BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Salah satu fenomena hukum di masyarakat yang mengemuka beberapa waktu belakangan ini adalah wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melimpahkan seluruh kasus korupsi yang saat ini ditangani Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Seperti diketahui bersama bahwa saat ini di Indonesia terdapat 2 (dua) jalur mekanisme hukum dalam menangani kasus-kasus korupsi, yaitu melalui Peradilan Umum biasa dan melalui Peradilan Khusus Tindak Pidana Korupsi yang pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUKPK). Pada dasarnya landasan dari keberadaan Pengadilan Tipikor ini adalah karena praktek korupsi di Indonesia dianggap sudah begitu melembaga dan sistematis sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara yang demikian besar, disamping hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap komitmen para Aparat Penegak Hukum, baik Polisi, Jaksa dan Hakim dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sehingga dianggap perlu untuk membentuk suatu pengadilan yang secara khusus menangani perkara-perkara korupsi dengan segala ciri dan pengaturannya yang khas, antara lain mengenai struktur organisasi, personil dan hukum acaranya. 1 1 Ronald Lumbuun, Suatu Analisa Yuridis Terhadap Wacana “Pengadilan Korupsi Satu Atap” ( Jakarta : Djambatan, 2006) Hal. 41 Universitas Sumatera Utara Tidak dapat dipungkiri bahwa lemahnya kinerja dari Pengadilan Umum dalam hal ini Pengadilan Negeri sangat mempengaruhi berkembangnya kasus korupsi dewasa ini, dapat kita lihat bahwa selama beberapa tahun belakangan ini dalam penanganan perkara korupsi, masih sangat mengecewakan. Baik Mahkamah Agung, maupun Pengadilan Umum dibawahnya Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Umum. Berdasarkan pemantauan dari Indonesia Corruption Watch selama tahun 2009 terdapat 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan diseluruh Indonesia, terdapat bahwa 224 terdakwa yang mendapat putusan atau divonis bebas oleh pengadilan ( 59,26 % ) dan hanya 154 terdakwa ( 40,74 % ) yang akhirnya divonis bersalah. 2 Hal tersebut tentu tidak akan memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi tersebut, karena vonis hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan perbuatan yang telah mereka perbuat. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari sejumlah perkara yang diadili oleh pengadilan umum selama tahun 2009 ini, yaitu : 1. jumlah vonis bebas atau lepas bagi terdakwa masih dominan dan mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya dimana berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch jumlah terdakwa yang mendapat vonis bebas/lepas pada tahun 2009 adalah 224 terdakwa hal ini menambah jumlah terdakwa yang dibebaskan atau dilepaskan oleh pengadilan umum sejak tahun 2005. 2. adanya kebiasaan baru dimana terdakwa divonis ringan sesuai batas minimal penjatuhan pidana yakni 1 tahun bahkan ada yang dibawah 1 tahun sedangkan yang 2 KPK Pos, Putusan Korupsi Coreng Wajah Pengadilan Umum, Edisi 85 ( 15-21 Februari 2010 ), Hal. 5 Universitas Sumatera Utara ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan bagi pelaku korupsi yang terbukti bersalah, maka dijatuhi pidana paling sedikit 1 tahun penjara dan paling banyak 20 tahun penjara. 3. fenomena hukuman percobaan dalam perkara korupsi semakin marak pula terjadi, hingga akhir 2009 ditemukan adanya 16 koruptor yang divonis dengan hukuman percobaan. Umumnya mereka dijatuhi vonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun, dengan kondisi ini maka dapat dipastikan terdakwa tidak perlu menjalani hukuman meskipun telah dinyatakan bersalah. 3 Terdapatnya disparitas Putusan Hakim dalam perkara korupsi tersebut menimbulkan suatu wacana untuk memperluas kewenangan Pengadilan Tipikor – yang berdasarkan pasal 53 UU KPK secara khusus hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK dan menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sebagaimana diatur dalam pasal 11 huruf c UU KPK – sehingga juga mengadili seluruh perkara korupsi yang diajukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. 4 Pembagian tugas dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Negeri ini sesungguhnya adalah semata-mata untuk melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini secara lebih efektif dan efesien, dimana pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan, baik oleh Pengadilan Negeri 3 Ibid. 4 http://khairuddinhsb.blog.plasa.com/2008/07/21/yudikatif-dan-korupsi/ diakses tanggal 5 Maret 2010 jam 15.10 Universitas Sumatera Utara maupun Pengadilan Tipikor. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konsitusi. Kedudukan Pengadilan Tipikor itu sendiri telah secara jelas ditentukan melalui pasal 54 ayat (1) UU KPK berada di dalam lingkungan Peradilan Umum yang mana di dalamnya dapat diadakan pengkhususan melalui suatu Undang-Undang, diantaranya adalah Pengadilan Tipikor. Adapun yang dimaksud dengan ”pengkhususan” disini adalah suatu diferensiasi dan spesialisasi yang terbatas pada Struktur Organisasi, Personil dan Hukum Acara guna tercapainya pemberantasan tindak pidana korupsi secara lebih efektif dan efisien, namun bukan terhadap “keberadaan” dari Pengadilan Tipikor yang telah secara jelas disebutkan pada pasal 54 ayat (1) UU KPK tersebut berada di dalam lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian, sesungguhnya yang sangat dibutuhkan oleh Bangsa kita dewasa ini guna dapat menyelesaikan perkara korupsi secara adil dan benar menurut hukum bukanlah dengan hanya sekedar mempersoalkan tentang “keberadaan” dari Pengadilan Korupsi, melainkan lebih kepada adanya suatu komitmen kolektif dari para Aparat Penegak Hukum, termasuk para Hakim di setiap jalur dan tingkatan Pengadilan, untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Disamping tentunya diperlukan pula ketelitian dan kecermatan Jaksa Penuntut Umum dalam mengkonstruksi suatu dakwaan yang berkualitas sehingga mampu membuktikan adanya unsur kesalahan dari Terdakwa berkaitan dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Universitas Sumatera Utara Semoga dengan terpenuhinya kedua hal tersebut diatas, pemberantasan segala bentuk tindak pidana korupsi di negeri ini yang memang telah begitu banyak menimbulkan kerugian bagi keuangan dan perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional dapat segera terwujud. B. Perumusan Masalah 1. Apa Saja Peranan Dan Kewenangan Dari Pengadilan Negri dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi ? 2. Bagaimana Mekanisme yang Dilakukan dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi di Indonesia? 3. Apakah Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Dualisme Kewenangan Mengadili Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Bagaimana Upaya Penanggulangannya? C. Tujuan Dan Mamfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Tujuan yang akan tercapai dari penulisan skipsi ini adalah : a) Untuk mengetahui sejauh mana peranan dan kewenangan dari pengadilan negeri dalam menangani kasus korupsi b) Untuk mengetahui apa saja peranan dan kewenangan dari pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam menangani kasus korupsi Universitas Sumatera Utara c) Untuk mengetahui Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Dualisme Kewenangan Mengadili Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Bagaimana Upaya Penanggulangannya 2. Manfaat Penulisan a) Manfaat Teoritis Untuk memberikan informasi,kontribusi,pemikiran dan menambah kasanah dalam bidang pengetahuan Ilmu Hukum Pidana pada umumnya dan tentang Tindak Pidana Korupsi pada khususnya.sehingga diharapkan skipsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dalam koleksi karya ilmiah yang berkaitan dengan hal tersebut. b) Manfaat Praktis 1) Untuk memberikan kontribusi dalam sosialisasi tentang Tindak Pidana Korupsi kepada masyarakat yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan peranan nya dalam mencegah dan memberantas Tindak pidana Korupsi di Indonesia. 2) Memberikan kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum pada umum nya dan khususnya bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dan pihak pengadilan negeri untuk lebih meningkatkan profesionalisme dan kinerjanya dalam menangani kasus korupsi demi upaya penegakan hukum yang baik. 3) Untuk membantu memberikan pemahaman tentang Efektifitas berbagai perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan mengadili Universitas Sumatera Utara dalam kasus Tindak Pidana Korupsi agar lembaga-lembaga yang telah bertugas dibidangnya masing-masing lebih mampu memaksimalkan kinerjanya untuk membantu mengurangi timbulnya kasus korupsi. D. Keaslian Penulisan Skipsi dengan judul ”Analisis Yuridis Mengenai Dualisme Kewenangan Mengadili Tindak Pidana Korupsi Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.skipsi tentang korupsi memang sudah ada sebelumnya tetapi dapat dipastikan bahwa sebenarnya substansi pembahasannya berbeda.ide dan pemikiran untuk menulis skipsi ini adalah benar-benar karya tulis penulis sendiri.oleh karena itu skipsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun akademik. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak Pidana adalah setiap perbuatan yang dapat dipidana yang diatur dalam ketentuan menurut Undang- undang ( Pasal 1KUHP ) . Tindak pidana atau strafbaar feit merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan unsur pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak Universitas Sumatera Utara akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu. 5 Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Sedangkan sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu. Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan. Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh 5 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2006) Hal. 5 Universitas Sumatera Utara mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu. 6 2. Pegertian Korupsi Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio yang artinya penyuapan,corruptore yaitu merusak 7.gejala dimana para pejabat,badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa : a) Kejahatan,kebusukan,dapat disuap,tidak bermoral,kebejatan dan ketidak jujuran 8. b) Perbuatan buruk seperti penggelapan uang,penerimaan uang sogok,dan sebagainya 9. c) Korup (busuk;suka menerima uang suap/sogok;memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. d) Korupsi ( perbuatan busuk seperti penggelapan uang,penerimaan uang sogok dan sebagainya. e) Koruptor (orang yang korupsi) 10 6 Ibid, hal 6 7 Ibid, hal 8 8 S.Wojowasito WJS Poerwadarminta,Kamus Lengkap Inggris Indonesia,Indonesia Inggris, ( Bandung : Hasta.,1976 ) Hal. 156 9 Ibid 10 Muhammad Ali,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta : Pustaka Amani.,1993)1993 Hal. 135 Universitas Sumatera Utara Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak.Jika membicarakan korupsi maka akan menemukan suatu kenyataan karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk,jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan dalam pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.Dengan demikian maka dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas yakni : a) Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan )untuk kepentingan diri sendiri b) Busuk, rusak, suka memakai uang atau barang yang dipercayakan kepadanya 11 Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan korupsi adalah perbuatan curang,tindak pidana yang merugikan keuangan negara 12. 3. Pegertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi adalah jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai salah satu kejahatan kerah putih( white collar crime), pada dasarnya jenis kejahatan ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang terhormat, mempunyai status sosial tinggi dan dilakukan dalam rangka pekerjaannya, umumnya merupakan pelanggaran kepercayaan.pengertian lain dari white collar crime antara lain sebagai berikut : 1. kejahatan yang dilakukan oleh orang yang duduk dibelakang meja. 2. kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berpangkat 11 Evi Hartanti, Op.Cit, Hal. 9 12 Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita.,1973),Hal. 97 Universitas Sumatera Utara 3. kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu pengetahuan. 4. ditafsirkan sebagai lawan kata ”crime using force” atau ”street crime”(kejahatan biasa). 5. kejahatan yang dilakukan dengan teknologi canggih 6. kejahatan yang non konvensional;dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian atau mempunyai pengetahuan teknologi canggih. 7. kejahatan terselubung. Akibatnya dalam pengungkapan kasus kejahatan kerah putih, aparat penegak hukum harus bekerja ekstra keras dibandingkan dengan pengungkapan kejahatan konvensional.Aparat penegak hukum seolah-olah terlebih dahulu beradu kepintaran dan kecerdikan dengan pelaku kejahatan 13. Jika kita berbicara mengenai Tindak pidana korupsi, sudah barang tentu kita harus merujuk kepada undang-undang untuk mengetahui apa yang dimaksud atau yang digolongkan dalam tindak pidana itu.karena pada dasarnya setiap perbuatan baru dapat digolongkan sebagai tindak pidana jika sudah ada undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu. Dengan demikian undang-undang tersebut haruslah merumuskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana yang bersangkutan.jika ada devenisi yang tegas dalam undang-undang itu maka kita harus melihat rumusannya dari unsur-unsur yang disebutkan dalam redaksi pasal yang mengatur mengenai suatu tindak pidana. 13 Romli atmasasmita, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi,Badan pembinaan hukum nasional Departemen Hukum dan HAM,2007 Universitas Sumatera Utara Istilah korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia : ”korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya” 14 Tindak pidana korupsi itu sendiri terbagi atas beberapa bagian yaitu : A. Tindak Pidana Korupsi diLuar KUHP Terbagi atas beberapa sub bagian : a. Tindak Pidana Korupsi yang bersifat Umum Yang dimaksud dengan bersifat umum dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan atau kekuasaan atau aparat pemerintah/negara.artinya dapat dilakukan siapa saja dari masyarakat umum. Hal ini diatur dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut : 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara paling singkat 4 (empat ) tahun dan paling lama 20 (dua puluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp.1.000.000.000.,00 ( satu miliar rupiah ). 2. Dalam hal Tindak pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati diajatuhkan. b. 14 Penyalahgunaan Kewenangan/Kekuasaan S.Wojowasito WJS Poerwadarminta, Op. Cit, Hal. 167 Universitas Sumatera Utara Hal ini diatur pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999,yang bunyinya sebagai berikut : ” setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling sedikit 1 ( satu ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh )tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah). Berdasarkan rumusan pasal 3 di atas maka dapat diketahui bahwa tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan adalah : a) Dengan maksud : b) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; c) Menyalahgunakan kewenangan atau kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; d) Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara. c. Memberi Hadiah dengan Mengingat Kekuasaan Hal ini diatur dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999,yang bunyinya sebagai berikut : ”setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaa atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp.150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta rupiah). Pada dasarnya ” hadiah ” tidak mengharapkan ”balasan ” dalam hal ini karena diberi dengan mengingat ” jabatan ” atau kedudukan ” berarti mengaharapkan sesuatu ”imbalan ”.dengan demikian istilah ”hadiah” tidak Universitas Sumatera Utara tepat dalam pasal ini yang tepat adalah ” memberikan sesuatu ” yang menurut Hoge Raad pada tanggal 26 April 1916 diartikan : ”meliputi setiap penyerahan barang sesuatu yang untuk orang lain mempunyai nilai dengan maksud sebagaimana dimuat dalam pasal ini. 15 d. Percobaan/Pembantuan/Pemufakatan Jahat Melakukan Tindak Pidana Korupsi Hal ini diatur dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang bunyinya sebagai berikut : ”setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemukafakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dengan Pasal 2, Pasal 3,Pasal 5 sampai Pasal 14” Penjelasan resmi atas Pasal 15 berbunyi sebagai berikut : ”ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 ( satu pertiga ) dari ancaman pidananya”. ”Percobaan” melakukan tindak pidana diatur oleh Pasal 35 KUHP, sedang ”pembantuan” diatur dalam Pasal 56 KUHP.istilah ”pemukafakatan” dipergunakan juga dalam Pasal 110 KUHP. Penjelasan istilah kata ”pemukafakatan” ada dimuat pada Rencana Undang-undang (RUU) KUHP1993 penjelasan Pasal 171 ( 1-8 ),antara lain sebagai berikut : ”........Pemukafakatan dapat dilihat dalam pasal 22 yaitu apabila ada dua orang atau lebih bersepakat untuk melakukan tindak pidana.....” 15 Soenarto Soerodibroto, .KUHP dilengkapi Arrest-arrest Hoge Raad Universitas Sumatera Utara Secara umum ” pemukafakatan” dalam ilmu hukum pidana,masih termasuk ”perbuatan persiapan” dan belum merupakan perbuatan pidana kecuali terhadap beberapa tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 22 RUU-KUHP-1993,yang berbunyi sebagai berikut : ” pemukafakatan jahat ( samenspanning,conspiracy)dapat dipidana meskipun perbuatan yang dilarang belum terlaksana sama sekali, namun niat jahat dari dua orang atau lebih itu, yang merupakan pemukafakatan jahat yang dipidana dibatasi hanya pada beberapa tindak pidana yang sangat serius dan dinyatakan dalam perumusan tindak pidana”. e. Sengaja Mencegah/Merintangi/Menggagalkan Penanganan Tindak Pidana Korupsi Hal ini diatur dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang bunyinya sebagai berikut : ”setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,penuntutan,dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 ( dua belas ) tahun dan denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 ( enam ratus juta rupiah)” Yang dihalangi/dirintangi/digagalkan tersebut adalah tersangka/terdakwa/s aksi dalam perkara korupsi. Hal ini berarti, jika tidak dalam perkara korupsi maka pasal 21 tidak dapat diterapkan atau jika masih penanganan perkara korupsi masih dalam tahap penyidikan. f. Dengan Sengaja tidak Memberi Keterangan yang Benar Universitas Sumatera Utara Hal ini diatur dalam Pasal 22 yang berbunyi sebagai berikut : ”sebagai orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29,Pasal 35 atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 ( tiga ) tahun dan paling lama 12 (dua belas ) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 ( enam ratus juta rupiah)”. Penjelasan resmi pasal 22 tersebut berbunyi ”cukup jelas” berdasarkanrumusan Pasal 22, maka unsur-unsur nya adalah : a. setiap orang yang disebut Pasal 28, 29, 35, dan 56; b. dengan sengaja; c. tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. g. Menyebut Nama atau Alamat Pelapor Hal ini diatur dalam Pasal 24,yang berbunyi sebagai berikut : ” saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun dan atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta rupiah )”. Penjelasan resmi Pasal 24 berbunyi cukup jelas. B. Tindak Pidana Korupsi yang Berasal dari KUHP Tindak pidana korupsi berasal dari KUHP, dapat diketahui antara lain dari : a) Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 yang rumusannya,antaralain sebagai berikut : ” .......dengan tidak mengacu pasal-pasal.....tetapi langsung menyebutkan unsurunsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu.....”16 16 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 1 Butir 2. Universitas Sumatera Utara b) Pasal 43B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang antara lain berbunyi sebagai berikut : ” Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417,418, 420, 423, 425,dan 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana......dinyatakan tidak berlaku ” 17 Berdasarkan rumusan diatas,maka Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 jelasjelas mengambil alih 13 (tigabelas ) pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjadi Tindak Pidana Korupsi. Pengertian terakhir adalah tindak pidana korupsi dimana disampaikan bahwa tindak pidana korupsi adalah : 1. setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara. 2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam undang-undang tersebut dirujuk dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir sebelum negara ini merdeka. Namun, sampai 17 Ibid, Pasal 43B Universitas Sumatera Utara dengan saat ini pemahaman masyarakat terhadap pengertian korupsi masih sangat kurang. Menjadi lebih memahami pengertian korupsi juga bukan sesuatu hal yang mudah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif yang selama ini dianggap sebagai hal yang wajar dan lumrah dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. 4. Pengertian Pengadilan Negeri Istilah Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki makna dan pengertian yang berbeda, perbedaannya adalah : 1. Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan. 2. Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank dalam bahasa Belanda yang dimaksud adalah badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni “adil” yang memiliki pengertian: a. Proses mengadili. b. Upaya untuk mencari keadilan. c. Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan. d. Berdasar hukum yang berlaku. Universitas Sumatera Utara Pembaharuan Lembaga Peradilan Reformasi hukum di bidang lembaga hukum menyeruakdalam penerapan system peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan amandemen UUD 1945 yakni pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (1) menyebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara. Ke-empat lembaga peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah Agung, baik dalam hal teknis yudisialnya maupun non teknis yudisialnya. Adapun strata ke-empat lembaga tersebut adalah: 18 a. Peradilan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Peradilan agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 18 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman), UU No. 48 Tahun 2009, Pasal 25 ayat 1-5. Universitas Sumatera Utara c. Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. d. Peradilan tata usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Pengertian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan yang khusus menangani perkara korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Pengadilan ini dibentuk berdasarkan pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 19 Dalam ayat 54 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 juga menyebutkan bahwa : (1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. 19 http;/www.kpk.go.id/modules/edito/doc/UU302002.pdf. diakses pada tanggal 13 Januari 2010 jam 14.15 Wib. Universitas Sumatera Utara (2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (3) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden. Dimana dengan adanya pengadilan Tindak Pidana Korupsi diharapkan akan membantu untuk mengurangi timbulnya Tindak pidana korupsi di Indonesia juga untuk membantu Pengadilan Negeri dalam menangani kasus-kasus korupsi. F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Dalam penulisan skipsi ini,agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan,dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum yuridis normatif yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka ( library research) yang berkaitan dengan isi dari skipsi ini. 2. Sumber Data Sebagaimana umumnya penelitian hukum normatif dilakukan dengan penelitian pustaka,yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan pustaka atau data sekunder,dimana data sekunder diperoleh dengan mempelajari sumbersumber bacaan yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skipsi.sumbersumber dalam penulisan skipsi ini berupa referensi dari beberapa Universitas Sumatera Utara buku,artikel,koran,majalah,dan wacana yang dikemukakan oleh pendapat para ahli hukum dengan cara membaca,menafsirkan,membandingkan serta menterjemahkan dari beberapa sumber yang berhubungan dengan hukum pidana umumnya dan korupsi pada khususnya. 3. Analisis Data Data-data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif.Analisa kualitatif ini ditujukan untuk mengungkap secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diurai secara komprehensif untuk mnjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan dalam skipsi ini. G. Sistematika Penulisan Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik,maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis.Agar penulisannya lebih terarah dan lebih mudah dipahami,maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur.Sistematika dalam penulisan skipsi ini adalah : BAB I :Berisikan pendahuluan yang didalamnya diuraikan mengenai latar belakang penulisan skipsi,perumusan masalah,kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan mamfaat penulisan skipsi,keaslian skipsi,tinjauan pustaka yang mengemukakan berbagai defenisi,rumusan dan pengertian dari beberapa istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan Universitas Sumatera Utara dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut,dan terakhir diuraikan sistematika penulisan. BAB II :Adalah tentang Peranan dan kewenangan pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi dalam mengadili tindak pidana korupsi.Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang dan dasar hukum di jadikannya pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi sebagai lembaga yang berwenang untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi,peranan dan juga kewenangan dari pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi dalam mengadili tindak pidana korupsi. BAB III :Dalam bab ini akan dibahas mengenai mekanisme penyelidikan,penyidikan,dan penuntutan, konektisitas dan pemeriksaan sidang pengadilan, tindakan-tindakan selama proses perkara, sidang In Absentia, dan pembuktian terbalik . BAB IV :merupakan pembahasan mengeni faktor-faktor penyebab terjadinya dualisme kewenangan mengadili antara pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi beserta upaya penanggulangannya. BAB V :Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran BAB II Universitas Sumatera Utara