PTSD

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN PARADIGMA BERPIKIR
2.1
Kajian Pustaka
2.2
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
2.2.1
Pengertian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan stres yang
muncul terkait dengan peristiwa-peristiwa traumatis. Definisi PTSD mencakup
etiologinya, yaitu, suatu kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang dialami
atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman
kematian, atau cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atau diri
seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan ekstrem, horor, atau
rasa tidak berdaya. Menurut Nevid dkk, (2005) PTSD adalah reaksi maladaptif
yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. Sedangkan Fausiah
(2005) mendefinisikan PTSD sebagai sekelompok simtom yang muncul setelah
individu mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatik (peristiwa yang berada
di luar batas pengalaman individu) yang melibatkan kematian atau ancama
kematian, atau luka yang sangat parah, atau ancaman terhadap integritas diri
maupun orang lain.
Menurut Zlotnick dkk (dalam Nevid dkk, 2005) PTSD dapat berlangsung
berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau sampai beberapa dekade dan mungkin baru
muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah pemaparan terhadap peristiwa
traumatis. Dalam PTSD, peristiwa traumatis mungkin seakan dialami kembali
dalam berbagai macam cara. Mungkin dalam bentuk ingatan-ingatan yang
intrusif, mimpi-mimpi mengganggu yang berulang-ulang, dan perasaan bahwa
peristiwa tersebut memang terulang kembali (seperti “kilas balik” peristiwa
tersebut).
Terdapat perbedaan antara gangguan stres pasca trauma dengan gangguan
stres akut, suatu diagnosis yang pertama kali muncul dalam DSM-IV. Hampir
semua orang yang mengalami trauma mengalami stres, kadangkala hingga tingkat
yang sangat berat. Hal itu normal jika stresor menyebabkan kerusakan signifikan
dalam keberfungsian sosial dan pekerjaan selama kurang dari satu bulan,
diagnosis yang ditegakkan adalah gangguan stres akut. Jumlah orang yang
mengalami gangguan stres akut berbeda sesuai dengan tipe trauma yang mereka
alami. Dalam penelitian yang dilakukan Rothbaum dkk, peristiwa pemerkosaan,
angka penderitanya sangat tinggi lebih dari 90%.
mengatasi gangguan stres
Walaupun beberapa dapat
akut yang mereka alami, jumlah yang signifikan
kemudian menderita PTSD. Menurut Ruscio, Ruscio & Keane menegaskan PTSD
dapat dipertimbangkan sebagai reaksi negatif terhadap stres (dalam Davison,
Neale & Kring, 2010).
2.2.2
Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Kategori penegakan dalam DSM-IV-TR untuk Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) ditentukan dari simtom-simtom berikut :
1. Gangguan tersebut yang menyebabkan tekanan yang signifikan secara
klinis atau impairment, dialami oleh mereka yang pernah mengalami
kejadian traumatis dalam kondisi berikut.
•
Mereka mengalami, menyaksikan, atau melawan suatu kejadian
yang melibatkan kematian atau mengancam keselamatan jiwa atau
cedera fatal, atau suatu ancaman fisik terhadap diri mereka atau
orang lain.
•
Mereka merespons penuh ketakutan, ketidakberdayaan, atau
kengerian.
2. Selama setidaknya satu bulan, terdapat suatu peluang mengalami kembali
kejadian traumatis dalam satu atau dua cara berikut.
•
Pengulangan dan tekanan yang intens dari kejadian-kejadian
traumatis.
•
Mimpi tentang kejadian menakutkan yang berulang.
•
Mimpi berperilaku atau merasa seolah-olah kejadian tersebut
berulang (seperti ilusi, halusinasi, disosiasi kenangan).
•
Tekanan intens dengan fokus pada pertanda internal atau eksternal
yang menyimbolkan atau mirip dengan suatu aspek dari suatu
kejadian tertentu.
•
Reaksi fisik dengan memfokuskan pada internal atau eksternal
yang menyimbolkan atau mirip dengan suatu aspek dari suatu
kejadian tertentu.
3. Selama setidaknya satu bulan, terjadi penolakan rangsang yang terkait
dengan suatu trauma dan kekakuan dalam memberikan respon umum,
sebagaimana di indikasikan oleh setidaknya tiga hal berikut.
•
Usaha menghindari pikiran, perasaan, atau percaapan yang terkait
dengan kejadian traumatis.
•
Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang
membangkitkan terjadinya trauma.
•
Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari suatu
trauma.
•
Hilangnya ketertarikan untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas.
•
Perasaan menjauh atau terkucil dari orang lain.
•
Cakupan afeksi yang terbatas (seperti ketidakmampuan untuk
merasakan cinta).
•
Perasaan masa depan yang suram (seperti pesimisme tentang
karier, keluarga, dan kehidupan).
4. Selama setidaknya satu bulan, terjadi gejala menetap dari ketergugahan
yang meningkat, sebagaimana diindikasikan oleh setidaknya hal berikut.
•
Kesulitan tidur.
•
Kemarahan tidak terkontrol.
•
Kesulitan berkonsentrasi.
•
Kewaspadaan berlebih.
•
Respon berlebihan yang mengejutkan.
Menurut DSM IV-TR (dalam Davison, Neale & Kring, 2010) simtomsimtom PTSD dikelompokan dalam tiga kategori utama yaitu :
1. Mengalami kembali kejadian traumatis.
Individu kerap teringat pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi
buruk tentang hal itu. Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan
oleh stimuli yang menyimbolkan kejadian tersebut (misalnya, petir
mengingatkan seseorang veteran pada medan pertempuran) atau tanggal
terjadinya pengalaman tertentu (misalnya, dimana seorang wanita
mengalami penyerangan seksual).
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati
rasa dalam responsivitas.
Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang
trauma atau menghadapi stimuli yang akan mengingatkan pada kejadian
tersebut dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah
menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan
ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif.
3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan.
Simtom-simtom ini mencakup sulit tidur atau mempertahankannya, sulit
berkonsentrasi, waspada berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.
Menurut Davison & Neale (dalam Fausiah, 2005) terdapat beberapa
masalah yang dapat menyertai PTSD antara lain adalah kecemasan, depresi,
kemarahan, rasa berasalah, penggunaan zat, masalah perkawinan, kesehatan yang
buruk, dan gangguan pekerjaan. Demikian juga pemikiran untuk bunuh diri, serta
masalah kesehatan seperti sakit punggung, sakit kepala, dan gangguan
pencernaan.
2.2.3
Sebab-sebab terjadinya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Menurut Fausiah (2005) secara definitif, penyebab utama PTSD adalah
stresor. Namun harus disadari bahwa tidak setiap orang yang mengalami peristiwa
traumatik akan menampilkan PTSD. Perlu dipertimbangkan berbagai faktor untuk
mengetahui penyebab PTSD yaitu :
1. Faktor Resiko
Davison & Neale (dalam Fausiah, 2005) menjelaskan beberapa hal dapat
menjadi prediktor munculnya PTSD antara lain persepsi tentang adanya
ancaman terhadap kehidupan, keberadaan sebagai wanita, perpisahaan dini
dengan orangtua, sejarah PTSD dalam keluarga, pengalaman sebelumnya
menghadapi trauma, serta gangguan sebelumnya (misalnya depresi dan
kecemasan). Prevalensi PTSD juga meningkat sejalan dengan parahnya
kejadian traumatik. Demikian juga munculnya simtom disosiatif dapat
meningatkan kemungkinan munculnya PTSD. Faktor lain yang juga
berpengaruh adaah kecenderungan untuk menganggap kegagalan sebagai
kesalahan diri sendiri dan menyesuaikan diri terhadap stres dengan
memfokuskan pada emosi, bukan pada masalah.
2. Teori-teori Psikologis
Para teori belajar berasumsi bahwa PTSD terjadi karena pengondisian
klasik terhadap rasa takut. Seorang wanita yang pernah diperkosa,
contohnya, dapat merasa takut untuk berjalan di lingkungan tertentu
(Conditioned Stimulus) karena diperkosa disana (Unconditioned Stimulus).
Berdasarkan rasa takut yang dikondisikan secara klasik tersebut terjadi
penghindaran yang secara negatif dikuatkan oleh berkurangnya rasa yang
dihasilkan oleh CS. Sedangkan pandangan psikodinamika oleh Horowitz
(dalam Davison, Neale & Kring, 2010) bahwa ingatan tentang kejadian
traumatik muncul secara konstan dalam pikiran seseorang dan sangat
menyakitkan sehingga secara sadar mereka mensupresinya (contohnya
melalui distraksi) atau merepresinya.
3. Sudut Pandang Biologis
Menjelasan bahwa trauma dapat mengaktifkan sistem, yang kemudian
meningkatkan tingkat norepinephrine, sehingga membuat individu
menjadi mudah terkejut dan lebih cepat menampilkan emosi dibandingkan
keadaan normal.
Keane dkk (dalam Halgin dan Whitbourne, 2010) mengelompokkan faktor resiko
PTSD ke dalam tiga kategori, yaitu :
a. Faktor yang sudah ada dan unik bagi setiap individu
Bagi faktor-faktor yang sudah ada, seperti kontribusi genetis, hasil
penelitian sejauh ini telah menunjukan suatu kaitan yang rentan antara
psikopatologi keluarga dan perkembangan PTSD, namun kita belum
mengetahui mekanisme biologis dalam keluarga yang dapat menyebabkan
seseorang mengembangkan PTSD (Broekman, Olff, & Boer 2007). Selain
itu peneliti mempelajari peranana factor-faktor lain, seperti jenis kelamin,
usia, ras, dan status pernikahan. Ditemukan bahwa pada jenis kelamin,
para pria lebih berpeluang mengalami trauma (seperti pertarungan),
sedangkan wanita lebih berpeluang mengalami PTSD. Hal yang menarik
adalah penemuan bahwa mereka yang mengalami trauma dan pengalaman
tidak menyenangkan di masa lalu dapat menjadi lebih rentan terhadap
kemungkinan
mengidap
PTSD (Keane dkk,
dalam
Halgin
dan
Whitbourne, 2010).
b. Faktor yang terkait dengan kejadian traumatis
Faktor ini berfokus dari penyebab terjadinya kejadian traumatis. Terdapat
suatu hubungan langsung antara tingkat buruknya trauma dan resiko
individual untuk mengalami PTSD di masa depan. Dalam membandingkan
wanita yang pernah menjadi korban serangan fisik atau cedera dengan
wanita yang pernah menjadi korban perkosaan, para peneliti menemukan
bahwa korban perkosaan lebih berpeluang mengalami PTSD dan juga
masalah psikologis serius yang lain. Akibat alami dari perkosaan
menambah suatu dimensi yang meningkatkan kerentanan mereka
(Faravelli dkk dalam Halgin & Whitbourne, 2010).
c. Kejadian-kejadian yang mengikuti pengalaman traumatis
Faktor ini berfokus pada apa yang terjadi setelah mengalami trauma.
Individu yang selamat dari trauma dan menerima dukungan sosial serta
memahami apa yang terjadi setelah trauma tampak tidak terlalu rentan
terhadap perkembangan PTSD dibandingkan individu yang tidak terawat
dengan baik.
2.3
Perkosaan
2.3.1
Pengertian Perkosaan
Menurut Foley & Davis (dalam Fausiah, 2002) perkosaan dalam bahasa
inggris disebut “rape” berasal dari kata “rapere” (bahasa latin) yang berarti
mencuri, merebut, membawa pergi. Menurut Hawari (2011) perkosaan merupakan
hubungan seksual yang dilakukan dengan kekerasan dan paksaan secara fisik.
Definisi perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan
Widiartana 2001), makna perkosaan dapatdiartikan ke dalam tiga bentuk :
1. Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita
tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan,
yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa
persetujuan wanita tersebut.
2. Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap
seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan
kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsurunsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah,
seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan
bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.
3. Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh
seorang pria terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa
persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau dibawah
kondisi ancaman lainnya.
Definisi tersebut menyebutkan bahwa perkosaan merupakan hubungan
seksual yang dilakukan pria terhadap wanita yang terjadi diluar pernikahan.
Sedangkan Poerwandari (dalam Luhulima, 2000), perkosaan merupakan
hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehendak bersama, dipaksakan oleh satu
pihak pada pihak lainnya. Korban dapat berada di bawah ancaman fisik dan/atau
psikologis, kekerasan, dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya, berada di
bawah umur, atau mengalami keterbelakangan mental dan kondisi kecacatan lain
sehingga tidak dapat bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya. Hal
tersebut juga dinyatakan oleh Matlin (dalam Fausiah, 2002) bahwa perkosaan
adalah tindak kriminal dan tidak hanya sekedar nafsu. Dalam perkosaan, korban
dipermalukan dan direndahkan lebih dari sekedar perampokan atau kekerasan
fisik belaka.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa
perkosaan merupakan suatu hubungan seksual yang dilakukan melalui paksaan
serta ancaman dimana korbannya ketidakberdayaan karena mengalami tekanan
fisik dan psikologis.
2.3.2 Jenis-Jenis Perkosaan
Perkosaan dapat terjadi berbagai macam berdasarkan sudut pandang yang
ada. Hasbianto & Triningtyasasih (dalam Fausiah, 2002) menggolongkan jenisjenis perkosaan berdasarkan pelaku dan cara melakukannya:
1. Perkosaan berdasarkan pelakunya yaitu:
a. Perkosaan oleh orang yang dikenal. Perkosaan jenis ini dilakukan oleh
teman atau anggota keluarga (ayah, paman, atau saudara).
b. Perkosaan oleh pacar (dating rape). Yaitu perkosaan yang terjadi ketika
korban berkencan dengan pacarnya. Kebanyakan karena dikondisikan
berkencan ditempat yang sepi. Seringkali diawali dengan cumbuan, dan
diakhiri dengan pemaksaan hubungan seksual.
c. Perkosaan dalam perkawinan (marital rape). Biasanya terjadi pada istri
yang memiliki ketergantungan kepada suami, atau karena adanya
anggapan bahwa istri merupakan obyek seksual suami. Bentuknya adalah
pemaksaan hubungan pada waktu atau dengan cara yang tidak dikehendaki
oleh istri.
d. Perkosaan oleh orang asing/tidak dikenal. Perkosaan jenis ini sering
disertai
tindakan
kejahatan
lain,
seperti
pencurian,
perampokan,
penganiayaan, bahkan pembunuhan.
2. Perkosaan berdasarkan cara melakukannya yaitu :
a. Perkosaan dengan janji-janji atau penipuan. Misalnya dengan janji korban
akan dinikahi, tidak akan ditinggalkan.
b. Perkosaan dengan ancaman halus. Biasanya terjadi pada korban yang
memiliki ketergantungan sosial/ekonomi pada pelaku, seperti majikan
pada pembantu atau guru pada murid.
c. Perkosaan dengan paksaan fisik, yang dilakukan dengan ancaman
menggunakan senjata, ataupun dengan kekuatan fisik.
d. Perkosaan dengan memakai pengaruh tertentu (penggunaan obat-obatan,
hipnotis). Perkosaan jenis ini dilakukan dengan cara menghilangkan
kesadaran korban terlebih dahulu, baik dengan memakai obat, hipnotis.
Foley & Davies (dalam Fausiah, 2002) mengemukakan pembagian lain
dari perkosaan, yang meliputi:
1. Percobaan perkosaan (attempted rape), dimana pelaku sudah melakukan
usaha penetrasi kepada korban, namun tidak dapat melakukannya
sepenuhnya karena sesuatu hal. Misalnya adanya interupsi dari polisi atau
orang lain.
2. Statutory rape, yaitu hubungan seksual antara orang yang usianya 18
tahun atau lebih (dewasa) dengan seseorang yang berusia kurang dari 14
tahun, dan bukan merupakan pasangannya. Pada perkosaan jenis ini
pembatasan hanya dari segi umur. Sehingga hubungan seksual atas dasar
suka-sama suka yang dilakukan di luar persetujuan orang tua dapat masuk
dalam kategori ini.
3. Incest, adalah hubungan seksual, pernikahan, atau kohabitasi dengan
keluarga sedarah tanpa memandang legitimasi dari tindakan tersebut.
Defenisi incest kemudian berkembang dengan memasukkan hubungan
seksual antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.
4. Indecent assault, yang meliputi tindakan memegang “daerah pribadi” pada
tubuh seseorang (daerah kelamin, payudara, atau pantat) yang bukan
pasangannya, dalam keadaan di mana korban mengetahui bahwa tindakan
semacam itu berbahaya atau tidak menyenangkan.
5. Involuntary deviate sexual intercouse, yaitu intercousse secara oral
maupun anal dengan seseorang tanpa persetujuannya, baik dengan
ancaman atau paksaan, pada kondisi korban yang tidak sadar, terbelakang
mental, atau di bawah usia 14 tahun.
6. Kekerasan seksual pada anak, adalah hubungan seksual yang dipaksakan
pada anak-anak oleh orang lain.
Berbagai jenis perkosaan yang telah peneliti kemukan di atas digunakan
untuk batasan acuan yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini. Jadi dapat
dikatakan korban perkosaan yang akan digunakan menjadi sampel bisa dalam
berbagai jenis kasus perkosaan asalkan sampel tersebut sudah memenuhi kriteria
dari jenis-jenis perkosaan yang ada diatas.
2.3.3
Faktor dan Dampak Perkosaan
Bermacam-macam faktor yang dapat memungkinkan terjadinya suatu
peristiwa perkosaan. Hawari (2011) menyebutkan beberapa faktor yang
memprovokasi terjadinya tindak perkosaan yaitu :
a. Pikiran kotor dan mesum pelaku
Pikiran kotor dan mesum pelaku muncul karena adanya provokasi pihak
lawan (korban).
b. Busana yang dipakai perempuan
Busana yang dipakai ppihak perempuan sebaiknya menutup aurat. Adalah
di luar kesopanan, kepatutan, dan kepantasan apabila busana itu
memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang sensitif.
c. Miras dan Narkoba
Penggunaan miras & narkoba memicu terjadinya perkosaan. Miras dan
narkoba menyebabkan fungsi control diri melemah, hilangnya hambatan
impuls seksual dan agresif.
d. Kesempatan dan peluang
Bila ketiga faktor di atas yaitu pikiran kotor, busana provokatif, ditambah
dengan miras & narkoba dapat diatasi maka tinggal satu faktor lagi yaitu
adanya kesempatan dan peluang.
Selain itu Hawari (2011) menjelaskan juga dampak yang dialami dalam
perkosaan dapat dikategorikan sebagai suatu tindak kejahatan, alasannya adalah :
1. Hamil di luar nikah yang berakibat aborsi. Aborsi sendiri merupakan
tindakan kejahatan juga karena dianggap sebagai “pembunuhan”.
2. Anak yang dilahirkan di luar nikah membawa aib sebagai “anak haram”.
Akte kelahiran anak, tidak mencantumkan nama siapa ayahnya. Hal ini
membawa konsekuensi hukum dikemudian hari.
3. Anak yang dilahirkan tidak diingkan, lalu oleh ibunya dibuang (tempat
sampah) atau bahkan sampai dibunuh, mengakibatkan konsekuensi
sebagai tindak pidana (kejahatan).
4. Hubungan seksual meski memakai kondom sekalipun tidak menjamin
terhadap penularan penyakit kelamin.
5. Terhadap diri korban, akan mengalami Post Traumatic Stress Disorder
atau stres (keluhan fisik), kecemasan dan depresi.
2.4
Remaja
2.4.1
Pengertian Remaja
Masa remaja (adolescence) merupakan peralihan masa perkembangan
yang berlangsung sejak usia 10 atau 11, atau bahkan lebih awal sampai masa
remaja akhir atau usia dua puluhan awal, serta melibatkan perubahan dalam aspek
fisik, kognitif, dan psikososial yang berkaitan. Secara umum masa remaja ditandai
dengan munculnya pubertas (puberty), proses yang pada akhirnya akan
menghasilkan kematangan seksual, atau fertilitas (kemampuan untuk melakukan
reproduksi).
Menurut Hurlock (dalam Ali dan Asrori, 2004) istilah adolescene
sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional,
sosial, dan fisik. Pandangan tersebut didukung oleh Piaget dengan mengemukakan
secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkatan orangorang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurangkurangnya dalam hak (dalam Ali dan Asrori, 2004).
Sementara definisi remaja secara lengkap menurut WHO (dalam Sarwono,
2010) terbagi dalam tiga konseptual, yaitu :
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan fisik.
2. Individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi
dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri.
Santrock (2003) menyatakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode
transisi antara masa kanak-kanak dan orang dewasa yang meliputi perubahanperubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Masa remaja juga disebut masa
topan badai (strum & drang), karena mencerminkan kebudayaan modern yang
penuh gejolak akibat pertentangan nilai.
Karena hal itu, para ahli mempunyai perbedaan dalam menentukan batasan
remaja. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang mempengaruhi perkembangan
setiap individu. Santrock (2002) berpendapat bahwa remaja dimulai pada usia 1013 tahun dan berakhir antara usia 18-22 tahun. Dalam Papalia (2009) memberikan
batasan usia yang hampir sama, yaitu 12-13 tahun hingga akhir belaan atau pada
awal dua puluhan. Sementara Sarwono (2010) membuat batasan mengenai remaja
Indonesia sesuai dengan kultur budaya yang ada dimasyarakat kita. Menurutnya
remaja Indonesia adalah individu yang berada pada usia 11-24 tahun, dan belum
menikah. Usia 11 tahun adalah saat seseorang mulai mengalami perubahan
seksual yang umumnya berakhir pada usia 24 tahun. Sedangkan dalam
masyarakat Indonesia, seseorang yang sudah menikah (berapapun usianya) akan
dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa.
2.4.2
Karakteristik Remaja
Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan
hanya dalam artian psikologis, tetapi juga fisik. Menurut Muss (dalam Sarwono,
2005) remaja perempuan dan laki-laki memiliki perubahan yang terjadi yaitu :
Tabel 2.1 Karakteristik remaja
Perempuan
1. Pertumbuhan tulang-tulang (badan
Laki-laki
1. Pertumbuhan tulang-tulang
menjadi tinggi, anggota-anggota
2. Testis (buah pelir) membesar
badan menjadi panjang)
3. Tumbuh bulu kemaluan yang halus,
2. Pertumbuhan payudara
3. Tumbuh bulu yang halus dan lurus
berwarna gelap di kemaluan
4. Mencapai pertumbuhan ketinggian
badan yang maksimal setiap
tahunnya
5. Bulu kemaluan menjadi keriting
6. Haid
7. Tumbuh bulu-bulu ketiak
lurus, dan berwarna gelap
4. Awal perubahan suara
5. Ejakulasi (keluarnya air mani)
6. Bulu kemaluan menjadi keriting
7. Pertumbuhan tinggi badan
mencapai maksimal setiap tahunnya
8. Tumbuh rambut-rambut halus di
wajah (kumis, jenggot)
9. Tumbuh bulu ketiak
10. Akhir perubahan suara
11. Rambut-rambut di wajah
bertambahh tebal dan gelap
12. Tumbuh bulu di dada
Demikian pula pada perubahan kognitif yang dimiliki remaja. Menurut
Elkind (dalam Papalia, 2009), ketidakmatangan
memiliki enam ciri :
cara berpikir pada remaja
1. Idealisme dan mudah mengkritik.
Saat remaja memikirkan dunia ideal, mereka menyadari bahwa dunia
nyata dimana mereka menganggap orang dewasa bertanggung jawab atas
keberadaannya, tidak sesuai dengan pemikiran mereka. Mereka menjadi
sangat sadar akan kemunafikan, dengan penalaran verbal mereka yang
semakin tajam, mereka menikmati membaca dan penghibur yang
menyerang tokoh publik dengan parodi. Merasa yakin lebih baik
dibandingkan orang dewasa dalam menjalankan dunia, mereka sering kali
menemukan kesalahan orangtua mereka.
2. Sifat argumentatif.
Remaja
terus-menerus
mencari
kesempatan
untuk
mencoba
dan
memamerkan kemampuan penalaran mereka. Mereka menjadi sering
berdebat seiring dengan penguasaan fakta dan logika untuk membangun
kasus, misalnya tidur lebih larut dibandingkan dengan pendapat orang tua
mereka.
3. Sulit untuk memutuskan sesuatu.
Remaja dapat memikirkan banyak alternatif di pikirannya dalam waktu
yang sama, tetapi kurang memiliki strategi yang efektif untuk memilih.
Mereka mungkin bermasalah untuk mengambil keputusan, bahkan tentang
hal-hal sederhana.
4. Kemunafikan yang tampak nyata.
Remaja sering kali tidak menyadari perbedaan antara mengekspresikan
sesuatu yang ideal, seperti menghemat energi, dan membuat pengorbanan
yang diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut, misalnya dengan
mengurangi mengendarai mobil.
5. Kesadaran diri.
Remaja yang berada dalam tahap operasional formal dapat berpikir
mengenai berpikir, baik dalam diri mereka sendiri atau orang lain. Akan
tetapi, karena terlalu terfokus pada keadaan mental mereka sendiri, remaja
sering kali menganggap bahwa orang lain berpikir hal yang sama dengan
diri mereka sendiri. Elkind menyebut kesadaran ini sebagai imaginary
audience yaitu konseptualisasi “pengamat” yang peduli terhadap
pemikiran dan perilaku remaja tersebut seperti dirinya sendiri.
6. Keistimewaan dan kekuatan.
Elkind menggunakan istilah personal fable untuk menunjukan keyakinan
remaja bahwa mereka istimewa, bahwa keberadaan mereka unik, dan bahwa
mereka tidak harus menaati peraturan yang memerintahkan seluruh dunia.
2.2.3
Tahap dan Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Sarwono (2010), dalam proses penyesuaian diri menuju
kedewasaan, setiap remaja harus melewati tiga tahap perkembangan, yaitu :
1. Remaja Awal (early adolescene), remaja pada tahap ini masih terheranheran akan perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan
yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mulai mengembangkan
pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang
secara erotis.
2. Remaja Madya (middle adolescene), pada tahap ini remaja sangat
tergantung pada teman dan senang kalau mempunyai banyak teman.
Terdapat kecenderungan “narcistic”, menyukai teman-teman yang
mempunyai sifat dan minat yang sama. Selain itu remaja dalam tahap ini
berada dalam kondisi bingung untuk memilih, antara peka atau
tidak
peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau
materialis.
3. Remaja Akhir (late adolescene), tahap ini adalah masa konsolidasi remaja
menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu :
a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan
dalam pengalaman baru.
c. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
d. Egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri
sendiri dengan orang lain.
e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum (the public).
Remaja memiliki tugas-tugas dalam perkembangan dalam hubungan
lingkungannya. William Kay (dalam Yusuf, 2008) mengemukakan tugas-tugas
perkembangan remaja sebagai berikut :
a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.
b. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang
mempunyai otoritas
c. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar
bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual
maupun kelompok.
d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.
e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap
kemampuannya sendiri.
f. Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas skala
nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup (Weltanschauung).
g. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku)
kekanak-kanakan.
Sedangkan menurut Hurlock (Ali dan Asrori, 2004) tugas-tugas
perkembangan masa remaja yaitu :
1. Mampu menerima keadaan fisiknya.
2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.
3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang
berlainan jenis.
4. Mencapai kemandirian emosional.
5. Mencapai kemandirian ekonomi.
6. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat
diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.
7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dang
orangtua.
8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk
memasuki dunia dewasa.
9. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.
10. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan
keluarga.
Tugas-tugas perkembangan fase remaja berkaitan perkembangan kognitifnya,
yaitu tahap operasional formal. Jean Piaget (Ali dan Asrori, 2004) tahap
operasional formal pada remaja interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas,
menjangkau banyak teman sebayanya dan
berinteraksi dengan orang dewasa.
bahkan berusaha untuk dapat
2.6
Paradigma Berpikir
REMAJA
Karakteristik Fisik
Remaja
Kognitif dan Sosial
PERKOSAAN
Jenis
Dampak
POST TRAUMATIC
STRESS DISORDER
Tugas dan
Perkembangan Remaja
Download