9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pijat Bayi 2.1.1 Manfaat stimulasi pijat terhadap pertumbuhan dan perkembangan Pijat menurut The American Massage Therapy Association (AMTA) merupakan manipulasi terhadap jaringan lunak secara manual, yang meliputi menimang, memberikan gerakan dan atau tekanan pada tubuh. Stimulasi pijat adalah salah satu stimulasi sentuh yang merupakan kontak fisik yang terjadi pada seseorang kepada orang lain (Field, 2003). Pijat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi, menangani gangguan otot, dan untuk menenangkan bayi. Pijat bayi merupakan stimulasi taktil dan kinestetik dini yang bermanfaat untuk perkembangan saraf dan memperkuat hubungan antara orang tua/pengasuh dengan bayinya (Pardew dan Bunse, 2005). Peranan stimulasi pijat dalam berbagai laporan penelitian, menunjukkan pengaruh yang bermakna terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Stimulasi pijat pada bayi kurang bulan, yang selama ini menjadi kontroversi mulai memberikan arah dan bukti yang bermanfaat pada proses adaptasi, sehingga proses pertumbuhan dan perkembangan tetap dapat berjalan secara optimal. Pengaruh positif pijat sangat banyak baik terhadap anak normal, bayi yang berisiko tinggi dan juga anak yang mengalami keterlambatan dan gangguan perkembangan. Berbagai penelitian mendapatkan pijat secara signifikan dapat meningkatkan pertumbuhan (pada bayi kurang bulan), mengurangi rasa nyeri, mengurangi masalah-masalah autoimun (seperti meningkatkan fungsi paru pada asma, 9 10 menurunkan kadar glukosa pada diabetes), meningkatkan fungsi imun (meningkatkan natural killer cells pada HIV dan kanker) dan meningkatkan kewaspadaan (alertness) dan performance. Pijat bermanfaat untuk anak yang mengalami gangguan perkembangan seperti gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif, autisme, palsi serebral, Sindroma Down dan anak yang mengalami gangguan perkembangan akibat dari ibu mempunyai riwayat depresi (Pardew dan Bunse, 2005). Suatu metanalisis yang didapat dari 19 penelitian terhadap bayi kurang bulan yang diberikan stimulasi taktil/kinestik, mendapatkan 72% bayi yang dipijat mengalami efek positif. Bayi yang dipijat mengalami penambahan berat badan yang lebih besar dan mampu melakukan tugas-tugas perkembangan lebih baik dibandingkan kelompok kontrol. Hasil ini tidak signifikan jika pijat yang dikerjakan memakai prosedur mengusap yang ringan/lembut, namun signifikan jika memberikan pijatan dengan tekanan yang lebih dalam, dimana reseptor-reseptor taktil dan tekanan dapat distimulasi (Pardew dan Bunse, 2005). Penelitian Field, dkk. (1986) mendapatkan bayi kurang bulan yang dipijat 3 kali per hari, selama masing-masing 15 menit, dalam waktu 10 hari, menunjukkan 47% mengalami penambahan berat badan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Bayi kurang bulan yang dipijat mengalami stres prilaku yang lebih sedikit, lebih aktif, lebih waspada dan responsif terhadap wajah dan suara pemeriksa serta gerakan bibirnya lebih terorganisasi dengan baik, yang diperiksa dengan skala Brazelton. Pada penelitian ini menggunakan sampel bayi kurang bulan 9 minggu, dan telah mendapatkan perawatan 3 minggu di ruang perawatan intensif sebelum penelitian dikerjakan. 11 Penelitian terhadap bayi berat lahir rendah (< 2.500 g) dan kurang bulan (umur kehamilan < 37 minggu) mendapatkan bayi yang diberikan stimulasi pijat mengalami penambahan berat badan rata-rata 5 gram per hari, penurunan masa rawat di ruang NICU selama 5 hari, penurunan kejadian komplikasi postnatal, dan meningkatkan berat badan pada umur 4-6 bulan (Vickers, dkk. 2004). Suatu systematic review dari 18 penelitian acak kontrol dan metaanalisis 12 penelitian acak kontrol, mendapatkan bayi yang diberikan pijat atau stimulasi sentuh dapat meningkatkan berat badan, memperbaiki respon perilaku, menurunkan lama rawat, meningkatkan hubungan (bonding and attachment) dan menurunkan depresi pada orang tua (Livingston, dkk. 2007). Bayi kurang bulan yang dilakukan usapan (stroking) dan fleksi serta ekstensi ekstremitas selama 10-15 menit, 3 kali sehari, selama 2-4 minggu, mendapatkan penambahan berat badan sebesar 21-47% lebih besar dibandingkan kelompok kontrol, mineralisasi tulang yang lebih tinggi, lama rawat yang lebih singkat, respon motorik dan perilaku yang lebih optimal (Hernandez-Reif, dkk. 2001). Pijat bayi tidak hanya bermanfaat bagi bayi yang dipijat, tetapi berdampak pada orang dewasa yang melakukan pijat tersebut. Penelitian Field (1998) memakai tenaga sukarelawan tua (nenek) untuk membantu melakukan pijat bayi di suatu tempat perlindungan bayi yang terlantar. Sukarelawan tua dilaporkan mengalami tingkat kecemasan, gejala depresi yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Kadar hormon stres (kortisol) menurun dan terjadi perubahan mood setelah mengerjakan pijat bayi. 12 Stimulasi sensori yang kurang akan menginduksi ketidakstabilan fisiologi, keterlambatan perkembangan perilaku dan adanya reaksi neurologis. Sentuhan dapat mengontrol tingkat alertness bayi kurang bulan dan pengaturan perilaku dapat diperbaiki. Metode sentuhan yang dapat dilakukan untuk dapat mengurangi stres yang dialami pada bayi-bayi kurang bulan, antara lain: skin-to-skin contact (Kangaroo care); metode Yakson; Gentle Human Touch (GHT), dll (Im dan Kim, 2008). Suatu penelitian dengan menggunakan metode GHT memberikan stimulasi sentuh selama 12 menit, 4 kali perhari selama 10 hari, pada bayi kurang bulan yang diintubasi dan dalam ventilasi mekanik. Pada bayi yang diberi sentuhan didapatkan terjadi perubahan perilaku positif seperti penurunan aktivitas, lebih tenang dan lebih sering membuka kedua tangannya yang menandakan bayi dalam kondisi yang lebih relaks. Dengan metode yang sama Harrison (2001) mendapatkan bayi yang diberikan terapi sentuhan mempunyai serum kortisol yang lebih rendah; berat badan yang lebih berat; skor morbiditas lebih rendah; lebih sedikit mendapatkan terapi oksigen; lama rawat lebih pendek; tingkat tidur aktif , aktivitas motorik, dan distres perilaku yang lebih rendah (Im dan Kim, 2008; Harrison, 2001). Bayi-bayi kurang bulan yang mendapatkan terapi sentuh dengan metode Yakson, dilaporkan lebih nyaman, dapat menurunkan stres dan memberikan efek positif, asupan total perhari lebih banyak, denyut jantung lebih rendah, dibandingkan dengan kelompok kontrol (Im dan Kim, 2008). Sementara beberapa peneliti mendapatkan dengan metode Kangaroo Care, bayi-bayi kurang bulan menunjukkan temperatur tubuh, respiratory rates, saturasi oksigen yang stabil, dan dapat meningkatkan pola tidur yang tenang (Harrison, 2001). 13 2.1.2 Mekanisme dasar pijat bayi Pijat bayi mempunyai banyak pengaruh positif, namun mekanisme yang mendasari masih belum jelas diketahui. Beberapa teori tentang mekanisme pijat dikemukakan oleh beberapa pakar. Mekanisme dasar ini didapatkan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan. 2.1.2.1 Pengeluaran beta-endorphin Stimulasi pijat dapat meningkatkan pengeluaran beta-endorphin yang akan dapat meningkatkan pertumbuhan. Pada penelitian terhadap tikus, ibu tikus yang tidak memberi rangsangan taktil (menjilat-jilat) akan memberikan dampak pada bayinya berupa: penurunan enzim ODC (ornithine decarboxylase), suatu enzim untuk pertumbuhan sel, penurunan pengeluaran hormon pertumbuhan, dan penurunan kepekaan ODC jaringan terhadap pemberian hormon pertumbuhan. Pengurangan sensasi taktil akan menurunkan pengeluaran suatu neurochemical beta-endorphin, yang akan mengurangi pembentukan hormon pertumbuhan dengan penurunan jumlah dan aktivitas ODC jaringan (Roesli, 2007). 2.1.2.2 Aktivitas nervus vagus Field dan Schanberg mendapatkan bayi yang diberikan pijat bayi akan terjadi peningkatan tonus nervus vagus. Peningkatan aktivitas nervus vagus akan meningkatkan produksi enzim penyerapan seperti gastrin dan insulin, sehingga penyerapan makanan menjadi lebih baik. Penyerapan makanan yang lebih baik ini yang menyebabkan berat badan bayi lebih meningkat dibandingkan dengan bayi yang tidak dipijat. Suatu penelitian di Swedia juga mendapatkan bayi yang dipijat dapat meningkatkan tonus 14 vagus (heart rate lebih lambat selama diberi feeding) dan katekolamin serta pengeluaran hormon-hormon penyerapan makanan seperti insulin, gastrin, glukosa dan cholecystokinin (Field, 2003; Roesli 2007). 2.1.2.3 Peningkatan neurotransmitter serotonin Pijat bayi dapat meningkatkan aktivitas neurotransmitter serotonin, yaitu meningkatkan glucocorticoid receptor-binding capasity sehingga akan terjadi penurunan kadar hormon glukokortikoid seperti adrenalin atau hormon stres lain. Keadaan ini akan meningkatkan daya tubuh terutama Imunoglobulin (Ig) G, IgA dan IgM (Clancy, 1998; Roesli, 2007). 2.1.2.4 Perubahan gelombang otak Pijat bayi dapat mengubah gelombang otak. Pada pemeriksaan EEG (Electro enephalogram) terjadi penurunan gelombang alpha dan peningkatan gelombang beta dan tetha. Gelombang ini akan membuat bayi tidur lelap dan saat terbangun akan berada dalam keadaan siaga (full alert) (Dieter, dkk. 2003; Roesli, 2007). 2.1.3 Teknik pijat bayi Tujuan utama pijat bayi adalah tidak hanya menyediakan terapi ataupun mengganti intervensi lainnya tapi untuk meningkatkan interaksi pengasuh dengan bayinya dan meningkatkan kenyamanan bayi. Pijat bayi diberikan oleh pengasuh rutin setiap hari di rumah. Anak yang sakit atau mengalami kondisi medis kronis sebaiknya diperiksa oleh dokter atau terapis apakah pijat dapat diberikan atau dilakukan teknik yang dimodifikasi. Tiga komponen yang harus diperhatikan dalam melakukan pijat bayi yaitu: 1) terfokus pada membangun interaksi positif, 2) melibatkan keluarga dalam melakukan pijat, dan 3) menggunakan pijat pada aktivitas sehari-hari. Gerakan pijat dasar yang 15 dilakukan meliputi: 1) mengusap (effleurage) yaitu gerakan mengusap pelan dan lama pada badan, tungkai atau kepala, yang berfungsi untuk menenangkan dan mengurangi ketegangan, 2) tekanan (pressure touch) dengan menggunakan telapak tangan. Tekanan kuat dilakukan pada badan. Pada daerah tangan atau kaki dilakukan dengan memakai ibu jari. Tujuan gerakan ini adalah untuk menenangkan dan mengurangi ketegangan, dan 3) meremas (kneading) dilakukan pada badan dan tungkai untuk meningkatkan sirkulasi. Bayi pada posisi pronasi. Jari-jari yang dipakai meremas, digerakkan melengkung membentuk huruf ”C”. Tekanan lembut diberikan dan dilakukan gerakan pelepasan ke arah jantung dan ke bawah; 4) pemerahan (milking). Dilakukan pada tungkai dengan tujuan meningkatkan sirkulasi. Jari-jari yang dipakai memerah melengkung membentuk huruf ”C”, dilakukan gerakan memerah dari pangkal paha ke bawah, bahu ke bawah, kemudian pada kaki dan tangan (Pardew dan Bunse, 2005). Penggunaan minyak pijat seperti minyak bunga matahari dalam melakukan pijat bayi memberikan efek yang lebih baik dibandingkan tidak memakai minyak pijat. Bayi yang dipijat menggunakan minyak pijat mencapai berat badan yang lebih berat dibandingkan kelompok yang tidak memakai minyak pijat (Arora, dkk. 2005). 2.1.4 Tahap-tahap stimulasi pijat pada bayi kurang bulan Tahap-tahap stimulasi pijat pada bayi kurang bulan terdiri dari (UKK Tumbuh Kembang Pediatri-Sosial IDAI, 2008): (1) Rangsangan taktil/raba - Bayi dalam posisi ditengkurapkan (pronasi) - Tiap gerakan dilakukan dalam waktu 2 x 5 detik 16 - Tiap gerakan diulang enam kali - Dikerjakan selama lima menit a. Pijatan Kepala: - Letakkan tangan di puncak kepala - Usap dari puncak kepala sampai pangkal leher - Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik - Diulang sampai 6 kali b. Pijatan Bahu: - Letakkan tangan di bahu - Usap dari bahu sampai pangkal lengan - Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik - Diulang sampai 6 kali c. Pijatan Punggung - Letakkan tangan di pangkal leher - Usap dari pangkal leher sampai pantat - Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik - Diulang sampai 6 kali d. Pijatan Kaki Belakang: - Letakkan tangan di pantat - Usap dari pantat sampai telapak kaki - Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik - Diulang sampai 6 kali 17 e. Pijatan Lengan: - Letakkan tangan di pangkal bahu - Usap dari pangkal bahu sampai telapak lengan - Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik - Diulang sampai 6 kali (2). Rangsangan kinestetik - Bayi dalam keadaan ditelentangkan (supinasi) - Tiap gerakan dilakukan dalam waktu 2 x 5 detik - Tiap gerakan diulang enam kali - Dikerjakan selama lima menit a. Menekuk siku - Letakkan tangan di siku - Menekuk siku dilakukan 2 x 5 detik - Diulang sampai 6 kali b. Pijatan telapak tangan - Letakkan tangan di pergelangan tangan - Menekuk dan memijat telapak tangan - Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik - Ulang sampai 6 kali c. Pijatan telapak kaki - Letakkan tangan di pergelangan kaki - Menekuk dan memijat telapak kaki 18 - Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik - Ulang sampai 6 kali d. Menekuk lutut - Letakkan tangan di lutut - Menekuk lutut dilakukan 2 x 5 detik - Ulang sampai 6 kali e. Menekuk kedua kaki - Memegang kedua pergelangan kaki - Menekuk kaki ke arah perut - Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik - Ulang sampai 6 kali Sebelum melakukan pemijatan, beberapa hal yang sebaiknya dilakukan (Roesli, 2007): a. Mengatakan pada bayi bahwa akan dipijat b. Tangan bersih dan hangat c. Pastikan agar kuku dan perhiasan tidak menggores kulit bayi d. Waktu terbaik memijat adalah saat bayi alert dan tidak baru selesai minum e. Secara khusus menyediakan waktu untuk tidak diganggu minimum selama 15 menit guna melakukan seluruh tahap pemijatan f. Siapkan minyak bayi (baby oil) atau krim (lotion) yang lembut g. Awali pemijatan dengan melakukan sentuhan ringan, kemudian secara bertahap tambahkan tekanan pada sentuhan 19 2.1.5 Efek merugikan dari stimulasi pijat bayi Sampai dengan laporan penelitian terakhir, diasumsikan bahwa stimulasi pijat mungkin tidak cocok untuk bayi kurang bulan di bawah 1500 gram, yang diasumsikan lebih lemah (ringkih) dan bereaksi negatif terhadap rangsangan. Pada faktanya lebih dari 20 tahun penelitian tentang stimulasi pijat pada bayi kurang bulan, tidak ada efek merugikan yang dilaporkan pada bayi kurang bulan di bawah 1500 gram setelah menerima stimulasi pijat (Dieter, dkk. 2003). 2.2 Sistem Imun Bayi Kurang Bulan Perkembangan sistem kekebalan tubuh terjadi sejak awal kehidupan. Limfosit, Antigen Precenting Cell (APC) dan sel fagosit semua berasal dari sel induk pluripoten dalam yolk sac manusia pada 21 hari usia kehamilan. Pada minggu kelima, hati, limpa, timus dan sumsum tulang mengambil alih produksi sel-sel ini (Hayward, 1998). Pada umur kehamilan 22-23 minggu, neutrofil polymorphonuclear matur dari sistem kekebalan tubuh bawaan (innate), jumlahnya sedikit yaitu sekitar 2%, diukur dari dalam darah tali pusat neonatus (Ohls, dkk. 1995). Saat lahir, baik bayi cukup bulan atau kurang bulan, sel fagositik, sel mononuklear, sel natural killer, secara fungsional kompeten dalam keadaan normal. Jika di bawah tekanan, kemampuan dan kapasitas fungsionalnya terganggu, yang menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi selama periode neonatal. Defisit tersebut akan lebih berat pada bayi kurang bulan (Kapur, dkk. 2002). Pada penelitian in vitro, sel B janin ditemukan memiliki kemampuan untuk memproduksi IgM saat umur kehamilan 8 minggu, kemudian IgG meningkat sedikit (Hanson, dkk. 1997; Hayward, 1998; Kapur, dkk. 2002). Antibodi IgG sudah dapat 20 dideteksi pada janin sebelum usia kehamilan 5-6 minggu, berasal dari ibu dan melintasi plasenta, dan hanya IgG yang mampu melewati plasenta (Hanson, dkk. 1997). Meskipun janin mampu memproduksi antibodi, tetapi kapasitas produksi antibodi-total saat lahir masih jauh lebih rendah dari pada orang dewasa. Pada saat lahir, sebagian besar antibodi yang beredar adalah IgG yang berasal dari ibu. Konsentrasi IgG postnatal menurun karena katabolisme IgG ibu dan mencapai keadaan hypogammaglobulinemia fisiologis, sekitar usia 3-4 bulan. Produksi IgG optimal dicapai pada usia 4-6 tahun (Kapur, dkk. 2002). Subklas IgG1 dan IgG3 mencapai tingkat dewasa lebih cepat dari IgG2 dan IgG4. Tingkat IgM beredar saat lahir hanya 5-20% dari nilai dewasa (Hayward, 1998; Kapur, dkk. 2002) dan mencapai tingkat optimal pada usia 1-2 tahun (Kapur, dkk. 2002). Pada tingkat dewasa IgA dalam serum dicapai pada fase pubertas (McDonald, dkk. 1996; Kapur, dkk. 2002). Diferensiasi dan maturitas fungsional sel T, muncul dalam minggu ke-8 kehidupan janin (Hayward, 1998), dan dianggap lengkap pada saat 18-20 minggu kehamilan (Hanson, dkk. 1997). Saat lahir, baik bayi kurang bulan atau bayi cukup bulan, jumlah sel T helper masih rendah, fungsi suppresor dan sitotoksik serta produksi sitokin belum optimal (Hanson, dkk. 1996; 1997). Hal ini meningkatkan kerentanan terhadap infeksi intraseluler dan parasit (Hanson, dkk. 1997). Status immunodefisiensi relatif terjadi akibat ketidak matangan fungsional dari sel T, yang berlanjut paling tidak sampai usia 4-5 tahun (Pirenne, dkk. 1992). Pematangan dari sistem imun adalah suatu proses yang berkesinambungan, dimulai pada minggu-minggu pertama kehidupan janin dan berlangsung sampai menjadi dewasa (Schultz, dkk. 2000). Dua tahun pertama kehidupan pasca natal dianggap 21 membentuk suatu periode sensitif selama proses maturasi imunologi sel Th berlangsung, dan dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik dan ekstrinsik (Yabuhara, dkk. 1997; Macaubas, dkk. 1999). 2.2.1 Proliferasi, diferensiasi dan aktivasi limfosit T Perlawanan terhadap mikroba pada tahap awal dimediasi oleh respon imun alami/ innate immunity, kemudian diikuti respon selanjutnya yaitu respon imun adaptif. Respon imun adaptif distimulasi oleh adanya paparan agen infeksi. Komponen utama dari respon ini adalah limfosit dan produk-produk sekresinya berupa antibodi. Respon imun adaptif terdiri dari imunitas humoral dan imunitas selular (cell-mediated immunity/CMI). Imunitas selular dimediasi oleh limfosit T / sel T, sedangkan imunitas humoral dimediasi oleh antibodi yang diproduksi oleh limfosit B / sel B (Abbas, dkk. 2007a). 22 Gambar 2.1 Tipe imunitas adaptif (Abbas, dkk. 2007a) Perkembangan sel T dimulai dari area korteks, kemudian mengalami diferensiasi di daerah medula. Jumlah sel T meningkat pada usia janin 19 minggu dan terus berlanjut sampai bayi lahir. Jumlah sel T meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 6-9 bulan, kemudian menurun hingga menjadi matur pada usia 6-7 tahun Sel-sel APC dalam medula akan melakukan seleksi terhadap sel T yang memiliki TCR terhadap otoantigen. Sel T CD4+ dan CD8+/ T sitotoksik mengenal antigen melalui MHC (Major histocompatibility complex) kelas II dan MHC kelas I (Arkachaisri dan Ballow, 1999). Aktivitas sel T terhadap sistem imunitas adalah sebagai mediasi sel B terhadap antigen, mengenal dan menghancurkan sel APC, memproduksi berbagai sitokin dan 23 limfokin yaitu substan aktivator makrofag, mediator inflamasi, kemotaktik, mitogen limfosit dan interferon (Arkachaisri dan Ballow, 1999). Perkembangan respon imun selular terjadi setelah adanya perkembangan respon imun humoral. Peran limfosit T adalah sebagai efektor pada respon imun seluler dan regulator yang mengatur respon imun seluler dan humoral. Respon imun ini meliputi selsel efektor limfosit T yang dapat mengenal antigen spesifik di permukaan sel. Jika terjadi paparan antigen, maka akan terjadi aktivasi sel T. Sel T yang diaktivasi akan menjadi lebih besar, mengalami siklus mitotik, dan berkembang menjadi sel efektor. Sel T helper (Th) akan memproduksi limfokin. Sel-sel Th1 berinteraksi dengan phagosit mononuklear dan menghancurkan patogen intraselular. Sel Th2 berinteraksi dengan sel B sehingga terjadi proliferasi dan diferensiasi sel B serta pengeluaran antibodi (Arkachaisri dan Ballow, 1999; Akbar dan Cook, 2006). Gambar 2.2 Fase-fase respon imun adaptif (Abbas, dkk. 2007a) 24 2.2.2 Penanda infeksi dengan nilai prognostik pada bayi kurang bulan Kemokin dan sitokin adalah mediator endogen yang mengatur kaskade inflamasi dari tubuh manusia (Romagnani, 2000). Interaksi antara sitokin proinflamasi (IL-6, TNF-α, IFN) dan mediator anti-inflamasi (IL-4, IL-10) mempunyai peranan penting dalam manifestasi klinis dan luaran dari keadaan infeksi atau inflamasi pada neonatus (van Dissel, dkk. 1998; Taniguchi, dkk. 1999). Sitokin proinflamasi terutama bertanggung jawab untuk memulai suatu pertahanan yang efektif terhadap patogen eksogen. Kelebihan produksi mediator ini bisa berbahaya dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan. Sebaliknya, sitokin anti-inflamasi sangat penting untuk downregulating proses perburukan peradangan dan menjaga homeostasis tubuh, tetapi tidak mendapatkan respon anti-inflamasi yang berlebihan juga dapat mengakibatkan penekanan fungsi kekebalan tubuh (van Dissel, dkk. 1998; Taniguchi, dkk. 1999; Sulivan, dkk. 2002). Konsentrasi IL-10 yang tinggi atau rasio IL-10:TNF-α tinggi dapat menunjukkan prognosis buruk dan peningkatan mortalitas pada pasien demam dewasa (van Dissel, dkk. 1998). Laporan lain menemukan rasio IL-6/IL-10 yang tinggi mungkin berhubungan dengan luaran yang buruk pada pasien dengan infeksi berat (Taniguchi, dkk. 1999). Bukti tersebut mendukung hipotesis bahwa aktivitas proinflamasi berlebihan ditambah dengan kompensasi anti-inflamasi yang tidak memadai dapat mengakibatkan syok, disfungsi multiorgan, dan kematian. Data terakhir dari penelitian tentang bayi berat lahir sangat rendah juga menunjukkan bahwa kedua mekanisme counterregulatory proinflamasi dan anti-inflamasi mungkin mulai bekerja pada saat awal kehamilan. Infeksi berat pada neonatus dengan koagulasi intravaskular diseminata menunjukkan peningkatan proporsional IL-6, IL-10, konsentrasi TNF-α, IL-10/TNF-α, atau rasio IL-6/IL-10 dalam 25 plasma (Ng, dkk. 2004). Peningkatan sementara dalam konsentrasi dan rasio tidak selalu menunjukkan hasil yang buruk, karena indeks turun drastis setelah pengobatan berhasil. Mediator utama seperti IL-6, TNF-α, dan IL-10 memainkan peran penting dalam menyeimbangkan risiko dan manfaat dari kaskade inflamasi selama keadaan infeksi dan inflamasi. Kemajuan terbaru dalam teknologi flow cytometric memungkinkan pengukuran kuantitatif mediator inflamasi dengan volume darah yang minimal, sehingga akan sangat baik untuk menilai sitokin dan proses patofisiologi keadaan stress karena infeksi dan inflamasi pada bayi baru lahir (Kuster, dkk. 1998). Interferon gamma (IFN-γ) yang dihasilkan dari aktivasi sel T CD4+, akan menyebabkan terjadinya imunitas selular yang meningkat, dimana aktivasi makrofag juga akan semakin meningkat. Aktivasi makrofag ini akan meningkatkan sintesis IL-1 sehingga mempunyai efek sistemik. Interleukin-1 dapat menginduksi IL-6 baik secara langsung maupun tidak langsung. Adanya IL-1 dan IL-6 ini akan dapat meningkatkan proses fagositosis (Abbas, dkk. 2007b). Prosentase dan jumlah absolut sel T CD4+ lebih tinggi pada neonatus dibandingkan orang dewasa, dan kemudian turun setelah lahir. Sedangkan presentase dan jumlah absolut sel T CD8+ saat lahir lebih rendah dari orang dewasa dan terus meningkat sampai usia 5 tahun. Perubahan subpopulasi sel T CD4+ dan CD8+ dapat dilihat dari ratio CD4+/CD8+ yang tinggi pada usia perinatal yaitu 4,9:1 dan turun pada usia anak 4 tahun sampai mencapai nilai dewasa dengan ratio 2:1. Sel-sel T jumlahnya lebih banyak karena jumlah limfosit absolut pada bayi normal jumlahnya juga lebih banyak (Arkachaisri dan Ballow, 1999; Buckley, 2007). 26 Jumlah absolut atau proporsi sel T total, sel Th, sel T supresor atau sel T sitotoksik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada bayi kurang bulan dan bayi cukup bulan. Dalam keadaan distress bayi kurang bulan mempunyai sel T CD4+ yang lebih rendah, yang bersifat sementara dan pulih dalam 3 minggu (Arkachaisri dan Ballow, 1999). Sementara pada suatu studi mendapatkan kadar sel T CD4+ pada bayi kurang bulan sehat atau yang mengalami distres perinatal dan bayi cukup bulan ada hubungannya dengan usia kehamilan. Sedangkan sel T CD8+ tidak berhubungan dengan usia kehamilan (Arkachaisri dan Ballow, 1999). Gambar 2.3 Fungsi-fungsi sitokin dalam mekanisme pertahanan tubuh (Abbas, dkk. 2007b) 27 2.3 Interleukin-6 (Il-6) dan Tumor Necrotic Factor-Alfa (TNF-α) Kemokin, sitokin, molekul adhesi adalah komponen dari sistem imun tubuh. Kelompok penanda infeksi ini secara luas dipelajari pada pertengahan dan akhir tahun 1990-an. Walaupun secara luas diyakini bahwa bayi kurang bulan serta bayi yang baru lahir memiliki respon inflamasi yang immature, sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa bayi menunjukkan persentase lebih tinggi terhadap IL-6 dan IL-8 daripada orang dewasa (Schultz, dkk. 2002). Dari berbagai mediator yang dipelajari, perhatian banyak difokuskan pada IL-6, IL-8 dan TNF-α. Interleukin-6 merupakan sitokin yang penting dari respon host terhadap infeksi awal. Kadar konsentrasinya meningkat tajam setelah terpapar produk bakteri dan mendahului peningkatan C-reactive protein (CRP). Interleukin-6 dari darah tali pusat secara konsisten terbukti menjadi penanda sensitif untuk mendiagnosis infeksi neonatal dalam waktu 72 jam kelahiran, sensitifitas dan nilai-nilai prediktif negatif sekitar 87100% dan 93-100% (Messer, dkk. 1996; Berner, dkk. 1998; Smulian, dkk. 1999). Hasil kurang memuaskan dari beberapa penelitian (Lehrnbecher, dkk. 1995; 1996) mungkin akibat penggunaan metode tes yang kurang sensitif (Mehr dan Doyle,. 2000). Interleukin6 sama efektif sebagai penanda diagnostik untuk infeksi nosokomial onset lambat pada bayi kurang bulan, kurang bulan atau kondisi stressful (Ng, dkk. 1997; Kuster, dkk. 1998). Pada awal infeksi atau inflamasi, IL-6 memiliki sensitivitas tertinggi (89%) dan nilai negatif prediktif sebesar 91% dibandingkan dengan penanda biokimia lain, termasuk CRP, IL-1β, TNF-α dan E-selectin (Ng, dkk. 1997). Namun IL-6 memiliki paruh yang sangat pendek, dan konsentrasi turun drastis jika bayi mendapat penatalaksanaan dan 28 perawatan yang tepat, sehingga tidak terdeteksi pada bayi yang terinfeksi dalam waktu 24 jam (Buck, dkk. 1994; Ng, dkk. 1997;). Sensitivitas IL-6 menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Konsentrasi jauh lebih rendah pada 24 jam yaitu 67% dan 48 jam sebesar 58%. Interleukin-6 dapat dianggap sebagai penanda awal dan sensitif terhadap infeksi dan inflamasi neonatal (Ng, dkk. 1997). Secara klinis pengukuran IL-6 (awal dan peka) kombinasi dengan CRP (lambat dan spesifik) dalam 48 jam pertama episode sepsis terbukti menghasilkan sensitivitas lebih baik daripada penanda sepsis yang berdiri sendiri (Messer, dkk. 1996; Ng, dkk. 1997; Doellner, dkk. 1998; Kallman, dkk. 1999; Doelner, dkk. 2001a). Selain itu, sebuah studi telah menunjukkan bahwa penggunaan IL-6 dan TNF-α bersama-sama dapat memprediksi sepsis neonatorum dua hari sebelum manifestasi klinis dan dapat menyebabkan inisiasi awal pengobatan antimikroba dengan hasil klinis yang lebih baik (Kuster, dkk. 1998). Dalam banyak aspek, karakteristik dan sifat kinetika IL-8 dan TNF-α sangat mirip dengan IL-6. Keduanya merupakan kemokin proinflamasi atau sitokin yang diproduksi secara dominan oleh fagosit, diaktifkan sebagai respon terhadap kondisis stres karena infeksi dan peradangan. Respon proinflamasi tersebut tidak terpengaruh oleh usia kehamilan atau kondisi bayi yang baru dilahirkan. Dalam kedua keadaan sepsis onset awal dan akhir, IL-8 dan TNF-α secara substansial lebih tinggi pada bayi baru lahir yang terinfeksi dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi (Edgar, dkk. 1994; Berner, dkk. 2000; Nupponen, dkk. 2001). Interleukin-8 dianggap penanda sangat akurat dengan sensitivitas berkisar antara 80% sampai 91% dan spesifitas 76% sampai 100% (Berner, dkk. 2000; Nupponen, dkk. 29 2001). Kombinasi IL8, TNF-α dan CRP juga berguna dalam membatasi penggunaan antibiotik yang tidak perlu. Meskipun TNF-α telah terbukti menjadi mediator penting dalam patofisiologi syok septik dan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kegunaannya sebagai penanda diagnostik tunggal belum ditemukan sebaik seperti IL-6 atau IL-8 yang dianggap sesuai untuk aplikasi klinis pada bayi baru lahir (Doellner, dkk. 2001a,b; Santana, dkk. 2001). 2.3.1 Tumor Necrotic Factor-Alfa (TNF-α) Tumor Necrotic Factor-alfa (TNF-α) merupakan salah satu faktor inflamasi yang dilepas oleh makrofag, sel T, timosit, sel B atau sel NK. Tumor Necrotic Factor-alfa merupakan salah satu sitokin yang diproduksi dan bekerja sebagai mediator pada imunitas non spesifik (Karnen, 2000a). Fungsi TNF-α adalah antineoplastik (langsung), menimbulkan panas, tidur dan respon fase akut sistemik, merangsang sintesis limfokin, kolagen dan kolagenase, mengaktifkan sel endotel dan makrofag, sebagai mediator inflamasi dan berperan dalam proses katabolik (Karnen, 2000a). Tumor Necrotic Factor merupakan mediator utama dari respon inflamasi akut, terhadap infeksi-infeksi bakteri gram negatif dan mikroba lain, yang bertanggung jawab terhadap berbagai komplikasi sistemik pada infeksi yang berat. Nama dari sitokin ini berawal dari faktor serum yang menyebabkan nekrosis tumor (Abbas, dkk. 2007b). Sumber utama dari TNF adalah phagocyte mononuclear yang teraktifasi. Sel T yang terstimulasi oleh antigen, sel-sel NK, dan sel-sel mast juga mensekresi TNF-α. Stimulus yang paling kuat untuk memproduksi TNF-α oleh makrofag melalui 30 engagement TLR (Toll-Like Receptor) dengan LPS (lipopolysaccharide) dan produkproduk mikroba lainnya. Sebagian besar dari sitokin ini diproduksi selama terjadinya infeksi oleh bakteri gram negatif, yang dikeluarkan oleh LPS. Interferon-γ yang diproduksi oleh sel T dan sel NK, menguatkan sintesis TNF oleh makrofag yang terstimulasi oleh LPS (Abbas, dkk. 2007b). Tumor Necrotic Factor mempunyai beberapa reseptor yaitu reseptor TNF p55 (TNFR1, CD 120a), TNFR p75 (TNFR2, CD120b) dan reseptor lymphotoxin-β (LTβR). Signaling melalui reseptor ini diinduksi oleh ikatan tiga ligan yang berbeda yaitu TNF, LTβ dan LTα. Tumor Necrotic Factor dipecah dari permukaan sel oleh TNF converting enzyme (TACE), yang diproduksi oleh sel efektor. TNF dan LTβ disintesis sebagai protein-protein tranmembran tipe 2 dan merupakan sitokin yang soluble setelah dipecah oleh TACE (Schluter dan Deckert, 2000). Tumor Necrotic-Alfa dan LTβ dapat berikatan dan mengaktifkan TNFR1 dan TNFR2. Lymphotoxin-β dapat berikatan dengan LTβR. Tumor Necrotic Factor Receptor-1 dan TNFR2 dapat juga dipecah dari permukaan sel target. Tumor Necrotic Factor Receptor yang berikatan dengan ligan TNF dapat berfungsi sebagai antagonis atau agonis bioaktivitas TNF (Schluter dan Deckert, 2000). Reseptor TNF merupakan anggota dari famili protein yang besar, yang berperan dalam respon imun dan inflamasi. Aktivasi TNFR1 berhubungan dengan respon spesifik organ dan selular yang meliputi cytotoxicity, induksi dan produksi sitokin, MHC class I and II cell surface expression, cell adhesion molecule expression, inhibisi cell growth, apoptosis, perbaikan dan kerusakan jaringan, neurotoksisitas dan neuroproteksi. Sedangkan ekspresi TNFR2 berhubungan dengan proliferasi thymocyte, nekrosis kulit 31 yang dimediasi TNF, proliferasi sel T dan apoptosis. Signaling TNFR1 diperlukan untuk reaksi imun terhadap sebagian besar infeksi bakteri, sedangkan peran TNFR2 minimal bahkan hampir tidak berperan pada infeksi bakteri. Signaling TNFR1 terutama penting dalam aktivasi makrofag, neutrofil untuk membunuh agen-agen infeksius, produksi NO, induksi respiratory burst, produksi kemokin dan membentuk granuloma. Pada infeksi virus yang lebih berperan adalah TNFR2. Signaling TNFR pada infeksi virus mempunyai efek yang berbeda, yaitu sebagai aktivitas anti virus dan juga menyebabkan kerusakan organ (Schluter dan Deckert, 2000). Dua permukaan sel reseptor untuk TNF α, yaitu reseptor TNF α 1 dan 2 (TNFR1 dan TNFR2) (dengan ukuran masing-masing 55 dan 75 kDa) telah diketahui dan diidentifikasi (Hohmann, dkk.1990). Dua reseptor ini memediasi jalur dan respon inflamasi yang berbeda tetapi tidak dapat dibedakan dengan cara farmakologis (Vilcek dan Lee, 1991). Lymphotoxin-α (LT-α) juga berikatan dengan reseptor yang sama seperti TNF-α, akibatnya administrasi TNF-α dan LT-α menyebabkan respons biologis yang sama secara in vivo dan in vitro (Beutler B, 1999). Redundansi dalam mengikat reseptor dan pola ekspresi yang tumpang tindih, membuat perbedaan antara fungsi TNF-α dan LTα agak sulit. Pada pemeriksaan kinetik reseptor TNF-α (TNFR 2) yang terlarut plasma, dalam merespon pelepasan sitokin TNF-α, menunjukkan bahwa ikatan TNF-α dengan reseptor tersebut, proses binding, memiliki fase awal sangat cepat, maksimal pada 30 menit setelah terpapar oleh sitokin dan berakhir sekitar 60 menit kemudian. Fase kedua binding dimulai 2 jam pasca paparan sitokin. Pemeriksaan kadar TNF-α reseptor lebih lanjut 32 memerlukan pemeriksaan serial dan berkelanjutan untuk melihat respon inflamasi yang terjadi (Aderka D, 1992). Gambar 2.4 Ligand dan reseptor TNF (Schluter dan Deckert, 2000) Fungsi fisiologik dari TNF adalah menstimulasi rekruitmen netrofil dan monosit ke tempat infeksi dan mengaktivasi sel-sel ini untuk mengeradikasi mikroba. TNF melakukan fungsi fisiologik ini melalui beberapa cara pada sel endotel vaskular dan leukosit. Beberapa mekanisme tersebut adalah (Abbas, dkk. 2007b): 1. Tumor Necrotic Factor menginduksi sel-sel endotel untuk mengekspresikan molekul-molekul adesi yang menyebabkan permukaan endotel adesif terhadap leukosit terutama netrofil yang kemudian diikuti oleh monosit dan limfosit. Molekul-molekul adhesi yang paling penting adalah selektin dan integrin. 33 2. Tumor Necrotic Factor menstimulasi sel-sel endotel dan makrofag untuk mensekresi kemokin dan menguatkan afinitas integrin leukosit terhadap ligandnya dan menginduksi kemotaksis dan rekruitmen leukosit. TNF juga menyebabkan phagosit mononuklear menstimuli sekresi IL-1. 3. Tumor Necrotic Factor menstimulasi aktivitas neutrofil dan makrofag Pada kadar rendah TNF berespon pada leukosit dan endotelium dalam menginduksi inflamasi akut. Pada kadar sedang, TNF dapat menyebabkan inflamasi sistemik, sedangkan pada kadar tinggi dapat menyebabkan abnormalitas patologik syok septik. Konsentrasi TNF dalam serum merupakan prediktor luaran infeksi gram negatif berat (Abbas, dkk. 2007b). Pada infeksi berat, TNF diproduksi dalam jumlah yang besar dan menyebabkan abnormalitas patologik dan klinis sistemik. Jika stimulasi produksi TNF sudah cukup kuat, jumlah sitokin yang diproduksi juga banyak, masuk ke aliran darah dan beraksi pada suatu tempat sebagai hormon endokrin. Reaksi sistemik TNF sbb. (Abbas, dkk. 2007b): 1. Tumor Necrotic Factor bereaksi pada hipothalamus dan menginduksi panas/fever, dan disebut sebagai pyrogen endogen. Produksi panas sebagai respon dari TNF dan IL-1, dimediasi oleh peningkatan sintesis prostaglandin oleh sel-sel hipothalamus yang terstimulasi oleh sitokin. 2. Tumor Necrotic Factor bekerja pada hepatosit yang dapat meningkatkan sintesis protein serum seperti serum amyloid A protein dan fibrinogen. Peningkatan protein plasma ini dinduksi oleh TNF, IL-1 dan IL-6 yang menyebabkan respon inflamasi fase akut. 34 3. Produksi TNF yang berkepanjangan, menyebabkan wasting otot dan sel-sel lemak yang disebut dengan kaheksia. Wasting terjadi karena TNF menekan napsu makan dan menurunkan sistesis lipoprotein lipase, suatu enzym yang diperlukan untuk pengeluaran asam lemak dari lipoprotein yang digunakan oleh jaringan. 4. Pada saat TNF diproduksi dalam jumlah yang besar, kontraktilitas miokardial dan tekanan vaskular otot polos dihambat, menyebabkan tekanan darah menurun dan terjadi syok. 5. Tumor Necrotic Factor menyebabkan trombosis intravaskular, terutama karena kehilangan antikoagulan endotelium. TNF menstimulasi ekspresi sel endotel jaringan, suatu aktivator koagulan poten, dan menghambat ekspresi trombomodulin, suatu inhibitor koagulan. Peningkatan endotel yang dieksaserbasi oleh aktivasi neutrofil, menyebabkan penyumbatan vaskular oleh sel-sel tersebut. Kemampuan sitokin ini yang menyebabkan nekrosis tumor, akibat dari trombosis pembuluh darah tumor. 6. Tingkat sirkuasi TNF yang tinggi menyebabkan gangguan metabolik berat, seperti kadar gula darah menurun. Hal ini karena adanya pemakaian glukosa yang berlebihan oleh otot dan kegagalan hati dalam mengganti glukosa. Pada proses inflamasi terjadi peningkatan permeabilitas vaskular yang memudahkan netrofil dan monosit memasuki jaringan yang mengalami inflamasi. Sel endotel mengkerut sehingga molekul-molekul besar dapat melewati dinding vaskular. Mobilisasi sel-sel lekosit dari sumsum tulang dan bergerak ke sirkulasi, merupakan pengaruh dari IL-1, TNF- α dan endotoksin. Sel endotel berperan dalam pengaturan tonus vaskular dan perfusi jaringan melalui pelepasan komponen vasodilator. Sel endotel 35 bereaksi cepat untuk meningkatkan ekpresi protein permukaan berupa protein selektin. Sel endotel dipengaruhi oleh TNF, IL-1 dan endotoksin sehingga sel endotel berpartisipasi aktif dalam respon inflamasi terutama ekspresi molekul adhesi seperti Pselektin, E-selektin (ELAM-1, endothelial-leukocyte adhesion molecule), ICAM-1 (Intercellular Adhesion Molecule) (Karnen, 2000b). Molekul protein selektin sebagai perantara terjadinya rolling pada sel endotel. Molekul Selektin P (tersimpan dalam granula sitoplasmik dan secara cepat dapat terdistribusi pada sel endotel karena pengaruh sitokin) dan Selektin E (sintesisnya terjadi setelah adanya paparan terhadap IL-1 dan TNF-α, terekspresi pada permukaan sel dalam 1 – 2 jam ). Tipe Selektin ketiga adalah L selektin (CD 62L) diekspresikan oleh limfosit dan sel leukosit lain. Selektin ini bertindak sebagai homing receptor untuk sel T virgin dan sel dendritik pada kelenjar getah bening. Selektin ini menyediakan pula kesempatan ikatan antara neutrofil dengan endotel terutama pada sel PMN neutrofil (Karnen, 2000b; Kumar, dkk. 2007; Abbas, dkk. 2007c). Selektin L dan ligan karbohidrat akan berikatan dengan Selektin P dan E dengan afinitas rendah, menyebabkan proses pergerakan berupa ikatan dan lepasan yang berulang ulang (disebut gerakan rolling) pada permukaan endotel. Saat ini pergerakan leukosit semakin lambat sehingga memungkinkan stimulus lanjutan yang akan bekerja pada leukosit (Abbas, dkk. 20007c). Molekul kemokin berupa peptida ukuran kecil dapat meningkatkan afinitas molekul integrin dan menstimulasi kemotaksis. Kemokin diproduksi oleh makrofag, sel endotel dan beberapa tipe sel sebagai respon terhadap adanya produk mikroba, IL dan TNF α. Kemokin diproduksi pada tempat infeksi, ditranspor ke dalam sel endotel pada permukaan lumen postcapillary venules, dan terikat dengan senyawa heparan sulfat 36 glikosaminoglikan. Kemudian akan terjadi ikatan antara kemokin dengan reseptornya pada permukaan leukosit yang sedang mengalami proses rolling. (Karnen, 2000b; Kumar, dkk. 2007; Abbas, dkk. 2007c). Molekul Integrin adalah keluarga molekul adesi yang terekpresi pada Leukosit. Molekul ini berada dalam keadaan low state jika tidak teraktivasi. Chemokine receptor signaling meningkatan afinitas integrin dengan ligannya serta menyebabkan membrane clustering. Hal ini menyebabkan peningkatan aviditas ikatan sel leukosit dengan permukaan sel endotel (Karnen, 2000b; Kumar, dkk. 2007; Abbas, dkk. 2007c). Setelah meningkatkan ekspresi molekul integrin, kemokin akan merangsang sel inflamasi untuk bermigrasi melalui celah antar endotel menuju tempat infeksi. Beberapa protein lain akan tereskpresi pula pada leukosit serta sel endotel (terutama protein CD31) dalam rangka migrasi sel leukosit menerobos endotel menuju jaringan ekstravaskuler. Leukosit juga diperkirakan memproduksi enzim yang mampu membuat mereka melewati dinding pembuluh darah (Karnen, 2000b; Kumar, dkk, 2007; Abbas, dkk. 2007c). 37 Gambar 2.5 Proses perekrutan leukosit PMN (Abbas, dkk. 2007c) 2.3.2 Interleukin-6 (IL-6) Interleukin-6 merupakan sitokin proinflamasi yang diproduksi oleh berbagai jenis sel seperti fibroblast, sel-sel endotel, monosit. IL-6 merupakan sitokin multifungsi yang berperan dalam diferensiasi dan pertumbuhan sel-sel haematopoietik, sel-sel B, sel-sel T, keratinosit, sel-sel saraf, osteoklas dan sel-sel endotel. Selain itu IL-6 juga memodulasi transkripsi beberapa gen hati selama fase inflamasi akut, menginduksi sintesis protein fase akut pada hepatosit, dan berperan dalam perkembangan fever. Berbagai penelitian mendapatkan hubungan antara tingkat IL-6 pada proses inflamasi berbagai penyakit seperti pada cairan sinofial, serum reumatoid artritis, tuberkulosis dan stroke (Robak, dkk. 1998; Ahmet, dkk., 2001; Craig, dkk., 2004). 38 Sitokin IL-6 diaktifkan baik perkembangan maupun diferensiasinya melalui suatu sistem reseptor spesifik yang diekspresikan pada permukaan sel target. Komplek reseptor IL-6 terdiri dari dua protein yang berbeda yaitu ligand 80-kDa yang berikatan dengan glycoprotein (IL-6R) dan gp 130 yang berfungsi untuk tranduksi signal selular (Robak, dkk. 1998). Pada awalnya IL-6 berikatan dengan subunit- α glikoprotein dengan afinitas rendah (80-kD) yang lebih dikenal dengan nama reseptor IL-6 (IL-6R) atau gp80. Kompleks IL-6/IL-6R ini menerima tranduksi signal subunit- β berupa glikoprotein dengan ukuran 130 kD atau sering disebut gp130 melalui ikatan kovalen. Pengikatannya dengan tranduksi signal gp30 tidak terjadi sendiri-sendiri yaitu IL-6 atau IL-6R melainkan terjadi setelah melalui pembentukan kompleks IL-6/IL-6R (Michael, dkk., 1997; Varghese,dkk. 2002). Struktur IL-6 berupa struktur protein 4- α helix termasuk golongan hematopoietin dalam penggolongan sitokin. Kedua subunit reseptor IL-6, IL-6R dan gp130 juga diklasifikasikan ke dalam kelompok famili reseptor sitokin hemapoietin. Bagian ekstraselulernya mengandung domain menyerupai fibronektin-III. Aktivitas IL-6 bersinergi dengan aktivitas IL-11, cilliary neutrophic factor (CNTF), leukemia-inhibitory factor (LIF), oncostatin-M (OSM) dan cardiotrophin-1 (CT-1) yang semuanya termasuk subfamili IL-6 sebagai akibat adanya peran aktif dari gp130 sebagai subunit tranduksi signal dalam responnya terhadap komplek reseptor dengan afinitas tinggi (Arzt, 2001; Varghese,dkk. 2002). Produksi IL-6 yang terjadi di sel-sel pituitary anterior, dimana sitokin ini berfungsi sebagai autokrin atau parakrin untuk meregulasi fungsi dan pertumbuhan pituitary maupun respon neuro-endokrin. Produksi IL-6 meningkat melalui berbagai 39 stimuli seperti IL-1, phorbol esters, LPS bakteri, vasoactive intestinal polypeptide (VIP), forskolin, IFNs, TNF- dan pituitary adenylate cyclase-activating polypeptide (PACAP). IL-6, LIF, IL-11 dan CNTF yang diproduksi di kelenjar pituitary, akan mempengaruhi sekresi hormon pituitary anterior seperti adrenocorticotropic hormon (ACTH), yang berperan penting dalam respon neuro-endokrin. Selama proses inflamasi akut atau kronik atau infeksi, sitokin ini akan bekerja pada sel-sel pituitary anterior, dan kemudian berintegrasi dengan respon neuro-endokrin (Arzt, 2001). 2.4 Pengaruh Sistem Neuroendokrin terhadap Respon Imun Sistem saraf, endokrin, dan sistem imun saling berhubungan satu sama lainnya. Sel-sel dari ketiga sistem ini tampaknya secara bersama-sama menggunakan reseptor yang sama untuk reseptor neurotransmiter, hormon, maupun sitokin dalam upaya melakukan sintesis dan sekresi molekul-molekul yang sama pula seperti sitokin dan neuropeptide (Akbar dan Cook, 2006; Clancy, 1998). Setelah terjadi paparan antigen pada tubuh, respon imun akan dimulai, dimana akan terjadi sintesis dan pengeluaran sitokin dari sel-sel imun yang aktif ke dalam sirkulasi. Kadar sitokin akan meningkat, terjadi perubahan pada neuron-neuron di hipotalamus yang mencetuskan 2 jalur yang berbeda dari otak ke organ-organ limfoid perifer. Jalur pertama meliputi pengeluaran CRF dari hipotalamus, sedangkan jalur kedua meliputi aktivasi sistem saraf simpatis (sympathetic nervous system/SNS) (Clancy, 1998) Pada jalur pertama sistem saraf secara langsung atau tidak langsung mengatur produksi berbagai hormon, misalnya kortikosteroid, hormon pertumbuhan, prolaktin, αmelanocyte-stimulating hormone, tiroksin, dan epinefrin (adrenalin). Sedangkan pada 40 jalur kedua sebagian besar jaringan limfoid secara langsung menerima persarafan simpatis sepanjang pembuluh darah jaringan dan langsung pada limfosit (Akbar dan Cook, 2006). Limfosit mengekspresikan berbagai reseptor untuk hormon, neurotransmiter, neuropetida, dimana ekspresi dan respon ini bervariasi antara berbagai jenis limfosit dan monosit. Kortikosteroid, endorfin, dan enkefalin, dan semua hormon yang diproduksi selama terjadi stres bersifat imunosupresif. Kortikosteroid berperan utama sebagai mekanisme umpan balik respon imun. Limfosit dapat memberikan respon terhadap CRF membentuk hormon ACTH, yang dapat menginduksi pengeluaran kortikosteroid. Kortikosteroid akan menghambat produksi sitokin Th1, sementara produksi Th2 tidak dihambat, serta menginduksi produksi TGF-β sehingga akan menghambat respon imun (Akbar dan Cook, 2006). Pengaruh antara sistem neuroendokrin dengan sistem imun tidak bersifat satu arah (unidirectional). Sitokin khususnya IL-1 dan IL-6 yang diproduksi oleh sel-sel T, neuronneuron, sel-sel glia dan sel-sel di dalam pituitari dan kelenjar adrenal merupakan modulator komunikasi neuroendokrin-imun yang bekerja secara dua arah (bidirectional). Sitokin ini merupakan stimulator poten dari produksi kortitosteroid adrenal, melalui pengaruhnya pada CRH (corticotrophin releasing hormone) (Akbar dan Cook, 2006). Sistem saraf pusat dan sistem imun merupakan 2 sistem adaptif utama yang berespon cepat jika terdapat perubahan-perubahan seperti stres lingkungan, kerusakan jaringan atau infeksi. Komunikasi sistem imun dan neuroendokrin terjadi secara 2 arah, berdasarkan sekresi sitokin, hormone, neurotransmitter dan neuropeptide (Borghetti, dkk. 2009) . 41 Pada keadaan stres atau infeksi, akan terjadi respon adaptif terhadap stres melalui aktivasi sistem neuroendokrin. Respon neuroendokrin meliputi aktivasi HPA (hypothalamic-pituitary-adrenal), sekresi kortisol dari kelenjar endokrin, aktivitas aksis somatotropik dan aktivasi HPG (hypothalamic-pituitary-gonadal) dan HPT (hypothalamic-thyroid system) (Borghetti, dkk. 2009). Jalur neural (inervasi simpatik dan parasimpatik) juga berperan dalam regulasi respon imun innate pada tingkat regional, lokal dan sistemik melalui neurotransmitter (katekolamin, acethylcholine), neuropeptida, Vasoactive Intestinal Peptide (VIP), Subtance P (SP), Calcitonin-gene related peptide (CGRP) yang mempunyai efek bervariasi terhadap aktivasi sel-sel imun dan produksi sitokin (Borghetti, dkk. 2009). Berbagai macam sitokin disekresi oleh sel-sel sistem saraf pusat (SSP) yaitu IFNα, IFN-γ, IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF-α, terutama diproduksi oleh astrosit dan mikroglia. IL-1, IL-6, Transforming Growth Factors (TGF)-β, LIF (Leukemia Inhibitor Factor), MIF (Macrophage Inhibitor Factor), IL-10, IL-18 dapat diproduksi oleh hipotalamus dan atau kelenjar pituitari. Sitokin pro-inflamasi dan pro-imun dapat mempengaruhi aktivitas endokrin pada SSP, timus dan kelenjar adrenal. Sitokin dapat menstimulasi atau menekan sekresi hormon pada tingkat yang berbeda-beda di susunan saraf pusat. Sitokin yang terutama berperan dalam komunikasi sistem imun dan sistem neuroendokrin adalah IL-1, TNF-α, IL-2 , IL-6, IFN-γ, IL-12 dan IL-10 (Borghetti, dkk. 2009). Beberapa hormon dan neuropeptide memodulasi interaksi lingkungan mikro thymus, produksi sitokin dan aktivitas endokrin timus dan mengontrol proliferasi dan apoptosis sel T timus. Beberapa hormon seperti GCs (Glucocorticoids), GH (Growth Hormone), PRL (Prolactin), hormon tiroid dan neuropeptide dapat memodulasi hormon 42 timus. Hormon timus juga memodulasi produksi hormon hipotalamus/pituitari dan neuropeptide (Borghetti, dkk. 2009). Leptin dan juga adipokines dikeluarkan oleh white adipose tissue (WAT), merupakan organ endokrin multifungsi, berfungsi memproduksi berbagai sitokin proinflamasi dan anti-inflamasi, mediator, dan hormon yang berfungsi dalam proses regulasi keseimbangan energi dan metabolisme. Protein-protein spesifik seperti leptin, adiponectin, resistin, vistatin, vasfin dan kelompok adipokines yang terdiri dari sitokin klasik (TNF-α, IL-6, IL-8), Growth factor (TGF-β) berperan dalam fase akut dan respon stres (Borghetti, dkk. 2009). 43 Gambar 2.6 Komunikasi dua arah antara sistem imun dan sistem neuroendokrin (Borghetti, dkk. 2009) 2.4.1 Autoregulasi sistem endokrin dengan sistem imun Adanya paparan antigen akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel-sel imun. Sistem imun akan mengeluarkan IL-1 yang dapat mencetuskan hipotalamus mengeluarkan CRF untuk menstimuli ekspresi proopiomelanocortin (POMC) di dalam kelenjar pituitary. POMC akan dikonversi secara enzymatik menjadi ACTH atau neuropeptide β-endorphin. 44 Adrenocorticotropin akan menginduksi sekresi kortikosteroid dari kortek adrenal, yang kemudian beraksi secara langsung pada sel-sel imun untuk mensupresi aktivitasnya. Molekul-molekul intermediate (CRF, β-endorphin, dan ACTH) dapat menguatkan (enhancing) atau mensupresi sel-sel imun tergantung pada konsentrasinya dan tipe sel imun yang terlibat. Hal ini yang disebut dengan sistem autoregulasi (Clancy, 1998). Sistem autoregulasi dilakukan melalui 2 mekanisme. Pertama, kortikosteroid akan menekan pengeluaran IL-1 dari sel-sel imun yang aktif. Kedua, pengeluaran Il-1 juga dikurangi melalui sel-sel fagosit yang menelan antigen, sehingga antigen hilang dan tidak terjadi sel-sel imun yang aktif. Kedua mekanisme tersebut akan menghilangkan signal IL1 pada hipotalamus. Namun demikian tubuh tidak ingin sistem imun terlalu disupresi karena beberapa sel imun efektor tetap memerlukan memproduksi antibodi atau membunuh sel-sel yang terinfeksi. Dengan alasan tesebut kortikosteroid juga melakukan feedback baik ke hipotalamus maupun pituitari untuk menghambat pengeluaran CRF dan sekresi ACTH. Penurunan CRF dan ACTH menyebabkan penurunan pelepasan kortikosteroid dari kortek adrenal sehingga supresi signal terhadap sel-sel imun tidak terjadi (Clancy, 1998). Pengeluaran berbagai hormon endokrin dapat distimuli oleh adanya stres. Jika stres terjadi sebelum terjadinya respon imun, antigen tidak dapat mengaktivasi sel-sel imun, dimana akan disupresi oleh kortikosteroid. Namun jika stres terjadi selama terjadinya respon imun, kadar kortikosteroid akan lebih meningkat, kadar akan meningkat dalam waktu yang lama, yang akan menghasilkan supresi fungsi sel efektor dalam waktu lama pula (Clancy, 1998). 45 2.4.2 Autoregulasi sistem saraf dengan sistem imun Jalur kedua komunikasi antara otak ke perifer adalah melalui aktivasi sistem saraf simpatis. Jika ada paparan antigen, akan menimbulkan aktivasi sel imun mengeluarkan IL-1. Pengeluaran IL-1 merangsang hipotalamus mengeluarkan CRF. CRF akan mengaktivasi sistem saraf simpatis mengeluarkan norepinephrine (NE). Sitokin yang dikeluarkan dari sel-sel imun juga dapat melewati sistem saraf pusat dan menstimulasi jalur lain yang dapat mengaktivasi sistem saraf simpatis. Serat-serat saraf simpatis yang mengandung NE dapat dijumpai pada organ limfoid primer maupun sekunder. Di dalam ginjal dan kelenjar limfoid, serat-serat saraf simpatis berakhir pada suatu tempat yang berdekatan dengan sel-sel T CD4+ dan T CD8+ dan di makrofag yang berada pada zone marginal. Serat saraf ini jarang berakhir pada sel-sel B. Tahap selanjutnya setelah terjadi pengeluran NE, akan terjadi immunosuppression atau immunoenhancement. Jika kadar NE tinggi akan terjadi imunosupresi, akan menyebabkan pengeluaran IL-1 menurun, dan penurunan aktivitas sistem saraf simpatis demikian sebaliknya (Clancy, 1998). 46 Gambar 2.7 Hubungan antara sistem endokrin, saraf dan imun (Akbar dan Cook, 2006) 2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres pada Bayi Kurang Bulan, Berat Lahir Rendah Bayi kurang bulan rentan terhadap terjadinya berbagai macam stres, terutama akibat berbagai infeksi/ inflamasi yang dialami maupun dari adanya stimulasi lingkungan yang berlebihan atau prosedur invasif yang diberikan pada bayi. 47 Infeksi sebagai salah satu penyebab stres utama pada neonatus. Beberapa faktor risiko terjadinya infeksi yaitu: kurang bulan dan berat lahir rendah, ketuban pecah dini yang berkepanjangan (> 18 jam), cairan amnion keruh dan berbau, resusitasi saat lahir, kehamilan multipel, prosedur-prosedur invasif, bayi dengan gangguan imunitas, dan faktor-faktor lain seperti jenis kelamin laki-laki, ras kulit hitam, status sosial ekonomi rendah. Faktor risiko terpenting terjadinya infeksi adalah kurang bulanitas atau berat lahir rendah (Gomella, 1999). Beberapa alasan bayi kurang bulan lebih sering mengalami infeksi adalah: 1) Infeksi traktus genital pada ibu merupakan penyebab penting terjadinya kelahiran kurang bulan, dimana terjadi risiko yang lebih tinggi terhadap transmisi vertikal dari ibu ke bayi baru lahir; 2) Kejadian infeksi intraamniotik berhubungan dengan umur kehamilan; 3) Bayi kurang bulan sering mengalami gangguan fungsi imun; 4) Bayi kurang bulan sering mendapatkan intervensi atau prosedur invasif sehingga memudahkan masuknya infeksi (Stoll, 2007). Adanya infeksi sistemik/sepsis yang dialami bayi kurang bulan sering disebabkan oleh infeksi nosokomial. Faktor predisposisi terjadinya infeksi ini adalah: 1) Faktor ekstrinsik seperti lama rawat, prosedur invasif, karakterisitk paparan pada lingkungan Rumah Sakit maupun staf Rumah Sakit misalnya rasio pasien dengan perawat, ketrampilan staf, teknik hiegiena; 2) Faktor intrinsik meliputi sistem imun bayi kurang bulan yang masih imatur, defisiensi umun, fungsi protektif dari kulit, membran mukosa dan traktus gastrointestinal, berat lahir, usia gestasi, beratnya penyakit, asfiksia, asupan nutrisi, kelainan bawaan (MussiPinhata dan Rego, 2005). 48 Pada keadaan stres terjadi mekanisme yang melibatkan sistem neuro-imunoendokrin. Infeksi yang terjadi pada bayi kurang bulan akan menyebabkan sintesis IL-1 dan IL-6 meningkat. Stres yang terjadi juga dapat meningkatkan kadar hormon-hormon stres seperti kortisol dan norepinefrin (Akbar dan Cook, 2006; Im dan Kim, 2008). Pada saat terjadi paparan stres, respon imun mulai aktif, dimana akan terjadi sintesis dan pengeluaran sitokin dari sel-sel imun yang aktif tersebut ke dalam sirkulasi. Kadar sitokin akan meningkat, terjadi perubahan pada neuron-neuron di hipotalamus. Pada hipotalamus akan terjadi pengeluaran CRF. Peningkatan produksi CRF menyebabkan terjadinya peningkatan produksi hormon stres seperti efinefrin, norepinefrin, kortisol. Mekanisme lain adalah melalui jalur jaringan limfoid. Jaringan limfoid secara langsung menerima persarafan simpatis (Akbar dan Cook, 2006). Limfosit mengekspresikan berbagai reseptor untuk hormon, neurotransmiter, neuropetida. Limfosit dapat memberikan respon terhadap CRF membentuk hormon ACTH, yang dapat menginduksi pengeluaran kortikosteroid. Sitokin khususnya IL-1 dan IL-6 yang diproduksi oleh sel-sel T, neuron-neuron, sel-sel glia dan sel-sel di dalam pituitary dan kelejar adrenal merupakan modulator komunikasi neuroendokrin-imun yang bekerja secara dua arah (bidirectional). Sitokin ini merupakan stimulator poten dari produksi kortitosteroid adrenal, melalui pengaruhnya pada CRH (Akbar dan Cook, 2006). 2.6 Peranan Pijat Bayi terhadap Sistem Imun Pijat bayi merupakan terapi sentuh, yang dapat memberikan sensasi taktil dan persepsi. Pijat bayi adalah salah satu pemberian stimulasi ekternal. Terapi sentuh pada tubuh diterima oleh sistem saraf pusat dengan berbagai mekanisme dan dalam tingkatan yang berbeda-beda. 49 Stimulasi ekternal berupa pijat bayi, diterima oleh tubuh melalui kontak kulit. Aferen-aferen taktil menerima stimulasi ini kemudian diteruskan ke kortek somatosensori primer (primary somatosensory cortex/SI) hemisfer kontralateral melalui kolumna dorsal, lemnikus medialis dan thalamus. Kortek somatosensori primer ini mengandung representasi permukaan tubuh/fisik (jalur 1) (Serino dan Haggard, 2010). Pada bagian atas dari kortek somatosensorik primer terdapat daerah mental body representation (MBRs). Respon MBRs tergantung pada input-input aferen yang melewati kortek somatosensori (jalur 2). MBRs saling mempengaruhi proses taktil primer dengan kortek somatosensori (jalur 3). Gambaran/representasi tubuh juga ada di dalam MBRs. MBRs tidak hanya menerima rangsangan/stimuli somatik, tetapi juga berperan dalam fungsi kognitif yang meliputi memori dan proses mental. Peranan MBRs selain mempunyai persepsi terhadap bagian tubuh, juga persepsi terhadap obyek lain/dunia eksternal terutama persepsi taktil dan visual (jalur 4). Demikian juga kortek somatosensori mampu memberikan persepsi terhadap obyek ekternal (Serino dan Haggard, 2010). 50 Gambar 2.8 Hubungan antara sentuhan dan representasi tubuh melalui 4 jalur yang berbeda (Serino dan Haggard, 2010) Stimulasi pijat melibatkan sistem neuro-imuno-endokrin. Salah satu sistem yang terlibat adalah sistem hipotalamus-pituitari-adrenal. Jika bayi mengalami stres, sistem fisiologis yang terlibat adalah sistem saraf otonomik (the autonomic nervous system /ANS) yaitu cabang serat simpatik, dan sistem limbic-hypothalamic-pituitary-adrenal (LHPA). Nukleus paraventikular hypothalamus akan mengeluarkan corticotropin- releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP) ke dalam sirkulasi portal 51 hipofise. Corticotrophin Releasing Hormone dan AVP secara sinergi menstimuli pituitari anterior mengeluarkan ACTH dan endorphin menuju sirkulasi sistemik. ACTH akan merangsang kortek adrenal mensekresi kortisol dan kortison. Aktivitas sistem LHPA ditingkatkan oleh sitokin pro- inflamasi. LPHA dihambat oleh oxytocin, opioid endogen, dan leptin (Elverson dan Wilson, 2005). Kortisol merupakan glukokortikoid primer yang dapat masuk ke setiap sel dan memberikan efek fisiologi. Kortisol dapat meningkatkan perolehan energi dengan meningkatkan resistensi insulin dan meningkatkan glukogenesis. Kortisol berinteraksi dengan norepinephrine dan epinephrine yang menyebabkan peningkatan fungsi kardiovaskular dan pulmonal. Kortisol dapat menekan pertumbuhan dan inflamasi. Kortisol juga akan menghambat atau memberikan umpan balik negatif terhadap sekresi CRH dan AVP (Elverson dan Wilson, 2005). Terapi pijat mempengaruhi hipotalamus menurunkan produksi corticotropinreleasing factor (CRF) akibatnya produksi hormon ACTH oleh hipofisis anterior menurun. Aktivitas neurotransmitter serotonin meningkat yang akan meningkatkan glucocorticoid receptor-binding capasity sehingga kelenjar adrenal akan menurunkan produksi glukokortikoid seperti adrenalin atau hormon stres lain (epinefrin, norepinefrin, kortisol). Penurunan CRF dan ACTH menyebabkan penurunan pelepasan kortikosteroid dari kortek adrenal sehingga supresi signal terhadap sel-sel imun tidak terjadi. Pada akhirnya jaringan limfoid akan menurunkan aktivitas sel T sehingga kadar IL-1 dan IL-6 juga menurun (Akbar dan Cook, 2006). 52 Gambar 2.9 Regulasi normal sekresi glukokortikoid adrenal (Elverson dan Wilson, 2005)