9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pijat Bayi 2.1.1 Manfaat stimulasi

advertisement
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pijat Bayi
2.1.1 Manfaat stimulasi pijat terhadap pertumbuhan dan perkembangan
Pijat menurut The American Massage Therapy Association (AMTA) merupakan
manipulasi terhadap jaringan lunak secara manual, yang meliputi menimang,
memberikan gerakan dan atau tekanan pada tubuh. Stimulasi pijat adalah salah satu
stimulasi sentuh yang merupakan kontak fisik yang terjadi pada seseorang kepada orang
lain (Field, 2003). Pijat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi, menangani gangguan
otot, dan untuk menenangkan bayi. Pijat bayi merupakan stimulasi taktil dan kinestetik
dini yang bermanfaat untuk perkembangan saraf dan memperkuat hubungan antara orang
tua/pengasuh dengan bayinya (Pardew dan Bunse, 2005).
Peranan stimulasi pijat dalam berbagai laporan penelitian, menunjukkan pengaruh
yang bermakna terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Stimulasi pijat pada bayi
kurang bulan, yang selama ini menjadi kontroversi mulai memberikan arah dan bukti
yang bermanfaat pada proses adaptasi, sehingga proses pertumbuhan dan perkembangan
tetap dapat berjalan secara optimal.
Pengaruh positif pijat sangat banyak baik terhadap anak normal, bayi yang
berisiko tinggi dan juga anak yang mengalami keterlambatan dan gangguan
perkembangan. Berbagai penelitian mendapatkan pijat secara signifikan dapat
meningkatkan pertumbuhan (pada bayi kurang bulan), mengurangi rasa nyeri,
mengurangi masalah-masalah autoimun (seperti meningkatkan fungsi paru pada asma,
9
10
menurunkan kadar glukosa pada diabetes), meningkatkan fungsi imun (meningkatkan
natural killer cells pada HIV dan kanker) dan meningkatkan kewaspadaan (alertness) dan
performance. Pijat bermanfaat untuk anak yang mengalami gangguan perkembangan
seperti gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif, autisme, palsi serebral, Sindroma
Down dan anak yang mengalami gangguan perkembangan akibat dari ibu mempunyai
riwayat depresi (Pardew dan Bunse, 2005).
Suatu metanalisis yang didapat dari 19 penelitian terhadap bayi kurang bulan
yang diberikan stimulasi taktil/kinestik, mendapatkan 72% bayi yang dipijat mengalami
efek positif. Bayi yang dipijat mengalami penambahan berat badan yang lebih besar dan
mampu melakukan tugas-tugas perkembangan lebih baik dibandingkan kelompok
kontrol. Hasil ini tidak signifikan jika pijat yang dikerjakan memakai prosedur mengusap
yang ringan/lembut, namun signifikan jika memberikan pijatan dengan tekanan yang
lebih dalam, dimana reseptor-reseptor taktil dan tekanan dapat distimulasi (Pardew dan
Bunse, 2005).
Penelitian Field, dkk. (1986) mendapatkan bayi kurang bulan yang dipijat 3 kali
per hari, selama masing-masing 15 menit, dalam waktu 10 hari, menunjukkan 47%
mengalami penambahan berat badan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Bayi
kurang bulan yang dipijat mengalami stres prilaku yang lebih sedikit, lebih aktif, lebih
waspada dan responsif terhadap wajah dan suara pemeriksa serta gerakan bibirnya lebih
terorganisasi dengan baik, yang diperiksa dengan skala Brazelton. Pada penelitian ini
menggunakan sampel bayi kurang bulan 9 minggu, dan telah mendapatkan perawatan 3
minggu di ruang perawatan intensif sebelum penelitian dikerjakan.
11
Penelitian terhadap bayi berat lahir rendah (< 2.500 g) dan kurang bulan (umur
kehamilan < 37 minggu) mendapatkan bayi yang diberikan stimulasi pijat mengalami
penambahan berat badan rata-rata 5 gram per hari, penurunan masa rawat di ruang NICU
selama 5 hari, penurunan kejadian komplikasi postnatal, dan meningkatkan berat badan
pada umur 4-6 bulan (Vickers, dkk. 2004).
Suatu systematic review dari 18 penelitian acak kontrol dan metaanalisis 12
penelitian acak kontrol, mendapatkan bayi yang diberikan pijat atau stimulasi sentuh
dapat meningkatkan berat badan, memperbaiki respon perilaku, menurunkan lama rawat,
meningkatkan hubungan (bonding and attachment) dan menurunkan depresi pada orang
tua (Livingston, dkk. 2007).
Bayi kurang bulan yang dilakukan usapan (stroking) dan fleksi serta ekstensi
ekstremitas selama 10-15 menit, 3 kali sehari, selama 2-4 minggu, mendapatkan
penambahan berat badan sebesar 21-47% lebih besar dibandingkan kelompok kontrol,
mineralisasi tulang yang lebih tinggi, lama rawat yang lebih singkat, respon motorik dan
perilaku yang lebih optimal (Hernandez-Reif, dkk. 2001).
Pijat bayi tidak hanya bermanfaat bagi bayi yang dipijat, tetapi berdampak pada
orang dewasa yang melakukan pijat tersebut. Penelitian Field (1998) memakai tenaga
sukarelawan tua (nenek) untuk membantu melakukan pijat bayi di suatu tempat
perlindungan bayi yang terlantar. Sukarelawan tua dilaporkan mengalami tingkat
kecemasan, gejala depresi yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Kadar
hormon stres (kortisol) menurun dan terjadi perubahan mood setelah mengerjakan pijat
bayi.
12
Stimulasi sensori yang kurang akan menginduksi ketidakstabilan fisiologi,
keterlambatan perkembangan perilaku dan adanya reaksi neurologis. Sentuhan dapat
mengontrol tingkat alertness bayi kurang bulan dan pengaturan perilaku dapat diperbaiki.
Metode sentuhan yang dapat dilakukan untuk dapat mengurangi stres yang dialami pada
bayi-bayi kurang bulan, antara lain: skin-to-skin contact (Kangaroo care); metode
Yakson; Gentle Human Touch (GHT), dll (Im dan Kim, 2008).
Suatu penelitian dengan menggunakan metode GHT memberikan stimulasi sentuh
selama 12 menit, 4 kali perhari selama 10 hari, pada bayi kurang bulan yang diintubasi
dan dalam ventilasi mekanik. Pada bayi yang diberi sentuhan didapatkan terjadi
perubahan perilaku positif seperti penurunan aktivitas, lebih tenang dan lebih sering
membuka kedua tangannya yang menandakan bayi dalam kondisi yang lebih relaks.
Dengan metode yang sama Harrison (2001) mendapatkan bayi yang diberikan terapi
sentuhan mempunyai serum kortisol yang lebih rendah; berat badan yang lebih berat;
skor morbiditas lebih rendah; lebih sedikit mendapatkan terapi oksigen; lama rawat lebih
pendek; tingkat tidur aktif , aktivitas motorik, dan distres perilaku yang lebih rendah (Im
dan Kim, 2008; Harrison, 2001). Bayi-bayi kurang bulan yang mendapatkan terapi sentuh
dengan metode Yakson, dilaporkan lebih nyaman, dapat menurunkan stres dan
memberikan efek positif, asupan total perhari lebih banyak, denyut jantung lebih rendah,
dibandingkan dengan kelompok kontrol (Im dan Kim, 2008). Sementara beberapa
peneliti mendapatkan dengan metode Kangaroo Care, bayi-bayi kurang bulan
menunjukkan temperatur tubuh, respiratory rates, saturasi oksigen yang stabil, dan dapat
meningkatkan pola tidur yang tenang (Harrison, 2001).
13
2.1.2 Mekanisme dasar pijat bayi
Pijat bayi mempunyai banyak pengaruh positif, namun mekanisme yang mendasari masih
belum jelas diketahui. Beberapa teori tentang mekanisme pijat dikemukakan oleh
beberapa pakar. Mekanisme dasar ini didapatkan dari berbagai penelitian yang telah
dilakukan.
2.1.2.1 Pengeluaran beta-endorphin
Stimulasi pijat dapat meningkatkan pengeluaran beta-endorphin yang akan dapat
meningkatkan pertumbuhan. Pada penelitian terhadap tikus, ibu tikus yang tidak memberi
rangsangan taktil (menjilat-jilat) akan memberikan dampak pada bayinya berupa:
penurunan enzim ODC (ornithine decarboxylase), suatu enzim untuk pertumbuhan sel,
penurunan pengeluaran hormon pertumbuhan, dan penurunan kepekaan ODC jaringan
terhadap pemberian hormon pertumbuhan. Pengurangan sensasi taktil akan menurunkan
pengeluaran suatu neurochemical beta-endorphin, yang akan mengurangi pembentukan
hormon pertumbuhan dengan penurunan jumlah dan aktivitas ODC jaringan (Roesli,
2007).
2.1.2.2 Aktivitas nervus vagus
Field dan Schanberg mendapatkan bayi yang diberikan pijat bayi akan terjadi
peningkatan tonus nervus vagus. Peningkatan aktivitas nervus vagus akan meningkatkan
produksi enzim penyerapan seperti gastrin dan insulin, sehingga penyerapan makanan
menjadi lebih baik. Penyerapan makanan yang lebih baik ini yang menyebabkan berat
badan bayi lebih meningkat dibandingkan dengan bayi yang tidak dipijat.
Suatu
penelitian di Swedia juga mendapatkan bayi yang dipijat dapat meningkatkan tonus
14
vagus (heart rate lebih lambat selama diberi feeding) dan katekolamin serta pengeluaran
hormon-hormon
penyerapan
makanan
seperti
insulin,
gastrin,
glukosa
dan
cholecystokinin (Field, 2003; Roesli 2007).
2.1.2.3 Peningkatan neurotransmitter serotonin
Pijat bayi dapat meningkatkan aktivitas neurotransmitter serotonin, yaitu meningkatkan
glucocorticoid receptor-binding capasity sehingga akan terjadi penurunan kadar hormon
glukokortikoid seperti adrenalin atau hormon stres lain. Keadaan ini akan meningkatkan
daya tubuh terutama Imunoglobulin (Ig) G, IgA dan IgM (Clancy, 1998; Roesli, 2007).
2.1.2.4 Perubahan gelombang otak
Pijat bayi dapat mengubah gelombang otak. Pada pemeriksaan EEG (Electro
enephalogram) terjadi penurunan gelombang alpha dan peningkatan gelombang beta dan
tetha. Gelombang ini akan membuat bayi tidur lelap dan saat terbangun akan berada
dalam keadaan siaga (full alert) (Dieter, dkk. 2003; Roesli, 2007).
2.1.3 Teknik pijat bayi
Tujuan utama pijat bayi adalah tidak hanya menyediakan terapi ataupun mengganti
intervensi lainnya tapi untuk meningkatkan interaksi pengasuh dengan bayinya dan
meningkatkan kenyamanan bayi. Pijat bayi diberikan oleh pengasuh rutin setiap hari di
rumah. Anak yang sakit atau mengalami kondisi medis kronis sebaiknya diperiksa oleh
dokter atau terapis apakah pijat dapat diberikan atau dilakukan teknik yang dimodifikasi.
Tiga komponen yang harus diperhatikan dalam melakukan pijat bayi yaitu: 1)
terfokus pada membangun interaksi positif, 2) melibatkan keluarga dalam melakukan
pijat, dan 3) menggunakan pijat pada aktivitas sehari-hari. Gerakan pijat dasar yang
15
dilakukan meliputi: 1) mengusap (effleurage) yaitu gerakan mengusap pelan dan lama
pada badan, tungkai atau kepala, yang berfungsi untuk menenangkan dan mengurangi
ketegangan, 2) tekanan (pressure touch) dengan menggunakan telapak tangan. Tekanan
kuat dilakukan pada badan. Pada daerah tangan atau kaki dilakukan dengan memakai ibu
jari. Tujuan gerakan ini adalah untuk menenangkan dan mengurangi ketegangan, dan 3)
meremas (kneading) dilakukan pada badan dan tungkai untuk meningkatkan sirkulasi.
Bayi pada posisi pronasi. Jari-jari yang dipakai meremas, digerakkan melengkung
membentuk huruf ”C”. Tekanan lembut diberikan dan dilakukan gerakan pelepasan ke
arah jantung dan ke bawah; 4) pemerahan (milking). Dilakukan pada tungkai dengan
tujuan meningkatkan sirkulasi. Jari-jari yang dipakai memerah melengkung membentuk
huruf ”C”, dilakukan gerakan memerah dari pangkal paha ke bawah, bahu ke bawah,
kemudian pada kaki dan tangan (Pardew dan Bunse, 2005).
Penggunaan minyak pijat seperti minyak bunga matahari dalam melakukan pijat
bayi memberikan efek yang lebih baik dibandingkan tidak memakai minyak pijat. Bayi
yang dipijat menggunakan minyak pijat mencapai berat badan yang lebih berat
dibandingkan kelompok yang tidak memakai minyak pijat (Arora, dkk. 2005).
2.1.4 Tahap-tahap stimulasi pijat pada bayi kurang bulan
Tahap-tahap stimulasi pijat pada bayi kurang bulan terdiri dari (UKK Tumbuh Kembang
Pediatri-Sosial IDAI, 2008):
(1) Rangsangan taktil/raba
-
Bayi dalam posisi ditengkurapkan (pronasi)
-
Tiap gerakan dilakukan dalam waktu 2 x 5 detik
16
-
Tiap gerakan diulang enam kali
-
Dikerjakan selama lima menit
a. Pijatan Kepala:
- Letakkan tangan di puncak kepala
- Usap dari puncak kepala sampai pangkal leher
- Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik
- Diulang sampai 6 kali
b. Pijatan Bahu:
- Letakkan tangan di bahu
- Usap dari bahu sampai pangkal lengan
- Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik
- Diulang sampai 6 kali
c. Pijatan Punggung
- Letakkan tangan di pangkal leher
- Usap dari pangkal leher sampai pantat
- Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik
- Diulang sampai 6 kali
d. Pijatan Kaki Belakang:
- Letakkan tangan di pantat
- Usap dari pantat sampai telapak kaki
- Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik
- Diulang sampai 6 kali
17
e. Pijatan Lengan:
- Letakkan tangan di pangkal bahu
- Usap dari pangkal bahu sampai telapak lengan
- Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik
- Diulang sampai 6 kali
(2). Rangsangan kinestetik
- Bayi dalam keadaan ditelentangkan (supinasi)
- Tiap gerakan dilakukan dalam waktu 2 x 5 detik
- Tiap gerakan diulang enam kali
- Dikerjakan selama lima menit
a. Menekuk siku
- Letakkan tangan di siku
- Menekuk siku dilakukan 2 x 5 detik
- Diulang sampai 6 kali
b. Pijatan telapak tangan
- Letakkan tangan di pergelangan tangan
- Menekuk dan memijat telapak tangan
- Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik
- Ulang sampai 6 kali
c. Pijatan telapak kaki
- Letakkan tangan di pergelangan kaki
- Menekuk dan memijat telapak kaki
18
- Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik
- Ulang sampai 6 kali
d. Menekuk lutut
- Letakkan tangan di lutut
- Menekuk lutut dilakukan 2 x 5 detik
- Ulang sampai 6 kali
e. Menekuk kedua kaki
- Memegang kedua pergelangan kaki
- Menekuk kaki ke arah perut
- Setiap usapan dilakukan 2 x 5 detik
- Ulang sampai 6 kali
Sebelum melakukan pemijatan, beberapa hal yang sebaiknya dilakukan (Roesli, 2007):
a. Mengatakan pada bayi bahwa akan dipijat
b. Tangan bersih dan hangat
c. Pastikan agar kuku dan perhiasan tidak menggores kulit bayi
d. Waktu terbaik memijat adalah saat bayi alert dan tidak baru selesai minum
e. Secara khusus menyediakan waktu untuk tidak diganggu minimum selama 15
menit guna melakukan seluruh tahap pemijatan
f. Siapkan minyak bayi (baby oil) atau krim (lotion) yang lembut
g. Awali pemijatan dengan melakukan sentuhan ringan, kemudian secara bertahap
tambahkan tekanan pada sentuhan
19
2.1.5 Efek merugikan dari stimulasi pijat bayi
Sampai dengan laporan penelitian terakhir, diasumsikan bahwa stimulasi pijat mungkin
tidak cocok untuk bayi kurang bulan di bawah 1500 gram, yang diasumsikan lebih lemah
(ringkih) dan bereaksi negatif terhadap rangsangan. Pada faktanya lebih dari 20 tahun
penelitian tentang stimulasi pijat pada bayi kurang bulan, tidak ada efek merugikan yang
dilaporkan pada bayi kurang bulan di bawah 1500 gram setelah menerima stimulasi pijat
(Dieter, dkk. 2003).
2.2 Sistem Imun Bayi Kurang Bulan
Perkembangan sistem kekebalan tubuh terjadi sejak awal kehidupan. Limfosit, Antigen
Precenting Cell (APC) dan sel fagosit semua berasal dari sel induk pluripoten dalam yolk
sac manusia pada 21 hari usia kehamilan. Pada minggu kelima, hati, limpa, timus dan
sumsum tulang mengambil alih produksi sel-sel ini (Hayward, 1998). Pada umur
kehamilan 22-23 minggu, neutrofil polymorphonuclear matur dari sistem kekebalan
tubuh bawaan (innate), jumlahnya sedikit yaitu sekitar 2%, diukur dari dalam darah tali
pusat neonatus (Ohls, dkk. 1995). Saat lahir, baik bayi cukup bulan atau kurang bulan, sel
fagositik, sel mononuklear, sel natural killer, secara fungsional kompeten dalam keadaan
normal. Jika di bawah tekanan, kemampuan dan kapasitas fungsionalnya terganggu, yang
menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi selama periode neonatal. Defisit
tersebut akan lebih berat pada bayi kurang bulan (Kapur, dkk. 2002).
Pada penelitian in vitro, sel B janin ditemukan memiliki kemampuan untuk
memproduksi IgM saat umur kehamilan 8 minggu, kemudian IgG meningkat sedikit
(Hanson, dkk. 1997; Hayward, 1998; Kapur, dkk. 2002). Antibodi IgG sudah dapat
20
dideteksi pada janin sebelum usia kehamilan 5-6 minggu, berasal dari ibu dan melintasi
plasenta, dan hanya IgG yang mampu melewati plasenta (Hanson, dkk. 1997). Meskipun
janin mampu memproduksi antibodi, tetapi kapasitas produksi antibodi-total saat lahir
masih jauh lebih rendah dari pada orang dewasa. Pada saat lahir, sebagian besar antibodi
yang beredar adalah IgG yang berasal dari ibu. Konsentrasi IgG postnatal menurun
karena katabolisme IgG ibu dan mencapai keadaan hypogammaglobulinemia fisiologis,
sekitar usia 3-4 bulan. Produksi IgG optimal dicapai pada usia 4-6 tahun (Kapur, dkk.
2002). Subklas IgG1 dan IgG3 mencapai tingkat dewasa lebih cepat dari IgG2 dan IgG4.
Tingkat IgM beredar saat lahir hanya 5-20% dari nilai dewasa (Hayward, 1998; Kapur,
dkk. 2002) dan mencapai tingkat optimal pada usia 1-2 tahun (Kapur, dkk. 2002). Pada
tingkat dewasa IgA dalam serum dicapai pada fase pubertas (McDonald, dkk. 1996;
Kapur, dkk. 2002).
Diferensiasi dan maturitas fungsional sel T, muncul dalam minggu ke-8
kehidupan janin (Hayward, 1998), dan dianggap lengkap pada saat 18-20 minggu
kehamilan (Hanson, dkk. 1997). Saat lahir, baik bayi kurang bulan atau bayi cukup bulan,
jumlah sel T helper masih rendah, fungsi suppresor dan sitotoksik serta produksi sitokin
belum optimal (Hanson, dkk. 1996; 1997). Hal ini meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi intraseluler dan parasit (Hanson, dkk. 1997). Status immunodefisiensi relatif
terjadi akibat ketidak matangan fungsional dari sel T, yang berlanjut paling tidak sampai
usia 4-5 tahun (Pirenne, dkk. 1992).
Pematangan dari sistem imun adalah suatu proses yang berkesinambungan,
dimulai pada minggu-minggu pertama kehidupan janin dan berlangsung sampai menjadi
dewasa (Schultz, dkk. 2000). Dua tahun pertama kehidupan pasca natal dianggap
21
membentuk suatu periode sensitif selama proses maturasi imunologi sel Th berlangsung,
dan dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik dan ekstrinsik
(Yabuhara, dkk. 1997;
Macaubas, dkk. 1999).
2.2.1 Proliferasi, diferensiasi dan aktivasi limfosit T
Perlawanan terhadap mikroba pada tahap awal dimediasi oleh respon imun alami/ innate
immunity, kemudian diikuti respon selanjutnya yaitu respon imun adaptif. Respon imun
adaptif distimulasi oleh adanya paparan agen infeksi. Komponen utama dari respon ini
adalah limfosit dan produk-produk sekresinya berupa antibodi. Respon imun adaptif
terdiri dari imunitas humoral dan imunitas selular (cell-mediated immunity/CMI).
Imunitas selular dimediasi oleh limfosit T / sel T, sedangkan imunitas humoral dimediasi
oleh antibodi yang diproduksi oleh limfosit B / sel B (Abbas, dkk. 2007a).
22
Gambar 2.1
Tipe imunitas adaptif (Abbas, dkk. 2007a)
Perkembangan sel T dimulai dari area korteks, kemudian mengalami diferensiasi
di daerah medula. Jumlah sel T meningkat pada usia janin 19 minggu dan terus berlanjut
sampai bayi lahir. Jumlah sel T meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 6-9 bulan,
kemudian menurun hingga menjadi matur pada usia 6-7 tahun Sel-sel APC dalam medula
akan melakukan seleksi terhadap sel T yang memiliki TCR terhadap otoantigen. Sel T
CD4+ dan CD8+/ T sitotoksik mengenal antigen melalui MHC (Major histocompatibility
complex) kelas II dan MHC kelas I (Arkachaisri dan Ballow, 1999).
Aktivitas sel T terhadap sistem imunitas adalah sebagai mediasi sel B terhadap
antigen, mengenal dan menghancurkan sel APC, memproduksi berbagai sitokin dan
23
limfokin yaitu substan aktivator makrofag, mediator inflamasi, kemotaktik, mitogen
limfosit dan interferon (Arkachaisri dan Ballow, 1999).
Perkembangan respon imun selular terjadi setelah adanya perkembangan respon
imun humoral. Peran limfosit T adalah sebagai efektor pada respon imun seluler dan
regulator yang mengatur respon imun seluler dan humoral. Respon imun ini meliputi selsel efektor limfosit T yang dapat mengenal antigen spesifik di permukaan sel. Jika terjadi
paparan antigen, maka akan terjadi aktivasi sel T. Sel T yang diaktivasi akan menjadi
lebih besar, mengalami siklus mitotik, dan berkembang menjadi sel efektor. Sel T helper
(Th) akan memproduksi limfokin. Sel-sel Th1 berinteraksi dengan phagosit mononuklear
dan menghancurkan patogen intraselular. Sel Th2 berinteraksi dengan sel B sehingga
terjadi proliferasi dan diferensiasi sel B serta pengeluaran antibodi (Arkachaisri dan
Ballow, 1999; Akbar dan Cook, 2006).
Gambar 2.2
Fase-fase respon imun adaptif (Abbas, dkk. 2007a)
24
2.2.2 Penanda infeksi dengan nilai prognostik pada bayi kurang bulan
Kemokin dan sitokin adalah mediator endogen yang mengatur kaskade inflamasi dari
tubuh manusia (Romagnani, 2000). Interaksi antara sitokin proinflamasi (IL-6, TNF-α,
IFN) dan mediator anti-inflamasi (IL-4, IL-10) mempunyai peranan penting dalam
manifestasi klinis dan luaran dari keadaan infeksi atau inflamasi pada neonatus (van
Dissel, dkk. 1998; Taniguchi, dkk. 1999). Sitokin proinflamasi terutama bertanggung
jawab untuk memulai suatu pertahanan yang efektif terhadap patogen eksogen. Kelebihan
produksi mediator ini bisa berbahaya dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan.
Sebaliknya, sitokin anti-inflamasi sangat penting untuk downregulating proses
perburukan peradangan dan menjaga homeostasis tubuh, tetapi tidak mendapatkan respon
anti-inflamasi yang berlebihan juga dapat mengakibatkan penekanan fungsi kekebalan
tubuh (van Dissel, dkk. 1998; Taniguchi, dkk. 1999; Sulivan, dkk. 2002).
Konsentrasi IL-10 yang tinggi atau rasio IL-10:TNF-α tinggi dapat menunjukkan
prognosis buruk dan peningkatan mortalitas pada pasien demam dewasa (van Dissel, dkk.
1998). Laporan lain menemukan rasio IL-6/IL-10 yang tinggi mungkin berhubungan
dengan luaran yang buruk pada pasien dengan infeksi berat (Taniguchi, dkk. 1999). Bukti
tersebut mendukung hipotesis bahwa aktivitas proinflamasi berlebihan ditambah dengan
kompensasi anti-inflamasi yang tidak memadai dapat mengakibatkan syok, disfungsi
multiorgan, dan kematian. Data terakhir dari penelitian tentang bayi berat lahir sangat
rendah juga menunjukkan bahwa kedua mekanisme counterregulatory proinflamasi dan
anti-inflamasi mungkin mulai bekerja pada saat awal kehamilan. Infeksi berat pada
neonatus dengan koagulasi intravaskular diseminata menunjukkan peningkatan
proporsional IL-6, IL-10, konsentrasi TNF-α, IL-10/TNF-α, atau rasio IL-6/IL-10 dalam
25
plasma (Ng, dkk. 2004). Peningkatan sementara dalam konsentrasi dan rasio tidak selalu
menunjukkan hasil yang buruk, karena indeks turun drastis setelah pengobatan berhasil.
Mediator utama seperti IL-6, TNF-α, dan IL-10 memainkan peran penting dalam
menyeimbangkan risiko dan manfaat dari kaskade inflamasi selama keadaan infeksi dan
inflamasi. Kemajuan terbaru dalam teknologi flow cytometric memungkinkan
pengukuran kuantitatif mediator inflamasi dengan volume darah yang minimal, sehingga
akan sangat baik untuk menilai sitokin dan proses patofisiologi keadaan stress karena
infeksi dan inflamasi pada bayi baru lahir (Kuster, dkk. 1998).
Interferon gamma (IFN-γ) yang dihasilkan dari aktivasi sel T CD4+,
akan
menyebabkan terjadinya imunitas selular yang meningkat, dimana aktivasi makrofag juga
akan semakin meningkat. Aktivasi makrofag ini akan meningkatkan sintesis IL-1
sehingga mempunyai efek sistemik. Interleukin-1 dapat menginduksi IL-6 baik secara
langsung maupun tidak langsung. Adanya IL-1 dan IL-6 ini akan dapat meningkatkan
proses fagositosis (Abbas, dkk. 2007b).
Prosentase dan jumlah absolut sel T CD4+ lebih tinggi pada neonatus
dibandingkan orang dewasa, dan kemudian turun setelah lahir. Sedangkan presentase dan
jumlah absolut sel T CD8+ saat lahir lebih rendah dari orang dewasa dan terus meningkat
sampai usia 5 tahun. Perubahan subpopulasi sel T CD4+ dan CD8+ dapat dilihat dari ratio
CD4+/CD8+ yang tinggi pada usia perinatal yaitu 4,9:1 dan turun pada usia anak 4 tahun
sampai mencapai nilai dewasa dengan ratio 2:1. Sel-sel T jumlahnya lebih banyak karena
jumlah limfosit absolut pada bayi normal jumlahnya juga lebih banyak (Arkachaisri dan
Ballow, 1999; Buckley, 2007).
26
Jumlah absolut atau proporsi sel T total, sel Th, sel T supresor atau sel T
sitotoksik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada bayi kurang bulan dan bayi
cukup bulan. Dalam keadaan distress bayi kurang bulan mempunyai sel T CD4+ yang
lebih rendah, yang bersifat sementara dan pulih dalam 3 minggu (Arkachaisri dan
Ballow, 1999). Sementara pada suatu studi mendapatkan kadar sel T CD4+ pada bayi
kurang bulan sehat atau yang mengalami distres perinatal dan bayi cukup bulan ada
hubungannya dengan usia kehamilan. Sedangkan sel T CD8+ tidak berhubungan dengan
usia kehamilan (Arkachaisri dan Ballow, 1999).
Gambar 2.3
Fungsi-fungsi sitokin dalam mekanisme pertahanan tubuh (Abbas, dkk. 2007b)
27
2.3 Interleukin-6 (Il-6) dan Tumor Necrotic Factor-Alfa (TNF-α)
Kemokin, sitokin, molekul adhesi adalah komponen dari sistem imun tubuh. Kelompok
penanda infeksi ini secara luas dipelajari pada pertengahan dan akhir tahun 1990-an.
Walaupun secara luas diyakini bahwa bayi kurang bulan serta bayi yang baru lahir
memiliki respon inflamasi yang immature, sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa bayi
menunjukkan persentase lebih tinggi terhadap IL-6 dan IL-8 daripada orang dewasa
(Schultz, dkk. 2002). Dari berbagai mediator yang dipelajari, perhatian banyak
difokuskan pada IL-6, IL-8 dan TNF-α.
Interleukin-6 merupakan sitokin yang penting dari respon host terhadap infeksi
awal. Kadar konsentrasinya meningkat tajam setelah terpapar produk bakteri dan
mendahului peningkatan C-reactive protein (CRP). Interleukin-6 dari darah tali pusat
secara konsisten terbukti menjadi penanda sensitif untuk mendiagnosis infeksi neonatal
dalam waktu 72 jam kelahiran, sensitifitas dan nilai-nilai prediktif negatif sekitar 87100% dan 93-100% (Messer, dkk. 1996; Berner, dkk. 1998; Smulian, dkk. 1999). Hasil
kurang memuaskan dari beberapa penelitian (Lehrnbecher, dkk. 1995; 1996) mungkin
akibat penggunaan metode tes yang kurang sensitif (Mehr dan Doyle,. 2000). Interleukin6 sama efektif sebagai penanda diagnostik untuk infeksi nosokomial onset lambat pada
bayi kurang bulan, kurang bulan atau kondisi stressful (Ng, dkk. 1997; Kuster, dkk.
1998).
Pada awal infeksi atau inflamasi, IL-6 memiliki sensitivitas tertinggi (89%) dan
nilai negatif prediktif sebesar 91% dibandingkan dengan penanda biokimia lain, termasuk
CRP, IL-1β, TNF-α dan E-selectin (Ng, dkk. 1997). Namun IL-6 memiliki paruh yang
sangat pendek, dan konsentrasi turun drastis jika bayi mendapat penatalaksanaan dan
28
perawatan yang tepat, sehingga tidak terdeteksi pada bayi yang terinfeksi dalam waktu 24
jam (Buck, dkk. 1994; Ng, dkk. 1997;).
Sensitivitas IL-6 menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Konsentrasi jauh
lebih rendah pada 24 jam yaitu 67% dan 48 jam sebesar 58%. Interleukin-6 dapat
dianggap sebagai penanda awal dan sensitif terhadap infeksi dan inflamasi neonatal (Ng,
dkk. 1997). Secara klinis pengukuran IL-6 (awal dan peka) kombinasi dengan CRP
(lambat dan spesifik) dalam 48 jam pertama episode sepsis terbukti menghasilkan
sensitivitas lebih baik daripada penanda sepsis yang berdiri sendiri (Messer, dkk. 1996;
Ng, dkk. 1997; Doellner, dkk. 1998; Kallman, dkk. 1999; Doelner, dkk. 2001a). Selain
itu, sebuah studi telah menunjukkan bahwa penggunaan IL-6 dan TNF-α bersama-sama
dapat memprediksi sepsis neonatorum dua hari sebelum manifestasi klinis dan dapat
menyebabkan inisiasi awal pengobatan antimikroba dengan hasil klinis yang lebih baik
(Kuster, dkk. 1998).
Dalam banyak aspek, karakteristik dan sifat kinetika IL-8 dan TNF-α sangat mirip
dengan IL-6. Keduanya merupakan kemokin proinflamasi atau sitokin yang diproduksi
secara dominan oleh fagosit, diaktifkan sebagai respon terhadap kondisis stres karena
infeksi dan peradangan.
Respon proinflamasi tersebut tidak terpengaruh oleh usia kehamilan atau kondisi
bayi yang baru dilahirkan. Dalam kedua keadaan sepsis onset awal dan akhir, IL-8 dan
TNF-α secara substansial lebih tinggi pada bayi baru lahir yang terinfeksi dibandingkan
dengan yang tidak terinfeksi (Edgar, dkk. 1994; Berner, dkk. 2000; Nupponen, dkk.
2001). Interleukin-8 dianggap penanda sangat akurat dengan sensitivitas berkisar antara
80% sampai 91% dan spesifitas 76% sampai 100% (Berner, dkk. 2000; Nupponen, dkk.
29
2001). Kombinasi IL8, TNF-α dan CRP juga berguna dalam membatasi penggunaan
antibiotik yang tidak perlu. Meskipun TNF-α telah terbukti menjadi mediator penting
dalam patofisiologi syok septik dan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS),
kegunaannya sebagai penanda diagnostik tunggal belum ditemukan sebaik seperti IL-6
atau IL-8 yang dianggap sesuai untuk aplikasi klinis pada bayi baru lahir (Doellner, dkk.
2001a,b; Santana, dkk. 2001).
2.3.1 Tumor Necrotic Factor-Alfa (TNF-α)
Tumor Necrotic Factor-alfa (TNF-α) merupakan salah satu faktor inflamasi yang dilepas
oleh makrofag, sel T, timosit, sel B atau sel NK. Tumor Necrotic Factor-alfa merupakan
salah satu sitokin yang diproduksi dan bekerja sebagai mediator pada imunitas non
spesifik (Karnen, 2000a).
Fungsi TNF-α adalah antineoplastik (langsung), menimbulkan panas, tidur dan
respon fase akut sistemik, merangsang sintesis limfokin, kolagen dan kolagenase,
mengaktifkan sel endotel dan makrofag, sebagai mediator inflamasi dan berperan dalam
proses katabolik (Karnen, 2000a).
Tumor Necrotic Factor merupakan mediator utama dari respon inflamasi akut,
terhadap infeksi-infeksi bakteri gram negatif dan mikroba lain, yang bertanggung jawab
terhadap berbagai komplikasi sistemik pada infeksi yang berat. Nama dari sitokin ini
berawal dari faktor serum yang menyebabkan nekrosis tumor (Abbas, dkk. 2007b).
Sumber utama dari TNF adalah phagocyte mononuclear yang teraktifasi. Sel T
yang terstimulasi oleh antigen, sel-sel NK, dan sel-sel mast juga mensekresi TNF-α.
Stimulus yang paling kuat untuk memproduksi TNF-α oleh makrofag melalui
30
engagement TLR (Toll-Like Receptor) dengan LPS (lipopolysaccharide) dan produkproduk mikroba lainnya. Sebagian besar dari sitokin ini diproduksi selama terjadinya
infeksi oleh bakteri gram negatif, yang dikeluarkan oleh LPS. Interferon-γ yang
diproduksi oleh sel T dan sel NK, menguatkan sintesis TNF oleh makrofag yang
terstimulasi oleh LPS (Abbas, dkk. 2007b).
Tumor Necrotic Factor mempunyai beberapa reseptor yaitu reseptor TNF p55
(TNFR1, CD 120a), TNFR p75 (TNFR2, CD120b) dan reseptor lymphotoxin-β (LTβR).
Signaling melalui reseptor ini diinduksi oleh ikatan tiga ligan yang berbeda yaitu TNF,
LTβ dan LTα. Tumor Necrotic Factor dipecah dari permukaan sel oleh TNF converting
enzyme (TACE), yang diproduksi oleh sel efektor. TNF dan LTβ disintesis sebagai
protein-protein tranmembran tipe 2 dan merupakan sitokin yang soluble setelah dipecah
oleh TACE (Schluter dan Deckert, 2000).
Tumor Necrotic-Alfa dan LTβ dapat berikatan dan mengaktifkan TNFR1 dan
TNFR2. Lymphotoxin-β dapat berikatan dengan LTβR. Tumor Necrotic Factor
Receptor-1 dan TNFR2 dapat juga dipecah dari permukaan sel target. Tumor Necrotic
Factor Receptor yang berikatan dengan ligan TNF dapat berfungsi sebagai antagonis atau
agonis bioaktivitas TNF (Schluter dan Deckert, 2000).
Reseptor TNF merupakan anggota dari famili protein yang besar, yang berperan
dalam respon imun dan inflamasi. Aktivasi TNFR1 berhubungan dengan respon spesifik
organ dan selular yang meliputi cytotoxicity, induksi dan produksi sitokin, MHC class I
and II cell surface expression, cell adhesion molecule expression, inhibisi cell growth,
apoptosis, perbaikan dan kerusakan jaringan, neurotoksisitas dan neuroproteksi.
Sedangkan ekspresi TNFR2 berhubungan dengan proliferasi thymocyte, nekrosis kulit
31
yang dimediasi TNF, proliferasi sel T dan apoptosis. Signaling TNFR1 diperlukan untuk
reaksi imun terhadap sebagian besar infeksi bakteri, sedangkan peran TNFR2 minimal
bahkan hampir tidak berperan pada infeksi bakteri. Signaling TNFR1 terutama penting
dalam aktivasi makrofag, neutrofil untuk membunuh agen-agen infeksius, produksi NO,
induksi respiratory burst, produksi kemokin dan membentuk granuloma. Pada infeksi
virus yang lebih berperan adalah TNFR2. Signaling TNFR pada infeksi virus mempunyai
efek yang berbeda, yaitu sebagai aktivitas anti virus dan juga menyebabkan kerusakan
organ (Schluter dan Deckert, 2000).
Dua permukaan sel reseptor untuk TNF α, yaitu reseptor TNF α 1 dan 2 (TNFR1
dan TNFR2) (dengan ukuran masing-masing 55 dan 75 kDa) telah diketahui dan
diidentifikasi (Hohmann, dkk.1990). Dua reseptor ini memediasi jalur dan respon
inflamasi yang berbeda tetapi tidak dapat dibedakan dengan cara farmakologis (Vilcek
dan Lee, 1991). Lymphotoxin-α (LT-α) juga berikatan dengan reseptor yang sama seperti
TNF-α, akibatnya administrasi TNF-α dan LT-α menyebabkan respons biologis yang
sama secara in vivo dan in vitro (Beutler B, 1999). Redundansi dalam mengikat reseptor
dan pola ekspresi yang tumpang tindih, membuat perbedaan antara fungsi TNF-α dan LTα agak sulit.
Pada pemeriksaan kinetik reseptor TNF-α (TNFR 2) yang terlarut plasma, dalam
merespon pelepasan sitokin TNF-α, menunjukkan bahwa ikatan TNF-α dengan reseptor
tersebut, proses binding, memiliki fase awal sangat cepat, maksimal pada 30 menit
setelah terpapar oleh sitokin dan berakhir sekitar 60 menit kemudian. Fase kedua binding
dimulai 2 jam pasca paparan sitokin. Pemeriksaan kadar TNF-α reseptor lebih lanjut
32
memerlukan pemeriksaan serial dan berkelanjutan untuk melihat respon inflamasi yang
terjadi (Aderka D, 1992).
Gambar 2.4
Ligand dan reseptor TNF (Schluter dan Deckert, 2000)
Fungsi fisiologik dari TNF adalah menstimulasi rekruitmen netrofil dan monosit
ke tempat infeksi dan mengaktivasi sel-sel ini untuk mengeradikasi mikroba. TNF
melakukan fungsi fisiologik ini melalui beberapa cara pada sel endotel vaskular dan
leukosit. Beberapa mekanisme tersebut adalah (Abbas, dkk. 2007b):
1. Tumor Necrotic Factor menginduksi sel-sel endotel untuk mengekspresikan
molekul-molekul adesi yang menyebabkan permukaan endotel adesif terhadap
leukosit terutama netrofil yang kemudian diikuti oleh monosit dan limfosit.
Molekul-molekul adhesi yang paling penting adalah selektin dan integrin.
33
2. Tumor Necrotic Factor menstimulasi sel-sel endotel dan makrofag untuk
mensekresi kemokin dan menguatkan afinitas integrin leukosit terhadap ligandnya
dan menginduksi kemotaksis dan rekruitmen leukosit. TNF juga menyebabkan
phagosit mononuklear menstimuli sekresi IL-1.
3. Tumor Necrotic Factor menstimulasi aktivitas neutrofil dan makrofag
Pada kadar rendah TNF berespon pada leukosit dan endotelium dalam
menginduksi inflamasi akut. Pada kadar sedang, TNF dapat menyebabkan inflamasi
sistemik, sedangkan pada kadar tinggi dapat menyebabkan abnormalitas patologik syok
septik. Konsentrasi TNF dalam serum merupakan prediktor luaran infeksi gram negatif
berat (Abbas, dkk. 2007b).
Pada infeksi berat, TNF diproduksi dalam jumlah yang besar dan menyebabkan
abnormalitas patologik dan klinis sistemik. Jika stimulasi produksi TNF sudah cukup
kuat, jumlah sitokin yang diproduksi juga banyak, masuk ke aliran darah dan beraksi
pada suatu tempat sebagai hormon endokrin. Reaksi sistemik TNF sbb. (Abbas, dkk.
2007b):
1. Tumor Necrotic Factor bereaksi pada hipothalamus dan menginduksi panas/fever,
dan disebut sebagai pyrogen endogen. Produksi panas sebagai respon dari TNF
dan IL-1, dimediasi oleh peningkatan sintesis prostaglandin oleh sel-sel
hipothalamus yang terstimulasi oleh sitokin.
2. Tumor Necrotic Factor bekerja pada hepatosit yang dapat meningkatkan sintesis
protein serum seperti serum amyloid A protein dan fibrinogen. Peningkatan
protein plasma ini dinduksi oleh TNF, IL-1 dan IL-6 yang menyebabkan respon
inflamasi fase akut.
34
3. Produksi TNF yang berkepanjangan, menyebabkan wasting otot dan sel-sel lemak
yang disebut dengan kaheksia. Wasting terjadi karena TNF menekan napsu makan
dan menurunkan sistesis lipoprotein lipase, suatu enzym yang diperlukan untuk
pengeluaran asam lemak dari lipoprotein yang digunakan oleh jaringan.
4. Pada saat TNF diproduksi dalam jumlah yang besar, kontraktilitas miokardial dan
tekanan vaskular otot polos dihambat, menyebabkan tekanan darah menurun dan
terjadi syok.
5. Tumor Necrotic Factor menyebabkan trombosis intravaskular, terutama karena
kehilangan antikoagulan endotelium. TNF menstimulasi ekspresi sel endotel
jaringan,
suatu
aktivator
koagulan
poten,
dan
menghambat
ekspresi
trombomodulin, suatu inhibitor koagulan. Peningkatan endotel yang dieksaserbasi
oleh aktivasi neutrofil, menyebabkan penyumbatan vaskular oleh sel-sel tersebut.
Kemampuan sitokin ini yang menyebabkan nekrosis tumor, akibat dari trombosis
pembuluh darah tumor.
6. Tingkat sirkuasi TNF yang tinggi menyebabkan gangguan metabolik berat, seperti
kadar gula darah menurun. Hal ini karena adanya pemakaian glukosa yang
berlebihan oleh otot dan kegagalan hati dalam mengganti glukosa.
Pada proses inflamasi terjadi peningkatan permeabilitas vaskular yang
memudahkan netrofil dan monosit memasuki jaringan yang mengalami inflamasi. Sel
endotel mengkerut sehingga molekul-molekul besar dapat melewati dinding vaskular.
Mobilisasi sel-sel lekosit dari sumsum tulang dan bergerak ke sirkulasi, merupakan
pengaruh dari IL-1, TNF- α dan endotoksin. Sel endotel berperan dalam pengaturan tonus
vaskular dan perfusi jaringan melalui pelepasan komponen vasodilator. Sel endotel
35
bereaksi cepat untuk meningkatkan ekpresi protein permukaan berupa protein selektin.
Sel endotel dipengaruhi oleh TNF, IL-1 dan endotoksin sehingga sel endotel
berpartisipasi aktif dalam respon inflamasi terutama ekspresi molekul adhesi seperti Pselektin, E-selektin (ELAM-1, endothelial-leukocyte adhesion molecule), ICAM-1
(Intercellular Adhesion Molecule) (Karnen, 2000b).
Molekul protein selektin sebagai perantara terjadinya rolling pada sel endotel.
Molekul Selektin P (tersimpan dalam granula sitoplasmik dan secara cepat dapat
terdistribusi pada sel endotel karena pengaruh sitokin) dan Selektin E (sintesisnya terjadi
setelah adanya paparan terhadap IL-1 dan TNF-α, terekspresi pada permukaan sel dalam
1 – 2 jam ). Tipe Selektin ketiga adalah L selektin (CD 62L) diekspresikan oleh limfosit
dan sel leukosit lain. Selektin ini bertindak sebagai homing receptor untuk sel T virgin
dan sel dendritik pada kelenjar getah bening. Selektin ini menyediakan pula kesempatan
ikatan antara neutrofil dengan endotel terutama pada sel PMN neutrofil (Karnen, 2000b;
Kumar, dkk. 2007; Abbas, dkk. 2007c). Selektin L dan ligan karbohidrat akan berikatan
dengan Selektin P dan E dengan afinitas rendah, menyebabkan proses pergerakan berupa
ikatan dan lepasan yang berulang ulang (disebut gerakan rolling) pada permukaan
endotel. Saat ini pergerakan leukosit semakin lambat sehingga memungkinkan stimulus
lanjutan yang akan bekerja pada leukosit (Abbas, dkk. 20007c).
Molekul kemokin berupa peptida ukuran kecil dapat meningkatkan afinitas molekul
integrin dan menstimulasi kemotaksis. Kemokin diproduksi oleh makrofag, sel endotel
dan beberapa tipe sel sebagai respon terhadap adanya produk mikroba, IL dan TNF α.
Kemokin diproduksi pada tempat infeksi, ditranspor ke dalam sel endotel pada
permukaan lumen postcapillary venules, dan terikat dengan senyawa heparan sulfat
36
glikosaminoglikan. Kemudian akan terjadi ikatan antara kemokin dengan reseptornya
pada permukaan leukosit yang sedang mengalami proses rolling. (Karnen, 2000b;
Kumar, dkk. 2007; Abbas, dkk. 2007c).
Molekul Integrin adalah keluarga molekul adesi yang terekpresi pada Leukosit.
Molekul ini berada dalam keadaan low state jika tidak teraktivasi. Chemokine receptor
signaling meningkatan afinitas integrin dengan ligannya serta menyebabkan membrane
clustering. Hal ini menyebabkan peningkatan aviditas ikatan sel leukosit dengan
permukaan sel endotel (Karnen, 2000b; Kumar, dkk. 2007; Abbas, dkk. 2007c).
Setelah meningkatkan ekspresi molekul integrin, kemokin akan merangsang sel
inflamasi untuk bermigrasi melalui celah antar endotel menuju tempat infeksi. Beberapa
protein lain akan tereskpresi pula pada leukosit serta sel endotel (terutama protein CD31)
dalam rangka migrasi sel leukosit menerobos endotel menuju jaringan ekstravaskuler.
Leukosit juga diperkirakan memproduksi enzim yang mampu membuat mereka melewati
dinding pembuluh darah (Karnen, 2000b; Kumar, dkk, 2007; Abbas, dkk. 2007c).
37
Gambar 2.5
Proses perekrutan leukosit PMN (Abbas, dkk. 2007c)
2.3.2 Interleukin-6 (IL-6)
Interleukin-6 merupakan sitokin proinflamasi yang diproduksi oleh berbagai jenis sel
seperti fibroblast, sel-sel endotel, monosit. IL-6 merupakan sitokin multifungsi yang
berperan dalam diferensiasi dan pertumbuhan sel-sel haematopoietik, sel-sel B, sel-sel T,
keratinosit, sel-sel saraf, osteoklas dan sel-sel endotel. Selain itu IL-6 juga memodulasi
transkripsi beberapa gen hati selama fase inflamasi akut, menginduksi sintesis protein
fase akut pada hepatosit, dan berperan dalam perkembangan fever. Berbagai penelitian
mendapatkan hubungan antara tingkat IL-6 pada proses inflamasi berbagai penyakit
seperti pada cairan sinofial, serum reumatoid artritis, tuberkulosis dan stroke (Robak,
dkk. 1998; Ahmet, dkk., 2001; Craig, dkk., 2004).
38
Sitokin IL-6 diaktifkan baik perkembangan maupun diferensiasinya melalui suatu
sistem reseptor spesifik yang diekspresikan pada permukaan sel target. Komplek reseptor
IL-6 terdiri dari dua protein yang berbeda yaitu ligand 80-kDa yang berikatan dengan
glycoprotein (IL-6R) dan gp 130 yang berfungsi untuk tranduksi signal selular (Robak,
dkk. 1998). Pada awalnya IL-6 berikatan dengan subunit- α glikoprotein dengan afinitas
rendah (80-kD) yang lebih dikenal dengan nama reseptor IL-6 (IL-6R) atau gp80.
Kompleks IL-6/IL-6R ini menerima tranduksi signal subunit- β berupa glikoprotein
dengan ukuran 130 kD atau sering disebut gp130 melalui ikatan kovalen. Pengikatannya
dengan tranduksi signal gp30 tidak terjadi sendiri-sendiri yaitu IL-6 atau IL-6R
melainkan terjadi setelah melalui pembentukan kompleks IL-6/IL-6R (Michael, dkk.,
1997; Varghese,dkk. 2002).
Struktur IL-6 berupa struktur protein 4- α helix termasuk golongan hematopoietin
dalam penggolongan sitokin. Kedua subunit reseptor IL-6, IL-6R dan gp130 juga
diklasifikasikan ke dalam kelompok famili reseptor sitokin hemapoietin. Bagian
ekstraselulernya mengandung domain menyerupai fibronektin-III. Aktivitas IL-6
bersinergi dengan aktivitas IL-11, cilliary neutrophic factor (CNTF), leukemia-inhibitory
factor (LIF), oncostatin-M (OSM) dan cardiotrophin-1 (CT-1) yang semuanya termasuk
subfamili IL-6 sebagai akibat adanya peran aktif dari gp130 sebagai subunit tranduksi
signal dalam responnya terhadap komplek reseptor dengan afinitas tinggi (Arzt, 2001;
Varghese,dkk. 2002).
Produksi IL-6 yang terjadi di sel-sel pituitary anterior, dimana sitokin ini
berfungsi sebagai autokrin atau parakrin untuk meregulasi fungsi dan pertumbuhan
pituitary maupun respon neuro-endokrin. Produksi IL-6 meningkat melalui berbagai
39
stimuli seperti IL-1, phorbol esters, LPS bakteri, vasoactive intestinal polypeptide (VIP),
forskolin, IFNs, TNF- dan pituitary adenylate cyclase-activating polypeptide (PACAP).
IL-6, LIF, IL-11 dan CNTF yang diproduksi di kelenjar pituitary, akan mempengaruhi
sekresi hormon pituitary anterior seperti adrenocorticotropic hormon (ACTH), yang
berperan penting dalam respon neuro-endokrin. Selama proses inflamasi akut atau kronik
atau infeksi, sitokin ini akan bekerja pada sel-sel pituitary anterior, dan kemudian
berintegrasi dengan respon neuro-endokrin (Arzt, 2001).
2.4 Pengaruh Sistem Neuroendokrin terhadap Respon Imun
Sistem saraf, endokrin, dan sistem imun saling berhubungan satu sama lainnya. Sel-sel
dari ketiga sistem ini tampaknya secara bersama-sama menggunakan reseptor yang sama
untuk reseptor neurotransmiter, hormon, maupun sitokin dalam upaya melakukan sintesis
dan sekresi molekul-molekul yang sama pula seperti sitokin dan neuropeptide (Akbar dan
Cook, 2006; Clancy, 1998).
Setelah terjadi paparan antigen pada tubuh, respon imun akan dimulai, dimana
akan terjadi sintesis dan pengeluaran sitokin dari sel-sel imun yang aktif ke dalam
sirkulasi. Kadar sitokin akan meningkat, terjadi perubahan pada neuron-neuron di
hipotalamus yang mencetuskan 2 jalur yang berbeda dari otak ke organ-organ limfoid
perifer. Jalur pertama meliputi pengeluaran CRF dari hipotalamus, sedangkan jalur kedua
meliputi aktivasi sistem saraf simpatis (sympathetic nervous system/SNS) (Clancy, 1998)
Pada jalur pertama sistem saraf secara langsung atau tidak langsung mengatur produksi
berbagai hormon, misalnya kortikosteroid, hormon pertumbuhan, prolaktin, αmelanocyte-stimulating hormone, tiroksin, dan epinefrin (adrenalin). Sedangkan pada
40
jalur kedua sebagian besar jaringan limfoid secara langsung menerima persarafan
simpatis sepanjang pembuluh darah jaringan dan langsung pada limfosit (Akbar dan
Cook, 2006).
Limfosit mengekspresikan berbagai reseptor untuk hormon, neurotransmiter,
neuropetida, dimana ekspresi dan respon ini bervariasi antara berbagai jenis limfosit dan
monosit. Kortikosteroid, endorfin, dan enkefalin, dan semua hormon yang diproduksi
selama terjadi stres bersifat imunosupresif. Kortikosteroid berperan utama sebagai
mekanisme umpan balik respon imun. Limfosit dapat memberikan respon terhadap CRF
membentuk hormon ACTH, yang dapat menginduksi pengeluaran kortikosteroid.
Kortikosteroid akan menghambat produksi sitokin Th1, sementara produksi Th2 tidak
dihambat, serta menginduksi produksi TGF-β sehingga akan menghambat respon imun
(Akbar dan Cook, 2006).
Pengaruh antara sistem neuroendokrin dengan sistem imun tidak bersifat satu arah
(unidirectional). Sitokin khususnya IL-1 dan IL-6 yang diproduksi oleh sel-sel T, neuronneuron, sel-sel glia dan sel-sel di dalam pituitari dan kelenjar adrenal merupakan
modulator komunikasi neuroendokrin-imun yang bekerja secara dua arah (bidirectional).
Sitokin ini merupakan stimulator poten dari produksi kortitosteroid adrenal, melalui
pengaruhnya pada CRH (corticotrophin releasing hormone) (Akbar dan Cook, 2006).
Sistem saraf pusat dan sistem imun merupakan 2 sistem adaptif utama yang
berespon cepat jika terdapat perubahan-perubahan seperti stres lingkungan, kerusakan
jaringan atau infeksi. Komunikasi sistem imun dan neuroendokrin terjadi secara 2 arah,
berdasarkan sekresi sitokin, hormone, neurotransmitter dan neuropeptide (Borghetti, dkk.
2009) .
41
Pada keadaan stres atau infeksi, akan terjadi respon adaptif terhadap stres melalui
aktivasi
sistem neuroendokrin.
Respon
neuroendokrin
meliputi aktivasi
HPA
(hypothalamic-pituitary-adrenal), sekresi kortisol dari kelenjar endokrin, aktivitas aksis
somatotropik
dan
aktivasi
HPG
(hypothalamic-pituitary-gonadal)
dan
HPT
(hypothalamic-thyroid system) (Borghetti, dkk. 2009).
Jalur neural (inervasi simpatik dan parasimpatik) juga berperan dalam regulasi
respon imun innate pada tingkat regional, lokal dan sistemik melalui neurotransmitter
(katekolamin, acethylcholine), neuropeptida, Vasoactive Intestinal Peptide (VIP),
Subtance P (SP), Calcitonin-gene related peptide (CGRP) yang mempunyai efek
bervariasi terhadap aktivasi sel-sel imun dan produksi sitokin (Borghetti, dkk. 2009).
Berbagai macam sitokin disekresi oleh sel-sel sistem saraf pusat (SSP) yaitu IFNα, IFN-γ, IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF-α, terutama diproduksi oleh astrosit dan mikroglia.
IL-1, IL-6, Transforming Growth Factors (TGF)-β, LIF (Leukemia Inhibitor Factor),
MIF (Macrophage Inhibitor Factor), IL-10, IL-18 dapat diproduksi oleh hipotalamus dan
atau kelenjar pituitari. Sitokin pro-inflamasi dan pro-imun dapat mempengaruhi aktivitas
endokrin pada SSP, timus dan kelenjar adrenal. Sitokin dapat menstimulasi atau menekan
sekresi hormon pada tingkat yang berbeda-beda di susunan saraf pusat. Sitokin yang
terutama berperan dalam komunikasi sistem imun dan sistem neuroendokrin adalah IL-1,
TNF-α, IL-2 , IL-6, IFN-γ, IL-12 dan IL-10 (Borghetti, dkk. 2009).
Beberapa hormon dan neuropeptide memodulasi interaksi lingkungan mikro
thymus, produksi sitokin dan aktivitas endokrin timus dan mengontrol proliferasi dan
apoptosis sel T timus. Beberapa hormon seperti GCs (Glucocorticoids), GH (Growth
Hormone), PRL (Prolactin), hormon tiroid dan neuropeptide dapat memodulasi hormon
42
timus. Hormon timus juga memodulasi produksi hormon hipotalamus/pituitari dan
neuropeptide (Borghetti, dkk. 2009).
Leptin dan juga adipokines dikeluarkan oleh white adipose tissue (WAT),
merupakan organ endokrin multifungsi, berfungsi memproduksi berbagai sitokin proinflamasi dan anti-inflamasi, mediator, dan hormon yang berfungsi dalam proses regulasi
keseimbangan energi dan metabolisme. Protein-protein spesifik seperti leptin,
adiponectin, resistin, vistatin, vasfin dan kelompok adipokines yang terdiri dari sitokin
klasik (TNF-α, IL-6, IL-8), Growth factor (TGF-β) berperan dalam fase akut dan respon
stres (Borghetti, dkk. 2009).
43
Gambar 2.6
Komunikasi dua arah antara sistem imun dan sistem neuroendokrin
(Borghetti, dkk. 2009)
2.4.1 Autoregulasi sistem endokrin dengan sistem imun
Adanya paparan antigen akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel-sel imun. Sistem imun
akan mengeluarkan IL-1 yang dapat mencetuskan hipotalamus mengeluarkan CRF untuk
menstimuli ekspresi proopiomelanocortin (POMC) di dalam kelenjar pituitary. POMC
akan dikonversi secara enzymatik menjadi ACTH atau neuropeptide β-endorphin.
44
Adrenocorticotropin akan menginduksi sekresi kortikosteroid dari kortek adrenal, yang
kemudian beraksi secara langsung pada sel-sel imun untuk mensupresi aktivitasnya.
Molekul-molekul intermediate (CRF, β-endorphin, dan ACTH) dapat menguatkan
(enhancing) atau mensupresi sel-sel imun tergantung pada konsentrasinya dan tipe sel
imun yang terlibat. Hal ini yang disebut dengan sistem autoregulasi (Clancy, 1998).
Sistem autoregulasi dilakukan melalui 2 mekanisme. Pertama, kortikosteroid akan
menekan pengeluaran IL-1 dari sel-sel imun yang aktif. Kedua, pengeluaran Il-1 juga
dikurangi melalui sel-sel fagosit yang menelan antigen, sehingga antigen hilang dan tidak
terjadi sel-sel imun yang aktif. Kedua mekanisme tersebut akan menghilangkan signal IL1 pada hipotalamus. Namun demikian tubuh tidak ingin sistem imun terlalu disupresi
karena beberapa sel imun efektor tetap memerlukan memproduksi antibodi atau
membunuh sel-sel yang terinfeksi. Dengan alasan tesebut kortikosteroid juga melakukan
feedback baik ke hipotalamus maupun pituitari untuk menghambat pengeluaran CRF dan
sekresi ACTH. Penurunan CRF dan ACTH menyebabkan penurunan pelepasan
kortikosteroid dari kortek adrenal sehingga supresi signal terhadap sel-sel imun tidak
terjadi (Clancy, 1998).
Pengeluaran berbagai hormon endokrin dapat distimuli oleh adanya stres. Jika
stres terjadi sebelum terjadinya respon imun, antigen tidak dapat mengaktivasi sel-sel
imun, dimana akan disupresi oleh kortikosteroid. Namun jika stres terjadi selama
terjadinya respon imun, kadar kortikosteroid akan lebih meningkat, kadar akan meningkat
dalam waktu yang lama, yang akan menghasilkan supresi fungsi sel efektor dalam waktu
lama pula (Clancy, 1998).
45
2.4.2 Autoregulasi sistem saraf dengan sistem imun
Jalur kedua komunikasi antara otak ke perifer adalah melalui aktivasi sistem saraf
simpatis. Jika ada paparan antigen, akan menimbulkan aktivasi sel imun mengeluarkan
IL-1. Pengeluaran IL-1 merangsang hipotalamus mengeluarkan CRF. CRF akan
mengaktivasi sistem saraf simpatis mengeluarkan norepinephrine (NE). Sitokin yang
dikeluarkan dari sel-sel imun juga dapat melewati sistem saraf pusat dan menstimulasi
jalur lain yang dapat mengaktivasi sistem saraf simpatis. Serat-serat saraf simpatis yang
mengandung NE dapat dijumpai pada organ limfoid primer maupun sekunder. Di dalam
ginjal dan kelenjar limfoid, serat-serat saraf simpatis berakhir pada suatu tempat yang
berdekatan dengan sel-sel T CD4+ dan T CD8+ dan di makrofag yang berada pada zone
marginal. Serat saraf ini jarang berakhir pada sel-sel B. Tahap selanjutnya setelah terjadi
pengeluran NE, akan terjadi immunosuppression atau immunoenhancement. Jika kadar
NE tinggi akan terjadi imunosupresi, akan menyebabkan pengeluaran IL-1 menurun, dan
penurunan aktivitas sistem saraf simpatis demikian sebaliknya (Clancy, 1998).
46
Gambar 2.7
Hubungan antara sistem endokrin, saraf dan imun (Akbar dan Cook, 2006)
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres pada Bayi Kurang Bulan, Berat Lahir
Rendah
Bayi kurang bulan rentan terhadap terjadinya berbagai macam stres, terutama
akibat berbagai infeksi/ inflamasi yang dialami maupun dari adanya stimulasi lingkungan
yang berlebihan atau prosedur invasif yang diberikan pada bayi.
47
Infeksi sebagai salah satu penyebab stres utama pada neonatus. Beberapa faktor
risiko terjadinya infeksi yaitu: kurang bulan dan berat lahir rendah, ketuban pecah dini
yang berkepanjangan (> 18 jam), cairan amnion keruh dan berbau, resusitasi saat lahir,
kehamilan multipel, prosedur-prosedur invasif, bayi dengan gangguan imunitas, dan
faktor-faktor lain seperti jenis kelamin laki-laki, ras kulit hitam, status sosial ekonomi
rendah. Faktor risiko terpenting terjadinya infeksi adalah kurang bulanitas atau berat lahir
rendah (Gomella, 1999).
Beberapa alasan bayi kurang bulan lebih sering mengalami infeksi adalah: 1)
Infeksi traktus genital pada ibu merupakan penyebab penting terjadinya kelahiran kurang
bulan, dimana terjadi risiko yang lebih tinggi terhadap transmisi vertikal dari ibu ke bayi
baru lahir; 2) Kejadian infeksi intraamniotik berhubungan dengan umur kehamilan; 3)
Bayi kurang bulan sering mengalami gangguan fungsi imun; 4) Bayi kurang bulan sering
mendapatkan intervensi atau prosedur invasif sehingga memudahkan masuknya infeksi
(Stoll, 2007). Adanya infeksi sistemik/sepsis yang dialami bayi kurang bulan sering
disebabkan oleh infeksi nosokomial.
Faktor predisposisi terjadinya infeksi ini adalah: 1) Faktor ekstrinsik seperti lama
rawat, prosedur invasif, karakterisitk paparan pada lingkungan Rumah Sakit maupun staf
Rumah Sakit misalnya rasio pasien dengan perawat, ketrampilan staf, teknik hiegiena; 2)
Faktor intrinsik meliputi sistem imun bayi kurang bulan yang masih imatur, defisiensi
umun, fungsi protektif dari kulit, membran mukosa dan traktus gastrointestinal, berat
lahir, usia gestasi, beratnya penyakit, asfiksia, asupan nutrisi, kelainan bawaan (MussiPinhata dan Rego, 2005).
48
Pada keadaan stres terjadi mekanisme yang melibatkan sistem neuro-imunoendokrin. Infeksi yang terjadi pada bayi kurang bulan akan menyebabkan sintesis IL-1
dan IL-6 meningkat. Stres yang terjadi juga dapat meningkatkan kadar hormon-hormon
stres seperti kortisol dan norepinefrin (Akbar dan Cook, 2006; Im dan Kim, 2008).
Pada saat terjadi paparan stres, respon imun mulai aktif, dimana akan terjadi
sintesis dan pengeluaran sitokin dari sel-sel imun yang aktif tersebut ke dalam sirkulasi.
Kadar sitokin akan meningkat, terjadi perubahan pada neuron-neuron di hipotalamus.
Pada hipotalamus akan terjadi pengeluaran CRF. Peningkatan produksi CRF
menyebabkan terjadinya peningkatan produksi hormon stres seperti efinefrin,
norepinefrin, kortisol. Mekanisme lain adalah melalui jalur jaringan limfoid. Jaringan
limfoid secara langsung menerima persarafan simpatis (Akbar dan Cook, 2006). Limfosit
mengekspresikan berbagai reseptor untuk hormon, neurotransmiter, neuropetida. Limfosit
dapat memberikan respon terhadap CRF membentuk hormon ACTH, yang dapat
menginduksi pengeluaran kortikosteroid. Sitokin khususnya IL-1 dan IL-6 yang
diproduksi oleh sel-sel T, neuron-neuron, sel-sel glia dan sel-sel di dalam pituitary dan
kelejar adrenal merupakan modulator komunikasi neuroendokrin-imun yang bekerja
secara dua arah (bidirectional). Sitokin ini merupakan stimulator poten dari produksi
kortitosteroid adrenal, melalui pengaruhnya pada CRH (Akbar dan Cook, 2006).
2.6 Peranan Pijat Bayi terhadap Sistem Imun
Pijat bayi merupakan terapi sentuh, yang dapat memberikan sensasi taktil dan persepsi.
Pijat bayi adalah salah satu pemberian stimulasi ekternal. Terapi sentuh pada tubuh
diterima oleh sistem saraf pusat dengan berbagai mekanisme dan dalam tingkatan yang
berbeda-beda.
49
Stimulasi ekternal berupa pijat bayi, diterima oleh tubuh melalui kontak kulit.
Aferen-aferen taktil menerima stimulasi ini kemudian diteruskan ke kortek somatosensori
primer (primary somatosensory cortex/SI) hemisfer kontralateral melalui kolumna dorsal,
lemnikus medialis dan thalamus. Kortek somatosensori primer ini mengandung
representasi permukaan tubuh/fisik (jalur 1) (Serino dan Haggard, 2010).
Pada bagian atas dari kortek somatosensorik primer terdapat daerah mental body
representation (MBRs). Respon MBRs tergantung pada input-input aferen yang melewati
kortek somatosensori (jalur 2). MBRs saling mempengaruhi proses taktil primer dengan
kortek somatosensori (jalur 3). Gambaran/representasi tubuh juga ada di dalam MBRs.
MBRs tidak hanya menerima rangsangan/stimuli somatik, tetapi juga berperan dalam
fungsi kognitif yang meliputi memori dan proses mental. Peranan MBRs selain
mempunyai persepsi terhadap bagian tubuh, juga persepsi terhadap obyek lain/dunia
eksternal terutama persepsi taktil dan visual (jalur 4). Demikian juga kortek
somatosensori mampu memberikan persepsi terhadap obyek ekternal (Serino dan
Haggard, 2010).
50
Gambar 2.8
Hubungan antara sentuhan dan representasi tubuh melalui 4 jalur yang berbeda
(Serino dan Haggard, 2010)
Stimulasi pijat melibatkan sistem neuro-imuno-endokrin. Salah satu sistem yang
terlibat adalah sistem hipotalamus-pituitari-adrenal. Jika bayi mengalami stres, sistem
fisiologis yang terlibat adalah sistem saraf otonomik (the autonomic nervous system
/ANS) yaitu cabang serat simpatik, dan sistem limbic-hypothalamic-pituitary-adrenal
(LHPA).
Nukleus paraventikular hypothalamus akan mengeluarkan corticotropin-
releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP) ke dalam sirkulasi portal
51
hipofise. Corticotrophin Releasing Hormone dan AVP secara sinergi menstimuli pituitari
anterior mengeluarkan ACTH dan endorphin menuju sirkulasi sistemik. ACTH akan
merangsang kortek adrenal mensekresi kortisol dan kortison. Aktivitas sistem LHPA
ditingkatkan oleh sitokin pro- inflamasi. LPHA dihambat oleh oxytocin, opioid endogen,
dan leptin (Elverson dan Wilson, 2005).
Kortisol merupakan glukokortikoid primer yang dapat masuk ke setiap sel dan
memberikan efek fisiologi. Kortisol dapat meningkatkan perolehan energi dengan
meningkatkan resistensi insulin dan meningkatkan glukogenesis. Kortisol berinteraksi
dengan norepinephrine dan epinephrine yang menyebabkan peningkatan fungsi
kardiovaskular dan pulmonal. Kortisol dapat menekan pertumbuhan dan inflamasi.
Kortisol juga akan menghambat atau memberikan umpan balik negatif terhadap sekresi
CRH dan AVP (Elverson dan Wilson, 2005).
Terapi pijat mempengaruhi hipotalamus menurunkan produksi corticotropinreleasing factor (CRF) akibatnya produksi hormon ACTH oleh hipofisis anterior
menurun. Aktivitas neurotransmitter serotonin meningkat yang akan meningkatkan
glucocorticoid receptor-binding capasity sehingga kelenjar adrenal akan menurunkan
produksi glukokortikoid seperti adrenalin atau hormon stres lain (epinefrin, norepinefrin,
kortisol). Penurunan CRF dan ACTH menyebabkan penurunan pelepasan kortikosteroid
dari kortek adrenal sehingga supresi signal terhadap sel-sel imun tidak terjadi. Pada
akhirnya jaringan limfoid akan menurunkan aktivitas sel T sehingga kadar IL-1 dan IL-6
juga menurun (Akbar dan Cook, 2006).
52
Gambar 2.9
Regulasi normal sekresi glukokortikoid adrenal (Elverson dan Wilson, 2005)
Download