletak pada “amsaka an” (menahan diri dari)
dan “amsaka bi” (berpegang teguh pada perintah Allah
dan Rasul). Sehingga dari sini, nampak bahwa banyak
macam perilaku orang dalam menahan diri, ada yang
dapat “amsaka an”, tetapi tidak ber”amsaka bi”, misalnya
seorang menahan diri dari makan dan minum, tetapi
bukan karena berpegang teguh pada ajaran Allah,
melainkan hanya ingin melangsingkan tubuh atau
mempercantik diri. Orang itu tidak namanya berpuasa,
melainkan sedang diet.
Boleh jadi seseorang melakukan “amsaka bi”,
tampaknya seperti berpegang teguh pada ajaran Allah,
tetapi tidak “amsaka an”. Ia kelihatannya taat beribadah
dan berpuasa, tetapi tidak bisa menahan diri untuk
merugikan orang lain atau melakukan tindakan merusak.
Seseorang berpuasa, tetapi ia tidak bisa menahan diri
untuk tidak melakukan hal-hal yang menodai nilai puasa,
seperti
mengumpat,
menghujat,
mengfitnah,
mengprovokasi dan sejenisnya. Orang seperti ini bukan
as-shawwam (orang berpuasa) tetapi hanyalah al-jawwa’
(orang lapar).
Sehingga dengan tuntasnya puasa Ramadan satu
bulan utuh (amsaka an dan amsaka an) dengan amalan
ibadah ritualitas dan ibadah sosial selama bulan Ramadan
serta tradisi halal bi halal di hari raya Idul fitri tahun ini
semestinya dapat melahirkan insan-insan yang benarbenar bersih – suci dan noda kotoran dosa sebagai hamba
Allah dan dosa-dosa sosialnya. Dan yang terpancar adalah
nilai-nilai moral yang berperikemanusiaan dan
berkesalehan sosial.
Keshalehan Sosial
Idul fitri tahun ini berlangsung di tengah suasana
kehidupan bangsa kita yang masih mengalami cobaan dari
Allah swt. Di mana di sekililing kita banyak rakyat yang
lapar, anak yatim yang meratap, pengangguran yang
butuh pekerjaan dan banyak yang miskin. Padahal
semuanya mengharapkan perdamaian, persaudaraan dan
kebersamaan sehingga bisa hidup wajar sebagai manusia
yang beradab bukan manusia yang biadab. Sehingga saat
Idul fitri kali ini kiranya tepat untuk dijadikan momentum
untuk memulai menampakkan diri – menumbuhkan diri
– mewujudkan diri nilai-nilai keshalehan sosial secara
bersama-sama guyup rukun akur
sebagai bukti
diterimanya ibadah kita selama di bulan Ramadan.
Sehingga mestinya Idul fitri tahun ini bisa menjadi
pijakan untuk kelangsungan kesalehan sosial
dalam
kehidupan kita sehari-hari. Terkait dengan reformasi yang
sedang kita jalani sekarang ini, kiranya ada dua hal yang
harus dilakukan dalam menyelami kesucian kita (ke-fitrian kita). Pertama, terhadap hal-hal lama, kita harus dapat
memilah-milah dan memilih-milih yang baik kita
bertahankan, yang buruk harus dipugar seakar-akarnya.
Kedua mewujudkan hal-hal baru yang lebih baik. Hal ini
sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang menyataakan: “alMuhafadah ‘ala al-qadim al-shalih, wa akhdu bi al-jadid
al-ashlah” yang artinya memelihara tradisi lama yang
bernilai baik dan mengambil sesuatu yang baru yang
lebih baik. Sehingga nilai-nilai yang lahir dari “amsaka
an” dan “amsaka bi” dalam berpuasa, beribadah ritual,
beribadah sosial dan berhalal bi halal adalah perilaku
keshalehan sosial yang dapat menjadi motor penggerak
untuk dapat meluruskan roda reformasi yang sudah lama
bergulir ini untuk mencapai tujuan idealnya yakni
masyarakat madani. Oleh karena itu, mumpung sekarang
Presiden dan wakil Presiden baru,sangatlah tepat untuk
kita buat pijakan kebersamaan dengan tampilan
berkeshalehan sosial dalam jalinan ukhuwah islamiyyah,
ukhuwah wathaniyyah dan ukhuwah basariyah, untuk
kesejahteraan dan kemakmuran bersama sebagai rakyat
Indonesia.Semoga di hari raya ini kita semangatbersamasama mewujudkan Indonesia yang fitri yang
berkeshalehan sosial.
Selamat berhari raya Idul fitri 1435H.
Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini
Download