II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA SALAK PONDOH Salak pondoh adalah tanaman hortikultura asli Indonesia yang termasuk suku pinangpinangan dengan ordo Spadiciflorae, famili Palmaceae, dan genus Salacca. Tanaman salak pondoh berumah dua sehingga dapat ditemukan bunga jantan dan bunga betina dalam satu pohon. Bunga jantan tersusun seperti genting, bertangkai, dan berwarna coklat kemerahan sedangkan bunga betina tersusun dari satu hingga tiga bulir, dan bertangkai panjang. Perakaran salak pondoh terdiri dari akar serabut yang sebagian besar berada di dalam tanah dan sebagian lain muncul di permukaan tanah. Nama salak yang didasarkan pada daerah asalnya antara lain salak Bali (Bali), salak Condet (Jakarta), salak Gondanglegi (Malang), salak Manojaya (Tasikmalaya), dan salak Medan (Medan). Jenis salak yang dinamai berdasarkan warna daging buah adalah salak Putih dan salak Gading sedangkan jenis salak berdasarkan rasa daging buahnya antara lain salak Madu atau salak Kopyor dan salak Pondoh (Suter 1988). Gambar 1. Salak pondoh (Salacca edulis Reinw.) Menurut Suter (1988), panjang buah salak berkisar antara 4.46 - 6.13 cm, diameter 4.28 5.67 cm, dan berat buah berkisar 34.79 - 83.47 g. Variasi panjang, diameter, dan berat buah salak tersebut dipengaruhi oleh kultivar serta letak buah salak pada tandannya. Menurut Hastuti dan Ari (1988), salak pondoh mempunyai ukuran relatif lebih kecil, tekstur lebih keras, warna daging lebih putih dan warna kulitnya lebih hitam dibandingkan dengan jenis salak lain. Salak pondoh memiliki keunggulan dibandingkan dengan salak lain, yaitu buahnya manis walaupun masih muda dan memiliki rasa gurih tanpa sepat (Kusumo et al. 1995). Rasa khas salak pondoh yang manis dan tidak sepat walaupun masih muda disebabkan oleh kandungan total gula yang cukup tinggi, kandungan total asam yang relatif rendah, dan kandungan tanin yang lebih rendah dibandingkan kultivar salak lainnya (Suter 1988). Salak pondoh tersusun dari tiga bagian utama, yaitu kulit, daging buah dan bagian biji. Bagian kulit terdiri dari sisik-sisik yang tersusun seperti genting dan kulit ari yang langsung menyelimuti daging buah dengan warna putih transparan (Suter 1988). Buah salak memiliki kandungan air yang tinggi, yaitu sebesar 78 %, karbohidrat sebesar 20.9 %, dan kalori sebesar 77 kalori dan kandungan lainnya yang dapat dilihat pada Tabel 1. 2 Tabel 1. Kandungan gizi buah salak dalam 100 gram buah No 1 2 4 5 6 7 8 9 10 Kandungan Gizi Kalori (Kal) Protein (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (g) Zat besi (mg) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Jumlah 77 0.4 20.9 28 18 4.2 0.04 2 78 Sumber : Departemen Kesehatan RI (2000) Salak pondoh yang siap panen ditandai dengan jarak sisik pada kulit terlihat jarang, berkilat dan mudah dikupas, warna kulit buah kuning kecoklatan, duri-duri halus pada kulit telah hilang, mudah terlepas dari tangkai, warna daging buah tidak pucat dengan biji yang keras dan mengeluarkan aroma khas salak (Anarsis 1996). Masa panen buah salak terbagi menjadi empat musim, yaitu panen raya pada bulan November-Januari, panen sedang pada bulan Mei- Juli, panen kecil pada bulan Februari-April, dan masa kosong pada bulan Agustus-Oktober. Salak pondoh merupakan komoditas unggulan Banjarnegara yang tersebar di 18 kecamatan. Menurut Direktorat Pertanian Banjarnegara (2011), kapasitas produksi buah salak pondoh Kabupaten Banjarnegara sebanyak 193.662,1 ton/tahun dengan produksi salak pondoh tertinggi terdapat di Kecamatan Madukara (135,958.2 ton), Kecamatan Banjarmangu (26,522.3 ton), Kecamatan Pagentan (18,474.7 ton) dan Kecamatan Sigaluh (5,584.9 ton). Secara umum, buah mengalami perubahan fisiko-kimia setelah dipanen yang berhubungan dengan metabolisme oksidatif termasuk respirasi. Menurut Suter (1988), pola respirasi buah salak terus menurun tanpa adanya lonjakan produksi CO2 sehingga salak digolongkan ke dalam buah non-klimakterik. Buah non-klimakterik tidak akan menunjukan perubahan peningkatan mutu setelah dipetik sehingga pemanenan dilakukan pada buah yang benar-benar masak di pohon. 2.2 FISIOLOGI PASCA PANEN Setelah panen, komoditas pertanian masih melakukan proses metabolisme seperti respirasi, transpirasi, dan aktivitas biokimia lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan. Menurut Wills et al. (1981), respirasi merupakan reaksi oksidasi dari bahan dalam sel berupa pati, gula, dan asam organik menjadi CO2, air, dan energi untuk reaksi sintesis. Menurut Phan et al. (1986), respirasi dibedakan menjadi tiga tingkat, yaitu (a) pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana; (b) oksidasi gula menjadi asam piruvat; dan (c) transformasi piruvat dan asam-asam organik lainnya secara aerobik menjadi CO2, H2O, dan energi. Selama proses respirasi buah, karbondioksida dan uap air dihasilkan sebesar ±99% dari seluruh gas yang dihasilkan dan sisanya terdiri dari alkohol, aldehida, keton, dan ester-ester. Respirasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat berupa tingkat perkembangan organ, komposisi kimia pada jaringan, ukuran, pelapis alami pada permukaan kulit, dan jenis jaringan sedangkan faktor eksternal berupa suhu, etilen, oksigen, karbondioksida, adanya senyawa pengatur pertumbuhan, dan adanya luka pada buah (Phan et al. 1986). Berikut ini persamaan kimia terjadinya proses respirasi: C6H12O6 + 6 O2 6CO2 + 6H2O + Energi (ATP+Panas) 3 Menurut Syarief (1993), apabila persediaan oksigen berkurang maka buah-buahan cenderung melakukan fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energi. Senyawa organik yang biasa digunakan dalam proses fermentasi pada umumnya adalah glukosa yang akan menghasilkan beberapa bahan lain seperti aldehida, alkohol, atau asam. Bila buah-buahan melakukan proses fermentasi maka energi yang diperoleh lebih sedikit per-satuan substrat dibandingkan dengan respirasi aerob. Pada buah-buahan yang melakukan proses fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energinya diperlukan substrat dalam jumlah yang lebih banyak sehingga dalam waktu yang singkat persediaan substrat akan habis dan akhirnya buah tersebut akan busuk. Konsentrasi O2 yang rendah memiliki pengaruh terhadap beberapa hal, antara lain: (a) laju respirasi dan oksidasi substrat menurun; (b) pematangan tertunda dan sebagai akibatnya umur komoditi menjadi lebih panjang; (c) perombakan klorofil tertunda; (d) produksi C2H4 rendah; (e) laju pembentukan asam askorbat rendah; (f) perbandingan asam-asam lemak tak jenuh berubah; dan (g) laju degradasi senyawa pektin tidak secepat pada saat udara tersedia (Ulrich 1986). Menurut Syarief (1993), klimakterik adalah keadaan autosimulation dari dalam buah sehingga buah menjadi matang yang disertai dengan adanya peningkatan proses respirasi. Terdapat suatu periode mendadak pada klimakterik yang menyebabkan serangkaian perubahan biologis yang diawali dengan proses pembuatan etilen. Respirasi klimakterik dicirikan dengan laju produksi CO2 dan konsumsi O2 sangat rendah saat praklimakterik, diikuti dengan peningkatan mendadak saat klimakterik dan penurunan laju produksi CO 2 dan O2 pada fase senescene. Respirasi nonklimakterik dicirikan dengan laju produksi CO2 dan konsumsi O2 tetap tidak ada peningkatan laju respirasi (Pantastico et al. 1986). Buah-buahan yang termasuk ke dalam klasifikasi klimakterik antara lain pisang, tomat, dan alpukat. Buah-buahan yang tidak mengalami periode mendadak terhadap proses respirasi termasuk kedalam golongan nonklimakterik seperti semangka, jeruk, nenas, anggur, dll. Etilen merupakan suatu gas yang dihasilkan tanaman yang dapat digolongkan sebagai hormon yang aktif dalam proses pematangan. Etilen dapat memulai proses klimakterik dan dapat juga mempercepat terjadinya klimakterik. Senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya perubahanperubahan yang penting dalam proses pertumbuhan dan pematangan hasil-hasil pertanian (Syarief 1993). Etilen disamping dapat memulai proses klimakterik juga dapat mempercepat terjadinya klimakterik. Pada buah-buahan nonklimakterik, penambahan etilen dalam konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya klimakterik pada buah-buahan tersebut. Aktivitas etilen dalam pematangan buah akan menurun dengan turunnya suhu ruang penyimpanan. Pembentukan etilen pada jaringan tanaman dapat dirangsang oleh kerusakan-kerusakan mekanis dan infeksi sehingga akan mempercepat pematangan. Menurut Syarief (1993), penyimpanan pada suhu rendah dapat (a) mengurangi kegiatan respirasi dan kegiatan metabolik lainnya; (b) mengurangi proses penuaan karena adanya proses pematangan, pelunakan, dan perubahan-perubahan warna dan tekstur; (c) mengurangi kehilangan air dan pelayuan; (d) mengurangi kerusakan karena aktivitas mikroba; dan (e) mengurangi proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki. Penyimpanan dingin pada prinsipnya bertujuan menekan laju respirasi dan transpirasi sehingga proses tersebut lambat dan daya simpan bahan pangan dapat diperpanjang dengan susut bobot minimal serta mutu masih baik. 2.3 PELAPISAN Pelapisan adalah salah satu cara yang digunakan untuk memperpanjang umur simpan dan melindungi produk segar dari kerusakan dan pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan seperti serangan mikroba. Pelapisan juga dapat menutupi luka-luka atau goresan-goresan kecil pada permukaan buah dan sayuran, sehingga dapat menekan laju respirasi yang terjadi pada buah 4 dan sayuran. Terdapat beberapa teknik aplikasi edible coating pada produk pangan (Krochta et al. 1994), antara lain pencelupan (dipping) untuk produk yang memiliki permukaan kurang rata, penyemprotan (spraying), pembungkusan (casing), dan pengolesan. Menurut Park et al. (1996), penggunaan yang potensial dari pelapisan biopolimer adalah untuk memperlambat pertukaran gas (O2 dan CO2) untuk buah dan sayur. Bahan dasar pembuatan edible film dan coating menurut Krochta (1992) dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu hidrokoloid (protein dan polisakarida), lemak (asam lemak dan wax), dan curah (hidrokoloid dan lemak). Protein yang digunakan sebagai bahan dasar film dan coating antara lain protein kedelai, kasein, kolagen, gelatin, dan protein ikan. Polisakarida yang dapat digunakan sebagai coating antara lain selulosa, pati, pektin, ekstrak ganggang laut, gum, dan kitosan. Lemak yang dapat digunakan antara lain bees wax, paraffin wax, dan asam lemak. Sifat-sifat yang dimiliki edible film dan coating dipengaruhi oleh bahan pembentuknya. Bahan dasar hidrokoloid memiliki ketahanan yang baik terhadap O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik, tetapi memiliki ketahanan yang rendah terhadap uap air karena sifatnya hidrofilik (Wong et al. 1994). Bahan dasar film dan coating dari lemak memiliki ketahanan yang baik terhadap uap air dan meningkatkan kilap permukaan. Prinsip pembuatan pelapis edibel sama dengan film edible. Hal yang membedakannya adalah cara pembentukannya. Pelapis edibel langsung dibentuk pada permukaan produk, sedangkan film edible dibentuk secara terpisah dari produk. 2.4 KITOSAN Kitosan merupakan polisakarida kationik alami yang diperoleh dari deasetilasi kitin yang banyak terdapat di alam. Menurut struktur kimia, kitosan terdiri dari monomer 2-amino-2-deoksiD-glukosa (glukosamin) yang terikat ß-1,4 glikosidik. Kitosan sebagai polimer alami dapat dihasilkan dari kitin hewan berkulit keras terutama dari laut seperti udang, rajungan, dan kepiting. Menurut Nwe et al. (2011), kitosan dapat diproduksi dari beberapa cendawan yaitu Absidia, Aspergillus, Cunninghame, Gongronella, Mucor, Penicillium, Phycomyces, Rhizopus, dan Zygorhyncus. Gambar 2. Struktur kimia kitosan (Skjåk-Bræk et al. 1989) Kitin merupakan bentuk molekul yang hampir sama dengan selulosa, yaitu suatu bentuk polisakarida yang dibentuk dari molekul-molekul glukosa sederhana yang identik. Menurut Ornum (1992), kitin merupakan polimer linier yang tersusun oleh 2000-3000 monomer N-asetil Dglukosamin dalam ikatan ß-1,4 atau 2-asetamida-2-deoksi-D glukosa dengan rumus molekul (C8H13NO5)n. Proses produksi kitin meliputi demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Demineralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan asam encer yang bertujuan untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam bahan baku. Deproteinasi dilakukan dengan menggunakan larutan basa encer untuk menghilangkan sisa-sisa protein yang masih terdapat dalam bahan baku. Kemudian, kitosan dapat dihasilkan dari kitin yang melalui proses deasetilasi yang menggunakan basa kuat untuk menghidrolisis ikatan N-asetil. Menurut Brine et al. (1992), kitosan larut pada pH kurang dari 6.5, dapat membentuk larutan kental, larutan berwarna jernih, membentuk gel dengan polikation dan mempunyai gugus 5 hidroksil dan gugus amin yang sangat reaktif. Kitosan dapat larut dalam asam lemah seperti asam asetat, asam laktat, dan asam formiat tetapi tidak dapat larut di dalam air, alkali pekat, alkohol dan aseton.Kitosan dan turunannya telah banyak dimanfaatkan secara komersial dalam industri pangan, kosmetik, pertanian, farmasi pengolahan limbah dan penjernihan air. Dalam bidang pangan, kitosan dapat dimanfaatkan dalam pengawetan pangan, bahan pengemas, penstabil dan pengental, antioksidan serta penjernih pada produk minuman. Kitosan termasuk salah satu jenis polisakarida yang dapat menjadi barrier (penghalang) yang baik karena dapat membentuk matriks yang kuat dan kompak (Krochta et al. 1994). Lapisan pelindung dengan menggunakan kitosan memiliki kemampuan untuk menunda atau memperlambat proses kematangan dan memperpanjang masa penyimpanan pasca panen. Kitosan memiliki struktur khusus dengan kelompok amino reaktif sehingga menjadi senyawa bioaktif yang memperlihatkan fungsi antimikrobial (Kumar et al. 2004). Aktivitas antimikroba kitosan dapat menghambat pertumbuhan berbagai mikroorganisme seperti bakteri dan cendawan (Sagoo et al. 2002). Muatan positif dari kitosan hasil dari protonisasi kelompok fungsional amino bereaksi dengan dinding sel bermuatan negatif dari makromolekul, menyebabkan peningkatan permeabilitas membran sel sehingga menganggu metabolisme yang menyebabkan kematian sel (Sebti et al. 2005). Menurut El Ghaouth et al. (1994), polikationik alami dari kitosan dapat menghambat pertumbuhan kapang Bohria cinerea dan Rhizopus stolonifer pada strawberi. 2.5 PLASTIK KEMASAN Pengemasan dilakukan untuk meningkatkan keamanan produk selama transportasi, dan melindungi produk dari pencemaran, susut mutu dan susut bobot, serta memudahkan dalam penggunaan produk yang dikemas. Kemasan dapat membatasi bahan pangan dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat mengambat kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan dua jenis plastik kemasan, yaitu plastik polipropilen dan plastik polietilen. Polipropilen merupakan polimer dari propilen dan termasuk jenis plastik olefin. Menurut Syarief dan Santausa (1989), polipropilen memiliki sifat-sifat umum antara lain (1) ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film; (2) tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150oC; (3) permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang; (4) mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari polietilen; dan (5) lebih kaku dari polietilen dan tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi. Polietilen adalah polimer dari monomer etilen yang dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang diperoleh dari hasil samping industri minyak dan batubara. Polietilen dapat dibedakan berdasarkan densitasnya, antara lain polietilen densitas rendah (LDPE), polietilen densitas menengah (MDPE), dan polietilen densitas tinggi (HDPE). Masing-masing jenis polietilen tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. LDPE (Low Density Polyethylene) dihasilkan dengan cara polimerisasi pada tekanan tinggi, mudah dikelim dan harganya murah. Polietilen memiliki transmisi gas tinggi sehingga tidak cocok untuk pengemasan bahan yang beraroma dan bahan pangan berlemak. Kemasan polietilen banyak digunakan untuk mengemas buah-buahan, sayur-sayuran segar, roti, produk pangan beku dan tekstil. Menurut Buckle et al. (1987), polietilen dengan kepadatan yang rendah (dibuat dengan tekanan dan suhu tinggi) merupakan plastik tipis yang murah dengan kekuatan tegangan yang sedang dan terang dan merupakan penahan air yang baik tetapi penahan oksigen yang buruk. Polipropilen lebih kaku, kuat dan ringan daripada polietilen dengan daya tembus uap air yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap. Plastik tipis yang tidak mengkilap mempunyai daya tahan yang cukup rendah terhadap suhu tetapi 6 bukan penahan gas yang baik. Sifat-sifat daya tembus dipengaruhi oleh suhu, ketebalan lapisan, orientasi dan komposisi, kondisi atmosfer (seperti RH, untuk pemindahan uap air, dan faktor lainnya). Jenis Plastik Tabel 2. Daya tembus plastik terhadap udara dan air Daya tembus (cm3/cm2/mm/det/cmHg) x 1010 Suhu 30oC Polietilen densitas rendah Polipropilen 25oC, RH 90% N2 O2 CO2 H2O 19 55 352 800 - 23 92 680 Sumber : Buckle et al. (1987) 7