BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kuntul 2.1.1 Klasifikasi Burung Kuntul Burung kuntul termasuk ordo Ciconiiformes dan famili Ardeidae (Mackinnon, 1993). klasifikasi Kuntul besar (Egretta alba) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Vertebrata Class : Aves Subclass : Neornithes Ordo : Ciconiiformes Family : Ardeidae Genus : Egetta Spesies : Egretta alba Egretta garzetta 2.1.2 Ciri-ciri umum Kuntul Ciri-ciri utama dari kelas aves adalah mempunyai bulu, anggota gerak depan telah termodifikasi menjadi sayap, anggota gerak belakang sudah teradaptasi untuk berjalan, berenang dan bertengger, pada tungkai terdapat sisik, rahang bawah mempunyai gigi, tulang rangka kecil dan banyak mengalami penyatuan, jantung terdiri dari empat ruang, kantung udara meluas ke seluruh tubuh dan perkembangbiakan ovipar (Salsabila, 1985). Kuntul besar (Egretta alba) merupakan kuntul yang berbulu putih dengan ukuran tubuh berkisar antara 85 – 105 cm, memiliki leher yang panjang dan khas seperti berbentuk huruf “S”. Pada saat tidak berbiak ujung paruh berwarna hitam, telapak kaki, dan jari kaki berwarna kuning, tungkainya berwarna hitam serta kulit muka bagian pipi agak kekuningan. Panjang paruh individu dewasa berkisar antara 15 – 20 cm (Mackinnon, 1993). Kuntul kecil (E. garzetta) berwarna putih dan memilikiukuran tubuh sedikit lebih besar dan lebih ramping dariB. ibis. Panjang tubuh antara 60-65 cm, 5 paruh dantungkai berwarna hitam sedang jari dan telapak kaki berwarna kuning. Panjang paruh yang dimiliki individu dewasa berkisar antara 10 – 15 cm. Pada musim berbiak terdapat jambul atau bulu yang berbentuk pita di bagian tengkuk dan leher. Selain itu bulu pada dada dan punggung menjadi lebih halus, panjang dan terkulai. Paruh dan kaki tidak mengalami perubahan warna, beberapa peneliti (Elfidasari, 2008). Kuntul kecil sekilas sangat mirip dengan Kuntul Kerbau kecuali paruh dan kakinya yang berwarna hitam, ukuran lebih besar (60 cm) dan lebih ramping ramping. Kemiripan ini yang sering terlewatkan sehingga dianggap jarang tercatat. Warna jari kuning, menunjukkan dia adalah pendatang. Di Taman Nasional Baluran, Kuntul kecil lebih sering mengunjungi areal bekas kolam tambak yang masih sedikit tergenang air. Populasinya masih jauh di bawah saudaranya Kuntul Kerbau yang lebih banyak tersebar di areal persawahan. Burung ini cenderung pendiam, lebih sering terlihat menyendiri bahkan sering “berselisih” dengan kuntul lain ketika ikut bergabung dalam satu kolam tambak. Dia juga lebih sensitif terhadap manusia dibadingkan Kuntul Kerbau (Winnasis, et al., 2009). 2.2. Tipe Perkembangan Burung Secara umum strategi pasca menetas pada burung dapat dibagi menjadi precocial, semiprecocial, semiatricial dan altricial, yaitu: 1. Precocial. Burung yang termasuk kategori ini menetas dengan keadaan mata terbuka, dan tubuh sudah ditumbuhi bulu-bulu halus. Burung pada kelompok ini tidak mengerami telurnya. Telur burung dari kelompok ini diletakkan dalam sebuah lubang yang ditutupi dengan ranting-ranting atau dedaunan kering. Setelah menetas anak burung akan keluar tanpa bantuan dari induknya. Contoh burung dari kelompok ini adalah burung maleo. 2. Semiprecocial. Kelompok burung ini menetas dengan kedaan mata terbuka, tubuh ditutupi dengan bulu halus, bisa berjalan atau berenang setelah menetas akan tetapi anak burung akan tetap berada di dekat induknya. Contoh spesies dari kelompok ini adalah ayam atau bebek. 6 3. Semialtricial. Burung pada kelompok ini menetas dengan tubuh tertutup bulu halus. Individu yang baru menetas tidak dapat meninggalkan sarang. Contoh burung dari kelompok ini adalah jenis elang dan bangau. 4. Altricial. Kelompok burung ini menetas dengan kondisi mata tertutup, tubuh telanjang (tidak ditutupi bulu halus) dan tidak berdaya. Contoh burung dalam kelompok ini adalah burung pecuk. Gambar 1. Sketsa anakan pecuk di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Februari-Juni 2001 (Jumilawaty, 2004). Anakan Pecuk termasuk tipe Altricial, waktu menetas matanya tertutup, belum memiliki bulu, sangat lemah sehingga tidak dapat meninggalkan sarang dan memerlukan pemeliharaan oleh induknya. Proses penetasan dimulai saat anakan dalam telur membuat lubang kecil di dinding telur. berbeda dengan anakan semi altricial, anakan pecuk pada saat menetas tidak memiliki bulu, matanya tertutup, bulu natal baru mulai tumbuh pada saat anakan berumur 11 hari sedangkan Kuntul dan Bluwok saat menetas anakan telah memiliki bulu natal dan matanya terbuka. Persamaannya anakan masih sangat lemah dan memerlukan perawatan dan perhatian dari induknya. Perkembangan selanjutnya sama dengan anakan kuntul dan Bluwok yaitu bulu lebih dahulu tumbuh pada bagian Humeral dan Scapular, diikuti bagian sayap primer dan sekunder serta bulu ekor dan bagian ventral (Jumilawaty, 2004). 7 Pemilihan strategi altricial dan precocial ini didasarkan pada kemampuan induk dalam mengumpulkan makanan. Pada kelompok hewan precorcial induk dapat mengumpulkan makanan yang mempunyai protein tinggi sebelum melakukan proses bertelur. Telur yang dihasilkan berukuran besar dan mengandung banyak protein. Kandungan protein ini akan digunakan sebagai makanan oleh embrio. Berlawanan dengan kelompok precocial, kelompok altricial tidak perlu mengumpulkan banyak protein sebelum bertelur. Sehingga mereka menghasilkan telur dengan ukuran kecil. Selain dipengaruhi oleh kemampuan mengumpulkan makanan, pemilihan strategi articial atau precocial juga dipengaruhi oleh tingkat predasi. Burung yang mampu membuat sarang ditempat yang tinggi tentu tidak terlalu khawatir anaknya akan dimangsa oleh predator. Bandingkan dengan ayam atau maleo yang membuat sarang pada tempat yang masih bisa dijangkau oleh predator, tentu predator akan dengan mudah memangsa individu muda. Mereka diharuskan dapat bertahan hidup dari serangan predator. Perkembangan burung dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari dua jenis utama: precocial dan altricial. Burung precocial, seperti ayam, bebek, dan burung hantu, menetasdengan penutup hangat bulu bawah. Seekor betina precocial dapat menjaga tubuhnya cukup hangat dalam kurangnya suhu dengan pengeraman dari induknya. Beberapa anak ayam precocial bisa makan sendiri segera setelah menetas. Seekor Scaupitik Lesser bisa berenang, menyelam dan menangkap ikan hanya tigahari setelah menetas. Lainnya, seperti burung camar dan terns, tergantung pada orang tua mereka memberikan makanan (Dunn, 1975). 2.3.Karakteristik Habitat Berdasarkan habitatnya, burung dikelompokkan menjadi dua yaitu burung tanah dan burung air. Selanjutnya, berdasarkan tipe habitatnya burung air dikelompokkan menjadi tiga yaitu burung rawa, burung laut dan burung pantai. Burung rawa secara ekologis bergantung perairan rawa untuk mencari makan dan berbiak, burung laut secara ekologis bergantung pada laut lepas untuk mencari makan dan burung pantai secara ekologis bergantung pada pantai untuk mencari makan dan atau berbiak (Mackinnon, 1993). 8 Burung tidak hanya menggunakan pohon untuk bertengger saja tapi juga sebagai tempat untuk berlindung, bersarang, dan mencari makan, karena pohon menyediakan buah, ulat (serangga) dan nektar sebagai makanan burung sehingga pilihan penghijauan menjadi sangat penting untuk kelangsungan kehidupan burung. Tanaman mangove merupakan tumbuhan yang memiliki peranan menonjol bagi burung karena dapat digunakan untuk berlindung, membangun sarang dan menyediakan berbagai makanan bagi burung (Wibowo, 2004). Sebagian besar jenis kuntul menghuni daerah tropis dan subtropis. Biasanya mereka menjadikan daerah perairan atau lahan basah dan sekitarnya sebagai habitat. Seluruh aktivitas hidupnya bergantung pada keberadaan daerah tersebut. Hal ini berkaitan dengan fungsi daerah tersebut sebagai penunjang aktivitas hidup yang menyediakan tenggeran dan makanan yang melimpah bagi makhluk hidup di sekitarnya (Davies et al, 1996 ). Perilaku sosial (Social behaviour), yang didefinisikan secara luas adalah setiap jenis interaksi antara dua hewan atau lebih, umumnya dari spesies yang sama. Meskipun sebagian besar spesies yang bereproduksi secara seksual harus bersosialisasi pada siklus hidup mereka dengan tujuan untuk bereproduksi, beberapa spesies menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam hubungan yang dekat dengan spesies sejenisnya. Interaksi sosial telah lama menjadi suatu fokus penelitian bagi scientis yang mempelajari perilaku (Campbell, 2002). Semua spesies burung merupakan subyek predasi, menunjukkan adaptasi perilaku yang berguna yntuk ketahanan diri. Perilaku ini ditujukan untuk perlindungan diri sendiri maupun kerabatnya, seperti: anggota yang lebih muda dan kelompoknya. Burung bereaksi terhapap stimuli bahaya melalui pendengaran dan penglihatan (Rukmi, 2002). Untuk menghindari musuh burung melakukan gerakan mengancam seperti misalnya merentangkan sayap lebar-lebar dan menegakkan kepala sehingga terlihat lebih besar dari ukuran sebenarnya. Burung-burung yang menjaga sarang atau memiliki anak yang masih kecil selain menakut-nakuti juga langsung menyerang pengganggunya. Selain semua bentuk pertahanan diri yang telah disebutkan sebelumnya, burung juga memiliki kecenderungan untuk berkelompok, terutama ketika musim biak. Pola ini berkaitan dengan habitat yang mendukungnya dan senantiasa berubah-ubah sesuai dengan musim berkembang 9 biak, selain itu faktor angin juga dapat mempengaruhi perubahan penyebaran burung tersebut (Susanti, 2007). Salah satu penyebab kemelimpahan burung pada suatu lokasi adalah ketersedian bahan makanan. Bahkan beberapa kelompok burung dapat hidup lestari hingga saat ini disebabkan telah berhasil menciptakan relung yang khusus bagi dirinya sendiri untuk mengurangi kompetisi atas kebutuhan sumber daya dan sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan. Egretta garzetta, E. sacra, dan Ardea cinerea merupakan burung air yang biasa mencari mangsa di daerah pesisir pantai atau muara sungai yang berlumpur (Elfidasari & Junardi, 2006). Signifikasi adaptif dari waktu homeothermy tergantung pada kondisi alamiah. Setiap induk membangun lingkungan sarang yang efektif agar seimbang selama masa pertumbuhan anakan burung yang bermanfaat untuk mengerami anakan, sehingga membebaskan kedua induk pada tahap awal untuk menyediakan makanan, atau mengurangi risiko induk yang diserang oleh predator. Tentu saja, keuntungan apapun harus dipertimbangkan dalam hal peningkatan reproduksi dalam jangka panjang yang cukup menghabiskan waktu, tenaga, atau risiko yang terlibat dalam membuat modifikasi lingkungan sarang. Seleksi termogulator terhadap kebiasaan anakan harus dipertimbangkan dengan cara yang sama (Dunn, 1975). 2.4 Faktor Keberhasilan Dalam Perkembangbiakan Setiap organisme memiliki kemampuan untuk hidup, dan berkembang biak pada habitat yang sesuai dengannya. Salah satu cara untuk mempertahankan hidupnya adalah dengan mempertahankan perilaku keseharian pada saat musim berbiak. Faktor yang sangat menentukan perilaku ini di antaranya habitat tempat tinggalnya meliputi keamanan dan ketersediaan sumber daya hayati yang dapat mendukung kelestariannya terutama pada saat berbiak, dimana organisme membutuhkan keamanan dan ketersediaan lebih baik dibandingkan pada saat tidak memasuki musim berbiak (Jumilawaty, 2006). Musim berbiak diduga dimulainya bertepatan dengan kelimpahanjumlah pakan (ikan dan krustacea) di daerah mencari makan yang terjadi pada musim penghujan (Elfidasari, 2008). Menurut Murtidjo (1988), secara umum ada tiga 10 periode perkembangan setelah menetas pada unggasyaitu periode starter (periode baru menetas), periode gower (periode pertumbuhan), dan periode layer (periode dewasa). Ketiga periode tersebut padasetiap jenis unggas berlangsung pada umur berbeda. Menurut Perrins & Birkhead (1983), salah satu faktor yang mendorong burung untuk melakukan perkembangbiakan adalah ketersediaan pakan. Pakan yang berlimpah akan menjamin pemeliharaan anakan berlangsung dengan baik. Jika persediaan makanan cukup berlimpah induk dapat memelihara seluruh anakan sama baiknya. Faktor lain yang menjadi penyebab kegagalan perkembangbiakan adalah telur yang busuk. Penyebab busuknya telur diduga berkaitan dengan buruknya cuaca pada saat musim berbiak. Hujan yang berlangsung terus menerus menyebabkan suhu lingkungan menjadi rendah dan tubuh induk selalu basah sehingga mengganggu proses inkubasi. Cuaca yang buruk juga dapat mengakibatkan induk sulit kembali setelah mencari makan, akibatnya proses pengeraman tidak dapat berlangsung dengan normal (Imanuddin & Mardiastuti, 2002). Jumlah anakan yang sukses diproduksi oleh kuntul dan sarang kuntul tergantung pada jumlah anakan yang menetas di sarang dan tingkat pengurangan induk berikutnya (yaitu, kematian anakan burung selama periode mengeramimembesarkan). Kedua parameter (anakan menetas persarang dan kelangsungan hidup anakan), menggambarkan jumlah habitat mencari makan yang sesuai dan/atau pasokan atau adanya pemangsa, di lahan basah di sekitarnya, terutama yang diperlukan untuk penyediaan makanan bagi anakan burung (Kelly dan Nur 2011). Jumlah telur yang diletakkan dalam sebuah sarang oleh induk burung biasanya berkaitan erat dengan jumlah anak yang dapat dibesarkannya sesuai dengan kondisi lingkungan terutama suplai makanan. Kenyataannya suplai makanan kadang-kadang sangat bervariasi dan sulit untuk memprediksi ketersediaan makanan pada saat membesarkan anak-anaknya nanti. Untuk memecahkan masalah keterbatasan makanan ini Pecuk memiliki strategi dengan cara menetaskan telurnya tidak secara bersamaan (Jumilawaty, 2004).