pernyataan persetujuan - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker Nasofaring
2.1.1 Definisi
Kanker nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring.
Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat
menyebar ke dalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior,
dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar
limfe leher.1,2,8
Nasofaring sendiri merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai
struktur berbentuk kuboid. Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya.
Banyak syaraf kranial yang berada di dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak
terdapat limfatik dan suplai darah. Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis,
stadium, dan terapi dari kanker tersebut.8
Gambar 1. Anatomi hidung, dimana terdapat nasofaring.9
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Ada 3 faktor penyebab terjadinya kanker nasofaring, yaitu adanya infeksi
Virus Epstein Barr (EBV), faktor genetik, dan faktor lingkungan yang
memungkinkan terjadinya insidens yang tinggi pada kanker nasofaring di Cina.8,10
a. Virus Epstein Barr (EBV)
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya
kanker nasofaring dengan keberadaan virus ini.2 Virus ini merupakan virus DNA
yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini
sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit
Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring.11
Virus ini seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi
juga dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi
penyakit.2,11 Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa
menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan
virus ini dibutuhkan suatu mediator.1 Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain
tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.2
b. Faktor Genetik
Telah banyak ditemukan kasus herediter dari pasien karsinoma nasofaring.12
Penelitian pertama menemukan adanya perubahan genetik pada ras Cina yang
dihubungkan dengan karsinoma nasofaring adalah penelitian tentang Human
Leucocyte Antigen (HLA).10 Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel
kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat
mutasi, putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik.
Universitas Sumatera Utara
Teori tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka
kejadian dari kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak ditemukan pada
masyarakat keturunan Tionghoa.2
c. Faktor Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya
kanker nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi
pada nelayan tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton yang
diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan
buah segar. 10
Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah
debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar,12 asap dupa, serbuk kayu industri,
dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan
kanker nasofaring belum dapat dijelaskan.10
Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (chinese
herbal medicine atau CHB) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
terjadinya kanker nasofaring, infeksi Virus Epstein Barr (EBV), dan penggunaan
CHB.2 Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko
yang tinggi menderita kanker nasofaring.10
2.1.3 Stadium
Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium kanker nasofaring. Di
Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan AJCC/UICC (American Joint Committe on Cancer / International Union
Universitas Sumatera Utara
Against Cancer). Cara penentuan stadium kanker nasofaring yang terbaru adalah
menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu :12,13
Tumor di nasofaring (T)
Tx
: Tumor primer tidak dapat ditentukan
To
: Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis
: Carcinoma in situ
T1
: Tumor terbatas di nasofaring
T2
: Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa
perluasan ke depan parafaring
T2b : Dengan perluasan ke parafaring
T3
: Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4
: Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang mastikator
Kelenjar limfe regional (N)
Nx
: Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan
No
: Tidak ada pembesaran KGB regional
N1
: Metastasis ke KGB unilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa
supraklavikula
N2
: Metastasis ke KGB bilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa
supraklavikula
Universitas Sumatera Utara
N3
: Metastasis ke KGB :
N3a : Ukuran KGB > 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3b : Terletak pada fossa supraklavikula
Metastasis jauh (M)
Mx
: Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
Mo
: Tidak ada metastasis jauh
M1
: Ada metastasis jauh
Stadium Kanker Nasofaring
0
: Tis No Mo
I
: T1 No Mo
IIa
: T2a No Mo
IIb
: T1-2a N1 Mo, T2b No-1 Mo
III
: T1-2b N2 Mo, T3 No-2 Mo
IVa
: T4 No-2 Mo
IVb
: Semua T N3 Mo
IVc
: Semua T No-3 M1
2.1.4 Gejala
Pada awalnya pasien mengeluh pilek biasa, kadang-kadang disertai dengan
rasa tidak nyaman di telinga, pendengaran sedikit menurun serta mendesing.2 Gejala
karsinoma nasofaring ini dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring
sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher.12,14
Universitas Sumatera Utara
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan pada hidung.
Pada keadaan lanjut hidung akan menjadi mampet sebelah atau keduanya. Penjalaran
tumor ke selaput lendir hidung dapat mencederai dinding pembuluh darah pada
daerah ini dan tentunya akan terjadi pendarahan pada hidung (mimisan).2
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba eustachius (fossa Rosenmuller). Keluhan ini dapat berupa
tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).8,12
Nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut
karsinoma nasofaring ini.12 Saraf yang paling sering terkena adalah saraf penggerak
bola mata, sehingga tidak jarang pasien mengeluhkan adanya gejala diplopia
(penglihatan ganda).2,12,14
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher biasanya yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.12
Manakala pasien merasa bahwa kelenjar leher menjadi semakin besar, maka dapat
dipastikan bahwa penyakitnya telah menjadi kian lanjut. Pembesaran kelenjar leher
merupakan pertanda penyebaran kanker nasofaring ke daerah ini yang tidak jarang
didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar.2
2.1.5 Diagnosis
Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita kanker nasofaring.
Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering
yang menyebabkan penderita kanker nasofaring berobat. Gejala hidung, telinga,
Universitas Sumatera Utara
gangguan neurologi juga sering dikeluhkan penderita kanker nasofaring. Untuk
menegakkan diagnosis, selain keluhan tersebut, juga perlu dilakukan pemeriksaan
klinis dengan melihat secara langsung dinding nasofaring dengan alat endoskopi, CT
scan, atau MRI nasofaring dan sekitarnya.2 Diagnosis pasti ditegakkan dengan
melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari
hidung atau dari mulut.12 Pemeriksaan lain seperti foto paru, USG hati, pemindaian
tulang dengan radioisotop dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya
metastasis di organ-organ tersebut.2
2.1.6 Terapi
Terapi standar kanker nasofaring adalah radioterapi. Namun, biasanya
sebagian besar penderita datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan
sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Keberhasilan terapi sangat
dipengaruhi oleh stadium. Keterlambatan untuk mendapatkan penanganan yang
adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari menggembirakan.
Kemoterapi merupakan alternatif lain untuk mengobati penderita kanker
nasofaring, bisa berupa ajuvan (tambahan) atau dikombinasikan.12 Kombinasi
pengobatan dengan kemoterapi diperlukan apabila kanker sudah tumbuh sedemikian
besarnya sehingga menyulitkan radioterapi. Selain itu, pemberian kemoterapi
diharapkan dapat meningkatkan kepekaan jaringan tumor terhadap radiasi serta
membunuh sel-sel kanker yang sudah berada di luar jangkauan radioterapi.2
Imunoterapi dilakukan dengan memberikan vaksin anti virus Epstein Barr pada
Universitas Sumatera Utara
populasi yang rentan sebelum terinfeksi virus Epstein Barr untuk mencegah
terjadinya kanker nasofaring.
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska
radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi, serta
tidak ditemukannya metastasis jauh.12
2.2 Radioterapi pada Kanker Nasofaring
Radioterapi merupakan terapi standar dari kanker nasofaring. Radioterapi juga
dapat dilakukan bersamaan dengan kemoterapi dan atau pembedahan, ataupun
dilakukan ketiga-tiganya.4,15 Radioterapi mencegah pertumbuhan dan pembelahan sel
dengan sangat cepat.16 Radioterapi berbeda dengan radiologi, dimana radiologi hanya
sebagai alat bantu untuk menegakkan diagnosa sedangkan radioterapi sebagai metode
pengobatan.15
2.2.1 Definisi
Radioterapi atau terapi radiasi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit
maligna dengan menggunakan radiasi ion, dengan meningkatkan proses ionisasi pada
daerah tertentu yang bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan
memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu
berat.3 Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap
merupakan terapi terpenting.1,17
Daerah yang diradiasi melibatkan keseluruhan nasofaring dan kelenjar getah
bening pada leher.17 Daerah kelenjar getah bening juga diradiasi apabila kanker
Universitas Sumatera Utara
secara klinis ataupun secara radiologi melibatkan daerah tersebut atau apabila ada
resiko terjadi penyebaran ke daerah tersebut.15
2.2.2 Mekanisme Kerja
Radioterapi menggunakan radiasi ion. Radiasi ion dibagi menjadi 2 yaitu,
corpuscular dan elektromagnetik. Radiasi corpuscular ini berupa elektron, proton, dan
neutron, sedangkan radiasi elektromagnetik berupa sinar-X dan sinar gamma. Radiasi
elektromagnetik sering disebut dengan photon. Pada praktek klinis, umumnya
radioterapi seluruhnya menggunakan photon.3
Radiasi ion bekerja pada DNA sel kanker untuk menghilangkan kemampuan
reproduktifitas sel. DNA sel berduplikasi selama mitosis, sel dengan tingkat aktifitas
mitotik yang tinggi lebih radiosensitif dibandingkan dengan sel dengan tingkat
aktifitas mitotik yang lebih rendah.3 Radioterapi bekerja dengan merusak sel DNA
kanker. Kerusakan ini disebabkan oleh photon, elektron, proton, neutron, atau sinar
peng-ion yang secara langsung ataupun tidak langsung mengionisasi atom yang
membentuk rantai DNA.15
Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari
cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang
sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom,
sehingga dapat terjadi :
-
Rantai ganda DNA pecah
-
Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
-
Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel
Universitas Sumatera Utara
Sel-sel yang masih bertahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan
DNAnya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih
cepat dari sel kanker sehingga sel-sel kanker lebih banyak yang tetap rusak dan mati
dibandingkan dengan sel-sel normal. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk
radioterapi pada kanker.1
2.2.3 Dosis Radiasi
Radiasi kuratif diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada
penderita dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, kelenjar getah
bening leher dan supra klavikular.1,2 Dosis total radiasi yang diberikan adalah 66007000 rad dengan fraksi 200 rad, 5x pemberian per minggu, sekali sehari.13 Setelah
dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran
klavikular dikeluarkan.
Radiasi paliatif diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan
kekambuhan lokal. Dosis radiasi untuk metastasis tulang adalah 3000 rad dengan
fraksi 300 rad, 5x per minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas
pada daerah kambuh.1
2.2.4 Tekhnik Radioterapi
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis
histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif, atau paliatif. Penderita
juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya
diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek
Universitas Sumatera Utara
samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan
laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan
umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak dibolehkan untuk radiasi kecuali
pada keadaan yang mengancam hidup penderita seperti obstruksi jalan makanan,
perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan
umum penderita. Sebagai tolak ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%,
jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3, dan trombosit 100.000 per uL.2
Penentuan batas-batas lapangan radiasi merupakan salah satu langkah yang
terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran
meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya (daerah yang berpotensi adanya
penjalaran) serta kelenjar-kelenjar getah bening regional.1
Ada 2 cara utama pemberian radioterapi, yaitu
- Radiasi eksterna / teleterapi
Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar
tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi.1 Radiasi ini ditujukan pada
kanker primer di daerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran
getah bening leher atas dan bawah serta klavikula.2
- Radiasi interna / brakiterapi
Sumber radiasi dimasukkan ke dalam rongga nasofaring pada tempat tumor
berada atau berdekatan dengan tumor guna memberikan dosis maksimal pada tumor
primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan sehat di sekitarnya.
Terapi ini diberikan pada kasus yang telah memperoleh dosis radiasi eksterna
maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.2
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Respon Radiasi
Setelah diberikan terapi radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon
terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan
pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria
WHO, yaitu :1
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar
- Partial Response
: pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih
- No Change
: ukuran kelenjar getah bening yang menetap
- Progressive disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih
2.3 Komplikasi Oral Radioterapi pada Kanker Nasofaring
Radioterapi memegang peranan penting pada perawatan kanker nasofaring.7
Daerah yang diradiasi melibatkan keseluruhan nasofaring dan kelenjar getah bening
pada leher. Tidak dapat dihindari, daerah yang diradiasi juga melibatkan rongga
mulut, maksila, mandibula, dan kelenjar saliva. Bagaimanapun, radioterapi ini
memberikan manfaat pada jaringan, tetapi juga memiliki efek samping yang tidak
dapat dihindarkan.3,18
Rongga mulut mempunyai resiko yang tinggi terhadap perawatan radioterapi,
sebab radioterapi yang digunakan untuk merusak sel kanker juga dapat merusak sel
normal rongga mulut dengan menghentikan pertumbuhan sel-sel secara cepat dan
mencegah reproduksi sel-sel di dalam mulut, sehingga akan sulit bagi jaringan mulut
untuk mengadakan perbaikan. Sebagai hasilnya, komplikasi oral dapat terjadi seperti
Universitas Sumatera Utara
mukositis, kandidiasis, xerostomia, dysgeusia, karies gigi, osteoradionekrosis, dan
nekrose pada jaringan lunak.3,17,18
Komplikasi pada mulut terjadi selama pemberian radioterapi hingga
radioterapi telah selesai. Komplikasi ini tergantung pada volume dan daerah yang
diradiasi, dosis total, fraksinasi, umur, dan kondisi klinis pasien yang berhubungan
dengan perawatan radioterapi. Hanya dengan sedikit kenaikan pada dosis sudah dapat
menaikkan insidens komplikasi oral secara signifikan.3 Komplikasi oral juga
tergantung pada keadaan mulut pasien sebelum dan selama terapi.7,16
Komplikasi akut yang dapat terjadi adalah mukositis, kandidiasis, dysgeusia
dan xerostomia (mulut kering), sedangkan yang bersifat kronis adalah karies gigi,
osteoradionekrosis, dan nekrose pada jaringan lunak.5 Reaksi akut terjadi selama
terapi dan biasanya bersifat reversibel, sedangkan reaksi yang bersifat kronis biasanya
terjadi menahun dan bersifat irreversibel.3,18
2.3.1 Mukositis
Mukositis oral merupakan inflamasi pada mukosa mulut berupa eritema dan
adanya ulser yang biasanya ditemukan pada pasien yang mendapatkan terapi kanker.
Biasanya pasien mengeluhkan rasa sakit pada mulutnya dan dapat mempengaruhi
nutrisi serta kualitas hidup pasien.6,7,16,19
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 29-66% dari seluruh sampel
yang menerima radioterapi kanker leher dan kepala terdapat mukositis oral. Keadaan
ini dapat bertambah parah apabila kanker tersebut terdapat pada rongga mulut,
orofaring, atau nasofaring, kemudian pasien yang menerima radioterapi dengan dosis
Universitas Sumatera Utara
total >5000 cGy, dan juga radioterapi yang dilakukan bersamaan dengan kemoterapi.6
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jham B C, Reis P M, dkk (2007) mukositis
oral ditemukan sebanyak 61,7% dari seluruh sampel dan muncul pada radioterapi
yang ke 15 atau minggu ke 3.7 Namun, penelitian lain mengatakan bahwa rata-rata
kemunculan mukositis terjadi pada minggu pertama radiasi.7
Tanda awal mukositis muncul pada akhir minggu pertama. Beberapa peneliti
menyebutkan bahwa terjadi perubahan warna menjadi putih pada mukosa oral karena
adanya plak deskuamasi, yang terasa sakit apabila disentuh,4,16 yang diikuti dengan
adanya eritema. Peneliti lain mempertimbangkan eritema sebagai reaksi awal dari
mukositis.4 Karena banyaknya jaringan yang terkena radiasi, maka sel epitel banyak
yang hilang yang terjadi pada kebanyakan kasus mukositis yang parah. Ulser terjadi
karena kerusakan langsung pada lapisan sel epitel basal hingga terjadi penggundulan
sel epitel tersebut, disamping itu mengakibatkan berkurangnya pembaharuan sel pada
lapisan sel epitel basal tersebut. Pembesaran ukuran ulser adalah sebagai hasil
pelebaran pseudomembran yang bersebelahan yang menghubungkan ulser tersebut.16
Gambar 2. Mukositis pada bagian bukal dan lidah.21
Universitas Sumatera Utara
Ulser sering menyebabkan rasa sakit sehingga pasien memerlukan obatobatan dan perubahan cara makan untuk mengurangi rasa sakit tersebut.16 Pasien
menjadi sulit untuk minum, makan, menelan, dan berbicara. Oleh karena itu, dapat
menimbulkan masalah pada gizi pasien. Pada kasus yang parah dapat digunakan
nasogastric feeding tube (NGT). Sekitar 20-30% dari pasien membutuhkan alat bantu
makan.4 Kadang-kadang pasien juga memerlukan painkiller apabila terasa sangat
sakit. Pada saat pasien mencoba makan dan minum, rasa sakit dapat bertambah
parah.3
Pasien yang mendapatkan terapi radiasi ataupun kemoterapi memiliki tingkat
keparahan mukositis yang berbeda. Keparahan tergantung pada variasi dari faktor
penyebabnya, seperti dosis yang digunakan, volume dari jaringan yang terradiasi, dan
tipe radiasi.6,16,19 Mukositis yang parah mengharuskan penghentian rangkaian
radioterapi. Penghentian ini harus dihindari karena dapat memperpanjang waktu
terapi dan dapat terjadi penurunan dari efek terapi.4 Umumnya skala yang digunakan
untuk mengukur keparahan mukositis adalah dengan menggunakan ketentuan WHO
(World Health Organization), dimana terdapat 4 tingkatan, yaitu :3,16,20
0 = Tidak ada gejala mukositis
1 = Mukosa eritema dan terasa sakit
2 = Adanya ulser dan pasien bisa makan secara normal
3 = Adanya ulser dan pasien hanya bisa minum
4 = Pasien tidak bisa makan dan minum
Universitas Sumatera Utara
Patogenesis terjadinya oral mukositis yang disebabkan oleh radioterapi terdiri
dari 5 fase, yaitu fase inisiasi, sinyal, amplifikasi, ulseratif atau bakteriologi dan fase
penyembuhan.3,16
Pada fase pertama, kerusakan jaringan terjadi secara cepat selama kemoterapi
atau radioterapi, dimana menyebabkan kerusakan DNA pada sel epitel basal yang
selanjutnya terjadi pemecahan rantai DNA pada sel target. Pada fase ini, mukosa
tampak normal.
Pada fase kedua dihasilkan pro-inflammatori sitokin, termasuk interleukin 1
(IL-1) dan tumor necrosis faktor-a (TNF-α) yang menengahi respon lokal pada terapi
yang diikuti dengan apoptosis dan kerusakan sel.
Selama fase ketiga dari mukositis mulut, sitokin inflamasi yang dibuat selama
fase ke dua, seperti TNF-α and IL-1, dapat menyebabkan kerusakan langsung pada
jaringan, dilatasi pembuluh darah, dan efek inflammatori lain.
Rangkaian reaksi biologikal dinamik menyebabkan kerusakan pada mukosa,
yang biasanya berupa ulser. Ulser dikelilingi oleh eksudat fibrin yang mengandung
bakteri, yang sering disebut dengan pseudomembran. Dinding sel merupakan hasil
kolonisasi bakteri yang penetrasi ke sub mukosa, yang merupakan tempat pengaktifan
makrofag, dimana makrofag ini menghasilkan sitokin tambahan. Kehilangnya
integritas mukosa menghasilkan lesi yang sangat sakit.16,30
Pada fase akhir dari mukositis, proliferasi, differensiasi, dan migrasi pada
epitel sel akan mengembalikan integritas dari mukosa hingga tampak normal.30
Infeksi sekunder dapat memperlambat proses penyembuhan. Ulser yang besar dan
dalam biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk penyembuhannya.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun percobaan klinis terhadap perubahan ini tidak dilakukan pada manusia,
ulser yang dalam dan tidak dapat sembuh yang membutuhkan waktu yang lama untuk
penyembuhan, kemungkinan besar menyebabkan terjadinya proses lebih lanjut
menjadi nekrose jaringan lunak atau tulang.16
Gambar 3. Patogenesis mukositis.25
3.2 Kandidiasis Oral
Pasien radioterapi sangat mudah terjadi infeksi opurtunistik berupa
kandidiasis oral yang disebabkan oleh jamur yaitu Candida albicans.4 Infeksi kandida
ditemukan sebanyak 17-29% pada pasien yang menerima radioterapi. Penelitian yang
dilakukan Jham B C, Reis P M, dkk (2007) menunjukkan bahwa prevalensi
kandidiasis meningkat pada pasien, dari 7,2% pada saat kunjungan pertama ke dokter
menjadi 45,8% pada saat radioterapi.7
Universitas Sumatera Utara
Kolonisasi maksimum jamur Candida albicans terjadi 6 bulan setelah
radioterapi, dan akan kembali turun menjadi normal pada 12 bulan setelah
radioterapi.3
Secara klinis, kandidiasis yang muncul akibat radioterapi berupa kandidiasis
pseudomembran, yaitu kandidiasis dengan adanya plak putih yang dapat dihapus
dengan dasar eritema. Biasanya ditemukan pada bagian palatum, lidah, dan mukosa
bukal.3,5 Kenaikan resiko kandidiasis oral dipengaruhi oleh penurunan laju aliran
saliva,3 dan juga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga yang rendah, gizi yang buruk
atau defisiensi nutrisi, dan kurangnya menjaga kebersihan mulut, walaupun
penjelasan sudah diberi tahukan sebelumnya.7
Gambar 4. Kandidiasis oral.21
Saliva penting dalam mempertahankan mikroflora oral normal. Saliva
mengencerkan antigen patogenik dan secara mekanis membersihkan mukosa.
Antibodi saliva (SIg A) dan faktor-faktor antimikroba nonspesifik penting untuk
menurunkan perlekatan dan kolonisasi fungal, oleh karena itu produksi saliva yang
Universitas Sumatera Utara
menurun akibat radioterapi memicu infeksi kandida. Radiasi pada daerah kepala dan
leher dapat merubah kecepatan pergantian epitel normal, menyebabkan efek
sitotoksik langsung yang dapat merubah integritas epitelium oral dan memicu infeksi
sekunder. Defisiensi nutrisi dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh
(imunitas) dan hilangnya integritas sel yang akan mempermudah invasi dan infeksi
kandida. Kebersihan mulut yang buruk membantu lingkungan yang konduktif dalam
meningkatkan kolonisasi dan perlekatan kandida.22
2.3.3 Xerostomia
Xerostomia atau mulut kering dikeluhkan sebanyak 80% pasien yang
menerima radioterapi.3 Xerostomia juga dikeluhkan sampai radioterapi telah selesai
dengan rata-rata 251 hari setelah radioterapi. Bahkan tetap dikeluhkan setelah 12-18
bulan setelah radioterapi tergantung pada dosis yang diterima kelenjar saliva dan
volume jaringan kelenjar yang menerima radiasi.7
Coppes dkk (2001) menemukan adanya 4 fase dari hilangnya fungsi kelenjar
saliva yang disebabkan oleh radiasi. Fase pertama (0-10 hari) ditandai dengan
perununan yang cepat pada laju aliran saliva tanpa perubahan sekresi amilase atau
jumlah sel asinar. Fase ke dua (10-60 hari) ditandai dengan pengurangan sekresi
amilase dan kehilangan sel asinar yang paralel. Laju aliran saliva, sekresi amilase,
dan jumlah sel asinar tidak berubah pada pase ketiga (60-120 hari). Fase keempat
(120-240 hari) ditandai dengan perburukan fungsi kelenjar tetapi meningkatnya
jumlah sel asinar, walaupun morfologi jaringannya buruk.4
Universitas Sumatera Utara
Xerostomia dihubungan dengan kerusakan pada kelenjar saliva yang nantinya
menyebabkan penurunan laju aliran saliva. Radioterapi juga menyebabkan perubahan
pada komposisi saliva. Saliva berubah menjadi sangat kental, putih, kuning, atau
cairan yang berwarna coklat. Kualitas saliva berubah secara jelas dengan terjadinya
penurunan pH, penurunan kapasitas buffer, perubahan tingkat elektrolit saliva, dan
perubahan non imun dan imun sistem anti bakteri. Penurunan pH berkisar antara 7.0
hingga 5.0. Penurunan kapasitas buffer terutama terjadi karena berkurangnya
konsentrasi bikarbonat pada kelenjar parotis. Peningkatan dari konsentrasi sodium,
klorida, kalsium, dan magnesium telah dilaporkan, walaupun konsentrasi dari
potassium hanya sedikit dipengaruhi.3,4
Saliva merupakan komponen pertahanan pada rongga mulut. Dengan
demikian, perubahan kuantitas dan kualitas saliva mempengaruhi pasien yang disinari
hingga menyebabkan beberapa masalah yang berkembang secara langsung ataupun
tidak langsung sebagai hasil dari berkurangnya output saliva.4
Tabel 1. Konsekuensi Hiposalivasi yang Disebabkan Oleh Radiasi.4
Konsekuensi hiposalivasi yang disebabkan oleh radiasi
Kekeringan pada mulut
Sensasi terbakar
Rasa haus
Pengecapan terganggu
Kesulitan pada fungsi oral
Perubahan dari jaringan lunak
Kesulitan pada pemakaian gigi palsu
Perubahan pada mikroflora oral
Ketidaknyamanan pada malam hari
Karies radiasi
Universitas Sumatera Utara
Tabel ini berisi daftar konsekuensi hiposalivasi akibat radiasi. Fungsi oral
(berbicara, mengunyah, dan menelan) terhambat karena kurangnya pembasahan dan
pelicinan (lubrikasi) dari permukaan mukosa rongga mulut. Kemudian menelan dan
mengunyah terganggu karena kurang lembabnya makanan oleh karena saliva.
Meningkatnya kekentalan dan pengurangan aliran saliva karena penggunaan prostetik
yang kurang baik. Saliva merupakan pelicin yang efektif pada permukaan mukosa
gigi palsu. Dengan sedikitnya jumlah saliva yang ada, retensi dan gesekan yang
dihasilkan selama gigi palsu digunakan menjadi tidak baik, dimana mudah terjadi
trauma pada mukosa oral selama penyinaran.4
Banyak pasien menderita ketidaknyamanan pada malam hari. Biasanya
muncul pada malam hari karena kekeringan yang serius pada mulut atau harus
bangun beberapa kali karena poliuria akibat dari polidipsi pada siang hari.4
2.3.4 Dysgeusia
Dysgeusia adalah respon awal berupa hilangnya rasa pengecapan, dimana
salah satunya dapat disebabkan oleh terapi radiasi.4,23 Hal ini merupakan masalah
yang sering ditemui pada pasien yang menerima radioterapi kanker nasofaring,
karena setidaknya melibatkan 2/3 bagian lidah.23 Pasien menjadi tidak nafsu makan,
malas untuk mengunyah, dan dapat mempengaruhi gizi pasien. Kehilangan dari
persepsi semua rasa biasanya jarang ditemukan. Persepsi dari rasa pahit dan asam
lebih mudah terkena dari pada rasa asin dan manis.4
Penelitian menunjukkan bahwa dysgeusia dikeluhkan sekitar 70% pasien yang
menerima radioterapi.3 Dysgeusia ditemukan pada 2-3 hari setelah terapi radiasi
Universitas Sumatera Utara
dengan dosis 200-400 cGy.23 Hal ini terjadi karena taste bud bersifat radiosensitif
yang kemudian terjadi degenerasi taste bud.3
Taste bud adalah struktur anatomi yang merupakan tempat dari sel reseptor
pengecapan. Taste bud ditemukan terutama pada lidah, selain itu juga ditemukan pada
palatum, faring, epiglotis, dan larink. Lidah dilapisi oleh struktur khusus yang disebut
dengan papila lidah, dimana terdapat taste bud tersebut. Masing-masing taste bud
terdiri dari 50-100 sel reseptor pengecapan, dimana terjadi pergantian yang konstan
dengan masa hidup sekitar 10-11 hari. Bagaimanapun juga, serat syaraf yang
menginervasi taste bud terpotong atau mengalami kerusakan, maka taste bud akan
mengalami degenerasi.23
Dysgeusia juga dipengaruhi oleh kenaikan viskositas laju aliran saliva dan
perubahan biochemical saliva yang dapat menimbulkan perubahan barrier mekanis
saliva sehingga dapat menyebabkan sulitnya kontak fisik antara lidah dengan bahan
makanan.3
Biasanya kehilangan rasa bersifat sementara. Rasa pada umumnya kembali
normal atau mendekati batas normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun setelah
radioterapi.4,23 Walaupun terkadang dapat memerlukan waktu yang lebih lama sekitar
5 tahun.4 Namun, apabila kehilangan rasa pengecapan ini disebabkan karena adanya
kerusakan salah satu sel syaraf intragemmal atau sel pengecapan ataupun keduanya,
maka kerusakan pada sel ini tidak mungkin kembali, sehingga radiasi yang
menyebabkan hilangnya rasa pengecapan ini tidak bisa sembuh. Hal ini terjadi karena
serat syaraf tidak membelah dan tidak berproliferasi. Bagaimanapun, kerusakan pada
sel pengecapan, mungkin untuk kembali paling sedikit sebagian.23
Universitas Sumatera Utara
Literatur lain mengatakan bahwa penyembuhan dysgeusia sampai pada batas
mendekati normal terjadi 60-120 hari setelah radioterapi selesai dilakukan.3 Tingkat
pemulihan rasa dan waktu pemulihan bergantung pada dosis radiasi yang diterima.
Beberapa pasien mengalami penurunan ketajaman rasa, atau bahkan kehilangan rasa
secara permanen, namun pasien yang mendekati tingkat normal dari rasa, juga telah
dilaporkan.4
2.3.5 Karies Gigi
Karies gigi dapat terjadi pada pasien yang menerima radioterapi. Karies gigi
akibat paparan radiasi atau yang sering disebut dengan karies radiasi adalah bentuk
yang paling destruktif dari karies gigi, dimana mempunyai onset dan progresi yang
cepat.4 Karies gigi biasanya terbentuk dan berkembang pada 3-6 bulan setelah terapi
radiasi dan mengalami kerusakan yang lengkap pada semua gigi pada periode 3-5
tahun. Penelitian Jham B C dkk (2007) menemukan karies gigi sebanyak 11% dari
seluruh sampel.7 Proses aktivitas karies tidak dapat dievaluasi pada waktu yang cepat
setelah radioterapi.
Secara klinis dapat ditemukan 3 tipe lesi karies. Semua tipe lesi ini dapat
ditemukan dalam waktu yang sama. Dari sudut pandang progres yang cepat hal ini
sangat mengejutkan karena jarang adanya rasa sakit akut yang berhubungan dengan
karies radiasi, walaupun dalam keadaan manifestasi yang sangat berat. Dari tampilan
histologi lesi karies akibat radiasi sama dengan yang terlihat pada lesi karies gigi pada
umumnya.4
Universitas Sumatera Utara
Tipe pertama merupakan lesi yang sering ditemukan, yang bermula pada
permukaan labial bagian servikal di insisivus dan kaninus. Pada awalnya, lesi meluas
pada permukaan sekitar seluruh daerah servikal dari gigi, dan kemudian meluas ke
dalam, sering menyebabkan kehilangan mahkota seluruhnya. Pada gigi molar,
kehilangan seluruh mahkota gigi kurang sering terjadi; bagaimanapun juga, karies
cenderung menyebar ke seluruh permukaan molar dengan perubahan pada
translusensi dan warna sehingga meningkatnya kerapuhan pada gigi. Kadang-kadang,
kerusakan yang cepat pada insisal dan permukaan oklusal gigi dapat terlihat dengan
atau tanpa lesi servikal.
Tipe kedua dari lesi umumnya terdapat lesi pada bagian superfisial yang
awalnya mengenai bagian bukal yang nantinya mempengaruhi bagian lingual atau
palatal dari mahkota gigi, dimana permukaan proksimal jarang terkena. Pada tipe lesi
ini, kerusakan sering ditemukan dan terlokalisasi pada insisal atau oklusal gigi.
Hasilnya adalah dekstruksi pada enamel dan dentin, terutama pada bagian bukal dan
palatal gigi.
Tipe ketiga jarang ditemukan. Pada tipe ini ditemukan diskolorisasi atau
perubahan warna menjadi cokelat kehitaman yang berat pada seluruh mahkota gigi
yang terjadi bersamaan dengan keausan pada permukaan insisal dan oklusal gigi.4
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5. Karies radiasi.18
Pergeseran mikroflora oral mulut menjadi bakteri kariogenik, berkurangnya
laju aliran saliva, dan perubahan komposisi saliva (kapasitas buffer, pH,
imunoprotein, oral clearance) dapat menjadi karies radiasi yang terjadi secara cepat.
Peningkatan kepekaan karies juga terjadi karena perubahan kebiasaan dalam makan.
Perubahan kebiasaan dalam makan ini berupa memakan makanan yang lebih lembut,
lebih lengket, dan makanan kaya karbohidrat (gula), dimana hal ini dapat
menyebabkan peningkatan terjadinya karies.4
Masih diperdebatkan bagaimana karies radiasi terjadi, apakah karena efek
langsung atau tidak langsung dari penyinaran, atau bahkan keduanya. Beberapa
peneliti melaporkan perkembangan karies radiasi tidak tergantung pada daerah gigi
yang disinari tetapi faktor yang menentukan adalah apakah kelenjar saliva utama
terkena atau tidak, dimana penyinaran menyebabkan perubahan dentinal pada gigi
yang vital. Opini terbaru masih tetap berpendapat bahwa karies radiasi penyebab
utamanya adalah kerusakan kelenjar saliva yang menyebabkan hiposalivasi.
Sehingga, secara kolektif, hiposalivasi berhubungan dengan perubahan pada
Universitas Sumatera Utara
mikrobial, kimia, immunologi, dan parameter makanan yang kariogenik hingga
terjadi peningkatan karies yang tinggi pada pasien yang diradiasi.
Bagaimanapun juga, efek langsung dari penyinaran pada gigi yang
mempengaruhi dalam perkembangan karies radiasi, belum dapat dijelaskan secara
penuh. Beberapa peneliti melaporkan bahwa dekalsifikasi gigi yang disebabkan oleh
penyinaran lebih mudah terjadi karies dibandingkan dengan yang tidak disinari,
walaupun peneliti lain mengatakan tidak ada perbedaan pada rasio dekalsifikasi pada
penelitian in vitro. 4
Kesimpulannya, efek radiasi berupa karies radiasi merupakan efek yang tidak
langsung, biasanya disebabkan oleh berkurangnya laju aliran saliva dan akibat yang
berhubungan. Oleh karena itu pencegahan harus secara langsung untuk mengobati
keluhan yang berhubungan dengan xerostomia, yaitu dengan menjaga kebersihan
mulut, perubahan diet, kontrol flora yang bersifat kariogenik, dan pencegahan karies
dengan aplikasi fluoride.4
2.3.6 Osteoradionekrosis
Osteoradionekrosis (ORN) merupakan efek kronis yang penting pada
radioterapi.7 Osteoradionekrosis adalah nekrose iskemik tulang yang disebabkan oleh
radiasi yang menyebabkan rasa sakit karena kehilangan banyak struktur tulang.4
Insidens terjadinya osteoradionekrosis pada mandibula bervariasi dari 2,6% hingga
22%. Mandibula lebih sering terkena dibandingkan dengan maksila. Insidens
terjadinya osteoradionekrosis ditemukan sebanyak 5-15%.5
Universitas Sumatera Utara
Osteoradionekrosis dapat terjadi secara spontan atau biasanya terjadi setelah
trauma (umumnya setelah pencabutan gigi).3,7,24 Osteoradionekrosis spontan, dimana
telah dilaporkan berhubungan dengan peningkatan umur, dosis radiasi yang tinggi
(>65 Gy), hiperfraksinasi, penggunaan sumber implan yang terlalu dekat dengan
tulang, dan kombinasi cahaya penyinaran intersisial dan eksternal. Hal ini
mengakibatkan kematian sel-sel yang lebih banyak pada elemen-elemen jaringan
normal.24 Tipe nekrosis ini biasanya terjadi dalam waktu 2 tahun pertama setelah
radioterapi. Bagaimanapun juga, kebanyakan kasus umumnya disebabkan oleh
trauma.4
Osteoradionekrosis yang disebabkan trauma merupakan gabungan dari
kematian sel dan sel yang rusak. Ada beberapa penyebab trauma, termasuk iritasi gigi
palsu,24 partikel makanan yang tajam atau kasar, dan sisa tulang yang tajam.
Pencabutan gigi dikatakan sebagai penyebab trauma yang paling umum. Seiring
dengan berlalunya tahun setelah radioterapi, jaringan menjadi lebih fibrotik dan lebih
hipovaskular. Jika, jaringan ini trauma oleh karena prosedur pembedahan (misalnya
ekstraksi) atau oleh karena infeksi persisten, maka jaringan membutuhkan
penyembuhan luka. Kemampuan penyembuhan yang kurang memadai dapat
menyebabkan terjadinya osteoradionekrosis,4,24 dimana resikonya dapat meningkat
seiring waktu.
Beberapa faktor sebelum dan sesudah penyinaran dapat meningkatkan resiko
terjadinya osteoradionekrosis. Pre-ekstraksi penyinaran diikuti dengan kurangnya
waktu penyembuhan diketahui sebagai predisposisi terjadinya osteoradionekrosis.
Pada pasien yang bergigi, resiko osteoradionekrosis meningkat setelah radioterapi
Universitas Sumatera Utara
jika ada trauma pada lapangan radiasi, seperti pencabutan gigi atau prosedur
pembedahan lainnya (prosedur periodontal, biopsi), kebersihan mulut yang buruk dan
perawatan yang kurang, dan infeksi periapikal atau periodontal yang sedang terjadi.
Pada pasien yang tidak bergigi trauma yang disebabkan oleh penggunaan gigi palsu
dijelaskan sebagai faktor predisposisi, khususnya ketika berhubungan dengan
mastikasi tertentu dan kebiasaan parafungsional.4
Diagnosis osteoradionekrosis berdasarkan riwayat pasien dan tanda klinis
yaitu rasa sakit yang hebat, pembengkakan, trismus, tulang yang terbuka pada daerah
yang diradiasi setelah terapi selesai, dan infeksi yang berulang. Proses ini berjalan
hingga membentuk fistula atau merusak susunan tulang dan akhirnya terjadi fraktur
patologis spontan.4,24 Pada permeriksaan fisik ditemukan perubahan warna dan
perubahan struktur permukaan.24 Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 60% pasien
mengeluhkan rasa sakit, bervariasi dari rasa sakit yang ringan sampai yang parah.3
Osteoradionekrosis dapat berupa edema, dan fraktur patologis yang terjadi pada 15%
pasien.3 Proses terjadinya osteoradionekrosis tidak dapat dievaluasi pada waktu yang
cepat setelah radioterapi.7
Gambar 6. Osteoradionekrosis.18
Universitas Sumatera Utara
2.3.7 Nekrose Jaringan Lunak
Komplikasi oral kronis lain yang dapat terjadi adalah nekrose pada jaringan
lunak, dimana 95% kasus dari osteoradionekrosis berhubungan dengan nekrose pada
jaringan lunak. Nekrose jaringan lunak didefinisikan sebagai ulser yang terdapat pada
jaringan yang terradiasi, tanpa adanya proses keganasan (maligna). Evaluasi secara
teratur penting dilakukan sampai nekrose berkurang, karena tidak ada kemungkinan
terjadinya kekambuhan. Timbulnya nekrose pada jaringan lunak ini berhubungan
dengan dosis, waktu, dan volume kelenjar yang terradiasi. Pasien biasanya
mengeluhkan rasa sakit. Selain itu, jaringan lunak bisa terjadi fibrosis setelah
radioterapi yang berwarna pucat dan tidak ada fleksibilitas. Apabila fibrosis mengenai
otot pengunyahan (otot temporal, masseter, dan pterygoid), trismus dapat terjadi.3
Universitas Sumatera Utara
Download