Cor Pulmonale yang diperberat Pekerjaan

advertisement
Cor Pulmonale yang diperberat Pekerjaan
Meidalena Anggresia Bahen
102010056
B4
3 Oktober 2013
1
Cor Pulmonale yang diperberat Pekerjaan
Meidalena Anggresia Bahen*
Pendahuluan
Dalam sejarah ilmu kedokteran modern, disiplin ilmu kesehatan kerja merupakan
perkembangan yang relatif baru. Saat ini, Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), mendefinisikan kesehatan kerja sebagai peningkatan dan pemeliharaan
keadaan kamum pekerja dalam semua pekerjaan baik secara fisik, mental, dan sosial pada derajat
tertinggi. Kesehatan kerja adalah kesehatan adalah kesehatan total setiap pekerja. Pelayanan
kesehatan kerja dipandang sebagai mekanisme untuk mencapai tujuan. Dimensi baru kesehatan
kerja adalah pengenalan hubungan dua arah antara pekerjaan dan kesehatan. Bekerja dapat
berdampak buruk terhadap kesehatan tapi juga dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan
dan kesejahteraan. Status kesehatan pekerjaan akan memberikan dampak terhadap pekerjanya.
Pekerja yang sehat lebih memungkinkan menjadi lebih produktif dibandingkan pekerja yang
tidak sehat. Pekerja dengan gangguan kesehatan tidak hanya kurang produktif, tetapi juga dapat
membahayakan diri sendiri maupun teman kerja yang lain dan masyarakat.1
WHO menggolongkan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan bersifat
multifaktorial. Penyakit ini adalah penyakit dengan faktor tempat kerja yang dapat dikaitkan
sebagia penyebab timbulnya penyakit namun tidak merupakan faktor risiko setiap kasus.
Penyakit ini sering ditemukan di masyarakat umum. Penyakit berhubungan dengan pekerjaan
antara lain: (1) tekanan darah tinggi, (2) penyakit jantung koroner, (3) penyakit psikosomatik, (4)
kelainan musculoskeletal, (5) penyakit pernapasan kronis tidak speseifik/ bronchitis kronik.
Pada penyakit ini, peekerjaan dapa merupakan penyebab atau bisa memperberat kondisi penyakit
yang telah ada.1
*Alamat korespondensi :
Meidalena Anggresia Bahen, Mahasiswa semester 7 Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana Jl.Arjuna Utara No 6, Jakarta Barat 11510
Email : [email protected]
2
Diagnosis Klinis
Anamnesis
Anamnesis harus mencakup penilaian gaya hidup seseorang serta pengaruh penyakit
jantung terhadap kegiatan sehari-hari bila lebih bertujuan pada perawatan penderita. Riwayat
pasien sebaiknya juga mencakup riwayat mengenai keluarga dan insidensi penyakit
kardiovaskular pada keluarga tingkat pertama (orang tua dan anak).
Anamnesis terarah pada penderita cor pulmonal karena penyakit obstruksi paru menahun
adalah:
1. Usia Pasien
Kor pulmonal dapat terjadi pada orang dewasa dan pada anak-anak. Untuk orang
dewasa, kasus yang paling sering ditemukan adalah pada lansia karena sering didapati
dengan kebiasaan merokok dan terpapar polusi. Hal ini di dasarkan pada epidemiologi
penyakit-penyakit yang menjadi penyebab kor pulmonal, karena hipertensi pulmonal
merupakan dampak dari beberapa penyakit yang menyerang paru-paru. Untuk kasus
anak-anak, umumnya terjadi kor pulmonal akibat obstruksi saluran napas atas seperti
hipertrofi tonsil dan adenoid. 2
2. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang dapat menjadi resiko terjadinya kor pulmonal adalah para pekerja
yang sering terpapar polusi udara dan kebiasaan merokok yang tinggi.2
3. Lingkungan tempat tinggal
Lingkungan tempat tinggal yang dapat menjadi resiko terjadinya kor pulmonal adalah
lingkungan yang dekat daerah perindustrian, dan kondisi rumah yang kurang memenuhi
persyaratan rumah yang sehat. Contohnya ventilasi rumah yang kurang baik, hal ini akan
semakin memicu terjadinya penyakit-penyakit paru dan berakibat terjadinya kor
pulmonal.2
4. Riwayat penyakit saat ini :
Pada pasien kor pulmonal, biasanyaakan diawali dengan tanda-tanda mudah letih, sesak,
nyeri dada, batuk yang tidak produktif. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu
muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan
3
keluhan-keluhan tersebut. Penyebab kelemahan fisik setelah melakukan aktifitas ringan
sampai berat. Hal-hal yang perlu ditanyakan adalah :
a. Seperti apa kelemahan melakukan aktifitas yang dirasakan, biasanya disertai sesak
nafas.
b. Apakah kelemahan fisik bersifat local atau keseluruhansystem otot rangka dan apakah
disertai ketidakmampuandalam melakukan pergerakan.
c. Bagaimana nilai rentang kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
d. Kapan timbulnya keluhan kelemahan beraktifitas, seberapa lamanya kelemahan
beraktifitas, apakah setiap waktu, saat istirahat ataupun saat beraktifitas
5. Riwayat penyakit dahulu :
Klien dengan kor pulmonal biasanya memilki riwayat penyakit seperti penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), fibrosis paru, fibrosis pleura, dan yang paling seringadalah
klien dengan riwayat hipertensi pulmonal. Perlu ditanyakan apakah pasien sudah
mengonsumsi obat atau belum, dan riwayat sehari-hari dari pasien. Sangat penting
ditanyakan apakah pasien memiliki kebiasaan merokok atau sering menghirup asap rokok
dan tanyakan juga riwayat keluarga apakah di dalam keluarga ada yang juga menderita
penyakit atau gejala seperti yang pasien rasakan.2
6. Untuk diagnosis penyakit akibat kerja sangat penting untuk ditanyakan mengenai riwat
pekerjaan pasien. Adapun hal yang perlu ditanyakan diantaranya adalah sudah berapa
lama bekerja sekarang, riwayat pekerjaan sebelumnya, alat kerja, bahan kerja, dan proses
kerja, barang yang diproduksi, waktu bekerja sehari, kemungkinan pajanan yang dialami,
alat erlindungan diri yang dipakai, hubungan gejala dan waktu kerja, dan ditanyakan pula
adakah pekerja lain yang mengalami hal serupa.
Beberapa petanyaan yang dapat diajukan dalam anamnesis :
1.
Identitas Lengkap
-
Nama
: Tn. IM
-
Umur
: 46 tahun
-
Alamat
: Cililitan
-
Pekerjaan
: Pedagang Bakso
-
Status
: Menikah
4
2.
Riwayat Penyakit Sekarang
- Apa keluhan yang menyebabkan datang ke dokter? Sesak nafas, nyeri dada, palpitasi,
kelelahan, dst?
- Sudah berapa lama keluhan dialami oleh pasien?
- Adakah keluhan lain yang dirasakan pasien?
- Keadaan apa yang memperberat keluhan pasien?
3.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Apakah pasien pernah menderita penyakit berat atau kronik, seperti batuk lama, penyakit
jantung, tekanan darah tinggi, kencing manis?
- Apakah ada kebiasaan yang dilakukan pasien seperti merokok, minum alcohol, minum
kopi?
- Apakah pasien memiliki riwayat alergi?
- Apabila pasien pernah menderita suatu penyakit, bagaimana penyembuhannya? Tuntas
atau tidak?
4.
Riwayat Penyakit Keluarga
- Apakah dikeluarga ada yang menderita penyakit jantung, batuk lama, tekanan darah
tinggi, kencing manis?
- Adakah keluarga yang menderita alergi?
5.
Riwayat Pekerjaan dan Lingkungan Kerja
-
Sudah berapa lama pasien bekerja sebagai penjual bakso?
-
Apa pekerjaan yang dilakukan pasien sebelum menjadi penjual bakso?
-
Dimana pasien berjualan bakso? Bagaimana keadaan tempat pasien berjualan bakso?
-
Apakah pasien membuat bakso sendiri?
-
Apa alat dan bahan yang digunakan oleh pasien?
-
Bagaimana lingkungan rumah pasien? Suhu, penerangan, kelembapan udara, dst?
-
Menanyakan proses pembuatan bakso tersebut?
-
Apa kebiasaan pasien saat tidak berjualan bakso?
5
-
Bagaimana pola tidur pasien saat malam hari?
-
Bagaimana pola makan pasien sehari-hari?
Pemeriksaan fisik
Pertama-tama, kita harus memperhatikan keadaan pasien secara keseluruhan, dari cara
berjalannya, tingkat kesadarannya. Didapatkan bahwa tingkat kesadaran pasien compos mentis
o.s tampak sakit sedang dan gizi cukup. Pemeriksaan tanda-tanda vital harus dilakukan pada
pasien untuk mengetahui kondisinya, yaitu:
-
Tekanan darah
: 140/90 mmHg
-
Suhu
: 36,4°C
-
Nadi
: 88 x/menit
-
Nafas
: 28 x/menit
-
Status gizi
: Cukup
-
Tinggi badan
: 160 cm
-
Berat badan
: 55 kg
-
IMT
: 21,5.
Pemeriksaan jantung didapatkan:
-
Inspeksi
: Normal
-
Palpasi
: Normal
-
Perkusi
: Batas jantung kiri di apex melebar 2 jari di lateralmidklavikula sinistra
sela iga ke IV.
-
Auskultasi
: Ronkhi +/+, Wheezing +/+, napas vesikuler, Bunyi jantung I & II
normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop.
Pada penyakit PPOK, pada pemeriksaan fisik, fase awal umumnya normal, kadang ada
ekspirasi memanjang pada exhalasi paksa. Pada fase lanjut, terjadi hiperinflasi, wheezing,
ekpirasi memanjang, ronki, suara jantung jauh, dan diameter AP memanjang. Pada tahap
terakhir, penggunaan “full use” otot-otot pernapasan, purse lips, sianosis, astereksis,
hepatomegali dan distensi v. leher yang menyebabkan gagal jantung kanan.2
Pemeriksaan fisik juga bervariasi, tergantung dari penyakit dasarnya, tanda yang biasanya
didapatkan adalah :
6
a. Takipnea
b. Sianosis
c. Jari tabuh
d. JVP yang meningkat
e. Abnormalitas dinding thorax
f. Pada kr pulmonal akut didapatkan tanda-tanda low output state misalnya hipotensisyok, keringat dingin, denyut nadi yang cepat dan lemah
g. Suara jantung yang lemah
h. Pulsasi jantung kanan
i. Bising insufisiensi tricuspid
j. Hepatomegali
k. Asites dan bengkak kaki
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksanaan penunjang dapat dilakukan untuk memastikan informasi yang
sudah diambil dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sudah dilakukan.
Pemeriksaan yang rutin dikerjakan untuk menegakkan diagnosis PPOK adalah uji faal
paru yang merupakan baku emas dengan spirometri atau bila diperlukan dilakukan
bronkodilatator test. Sedang pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, Leukosit) dan foto toraks untuk
menyingkirkan penyakit paru lain. Pemeriksaan spirometri dilakukan untuk memeriksa FEV1,
FCV dan FEV1/FCV. FEV1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Disebut obstruksi apabila %FEV1
(FEV1/FEV1 prediksi) <80% atau FEV1% (FEV/FCV) < 75%. Apabila spirometri tidak tersedia
atau tidak mungkin dilakukan, bisa dilakukan pemeriksaan APE (arus puncak ekspirasi), dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore tidak melebihi 20%.
Pada pasien dengan cor pulmonal, pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:

Fungsi paru atau spirometri yang menunjukkan obstruksi aliran nafas berat dengan
hipoksemia dan hiperkarbia.
7

Analisa gas darah: Polisitemia ( hemoglobin dan eritrosit meninggi) akibat PPOK (Penyakit
Paru Obstruksi Kronik). Saturasi O2 kurang dari 85%; PCO2 dapat meningkat atau
normal.Pemerikasaan AGD menunjukkan:

-
PO2 kurang dari 60 mmHg
-
PCO2 lebih dari 49 mmHg
-
pH darah rendah
Pemeriksaan radiologi. Pada pemeriksaan radioogik, batang pulmonal dan pembuluh darah
hilus membesar. Perluasan hilus dapat dinilai dari perbandingan jarak antara permulaan
percabangan pertama arteri pulmonalis utama kanan dan kiri dengan diameter transversa
toraks, perbandingan >0,36 menunjukkan hipertensi pulmonal. Petunjuk radilogik lain
hipertensi pulmonal adalah perluasan bayangan arteri pulmonal descendens kanan, dari nilai
normal <16 mm menjadi >20 mm.

Pada EKG, ditemukan gelompang P pulmonal, deviasi aksis jantung ke kanan dan RVH
(hipertrofi ventrikel kanan).

Ekokardiografi memungkinkan pengukuran ketebalan dinding ventrikel kanan dan meskipun
perubahan volume tidak dapat diukur, teknik ini dapat memperlihatkan pembesaran kavitas
ventrikel
kanan
dalam
hubungan
pembesaran
dengan
ventrikel
kiri.
Pencitraan
ekokardiografi seringkali sulit karena udara pada paru yang berdistensi namun dapat
menunjukkan peningkatan potongan melintang rongga ventrikel kanan dan penebalan
abnormal
dinding ventrikel
kanan.
Skintigrafi
perfusi
miokardium
menunjukkan
perbandingan abnormal tinggi dari ambilan ventrikel kanan ke kiri.

Kateterisasi jantung perlu untuk pengukuran seksama tekanan vaskuler paru, penentuan
resistensi vaskuler paru, dan responnya terhadap oksigen dan vasodilator. Kateterisasi
kadang-kadang diindikasikan pada pasien dengan kor pulmonal untuk menyingkirkan
penyakit jantung kongenital, dan memungkinkan angiografi paru untuk dilakukan untuk
memastikan sifat obstruksi vaskuler paru. Pengukuran tekanan dan aliran vaskuler paru
sebaiknya juga dibuat selama exercise untuk mencari peningkatan tekanan abnormal atau
respon curah jantung yang buruk. Kateterisasi jantung kanan dapat dilakukan di samping
tempat tidur dengan kateter multilumen berujung balin diarahlan ke aliran yang cocok
dengan thermocouple untuk pengukuran curah jantung dengan termodilasi. Kateteterisasi
8
jantung bisa berguna untuk menilai fungsi ventrikel kiri dan juga beratnya hipertensi
pulmonal dan respon terhadap oksigen respirasi.
Tingkat klinis kor pulmonal dimulai dari PPOK, kemudian PPOK dengan hipertensi pulmonal,
dan akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung kanan.
Riwayat batuk produktif dan dispnea, mungkin dengan mengi (wheezing), seringkali
dikeluhkan oleh pasien. Sesak nafas membatasi kemampuan pasien pada beban kehidupan
sehari-hari yang ringan. Seringkali terdapat riwayat masuk rumah sakit secara gawat darurat
karena infeksi pernafasan, dan seringkali membutuhkan ventilasi mekanis.
Seringkali terdapat warna nikotin pada jari tangan , yang menggambarkan bahwa pasien
adalah perokok berat yang sudah merokok sejak lama. Kulit dapat hangat dan denyut arteri
meningkat sangat tinggi pada keadaan curah jantung tinggi.
Diagnosis kor pulmanale terutama berdasarkan pada dua criteria, yaitu adanya penyakit
pernafasan yang disertai hipertensi pulmonal dan bukti adanya hipertrofi ventrikel kanan .
Adanya hipoksemia yang menetap, hiperkapnia, dan asidosis atau pembesaran ventrikel kanan
pada radiogram menunjukkan kemungkinan penyakit paru yang mendasarinya. Adanya
emfisema cenderung mengaburkan gambaran diagnosis kor pulmonale. Dispnea timbul sebgai
gejala emfisema dengan atau tanpa kor pulmanale. Dispnea yang memburuk dengan mendadak
atau
kelelahan, pingsan pada waktu bekerja, atau rasa tidak enak angina pada substernal
mengisyaratkan keterlibatan jantung. Tanda-tanda fisik hipertensi pulmonal berupa kuat angkat
sistolik pada area parasternal, mengerasnya bunyi pulmonik kedua, dan bising akibat insufiensi
katup trikuspidalis dan pulmonalis. Irama gallop ( suara jantung S3 dan S4), distensi vena
jugularis, dengan gelombang A yang menonjol, hepatomegali, dan edema perifer dapat terlihat
pada pasien dengan gagal ventrikel kanan.
Pemeriksaan tempat kerja
Bila memungkinkan akan jauh lebih baik jika dilakukan survey pada tempat kerja, yang
perlu di nilai adalah tempat berjualan bakso ( bahan baku, proses produksi ,dan hasil produksi),
aspek fisik, kimia, mekanik, ergonomic, biologi, psikososialnya.
9
Pajanan yang dialami
Bahaya Potensial
Urutan
kegiatan
Fisik
Kimia
Serang
Bangun
tidur &
Dingin
pergi ke
Angin
ga
Debu
dan
membongk
ar tenda
Bakteri
Virus
pasar
Mendirikan
Biologi
Jamur
Matahari
Panas
Bising
Debu
Angin
Ergono
mi
Gangguan
Psikososial
kesehatan
Mata.
Memba
Lelah;
Hidung
wa
Kenaikan
kulit,
beban
harga
gangguan
berat
makanan
muskuloskel
etal
Serang
Mata,
ga
Hidung,
Bakteri
Virus
Posisi
Stress
Jamur
Risiko
kecelakaan
kerja
Kecelakaan
lalu lintas;
tertimpa
barang
belanjaan
tenggorokan,
Tertimpa
gangguan
tenda
muskuloskel
etal
Memasak
Serang
mie baso
ga
dan
membuat
minum
Panas api
Matahari
Debu
Bakteri
Virus
Tersiram air
Posisi
statis
Jamur
Lelah
Mata,
panas, dan
hidung, kulit
terluka
karena pisau
Dalam menentukan pajanan dapat diperoleh dari anamnesis, yakni pajanan saat ini dan
sebelumnya. Lebih baik jika ada pengukuran lingkungan.
1. Fisik
Penerangan. merupakan faktor yang berperan dalam menciptakan ruangan kerja. Jenis
pencahayaan secara umum terbagi dua yaitu alamiah dengan sinar matahari dan buatan
(lampu yang digunakan sehari-hari). Tn.IM yang berjualan bakso sehari-harinya di pasar
tradisional, yang akan terpapar sinar matahari (mengandung sinar ultraviolet). Menurut
panjang gelombangnya, sinar ultraviolet dibagi tiga yaitu sinar ultraviolet A, B dan C. Sinar
10
matahari sangat bermanfaat untuk sintesa vitamin D, namun pemaparan sianr matahari secara
terus menerus terutama sinar ultraviolet B dapat menyebabkan kanker kulit karena kerusakan
fotokimia pada DNA manusia. Selama 15 tahun, Tn.IM bekerja sebagai penjual bakso dan
membuat sendiri sehingga pencahayaan di rumahanya terutama di dapur harus diperhatikan.
Apabila pencahayaan masih sangat kurang akan menimbulkan potensi hazardnya sangat
tinggi.
Suhu. Cedera akibat suhu lingkungan yang panas dan kelembapan udara yang meningkat
menyebabkan bercak merah pada kulit, heat cramps akibat cairan tubuh berkurang terutama
bila Tn.IM kurang minum air putih saat bekerja, kelelahan dan bisa mengalami heat stroke
akibat lingkungan pasar yang terlalu panas menyebabkan kelenjar keringat melemah tak
mampu mengeluarkan keringat lagi sehingga tidak dapat mengeluarkan panas dari dalam
tubuh.
Pada lingkungan kerja panas, tubuh mengatur suhunya dengan penguapan
keringat yang dipercepat dengan pelebaran pembuluh darah yang disertai meningkatnya
denyut nadi dan tekanan darah, sehingga beban kardiovaskuler bertambah. Dalam lingkungan
kerja dingin, pembuluha darah mengerut untuk mempertahankan suhu tubuh. Kelembaban
tinggi menghambat penguapan dalam cuaca panas dan berarti tambahan beban bagi jantung
dan sistem kardiovaskuler. Bekerja pada tekanan udara tinggi dan rendah mengganggu
penderita kelainan kardiovaskuler; tekanan udara rendah mempercepat pernafasan dan juga
denyut jantung, sedangkan tekanan tinggi berakibat kerusakan sistem kardiovaskuler.4
2. Biologi
Potensi hazard pada lingkungan biologis yaitu Staphylococus aureus (keracunan makanan)
yang terdapat pada daging yang telah dimasak atau diolah.Pencegahan keracunan
staphylococcus tindakan utama yang harus dilakukan adalah mencegah terjadinya
kontaminasi makanan oleh staphylococcus dengan menghambat pertumbuhan atau
membunuh bakteri yang telah terlanjur mencemari makanan. Kontaminasi dapat dicegah
dengan menjaga kebersihan atau sanitasi yang baik dengan menggunakan bahan mentah yang
tidak terkontaminasi. Shalmonella (tipus) Pencegahannya dengan cara memasak makanan
yang dibuat dri daging dengan pemanasan yang sempurna, penyimpanan makanan pada suhu
11
yang sesuai, melindungi makanan darikontaminasi lalat, dan pemeriksaan berkala pada orang
yang menangani makanan.
3. Kimia
Dalam hal ini tidak ditemukan zat-zat kimia yang berbahaya. Tetapi dalam hal ini terdapat
debu dimana jika terinhalasi (terhirup) akan mengakibatkan alveoli meradang, peningkatan
sel darah putih, dan akibatnya alveoli terisi cairan. Jika pemaparan sering dan kadar debu
tinggi, maka gejala akan timbul lebih besar, dan jika tidak diobati akan berkembang menjadi
kronis, dapat menimbulkan fibrosis dan berlanjut pada terjadinya PPOK. Polusi udara dalam
rumah yang berasal dari pembakaran tungku atau kompor yang tidak berfungsi dengan baik
dapat menyebabkan PPOK lebih besar dari partikel emisi kendaraan bermotor.
4. Ergonomic
Ergonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah manusia dalam kaitan dengan
pekerjaan. Atau, satu upaya dalam bentuk ilmu, teknologi dan seni untuk menyerasikan
peralatan, mesin, pekerjaan, sistem, organisasi dan lingkungan dengan kemampuan, keahlian
dan keterbatasan manusia, sehingga tercapai satu kondisi dan lingkungan yang sehat, aman
dan nyaman, efesien dan produksi, melalui pemanfaatan fungsional tubuh manusia secara
optimal dan maksimal. Posisi tubuh pasien saat bekerja berjualan bakso yaitu berdiri atau
berjalan berkeliling perumahan. Akibat posisi tubuh tersebut meningkatkan kerja jantung dan
kelelahan. Akibat berjalan jauh dan mendorong gerobak menyebabkan kelelahan karena
aktivitas metabolisme anaerob yang terjadi pada otot, sehingga keluhan kaki pegel sering
dirasakan oleh Tn.IM.
5. Psikologis
Setiap pekerjaan akan ada perasaan psikologis terutama pada pedagang bakso. Pekerja atau
pun pemilik stress jika sewaktu – waktu konsumen kurang sehingga makanan yang sudah di
olah banyak yang tersisa. Dan hal ini mengakibatkan banyak kerugian bagi pemilik.Satu –
satu jalan yang mereka lakukan adalah memanaskannya kembali.
12
Hubungan Pajanan dengan Penyakit
Hubungan pajanan memperberat diagnosis klinis yang dialami Tn.IM. Pasien sudah
bekerja sebagai penjual bakso selama 15 tahun dan keluhan bertambah berat sejak 2 hari.
Menurut diagnosis klinis pasien menderita kor pulmonale. Penyakit yang dapat menyebabkan
kor pulmonale adalah penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru, seperti
emboli paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru akibat penyakit
pernapasan obstruktif atau restriktif. PPOK terutama jenis bronkitis, merupakan penyebab
tersering kor pulmonale. vasokonstriksi hipoksik pembuluh darah paru-paru. Hipoksemia,
hiperkapnia, dan asidosis yang merupakan ciri khas dari PPOK bronkitis lanjut adalah contoh
yang paling baik untuk menjelaskan bagaimana mekanisme itu dapat terjadi. Hipoksia
alveolar(jaringan) memberikan rangsanagan yang kuat pada terhadap vasokonstriksi pulmonal,
bukan hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot
polos arteriol paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis,
hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergis dalam menimbulkan vasokonstriksi.
Visikositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung
yang dirangsang hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.
Gambaran klinis penyakit ini mendapatkan keadaan sianosis, suara P2 yang mengeras,
ventrikel kanan dapat teraba di parasternal kanan. Terdapatnya murmur pada daerah pulmonal
dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila sudah
terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu juga dapat ditemukan
murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis, hepatomegali, splenomegali, asites
dan efusi pleura merupakan tanda-tanda terjadinya overload pada ventrikel kanan.
Aktivitas berat ditandai dengan pengerahan tenaga fisik dan juga kemampuan mental
yang besar dengan pemakaian energi berskala besar pula dalam waktu relatif pendek. Otot,
sistem kardiovaskular, paru dll harus bekerja lebih keras. Pengaturan ritme kerja kerja antara
pelaksanaan kerja yang berat dan istirahat pendek yang memadai diatur dan diprogram dalam
pengorganisasian cara kerja yang baik, misalnya jam 2 siang Tn.IM dapat beristirahat sekitar
setengah jam sehingga memberikan kesempatan tubuh untuk relaksasi. Pada lingkungan yang
panas, tubuh mengatur suhunya dengan penguapan keringat yang dipercepat dengan pelebaran
pembuluh darah yang disertai meningkatnya denyut nadi dan tekanan darah, sehingga beban
13
kardiovaskuler bertambah. Penderita sakit jantung tidak mudah mengadakan penyesuaian dengan
tuntutan beban demikian. Kelembapan tinggi menghambat penguapan dalam cuaca panas dan
berarti tambahan beban bagi jantung dan sistem kardiovaskuler.
Pajanan yang dialami Cukup Besar
Patofisiologis
Penyakit paru kronik akan mengakibatkan ; berkurangnya “vascular bed” paru, dapat
disebabkan semakin terdesaknya pembuluh darah paru oleh paru yang mengembang atau
kerusakan paru, asidosis dan hiperkapnia, hipoksia alveolar yang akan merangsang
vasokonstriksi pembuluh paru, polisitemia dan hipervisikositas darah. Keempat kelainan ini akan
menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal (perjalanan lambat). Dalam jangka panjang akan
mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudian akan berlanjut menjadi
gagal jantung kanan.
Apapun penyakit awalnya , sebelum timbul kor pulmonale biasanya terjadi peningkatan
resistensi vaskular paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya
meningkatkan beban kerja ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian
gagal jantung kanan. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada
peningkatan resistensi vaskular paru pada arteri dan arteriola paru.
Terdapat dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular paru.
Mekanisme dasar yang pertama yang tampak paling penting terhadap terjadinya kor pulmonale
adalah vasokonstriksi hipoksik pembuluh darah paru-paru. Hipoksemia, hiperkapnia, dan
asidosis yang merupakan ciri khas dari PPOK bronkitis lanjut adalah contoh yang paling baik
untuk menjelaskan bagaimana mekanisme itu dapat terjadi. Hipoksia alveolar(jaringan)
memberikan rangsanagan yang kuat pada terhadapa vasokonstriksi pulmonal, bukan hipoksemia.
Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriol paru,
sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis, hiperkapnia, dan
hipoksemia bekerja secara sinergis dalam menimbulkan vasokonstriksi. Visikositas(kekentalan)
darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang
hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.
14
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskular dan tekanan arteri paru
adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai dengan kerusakan bertahap struktur alveolar
dengan pembentukan bula dan obliterasi total kapiler-kapiler di sekitarnya. Hilangnya pembuluh
darah secara permanen menyebabkan berkurangnya jaringan vaskular. Selain itu, pada penyakit
obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik volume paru yang
besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap jaringan vaskular tidak
sepenting vasokonstriksi hipoksik dalam pathogenesis kor pulmonale. Kira-kira dua pertiga
sampai tga perempat dari jaringan vaskular harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum
terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna.
Bukti epidemiologis
Meskipun prevalensi dari PPOK di negara Amerika serikat sekitar 15 juta, prevalensi
pasti dari kasus kor pulmanale sulit ditentukan , karena tidak kor pulmonale tidak selalu ada pada
PPOK, dan pemeriksaan fisik dan rutin relative tidak sensitive untuk mendeteksi hipertensi
pulmonal.
Kor pulmonale diperkirakan sekitar 6-7% pada kasus jantung dewasa di Amerika Serikat,
dimana PPOK seperti emfisema dan bronkitis kronik merupakan faktor penyebab pada lebih dari
50% kasus. Selain itu, kor pulmonale menyumbang sekitar 10-30% kasus payah jantung di
Amerika Serikat.
Sebaliknya, kor pulmonale akut biasanya terjadi pada emboli paru yang masif. Emboli
paru akut masif adalah penyebab tersering cor pulmanale pada dewasa yang dapat mengancam
jiwa. 50.000 kasus kematian di Amerika Serikat diperkirakan berasal dari
Secara global, insiden dari kor pulmonale berbeda pada setiap negara, tergantung pada
prevalensi kebiasaan merokok, polusi udara, dab faktor resiko lain untuk berbagai penyakit paru.
Analisa Kualitatif
Cara/proses kerja: pasien memiliki pekerjaan sebagai pedagang bakso. Pasien mulai membeli
bahan-bahan ke pasar pukul 3 dini hari, kemudian kembali mempersiapkan bahan-bahan yang
digunakan untuk memasak. Pasien banyak bekerja sendiri karena tidak ada pembantu.
15
Lama kerja: pasien berjualan dari pagi hingga pukul 8 malam.
Peranan Faktor Individu
Pada langkah ini status kesehatan pasien biasanya sangat berpengaruh seperti misalnya
riwayat alergi, riwayat penyakit dalam keluarga, status kesehatan mental, dan kebersihan
perorangan tersebut. Di dapatkan bahwa Tn.IM saat muda pernah menderita batuk lama tapi
batuk tidak berdarah dan sudah berobat selama satu tahun dan tidak tuntas.
Faktor Lain diluar Pekerjaan
Adanya kebiasaan yang dapat memperburuk penyakit tersebut seperti hobi pasien,
kebiasaan pasien ; misalnya merokok dan pajanan yang terjadi di luar lingkungan kerja (pajanan
di rumah atau pada pekerjaan lainnya selain di lingkungan kerja). Didapatkan bahwa Tn.IM
mempunyai kebiasaan merokok tetpi sudah berhenti sejak 1 tahun lalu, pasien juga sering minum
kopi kental 3-4 gelas sehari.
Diagnosis Okupasi
Kor pulmonal diperberat akibat kerja, disebabkan Tn.IM mempunyai riwayat penyakit dahulu
yaitu batuk lama yang diakibatkan merokok sejak muda serta minum kopi kental 3-4 gelas
sehari. Pengobatan batuk lama yang dilakukan Tn.IM sudah setahun dan tidak sampai tuntas.
Aktivitas kerja Tn.IM sebagai penjual bakso yang bangun pagi untuk membuat bakso lalu dari
jam 8 pagi sampai 8 malam berjualan di pasar tradisional. Pola tidur Tn.IM hanya 2 jam saja,
sehingga penyakit yang ada pada Tn.IM semakin buruk dan kerja jantung Tn.IM semakin
meningkat yang menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan terlihat adanya edema pada tungkai
kanan Tn.IM.
Kategori kesehatan Tn.IM : kesehatan cukup baik dengan memperbaiki kelainan yang ada,
terutama edema pada kedua tungkai harus ditangani yang disebabkan meningkatnya kerja
jantung ventrikel kanan, apabila dibiarkan kor pulmonal dapat berlanjut menjadi gagal jantung
kanan. Istirahat yang cukup pada malam hari harus diperhatikan oleh pasien.
Manifestasi klinis
16
Tingkat klinis kor pulmonal dimulai PPOK kemudian PPOK dengan hipertensi pulmonal
dan akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung kanan. Diagnosis
kor pulmonale terutama berdasarkan pada dua kriteria: (1) adanya penyakit pernapasan yang
disertai hipertensi pulmonal dan (2) bukti adanya disertai hipetrofi ventrikel kanan. Adanya
hipoksia yang menetap, hiperkapnia dan asidosis atau pembesaran ventrikel kanan pada
radiogram menunjukan kemungkanan penyakit paru yang mendasarinya. Adanya emfisema
cenderuang mengaburkan gambaran diagnosis kor pulmonale. Dispnea timbul sebagai gejala
emfisema dengan atau tampa kor pulmonale. Dispnea yang memburuk dengan mendadak atau
kelelahan, pingsan pada waktu bekerja atau rasa tidak enak angina pada substernal
mangisyaratkan keterlibatan jantung. tanda-tanda fisik hipertensi pulmonal berupa kuat angkat
sistolik pada area parasternal, mengerasnya bunyi pulmonik kedua dan bising akibat insufiensi
katup triskuspidalis dan pulmonalis. Irama gallop (suara jantung S3 dan S4), distensi vena
jugularis dengan gelombang A yang menonjol, hepatomegali dan edema perifer dapat terlihat
pada pasien dengan gagal ventrikel kanan. 3
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung sama dengan
pengobatan kor pulmonal pada umumnya bertujuan untuk :
a. Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas
b. Menurunkan hipertensi pulmonal
c. Meningkatkan kelangsungan hidup
d. Pengobatan penyakit dasar dan komplikasinya.
Pengobatan kor pulmonale ditujukan untuk memperbaiki hipoksia alveolar (dan
vasokontriksi paru yang diakibatkannya) dengan pemberian oksigen konsentrasi rendah dengan
hati-hati . Pemakaian O2 yang terus menerus dapat menurunkan hipertensi pulmonal , polisitemia
dan takipnea; memperbaiki keadaan umum, dan mengurangi mortalitas. Bronkodilator dan
antibiotic membantu meredakan obstruksi aliran udara pada pasien-pasien COPD. Pembatasan
cairan yang masuk dan diuretic mengurangi tanda-tanda yang timbul akibat gagal ventrikel
kanan. Terapi antikoagulan jangka panjang diperlukan jika terdapat emboli paru berulang.5
A.Terapi Farmakologis
17
1. Terapi oksigen
Terapi oksigen merupakan tindakan yang sangat penting bila PPOK adalah
penyakit yang mendasarinya, khususnya ketika diberikan terus menerus. Pada kor
pulmonal, tekanan parsial oksigen arteri berkisar dibawah 55 mmhg dan terus turun
ketika sedang beraktivitas dan saat pasien tidur. 2
Terapi oksigen akan menghilangakan vasokonstriksi akibat hipoksia alveolar,
dimana akan meningkatkan cardiac output, mengurangi vasokonstriksi akibat simpatis,
meredakan jaringan yang kekurangan oksigen, dan memperbaiki perfusi pada ginjal.
Penelitian oleh NOTT (randomized Nocturnal Oxygen Therapy Trial) menunjukkan
bahwa terapi oksigen aliran rendah terus menerus untuk pasien dengan PPOK berat
mengakibatkan penurunan yang signifikan dalam tingkat kematian.
Secara umum, pasien dengan PPOK, pemberian oksigen jangka panjang
direkomendasikan ketika tekanan PaO2 arteri dibwah dari 55 mmhg atau tingkat saturasi
O2 dibawah 88%.. Namun, dengan adanya cor pulmonale atau gangguan fungsi mental
atau kognitif, terapi oksigen jangka panjang dapat dipertimbangkan bahkan jika PaO2
lebih besar dari 55 mm Hg atau saturasi O2 lebih besar dari 88%. Pada penderita seperti
ini harus diberikan oksigen untuk dapat mencapai tekanan oksigen arterial ≥ 60 mmHg.
Untuk penderita kor pulmonal dengan PPOK sebagai penyakit yang mendasarinya, perlu
ditekankan bahwa dosis oksigen yang diberikan harus rendah (1-2 liter/menit) dan
kontinyu. Hal ini disebabkan karena penderita kor pulmonal dengan PPOK, ventilator
drive tergantung dari hipoksia. Jika diberikan oksigen dosis tinggi maka penderita akan
mengalami oksigen narcosis sehingga pusat nafas tidak lagi terangsang dan penderita
dapat meninggal karena gagal nafas.
Meskipun, apakah terapi oksigen dapat memperpanjang kelangsungan hidup pada
pasien dengan cor pulmonale karena gangguan paru selain PPOK tidak jelas, mungkin
terapi oksigen dapat memberikan beberapa tingkat bantuan gejala dan perbaikan status
fungsional. Oleh karena itu, terapi oksigen memegang peranan penting baik dalam
pengaturan langsung dan pengelolaan jangka panjang, terutama pada pasien yang
hipoksia dan memiliki PPOK.
18
2. Bronkodilator, mukolitik , dan ekspektoran
Obat-obatan lain yang biasanya diberikan adalah bronkodilator (aminopilin, β2 agonis),
mukolitik , dan ekspektoran untuk memudahkan pengeluaran dahak serta antibiotik jika
terjadi eksarserbasi akut bronkitis. Dengan pengobatan diatas, beberapa penderita dapat
diperbaiki ventilasi alveolarnya sehingga hipoksianya atau asidosis respiratoriknya dapat
diatasi. Koreksi asidosis dan hipoksia pada beberapa kasus dapat menurunkan tekanan
pembuluh darah arteri pulmonalis. Oksigenasi yang adekuat telah terbukti dapat menunda
terjadinya gagal jantung kanan dan memperpanjang harapan hidup penderita.
3. Diuretik
Diberikan bila ditemukan gagal jantung kanan, pemberian diuretik berlebihan dapat
menimbulkan alkalosis metabolik yang dapat memicu peningkatan hiperkapnia.
Disamping itu pemberian diuretik dapat menimbulkan kekurangan cairan sehingga
mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun. Furosemid dapat
diberikan dengan dosis 20-80 mg per hari PO / IV, dosis maksimal 600 mg per hari.3
4. Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa
adrenergik, ACE- I, dan postaglandin belum direkomendasikan secara rutin. Vasodilator
dapat menurunkan tekanan pulmonal pada kor pulmonal kronik, meskipun efisiensinya
lebih baik pada hipertensi pulmonal yang primer. Vasodilator yang biasa dipakai adalah
nifedipine dengan dosis 10-30 mg PO 3 kali sehari, maksimal 120 -180 mg per hari.3
5. Digitalis
Digitalis mungkin dapat diberikan jika pasien mengalami gagal ventrikel kanan,
disaritmia supraventkuler atau gagal ventrikel kanan yang tidak berespon dengan terapi
lain untuk mengatasi hipertensi paru. Digitalis harus diberikan dengan sangat hati-hati
19
karena penyakit jantung paru tampaknya meningkatkan kerentanan terhadap toksisitas
digitalis.3
B. Terapi Bedah
Pada beberapa kasus kor pulmonal tindakan bedah mempunyai peran dalam pengobatan.
Pulmonal Emboloctomy sangat bermanfaat pada penderita emboli paru. Adenoidectomi pada
anak dengan obstruksi jalan nafas kronik, uvulopalatopharyngeoplasty pada penderita sleep
apnea dapat mengobati kor pulmonal akibat hipoventilasi yang kronik. Transplantasi jantungparu dapat dilakukan pada penderita kor pulmonal kronik decompensate tahap akhir.
Pengobatan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan hipertensi
pulmonal, pengobatan gagal jantung kanan dan meningkatkan kelangsungan hidup. Berbagai
pengobatan yang akan dilakukan dapat diawali dengan menghentikan kebiasaan merokok.
Pencegahan
Pencegahan harus dimulai sejak sebelum kerja, sehingga penempatan disesuaikan dengan
keadaan kemampuan jantung tenaga kerja tersebut. Pemeriksaan kesehatan periodik sangat
dianjurkan. Kardiolog menentukan kelainan organ jantung dan fungsional, dokter mengetahui
dan mengevaluasi beban kerja orang yang bersangkutan.4
Kesimpulan
Kor pulmonale merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel
kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan; timbul akibat penyakit yang menyerang struktur
atau fungsi paru atau pembuluh darahnya. Kor pulmonale dapat bersifat akut (setelah terjadi
emboli paru yang masif) atau kronik dan setelah terjadsi penyakit paru obstruktif seperti PPOK.
Kor pulmonale pada kasus ini bukan merupakan penyakit akibat kerja melainkan penyakit yang
diperberat karena pekerjaan dimana Tn.IM mempunyai riwayat penyakit dahulu yaitu batuk lama
yang diakibatkan merokok sejak muda serta minum kopi kental 3-4 gelas sehari.
20
Daftar Pustaka
1. Jeyaratnam J, Koh D. Pekerjaan dan Kesehatan. Dalam : Jeyaratnam J, Koh D. Buku ajar
praktik kedokteran kerja. Jakarta : EGC; 2009. h. 1-28
2. Joewono BS. Ilmu penyakit jantung. Surabaya: Airlangga university press; 2003. h 6978.
3. Harun S, Wijaya IP. Kor pulmonal kronik . Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MS, Setiaiti S (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jld.1Ed V. Jakarta :
Interna Publishing, 2009 : 1842-4.
4. Suma’mur DR. Higine perusahaan dan kesehatan kerja (hiperkes). Jakarta : CV Sagung
Seto. 2009; h. 558-61
5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.h.819-21
21
Download