ICASERD WORKING PAPER No.25 - Pusat Sosial Ekonomi dan

advertisement
ICASERD WORKING PAPER No.25
TINJAUAN UMUM KEBIJAKAN
KREDIT PERTANIAN
Supadi dan Sumedi
Januari 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 25
TINJAUAN UMUM KEBIJAKAN
KREDIT PERTANIAN
Supadi dan Sumedi
Januari 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini,
pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan
ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P.
Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi:
Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari.
Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani
No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]
No. Dok.033.25.04..04
TINJAUAN UMUM KEBIJAKAN KREDIT PERTANIAN
Supadi dan Sumedi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK
Kredit pertanian memiliki peranan yang sangat signifikan dalam sejarah pelaksanaan
program pembangunan pertanian di Indonesia. Selain sebagai faktor pelancar, kredit juga
berfungsi sebagai simpul kritis pembangunan yang efektif, sehingga kredit pertanian tetap harus
tersedia. Sejarah kredit pertanian diawali dengan adanya kredit program untuk Padi Sentra pada
tahun 1963 dan dilanjutkan dengan Program Bimas pada tahun 1966 dan 1969 menjadi Bimas
Gotong Royong. Pada tahun 1970 Bimas Gotong Royong diubah menjadi Bimas yang
Disempurnakan sampai dengan tahun 1985. Pada tahun 1985 Kredit Bimas diganti dengan
Kredit Usaha Tani (KUT). Kredit program sektor pertanian tersebut digulirkan dengan tujuan
untuk menunjang pelaksanaan program intensifikasi padi. Namun sejak digulirkannya KUT,
cakupan komoditas yang dapat dilayani menjadi lebih banyak yaitu padi, palawija dan hortikultura.
Dalam perkembangannya KUT mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian mengikuti
perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah (Insus, Supra Insus, IP Padi-300 dan lain-lain).
Sejak dikeluarkannya UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak lagi
mengeluarkan KLBI untuk pendanaan kredit program (termasuk KUT), sehingga semua kredit
program yang bersumber dari KLBI dihapuskan mulai rahun 2000. Sebagai pengganti skim
pembiayaan pertanian maka diluncurkan skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Mekanisme
penyaluran KKP mirip dengan KUT dengan beberapa penyesuaian pada tingkat pelaksana kredit.
Perbedaan antara KUT dan KKP terletak pada sumber pendanaan dan tanggung jawab terhadap
risiko kredit. Sumber dana KUT berasal dari KLBI dan risiko kredit ditanggung pemerintah,
sementara sumber dana KKP berasal dari bank pelaksana dan risiko kredit ditanggung bank
pelaksana sebesar 50 persen. Sisanya ditanggung oleh konsorsium (untuk KKP tanaman
pangan), sementara KKP pada komoditas selain pangan risiko kredit sepenuhnya ditanggung
bank pelaksana. Tingkat bunga KKP sama dengan tingkat bunga di pasar, namun sebagian
dibayar oleh pemerintah melalui subsidi, sehingga tingkat bunga yang diterima petani relatif sama
dengan bunga yang dikenakan pada KUT.
Kata kunci : kredit pertanian, tanaman pangan, perkebunan, peternakan,perikanan, KKP, KUT
PENDAHULUAN
Pengalaman menunjukkan peranan kredit pertanian sangat penting dalam
pembangunan sektor pertanian Indonesia.
Kredit merupakan salah satu faktor
pendukung utama pengembangan adopsi teknologi usahatani. Kredit pertanian bukan
sekedar faktor pelancar pembangunan pertanian akan tetapi berfungsi pula sabagai
salah satu critical point of development (simpul kritis pembangunan yang efektif)
(Syukur, et al., 1998, 1999).
Dalam sejarah pelaksanaan pembangunan pertanian, peranan kredit pertanian
sangat nyata. Sejak awal Pelita I melalui program Bimas dalam rangka usaha
1
peningkatan produksi pangan melalui intensifikasi padi, dukungan pembiayaan
memegang peranan yang sangat menentukan terutama dalam introduksi teknologi
budidaya yang merupakan awal dimulainya revolusi hijau. Adanya kredit pertanian lebih
mendorong petani untuk mengadopsi teknologi baru karena tersedia modal usaha yang
memadai. Dalam pelaksanaan program intensifikasi berikutnya; Inmas,Insus, dan Supra
Insus, sampai akhirnya pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada
beras, selalu diikuti dengan pendampingan kredit pertanian. Melalui kredit usahatani
bersubsidi, yang disediakan
Bank Indonesia melalui fasilitas Kredit Likuiditas Bank
Indonesia.
Sejak tahun 1990-an, kinerja kredit usahatani mengalami penurunan baik dilihat
dari
aspek
penyalurannya
yang
cenderung
menurun
maupun
dari
tingkat
pengembaliannya. Artinya terjadi peningkatan tunggakan yang signifikan, kecuali pada
tahun 1998/1999, dimana terjadi peningkatan volume kredit pertanian sampai 2000
persen yang disebabkan perubahan kebijakan pemerintah dalam penetapan plafon dan
mekanisme penyaluran.
Pada periode sebelumnya penyaluran kredit menggunakan
mekanisme executing, di mana bank penyalur berperan sebagai pemutus kredit,
sementara pada tahun 1998/1999 pola yang digunakan adalah chanelling. Keputusan
kredit berada di Dinas Koperasi, sedangkan bank hanya bertindak sebagai perantara
pencairan dana saja. Kebijakan penyaluran kredit pertanian kemudian diubah kembali
menjadi pola executing pada tahun berikutnya karena pola chanelling dinilai tidak efektif
dalam seleksi calon nasabah.
Mulai tahun
1999/2000 program kredit pertanian yang bersumber dari KLBI
dihapuskan seiring dikeluarkannya UU No 23, tanggal 16 November 1999 tentang Bank
Indonesia, di mana BI tidak diperkenankan lagi memberikan Kredit Likuiditasnya (KLBI)
untuk kredit program.
Pada saat yang bersamaan terjadi pelandaian pertumbuhan produksi pangan
(terutama padi) dan kemandegan inovasi teknologi baru oleh petani. Padahal pada sisi
lain penemuan varietas unggul padi oleh Puslitbang Tanaman Pangan telah mencapai 60
jenis varietas, namun hanya beberapa varietas saja yang diadopsi oleh petani secara
luas. Patut diduga hal ini erat kaitannya dengan semakin berkurangnya dukungan kredit
dalam introduksi teknologi baru di samping masalah kinerja penyuluhan pertanian yang
semakin menurun.
2
Pentingnya peranan kredit dalam pembangunan pertanian Indonesia terkait
dengan tipologi petani yang sebagian besar merupakan petani kecil dengan penguasaan
lahan yang sempit sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan pemupukan modal
untuk investasi pada teknologi baru.
Dengan demikian dukungan pembiayaan tetap
harus dilakukan.
Syukur et al., (1998 dan 1999) menyatakan bahwa peran kredit sebagai pelancar
pembangunan pertanian antara lain: (1)
membantu petani kecil dalam mengatasi
keterbatasan modal dengan bunga yang relatif ringan, (2) mengurangi ketergantungan
petani pada pedagang perantara dan pelepas uang dan dengan demikian berperan
dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian, (3)
mekanisme
transfer pendapatan di antara masyarakat untuk mendorong pemerataan dan (4) insentif
bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian.
SUMBER-SUMBER KREDIT/PEMBIAYAAN PERTANIAN
Sebagai simpul kritis pembangunan, kredit berfungsi efektif untuk menunjang
perluasan dan penyebaran dan adopsi teknologi.
Pengalaman menunjukkan bahwa
sebaran spasial adopsi teknologi ternyata berimpit dengan sebaran spasial penyaluran
kredit usahatani.
Dalam tulisan ini yang dimaksud kredit pertanian adalah kredit program dengan
bunga yang relatif rendah di mana penyalurannya menggunakan skim tertentu.
Sebenarnya sumber permodalan bagi petani dalam menjalankan usahanya di samping
berasal dari modal sendiri dan kredit program, juga berasal dari kredit bank komersial,
atau lembaga keuangan lainnya seperti BPR, Koperasi serta dari sumber pembiayaan
informal, antara lain pedagang (input/output), money lender atau pinjaman dari keluarga/
tetangga.
Manurung (1998) membagi secara garis besar sumber biaya usaha pertanian
menjadi 4 kelompok yaitu: (1) pemilik usaha (modal sendiri); (2) kredit formal; (3) kredit
informal dan (4) kemitrausahaan. Kredit formal dapat dibagi menjadi kredit program dan
kredit non program. Kredit program umumnya bersifat sektoral untuk mencapai sasaran
yang diinginkan misalnya KKP (Kredit Ketahanan Pangan). Kelembagaan kredit formal
terdiri dari (1) koperasi unit desa; (2) bank dan (3) pegadaian.
3
Beberapa jenis perkreditan yang dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian skala
kecil di Indonesia antara lain (1) Kupedes; (2) KIK (Kredit Industri Kecil)); (3) KMKP
(Kredit Modal Kerja Permanen); (4) KKU (Kredit Kelayakan Usaha); (5) PHBK
(Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat); (6) KKPA
(Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggota); (7) PKM (Proyek Kredit Mikro); (8) KUK
(Kredit Usaha Kecil).
Kelembagaan perkreditan informal pada umumnya tidak memerlukan persyaratan
seperti: bunga, agunan dan persyaratan lainnya. Hubungan antara peminjam dengan
pihak yang meminjamkan hanya didasarkan pada sikap saling mempercayai satu sama
lain.
Sedangkan kemitrausahaan atau kerjasama dapat dilakukan oleh BUMN atau
perusahaan swasta. Perusahaan swasta atau BUMN memberikan bantuan kredit atau
menyediakan sarana produksi, peralatan atau membantu manajemen dan pemasaran
hasil.
Kelebihan perkreditan melalui kemitraan ini adalah di samping memberi kredit
tanpa bunga dan tanpa agunan juga berfungsi sebagai pasar (penampung hasil) bagi
produksi dan penyediaan input (sarana produksi).
Salah satu kendala yang dihadapi para petani dan pelaku agribisnis skala kecil
untuk mengembangkan usahanya adalah kurang aksesnya ke sumber-sumber
permodalan (Sudaryanto, 1999).
Hal ini terlihat dari masih sangat rendahnya
penyerapan dana yang disediakan dibandingkan sektor lain.
Di tingkat lapangan, kredit berbunga murah yang ditujukan untuk pengembangan
ekonomi rakyat (petani, usahawan dan koperasi) masih sulit cair.
Pihak birokrasi
beralasan karena kredit program ini ada keterbatasan-keterbatasan bagi peminat.
Padahal seharusnya dalam penyaluran kredit program yang perlu diperbaiki adalah
prosedur yang relatif panjang karena sering merupakan penyebab utama keengganan
masyarakat pedesaan untuk berhubungan dengan bank.
KINERJA KREDIT PROGRAM
Pembiayaan pertanian yang bersumber dari kredit program tidak bisa dilepaskan
dari sejarah pembangunan pertanian, yang mengarah pada program peningkatan
produksi padi nasional yang didukung oleh program pembiayaan yang memadai dan
kontinu. Program ini merupakan program yang utama dan memiliki sejarah terpanjang
4
dalam pembangunan pertanian Indonesia. Program peningkatan produksi pangan (padi)
tidak saja memiliki arti ekonomi juga memiliki arti sosial politik yaitu menciptakan
stabilisasi ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan pada pasokan pangan
impor.
Sejarah kredit pertanian bersamaan dengan sejarah program peningkatan
produksi pangan nasional pada awal Pelita I, yaitu dengan dilaksanakannya program
intensifikasi melalui Bimas. Pendampingan pendanaan yang lebih dikenal dengan Kredit
Bimas, dimaksudkan untuk mempercepat adopsi teknologi budidaya padi, yaitu dengan
memberi bantuan pendanaan untuk pengadaan bibit unggul, pupuk, pestisida dan biaya
hidup (cost of living) yang bertujuan meningkatkan produktivitas usahatani padi. Sesuai
dengan tujuannya maka sebaran spasial kredit usahatani akan berimpit dengan sebaran
spasial
program Bimas.
Dalam
perkembangannya
program Bimas
mengalami
penyempurnaan menjadi Inmas (Intensifikasi Masal), Inmum, Insus dan Supra Insus,
program kredit pendampingan juga mengalami berbagai perubahan baik plafon maupun
sistem penyaluran dan pengembaliannya.
Kredit Bimas selanjutnya berganti nama
menjadi Kredit Usahatani.
Program peningkatan produksi pangan melalui penerapan intensifikasi dan
ekstensifikasi dilakukan dengan mengerahkan segala sumberdaya termasuk alokasi
kredit usahatani yang semakin meningkat, meskipun pada sisi lain besarnya tunggakan
juga terus meningkat. Pada sisi pasar input, pemerintah memberikan subsidi harga
benih, pupuk dan pestisida.
Sementara pada pasar output pemerintah memberlakukan
kebijaksanaan harga dasar. Usaha ini membawa hasil yang cukup memuaskan yaitu
dengan dicapainya swasembada pangan (beras) pada tahun 1984, yang mengubah
posisi dari negara pengimpor terbesar menjadi negara yang self sufficient.
Setelah tercapainya swasembada beras, program intensifikasi dan ekstensifikasi
tidak lagi hanya difokuskan pada komoditas padi, namun diperluas kepada komoditas
lainnya, terutama palawija dan hortikultura. Seiring dengan itu program bantuan kredit
murah juga diperluas selain untuk komoditas padi, juga untuk jagung, kedelai, ubikayu,
dan ubi jalar serta komoditas hortikultura.
Menurut Syukur, et al., (1999) meskipun pola KUT dianggap memiliki kelemahan,
khususnya dalam pengamanan kredit (memperkecil jumlah tunggakan), namun pola KUT
juga memiliki banyak keberhasilan. Hal ini telah mendorong pemerintah untuk
mengintroduksikan skim-skim kredit ini pada sub sektor lainnya, seperti perkebunan,
5
peternakan dan perikanan. Sehingga lahirlah berbagai skim kredit, misalnya kredit Tebu
rakyat Intensifikasi, Kredit Program Intensifikasi Lada, Cengkeh dan Kopi. Pada sub
sektor peternakan dikenal kredit program penggemukan sapi potong, intensifikasi ternak
ayam, sapi bibit dan lain-lain. Sementara itu pada sub sektor perikanan terdapat kredit
Fisheries Credit Project, Ex Trawl, Intensifikasi Tambak (Intam), dan lain-lain.
Di samping sektor pertanian primer, skim kredit program juga diperuntukkan bagi
sektor industri pengolahan skala kecil, koperasi dan pemasaran.
Lembaga yang
berfungsi menopang atau mendukung program pemerintah, seperti BULOG juga
memperoleh alokasi kredit program.
Perkembangan kredit program selanjutnya sangat terkait dengan kebijkasanaan
makro di bidang moneter. Sejak dikeluarkannya Paket Januari 1990, pemerintah
melaksanakan reorientasi kebijaksanaan perkreditan (Bank Indonesia, 1997 dalam
Syukur, et al., 1999) yang arahnya sebagai berikut:
(1) Kredit Program: alokasi kredit diserahkan pada mekanisme pasar. Bank-bank
bebas dalam memobilisasi dana dan menyalurkannya kepada masyarakat baik
jumlah, bunga, penggunaan maupun dalam persyaratan-persyaratannya.
(2) Penyederhanaan struktur bunga sehingga terbentuk suku bunga pasar yang
wajar melalui pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing.
(3) Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) secara bertahap dikurangi dan hanya
diberikan
untuk
mendukung
pengembangan koperasi.
pelestarian
swasembada
pangan
dan
Program yang mendapat KLBI tersebut, unsur
subsidinya sejauh mungkin dikurangi sehingga suku bunga kredit berorientasi
kepada suku bunga pasar. Kredit program tersebut antara lain Kredit Usaha
Tani (KUT), Kredit Kepada KUD (KKUD), Kredit Kepada Koperasi Primer untuk
Anggotanya (KKPA), Kredit Kepada BULOG untuk pengadaan pangan nasional
dan Kredit Pemilikan Rumah Sederhana/Sangat Sederhana (KPRS/KPRSS).
Selanjutnya untuk skim-skim kredit tersebut di atas dibiayai dengan dana
masyarakat yang dihimpun perbankan.
(4) Sebagian dari kredit perbankan diarahkan untuk usaha kecil melalui pemberian
kewajiban kepada semua bank untuk menyediakan KUK minimum 20 persen
dari jumlah pemberian kredit. Di samping itu, untuk mencapai pertumbuhan
6
konomi yang cukup tinggi, kepada bank asing/campuran dan bank devisa
diwajibkan menyediakan sebagian dananya untuk kredit ekspor.
Dampak deregulasi perkreditan tersebut tidak berdampak terhadap alokasi kredit
sektor pertanian primer terutama KUT, karena tidak dilakukan pembatasan terhadap
plafon KUT. Penyaluran KUT, selama periode 1990-1996 mengalami penurunan, dari
sekitar 108 milyar pada tahun 1990/1991 menjadi 34 milyar pada tahun 1996/1997,
namun dari sisi tunggakan kredit terdapat kecenderungan peningkatan (Syukur, et al.,
1999). Hal ini menunjukkan kinerja program KUT yang semakin menurun, baik dari sisi
penyaluran maupun pengembaliannya sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi
kinerja sektor pertanian dalam memproduksi pangan. Seiring penurunan penyerapan
KUT, pertumbuhan produksi pangan terus mengalami pelandaian yang kemudian diiringi
dengan peningkatan impor beras, sehingga swasembada beras tidak lagi bisa
dipertahankan.
Untuk itu perlu dilakukan terobosan dalam penyaluran KUT kepada
petani. Fenomena ini bukan saja terjadi pada KUT namun skim kredit program lainnya,
yang kesemuanya terdapat 17 skim kredit program yang mencakup sektor pertanian
primer, pengolahan, perdagangan dan industri kecil. (Sinar Tani, 24 Februari 1999)
El-Nino yang terjadi pada tahun 1997, yang kemudian dilanjutkan dengan
munculnya gejala La-Nina, telah memukul produksi pangan nasional.
Krisis moneter
yang terjadi pada pertengahan 1997 yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi
turut memperparah kinerja sektor pertanian.
Pemerintah dalam hal ini Departemen
Pertanian berinisiatif melaksanakan program IP-Padi 300 dengan mengupayakan
penanaman pada pada MK-II 1998. Program ini didukung dengan pendanaan pola KUT
untuk menjamin penerapan teknologi padi. Sejak MT 1998/1999 dilaksanakan upaya
terobosan untuk meningkatkan penyerapan kredit KUT, dengan merubah pola
penyaluran di mana Bank hanya berperan sebagai chanelling (penyalur), sementara
executing (pemutus kredit) berada pada Departemen Koperasi atau LSM. Selain itu
plafon KUT dinaikkan yang bersumber dari dana KLBI. Dengan pola demikian berhasil
mendongkrak pencairan kredit hingga 1000 persen. Penyaluran KUT untuk tanaman
pangan dan hortikultura mencapai 8 trilyun rupiah. Peningkatan pencairan KUT yang
demikian besar sepatutnya dapat meningkatkan produksi padi pada tahun 1999, namun
ternyata justru sebaliknya, mengalami penurunan.
Keyataan selanjutnya ditunjukkan
dengan tingginya tunggakan kredit yang terjadi yaitu sekitar 6 trilyun rupiah.
7
Kondisi demikian menunjukkan bahwa pola bank sebagai chanelling agent
ternyata kurang efektif dalam hal pengembalian kredit bahkan lebih buruk dibandingkan
dengan pola sebelumnya di mana Bank bertindak sebagai executing agent. Pada tahun
berikutnya pola penyaluran KUT kembali ke pola semula.
Dengan pola demikian
penyaluran KUT menjadi lebih selektif, walaupun sebagai konsekuensinya penyaluran
kredit mengalami penurunan.
Kebijaksanaan moneter selanjutnya yang merupakan kesepakatan dengan IMF
dalam pemulihan ekonomi nasional, di mana KLBI harus dihapuskan. Dengan demikian
alokasi dana untuk kredit program termasuk KUT tidak tersedia lagi. Pada sisi lain sektor
pertanian masih memerlukan kredit dengan bunga yang murah.
Untuk mengatasi tidak diperbolehkannya lagi Bank Indonesia mengeluarkan
Kredit Likuiditas untuk kredit program (UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia),
maka melalui Keputusan Menteri Keuangan No 345/,KMK217/2000 tentang Pendanaan
Kredit Ketahanan Pangan dan SK Menteri Pertanian No 399/Kpts/BM530/8/2000 tentang
Petunjuk Teknis Pemanfaatan Skim Kredit Katahanan Pangan, telah ditetapkan skim
kredit program untuk pembiayaan pengembangan pertanian, peternakan dan perikanan,
melalui skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang hakekatnya merupakan penyesuaian
dari Skim KUT.
Perbedaan yang signifikan antara skim KUT dengan KKP terletak pada sumber
pendanaan dan tanggungjawab risiko kredit.
Sumber dana KUT berasal dari Bank
Indonesia dengan sebagian besar risiko kredit ditanggung oleh Pemerintah sementara
sumber dana Kredit Ketahanan Pangan berasal dari dana bank pelaksana dengan
ketentuan:
(1).
Risiko kredit untuk kegiatan intensifikasi padi, jagung, kedelai, ubikayu dan ubi
jalar ditanggung bank pelaksana sebesar 50 persen dan konsorsium asuransi
sebesar 50 persen. Kredit KKP pada kegiatan lainnya (peternakan,perikanan dll)
risiko sepenuhnya ditanggung bank pelaksana.
(2).
Tingkat bunga yang diterima oleh bank pelaksana sebesar tingkat bunga
komersial yang berlaku. Pada tahun pertama pelaksanaan KKP, tingkat bunga
yang disepakati bagi bank pelaksana sebesar 22 persen per tahun.
8
(3).
Tingkat bunga KKP yang ditanggung petani untuk kegiatan intensifikasi padi,
jagung, kedelai, ubikayu dan
ubi jalar ditetapkan sebesar 12 persen dan
selebihnya (10 persen) disubsidi oleh pemerintah.
(4).
Tingkat bunga KKP untuk petani, peternak, nelayan atau koperasi untuk kegiatan
selain intensifikasi
komoditas tersebut di atas dikenakan bunga sebesar 16
persen dan selebihnya (6 persen) disubsidi oleh pemerintah.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sekalipun fasilitas KLBI sudah tidak
diperkenankan lagi, namun pemerintah tetap memberikan kemudahan bagi kredit sektor
pertanian dalam bentuk penerapan skim khusus (KKP) dan subsidi terhadap suku bunga
yang ditanggung petani.
Melalui mekanisme subsidi bunga pemerintah melakukan
intervensi dalam rangka membantu permodalan petani yang diharapkan dapat
meningkatkan produksinya.
Kondisi yang dihadapi petani terutama untuk komoditas pangan dalam
pengembangan usaha saat ini adalah: (1) harga input/biaya produksi yang semakin
tinggi, (2) rata-rata luas lahan petani yang sempit dengan produktivitas rendah, (3)
aksesibilitas terhadap sumber kredit yang sulit, suku bunga kredit yang tinggi dan (4)
harga produk di tingkat petani yang rendah dan berfluktuasi.
menyebabkan petani kurang mendapatkan insentif
Kondisi tersebut
untuk tetap bertahan pada sektor
tersebut. Di lain pihak sektor pertanian khususnya tanaman pangan memiliki peranan
yang sangat besar dan strategis baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan
nasional maupun dalam penyediaan lapangan kerja, sehingga perlu didukung
pengembangannya antara lain dengan memberikan keringanan (subsidi bunga kredit).
Beberapa bank swasta nasional yang telah menyalurkan Kredit Ketahanan
Pangan antara lain Bank BRI, Bank Bukopin, Bank Danamon, Bank BCA, dan Bank
Pembangunan Daerah. Namun karena sumber dana berasal dari masing-masing bank
pelaksana dan juga risiko kreditnya maka penyalurannya menjadi lebih hati-hati dan
selektif sehingga volume pencairan kredit menjadi rendah.
Selain kredit program, pembiayaan sektor pertanian ada yang bersumber dari
dana program pembangunan sektor pertanian.
hibah atau dana bergulir.
Dana ini dialokasikan dalam bentuk
Banyak contohnya, (1) program intensifikasi kedelai dan
jagung yang umumnya didampingi dengan dana pengadaan benih dan sebagian pupuk,
(2)
program penggemukan dan inseminasi buatan pada sub sektor peternakan, (3)
Bantuan bergulir kapal penangkapan ikan, dan masih banyak lainnya. Program-program
9
tersebut dilaksanakan melalui Direktorat Jenderal di masing-masing sub sektor melalui
proyek P2RT, DPG atau PSSP.
Pada sub sistem pengolahan, dibentuk KUBA
(Kelompok Usaha Bersama) yang di dalamnya terkandung dukungan dana permodalan
awal untuk menjalankan usaha. Program Ketahanan Pangan (PKP) yang dilaksanakan
pada tahun 2000 merupakan contoh paling akhir pendanaan dengan sistem hibah
bergulir. Sekalipun demikian, dilihat dari kinerja pengembalian ataupun pemupukan
modal masih perlu dikaji. Program-program tersebut walaupun tidak bersifat masal dan
terjadi secara spasial pada lokasi dan waktu yang tidak dapat direncanakan oleh petani,
namun jika petani memperolehnya merupakan salah satu sumber pembiayaan usaha
pertanian. Meskipun masih terdapat kredit program melalui dana bergulir, serta PKP
namun jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat karena
keterbatasan anggaran pemerintah.
KOMODITAS-KOMODITAS YANG DIBIAYAI KUT DAN KKP
Komoditas yang dibiayai dengan KUT sesuai dengan ketentuan terdiri dari (1)
padi, jagung dan kedelai yang ditanam secara monokultur; (2) kacang tanah, kacang
hijau, ubijalar dan padi gogo yang ditanam secara tumpangsari dengan jagung dan
kedelai; dan (3) hortikultura: buah-buahan (nenas, pisang, pepaya, markisa, jeruk dan
salak), sayur-sayuran (cabe merah, kentang, bawang merah dan bawang putih), dan
tanaman obat-obatan (jahe).
Khusus untuk tanaman buah-buahan, KUT diberikan untuk biaya pemeliharaan
tanaman yang sudah menghasilkan. KUT untuk intensifikasi hortikultura diberikan: (1)
secara selektif berdasarkan daerah maupun komoditas dengan memperhatikan pola
pembiayaan hortikultura yang sudah berjalan di daerah bersangkutan; (2) mempunyai
jaminan pemasaran.
Pola kredit dalam pembiayaan program TRI melalui Kredit Kepada Koperasi untuk
Anggotanya (KKPA-TRI), KKPA-TRI disalurkan melalui bank pemberi kredit adalah bank
umum yaitu BRI, Bank BUKOPIN, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD Jabar. Koperasi
Primer dalam rangka pembiayaan program TRI adalah KUD.
KKP (Kredit Ketahanan Pangan) merupakan skim kredit program untuk
pembiayaan pertanian tanaman pangan, peternakan, dan perikanan. Kegiatan usaha
10
yang dapat
memanfaatkan KKP antara lain: (1) Intensifikasi padi, jagung, kedelai,
ubikayu dan ubi jalar, (2) Pengembangan budidaya tebu rakyat, (3) Peternakan sapi
potong, unggas dan itik, (4) Penangkapan dan budidaya ikan, dan (5) Pengadaan
pangan (gabah, jagung dan kedelai)
Kredit Ketahanan Pangan merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah
untuk membantu permodalan petani dalam kondisi tidak adanya fasilitas KLBI, meskipun
dari sisi penyaluran masih rendah. Salah satu faktor rendahnya penyaluran KKP adalah
sampai saat ini masih banyak petani/kelompok tani yang masih memiliki tunggakan KUT
pada periode sebelumnya (sejak MT 1998/1999), sehingga banyak petani/kelompok tani
yang tidak dapat mengakses KKP, karena salah satu persyaratan untuk memperoleh
fasilitas KKP adalah tidak memiliki tunggakan KUT.
Realisasi KKP untuk tanaman pangan di Indonesia merupakan yang terkecil
dibandingkan komoditas lainnya (Sinar Tani, 2002). Sebagai gambaran sampai dengan
bulan April 2002 realisasi KKP berturut-turut adalah Rp 349,22 milyar (92,7%)untuk
budidaya tanaman tebu rakyat, sementara untuk budidaya ternak sebesar 26,45 persen,
pengadaan pangan 15,66 persen, penangkapan ikan 14,43 persen dan paling kecil
realisasinya adalah KKP untuk tanaman pangan yaitu hanya 9,57 persen dari total
penyaluran KKP.
Penyaluran KKP untuk budidaya tebu rakyat merupakan yang terbesar karena
adanya jaminan dari pabrik gula. Pabrik gula dalam hal ini berfungsi sebagai lembaga
penjamin kredit, yang bertanggungjawab atas kredit yang diterima oleh petani. Hal ini
dimungkinkan karena semua hasil panen tebu dijual ke pabrik gula penjamin.
Rendahnya penyaluran KKP pada tanaman pangan,dibandingkan plafon yang
disediakan menyebabkan dilakukannya realokasi KKP intensifikasi tanaman pangan
yang semula Rp1,85 trilyun dikurangi menjadi Rp 785,135 milyar. Sementara plafon
KKP untuk budidaya tebu meningkat dari Rp 376,5 milyar menjadi Rp 675,6 milyar, KKP
peternakan meningkat dari Rp 182,23 milyar menjadi Rp 282,33 milyar. Sedangkan KKP
penangkapan ikan dan pengadaan pangan tidak berubah
43,519 milyar dan Rp 294,845 milyar.
11
yaitu masing-masing Rp
PERKEMBANGAN KELEMBAGAAN KREDIT PERTANIAN
Pemerintah Indonesia mulai memperkenalkan kredit program bagi petani sejak
pendirian Padi Sentra (1963) yang menangani masalah penyuluhan, penyaluran dan
pengembalian kredit. Kredit tersebut diperuntukkan bagi pembelian sarana produksi dan
uang untuk biaya hidup sampai usaha menghasilkan (cost of living). Kredit memerlukan
agunan berupa lahan sawah atau jaminan produksi padi yang akan dipanen sehingga
petani sering mendapatkan kesulitan untuk menyediakan agunan tersebut.
Dengan diluncurkannya program Bimas pada tahun 1966, pemerintah juga
membenahi sistem kelembagaan perkreditan untuk mendukung program intensifikasi
padi. Penyaluran kredit menjadi tanggung jawab BNI Unit II (sekarang BRI). Penyaluran
kredit dilakukan melalui Koperasi Produksi Petani (Koperta). Kredit diberikan dalam
bentuk sarana produksi dengan agunan usahatani padi yang sedang diusahakan.
Selanjutnya pada tahun 1969 diganti dengan Bimas Gotong Royong. Pada saat itu kredit
usahatani diberikan dengan sistem bagi hasil, yaitu 1/6 produksi kotor diperuntukkan
untuk pembayaran kredit.
Pada tahun 1970 pemerintah menyempurnakan program Bimas Gotong Royong
menjadi Bimas yang Disempurnakan.
Dengan penyempurnaan ini, kredit program
intensifikasi disalurkan melalui BRI Unit Desa sedangkan pengadaan dan penyaluran
sarana produksi dilaksanakan melalui BUUD/KUD.
Kredit diberikan kepada petani
pemilik/penggarap dengan jaminan berupa barang bergerak atau usahataninya. Pada
tahun 1982 penyaluran kredit tidak hanya melalui BRI Unit Desa, tetapi dapat juga
melalui KUD. Masalah yang dihadapi adalah makin membesarnya tunggakan kredit.
Tahun 1985 pemerintah
menghentikan kredit Bimas dan menggantikannya
dengan Kredit Usaha Tani (KUT). Pada prinsipnya KUT ini hampir sama dengan Kredit
Bimas, namun cakupan komoditasnya lebih banyak yaitu padi, palawija dan hortikultura.
Petani yang tergabung dalam kelompok tani dapat akses kredit KUT dengan membuat
Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).
Dalam perkembangannya KUT mengalami berbagai perubahan sesuai dengan
perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah. Pada saat Indonesia mulai dilanda
krisis pada tahun 1998 dan karena pengaruh kemarau panjang (El-Nino) yang
menyebabkan dampak negatif pada usahatani padi, pemerintah memutihkan tunggakan
KUT MT 1985 sampai dengan MT 1995. Sementara tunggakan KUT untuk periode MT
12
1995/1996 sampai dengan MT 1997 dilakukan penundaan pembayaran selama dua
tahun. Sejak MT 1998/1999 Pemerintah mengubah pola penyaluran KUT yang tadinya
hanya melalui BRI dan KUD dengan memberikan kesempatan pada bank pelaksana lain
serta LSM dan koperasi untuk menyalurkan kredit kepada petani.
Pada saat itu bank
pelaksana hanya berfungsi sebagai penyalur (chanelling) dana KUT yang berasal dari
Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Dengan mekanisme ini ternyata banyak terjadi
penyimpangan kredit yang berdampak pada besarnya tunggakan kredit.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, BI tidak lagi menyalurkan kredit program (termasuk KUT) sehingga sejak saat
itu bank pelaksana harus menanggung dana KUT. Perkembangan selanjutnya melalui
SK Menteri Keuangan No 345./KMK.017/2000 tentang pedoman Kredit Ketahanan
Pangan dan SK Menteri Pertanian No 399/Kpts/BM.530/8/2000 tentang Petunjuk Teknis
Pemanfaatan skim Kredit Ketahanan Pangan, pemerintah menghapus kredit program
KUT dan meluncurkan skim kredit usahatani baru yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP).
KKP pada hakekatnya mengkomodasikan KUT, Kredit Kepada Koperasi dalam rangka
pengadaan pangan (Kkop Pangan) dan Kredit
kepada Koperasi Primer untuk
anggotanya (KKPA). Penyaluran KKP menggunakan sistem executing, di mana bank
pelaksana merupakan lembaga pemutus kredit.
Jenis usahatani yang dibiayai mencakup
usahatani tanaman pangan (padi,
jagung, kedelai, ubikayu, dan ubi jalar), usaha ternak (sapi potong, ayam ras dan itik)
serta budidaya ikan. Pada pelaksanaanya KKP masih mengalami hambatan baik pada
sisi bank pelaksana yang belum siap, maupun pada sisi KUD /Koperasi atau petani yang
masih menunggak utang KUT.
PENUTUP
Masalah kredit di sektor pertanian, terutama untuk petani kecil, seakan tidak
pernah lepas dari berbagai masalah, sehingga niat baik pemerintah untuk membantu
mereka dalam penyediaan modal usaha seringkali tidak mencapai sasaran dan masih
jauh dari sempurna. Keragaan Kredit Usahatani (KUT) menunjukkan bahwa kredit yang
disalurkan pemerintah belum sepenuhnya dapat mengakomodasi besaran kredit yang
diperlukan petani dari skala kecil hingga skala besar, dan dari yang berjangka pendek
hingga berjangka panjang. Selain itu sistem kredit yang ada cenderung menumbuhkan
ketergantungan petani kepada bantuan pemerintah.
13
Dalam upaya penyempurnaan penyaluran kredit untuk sektor pertanian
hendaknya skim kredit tidak terlalu banyak, namun dapat mencakup semua komoditas
dan golongan petani.
Sementara itu karena sektor pertanian memiliki karakteristik
sendiri, diusulkan juga adanya bank khusus yang menangani sektor pertanian (Bank
Agribisnis) atau menurut Ato Suprapto (1999) Bank Petani dan Koperasi. Selama kurun
waktu lebih dari 10 tahun terakhir ini, alokasi kredit bagi sektor pertanian kurang dari 10
persen dari total kredit yang disalurkan kepada seluruh sektor ekonomi. Alokasi kredit
yang timpang tersebut tidak serta merta disebabkan oleh rendahnya kemampuan sektor
pertanian untuk mengembalikan kredit tetapi lebih disebabkan oleh keberpihakan yang
masih rendah pada sektor ini dan aturan main (kelembagaan) kredit yang kaku, terutama
bagi petani dan pelaku agribisnis dan agroindustri.
Ketersediaan kredit pertanian khususnya kredit program saat ini sangat terbatas
seiring dengan berlakunya Undang-Undang No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
dan LoI (Letter of Intents) antara pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter
International (IMF) di mana fasilitas KLBI yang selama ini merupakan sumber pendanaan
dari berbagai kredit program dihapuskan. Dengan demikian kredit pertanian kemudian
harus memanfaatkan dana-dana komersial yang bersumber dari bank-bank komersial,
meskipun sampai saat ini masih diberikan subsidi bunga oleh pemerintah yang besarnya
berkisar antara 10 sampai 12 persen, namun mekanisme lainnya seperti prosedur dan
persyaratannya telah megacu pada kredit komersial.
DAFTAR PUSTAKA
Adjid, D.A. 1991. Sistem Pendukung dalam Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian
Dalam Pengembangan Alat dan Mesin Menunjang Industri Pertanian. Risalah
Lokakarya dan Ekspose Alat dan Mesin Menunjang Industri Pertanian. Bogor, 1314 Agustus 1991. Eko Ananto dan Ridwan Thahir (Penyunting). Puslitbang
Tanaman Pangan. Hal.79-88.
Andin H. Taryoto, Abunawan Mintoro, Soentoro, dan Hermanto. 1992. Perkembangan
Perkreditan Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
SK Bisnis Indonesia. 1999.
Jakarta.
Kredit Agribsinis Rp 115 Trilyun.
Senin, 3 Mei 1999.
SK Bisnis Indonesia. 2001. Meneliti Collateral Kredit tanpa Agunan.
September 2001. Jakarta.
Colter, Yusuf Mada. 1984. Masalah Perkreditan
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
14
Kamis, 27
dalam Pembangunan Pertanian.
Departemen Pertanian. 1997. Buku Pintar Intensifikasi Pertanian. Sekretariat Badan
Pengendali Bisnis. Jakarta.
Hadi, Prajogo, U. 2001. Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Unggulan
Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.
Hermanto. 2001. Perkembangan Kelembagaan Pertanian. Bunga Rampai Ekonomi
Beras. Tim Pengkajian Kebijakan Perberasan Nasional. A. Suryana, S.
Mardianto dan M. Ikhsan (Editor).
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) 1-13.
Hutabarat, B., A. Husni Malian, Adimesra Djulin , Tri Bastuti P dan Sumedi, Dampak
Kebijaksanaan Moneter terhadap Kinerja Sektor Pertanian. 2000 Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Manurung, V.T. 1998. Keragaan Kelembagaan Perkreditan Usaha Penangkapan Ikan
Tuna Skala Kecil di Kawasan Indonesia Timur. FAE Vol.16 No.2 Desember 1998.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal:62-74.
Mayrowani, H, Hendiarto, Saktyanu Kristyantoadi , Wahida, Bambang Prasetyo dan
Dewa K.S. Swastika, 1998. Kajian Ketersediaan dan Pemanfaatan Skim Kredit
untuk Menunjang Agribisnis di Pedesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Mayrowani, H, Mat Syukur dan Sunarsih. 2000. Peningkatan Peranan Kredit dalam
Menunjang Agribisnis di Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Rachman, B, Maesti Mardiharini, Sumedi, Andi Askin, dan Elly Riswati, 2000.
Perumusan Kebijaksanaan Pembiayaan Perikanan Rakyat. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Rachman, B, Saptana, Supena Friyatno dan Sumedi, 1999. Food Policy Support
Activity. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Rachman, B, Saptana, Supena Friyatno dan Sumedi,. 2000. Food Policy Support
Activity. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
SK Sinar Tani. 1999. 17 Skim Kredit untuk Rakyat Masih Sulit Cair. 24 Februari 1999.
Jakarta.
SK Bisnis Indonesia. Mentan; Skema Kredit Baru Tak Pengaruh Kucuran KUT. 25
Januari 2000.
SK Bisnis Indonesia. Pemerintah dan IMF Sepakati Skema Kredit Baru UKM. 24 Januari
2000.
SK Bisnis Indonesia. Skema Baru Kredit UKM Kian Persulit Akses Dana. 25 Januari
2000.
SK. Bisnis Indonesia. Kredit Agribisnis Rp 115 triliun 3 Mei 1999.
Soehadji. 1992. Usaha Peternakan Sekarang dan di Masa Depan. Dalam Prosiding Agro
Industri Peternakan di Pedesaan, 10-11 Agustus 1992, Ciawi Bogor. Balai
Penelitian Ternak. M. Sabrani, I Putu Kompiang, Sofjan Iskandar, Uka Kusnadi
dan Syafrizal Syahgiar (Penyunting). Puslitbang Peternakan. Hal:1-32.
15
Sudaryanto T., I.W. Rusastra dan Erizal Jamal. 1999. Perspektif Kebijaksanaan
Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi. Dalam Analisis dan Perspektif
Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi. T. Sudaryanto,
I. W. Rusastra, Erizal Jamal (Penyunting). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Hal:V-XXIII.
Sudaryanto, T. 1999. Pespektif Pembangunan Ekonomi dalam Era Pasar Bebas.
Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi
Daerah, Bogor, 16-17 November 1999. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian.
Syukur, M., Sumaryanto dan Sumedi. 1999. Kinerja Kredit Pertanian dan Alternatif
Penyempurnaannya untuk Pengembangan Pertanian. Dalam Analisis dan
Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi.
Monograph Series No.20. Tahlim Sudaryanto, I Wayan Rusastra, dan Erizal
Jamal (Penyunting) Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal:221-246.
Syukur, M., Sumaryanto dan Sumedi, 1998. Kinerja Kredit Pertanian dan Alternatif
Penyempurnaannya untuk Pengembangan Pertanian. Monograph Series No.20,
T. Sudaryanto, I. W. Rusastra dan Erizal Jamal (Eds) Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Syukur, Mat, Sumaryanto, Saptana, A. Rozany Nurmanaf, Budi Wiryono, Iwan Setiajie
Anugrah dan Sumedi, 1999.
Kajian Skim Kredit Usahatani Menunjang
Pengembangan IP-Padi 300 di Jawa Barat. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Syukur, M. 1994.
Skim Kredit Pedesaan dan Peranannya pada Program
Penanggulangan Kemiskinan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 1994.
Wahyuni, Dwi, 2000. Penjaminan
Indonesia, 5 Desember 2000.
Kredit
UKM
Masih
Isapan Jempol.
Bisnis
Wiyono, Teguh. 2002. Dukungan Pemerintah terhadap Kelangsungan Pelaksanaan
Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Sk Sinar Tani Edisi 18-24 Desember 2002
dan Edisi 25-31 Desember 2002.
16
Download