PERANAN TIOSIANAT DALAM DINAMIKA IODIN DALAM TUBUH TIKUS KEKURANGAN IODIN INTJE PICAULY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus yang Kekurangan Iodin adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, 26 Juli 2006 Intje Picauly NIM. A561020071 ABSTRAK INTJE PICAULY. Peranan Tiosianat Terhadap Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus yang Kekurangan Iodin. Dibimbing oleh Hidayat Syarief, Rimbawan, AR. Thaha, dan Wasmen Manalu. Gangguan akibat kekurangan iodin (GAKI) merupakan masalah kesehatan yang belum tertanggulangi dengan baik. Semakin tinggi tingkat kekurangan iodin maka makin banyak komplikasi GAKI. Penelitian ini bertujuan untuk (1). Mengetahui peranan tiosianat dalam dinamika iodin dalam tubuh tikus, (2). Mengetahui pengaruh dosis KCN yang diberikan pada tikus terhadap kecepatan terjadinya perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus , (3). Mengetahui peranan fortifikan KIO3 dalam dinamika iodin dalam tubuh tikus , (4). Mengetahui hubungan antara dosis KCN dalam ransum dan perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus, dan (5). Mengidentifikasi dampak fisiologis kekurangan iodin akibat peranan tiosianat (KCN) pada tubuh tikus. Desain penelitian adalah Pure Experimental study dengan rancangan randomized block design dan menggunakan tikus putih strain Wistar sebanyak 72 ekor dengan umur 21 hari. Penelitian dilaksanakan dalam empat (4) tahap percobaan yaitu 1. Tahap Pra-Penelitian untuk menentukan nilai kandungan iodin dalam urin tikus. 2. Tahap pengelompokan tikus menjadi dua (2) yaitu KI (Kurang iodin) dan TKI (Tidak Kurang Iodin). 3. Tahap perlakuan dimana tikus dibagi menjadi empat (4) kelompok perlakuan yaitu KI -TF (Kurang Iodin yang tidak difortifikasi KIO3), KI-F (Kurang Iodin yang difortifikasi KIO3), TKI-TF (Tidak Kurang Iodin yang difortifikasi KIO 3), dan TKI-F (Tidak Kurang Iodin yang difortifikasi KIO3 ) dan 4. Tahap pembedahan, analisis hormon tiroid dan radionuklida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa pemberian tiosianat, persentase pengambilan 131I oleh kelenjar tiroid lebih rendah pada kelompok tikus KI -TF (1.5%) dan TKI-F (8.6%) dibanding kelompok KI-F (19.1%) dan TKI-TF (12.8%). Pengambilan 131 I pada kelompok KI-TF dan TKI-F lebih banyak di ginjal, jantung dan kelenjar saliva. Untuk pemberian tiosianat dosis 0.06 mgKCN, penurunan persentase pengambilan 131I oleh kelenjar tiroid terjadi pada semua kelompok tikus perlakuan yaitu 1.2% (KI-TF), 4.0% (TKI -F), 5.1% (KI-F), dan 8.6% (TKI-TF). Persentase pengambilan 131 I secara umum terjadi di kulit, ginjal, hati, jantung dan kelenjar saliva. Sedangkan pemberian tiosianat dosis 0.6 mgKCN menyebabkan persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid jauh lebih kecil dibanding pemberian dosis 0 atau 0.06 mgKCN. Hal ini terjadi pada semua kelompok yaitu 0.7% (KI-TF), 2.5% (TKI-F), 2.7% (KI-F), dan 2.6% (TKI-TF). Pengambilan 131I lebih banyak di kulit, hati, ginjal, jantung, dan kelenjar saliva. Nilai UIE, konsentrasi T3 danT4 serta persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid menunjukkan bahwa pemberian fortifikasi belum efektif bagi kelompok tikus KI-F dan TKI-F. Ada hubungan (p<0.01) antara pemberian dosis tiosianat (KCN) dengan persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid. Kelompok tikus KI-TF dan TKI-F sampai minggu terakhir pengamatan mempunyai perubahan fisiologis tubuh yang relatif sama. Kata Kunci : Tiosianat, Dinamika Iodin, Kurang Iodin ABSTRACT Intje Picauly. The Role of Thyocianate Towards Iodine Dynamic in Ra t’s Body Which is Lack of Iodine. Under the direction of Hidayat Syarief, Rimbawan, AR. Thaha, and Wasmen Manalu. Iodine Deficiency Disorders (IDD) is a health problem that is not well overcome yet. The higher the level of IDD the more complex the IDD is. This research aims : 1) to study the role of thyociante in iodine dynamic in rat’s body, 2) to study the effect of potassium cyanide (KCN) dosages towards the velocity change of iodine dynamic in rat’s body, 3) to study the role of potassium iodate (KIO3) in iodine dynamic in rat’s body, 4) to study the relationship between KCN dosages in rat’s feed with the change of iodine dynamic in rat’s body, and 5) to identify the physiological impact of iodine deficiency as a result of thyocianate in rat’s body. The study was categorized as “pure experimental study”, using animal as treatment objects in laboratory. Randomise block design with two factors those were KCN dosage and periods of observation used in the study. Were 72 (seventy two) white female Wistar rats, 21 (twenty one) days old (after weaning) used in the study were conducted. Four stages of the study. First stage was pre-research to determine iodine concentration in rat’s urine. Second stage was rat’s grouping. Rats were grouped into two groups namely, rats that is lack of iodine (KIO3) and rats that is not lack of iodine (TKI). Third stage was rat’s sub grouped. Rats were grouped into subgroup, those were rat’s subgroup that was lack of iodine without potassium iodate fortification (KI-TF), rat’s subgroup that was lack of iodine with potassium iodate fortification (KI-F), rat’s subgroup that was not lack of iodine without potassium iodate fortification (TKI-TF), and rat’s subgroup that was not lack of iodine with potassium iodate fortification (TKI-F). Fourth stage was conducting surgery, hormonal thyroid and radio nuclide analyses The result of the study showed that without giving thyocianate, the percentage of 131 I uptake by thyroid gland for KI-TF (1.5%) and TKI-F (8.6%) were lower compared with KI -F (19.1%) and TKI-TF (12.8%). The uptake of 131I for KI-TF and TKI-F is higher at kidney, liver and saliva gland. Using thyocianate 0.06 mgKCN, decreasing of 131 I uptake by thyroid gland were found at all rat’s subgroup namely, KI -TF (1.2%), TKI-F (4,0%), KI-F (5.1%) and TKI-TF (8.6%). Generally, the uptake of 131 I were found at skin, kidney, heart, liver and saliva gland. While, using 0.6 mgKCN, the percentage uptake of 131 I by thyroid gland was lower compared with 0 mgKCN and 0.06mgKCN. These were found at all subgroups namely KI-TF (0.7%), TKI -F (2.5%), KI-F (2.7%) and TKI -TF (2.6%). The uptake of 131 I were higher at skin, liver, kidney, heart, and saliva gland. The value of Urinary Iodine Excretion (UIE), T3 and T4 concentrations and 131 also I uptake by thyroid gland showed that KIO3 fortification was not effective yet for KI-F and TKI-F subgroups. There was significant relationship (p<0.01) between doses of KCN with the percentage of 131 I uptake by thyroid gland. From the beginning up to the last week of observation, KI-TF and TKI-F subgroups had the relatively similar physiological changes. Key words : Thyocianate, Iodine Dynamic, Lack Iodine Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebaga inya PERANAN TIOSIANAT DALAM DINAMIKA IODIN DALAM TUBUH TIKUS KEKURANGAN IODIN INTJE PICAULY Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Gizi Masyarakat SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 Judul Disertasi : Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus yang Kekurangan Iodin Nama : Intje Picauly NIM : A561020071 Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS Ketua Dr. Rimbawan Anggota Prof. Dr. dr. AR. Thaha, M.Sc Anggota Prof. Dr. Wasmen Manalu Anggota Diketahui Ketua Program Studi Gizi Masyarakat Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 14 Juli 2006 Tanggal Lulus : PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya sehingga penulisan disertasi ini telah dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan disertasi yang berjudul : Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus yang Kekurangan Iodin, telah dilaksanakan sejak bulan April sampai Oktober 2006 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doctor di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Program Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini, ijinkanlah penulis menghaturkan terimakasih yang mendalam disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS selaku ketua komisi pembimbing, atas segala saran-saran dan bimbingannya selama pendidikan sampai penyelesaian studi ini. Demikian pula kepada anggota komisi pembimbing, yaitu Bapak Dr. Rimbawan, Bapak Prof. Dr. dr. AR. Thaha, M.Sc, dan Bapak Prof. Dr. Wasmen Manalu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus atas semua saran-saran dan bimbingannya, baik selama penelitian dilaboratorium maupun selama penulisan disertasi ini. Disampaikan pula rasa terima kasih kepada Rektor Universitas Pattimura, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Ketua Jurusan Teknologi Hasil Perikanan (THP) Faperikan UNPATTI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB, serta kepada rekan-rekan sejawat atas bantuan serta dukungannya. Kepada Rektor dan Pembantu Rektor IPB, Direktur dan Asisten Direktur Program Pascasarjana IPB, Dekan dan Pembantu Dekan Faperta dan FEMA IPB, Ketua Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Program Pascasarjana IPB, Pimpinan Departemen Gizi Masyarakat, seluruh staf pengajar dan pegawai di lingkungan De partemen Gizi Masyarakat FEMA IPB, Seluruh staf Laboratorium Metabolik dan Biokimia GMSK, juga kepada staf laboratorium Fisiologi dan Radioisotop FKH IPB, dan semua pihak yang tak dapat disebutkan namanya satu persatu penulis juga menyampaikan ucapan rasa terimakasih atas kesempatan dan segala bantuan baik yang telah diberikan sehingga penelitian dan studi ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima kasih kepada Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Dikti atas dukungan pembiayaan selama studi dan juga kepada Bapak Gubernur Propinsi Maluku melalui Kepala Biro Kesra Pemerintah Daerah Maluku, Pimpinan Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM), dan Pimpinan Yayasan Satyabhakti Widya atas bantuannya membiayai sebagian dari penelitian ini. Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada keluarga tercinta, papa dan mama serta ketiga adik (Sulastry, Adeltje dan Jujun Picauly), tak terlupakan juga Keluarga Om Rony dan tante Ade Hursepuny beserta ketiga adik (Yulen, Eric dan Endro Hursepuny) yang terkasih di Tobelo Maluku Utara atas semua kasih sayang, pengertian dan perhatian teristimewa dukungan doanya yang begitu berarti dalam perjalanan studi penulis selama studi program S2 sampai S3 sampai terselesaikan dengan segala baik. Terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada suami dan anak kami tercinta (Blessty Serenity Pellokila), yang dengan penuh perhatian dan kesabaran serta banyak sumbangsi akademika yang sangat membantu penulis dalam melancarkan penelitian dan penulisan disertasi ini, serta anak kami “Tyty” yang secara sadar kehadirannya memberikan semangat juang yang tinggi serta inspirasi yang cukup unik sampai penulisan disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari sungguh bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga segala masukan berupa kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis hargai. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi pembangunan nusa dan bangsa Indonesia serta ikut memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Amin Bogor, 26 Juli 2006 Intje Picauly NIM. A561020071 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1972 di Ambon, Propinsi Maluku, merupakan anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Samuel Picauly dan Elsyeba Picauly-Hursepuny. Penulis menyelesaikan pendid ikan sekolah dasar di SD Kristen Rehoboth 2 Ambon pada tahun 1985, sekolah menengah pertama di SMP Negeri 3 Ambon pada tahun 1988, dan sekolah menengah atas di SMA Pertiwi Ambon pada tahun 1991. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1995. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) pada Program Studi Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti) Jakarta. Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar (Dosen) pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan dan Program Studi Teknologi Hasil Perikanan (THP) Universitas Pattimura Ambon sejak tahun 1999 sampai sekarang. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... i DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... iii PENDAHULUAN.............................................................................................. 1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 Perumusan Masalah................................................................................. 2 Tujuan Penelitian..................................................................................... 4 Hipotesis .................................................................................................. 5 Manfaat Penelitian................................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................... 7 Sifat dan Keberadaan Iodin ..................................................................... 7 Peranan Iodin dalam Tubuh .................................................................... 8 Sintesis Hormon Tiroid dan Peranannya dalam Tubuh .......................... 9 Stimulasi Hormon Tiroid pada Sintesis Protein...................................... 11 Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh................................................. 13 Sumber Iodin ........................................................................................... 14 Kebutuhan dan Kecukupan Iodin ............................................................ 16 Penilaian Status Iodin.............................................................................. 17 Dampak Kekurangan Iodin ..................................................................... 20 Pentingnya Radionuklida dalam Mempelajari Struktur dan Fungsi Tiroid .................................................................................... 21 Goiterogen............................................................................................... 23 Sianida..................................................................................................... 25 Metabolisme Sianida dan Tiosianat ........................................................ 27 Tiosianat dan Stabilitas Iodin dalam Tubuh............................................ 29 KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL.................. 34 Kerangka Pemikiran................................................................................ 34 Definisi Operasional................................................................................ 36 BAHAN DAN METODE ................................................................................. 37 Disain Penelitian ..................................................................................... 37 Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................... 37 Bahan Penelitian...................................................................................... 37 Metode Pe nelitian.................................................................................... 40 Rancangan Penelitian.............................................................................. 47 Jenis dan Analisis Data ........................................................................... 48 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 49 Status Iodin Hewan Percobaan................................................................ 49 A. Tahap Pra-Penelitian .......................................................................... 50 B. Tahap Penentuan Kelompok Perlakuan.............................................. 51 Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus............... 53 Pengaruh Tiosianat dalam Kejadian Kekurangan Iodin.......................... 58 Peranan Kalium Iodida (KIO3) dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus.................................................................................. 64 Hubungan antara Dosis KCN dan Perubahan Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus ............................................................................................ 66 Dampak Fisiologis Kurang Iodin pada Tubuh Tikus.............................. 69 KESIMPULAN.................................................................................................. 75 Kesimpulan.............................................................................................. 75 Saran........................................................................................................ 76 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 77 LAMPIRAN ....................................................................................................... 86 DAFTAR TABEL Halaman 1. Gambaran Prevalensi GAKI Tingkat Nasional Periode 1982-2003 ............ 2 2. Kandungan Iodin Rerata pada Berbagai Jenis Pangan.................................. 15 3. Angka Kecukupan Gizi untuk Indonesia dan RDA...................................... 16 4. Konsentrasi Hormon Tiroid dalam Serum Manusia yang Diukur dengan Metode Radioimmunoassay (RIA)................................................................ 19 5. Kriteria Epidemiologi untuk Menilai Status Iodin Berdasarkan Konsentrasi Iodin pada Anak Sekolah Dasar ................................................ 20 6. Penggunaan Isotop Iodin secara Biomedis.................................................... 22 7. Dosis Tetap Radiasi dan Jumlah (%) yang Dijumpai secara Umum dalam Organ Tubuh....................................................................................... 22 8. Daftar Bahan Pangan Goiterogen.................................................................. 24 9. Sianogenik Glikosida yang Terdapat pada Bagian yang dapat Dimakan dalam Tumbuhan.......................................................................... 25 10. Konsentrasi Sianida dalam Bahan Pangan.................................................... 26 11. Bentuk Fisik dan Kimia Sianida.................................................................... 27 12. Tingkat Penggunaan Dosis dalam Diet dan Jumlah Konsumsi Zat Goiterogen yang Bersifat Racun pada Beberapa Hasil Riset ........................................... 32 13. Komposisi 12 Jenis Ransum Tikus Percobaan.............................................. 39 14. Kandungan Iodin dalam Urin Tikus (µg/L) Tahap Pra Penelitian................ 50 15. Persentase pengambilan 131 I (%) oleh Kelenjar Tiroid Kelompok Tikus Perlakuan............................................................................................. 54 16. Kandungan UIE pada Kelompok Tikus Percobaan selama Lima Minggu Pengamatan ............................................................................ 58 17. Konsentrasi T3 (ng/dL) dan T4 (µg/dL) Kelompok Tikus Percobaan selama Lima Minggu Pengamatan................................................................ 61 18. Peranan Kalium Iodat (KIO3) Terhadap Status Iodin Tikus Percobaan........ 64 19. Indikator Neonatal Hypothyorid Indeks (NHI) pada Anak-anak.................. 69 20. Perubahan Dampak Fisiologis Tubuh Tikus Percobaan.............................. 70 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Proses Sintesis dan Pelepasan Hormon Tiroid .............................................. 10 2. Kerja Hormon Tiroid pada Sel Target ........................................................... 11 3. Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh....................................................... 14 4. Metabolisme Sianida ..................................................................................... 29 5. Jenis Inhibitor yang Berperan Aktif pada Tahap Pembebasan dan Biosisntesis Hormon Tiroid .......................................................................... 30 6. Kerangka Pemikiran Munculnya Masalah GAKI ........................................ 35 7. Kandang Tikus Percobaan............................................................................. 39 8. Penentuan Kandungan Iodin dalam Urin Tikus ........................................... 41 9. Penentuan Kelompok Tikus ......................................................................... 43 10. Tahap Perlakuan........................................................................................... 44 11. Pengambilan Darah, Penyuntikan Isotop, Pembedahan, Analisis Hormon Tiroid dan Radionuklida ................................................... 46 12. Beberapa Kesamaan Organ Tubuh antara Manusia dan Tikus ..................... 49 13. Kandungan Iodin dalam Urin Masa Penentuan Kelompok Tikus Kurang Iodin (KI) dan Tidak Kurang Iodin (TKI)............ 52 14. Bobot Badan (g) selama Masa Penentuan Kelompok Tikus Percobaan....... 53 15. Persentase Pengambilan I131 dalam Kelenjar Tiroid Tikus Percobaan......... 56 16. Rerata Pool Iodin selain Kelenjar Tiroid dalam Tubuh Tikus Percobaan..... 57 17. Kandungan Iodin dalam Urin Tikus Percobaan............................................ 60 18. Konsentrasi T3 Tikus Percobaan................................................................... 62 19. Konsentrasi T4 Tikus Percobaan.................................................................... 62 20. Konsentrasi Iodin dalam Feses Tikus Percobaan.......................................... 63 21. Kelompok Tikus TKI-TF .............................................................................. 71 22. Kelompok Tikus TKI-F................................................................................. 71 23. Kelompok Tikus KI-TF................................................................................. 71 24. Kelompok Tikus KI-F ................................................................................... 71 25. Bobot Badan (g) Tikus Percobaan............................................................... 73 26. Panjang Badan (cm) Tikus Percobaan.......................................................... 74 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Prosedur Analisis Kandungan Iodin dalam Urin (UIE)................................ 87 2. Prosedur Analisis Kandungan Iodin dalam Feses......................................... 87 3. Pembuatan Kurva Standar ............................................................................. 88 4. Prosedur Analisis Kandungan Iodin dalam Feses (Metode Spektrofotometer) ........................................................................... 89 5. Proses Pembuatan Kurva Standar ................................................................. 90 6. Perubahan Dampak Fisiologi Tubuh Tikus Percobaan................................ 91 7. Hasil Analisis Distribusi 131 I dalam Organ Tubuh Tikus per Minggu Pengamatan............................................................................... 92 8. Hasil Analisis Kandungan Iodin dalam Urin; Feses; Konsentrasi T3 dan T4 dalam Tubuh Tikus per Minggu Pengamatan Perubahan Dampak Fisiologi Tubuh Tikus Percobaan................................ 93 9. Hasil Uji Analisis Statistik ............................................................................ 94 PENDAHULAUAN Latar Belakang Tubuh membutuhkan iodin untuk pembentukan hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T 3). Kedua hormon ini sangat berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia maupun hewan. Dalam proses tumbuh da n kembang, hormon tiroid berfungsi sebagai katalisator reaksireaksi oksidatif dan pengaturan kecepatan metabolisme di dalam tubuh dan sasarannya untuk sintesis protein. Kekurangan iodin dapat menimbulkan permasalahan kesehatan yang cukup serius seperti penurunan IQ (intelektual), bisu tuli, gangguan pertumbuhan fisik yang paling parah (kerdil atau cebol), peningkatan kematian bayi dan neonatal, hipotiroidisme, berkurangnya kemampuan reproduksi, dan gondok. Semakin tinggi tingkat kekurangan iodin maka makin banyak komplikasi atau gangguan yang ditimbulkan akibat kekurangan iodin (GAKI). Gangguan akibat kekurangan iodin (GAKI) sampai saat ini masih merupakan masalah gizi utama yang dijumpai pada berbagai wilayah di dunia , termasuk Indonesia. Dalam kurun wa ktu lebih dari 20 tahun, pemerintah Indonesia telah melakukan program intervensi seperti suplementasi dan fortifikasi guna menanggulangi masalah yang dimaksud. Berdasarkan hasil monitoring melalui survei nasional gondok sejak tahun 1982 sampai tahun 2003 diperoleh informasi penurunan prevale nsi GAKI yang sangat signifikan, walaupun kenyataannya angka ini kembali meningkat dari 9.8% pada tahun 1998 menjadi 11.1% (Tabel 1). Berdasarkan daerah pemukiman ditemukan bahwa lebih dari 50% daerah pegunungan sepe rti daerah Sumatera, Kalimantan, Jawa , dan Papua cenderung mengalami penurunan prevalensi yang sangat signifikan sampai pada tahun 2003 (DepKes dan Bappenas RI. 2003). Sejak tahun 1990 masalah kekurangan iodin lebih banyak ditemukan di daerah pesisir pantai seperti NTT, Maluku, dan Jawa Timur. Hal ini berarti bahwa daerah pegunungan telah berhasil menurunkan angka prevalensi GAKI dibanding daerah pesisir pantai. 2 Gambaran penurunan prevalensi ini sejalan dengan penurunan total goiter rate (TGR) secara nasional, tetapi bertolak belakang dengan gambaran prevalensi TGR di Provinsi Maluku yang justru meningkat dari 11.3% (1982) menjadi 28.2% (1990) dan 33.3% (1998) kemudian pada tahun 2003 turun menjadi 31.6% (DepKes RI, 2003). Tabel 1 Gambaran Prevalensi GAKI Tingkat Nasional Periode 1982-2003 No Tahun Evaluasi Prevalensi (%) 1 1980 37.7 2 1982 37.2 3 1990 27.7 4 1998 9.8 5 2003 11.1 Sumber : Departemen Kesehatan RI dan Bappenas RI (2003). Secara teoretis, tingkat prevalensi yang cukup tinggi tersebut seharusnya tidak perlu terjadi mengingat daerah Maluku sangat kaya dengan hasil laut sebagai sumber iodin alamiah, dan konsumsi iodin pada masyarakat tersebut diperkirakan dapat mencukupi atau sesuai dengan kebutuhan yang dianjurkan. Kenyataan tersebut berimplikasi pada suatu pertanyaan mengapa daerah Maluku mempunyai prevalensi GAKI yang cenderung meningkat setiap tahun. Zat goiterogenik merupakan salah satu kelompok zat makanan yang bersifat antitiroid. Dachlan dkk. (1997) menemukan bahwa penduduk di Pulau Seram (Provinsi Maluku) cukup banyak mengkonsumsi bahan pangan yang merupakan sumber goiterogenik kelompok tiourea. Sedangkan Picauly (1999) juga menemukan bahwa di Pulau Nusalaut (Provinsi Maluku) penduduknya cukup sering dan banyak mengkonsumsi bahan pangan sumber goiterogenik kelompok tiosianat seperti daun + umbi singkong, rebung, terung, dan daun pepaya. Berdasarkan ur aian di atas, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan secara langsung peranan tiosianat dalam mengganggu fungsi iodin dalam tubuh melalui binatang percobaan tikus putih. Perumusan Masalah Hetzel dan Dunn (1989) mengatakan bahwa kekurangan iodin merupakan penyebab utama munculnya masalah GAKI selain faktor lingkungan yang sangat berpengaruh pada proses menetap dan berkembangnya kasus-kasus baru di 3 daerah endemik (Standburry dan Hetzel, 1980). Faktor lingkungan yang terpenting adalah agen-agen yang menimbulkan gondok atau goiterogenik. Temuan dari beberapa hasil observasi epidemiologi di daerah endemik GAKI Provinsi Maluku menyebutkan bahwa pola konsumsi masyarakat ternyata sangat bervariasi pada jenis dan jumlah pangan baik sumber tiosianat maupun sumber iodin. Di samping itu, kebiasaan dan perilaku masyarakat dalam mengolah bahan pangan yang juga diketahui dapat mempengaruhi jumlah kandungan zat iodin dan tiosianat dalam bahan pangan. Faktor -faktor inilah yang kemudian dapat mempengaruhi jumlah masukan iodin atau tiosianat ke dalam tubuh. Thaha dkk. (1997) dalam penelitian epidemiologi di Provinsi Maluku menemukan beberapa kasus menarik untuk dikaji. Sebagian besar responden (83.4%) di Pulau Seram Utara (daerah non-endemik GAKI) mempunyai urinary iodine excretion (UIE) relatif rendah (< 99.9 ì g/l) yaitu 90 ì g/l dan urinary thyocyanate excretion (UTE) sebesar 27.8 ìg/l. Pada daerah endemik GAKI (Pulau Seram Barat) ditemukan nilai UIE sangat rendah (< 50 ì g/l ), yaitu 49.2 ì g/l dengan nilai UTE sebesar 23.2 ìg/l. Kasus di Pulau Seram Barat sama seperti yang dialami oleh masyarakat di Wilayah Sudan, Belgia , dan Malawi, yang mempunyai nilai UIE sangat rendah dan nilai UTE yang tinggi (Elnour et al., 2000 dan Hector et al., 1993). Kasus yang terjadi di Pulau Seram Barat merupakan suatu fenomena yang sudah sangat lazim dijumpai di daerah-daerah endemik GAKI, te tapi sangat tidak lazim terjadi di daerah non-endemik GAKI. Fenomena yang kontroversial terjadi di Pulau Banda (endemik GAKI) dan Pulau Buru (non-endemik GAKI) di Provinsi Maluku. Kedua daerah tersebut mempunyai tingkat endemisitas yang berbeda namun mempunyai nilai UIE yang rendah dan nilai UTE tinggi, masing-masing sebesar 66.4 ìg/l dan 41.3 ì g/l (Pulau Banda) dan sebesar 59 ìg/l dan 46.1 ì g/l (Pulau Buru). Dengan demikian, terlihat bahwa tiosianat merupakan variabel pengganggu sekaligus menjadi faktor risiko penting terjadinya endemisitas GAKI di daerah Maluku. Dugaan ini diperkuat dengan nilai rasio UIE/UTE yang mencapai nilai 1.3 untuk Pulau Buru (daerah non-endemik GAKI) dan 1.6 untuk 4 Pulau Banda (daerah endemik GAKI). Delange et al. (1994) mengatakan bahwa makin kecil (< 3) nilai rasio ini semakin tinggi tingkat endemisitas suatu daerah. Taurog et al. (1947) dan Salter et al. (1945) mengatakan bahwa tiosianat yang diperoleh dari bahan makanan dapat berperan antagonis dengan iodin dalam tubuh, di antaranya dalam menghambat proses transport aktif iodin menuju kelenjar tiroid dan mempengaruhi konsentrasi iodin eksratiroidal dalam jaringan serta proses sintesis hormon tiroid. Hal serupa disampaikan juga oleh Lang (1933) yang menyebutkan bahwa tiosianat dapat menghambat penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid dan mengikat iodin organik (monoiodotironine / MIT dan diiodotironine / DIT) yang berada pada setiap sel sehingga menyebabkan persaingan yang berat antara tiosianat dan tiroksin serum yang terikat pada protein. Berdasarkan paparan di atas beberapa permasalahan utama yang dapat disimpulkan untuk mengetahui secara jelas peranan tiosianat dalam dinamika iodin adalah : 1. Adakah perubahan dinamika iodin akibat keberadaan tiosianat (yang diberikan dalam bentuk KCN) dalam tubuh tikus ? 2. Berapakah jumlah masukan tiosianat (KCN) yang dianggap berpengaruh pada dinamika iodin dalam tubuh tikus ? 3. Adakah pengaruh tiosianat (KCN) pada dinamika iodin dalam tubuh tikus yang diberikan pada ransum yang difortifikasi KIO3 ? 4. Adakah hubungan antara pemberian dosis KCN dan perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus ? 5. Bagaimanakah dampak fisiologis kekurangan iodin yang timbul akibat pemberian tiosianat (KCN) pada tubuh tikus ? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujua n yang akan dicapai secara umum adalah mempelajari seberapa besar peranan tiosianat dalam mempengaruhi dinamika iodin dalam tubuh tikus yang kekurangan iodin. 5 Tujuan Khusus Secara khusus beberapa tujuan yang akan dicapai adalah : 1. Mengetahui peranan tiosianat (KCN) dalam dinamika iodin dalam tubuh tikus yang kekurangan iodin. 2. Mengetahui pengaruh dosis KCN yang diberikan pada tikus terhadap kecepatan terjadinya perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus yang kekurangan iodin. 3. Mengetahui peranan fortifikan KIO3 dalam dinamika iodin dalam tubuh tikus yang kekurangan iodin. 4. Mengetahui hubungan antara dosis KCN dalam ransum dan perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus. 5. Mengidentifikasi dampak fisiologis kekurangan iodin akibat peranan tiosianat pada tubuh t ikus. Hipotesis Penelitian Secara umum hipotesis penelitian adalah tiosianat berperan dalam perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus yang kekurangan iodin. Secara khusus beberapa hal yang dihipotesiskan antara lain : 1. Asupan KCN yang lebih tinggi dari pada asupan iodin akan menyebabkan perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus. 2. Jumlah asupan KCN tinggi te tapi diikuti dengan pemberian ransum yang difortifikasi iodin (KIO3) dapat mengembalikan dinamika iodin dalam tubuh tikus pada kondisi normal. 3. Pemberian KCN dan fortifikasi KIO3 dalam ransum tikus dapat mempengaruhi dinamika iodin dalam tubuh tikus. 4. Perubahan fisiologis pada tubuh tikus yang kekurangan iodin terjadi akibat keberadaan tiosianat dalam tubuh tikus. 6 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam bentuk : 1. Menjelaskan peranan zat goiterogenik kelompok tiosianat (KCN) dalam menghambat mekanisme distribusi atau dinamika iodin dalam tubuh tikus yang kekurangan iodin dan tidak kekurangan iodin. 2. Membuktikan hipotesis bahwa faktor yang diduga turut berperan dalam tingginya tingkat prevalensi GAKI di Maluku adalah faktor lingkungan yang salah satunya adalah zat goiterogenik kelompok tiosianat (KCN). 3. Memberikan jawaban terhadap salah satu penyebab tingginya prevalensi daerah endemik di daerah endemik wilayah pantai “Endemi c Goiter”. Coastal TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Keberadaan Iodin Pada tahun 1811 iodin ditemukan dalam ganggang laut oleh Berna rd Courtois. Selanjutnya iodin terdapat di tanah dan laut dalam bentuk iodida. Iodida berasal dari kata iode yang dalam bahasa Yunani artinya berwarna ungu (Olson et al., 1984 dan Hetzel, 1996). Ciri umum iodin yang dapat dijumpai adalah berbentuk kristal dengan bobot atom 127 dan bobot molekul 254, dapat menyublim dan bersifat racun serta korosif (Elizar, 1989). Selain itu, iodin juga dapat larut dalam alkohol, karbon disulfida, kloroform, eter, karbon tetraklorida, gliserol, larutan iodida basa , dan tidak larut dalam air. Konsentrasi iodida dalam air laut berkisar antara 50 dan 60 µg/L dan di udara sekitar 0.7 ìg/m3 (Tezic, 1998). Hetzel dan Clugston (1996) menerangkan bahwa zat iodin yang berasal dari hasil oksidasi ion iodida dapat menguap oleh sinar matahari sehingga setiap tahun sekitar 400 000 ton iodin menghilang dari permukaan laut. Iodin di udara dikembalikan lagi ke tanah oleh air hujan dengan proses yang sangat lambat dan konsentrasinya terbatas, yaitu sekitar 1.8 sampai 8.5 µg/L, lebih kecil dibanding dengan jumlah iodin asli yang hilang dari tanah oleh karena banjir dan erosi. Wilayah yang paling memungkinkan untuk melepaskan io din di permukaan bumi adalah wilayah pegunungan. Semua tanaman hasil panen yang tumbuh di lahan ini akan mempunyai kandungan iodin yang rendah. Oleh karena itu, defisiensi iodin lebih banyak terjadi pada daerah ketinggian (pegunungan) dan mempunyai curah hujan yang lebih tinggi karena iodin akan terikut bersama aliran air menuju ke muara terakhir yaitu laut (Hetzel et al., 1996). Hetzel et al. (1996) dan Tezic (1998) mengatakan bahwa kandungan iodin tanaman yang tumbuh pada tanah yang kurang iodin adalah sekitar 10 ìg/kg berat kering, sedangkan pada tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup iodin mencapai 1000 µg/kg berat kering. 8 Peranan Iodin dalam Tubuh Iodin termasuk kelompok gizi mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang sangat sedikit yaitu sekitar 10-20 mg per 70 kg rata -rata berat badan manusia . Iodin merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh manusia dalam proses pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan otak manusia maupun hewa n (Linder, 1992, Dunn, 2001, dan Astawan, 2003). Apabila jumlah iodin yang tersedia tidak mencukupi, produksi tiroksin dan triiodotironin menurun dan sekresi TSH meningkat. Akibatnya , sintesis tiroglobulin oleh sel tiroid meningkat yang menyebabkan kelenjar membesar dan terjadi hiperplasia yang disebut gondok. Selain itu, kekurangan iodin dapat juga mengakibatkan kretinisme (kerdil), penuruna n kecerdasan, dan untuk tingkat yang lebih berat dapat mengakibatkan gangguan pada otak dan pendengaran serta kematian pada bayi. Sehubungan dengan fungsi iodin dalam proses pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan otak, susunan saraf yang terdiri atas sel-sel neuron yang mulai dibentuk pada fase embriologis sangat bergantung pada kecukupan kandungan iodin. Jumlah sel neuron dalam otak umumnya mencapai sekitar 10 milya r. Kekurangan iodin pada masa kehamila n dan awal masa kehidupan anak dapat menurunkan jumlah sel neuron yang ada di otak sehingga dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan otak anak (IQ di bawah normal). Kekurangan iodin masih merupakan masalah besar di beberapa negara di dunia, khususnya negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Survei pemetaan GA KI tahun 1998 menunjukkan sekitar 87 juta penduduk Indonesia saat ini hidup dan bermukim di daerah endemik kekurangan iodin. Intelligence quotient (IQ) mereka diperkirakan berkurang, dan 20 juta di antara mereka menderita penyakit gondok dan 290 000 orang menderita kretin. Kekurangan ini tentunya menurunkan kualitas generasi muda dan penuruna n kesejahteraan masyarakat Indonesia. 9 Sintesis Hormon Tiroid dan Peranannya dalam Tubuh Kelenjar tiroid adalah salah satu kelenjar endokrin yang tumbuh pada masa perkembangan suatu individu dan berasal dari evaginasi farinks (endodermal). Dickson (1984) mengatakan bahwa berat kelenjar tiroid sekitar 0.2% dari berat badan atau sekitar 15 sampai 25 g dan sangat banyak menyerap iodin yang beredar dalam darah. Kelenjar ini terdiri atas dua lobus yang melekat rapat dengan trakea dan dihubungkan satu sama lainnya dengan sebuah isthmus dengan panjang sekitar 2 cm. Kelenjar tiroid terdiri atas dua lobuli yang mengandung sekitar 20 sampai 40 folikel setiap lobulus. Folikel ini merupakan unit kerja kelenjar tiroid yang bentuknya bervariasi, yaitu bulat, agak lonjong, atau memanjang. Folikel tiroid dibentuk oleh sel folikel di sekelilingnya. Di sebelah luar, sel folikel dibatasi oleh membran basal. Di dalam folikel terdapat koloid hormon tiroid yang bersifat asidofilik (merah), kadang terlihat mengkerut apabila kelenjar dalam keadaan aktif. Pada tikus, sel folikel berbentuk kuboid rendah. Di samping sel folikel, terdapat sel parafolikel atau disebut pula sel C yang bentuknya lebih besar, berwarna pucat dan terletak di antara membran basal dan sel folikel. Sel C ini dikenal sebagai sel penghasil kalsitonin, yaitu hormon yang bekerja dalam metabolisme kalsium (Ham, 1974). Turner dan Bagnara (1976) dan Dickson (1984) mengatakan bahwa kelenjar tiroid berfungsi membuat hormon tiroid, yaitu hasil ikatan antara iodin dan asam amino tirosin dalam beberapa be ntuk. Djojosoebagio (1990) mengatakan bahwa pembentukan hormon tiroid dimulai dari perubahan bentuk ikatan iodin menjadi ion iodida. Ion iodida diperoleh dari kerja hidrogen peroksida (H2O2 ) yang melakukan oksidasi pada iodin sehingga terjadi ion iodin aktif. Iodin aktif ini akan berubah menjadi hipoiodid yang dapat melakukan iodinasi pada asam amino tirosin sehingga terbentuk monoiodothyronine atau MIT (T1 ) dan diiodothyronine atau DIT (T2). Dickson (1984) dan Saurbelich (1998) mengatakan bahwa gabungan antara dua molekul DIT akan membentuk T4 (tiroksin) yang memiliki 4 buah atom iodin, sedangkan gabungan antara satu molekul MIT dan satu molekul DIT 10 akan membentuk T3 (triiodotironin) yang memiliki 3 buah atom iodin. Penggabungan molekul-molekul ini dibantu oleh coupling enzime yaitu thyroid peroxidase dan berlangsung dalam sel follikel (Gambar 1). Transport Iodin Organifikasi T1 I- I+ + Tirosin Pembentukan T1&T2 T 4& T3 Sekresi T4 & T3 Gambar 1 Proses Sintesis dan Pelepasan Hormon Tiroid (Saurbelich, 1998). Molekul asam amino tirosin dalam kelenjar tiroid merupakan residu penyusun molekul protein tiroglobulin. Hormon T4 dan T3 berada di permukaan koloid yang berada di dalam folikel tiroid. Hormon T4dan T3 disekresikan melalui proses endositosis di dalam sel folikel tiroid. Hormon T4 dan T3 disekresikan dalam darah, sedangkan MIT dan DIT akan mengalami deiodinasi oleh enzim deiodinase di dalam tiroid. Siklus ini dimaksudkan untuk memanfaatkan iodin dari tiroksin menjadi iodin yang lebih aktif. Konsentrasi T4 dalam darah lebih banyak dibandingkan T3. Konsentrasi T3 biasanya hanya 10% atau kurang dari hormon-hormon tiroid (Djojosoebagio, 1990). Querido (1979) mengatakan bahwa hormon tiroid bekerja di bawah pengawasan hormon tirotropik yang dihasilkan oleh hipofisa anterior , yaitu TSH. Di dalam saluran pencernaan, hormon tiroid ikut mengatur kerja peristaltik usus dan penyerapan ion Fe. Selain itu, hormon tiroid juga dapat mengatur deposisi bahan-bahan di bawah kulit dan, pada alat reproduksi, hormon tiroid 11 mengatur pertumbuhan alat kelamin dan kelenjar susu (Turner dan Bagnara, 1976 dan Dickson, 1984). Stimulasi Hormon Tiroid pada Sintesis Protein Bagian penting yang menjadi sentral aktivitas hormon tiroid adalah sel, mitokondria, ribosom, dan nukleus (Gambar 2). Hormon tiroid dapat berperan langsung dalam proses transpor asam amino dan transpor cairan elektrolit dari lingkungan ekstraseluler ke interiol sel, aktivitas khusus enzim protein dalam se l dan proses peningkatan ukuran, nomor , dan fungsi sel. Gambar 2 Kerja hormon Tiroid pada Sel Target (Sterling, 1979). Harper et al. (1979) dan Ster ling (1979) menyatakan bahwa hormon tiroid bekerja pada sel sasaran untuk sintesis protein dengan jalan berikatan langsung dengan reseptor protein yang berhubungan dengan kromatin yang terdapat di 12 dalam inti sel (Gambar 2). Oleh karena itu, hormon tiroid berfungsi sebagai pengatur laju metabolisme di dalam sel dan berfungsi sebagai katalisator reaksi metabolisme oksidatif di mitokondria. Jika kondisi kekurangan dan kelebihan hormon tiroid terjadi dapat menyebabkan dampak kekurangan yang permanent dalam nomor dan fungsi sel. Dalam sintesis protein, hormon tiroid membantu memproduksi ATP yang sangat dibutuhkan dalam semua proses pertumbuhan. Pada kelompok orang dewasa dampak produksi hormon tiroid banyak berbeda pada setiap jaringan, seperti peningkatan aktivitas lipolitik dalam jaringan adiposa, modulasi sekresi gonadotropin oleh pituitary, dan perbaikan sel proliveratif seperti sel pertumbuhan dan perawatan rambut. Hormon tiroid juga dapat me mbantu dalam proses glikolisis lewat jalur pathway untuk proses kalorigenesis bersamaan dengan proses oksidatif fosforilasi di hati, ginjal, dan otot. Sedangkan pada otak, hormon tiroid tidak memberikan dampak kalorigenik tapi dapat merubah konsentrasi neurotransmitter dan semua reseptor. Walaupun pada umumnya enzim protein yang dibutuhkan dalam sintesis protein pada sel orang dewasa, konsentrasi fisiologis hormon tiroid juga dibutuhkan untuk pertumbuhan normal termasuk kulit dan rambut dan pelaksanaan dua fungsi struktur protein. Pada pasien hipotiroid, pertumbuhan anak rambut (rambut baru) berkurang disertai dengan peningkatan jumlah rambut yang rontok atau gugur. Keadaan yang tidak normal ini diikuti dengan proses pemulihan pada kondisi eutiroid. Diasumsikan bahwa konsentrasi fisiologi hormon tiroid mungkin tidak hanya merangsang pertumbuhan rambut baru tapi selalu dibutuhkan untuk perawatan normal. Hormon tiroid juga berperan pada berbagai sistem tubuh adalah meningkatkan konsumsi oksigen pada proses kalorigenesis. Hormon tiroid meningkatkan konversi kr ea tin menjadi kreatinin pada proses kontraksi otot, membantu pembentukan lapisan mielin pada serabut saraf, mengatur derajat metabolisme basal pada sistem hematopoiesis, mengatur suhu badan dan kerja jantung, dan mengatur metabolisme mineral. 13 Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh Iodin yang masuk ke dalam tubuh akan melewati tahap pencernaan sampai tahap ekskresi. Dalam saluran pencernaan, iodin dalam bahan makanan dikonversi menjadi iodid (I-) yang mudah diserap. Selanjutnya , iodin itu di angkut ke dalam plasma darah dan bergabung dengan pool iodida intraseluler dan ekstraseluler. Iodin yang ada dalam pembuluh darah masuk ke kelenjar tiroid melalui pengangkutan yang difasilitasi oleh Na-I. Pengangkutan ini memfasilitasi pasangan natrium dan ioda masuk ke dalam sel (Linder. 1992) . Sekitar 90% iodin yang masuk ke dalam sel akan disimpan dalam kelenjar tiroid, dan setelah mengalami peroksidasi akan melekat pada residu tirosin dan tiroglobulin membentuk protein yang besar dengan berat 670 000 dalton dan mengandung 120 residu tirosin (Gaitan, 1986). Dalam keadaan seimbang, iodin yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan iodin yang diekskresikan melalui urin. Oleh karena itu, urin dapat menjadi indikator status iodin dalam tubuh seseorang ( Brody, 1999). Ganong (1989) mengilustrasikan bahwa jika mengkonsumsi iodin sebesar 500 µg/hari, hanya sekitar 120 ìg yang masuk ke dalam kelenjar tiroid, dan dari kelenjar tiroid dis ekresikan sekitar 80 µg iodin dalam bentuk T3 dan T4. Sisa iodin yang tidak diserap oleh kelenjar tiroid akan masuk ke dalam jaringan baik dalam ikatan organik maupun anorganik dan dikenal sebagai pool iodin. Selanjutnya T4 dan T3 mengalami metabolisme dalam hati dan kelenjar lainnya, dan sekitar 60 µg dikeluarkan ke dalam cairan empedu, kemudian dikeluarkan ke dalam lumen usus. Sebagian lagi mengalami sirkulasi enterohepatik, yang lepas dari reabsorbsi akan diekskresikan bersama feses yang jumlahnya hampir mencapai 20% ìg per hari, sedangkan sekitar 80% ìg/L/hari melalui urin (Ganong, 1989 dan Winarno, 1997). Proses metabolisme iodin dapat dilihat pada Gambar 3. 14 Gambar 3 Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh (Ganong, 1989). Pembuangan iodin sebagian besar terjadi melalui ginjal, sedangkan dalam jumlah yang lebih kecil dikeluarkan juga melalui usus dan keringat (Winarno, 1997 dan Brody, 1999). Iodin yang tidak dapat diserap atau yang berasal dari empedu akan dikeluarkan bersama feses (Gambar 3). Ekskresi iodin melalui urin dapat dijadikan sebagai indikator penentuan status iodin dalam tubuh seseorang. Hal ini disebabkan karena ginjal tidak mempunyai kemampuan untuk menyimpan mineral ini sehingga dalam keadaan seimbang (normal) iodin yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan iodin yang diekskresikan melalui urine (Brody, 1999). Selain itu, Freake (1998) mengatakan bahwa bentuk kehilangan iodin yang lain bisa terjadi melalui keringat dan air susu ibu yang terbuang atau tidak terpakai pada wanita menyusui. Sumber Iodin Iodin dapat diperoleh dari berbagai jenis pangan dan kandungannya berbeda -beda bergantung pada asal jenis pangan tersebut dihasilkan. Hal tersebut 15 dapat dibuktikan dengan hasil penelitian dari Gibson (1990) seperti yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan Iodin Rerata pada Berbagai Jenis Pangan Jenis Pangan Rer ata Kandungan Iodin (ìg/100g) Selang Kandungan Iodin (ìg/l00g) Ikan Tawar Ikan Laut Kerang Daging Susu Telur Gandum Buah-buahan Kacang-kacangan Sayuran 30 832 798 50 47 93 47 18 30 29 17-40 163-3180 308-1300 27-97 35-56 22-72 10-29 23-36 12-201 Sumber: Gibson (1990) Djokomoeljanto (1993) mengatakan bahwa seafood merupakan pangan sumber iodin alamiah yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena iodin dalam tanah dapat terbawa pada saat banjir menuju sungai dan pada akhirnya ke laut sehingga bahan pangan seperti rumput laut, berbagai jenis ikan laut, kepiting, udang, dan sampai pada tanaman lain yang kebetulan tumbuh dan hidup pada daerah sekitar pantai, termasuk sumber air minum yang dimiliki, mempunyai kandungan iodin yang tinggi. Sumber iodin lain adalah garam dan air yang difortifikasi. Garam termasuk dalam sembilan bahan pangan pokok yang diperlukan masyarakat dan oleh karenanya merupakan bahan makanan yang penting. Jenis garam yang diproduksi berbeda tiap daerah dalam kandungan iodin dan bentuknya Hal ini tentunya berhubungan dengan kesukaan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan garam beriodin untuk dikonsumsi dengan kandungan iodin (KIO3) sebesar 30 – 80 ppm, dengan Keputusan Presiden RI No. 69 tahun 1994. Di negara maju konsumsi garam beriodin telah menjadi salah satu alternatif (bahkan program efektif) dalam menanggulangi masalah GAKI. Beberapa negara, di antaranya USA, Jepang, El Savador, China, India, Australia, 16 Switzerland, dan sebagian besar wilayah Afrika , telah menggunakan program konsumsi garam beriodin untuk semua (USI : Universal salt iodization). Pada wilayah Afrika dan Mediterania , bahkan di Guatemala, sejak pelaksanaan program iodisasi garam terjadi penurunan prevalensi gondok. Akan tetapi, pada saat pemasokan garam iodin terganggu (pada masa perang) maka prevalensi GAKI kembali meningkat. Setelah situasi normal kembali dan pemasokan garam beriodin lancar, prevalensi GAKI kembali menurun secara drastis. Kebutuhan dan Kecukupan iodin Konsumsi iodin sangat bervariasi di semua belahan dunia, namun di Amerika Serikat diperkirakan rata -rata sekitar 500 ìg/hari (lima kali kebutuhan asupan iodin yang dianjurkan). Menurut Hetzel (1989) dalam keadaan normal asupan harian untuk orang dewasa berkisar mulai dari 100 sampai 150 µg per hari. Jumlah asupan tersebut dianggap cukup untuk mempertahankan fungsi tiroid normal yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal. Bertolak dari besar kebutuhan iodin yang ada , RDA dari UNICEF/WHO/ICCIDD (1989) dan WKNPG/LIPI (2004) menganjurkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan menyesuaikan pada angka kec ukupan masing - masing orang berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin. Tabel 3 Angka Kecukupan Gizi untuk Indonesia dan RDA No 1 2 3 4 Kelompok Usia 0-9 tahun 10-59 tahun Wanita Hamil Ibu Menyusui Kecukupan Indonesia 90 - 120 120 - 150 150 (+50) 150 (+50) RDA (µg) (UNICEF/WHO/ICCIDD) 90 – 120 120 - 150 220 290 Sumber: WKNPG (2004) dan Food and Nutrition Board (FNB) Institute of Medicine (2001). Untuk memenuhi kecukupan iodin di atas, sebaiknya di dalam menu sehari-hari disertakan bahan-bahan panga n yang berasal dari laut dan aneka jenis olahannya. Kecukupan iodin yang dianjurkan untuk orang Indonesia disajikan pada Tabel 3. Khusus bagi kelompok ibu hamil, tambahan tersebut sebagian dapat dipergunakan untuk keperluan aktivitas kelenjar tiroid ibu dan sebagiannya 17 lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, khususnya untuk pembentukan sel-sel dan jaringan baru serta perkembangan otak. Penilaian Status Iodin Ada tidaknya masalah kekurangan iodin harus dapat ditentukan dengan baik melalui cara pe ngukuran yang digunakan. Pengukuran gangguan kekurangan iodin di dalam suatu populasi akan menunjukkan tingkat keparahan masalah tersebut. Berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh pihak WHO (2001), cara pengukuran ada tidaknya permasalahan gangguan akibat kekurangan iodin dalam suatu populasi masyarakat antara lain adalah ukuran gondok dengan metode palpasi, ultrasonografi (USG) , kandungan iodin dalam urine (UIE), konsentrasi TSH dalam darah, kretin endemik, hormon Tiroid, dan pengambilan Radioiodin. Secara tradisional metode yang biasa dipakai dalam suatu kelompok populasi untuk menilai tingkat endemik GAKI adalah metode palpasi. Kelompok contoh yang dipakai dalam mewakili populasi pada umumnya adalah anak-anak sekolah. Ketelitian teknik ini masih rendah sehingga digantikan oleh metode lain, seperti ultrasonografi, UIE, dan TSH. Metode pengukuran UIE dianggap sangat bermanfaat dan metode ini dapat dipercaya. Keparahan endemik dapat dinilai dari hasil survei, terutama yang menggunakan metode UIE. Walaupun demikian, penggunaan ke -6 cara tersebut di atas masih sangat terbatas. Hal ini tentunya disesuaikan dengan kondisi suatu negara dan kelengkapan alat yang diperlukan. Bagi Indonesia khususnya, cara yang selama ini digunakan antara lain A. Pemeriksaan Klinis seperti 1). Metode Palpasi, 2). Ultrasonografi (USG), dan 3). Kretin Endemik. B Pemeriksaan Biokimia seperti 1). Kandungan iodin dalam urine (UIE), 2). Hormon Tiroid dan TSH dalam darah. • Palpasi dan USG Tingkat pembesaran gondok dapat ditentukan dengan menggunakan metode palpasi. Dalam melaksanakan pemeriksaan gondok, pemeriksa berdiri atau duduk menghadap objek yang diperiksa dengan menempelkan kedua ibu jarinya pada sisi kanan dan kiri dan batang tenggorokannya beberapa sentimeter di 18 bawah jakun dan menekan serta memutar ibu jarinya secara perlahan-lahan pada kelenjar tiroid yang lekat dengan jakun. Target populasi adalah anak sekolah dasar umur 8-10 tahun atau 6-12 tahun. Derajat besarnya gondok yang disepakati oleh WHO ( 2001) antara lain : Grade 0: Tidak Jelas atau tidak kelihatan gondok Grade 1: Jelas tapi tidak kelihatan gondok Grade 2: Jelas dan Kelihatan gondok Palpasi termasuk indikator yang pelaksanaannya relatif lebih cepat dan lebih murah, namun akurasi dan reliabilitas hasil yang diperoleh lebih rendah bila dibandingkan dengan metode ultrasonografi (USG). USG dapat digunakan untuk menilai subjek dalam jumlah besar dan dapat terhindar dari kesalahan pengamat, namun membutuhkan waktu yang banyak, biaya yang tinggi, dan tenaga yang dilatih secara khusus. • Pengukuran Hormon Tiroid dalam Serum Pengukuran hormon tiroid dapat dilakukan pada berbagai kelompok umur terutama pada bayi, anak-anak, orang dewasa, dan wanita hamil karena kelompok usia ini sangat penting untuk mengetahui fungsi tiroid selama perkembangan otak dini. Larsen et al. (1987), Vanderpass dan Thily (1994) , dan Wilber (1996) menyatakan bahwa kadar T4 yang normal dalam darah adalah 8 µg/dL, sementara yang rendah adalah kurang dari 8 µg/dL, dan yang tinggi adalah lebih dari 8 µg/dL. Sementara menurut ICCIDD (2003) kadar T4 yang normal dalam darah adalah sekitar 4 sampai 12 µg/dL. Ingbar dan Braverman (1986) mengatakan bahwa kecenderungan perubahan fisiologi yang muncul pada seseorang yang mengalami gangguan fungsi tiroid dan yang disertai dengan kadar hormon tiroid (T3 dan T4) yang rendah adalah perubahan nafsu makan bervariasi (kada ng berkurang, kadang bertambah), gangguan kesehatan (sakit), agresif, dan gangguan ginjal dan hati selama pengamatan. Konsentrasi hormon tiroid dalam serum manusia dengan metode Radioimmunoassay (RIA) menurut Ingbar dan Braverman (1986) dapat dilihat pada Tabel 4. 19 Tabel 4 Konsentrasi Hormon Tiroid dalam Serum Manusia yang Diukur dengan Metode Radioimmunoassay (RIA) Indikator (Metode RIA) Eutiroid Anak-anak Eutiroid Dewasa Hipertiroid Dewasa Hipotiroidisme Dewasa T4 (ìg/d L) Rerata Interval 11 8-15 8 5-11 21 10-50 2 <1-5 T3 (ng/dL) Rerata Interval 48 11-90 120 80-220 480 200-1600 48 20-160 Sumber : Ingbar dan Braverman, 1986 Kaplan (1982) mengatakan bahwa selang normal untuk T4 adalah 5 sampai 10.7 ìg/dL dan T3 adalah 75 sampai 222 ng/dL. Kadar hormon tiroid yang dijumpai pada orang sakit adalah sebesar 3.9 sampai 8.1 ì g/dL untuk T4 dan sebesar 38 sampai 87 ng/dL untuk T3. • Pengukuran Konsentrasi Iodin dalam Urin Pengukuran konsentrasi iodin yang keluar melalui urin termasuk indikator outcome secara biokimia, yang dapat dilakukan terhadap sampel urin yang dikumpulkan selama 24 jam. Kelebihan asupan iodin juga dapat dimonitor dengan menent ukan konsentrasi iodin urin. Pardede et al. (1998) dan Dunn dan Haar (1990) mengatakan bahwa konsentrasi iodin urin sangat sahih dalam menentukan asupan iodin dalam suatu populasi. Hasil pengukuran konsentrasi iodin urin tidak mempunyai perbedaan yang berarti dengan hasil pengukuran volume tiroid menggunakan ultrasonografi. Sauberlich (2000) mengatakan bahwa untuk mengukur besar ekskresi iodin lewat urin sebaiknya menggunakan urin selama 1 kali 24 jam (sehari). Hal ini disebabkan karena jumlah ekskresi iodin dalam urin selama periode 24 jam dapat mencerminkan ketepatan besaran asupan konsumsi iodin (Brody, 1999). Kriteria epidemiologi untuk menilai status asupan iodin dalam urin terhadap konsentrasi iodin urin rata-rata pada anak sekolah dasar dapat dilihat pada Tabel 5. 20 Tabel 5 Kriteria Epidemiologi untuk Menilai Status Iodin Berdasarkan Konsentrasi Iodin pada Anak Sekolah Dasar Konsentrasi Iodin dalam urin (ìg/L) < 20 20 – 49 50 – 99 100 – 199 Status Asupan Iodin Tidak cukup Tidak cukup Tidak cukup Cukup 200 – 299 Lebih dari cukup > 300 Berlebihan Status Gizi Iodin Defisiensi iodin berat Defisiensi iodin sedang Defisiensi iodin ringan Optimal Risiko terjadinya hipertiroid dalam waktu 5-10 tahun setelah pemberian garam beriodin pada kelompok rentan Risiko terjadinya hipertiroid dan autoimmune tiroid Sumber : WHO (2001). Dampak Kekurangan Iodin Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodin (GAKI) merupakan masalah yang serius mengingat dampaknya secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup dan kua litas manusia. Dampak kekurangan iodin secara umum adalah defisiensi iodum tingkat berat akan berdampak seperti gondok (Delange, 1994 dan Thilly et al., 1977) dan kretin, penurunan IQ (intelektual), bisu tuli dan gangguan pertumbuhan fisik yang paling parah (Boyages, 1993), peningkatan kematian bayi dan hipotiroidisme neonatal (Delong et al., 1985) serta berkurangnya kemampuan reproduksi (Dillon dan Milliez, 2000). Masalah GAKI sangat erat pengaruhnya pada perkembangan mental yang diwujudkan dengan terjadinya defisit IQ, yaitu setiap penderita kretin akan mengalami defisit IQ sebesar 50 poin di bawah normal. GAKI yang bukan kretin akan berdampak pada penurunan IQ sebesar 10 poin di bawah normal, sedangkan gondok akan berdampak pada penurunan IQ sebesar 5 poin di bawah normal. Dengan demikian, jumlah seluruh defisit mental di Indonesia yang disebabkan karena GAKI adalah antara 122.5 juta sampai 140 juta poin IQ (Jalal, 1998). Defisiensi iodin tingkat ringan sampai sedang dapat menyebabkan gangguan neurologis dengan bentuk gangguan pendengaran tingkat akut pada anak - anak (Tiwan et al., 1996) dan peningkatan risiko bayi lahir prematur, dengan perubahan transfer hormon tiroid dan iodin selama kehamilan. 21 Pembengkakan kelenjar tiroid (gondok) dikenal dengan istilah penyakit hipotiroidisme. Tanda-tanda lain akibat hipotiroidisme kelopak mata tampak lebih cembung, wajah kelihatan suram, lesu, rambut kasar, lidah bengkak dan suara parau (Lee, 2001). Hipotiroidisme berimplikasi sama dengan rendahnya tingkat energi, kulit kering atau bersisik atau juga kulit kekuning-kuningan, perasaan geli dan mati rasa pada kaki dan tangan, pertambahan berat, suka pelupa, tidak tetap pendirian atau selalu berubah, depresi, dan anemia. Selain itu hipotiroidisme juga dapat berperan penting dalam peningkatan kadar kolesterol dan homosistein dalam darah (Lee, 2001). Hipertiroid adalah salah satu dampak yang terjadi pada kelompok orang tua dengan manifestasi pada kelenjar tiroid yang membesar (gondok), gangguan jantung atau serangan jantung, gemetaran, sering berkeringat, sering merasa jantung berdebar, ketakutan dan peningkatan aktivitas dan mata yang tidak sempurna (Lee, 2001). Jalal (1998) melaporkan bahwa kelompok masyarakat yang sangat rawan terhadap dampak defisiensi iodin (GA KI) menurut tingkat pertumbuhan dan perkembangan adalah wanita usia subur (WUS), ibu hamil dan menyusui, bayi, dan anak usia sekolah. Pentingnya Radionuklida dalam Mempelajari Struktur dan Fungsi Tiroid Radionuklida lebih banyak digunakan dalam mempelajari fisiologi tiroid, menganalisa fungsi tiroid dan digunakan dalam perlakuan pengobatan kepada pasien hipertiroid atau tiroid carcinoma. Kesatuan dari aktivitas bahan radioaktif adalah curie (Ci). Curie menandakan jumlah disintegrasi yang sebenarnya dalam suatu contoh. Unsur radionulkida ini dapat digunakan dengan mudah untuk mengikuti jejak dan gerakan-gerakan dari suatu unsur. Oleh karena itu radionuklida sering disebut sebagai Traser atau perunut atau penanda. Radionuklida yang umum digunakan untuk mengevaluasi tiroid adalah jenis isotop iodin; 99molybdenum-Technetium (99m Tc) dan 241 Americium (241 Am). Tabel 6 menunjukkan Jenis -jenis isotop iodin yang dibutuhkan untuk mempelajari struktur dan fungsi kelenjar tiroid. Untuk keperluan tersebut, isotop 22 iodin lebih banyak digunakan dalam bentuk uji in vitro dan isotop iodin serta isotop technetium dalam bentuk uji in vivo dalam penelitian. Tabel 6 Penggunaan Isotop Iodin secara Biomedis No. Atom Peluruhan : persen kelimpahan, Modus peluruhan, Energi maksimum(MeV) 91% penangkapan elektron, 9 % β + (1.2) 100% penangkapan 100% penangkapan Waktu Paruh 121 2.12 jam 123 125 127 13.3 jam 60.2 hari Stabil 128 25.0 menit 7.4% penangkapan 93.6% β - (2.1) elektron, Foton x- atau Gamma KeV (% kelimpahan) 28.212 (90%), lainnya 28.159 (83%) 28.35 (7%) 28.441 (14%), lainnya 419, (35%), 538 (99%), 669 (100%), 743 (87%), 1150 (12%) 28.80 (30%), 284 (5%), 364 131 8.05 hari β - (0.606) (82%), lainnya 520 (20%), 670 (144%), 773 132 2.26 jam β - (2.12) (89%), lainnya 133 20.3 jam 530 (90%) β (1.27) Sumber : Data Dasar dari Radiological Health Handbook, Washington, DC. US (1970). 130 β - (1.04) 12.3 jam Isotop 125 I dan 131 I pada umumnya digunakan untuk menguji tiroid secara in vitro. Cara ini lebih efektif untuk terapi hipertiroid atau untuk menilai asupan iodin. Penelitian jarang menggunakan 125 I secara in vivo karena menggunakan sinar gama yang berenergi rendah. Jenis isotop 123 I, 131 I, dan 99m Technetium, walaupun mempunyai waktu paruh yang berbeda, mempunyai tujuan penelitian yang sama, yaitu untuk mendiagnosa atau terapi gangguan fungsi tiroid. Penelitian yang dijalankan dapat menggunakan cara in vitro dan in vivo dengan menggunakan sinar gamma. Tabel 7 menunjukkan penggunaan dosis berbagai jenis isotop iodin untuk menganalisa persentase pengambilan iodin oleh berbagai organ tubuh. Tabel 7 Dosis Tetap Radiasi (mCi) dan Jumlah (%) yang Dijumpai secara Umum dalam Organ Tubuh Isotop 123 125 131 132 Dosis Konstan (mCi) 0.13 0.11 0.68 2.01 Dinding Tiroid Perut 13.0 0.2 790.0 0.3 1300.0 1.4 13.0 1.1 Sumber : Ingbar dan Braverman (1986). Sistem Organ Kelenjar Ovarium Saliva 0.7 0.03 0.4 0.04 0.7 0.14 0.6 0.13 Testes 0.012 0.024 0.088 0.074 Sumsum Total Tulang Tubuh 0.03 0.03 0.12 0.49 0.26 0.71 0.09 0.11 23 Goiterogen Bentuk kekurangan iodin tingkat kronis adalah terjadinya pembesaran kelenjar tiroid yang dikenal dengan sebutan gondok. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor lain juga ikut berperan. Salah satu faktor adalah bahan pangan yang dapat menimbulkan gejala gondok atau bersifat goiterogenik. Goiterogen adalah zat yang dapat menghambat pengambilan zat iodin oleh kelenjar tiroid sehingga konsentrasi iodin dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu zat goiterogenik dapat menghambat perubahan iodin dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon tiroksin terhambat (Linder, 1992). Williams (1974) mengatakan bahwa zat goiterogenik dalam bahan makanan yang dimakan setiap hari akan menyebabkan zat iodin dalam tubuh tidak berguna karena zat goiterogenik tersebut menghambat absorbsi dan metabolisme mineral iodin yang telah masuk ke dalam tubuh. Gaitan (1980) mengatakan bahwa goiterogen dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan cara kerjanya pada metabolisme iodin dalam pembentukan hormon tiroid. Kelompok pertama adalah tiosianat atau senyawa yang mirip tiosianat yang secara primer menghambat mekanisme transpor aktif iodin ke dalam kelenjar tiroid. Hambatan senyawa ini efektif hanya bila konsentrasi iodin dalam darah normal atau lebih rendah (Wilson dan Foster, 1992). Oleh sebab itu, hambatan oleh senyawa ini hanya dapat diatasi dengan suplementasi iodin yang cukup dan teratur (Gaitan, 1980). Brody (1999) mengatakan bahwa singkong mengandung sianogenikglikosida yang merupakan sumber sianida. Singkong yang dijadikan makanan hewan terlebih dahulu dihilangkan sianidanya dengan cara memanaskan singkong yang sudah dipotong-potong dan dijemur di bawah sinar matahari. Untuk konsumsi manusia, kandungan sianida singkong dapat dihilangkan dengan cara merebus di dalam air. Jika tidak dihilangkan dengan baik, sianida akan terlepas dari goiterogen tapi dalam tubuh akan berubah menjadi tiosianat, dan zat inilah yang akan menghambat penyerapan iodin dan akan mengakibatka n gondok. Tabel 8 menunjukkan kandungan Goiterogen alami yang ditemukan dalam jenis pangan adalah kelompok sianida (dalam daun + umbi singkong, 24 gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung), kelompok mimosin (dalam peta i cina dan lamtoro), kelompok isothiosianat (dalam daun pepaya), dan kelompok asam (dalam jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka) (Chapman, 1982). Tabel 8 Daftar Bahan Pangan Goiterogenik Nama Bahan Pangan 1. Singkong 2. Gaplek 3. Gadung 4. Daun Singkong Kelompok Famili Nama Latin Eupharbiaceae Eupharbiaceae Dioscoreaceae Eupharbiaceae 6. Petecina/Lamtoro 7. Daun Pepaya 8. Rebung 9. Daun Ketela 10. Kecipir 11. Terung 12. Pete Leguminoceae Carica Gramineae Cenvolvulaceae Leguminoceae Solanaceae Leguminoceae Manihot sp Manihot sp Dioscorea sp Manihot sp Cabbage & Brascia Leucaena Carica Papaya Bambosa Bamboo Ipomea Batatas Psophocarpus sp Solanum sp Parkia 13. Jengkol Leguminoceae Pithecolobium 14. Bawang Allium Allium sp 15. Asam Leguminoceae 16. Jeruk Nipis 17. Blimbing Wuluh 18. Cuka Rutaceae Averrhoaceae - Tamarindus Indica Citrus Aurintfolia Averhoa Bilimbi - 5. Kool & Sawi Crucifera Zat Goiterogen Sianida Sianida Sianida Sianida Sianida Mimosin Isothiosianat Sianida Sianida Sianida Sianida Belum diketahui Belum diketahui Disulfida Alifatik Zat asam Zat asam Asam Zat asam Sumber : Chapman (1982) Kelompok goiterogen yang kedua adalah kelompok tiourea, tionamide, tioglikosida, bioflavonoid, dan disulfida alifatik. Kelompok ini berkerja menghambat proses orga nifikasi iodin dan kopling iodotirosin dalam pembentukan hormon tiroid aktif. Hambatan kelompok ini tidak dapat diatasi dengan pemberian iodin. Kelompok ini banyak ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam berbagai bahan makanan pokok di daerah tropis seperti sorgum, kacang-kacangan, kacang tanah, bawang merah, dan bawang putih. Kelompok goiterogen yang ketiga adalah kelompok yang bekerja pada proses proteolisis dan pembebasan hormon tiroid. Senyawa terpenting dalam 25 kelompok ini adalah iodid. Asupan rumput laut secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya pembesaran gondok dan hipertiroidisme sebagaimana yang dilaporkan pada pantai Hokaido Jepang yang dikenal sebagai daerah “endemic coastal goiter” (Gaitan, 1980). Sulfur adalah bentuk zat organik yang terkandung dalam zat goiterogen yang dijumpai dari lingkungan dan bersifat antitiroid. Bentuk dari kelompok tiosianat ini adalah disulfides dan polysulfides dengan jenis 3 sampai 8 atom. Sulfur lebih banyak dijumpai pada daerah sumber air panas dan di wilayah volcanic di beberapa bagian dunia khususnya di wilayah kumpulan panas Pasifik. Sumber sulfur ini kemudian lebih banyak dieksploitasikan ke Indonesia, Chili dan Jepang. Di lingkungan tidak terdapat dalam bahan makanan tetapi lebih banyak terdapat di sumber air minum (air tanah atau daerah aliran sungai) dan daerah yang banyak bebatuan sediman yang banyak mengandung zat organik termasuk surfur (Gaitan et al., 1974). Sianida Agency for Toxic Substances and Disease Registry (1989) menjelaskan bahwa sianida biasa ditemukan dalam bentuk sederhana seperti hidrogen sianida (HCN), natrium sianida (NaCN) , dan kalium sianida (KCN). Tabel 9 Sianogenik Glikosida yang Terdapat Dimakan dalam Tumbuhan 1 Jenis Sianogenik Glikosida Amygdalin Nama Umum Almonds 2 Dhurrin Sorghum 3 Linamarin 4 Lotaustralin 5 Prunasin Stone fruits 6 Taxiphyllin Bamboo shoots No Sumber : Conn (1979a,b) Cassava Lima beans Cassava Lima beans pada Bagian yang dapat Jenis Tumbuhan Nama Latin Prunus amygdalus Sorghum album Sorghum bicolor Manihot esculenta Manihot carthaginensis Phaseolus lunatus Manihot carthaginensis Phaseolus lunatus Prunus species : P. avium; P. padus; P. persica dan P. macrophylla. Bambusa vulgaris 26 Tabel 9 dan 10 menjunjukkan kandungan alami sianida yang terdapat dalam makanan lebih dari 2.000 spesies termasuk buah dan umbi-umbian dalam bentuk sianogenik glikosida dan dapat melepaskan sianida pada saat hidrolisis (Nartey, 1980, Venesland et al., 1982, dan Rosling, 1987).Dijelaskan pula bahwa sumber sianogenik pada tumbuhan sangat bergantung pada jumlah konsentrasi hidrogen sianida (HCN) dan potasium sianida (KCN) yang dapat meracuni manusia dan hewan. Tabel 10 Konsentrasi Sianida dalam Bahan Pangan Bentuk Produk Padi-padian dan produk lainnya Protein kedele dan produknya Kulit kedele Aprikot Jus Cherry 100% Jus Buah Komersial Cherry Aprikot Prem Bahan Makanan Tropika Ubi Pahit / kulit umbi Ubi Pahit / Daun Ubi Pahit / Seluruh bagian umbi Ubi Manis / Daun Ubi Manis / Seluruh bagian ubi Gandum Rebung Buncis (Jawa) Buncis (Puerto Rico) Buncis (Burma) Konsentrasi Sianida (mg/kg atau mg/L) 0.001-0.45 0.07-0.3 1.24 89-2170 23 4.6 2.2 1.9 2450 310 395 468 462 2500 8000 3120 3000 2100 Sumber : Nartey (1980), Venesland et al., 1982, dan Rosling, 1987 Agency for Toxic Substances and Disease Registry (1997), American Conference of Govermental Industrial Hygienists (2001) dan Ducth Expert Committee on Occupational Standart (2002) dari sianida pada Tabel 11. menjelaskan bentuk fisik/kimia 27 Tabel 11 Bentuk Fisik dan Kimia Sianida No Kelompok Sianida 1 Hidrogen Sianida (HCN) 2 Sodium Sianida (NaCN) 3 Potasium Sianida (KCN) Sifat Fisik dan kimia 1. Tidak berwarna atau cairan biru muda 2. Pada umumnya sama dengan asam hidrosianik dan asam prussat. 3. Berbentuk asam lemah dengan nilai pKa 9.22 pada 25 oC. 4. Dapat larut dalam air dan alkohol. 5. Berbentuk gas. 6. BM 27.04, Titik cair -13 oC, Titik didih 26 oC dan Berat Jenis 0.94. 1. Berbentuk bubuk kristal putih higroskopik dengan wangi kacang almond. 2. Pada umumnya sama dengan asam hidrosianik. 3. Dapat larut dalam larutan alkalin yang kuat dan cepat berubah atau membusuk. 4. Dapat berbentuk larutan. 5. BM 49.01, Titik cair 564o C dan Titik didih 1496 oC. 1. Berbentuk bubuk putih dengan wangi menyerupai HCN. 2. Pada umumnya sama dengan asam hidrosianik dan garam kalium. 3. Dapat larut dalam air. 4. Berat molekul 65.12 ; dan Titik cair 635 oC. Sumber : ATSDR (1997), ACGIH (2001), dan DECOS (2002) Metabolisme Sianida dan Tiosianat Sianida cepa t diserap masuk ke usus lewat sistem pencernaan dan sistem pernapasan. Ketika garam sianida sederhana seperti kalium sianida dan natrium sianida diserap, ion sianida bebas dapat mengikat ion hidrogen sianida di dalam lambung dengan jumlah yang besar. Penyerapan sianida akan efektif dalam bentuk hidrogen sianida dan cepat diserap oleh usus (ECETOC, 2004). Sianida didistribusikan dengan cepat melalui darah ke semua bagian tubuh seperti hati, paru-paru, darah dan otak (CICAD, 2004). Feldstein dan Klendshoj (1954) mengatakan bahwa konsentrasi sianida lebih tinggi dalam eritrosit dibanding dalam plasma. Konsentrasi sianida yang berbahaya akibat keracunan HCN dalam jaringan manusia atau binatang adalah 0.03 (lambung), 0.5 (darah), 0.03 (hati), 0.11 (ginjal), 0.07 (otak) , dan 0.2 (urin) mg/100g (EPA, 1990). 28 Jumlah sianida dalam plasma darah manusia normal adalah < 140 µg/L dan dalam jaringan lain adalah < 0.5 mg Sianida/kg (Feldstein dan Klendshoj, 1954). Pada umumnya proses metabolisme sianida terjadi dalam jaringan. Pada mamalia, sistem metabolisme sianida terjadi melalui jalur utama dan beberapa jalur kecil. Pada jalur utama, hidrogen sianida diubah menjadi tiosianat dengan bantuan enzim Rhodanese, yaitu thiosulfate sulphurtransferase atau 3- mercaptopyruvate sulphurtransferase (Oaks dan Johnson, 1972). Kedua enzim ini didistribusi ke mana -mana dalam tubuh. Lang (1933) telah membuktikan bahwa agar tubuh dapat mempertahankan diri dari tingkat keracunan, sianida harus diubah menjadi tiosianat dengan bantuan enzim rhodanase. Namun hal ini tidak dapat terjadi tanpa kehadiran tiosulfat yang berperan dalam mengurangi racun sianida. Tingkat keracunan yang akut dapat terjadi jika penyerapan sianida melebihi jumlah yang dibutuhkan tubuh dalam proses metabolisme. Keadaan ini sangat bergantung pada status gizi atau tingkat kecukupan gizi tubuh. Selain itu, tiosianat organik dapat juga dibentuk dari sianida oleh enzim glutathione S-transferase yang pada umumnya digunakan sebagai insektisida atau obat pembunuh serangga (Okhawa dan Casida, 1971). Perubahan sianida menjadi tiosianat yang tidak beracun dengan bantuan enzim rhodanase dapat dilakukan dengan pemberian sulfur (sodium tiosulfat) dalam intravenous (ATSDR, 1989 dan Westley, 1980). Keracunan tiosianat sangat nyata lebih rendah dari sianida, tetapi telah lama diketahui bahwa tingkat tiosianat dalam darah dapat menghambat tingkat penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid, yang dengan demikian akan mengubah bentuk tiroksin (Hartung, 1982). Agency for Toxic Substances and Disease Registry (1989) menjelaskan lebih lanjut bahwa beberapa jalur minor yang terjadi dalam metabolisme sianida adalah pengubahan sianida penggabungan menjadi menjadi 1-carbon 2-aminothiazoline-4-carboxylic acid, metabolic pool, digabung dengan hydroxycobalamin sehingga membentuk cyanocobalamin (B12), dan kombinasi dengan cystine membentuk 2-aminothiazoline-4-carboxylic acid ( Gambar 4). 29 Gambar 4 Metabolisme Sianida (Okhawa dan Casida, 1971) . Jalur umum yang digunakan untuk mengeluarkan sianida pada manusia dan hewan adalah melalui urin dalam bentuk tiosianat. Pengeluaran tiosianat melalui paru-paru dan feses jumlah sangat kecil (EPA, 1985). Beberapa HCN bebas dikeluarkan tanpa mengalami perubahan, yaitu dalam pernapasan, air liur (ludah), dan keringat (Hartung, 1982). Tiosianat dan Stabilitas Iodin dalam Tubuh Dampak sianida secara tidak langsung pada fungsi tiroid adalah melalui produksi tiosianat. Tiosianat menyebar pada setiap organ tubuh sama sepe rti iodin. Secara relatif, tiosianat bersifat non-toksin jika berada pada tingkat normal dalam darah. Peningkatan tiosianat menghasilkan keracunan sianida tingkat subakut walaupun demikian dapat menurunkan fungsi kerja tiroid dalam transpor iodin tubuh, khususnya jika digabungkan dengan kondisi kekurangan iodin. Iodin berperan penting dalam kasus gondok endemik dan kretinisme. 30 Taurog et al. (1947) dan Salter et al. (1945) mengatakan bahwa tiosianat dapat berperan antagonis dengan iodin, di antaranya da lam hambatan proses transpor aktif iodin menuju kelenjar tiroid dan mempengaruhi konsentrasi iodin eksratiroidal dalam jaringan serta proses sintesis hormon tiroid (Gambar 5). Gambar 5 Jenis Inhibitor yang Berperan Aktif pada Tahap Pembebasan dan Biosintesis Hormon Tiroid (Ingbar dan Braverman, 1986) . Pada Gambar 5 terlihat bahwa tiosianat (SCN- ) dan per khlorate (ClO4-) berperan penting sebagai inhibitor dalam proses transpor iodin. ECETOC (2004) mengatakan bahwa pada tikus yang diberi makan bubur bubuk singkong akan mengalami pembesaran kelenjar tiroid dan penurunan kadar MIT (monoiodotirosin) dan DIT (diiodotirosin) dalam darah. Oke (1980) menemukan bahwa tikus yang mengkonsumsi ubi kayu 100% selama 7 (tujuh) hari secara signifikan menurunkan keseimbangan atau kestabilan kerja kelenjar gondok, meningkatkan berat kelenjar tiroid, dan menurunkan pengambilan 131I oleh kelenjar tiroid. 31 Kreutler et al. (1978) menunjukkan bahwa tiosianat dapat berdampak pada pertumbuhan dan fungsi kelenjar tiroid pada anak tikus. Sianida dan tiosianat dapat mengakibatkan pembentukan gondok dan peningkatan sekresi TSH pada hewan yang kekurangan iodin, tetapi tidak pada hewan yang kecukupan iodin. Dengan demikian, diyakini bahwa tiosianat dapat menjadi faktor etiologi dalam wilayah gondok endemik dan kretinisme. Di wilayah tersebut asupan iodin sangat rendah dan tiosianat dominan dalam diet. Konsentrasi tiosianat dapat menghambat pengambilan iodin sebesar 50% (Greer et al., 1966). Dijelaskan pula bahwa tiosianat juga mampu mengeluarkan atau melepaskan iodin dari kelenjar tiroid dengan cara menghambat pengambilan iodin oleh kelenjar tiroid (Vanderland dan vanderland (1974). Hal ini terjadi karena adanya peran antagonis dari tiosianat tersebut. World Health Organization (1965) menyatakan bahwa asupan sampai batas 10 mg/kg HCN dalam tepung ubi kayu tidak menyebabkan keracunan akut atau kronis. Selanjutnya pada Tabel 12 akan terlihat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan tingkat penggunaan dosis dalam diet dan jumlah konsumsi zat goiterogen yang bersifat toksik. . Tabel 12 Tingkat Penggunaan Dosis dalam Diet dan Jumlah Konsumsi Zat Goiterogen yang bersifat Toksik pada beberapa Hasil Riset No Nama Peneliti / Tahun 1 Hartung, 1982 2 3 US. Air Force, 1989 ATSDR, 1989 4 Gettler 1938 dan 5 Palmer 1979 dan 6 Tewe and Maner, 1981 7 Tewe 1981b 8 Ballantyne, 1983 9 Lessel, 1971 10 Conn, 1979 11 Osuntokun, 1981 12 Barrett et al., 1977 13 Oke, 1980 dan Baine, Olson, Maner, KCN 50100 39 20 50 NaCN 50100 6,4 - 100 Kand. Goiterogenik (Sianida) ….mg/kg diet HCN [KAg(CN)2] SilCN SCN- (Ca(CN)2) CN - Objek Manusia (O) - - - - - - 8,5 - 21 - 123 - - 39 - - - - - - - - - 200 - - - - - - - Tikus (O) - - - - - - - 227521 Anak Sapi (D) 500 - 21 - - - - - Tikus (D) 7,87 5,05 1,09 - - - - - Kelinci (I) - - - - - - - - - 3,7 4,0 - - - - 0,61 1,31 1,72 - - Tikus (O) Tikus (O) Anjing (O) Hasil Subjek pingsan (fisik lemah & gangguan pernafasan) Tidak dijelaskan Tidak dijelaskan 155 menit → mati 21 menit → mati 8 menit → mati Peningkatan berat hati (oral) Peningkatan berat tiroid, hati dan spleen dibanding dengan anak sapi yang induknya diberi diet 31 mg CN/kg diet dengan waktu periode yang sama. Serum Tiosianat secara nyata meningkat pada tikus yang menyusui dan pada anak yang sementara di sapih serta pada tahap pertumbuhan sesudah di sapih. Tanda-tanda keracunan dan kematian setelah 3 – 12 menit sesudah diberi diet tersebut. Tikus (I) Hasil yang diperoleh adalah tingkat kematian meningkat pada semua dosis suntikan. Tikus (O) Anjing (O) Tidak dijelaskan Intake HCN setiap hari dari Cassava di atas 50 mg merupakan jumlah yang sangat berbahaya di daerah endemic GAKI Nigeria Hasilnya sesudah 4 hari 7 ekor tikus yang mendapat Pemberian Linamarin sebanyak 50 mg dan 30 mg dalam 0,5 ml Tikus (D) pemberian linamarin sebanyak 50 mg “mati” Dampak pada tikus yang 100 % hanya mengkonsumsi cassava selam a 7 hari penelitian terhadap tiroid adalah nyata terjadi peningkatan berat tiroid, menurunkan daya tahan kelenjar tiroid terhadap keseimbangan iodin (D) - 50 - - - - - Manusia (D) 8 Sambungan : No Nama Peneliti / Tahun KCN NaCN Kand. Goiterogenik (Sianida) ….mg/kg diet (Ca(CN)2) HCN [KAg(CN)2] SilCN SCN- CN - Objek Hasil Peningkatan nilai ETU sebanyak 20,2 mg/l sedangkan parameter lain mengalami perubahan tidak bermakna. Pada kandungan tiosianat sebanyak 19 mg/l, ditandai dengan adanya peningkatan nilai ETU menjadi 3,5 mg/l. Sedangkan parameter lain berubah tetapi masih tetap berada dalam batasan normal. Meningkatkan berat tiroid pada kelompok tikus I-SE+ dan I-S E- . Indikator wilayah endemic GAKI. (nilai ETU 5,9 – 6,4 mg/l). Terjadi penurunan sekresi dua hormon tiroid (T4 dan T3) akibat penurunan fungsi tiroid. Total intake sianida 0, HCN 24 dan Tiosianat 48 mg/kg. • Sesudah 1 hari pemberian dosis ditemukan kasus Dyspnoea, Ataxia, Tremors dan Hypothermia. • Sesudah 2 hari pemberian dosis dua ekor hamster mati dengan dosis 12 mg dan satu ekor mati degan dosis 14 mg. Sesudah 3 minggu pemberian dosis terjadi perkembangan pembengkakan kelenjar thyrois dan kanker usus besar. • 37, 2 mg HCN dari almonds berbahaya untuk orang dewasa. • 6,2 mg HCN dari almonds berbahaya untuk anakanak. • Nilai EYU rendah dengan kategori endemic sedang. 14 Dahlberg et al., 1984 - - - - - 8 - - Manusia (D) 15 Dahlberg et al, 1985 - - - - - 3,9-19 - - Manusia (D) 16 Contempre et al., 2003 - 20 - - - - - - Tikus (D) 17 Ance dkk. 2001 - - - - - 23,7 29,3 - - Manusia (D) 18 Philbrick et al., 1979 1500 - - - - - - - Tikus (D) 19 Umoh et al., 1986 - - 30 - - - - - Tikus (D) 20 Frakes et al., 1985 - - 10;12; 14 - - - - - Hamster (O) 21 Olusi et al., 1979 5 dan 10 - - - - - - - Tikus (D) 22 Askar and Moral, 1983 Shargg et al., 1982 - - 37,2 dan 6,2 - - - - - Manusia (D) 23 Picauly, 1999 - - 56 - - - - - Manusia (D) Keterangan : KCN : Potasium Sianida NaCN : Sodium Sianida HCN : Hidrogen Cianide SilCN : Silver Sianida SCN: Tiosianat (Ca(CN)2) : Calcium Sianida Bentuk Pemberian Dosis : (O) untuk Oral ; (D) untuk Diet dan (I) untuk Injection atau suntikan [ KAg(CN)2]] : Potasium Silver Sianida CN: Sianida 9 KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL Kerangka Pemikiran Baik buruknya tingkat konsumsi dan penyerapan iodin merupakan salah satu faktor etiologi munculnya permasalahan GAKI pada suatu daerah. Studi epidemiologi menyimpulkan bahwa jika asupan iodin cukup maka seseorang dapat terhindar dari masalah gangguan akibat kekurangan iodin. Meskipun demikian masalah GAKI dapat pula timbul pada seseorang yang mengkonsumsi iodin dalam jumlah cukup tetapi disertai dengan konsumsi zat goiterogen (tiosianat) dalam jumlah yang tinggi. Selanjutnya studi epidemiologi telah menemukan suatu kenyataan bahwa pada daerah endemik GAKI, tingkat konsumsi goiterogenik lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah non-endemik. Namun, hasil penelitian epidemiologi yang lain menunjukkan bahwa pada daerah non-endemik dan endemik sama -sama mempunyai nilai kandungan iodin dalam urin yang relatif rendah (< 100 ìg/L) dan kandungan tiosianat dalam urin yang tinggi (41 – 46 ìg/L). Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa kedua daerah tersebut sama-sama mempunyai tingkat konsumsi bahan pangan sumber goiterogenik yang tinggi dibanding bahan pangan sumber iodin. Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah GAKI adalah meningkatkan asupan iodin melalui program intervensi GAKI dengan bentuk fortifikasi garam ber iodin. Kerangka pemikiran konseptual dari interaksi antara iodin dan goiterogenik terhadap Gambar 6. munculnya masalah kekurangan iodin dapat dilihat pada 35 Konsumsi pangan mengandung iodin ( µg/g) Defisiensi Iodin GAKI Asupan Iodin Rendah Asupan Iodium Asupan Iodin Cukup Asupan Goiterogenik tinggi GAKI Asupan Goiterogenik rendah Konsumsi Goiterogenik ( ì g/g ) Asupan Iodin tinggi Intervensi GAKI : Fortifikasi Garam beriodin Keterangan : adalah Garis Intervensi (Langkah Pemecahan Masalah GAKI) adalah Garis Permasalahan adalah Garis Hubungan Antarvariabel adalah Variabel yang tidak diteliti adalah Variabel yang diteliti Gambar 6 Kerangka Pemikiran Munculnya Masalah GAKI. Bebas GAKI 36 DEFINISI OPERASIONAL 1. Dinamika iodin adalah persentase (%) penyerapan I131 dalam organ tubuh tikus seperti kulit, ginjal, hati, jantung, otak, kelenjar tiroid, dan kelenjar saliva. 2. Zat goiterogen adalah zat yang dapat menghambat penyerapan dan metabolisme iodin dalam tubuh. Zat ini terbagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok tiosianat, kelompok tiourea, dan kelompok kelebihan iodin. 3. Nilai urinary iodine excretion (UIE) atau ekskresi iodin melalui urin tikus adalah kandungan iodin yang terdapat dalam urin tikus. 4. Tikus yang kurang iodin adalah tikus percobaan yang kandungan iodin dalam urinnya lebih rendah 1154 ì gI/L. 5. Tikus yang tidak kurang iodin (normal) adalah tikus yang kandungan iodin dalam urinnya lebih besar dari 1155 ì gI/L. 6. Ransum yang kurang kandungan iodin adalah ransum tikus percobaan yang dibuat dengan komposisi kurang iodin. 7. Ransum yang cukup kandungan iodin adalah makanan tikus percobaan yang dibuat dengan komposisi cukup kandungan iodin berdasarkan standar AOAC (1984) . 8. Ransum kelompok tikus fortifikasi dibuat dengan penambahan KIO3 sebanyak 30 ppm/g ransum sebagai sumber iodin. 9. Ransum yang mengandung kalium sianida (KCN) adalah ransum kurang kandungan iodin dan ransum cukup kandungan iodin yang masing-masing ditambahkan kalium sianida dengan konsentrasi rendah (0.06 mgKCN/kg bb tikus ) dan konsentrasi tinggi (0.6 mgKCN/kg bb tikus ). 37 BAHAN DAN METODE Disain Penelitian Penelitian merupakan pure experimental study, dengan menggunakan binatang percobaan di laboratorium (Aswar, 1999). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok dengan perlakuan fortifikasi KIO3 dan penambahan KCN pada ransum yang digunakan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan April sampai November 2005 dengan uraian sebagai berikut. 1. Pemberian makan tikus dan pengamatan fisiologi tubuh tikus dilakukan di Laboratorium Gizi Masyarakat, Fakultas Pertanian, IPB Bogor. 2. Analisis kandungan iodin dalam urin dilakukan di Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang dan analisis kandungan iodin dalam feses dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Balitbang Cimanggu, Bogor. 3. Penyuntikan isotop 131 I, pembedahan tikus dan persiapan sampel untuk analisis T3 , T4 dilakukan di Laboratorium Isotop, Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan pembacaan cacahan dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Ternak Ciawi, Bogor. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi hewan percobaan, kandang dan peralatan percobaan, dan ransum percobaan. Hewan Percobaan Tikus yang digunakan adalah tikus putih betina strain Wistar lepas sapih (umur 21 hari) yang diperoleh dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta. Kelompok anak tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang 38 berasal dari induk tikus yang normal. Adapun pertimbangan untuk tidak menggunakan tikus yang dilahirkan dari induk yang hipotiroid menurut Edmon dan Geffith (1949) dan Malole dan Pramono (1989) adalah • Anak yang dilahirkan dari induk ini cenderung dalam keadaan cacat serta mengalami gangguan fungsi permanen dari semua organ tubuh termasuk kelenjar tiroid, sehingga sudah tidak layak lagi untuk dijadikan hewan percobaan. • Jumlah anak tikus yang dilahirkan cenderung lebih kecil dari jumlah normal yang lahir yaitu 4 – 6 ekor sehingga sangat kecil kemungkinan untuk memperoleh jumlah anak tikus yang diinginkan. • Jenis kelamin dan BB (g) cenderung lebih bervariasi sementara dalam penelitian ini sangat dibutuhkan keseragaman dalam indikator tersebut. Sebelum masuk dalam tahap percobaan, tikus diadaptasikan dengan lingkungan baru selama tiga hari dan selama itu sudah diberikan ransum standar dan air aquades (air minum) secara adlibitum. Kandang dan Peralatan Percobaan Kandang untuk tikus dibuat dari bahan stainless steel, dengan ukuran masing-masing kandang 40, 30, dan 25 cm3. Kandang-kandang standar tersebut dilengkapi dengan tempat makan dan minum. Gambar 7 menunjukkan bahwa kandang juga dilengkapi dengan disain khusus sebagai tempat untuk menampung hasil pembuangan urin dan feses dengan bentuk segitiga terbalik dan terbuat dari bahan alumunium (Edmon dan Geffith, 1949; Malole dan Pramono, 1989). Kandang-kandang disusun berjajar pada rak besi di dalam laboratorium tikus di Laboratorium Metabolik Gizi Masyarakat, Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Peralatan standar lain yang dibutuhkan seperti Timbangan OHAUS model PP 600 dengan ketelitian 0.1mg untuk menimbang bobot badan tikus dan peralatan pembuat dan pe nyimpan ransum yang terdiri atas mesin giling, baskom, panci, dan lemari pendingin serta peralatan pembiusan, pembedahan, pengambilan sampel darah di laboratorium. 39 Gambar 7 Contoh Kandang Tikus Percobaan Ransum Tikus Percobaan Ransum yang diberikan pada tikus percobaan terbagi atas 12 jenis dengan komposisi seperti yang terlihat pada Tabel 13. Tabel 13 Komposisi 12 jenis Ransum Tikus Perlakuan Komposisi Ransum Perlakuan CMC (g/100g) Minyak Mazola (g/100g) Casein (g/100g) Pati Jagung (g/100g) Vitamin Mixture (g/100g) Mineral Mixture g/100g) Mineral Mixture*) (g/100g) Iodin (ppm)** Iodin (ppm)** KCN (mg/kg) KCN (mg/kg) KCN (mg/kg) 1.00 1 √ 2 √ 3 √ Jenis Ransum Tikus Per lakuan 4 5 6 7 8 9 10 √ √ √ √ √ √ √ 7.88 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 11.68 69.29 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 1.00 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 4.88 √ √ √ √ √ √ - - - - - - 4.88 - - - - - - √ √ √ √ √ √ 30.0 0.00 0.00 0.06 0.60 √ √ - √ √ - √ √ √ √ - √ √ - √ √ √ √ - √ √ - √ √ √ √ - √ √ - √ √ Jumlah 11 √ 12 √ Keterangan : *) adalah mineral mixture yang dalam komposisinya dikurangi Iodin **) adalah KIO3 dalam bentuk iodin Komposisi 12 jenis ransum : 1. Ransum 1 : Ransum standar cukup iodin, tidak difortifikasi dan tidak ditambahkan KCN 2. Ransum 2 : Ransum standar cukup iodin, tidak difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.06 mg 3. Ransum 3 : Ransum standar cukup iodin, tidak difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.6 mg 4. Ransum 4 : Ransum standar cukup iodin, difortifikasi dan tidak ditambahkan KCN 5. Ransum 5 : Ransum standar cukup iodin, difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.06 mg 6. Ransum 6 : Ransum standar cukup iodin, difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.6 mg 7. Ransum 7 : Ransum standar kurang iodin, tidak difortifikasi dan tidak ditambahkan KCN 8. Ransum 8 : Ransum standar kurang iodin, tidak difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.06 mg 9. Ransum 9 : Ransum standar kurang iodin, tidak difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.6 mg 10. Ransum 10: Ransum standar kurang iodin, difortifikasi dan tidak ditambahkan KCN 11. Ransum 11: Ransum standar kurang iodin, difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.06 mg 12. Ransum 12: Ransum standar kurang iodin, difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.6 mg 40 Metode Peneliti an Penelitian ini dilaksanakan dalam dua (2) tahap. Tahap pertama adalah tahap pra-penelitian untuk menentukan nilai kandungan iodin dalam urin tikus yang kekurangan iodin dan tidak kekurangan iodin. Tahap kedua adalah tahap penelitian yang diawali dengan pengelompokan sebanyak 72 tikus menjadi dua (2) kelompok yaitu kelompok tikus yang diberikan ransum kurang iodin (KI) dan kelompok tikus yang diberikan ransum cukup iodin (TKI) masing-masing 36 ekor tikus. Kemudian kedua kelompok tersebut dibagi menjadi empat (4) kelompok perlakuan yaitu KI -TF (Kurang Iodin yang tidak difortifikasi KIO3), KI-F (Kurang Iodin yang difortifikasi KIO3), TKI-TF (Tidak Kurang Iodin yang difortifikasi KIO 3), dan TKI-F (Tidak Kurang Iodin yang difortifikasi KIO3 ). Semua kelompok tikus perlakuan diberikan 12 jenis ransum selama 35 hari, sehingga setiap jenis ransum diberikan kepada tiga (3) ekor tikus dalam setiap kelompok. Selanjutnya 72 ekor tikus tersebut diambil sampel darah dan dilanjutkan dengan penyuntikan isotop 131 I, pembiusan, pembedahan dan dilakukan analisis hormon tiroid dan radionuklida. Tahap Pra-Penelitian Tahap pra-penelitian dilakukan untuk mengetahui status iodin dari tikus percobaan melalui analisis konsentrasi iodin dalam urin (UIE) tikus. Tahap ini menggunakan sembilan (9) ekor tikus betina. Tikus tersebut dibagi menjadi tiga (3) kelompok dengan masing-masing kelompok beranggotakan tiga (3) ekor tikus. Kelompok tikus pertama diberi ransum cukup iodin, kelompok tikus kedua diberi ransum kurang iodin dan sianida sebanyak 0.06 mgKCN/bb tikus. Selanjutnya, kelompok tikus ketiga diberi ransum kurang iodin dan sianida 0.6 mgKCN/bb tikus. Ketiga kelompok tikus diberi makan selama 10 hari. Selanjutnya urin dikumpulkan untuk dianalisis konsentrasi iodin dalam urin tikus percobaan dengan menggunakan metode spektrofotometer Gambar 8 menunjukkan prosedur kerja dari tahap pra-penelitian. (Lampiran 1). 41 9 ekor anak tikus betina Diberi makan selama 10 hari dengan komposisi KCN dalam ransum sebagai berikut : Tikus Kontrol Ransum standar (3 ekor tikus) Ransum standar tanpa mineral iodin + 0.06 mg KCN / gr bobot tikus (3 ekor tikus) Ransum standar tanpa mineral iodin + 0.6 mg KCN / gr bobot tikus (3 ekor tikus) Urin selama 10 hari dikumpulkan dan kandungan iodine dianalisis kandungan iodium dengan Metode Spectrofotometer Perbandingan hasil analisis kandungan iodium dalam urin antara tikus kontrol dengan tikus percobaan Penetapan Kategori Status Iodin berdasarkan Nilai UIE dalam Urin Tikus (TKI dan KI) Gambar 8 Penentuan Kandungan Iodin dalam Urin Tikus. 42 Tahap Penelitian 1. Tahap Penentuan Kelompok Tikus Percobaan Pada tahap ini dilakukan pengelompokan 72 ekor tikus menjadi dua (2) kelompok tikus yaitu KI (kurang iodin) dan TKI (tidak kurang iodin). Tikus kelompok KI dihasilkan dari pemberian ransum kurang iodin sedangkan TKI dihasilkan dari pemberian ransum cukup iodin. Tikus percobaan dimasukkan ke dalam kandang metabolik. Pemberian ransum dilakukan selama 15 hari. Setiap hari kandang dibersihkan, tikus ditimbang bobot badan dan urin tikus dikumpulkan. Pada akhir waktu perlakuan (hari ke -16) , urin ter kumpul, kemudian dianalisis konsentrasi iodinnya menggunakan metode spektrofotometer (Lampiran 1) dan pertambahan bobot badan tikus selama 15 hari perlakuan juga diukur (Gambar 9). 2. Tahap Perlakuan Pemberian Jenis Ransum Dua kelompok tikus (KI dan TKI) yang terbentuk diberikan ransum yang difortifikasi dan tidak difortifikasi KIO3 dengan penambahan KCN dosis ganda (0.0, 0.06, dan 0.6 mg) pada semua kelompok tikus. Untuk mempermudahkan peneliti dalam pember ian ransum maka secara sengaja tikus dibagi dalam empat kelompok perlakuan yaitu kelompok tikus KI-TF (Kurang Iodin yang tidak difortifikasi KIO3), KI-F (Kurang Iodin yang difortifikasi KIO3), TKI-TF (Tidak Kurang Iodin yang difortifikasi KIO 3), dan TKI-F (Tidak Kurang Iodin yang difortifikasi KIO3). Selanjutnya kepada setiap kelompok tikus perlakuan diberi makan 12 jenis ransum (ransum dan air secara adlibitum) selama 35 hari dengan jenis ransum yang telah ditambahkan sianida (KCN) sebanyak 0.06 atau 0.6 mgKCN/bobot badan tikus. Selama perlakuan dilakukan pencatatan terhadap ada tidaknya perubahan anatomi dan fisiologi tubuh dan bobot badan ditimbang. Urin dan feses dikumpulkan selama 35 hari untuk dilakukan analisis kandungan iodin dengan menggunakan metode spektrofotometer (Lampiran 1-3), selanjutnya dilakukan pembedahan dan analisis kimia setiap minggu pertama, ketiga , dan kelima percobaan (Gambar 10). 43 72 ekor anak Tikus strain Wistar sehat umur lepas sapih (21 hari) Dimasukkan ke dalam kandang metabolik. Tiap kandang 1 ekor tikus Pemberian 2 jenis ransom percobaan + minum secara adlibitum (Hari 1) Pembersihan kandang; penimbangan BB, pengumpulan urin Pemberian 2 jenis ransom percobaan + minum secara adlibitum (Hari 2) Pemberian 2 jenis ransom percobaan + minum secara adlibitum (Hari 15) Analisis kandungan iodin dalam urin tikus 36 anak tikus kelompok KI 36 anak tikus kelompok TKI Gambar 9 Penentuan Kelompok Tikus. 44 72 anak tikus kelompok KI 18 anak tikus perlakuan KI-TF 18 anak tikus perlakuan KI + KIO3 18 anak tikus TKI-TF 18 anak tikus perlakuan TKI + KIO 3 BB (g) ditimbang dengan NeracaOhaus Diberikan 12 jenis ransum perlakuan (minggu ke 1) kandang dibersihkan, perubahan fisiologi tubuh dicatat, BB (g) ditimbang; urin & f eses dikumpulkan (minggu ke 1) Pengambilan darah, penyuntikkan 131I, pembedahan, analisis hormon tiroid dan radionuklida minggu 1 Diberikan 12 jenis ransum perlakuan (minggu ke 3) kandang dibersihkan, perubahan fisiologi tubuh dicatat, BB (g) ditimbang; urin & feses dikumpulkan (minggu ke 3) Pengambilan darah, penyuntikkan 131I, pembedahan, analisis hormon tiroid dan radionuklida minggu 3 Diberikan 12 jenis ransum perlakuan (minggu ke 5) kandang dibersihkan, perubahan fisiologi tubuh dicatat, BB (g) ditimbang; urin & feses dikumpulkan (minggu ke-5) Pengambilan darah, penyuntikkan 131I, pembedahan, analisis hormon tiroid dan radionuklida minggu 5 Gambar 10 Tahap Perlakuan. 45 3. Tahap Pembedahan dan Analisis Kimia Distribusi iodin dalam tubuh tikus dan konsentrasi hormon T4 dan T3 diketahui melalui proses pembedahan dan analisis kimia serum darah tikus percobaan. Sebelum dilakukan proses pengambilan darah, tikus percobaan dihangatkan ke dalam desikator yang bersuhu 100oC selama satu menit. Selanjutnya, tikus dikeluarkan dan dilakukan pengambilan sampel darah melalui ekor sebanyak 5 – 10 mL. Analisis konsentrasi T4 dan T3 dalam sampel darah dilakukan dengan metode Radioimmunoassay. Setelah proses pengambilan sampel darah selesai, tikus disuntik isotop 131 I dosis 0.1 mLCi dan dipindahkan ke kandang selama dua jam. Selanjutnya, tikus dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam tempat bedah. Tikus tersebut dibersihkan dari bulu dengan cara mencukur daerah toraks sampai daerah perut dan dioleskan alkohol 70%. Setelah itu, tikus dibius dengan ether dan dibiarkan sampai pingsan (Gambar 11). Organ tubuh tikus yang akan dianalisis kandungan iodinnya adalah kelenjar tiroid, kelenjar saliva, jantung, hati, otak, ginjal, dan kulit. 46 72 ekor tikus perlakuan Tikus dimasukkan dan didiamkan dalam desikator selama ± 1 menit suhu 100oC analisa T 4 dan T 3 dalam serum darah menggunakan metode Radioimmunoassay Tikus dikeluarkan & diambil darah melalui ekor 5 - 10 mL disuntikkan Isotop I-131 (jarum suntik ukuran 20x0,5 mm) dosis 0.1 mCi Tikus dipindahkan ke kandang selama 2 jam Tikus dikeluarkan dan di letakkan pada tempat bedah Kulit dibersihkan dari bulu dengan cara dicukur daerah toraks (dada) sampai daerah perut dan dioleskan alkohol 70%. Tikus dibius atau dianaesthesi dengan ether Tikus dibiarkan sampai pingsan Dibuka daerah dada sampai daerah perut, dan diambil organ tubuh tikus yang akan dianalisis kandungan iodiumnya adalah kelenjar tiroid, kelenjar saliva, jantung, hati, otak, ginjal dan kulit. Counting (pembacaan) dengan menggunakkan sistem pengesan sinar gamma otomatis Gambar 11 Pengambilan Darah, Penyuntikkan Isotop 131 I, Pembedahan, Analisis Hormon Tiroid dan Analisis Radionuklida. 47 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan perlakuan yang digunakan adalah rancangan faktoria l dengan 2 faktor yaitu faktor, dosis KCN dalam ransum tikus (D) serta faktor lama waktu pengamatan (W). Yang menjadi kelompok percobaan adalah kelompok tikus (T) dengan empat (4) status iodin yang berbeda . Dengan demikian terdapat 36 kombinasi taraf faktor dengan keterangan seperti yang terlihat di bawah ini : D : besarnya dosis KCN yang diberikan yaitu 0, 0.06, dan 0.6 mg/g bb tikus. W : waktu pemberian ransum sekaligus melakukan analisis kimia, yaitu minggu I, III dan V (terakhir). T : 1. Tikus yang kekurangan iodin. 2. Tikus yang tidak kekurangan iodin / normal. 3. Tikus yang kekurangan iodin + fortifikasi garam beriodin. 4. Tikus yang tidak kekurangan iodin + fortifikasi garam beriodin. Masing-masing kombinasi taraf faktor diulang sebanyak 2 kali sehingga diperole h 72 satuan percobaan atau 72 ekor tikus (Gaspersz, 1994 dan Steel dan Torrie, 1980). Satu satuan percobaan terdiri atas satu ekor tikus yang terpilih. Model Linier bagi rancangan percobaan yang digunakan di atas adalah Yi jkl = µ + Ki + α j + βk + δ l + (α α j βkδ l )+ ε ijk Dimana : Yijkl adalah nilai semua variabel pengamatan pada tikus percobaan kelompok ke i, dosis KCN ke j, pengamatan pada minggu ke k, dan fortifikasi KIO 3 ke l. µ adalah nilai tengah umum Kl adalah pengaruh setiap kelompok percobaan ke i ( i = 1,2) αi adalah pengaruh kandungan KCN dalam ransum tikus pada dosis ke j (j = 1,2,3) βj adalah pengaruh waktu pengamatan pada minggu ke k (k = 1,2,3) δl adalah pengaruh peubah KIO3 dalam ransum tikus ke l (l = 1,2) ε ijk adalah gala t (error) 48 Jenis dan Analisis Data Jenis data yang dikumpulkan 1. Bobot badan dan panjang badan tikus perlakuan sejak berumur lepas sapih sampai umur terakhir pengamatan yaitu 70 hari. Data ini diukur dengan interval waktu 2 hari dengan menggunakan timbangan OHAUS model PP 600 dan penggaris 30 cm. 2. Pencatatan perubahan fisiologis tubuh tikus percobaan dengan interval minggu pengamatan, meliputi anggota tubuh (mata dan bulu), Kebiasaan Makan, penampakkan tubuh, dan tingkah laku tikus. 3. Nilai UIE dan feses dari tikus percobaan pada awal dan akhir perlakuan. 4. Distribusi iodin dalam organ tubuh tikus perlakuan yang diberikan dosis KCN yang berbeda. 5. Persentase pengambilan 131 I dalam organ tikus. Analisis Data Data kandungan iodin dalam urin dan feses, konsentrasi T3 dan T4, panjang dan bobot badan, dan persentase penyerapan 131I dalam organ tubuh tikus perlakuan ditabulasi dan ditampilkan dalam bentuk dia gram batang. Untuk melihat beberapa aspek seperti hubungan, pengaruh, dan uji beda antara masing-masing variabel (independent dan dependent) digunakan perangkat statistik SPSS 12.0 for Windows. Jenis alat statistik yang digunakan adalah Analisis Korelasi Pearson, Analisis Univariat dan Uji Beda Duncan dengan tingkat kepercayaan 95 dan 99 % (α = 0.05 dan 0.01). HASIL DAN PEMBAHASAN Status Iodin Hewan Perlakuan Tikus putih strain Wistar digunakan dalam penelitian ini dengan alasan bahwa pada umumnya tikus mempunyai struktur anatomi tubuh yang lebih lengkap dibanding binatang vetebrata lain dan hampir sama dengan manusia (Gambar 12). Edmon dan Griffith (1949) mengatakan bahwa beberapa hal dari tikus yang memiliki kesamaan dengan manusia seperti perlengkapan organ dan sistem pencernaan serta elemen darah walaupun jumlahnya relatif sedikit. Ket : Kelenjar endokrin pada (a) manusia dan (b) tikus. A= hipotalamus, B=Pituitari (anterior dan posterior), C= tiroid (termasuk sel C), D= paratiroid, E= usus, F= adrenal (korteks dan modula), G= pankreas, H= ginjal, I= ovari (pada betina) dan J= testis (pada jantan). Gambar 12 Beberapa Kesamaan Organ Tubuh antara Manusia dan Tikus (Alias Kamis, 1999). Sumber http://www.nap.edu/openbook/0309051266/html/11.html (2000) menjelaskan bahwa kecukupan gizi (contohnya kecukupan iodin) untuk tikus sama dengan kecukupan gizi untuk manusia dan memiliki pola makan yang sama 50 kecuali lebih aktif makan pada malam hari atau hewan nocturnal (Malole dan Pramono, 1989). A. Tahap Pra-Penelitian Sampai saat ini penelitian dengan menggunakan bahan antitiroid untuk mengakibatkan kondisi kurang iodin atau hipotiroid pada hewan perlakuan lebih banyak ditujukan untuk mengetahui fungsi kerja kelenjar tiroid dan hormon tiroid. Diantaranya, Sigit (1992) dalam penelitiannya memberikan tiourea (H2NCSH 2) secara ad libitum pada anak tikus untuk menjadikan anak tikus kurang iodin. Sedangkan Susanto (2000) hanya menggunakkan jenis ransum yang kurang iodin untuk menjadikan anak tikus putih yang kurang iodin. Tahap pra-penelitian ini menggunakan jenis ransum yang berbeda . Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui kandungan iodin dalam urin tikus yang tidak kurang iodin dan kurang iodin. Tikus yang tidak kurang iodin diberi ransum standar cukup iodin sedangkan tikus yang kurang iodin diberi ransum kurang iodin dan ditambahkan sianida dosis ganda (0.06 dan 0.6 mgKCN/kg bb) selama 10 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus yang tidak kurang iodin mempunyai sebaran kandungan iodin dalam urin dari 1555 sampai 3276 µg/L. Sedangkan secara umum tikus yang kurang iodin mempunyai sebaran kandungan iodin dalam urin dari 403 sampai 1154 µg/L (Tabel 14). Tabel 14 Kandungan Iodin dalam Urin Tikus (µg/L) Tahap Pra Penelitian Nomor Sampel 1 2 3 Rerata Kontrol 1555 2872 3276 2568 Tikus Perlakuan Perlakuan A (0.06 mgKCN) 1154 1153 1154 1154 Perla kuan B (0.6 mgKCN) 914 403 1043 787 Tabel 14 menunjukkan adanya perbedaan yang jelas antara besar kandungan iodin dalam urin ketiga kelompok tikus, dimana kandungan iodin dalam urin tikus tidak kurang iodin lebih tinggi dibanding kandungan iodin dalam 51 urin tikus kurang iodin (Perlakuan A dan B). Hal ini menunjukkan bahwa sianida dapat berperan dalam menurunkan kandungan iodin urin tikus perlakuan A dan B. Sehubungan dengan hasil yang diperoleh pada tahap pra-penelitian, maka untuk membedakan status iodin secara umum pada tahap perlakuan digunakan dua batasan kandungan iodin dalam urin di atas. Status kurang iodin adalah kelompok tikus yang mempunyai kandungan iodin dalam urin kurang dari 1154 µg/L (selang 787 sampai 1154 µg/L), sedangkan status iodin cukup adalah kelompok tikus yang mempunyai kandungan iodin dalam urin sebesar lebih dari 1155 µg/L (selang 1155 sampai 2568 µg/L ). B. Tahap Pene litian (Penentuan Kelompok Perlakuan) Tahap penentuan ke lompok perlakuan bertujuan untuk mengkondisikan tikus menjadi kelompok kurang iodin (KI) dan tidak kurang iodin (TKI) serta mengetahui peranan sianida dalam menghambat penyerapan iodin dalam tubuh. Untuk itu pembentukan kelompok tikus perlakuan menggunakan jenis ransum yang berbeda yaitu jenis ransum cukup iodin diberikan kepada kelompok tikus Tidak Kurang Iodin (TKI), sedangkan jenis ransum yang kurang iodin diberikan kepada kelompok tikus Kurang Iodin (KI). Pemberian ransum berlangsung selama 15 hari perlakuan. Status iodin tikus ditentukan dengan menggunakan indikator urinary iodine excretion (UIE). Hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok tikus TKI mempunyai kandungan UIE yang meningkat dari 1982.7 µg/L pada minggu I menjadi 1988 µg/L pada minggu II. Selanjutnya, kelompok tikus KI mempunyai kandungan UIE pada minggu I sebesar 1238 µg/L kemudian menurun menjadi 1125.5 µg/L pada minggu II (Gambar 13). Data ini sesuai dengan hasil yang diperoleh pada tahap pra-penelitian, yaitu kelompok tikus TKI mempunyai kandungan UIE lebih tinggi dari 1155 µg/L (selang 1155 sampai 2568 µg/L) dibanding kelompok tikus KI yang mempunyai kandungan UIE lebih rendah dari 1154 (787 - 1154 µg/L). Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui bahwa tidak terdapat perbe daan rerata kandungan UIE yang bermakna (p>0. 01) antarminggu 52 pengamatan, tetapi terdapat perbedaan rerata kandungan UIE yang bermakna 2000 400 Minggu 2 1988 800 Minggu 2 1125.5 1200 Minggu 1 1982.7 1600 Minggu 1 1238 Kandungan Iodin dalam Urin (mcg/L) (p<0. 01) antarkelompok tikus perlakuan (Gambar 13). 0 KI Gambar 13 TKI Kondungan Iodin dalam Urin Masa Penentuan Kelompok Tikus Kurang Iodin (KI) dan Tidak Kurang Iodin (TKI). Rendahnya sumbangan iodin dari ransum yang dikonsumsi merupakan salah satu faktor utama rendahnya konsentrasi iodin dalam urin hewan perlakuan. Ingbar dan Braverman (1986) menya takan bahwa pemberia n suplemen atau fortifikasi iodin pada ransum akan memperbaiki status kurang iodin. Zimmermann et al. (2005) dan Zimmermann (2006) mengatakan bahwa pemberian supplemen atau fortifikasi iodin secara berlebihan dapat mengakibatkan kondisi seperti kurang iodin. Jika pemberian iodin dalam jumlah sedikit pada tikus atau manusia tidak memberikan perubahan terhadap perbaikan status iodin terutama dalam penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid (Wolff dan Chaikoff, 1948 dan Nagataki dan Ingbar, 1964). Akan tetapi, apabila iodin diberikan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh maka akan memberikan pengaruh positif pada perubahan status iodin terutama pada penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid. Analisis univariat menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata yang bermakna pada pertambahan bobot badan kelompok tikus perlakuan (p>0.05) antarminggu maupun kelompok tikus perlakuan (Gambar 14). Kondisi ini menunjukkan bahwa kelompok tikus KI dan TKI tidak mempunyai permasalahan dengan konsumsi pangan. 53 Minggu 1 54.9 30 20 Minggu 2 55.4 40 Minggu 2 54.6 50 Minggu 1 54.3 Bobot Badan (g) 60 10 KI TKI Gambar 14 Bobot Badan (g) selama Masa Penentuan Kelompok Tikus Perlakuan. Kelompok tikus perlakuan selanjutnya dibagi menjadi empat (4) kelompok yakni kelompok tikus yang diberikan ransum kurang iodin -tidak fortifikasi (KITF), kurang iodin -fortifikasi (KI-F), tidak kurang iodin -tidak fortifikasi (TKI-TF), dan tidak kurang iodin-fortifikasi (TKI-F). Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus Iodin merupakan zat gizi yang dibutuhkan tubuh walaupun da lam jumlah yang sangat sedikit. Iodin yang diserap oleh kelenjar tiroid akan digunakan untuk sintesis hormon tiroid (T4 dan T3). Selanjutnya hormon T 4 (tiroksin ) berfungsi dalam sintesis protein yang merupakan enzim dalam oksidasi fosforilasi di mitokondria yang mengubah NADH dan FADH2 menjadi ATP. ATP ini selanjutnya dimanfaatkan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh baik untuk manusia maupun hewan. Pada Tabel 15 terlihat bahwa kelompok tikus KI-TF dan TKI-F mengalami penurunan persentase pengambilan 131 I sampai minggu terakhir pengamatan untuk kelompok tikus tanpa pemberian tiosianat (0 mgKCN). Iodin yang tidak diserap oleh kelenjar tiroid pada kelompok KI-TF menyebar dan terkumpul lebih banyak pada organ tubuh ginjal (3.8%), jantung (2.89%), dan kelenjar saliva (4.2%). Sedangkan pada ke lompok tikus TKI-F, iodin yang tidak diserap oleh kelenjar tiroid menyebar dan terkumpul lebih banyak di kulit (4.5%), ginjal (5.9%), hati (5.5%), dan kelenjar saliva sebesar 4.5% (Lampiran 7). 54 Tabel 15 Persentase pengambilan Perlakuan Waktu Pengamatan Minggu I Minggu III Mimggu V 131 I (%) oleh Kelenjar Tiroid Kelompok Tikus Kel. Tikus Kel. Tikus Kel. Tikus Kel. Tikus KI-TF KI-F TKI-TF TKI-F (mgKCN) (mgKCN) (mgKCN) (mgKCN) 0 0.06 0.6 0 0.06 0.6 0 0.06 0.6 0 0.06 0.6 1.7 1.5 0.9 14.0 6.6 3.2 10.8 9.6 3.5 19.9 4.8 4.2 1.6 1.2 0.8 17.0 8.6 3.3 12.3 8.8 3.3 4.5 4.3 2.5 1.4 1.0 0.5 23.1 10.5 3.6 13.9 8.0 1.6 9.0 3.4 2.0 Kelompok tikus KI-F dan TKI-TF mempunyai persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid meningkat sampai minggu terakhir pengamatan (Tabel 15). Besar persentase pengambilan131 I oleh kelenjar tiroid pada kelompok tikus KI-F dan TKI-TF berada dalam interval rujukan Wartofsky (1998), yaitu 10 sampai 30% untuk kategori persentase pengambilan Pemberian tiosianat dosis pengambilan 0. 06 131 mgKCN I normal dalam tubuh. menurunkan persentase 131 I oleh kelenjar tiroid pada semua kelompok tikus perlakuan dibanding tanpa pemberian tiosianat. Penurunan persentase pengambilan 131 I ini terus terjadi sampai minggu terakhir pengamatan di kelompok KI-TF (1.5 menjadi 1.0%), TKI-F (4.8 menjadi 3.4%), dan TKI-TF (9.6 menjadi 8.0%) kecuali pada kelompok tikus KI-F yang mengalami peningkatan sampai minggu terakhir pengamatan dari 6.6 menjadi 10.5% (Tabel 16). Lampiran Tabel 2 menunjukkan bahwa 131 I terse but menyebar dan terkumpul lebih banyak di organ tubuh kulit (5.2%), ginjal (5.7%), dan kelenjar saliva sebesar 6.8% untuk kelompok KI-TF. Sedangkan pada kelompok tikus TKI-F peningkatan persentase pengambilan 131 I terjadi di organ tubuh kulit (6.3%), ginjal (6.1%), jantung (5.9%), dan kelenjar saliva (5.1%). Kemudian untuk kelompok tikus TKI-TF terjadi peningkatan persentase pengambilan 131 I hanya pada organ tubuh kelenjar saliva yaitu sebesar 10.3%. Penambahan tiosianat dosis persentase pengambilan 131 perlakuan dan mengalami 0.6 mgKCN menyebabkan penurunan I oleh kelenjar tiroid pada semua kelompok tikus penurunan sampai minggu terakhir pengamatan dibanding dosis perlakuan 0 dan 0.06 mgKCN. Perbandingan nilai persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid antara dosis perlakuan 0.6 mgKCN dengan dosis perlakuan tanpa KCN, terlihat bahwa terjadi penurunan persentase pengambilan 131I sekitar 50% pada semua kelompok perlakuan (Tabel 15). Hal ini 55 menandakan bahwa kondisi kekurangan iodin semakin diperparah akibat penambahan dosis tiosianat. Untuk kelompok TKI-TF peningkatan persentase pengambilan 131 I terjadi pada organ tubuh seperti kulit, ginjal, jantung, dan kelenjar saliva berturut-turut sebesar 5.6%, 5.8% , 4.0%, dan 4.0%. Sedangkan pada kelompok tikus TKI-F peningkatan persentase pengambilan 131 I terjadi pada organ tubuh seperti kulit, ginjal, dan kelenjar saliva berturut-turut sebesar 4.1%, 3.3%, dan Selanjutnya kelompok pengambilan 131 tikus KI-TF mempunyai peningkatan 3.0%. persentase I terjadi pada organ tubuh seperti kulit, ginjal, hati, dan kelenjar saliva berturut-turut sebesar 5.6%, 5.0%, 4.7%, dan 4.0%. Kemudian kelompok tikus KI-F peningkatan persentase pengambilan 131 pada I terjadi pada organ tubuh seperti kulit, ginjal, hati, jantung, dan kelenjar saliva berturut-turut sebesar 5.2%, 6.8% , 4.5%, 5.5%, dan 3.4%. Greer et al . (1966) menyatakan bahwa semakin besar penambahan dosis tiosianat maka fungsi kerja tiroid dalam tubuh dapat menurun sebanyak 50%. Keadaan seperti ini dialami oleh anak-anak di Ubangi (Zaire) yang kurang iodin akibat kelebihan konsumsi cassava (ubi kayu). Persentase pengambilan 131 I pada anak-anak ini sebesar 1.1 – 9.4% (Thilly et al., 1993). Analisis univariat menunjukkan bahwa pemberian tiosianat secara bermakna (p<0.01) dapat menurunkan persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid pada semua kelompok tikus perlakuan. Pemberian tiosianat dosis nol KCN, 0.06 mgKCN, dan 0.6 mgKCN menunjukkan adanya perbedaan pengaruh yang bermakna (p<0.05). Pada Gambar 15 terlihat bahwa sampai minggu ke -5, pemberian tiosianat dosis 0.6 mgKCN lebih jelas menunjukkan penurunan persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid pada semua kelompok tikus perlakuan. Keadaan di atas menunjukkan bahwa tiosianat tidak saja berperan pada kondisi kurang iodin (tikus kelompok KI -TF dan KI-F), tetapi juga pada kondisi normal (tikus kelompok TKI-TF dan TKI-F). Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Wilson dan Foster (1992) bahwa sifat menghambat dari senyawa tiosianat akan efektif pada konse ntrasi iodin dalam darah yang normal atau yang lebih rendah. Hal ini 56 disebabkan karena tiosianat pada kondisi tersebut dapat menghambat mekanisme transport aktif iodin ke dalam kelenjar tiroid (Gaitan, 1980). Persentase Pengambilan 131 I (%) 25.0 M1 20.0 M3 M5 0 0.06 15.0 10.0 5.0 0.0 0 0.06 0.6 KI-TF 0 0.06 0.6 KI-F Gambar 15 Persentase pengambilan TKI-TF 131 0.6 0 0.06 0.6 TKI-F I (%) dalam Kelenjar Tiroid Tikus Perlakuan. Ingbar dan Braverman (1986) dan Brown-Grant (1961) menyatakan bahwa organ tubuh lain yang biasa menjadi pool iodin selain kelenjar tiroid adalah cairan lambung, kelenjar saliva, ke lenjar susu, ovari, testes, placenta dan kulit. Apabila data pada Lampiran 7 divisualisasikan, maka akan diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Gambar 16. Hasil penelitian yang ditampilkan pada Gambar 16 menunjukkan bahwa organ tubuh yang paling sering menjadi pool iodin selain kulit dan kelenjar saliva juga pada organ tubuh seperti jantung, hati, dan ginjal. Brown-Grant (1961) menyatakan bahwa kelenjar saliva dapat mensekresi radioaktif iodin dalam bentuk iodin anorganik (iodida), sehingga dapat juga digunakan sebagai indikator analisis status iodin. Sedangkan Linder (1992) mengatakan bahwa iodin yang terkumpul di sel-sel target dan hati, akan didegradasi dan dikonservasi untuk digunakan kembali jika dibutuhkan tubuh. Hal ini seperti yang dialami oleh masyarakat di USA (Amerika Serikat) yang mana dalam prakteknya simpanan iodin yang terkumpul pada sel-sel target atau pada beberapa organ tubuh dapat menjadi cukup untuk proses kerja fungsi tiroid. 131 Persentase Pengambilan I 131 Persentase Pengambilan I 131 Persentase Pengambilan I 57 1.0 0.9 0.8 Saliva 0.7 Tiroid 0.6 0.5 0.4 Otak Jantung Hati 0.3 0.2 0.1 0.0 Ginjal Kulit 0 mgKCN 0.06 mgKCN 0.6 mgKCN KI-TF 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 Saliva Tiroid Otak Jantung Hati Ginjal Kulit 0 mgKCN 0.06 mgKCN 0.6 mgKCN KI-F 1.0 0.9 0.8 Saliva 0.7 Tiroid 0.6 Otak 0.5 Jantung 0.4 Hati 0.3 Ginjal 0.2 Kulit 0.1 0 mgKCN 0.06 mgKCN 0.6 mgKCN 131 Persentase Pengambilan I TKI-TF 1.0 0.9 0.8 Saliva 0.7 0.5 Tiroid Otak 0.4 Jantung 0.3 Hati 0.2 Ginjal Kulit 0.6 0.1 0.0 0 mgKCN 0.06 mgKCN 0.6 mgKCN TKI-F Gambar 16 Rerata Pool Iodin selain Kelenjar Tiroid dalam Tubuh Tikus (Keterangan : 1. Kelenjar Saliva, 2. Kelenjar Tiroid, 3. Otak, 4. Jantung, 5. Hati, 6. Ginjal, dan 7. Kulit). 58 Lebih lanjut pada Gambar 16 memperlihatkan bahwa organ tubuh yang lebih sering menjadi pool iodin pada saat terjadi penurunan persentase pengambilan 131 I seiring dengan pertambahan dosis KCN adalah kulit. Peningkatan persentase pengambilan 131 I oleh organ tubuh kulit terjadi pada semua kelompok tikus perlakuan. Pengaruh Tiosianat dalam Kejadian Kekurangan Iodin Kejadian kekurangan iodin di dalam penelitian ini ditentukan menggunakan metode UIE (urinary iodine excretion) dan konsentrasi hormon tiroid (T3 dan T4) dalam darah. Brody (1999) dan Ganong (1989) mengatakan bahwa saluran ekskresi utama iodin adalah mela lui saluran kencing (urin) sebanyak 80% dan cara ini merupakan indikator utama pengukuran jumlah pemasukan dan status iodin. Pengeluaran iodin melalui feses hanya sekitar 20% dari total pengeluaran. Tabel 16 menunjukkan bahwa kandungan iodin sampai minggu terakhir pengamatan kelompok tikus KI-TF terus mengalami penurunan seiring dengan peningkatan dosis tiosianat. Penurunan tersebut berturut-turut sebesar 841 menjadi 779 µg/L (tanpa tiosianat), 830 menjadi 782 µg/L (dosis 0.06 mgKCN), dan 790 menjadi 767 µg/L (dosis 0.6 mgKCN). Pada setiap minggu pengamatan terlihat pola penurunan yang sama sebagai akibat dari penambahan tiosianat sampai dosis 0.6 mgKCN, berturut-turut sebesar 841 menjadi 790 µg/L (minggu I), 817 menjadi 790 µg/L (minggu III), dan 779 menjadi 767 µg/L (minggu V). Hal ini menandakan bahwa dalam kondisi kekurangan iodin, pemberian tiosianat (KCN) dapat secara bermakna (p<0.05) terhadap penurunan kandungan iodin dalam urin tikus perlakuan. Tabel 16 Kandungan UIE (ìg/L) pada Kelompok Tikus Perlakuan selama Lima Minggu Pengamatan Waktu Pengamatan Minggu I Minggu III Mimggu V Kel. Tikus KI-TF (mgKCN) 0 841 817 779 0.06 830 783 782 0.6 790 790 767 Kel. Tikus KI-F (mgKCN) 0 0.06 0.6 984 1035 902 915 867 1088 1110 1079 1124 Kel. Tikus TKI-TF (mgKCN) 0 0.06 0.6 1681 1756 1766 2045 2034 2066 2124 2056 2072 Kel. Tikus TKI-F (mgKCN) 0 0.06 0.6 1767 1688 1704 2036 1966 2063 2073 2106 2033 59 Dachlberg et al. (1984) dan Dachlberg et al. (1985) menyatakan bahwa semakin tinggi dosis tiosianat yang diberikan, maka semakin rendah kandungan UIE dan pengambilan iodin oleh kelenjar tiroid. Hal yang sama terjadi pada kelompok tikus KI-TF, dimana semakin tinggi dosis tiosianat diberikan semakin rendah kandungan UIE dan persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid (Gambar 15 dan 17). Lang (1933) juga menyatakan bahwa kejadian kekurangan iodin dapat disebabkan oleh peranan tiosianat dalam menghambat penyerapan iodin melalui kelenjar tiroid dan mengikat iodin organik (monoiodotirosine dan diiodotirosine yang merupakan bagian dari tiroglobulin) yang berada pada setiap sel sehingga menyebabkan persaingan yang berat antara tiosianat dan tiroksin serum yang terikat protein sebagai hasil dari peningkatan tiroksin serum. Tabel 16 memberikan informasi lain bahwa kelompok tikus KI-F dan TKI-TF yang mempunyai kandungan iodin dalam urin (UIE) sampai minggu terakhir pengamatan yang relatif lebih tinggi sampai minggu terakhir pengamatan pada setiap dosis tiosianat. Hal serupa juga dialami oleh kelompok tikus TKI -F, namun pada pemberian tiosianat dosis 0.6 mgKCN sampai minggu terakhir terlihat akan menurunkan kandungan iodin dalam urin (UIE). Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa pemberian tiosianat tidak mempunyai pengaruh yang bermakna (p>0.05) terhadap perubahan kandungan iodin dalam urin (UIE) antarkelompok tikus perlakuan. Analisis Duncan menunjukkan bahwa kelompok tikus KI-TF dan KI-F memberikan pengaruh yang bermakna (p<0.05) pada perubahan kandungan UIE tikus perlakuan seiring dengan penambahan tiosianat dosis 0.6 mgKCN. Lebih lanjut Gambar 17 menunjukkan bahwa kelompok tikus KI-TF dan KI-F mempunyai kandungan UIE lebih rendah dibanding kelompok tikus TKI -TF dan TKI -F. Rendahnya kandungan UIE pada kelompok tikus KI-TF dan KI-F merupakan suatu hal yang lazim terjadi pada tempat-tempat dimana terjadi defisiensi iodin, seperti yang dijumpai oleh Thaha dkk. (1997) di Pulau Seram Barat, Thilly et al. (1993) di Ubangi, Zaire dan Malawi dan Lombardi et al. (1999) di Pescopagano Itali bagian selatan. 60 Kandungan Iodin dalam Urin (mcg/L) 2500 M1 2000 M3 M5 1500 1000 500 0 0 0.06 0.6 0 KI-TF 0.06 KI-F 0.6 0 0.06 TKI-TF 0.6 0 0.06 0.6 TKI-F Gambar 17 Kandungan Iodin dalam Urin Tikus Perlakuan. Burgi et al. (1990), Jinkou et al. (2002), Zimmermann et al. (2005) dan Zimmermann et al. (2005) mengatakan bahwa kondisi UIE rendah dapat diperbaiki dengan pemberian fortifikasi garam beriodin. Hasil penelitian ini hal serupa kecuali pada kelompok KI-F yang mengalami peningkatan kandungan iodin dalam urin tetapi belum mencapai batas normal (>1155 µg/L) sesuai dengan hasil pra-penelitian. Dari Gambar 17 juga terlihat bahwa kandungan UIE kelompok tikus perlakuan TKI-TF, TKI-F, dan KI-F mempunyai kecenderungan untuk terus meningkat sampai minggu ke-5. Walaupun demikian kandungan UIE ini relatif sama antar dosis perlakuan. Kandungan UIE yang tinggi pada kelompok tikus TKI-TF dan TKI-F menandakan bahwa tanpa tiosianat sudah banyak iodin yang tidak terpakai dan akhirnya dibuang lewat urin. Kandungan UIE kelompok tikus KI-F dipengaruhi karena iodin yang ditambahkan dipakai oleh kelenjar tiroid sehingga tidak terbuang lewat urin. Kelompok tikus yang cukup iodin (TKI-TF dan TKI-F) dengan penambahan tiosianat dosis tinggi hanya dapat berpengaruh dalam menurunkan persentase pengambilan cenderung tidak menurun. 131 I oleh kelenjar tiroid, sedangkan kandungan UIE 61 Tabel 17 menunjukka n bahwa konsentrasi T4 dan T3 pada kelompok tikus KI-TF sangat rendah bila dibandingkan dengan rujukkan untuk manusia dan mengalami penurunan sampai minggu ke-5. Penambahan dosis tiosianat sebesar 0.6 mgKCN menurunkan konsentrasi ini lebih besar sampai minggu ke 5. Nilai konsentrasi ini menandakan bahwa kelompok tikus KI-TF berada dalam status hipotiroid, berdasarkan rujukan dari Kaplan (1982) dan Ingbar dan Braverman (1986) yang mengelompokkan bahwa konsentrasi T3 sebesar 20-160 ng/dL dengan rerata 48 ng/dL dan T4 kurang dari 5 µg/dL termasuk dalam status hipotiroid atau kekurangan iodin. Penelitian yang dilakukan oleh Escobar et al. (1985) juga menemukan bahwa tikus yang kurang iodin mempunyai kandungan T4 sekitar 1.1 – 2.8 µg/dL dan T 3 sekitar 19 – 43 ng/dL. Tikus normal yang diberikan dosis KCN 0, 0.15, 0.3, dan 0.6 mg tidak mengalami perubahan konsentrasi T4 dan T3 (Soto-Blanco et al., 2002). Diperjelas juga oleh Brody (1999) bahwa kondisi kurang iodin dapat mengakibatkan penurunan produksi T4 dan T3 dan menurunkan kecepatan metabolisme energi serta memobilisasi mekanisme produksi TSH dan retensi iodin dalam tubuh. Dengan demikian, diketahui bahwa tikus yang tidak kurang iodin mempunyai konsentrasi T4 dan T3 yang lebih tinggi dibanding tikus kurang iodin. Tabel 17 Konsentrasi T3 (ng/dL) dan T4 (µg/dL) Kelompok Tikus Perlakuan selama Lima Minggu Pengamatan Waktu Pengamatan Hormon T 3 (ng/dL) Minggu 1 Minggu 3 Mimggu 5 Hormon T 4 (µg/dL) Minggu 1 Minggu 3 Mimggu 5 Kel. Tikus KI-TF (mgKCN) Kel. Tikus KI-F (mgKCN) 0 0.06 0.6 Kel. Tikus TKI-TF (mgKCN) 0 0.06 0.6 0 Kel. Tikus TKI-F (mgKCN) 0.06 0.6 0 0.06 0.6 78 71 70 63 61 61 43 42 41 108 128 132 174 105 177 109 163 139 149 167 167 126 126 131 113 112 82 125 128 132 115 108 94 143 103 97 4 4 4 4 4 3 4 4 3 6 7 7 6 6 6 6 5 5 8 8 8 6 6 6 6 5 5 6 6 6 6 6 6 6 5 5 Jika konsentrasi T3 (75 – 222 ng/dL) dan T4 (5-10.7 µg/dL) dibandingkan dengan rujukkan berdasarkan Kaplan (1982) dan Ingbar dan Brave rman (1986) maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata konsentrasi T3 dan T4 relatif sama tinggi pada kelompok tikus TKI -TF, TKI-F, dan KI-F (Lampiran 8). 62 Gambar 18 dan 19 menunjukkan bahwa kelompok tikus TKI-TF, TKI -F dan KI-TF sama-sama mengalami penurunan konsentrasi T3 dan T4 periode minggu 1 sampai minggu ke-5 seiring dengan pe nambahan tiosianat dosis 0.06 dan 0.6 mgKCN. 180 M1 Konsentrasi T 3 Darah (ng/dL) 160 M3 140 M5 120 100 80 60 40 20 0 0 0.06 0.6 0 KI-TF 0.06 0.6 0 KI-F 0.06 0.6 0 TKI-TF 0.06 0.6 TKI-F Gambar 18 Konsentrasi T3 Tikus Perlakuan. Konsentrasi T4 Darah (mcg/dL) 8 M1 7 M3 6 M5 5 4 3 2 1 0 0 0.06 KI-TF 0.6 0 0.06 KI-F 0.6 0 0.06 0.6 0 TKI-TF 0.06 0.6 TKI-F Gambar 19 Konsentrasi T4 Tikus Perlakuan. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi T3 dan T4 dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan pada kelompok tikus (p<0.01). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna 63 (p<0.05) antar kelompok tikus perlakuan TKI-TF, TKI-F dan KI-TF dengan kelompok tikus KI-F pada dosis tiosianat 0.6 mgKCN. Perubahan konsentrasi hormon T4 dan T3 pada kelompok tikus TKI -TF, TKI-F, dan KI-F (Gambar 18 – 19) tidak berbeda jauh dengan yang ditemukan oleh Jackson et al. (1985) bahwa dengan pemberian dosis tiosianat 0, 0.4, 0.7, dan 1.2 mgKCN/bb tikus normal, terjadi penurunan kandungan T4 dan T3 pada minggu keenam. Selanjutnya sampai minggu ke-18 kandungan T3 dan T4 menurun masing-masing sebanyak 15 sampai 35%. Kajian pustaka lain seperti Philbrick et al. (1979) mengatakan bahwa pemberian KCN sebesar 1500 dan 2240 mg/kg dapat menurunkan kandungan T4 dan T3 serta mengganggu fungsi tiroid dalam waktu 48 jam. Tidak berbeda jauh dengan penelitian Olusi et al. (1979) yang menemukan bahwa pemberian KCN dosis 500 dan 1000mg/kg selama tujuh hari dapat menurunkan kandungan T4 sekitar 54 – 75% pada tikus normal. Hal tersebut berarti bahwa tiosianat yang diberikan dalam bentuk KCN dalam jumlah kecil akan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengganggu fungsi kelenjar tiroid pada tikus cukup iodin dibanding tikus kurang iodin. Konsentrasi Iodin dalam Feses (mcg/g) 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 M1 M3 0.2 M5 0.1 0.0 0 0.06 KI-TF 0.6 0 0.06 KI-F 0.6 0 0.06 TKI-TF 0.6 0 0.06 0.6 TKI-F Gambar 20 Konsentrasi Iodin dalam Feses Tikus Perlakuan. Berdasarkan Gambar 20 dan Lampiran 8 diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0.05) dalam hal kandungan iodin yang terbuang bersama feses pada semua kelompok tikus perlakuan dan semua dosis perlakuan. 64 Hal ini diduga bahwa proses absorbsi iodin dalam usus semua tikus perlakuan tidak mengalami perubahan yang bermakna sebagai akibat pemberian dosis tiosianat. Ganong (1989) mengatakan bahwa jumlah sisa iodin yang tidak diserap akan diekskresikan bersama feses dapat mencapai 20% perhari. Peranan Kalium Iodida (KIO3) dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus Fortifikasi garam beriodin merupakan salah satu cara penanggulangan masalah kurang iodin dengan menggunakan fortifikan kalium iodad (KIO3) dan kalium iodit (KI). Penelitian ini menggunakan fortifikan KIO3 sebanyak 30 ppm/tikus sesuai dengan anjuran DepKes RI. Tabel 18 menunjukkan bahwa kelompok tikus KI-F mempunyai persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid lebih besar (19.0%) dibanding kelompok tikus TKI -F (8.6%) walaupun tidak diberikan tiosianat. Jika dibandingkan antara kondisi tanpa pemberian tiosianat dengan pemberian tiosianat dosis 0.6 mgKCN, terlihat bahwa persentase pengambilan 131I menurun sekitar 50% terjadi pada kelompok tikus KI-F dan TKI-F. Tabel 18 Peranan Kalium Iodat (KIO3) Terhadap Status Iodin Tikus Perlakuan Variabel Persentase pengambilan Kandungan UIE (µg/L) Konsentrasi T4 (µg/dL) Konsentrasi T3(ng/dL) 131 I (%) KI-F (mgKCN) 0 0.06 0.6 19.0 5.1 2.7 1003 994 1038 7 6 5 123 152 137 TKI-F(mgKCN) 0 0.06 0.6 8.6 4.0 2.5 1959 1920 1933 6 6 6 129 106 114 Kelompok tikus perlakuan TKI-F memberikan hasil yang berbeda dari keadaan yang diharapkan yaitu mempunyai persentase pengambilan kelenjar tiroid lebih dari 10%. 131 I oleh Diduga hal ini dapat terjadi karena adanya mekanisme penghambatan (obstruction) sebagai akibat dari tingginya asupan tiosianat yang menyebabkan terganggunya fungsi kelenjar tiroid. Kondisi tersebut sesuai dengan yang diperoleh oleh ECETOC (2004) dan DECOS (2002) bahwa pada waktu penambahan tiosianat, kelompok tikus TKI-F sama-sama dengan kelompok tikus lain mengalami penurunan persentase pengambilan 131 I. Hal ini sesuai dengan pendapat Van der Laan dan Van der Laan (1965) yang menyatakan 65 bahwa jika kadar tiosianat darah lebih tinggi dar i asupan iodin maka akan terjadi penghambatan pembentukan MIT, DIT, T3 , dan T4. Berdasarkan indikator persentase pengambilan 131 I, maka hasil penelitian ini dapat menyanggah pendapat dari Wood (1965) yang menyatakan bahwa efek tiosianat tidak akan muncul jika diberikan secara bersamaan dengan KIO3 dalam ransum tikus. Hal ini disebabkan karena pemberian tiosianat (KCN) bersamaan dengan KIO3 pada kelompok tikus TKI-F dan KI-F menyebabkan penurunan persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid. Tabel 18 juga menunjukkan bahwa kandungan UIE pada kelompok tikus KI-F lebih rendah (994-1038 µg/L) dibanding kelompok tikus TKI-F (1920-1959 µg/L). Hasil yang sama juga diperoleh pada tahap pra-penelitian diketahui bahwa kandungan UIE pada kelompok tikus KI-F masuk dalam status kurang iodin (< 1154 µg/L) dibanding kelompok tikus TKI-F (> 1555 µg/L). Dari Tabel 18 terlihat bahwa konsentrasi T4 dan T3 relatif tidak berbeda antara kelompok tikus TKI-F dan KI-F, walau diberikan tiosianat dosis 0.06 dan 0.6 mgKCN. Konsentrasi T4 dan T3 tersebut masih berada dalam batasan normal rujukan Kaplan (1982), Ingbar dan Braverman (1986), Larsen et al. (1987), Vanderpass dan Thyli (1994), Wilber (1996), dan ICCIDD (2003). Kandungan iodin dalam urin dan persentase pengambilan131 I sekaligus menunjukkan bahwa kelompok tikus KI-F masih berada dalam status kurang iodin, walaupun konsentrasi T4 dan T3 masih dalam kategori normal sesuai dengan yang dijumpai pada penelitian Okamura et al. (1981). Hal ini berbeda dengan pendapat dari Bourdoux et al. (1978) yang menyatakan bahwa kondisi defisiensi iodin menyebabkan penurunan uptake 131 I oleh kelenjar tiroid disertai gangguan sintesis hormon tiroksin dan terjadi peningkatan ekskresi iodida dalam urin. Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 18 terlihat bahwa pemberian fortifikan KIO3 sebanyak 30 ppm belum dapat memberikan perubahan yang berarti pada kelompok tikus KI-F dan TKI-F yang diberi tiosianat. Hal ini terjadi karena asupan tiosianat dalam tubuh kelompok tikus perlakuan KI-F masih melebihi asupan iodin. Oleh karena itu penulis merasa bahwa jumlah fortifikan yang dianjurkan DepKes , yaitu KIO3 sebesar 30 ppm agar ditinjau kembali. Hal 66 ini disebabkan karena Lamaz et al. (1972) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa pemberian tambahan KIO3 sebanyak 30 ppm hanya dapat mengurangi pengaruh tiosianat dalam tubuh sebesar 25% , sedangkan sebanyak 100 ppm dapat menekan pengaruh tiosianat menjadi 6%. Dachlberg et al. (1984) dalam penelitiannya juga membuktikan bahwa tikus yang diberikan iodin sebanyak 400 mgI dalam ransum yang mengandung 19 mg tiosianat dapat meningkatkan kandungan UIE dan konsentrasi tiroksin (T4). Dengan demikian terlihat bahwa anjuran DepKes RI untuk mengkonsumsi garam beriodium dengan kandungan KIO3 sebanyak 80 ppm masih layak khusus untuk daerah yang benar-benar kekurangan iodium dan banyak mengkonsumsi bahan makanan sumber goiterogen. Hubungan antara Dosis KCN dengan Perubahan Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus Semua kelompok tikus perlakuan mengalami penurunan persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid pada saat pemberian tiosianat 0.06 dan 0.6 mgKCN/bb tikus, sebaliknya terjadi peningkatan persentase pengambilan 131 I di organ tubuh seperti kulit, ginjal, hati, jantung, dan kelenjar saliva (Lampiran 7). Analisis korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang bermakna (p<0.01) dosis KCN dalam ransum dengan persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid dan organ tubuh lain dari tikus perlakuan. Keadaan di atas menunjukkan bahwa peningkatan dosis KCN dapat menurunkan kandungan iodin dalam kelenjar tiroid. Sejalan dengan yang dinyatakan oleh Pennington dan Schoen (1996) bahwa populasi yang mengkonsumsi pangan sumber tiosianat dalam jumlah yang banyak akan mengalami gangguan pengambilan iodin oleh kelenjar tiroid. Ingbar dan Braverman (1986) juga mengatakan bahwa selain oleh kelenjar saliva, peningkatan persentase pengambilan seperti kulit dan ginjal. 131 I dapat terjadi pada bagian tubuh lain Sementara hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kandungan iodin dapat terjadi dalam organ tubuh seperti kulit, ginjal, hati, jantung, dan kelenjar saliva (Gambar 16). 67 Peningkatan persentase pengambilan 131 I oleh ginjal merupakan salah satu dampak yang menyerupai gangguan fungsi ginjal dalam menampung sisa mineral iodin yang tidak terserap (Schultz, 1984 dan ATSDR, 1997). Bentuk gangguan ini dapat terjadi mengingat fungsi normal dari ginjal yang tidak mampu untuk menyimpan mineral hasil sisa penyerapan tubuh. Winarno (1997 dan Brody (1999) mengatakan bahwa pada kondisi normal, pembuangan iodin dalam jumlah yang lebih kecil dikeluarkan melalui kulit. Lampiran 7 menunjukkan bahwa penambahan tiosianat 0.6 mgKCN menyebabkan peningkatan persentase pengambilan 131 I di bagian kulit pada semua kelompok tikus perlakuan. Kreutler et al. (1978) menunju kkan bahwa bahan pangan sumber tiosianat dapat berdampak negatif pada pertumbuhan tiroid dan fungsinya pada anak tikus. Hal ini disebabkan karena tiosianat dapat menyebabkan pembentukan gondok dan tingginya TSH pada hewan yang kekurangan iodin tetapi tidak pada hewan yang cukup iodin. Dengan demikian, diyakini bahwa tiosianat dapat menjadi faktor etiologi dalam wilayah gondok endemik dan kretinisme. Di wilayah tersebut asupan iodin sangat rendah dan tiosianat dominan dalam diet. Konsentrasi tiosianat dapat menghambat pengambilan iodin sebesar 50% (Greer et al., 1966). Lampiran 8 menunjukkan bahwa kelompok tikus perlakuan KI-TF yang mendapat tiosianat mempunyai kandungan UIE lebih rendah dibanding kelompok tikus TKI -TF, TKI-F dan KI-F yang diberi tiosianat dosis 0 sampai 0.6 mg/bb tikus. Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna (p<0.01) antara kelompok tikus perlakuan dan waktu pengamatan dengan perubahan kandungan UIE tikus perlakuan. Kelompok tikus perlakuan yang mendapat tiosianat akan mengalami perubahan kandungan UIE setiap minggu pengamatan. Peningkatan konsentrasi iodin dalam urin kelompok tikus KI-F (867 menjadi 1124 ìg/L) dan TKI-F (1688 menjadi 2106 ìg/L) dapat disejajarkan dengan kejadian yang dialami oleh anak remaja di Czechoslovakia dan Switzerland (wilayah endemik GAKI) yang mempunyai kandungan iodin dalam urin rendah. Setelah diberikan fortifikasi garam beriodin kandungan tersebut meningkat menjadi 150 µgI/L (Burgi et al. , 1990). 68 Penurunan konsentrasi iodin dalam urin kelompok tikus KI-TF mungkin dapat disamakan dengan yang dialami oleh anak-anak sekolah yang kurang iodin di Albania yang prevalensi GAKI sebesar 87% kandungan UIE hanya sebesar 43 µgI/L dengan konsentrasi hormon tiroksin yang rendah. Pada masyarakat tersebut konsumsi singkong lebih dominan dibandingkan maka nan pokok lainnya , termasuk anak-anak yang berada di wilayah tersebut (Zimmermann et al. , 2006). Batasan dari ICCIDD (2003), Ingbar dan Braverman (1986) dan Kaplan (1982) menunjukkan bahwa kelompok tikus KI-TF termasuk dalam kelompok hipotiroid (kurang iodin) karena mempunyai konsentrasi T4 dan T3 yang lebih rendah dibanding kelompok tikus TKI-TF; TKI -F, dan KI-F (Lampiran 8). Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna (p<0.05) antara pemberian dosis KCN dengan perubahan konsentrasi T4 dan T3 tikus perlakuan. Banyak penelitian dengan hasil yang bervariasi tentang hubungan antara tiosianat (KCN dan HCN) dan dinamika iodin dalam tubuh. Sousa et al. (2002) menemukan bahwa terjadi perubahan fungsi tiroid, tetapi tidak memberikan perubahan konsentrasi T4 dan T3 tikus perlakuan dengan pemberian KCN dengan dosis 3.0 sampai 9.0 mg/kg selama15 hari. Soto-Blanco et al. (2002) mengatakan bahwa perlakuan KCN dosis 40 dan 80 mg/kg pada tikus tidak mendapatkan hasil bahwa peruba han konsentrasi T4 dan T3. Akan tetapi, dengan perlakuan KCN dosis 1500 dan 2240 mg/kg, konsentrasi T4 dan T3 pada tikus menurun (Philbrick et al., 1979). Begitu pula dengan perlakuan 5 sampai 10 gram/100gr ransum dapat menurunkan konsentrasi T4 (Olusi et al., 1979). Berdasarkan rangkuman hasil penelitian di atas terlihat bahwa semakin tinggi dosis tiosianat semakin kelihatan pengaruhnya terhadap konsentrasi T4 dan T3. Akan tetapi hal yang berbeda terjadi pada hasil penelitian Jakson et al.(1985) bahwa pemberian KCN pada tikus perlakuan (0, 0.4, 0.7, dan 1.2mg/kg) selama lima minggu dapat menurunkan konsentrasi T4 dan T3. 69 Dampak Fisiologi Kurang Iodin pada Tubuh Tikus Bentuk bawaan hipotiroid dapat didiagnosa melalui program penapisa n dengan membuat evaluasi terhadap perubahan fisiologis yang dialami oleh anakanak yang hipotiroid (Ingbar dan Braverman, 1986) seperti yang terlihat pada Tabel 19. Tabel 19 Indikator Neonatal Hypothyorid Indeks (NHI) pada Anak-anak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Indikator NHI Quebec Perubahan pada kulit kepala Rambut rontok Alis mata rontok Malas (Inactivity)/agresif (hyperactivity) Kulit warna kuning Tidak tahan suhu dingin Wajah yang pucat (khas) Kulit kering Sembelit Gangguan makan Sumber : Study Quebec dalam Ingbar dan Braverman (1986). Ingbar dan Braverman (1986) menyatakan bahwa jika skor Neonatal Hypothyroid Indeks (NHI) lebih kecil dari tiga (3) pada suatu populasi maka relatif tidak dijumpai masalah kekurangan iodin namun jika skor NHI lebih besar dari tiga (3) maka informasi ini dapat digunakan sebagai petunjuk adanya masalah akibat kekurangan iodin. Hal ini sesuai dengan yang dijumpai oleh Letarte et al. (1981) bahwa dalam populasi normal anak mempunyai nilai NHI < 3 sedangkan 90% dari anak-anak hipotiroid mempunyai nilai NHI > 4. Hal yang dapat dis impulkan adalah perubahan fisiologis sangat berhubungan dengan kondisi kurang iodin. Dalam kajian kepustakaan Ingbar dan Braverman (1986) disimpulkan bahwa kondisi kekurangan atau kelebihan hormon tir oid dapat menyebabkan dampak kekurangan iodin yang permanent terutama pada aspek nomor dan fungsi sel. Pada tahap pertumbuhan cepat (growth spurt) dibutuhkan intensitas kerja hormon T4 dan T3 yang cukup. Hal ini disebabkan karena hormon tiroid (T4 dan T3) yang cukup akan memberikan efek secara langsung ke semua jaringan tubuh sehingga berpengaruh pada proses pertumbuhan dan perkembangan (Dunn,2000 dan Linder, 1992). Pada kondisi ini, hormon tiroid akan berada pada semua inti 70 sel, hampir semua jaringan tubuh dan organ tubuh. Oleh karena itu, jika terjadi kekurangan iodin maka secara langsung mempengaruhi kondisi dalam dan luar tubuh. Kondisi ini seperti yang dialami oleh kelompok tikus kurang iodin yang diberikan ransum tidak fortifikasi KIO 3 (KI-TF). Selanjutnya dampak produksi hormon tiroid lebih banyak berbeda pada setiap jaringan tubuh kelompok orang dewasa , seperti peningkatan aktivitas lipolitik dalam jaringan adiposa, modulasi sekresi gonadotropin oleh pituitary, dan perbaikan sel proliveratif seperti sel pertumbuhan dan perawatan rambut (Freinkel dan Freinkel, 1972). Lebih lanjut dikatakan juga bahwa pada pasien hipotiroid, pertumbuhan anak rambut (rambut baru) berkurang disertai dengan peningkatan jumlah rambut yang rontok atau gugur. Keada an yang tidak normal ini diikuti dengan proses pemulihan pada kondisi eutiroid. Diasumsikan bahwa konsentrasi fisiologi hormon tiroid mungkin tidak hanya merangsang pertumbuhan rambut baru tapi selalu dibutuhkan untuk perawatan normal. Tabel 20 dan Gambar 21-24 menunjukkan bahwa kelompok tikus KI -TF mempunyai perubahan fisiologi tubuh seperti pancaran mata berwarna merah tidak cerah, memiliki tubuh yang kotor serta bulu yang rontok (botak) pada sekitar daerah kepala sampai punggung juga daerah otot paha, bersikap lebih agresif dan memiliki postur tubuh pendek dan ringan. Hal ini diduga karena rendahnya asupan iodin bagi aktivitas organ tubuh dalam proses pertumbuhan. Tabel 20 Perubahan Dampak Fisiologi Tubuh Tikus Perlakuan Indikator A. Anggota Tubuh • Mata • Bulu B. Kebiasaan Makan C. PenampakanTubuh D. Tingkah laku Tikus Pengamatan Bentuk Perubahan Kelompok KI Kelompok TKI Kel. KI -TF Kel.KI -F Kel. TKI-TF Kel. TKI-F 0 0.06 0.6 0 0.06 0.6 0 0.06 0.6 0 0.06 0.6 2 2 1 3 2 2 2 1 3 2 2 3 1 3 2 1 1 1 2 2 1 1 1 2 2 1 2 1 2 2 1 1 1 2 1 1 1 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 Keterangan : • Mata : 1. berwarna merah cerah ; 2. berwarna merah tidak cerah • Bulu : 1. Utuh dan bersih ; 2. Utuh dan kotor ; 3. Rontok dan kotor • Kebiasaan Makan : 1. Banyak ; 2. Sedang ; 3. Sedikit • Tingkah Laku : 1. Normal ; 2. Agresif ; 3. Diam dan lesu • Penampakan Tubuh : 1. Panjang dan ringan ; 2. Panjang dan berat ; 3. Pendek dan Ringan ; 4. Pendek dan berat 2 3 2 2 2 71 Sebaliknya, kelompok tikus TKI-F yang mempunyai konsentrasi T3 (12914 ng/dL) dan T4 (6 µg/dL) yang normal, justru mempunyai perubahan fisiologis yang relatif sama dengan perubahan fisiologis tubuh dari kelompok tikus KI-F. Kasus yang terjadi pada masyarakat provinsi Jiansu (China) yang mengkonsumsi air minum fortifikasi 546 mgI/L dan masyarakat Hokaido (Jepang) yang mengkonsumsi ganggang laut dengan asupan 80-200 mgI/hari. Dalam kasus ini muncul dampak antitiroid seperti dampak kurang iodin , yaitu menyebabkan gondok pada anak-anak dan orang dewasa. Dicurigai, kelompok tikus TKI -F mempunyai persentase pengambilan iodin oleh kelenjar tiroid rendah tetapi semua jaringan dan organ tubuh tikus dapat berubah menjadi “pool iodin ” sehingga dampak yang ditimbulkan tidak saja dalam bentuk gondok tetapi perubahan secara menyeluruh dalam bentuk perubahan fisik sampai pada penurunan IQ individu. Gambar 21 – 24 menunjukkan bahwa kelompok tikus TKI -TF mempunyai kondisi fisiologi tubuh yang jauh lebih baik dari kelompok tikus TKI-F, KI-TF dan KI-F. Gambar 21 Kelompok Tikus TKI-TF Gambar 23 Kelompok Tikus KI-TF. Gambar 22 Kelompok Tikus TKI-F Gambar 24 Kelompok Tikus KI-F. 72 Grekin RJ (2002) dan Lee (2001) menyatakan bahwa sejumlah perubahan fisiologi akibat dari kekurangan iodin adalah lidah bengkak dan suara parau, kelopak mata tampak lebih cembung, kelelahan atau keletihan dan wajah kelihatan suram, depresi, tidak tahan terhadap suhu dingin, sering tidur, rambut kusam/kering/kasar dan rontok, sembelit, kulit kering/bersisik atau kekuningkuningan, otot kejang, peningkatan kolesterol, gampang sakit, kaki bengkak atau mati rasa pada kaki dan tangan. Ebling dan Jhonson (1964), dan Griem dan Malkinson (1967) juga menyatakan bahwa tikus yang kekurangan hormon T4 akan mengalami hambatan pertumbuhan rambut. Hal ini disebabkan karena diduga hormon T4 dapat merangsang perubahan siklus pertumbuhan setiap sel folikel rambut (Gambar 23). Selanjutnya Holt dan Marks (1977) mengatakan bahwa rendahnya hormon T3 dapat menyebabkan dampak perubahan yang sangat cepat pada kulit manusia (kulit ari) seperti kulit yang kering serta pecah-pecah. Olusi et al, (1979) menambahkan bahwa pemberian tiosianat pada tikus yang kurang iodin menyebabkan penurunan kadar iodin kelenjar tiroid, konsentrasi T4 menjadi rendah, naiknya kadar TSH dalam serum serta terjadi sejumlah perubahan fisiologi tubuh teristimewa munculnya gondok (bentuk pembesaran kelenjar gondok). Hal ini disebabkan karena tiosianat (KCN) menghambat penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid sehingga merangsang TSH untuk membentuk tiroglobulin beriodin dalam tiroid, dimana MIT (monoiodothyronine) lebih banyak dari DIT (diiodothironine) dan produksi T4 rendah. Gambar 25 menunjukkan bahwa perubahan pertambahan bobot badan tikus perlakuan dapat berfluktuasi (berubah naik -turun) dari minggu pertama sampai minggu terakhir pengamatan. Namun, rerata bobot badan kelompok tikus TKI-F dan KI-TF cenderung tidak berbeda sampai pemberian tiosianat dosis 0.6 mgKCN pada semua kelompok tikus perlakuan. Uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p<0.05) bobot badan antara kelompok tikus perlakuan. Philbrick et al, (1979) menyatakan bahwa tikus yang mendapat dosis 9.0 mgKCN/bb mengalami penurunan bobot badan sebanyak 70% dibanding bobot 73 badan tikus control (Sousa et al., 2002). Pemberian tiosianat sebanyak 800 dan 1600 mgKCN/kg dapat menurunkan bobot badan tikus perlakuan (Olusi et al., 1979). Selain itu, pemberian tiosianat sebanyak 1500 dan 2240 mgKCN/kg dapat menurunkan bobot badan tikus. Mengingat dosis KCN yang diberikan pada penelitian ini masih relatif rendah dibanding dosis yang digunakan oleh Philbrick et al, (1979), (Sousa et al. , 2002) , dan (Olusi et al., 1979) diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan bobot badan yang bermakna antarkelompok tikus perlakuan akibat rendahnya dosis tiosianat yang diberikan. 100.0 Bobot Badan Tikus (g) M1 M3 M5 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 0 0.06 0.6 KI-TF 0 0.06 KI-F 0.6 0 0.06 0.6 0 TKI-TF 0.06 0.6 TKI-F Gambar 25 Bobot Badan (g) Tikus Percobaan. Demikian pula halnya pada perubahan panjang badan tikus perlakuan. Jika dibanding dengan ukuran panjang badan awal dan akhir pengamatan, terlihat bahwa ada perubahan pertambahan panjang badan tikus perlakuan dengan rerata pertambahan panjang 1-2 cm per minggu pengamatan. Uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan panjang badan yang bermakna antara kelompok tikus perlakuan (p>0. 05). 74 Panjang Badan Tikus (cm) 14.0 12.0 10.0 M1 8.0 M3 M5 6.0 4.0 2.0 0.0 0 0.06 KI-TF 0.6 0 0.06 KI-F 0.6 0 0.06 TKI-TF 0.6 0 0.06 0.6 TKI-F Gambar 26 Panjang Badan (cm) Tikus Perlakuan. Gambar 26 menunjukkan bahwa panjang badan tikus perlakuan relatif tidak berbeda dan setiap minggu pengamatan yang sama cenderung meningkat seiring dengan penambahan tiosianat. Namun, belum dapat dipastikan bahwa pertambahan panjang badan tikus perlakuan tersebut sebagai akibat dari pengaruh pemberian tiosianat. 75 KESIMPULAN Tanpa pemberian tiosianat, kelompok tikus yang diberi ransum kurang iodin dan tidak fortifikasi (KI-TF) dan kelompok tikus yang diberi ransum cukup iodin dan fortifikasi (TKI-F) mempunyai persentase pengambilan 131 I sangat rendah berturut -turut 1.5% dan 8.6% dibanding kelompok tikus yang diberi ransum cukup iodin dan tidak difortifikasi (TKI -TF) sebesar 12.8% dan kelompok tikus yang diberi ransum kurang iodin dan difortifikasi (KI-F) sebesar 20.1%. Iodin-131 yang tidak diserap oleh kelenjar tiroid, terkumpul di organ tubuh ginjal, jantung, dan kelenjar saliva. Pemberian tiosianat menurunkan persentase pengambilan 131I oleh kelenjar tiroid di semua kelompok tikus percobaan (TKI -TF, TKI-F, KI-TF, dan KI-F). Tiap perlakuan dosis KCN mempunyai pengaruh yang berbeda dalam menurunkan persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid di semua kelompok tikus percobaan. Pemberian tiosianat dosis pengambilan 131 0.06 mgKCN menurunkan I pada semua kelompok tikus percobaan. penurunan yang terjadi yang diurutkan mulai dari pengambilan persentase Urutan persentase 131 I yang terendah adalah KI-TF (dari 1.5 menjadi 1.2%), TKI-F (dari 8.6 menjadi 4.0%), KI-F (dari 19.1 menjadi 5.1%), dan TKI-TF (dari 12. 8 menjadi 8.6%). Iodin yang tidak diserap oleh kelenja r tiroid, menyebar dan terkumpul di organ tubuh kulit; ginjal, hati, jantung, dan kelenjar saliva. Pemberian pengambilan 131 tiosianat dosis 0.6 mgKCN menurunkan persentase I oleh kelenjar tiroid pada semua kelompok tikus perlakuan jauh lebih rendah dibanding dengan persentase pengambilan ransum tanpa KCN. 131 I tikus yang diberikan Urutan penurunan yang terjadi adalah KI-TF (dari 1.5 menjadi 0.7%), TKI-F (dari 8.6 menjadi 2.5%), TKI-TF (dari 12.8 menjadi 2.6%), dan KI-F (dari 19.1 menjadi 2.7%). Iodin tersebut tertampung pada organ tubuh lain seperti kulit, hati, ginjal, jantung, dan kelenjar saliva. Indikator nilai UIE, konsentrasi T4 dan T3 serta persentase pengambilan 131 I dalam organ tubuh, menunjukkan bahwa pemberian fortifikasi iodin 30 ppm ternyata belum efektif untuk meningkatkan status iodin tikus kelompok KI-F dan 76 TKI-F. Ada hubungan yang bermakna (p<0.01) antara pemberian dosis KCN dengan perubahan persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid. Ada hubungan yang bermakna (p<0.05) antara kelompok tikus percobaan dengan kandungan iodin dalam urin, konsentrasi T3 dan T4. Kelompok tikus KI-TF dan TKI-F mengalami perubahan fisiologis yang relatif sama. Ciri-ciri perubahan tersebut seperti pancaran mata berwarna merah tidak cerah, memiliki tubuh yang kotor serta bulu yang rontok (botak) pada sekitar daerah kepala sampai punggung juga daerah otot paha, bersikap lebih agresif dan memiliki postur tubuh pendek dan ringan. Saran 1. Penelitian ini mengindikasikan individu dengan konsumsi iodin dan tiosianat yang tinggi dapat memberikan gejala fisik dan kimia yang relatif sama dengan kasus kekurangan iodin. Oleh karena itu disarankan agar pada wilayahwilayah dengan konsumsi zat-zat goiterogen yang tinggi (tiosianat/SCN-), pendekatan penanggulangan GAKI dengan strategi “Blanket Approach” pada daerah endemik sedang dan berat perlu ditinjau kembali. 2. Penelitian ini tidak mngikutkan analisis kandungan SCN- dalam urin tikus percobaan. Oleh karena itu disarankan agar melakukan penelitian lanjutan guna melihat interaksi antara iodin dengan SCN- DAFTAR PUSTAKA (ACGIH) American Conference of Govermental Industrial Hygienists. 2001. Hydrogen Cyanide and Cyanide Salt. In : Documentation of the Treshold Values and Biological Exposure Indices, 8th ed. Cincinnati, OH, American Conference of Goverme ntal Industrial Hygienists, pp. 1-6. (AOAC) Association of Agricultural Chemist. 1984. Official Methods of Analisis of The Association of Official Agricultural Chemist. Association of Agricurtural Chemist, Washington. D.C. Aswar A. 1999. Pengantar Epidemiologi. Staf Pengajar bagian Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta. Astawan. M. 2003. Iodium Cegah Lost Generation. Dalam Kompas Edisi 16 Januari 2003, Bagian Rubrik Gizi. Jakarta . ATSDR (Agency for Toxic Substances and Disease Registry). 1989. Toxicological Profile for Cyanide. ATSDR/TP-88/12; PB90-162058. Prepared by Syracuse Research Corporation for ATSDR, U.S. Public Health Service, under Contract No. 68-C8-0004. Bourdoux P, Delange F, Gerard M, Mafuta M, Hamson A and Ermans AM. 1978. Journal Clinical Endocrinology and Metabolic, 46: 613-621. Boyages EC. 1993. Iodine Deficiency Disorders. Clinical Review 49. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism, 21:13-15. Broddy T. 1999. Nutritional Biochemistry. Academic Press. Inc. USA. Brown-Grant. K. 1961. Extrathyroidal Iodide Concentrating Mechanism. Physiol Rev 41: 189. Burgi H, Supersaxo Z and Selz. 1990. Iodine Defeciency Disease in Switzerland OneHundred Years after Theodor Kocher’s Survey : A Historical Review with some new Goiter Prevalence Data. Acta Endocrinologica. 123, 577. (CAC). 1991. Codex Alimentarius, Vol. XII, Suppl 4. Codex Standard for Edible Cassava Flour (African Regional Standart). Rome, Food and Agriculture of the United Nations (CODEXSTAND 176) . 78 (CICAD) Concise International Chemical Assessment Document. 2004. Hydrogen Cyanide and Cyanide; Human Health Aspects. Concise International Chemical Assessment Document 61. Geneva. Chapman BA. 1982. A Medical Geography of Endemic Goiter in Central Java. A Disertation Submited to the Graduate Division of the University of Hawai. USA. Conn EE. 1979a. Cyanide and cyanogenic glycosides. In Rosenthal, G.A. & Janzen, D.H. (eds.), Herbivores: Their interaction with secondary plant metabolites, Academic Press, Inc., New York-London, pp 387-412. Conn EE. 1979b. Cyanogenic glycosides. International review of biochemistry. In Biochemistry and Nutrition 1A, Neuberger, A., & Jukes, T.H. (eds), University Park Press. Contempre B, Escobar GM, Denef JF, Dumont JE and Many MC. 2004. Thiocyanate Induces Cell Necrosis and Fibrosis in Selenium- and Iodine- Deficient Rats Thyroids : A Potential Experimental Model for Myxedematous Endemic Cretinism in Central Africa. J. Endocrinol, 145: 2994 -1002. Dachlan DM dan Thaha AR. Analisis Konsumsi Zat Goitrogen dan Iodin terhadap GAKY di Propindi Maluku. Jurnal Medika Nusantara. 1:1-7. Dachlberg A, Bergmark A, Eltom M, Bjork L and Claesson O. 1984. Intake of Thiocyanate by Way of Milk and its Possible Effect on Thyroid Function. Journal Clinical Nutrition. 41:416-420. Dachlberg A, Bergmark A, Eltom M, Bjork L and Claesson O. 1985. Effect of Thiocyanate Levels in Milk on Thyroid Function in Iodine Deficient Subjects. Journal Clinical Nutrition. 41:1010-1014. (DECOS) Ducth Expert Committee on Occupational Standard. 2002. Hidrogen Cyanide, Sodium Cyanide and Potassium Cyanide. The Hague, Minister and State Secretary of Social Affair and Employment, Ducth Expert Committee on Occupational Standard. Delange F, Ekpechi L and Rosling H. 1994. Cassava cianogenesis and iodine deficiency disorders. Acta Horticultura : International workshop on cassava safety. Bokanga M, Esser AJA. DeLong GR, Leslie PW, Wang SH, Jiang XM, Zhang ML, Rakeman M, Jiang JY, Ma T and Cao XY. 1997. Effect on Infant Mortality of Iodination of Irrigation Water in a Severity Iodine Deficiency Area of China. Journal of Pediatric Neurology, Duke University Medical Center, DurhamUSA. 79 DepKes.RI. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005. Pemerintah Republik Indonesia bekerjasama dengan World Health Organization. DepKes RI., 2003. Survey Nasional Pemetaan GAKI. Kerjasama BAPPENASDEPDAGRI, Jakarta. Dickson WM. 1984. Endocrine Glands. In: Duke’s Physiology of Domestic Animals. MJ, Swenson (Ed). Comstock Publishing Associates, Cornell University Press. Ithaca. Dillon DC and Milliez J. 2000. Reproductive Failure in Women Living in Iodine Deficient Areas of West Africa. ORSTOM-Nutrition, BP 1386. Dakar, Senegal. Djojosoebagio SAH. 1989. Dasar-Dasar Radioisotop dan Radiasi dalam Biologi. Pusat Antar Universitas – IPB. Djokomoeljanto R. 1993. Hipothyroidi di Derah Defisiensi Iodium. Kumpulan Naskah Simposium GAKI. Hal. 35-46. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Dunn JT and FV der Haar. 1990. A Practical Guide to the Correction of Iodine Deficiency. International Council for Control Iodine Deficiency Disorders. The Netherlands. Dunn JT. 2000 IODINE. Professor of Internal Medicine Division of Endocrinology. University of Virginia School of Medicine. Ebling FJ and Jhonson E. 1964. The Action of Hormones on Spontaneus Growth Cycles in The Rat. J. Endocrinol. 29:193-197. (ECETOC) European Centre for Ecotoxicology and Toxicology of Chemical. 2004. Hydrogen Cyanide, Sodium and Potassium Cyanides and Aceton Cyanohydrin. Brussel, European Centre for Ecotoxicology and Toxicology of Chemical, in press (ECETOC Joint Assessment of Commodity Chemicals) Edmon JF and Gr iffith JQ. 1949. The Rat in Laboratory Investigation. Hafner Press. A Division of Macmillan Publishing Co., Inc. New York. Elizar. 1989. Pemeriksaan Kadar Iodin dalam Garam Konsumen yang Beredar di Pasar Kotamadya Padang dan sekitarnya. Laporan penelitian proyek PPPT Institut Keguruan Ilmu Pendidikan. Padang. 80 Elnour A, Hambraeus L, Eltom M, Dramaix M and Bourdoux P. 2000. Endemic Goiter with Iodine Sufficiency: A Possible Role for the Consumption of Pearl Millet in the Etiology of Endemic Goiter. Original Research Communication. Journal Nutrition. 71:56-66. (EPA) Enviromental Protection Agency. 1990. Summary Review of Health Effects Associated with Hydrogen Cyanide, Health Issue Assessmment Enviromental Criteria and Assessmment Office, Office of Health and Enviroment Assessmment, Office of Research and Development, US Enviromental Protection Agency Research Triangle Park, North Carolina, USA. Escobar del Rey F, Pastor R, Mallol J and Morreale de Escobar. 1985. Effect of Maternal Iodine Deficiency on the Content of T4 and T3 in Rat Palcenta. Ann Endocrinol (Paris) 45:A 138 (Abstract). Feldstein M and Klendshoj NC. 1954. The Determination of Cyanide in Biologic Fluids by Microdiffusion Analysis. Journal of Laboratory and Clinical Medicine 44:166-170. Freinkel RK dan Freinkel N. 1972. Hair Growth and Alopecia in Hypothyroidism. Arch Dermatol 106:349-352. Ganong WF. 1989. Review of Medical Physiology, 14th Ed. A Lange Medical Book. Prentice Hall International Inc. Gaitan E, Meyer JD, Merina H. 1974. Environmental Goitrogens, in Colombia, in Dunn JT, Medeiros -Neto GA(eds) : Endemic Goiters and Cretinism. PAHO Sci Pub. No. 292, Washington, PAHO, pp. 107117. Gaitan E. 1980. Goitrogens in the Ethiology of Endemic Goiter in Stanbury JB., Hetzel BS (eds). Endemic Goiter and Endemic Cretinism Iodine Nutrition in Health and Disease. Jhon Willey and Son, Toronto. Gaspersz V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Untuk Ilmu-ilmu Pertanian, Ilmu-ilmu Teknik dan Biologi. Penerbit ARMICO. Jakarta. Gudjarati. 1992. Essential of Econometrics. Baruch College. City University of New York. Grekin RJ. 2002. Iodine Deficiency. Departemen of Internal Medicine. University of Michigan Health System. Greer MA, Stott AK and Milne KA. 1966. Endocrinology. 79:237-247. Griem ML and Malkinson FD. 1967. Some Studies on The Effects of Radiation Modifiers on Growing Hair. Radiat Res. 30:431- 435. 81 Hartung R. 1982. "Cyanides and nitrites." In: Patty's Industrial Hygiene and Toxicology, vol. 2C, G.D. Clayton and E. Clayton, eds. John Wiley & Sons, New York, NY, pp. 4845-4900. Hector CT, Swennen.B, Bourdoux.P, Ntambue.K, Reyes.RM, Gilles.J and Vanderpas.JB. 1993. The Epidemiology of Iodine-Deficiency Disorders in Relation to Goitrogenic Factors and Thyroid-StimulatingHormon Regulation. Am.J. Clin. Nutr Suppl.57:267S-270S. Hetzel and Clugston GA. 1996. IODINE. In Shils Maurice E., Olson JA and Shike M. Modern Nutrition in Health and Disease. Eight Edition. Vol. 1. New York. USA. Hetzel BS and Dunn JT. 1989. The Iodine deficiency disorders : Their nature and prevention. Annual Review of Nutrition. Hetzel, Dunn JT and Stanbury JB. 1987. The Prevention and Control of Iodine Deficiency Disorders (Eds). Elsevier, Amsterdam/New York/Oxford. http://risk.Isd.ornl.gov/tox/profiles/cyanidefVI.shtml. pada tanggal 13 Pebruari 2005. Profiles Cyanide. Dikopi http://www.nap.edu/openbook/0309051266/html/11.html. Nutrient Requirement of The Laboratory Rats. The National Academy of Science. New York. USA. Dikopi pada tanggal 3 April 2005. http://risk.Isd.ornl.gov/tox/pengantar/Endokrinologi/verterbrata/fVI.shtml. Pengantar Endokrinologi Veterbrata. Kamis A. 1999. Dikopi pada tanggal 2 Juni 2006. Holt P dan Marks MB. 1977. The Epidermal Response to Change in Thyroid Status. J. Invest Dermatol 68:299-301. Ingbar SH and Braverman LE. 1986. The Thyroid. A Fundamental and Clinical Text. J.B. Lippincot Company. Philadelphia. Jalal F. 1998. Agenda Perumusan Program Gizi Repelita VII untuk mendukung Manusia yang Pengambangan Sumberdaya Berkualitas. Widayakarya Nasional Pangan dan Gizi (MKNPG) VI, Serpong. Jakarta. JECFA. 1993. Cyanogenic Glycoside. In : Toxicologycal Evaluation of Certain Food and Naturally Occurring Toxicants. Geneva, World Health Organization, 39th Meeting of the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (WHO Food Additives Series 30). Available at : http:wwww.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v30je18.htm. 82 Jackson LC, Bloch EF, Jackson RT, Chandler JP, Kim YL and Malveaux F. 1985. Influence of Dietary Cyanide on Immunoglobulin and Thyocianate Levels in the Serum of Liberian Adults. Journal of the National Medical Association, 77: 777-782. Jinkou Z, Peihua W, Qinlan Z, Hua W and Xiaoshu. 2002. Ecology of High Iodine Intake and Endemic Goitre in Three Counties of Jiangsu Province, China. Supported by : Jiangsu 135 Medical Researc Fund, The for Endemic Disease Control and Departement of Publich Health, Jiangsu Provincial Government, China. Kaplan. 1982. Prevalence of Abnormal Thyroid Function Test Results in Patient with Acute Medical Illnesses. Am J Med 72:9-16. Kreutler PA, Varbanov V, Goodman W and Stanbury JB. 1978. Am. J. Clin. Nutrition 31, 282-289. Lamaz L, Dorris ML, and Taurog. 1972. Evidence for a Catalytic Role for Thyroid Peroxidase in the Convertion of diiodotyrosine to Thyroxine. Endocrinology 90:1417. Lang K. 1933. Die Rhodanbildung im Tierkörper. Biochem Z., 259: 243-256. Lee S. 2001. Iodine Deficiency. Medical Journal. Volume 2. Number 9. Letarte J, Dassaulth JH and Guyda H. 1981. Clinical and Laboratory Investigation of Early Detected Hypothyroid Infants. In Collu R, Ducharme JR and Guyda H (eds): Pedia tric Endocrinology, p 433. New York, Raven Press. LIPI. 1998. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Pengetahuian Indonesia. Jakarta. Lembaga Ilmu Linder MC. 1992. Biokimia dan Nutrisi Metabolisme. Dengan Pemakaian secara Klinis, UI Press. Jakarta. Lombardi AF, Antonangeli L, Martino E, Vitti P, Maccherini D, Leoli F, Rago T, Grasso L, Valeriano R, Balestrieri A and Pinchera A. 1999. The Spectrum of Thyroid Disorders in an Iodine-Deficient Community : The Pescopagano Survey. Original Studies. The Jurnal of Clinical Endecrinology and Metabolism. Vol. 84, No. 2: 561-566. Lotfi M, Mannar VGM, Merx RJHM and PN van Heuvel. 1996. Micronutrient Fortification of Foods. Current Practices, Research and Opportunities. The Micronutrient Intiative and International Agriculture Center. Netherlands. 83 Malole MBM dan Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Montogomery RD. 1969. Toxic Constituents of Plant Foodstuffs. (I.E. Liener, ed) pp. 143-157. Academic Press, New York and London. Nagataki S and Ingbar SH. 1964. Relation Between Qualitative and Quantitative alterations in Thyroid Hormone Syntesis Induced by VaryingDoses of Iodide. Endocrinology 74:731. Nartey F. 1980. Toxicological Aspects of Cyanogenesis in Tropical Foodstuffs in Toxicology in the Tropics. Editors R.L. Smith and Bababummni.E.A, Taylor and Francis Ltd. London, 53-73. Oaks A and Johnson F.J. 1972. Phytochem. 11, 5465-3471. Oke OL. 1980. Toxicity of cyanogenic glycosides. Food Chemistry, 6: 97-109. Olson RE, Broquist CO, Chichester WJ, Darby AC, Colbye RM and Stalvey. 1984. Present Knowledge in Nutrition. Fifth Edition. The Nutrition Foundation Inc. Washington. Olusi SO, Oke OL and Odusote A. 1979. Effects of Cyanogenic Agent on Reproduction and Noenatal Development in Rats. Biology of the Neonate, 36:233-234. Pennington J and Schoen S. 1996. Composition of Core Foods of The U.S. Food Supply, III. Copper, Manganese, Selenium and Iodine. 1982-1991. J. Food Comp. Anal. 8, 171-217. Picauly I. 1999. Pola Konsumsi Pangan dan Kebiasaan Pengolahan Pangan serta Status Iodium Ibu Hamil di Daerah Endemik GAKI Kecamatan Salahutu, Propinsi Maluku. Tesis Magister Science pada Institut Pertanian Bogor. IPB. Philbrick DJ, Hopkins JB, Hill DC, Alexander JC and Thomson RG. 1979. Effect of Prolonged Cyanide and Thyocianate Feeding in Rats. Journal of Toxicology and Enviromental Health, 5:579-592. Querido A. 1979. Thyroid Physiology and Iodine Metabolisme in Relation to Goiter and Cretinism. Cermin Dunia Kedokteran. No. 14. Radiological Health Handbook. 1970. Rosling H. 1987. Cassava Toxity and Food Security. Ed. Rosling. Tryck Kontakt, Uppsala, Sweden, pp 3-40. 84 Saurberlich. 1998. Assessment of Nutritional Status. Second Edition. CRC Press. Boca Raton London New York, Washington DC. Sigit K. 1992. Pertumbuhan dan Perkembangan Otak Fetus Tikus (Rattus sp) dari Induk Hipotiroid. Disertasi Doktoral pada Institut Pertanian Bogor. Schultz V. 1984. Clinical Pharmacokinetics of Nitroprusside, Cyanide, Thiosulfate and Thiocyanate. Clinical Pharmacokinetics, 9:239-251. Soto-Blanco B, Marioka PC and Gorniak SL. 2002. Effect of Long-term lowdose Cyanide Administration to Rats. Ecotoxicology and Enviromental Safety, 53:37-41. Sousa AB, Soto-Blanco B, Guerra JL, Kimura ET ang Gorniak SL. 2002. Does Prolonged Oral Exposure to Cyanide Promote Hepatotoxity and Neprotixity ? Toxicology, 174 ;87-95. Steel RGD and Torrie JH. 1980. Principle and Procedures Statistic. Biometrical Approach. Mc. Grawl-Hill Kogakusha, Ltd. Tokyo. A Sterling K. 1979. Thyroid Hormone Action at The Cell Level. N Engl J Med 300: 117 Susanto A. 2000. Pengaruh Suplementasi Selenium, Metionin, dan Iodin terhadap Pertumbuhan dan Kecerdasan Anak Tikus dari Induk Kekurangan Iodin. Disertasi Doktoral pada Institut Pertanian Bogor. Thaha AR, Dachlan DM dan Jafar N. 1997. Analisis Faktor Resiko Coastal Goiter. Jurnal GAKI. Vol. 1, Nomor 1 hal 9-17. thn. 2002. Jakarta. Thilly CH, Swennen B, Bourdoux P, Ntambue K, Moreno-Reyes R, Gillies J and Vanderpas JB. 1993. The Epidemiology of Iodine-Deficiency Disorders in Relation to Goioterogenic Factors and ThyroidStimulating-Hormon Regulation. Am J Clin Nutr Suppl. 57:267-270. Tezic T. 1998. Iodine Deficiency Disorders and Their Prevention. Profesor of Pediatric; Director, Sami Ulus Children’s Hospital, Ankara, Turkey. U.S. Air Force. 1989. "Cyanide." In: The Installation Restoration Program Toxicology Guide, Vol. 4. Wright-Patterson Air Force Base, Ohio, pp. 56-1 to 56-38. U.S. EPA. 1984. Health Effects Assessment for Cyanides. Prepared by the Environmental Criteria and Assessment Office, Cincinnati, OH for the Emergency and Remedial Response Office, Washington, DC. EPA/540/1-86-011. 85 U.S. EPA. 1985. Drinking Water Criteria Document for Cyanide (Final Draft). Prepared by the Environmental Criteria and Assessment Office for the Office of Drinking Water, Cincinnati, OH. ECAO-CIN-442, PB86117793. Vand der Land and Van der Land. 1947. Endocrinology, 40, 403-416. Venesland B, Castric PA, Conn EE, Salomonson LP, Volini M and Westley I. 1982. Cyanide Metabolism. Fed. Poc ., 41(10) : 2639-2648. Williams SR. 1974. Nutrition and Diet Therapy. The CV Mosby Company. Sant Louis. WHO. 1965. Evaluation of the hazards to consumers resulting from the use of fumigants in the protection of food. Report of the second Joint Meeting of FAO Committee on Pesticides in Agriculture and the WHO Expert Committee on Pesticides Residues, FAO Meeting Report No Pl/1965/10/2: WHO Food series 28.65. WHO . 2001. Assessment of Iodine Deficiency Disorders and Monitoring their Elimination : A Guide for Programme Managers. Second Edition. Geneva. Wilson JD and Foster DW. 1992. Williams Texbook of Endocrinology. 8th edition. WB Saunders Company, Philadelphia. Wolff J dan Chaikoff IL. 1948. Plasma In Organic Iodide as a Homeostatic Regulator of Thyroid Function. Journal Biology Chemical. 174:555. Wood. T. 1965. Journal Science Fundamental Agriculture. 6, 300-305. Zimmermann MB, Ito Y, Hess SY, Fujieda K and Molinary L. 2005. High Tiroid Volume in Children with Excess Dietary Iodine Intakes. Original Research Communication. American Journal Nutrition. Vol. 81. No. 4, 840-844. Zimmermann MB, Connolly K, Bozo M, Bridson J, Rohner F and Grimci L. 2006. Iodine Supplementation Improves Cognition in Iodine-Deficient Schoolchildren in Albainia: A Randomized, Controlled, Double-Blind Study. Original Research Communication. American Journal Nutrition. Vol. 83. No. 1, 108-114. 86 87 88 89 90 Lampiran 1 Prosedur analisis kandungan iodin dalam urin (UIE) Urin dikocok hingga merata dalam tabung yang tertutup rapat. Setelah itu, sampel urin dipipet sebanyak 250 ìl ke dalam tabung uji ukuran 10 x 100 mm. Setiap iodin standar dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung uji yang ditambahkan H 2O. Ammonium persulfat di tambahkan sebanyak 1 mL ke setiap tabung uji. Setelah itu, semua tabung dipanaskan selama 60 menit pada suhu 9198o C. Tabung didinginkan sampai mencapai suhu ruang sebelum ditambahkan 3.5 mL larutan asam arsenat dan dihomogenisasi dengan vorteks selama 15 menit. Setelah itu, ditambahkan 400 µl larutan ceric ammonium sulfat ke setiap tabung uji dan dilakukan pencampuran lebih cepat sekitar 15 sampai 30 detik interval waktu antartabung uji dengan menggunakan stopwatch. Tepat setelah 30 menit, ditambahkan ceric ammonium sulfat pada tabung pertama, absorbans dibaca dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 420 nm. Masing-masing tabung dibaca dengan interval 30 waktu detik sehingga waktu penambahan larutan ceric ammonium sulfat sampai dibaca pada masing-masing tabung adalah 30 menit. Lampiran 2 Prosedur analisis kandungan iodin dalam feses Setelah proses pengabuan dan pelarutan, ke dalam 0.250 mL larutan sampel ditambahkan 500 g KClO3 kemudian dilarutkan dalam 910 mL H2 O dan dipanaskan selama ± 4 jam. Selanjutnya diaduk dan ditambahkan HClO3 mL sedikit demi sedikit (15 mL/menit). Larutan disimpan dalam freezer semalam, disaring dengan Buchner lalu disimpan dalam refrigerator. Larutan biang tersebut ditambahkan dengan 0.750 asam khlorida kemudian didinginkan. Sebelum ditambahkan 3.5 mL asam arsenic 0.2 N, terlebih dahulu ditambahkan 5 g As2O3 dan 25 g NaCl dan 200 mL H2 SO4 5 N dan 500 mL H2O kemudian dipanaska n sambil diaduk, didinginkan lalu diencerkan sampai 1 L Setelah itu dicampurkan dan didiamkan selama 15 menit. 87 Larutan cerium (IV) sulfat sebanyak 200 mL diencerkan dengan larutan H2 SO4 (1+35) sampai 600 L. Kemudian, ditambahkan 13.2 g NH4 SO4, 83 mL H2 SO4 pekat dan 1.8 g NaCl. Kemudian, diencerkan menjadi 1000 mL dengan H2O. Setelah itu, ditambahkan larutan cerium ammonium sulfat 0.5 mL kemudian dicampurkan dan didiamkan selama 30 menit. Tepat menit ke 30 preparat dibaca pada panjang gelombang 405 nm (Lampiran 5). Lampiran 3 Proses Pembuatan Kurva Standar 1.8850 g KIO3 ditimbang dan dilarutkan dengan H2 O sampai 100 mL untuk menghasilkan 10000 ìg/mL iodin. Setelah itu, larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 0.0, 0.05, 0.10, 0.15, 0.20, dan 0.25 mL. Kemudian ditambahkan H2O masing-masing sebanyak 0.25, 0.20, 0.15, 0.10, 0.05, dan 0.0 mL. Larutan asam khlorid sebanyak 0.75 mL ditambahkan sebelum ditambahkan larutan asam arsenat sebanyak 3.5 mL. Kemudian sebelum diaduk, larutan tersebut masih ditambahkan dengan larutan Cerium (IV) Asam Sulfat 0.5 mL. Selanjutnya diaduk dan didiamkan selama 30 menit dan dilakukan proses pembacaan pada λ 405 nm (Lampiran 6). 88 Lampiran 4 Prosedur analisis kandungan iodium dalam feses (Metode Spektrofotometer). 0.250 ml larutan sampel 0.750 asam khlorida dipanaskan 110o C dalam ruang asam 50 menit Didinginkan 3.5 ml asam arsenat 0.2 N 500 gr KCIO 3 dilarutkan dalam 910 ml H2O lalu dipanaskan ± 4 jam, diaduk dan ditambahkan HClO3 ml sedikit demi sedikit (15 ml/menit). Disimpan dalam freezer semalam, disaring dengan Buchner lalu disimpan dalam refrigerator 5 gr As2 O3 ditambahkan 25 gr NaCl ditambahkan 200 ml H2 SO4 5 N lalu ditambahkan 500 ml H2O kemudian dipanaskan sambil diaduk, didinginkan lalu diencerkan sampai 1 L dicampur dan didiamkan 15 menit larutan cerium ammonium sulfat 0.5 ml dicampurkan dan didiamkan selama 30 menit tepat menit ke 30 preparat dibaca pada interval 405 nm 200 ml larutan cerium (IV) sulfat (larutan ini dibuat dengan melarutkan 166.15 gr cerium (IV) sulfat ke dalam 1000 ml H 2O lalu didiamkan selama 48 jam kemudian disaring), diencerkan dengan larutan H2 SO4 (1+35) sampai 600 l kemudian ditambahkan 13.2 gr (NH4)2SO4, 83 ml H 2SO4 pekat dan 1.8 gr NaCl kemudian diencerkan menjadi 1000 ml dengan H2O 89 Lampiran 5 Prosedur Analisis Kandungan Iodin dalam Feses (Metode Spektrofotometer). Pembuatan Kurva Standar Ditimbang 1.8850 g KIO3 Dilarutkan dengan H 2O sampai 100 mL ∼ 10000 ìg/mL iodin dipipet 0.0 mL dipipet 0.05 mL dipipet 0.10 mL dipipet 0.15 mL dipipet 0.20 mL dipipet 0.25 mL + H2O 0.25 mL + H2O 0.20 mL + H2O 0.15 mL + H2O 0.10 mL + H2O 0.05 mL + H2O 0.0 mL + Asam khlorida 0.75 mL + Asam khlorida 0.75 mL + Asam khlorida 0.75 mL + Asam khlorida 0.75 mL + Asam khlorida 0.75 mL + Asam khlorida 0.75 mL + Asam Arsenik 3.5 mL + Asam Arsenik 3.5 mL + Asam Arsenik 3.5 mL + Asam Arsenik 3.5 mL + Asam Arsenik 3.5 mL + Asam Arsenik 3.5 mL + Cerium (IV) As am Sulfat 0.5 mL + Cerium (IV) As am Sulfat 0.5 mL + Cerium (IV) As am Sulfat 0.5 mL + Cerium (IV) As am Sulfat 0.5 mL + Cerium (IV) As am Sulfat 0.5 mL + Cerium (IV) As am Sulfat 0.5 mL Diaduk dan didiamkan selama 30 menit Dibaca pada Spektrofotometer λ 405 nm 90 Lampiran 6 Perubahan Dampak Fisiologi Tubuh Tikus Percobaan Indikator Pengamatan Bentuk Perubahan Kelompok KI Kelompok TKI Kel. KI-TF Kel.KI-F Kel. TKI-TF Kel. TKI-F 0 0.06 0.6 0 0.06 0.6 0 0.06 0.6 0 0.06 0.6 Minggu I A. Anggota Tubuh : • Mata • Bulu B. Kebiasaan Makan C. Penampakan Tubuh D. Tingkah laku Tikus 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2 3 2 2 2 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 1 3 3 3 4 4 4 2 2 2 1 1 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 2 2 2 3 2 3 2 3 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 3 2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 3 3 4 4 4 4 4 4 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 1 1 1 3 2 3 Minggu III A. Anggota Tubuh : • Mata • Bulu B. Kebiasaan Makan C. Penampakan Tubuh D. Tingkah laku Tikus Minggu V A. Anggota Tubuh : • Mata • Bulu B. Kebiasaan Makan C. Penampakan Tubuh D. Tingkah laku Tikus Keterangan : A. Mata : 1. Cerah dan berwarna merah bening ; 2. Suram dan berwarna merah kabur B. Kaki : 1. Tegak dan berotot ; 2. Tegak dan tidak berotot C. Bulu : 1. Utuh dan bersih ; 2. Utuh dan kotor ; 3. Rontok dan kotor D. Kebiasaan Makan : 1. Banyak ; 2. Sedang ; 3. Sedikit E. Tingkah Laku : 1. Normal ; 2. Agresif ; 3. Diam dan lesu F. Penampakan Tubuh : 1. Panjang dan ringan ; 2. Panjang dan berat ; 3. Pendek dan Ringan ; 4. Pendek dan berat 91 Lampiran 9 Tahap Penentuan Kelompok Uji Pengaruh antar Subjek Variabel Terikat : Kandungan Iodin dalam Urin (µg/L) Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) 2 1 1 1 1 4 3 0.987) Jumlah Kuadrat (JK) Model dikoreksi 649242.170 Intercept 10030522.4 Kelompok 645772.960 Minggu 3469.210 Galat 2872.960 Total 10682637.5 Total dikoreksi 652115.130 Cat : R-Sq = 0.996 (Adj R-Sq = Kuadrat Tengah (KT) 324621.085 10030522.41 645772.960 3469.210 2872.960 F-Hitung Pvalue 112.992 3491.335 224.776 1.208 0.066 0.011 0.042 0.470 Korelasi Pearson Variabel Terikat : Kandungan Iodin dalam Urin (µg/L) Urin Urin Korelasi Pearson 2 ekor N Kelompok Korelasi Pearson 2 ekor N Minggu Korelasi Pearson 2 ekor N Tingkat Signifikansi = 0.01** 1 . 4 .995** .005 4 -.073 .927 4 Kelompok Minggu .995** -.073 .005 .927 4 4 1 0.000 . 1.000 4 4 0.000 1 1.000 . 4 4 Uji Pengaruh antar Subjek Variabel Terikat : Bobot Badan (g) Derajat Bebas (DB) Model dikoreksi 2.690 2 Intercept 11881.000 1 Kelompok 1.000 1 Minggu 1.690 1 Galat .250 1 Total 11883.940 4 Total dikoreksi 2.940 3 Cat : R-Sq = 0.915 (Adj R-Sq = 0. 745) Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah F-Hitung P-value (KT) 1.345 5.380 .292 11881.000 47524.000 0.003 1.000 4.000 .295 1.690 6.760 .234 .250 92 Korelasi Pearson Variabel Terikat : Bobot Badan (g) Kelompok Kelompok Minggu Bobot Badan Korelasi Pearson 2 ekor N Korelasi Pearson 2 ekor N Korelasi Pearson 2 ekor N Minggu 1 . 4 .000 1.000 4 .583 .417 4 Bobot Badan .000 1.000 4 1 . 4 .758 .242 4 .583 .417 4 .758 .242 4 1 . 4 Tingkat Signifikansi = 0.01** Lampiran 10 Tahap Perlakuan Uji Pengaruh antar Subjek Variabel Terik at : Persentase Pengambilan Iodin oleh Kelenjar Tiroid (%) Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat (JK) Model dikoreksi 1063.551 Intercept 1442.734 Dosis 424.181 Kelompok 384.783 Minggu 7.854 Dosis* Minggu 10.494 Dosis* Kelompok 172.393 Kelompok*Minggu 63.886 Galat 112.086 Total 2618.370 Total dikoreksi 1175.636 Cat : R-Sq = 0.905 (Adj R-Sq = 0. 722) Derajat Bebas (DB) 23 1 2 3 2 4 6 6 12 36 35 Kuadrat Tengah (KT) 46.241 1442.734 212.090 128.248 3.927 2.624 28.732 10.648 9.340 F-Hitung P-value 4.951 154.461 22.707 13.730 .420 .281 3.076 1.140 0.003 0.000 0.000 0.000 .666 .885 .046 .397 93 Korelasi Pearson Variabel Terikat : Persentase Pengambilan Iodin oleh Kelenjar Tiroid (%) Iodtiroid Iodtiroid Korelasi 2 ekor N Kelompok Korelasi 2 ekor N Minggu Korelasi 2 ekor N Dosis Korelasi 2 ekor N Tingkat Signifikansi = Pearson 1 . 36 .248 .144 36 -.076 .659 36 -.598 .000 36 Pearson Pearson Pearson Minggu Kelompok Dosis .248 -.076 -.598 .144 .659 .000 36 36 36 1 .000 .000 . 1.000 1.000 36 36 36 .000 1 .000 1.000 . 1.000 36 36 36 .000 .000 1 1.000 1.000 . 36 36 36 0.01** Analisis Duncan Variabel : Dosis Tiosianat (KCN) Dosis 3.00 2.00 1.00 Sig. Tingkat Signifikansi Subset N 1 12 12 12 2 2.3583 5.9000 .078 10.7333 1.000 = 0.05 Variabel : Kelompok Perlakuan Kelompok 1.00 4.00 3.00 2.00 Sig. Tingkat Signifikansi N 1 1.2000 9 9 9 9 Subset 2 6.1111 7.9889 1.000 .217 3 7.9889 10.0222 .184 = 0.05 Variabel : Waktu Pengamatan Waktu Pengamatan 3.00 2.00 1.00 Sig. Tingkat Signifikansi N 12 12 12 = 0.05 Subset 1 5.9167 6.0917 6.9833 .432 94 Uji Pengaruh antar Subjek Variabel Terikat : Kandungan Iodin dalam Urin (µg/L) Derajat Bebas (DB) Model dikoreksi 10482856.9 23 Intercept 73156660.0 1 Dosis 1934.389 2 Kelompok 9976112.528 3 Minggu 248795.056 2 Dosis* Minggu 18038.778 4 Dosis* Kelompok 5709.389 6 Kelompok*Minggu 232266.722 6 Galat 32166.111 12 Total 83671683.0 36 Total dikoreksi 10515023.0 35 Cat : R-Sq = 0.997 (Adj R-Sq = 0.991) Jumlah Kuadrat (JK) Sumber Keragaman Kuadrat Tengah (KT) F-Hitung 455776.385 170.034 73156660.03 27292.075 967.194 .361 3325370.843 1240.574 124397.528 46.408 4509.694 1.682 951.565 .3556 38711.120 14.442 2680.509 Pvalue .000 .000 .704 .000 .000 .218 .894 .000 Korelasi Pearson Variabel Terikat : Kandungan Iodin dalam Urin (µg/L) Urin Urin Korelasi 2 ekor N Kelompok Korelasi 2 ekor N Minggu Korelasi 2 ekor N Dosis Korelasi 2 ekor N Tingkat Signifikansi = Pearson 1 . 36 .000 1.000 36 .000 1.000 36 .903** .000 36 Pearson Pearson Pearson Minggu Kelompok Dosis .000 .000 .903** 1.000 1.000 .000 36 36 36 1 .000 .149 . 1.000 .387 36 36 36 .000 1 .000 1.000 . .998 36 36 36 .149 .000 1 .387 .998 . 36 36 36 0.01** Analisis Duncan Variabel : Dosis Tiosianat (KCN) Dosis 2.00 3.00 1.00 Sig. Tingkat Signifikansi N 12 12 12 = 0.05 Subset 1 1415.1667 1430.4167 1431.0000 .490 95 Variabel : Kelompok Perlakuan Kelompok 1.00 2.00 4.00 3.00 Sig. Tingkat Signifikansi N 9 9 9 9 1 797.6667 Subset 2 3 1011.5556 1.000 1.000 1937.3333 1955.5556 .470 = 0.05 Variabel : Minggu Pengamatan Minggu 1.00 2.00 3.00 Sig. Tingkat Signifikansi N 12 12 12 1 1312.0000 Subset 2 3 1455.8333 1.000 1.000 1508.7500 1.000 = 0.05 Uji Pengaruh antar Subjek Variabel Terikat : Konsentrasi T3 dalam Darah (ng/dL) Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat (JK) Model dikoreksi 50122.444 Intercept 416885.444 Dosis 918.389 Kelompok 32386.111 Minggu 953.722 Dosis* Minggu 3111.444 Dosis* Kelompok 7778.722 Kelompok*Minggu 4974.058 Galat 9722.111 Total 476730.000 Total dikoreksi 59844.556 Cat : R-Sq = 0.883 (Adj R-Sq = 0.526) Derajat Bebas (DB) 23 1 2 3 2 4 6 6 12 36 35 Kuadrat Tengah F-Hitung (KT) 2179.237 2.690 416885.444 514.562 459.194 .567 10795.370 13.325 476.861 .589 777.861 .960 1296.454 1.600 829.009 1.023 810.176 Pvalue .039 .000 .582 .000 .570 .464 .230 .456 96 Korelasi Pearson Variabel Terikat : Konsentrasi T3 dalam Darah (ng/dL) T3 T3 Korelasi 2 ekor N Kelompok Korelasi 2 ekor N Minggu Korelasi 2 ekor N Dosis Korelasi 2 ekor N Tingkat Signifikansi = Pearson 1 . 36 .317 .059 36 -.019 .912 36 -.101 .558 36 Pearson Pearson Pearson Kelompok Minggu Dosis .317 -.019 -.101 .059 .912 .558 36 36 36 1 .000 .000 . 1.000 1.000 36 36 36 .000 1 .000 1.000 . 1.000 36 36 36 .000 .000 1 1.000 1.000 . 36 36 36 0.01** Analisis Duncan Variabel : Dosis Tiosianat (KCN) Dosis 3.00 1.00 2.00 Sig. Tingkat Signifikansi Subset 1 N 12 12 12 100.5000 110.5833 111.7500 .375 = 0.05 Variabel : Kelompok Perlakuan Kelompok 1.00 4.00 3.00 2.00 Sig. Tingkat Signifikansi N 1 61.0000 9 9 9 9 Subset 2 101.8889 130.3333 1.000 .056 3 130.3333 137.2222 .617 = 0.05 Variabel : Minggu Pengamatan Minggu 2.00 3.00 1.00 Sig. Tingkat Signifikansi N 12 12 12 = 0.05 Subset 1 100.4167 110.2500 112.1667 .355 97 Uji Pengaruh antar Subjek Variabel Terikat : Konsentrasi T4 dalam Darah (ìg/dL) Jumlah Kuadrat (JK) Sumber Keragaman Model dikoreksi 74.417 Intercept 1034.694 Dosis 2.722 Kelompok 36.972 Minggu 2.722 Dosis* Minggu 4.111 Dosis* Kelompok 18.611 Kelompok*Minggu 9.278 Galat 11.889 Total 1121.000 Total dikoreksi 86.306 Cat : R-Sq = 0.862 (Adj R-Sq = 0.598) Derajat Bebas (DB) 23 1 2 3 2 4 6 6 12 36 35 Kuadrat Tengah (KT) 3.236 1034.694 1.361 12.324 1361 1.028 3.102 1.546 .991 F-Hitung Pvalue 3.266 1044.364 1.374 12.439 1.374 1.037 3.131 1.561 .019 .000 .290 .001 .290 .428 .044 .241 Korelasi Pearson Variabel Terikat : Konsentrasi T4 dalam Darah (ìg/dL) T4 T4 Korelasi 2 ekor N Kelompok Korelasi 2 ekor N Minggu Korelasi 2 ekor N Dosis Korelasi 2 ekor N Tingkat Signifikansi = Pearson 1 . 36 .345* .039 36 -.066 .702 36 -.176 .305 36 Pearson Pearson Pearson Kelompok Minggu Dosis .345* -.066 -.176 .039 .702 .305 36 36 36 1 .000 .000 . 1.000 1.000 36 36 36 .000 1 .000 1.000 . 1.000 36 36 36 .000 .000 1 1.000 1.000 . 36 36 36 0.05* Analisis Duncan Variabel : Dosis Tiosianat (KCN) Dosis 3.00 2.00 1.00 Sig. Tingkat Signifikansi N 12 12 12 = 0.05 Subset 1 5.0000 5.4167 5.6667 .144 98 Variabel : Kelompok Perlakuan Kelompok 1.00 4.00 2.00 3.00 Sig. Tingkat Signifikansi N 1 3.7778 9 9 9 9 Subset 2 3 5.2222 6.0000 1.000 .123 6.0000 6.4444 .362 = 0.05 Variabel : Minggu Pengamatan Minggu 2.00 12 3.00 12 1.00 12 Sig. Tingkat Signifikansi = 0.05 N Subset 1 5.0000 5.4167 5.6667 .144 Korelasi Pearson Variabel Terikat : Hubungan antara Dosis KCN dengan Perubahan Dinamika Iodium dalam Tubuh Tikus Dosis Iodtiroid Urin T3 T4 Dosis Korelasi 1 -.598** .000 -.101 -.176 Pearson . .000 .998 .558 .305 2 ekor 36 36 36 36 36 Iodtiroid N -.598** 1 .162 .535** .607** Korelasi .000 . .346 .001 .000 Pearson 36 36 36 36 36 Urin 2 ekor .000 .162 1 .287 .331* N .998 .346 . .090 .049 Korelasi 36 36 36 36 36 T3 Pearson -.101 .535** .287 1 .837** 2 ekor .558 .001 .090 . .000 N 36 36 36 36 36 T4 Korelasi -.176 .607** .331* .837** 1 Pearson .305 .000 .049 .000 . 2 ekor 36 36 36 36 36 N Pearson Korelasi 2 ekor N Tingkat Sigifikansi = 0.01** Tingkat Signifikansi = 0.05* 99