1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia menjadi negara Indonesia yang memiliki keunikan dengan
budaya yang beraneka ragam dengan bahasa dan adat istiadat yang berbeda
yang menambah daya tarik wisatawan untuk mengunjungi negara Indonesia,
maka adat istiadat dan bahasa daerah perlu dilestarikan, termasuk pula budaya
atau adat isiadat di Yogyakarta yang menjadi pusat kebudayaan berbagai
daerah di tanah Jawa.
Wilayah Yogyakarta memiliki berbagai jenis budaya dan makanan khas
termasuk pula kesenian, dan bangunan bersejarah yang menjadi bagian dari
kebudayaan kota istimewa.
Budaya atau tradisi yang ada di Yogyakarta
memiliki aneka upacara. Baik upacara keagamaan maupun upacara tradisional.
Sistem religi
dan upacara keagamaan merupakan salah satu dari tujuh
kebudayaan lain yaitu, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1987:2)
Upacara tradisi merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan.
Setiap upacara tradisional mengandung nilai filosofi yang tinggi yang dapat
dipelajari nilai-nilai yang sangat penting dan sukar diamati dalam kehidupan
biasa, seperti yang dikatakan oleh Turner
dalam Monica Wilson sebagai
berikut:
”ritual reveal values at their deepest level.. then express in ritual
what moves them most.. it is the values of the group that are
revealed” (Turner, 1969:6)
1
Dalam kehidupan masyarakat, upacara tradisi telah memegang peranan
yang penting dalam menentukan arah dan warna kehidupan masyarakat,
demikian pula dengan kehidupan masyarakat Yogyakarta sebagai bagian dari
masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh terhadap warisan leluhur
yang jaman dahulu pernah menjadi pusat pemerintahan tradisional yang
berbentuk kerajaan (Kraton). Tradisi Yogyakarta, dari jaman dahulu sampai
sekarang masih tetap dipelihara dan dipegang teguh oleh warga Kraton, bahkan
masyarakat umum.
Hal tersebut membuktikan Yogyakarta masih banyak
melakukan acara ritual keagamaan maupun upacara tradisi berupa slametan
atau bancakan yang masih ada di tengah masyarakat Yogyakarta dengan
berbagai nilai luhur budaya daerah yang tewujud dalam upacara tradisi.
Kraton Yogyakarta menjadi panutan bagi rakyatnya sehingga secara
esensial, pelaksanaan upacara tradisi daur hidup tersebut bagi masyarakat
Yogyakarta pada zaman dahulu tidak banyak perbedaan antara masyarakat
biasa dengan Kraton. Namun dalam perkembangan selanjutnya, tampak terjadi
suatu perbedaan yang cukup berarti. Salah satu contoh yang terjadi adalah pada
zaman dahulu masyarakat bangsawan Kraton, selalu melaksanakan upacara
daur hidup pada masa kehamilan itu secara lengkap dan resmi,tetapi sekarang
tidak seluruh tradisi tersebut dilakukan.
Masyarakat Yogyakarta masih melakukan beberapa upacara daur hidup,
tetapi lambat laun upacara masa kehamilan dalam masyarakat mulai
mengalami perubahan. Saat ini, upacara kehamilan pada masyarakat biasa
umumnya hanya tingkeban atau mitoni (upacara kehamilan 7 bulan). Penyebab
2
bergesernya pelaksanaan upacara tradisi tersebut salah satunya adalah sistem
pewarisan. Sistem pewarisan budaya Jawa termasuk upacara tradisi, tidak
dilakukan secara normatif dan tertulis, namun lebih secara lisan. Sedangkan
generasi penerus mewarisinya berdasarkan pengamatan, dan pengalaman yang
diperoleh selama mengikuti upacara tradisi, baik dalam masyarakat maupun
keluarga.
Pergeseran dalam pelaksanaan upacara adat perlu mendapat perhatian
dari berbagai kalangan, tidak hanya para praktisi budaya Jawa, namun juga
para birokrat dalam hal ini pemerintah daerah setempat dalam mengembalikan
kelestarian budaya Jawa. Semakin majunya peradaban bangsa dan majunya
teknologi menjadikan budaya hampir punah, sehingga masyarakat Jawa perlu
memperhatikan pelestarian budaya Jawa, baik dilakukan oleh
masyarakat
Kraton, para akademisi, maupun masyarakat biasa. Budaya Jawa menjadikan
suatu aset untuk mengembangkan kemajuan wilayah terutama dalam sektor
pariwisata yang menumbuhkan minat bagi wisatawan yang ingin memperoleh
informasi tentang upacara daur hidup sebagai upaya untuk mengetahui
seberapa jauh makna dan esensi upacara tradisi daur hidup.
Pada masyarakat
Jawa khususnya Yogyakarta yang kental dengan
upacara tradisi, banyak mengandung muatan simbolik yang mencerminkan
nama-nama serta nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat. Pada
tingkat wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, norma-norma dan nilainilai budaya itu merupakan unsur yang penting dalam keikutsertaannya
membentuk identitas kehidupan budaya bangsa Indonesia.
3
Budaya di Yogyakarta memiliki beberapa bentuk upacara tradisi yang
dilaksanakan oleh masyarakat, baik masyarakat Kraton maupun masyarakat
awam yang menjalani upacara daur hidup manusia (individual life cycle). Di
Jawa sendiri terdapat berbagai upacara dalam siklus hidup manusia dan
dilaksanakan sejak ada tanda-tanda kehamilan sampai manusia meninggal
dunia dengan jangka waktu tertentu. Upacara daur hidup sendiri umumnya
dibagi menjadi beberapa bagian menurut perjalanan hidup seseorang. Tentu
saja pelaksanaan itu tidak terlepas dari kepercayaan yang tumbuh dalam
masyarakat. Upacara daur hidup yang di mulai sejak masa kehamilan sampai
kematian tersebut terbagi dalam beberapa tahap yaitu masa kehamilan,
kelahiran, kanak-kanak dan remaja, perkawinan serta kematian. Salah satu
upacara daur hidup pada masa kanak-kanak yang ada pada masyarakat Jawa
adalah upacaraTedhak Siten.
Upacara Tedhak Siten menarik untuk ditelaah lebih lanjut karena
kegiatan tersebut saat ini sudah jarang diselenggarakan. Upacara Tedhak Siten
sebagai bagian dari budaya yang perlu dilestarikan, meski berbagai budaya
asing ada di wilayah Yogyakarta. Hingga saat ini upacara Tedhak Siten masih
dilakukan baik oleh keluarga bangsawan maupun masyarakat biasa menjadi
salah satu cara untuk mempertahankan jati diri bangsa Indonesia.
B. Permasalahan
Masyarakat Jawa meyakini bahwa upacara daur hidup yang mereka
lakukan dipenuhi dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang tumbuh
secara turun temurun. Nilai-nilai dan norma-norma tersebut digunakan untuk
4
mencari keseimbangan tatanan kehidupan mereka (Mulder dalam Soeseno:
1992). Salah satu upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa ketika
memasuki babak baru dalam tingkat kehidupannya adalah upacara yang
berkenaan dengan kelahiran seorang anak.
Setelah seorang laki-laki dan perempuan melaksanakan pernikahan,
seorang anak merupakan dambaan bagi setiap rumah tangga. Karena seorang
anak mempunyai nilai-nilai khusus, misalnya nilai ekonomis status sosial,
memberi suasana tentram dalam keluarga membahagiakan orang tua, serta
memberikan harapan di masa mendatang, sebagai payung dimana orang tuanya
sudah jompo karena tidak bisa bekerja lagi (Geertz,1973:89). Hadirnya seorang
anak juga sebagai bukti nyata hasil perkawinan antar kelompok dan sering
dianggap sebagai hadiah kehidupan yang jelas dari pihak wanita pada pihak
suaminya. Pengharapan tinggi terhadap seorang anak (terutama anak pertama)
merupakan kebahagian tersendiri. Untuk itu setelah anak tersebut lahir selalu
ada upacara-upacara yang di lakukan sebagai usaha penjagaan terhadap anak,
diantaranya adalah upacara ketika anak menginjakan tanah untuk yang pertama
kalinya atau yang sering disebut dengan upacara Tedhak Siten.
Upacara Tedhak Siten merupakan salah satu upacara daur hidup yang saat
ini jarang ditemukan Upacara Tedhak Siten mengalami perkembangan akibat
dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga berpengaruh
terhadap pandangan hidup dan sikap hidup orang Jawa dalam melanjutkan
tradisi nenek moyang, sehingga
terdapat
melaksanakan tradisi seketat ketentuan
kecenderungan untuk tidak
semula.
Penulis bermaksud
5
mengetahui eksistensi upacara Tedhak Siten di Yogyakarta. Dari uraian diatas,
dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.
Mengapa upacara Tedhak Sitenmasih dilaksanakan saat ini?
2.
Apakah terdapat pergeseran makna Tedhak Siten pada kerabat
bangsawan dan masyarakat biasa?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum tulisan ini bertujuan untuk mengetahui seluk-beluk
mengenai tradisi upacara Tedhak Siten dan mendeskripsikan proses
pelaksanaan Tedhak Siten saat ini, serta mendokumentasikannya dalam bentuk
karya tulis. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih
dalam prosesi tradisi upacara Tedhak Siten sebagai bagian dari ritus daur hidup
dalam sistem nilai budaya yang sudah dilakukan dari dulu dan merupakan
bagian dari sebuah proses yang mengiringi pertumbuhan anak menuju ketahap
yang lebih lanjut.
D. Kerangka Pemikiran
Manusia adalah mahluk yang berbudaya, sebab kebudayaan menjadi
pendorong di dalam tingkah laku manusia pada kehidupannya. Kebudayaan
menyimpan pula berbagai nilai yang menjadi landasan pokok bagi penentu
sikap terhadap dunia luar, bahkan menjadi dasar setiap tingkah laku yang
dilakukan sehubungan dengan pola hidup di masyarakat (Cassirer:1987). Nilainilai luhur dari kebudayaan inilah yang telah diwariskan secara turun temurun
dari generasi ke generasi berikutnya melalui berbagai adat istiadat yang khusus.
6
Berkaitan dengan hal di atas, setiap kelompok masyarakat pada
umumnya mempunyai konsep bahwa tiap-tiap individu terbagi dalam tingkatan
hidup. Tingkat demi tingkat itu akan dilalui dan akan dialami oleh individuindividu yang bersangkutan di sepanjang masa, dalam Antropologi disebut
sebagai stages along the life cycle. Setiap individu dianggap bersangkutan
dalam kondisi dan lingkungan tertentu pada tiap tingkatan hidup. Oleh karena
itu setiap peralihan dari satu tingkat ke tingkat lainnya dapat dikatakan sebagai
peralihan dari satu lingkungan sosial ke lingkungan sosial yang lain.
Lingkungan sosial individu mulai terbentuk sejak ia masih dalam
kandungan ibunya hingga akhirnya ia meninggal dunia. Lingkungan sosial
yang harus dilalui dalam perjalanan hidup seseorang meliputi masa dalam
rahim atau kandungan ibunya (kehamilan), kelahiran bayi, masa anak-anak,
masa remaja, dewasa, tua dan mati (Koentjaraningrat:1985). Pada berbagai
kebudayaan ada anggapan bahwa masa peralihan manusia yaitu peralihan dari
satu tingkat kehidupan atau lingkungan sosial ke tingkat kehidupan atau
lingkungan sosial yang lain merupakan saat-saat penuh bahaya, baik bahaya
yang nyata maupun gaib. Oleh karena itu dalam beberapa kebudayaan sering di
lakukan suatu upacara daur hidup (life cycle) yang dimaksudkan untuk
menghindari bahaya nyata maupun gaib yang mungkin datang. Upacara ini
sering disebut dengan upacara kritis hidup (crities rites).
Di dalam kebudayaan Jawa juga mengenal upacara-upacara daur hidup,
yaitu mulai dari upacara masa hamil, upacara kelahiran, upacara perkawinan,
hingga upacara kematian (Darori, 2000). Seperti yang telah dikemukakan
7
sebelumnya sebagai awal dari penjelasan mengenai tradisi upacara Tedhak
Siten, maka penelusuran penulis bermula dari ritus atau upacara daur hidup.
Dalam bukunya yang berjudul The Rites of Passage (1960), Van Gennep
mengulas tentang upacara-upacara yang mengiringi perubahan-perubahan
dalam hidup manusia, antara lain upacara kehamilan, kelahiran, masa kanakkanak, pertunangan, pernikahan, kematian, upacara kewilayahan (seperti
pindah rumah), hingga upacara inisiasi.
Pada daur hidup, jika ingin ingin berpindah dari satu tingkat tingkat
berikutnya yang lebih tinggi, maka diperlukan kondisi tertentu untuk
mewujudkannya. Selanjutnya hal ini dianalogikan oleh Gennep (1960:1)
layaknya proses mobilitas pada konteks sosial, sama-sama bergerak dan
berubah. Seperti apabila kita ingin mendapatkan kenaikan pangkat pada jabatan
pekerjaan, maka seseorang perlu melakukan kerja keras agar ia dapat
mengubah posisinya menjadi lebih tinggi. Untuk menuju level itu, seseorang
harus melewati tahap intermediate atau posisi di tengah-tengah, dan akan
meninggalkan posisinya yang dahulu akan tetapi belum benar-benar
menempati posisinya yang baru. Pola serupa tidak hanya ditemukan pada
konteks kehidupan profan namun juga terdapat pada dimensi sakral seperti,
kelahiran, melahirkan, kematian. Seseorang juga harus mengalami tahap
intermediate dalam proses peralihan pada daur hidupnya. Masa penting transisi
ini dianggap sebagai suatu bagian dari kehidupan yang secara simbolik ditandai
melalui seremoni tertentu. Selanjutnya oleh Gennep (1960:1) berbagai proses
peralihan itu dinamakan ritus peralihan (rites of passage).
8
Munculnya ritus, selamatan ataupun upacara ini merupakan suatu upaya
manusia untuk mencapai keselamatan, ketentraman, dan sekaligus menjaga
kelestarian
kosmos.
Pada
hakekatnya
selamatan
merupakan
upacara
keagamaan yang paling umum di dunia dan melambangkan kesatuan mistis dan
sosial dari mereka yang ikut hadir di dalamnya (Geertz, 1981).
Upacara Tedhak Siten adalah suatu acara memperkenalkan anak untuk
pertama kalinya pada bumi atau tanah dengan maksud anak tersebut mampu
berdiri sendiri dalam menempuh kehidupannya kelak. Bagi masyarakat Jawa
upacara ini merupakan wujud pengharapan orang tua terhadap buah hatinya
agar kelak siap dan sukses dalam menapaki kehidupan yang penuh dengan
rintangan dan hambatan dengan bimbingan orang tuanya (Bratawijaya : 1997).
Selain itu upacara ini juga sebagai bentuk penghormatan terhadap bumi sebagai
tempat berpijak sekaligus yang telah memberikan banyak hal dalam kehidupan
manusia. Dikatakan bahwa manusia hidup dan mati berada di bumi, makan
minum, rumah, kendaraan semua berasal dari bumi, maka manusia perlu
menghormatinya. Sebab dengan cara seperti ini maka manusia akan
mendapatkan keselarasan terhadap alam, karena dalam konsep masyarakat
Jawa manusia menemukan hidupnya tergantung dari alam dan apabila
hidupnya selaras akan memperoleh kebaikan (Salamun dkk, 2000). Jadi dapat
dikatakan bahwa upacara Tedhak Siten merupakan peringatan bagi manusia
akan pentingnya hidup di atas bumi yang mempunyai hubungan yakni,
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia serta
hubungan manusia dengan lingkungannya (Wibowo, 2000).
9
Pada dasarnya setiap pelaksanaan upacara di kalangan masyarakat
menunjukan adanya kandungan makna di balik upacara itu sediri, dimana
makna tersebut sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakatnya.
Biasanya hal itu diberikan melalui simbol-simbol dalam upacara, lambang atau
simbol inilah yang sebenarnya mempunyai nilai cukup penting bagi kehidupan
manusia (Rostyati, 1994). Demikian pula pelaksanaan upacara Tedhak Siten
pada masyarakat Jawa, pelaksanaan upacara ini tidak hanya sebagai ungkapan
terima kasih telah diberi anugerah oleh Tuhan berupa hadirnya seorang anak
akan tetapi juga mempunyai makna tertentu baik bagi anak orang tua maupun
bagi masyarakat.
Menurut Budhisantoso
(1984), fungsi
upacara tradisional
pada
masyarakat pendukungnya masa kini bisa dilihat pada fungsi sosial, termasuk
pengendalian sosial (social standart), media sosial (social media), norma sosial
(social standard), dan pengelompokan sosial (social alligment). Upacara
tradisional juga berfungsi spiritual, yakni berhubungan dengan pemujaan
manusia untuk meminta keselamatan pada leluhur, roh halus atau Tuhannya.
Selain itu, fungsi upacara tradisional juga dikaitkan dengan pengembangan
pariwisata untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di
daerah maupun di tingkat nasional.
Di tengah pesatnya pengaruh budaya global, tidak dapat dipungkiri
bahwa kemajuan teknologi dan informasi akan bersinggungan pula dengan
budaya-budaya dan tradisi lokal, termasuk budaya dan tradisi Yogyakarta
yang menjadi satu di antara sekian daerah tujuan wisata bagi para wisatawan
10
nusantara maupun mancanegara karena Yogyakarta merupakan miniatur
budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Meskipun terdapat kemajuan teknologi
dan informasi, namun dengan budaya dan tradisi lokal yang dilestarikan
merupakan peluang untuk mempromosikan tradisi budaya di Yogyakarta.
E. Metode Penelitian
1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta karena masyarakat
Yogyakarta masih memegang teguh warisan leluhur bangsa Indonesia,
selain itu Yogyakarta dahulu juga pernah merupakan pusat pemerintahan
tradisional yang berbentuk kerajaan (kraton). Oleh karena itu penulis
memilih Yogyakarta sebagai lokasi penelitian pada penulisan skripsi ini.
Yogyakarta menarik aneka banyak orang dari begitu banyak
kelompok etnis dan kultural Indonesia. Dengan demikian Yogyakarta
menjadi sebuah komunitas yang jauh lebih plural daripada sebelumnya,
pola pikir masyarakat Yogyakarta juga sudah mulai berubah terbuka
menerima
kebudayaan
mempengaruhi
yang
perubahan
dan
masuk
daerah
pergeseran
lain.
tradisi
Hal
tersebut
kebudayaan
di
Yogyakarta dalam pelaksanaan upacara adat. Oleh karena itu penulis
memilih Yogyakarta menjadi lokasi penelitian untuk melihat perubahan
kebudayaan yang semakin kompleks.
2. Pemilihan informan
Penelitian ini menggunakan informan dari keluarga priyayi
(masyarakat Kraton) dan non priyayi (masyarakat biasa) yang melakukan
11
tradisi Tedhak Siten. Informan yang dijadikan nara sumber penelitian ini
adalah keluarga yang pernah menyelenggarakan upacara Tedhak Siten
untuk anaknya dengan latar belakang keluarga yang berbeda.
Informan yang dipilih memiliki karakteristik latar belakang budaya
(keluarga) Jawa dan berpendidikan tinggi (sarjana). Hal ini dilakukan
karena keluarga tersebut memperhatikan tradisi budaya Jawa dan memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai tradisi upacara daur hidup Tedhak
Siten. Alasan informan yang dipilih dengan memperhatikan latar belakang
pendidikan karena diasumsikan informan memiliki ilmu pengetahuan
tinggi dan pengalaman pola asuh anak akan berdampak pada proses
pemaknaan ulang tradisi Tedhak Siten. Selain itu, pertimbangan informan
lain yang dipilih juga berdasar pertimbangan mereka memahami dan
mengerti tentang tata cara upacara tradisi dan berpengalaman dalam
melaksanakan suatu upacara tradisi yang terbiasa membantu kelancaran
keluarga lain yang akan melaksanakan ritual tradisi seperti wedding
organizer yang menyediakan melayani paket upacara tradisi, dan
menyediakan master of ceremony atau pranata adicara pada upacara
tradisi tersebut. Oleh karena itu memilih informan sebagai berikut:
1. Keluarga kerabat bangsawan. Keluarga ini tinggal di daerah
Suryowijayan Yogyakarta dan masih merupakan keturunan HB
VIII.
12
2. Keluarga biasa non kerabat bangsawan. Keluarga dengan
ekonomi menengah keatas ini tinggal di Perumahan Banteng
Baru Yogyakarta.
3. Wedding Organizer Kalithi di bawah pimpinan bu Yas yang
berlokasi di daerah Joyonegaran Yogyakarta.
4. Wedding Organizer Kartini di bawah pimpinan bu Lies yang
berlokasi di daerah jalan Taman Siswa Yogyakarta.
5. Angger Sukisno selaku pranata adicara atau MC profesional di
Yogyakarta.
6. KRT. Purwadiningrat dan Altianto yang mengabdi di
Perpustakaan Widyabudaya sebagai narasumber dari dalam
Kraton Ngayogyakarta.
7. Marie
Condronegoro,
narasumber
sekaligus
praktisi
kebudayaan di Yogyakarta.
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data dengan observasi dan wawancara.
Pengumpulan data dengan observasi lapangan yaitu dengan melihat proses
pelaksanaan upacara Tedhak Siten dan peneliti mendokumentasikan
prosesi pelaksanaan Tedhak Siten dari informan. Metode wawancara
mendalam juga dilakukan dalam penelitian ini dengan mewawancarai
informan yang dipilih sebagai proses untuk menggali tentang latar
belakang keluarga, tradisi dalam keluarga hingga hal-hal yang diyakini
oleh masing-masing informan. Selain itu peneliti juga menggunakan studi
13
literatur dengan menelusuri bahan bacaan berupa buku, jurnal, laporan
penelitian, maupun majalah yang berhubungan dengan budaya dan
upacara tradisi daur hidup terutama Tedhak Siten. dan memaksimalkan
catatan renik dari data lain. Pengumpulan data dilengkapi dengan catatan
pribadi dari informan, maupun internet.
Penelitian dan pengumpulan data pada karya tulis dimulai dari
bulan Juni 2014 sampai bulan Maret 2015 dengan mendatangi satu persatu
lokasi informan untuk melakukan wawancara dan melakukan observasi.
Hambatan yang ditemui saat proses pengumpulan data adalah minimnya
informasi mengenai sejarah dan pakeman mengenai upacara Tedhak Siten
sebagai tema penulisan. Serta jarangnya masyarakat Yogyakarta yang
menyelenggarakan Tedhak Siten sehingga penulis membutuhka waktu
untuk mencari informan seperti yang sudah dijelaskan, agar dapat
menyaksikan dan mengamati secara langsung proses Tedhak Siten yang
dilakukan saat ini supaya data yang diperoleh lebih maksimal.
Analisis
data dilakukan dengan membandingkan
beberapa
penelitian tradisi dahulu serta tulisan sebelumnya berkaitan dengan tradisi
daur hidup. Peneliti membandingkan tradisi yang dilakukan oleh para
informan yang terbagi menjadi keluarga priyayi dari kerabat kraton dan
keluarga non priyayi dari masyarakat biasa. Dalam kebudayaan Jawa,
istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang
mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam
masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Peneliti
14
menelaah tentang prosesi dan perlengkapan tradisi Tedhak Siten dengan
membandingkan ketentuan yang telah ditetapkan semenjak zaman dulu
dengan perlengkapan dan prosesi yang dilakukan saat ini untuk meninjau
kemungkinan pergeseran makna prosesi Tedhak Siten sehingga dapat
melihat dinamika yang terjadi di dalamnya.
15
Download