METODOLOGI ILMU PEMERINTAHAN PENDEKATAN LINTASIDISIPLIN KYBERNOLOGI POLITIK Sebuah Telaah Awal Taliziduhu Ndraha, Kybernolog Semula, tulisan ini dibuat guna memenuhi permintaan Ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung (Prodi MIP UNILA) Dr Pitojo Budiono, MSi, tgl 6 Oktober 2008, untuk disajikan dalam Studium Generale (bertempat di Ruang Sidang Rektorat) dan Diskusi Terbatas (bertempat di Auditorium FISIP) UNILA pada tgl 14 Oktober 2008. Judul di atas tidak berarti ada suatu disiplin bernama Ilmu Pemerintahan dan Politik. Dari sudutpandang Kybernologi, fenomena pemerintahan merupakan bidang kajian bersama bagi semua disiplin ilmu pengetahuan, juga bagi Ilmu Politik, sebagaimana fenomena politik merupakan bidang kajian bersama, yang dipelajari juga oleh Kybernologi. Sejak dekade duapuluhan abad yang lalu di Eropa, dua-duanya setara, berderajat Doktor. Setiap disiplin mempunyai metodologi. Oleh sebab itu, saya menafsirkan judul di atas sebagai penggunaan atau penerapan Metodologi Ilmu Pemerintahan dalam mengamati ruang politik (perpolitikan) dengan segala peristiwa yang berproses di dalamnya. Sebaliknya juga (bisa) dilakukan oleh para ilmuwan Ilmu Politik terhadap fenomena pemerintahan. Sudah barang tentu berbeda halnya jika orang berpendapat bahwa fenomena pemerintahan adalah fenomena politik sehingga apa yang disebut Ilmu Pemerintahan dianggap hanya satu bidang kajian Ilmu Politik seperti sejauh ini terdapat di lingkungan UGM (Laporan Lampung, lihat Bab XIII Kybernologi dan Pembangunan, 2008). Lima tahun sebelumnya, pendekatan Kybernologi seperti ini telah dilakukan terhadap fenomena pertanian. Pada tgl 10 dan 11 Desember 2003 bertempat di Departemen Pertanian Ragunan Jakarta Selatan berlangsung Lokakarya Penyusunan Evaluasi Kinerja Pembangunan Pertanian. Sesi pertama lokakarya diisi dengan penyajian makalah berjudul Kybernologi Pertanian. Sejumlah pelaku acara, baik penyaji, pembahas, maupun moderator, adalah pembelajar Kybernologi. Laporan lokakarya ini terdapat dalam Bab IV Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan (April 2005). Tidaklah mengherankan manakala Disertasi Dr Ir A. H. Rahadian, MSi, dan Dr Ir H. Abdul Samad Melleng, MM, dua di antara sejumlah pembelajar, peserta Program S3 kerjasama IIP-UNPAD dari Departemen Pertanian, disemangati oleh semangat dua hibrida baru Kybernologi Pertanian vs Agro-Pemerintahan. Laporannya ada di Bab IV Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan (2005). Ternyata tidak sampai setahun kemudian “kajian Lampung” ini mendorong penggunaan Metodologi Ilmu Pemerintahan terhadap fenomena politik, dan menghasilkan hibrida baru yang kelak dapat diberi nama Kybernologi Politik, sementara hibrida lainnya telah dikenal bernama Politik Pemerintahan telah dilakukan di lingkungan Fakultas Politik Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). (Bab IX Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008). Dengan penyesuaian sana-sini, tulisan terakhir dikemas di bawah judul seperti di atas. 1 MANUSIA, YANG DIINGAT APANYA? Sekarang manusia jadi rebutan. Bahkan penyandang tuna sekalipun. Yang sehari-harinya dipandang sampah! Kabarnya menjelang pemilu 2009 KPU telah menyiapkan alat dan cara buat para penyandang tuna dan onggokan sampah ini suatu saat bagi orang lain tahun depan. Sebenarnya metodologi ini sudah lama digunakan oleh sektor bisnis. Terutama marketing. Sebuah keluarga kumuh sekali-sekalinya seperti mendadak (padahal sudah direkayasa sebelumnya) dikunjungi seorang selebriti TV biasanya perempuan didampingi seorang kamerawan lelaki yang membawa sebuah bingkisan yang berharga disertai ucapan selamat dan pelukan mesra dari siperempuan. Tentu saja itu bingkisan apa segepok uang diterima bak jatuh dari langit dengan syukur dan cium tangan oleh keluarga yang ketiban. Apakah dengan memberikan sebingkis hadiah kepada keluarga kumuh itu, kemiskinan berkurang? Andalah yang menjawab. Yang penting adalah udang di balik batunya: guna menaikkan rating TV doang. Siasat partai politik (parpol) demikian jualah. Parpol lantas menirunya dengan menggunakan label kepedulian kiri kanan. Itulah yang terbaca tgl 7 Oktober 09 di halaman 8 Kompas, “Narasi Baru Partai bla bla bla.” Atau label “kemanusiaan,” seperti yang terbaca --- lagi-lagi --- dalam Kompas, 8 Oktober 09, juga di halaman 8, “Amien Rais Beri Nasihat. . . . ,” agar kampanye “. . . memunculkan sisi kemanusiaan, tokoh politik bisa berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat.” Bukan hanya parpol, perseorangan juga yang merasa terpanggil untuk dipilih, menggunakan komunikasi politik dalam bentuk iklan. Bahasa gaulnya taktik tebarpesona. Foto diri berpakaian rapi dengan senyuman manis, memikat ratusan ribu pemudik. Atau melancarkan “Surat Buat Semua” (Kompas 5 Agustus 08, halaman 11). Mula-mula ia menyapa sini-sana, memperkenalkan diri siapa dia, mengidentifikasi dirinya dengan simbol-simbol tertentu guna menarik simpati, mengapa dia dan bukan orang lain, maunya supaya bla bla bla, dan bahwa “bersama kita bisa!” mewujudkannya. Memperkenalkan diri saja menggunakan berbagai cara. Ada yang memperkenalkan diri sebagai “Generasi Baru,” pembawa “Harapan Baru,” bintang tunggal di angkasa dua nol nol sembilan, ada yang memromosikan partainya, yang satu dengan semboyan “Berjuang Untuk Rakyat,” sedangkan yang lain dengan semboyan “Hidup adalah Perbuatan.” Nampaknya, menjelang setiap pemilihan umum (pemilu), baik nasional maupun lokal (pilkada), legislatif maupun eksekutif, manusia yang sehariharinya dianggap sampah, terlunta-lunta, wuih bau dan joroknya!, mendadak sontak diburu, dicari, dirayu dan diiming-iming oleh Tim Kampanye atau Tim Sukses yang tersebar di mana-mana. Juga oleh wartawan dan tim konsultan pemilu. Rupanya jasad yang tinggal kulit pembalut tulang itu semasih bisa nyoblos (nyontreng) atau memberi tanda bahwa ia masih bernyawa, pasti dikejar, dibutuhkan. Apa pasal? Rupanya ia mempunyai sesuatu yang setara dengan “Vox Dei,” suara Tuhan. Luarbiasa! Bahwa kendatipun demikian, sesudah itu kemudian “Vox Populi” hanya dihargai seikatkepala, sebaju kaosoblong, atau limasepuluh-ribuan buat nyeterik mentari seharian sembari berteriak “Hidup!!!” dan mendengar slogan-slogan, siapa yang mempersoalkannya? Cacing yang terinjak, membelalak dibohongi, menggeliat lalu mati, siapa yang peduli? Anti klimaks memang. Itulah sisi rakyat sebagai pelanggan. Rupanya pada saat-saat menjelang pemilu seperti sekarang manusia diingat karena butuh suaranya, di waktu sesudahnya manusia diingat karena butuh telinganya untuk mendengar kebohongan, sementara itu mata manusia selamanya tidak dibutuhkan supaya ia tidak melihat kenyataan lalu pasrah belaka. Itulah yang terjadi di ruang politik, dipanggung sandiwara. 2 APATAH SALAH IBU MENGANDUNG? Apakah di masa lebih tiga dasawarsa Soeharto berkuasa, manusia seutuhnya tidak diperhatikan? Itu termasuk ritual Pancasila, UUD45, dan GBHN. Diperhatikan! Masih teringat tiap kali Soeharto “turun kebawah,” berdialog dengan rakyat. Rakyat bertanya, Soeharto menjawab, rakyat mencurahkan uneg-unegnya, Soeharto menyimak dengan senyumnya yang memikat. Semuanya lancar sesuai skenario dan arahan sutradara. Semuanya bertepuk tangan. Tetapi mengapa Mei sembilan-puluhdelapan rakyat yang sama meng- “impeach”-nya? Sekarangpun begitu. Tidak kurang dari Kementerian Negara Daerah Tertinggal menetapkan lima prinsip pembangunan daerah tertinggal, yaitu “berorientasi pada masyarakat,” “sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” “sesuai dengan adatistiadat dan budaya setempat,” “berwawasan lingkungan,” dan “tidak diskriminatif.” Tetapi mengapa, mengapa golput semakin membadai, Syamsuddin Haris menulis tentang korupsi dan delegitimasi DPR (Kompas 5 Agustus 08), dan Adrianus Meliala berbicara tentang kejahatan Negara (Kompas 23 November 06), sementara Budiarto Shambazy menyatakan: “Saya janji mau ‘nyoblos’ capres yang punya resep mengurangi jumlah orang miskin?” (Kompas 7 Oktober 08, halaman 15. Sebenarnya, pak Budi, gampang. Dengan sebuah tandatangan diubah saja tolokukur, dan dimainkan statistiknya, jumlah orang miskinpun jamin bisa naik bisa turun dalam sekejap, walau kemiskinan tetap bahkan semakin berkualitas, hehehe). Jadi ada yang tidak beres! Rupanya bukan SALAH IBU MENGANDUNG (rakyat begitulah adanya) melainkan 3 SALAH BAPA MEMANDANG (MENGGUNAKAN KACAMATA KEKUASAAN) Pemerintah ingin supaya mereka yang-diperintah berperilaku tertib, teratur, bersih, indah, seragam, bila diperintah bergerak serentak, disatukan oleh kepatuhan dan kesetiaan pada rezim yang berkuasa, ibarat sapulidi yang terikat dengan tali di pangkalnya. Tetapi sabda alam lain. Kenyataan selalu bersifat jamak dan serbadua, kapan saja dan di mana saja. Siang dan malam, terang dan gelap, pria dan wanita, benar dan salah. Setiap eksistensi terdiri dari dua sisi ini. Pemerintah tidak eksis tanpa yang-diperintah. Hubungan ini merupakan salah satu anggap dasar Teori Governance. Dalam bahasa Teori Governance, kekuasaan (Negara, Pemerintah) dan kemasyarakatan adalah dua subkultur yang berbeda yang hadir di dalam setiap masyarakat. Dalam sejarah, di samping hubungan eksistensial, antara keduanya terbentuk perlahan tapi pasti hubungan lain yang bersifat kategorial. Dalam kondisi kategorial itu, masingmasing memiliki referensi yang berbeda tentang hal yang sama. Misalnya “janji” dalam kampanye. Menurut fihak yang berkampanye, “janji” yang dijualnya kepada pelanggan adalah “janji,” yang dianggap sudah terpenuhi pada saat “janji” itu dipercaya (dibayar). Tetapi menurut fihak pelanggan, “janji” adalah “apa yang dijanjikan,” dan oleh sebab itu ditagih pada suatu saat. Frame-of-reference (FOR) subkultur yang satu tidak sah untuk digunakan buat mengukur dan mengevaluasi subkultur yang lain yang FOR-nya berbeda. Menurut Teori Budaya, bahasa yang digunakan subkultur kekuasaan (SKK) adalah bahasa authority, force, coercion, violence, sedangkan bahasa subkultur sosial (SKS, pelanggan) adalah bahasa cacing (diam, elusdada, tutupmulut, jahitmulut, sindiran, kiasan, dan jika tidak mempan, jika sudah melampaui ambang batas kesabarannya, dia bisa juga murka tidak alang kepalang dia adalah semar dia badai dan topan itu yang menggeliat karena gencetan yang bergerak karena penindasan yang menggilas karena hinaan yang sanggup mengubah roda zaman rakyat jelata di mana saja. . . . (Riantiarno dalam Semar Gugat, 1995). Oleh perbedaan budaya itu, fihak yang satu tidak kompatibel menggunakan norma-normanya untuk mengevaluasi fihak yang lain, demikian sebaliknya. Jika itu terjadi, timbullah konflik. Jadi harus digunakan pendekatan lintasbudaya. Demikian juga penelitian antar disiplin seperti telah dikemukakan dalam pengantar tulisan ini, misalnya antara ruang Ilmu Politik dengan ruang Ilmu Pemerintahan. Masing-masing ilmu memiliki metodologinya sendiri. Jadi harus digunakan pendekatan lintasdisiplin. Pendekatan lintasbudaya dan pendekatan lintasdisiplin yang digunakan dalam penelitian antar ruang atau antar disiplin yang berbeda terdapat dalam Bab 36 Kybernologi (2003). Di sana dijelaskan bahwa kedua pendekatan itu direkonstruksi berdasarkan Metodologi Kualitatif. Definisi Daerah Tertinggal (DT) menurut Pemerintah, yaitu “suatu daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional,” sebagai contoh. “Relatif kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain” dalam “skala nasional” Berdasarkan definisi itu, Pemerintah menetapkan 199 kabupaten sebagai Daerah Tertinggal (termasuk 20 kabupaten di perbatasan). Berdasarkan anggapan bahwa ketertinggalan itu disebabkan oleh faktor geografik, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana daerah, kerawanan bencana alam dan konflik sosial, dan kebijakan pembangunan, ditetapkanlah tiga kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), yaitu kebijakan pemihakan, percepatan, dan pemberdayaan masyarakat, yang diimplementasikan ke dalam lima program, yaitu pengembangan ekonomi lokal, pemberdayaan masyarakat, pengembangan daerah perbatasan, pengembangan sarana dan prasarana, pencegahan dan rehabilitasi bencana. Dengan akal sehat segera dapat diketahui bahwa Pemerintah membuat definisi DT tersebut menurut pendekatan kuantitatif, rerata skor sejumlah variabel makro, atau skala nasional. Daerah di bawah rerata ditetapkan sebagai tertinggal, sedangkan yang di atas rerata, maju atau berkembang. Pendekatan kuantitatif beranjak dari teori, analisis deduktif, dan menggunakan FOR peneliti atau fihak yang berkepentingan, dalam hal ini Pemerintah melalui penelitian pesanan oleh konsultan dalam bentuk projek. Dengan metodologi itu, fihak Yangdiperintah, yaitu manusia atau masyarakat “terlihat” seperti yang dikehendaki atau sesuai dengan rancangan Pemerintah. Ibarat seorang yang melihat suatu benda putih dengan kacamata hitam, benda itu terlihat hitam. Rupanya SALAH BAPA MEMANDANG (menggunakan kacamata kekuasaan). Definisi DT akan lain jika Pemerintahan menggunakan Metodologi Kualitatif menurut Metodologi Ilmu Pemerintahan (Kybernologi). 4 METODOLOGI Sesuai dengan judul, yang ditelusuri dalam tulisan ini adalah Metodologi Ilmu Pemerintahan (Kybernologi) yang digunakan dalam mempelajari fenomena politik. Di ruang politik terdapat Pemerintah (A) dengan FORnya sendiri, yang disoroti dengan menggunakan Metodologi Ilmu Pemerintahan (Gambar 1) oleh yangdiperintah (B), dengan subkultur (FOR) yang berbeda. Sementara fihak A dapat dianggap homogen, fihak B yaitu masyarakat, heterogen (beragam). FOR fihak A dapat dianggap seragam, FOR fihak B, beragam, terdiri dari berbagai X X1 X2 A1 --------------- B1 jembatan Y sudut A sudut B A <----------------------------->B Gambar 1 Triangulasi Antara A Dengan B Guna Menemukan Titiktemu X. Sudut = Sikap sub-FOR. Dengan demikian, bisa terbentuk fihak ketiga (C), yaitu “pecahan” fihak B. Semakin majemuk FOR, semakin berbeda besaran sudut A ketimbang sudut B, semakin sulit menemukan titiktemu X. Semakin berbeda besaran sudut A ketimbang besaran sudut B, semakin jauh jalan dan jarak yang ditempuh untuk menemukan titiktemu X. Titik temu terjadi entah kapan, entah di mana, jika besaran sudut (A + B) < 180°. Titik temu itu jadi mustahil manakala besaran sudut (A + B) = 180° atau (A + B) > 180°. Artinya tidak ada kompromi, 100% kategorial. Kondisi itu terjadi, manakala salah satu mensakralisasi ideologinya sehingga baginya dua terdiri dari putih dan hitam belaka. Adakah kemungkin terjadinya “temu” dalam kondisi besaran sudut (A + B) = 180° atau (A + B) > 180°? Jawabannya ialah “ada,” dengan syarat, yang dicari bukan “titiktemu” X melainkan “garistemu” Y yang pada Gambar 1 disebut “jembatan.” Jembatan itu bisa dibangun pada setiap titik yang berseberangan pada garis AX1 dan garis BX2, yaitu titik-titik A1B1. Satu-satunya jembatan antar(a) berbagai fihak yang FOR-nya berbeda-beda yang dapat dilalui oleh suatu fihak tanpa berubah menjadi seperti yang lain, adalah pengertian (understanding). Misalnya ungkapan Jawa yang diucapkan hari ini Jumat tgl 10, berbunyi “. . . besok. . . ,” jika oleh orang Melayu “besok” disimak “Sabtu tgl 11,” maka dunia bisa kiamat. Si Melayu murka karena merasa ditipu mentah-mentah. Padahal sebenarnya yang dimaksudkan oleh si Jawa adalah “kapan-kapan.” Konflik dapat dihindarkan jika orang Melayu mengerti ungkapan Jawa tersebut tanpa berubah menjadi orang Jawa, identitasnya tetap orang Melayu. Demikian juga sebaliknya. Fihak-fihak yang terhubung dengan (berjembatan) suatu pengertian, disebut saling-mengerti. Pengertian dan saling-mengerti, cepat atau lambat dapat terbentuk dan tercapai melalui pelbagai cara di dalam masyarakat. Salah satu cara yang dikenal dalam metodologi adalah pembentukan pengertian dan pencapaian saling-mengerti melalui empati (empathy, bukan emphaty). Konsep empati tidak terpisahkan dengan konsep pengertian (understanding). Salah satu bentuk understanding adalah empathic understanding yang dalam bahasa Jerman disebut Verstehen. “It (Verstehen) must mean an act of sympathetic imagination or empathic identification on the part of inquirers that allowed them to grasp the psychological state (i.e. motivation, belief, intention, or the like) of an individual actor,” demikian Schwandt. Bisa saja peneliti bermaksud mengenal seorang aktor dengan motif ketertarikan (sympathetic imagination) dan bukan karena ingin mengenalnya sebagaimana adanya. Menurut Max Weber, Verstehen adalah “empathic understanding or an ability to reproduce in one’s own mind the feelings, motives, and thoughts behind the action of others.” Dengan menggunakan FOR pemerintah (FOR politik), seorang pejabat atau peneliti politik bertanya (berdasarkan laporan bahwa para PKL kembali mengais di KL semula, lokasi lama, bukan di lokasi baru): “Mengapa implementasi kebijakan relokasi PKL gagal?” Pertanyaan itu muncul karena implementor kebijakan adalah pemerintah. Pejabat tidak perlu mengenal dan mengerti kondisi pelanggan. Jembatan antara A1 dengan B1 tidak terbangun. Angka-angka, persentase, dan grafik, sudah cukup baginya. Mudah-mudahan melalui penelitian pesanan berbentuk projek dengan konsultan rekanan yang beken dapat ditemukan alasan pembenaran bahwa biaya kurang, tenaga kurang, mobil kurang, dsb, sehingga ada dasar untuk meminta semakin banyak anggaran. . . . . Oleh sebab itu, pertanyaan ini yang paling disukai. Tetapi seorang pejabat atau peneliti yang menggunakan FOR pelanggan (FOR Kybernologi), bertanya “Mengapa PKL kembali mengais di lokasi lama?” Jawaban terhadap dua macam pertanyaan itu sangat berbeda. Jika fokus perhatian penelitian berFOR pemerintah terarah pada implementor kebijakan, fokus perhatian penelitian berFOR pelanggan bertolak dari pengenalan dan pengertian terhadap PKL. Sudah barang tentu, perhatian terhadap PKL harus jernih dan cerah. PKL jangan dilihat sebagai pelanggar UU/Perda yang harus diusir dan digelandang oleh satuan PPP, melainkan sebagai manusia yang ingin hidup meski melarat, dan dilindungi oleh Pasal 27 (2) dan Pasal 34 UUD1945. Jawaban teoretik terhadap pertanyaan “Mengapa PKL kembali mengais di lokasi lama?” tentu saja menyentuh si implementor: “Karena kebijakan relokasi PKL tidak diimplementasikan. . . . . . . ” Jawaban hipotetik ini membangun jembatan yang kokoh antara A1 dengan B1. Persoalannya, bagaimana membangun jembatan? Siapa mengempati siapa? Verstehen tentang apa atau siapa yang perlu ditemukan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Kybernologi meminjam konstruksi Ilmu Politik yang menggambarkan body-of-knowledge (BOK) dengan model atasbawah (below), struktursupra dengan strukturinfra, dengan menempatkan kekuasaan di atas dan rakyat di bawah. Rakyat yang di bawah itu berlapislapis. Lapis tengah dan lapis atas ke atas biasanya kekasih kesayangan kekuasaan, karena bisa menyumbang pajak besar, mudah dirayu dan gampang diajak bertepuktangan. Sedangkan lapis bawah ke bawah boro-boro menyumbang, bahkan menjadi beban bagi struktursupra, dan oleh sebab itu dianggap sampah masyarakat (tapi nyontreng atawa nyoblos sih bisa, mangkanya sudah barang tentu kecuali menjelang pemilu! Iya nggak?). Seorang gembala yang kehilangan seekor di antara 100 domba peliharaannya dalam perjalanan kembali ke kandang pada suatu saat bisa menggunakan metodologi kuantitatif dan bisa kualitatif. Ia menggunakan metodologi kuantitatif jika ia berargumentasi: “Domba yang hilang hanya satu persen, masih ada 99% lagi.” Tetapi ia menggunakan metodologi kualitatif jika ia mengambil keputusan untuk berhenti dan mencari seekor yang hilang sampai dapat. A = B A A turun secara pribadi (personally) serendah mungkin dari posisinya, menempatkan diri seutuhnya setara dgn kondisi B dgn tulus, emik & etik, sehingga oleh B ia diterima sebagai seorang sesama di antara mereka, berbuka diri mengamati, mendengar & merekam isyarat, prilaku & perkataan B sebagaimana adanya begitu keluar dari B tanpa dipengaruhi oleh A. Mengingat B heterogen, katakanlah terdiri dari 10 sub-B, maka jika waktu yg digunakan A utk berbicara 10 menit, waktu yg harus disediakannya utk mendengar, sambil merekam, 10 x 10 = 100 menit, belum terhitung waktu yang diperlukannya untuk bersosialisasi, membangun rapport, membangun kebersamaan melalui perilaku etik & emik, mengamati & merekam amatannya. A melawan arus? Ya, ia tdk populer di kalangan politisi dan birokrasi, bahkan oleh parpol ia dituduh pengkhianat. Tetapi percayalah, 99% rakyat ada di didepannya dan sejarah bertinta emas terbentang di belakangnya. Ialah Semar, ialah Nelson Mandela B Gambar 2 Membentuk (Membangun) Pengertian Yang Empatik Ini hanya ilustrasi, Tidak dipersoalkan apakah hilangnya si domba karena kesalahannya sendiri, tidak menaati peraturan. Yang penting ialah maknanya. Makna ilustrasi di atas ialah, memang keduabelah fihak bisa memulai pemasangan jembatan dari fihaknya (B1) ke fihak lain (A1), dan sebaliknya. Namun kenyataannya, manakah yang lebih terbuka, kemungkinan bagi seorang PKL naik ke atas, naik dan naik lagi untuk memasuki kawasan istana negara atau halaman balaikota untuk menyampaikan isi hatinya, ketimbang kemudahan bagi presiden atau walikota turun, turun dan turun lagi untuk mengenal, memahami, dan menyelamatkan manusia terhilang di liang terbawah? Mengapa ALLAH peduli terhadap alam semesta dan Turun melalui FirmanNYA untuk Menyelamatkan bumi renta dan manusia berdosa? Peneliti bisa menggunakan Metodologi Ilmu Pemerintahan berdesain kualitatif seperti Gambar 2. Melalui metodologi itu, empathic understanding yang sejati tentang apa saja, kemiskinan, misalnya, dapat terbentuk di dalam benak seorang peneliti. Teori tentang Verstehen terdapat dalam Bab 14 Kybernologi Beberapa Konsturksi Utama, 2005. Jika pejabat atau peneliti menempuh prosedur seperti itu, definisi kekuasaan pasti lain. Lakukanlah! 1010081417 0609090652SDG File mip dan politik unila