BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Umum Perairan Indramayu, Jawa Barat
Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang berbatasan
langsung dengan laut Jawa di bagian Utara dan Timur. Bagian lainnya dibatasi
oleh kabupaten-kabupaten yang ada di Jawa Barat seperti Kabupaten Cirebon,
Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Subang. Indramayu memiliki kilang
minyak terbesar yang dekat dengan pantai, sehingga dapat berpotensi
menimbulkan pencemaran. Indramayu merupakan salah satu daerah penghasil
minyak dan gas di Indonesia. Seluruh kegiatan sektor migas dari hulu sampai
hilir ada di Indramayu. Sektor hulu terdapat beberapa lapangan yang cukup
dikenal di industri migas, antara lain lapangan Jatibarang dan lapangan Cemara.
Sampai tahun 2002, sedikitnya 77 sumur minyak dan 40 sumur gas produktif ada
di wilayah ini. Di sektor hilir, terdapat kilang minyak Balongan, satu dari enam
kilang minyak yang ada di Indonesia. Kilang yang dibangun pada tahun 1990 dan
mulai beroperasi tahun 1994 ini memiliki kapasitas pengolahan sekitar 125 ribu
barel per steam day (BPSD) yang merupakan masukan maksimal minyak dapat
diolah di kilang minyak tersebut.
Menurut penelitian yang dilakukan di daerah Indramayu oleh pemerintah
Kabupaten Indramayu pada tahun 1980 sampai dengan 1993, Angin yang menuju
Kabupaten Indramayu berasal dari barat laut, timur laut, dan utara. Kecepatan
angin pada berbagai kondisi pun berbeda-beda namun kebanyakan berkisar antara
2-6 m/det. Pada kondisi pergantian musim yaitu bulan Maret sampai dengan
bulan Mei, kondisi angin sangat berubah-ubah walau pun masih didominasi dari
arah timur laut dengan kecepatan angin berkisar 2-4 m/det. Musim barat terjadi
4
4
pada bulan Desember sampai dengan bulan Februari dimana angin dominan
bertiup dari arah barat laut dengan kecepatan 4-6 m/det. Bulan Juni sampai
dengan bulan Agustus merupakan puncak musim timur dimana angin dominan
bertiup dari arah timur laut dengan kecepatan berkisar 3-6 m/det (Pemerintah
Kabupaten Indramayu, 1987).
2.2. Angin
Angin merupakan sebuah fenomena yang terjadi akibat adanya
perpindahan massa udara dari tempat yang memiliki tekanan tinggi menuju
tempat yang memiliki tekanan lebih rendah hingga tercapai keseimbangan (Hassel
dan Dobson, 1986). Kecepatan dan arah angin di atmosfer merupakan hasil dari
ketidakmerataan distribusi dari penyinaran matahari dan karakteristik lempeng
benua serta sirkulasi angin pada lapisan vertikal atmosfer (Stewart, 2002). Gerak
angin dengan konstan pada kecepatan tertentu dan pada wilayah yang sama di
perairan dapat menyebabkan gelombang. Pola angin yang sangat berperan di
wilayah Indonesia adalah angin muson.
Muson Barat Laut (musim Barat) terjadi pada bulan Desember sampai
Februari ketika terjadi musim dingin di Asia yang menyebabkan tekanan di daerah
tersebut meningkat sehinga terjadi pergerakan angin dari Asia ke Australia.
Muson Tenggara (musim Timur) terjadi pada bulan Juni sampai Agustus yang
disebabkan musim dingin di Australia sehingga tekanan meningkat di daerah
tersebut dan menyebabkan angin bergerak dari Australia ke Asia, sedangkan
musim Transisi terjadi diantara kedua musim tersebut (Wyrtki, 1987 ).
5
2.3. Arus
Gross (1990) menyatakan bahwa arus merupakan gerakan horizontal dan
vertikal dari massa air laut secara terus menerus sampai tercapai keseimbangan
gaya-gaya yang bekerja. Gerakan arus laut terbentuk karena resultan dari
beberapa gaya yang berkerja serta pengaruh dari beberapa faktor. Pond dan
Pickard (1983) membagi gaya-gaya penggerak massa air menjadi dua yaitu gaya
primer (gaya Gravitasi, tekanan angin, tekanan atmosfer, dan pergerakan dasar
laut) yang menyebabkan massa air bergerak dan gaya sekunder (gaya Coriolis dan
gaya Friksi) yang muncul setelah massa air bergerak. Wyrtki (1961)
mengemukakan bahwa pola arus permukaan umumnya mengikuti pola angin
muson (Gambar 1 dan 2).
Gambar 1. Pola arus permukaan pada bulan Februari di perairan Indonesia
(Wyrtki, 1961)
6
Gambar 2. Pola arus permukaan pada bulan Agustus di perairan Indonesia
(Wyrtki, 1961)
2.4. Pasang Surut
Dronkers (1964) mengemukakan bahwa pasang surut merupakan suatu
fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang
diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari bendabenda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda
angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih
kecil.
Peramalan dan penjelasan tipe pasang surut terdiri dari dua teori yang
mendasar yaitu teori kesetimbangan (Equilibrium Theory) dan teori dinamik
(Dynamic Theory). Teori kesetimbangan pertama kali diperkenalkan oleh Sir
Isaac Newton (1642-1727), teori ini menerangkan sifat-sifat pasang surut secara
kualitatif dan pengaruh kelembaman diabaikan. Teori ini menyatakan bahwa naik
turunnya permukaan laut sebanding dengan gaya pembangkit pasang surut (King,
1966). Pemahaman mengenai gaya pembangkit pasang surut dilakukan dengan
memisahkan pergerakan sistem bumi, bulan, dan matahari menjadi 2 yaitu sistem
7
Gambar 3. Empat tipe pasang surut di perairan Indonesia (Surbakti, 2000)
bumi-bulan dan sistem bumi-matahari. Teori kesetimbangan diasumsikan bumi
tertutup air dengan kedalaman dan densitas yang sama dan naik turun
muka laut sebanding dengan gaya pembangkit pasang surut (Tide Generating
Force) yaitu resultan gaya tarik bulan dan gaya sentrifugal. Gaya pembangkit
pasang surut ini akan menimbulkan air tinggi pada dua lokasi dan air rendah pada
dua lokasi (Gross, 1987).
Teori pasang surut Dinamik (Dynamical Theory), teori ini pertama kali
dikembangkan oleh Laplace (1796-1825). Teori tersebut melengkapi teori
kesetimbangan sehingga sifat-sifat pasut dapat diketahui secara kuantitatif.
Menurut teori dinamis gaya pembangkit pasut menghasilkan gelombang pasut
yang periodenya sebanding dengan gaya pembangkitnya. Hal ini menyebabkan
terdapat faktor lain yang perlu diperhitungkan selain gaya pembangkit pasang
surut pada teori tersebut diantaranya gaya Coreolis, kedalaman perairan dan luas
perairan serta gesekan dasar (Thurman dan Trujillo, 2004).
8
Tipe pasang surut di Indonesia telah dipetakan oleh Surbakti (2000) dimana
pada pantai Utara Jawa memiliki dua tipe pasang surut yaitu tipe pasang surut
harian campuran condong ke ganda dan tipe pasang surut harian tunggal (Gambar
3). Pantai Indramayu termasuk kedalam tipe pasang surut campuran condong
harian ganda. Pergerakan pasang surut air laut dapat menyebabkan arus laut yang
dikenal dengan arus pasang surut, menurut Nontji (1987) pada ekspedisi Snelius I
(1929 – 1930) di perairan Indonesia bagian Timur menunjukkan bahwa arus
pasang surut masih bisa diukur sampai kedalaman 600 m. Arah dan kecepatan
arus pasang surut juga dipengaruhi oleh angin dan arus dari sungai. Kekuatan dari
arus pasang surut tergantung pada volume air yang melewati suatu kawasan
dengan luas tertentu. Arus pasang surut pada laut terbuka bergerak secara
melingkar (rotary tidal current) dengan kekuatan arus yang lebih lemah
dibandingkan dengan arus pasang surut yang terdapat di pantai (Gross, 1987).
2.5. Pencemaran Tumpahan Minyak
2.5.1. Karakteristik Minyak
Minyak mentah (crude oil) yang baru keluar dari sumur eksplorasi
mengandung berbagai jenis bahan kimia dalam bentuk gas, cair, maupun padatan.
Sebagian besar dari komponen tersebut berupa hidrokarbon yakni hampir sekitar
50-98 % sedangkan sisanya berupa komponen non-hidrokarbon (Mukhtasor,
2007). Hidrokarbon dalam minyak bumi memiliki struktur kimiawi karbon
berbeda seperti rantai lurus dan rantai cabang (alifatik), rantai siklik (alisiklik) dan
rantai aromatik (Clark, 1986). Effendi (2003) menyatakan bahwa hidrokarbon
alifatik meliputi alkana (parafin), alkena (olefin), alkuna (asetilen). Alkana relatif
tidak beracun dan tidak dapat terurai secara biologis oleh mikroba. Komponen
9
alisiklik merupakan komponen yang sangat stabil dan sulit dihancukan oleh
mikroba dan jumlahnya sangat dominan mencapai 30-60%. Komponen
hidrokarbon aromatik (cincin benzena) merupakan jenis yang lebih beracun dan
mudah menguap (volatile). Jumlah aromatik lebih kecil yaitu hanya sekitar 2-4%
(Mukhtasor, 2007).
2.5.2. Sumber pencemaran minyak
Tumpahan minyak di laut yang diakibatkan oleh kecelakaan tanker
merupakan salah satu sumber pencemaran minyak yang nyata. Selain itu
masuknya minyak ke perairan laut melalui beberapa cara, yaitu rembesan alam
dari dasar laut, operasi normal tanker, kebocoran dan semburan dari produksi dan
eksplorasi lepas pantai, run off dari darat dan sungai, dan dari atmosfer
(Mukhtasor, 2007). Masukan polutan yang sering terjadi berasal dari
pengoperasian tanker pada proses pembuangan air ballast (deballasting) dengan
sisa minyak yang terdapat pada dinding tanki sekitar 0.1-0.5% dari volume total
tangki (Clark, 1986). Produksi dan eksplorasi minyak merupakan sumber yang
jarang terjadi, eksplorasi minyak akan menjadi masalah apabila terjadi kecelakaan
seperti meledaknya sumur minyak (well blow-out), kerusakan struktur platform
maupun kerusakan peralatan (Mukhtasor 2007). Selain sumber dari area perairan
laut, sumber pencemaran minyak dapat berasal dari darat seperti pemakaian
minyak untuk keperluan industri, limbah rumah tangga, kilang minyak di pesisir
maupun hasil pembakaran hidrokarbon di atmosfer yang terbawa melalui proses
presipitasi. Limpasan minyak dari berbagai sumber tersebut pada akhirnya akan
mencapai kawasan pesisir dan laut melalui aliran air dari sungai yang bermuara ke
10
laut. Akumulasi jumlah limpasan minyak yang bersumber dari darat merupakan
sumber utama minyak yang memasuki kawasan pesisir dan laut.
2.5.3. Interaksi Minyak di Laut
Minyak akan mengalami perubahan baik secara fisik atau kimia ketika
masuk ke laut (weathering of oil process). Proses perubahan tersebut adalah
lapisan (slick formation), menyebar, dissolution, menguap (evaporation),
polimerisasi (polymerization), emulsifikasi (emulsification), fotooksidasi
(photooxidation), biodegradasi mikroba (microbial degradation), bentukan
gumpalan ter (tur lump formation), dan dicerna oleh plankton (Mukhtasor, 2007).
Penyebaran tumpahan minyak di laut sangat tergantung pada angin dan arus,
angin berpengaruh sekitar 3.4% pada sebaran tumapahan minyak (Holmes, 1969).
Penyebaran tumpahan minyak akan terus menerus sampai lapisan minyak
menjadi sangat tipis, fenomena ini yang akan mengubah properti minyak menjadi
senyawa yang berbeda. Pada tahun 1969, Fey menggambarkan hubungan antara
luasan yang akan dibentuk oleh penyebaran tumpahan minyak terhadap waktu.
Sebagai contoh, 2x104 ton minyak yang tumpah ke perairan selama 11,5 hari akan
menyebar dengan diameter 3x106 cm. Menurut Dursma dan Marchand (1974) jika
arah sebaran minyak menuju pantai dan mengendap, maka minyak akan
terdegradasi dengan sendirinya di pantai dan berdampak negatif bagi ekosistem
pantai. Sebaran tumpahan minyak di laut lepas, minyak akan mengalami
evaporasi, precipitation yang selanjutnya akan terdegradasi.
2.5.4. Dampak dan Penanggulangan Pencemaran Minyak
Tumpahan minyak dilaut dapat menyebabkan efek baik dari tingkat individu
sampai dengan tingkat ekosistem. Kerusakan akibat tumpahan minyak dapat
11
digolongkan menjadi dua yaitu dampak secara langsung (bakteri laut, plankton,
organism bentik, ikan, burung laut, dan mamalia) dan dampak secara tidak
langsung (perubahan ekosistem pantai dan laut) (Mukhtasor, 2007). Walaupun
pencemaran minyak di laut umumnya menghambat pertumbuhan bakteri, pada
beberapa bakteri mampu memanfaatkan hidrokarbon yang ada di laut menjadi
sumber energi bagi bakteri tersebut.
Lapisan minyak yang berada di perairan akan mengurangi jumlah cahaya
yang masuk sehingga kemampuan fitoplankton untuk memproduksi oksigen akan
semakin berkurang yang kemudian akan mempengaruhi kandungan oksigen di
laut dan organisme tingkat tinggi. Lapisan minyak juga akan mengurangi difusi
oksigen ke perairan sehingga kandungan oksigen bagi organisme laut terbatas.
Menurut Leacock (2005) penanggulangan pencemaran yang diakibatkan
tumpahan minyak melalui pembersihan areal tumpahan minyak, pencegahan
tambak yang akan tercemar, dan pembersihan wilayah pantai. Pengamatan
penyebaran dan analisis tumpahan minyak dengan menggunakan beberapa
metode. Mukhtasor (2007) mengatakan bahwa metode penanggulangan tumpahan
minyak meliputi beberapa metode antara lain metode fisika mekanis (penggunaan
boom, absorben, dan skimmer), metode kimia (penggunaan dispersan), metode
biologi (bioremediation), dan dengan pembakaran. Metode remote sensing adalah
metode yang baru dikembangkan dari beberapa jenis citra yang digunakan untuk
mendeteksi penyebaran minyak dalam satu kawasan. Neutron activation method
adalah metode dengan menggunakan analisis aktivasi neutron dengan 1,2x1013
fluks neutron/cm2/det pada trace element yang tercemar oleh minyak. Metode ini
juga disebut finger printing dan memonitoring residu minyak. Metode
12
kromatografi merupakan metode yang menggunakan thin-layer chromatographi
(TLC), gas liquid chromatographi (GLC), dan mass spectrometery (MS) yang
digunakan untuk analisis minyak dan hidrokarbon di air. Metode ini sangat baik
digunakan untuk identifikasi komposisi dari minyak, hidrokarbon, dan residu
minyak.
2.6. Model Sebaran Tumpahan Minyak
Dua mekanisme pergerakan minyak disebabkan oleh properti minyak dan
penyebaran yang diakibatkan oleh proses dispersi. Penguapan dari tumpahan
minyak ditentukan oleh komposisi dari minyak, suhu udara, suhu perairan, area
tumpahan, kecepatan angin, radiasi matahari dan ketebalan tumpahan minyak.
Transpor minyak ke dalam kolom air terjadi dari beberapa mekanisme yaitu
kelarutan, dispersi, akomodasi dan sedimentasi. Fraksi minyak yang terdispersi di
dalam kolom air per waktu dihitung sebagai fraksi yang hilang di permukaan laut.
Selain itu, tumpahan minyak juga akan menerima dan mengemisi bahang akibat
radiasi gelombang panjang matahari. Persamaan sebaran, penguapan, kelarutan
dan emisi bahang diformulasikan untuk mendapatkan nasib tumpahan minyak
(Sabhan, 2010).
Model sebaran tumpahan minyak merupakan suatu model yang menganalisis
pergerakan sebaran tumpahan minyak di laut menurut kondisi lingkungan
oseanografi di wilayah sekitar tumpahan minyak. Model sebaran tumpahan
minyak menggunakan General NOAA Oil Modelling Environment (GNOME).
GNOME merupakan model sebaran tumpahan minyak yang mensimulasikan
pergerakan minyak yang dipengaruhi oleh angin, arus, pasang surut dan sebaran
tumpahan minyak. GNOME dikembangkan oleh Hazardous Materials Response
13
Division (HAZMAT) oof the National Oceanic and Atmospheric Administration
Office of Response and Restoration (NOAA, 2002). HAZMAT menggunakan
model ini selama tumpahan minyak untuk memperkirakan “best guess” dari
sebaran tumpahan minyak yang diasosiasikan dengan ketidakpastian (unsertainty)
sebaran tumpahan minyak. Fungsi GNOME secara luas yaitu untuk
memprediksikan pengaruh angin, arus, dan proses pergerakan lain di laut terhadap
tumpahan minyak di laut. GNOME juga digunakan untuk memprediksi
ketidakpastian dari sebaran tumpahan minyak dan kondisi minyak yang
dipengaruhi oleh cuaca di sekitar tumpahan minyak (NOAA, 2002).
Model minyak yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan dapat dikaji
dengan menggunakan software Automated Data Inquiry for Oil Spills (ADIOS 2).
ADIOS merupakan perangkat untuk respon awal dari tumpahan minyak yang
digunakan oleh responder dan bagian perencanaan untuk mengetahui kondis
tumpahan minyak di laut. ADIOS juga mencangkup ribuan propertis minyak
dengan perkiraan propertis minyak yang tumpah dalam jangka pendek dan
beberapa metode pembersihan minyak di laut, hal tersebut digunakan untuk
mengestimasi tumpahan minyak yang masih ada di laut sehingga dapat
dikembangkan metode pembersihan minyak yang tepat. ADIOS juga dapat
menghitung dan menggabungkan data kondisi lingkungan seperti kecepatan dan
arah angin, suhu perairan, salinitas, arus, dan propertis dari minyak yang
digunakan untuk memodelkan minyak yang masih tersisa di laut. (NOAA OR&R,
2007).
Download