6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Mengenai Pantai 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Mengenai Pantai
2.1.1 Definisi Pantai
Pantai dapat diartikan sebagai suatu wilayah di mana wilayah daratan
bertemu dengan wilayah lautan (CERC, 2007). Selain itu, pantai juga
merupakan daerah atau tempat di mana gaya-gaya yang berasal dari laut
direaksikan ke daratan (CERC, 1984). Dalam buku Teknik Pantai (Bambang
Triatmodjo, 1999), dijelaskan bahwa wilayah pantai dibagi menjadi dua yaitu
pesisir (Shore) dan pantai (Coast). Pesisir adalah daerah darat di tepi laut
yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air laut. Sedangkan pantai adalah daerah di tepi perairan yang
dipengaruhi air pasang tertinggi dan air surut terendah.
Selain
daerah
pesisir
dan
pantai,
parameter-parameter
yang
berhubungan dengan batasan pantai dapat dilihat pada ilustrasi gambar di
bawah ini.
Gambar 2.1 Definisi dan Batasan Pantai
Sumber: Triatmodjo (1999)
6
Adapun definisi masing-masing parameter tersebut antara lain:
a. Daerah daratan (Hinterland), adalah daerah yang terletak di atas dan di
bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi atau
dengan kata lain, daratan adalah daerah yang terletak di belakang areal
pantai dan tidak mendapat pengaruh pasang surut dan perembesan air
laut.
b. Daerah lautan (Coastal Area), adalah daerah yang terletak di atas dan di
bawah permukaan laut di mulai dari sisi laut pada garis surut terendah,
termasuk dasar laut dan bagian bumi di bwahnya.
c. Garis pantai (Shoreline), adalah garis batas pertemuan antara daratan
dan air laut di mana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai
dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi.
d. Sempadan pantai (Back Zone Area), adalah kawasan tertentu sepanjang
pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi pantai. Jaraknya minimal 100 meter dari titik pasang
tertinggi ke arah daratan.
Selain parameter yang berkaitan dengan batasan pantai, terdapat juga
parameter yang berkaitan dengan karakteristik gelombang di daerah pantai.
Parameter tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2.2 Definisi dan Karakteristik Gelombang Pantai
Sumber: Triatmodjo (1999)
7
Adapun definisi masing-masing parameter tersebut antara lain:
a. Laut lepas pantai (Offshore), adalah daerah dari garis gelombang pecah
kea rah laut.
b. Daerah gelombang pecah (Breaker Zone) adalah daerah di mana
gelombang yang datang dari daerah Offshore mencapai ketidakstabilan
dan pecah.
c. Surf Zone adalah daerah yang terbentang antara bagian dalam dari
gelombang pecah dan batas naik-turunnya gelombang di pantai.
d. Swash Zone adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi
naiknya gelombang dan batas terendah turunnya gelombang di pantai.
e. Foreshore adalah daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat
muka air rendah sampai batas atas gerakan naik gelombang pada saat
air pasang tinggi.
f. Backshore adalah daerah yang dibatasi Foreshore dan garis pantai
yang terbentuk pada saat terjadi gelombang badai bersamaan dengan
muka air tinggi.
2.1.2 Ciri-Ciri dan Formasi Pantai
Secara umum, pantai dibentuk oleh lapisan tektonik. Inman dan
Nordstrom (1971), membuat klasifikasi dari cirri-ciri tingkatan pertama yang
dibagi menjadi tiga tipe-tipe utama pantai antara lain sebagai berikut:
a. Tipe Leading Edge atau tipe pantai tumbukan. Pantai tipe ini
diasosiasikan dengan ujung dari lempeng kerak.
b. Tipe Trailling Edge Coast. Pantai tipe ini diasosiasikan dengan trailing
edge dari suatu lempeng.
c. Tipe pantai laut marjinal. Tipe pantai ini membatasi sebuah laut yang
berdekatan dengan daratan dan pulau vulkanik di sekitar patahan.
Tipe-tipe pantai tersebut terbentuk pada saat pergerakan lempeng.
Ketika lempengan lautan saling bertemu maka salah satu lempeng akan
tertekan dan berpindah posisi si bawah lempengan lainnya. Ketika suatu
lempengan benua membujur di atas lempengan samudera, maka ujung
tersebut kurang lebih akan tertekan dan akan terjadi tumbukan pantai dengan
8
cekungan dalam di bagian depan. Pada bagian lain dari lempeng benua, akan
terbentuk Trailling Edge Coast di mana sedimentasi dapat membentuk suatu
Continental Shelf. Ketika tidak satupun lempeng samudera membawa sebuah
benua di bagian ujung, maka pantai pulau busur akan terbentuk. Di belakang
pantai pulau busur akan terbentuk pantai laut marjinal.
Dalam Pedoman Perencanaan Bangunan Pengaman Pantai di
Indonesia, 2009 dijelaskan mengenai letak-letak pantai tipe Leading Edge
atau pantai tumbukan, Trailling Edge, dan pantai marjinal di perairan negara
Indonesia. Hal tersebut dapat di lihat pada peta perairan Indonesia berikut ini:
Gambar 2.3 Peta Perairan Indonesia
Sumber: Pedoman Perencanaan Bangunan Pengaman Pantai di Indonesia (2009)
Pantai tumbukan terbentuk pada pantai barat pulau Sumatera dan pantai
selatan Jawa. Hal ini dikarenakan garis pantai di wilayah ini berbatasan
dengan Samudera Hindia. Pantai laut marjinal terdapat di pantai-pantai
sepanjang cekungan Sunda.
2.1.3 Tipe-Tipe Pantai
Tipe-tipe pantai umumnya dapat dibagi berdasarkan tiga kelompok,
antara lain tipe pantai berdasarkan material penyusunnya, tipe pantai
berdasarkan proses yang bekerja dalam pembentukannya dan tipe pantai
9
berdasarkan morfologinya. Berdasarkan material penyusunnya, secara umum
pantai dibedakan menjadi empat tipe, yaitu:
a. Pantai berpasir, yaitu pantai yang tersusun oleh endapan-endapan pasir.
b. Pantai berlumpur, yaitu pantai yang tersusun oleh endapan-endapan
lumpur yang berupa tanah lempung lanau.
c. Pantai berkarang, yaitu pantai yang tersusun oleh batu-batu karang.
d. Pantai bervegetasi, yaitu pantai yang tersusun atas vegetasi-vegetasi
alami pantai.
Suatu pantai juga dapat terbentuk oleh suatu proses alamiah yang
dialami oleh pantai itu sendiri. Berdasarkan proses yang bekerja dalam
pembentukannya, pantai dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu:
a. Pantai yang terbentuk akibat hasil proses erosi yang terjadi.
b. Pantai yang terbentuk akibat hasil proses sedimentasi.
c. Pantai yang terbentuk akibat hasil aktifitas alami organisme yang ada di
pantai.
Selain dari material penyusunnya dan proses pembentukannya, tipe-tipe
pantai juga dapat dilihat berdasarkan sudut pandang morfologinya. Apabila
dilihat dari sudut pandang morfologinya, tipe pantai dapat digolongkan
menjadi dua tipe yaitu:
a. Pantai bertebing, yaitu pantai yang memiliki tebing-tebing vertikal.
Tebing yang terbentuk dapat berupa tebing batuan induk maupun
endapan pasir.
b. Pantai berlereng, yaitu pantai yang berbentuk lereng. Umumnya pantai
berlereng adalah pantai berpasir.
2.1.4 Abrasi Pantai
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa wilayah pantai adalah wilayah
yang mengalami interaksi alamiah dari lautan dan interaksi akibat kegiatan
manusia di pesisir. Interaksi tersebut memberikan tekanan terhadap pantai
dan semakin besar tekanan yang dialami lingkungan pantai, maka berbagai
persoaalan akan terjadi. Persoaalan yang paling serius dihadapi lingkungan
pantai adalah masalah abrasi pantai.
10
Abrasi pantai adalah peristiwa terkikisnya pantai akibat gelombang
yang terjadi. Peristiwa abrasi biasanya berlangsung dalam kurun waktu
tertentu hingga dampaknya dapat dirasakan oleh manusia dan lingkungan
pesisir pantai. Abrasi pantai yang juga dikenal sebagai erosi pantai apabila
terjadi terus menerus akan
menyebabkan pemunduran garis pantai yang
sangat berpotensi merusak lingkungan sekitar pantai dan mengganggu
aktivitas manusia. Erosi pantai akan menyebabkan hilangnya pantai itu
sendiri apabila tidak ditangani. Selain menyebabkan pemunduran garis pantai,
peristiwa abrasi juga menyebabkan akresi(sedimentasi). Peristiwa akresi
mengakibatkan majunya posisi garis pantai. Peristiwa akresi ini dapat
menyebabkan tertutupnya muara sungai sehingga berpotensi terjadi banjir
pada sungai tersebut.
Masalah erosi pantai terdiri dari dua sebab yaitu akibat dari faktor
alamiah dan akibat dari perbuatan manusia. Faktor alamiah yaitu berupa
respon dari pantai itu sendiri terhadap efek dari aktifitas alam. Contoh-contoh
faktor alamiah penyebab peristiwa erosi pantai antara lain:
a. Naiknya muka air laut.
b. Variabilitas transport sedimen yang menuju ke zona litoral pantai.
c. Gelombang badai.
d. Transport sedimen sepanjang pantai (Longshore Sediment Transport).
e. Peristiwa deflasi.
Faktor perbuatan manusia terkait mulai dari perilaku manusia di lingkungan
pantai hingga aktivitas-aktivitas kepentingan manusia di lingkungan pantai.
Contoh-contoh faktor perbuatan manusia penyebab peristiwa erosi pantai
antara lain:
a. Kegiatan pengambilan sumber daya alam seperti gas, minyak atau batu
bara pada areal pantai.
b. Pengerukan (Dregging) pasir pantai untuk kepentingan tertentu.
c. Perusakan hutan bakau oleh manusia.
d. Pengambilan batu karang.
e. Kegiatan pembangunan seperti hotel, pelabuhan, jembatan di atas laut
dan lain sebagainya.
11
Suatu pantai dikatakan rusak apabila pemunduran atau perubahan garis
pantai telah mengakibatkan kerusakan atau mengancam sarana dan prasarana
yang ada di wilayah pantai. Bentuk-bentuk kerusakan tersebut antara lain
sebagai berikut:
a. Putusnya jalan yang dilalui kendaraan.
b. Robohnya rumah-rumah pemukiman penduduk.
c. Rusak atau hilangnya areal persawahan, pertambakan, hutan bakau dan
areal rekreasi pantai.
d. Rusaknya bangunan-bangunan fasilitas pelabuhan.
e. Rusak atau robohnya bangunan kantor, sekolah dan hotel.
f. Rusak dan robohnya bangunan peribadatan serta fasilitas umum
lainnya.
Bahaya erosi pantai dapat dicegah dan diminimalisasi dengan berbagai
cara. SDC (Sea Defence Consultans) dalam Pedoman Perencanaan
Bangunan Pengaman Pantai di Indonesia 2009 menentukan beberapa tipe
pendekatan yang digunakan sebagai penanganan terhadap bahaya erosi
berdasarkan masalah dan karakteristik pantai. Adapun empat dasar
pendekatan yang dapat diidentifikasaikan adalah:
a. Adaptasi. Pendekatan ini dilakukan dengan menyesuaikan diri terhadap
kejadian erosi dan banjir, tidak ada penanganan yang dilakukan untuk
mencegah ancaman bahaya tetapi tindakan ini dilakukan untuk
mengurangi dampak yang ditimbulkan sekecil mungkin.
b. Penanganan Lunak. Pendekatan yang lain seperti penanganan lunak
dalam mengurangi banjir dan erosi sekecil mungkin. Penanaman
tumbuhan/restorasi proteksi alamiah ini dapat meningkatkan ketahanan
pantai terhadap erosi dan menguatkan sistem proteksi alamiah terhadap
banjir. Isian pasir juga merupakan bagian dari penanganan ini.
Keuntungan utama dari penanganan lunak ini adalah tidak adanya
(kecil) efek samping yang ditimbulkan sehingga sistem alamiah pantai
tidak terganggu dan tetap terjaga.
c. Penanganan Keras-Bangunan Pantai. Jika diperlukan, bangunan
pantai dapat digunakan untuk mengurangi atau menghentikan banjir
12
pasang dan erosi. Konstruksi yang dapat digunakan sebagai proteksi
banjir
dan
pasang
adalah
tanggul
banjir
dan
Sea
Dike,
Seawall/Revetment untuk melindungi sarana-sarana penting dari
ancaman erosi jangka pendek. Bangunan pantai tidak direkomendasikan
dibangun paa pantai dengan kelangsungan erosi terus menerus
d. Penanganan Keras-Bangunan Lepas Pantai. Bangunan lepas pantai
dapat diterapkan untuk mengurangi atau menghentikan erosi yang
berlangsung lama. Konstruksi-konstruksi ini dapat merubah pola
transpor sedimen alamiah, dalam hal ini kondisi pantai dapat distabilkan
walaupun menimbulkan akresi yang cukup besar. Pemilihan bangunan
harus benar-benar diperhitungkan, karena aplikasi bangunan ini dapat
mengganggu sistem alamiah pantai dan memicu terjadinya erosi di
kawasan berikutnya.
2.2 Teori Gelombang Amplitudo Kecil, Energi dan Tenaga Gelombang
2.2.1 Teori Gelombang Amplitudo Kecil
Teori gelombang yang paling sederhana adalah teori gelombang
amplitudo kecil. Teori yang pertama kali diperkenalkan oleh Airy pada tahun
1845 ini merupakan teori yang paling mudah aplikasinya dalam
memperkirakan karakteristik dan parameter gelombang. Bambang Triatmodjo
(1999) menjelaskan bahwa teori gelombang amplitudo kecil diturunkan
berdasarkan persamaan Laplace untuk aliran tak rotasi dengan kondisi batas
di permukaan air dan dasar laut. Kondisi batas di permukaan laut didapat
dengan melinierkan persamaan Bernoulli untuk aliran tak mantap.
Selanjutnya persaan tersebut digunakan sebagai dasar dalam menurunkan
persamaan berbagai karakteristik gelombang seperti kecepatan partikel,
percepatan partikel, tekanan, cepat rambat gelombang dan sebagainya.
Dalam penurunan berbagai persamaan gelombang untuk teori
gelombang amplitudo kecil terdapat beberapa anggapan sebagai berikut:
a. Zat cair adalah homogen dan tidak termampatkan, sehingga rapat massa
adalah konstan.
13
b. Tegangan permukaan diabaikan.
c. Gaya Coriolis (akibat perputaran bumi) diabaikan.
d. Tekanan pada permukaan air adalah seragam dan konstan.
e. Zat cair adalah ideal, sehingga berlaku aliran tak rotasi.
f. Dasar laut adalah horizontal, tetap dan impermeabel sehingga kecepatan
vertikal di dasar laut adalah nol.
g. Amplitudo gelombang kecil terhadap panjang gelombang dan
kedalaman air.
h. Gerak gelombang benrbentuk silinder yang tegak lurus arah penjalaran
gelombang sehingga gelombang adalah dua dimensi.
2.2.1.1 Definisi Gelombang
Sesuai dengan anggapan untuk teori gelombang amplitudo kecil,
maka
parameter-parameter
gelombang
dapat
digambarkan
dan
didefinisikan sebagai berikut:
d
: jarak antara muka air rerata dan dasar laut (kedalaman laut)
πœ‚(x,t) : fluktuasi muka air terhadap muka air diam
𝛼
: amplitudo gelombang
H
: tinggi gelombang
L
: panjang gelombang
T
: periode gelombang
C
: cepat rambat gelombang
k
: angka gelombang
𝜎
: frekuensi gelombang
14
Gambar 2.4 Ilustrasi Parameter-Parameter Gelombang
Sumber: Coastal Engineering Manual (2007)
2.2.1.2 Cepat Rambat, Panjang dan Periode Gelombang
Secara umum hubungan antara cepat rambat (C), panjang
gelombang (L) dan periode gelombang (T) dapat ditulis sebagai berikut:
𝐿
𝐢=𝑇
(II.2.1)
Hubungan antara cepat rambat gelombang, panjang gelombang dan
kedalaman air dapat dituliskan sebagai berikut:
𝑔.𝐿
𝐢 = √ 2πœ‹ tanh (
2.πœ‹.𝑑
𝐿
)
(II.2.2)
Persamaan (II.2.2) merupakan persamaan di mana gelombang dengan
periode berbeda bergerak dengan kecepatan yang berbeda. Namun
untuk situasi di mana terdapat lebih dari satu gelombang, gelombang
dengan periode terpanjang akan bergerak lebih cepat sehingga
persamaan (II.2.2) dapat ditulis sebagai:
15
𝑐=
𝑔.𝑇
2πœ‹
2.πœ‹.𝑑
tanh (
𝐿
)
(II.2.3)
Dengan nilai angka gelombang π‘˜ =
πœ”=
2.πœ‹
2.πœ‹
𝐿
dan nilai frekuensi gelombang
serta persamaan (II.2.1), maka akan diperoleh nilai panjang
𝑇
gelombang sebagai fungsi kedalaman dan periode gelombang:
𝐿=
𝑔.𝑇 2
2.πœ‹
tanh (
2.πœ‹.𝑑
𝐿
)=
𝑔.𝑇
πœ”
tanh(π‘˜. 𝑑)
(II.2.4)
Pada persamaan (II.2.4) terdapat parameter panjang gelombang (L) di
kedua sisi persamaan sehingga untuk menyelesaikan persamaan ini
diperlukan perhitungan berulang (iterasi). Dalam perkembangannya,
terdapat persamaan empiris untuk menyelesaikan persamaan tersebut,
salah satu persamaan empiris tersebut adalah persamaan Eckart (CEM
2007) yaitu:
𝐿≈
𝑔.𝑇 2
2.πœ‹
4.πœ‹ 2 𝑑
√tanh (
𝑇2 𝑔
)
(II.2.5)
2.2.1.3 Klasifikasi Gelombang Menurut Kedalaman Relatif
Kedalaman relatif adalah perbandingan kedalaman air d dengan
panjang gelombang L, (d/L). Bedasarkan nilai kedalaman relative
tersebut, maka klasifikasi gelombang dapat digolongkan sebagai
berikut:
a. Gelombang di laut dangkal, jika d/L ≤ 1/20, 2πœ‹d/L ≤ πœ‹/10, dan
2.πœ‹.𝑑
tanh (
𝐿
)≈
2.πœ‹.𝑑
𝐿
, maka persamaan cepat rambat gelombang dapat
dituliskan sebagai berikut:
𝐢 = √𝑔. 𝑑
(II.2.6)
16
b. Gelombang di laut dalam, jika d/L > 1/2, 2πœ‹d/L ≥ πœ‹, dan
2.πœ‹.𝑑
tanh (
𝐿
) ≈ 1 , maka persamaan cepat rambat gelombang dan
panjang gelombang adalah sebagai berikut (satuan SI):
𝐢0 =
𝐿0 =
𝑔.𝑇
2.πœ‹
=
𝑔.𝑇 2
2.πœ‹
9,8.𝑇
2.πœ‹
=
= 1,56. 𝑇 π‘š/𝑑𝑑
9,8.𝑇 2
2.πœ‹
(II.2.7)
= 1,56. 𝑇 2 π‘š
(II.2.8)
c. Gelombang di laut transisi, jika 1/20 ≤ d/L < 1/2, πœ‹/10 < 2πœ‹d/L < πœ‹,
maka berlaku persamaan (II.2.3) dibagi persamaan (II.2.7) dan
persamaan (II.2.4) dibagi persamaan (II.2.8) sehingga:
𝐢
𝐿
𝐢0
2.πœ‹.𝑑
= 𝐿 = tanh (
𝐿
0
)
(II.2.9)
Apabila tiap ruas pada persamaan (II.2.9) dikalikan dengan d/L
maka persamaan tersebut akan menjadi:
𝑑
𝑑
𝐿0
= 𝐿 tanh (
2.πœ‹.𝑑
𝐿
𝑑
) = 𝐿 tanh(π‘˜. 𝑑)
(II.2.10)
2.2.1.4 Fluktuasi Muka Air
Telah
dijelaskan
diklasifikasikan
sebelumnya
berdasarkan
bahwa
kedalaman
gelombang
relatifnya.
Dalam
dapat
tiap
kedalaman relatif, persamaan-persamaan parameter gelombang akan
berbeda kecuali parameter fluktuasi muka air. Untuk tiap kedalaman
relatif, besarnya fluktuasi muka air πœ‚(x,t) nilainya adalah sama dan
ditentukan dengan persamaan:
𝐻
πœ‚ = 2 cos [
2.πœ‹.π‘₯
𝐿
−
2.πœ‹.𝑑
𝑇
]
(II.2.11)
17
2.2.1.5 Kecepatan dan Percepatan Partikel Zat Cair
Dalam studi gaya gelombang, kecepatan dan percepatan partikel
zat cair untuk berbagai variasi nilai z dan t (kedalaman dan waktu)
harus diketahui nilainya. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut
kedalaman relatifnya, gelombang dibagi menjadi tiga klasifikasi. Untuk
menentukan nilai komponen horizontal u dan komponen vertikal w dari
kecepatan partikel zat cair dapat menggunakan persamaan berikut ini:
ο‚·
Untuk gelombang di laut dangkal,
𝑒=
𝐻
𝐻.πœ‹
𝑀=
ο‚·
𝑔
2.πœ‹.π‘₯
√ cos (
2 𝑑
𝑇
2.πœ‹.𝑑
𝐿
−
𝑧
𝑇
2.πœ‹.π‘₯
(1 + 𝑑) sin (
𝐿
)
(II.2.12)
−
2.πœ‹.𝑑
𝑇
)
(II.2.13)
Untuk gelombang di laut transisi,
𝑒=
𝐻 𝑔.𝑇 cosh[2.πœ‹(𝑧+𝑑)⁄𝐿 ]
2.πœ‹.π‘₯
cos
(
)
2 𝐿
cosh(2.πœ‹.𝑑⁄𝐿
𝐿
−
πœ‹.𝐻 cosh[2.πœ‹(𝑧+𝑑)⁄𝐿 ]
2.πœ‹.π‘₯
) sinh(2.πœ‹.𝑑⁄𝐿) cos ( 𝐿
𝑇
𝑒=(
𝑀=
𝐻 𝑔.𝑇 sinh[2.πœ‹(𝑧+𝑑)⁄𝐿 ]
2.πœ‹.π‘₯
sin ( 𝐿
2 𝐿
cosh(2.πœ‹.𝑑⁄𝐿 )
𝑀=(
ο‚·
−
πœ‹.𝐻 sinh[2.πœ‹(𝑧+𝑑)⁄𝐿 ]
2.πœ‹.π‘₯
) sinh(2.πœ‹.𝑑⁄𝐿) sin ( 𝐿
𝑇
2.πœ‹.𝑑
𝑇
−
2.πœ‹.𝑑
𝑇
2.πœ‹.𝑑
−
)
𝑇
)
2.πœ‹.𝑑
𝑇
)
atau
)
(II.2.14)
(II.2.15)
atau
(II.2.16)
(II.2.17)
Untuk gelombang di laut dalam,
𝑒=
πœ‹.𝐻
𝑀=
𝑇
𝑒(
πœ‹.𝐻
𝑇
2.πœ‹.𝑧
)
𝐿
𝑒(
2.πœ‹.π‘₯
cos (
2.πœ‹.𝑧
)
𝐿
𝐿
−
2.πœ‹.π‘₯
sin (
𝐿
2.πœ‹.𝑑
−
𝑇
)
2.πœ‹.𝑑
𝑇
)
(II.2.18)
(II.2.19)
Persamaan-persamaan kecepatan partikel air tersebut, apabila
diturunkan menurut fungsi waktu t maka persamaan percepatan partikel
18
zat cair arah horizontal ax dan arah vertikal az dapat diketahui. Adapun
hasil dari penurunan persamaan tersebut adalah sebagai berikut:
ο‚·
Untuk gelombang di laut dangkal,
π‘Žπ‘₯ =
𝐻.πœ‹
𝑇
𝑔
2.πœ‹.π‘₯
√𝑑 sin (
𝐿
−
πœ‹ 2
2.πœ‹.𝑑
𝑇
)
𝑧
(II.2.20)
2.πœ‹.π‘₯
π‘Žπ‘§ = −2. 𝐻 (𝑇 ) (1 + 𝑑) cos (
ο‚·
𝐿
2.πœ‹.𝑑
−
(II.2.21)
) atau
(II.2.22)
Untuk gelombang di laut transisi,
π‘Žπ‘₯ =
𝑔.πœ‹.𝐻 cosh[2.πœ‹(𝑧+𝑑)⁄𝐿 ]
2.πœ‹.π‘₯
sin ( 𝐿
𝐿
cosh(2.πœ‹.𝑑⁄𝐿 )
π‘Žπ‘₯ = (
−
2.πœ‹.𝑑
𝑇
2.πœ‹2 .𝐻 cosh[2.πœ‹(𝑧+𝑑)⁄𝐿 ]
2.πœ‹.π‘₯
) sinh(2.πœ‹.𝑑⁄𝐿) sin ( 𝐿
𝑇2
π‘Žπ‘§ = −
𝑔.πœ‹.𝐻 sinh[2.πœ‹(𝑧+𝑑)⁄𝐿 ]
2.πœ‹.π‘₯
cos ( 𝐿
𝐿
cosh(2.πœ‹.𝑑⁄𝐿 )
−
−
2.πœ‹.𝑑
𝑇
2.πœ‹.𝑑
2.πœ‹ 2 .𝐻 sinh[2.πœ‹(𝑧+𝑑)⁄𝐿 ]
2.πœ‹.π‘₯
)
cos
(
2
𝑇
sinh(2.πœ‹.𝑑⁄𝐿 )
𝐿
π‘Žπ‘§ = − (
ο‚·
)
𝑇
𝑇
−
)
(II.2.23)
) atau
2.πœ‹.𝑑
𝑇
)
(II.2.24)
(II.2.25)
Untuk gelombang di laut dalam,
πœ‹ 2
π‘Žπ‘₯ = 2. 𝐻 (𝑇 ) 𝑒 (
πœ‹ 2
2.πœ‹.𝑧
)
𝐿
π‘Žπ‘§ = −2. 𝐻 (𝑇 ) 𝑒 (
2.πœ‹.π‘₯
sin (
2.πœ‹.𝑧
)
𝐿
𝐿
cos (
−
2.πœ‹.π‘₯
𝐿
2.πœ‹.𝑑
𝑇
−
)
2.πœ‹.𝑑
𝑇
(II.2.26)
)
(II.2.27)
2.2.1.6 Perpindahan Partikel Zat Cair
Perpindahan (displacement) partikel zat cair pada gelombang
merupakan parameter yang cukup penting. Partikel zat cair umumnya
bergerak membentuk orbit elips pada laut dangkal dan transisi.
Sedangkan pada laut dalam, partikel zat cair bergerak membentuk orbit
lingkaran. Ilustrasi gerak orbit partikel zat cair dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:
19
Gambar 2.5 Orbit Perpindahan Partikel Zat Cair
Sumber: Coastal Engineering Manual (2007)
Adapun persamaan perpindahan partikel zat cair didapat dari
integral persamaan kecepatan partikel zat cair pada masing-masing
kedalaman relatifnya. Berikut ini adalah persamaan perpindahan
partikel zat cair pada arah horizontal πœ‰ dan arah verikal 𝜁 pada tiap
kedalaman relatif:
ο‚·
Untuk gelombang di laut dangkal,
𝐻.𝑇
𝑔
2.πœ‹.π‘₯
πœ‰ = − 4.πœ‹ √𝑑 sin (
𝐻
𝑧
𝜁 = 2 (1 + 𝑑) cos (
ο‚·
𝐿
−
2.πœ‹.π‘₯
𝐿
2.πœ‹.𝑑
−
𝑇
)
2.πœ‹.𝑑
𝑇
(II.2.28)
)
(II.2.29)
Untuk gelombang di laut transisi,
𝐻 cosh[2.πœ‹(𝑧+𝑑)⁄𝐿 ]
2.πœ‹.π‘₯
sin ( 𝐿
sinh2.πœ‹.𝑑⁄𝐿
πœ‰ =−2
𝜁=
𝐻 sinh[2.πœ‹(𝑧+𝑑)⁄𝐿 ]
2.πœ‹.π‘₯
cos ( 𝐿
2 sinh(2.πœ‹.𝑑 ⁄𝐿 )
−
−
2.πœ‹.𝑑
𝑇
2.πœ‹.𝑑
𝑇
)
)
(II.2.30)
(II.2.31)
20
ο‚·
Untuk gelombang di laut dalam,
𝐻
πœ‰ = − 2 𝑒(
𝐻
𝜁 = 2 𝑒(
2.πœ‹.𝑧
)
𝐿
2.πœ‹.𝑧
)
𝐿
2.πœ‹.π‘₯
sin (
𝐿
2.πœ‹.π‘₯
cos (
𝐿
−
−
2.πœ‹.𝑑
𝑇
2.πœ‹.𝑑
𝑇
)
)
(II.2.32)
(II.2.33)
2.2.1.7 Tekanan Gelombang
Tekanan yang diberikan gelombang merupakan kombinasi
antara tekanan dinamis dan tekanan hidrostatis. Adapaun persamaan
untuk tekanan hidrostatis pa dengan 𝜌 merupakan berat jenis air laut
(1025 Kg/m3), adalah:
π‘π‘Ž = 𝜌. 𝑔. 𝑧
(II.2.34)
Sedangkan untuk tekanan dinamis p’ persamaannya adalah sebagai
berikut:
𝑝′ = 𝜌. 𝑔. πœ‚
cosh[2.πœ‹(𝑧+𝑑)⁄𝐿 ]
cosh(2.πœ‹.𝑑⁄𝐿 )
(II.2.35)
Oleh karena pergerakan kedua tekanan ini berlawanan, maka
resulatante dari kedua tekanan ini menghasilkan tekanan gelombang p
dengan persamaan:
𝑝 = 𝜌. 𝑔. πœ‚
cosh[2.πœ‹(𝑧+𝑑)⁄𝐿 ]
cosh(2.πœ‹.𝑑⁄𝐿 )
− 𝜌. 𝑔. 𝑧
(II.2.36)
Persamaan (II.2.36) di atas merupakan persamaan tekanan
gelombang untuk gelombang di laut transisi. Persamaan tekanan
gelombang untuk gelombang di laut dangkal dan laut dalam adalah
sebagai berikut:
ο‚·
Untuk gelombang di laut dangkal,
𝑝 = 𝜌. 𝑔. (πœ‚ − 𝑧)
(II.2.37)
21
ο‚·
Untuk gelombang di laut dalam,
𝑝 = 𝜌. 𝑔. πœ‚. 𝑒 (
2.πœ‹.𝑧
)
𝐿
− 𝜌. 𝑔. 𝑧
(II.2.38)
2.2.1.8 Kecepatan Grup Gelombang
Apabila terdapat dua deret gelombang monokromatik (suatu
deret gelombang dengan satu macam tinggi, panjang dan cepat rambat
gelombang) menjalar dalam arah dan tinggi gelombang yang sama
tetapi panjang dan cepat rambat gelombang berbeda, maka kedua
gelombang tersebut akan bersuperposisi. Superposisi kedua gelombang
tersebut menyebabkan terbentuknya suatu kelompok gelombang yang
menjalar dengan cepat rambat kelompok gelombang Cg.
Gambar 2.6 Superposisi Dua Deret Gelombang Terpisah
Sumber: Triatmodjo (1999)
Sama halnya dengan persamaan cepat rambat gelombang,
persamaan kecepatan grup gelombang juga memiliki perbedaan pada
tiap kedalaman relatifnya. Nilai C yang digunakan disesuaikan dengan
kedalaman relaif masing-masing gelombang. Adapun persamaan
kecepatan grup gelombang untuk tiap kedalaman relatifnya adalah
sebagai berikut:
22
ο‚·
Untuk gelombang di laut dangkal,
𝐢𝑔 = 𝐢 = √𝑔. 𝑑
ο‚·
(II.2.40)
Untuk gelombang di laut transisi,
4.πœ‹.𝑑 ⁄𝐿
1
𝐢𝑔 = 𝑛. 𝐢 = 2 [1 + sinh(4.πœ‹.𝑑⁄𝐿)] . 𝐢
ο‚·
(II.2.41)
Untuk gelombang di laut dalam,
1
𝐢𝑔 = 2 𝐢 =
𝑔.𝑇
(II.2.42)
4.πœ‹
2.2.2 Energi dan Tenaga Gelombang
2.2.2.1 Energi Gelombang
Energi gelombang merupakan penggabungan/penjumlahan dari
energi kinetik dan energi potensial gelombang. Energi kinetik adalah
energi yang dihasilkan akibat kecepatan partikel karena adanya
pergerakan gelombang. Sedangkan energi potensial adalah energi yang
dihasilkan akibat perpindahan muka air karena adanya gelombang.
Dalam teori gelombang amplitudo kecil persamaan energi
kinetik Ek dan potensial Ep berdasarkan anggapan jika energi potensial
relatif terhadap muka air diam, dan semua gelombang menjalar dalam
arah yang sama, maka komponen energi potensial dan kinetik adalah
sama. Adapun persamaan energi gelombang E, energi kinetik Ek dan
energi potensial Ep untuk teori gelombang amplitudo kecil adalah
sebagai berikut:
πΈπ‘˜ =
𝐸𝑝 =
𝜌.𝑔.𝐻 2 .𝐿
(II.2.43)
16
𝜌.𝑔.𝐻 2 .𝐿
(II.2.44)
16
𝐸 = πΈπ‘˜ + 𝐸𝑝 =
𝜌.𝑔.𝐻 2 .𝐿
8
(II.2.45)
23
Energi gelombang yang dihasilkan berubah dari satu titik ke titik yang
lain sepanjang satu panjang gelombang dan energi rerata 𝐸̅ satu satuan
luas adalah:
𝐸
𝜌.𝑔.𝐻
𝐸̅ = 𝐿 = 8
2
(II.2.46)
2.2.2.2 Tenaga Gelombang
Tenaga gelombang merupakan energi gelombang tiap satuan
waktu yang menjalardalam arah penjalaran gelombang. Dalam SPM
1984, tenaga gelombang 𝑃̅ disebut sebagai “Fluks Energi”. Besarnya
fluks energi yang dibawa gelombang yang merambat dengan cepat
rambat nC per satuan lebar puncak gelombang dapat ditulis sebagai
berikut:
𝑃̅ = 𝐸̅ . 𝑛. 𝐢
(II.2.47)
Dengan n.C adalah cepat rambat grup gelombang Cg, maka persamaan
fluks energi untuk tiap kedalaman relatif gelombang dapat ditentukan.
ο‚·
Untuk gelombang di laut dangkal, nilai n adalah 1, maka:
𝑃̅ = 𝐸̅ . 𝐢
ο‚·
(II.2.48)
Untuk gelombang di laut transisi, nilai n adalah sesuai dengan
persamaan (II.2.41), maka:
1
4.πœ‹.𝑑⁄𝐿
𝑃̅ = 𝐸̅ . [2 (1 + sinh(4.πœ‹.𝑑⁄𝐿))] . 𝐢
ο‚·
(II.2.49)
Untuk gelombang di laut dalam, nilai n adalah 1/2, maka:
1
𝑃̅ = 2 . Μ…Μ…Μ…
𝐸0 . 𝐢0
(II.2.50)
2
𝜌.𝑔.𝐻′
Dengan: Μ…Μ…Μ…
𝐸0 = 8 0 dan H’0 adalah tinggi gelombang di laut
dalam ekivalen.
Dalam penjalarannya menuju pantai, fluks energi yang melintasi
suatu titik pada lintasannya harus sama dengan fluks energi yang
melintasi titik berikutnya, sehingga:
24
𝑃̅ = 𝑛1 . Μ…Μ…Μ…
𝐸1 . 𝐿1 = 𝑛2 . Μ…Μ…Μ…
𝐸2 . 𝐿2 = π‘˜π‘œπ‘›π‘ π‘‘π‘Žπ‘›
(II.2.51)
Apabila yang ditinjau adalah penjalaran gelombang dari laut dalam
menuju suatu titik, maka persamaan (II.2.51) dapat ditulis:
1
2
̅𝐿
. Μ…Μ…Μ…
𝐸0 . 𝐿0 = 𝑛. 𝐸.
(II.2.52)
2.3 Deformasi Gelombang
Apabila suatu deretan gelombang bergerak menuju pantai, gelombang
tersebut akan mengalami perubahan bentuk (berdeformasi). Sebab-sebab dari
deformasi gelombang ini antara lain akibat proses refraksi, difraksi, gelombang
laut dalam ekivalen dan gelombang pecah.
2.3.1 Refraksi Gelombang
Refraksi gelombang terjadi karena adanya pengaruh perubahan
kedalaman laut. Kecepatan rambat gelombang bergantung pada kedalaman air
di mana gelombang menjalar. Bila cepat rambat gelombang berkurang
dengan kedalaman, panjang gelombang juga berkurang secara linier. Variasi
cepat rambat gelombang terjadi sepanjang garis puncak gelombang yang
membentuk sudut terhadap garis kedalaman laut karena bagian dari
gelombang di laut dalam bergerak lebih cepat daripada bagian di laut yang
lebih dangkal. Variasi cepat rambat tersebut menyebabkan puncak gelombang
membelok dan sejajar dengan kontur dasar laut. Selama perambatan
gelombang dari laut dalam menuju pantai, gelombang akan mengalami proses
refraksi
gelombang
yaitu
perubahan
karakteristik
gelombang
yang
disebabkan oleh perubahan kedalaman air (Sorensen 1978). Ilustrasi dari
refraksi gelombang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
25
Gambar 2.7 Ilustrasi Peristiwa Refraksi Gelombang
Sumber: Coastal Engineering Manual (2007)
Karena tinggi gelombang akibat proses refraksi gelombang dipengaruhi
oleh pendangkalan gelombang (shoalling wave), maka terdapat koefisien
pendangkalan Ks. Koefisien pendangkalan Ks, dapat dihitung berdasarkan
persamaan berikut ini:
𝐢𝑔0
𝐾𝑠 = √ 𝐢
(II.3.1)
𝑔𝑙
Dengan Cg0 adalah kecepatan grup gelombang gelombang di laut dalam
sesuai persamaan (II.2.42) dan Cgl adalah kecepatan grup gelombang di laut
dangkal dan transisi sesuai persamaan (II.2.40) dan (II.2.41). Koefisien
pendangkalan Ks selain dengan persamaan (II.3.1), dapat pula ditentukan
melalui tabel L-1 dari buku Teknik Pantai, Triatmodjo (1999) (terlampir),
dengan menentukan terlebih dahulu nilai kedalaman relatif untuk gelombang
𝑑
di laut dalam ( 0 ).
𝐿0
Selain koefisien pendangkalan, tinggi gelombang akibat proses refraksi
juga dipengaruhi oleh koefisien refraksi itu sendiri. Penentuan koefisien
refraksi dapat dilihat pada ilustrasi gelombang di bawah ini:
26
Gambar 2.8 Refraksi Gelombang Pada Kontur Sejajar
Sumber: Coastal Engineering Manual (2007)
Adapun persamaan untuk koefisien refraksi Kr adalah sebagai berikut:
𝑏
cos πœƒ
πΎπ‘Ÿ = √𝑏0 = √cos πœƒ0
1
1
(II.3.2)
Proses refraksi gelombang adalah sama dengan refraksi cahaya yang terjadi
namun yang berbeda adalah media perantaranya, sehingga hubungan antara
kecepatan di media perantara dengan sudut yang dibentuk dapat dituliskan
sesuai hukum Snell sebagai berikut:
𝐢
sin πœƒ1 = (𝐢1 ) . sin πœƒ0
0
(II.3.3)
Dengan πœƒ1 adalah sudut antara puncak gelombang dan garis kontur pada titik
yang ditinjau, C adalah cepat rambat gelombang di titik yang ditinjau dan πœƒ0
dan C0 adalah sama dengan πœƒ1 dan C untuk keadaan gelombang di laut dalam.
Berdasarkan gambar 2.8 dan persamaan (II.3.2) dan (II.3.3), hukum
snell berlaku hanya pada kontur pantai yang sejajar. Apabila hukum snell
tersebut dapat diterpkan pada kontur yang tidak sejajar, maka diadakan
27
penyederhanaan pada kontur kedalaman. Penyederhanaan tersebut berupa
penggambaran garis kedalaman rata-rata antara dua garis kedalaman yang
ditinjau. Garis ini biasanya disebut kontur tengah (Mid Countur). Untuk lebih
jelasnya, dapat dilihat dari gambar di bawah.
α1
1
Garis Singgung
Mid Countur
αo
2
Gambar 2.9 Penyederhanaan Garis Kontur
Sumber: Nur Yuwono (1992)
Dengan adanya Ks dan Kr, maka tinggi gelombang H setelah proses
refraksi dapat ditentukan dengan persamaan di bawah ini:
𝐻 = 𝐾𝑠 . πΎπ‘Ÿ . 𝐻0
(II.3.4)
Dengan H0 adalah tinggi gelombang di laut dalam.
2.3.2 Difraksi Gelombang
Proses difraksi gelombang adalah proses pentransferan energi sebagian
dari energi gelombang yang terhalang oleh suatu penghalang. Apabila
gelombang datang terhalang oleh suatu penghalang seperti pemecah
gelombang atau pulau, maka gelombang tersebut akan membelok di sekitar
ujung rintangandan masuk ke dalam daerah terlindung di belakangnya, hal ini
dapat dilihat pada gambar berikut:
28
Gambar 2.10 Difraksi Gelombang di Belakang Breakwater
Sumber: Coastal Engineering Manual
Perbandingan antara tinggi gelombang di titik yang terletak di daerah
terlindung dan tinggi gelombang datang di sebut koefisien difraksi K’. Dari
gambar di atas, Hd adalah tinggi gelombang terdifraksi dan Hi adalah tinggi
gelombang di ujung penghalang, sehingga persamaan K’ dapat ditulis
sebagai:
𝐾′ =
𝐻𝑑
𝐻𝑖
π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘’ 𝐻𝑑 = 𝐻𝑖 . 𝐾 ′
(II.3.5)
Besarnya koefisien difraksi gelombang bergantung dari nilai
πœƒ, 𝛽, π‘‘π‘Žπ‘› π‘Ÿ⁄𝐿 . Ketiga parameter tersebut dapat diplot ke tabel koefisien
difraksi gelombang dari buku Teknik Pantai, Triatmodjo (1999) (terlampir).
Hasil dari nilai K’ berdasarkan tabel tersebut merupakan tabel koefisien
difraksi untuk penghalang tunggal. Untuk penghalang bercelah yang memiliki
celah dengan lebar celah B per panjang gelombang L kurang dari
𝐡
5 [( 𝐿 ) < 5], maka untuk mencari koefisien difraksi gelombang K’ dapat
menggunakan grafik yang dikembangkan oleh Johnson (1952) (terlampir).
29
Nilai K’ didapat dengan memplot nilai B/L, x/L, z/L dan sudut datang
gelombang.
Gambar 2.11 Difraksi Gelombang Pada Penghalang Bercelah
Sumber: Coastal Engineering Manual (2007)
2.3.3 Gelombang Laut Dalam Ekivalen
Analisa transformasi gelombang sering dilakukan dengan konsep
gelombang laut dalam ekivalen. Pemakaian gelombang ini bertujuan untuk
menetapkan tinggi gelombang yang mengalami refraksi, difraksi dan
transformasi lainnya, sehingga perkiraan transformasi dan deformasi
gelombang dapat dilakukan dengan mudah. Dengan diketahuinya nilai
koefisien difraksi K’ dan koefisien refraksi Kr, maka tinggi gelombang laut
dalam ekivalen H’0 dapat ditentukan melalui persamaan berikut:
𝐻 ′ 0 = 𝐾 ′ . πΎπ‘Ÿ . 𝐻0
(II.3.6)
2.3.4 Gelombang Pecah
Jika gelombang menjalar dari tempat yang dalam menuju ke tempat
yang makin lama makin dangkal, maka pada suatu lokasi tertentu gelomabng
tersebut akan pecah. Kondisi gelombang pecah tergantung pada kemiringan
dasar pantai dan kecuraman gelombang.
30
Gelombang pecah memiliki tiga tipe yang dibagi berdasarkan nilai
parameter gelombang pecah πœ‰0 yang besarnya dapat dihitung dengan
persamaan berikut, dengan tan 𝛽 adalah kemiringan pantai:
1
πœ‰0 =
𝐻 −2
tan 𝛽 ( 𝐿 0 )
0
(II.3.7)
Berdasarkan nilai πœ‰0 tersebut, maka berikut ini adalah tipe-tipe dari
gelombang pecah:
ο‚·
Tipe Spilling, dengan πƒπŸŽ < 0,5
ο‚·
Tipe Plunging, dengan 0,5 < πƒπŸŽ < 3,3
ο‚·
Tipe Surging, dengan πƒπŸŽ > 3,3
Untuk menentukan tinggi gelombang pecah, dapat menggunakan grafik
hubungan antara
𝐻𝑏
𝐻′0
dengan
𝐻′0
𝑔.𝑇 2
. Sedangkan untuk menentukan kedalaman
gelombang pecah digunakan grafik hubungan antara
𝑑𝑏
𝐻𝑏
dengan
𝐻𝑏
𝑔.𝑇 2
. Kedua
grafik tersebut dikembangkan oleh Goda (1970) (terlampir). Penggunaan
grafik cukup dengan memplot berdasarkan parameter yang diketahui. Grafik
yang dikembangkan Goda tersebut, dapat ditulis dalam bentuk rumus sebagai
berikut:
𝑑𝑏
𝐻𝑏
1
= 𝑏−(π‘Ž.𝐻
𝑏 ⁄𝑔.𝑇
2)
(II.3.8)
Dengan parameter a dan b adalah sebagai berikut:
π‘Ž = 43,75(1 − 𝑒 −19.π‘š )
1,56
𝑏 = (1+𝑒 −19,5.π‘š)
(II.3.9)
Peristiwa gelombang pecah juga menyebabkan terbentuknya sudut
datang gelombang pecah 𝛼𝑏 . Sudut datang gelombang pecah akan berubahubah tergantung bentuk kontur garis pantai pada tiap titik (sel). Ilustrasi
mengenai terbentuknya sudut datang gelombang pecah dapat dilihat pada
gembar berikut:
31
Gambar 2.12 Proses Terbentuknya Sudut Gelombang Pecah
Sumber: Triatmodjo (1999)
Seperti yang ditunjukkan dalam gambar, sudut 𝛼1 yang dibentuk oleh garis
pantai dengan garis sejajar sumbu x, antara sel i dan i+1 diberikan oleh
persamaan:
tan 𝛼1 =
𝑦𝑖 −𝑦(𝑖+1)
(II.3.10)
βˆ†π‘₯
Dengan 𝛼0 merupakan sudut gelombang datang, maka sudut datang
gelombang pecah 𝛼𝑏 terhadap garis pantai dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
tan 𝛼 +tan 𝛼
tan 𝛼𝑏 = tan(𝛼𝑖 ± 𝛼0 ) = 1+tan𝑖𝛼 .tan 𝛼0
𝑖
0
(II.3.11)
2.4 Pasang Surut Air Laut
Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik
benda-benda di langit, terutama matahari dan bulanterhadap massa air laut di
bumi (Triatmodjo, 1999). Meskipun massa bulan jauh lebih kecil daripada massa
matahari, tetapi karena jaraknya terhadap bumi jauh lebih dekat, maka pengaruh
gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar daripada pengaruh gaya tarik matahari.
Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut 2,2 kali lebih besar daripada
gaya tarik matahari.
2.4.1 Elevasi Muka Air Laut
Peristiwa pasang surut air laut menyebabkan muka air laut selalu
berubah setiap saat. Karena perubahan yang tidak menentu tersebut, maka
32
diperlukan suatu nilai elevasi muka air laut yang ditetapkan berdasarkan data
pasang surut sebagai koreksi terhadap kedalaman perairan. Dengan
pengolahan data pasang surut, maka akan didapatkan elevasi-elevasi penting
muka air laut. Adapun beberapa elevasi tersebut antara lain (Triatmodjo
(1999)) :
1. Muka air tinggi (High Water Level, HWL), adalah muka air tertinggi yang
dicapai pada saat air pasang dalam satu siklus pasang surut.
2. Muka air rendah (Low Water Level, LWL), adalah kedudukan air terendah
yang dicapai pada saat air surut dalam satu siklus pasang surut.
3. Muka air tinggi rerata (Mean High Water Level, MHWL), adalah rerata
dari muka air tinggi selama periode 19 tahun.
4. Muka air rendah rerata (Mean Low Water Level, MLWL), adalah rerata
dari muka air rendah selama periode 19 tahun.
5. Muka air laut rerata (Mean Sea Level, MSL), adalah muka air rerata antara
muka air tinggi rerata dan muka air rendah rerata. Elevasi ini digunakan
sebagai referensi untuk elevasi di daratan.
6. Muka air tinggi tertinggi (Highest High Water Level, HHWL), adalah air
tertinggi pada saat pasang surutpurnama atau bulan mati.
7. Muka air rendah terendah (Lowest Low Water Level, LLWL), adalah air
terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
2.4.2 Kurva Pasang Surut
Hasil pencatatan elevasi muka air dalam 1 siklus (15-30 hari)
membentuk suatu kurva yang disebut kurva pasang surut. Adapun contoh
ilustrasi kurva pasang surut dapat dilihat pada gambar berikut:
33
Gambar 2.13 Contoh Kurva Pasang Surut
Sumber: Triatmodjo (1999)
Dari gambar tersebut, tinggi pasang surut adalah jarak vertikal antara air
tertinggi (puncak air pasang) dan air terendah (lembah air surut) yang
berurutan. Dengan kurva pasang surut selama 1 siklus, maka kita bisa
menentukan berbagai elevasi muka air laut seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
2.4.3 Tipe Pasang Surut
Secara umum tipe-tipe pasang surut dapat dibagi menjadi empat
(Bambang Triatmodjo (1999)) yaitu antara lain:
1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide), yaitu dalam satu hari
terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut terjadi secara berurutan
secara teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.
2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide), yaitu dalam satu hari terjadi
satu kali air pasang dan satu kali air surut. Periode pasang surut adalah 24
jam 50 menit.
3. Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing
semidiurnal), yaitu dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali
air surut namun dengan periode yang berbeda.
4. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing
diurnal), yaitu dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air
34
surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali
pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda.
Gambar 2.14 Kurva Untuk Tipe-Tipe Pasang Surut
Sumber: Triatmodjo (1999)
2.5 Pembangkitan Gelombang
Angin yang berhembus di atas permukaan air yang semula tenang akan
menyebabkan gangguan pada permukaan tersebut, dengan timbulnya riak
gelombang kecil di atas permukaan air (Nur Yuwono, 1992). Apabila kecepatan
angin bertambah, maka riak tersebut akan menjadi semakin besar dan apabila
angin berhembus terus menerus makan akan terbentuk gelombang. Semakin kuat
dan lama angin berhembus, maka semakin besar gelombang yang terbentuk.
Adapun tinggi dan periode gelombang yang terjadi dipengaruhi oleh
kecepatan angin U, lama berhembusnya angin td, arah angin dan Fetch F. Fetch
adalah daerah di mana kecepatan dan arah angin adalah konstan. Arah angin
dianggap konstan apabila perubahan-perubahannya tidak melebihi 15o. sedangkan
kecepatan angin dianggap konstan apabila perubahannya tidak melebihi 5 knot
(2,5 m/dt).
35
2.5.1 Kecepatan Angin
Distribusi kecepatan angin di atas permukaan laut diberikan pada
gambar di bawah ini:
Gambar 2.15 Distribusi Vertikal Kecepatan Angin
Sumber: Coastal Engineering Manual (2007)
Pada gambar tersebut distribusi vertikal kecepatan angin terbagi menjadi tiga
daerah sesuai dengan elevasi di atas permukaan. Di daerah geostropik yang
berada di atas 1000 m kecepatan angin adalah konstan. Di bawah elevasi
tersebut terdapat dua daerah yaitu Ekman yang berada pada elevasi 100 m
sampai 1000 m dan daerah di mana tegangan konstan yang berada pada
elevasi 10 sampai 100 m. Di kedua daerah tersebut kecepatan dan arah angin
berubah sesuai dengan elevasi, karena adanya gesekan dengan permukaan
laut dan perbedaan temperature antara air dan udara.
Di daerah tegangan konstan, profil vertikal dari kecepatan angin
mempunyai bentuk berikut:
10
1⁄
7
π‘ˆ10 = π‘ˆπ‘ ( 𝑧 )
(II.5.1)
Dengan π‘ˆ10 adalah kecepatan angin pada ketinggian 10 m di atas permukaan
laut dan nilai z adalah lebih kecil dari 20 m.
36
Kecepatan angin biasanya didapat dari data angin yang diukur di
permukaan laut dengan menggunakan kapal yang berlayar atau pengukuran di
darat yang biasanya di bandara (lapangan terbang). Apabila pengukuran
dilakukan di kapal, maka data angin tersebut harus dikoreksi dengan
persamaan berikut:
π‘ˆ = 2,16. π‘ˆπ‘  7⁄9
(II.5.2)
Umumnya pengukuran angin dilakukan di daratan, sehingga untuk
mendapatkan data angin di permukaan laut diperlukan transformasi dari data
angin di atas daratan yang terdekat dengan lokasi studi ke data angin di atas
permukaan laut. Transformasi data angin tersebut menggunakan grafik
hubungan antara angin di atas permukaan laut dengan angin di daratan
terdekat (terlampir). Hubungan dalam grafik tersebut diberikan dengan
persamaan:
𝑅𝐿 =
π‘ˆπ‘Š
(II.5.3)
π‘ˆπΏ
Dengan π‘ˆπ‘Š adalah kecepatan angin di atas permukaan laut dan π‘ˆπΏ adalah
kecepatan angin di daratan terdekat.
Selain itu, kecepatan angin juga harus dikoreksi terhadap perbedaan
temperatur udara antara di darat dan di air. Nilai rasio perbedaan temperatur
udara antara di darat dan di air 𝑅𝑇 dapat ditentukan melalui grafik yang
dikembangkan oleh Resio dan Vincent (terlampir).
2.5.2 Fetch dan Faktor Tegangan Angin
2.5.2.1 Fetch
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Fetch adalah daerah di
mana kecepatan dan arah angin adalah konstan. Di dalam tinjauan
pembangkitan gelombang di laut, Fetch dibatasi oleh bentuk daratan
yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukan gelombang, gelombang
tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin
tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin. Fetch rerata
efektif diberikan oleh persamaan berikut:
37
𝐹𝑒𝑓𝑓 =
∑ 𝑋𝑖 cos 𝛼
(II.5.4)
∑ cos 𝛼
Dengan 𝐹𝑒𝑓𝑓 adalah panjang Fetch rerata efektif, 𝑋𝑖 adalah panjang
segmen Fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke ujung khir
Fetch dan 𝛼 adalah deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan
menggunakan pertambahan 6o sampai sudut sebesar 42o pada kedua sisi
dari arah angin.
2.5.2.2 Faktor Tegangan Angin
Besarnya
kecepatan
angin
yang
telah
dikoreksi
dan
dikonversikan melalui persamaan (II.5.1) dan (II.5.2) harus kembali
diperhitungkan faktor tegangan anginnya (Wind-Stress Factor).
Adapaun kecepatan angin yang telah dikoreksi dan dikonversikan
tersebut harus kembali dikonversikan pada faktor tegangan angin,
sehingga besarnya kecepatan angin UA didapat melalui persamaan:
π‘ˆπ΄ = 0,71. π‘ˆ1,23
(II.5.5)
Dimana U adalah kecepatan angin yang telah dikoreksi dan
dikonversikan.
2.5.2.3 Pembangkitan Gelombang di Laut Dalam
Dengan adanya nilai 𝐹𝑒𝑓𝑓 , π‘ˆπ΄ dan lama angin berhembus (Td),
maka periode dan tinggi gelombang signifikan dapat dihitung. Ketiga
parameter tersebut dimasukkan ke dalam grafik peramalan gelombang
(terlampir) sehingga besarnya nilai periode dan tinggi gelombang
dapat diketahui. Untuk hubungan antara Feff dengan UA maka disebut
Fetch Limited. Sedangkan hubungan UA dengan lama angin berhembus
(Td) maka disebut Time Duration Limited. Hasil tinggi dan periode
gelombang antara Fetch Limited dan Time Duration Limited diambil
nilai yang terkecil.
38
2.5.3 Windrose
Arah gelombang akan sangat berpengaruh terhadap erosi pantai
sehingga akan menimbulkan perubahan garis pantai. Data angin sangat
diperlukan untuk menggambarkan arah dan kecepatan angin yang dominan di
lokasi studi yang nantinya sangat identik dengan arah dan kecepatan
gelombang. Data angin yang ada harus diolah dengan membagi-bagi
beberapa interval kecepatan pada delapan arah mata angin. Setelah itu, data
angin yang telah dibagi-bagi itu dibuatkan menjadi sebuah diagram yang
disebut dengan Windrose. Dari Windrose tersebut dapat ditentukan arah
dominan angin berhembus.
2.6 Statistik Gelombang
Pengukuran gelombang di suatu tempat memberikan pencatatan muka air
sebagai fungsi waktu. Pengukuran ini dilakukan dalam waktu yang cukup
panjang, sehingga data gelombang akan sangat banyak. Mengingat kekompleksan
dan besarnya jumlah data tersebut, maka gelombang alam dianalisa secara statistik
untuk mendapatkan bentuk gelombang yang bermanfaat.
2.6.1 Gelombang Signifikan
Gelombang signifikan Hs adalah rerata tinggi gelombang dari 33%
gelombang tertinggi pada populasi. Hal ini berlaku pula untuk periode
signifikan, yaitu periode rerata untuk sepertiga gelombang tertinggi. Cara
untuk menentukan gelombang signifikan Hs yaitu dengan mengurutkan data
gelombang mulai tinggi gelombang tertinggi ke tinggi gelombang terendah.
Setelah itu total jumlah data dikalikan dengan 33% sehingga diambil datadata tertinggi sebanyak 33% dari total data dan kemudian dirata-ratakan. Hs
dapat ditulis sebagai H33.
2.6.2 Distribusi Probabilitas Tinggi Gelombang
Dalam bidang teknik sipil, parameter gelombang yang paling banyak
digunakan adalah tinggi gelombang. Oleh karena itu analisis statistik
dilakukan dengan meninjau distribusi statistik dari tinggi gelombang. Apabila
39
data tinggi gelombang dati pencatatan diplot terhadap probabilitas
kejadiannya, maka akan terlihat bahwa kejadian p(H) akan mengikuti
distribusi Reyleigh:
2.𝐻
𝑝(𝐻) = 𝐻
π‘Ÿπ‘šπ‘ 
2
𝑒 −(𝐻⁄π»π‘Ÿπ‘šπ‘  )
2
(II.6.1)
Di mana:
1
2
π»π‘Ÿπ‘šπ‘  = √𝑁 ∑𝑁
𝑖=1 𝐻𝑖
(II.6.2)
Dengan 𝑝(𝐻) adalah fungsi densitas probabilitas, π»π‘Ÿπ‘šπ‘  adalah tinggi
gelombang root-mean-square dan N adalah jumlah total data.
Probabilitas bahwa suatu nilai tinggi gelombang H lebih besar dari
Μ‚ diberikan oleh persamaan berikut:
suatu nilai tertentu 𝐻
2
𝑛
Μ‚ ) = 𝑒 −(𝐻⁄π»π‘Ÿπ‘šπ‘  ) =
𝑝(𝐻 > 𝐻
𝑁
(II.6.3)
Μ‚.
Dengan n adalah jumlah gelombang yang lebih besar dari 𝐻
Bambang Triatmodjo (1999), menurunkan persamaan (II.6.3) di atas menjadi
bentuk sebagai berikut:
Μ‚
𝐻
π»π‘Ÿπ‘šπ‘ 
𝑛
1⁄2
= {−𝑙𝑛 (𝑁)}
(II.6.4)
Μ‚ diberikan notasi
Tinggi rerata dari semua gelombang yang lebih besar dari 𝐻
Μ… (𝐻
Μ‚ ) diberikan oleh persamaan berikut ini:
𝐻
∞
Μ… (𝐻
Μ‚ ) = ∫𝐻̂∞𝐻
𝐻
2 𝑒 −(𝐻⁄π»π‘Ÿπ‘šπ‘  )2 𝑑𝐻
(II.6.5)
2
−(𝐻⁄π»π‘Ÿπ‘šπ‘  ) 𝑑𝐻
∫𝐻
Μ‚ 𝐻𝑒
Untuk tinggi gelombang rerata H100, persamaan (II.6.5) menjadi:
Μ… (𝐻
Μ‚ = 0) =
𝐻100 = 𝐻
√πœ‹
π»π‘Ÿπ‘šπ‘ 
2
= 0,886π»π‘Ÿπ‘šπ‘ 
(II.6.6)
Dari persamaan probabilitas komulatif (II.6.5), maka akan didapat
hubungan antara n, Hn/Hs dan Hn/H100 seperti tabel di bawah ini:
40
Tabel 2.1 Hubungan Antara n, Hn/Hs dan Hn/H100
n
1
5
10
33
50
100
H n /H s
1,68
1,37
1,28
1,00
0,89
0,63
H n /H 100
2,68
2,18
2,03
1,60
1,42
1,00
Sumber: Triatmodjo (1999)
Nilai-nilai pada tabel tersebut didapat berdasarkan grafik distribusi tinggi
gelombang teoritis (terlampir) yang dikembangkan oleh CERC, 1984. Selain
itu, Longuet-Higgins juga menunjukkan hubungan antara Hmax dengan H33
sebagai berikut:
π»π‘šπ‘Žπ‘₯ = 0,707. 𝐻33 . √ln 𝑁
(II.6.7)
2.6.3 Perkiraan Gelombang Dengan Periode Ulang
Secara umum terdapat dua metode dalam memprediksi gelombang
dengan periode ulang yaitu metode Gumbel, distribusi Gumbel (Fisher-Tippet
Type I) dan distribusi Weibull. Dalam metode ini prediksi dilakukan untuk
memperkirakan tinggi gelombang signifikan dengan berbagai periode ulang.
Biasanya hasil ketiga metode ini dipilih salah satu yang memberikan hasil
terbaik.
2.6.3.1 Metode Gumbel
Untuk menentukan periode ulang dipergunakan analisis hargaharga ekstrim tinggi gelombang, biasanya diambil satu gelombang
tertinggi tiap tahunnya. Pada metode Gumbel, tinggi gelombang pada
periode ulang tertentu di tuliskan dalam bentuk persamaan berikut:
̅𝑠 +
𝐻𝑠𝑇 = 𝐻
πœŽπ»π‘ 
πœŽπ‘›
(π‘Œ − π‘ŒΜ…π‘› )
(II.6.8)
̅𝑠 adalah rata-rata tinggi gelombang signifikan dari seluruh
Di mana 𝐻
data yang ada. πœŽπ»π‘  adalah deviasi standar tinggi gelombang signifikan.
41
Nilai Y, π‘ŒΜ…π‘› , πœŽπ‘› berdasarkan periode ulang dan jumlah data dapat dilihat
pada tabel-tabel berikut:
Tabel 2.2 Nilai Y Masing-Masing Periode Ulang
Periode
Ulang (Tahun)
2
5
10
20
25
50
100
Y
0.3665
1.4999
2.2502
2.9702
3.1985
3.9019
4.6001
Sumber: Nur Yuwono (1992)
Tabel 2.3 Nilai π‘ŒΜ…π‘› untuk masing-masing jumlah data N
N
10
20
30
0
0.495
0.523
0.536
1
0.499
0.525
0.537
2
0.503
0.526
0.538
3
0.507
0.528
0.538
4
0.510
0.529
0.539
5
0.512
0.530
0.540
6
0.515
0.532
0.541
7
0.518
0.533
0.541
8
0.520
0.534
0.542
9
0.522
0.535
0.543
7
1.04
1.10
1.13
8
1.04
1.10
1.13
9
1.05
1.10
1.13
Sumber: Nur Yuwono (1992)
Tabel 2.4 Nilai πœŽπ‘› untuk masing-masing jumlah data N
N
10
20
30
0
0.94
1.06
1.11
1
0.96
1.06
1.11
2
0.98
1.07
1.11
3
0.99
1.08
1.12
4
1.00
1.08
1.12
5
1.02
1.09
1.12
6
1.03
1.09
1.13
Sumber: Nur Yuwono (1992)
2.6.3.2 Distribusi Gumbel (Fisher-Tippet Type I)
Distribusi Gumbel (Fisher-Tippet Type I) memiliki bentuk
persamaan sebagai berikut:
̂𝑠 ) = 𝑒 −𝑒
𝑃(𝐻𝑠 ≤ 𝐻
Μ‚ −𝐡
𝐻
( 𝑠
)
𝐴
(II.6.9)
̂𝑠 ) adalah probabilitas bahwa 𝐻
̂𝑠 tidak terlampaui, H
Dengan 𝑃(𝐻𝑠 ≤ 𝐻
Μ‚ adalah tinggi gelombang
adalah tinggi gelombang representatif, 𝐻
dengan nilai tertentu, A adalah parameter skala dan B adalah parameter
lokasi.
42
Input data dimasukkan dalam urutan dari besar ke kecil.
Selanjutnya perobabilitas ditetapkan untuk setiap tinggi gelombang
sebagai berikut:
π‘š−0,44
𝑃(𝐻𝑠 ≤ π»π‘ π‘š ) = 1 − 𝑁
(II.6.10)
𝑇 +0,12
Dengan 𝑃(𝐻𝑠 ≤ π»π‘ π‘š ) adalah probabilitas dari tinggi gelombang
representatif ke m yang tidak dilampaui, π»π‘ π‘š adalah tinggi gelombang
urutan ke m, m adalah urutan tinggi gelombang signifikan (1,2,…., N)
dan 𝑁𝑇 adalah jumlah kejadian gelombang selama pencatatan.
Parameter A dan B dihitung dari metode kuadrat terkecil untuk
setiap tipe distribusi yang digunakan. Hitungan didasarkan
pada
analisis regresi linier dari hubungan berikut:
Μ‚π‘ π‘š = 𝐴̂. π‘¦π‘š + 𝐡̂
𝐻
(II.6.11)
Dimana π‘¦π‘š diberikan dalam persamaan berikut ini:
π‘¦π‘š = −𝑙𝑛{− ln 𝐹(𝐻𝑠 ≤ π»π‘ π‘š )}
(II.6.12)
Tinggi gelombang signifikan untuk berbagai periode ulang
dihitung dari fungsi distribusi probabilitas dengan rumus berikut:
π»π‘ π‘Ÿ = 𝐴̂. π‘¦π‘Ÿ + 𝐡̂
(II.6.13)
Di mana yr adalah sebagai berikut:
1
π‘¦π‘Ÿ = −𝑙𝑛 {−𝑙𝑛 (1 − 𝐿.𝑇 )}
(II.6.14)
π‘Ÿ
Dengan π»π‘ π‘Ÿ adalah tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang
π‘‡π‘Ÿ , K adalah panjang data (tahun) dan L adalah rerata jumlah kejadian
per tahun 𝑁𝑇 /𝐾
2.6.3.3 Distribusi Weibull
Distribusi Weibull memiliki bentuk persamaan sebagai berikut:
π‘˜
̂𝑠 ) = 1 − 𝑒
𝑃(𝐻𝑠 ≤ 𝐻
Μ‚ −𝐡
𝐻
−( 𝑠 )
𝐴
(II.6.15)
Dengan k adalah parameter bentuk.
43
Persamaan probabilitas untuk setiap tinggi gelombang ditulis dalam
bentuk berikut:
𝑃(𝐻𝑠 ≤ π»π‘ π‘š ) = 1 −
0,27
√π‘˜
0,23
π‘š−0,2−
𝑁𝑇 +0,2+
(II.6.16)
√π‘˜
Untuk parameter A dan B dihitung dengan regresi kuadrat
terkecil sesuai persamaan (II.6.10) dan nilai ym berdasarkan persamaan
berikut ini:
π‘¦π‘š = [−𝑙𝑛{1 − 𝐹(𝐻𝑠 ≤ π»π‘ π‘š )}]1⁄π‘˜
(II.6.17)
Tinggi gelombang signifikan untuk berbagai periode ulang
dihitung dari fungsi distribusi probabilitas sesuai dengan persamaan
(II.6.12) dan nilai yr diberikan dalam bentuk:
π‘¦π‘Ÿ = {𝑙𝑛(𝐿. π‘‡π‘Ÿ )}1⁄π‘˜
(II.6.18)
2.6.3.4 Interval Keyakinan
Perkiraan interval keyakinan adalah penting dalam analisis
gelombang ekstrim. Hal ini mengingat bahwa biasanya periode
pencatatan gelombang adalah pendek, dan tingkat ketidakpastian yang
tinggi dalam perkiraan gelombang ekstrim. Batas keyakinan sangat
dipengaruhi oleh penyebaran data, sehingga nilainya tergantung pada
deviasi standar. Deviasi standar yang dinormalkan dihitung dengan
persamaan berikut:
πœŽπ‘›π‘Ÿ =
1
√𝑁
[1 + 𝛼(π‘¦π‘Ÿ − 𝑐 + πœ€. ln 𝑣)2 ]1⁄2
(II.6.19)
Dengan πœŽπ‘›π‘Ÿ adalah standar deviasi yang dinormalkan dari tinggi
gelombang signifikan dengan periode ulang Tr, N adalah jumlah data
tinggi gelombang signifikan dan 𝛼 ditentukan berdasarkan bentuk
berikut:
𝛼 = 𝛼1 . 𝑒 𝛼2 𝑁
(−1,3) +π‘˜√− ln 𝑣
(II.6.20)
Dengan v adalah N/NT, dan 𝛼1 , 𝛼2 , 𝑒, πœ€, π‘˜ adalah koefisien empiris yang
diberikan oleh tabel di bawah ini:
44
Tabel 2.5 Koefisien Untuk Menghitung Deviasi Standar
Distribusi
Fisher-Tippett Type I
Weibull (k = 0,75)
Weibull (k = 1,00)
Weibull (k = 1,40)
Weibull (k = 2,00)
α1
0,64
1,65
1,92
2,05
2,24
α2
9,00
11,40
11,40
11,40
11,40
k
0,93
-0,63
0,00
0,69
1,34
ε
1,33
1,15
0,90
0,72
0,54
c
0,00
0,00
0,30
0,40
0,50
Sumber: Triatmodjo (1999)
Besaran absolut dari deviasi standar dari tinggi gelombang
signifikan dihitung dengan rumus berikut:
πœŽπ‘Ÿ = πœŽπ‘›π‘Ÿ. πœŽπ»π‘ 
(II.6.21)
Dengan πœŽπ‘Ÿ adalah kesalahan standar dari tinggi gelombang signifikan
dengan periode ulang Tr dan πœŽπ»π‘  adalah deviasi standar dari data
gelombang signifikan, dihitung berdasarkan persamaan berikut:
2
Μ…
∑𝑁
π‘š=1(π»π‘ π‘š −π»π‘ π‘š )
πœŽπ»π‘  = √
(II.6.22)
𝑁−1
Interval keyakinan dihitung dengan anggapan bahwa perkiraan
tinggi gelombang signifikan pada periode ulang tertentu terdistribusi
normal terhadap fungsi distribusi yang diperkirakan. Batas interval
keyakinan terhadap Hsr dengan berbagai tingkat keyakinan dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 2.6 Batas Interval Keyakinan Hsr
Batas Interval
Tingkat Keyakinan
Keyakinan
(%)
Terhadap Hsr
80
1,28 σr
Probabilitas Batas
Atas Terlampaui
(%)
10,0
85
1,44 σr
7,5
90
1,65 σr
5,0
95
1,96 σr
2,5
99
2,58 σr
0,5
Sumber: Triatmodjo (1999)
45
2.6.3.5 Analisa Regresi Kuadrat Terkecil
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa analisa regresi kuadrat
terkecil dilakukan untuk mendapatkan nilai dari komponen 𝐴̂ dan 𝐡̂
Μ‚π‘ π‘š = 𝐴̂. π‘¦π‘š + 𝐡̂. Adapun
berdasarkan persamaan (II.6.11) yaitu 𝐻
persamaan untuk mencari kedua komponen tersebut dengan analisa
regresi kuadrat terkecil yaitu:
𝑁 ∑ 𝑦 .𝐻 −∑ 𝑦 .∑ 𝐻
𝐴̂ = π‘π‘š∑ 𝑦 π‘ π‘š2 −(∑ π‘¦π‘š )2 π‘ π‘š
(II.6.23)
∑𝐻
∑𝑦
𝐡̂ = π‘π‘ π‘š − π‘π‘š . 𝐴̂
(II.6.24)
π‘š
π‘š
Untuk mengetahui derajat kesesuaian dari persamaan yang didapat,
maka dapat dilihat dari koefisien korelasi r yang berbentuk:
𝐷𝑑 2 −𝐷 2
π‘Ÿ=√
(II.6.25)
𝐷𝑑 2
Dengan:
∑ π»π‘ π‘š 2
𝐷𝑑 2 = ∑ (π»π‘ π‘š −
𝑁
)
2
𝐷2 = ∑(π»π‘ π‘š − 𝐡̂ − 𝐴̂. π‘¦π‘š )
(II.6.26)
(II.6.27)
Apabila r mendekati 1 maka fungsi tersebut mendekati ketepatan,
namun apabila r mendekati 0 maka fungsi tersebut semakin tidak tepat.
Selain mengukur ketepatan fungsi regresi, perlu dilakukan
menganalisis derajat besarnya pengaruh fungsi tersebut untuk mewakili
data yang ada. Pengertian tersebut dikenal dengan istilah derajat
determinasi fungsi yang dirumuskan dengan persamaan berikut:
π·π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘—π‘Žπ‘‘ π·π‘’π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘šπ‘–π‘›π‘Žπ‘ π‘– = 𝑅 2 π‘₯100%
(II.6.28)
Dengan R2 ditulis sebagai berikut:
(𝐻
Μ‚
−𝐻
)2
𝑅 2 = 1 − (π»π‘ π‘š −π»Μ…π‘ π‘š )2
π‘ π‘š
π‘ π‘š
(II.6.29)
Apabila derajat determinasi semakin mendekati 100% maka semakin
besar pengaruh fungsi regresi untuk mewakili data-data yang ada.
46
Persamaan-persamaan pada metode Gumbel, distribusi Gumbel (Fisher
Tippet I) dan distribusi Weibull yang telah dijelaskan dapat digunakan
untuk menganalisis periode gelombang dengan cara mengganti
parameter tinggi gelombang H dengan periode gelombang T.
2.7 Transport Sedimen Pantai
Transport sedimen pantai adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang
disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya. Peninjauan transport
sedimen pantai biasanya transport sedimen pantai yang terjadi di daerah antara
gelombang pecah dan garis pantai.
Transport sedimen pantai dapat diklasifikasikan menjadi transport sedimen
menuju dan meninggalkan pantai (Onshore-Offshore Sediment Transport) dan
transport sedimen sepanjang pantai (Longshore Sediment Transport). Transport
menuju dan meninggalkan pantai mempunyai arah rata-rata tegak lurus garis
pantai, sedangkan transport sedimen sepanjang pantai mempunyai arah rata-rata
sejajar pantai.
Secara umum perubahan garis pantai sangat dipengaruhi oleh transport
sedimen tegak lurus pantai. Erosi pantai dapat terjadi apabila terjadi gelombang
badai dalam waktu singkat, namun profil pantai tersebut akan kembali seperti
semula dalam waktu singkat akibat adanya gelombang biasa yang terjadi seharihari. Sebaliknya, transport sedimen sepanjang pantai menyebabkan sedimen
pantai terangkut jauh meninggalkan pantai dan untuk mengembalikan profil pantai
diperlukan waktu yang cukup lama bahkan sangat sulit apabila arus yang dominan
adalah arus satu arah. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa peristiwa perubahan
garis pantai (Shoreline Change) disebabkan oleh transport sedimen sepanjang
pantai (Longshore Sediment Transport).
Transport sedimen sepanjang pantai terjadi akibat pengaruh gelombang
dan arus sepanjang pantai (Longshore Current). Gelombang yang mendekati
pantai dengan sudut tertentu mencapai maksimal pada sudut 45o dan akan pecah
akibat efek Shoaling sehingga akan membangkitkan arus sepanjang pantai yang
47
merupakan penyebab utama transport sedimen sepanjang pantai. Besarnya debit
angkutan sedimen sepanjang pantai dapat diprediksi dengan metode fluks energi.
Adapun komponen fluks energy gelombang sepanjang pantai pada saat
gelombang pecah Pl dirumuskan dalam persamaan berikut:
𝑃𝑙 = 𝐸𝑏 . 𝐢𝑔𝑏 . sin 𝛼𝑏 . cos 𝛼𝑏
(II.7.1)
Dengan Eb adalah energy gelombang saat pecah, sehingga persamaan (II.2.46)
dapat ditulis sebagai berikut:
𝐸𝑏 =
𝜌.𝑔.𝐻𝑏 2
(II.7.2)
8
Sedangkan Cgb adalah cepat rambat grup gelombang saat pecah dan diberikan
dalam persamaan berikut:
𝐢𝑔𝑏 = √𝑔. 𝑑𝑏
(II.7.3)
Besarnya debit transport sedimen sepanjang pantai dihitung berdasarkan
persamaan berikut ini:
𝑄𝑠 = 𝐾. 𝑃𝑙 𝑛
(II.7.4)
Nilai K dan n adalah nilai konstanta. Beberapa penelitian telah menetapkan nilai
konstanta yang berbeda-beda tersebut. Beberapa konstanta itu antara lain:
Tabel 2.7 Beberapa Konstanta Rumus Transpor Sedimen Sepanjang Pantai
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peneliti
Caldwell
Savage
Ijima, Sato, Aono, Ishii
Ichikawa, Achiai, Tomita, Mourobuse
Ijima, Sato
Tanaka
Komar, Inman
Das
CERC
K
1,200
0,219
0,130
0,130
0,060
0,120
0,778
0,325
0,401
n
0,8
1,0
0,54
0,8
1,0
1,0
1,0
1,0
1,0
Qs (m3/hari) dan Pl (ton m/hari/m)
Sumber: Triatmodjo (1999)
48
2.8 Perubahan Garis Pantai Dengan One-Line Model
Salah satu pemodelan numerik dalam mensimulasikan prediksi perubahan
garis pantai adalah dengan menggunakan One-Line Model. One-Line Model
merupakan model dua dimensi di mana dalam model ini diasumsikan bahwa
bentuk profil pantai tidak berubah selama proses erosi dan akresi berlangsung.
Untuk memprediksi perubahan garis pantai diperlukan dua persamaan dasar yaitu
persamaan kontinuitas transport sedimen sepanjang pantai dan persamaan
transport sedimen. Karena itu garis pantai dibagi manjadi sejumlah sel (ruas) di
mana pada setiap sel ditinjau transport sedimen yang masuk dan keluar sel.
Berikut ini adalah ilustrasi pembagian sel dan transport sedimen masuk-keluar sel
dengan βˆ†π‘₯ adalah panjang 1 sel dan βˆ†π‘¦ adalah panjang perubahan garis pantai dan
βˆ†π‘„ adalah selisih dari debit sedimen keluar π‘„π‘˜ dengan debit sedimen masuk π‘„π‘š
(π‘„π‘˜ − π‘„π‘š ).
Gambar 2.16 Pembagian Beberapa Sel Garis Pantai
Sumber: Triatmodjo (1999)
Adapun persamaan kontinuitas transport sedimen adalah sebagai berikut:
βˆ†π‘¦
βˆ†π‘‘
1 βˆ†π‘„
= − 𝑑 βˆ†π‘₯
(II.8.1)
49
Dan untuk sel yang kecil, persamaan di atas dapat ditulis dengan bentuk berikut
ini:
πœ•π‘¦
πœ•π‘‘
1 πœ•π‘„
= − 𝑑 πœ•π‘₯
(II.8.2)
Dengan y adalah jarak antara garis pantai dan garis referensi, Q adalah debit
transport sedimen sepanajang pantai, t adalah waktu, x adalah absis searah
panjang pantai, dan d adalah kedalaman air yang tergantung pada profil pantai,
dalam hal ini nilai d dapat dianggap sama dengan kedalaman gelombang pecah.
Persamaan (II.8.2) diselesaikan dengan menggunakan skema eksplisit
(Triatmodjo, 1992). Dengan skema tersebut fungsi f(x,t) dan diferensial parsiil
dalam ruang dan waktu dapat didekati dengan bentuk berikut ini:
𝑓(π‘₯, 𝑑) = 𝑓𝑖
πœ•π‘“(π‘₯,𝑑)
πœ•π‘‘
πœ•π‘“(π‘₯,𝑑)
πœ•π‘‘
=
=
𝑓𝑖𝑛+1 −𝑓𝑖𝑛
βˆ†π‘‘
𝑛
𝑓𝑖+1
−𝑓𝑖𝑛
βˆ†π‘₯
Dengan menggunakan skema di atas, maka persamaan (II.8.2) dapat ditulis
sebagai berikut:
𝑦𝑖𝑛+1 −𝑦𝑖𝑛
βˆ†π‘‘
𝑛
−𝑄𝑖𝑛
1 𝑄𝑖+1
= −𝑑
βˆ†π‘₯
𝑖
βˆ†π‘‘
atau,
𝑛
𝑦𝑖𝑛+1 = 𝑦𝑖𝑛 − 𝑑 .βˆ†π‘₯ (𝑄𝑖+1
− 𝑄𝑖𝑛 )
𝑖
(II.8.3)
Persamaan (II.8.3) merupakan persamaan untuk menghitung perubahan
garis pantai. Triatmodjo (1999) menjelaskan bahwa persamaan tersebut dengan
kondisi batas kiri dan batas kanan, memungkinkan untuk menghitung 𝑦𝑖𝑛+1 (i = 1,
2, .., N). Kondisi batas kiri dan kanan adalah transport sedimen pada batas-batas
tersebut.
Pada awal hitungan, nilai awal posisi garis pantai (y) didapat dari data
pengukuran sebagai kondisi awal. Dengan menetapkan βˆ†π‘‘ dan βˆ†π‘₯ makan nilai
𝑦𝑖𝑛+1 dapat dihitung. Hasil yang diperoleh tersebut kemudian digunakan sebagai
nilai awal baru untuk pias berikutnya. Prosedur ini diulang untuk langkah waktu
berikutnya.
50
Adapun secara umum, langkah-langkah dalam memprediksi perubahan
garis pantai dengan One-Line Model adalah sebagai berikut:
1. Tentukan bentuk garis pantai awal.
2. Bagi garis pantai dalam sejumlah pias atau sel.
3. Tentukan berbagai sumber sedimen dan sedimen yang hilang pada seluruh
pias.
4. Hitung debit transport sedimen pada setiap pias berdasarkan periode
gelombang serta sudut datang gelombang.
5. Hitung perubahan garis pantai pada tiap pias untuk setiap langkah waktu t.
Prediksi perubahan garis pantai dengan One-Line Model merupakan salah
studi model hidraulik dengan jenis model numerik (model matematika). Agar
pada proses pembuatan model terdapat kesaksamaan yang tinggi maka perlu
adanya dua tahap pengecekan model (Nur Yuwono, 1994). Dua tahap pengecekan
tersebut antara lain:
1. Kalibrasi, adalah pengaturan model agar supaya data-data yang ada di
prototip sesuai dengan yang ada di model.
2. Verifikasi, adalah pembuktian bahwa model sudah sesuai dengan yang ada
di prototip tanpa merubah aatau mengatur model lagi.
Pada studi model numerik dalam hal ini perubahan garis pantai dengan One-Line
Model, parameter yang dijadikan objek kalibrasi model adalah persamaan OneLine Model itu sendiri. Persamaan tersebut dikalibrasi sehingga hasil perhitungan
pada model mendekati dengan data pengukuran di lapangan.
51
Download