pemanfaatan dan konservasi ekosistem lahan rawa gambut di

advertisement
149
Pemanfaatan danInovasi
konservasi
ekosistem
Pengembangan
Pertanian
1(2),...2008: 149-156
PEMANFAATAN DAN KONSERVASI EKOSISTEM
LAHAN RAWA GAMBUT DI KALIMANTAN
Tim Sintesis Kebijakan
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
PENDAHULUAN
Lahan rawa gambut di Indonesia cukup
luas, mencapai 20,6 juta ha atau 10,8% dari
luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat di empat pulau
besar, yaitu Sumatera 35%, Kalimantan
32%, Sulawesi 3%, dan Papua 30%. Lahan
rawa gambut adalah lahan rawa yang
didominasi oleh tanah gambut. Lahan ini
mempunyai fungsi hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan
manusia serta makhluk hidup lainnya
sehingga harus dilindungi dan dilestarikan.
Untuk menunjang pembangunan berkelanjutan maka pengembangan pertanian
pada lahan rawa gambut memerlukan
perencanaan yang cermat dan teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat. Konservasi dan optimalisasi pemanfaatan lahan rawa gambut
sesuai dengan karakteristiknya memerlukan informasi mengenai tipe, karakteristik, dan penyebarannya.
Makin terbatasnya lahan untuk mendukung ketahanan pangan dan memenuhi
kebutuhan areal perkebunan dalam rangka
1)
Naskah disampaikan pada Rapat Pimpinan
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bulan Februari 2008.
pengembangan bioenergi mendorong
pemerintah untuk memanfaatkan lahan
rawa gambut. Namun, lahan rawa gambut
merupakan ekosistem yang rapuh (fragile),
sehingga pemanfaatannya harus secara
bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada
karakteristik lahan.
Keppres No. 32 tahun 1990 dan Undang-undang No. 21 tahun 1992 tentang
penataan ruang kawasan bergambut menetapkan kawasan bergambut dengan
ketebalan 3 m atau lebih, yang letaknya di
bagian hulu sungai dan rawa, ditetapkan
sebagai kawasan lindung, yang berfungsi
sebagai penambat air dan pencegah banjir,
serta melindungi ekosistem yang khas di
kawasan tersebut. Peraturan ini perlu diberlakukan lebih efektif lagi, disertai sanksi
yang tegas bagi yang melanggarnya agar
lahan rawa gambut dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan dan tidak berdampak
buruk bagi lingkungan.
PERMASALAHAN
Pemanfaatan hutan rawa gambut untuk
pengembangan pertanian tanaman pangan dan perkebunan menghadapi kendala yang cukup berat, terutama dalam
mengelola dan mempertahankan produktivitas lahan. Keberhasilan pengembang-
150
Tim Sintesis Kebijakan
an lahan gambut di suatu wilayah tidak
menjadi jaminan bahwa di tempat lain akan
berhasil pula. Pemanfaatan lahan yang
tidak cermat dan tidak sesuai dengan karakteristiknya dapat merusak keseimbangan ekologis wilayah.
Berkurang atau hilangnya kawasan hutan rawa gambut akan menurunkan kualitas lingkungan, bahkan menyebabkan
banjir pada musim hujan serta kekeringan
dan kebakaran pada musim kemarau.
Upaya pendalaman saluran untuk mengatasi banjir, dan pembuatan saluran baru
untuk mempercepat pengeluaran air justru
menimbulkan dampak yang lebih buruk,
yaitu lahan pertanian di sekitarnya menjadi
kering dan masam, tidak produktif, dan
akhirnya menjadi lahan tidur, bongkor, dan
mudah terbakar.
Hutan rawa gambut mempunyai nilai
konservasi yang sangat tinggi dan fungsifungsi lainnya seperti fungsi hidrologi,
cadangan karbon, dan biodiversitas yang
penting untuk kenyamanan lingkungan
dan kehidupan satwa. Jika ekosistemnya
terganggu maka intensitas dan frekuensi
bencana alam akan makin sering terjadi;
bahkan lahan gambut tidak hanya dapat
menjadi sumber CO2, tetapi juga gas rumah
kaca lainnya seperti metana (CH4) dan
nitrousoksida (N2O).
ANALISIS PERMASALAHAN
Pengertian Lahan Rawa Gambut
Lahan rawa adalah lahan yang menempati
posisi peralihan antara daratan dan perairan. Lahan ini sepanjang tahun atau
selama waktu yang panjang dalam setahun
selalu jenuh air (waterlogged) atau tergenang. Keputusan Menteri PU No. 64/
PRT/1993 menyatakan lahan rawa di-
bedakan menjadi dua, yaitu rawa pasang
surut/rawa pantai dan rawa nonpasang
surut/rawa pedalaman.
Tanah gambut adalah tanah-tanah
yang jenuh air, tersusun dari bahan tanah
organik berupa sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang telah melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam
sistem klasifikasi taksonomi tanah, tanah
gambut disebut Histosols (histos, tissue:
jaringan) atau sebelumnya bernama Organosols (tanah tersusun dari bahan organik).
Tanah gambut selalu terbentuk pada
tempat yang kondisinya jenuh air atau
tergenang, seperti pada cekungan-cekungan daerah pelembahan, rawa bekas danau,
atau daerah depresi/basin pada dataran
pantai di antara dua sungai besar, dengan
bahan organik dalam jumlah banyak yang
dihasilkan tumbuhan alami yang telah
beradaptasi dengan lingkungan jenuh air.
Penumpukan bahan organik secara terusmenerus menyebabkan lahan gambut
membentuk kubah (peat dome). Aliran air
yang berasal dari hutan gambut bersifat
asam dan berwarna hitam atau kemerahan
sehingga di kenal dengan nama ‘sungai
air hitam’. Di Kalimantan, ada beberapa
spesies indikator yang mencirikan suatu
hutan rawa gambut, antara lain ramin
(Gonystylus bancanus), suntai (Palaquium burckii), semarum (Palaquium
microphyllum), terentang (Camnosperma
auriculata), dan meranti rawa (Shorea
spp.).
Karakteristik Lahan Gambut di
Kalimantan
Lahan gambut di Kalimantan umumnya
terletak pada zona lahan rawa air tawar, dan
sebagian pada zona lahan rawa pasang
151
Pemanfaatan dan konservasi ekosistem ...
surut. Secara spesifik, lahan gambut menempati berbagai satuan fisiografi/
landform, yaitu kubah gambut,cekungandataran danau, rawa belakang sungai, cekungan sepanjang sungai besar termasuk
oxbow lake atau meander sungai, dan dataran pantai. Dataran dan kubah gambut
terbentang pada cekungan luas di antara
sungai-sungai besar, dari dataran pantai
ke arah hilir sungai hingga mencapai jarak
10-30 km.
Berdasarkan tingkat kematangan atau
dekomposisinya, tanah gambut dibedakan
menjadi tiga, yakni: (1) gambut yang
tingkat dekomposisinya baru dimulai atau
masih awal, disebut fibrik, dengan jaringan
tumbuhan masih tampak jelas (mudah
dikenali); (2) gambut hemik, sekitar separuh
bahan (hemi = separuh/pertengahan) telah
mengalami dekomposisi; dan (3) gambut
saprik, sebagian besar gambut telah mengalami dekomposisi (matang). Dalam sistem
taksonomi tanah, tanah-tanah tersebut
pada tingkat subordo diklasifikasikan
sebagai Fibrists, Hemists, dan Saprists, dan
pada tingkat grup/kelompok (great group)
diklasifikasikan sebagai Haplofibrists,
Haplohemists, dan Haplosaprists. Tanahtanah gambut di daerah peralihan ke zona
rawa pasang surut diklasifikasikan sebagai
Sulfihemists atau Sulfisaprists.
Hasil inventarisasi dengan menggunakan citra satelit rekaman tahun 2002-2003
menunjukkan, luas lahan rawa gambut di
Kalimantan mencapai 5.769.246 ha, yang
terdiri atas lahan gambut sangat dangkal
(<50 cm) seluas 189.448 ha; dangkal (50100 cm) 1.740.585 ha; sedang (100-200 cm)
1.390.7887 ha; dalam (200-400 cm) 1.105.096
ha; sangat dalam (400-800 cm) 1.065.636
ha, dan dalam sekali (800-1200 cm) 277.694
ha. Lahan tersebut tersebar di Kalimantan
Barat 1.729.980 ha, Kalimantan Tengah
3.010.640 ha, Kalimantan Timur 696.997 ha,
dan Kalimantan Selatan 331.639 ha.
Lapisan tanah mineral bawah gambut
dapat berasal dari endapan liat marin, pasir
kuarsa, dan liat bukan marin (endapan
sungai). Pada gambut dengan lapisan tanah bawah dari endapan marin dapat
terjadi bahaya keracunan asam sulfat yang
berasal dari oksida senyawa sulfur. Keracunan terjadi bila lapisan gambut telah
menipis, baik karena kesalahan dalam
pembukaan maupun karena terjadinya
subsidence, sehingga senyawa pirit
teroksidasi dan menghasilkan asam sulfat
dan besi.
Adanya lapisan tanah bawah yang
berupa pasir kuarsa menunjukkan bahwa
gambut memiliki kesuburan yang rendah,
karena terbentuk dari vegetasi hutan yang
miskin unsur hara. Tanah gambut yang
terletak di atas lapisan tanah mineral relatif
lebih subur, karena lapisan tanah mineral
berasal dari lingkungan endapan sungai.
Gambut tersebut terdapat di daerah
pedalaman yang jauh dari pantai.
Lahan gambut memegang peranan
penting dalam hidrologi suatu daerah
rawa. Gambut memiliki daya menahan air
yang besar, yaitu 300-800% dari bobotnya,
sehingga daya lepas airnya juga besar.
Dalam kaitan ini, keberadaan lahan gambut,
terutama gambut sangat dalam (lebih dari
4 m), sangat penting untuk dipertahankan
sebagai daerah konservasi air, terlebih bila
pada bagian hilirnya terdapat kota-kota
pantai seperti Pontianak, Banjarmasin,
Balikpapan, dan Samarinda.
Sifat-sifat Fisika
Kerapatan lindak atau bobot isi (bulk
density-BD) gambut berkisar antara 0,05-
152
Tim Sintesis Kebijakan
0,30 g/cm3. Tanah gambut dengan kandungan bahan organik (> 38% C-organik)
lebih dari 65% mempunyai kerapatan lindak
untuk gambut fibrik 0,11-0,12 g/cm3, untuk
hemik 0,14-0,16 g/cm3, dan untuk saprik
0,18-0,21 g/cm3. Bila kandungan bahan
organik antara 30-60%, kerapatan lindak
untuk hemik adalah 0,21-0,29 g/cm3 dan
saprik 0,30-0,37 g/cm3. Nilai kerapatan
lindak sangat ditentukan oleh tingkat
pelapukan/dekomposisi bahan organik dan
kandungan mineral. Porositas gambut
yang dihitung berdasarkan kerapatan
lindak dan bobot jenis berkisar antara 7595%.
Jika tanah gambut dibuka dan mengalami pengeringan karena drainase maka
gambut akan ’kempes’ atau mengalami
subsidence sehingga terjadi penurunan
permukaan tanah. Bila tanah gambut
mengalami pengeringan yang berlebihan,
koloid gambut menjadi rusak dan terjadi
gejala kering tak balik (irreversible drying). Gambut berubah seperti arang dan
tidak mampu lagi menyerap hara dan
menahan air, sehingga pertumbuhan tanaman dan vegetasi menjadi kerdil dan
merana.
Sifat-sifat Kimia
Secara kimiawi, tanah gambut umumnya
bereaksi masam (pH 3,0-4,5). Gambut
dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH
4,0-5,1) daripada gambut dalam (pH 3,1-3,9).
Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na) dan
kejenuhan basa rendah. Kandungan Al
pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, dan berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi.
Kandungan unsur mikro, khususnya Cu,
Bo dan Zn, sangat rendah, namun kandungan besi (Fe) cukup tinggi.
Kadar abu merupakan petunjuk yang
tepat untuk mengetahui tingkat kesuburan
alami gambut. Pada umumnya gambut
dangkal (<1 m) yang terdapat di bagian tepi
kubah mempunyai kadar abu sekitar 15%,
bagian lereng dengan kedalaman 1-3 m
berkadar sekitar 10%, sedangkan di pusat
kubah yang lebih dari 3 m berkadar <10%
bahkan <5%.
Ketebalan gambut ikut menentukan
tingkat kesuburan tanah. Pada gambut
dangkal, pembentukan lapisan gambut
dipengaruhi oleh luapan banjir sungai
sehingga lebih subur daripada gambut
yang lebih dalam. Bila tanah bergambut (20
cm) sampai gambut sedang (180 cm)
ditanami padi, hasil gabah makin merosot
seiring makin tebalnya gambut. Makin
tebal gambut, kandungan abu makin
rendah, kandungan Ca dan Mg menurun
dan reaksi tanahnya lebih masam.
Pemanfaatan Lahan Rawa
Gambut di Sektor Pertanian
Pengembangan lahan gambut untuk pertanian menghadapi banyak kendala, antara
lain: (1) tingkat kesuburan tanah rendah,
pH tanah masam, kandungan unsur hara
NPK relatif rendah, dan kahat unsur mikro
Cu, Bo, Mn dan Zn; (2) penurunan
permukaan tanah yang besar setelah didrainase; (3) daya tahan (bearing capacity) rendah sehingga tanaman pohon
dapat tumbang, dan; (4) sifat mengkerut
tak balik, yang dapat menurunkan daya
retensi air dan membuatnya peka erosi.
Sehubungan dengan hal itu, pemanfaatan
lahan gambut untuk pertanian pada awalnya memerlukan investasi yang besar
153
Pemanfaatan dan konservasi ekosistem ...
untuk pembuatan saluran drainase, dan
dalam perkembangannya, pengelolaan air,
peningkatan kesuburan dan produktivitas
merupakan masalah utama yang harus
diatasi.
Kualitas air sungai (besar) yang membawa muatan sedimen dari daerah belakangnya (hinterland) beragam, sehingga
kualitas kesuburan tanah gambut juga
berbeda-beda. Oleh karena itu, keberhasilan pengembangan lahan gambut di
suatu wilayah tidak menjadi jaminan bahwa di tempat lain akan berhasil pula.
Gambut yang paling potensial untuk
pertanian adalah gambut dangkal (0,5-1 m)
sampai sedang (1-2 m) yang terletak pada
bagian pinggiran kubah. Wilayah ini
umumnya masih merupakan gambut topogen yang banyak bercampur dengan
bahan tanah mineral. Makin tebal gambut,
makin kurang potensinya untuk pertanian.
Gambut dalam (lebih dari 3 m) umumnya
miskin hara, dan sebaiknya tidak dibuka
atau dimanfaatkan untuk pertanian, karena
permasalahan yang cukup berat dalam
mengelola dan mempertahankan produktivitasnya.
Berbagai jenis tanaman dapat tumbuh
pada lahan gambut. Komoditas pertanian
yang dapat diusahakan di lahan gambut
antara lain adalah tanaman pangan (padi,
jagung, sorgum, ubi kayu, ubi jalar, talas),
tanaman palawija dan sayuran (kedelai,
kacang tanah, kacang tunggak, terung,
mentimun, kacang panjang, cabai), tanaman buah-buahan (nenas, pisang, nangka, jeruk, rambutan, mangga, petai, jengkol,
jambu mete), tanaman perkebunan (tebu,
kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, cengkih,
kapok, rami, rosela, karet, sagu), serta
bambu. Nenas, jagung, ubi kayu, dan talas
tumbuh sangat baik pada tanah gambut
dengan pemupukan dan pengapuran.
Potensi dan Kesesuian Lahan
Rawa Gambut untuk Pertanian
Potensi lahan gambut untuk pengembangan pertanian dipengaruhi oleh kesuburan alami gambut dan tingkat manajemen
usaha tani yang diterapkan. Produktivitas
usaha tani lahan gambut pada tingkat
petani, dengan input rendah sampai
sedang, berbeda dengan produktivitas
lahan gambut dengan tingkat manajemen
tinggi yang biasanya diterapkan oleh
swasta atau perusahaan besar.
Padi Sawah
Lahan rawa gambut yang sesuai untuk padi
sawah adalah tanah bergambut (tebal
lapisan gambut 20-50 cm) dan gambut
dangkal (0,5-1,0 m). Padi kurang sesuai
pada gambut sedang (1-2 m). Lahan rawa
gambut dengan ketebalan lebih dari 2 m
tidak sesuai untuk padi; tanaman tidak
dapat membentuk gabah karena kahat
unsur mikro, khususnya Cu.
Tanaman Palawija, Hortikultura, dan
Tanaman Lahan Kering Semusim
Lahan rawa gambut yang sesuai untuk tanaman pangan semusim (annual crops)
adalah gambut dangkal dan gambut sedang (ketebalan gambut 1-2 m). Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air
tanah tidak turun terlalu dalam dan turun
secara drastis, serta mencegah terjadinya
gejala kering tak balik, penurunan permukaan gambut yang berlebihan dan
oksidasi lapisan yang mengandung bahan
sulfidik (pirit).
154
Tim Sintesis Kebijakan
Penggunaan lahan rawa pasang surut
yang bertopografi datar untuk tanaman
pangan lahan kering umumnya dengan
menerapkan sistem ’surjan’. Dalam sistem
ini, lahan secara bersamaan dimanfaatkan
untuk padi sawah (pada tabukan) dan
tanaman lahan kering (pada pematang).
Tujuan utamanya adalah untuk memanfaatkan lahan secara optimal melalui
pengelolaan air yang tepat.
Pengembangan surjan memberikan
keuntungan komparatif berupa: (1) produksi lebih stabil, terutama untuk tanaman padi; (2) pengelolaan tanah dan pemeliharaan tanaman lebih murah; (3)
intensitas tanaman lebih tinggi; dan (4)
kemungkinan diversifikasi lebih besar.
Pembuatan surjan di lahan rawa perlu
memperhatikan beberapa faktor, yaitu
kedalaman lapisan bahan sulfidik (pirit),
tipe luapan air, ketebalan gambut, dan
peruntukan lahan atau jenis komoditas
yang akan dikembangkan.
Tanaman Tahunan/Perkebunan
Lahan rawa gambut yang sesuai untuk
tanaman tahunan/perkebunan adalah yang
memiliki ketebalan gambut 2-3 m. Beberapa
tanaman yang dapat tumbuh baik adalah
lain, karet, kelapa sawit, kopi, kakao, rami,
dan sagu.
Seperti pada tanaman semusim, pengelolaan air pada tanaman perkebunan perlu
diperhatikan dengan seksama. Pengeluaran air secara berlebihan akan menyebabkan gambut menjadi kering dan berpotensi mudah terbakar. Untuk menjaga
keseimbangan ekologis, kedalaman saluran drainase untuk tanaman karet disarankan sekitar 20 cm dan untuk tanaman
kelapa sawit maksimal 80 cm. Pada lahan
rawa gambut dengan ketebalan lebih dari
3 m, tanpa input dan manajemen tingkat
tinggi, tanaman tidak produktif.
Pemanfaatan lahan gambut dalam, lebih dari 3 m, untuk pengembangan pertanian menghadapi berbagai kendala, terutama pada tingkat manajemen rendah
sampai sedang. Pertumbuhan tanaman
terganggu karena kesuburan tanah rendah
dan kahat unsur hara mikro, di samping
kesulitan dalam mendesain saluran
drainase. Tanaman perkebunan, seperti
kelapa sawit, masih dapat dikembangkan
pada lahan rawa gambut yang tidak terlalu
dalam bila disertai dengan pengelolaan air
yang memadai dan pemberian amelioran.
Konservasi dan Pelestarian
Lingkungan di Kawasan Lahan
Rawa Gambut
Menurut Keppres No.32/1990 tentang
Kawasan Lindung dan Undang-undang
No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(UUTR), serta petunjuk penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah NasionalRTRWN, kawasan tanah gambut dengan
ketebalan 3 m atau lebih, yang terdapat di
bagian hulu sungai dan rawa, ditetapkan
sebagai kawasan lindung bergambut.
Perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk mengendalikan hidrologi
wilayah, berfungsi sebagai penambat air
dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan tersebut.
Kubah gambut dengan ketebalan lebih
dari 3 m merupakan satu kesatuan dengan
bagian tepinya yang dangkal (ketebalan
kurang dari 3 m). Oleh karena itu, pembukaan lahan gambut di bagian tepi, meskipun tidak melanggar Keppres No 32/
1990, akan berdampak buruk bagi kubah
155
Pemanfaatan dan konservasi ekosistem ...
gambut karena kegiatan di lahan gambut
dangkal, misalnya pertanian, sulit untuk
tidak melakukan pembakaran dalam penyiapan lahan. Pembakaran untuk penyiapan
lahan sering kali lepas kendali sehingga
api menjalar ke wilayah kubah gambut dan
menimbulkan kebakaran hebat. Di samping
itu, drainase yang berlebihan juga menyebabkan gambut menjadi kekeringan
dan mudah terbakar pada musim kemarau.
Pengelolaan lahan rawa gambut perlu
menerapkan pendekatan konservasi, yang
meliputi perlindungan, pengawetan, dan
peningkatan fungsi dan manfaat. Oleh
karena itu, berdasarkan fungsinya wilayah
rawa dibedakan ke dalam: (1) kawasan
lindung, (2) kawasan pengawetan, dan (3)
kawasan reklamasi untuk peningkatan
fungsi dan manfaat. Kawasan lindung dan
pengawetan disebut juga kawasan nonbudi daya, sedangkan kawasan reklamasi
disebut kawasan budi daya.
Wilayah rawa yang termasuk sebagai
kawasan lindung adalah: (1) kawasan
gambut sangat dalam, lebih dari 3 m; (2)
sempadan pantai; (3) sempadan sungai; (4)
kawasan sekitar danau rawa; dan (5)
kawasan pantai berhutan bakau. Kawasan
pengawetan atau kawasan suaka alam
adalah kawasan yang memiliki ekosistem
yang khas dan merupakan habitat alami
bagi fauna dan/atau flora tertentu yang
langka serta untuk melindungi keanekaragaman hayati. Kawasan ini diusulkan
untuk dipertahankan tetap seperti aslinya
atau dipreservasi dengan status sebagai
kawasan non-budi daya.
Lahan gambut, terutama gambut sangat dalam di sekitar suatu hutan suaka
alam mendapat prioritas untuk dijadikan
kawasan preservasi. Demi pengamanan
kawasan preservasi ditetapkan antara dua
sungai dengan batas-batas alami yang
jelas, walau di dalamnya terdapat juga
lahan nongambut dan ketebalan gambut
kurang dari 3 m.
Peraturan Pemerintah No.27 tahun 1991
bertujuan mengatur ekosistem lahan rawa
gambut sebagai kawasan tampung hujan
dan sumber air. Sebagai sumber air, rawa
(gambut) pedalaman sangat menentukan
keadaan air daerah pinggiran atau hilirnya.
Oleh karena itu, rawa di hulu sungai rawa
atau rawa pedalaman perlu dipertahankan
sebagai kawasan non-budi daya, yang berfungsi sebagai kawasan penampung hujan dan merupakan “danau” sumber air bagi daerah pertanian di sekitarnya.
Kawasan penampung hujan sebaiknya
berada pada lahan gambut. Gambut memiliki daya menahan air yang tinggi, 300800% bobotnya, sehingga daya lepas airnya juga besar. Gambut dalam (lebih dari 3
m), telah dinyatakan sebagai kawasan
non-budi daya dengan luas minimal 1/3 dari
luas total lahan gambut di wilayah daerah
aliran sungai tersebut. Banjir merupakan
kendala yang perlu diatasi, terutama dalam
pengelolaan rawa lebak. Rawa lebak dalam
dapat dimanfaatkan sebagai penampung
luapan banjir.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Lahan rawa gambut merupakan suatu alternatif untuk menggantikan lahan pertanian di Jawa yang telah mengalami
konversi untuk pemukiman dan industri.
Pemberdayaan lahan rawa gambut yang
merupakan lahan marginal harus dilandasi
dengan kajian yang cermat dan penerapan
teknologi yang sesuai, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan tidak
menurunkan kualitas lingkungan. Pengembangan lahan gambut dianggap
156
mendesak untuk mengantisipasi kekurangan bahan pangan dan pengembangan
bahan bakar nabati.
Hutan rawa gambut tropika di Kalimantan memiliki keanekaragaman hayati
dan merupakan sumber plasma nutfah
yang potensial. Lahan rawa gambut mempunyai nilai konservasi yang tinggi dan
fungsi-fungsi lain seperti fungsi hidrologi,
cadangan karbon, dan keanekaragaman
hayati yang penting untuk kenyamanan
lingkungan. Oleh karena itu, pengelolaannya perlu menerapkan pendekatan
konservasi.
Berdasarkan fungsinya, lahan rawa
gambut dibedakan ke dalam kawasan
lindung, kawasan pengawetan, dan kawasan reklamasi. Kawasan lindung dan
pengawetan disebut juga kawasan preservasi atau non-budi daya, sedangkan ka-
Tim Sintesis Kebijakan
wasan reklamasi sebagai kawasan budi
daya. Lahan gambut dengan ketebalan
lebih dari 3 m termasuk dalam kawasan
non-budi daya, dan sebaiknya tidak dibuka
untuk pengembangan pertanian.
Menurut Keppres No.32 tahun 1990,
kawasan lahan rawa gambut dengan
ketebalan 3 m atau lebih yang terdapat
pada bagian hulu sungai dan rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung bergambut, dan ditujuan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, sebagai penambat
air dan pencegah banjir. Lahan gambut
sangat dangkal (<50 cm) dapat digunakan
untuk sawah, gambut dangkal <200 cm
untuk tanaman palawija dan hortikultura,
serta gambut sedang (2-<3 m) untuk
perkebunan seperti kelapa sawit, karet dan
sagu, dengan perencanaan dan penerapan
teknologi yang sesuai.
Download