BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PARADIGMA BERPIKIR 2.1 Kajian Pustaka 2.2 Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) 2.2.1 Pengertian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan stres yang muncul terkait dengan peristiwa-peristiwa traumatis. Definisi PTSD mencakup etiologinya, yaitu, suatu kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atau diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan ekstrem, horor, atau rasa tidak berdaya. Menurut Nevid dkk, (2005) PTSD adalah reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. Sedangkan Fausiah (2005) mendefinisikan PTSD sebagai sekelompok simtom yang muncul setelah individu mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatik (peristiwa yang berada di luar batas pengalaman individu) yang melibatkan kematian atau ancama kematian, atau luka yang sangat parah, atau ancaman terhadap integritas diri maupun orang lain. Menurut Zlotnick dkk (dalam Nevid dkk, 2005) PTSD dapat berlangsung berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau sampai beberapa dekade dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah pemaparan terhadap peristiwa traumatis. Dalam PTSD, peristiwa traumatis mungkin seakan dialami kembali dalam berbagai macam cara. Mungkin dalam bentuk ingatan-ingatan yang intrusif, mimpi-mimpi mengganggu yang berulang-ulang, dan perasaan bahwa peristiwa tersebut memang terulang kembali (seperti “kilas balik” peristiwa tersebut). Terdapat perbedaan antara gangguan stres pasca trauma dengan gangguan stres akut, suatu diagnosis yang pertama kali muncul dalam DSM-IV. Hampir semua orang yang mengalami trauma mengalami stres, kadangkala hingga tingkat yang sangat berat. Hal itu normal jika stresor menyebabkan kerusakan signifikan dalam keberfungsian sosial dan pekerjaan selama kurang dari satu bulan, diagnosis yang ditegakkan adalah gangguan stres akut. Jumlah orang yang mengalami gangguan stres akut berbeda sesuai dengan tipe trauma yang mereka alami. Dalam penelitian yang dilakukan Rothbaum dkk, peristiwa pemerkosaan, angka penderitanya sangat tinggi lebih dari 90%. mengatasi gangguan stres Walaupun beberapa dapat akut yang mereka alami, jumlah yang signifikan kemudian menderita PTSD. Menurut Ruscio, Ruscio & Keane menegaskan PTSD dapat dipertimbangkan sebagai reaksi negatif terhadap stres (dalam Davison, Neale & Kring, 2010). 2.2.2 Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Kategori penegakan dalam DSM-IV-TR untuk Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) ditentukan dari simtom-simtom berikut : 1. Gangguan tersebut yang menyebabkan tekanan yang signifikan secara klinis atau impairment, dialami oleh mereka yang pernah mengalami kejadian traumatis dalam kondisi berikut. • Mereka mengalami, menyaksikan, atau melawan suatu kejadian yang melibatkan kematian atau mengancam keselamatan jiwa atau cedera fatal, atau suatu ancaman fisik terhadap diri mereka atau orang lain. • Mereka merespons penuh ketakutan, ketidakberdayaan, atau kengerian. 2. Selama setidaknya satu bulan, terdapat suatu peluang mengalami kembali kejadian traumatis dalam satu atau dua cara berikut. • Pengulangan dan tekanan yang intens dari kejadian-kejadian traumatis. • Mimpi tentang kejadian menakutkan yang berulang. • Mimpi berperilaku atau merasa seolah-olah kejadian tersebut berulang (seperti ilusi, halusinasi, disosiasi kenangan). • Tekanan intens dengan fokus pada pertanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau mirip dengan suatu aspek dari suatu kejadian tertentu. • Reaksi fisik dengan memfokuskan pada internal atau eksternal yang menyimbolkan atau mirip dengan suatu aspek dari suatu kejadian tertentu. 3. Selama setidaknya satu bulan, terjadi penolakan rangsang yang terkait dengan suatu trauma dan kekakuan dalam memberikan respon umum, sebagaimana di indikasikan oleh setidaknya tiga hal berikut. • Usaha menghindari pikiran, perasaan, atau percaapan yang terkait dengan kejadian traumatis. • Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang membangkitkan terjadinya trauma. • Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari suatu trauma. • Hilangnya ketertarikan untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas. • Perasaan menjauh atau terkucil dari orang lain. • Cakupan afeksi yang terbatas (seperti ketidakmampuan untuk merasakan cinta). • Perasaan masa depan yang suram (seperti pesimisme tentang karier, keluarga, dan kehidupan). 4. Selama setidaknya satu bulan, terjadi gejala menetap dari ketergugahan yang meningkat, sebagaimana diindikasikan oleh setidaknya hal berikut. • Kesulitan tidur. • Kemarahan tidak terkontrol. • Kesulitan berkonsentrasi. • Kewaspadaan berlebih. • Respon berlebihan yang mengejutkan. Menurut DSM IV-TR (dalam Davison, Neale & Kring, 2010) simtomsimtom PTSD dikelompokan dalam tiga kategori utama yaitu : 1. Mengalami kembali kejadian traumatis. Individu kerap teringat pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan kejadian tersebut (misalnya, petir mengingatkan seseorang veteran pada medan pertempuran) atau tanggal terjadinya pengalaman tertentu (misalnya, dimana seorang wanita mengalami penyerangan seksual). 2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang trauma atau menghadapi stimuli yang akan mengingatkan pada kejadian tersebut dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. 3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan. Simtom-simtom ini mencakup sulit tidur atau mempertahankannya, sulit berkonsentrasi, waspada berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan. Menurut Davison & Neale (dalam Fausiah, 2005) terdapat beberapa masalah yang dapat menyertai PTSD antara lain adalah kecemasan, depresi, kemarahan, rasa berasalah, penggunaan zat, masalah perkawinan, kesehatan yang buruk, dan gangguan pekerjaan. Demikian juga pemikiran untuk bunuh diri, serta masalah kesehatan seperti sakit punggung, sakit kepala, dan gangguan pencernaan. 2.2.3 Sebab-sebab terjadinya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Menurut Fausiah (2005) secara definitif, penyebab utama PTSD adalah stresor. Namun harus disadari bahwa tidak setiap orang yang mengalami peristiwa traumatik akan menampilkan PTSD. Perlu dipertimbangkan berbagai faktor untuk mengetahui penyebab PTSD yaitu : 1. Faktor Resiko Davison & Neale (dalam Fausiah, 2005) menjelaskan beberapa hal dapat menjadi prediktor munculnya PTSD antara lain persepsi tentang adanya ancaman terhadap kehidupan, keberadaan sebagai wanita, perpisahaan dini dengan orangtua, sejarah PTSD dalam keluarga, pengalaman sebelumnya menghadapi trauma, serta gangguan sebelumnya (misalnya depresi dan kecemasan). Prevalensi PTSD juga meningkat sejalan dengan parahnya kejadian traumatik. Demikian juga munculnya simtom disosiatif dapat meningatkan kemungkinan munculnya PTSD. Faktor lain yang juga berpengaruh adaah kecenderungan untuk menganggap kegagalan sebagai kesalahan diri sendiri dan menyesuaikan diri terhadap stres dengan memfokuskan pada emosi, bukan pada masalah. 2. Teori-teori Psikologis Para teori belajar berasumsi bahwa PTSD terjadi karena pengondisian klasik terhadap rasa takut. Seorang wanita yang pernah diperkosa, contohnya, dapat merasa takut untuk berjalan di lingkungan tertentu (Conditioned Stimulus) karena diperkosa disana (Unconditioned Stimulus). Berdasarkan rasa takut yang dikondisikan secara klasik tersebut terjadi penghindaran yang secara negatif dikuatkan oleh berkurangnya rasa yang dihasilkan oleh CS. Sedangkan pandangan psikodinamika oleh Horowitz (dalam Davison, Neale & Kring, 2010) bahwa ingatan tentang kejadian traumatik muncul secara konstan dalam pikiran seseorang dan sangat menyakitkan sehingga secara sadar mereka mensupresinya (contohnya melalui distraksi) atau merepresinya. 3. Sudut Pandang Biologis Menjelasan bahwa trauma dapat mengaktifkan sistem, yang kemudian meningkatkan tingkat norepinephrine, sehingga membuat individu menjadi mudah terkejut dan lebih cepat menampilkan emosi dibandingkan keadaan normal. Keane dkk (dalam Halgin dan Whitbourne, 2010) mengelompokkan faktor resiko PTSD ke dalam tiga kategori, yaitu : a. Faktor yang sudah ada dan unik bagi setiap individu Bagi faktor-faktor yang sudah ada, seperti kontribusi genetis, hasil penelitian sejauh ini telah menunjukan suatu kaitan yang rentan antara psikopatologi keluarga dan perkembangan PTSD, namun kita belum mengetahui mekanisme biologis dalam keluarga yang dapat menyebabkan seseorang mengembangkan PTSD (Broekman, Olff, & Boer 2007). Selain itu peneliti mempelajari peranana factor-faktor lain, seperti jenis kelamin, usia, ras, dan status pernikahan. Ditemukan bahwa pada jenis kelamin, para pria lebih berpeluang mengalami trauma (seperti pertarungan), sedangkan wanita lebih berpeluang mengalami PTSD. Hal yang menarik adalah penemuan bahwa mereka yang mengalami trauma dan pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu dapat menjadi lebih rentan terhadap kemungkinan mengidap PTSD (Keane dkk, dalam Halgin dan Whitbourne, 2010). b. Faktor yang terkait dengan kejadian traumatis Faktor ini berfokus dari penyebab terjadinya kejadian traumatis. Terdapat suatu hubungan langsung antara tingkat buruknya trauma dan resiko individual untuk mengalami PTSD di masa depan. Dalam membandingkan wanita yang pernah menjadi korban serangan fisik atau cedera dengan wanita yang pernah menjadi korban perkosaan, para peneliti menemukan bahwa korban perkosaan lebih berpeluang mengalami PTSD dan juga masalah psikologis serius yang lain. Akibat alami dari perkosaan menambah suatu dimensi yang meningkatkan kerentanan mereka (Faravelli dkk dalam Halgin & Whitbourne, 2010). c. Kejadian-kejadian yang mengikuti pengalaman traumatis Faktor ini berfokus pada apa yang terjadi setelah mengalami trauma. Individu yang selamat dari trauma dan menerima dukungan sosial serta memahami apa yang terjadi setelah trauma tampak tidak terlalu rentan terhadap perkembangan PTSD dibandingkan individu yang tidak terawat dengan baik. 2.3 Perkosaan 2.3.1 Pengertian Perkosaan Menurut Foley & Davis (dalam Fausiah, 2002) perkosaan dalam bahasa inggris disebut “rape” berasal dari kata “rapere” (bahasa latin) yang berarti mencuri, merebut, membawa pergi. Menurut Hawari (2011) perkosaan merupakan hubungan seksual yang dilakukan dengan kekerasan dan paksaan secara fisik. Definisi perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapatdiartikan ke dalam tiga bentuk : 1. Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut. 2. Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsurunsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut. 3. Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau dibawah kondisi ancaman lainnya. Definisi tersebut menyebutkan bahwa perkosaan merupakan hubungan seksual yang dilakukan pria terhadap wanita yang terjadi diluar pernikahan. Sedangkan Poerwandari (dalam Luhulima, 2000), perkosaan merupakan hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehendak bersama, dipaksakan oleh satu pihak pada pihak lainnya. Korban dapat berada di bawah ancaman fisik dan/atau psikologis, kekerasan, dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya, berada di bawah umur, atau mengalami keterbelakangan mental dan kondisi kecacatan lain sehingga tidak dapat bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Matlin (dalam Fausiah, 2002) bahwa perkosaan adalah tindak kriminal dan tidak hanya sekedar nafsu. Dalam perkosaan, korban dipermalukan dan direndahkan lebih dari sekedar perampokan atau kekerasan fisik belaka. Berdasarkan definisi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa perkosaan merupakan suatu hubungan seksual yang dilakukan melalui paksaan serta ancaman dimana korbannya ketidakberdayaan karena mengalami tekanan fisik dan psikologis. 2.3.2 Jenis-Jenis Perkosaan Perkosaan dapat terjadi berbagai macam berdasarkan sudut pandang yang ada. Hasbianto & Triningtyasasih (dalam Fausiah, 2002) menggolongkan jenisjenis perkosaan berdasarkan pelaku dan cara melakukannya: 1. Perkosaan berdasarkan pelakunya yaitu: a. Perkosaan oleh orang yang dikenal. Perkosaan jenis ini dilakukan oleh teman atau anggota keluarga (ayah, paman, atau saudara). b. Perkosaan oleh pacar (dating rape). Yaitu perkosaan yang terjadi ketika korban berkencan dengan pacarnya. Kebanyakan karena dikondisikan berkencan ditempat yang sepi. Seringkali diawali dengan cumbuan, dan diakhiri dengan pemaksaan hubungan seksual. c. Perkosaan dalam perkawinan (marital rape). Biasanya terjadi pada istri yang memiliki ketergantungan kepada suami, atau karena adanya anggapan bahwa istri merupakan obyek seksual suami. Bentuknya adalah pemaksaan hubungan pada waktu atau dengan cara yang tidak dikehendaki oleh istri. d. Perkosaan oleh orang asing/tidak dikenal. Perkosaan jenis ini sering disertai tindakan kejahatan lain, seperti pencurian, perampokan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. 2. Perkosaan berdasarkan cara melakukannya yaitu : a. Perkosaan dengan janji-janji atau penipuan. Misalnya dengan janji korban akan dinikahi, tidak akan ditinggalkan. b. Perkosaan dengan ancaman halus. Biasanya terjadi pada korban yang memiliki ketergantungan sosial/ekonomi pada pelaku, seperti majikan pada pembantu atau guru pada murid. c. Perkosaan dengan paksaan fisik, yang dilakukan dengan ancaman menggunakan senjata, ataupun dengan kekuatan fisik. d. Perkosaan dengan memakai pengaruh tertentu (penggunaan obat-obatan, hipnotis). Perkosaan jenis ini dilakukan dengan cara menghilangkan kesadaran korban terlebih dahulu, baik dengan memakai obat, hipnotis. Foley & Davies (dalam Fausiah, 2002) mengemukakan pembagian lain dari perkosaan, yang meliputi: 1. Percobaan perkosaan (attempted rape), dimana pelaku sudah melakukan usaha penetrasi kepada korban, namun tidak dapat melakukannya sepenuhnya karena sesuatu hal. Misalnya adanya interupsi dari polisi atau orang lain. 2. Statutory rape, yaitu hubungan seksual antara orang yang usianya 18 tahun atau lebih (dewasa) dengan seseorang yang berusia kurang dari 14 tahun, dan bukan merupakan pasangannya. Pada perkosaan jenis ini pembatasan hanya dari segi umur. Sehingga hubungan seksual atas dasar suka-sama suka yang dilakukan di luar persetujuan orang tua dapat masuk dalam kategori ini. 3. Incest, adalah hubungan seksual, pernikahan, atau kohabitasi dengan keluarga sedarah tanpa memandang legitimasi dari tindakan tersebut. Defenisi incest kemudian berkembang dengan memasukkan hubungan seksual antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. 4. Indecent assault, yang meliputi tindakan memegang “daerah pribadi” pada tubuh seseorang (daerah kelamin, payudara, atau pantat) yang bukan pasangannya, dalam keadaan di mana korban mengetahui bahwa tindakan semacam itu berbahaya atau tidak menyenangkan. 5. Involuntary deviate sexual intercouse, yaitu intercousse secara oral maupun anal dengan seseorang tanpa persetujuannya, baik dengan ancaman atau paksaan, pada kondisi korban yang tidak sadar, terbelakang mental, atau di bawah usia 14 tahun. 6. Kekerasan seksual pada anak, adalah hubungan seksual yang dipaksakan pada anak-anak oleh orang lain. Berbagai jenis perkosaan yang telah peneliti kemukan di atas digunakan untuk batasan acuan yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini. Jadi dapat dikatakan korban perkosaan yang akan digunakan menjadi sampel bisa dalam berbagai jenis kasus perkosaan asalkan sampel tersebut sudah memenuhi kriteria dari jenis-jenis perkosaan yang ada diatas. 2.3.3 Faktor dan Dampak Perkosaan Bermacam-macam faktor yang dapat memungkinkan terjadinya suatu peristiwa perkosaan. Hawari (2011) menyebutkan beberapa faktor yang memprovokasi terjadinya tindak perkosaan yaitu : a. Pikiran kotor dan mesum pelaku Pikiran kotor dan mesum pelaku muncul karena adanya provokasi pihak lawan (korban). b. Busana yang dipakai perempuan Busana yang dipakai ppihak perempuan sebaiknya menutup aurat. Adalah di luar kesopanan, kepatutan, dan kepantasan apabila busana itu memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang sensitif. c. Miras dan Narkoba Penggunaan miras & narkoba memicu terjadinya perkosaan. Miras dan narkoba menyebabkan fungsi control diri melemah, hilangnya hambatan impuls seksual dan agresif. d. Kesempatan dan peluang Bila ketiga faktor di atas yaitu pikiran kotor, busana provokatif, ditambah dengan miras & narkoba dapat diatasi maka tinggal satu faktor lagi yaitu adanya kesempatan dan peluang. Selain itu Hawari (2011) menjelaskan juga dampak yang dialami dalam perkosaan dapat dikategorikan sebagai suatu tindak kejahatan, alasannya adalah : 1. Hamil di luar nikah yang berakibat aborsi. Aborsi sendiri merupakan tindakan kejahatan juga karena dianggap sebagai “pembunuhan”. 2. Anak yang dilahirkan di luar nikah membawa aib sebagai “anak haram”. Akte kelahiran anak, tidak mencantumkan nama siapa ayahnya. Hal ini membawa konsekuensi hukum dikemudian hari. 3. Anak yang dilahirkan tidak diingkan, lalu oleh ibunya dibuang (tempat sampah) atau bahkan sampai dibunuh, mengakibatkan konsekuensi sebagai tindak pidana (kejahatan). 4. Hubungan seksual meski memakai kondom sekalipun tidak menjamin terhadap penularan penyakit kelamin. 5. Terhadap diri korban, akan mengalami Post Traumatic Stress Disorder atau stres (keluhan fisik), kecemasan dan depresi. 2.4 Remaja 2.4.1 Pengertian Remaja Masa remaja (adolescence) merupakan peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia 10 atau 11, atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir atau usia dua puluhan awal, serta melibatkan perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang berkaitan. Secara umum masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas (puberty), proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual, atau fertilitas (kemampuan untuk melakukan reproduksi). Menurut Hurlock (dalam Ali dan Asrori, 2004) istilah adolescene sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan tersebut didukung oleh Piaget dengan mengemukakan secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkatan orangorang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurangkurangnya dalam hak (dalam Ali dan Asrori, 2004). Sementara definisi remaja secara lengkap menurut WHO (dalam Sarwono, 2010) terbagi dalam tiga konseptual, yaitu : 1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan fisik. 2. Individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. 3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Santrock (2003) menyatakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode transisi antara masa kanak-kanak dan orang dewasa yang meliputi perubahanperubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Masa remaja juga disebut masa topan badai (strum & drang), karena mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak akibat pertentangan nilai. Karena hal itu, para ahli mempunyai perbedaan dalam menentukan batasan remaja. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang mempengaruhi perkembangan setiap individu. Santrock (2002) berpendapat bahwa remaja dimulai pada usia 1013 tahun dan berakhir antara usia 18-22 tahun. Dalam Papalia (2009) memberikan batasan usia yang hampir sama, yaitu 12-13 tahun hingga akhir belaan atau pada awal dua puluhan. Sementara Sarwono (2010) membuat batasan mengenai remaja Indonesia sesuai dengan kultur budaya yang ada dimasyarakat kita. Menurutnya remaja Indonesia adalah individu yang berada pada usia 11-24 tahun, dan belum menikah. Usia 11 tahun adalah saat seseorang mulai mengalami perubahan seksual yang umumnya berakhir pada usia 24 tahun. Sedangkan dalam masyarakat Indonesia, seseorang yang sudah menikah (berapapun usianya) akan dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa. 2.4.2 Karakteristik Remaja Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis, tetapi juga fisik. Menurut Muss (dalam Sarwono, 2005) remaja perempuan dan laki-laki memiliki perubahan yang terjadi yaitu : Tabel 2.1 Karakteristik remaja Perempuan 1. Pertumbuhan tulang-tulang (badan Laki-laki 1. Pertumbuhan tulang-tulang menjadi tinggi, anggota-anggota 2. Testis (buah pelir) membesar badan menjadi panjang) 3. Tumbuh bulu kemaluan yang halus, 2. Pertumbuhan payudara 3. Tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap di kemaluan 4. Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap tahunnya 5. Bulu kemaluan menjadi keriting 6. Haid 7. Tumbuh bulu-bulu ketiak lurus, dan berwarna gelap 4. Awal perubahan suara 5. Ejakulasi (keluarnya air mani) 6. Bulu kemaluan menjadi keriting 7. Pertumbuhan tinggi badan mencapai maksimal setiap tahunnya 8. Tumbuh rambut-rambut halus di wajah (kumis, jenggot) 9. Tumbuh bulu ketiak 10. Akhir perubahan suara 11. Rambut-rambut di wajah bertambahh tebal dan gelap 12. Tumbuh bulu di dada Demikian pula pada perubahan kognitif yang dimiliki remaja. Menurut Elkind (dalam Papalia, 2009), ketidakmatangan memiliki enam ciri : cara berpikir pada remaja 1. Idealisme dan mudah mengkritik. Saat remaja memikirkan dunia ideal, mereka menyadari bahwa dunia nyata dimana mereka menganggap orang dewasa bertanggung jawab atas keberadaannya, tidak sesuai dengan pemikiran mereka. Mereka menjadi sangat sadar akan kemunafikan, dengan penalaran verbal mereka yang semakin tajam, mereka menikmati membaca dan penghibur yang menyerang tokoh publik dengan parodi. Merasa yakin lebih baik dibandingkan orang dewasa dalam menjalankan dunia, mereka sering kali menemukan kesalahan orangtua mereka. 2. Sifat argumentatif. Remaja terus-menerus mencari kesempatan untuk mencoba dan memamerkan kemampuan penalaran mereka. Mereka menjadi sering berdebat seiring dengan penguasaan fakta dan logika untuk membangun kasus, misalnya tidur lebih larut dibandingkan dengan pendapat orang tua mereka. 3. Sulit untuk memutuskan sesuatu. Remaja dapat memikirkan banyak alternatif di pikirannya dalam waktu yang sama, tetapi kurang memiliki strategi yang efektif untuk memilih. Mereka mungkin bermasalah untuk mengambil keputusan, bahkan tentang hal-hal sederhana. 4. Kemunafikan yang tampak nyata. Remaja sering kali tidak menyadari perbedaan antara mengekspresikan sesuatu yang ideal, seperti menghemat energi, dan membuat pengorbanan yang diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut, misalnya dengan mengurangi mengendarai mobil. 5. Kesadaran diri. Remaja yang berada dalam tahap operasional formal dapat berpikir mengenai berpikir, baik dalam diri mereka sendiri atau orang lain. Akan tetapi, karena terlalu terfokus pada keadaan mental mereka sendiri, remaja sering kali menganggap bahwa orang lain berpikir hal yang sama dengan diri mereka sendiri. Elkind menyebut kesadaran ini sebagai imaginary audience yaitu konseptualisasi “pengamat” yang peduli terhadap pemikiran dan perilaku remaja tersebut seperti dirinya sendiri. 6. Keistimewaan dan kekuatan. Elkind menggunakan istilah personal fable untuk menunjukan keyakinan remaja bahwa mereka istimewa, bahwa keberadaan mereka unik, dan bahwa mereka tidak harus menaati peraturan yang memerintahkan seluruh dunia. 2.2.3 Tahap dan Tugas Perkembangan Remaja Menurut Sarwono (2010), dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, setiap remaja harus melewati tiga tahap perkembangan, yaitu : 1. Remaja Awal (early adolescene), remaja pada tahap ini masih terheranheran akan perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. 2. Remaja Madya (middle adolescene), pada tahap ini remaja sangat tergantung pada teman dan senang kalau mempunyai banyak teman. Terdapat kecenderungan “narcistic”, menyukai teman-teman yang mempunyai sifat dan minat yang sama. Selain itu remaja dalam tahap ini berada dalam kondisi bingung untuk memilih, antara peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis. 3. Remaja Akhir (late adolescene), tahap ini adalah masa konsolidasi remaja menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu : a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek. b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam pengalaman baru. c. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. d. Egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public). Remaja memiliki tugas-tugas dalam perkembangan dalam hubungan lingkungannya. William Kay (dalam Yusuf, 2008) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja sebagai berikut : a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya. b. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang mempunyai otoritas c. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok. d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya. e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri. f. Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup (Weltanschauung). g. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanak-kanakan. Sedangkan menurut Hurlock (Ali dan Asrori, 2004) tugas-tugas perkembangan masa remaja yaitu : 1. Mampu menerima keadaan fisiknya. 2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa. 3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis. 4. Mencapai kemandirian emosional. 5. Mencapai kemandirian ekonomi. 6. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat. 7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dang orangtua. 8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa. 9. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan. 10. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga. Tugas-tugas perkembangan fase remaja berkaitan perkembangan kognitifnya, yaitu tahap operasional formal. Jean Piaget (Ali dan Asrori, 2004) tahap operasional formal pada remaja interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau banyak teman sebayanya dan berinteraksi dengan orang dewasa. bahkan berusaha untuk dapat 2.6 Paradigma Berpikir REMAJA Karakteristik Fisik Remaja Kognitif dan Sosial PERKOSAAN Jenis Dampak POST TRAUMATIC STRESS DISORDER Tugas dan Perkembangan Remaja