Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam

advertisement
PERANAN TIOSIANAT DALAM DINAMIKA IODIN
DALAM TUBUH TIKUS KEKURANGAN IODIN
INTJE PICAULY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peranan Tiosianat dalam
Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus yang Kekurangan Iodin adalah karya saya
sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, 26 Juli 2006
Intje Picauly
NIM. A561020071
ABSTRAK
INTJE PICAULY. Peranan Tiosianat Terhadap Dinamika Iodin dalam Tubuh
Tikus yang Kekurangan Iodin. Dibimbing oleh Hidayat Syarief, Rimbawan,
AR. Thaha, dan Wasmen Manalu.
Gangguan akibat kekurangan iodin (GAKI) merupakan masalah kesehatan
yang belum tertanggulangi dengan baik. Semakin tinggi tingkat kekurangan iodin
maka makin banyak komplikasi GAKI. Penelitian ini bertujuan untuk (1).
Mengetahui peranan tiosianat dalam dinamika iodin dalam tubuh tikus, (2).
Mengetahui pengaruh dosis KCN yang diberikan pada tikus terhadap kecepatan
terjadinya perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus , (3). Mengetahui peranan
fortifikan KIO3 dalam dinamika iodin dalam tubuh tikus , (4). Mengetahui
hubungan antara dosis KCN dalam ransum dan perubahan dinamika iodin dalam
tubuh tikus, dan (5). Mengidentifikasi dampak fisiologis kekurangan iodin akibat
peranan tiosianat (KCN) pada tubuh tikus.
Desain penelitian adalah Pure Experimental study dengan rancangan
randomized block design dan menggunakan tikus putih strain Wistar sebanyak 72
ekor dengan umur 21 hari. Penelitian dilaksanakan dalam empat (4) tahap
percobaan yaitu 1. Tahap Pra-Penelitian untuk menentukan nilai kandungan iodin
dalam urin tikus. 2. Tahap pengelompokan tikus menjadi dua (2) yaitu KI (Kurang
iodin) dan TKI (Tidak Kurang Iodin). 3. Tahap perlakuan dimana tikus dibagi
menjadi empat (4) kelompok perlakuan yaitu KI -TF (Kurang Iodin yang tidak
difortifikasi KIO3), KI-F (Kurang Iodin yang difortifikasi KIO3), TKI-TF (Tidak
Kurang Iodin yang difortifikasi KIO 3), dan TKI-F (Tidak Kurang Iodin yang
difortifikasi KIO3 ) dan 4. Tahap pembedahan, analisis hormon tiroid dan
radionuklida.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa pemberian tiosianat, persentase
pengambilan 131I oleh kelenjar tiroid lebih rendah pada kelompok tikus KI -TF
(1.5%) dan TKI-F (8.6%) dibanding kelompok KI-F (19.1%) dan TKI-TF
(12.8%). Pengambilan 131 I pada kelompok KI-TF dan TKI-F lebih banyak di
ginjal, jantung dan kelenjar saliva. Untuk pemberian tiosianat dosis 0.06
mgKCN, penurunan persentase pengambilan 131I oleh kelenjar tiroid terjadi pada
semua kelompok tikus perlakuan yaitu 1.2% (KI-TF), 4.0% (TKI -F), 5.1% (KI-F),
dan 8.6% (TKI-TF). Persentase pengambilan 131 I secara umum terjadi di kulit,
ginjal, hati, jantung dan kelenjar saliva. Sedangkan pemberian tiosianat dosis 0.6
mgKCN menyebabkan persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid jauh lebih
kecil dibanding pemberian dosis 0 atau 0.06 mgKCN. Hal ini terjadi pada semua
kelompok yaitu 0.7% (KI-TF), 2.5% (TKI-F), 2.7% (KI-F), dan 2.6% (TKI-TF).
Pengambilan 131I lebih banyak di kulit, hati, ginjal, jantung, dan kelenjar saliva.
Nilai UIE, konsentrasi T3 danT4 serta persentase pengambilan 131 I oleh
kelenjar tiroid menunjukkan bahwa pemberian fortifikasi belum efektif bagi
kelompok tikus KI-F dan TKI-F. Ada hubungan (p<0.01) antara pemberian dosis
tiosianat (KCN) dengan persentase pengambilan 131 I oleh kelenjar tiroid.
Kelompok tikus KI-TF dan TKI-F sampai minggu terakhir pengamatan
mempunyai perubahan fisiologis tubuh yang relatif sama.
Kata Kunci : Tiosianat, Dinamika Iodin, Kurang Iodin
ABSTRACT
Intje Picauly. The Role of Thyocianate Towards Iodine Dynamic in Ra t’s Body
Which is Lack of Iodine. Under the direction of Hidayat Syarief, Rimbawan,
AR. Thaha, and Wasmen Manalu.
Iodine Deficiency Disorders (IDD) is a health problem that is not well
overcome yet. The higher the level of IDD the more complex the IDD is. This
research aims : 1) to study the role of thyociante in iodine dynamic in rat’s body,
2) to study the effect of potassium cyanide (KCN) dosages towards the velocity
change of iodine dynamic in rat’s body, 3) to study the role of potassium iodate
(KIO3) in iodine dynamic in rat’s body, 4) to study the relationship between KCN
dosages in rat’s feed with the change of iodine dynamic in rat’s body, and 5) to
identify the physiological impact of iodine deficiency as a result of thyocianate in
rat’s body.
The study was categorized as “pure experimental study”, using animal as
treatment objects in laboratory. Randomise block design with two factors those
were KCN dosage and periods of observation used in the study. Were 72 (seventy
two) white female Wistar rats, 21 (twenty one) days old (after weaning) used in
the study were conducted. Four stages of the study. First stage was pre-research to
determine iodine concentration in rat’s urine. Second stage was rat’s grouping.
Rats were grouped into two groups namely, rats that is lack of iodine (KIO3) and
rats that is not lack of iodine (TKI). Third stage was rat’s sub grouped. Rats were
grouped into subgroup, those were rat’s subgroup that was lack of iodine without
potassium iodate fortification (KI-TF), rat’s subgroup that was lack of iodine with
potassium iodate fortification (KI-F), rat’s subgroup that was not lack of iodine
without potassium iodate fortification (TKI-TF), and rat’s subgroup that was not
lack of iodine with potassium iodate fortification (TKI-F). Fourth stage was
conducting surgery, hormonal thyroid and radio nuclide analyses
The result of the study showed that without giving thyocianate, the
percentage of 131 I uptake by thyroid gland for KI-TF (1.5%) and TKI-F (8.6%)
were lower compared with KI -F (19.1%) and TKI-TF (12.8%). The uptake of 131I
for KI-TF and TKI-F is higher at kidney, liver and saliva gland. Using thyocianate
0.06 mgKCN, decreasing of 131 I uptake by thyroid gland were found at all rat’s
subgroup namely, KI -TF (1.2%), TKI-F (4,0%), KI-F (5.1%) and TKI-TF (8.6%).
Generally, the uptake of 131 I were found at skin, kidney, heart, liver and saliva
gland. While, using 0.6 mgKCN, the percentage uptake of 131 I by thyroid gland
was lower compared with 0 mgKCN and 0.06mgKCN. These were found at all
subgroups namely KI-TF (0.7%), TKI -F (2.5%), KI-F (2.7%) and TKI -TF (2.6%).
The uptake of 131 I were higher at skin, liver, kidney, heart, and saliva gland.
The value of Urinary Iodine Excretion (UIE), T3 and T4 concentrations and
131
also I uptake by thyroid gland showed that KIO3 fortification was not effective
yet for KI-F and TKI-F subgroups. There was significant relationship (p<0.01)
between doses of KCN with the percentage of 131 I uptake by thyroid gland. From
the beginning up to the last week of observation, KI-TF and TKI-F subgroups had
the relatively similar physiological changes.
Key words : Thyocianate, Iodine Dynamic, Lack Iodine
 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebaga inya
PERANAN TIOSIANAT DALAM DINAMIKA IODIN
DALAM TUBUH TIKUS KEKURANGAN IODIN
INTJE PICAULY
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul Disertasi
: Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin
dalam Tubuh Tikus yang Kekurangan Iodin
Nama
: Intje Picauly
NIM
: A561020071
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS
Ketua
Dr. Rimbawan
Anggota
Prof. Dr. dr. AR. Thaha, M.Sc
Anggota
Prof. Dr. Wasmen Manalu
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 14 Juli 2006
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karuniaNya sehingga penulisan disertasi ini telah dapat diselesaikan dengan
baik. Penulisan disertasi yang berjudul : Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin
dalam Tubuh Tikus yang Kekurangan Iodin, telah dilaksanakan sejak bulan April
sampai Oktober 2006 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
doctor di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Program
Pascasarjana IPB.
Pada kesempatan ini, ijinkanlah penulis menghaturkan terimakasih yang
mendalam disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr.
Ir. Hidayat Syarief, MS selaku ketua komisi pembimbing, atas segala saran-saran
dan bimbingannya selama pendidikan sampai penyelesaian studi ini. Demikian
pula kepada anggota komisi pembimbing, yaitu Bapak Dr. Rimbawan, Bapak
Prof. Dr. dr. AR. Thaha, M.Sc, dan Bapak Prof. Dr. Wasmen Manalu, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus atas semua saran-saran dan
bimbingannya, baik selama penelitian dilaboratorium maupun selama penulisan
disertasi ini.
Disampaikan pula rasa terima kasih kepada Rektor Universitas Pattimura,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Ketua Jurusan Teknologi Hasil
Perikanan (THP) Faperikan UNPATTI yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB, serta kepada rekan-rekan
sejawat atas bantuan serta dukungannya.
Kepada Rektor dan Pembantu Rektor IPB, Direktur dan Asisten Direktur
Program Pascasarjana IPB, Dekan dan Pembantu Dekan Faperta dan FEMA IPB,
Ketua Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Program
Pascasarjana IPB, Pimpinan Departemen Gizi Masyarakat, seluruh staf pengajar
dan pegawai di lingkungan De partemen Gizi Masyarakat FEMA IPB, Seluruh staf
Laboratorium Metabolik dan Biokimia GMSK, juga kepada staf laboratorium
Fisiologi dan Radioisotop FKH IPB, dan semua pihak yang tak dapat disebutkan
namanya satu persatu penulis juga menyampaikan ucapan rasa terimakasih atas
kesempatan dan segala bantuan baik yang telah diberikan sehingga penelitian dan
studi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Terima kasih kepada Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Dikti atas
dukungan pembiayaan selama studi dan juga kepada Bapak Gubernur Propinsi
Maluku melalui Kepala Biro Kesra Pemerintah Daerah Maluku, Pimpinan
Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM), dan Pimpinan Yayasan Satyabhakti
Widya atas bantuannya membiayai sebagian dari penelitian ini.
Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada keluarga tercinta,
papa dan mama serta ketiga adik (Sulastry, Adeltje dan Jujun Picauly), tak
terlupakan juga Keluarga Om Rony dan tante Ade Hursepuny beserta ketiga adik
(Yulen, Eric dan Endro Hursepuny) yang terkasih di Tobelo Maluku Utara atas
semua kasih sayang, pengertian dan perhatian teristimewa dukungan doanya yang
begitu berarti dalam perjalanan studi penulis selama studi program S2 sampai S3
sampai terselesaikan dengan segala baik.
Terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada suami dan anak
kami tercinta (Blessty Serenity Pellokila), yang dengan penuh perhatian dan
kesabaran serta banyak sumbangsi akademika yang sangat membantu penulis
dalam melancarkan penelitian dan penulisan disertasi ini, serta anak kami “Tyty”
yang secara sadar kehadirannya memberikan semangat juang yang tinggi serta
inspirasi yang cukup unik sampai penulisan disertasi ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Penulis menyadari sungguh bahwa penulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan, sehingga segala masukan berupa kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis hargai. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi
pembangunan nusa dan bangsa Indonesia serta ikut memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan. Amin
Bogor, 26 Juli 2006
Intje Picauly
NIM. A561020071
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1972 di Ambon, Propinsi Maluku,
merupakan anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Samuel Picauly
dan Elsyeba Picauly-Hursepuny.
Penulis menyelesaikan pendid ikan sekolah dasar di SD Kristen Rehoboth
2 Ambon pada tahun 1985, sekolah menengah pertama di SMP Negeri 3 Ambon
pada tahun 1988, dan sekolah menengah atas di SMA Pertiwi Ambon pada tahun
1991. Pendidikan sarjana ditempuh di program studi Teknologi Hasil Perikanan,
Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1995. Pada
tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga (GMSK) pada Program Studi Pascasarjana IPB dan menamatkannya
pada tahun 1999.
Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada
program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2002.
Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Perguruan
Tinggi (Dikti) Jakarta.
Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar (Dosen) pada Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Jurusan dan Program Studi Teknologi Hasil Perikanan (THP)
Universitas Pattimura Ambon sejak tahun 1999 sampai sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... iii
PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
Latar Belakang ........................................................................................ 1
Perumusan Masalah................................................................................. 2
Tujuan Penelitian..................................................................................... 4
Hipotesis .................................................................................................. 5
Manfaat Penelitian................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................... 7
Sifat dan Keberadaan Iodin ..................................................................... 7
Peranan Iodin dalam Tubuh .................................................................... 8
Sintesis Hormon Tiroid dan Peranannya dalam Tubuh .......................... 9
Stimulasi Hormon Tiroid pada Sintesis Protein...................................... 11
Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh................................................. 13
Sumber Iodin ........................................................................................... 14
Kebutuhan dan Kecukupan Iodin ............................................................ 16
Penilaian Status Iodin.............................................................................. 17
Dampak Kekurangan Iodin ..................................................................... 20
Pentingnya Radionuklida dalam Mempelajari Struktur
dan Fungsi Tiroid .................................................................................... 21
Goiterogen............................................................................................... 23
Sianida..................................................................................................... 25
Metabolisme Sianida dan Tiosianat ........................................................ 27
Tiosianat dan Stabilitas Iodin dalam Tubuh............................................ 29
KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL.................. 34
Kerangka Pemikiran................................................................................ 34
Definisi Operasional................................................................................ 36
BAHAN DAN METODE ................................................................................. 37
Disain Penelitian ..................................................................................... 37
Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................... 37
Bahan Penelitian...................................................................................... 37
Metode Pe nelitian.................................................................................... 40
Rancangan Penelitian.............................................................................. 47
Jenis dan Analisis Data ........................................................................... 48
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 49
Status Iodin Hewan Percobaan................................................................ 49
A. Tahap Pra-Penelitian .......................................................................... 50
B. Tahap Penentuan Kelompok Perlakuan.............................................. 51
Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus............... 53
Pengaruh Tiosianat dalam Kejadian Kekurangan Iodin.......................... 58
Peranan Kalium Iodida (KIO3) dalam Dinamika Iodin
dalam Tubuh Tikus.................................................................................. 64
Hubungan antara Dosis KCN dan Perubahan Dinamika Iodin dalam
Tubuh Tikus ............................................................................................ 66
Dampak Fisiologis Kurang Iodin pada Tubuh Tikus.............................. 69
KESIMPULAN.................................................................................................. 75
Kesimpulan.............................................................................................. 75
Saran........................................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 77
LAMPIRAN ....................................................................................................... 86
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Gambaran Prevalensi GAKI Tingkat Nasional Periode 1982-2003 ............ 2
2. Kandungan Iodin Rerata pada Berbagai Jenis Pangan.................................. 15
3. Angka Kecukupan Gizi untuk Indonesia dan RDA...................................... 16
4. Konsentrasi Hormon Tiroid dalam Serum Manusia yang Diukur dengan
Metode Radioimmunoassay (RIA)................................................................ 19
5. Kriteria Epidemiologi untuk Menilai Status Iodin Berdasarkan
Konsentrasi Iodin pada Anak Sekolah Dasar ................................................ 20
6. Penggunaan Isotop Iodin secara Biomedis.................................................... 22
7. Dosis Tetap Radiasi dan Jumlah (%) yang Dijumpai secara Umum
dalam Organ Tubuh....................................................................................... 22
8. Daftar Bahan Pangan Goiterogen.................................................................. 24
9. Sianogenik Glikosida yang Terdapat pada Bagian yang dapat
Dimakan dalam Tumbuhan.......................................................................... 25
10. Konsentrasi Sianida dalam Bahan Pangan.................................................... 26
11. Bentuk Fisik dan Kimia Sianida.................................................................... 27
12. Tingkat Penggunaan Dosis dalam Diet dan Jumlah Konsumsi Zat Goiterogen
yang Bersifat Racun pada Beberapa Hasil Riset ........................................... 32
13. Komposisi 12 Jenis Ransum Tikus Percobaan.............................................. 39
14. Kandungan Iodin dalam Urin Tikus (µg/L) Tahap Pra Penelitian................ 50
15. Persentase pengambilan
131
I (%) oleh Kelenjar Tiroid Kelompok
Tikus Perlakuan............................................................................................. 54
16. Kandungan UIE pada Kelompok Tikus Percobaan selama
Lima Minggu Pengamatan ............................................................................ 58
17. Konsentrasi T3 (ng/dL) dan T4 (µg/dL) Kelompok Tikus Percobaan
selama Lima Minggu Pengamatan................................................................ 61
18. Peranan Kalium Iodat (KIO3) Terhadap Status Iodin Tikus Percobaan........ 64
19. Indikator Neonatal Hypothyorid Indeks (NHI) pada Anak-anak.................. 69
20. Perubahan Dampak Fisiologis Tubuh Tikus Percobaan.............................. 70
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Proses Sintesis dan Pelepasan Hormon Tiroid .............................................. 10
2. Kerja Hormon Tiroid pada Sel Target ........................................................... 11
3. Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh....................................................... 14
4. Metabolisme Sianida ..................................................................................... 29
5. Jenis Inhibitor yang Berperan Aktif pada Tahap Pembebasan dan
Biosisntesis Hormon Tiroid .......................................................................... 30
6. Kerangka Pemikiran Munculnya Masalah GAKI ........................................ 35
7. Kandang Tikus Percobaan............................................................................. 39
8. Penentuan Kandungan Iodin dalam Urin Tikus ........................................... 41
9. Penentuan Kelompok Tikus ......................................................................... 43
10. Tahap Perlakuan........................................................................................... 44
11. Pengambilan Darah, Penyuntikan Isotop, Pembedahan,
Analisis Hormon Tiroid dan Radionuklida ................................................... 46
12. Beberapa Kesamaan Organ Tubuh antara Manusia dan Tikus ..................... 49
13. Kandungan Iodin dalam Urin Masa Penentuan
Kelompok Tikus Kurang Iodin (KI) dan Tidak Kurang Iodin (TKI)............ 52
14. Bobot Badan (g) selama Masa Penentuan Kelompok Tikus Percobaan....... 53
15. Persentase Pengambilan I131 dalam Kelenjar Tiroid Tikus Percobaan......... 56
16. Rerata Pool Iodin selain Kelenjar Tiroid dalam Tubuh Tikus Percobaan..... 57
17. Kandungan Iodin dalam Urin Tikus Percobaan............................................ 60
18. Konsentrasi T3 Tikus Percobaan................................................................... 62
19. Konsentrasi T4 Tikus Percobaan.................................................................... 62
20. Konsentrasi Iodin dalam Feses Tikus Percobaan.......................................... 63
21. Kelompok Tikus TKI-TF .............................................................................. 71
22. Kelompok Tikus TKI-F................................................................................. 71
23. Kelompok Tikus KI-TF................................................................................. 71
24. Kelompok Tikus KI-F ................................................................................... 71
25. Bobot Badan (g) Tikus Percobaan............................................................... 73
26. Panjang Badan (cm) Tikus Percobaan.......................................................... 74
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Prosedur Analisis Kandungan Iodin dalam Urin (UIE)................................ 87
2. Prosedur Analisis Kandungan Iodin dalam Feses......................................... 87
3. Pembuatan Kurva Standar ............................................................................. 88
4. Prosedur Analisis Kandungan Iodin dalam Feses
(Metode Spektrofotometer) ........................................................................... 89
5. Proses Pembuatan Kurva Standar ................................................................. 90
6. Perubahan Dampak Fisiologi Tubuh Tikus Percobaan................................ 91
7. Hasil Analisis Distribusi
131
I dalam Organ Tubuh Tikus
per Minggu Pengamatan............................................................................... 92
8. Hasil Analisis Kandungan Iodin dalam Urin; Feses;
Konsentrasi T3 dan T4 dalam Tubuh Tikus per Minggu Pengamatan
Perubahan Dampak Fisiologi Tubuh Tikus Percobaan................................ 93
9. Hasil Uji Analisis Statistik ............................................................................ 94
PENDAHULAUAN
Latar Belakang
Tubuh membutuhkan iodin untuk pembentukan hormon tiroid yaitu
tiroksin (T4) dan triiodotironin (T 3). Kedua hormon ini sangat berperan dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia maupun hewan. Dalam
proses tumbuh da n kembang, hormon tiroid berfungsi sebagai katalisator reaksireaksi oksidatif dan pengaturan kecepatan metabolisme di dalam tubuh dan
sasarannya untuk sintesis protein.
Kekurangan iodin dapat menimbulkan
permasalahan kesehatan yang cukup serius seperti penurunan IQ (intelektual),
bisu tuli, gangguan pertumbuhan fisik yang paling parah (kerdil atau cebol),
peningkatan
kematian
bayi
dan
neonatal,
hipotiroidisme,
berkurangnya
kemampuan reproduksi, dan gondok. Semakin tinggi tingkat kekurangan iodin
maka makin banyak komplikasi atau gangguan yang ditimbulkan akibat
kekurangan iodin (GAKI).
Gangguan akibat kekurangan iodin (GAKI) sampai saat ini masih
merupakan masalah gizi utama yang dijumpai pada berbagai wilayah di dunia ,
termasuk Indonesia.
Dalam kurun wa ktu lebih dari 20 tahun, pemerintah
Indonesia telah melakukan program intervensi seperti suplementasi dan fortifikasi
guna menanggulangi masalah yang dimaksud.
Berdasarkan hasil monitoring
melalui survei nasional gondok sejak tahun 1982 sampai tahun 2003 diperoleh
informasi penurunan prevale nsi GAKI yang sangat signifikan,
walaupun
kenyataannya angka ini kembali meningkat dari 9.8% pada tahun 1998 menjadi
11.1% (Tabel 1).
Berdasarkan daerah pemukiman ditemukan bahwa lebih dari 50% daerah
pegunungan sepe rti daerah Sumatera, Kalimantan, Jawa , dan Papua cenderung
mengalami penurunan prevalensi yang sangat signifikan sampai pada tahun 2003
(DepKes dan Bappenas RI. 2003).
Sejak tahun 1990 masalah kekurangan iodin lebih banyak ditemukan di
daerah pesisir pantai seperti NTT, Maluku, dan Jawa Timur.
Hal ini berarti
bahwa daerah pegunungan telah berhasil menurunkan angka prevalensi GAKI
dibanding daerah pesisir pantai.
2
Gambaran penurunan prevalensi ini sejalan dengan penurunan total goiter
rate (TGR) secara nasional, tetapi bertolak belakang dengan gambaran prevalensi
TGR di Provinsi Maluku yang justru meningkat dari 11.3% (1982) menjadi 28.2%
(1990) dan 33.3% (1998) kemudian pada tahun 2003 turun menjadi
31.6%
(DepKes RI, 2003).
Tabel 1 Gambaran Prevalensi GAKI Tingkat Nasional Periode 1982-2003
No
Tahun Evaluasi
Prevalensi (%)
1
1980
37.7
2
1982
37.2
3
1990
27.7
4
1998
9.8
5
2003
11.1
Sumber : Departemen Kesehatan RI dan Bappenas RI (2003).
Secara teoretis, tingkat prevalensi yang cukup tinggi tersebut seharusnya
tidak perlu terjadi mengingat daerah Maluku sangat kaya dengan hasil laut
sebagai sumber iodin alamiah, dan konsumsi iodin pada masyarakat tersebut
diperkirakan dapat mencukupi atau sesuai dengan kebutuhan yang dianjurkan.
Kenyataan tersebut berimplikasi pada suatu pertanyaan mengapa daerah Maluku
mempunyai prevalensi GAKI yang cenderung meningkat setiap tahun.
Zat goiterogenik merupakan salah satu kelompok zat makanan yang
bersifat antitiroid. Dachlan dkk. (1997) menemukan bahwa penduduk di Pulau
Seram (Provinsi Maluku) cukup banyak mengkonsumsi bahan pangan yang
merupakan sumber goiterogenik kelompok tiourea. Sedangkan Picauly (1999)
juga menemukan bahwa di Pulau Nusalaut (Provinsi Maluku) penduduknya cukup
sering dan banyak mengkonsumsi bahan pangan sumber goiterogenik kelompok
tiosianat seperti daun + umbi singkong, rebung, terung, dan daun pepaya.
Berdasarkan ur aian di atas, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan
secara langsung peranan tiosianat dalam mengganggu fungsi iodin dalam tubuh
melalui binatang percobaan tikus putih.
Perumusan Masalah
Hetzel dan Dunn (1989) mengatakan bahwa kekurangan iodin merupakan
penyebab utama munculnya masalah GAKI selain faktor lingkungan yang sangat
berpengaruh pada
proses menetap dan berkembangnya kasus-kasus baru di
3
daerah endemik (Standburry dan Hetzel, 1980).
Faktor lingkungan yang
terpenting adalah agen-agen yang menimbulkan gondok atau goiterogenik.
Temuan dari beberapa hasil observasi epidemiologi di daerah endemik
GAKI Provinsi Maluku menyebutkan bahwa pola konsumsi masyarakat ternyata
sangat bervariasi pada jenis dan jumlah pangan baik sumber tiosianat maupun
sumber iodin.
Di samping itu, kebiasaan dan perilaku masyarakat dalam
mengolah bahan pangan yang juga diketahui dapat mempengaruhi jumlah
kandungan zat iodin dan tiosianat dalam bahan pangan. Faktor -faktor inilah yang
kemudian dapat mempengaruhi jumlah masukan iodin atau tiosianat ke dalam
tubuh.
Thaha dkk. (1997) dalam penelitian epidemiologi di Provinsi Maluku
menemukan beberapa kasus menarik untuk dikaji.
Sebagian besar responden
(83.4%) di Pulau Seram Utara (daerah non-endemik GAKI) mempunyai urinary
iodine excretion (UIE) relatif rendah (< 99.9 ì g/l) yaitu 90 ì g/l dan urinary
thyocyanate excretion (UTE) sebesar 27.8 ìg/l.
Pada daerah endemik GAKI
(Pulau Seram Barat) ditemukan nilai UIE sangat rendah (< 50 ì g/l ), yaitu 49.2
ì g/l dengan nilai UTE sebesar 23.2 ìg/l.
Kasus di Pulau Seram Barat sama seperti yang dialami oleh masyarakat di
Wilayah Sudan, Belgia , dan Malawi, yang mempunyai nilai UIE sangat rendah
dan nilai UTE yang tinggi (Elnour et al., 2000 dan Hector et al., 1993).
Kasus
yang terjadi di Pulau Seram Barat merupakan suatu fenomena yang sudah sangat
lazim dijumpai di daerah-daerah endemik GAKI, te tapi sangat tidak lazim terjadi
di daerah non-endemik GAKI.
Fenomena yang kontroversial terjadi di Pulau Banda (endemik GAKI) dan
Pulau Buru (non-endemik GAKI) di Provinsi Maluku. Kedua daerah tersebut
mempunyai tingkat endemisitas yang berbeda namun mempunyai nilai UIE yang
rendah dan nilai UTE tinggi, masing-masing sebesar 66.4 ìg/l dan 41.3 ì g/l
(Pulau Banda) dan sebesar 59 ìg/l dan 46.1 ì g/l (Pulau Buru).
Dengan
demikian,
terlihat
bahwa
tiosianat
merupakan
variabel
pengganggu sekaligus menjadi faktor risiko penting terjadinya endemisitas GAKI
di daerah Maluku.
Dugaan ini diperkuat dengan nilai rasio UIE/UTE yang
mencapai nilai 1.3 untuk Pulau Buru (daerah non-endemik GAKI) dan 1.6 untuk
4
Pulau Banda (daerah endemik GAKI). Delange et al. (1994) mengatakan bahwa
makin kecil (< 3) nilai rasio ini semakin tinggi tingkat endemisitas suatu daerah.
Taurog et al. (1947) dan Salter et al. (1945) mengatakan bahwa tiosianat yang
diperoleh dari bahan makanan dapat berperan antagonis dengan iodin dalam
tubuh, di antaranya dalam menghambat proses transport aktif iodin menuju
kelenjar tiroid dan mempengaruhi konsentrasi iodin eksratiroidal dalam jaringan
serta proses sintesis hormon tiroid.
Hal serupa disampaikan juga oleh Lang (1933) yang menyebutkan bahwa
tiosianat dapat menghambat penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid dan mengikat
iodin organik (monoiodotironine / MIT dan diiodotironine / DIT) yang berada
pada setiap sel sehingga menyebabkan persaingan yang berat antara tiosianat dan
tiroksin serum yang terikat pada protein.
Berdasarkan paparan di atas beberapa permasalahan utama yang dapat
disimpulkan untuk mengetahui secara jelas peranan tiosianat dalam dinamika
iodin adalah :
1. Adakah perubahan dinamika iodin akibat keberadaan tiosianat (yang diberikan
dalam bentuk KCN) dalam tubuh tikus ?
2. Berapakah jumlah masukan tiosianat (KCN) yang dianggap berpengaruh pada
dinamika iodin dalam tubuh tikus ?
3. Adakah pengaruh tiosianat (KCN) pada dinamika iodin dalam tubuh tikus
yang diberikan pada ransum yang difortifikasi KIO3 ?
4. Adakah hubungan antara pemberian dosis KCN dan perubahan dinamika iodin
dalam tubuh tikus ?
5. Bagaimanakah dampak fisiologis kekurangan iodin yang timbul akibat
pemberian tiosianat (KCN) pada tubuh tikus ?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujua n yang akan dicapai secara umum adalah mempelajari seberapa besar
peranan tiosianat dalam mempengaruhi dinamika iodin dalam tubuh tikus yang
kekurangan iodin.
5
Tujuan Khusus
Secara khusus beberapa tujuan yang akan dicapai adalah :
1. Mengetahui peranan tiosianat (KCN) dalam dinamika iodin dalam tubuh tikus
yang kekurangan iodin.
2. Mengetahui pengaruh dosis KCN yang diberikan pada tikus terhadap
kecepatan terjadinya perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus yang
kekurangan iodin.
3. Mengetahui peranan fortifikan KIO3 dalam dinamika iodin dalam tubuh tikus
yang kekurangan iodin.
4. Mengetahui hubungan antara dosis KCN dalam ransum dan perubahan
dinamika iodin dalam tubuh tikus.
5. Mengidentifikasi dampak fisiologis kekurangan iodin akibat peranan tiosianat
pada tubuh t ikus.
Hipotesis Penelitian
Secara umum hipotesis penelitian adalah tiosianat berperan dalam
perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus yang kekurangan iodin. Secara
khusus beberapa hal yang dihipotesiskan antara lain :
1. Asupan KCN yang lebih tinggi dari pada asupan iodin akan menyebabkan
perubahan dinamika iodin dalam tubuh tikus.
2. Jumlah asupan KCN tinggi te tapi diikuti dengan pemberian ransum yang
difortifikasi iodin (KIO3) dapat mengembalikan dinamika iodin dalam tubuh
tikus pada kondisi normal.
3. Pemberian
KCN dan
fortifikasi
KIO3
dalam
ransum
tikus
dapat
mempengaruhi dinamika iodin dalam tubuh tikus.
4. Perubahan fisiologis pada tubuh tikus yang kekurangan iodin terjadi akibat
keberadaan tiosianat dalam tubuh tikus.
6
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam bentuk :
1. Menjelaskan peranan zat goiterogenik kelompok tiosianat (KCN) dalam
menghambat mekanisme distribusi atau dinamika iodin dalam tubuh tikus
yang kekurangan iodin dan tidak kekurangan iodin.
2. Membuktikan hipotesis bahwa faktor
yang diduga turut berperan dalam
tingginya tingkat prevalensi GAKI di Maluku adalah faktor lingkungan yang
salah satunya adalah zat goiterogenik kelompok tiosianat (KCN).
3. Memberikan jawaban terhadap salah satu penyebab tingginya prevalensi
daerah endemik di daerah endemik wilayah pantai “Endemi c
Goiter”.
Coastal
TINJAUAN PUSTAKA
Sifat dan Keberadaan Iodin
Pada tahun 1811 iodin ditemukan dalam ganggang laut oleh Berna rd
Courtois.
Selanjutnya iodin terdapat di tanah dan laut dalam bentuk iodida.
Iodida berasal dari kata iode yang dalam bahasa Yunani artinya berwarna ungu
(Olson et al., 1984 dan Hetzel, 1996). Ciri umum iodin yang dapat dijumpai
adalah berbentuk kristal dengan bobot atom 127 dan bobot molekul 254, dapat
menyublim dan bersifat racun serta korosif (Elizar, 1989).
Selain itu, iodin juga
dapat larut dalam alkohol, karbon disulfida, kloroform, eter, karbon tetraklorida,
gliserol, larutan iodida basa , dan tidak larut dalam air.
Konsentrasi iodida dalam air laut berkisar antara 50 dan 60 µg/L dan di
udara sekitar 0.7 ìg/m3 (Tezic, 1998). Hetzel dan Clugston (1996) menerangkan
bahwa zat iodin yang berasal dari hasil oksidasi ion iodida dapat menguap oleh
sinar matahari sehingga setiap tahun sekitar 400 000 ton iodin menghilang dari
permukaan laut.
Iodin di udara dikembalikan lagi ke tanah oleh air hujan dengan
proses yang sangat lambat dan konsentrasinya terbatas, yaitu sekitar 1.8 sampai
8.5 µg/L, lebih kecil dibanding dengan jumlah iodin asli yang hilang dari tanah
oleh karena banjir dan erosi.
Wilayah yang paling memungkinkan untuk melepaskan io din di
permukaan bumi adalah wilayah pegunungan.
Semua tanaman hasil panen yang
tumbuh di lahan ini akan mempunyai kandungan iodin yang rendah. Oleh karena
itu, defisiensi iodin lebih banyak terjadi pada daerah ketinggian (pegunungan) dan
mempunyai curah hujan yang lebih tinggi karena iodin akan terikut bersama aliran
air menuju ke muara terakhir yaitu laut (Hetzel et al., 1996).
Hetzel et al. (1996) dan Tezic (1998) mengatakan bahwa kandungan iodin
tanaman yang tumbuh pada tanah yang kurang iodin adalah sekitar 10 ìg/kg berat
kering, sedangkan pada tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup iodin
mencapai 1000 µg/kg berat kering.
8
Peranan Iodin dalam Tubuh
Iodin termasuk kelompok gizi mineral yang dibutuhkan tubuh dalam
jumlah yang sangat sedikit yaitu sekitar 10-20 mg per 70 kg rata -rata berat badan
manusia . Iodin merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh manusia dalam proses
pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan otak manusia maupun hewa n
(Linder, 1992, Dunn, 2001, dan Astawan, 2003).
Apabila jumlah iodin yang tersedia tidak mencukupi, produksi tiroksin dan
triiodotironin menurun dan sekresi TSH meningkat.
Akibatnya , sintesis
tiroglobulin oleh sel tiroid meningkat yang menyebabkan kelenjar membesar dan
terjadi hiperplasia yang disebut gondok. Selain itu, kekurangan iodin dapat juga
mengakibatkan kretinisme (kerdil), penuruna n kecerdasan, dan untuk tingkat yang
lebih berat dapat mengakibatkan gangguan pada otak dan pendengaran serta
kematian pada bayi.
Sehubungan
dengan
fungsi
iodin
dalam
proses
pertumbuhan,
perkembangan, dan kecerdasan otak, susunan saraf yang terdiri atas sel-sel neuron
yang mulai dibentuk pada fase embriologis sangat bergantung pada kecukupan
kandungan iodin. Jumlah sel neuron dalam otak umumnya mencapai sekitar 10
milya r. Kekurangan iodin pada masa kehamila n dan awal masa kehidupan anak
dapat menurunkan jumlah sel neuron yang ada di otak sehingga dapat
menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan otak anak (IQ di
bawah normal).
Kekurangan iodin masih merupakan masalah besar di beberapa negara di
dunia, khususnya negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Survei
pemetaan GA KI tahun 1998 menunjukkan sekitar 87 juta penduduk Indonesia saat
ini hidup dan bermukim di daerah endemik kekurangan iodin. Intelligence
quotient (IQ) mereka diperkirakan berkurang, dan 20 juta di antara mereka
menderita penyakit gondok dan 290 000 orang menderita kretin. Kekurangan ini
tentunya menurunkan kualitas generasi muda dan penuruna n kesejahteraan
masyarakat Indonesia.
9
Sintesis Hormon Tiroid dan Peranannya dalam Tubuh
Kelenjar tiroid adalah salah satu kelenjar endokrin yang tumbuh pada
masa perkembangan suatu individu dan berasal dari evaginasi farinks
(endodermal). Dickson (1984) mengatakan bahwa berat kelenjar tiroid sekitar
0.2% dari berat badan atau sekitar 15 sampai 25 g dan sangat banyak menyerap
iodin yang beredar dalam darah.
Kelenjar ini terdiri atas dua lobus yang melekat rapat dengan trakea dan
dihubungkan satu sama lainnya dengan sebuah isthmus dengan panjang sekitar 2
cm. Kelenjar tiroid terdiri atas dua lobuli yang mengandung sekitar 20 sampai 40
folikel setiap lobulus.
Folikel ini merupakan unit kerja kelenjar tiroid yang
bentuknya bervariasi, yaitu bulat, agak lonjong, atau memanjang. Folikel tiroid
dibentuk oleh sel folikel di sekelilingnya.
Di sebelah luar, sel folikel dibatasi oleh membran basal. Di dalam folikel
terdapat koloid hormon tiroid yang bersifat asidofilik (merah), kadang terlihat
mengkerut apabila kelenjar dalam keadaan aktif. Pada tikus, sel folikel berbentuk
kuboid rendah. Di samping sel folikel, terdapat sel parafolikel atau disebut pula
sel C yang bentuknya lebih besar, berwarna pucat dan terletak di antara membran
basal dan sel folikel. Sel C ini dikenal sebagai sel penghasil kalsitonin, yaitu
hormon yang bekerja dalam metabolisme kalsium (Ham, 1974).
Turner dan
Bagnara (1976) dan Dickson (1984) mengatakan bahwa kelenjar tiroid berfungsi
membuat hormon tiroid, yaitu hasil ikatan antara iodin dan asam amino tirosin
dalam beberapa be ntuk.
Djojosoebagio (1990) mengatakan bahwa pembentukan hormon tiroid
dimulai dari perubahan bentuk ikatan iodin menjadi ion iodida.
Ion iodida
diperoleh dari kerja hidrogen peroksida (H2O2 ) yang melakukan oksidasi pada
iodin sehingga terjadi ion iodin aktif. Iodin aktif ini akan berubah menjadi
hipoiodid yang dapat melakukan iodinasi pada asam amino tirosin sehingga
terbentuk monoiodothyronine atau MIT (T1 ) dan diiodothyronine atau DIT (T2).
Dickson (1984) dan Saurbelich (1998) mengatakan bahwa gabungan
antara dua molekul DIT akan membentuk T4 (tiroksin) yang memiliki 4 buah
atom iodin, sedangkan gabungan antara satu molekul MIT dan satu molekul DIT
10
akan membentuk T3 (triiodotironin) yang memiliki 3 buah atom iodin.
Penggabungan molekul-molekul ini dibantu oleh coupling enzime yaitu thyroid
peroxidase dan berlangsung dalam sel follikel (Gambar 1).
Transport Iodin
Organifikasi
T1
I-
I+
+
Tirosin
Pembentukan
T1&T2
T 4& T3
Sekresi
T4 & T3
Gambar 1 Proses Sintesis dan Pelepasan Hormon Tiroid (Saurbelich, 1998).
Molekul asam amino tirosin dalam kelenjar tiroid merupakan residu
penyusun molekul protein tiroglobulin. Hormon T4 dan T3 berada di permukaan
koloid yang berada di dalam folikel tiroid. Hormon T4dan T3 disekresikan melalui
proses endositosis di dalam sel folikel tiroid. Hormon T4 dan T3 disekresikan
dalam darah, sedangkan MIT dan DIT akan mengalami deiodinasi oleh enzim
deiodinase di dalam tiroid. Siklus ini dimaksudkan untuk memanfaatkan iodin
dari tiroksin menjadi iodin yang lebih aktif. Konsentrasi T4 dalam darah lebih
banyak dibandingkan T3. Konsentrasi T3 biasanya hanya 10% atau kurang dari
hormon-hormon tiroid (Djojosoebagio, 1990).
Querido (1979) mengatakan
bahwa hormon tiroid bekerja di bawah pengawasan hormon tirotropik yang
dihasilkan oleh hipofisa anterior , yaitu TSH.
Di dalam saluran pencernaan, hormon tiroid ikut mengatur kerja peristaltik
usus dan penyerapan ion Fe.
Selain itu, hormon tiroid juga dapat mengatur
deposisi bahan-bahan di bawah kulit dan, pada alat reproduksi, hormon tiroid
11
mengatur pertumbuhan alat kelamin dan kelenjar susu (Turner dan Bagnara, 1976
dan Dickson, 1984).
Stimulasi Hormon Tiroid pada Sintesis Protein
Bagian penting yang menjadi sentral aktivitas hormon tiroid adalah sel,
mitokondria, ribosom, dan nukleus (Gambar 2). Hormon tiroid dapat berperan
langsung dalam proses transpor asam amino dan transpor cairan elektrolit dari
lingkungan ekstraseluler ke interiol sel, aktivitas khusus enzim protein dalam se l
dan proses peningkatan ukuran, nomor , dan fungsi sel.
Gambar
2 Kerja hormon Tiroid pada Sel Target (Sterling, 1979).
Harper et al. (1979) dan Ster ling (1979) menyatakan bahwa hormon tiroid
bekerja pada sel sasaran untuk sintesis protein dengan jalan berikatan langsung
dengan reseptor protein yang berhubungan dengan kromatin yang terdapat di
12
dalam inti sel (Gambar 2). Oleh karena itu, hormon tiroid berfungsi sebagai
pengatur laju metabolisme di dalam sel dan berfungsi sebagai katalisator reaksi
metabolisme oksidatif di mitokondria.
Jika kondisi kekurangan dan kelebihan
hormon tiroid terjadi dapat menyebabkan dampak kekurangan yang permanent
dalam nomor dan fungsi sel.
Dalam sintesis protein, hormon tiroid membantu memproduksi ATP yang
sangat dibutuhkan dalam semua proses pertumbuhan.
Pada kelompok orang
dewasa dampak produksi hormon tiroid banyak berbeda pada setiap jaringan,
seperti peningkatan aktivitas lipolitik dalam jaringan adiposa, modulasi sekresi
gonadotropin oleh pituitary, dan perbaikan sel proliveratif seperti sel pertumbuhan
dan perawatan rambut.
Hormon tiroid juga dapat me mbantu dalam proses glikolisis lewat jalur
pathway untuk proses kalorigenesis bersamaan dengan proses oksidatif fosforilasi
di hati, ginjal, dan otot. Sedangkan pada otak, hormon tiroid tidak memberikan
dampak kalorigenik tapi dapat merubah konsentrasi neurotransmitter dan semua
reseptor.
Walaupun pada umumnya enzim protein yang dibutuhkan dalam sintesis
protein pada sel orang dewasa, konsentrasi fisiologis hormon tiroid juga
dibutuhkan untuk pertumbuhan normal termasuk kulit dan rambut dan
pelaksanaan dua fungsi struktur protein.
Pada pasien hipotiroid, pertumbuhan
anak rambut (rambut baru) berkurang disertai dengan peningkatan jumlah rambut
yang rontok atau gugur. Keadaan yang tidak normal ini diikuti dengan proses
pemulihan pada kondisi eutiroid.
Diasumsikan bahwa konsentrasi fisiologi
hormon tiroid mungkin tidak hanya merangsang pertumbuhan rambut baru tapi
selalu dibutuhkan untuk perawatan normal.
Hormon tiroid
juga berperan pada berbagai sistem tubuh adalah
meningkatkan konsumsi oksigen pada proses kalorigenesis.
Hormon tiroid
meningkatkan konversi kr ea tin menjadi kreatinin pada proses kontraksi otot,
membantu pembentukan lapisan mielin pada serabut saraf, mengatur derajat
metabolisme basal pada sistem hematopoiesis, mengatur suhu badan dan kerja
jantung, dan mengatur metabolisme mineral.
13
Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh
Iodin yang masuk ke dalam tubuh akan melewati tahap pencernaan sampai
tahap ekskresi.
Dalam saluran pencernaan, iodin dalam bahan makanan
dikonversi menjadi iodid (I-) yang mudah diserap.
Selanjutnya , iodin itu di
angkut ke dalam plasma darah dan bergabung dengan pool iodida intraseluler dan
ekstraseluler.
Iodin yang ada dalam pembuluh darah masuk ke kelenjar tiroid
melalui pengangkutan yang difasilitasi oleh Na-I. Pengangkutan ini memfasilitasi
pasangan natrium dan ioda masuk ke dalam sel (Linder. 1992) .
Sekitar 90% iodin yang masuk ke dalam sel akan disimpan dalam kelenjar
tiroid, dan setelah mengalami peroksidasi akan melekat pada residu tirosin dan
tiroglobulin membentuk protein yang besar dengan berat 670 000 dalton dan
mengandung 120 residu tirosin (Gaitan, 1986). Dalam keadaan seimbang, iodin
yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan iodin yang diekskresikan
melalui urin. Oleh karena itu, urin dapat menjadi indikator status iodin dalam
tubuh seseorang ( Brody, 1999).
Ganong (1989) mengilustrasikan bahwa jika mengkonsumsi iodin sebesar
500 µg/hari, hanya sekitar 120 ìg yang masuk ke dalam kelenjar tiroid, dan dari
kelenjar tiroid dis ekresikan sekitar 80 µg iodin dalam bentuk T3 dan T4. Sisa
iodin yang tidak diserap oleh kelenjar tiroid akan masuk ke dalam jaringan baik
dalam ikatan organik maupun anorganik dan dikenal sebagai pool iodin.
Selanjutnya T4 dan T3 mengalami metabolisme dalam hati dan kelenjar
lainnya, dan sekitar 60 µg dikeluarkan ke dalam cairan empedu, kemudian
dikeluarkan ke dalam lumen usus.
Sebagian lagi mengalami sirkulasi
enterohepatik, yang lepas dari reabsorbsi akan diekskresikan bersama feses yang
jumlahnya hampir mencapai 20% ìg per hari, sedangkan sekitar 80% ìg/L/hari
melalui urin (Ganong, 1989 dan Winarno, 1997). Proses metabolisme iodin dapat
dilihat pada Gambar 3.
14
Gambar 3 Proses Metabolisme Iodin dalam Tubuh (Ganong, 1989).
Pembuangan iodin sebagian besar terjadi melalui ginjal, sedangkan dalam
jumlah yang lebih kecil dikeluarkan juga melalui usus dan keringat (Winarno,
1997 dan Brody, 1999). Iodin yang tidak dapat diserap atau yang berasal dari
empedu akan dikeluarkan bersama feses (Gambar 3).
Ekskresi iodin melalui urin dapat dijadikan sebagai indikator penentuan
status iodin dalam tubuh seseorang.
Hal ini disebabkan karena ginjal tidak
mempunyai kemampuan untuk menyimpan mineral ini sehingga dalam keadaan
seimbang (normal) iodin yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan iodin
yang diekskresikan melalui urine (Brody, 1999). Selain itu, Freake (1998)
mengatakan bahwa bentuk kehilangan iodin yang lain bisa terjadi melalui
keringat dan air susu ibu yang terbuang atau tidak terpakai pada wanita menyusui.
Sumber Iodin
Iodin dapat diperoleh dari berbagai jenis pangan dan kandungannya
berbeda -beda bergantung pada asal jenis pangan tersebut dihasilkan. Hal tersebut
15
dapat dibuktikan dengan hasil penelitian dari Gibson (1990) seperti yang
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan Iodin Rerata pada Berbagai Jenis Pangan
Jenis Pangan
Rer ata Kandungan Iodin
(ìg/100g)
Selang Kandungan Iodin
(ìg/l00g)
Ikan Tawar
Ikan Laut
Kerang
Daging
Susu
Telur
Gandum
Buah-buahan
Kacang-kacangan
Sayuran
30
832
798
50
47
93
47
18
30
29
17-40
163-3180
308-1300
27-97
35-56
22-72
10-29
23-36
12-201
Sumber: Gibson (1990)
Djokomoeljanto (1993) mengatakan bahwa seafood merupakan pangan
sumber iodin alamiah yang cukup tinggi.
Hal ini disebabkan karena iodin dalam
tanah dapat terbawa pada saat banjir menuju sungai dan pada akhirnya ke laut
sehingga bahan pangan seperti rumput laut, berbagai jenis ikan laut, kepiting,
udang, dan sampai pada tanaman lain yang kebetulan tumbuh dan hidup pada
daerah sekitar pantai, termasuk sumber air minum yang dimiliki, mempunyai
kandungan iodin yang tinggi.
Sumber iodin lain adalah garam dan air yang difortifikasi.
Garam
termasuk dalam sembilan bahan pangan pokok yang diperlukan masyarakat dan
oleh karenanya merupakan bahan makanan yang penting.
Jenis garam yang
diproduksi berbeda tiap daerah dalam kandungan iodin dan bentuknya Hal ini
tentunya berhubungan dengan kesukaan masyarakat sekitar.
Oleh karena itu,
pemerintah telah menetapkan garam beriodin untuk dikonsumsi dengan
kandungan iodin (KIO3) sebesar 30 – 80 ppm, dengan Keputusan Presiden RI No.
69 tahun 1994.
Di negara
maju konsumsi garam beriodin telah menjadi salah satu
alternatif (bahkan program efektif) dalam menanggulangi masalah GAKI.
Beberapa negara, di antaranya USA, Jepang, El Savador, China, India, Australia,
16
Switzerland, dan sebagian besar wilayah Afrika , telah menggunakan program
konsumsi garam beriodin untuk semua (USI : Universal salt iodization).
Pada wilayah Afrika dan Mediterania , bahkan di Guatemala, sejak
pelaksanaan program iodisasi garam terjadi penurunan prevalensi gondok. Akan
tetapi, pada saat pemasokan garam iodin terganggu (pada masa perang) maka
prevalensi GAKI kembali meningkat.
Setelah situasi normal kembali dan
pemasokan garam beriodin lancar, prevalensi GAKI kembali menurun secara
drastis.
Kebutuhan dan Kecukupan iodin
Konsumsi iodin sangat bervariasi di semua belahan dunia,
namun di
Amerika Serikat diperkirakan rata -rata sekitar 500 ìg/hari (lima kali kebutuhan
asupan iodin yang dianjurkan). Menurut Hetzel (1989) dalam keadaan normal
asupan harian untuk orang dewasa berkisar mulai dari 100 sampai 150 µg per hari.
Jumlah asupan tersebut dianggap cukup untuk mempertahankan fungsi tiroid
normal yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal.
Bertolak
dari besar kebutuhan iodin yang ada , RDA dari UNICEF/WHO/ICCIDD (1989)
dan WKNPG/LIPI (2004) menganjurkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut
dengan menyesuaikan pada angka kec ukupan masing - masing orang berdasarkan
kelompok umur dan jenis kelamin.
Tabel 3 Angka Kecukupan Gizi untuk Indonesia dan RDA
No
1
2
3
4
Kelompok
Usia
0-9 tahun
10-59 tahun
Wanita Hamil
Ibu Menyusui
Kecukupan Indonesia
90 - 120
120 - 150
150 (+50)
150 (+50)
RDA (µg)
(UNICEF/WHO/ICCIDD)
90 – 120
120 - 150
220
290
Sumber: WKNPG (2004) dan Food and Nutrition Board (FNB) Institute of Medicine (2001).
Untuk memenuhi kecukupan iodin di atas, sebaiknya di dalam menu
sehari-hari disertakan bahan-bahan panga n yang berasal dari laut dan aneka jenis
olahannya.
Kecukupan iodin yang dianjurkan untuk orang Indonesia disajikan
pada Tabel 3. Khusus bagi kelompok ibu hamil, tambahan tersebut sebagian
dapat dipergunakan untuk keperluan aktivitas kelenjar tiroid ibu dan sebagiannya
17
lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, khususnya untuk pembentukan
sel-sel dan jaringan baru serta perkembangan otak.
Penilaian Status Iodin
Ada tidaknya masalah kekurangan iodin harus dapat ditentukan dengan
baik melalui cara pe ngukuran yang digunakan. Pengukuran gangguan kekurangan
iodin di dalam suatu populasi akan menunjukkan tingkat keparahan masalah
tersebut. Berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh pihak WHO (2001), cara
pengukuran ada tidaknya permasalahan gangguan akibat kekurangan iodin dalam
suatu populasi masyarakat antara lain adalah ukuran gondok dengan metode
palpasi, ultrasonografi (USG) , kandungan iodin dalam urine (UIE), konsentrasi
TSH dalam darah, kretin endemik, hormon Tiroid, dan pengambilan Radioiodin.
Secara tradisional metode yang biasa dipakai dalam suatu kelompok
populasi untuk menilai tingkat endemik GAKI adalah metode palpasi. Kelompok
contoh yang dipakai dalam mewakili populasi pada umumnya adalah anak-anak
sekolah. Ketelitian teknik ini masih rendah sehingga digantikan oleh metode lain,
seperti ultrasonografi, UIE, dan TSH. Metode pengukuran UIE dianggap sangat
bermanfaat dan metode ini dapat dipercaya. Keparahan endemik dapat dinilai dari
hasil survei, terutama yang menggunakan metode UIE.
Walaupun demikian, penggunaan ke -6 cara tersebut di atas masih sangat
terbatas.
Hal ini tentunya disesuaikan dengan kondisi suatu negara dan
kelengkapan alat yang diperlukan. Bagi Indonesia khususnya, cara yang selama
ini digunakan antara lain A. Pemeriksaan Klinis seperti 1). Metode Palpasi, 2).
Ultrasonografi (USG), dan 3). Kretin Endemik. B Pemeriksaan Biokimia seperti
1). Kandungan iodin dalam urine (UIE), 2). Hormon Tiroid dan TSH dalam
darah.
•
Palpasi dan USG
Tingkat pembesaran gondok dapat ditentukan dengan menggunakan
metode palpasi. Dalam melaksanakan pemeriksaan gondok, pemeriksa berdiri
atau duduk menghadap objek yang diperiksa dengan menempelkan kedua ibu
jarinya pada sisi kanan dan kiri dan batang tenggorokannya beberapa sentimeter di
18
bawah jakun dan menekan serta memutar ibu jarinya secara perlahan-lahan pada
kelenjar tiroid yang lekat dengan jakun. Target populasi adalah anak sekolah
dasar umur 8-10 tahun atau 6-12 tahun. Derajat besarnya gondok yang disepakati
oleh WHO ( 2001) antara lain :
Grade 0: Tidak Jelas atau tidak kelihatan gondok
Grade 1: Jelas tapi tidak kelihatan gondok
Grade 2: Jelas dan Kelihatan gondok
Palpasi termasuk indikator yang pelaksanaannya relatif lebih cepat dan
lebih murah, namun akurasi dan reliabilitas hasil yang diperoleh lebih rendah bila
dibandingkan dengan metode ultrasonografi (USG). USG dapat digunakan untuk
menilai subjek dalam jumlah besar dan dapat terhindar dari kesalahan pengamat,
namun membutuhkan waktu yang banyak, biaya yang tinggi, dan tenaga yang
dilatih secara khusus.
•
Pengukuran Hormon Tiroid dalam Serum
Pengukuran hormon tiroid dapat dilakukan pada berbagai kelompok umur
terutama pada bayi, anak-anak, orang dewasa, dan wanita hamil karena kelompok
usia ini sangat penting untuk mengetahui fungsi tiroid selama perkembangan otak
dini. Larsen et al. (1987), Vanderpass dan Thily (1994) , dan Wilber (1996)
menyatakan bahwa kadar T4 yang normal dalam darah adalah 8 µg/dL, sementara
yang rendah adalah kurang dari 8 µg/dL, dan yang tinggi adalah lebih dari 8
µg/dL. Sementara menurut ICCIDD (2003) kadar T4 yang normal dalam darah
adalah sekitar 4 sampai 12 µg/dL.
Ingbar dan Braverman (1986) mengatakan bahwa kecenderungan
perubahan fisiologi yang muncul pada seseorang yang mengalami gangguan
fungsi tiroid dan yang disertai dengan kadar hormon tiroid (T3 dan T4) yang
rendah adalah perubahan nafsu makan bervariasi (kada ng berkurang, kadang
bertambah), gangguan kesehatan (sakit), agresif, dan gangguan ginjal dan hati
selama pengamatan.
Konsentrasi hormon tiroid dalam serum manusia dengan metode
Radioimmunoassay (RIA) menurut Ingbar dan Braverman (1986) dapat dilihat
pada Tabel 4.
19
Tabel 4 Konsentrasi Hormon Tiroid dalam Serum Manusia yang Diukur dengan
Metode Radioimmunoassay (RIA)
Indikator
(Metode RIA)
Eutiroid Anak-anak
Eutiroid Dewasa
Hipertiroid Dewasa
Hipotiroidisme Dewasa
T4 (ìg/d L)
Rerata
Interval
11
8-15
8
5-11
21
10-50
2
<1-5
T3 (ng/dL)
Rerata
Interval
48
11-90
120
80-220
480
200-1600
48
20-160
Sumber : Ingbar dan Braverman, 1986
Kaplan (1982) mengatakan bahwa selang normal untuk T4 adalah 5 sampai
10.7 ìg/dL dan T3 adalah 75 sampai 222 ng/dL. Kadar hormon tiroid yang
dijumpai pada orang sakit adalah sebesar 3.9 sampai 8.1 ì g/dL untuk T4 dan
sebesar 38 sampai 87 ng/dL untuk T3.
•
Pengukuran Konsentrasi Iodin dalam Urin
Pengukuran konsentrasi iodin yang keluar melalui urin termasuk indikator
outcome secara biokimia, yang dapat dilakukan terhadap sampel urin yang
dikumpulkan selama 24 jam.
Kelebihan asupan iodin juga dapat dimonitor
dengan menent ukan konsentrasi iodin urin.
Pardede et al. (1998) dan Dunn dan
Haar (1990) mengatakan bahwa konsentrasi iodin urin sangat sahih dalam
menentukan asupan iodin dalam suatu populasi. Hasil pengukuran konsentrasi
iodin urin tidak mempunyai perbedaan yang berarti dengan hasil pengukuran
volume tiroid menggunakan ultrasonografi.
Sauberlich (2000) mengatakan bahwa untuk mengukur besar ekskresi
iodin lewat urin sebaiknya menggunakan urin selama 1 kali 24 jam (sehari). Hal
ini disebabkan karena jumlah ekskresi iodin dalam urin selama periode 24 jam
dapat mencerminkan ketepatan besaran asupan konsumsi iodin (Brody, 1999).
Kriteria epidemiologi untuk menilai status asupan iodin dalam urin
terhadap konsentrasi iodin urin rata-rata pada anak sekolah dasar dapat dilihat
pada Tabel 5.
20
Tabel 5 Kriteria Epidemiologi untuk Menilai Status Iodin Berdasarkan
Konsentrasi Iodin pada Anak Sekolah Dasar
Konsentrasi
Iodin dalam urin
(ìg/L)
< 20
20 – 49
50 – 99
100 – 199
Status Asupan
Iodin
Tidak cukup
Tidak cukup
Tidak cukup
Cukup
200 – 299
Lebih dari
cukup
> 300
Berlebihan
Status Gizi Iodin
Defisiensi iodin berat
Defisiensi iodin sedang
Defisiensi iodin ringan
Optimal
Risiko terjadinya hipertiroid dalam waktu
5-10 tahun setelah pemberian garam
beriodin pada kelompok rentan
Risiko terjadinya hipertiroid dan
autoimmune tiroid
Sumber : WHO (2001).
Dampak Kekurangan Iodin
Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodin (GAKI) merupakan masalah
yang serius mengingat dampaknya secara langsung mempengaruhi kelangsungan
hidup dan kua litas manusia.
Dampak kekurangan iodin secara umum adalah
defisiensi iodum tingkat berat akan berdampak seperti gondok (Delange, 1994 dan
Thilly et al., 1977) dan kretin, penurunan IQ (intelektual), bisu tuli dan gangguan
pertumbuhan fisik yang paling parah (Boyages, 1993), peningkatan kematian bayi
dan hipotiroidisme neonatal (Delong et al., 1985) serta berkurangnya kemampuan
reproduksi (Dillon dan Milliez, 2000).
Masalah GAKI sangat erat pengaruhnya pada perkembangan mental yang
diwujudkan dengan terjadinya defisit IQ, yaitu setiap penderita kretin akan
mengalami defisit IQ sebesar 50 poin di bawah normal. GAKI yang bukan kretin
akan berdampak pada penurunan IQ sebesar 10 poin di bawah normal, sedangkan
gondok akan berdampak pada penurunan IQ sebesar 5 poin di bawah normal.
Dengan demikian, jumlah seluruh defisit mental di Indonesia yang disebabkan
karena GAKI adalah antara 122.5 juta sampai 140 juta poin IQ (Jalal, 1998).
Defisiensi iodin tingkat ringan sampai sedang
dapat menyebabkan
gangguan neurologis dengan bentuk gangguan pendengaran tingkat akut pada
anak - anak (Tiwan et al., 1996) dan peningkatan risiko bayi lahir prematur,
dengan perubahan transfer hormon tiroid dan iodin selama kehamilan.
21
Pembengkakan kelenjar tiroid (gondok) dikenal dengan istilah penyakit
hipotiroidisme.
Tanda-tanda lain akibat hipotiroidisme kelopak mata tampak
lebih cembung, wajah kelihatan suram, lesu, rambut kasar, lidah bengkak dan
suara parau (Lee, 2001). Hipotiroidisme berimplikasi sama dengan rendahnya
tingkat energi, kulit kering atau bersisik atau juga kulit kekuning-kuningan,
perasaan geli dan mati rasa pada kaki dan tangan, pertambahan berat, suka pelupa,
tidak tetap pendirian atau selalu berubah, depresi, dan anemia.
Selain itu
hipotiroidisme juga dapat berperan penting dalam peningkatan kadar kolesterol
dan homosistein dalam darah (Lee, 2001).
Hipertiroid adalah salah satu dampak yang terjadi pada kelompok orang
tua dengan manifestasi pada kelenjar tiroid yang membesar (gondok), gangguan
jantung atau serangan jantung, gemetaran, sering berkeringat, sering merasa
jantung berdebar, ketakutan dan peningkatan aktivitas dan mata yang tidak
sempurna (Lee, 2001).
Jalal (1998) melaporkan bahwa kelompok masyarakat yang sangat rawan
terhadap dampak defisiensi iodin (GA KI) menurut tingkat pertumbuhan dan
perkembangan adalah wanita usia subur (WUS), ibu hamil dan menyusui, bayi,
dan anak usia sekolah.
Pentingnya Radionuklida dalam Mempelajari Struktur dan Fungsi Tiroid
Radionuklida lebih banyak digunakan dalam mempelajari fisiologi tiroid,
menganalisa fungsi tiroid dan digunakan dalam perlakuan pengobatan kepada
pasien hipertiroid atau tiroid carcinoma. Kesatuan dari aktivitas bahan radioaktif
adalah curie (Ci). Curie menandakan jumlah disintegrasi yang sebenarnya dalam
suatu contoh.
Unsur radionulkida ini dapat digunakan dengan mudah untuk
mengikuti jejak dan gerakan-gerakan dari suatu unsur.
Oleh karena itu
radionuklida sering disebut sebagai Traser atau perunut atau penanda.
Radionuklida yang umum digunakan untuk mengevaluasi tiroid adalah
jenis isotop iodin; 99molybdenum-Technetium (99m Tc) dan
241
Americium
(241 Am). Tabel 6 menunjukkan Jenis -jenis isotop iodin yang dibutuhkan untuk
mempelajari struktur dan fungsi kelenjar tiroid. Untuk keperluan tersebut, isotop
22
iodin lebih banyak digunakan dalam bentuk uji in vitro dan isotop iodin serta
isotop technetium dalam bentuk uji in vivo dalam penelitian.
Tabel 6 Penggunaan Isotop Iodin secara Biomedis
No.
Atom
Peluruhan : persen kelimpahan,
Modus peluruhan, Energi
maksimum(MeV)
91% penangkapan elektron, 9 %
β + (1.2)
100% penangkapan
100% penangkapan
Waktu Paruh
121
2.12 jam
123
125
127
13.3 jam
60.2 hari
Stabil
128
25.0 menit
7.4% penangkapan
93.6% β - (2.1)
elektron,
Foton x- atau Gamma KeV (%
kelimpahan)
28.212 (90%), lainnya
28.159 (83%)
28.35 (7%)
28.441 (14%), lainnya
419, (35%), 538 (99%), 669
(100%), 743 (87%), 1150 (12%)
28.80 (30%), 284 (5%), 364
131
8.05 hari
β - (0.606)
(82%), lainnya
520 (20%), 670 (144%), 773
132
2.26 jam
β - (2.12)
(89%), lainnya
133
20.3 jam
530 (90%)
β (1.27)
Sumber : Data Dasar dari Radiological Health Handbook, Washington, DC. US (1970).
130
β - (1.04)
12.3 jam
Isotop 125 I dan
131
I pada umumnya digunakan untuk menguji tiroid secara
in vitro. Cara ini lebih efektif untuk terapi hipertiroid atau untuk menilai asupan
iodin. Penelitian jarang menggunakan
125
I secara in vivo karena menggunakan
sinar gama yang berenergi rendah.
Jenis isotop
123
I,
131
I, dan
99m
Technetium, walaupun mempunyai waktu
paruh yang berbeda, mempunyai tujuan penelitian yang sama, yaitu untuk
mendiagnosa atau terapi gangguan fungsi tiroid. Penelitian yang dijalankan dapat
menggunakan cara in vitro dan in vivo dengan menggunakan sinar gamma. Tabel
7 menunjukkan penggunaan dosis berbagai jenis isotop iodin untuk menganalisa
persentase pengambilan iodin oleh berbagai organ tubuh.
Tabel 7 Dosis Tetap Radiasi (mCi) dan Jumlah (%) yang Dijumpai secara Umum
dalam Organ Tubuh
Isotop
123
125
131
132
Dosis
Konstan
(mCi)
0.13
0.11
0.68
2.01
Dinding
Tiroid
Perut
13.0
0.2
790.0
0.3
1300.0
1.4
13.0
1.1
Sumber : Ingbar dan Braverman (1986).
Sistem Organ
Kelenjar
Ovarium
Saliva
0.7
0.03
0.4
0.04
0.7
0.14
0.6
0.13
Testes
0.012
0.024
0.088
0.074
Sumsum Total
Tulang Tubuh
0.03
0.03
0.12
0.49
0.26
0.71
0.09
0.11
23
Goiterogen
Bentuk kekurangan iodin tingkat kronis adalah terjadinya pembesaran
kelenjar tiroid yang dikenal dengan sebutan gondok. Namun demikian, tidak
dapat dipungkiri bahwa faktor lain juga ikut berperan. Salah satu faktor adalah
bahan pangan yang dapat menimbulkan gejala gondok atau bersifat goiterogenik.
Goiterogen adalah zat yang dapat menghambat pengambilan zat iodin oleh
kelenjar tiroid sehingga konsentrasi iodin dalam kelenjar menjadi rendah. Selain
itu zat goiterogenik dapat menghambat perubahan iodin dari bentuk anorganik ke
bentuk organik sehingga pembentukan hormon tiroksin terhambat (Linder, 1992).
Williams (1974) mengatakan bahwa zat goiterogenik dalam bahan
makanan yang dimakan setiap hari akan menyebabkan zat iodin dalam tubuh tidak
berguna karena zat goiterogenik tersebut menghambat absorbsi dan metabolisme
mineral iodin yang telah masuk ke dalam tubuh.
Gaitan (1980) mengatakan bahwa goiterogen dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kategori berdasarkan cara kerjanya pada metabolisme iodin dalam
pembentukan hormon tiroid. Kelompok pertama adalah tiosianat atau senyawa
yang mirip tiosianat yang secara primer menghambat mekanisme transpor aktif
iodin ke dalam kelenjar tiroid. Hambatan senyawa ini efektif hanya bila
konsentrasi iodin dalam darah normal atau lebih rendah (Wilson dan Foster,
1992). Oleh sebab itu, hambatan oleh senyawa ini hanya dapat diatasi dengan
suplementasi iodin yang cukup dan teratur (Gaitan, 1980).
Brody (1999) mengatakan bahwa singkong mengandung sianogenikglikosida yang merupakan sumber sianida. Singkong yang dijadikan makanan
hewan terlebih dahulu dihilangkan sianidanya dengan cara memanaskan singkong
yang sudah dipotong-potong dan dijemur di bawah sinar matahari.
Untuk
konsumsi manusia, kandungan sianida singkong dapat dihilangkan dengan cara
merebus di dalam air. Jika tidak dihilangkan dengan baik, sianida akan terlepas
dari goiterogen tapi dalam tubuh akan berubah menjadi tiosianat, dan zat inilah
yang akan menghambat penyerapan iodin dan akan mengakibatka n gondok.
Tabel
8 menunjukkan kandungan Goiterogen alami yang ditemukan
dalam jenis pangan adalah kelompok sianida (dalam daun + umbi singkong,
24
gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung), kelompok mimosin
(dalam peta i cina dan lamtoro), kelompok isothiosianat (dalam daun pepaya), dan
kelompok asam (dalam jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka) (Chapman, 1982).
Tabel 8 Daftar Bahan Pangan Goiterogenik
Nama Bahan
Pangan
1. Singkong
2. Gaplek
3. Gadung
4. Daun Singkong
Kelompok Famili
Nama Latin
Eupharbiaceae
Eupharbiaceae
Dioscoreaceae
Eupharbiaceae
6. Petecina/Lamtoro
7. Daun Pepaya
8. Rebung
9. Daun Ketela
10. Kecipir
11. Terung
12. Pete
Leguminoceae
Carica
Gramineae
Cenvolvulaceae
Leguminoceae
Solanaceae
Leguminoceae
Manihot sp
Manihot sp
Dioscorea sp
Manihot sp
Cabbage &
Brascia
Leucaena
Carica Papaya
Bambosa Bamboo
Ipomea Batatas
Psophocarpus sp
Solanum sp
Parkia
13. Jengkol
Leguminoceae
Pithecolobium
14. Bawang
Allium
Allium sp
15. Asam
Leguminoceae
16. Jeruk Nipis
17. Blimbing Wuluh
18. Cuka
Rutaceae
Averrhoaceae
-
Tamarindus
Indica
Citrus Aurintfolia
Averhoa Bilimbi
-
5. Kool & Sawi
Crucifera
Zat
Goiterogen
Sianida
Sianida
Sianida
Sianida
Sianida
Mimosin
Isothiosianat
Sianida
Sianida
Sianida
Sianida
Belum
diketahui
Belum
diketahui
Disulfida
Alifatik
Zat asam
Zat asam
Asam
Zat asam
Sumber : Chapman (1982)
Kelompok goiterogen yang kedua adalah kelompok tiourea, tionamide,
tioglikosida, bioflavonoid, dan disulfida alifatik. Kelompok ini berkerja
menghambat
proses
orga nifikasi
iodin
dan
kopling
iodotirosin
dalam
pembentukan hormon tiroid aktif. Hambatan kelompok ini tidak dapat diatasi
dengan pemberian iodin.
Kelompok ini banyak ditemukan dalam konsentrasi
tinggi dalam berbagai bahan makanan pokok di daerah tropis seperti sorgum,
kacang-kacangan, kacang tanah, bawang merah, dan bawang putih.
Kelompok goiterogen yang ketiga adalah kelompok yang bekerja pada
proses proteolisis dan pembebasan hormon tiroid.
Senyawa terpenting dalam
25
kelompok ini adalah iodid.
Asupan rumput laut secara terus menerus dapat
menyebabkan terjadinya pembesaran gondok dan hipertiroidisme sebagaimana
yang dilaporkan pada pantai Hokaido Jepang yang
dikenal sebagai daerah
“endemic coastal goiter” (Gaitan, 1980).
Sulfur adalah bentuk zat organik yang terkandung dalam zat goiterogen
yang dijumpai dari lingkungan dan bersifat antitiroid.
Bentuk dari kelompok
tiosianat ini adalah disulfides dan polysulfides dengan jenis 3 sampai 8 atom.
Sulfur lebih banyak dijumpai pada daerah sumber air panas dan di wilayah
volcanic di beberapa bagian dunia khususnya di wilayah kumpulan panas Pasifik.
Sumber sulfur ini kemudian lebih banyak dieksploitasikan ke Indonesia, Chili dan
Jepang.
Di lingkungan tidak terdapat dalam bahan makanan tetapi lebih banyak
terdapat di sumber air minum (air tanah atau daerah aliran sungai) dan daerah
yang banyak bebatuan sediman yang banyak mengandung zat organik termasuk
surfur (Gaitan et al., 1974).
Sianida
Agency for Toxic Substances and Disease Registry (1989) menjelaskan
bahwa sianida biasa ditemukan dalam bentuk sederhana seperti hidrogen sianida
(HCN), natrium sianida (NaCN) , dan kalium sianida (KCN).
Tabel 9
Sianogenik Glikosida yang Terdapat
Dimakan dalam Tumbuhan
1
Jenis Sianogenik
Glikosida
Amygdalin
Nama Umum
Almonds
2
Dhurrin
Sorghum
3
Linamarin
4
Lotaustralin
5
Prunasin
Stone fruits
6
Taxiphyllin
Bamboo shoots
No
Sumber : Conn (1979a,b)
Cassava
Lima beans
Cassava
Lima beans
pada
Bagian
yang dapat
Jenis Tumbuhan
Nama Latin
Prunus amygdalus
Sorghum album
Sorghum bicolor
Manihot esculenta
Manihot carthaginensis
Phaseolus lunatus
Manihot carthaginensis
Phaseolus lunatus
Prunus species : P. avium; P. padus; P.
persica dan P. macrophylla.
Bambusa vulgaris
26
Tabel 9 dan 10 menjunjukkan kandungan alami sianida yang terdapat
dalam makanan lebih dari 2.000 spesies termasuk buah dan umbi-umbian dalam
bentuk sianogenik glikosida dan dapat melepaskan sianida pada saat hidrolisis
(Nartey, 1980, Venesland et al., 1982, dan Rosling, 1987).Dijelaskan pula bahwa
sumber sianogenik pada tumbuhan sangat bergantung pada jumlah konsentrasi
hidrogen sianida (HCN) dan potasium sianida (KCN) yang dapat meracuni
manusia dan hewan.
Tabel 10 Konsentrasi Sianida dalam Bahan Pangan
Bentuk Produk
Padi-padian dan produk lainnya
Protein kedele dan produknya
Kulit kedele
Aprikot
Jus Cherry 100%
Jus Buah Komersial
Cherry
Aprikot
Prem
Bahan Makanan Tropika
Ubi Pahit / kulit umbi
Ubi Pahit / Daun
Ubi Pahit / Seluruh bagian umbi
Ubi Manis / Daun
Ubi Manis / Seluruh bagian ubi
Gandum
Rebung
Buncis (Jawa)
Buncis (Puerto Rico)
Buncis (Burma)
Konsentrasi Sianida (mg/kg atau
mg/L)
0.001-0.45
0.07-0.3
1.24
89-2170
23
4.6
2.2
1.9
2450
310
395
468
462
2500
8000
3120
3000
2100
Sumber : Nartey (1980), Venesland et al., 1982, dan Rosling, 1987
Agency for Toxic Substances and Disease Registry (1997),
American
Conference of Govermental Industrial Hygienists (2001) dan Ducth Expert
Committee on Occupational Standart (2002)
dari sianida pada Tabel 11.
menjelaskan bentuk fisik/kimia
27
Tabel 11 Bentuk Fisik dan Kimia Sianida
No
Kelompok Sianida
1
Hidrogen Sianida
(HCN)
2
Sodium Sianida
(NaCN)
3
Potasium Sianida
(KCN)
Sifat Fisik dan kimia
1. Tidak berwarna atau cairan biru muda
2. Pada umumnya sama dengan asam hidrosianik
dan asam prussat.
3. Berbentuk asam lemah dengan nilai pKa 9.22
pada 25 oC.
4. Dapat larut dalam air dan alkohol.
5. Berbentuk gas.
6. BM 27.04, Titik cair -13 oC, Titik didih 26 oC
dan Berat Jenis 0.94.
1. Berbentuk bubuk kristal putih higroskopik
dengan wangi kacang almond.
2. Pada
umumnya
sama
dengan
asam
hidrosianik.
3. Dapat larut dalam larutan alkalin yang kuat
dan cepat berubah atau membusuk.
4. Dapat berbentuk larutan.
5. BM 49.01, Titik cair 564o C dan Titik didih
1496 oC.
1. Berbentuk bubuk putih dengan wangi
menyerupai HCN.
2. Pada umumnya sama dengan asam hidrosianik
dan garam kalium.
3. Dapat larut dalam air.
4. Berat molekul 65.12 ; dan Titik cair 635 oC.
Sumber : ATSDR (1997), ACGIH (2001), dan DECOS (2002)
Metabolisme Sianida dan Tiosianat
Sianida cepa t diserap masuk ke usus lewat sistem pencernaan dan sistem
pernapasan. Ketika garam sianida sederhana seperti kalium sianida dan natrium
sianida diserap, ion sianida bebas dapat mengikat ion hidrogen sianida di dalam
lambung dengan jumlah yang besar.
Penyerapan sianida akan efektif
dalam
bentuk hidrogen sianida dan cepat diserap oleh usus (ECETOC, 2004).
Sianida didistribusikan dengan cepat melalui darah ke semua bagian tubuh
seperti hati, paru-paru, darah dan otak (CICAD, 2004). Feldstein dan Klendshoj
(1954) mengatakan bahwa konsentrasi sianida lebih tinggi dalam eritrosit
dibanding dalam plasma. Konsentrasi sianida yang berbahaya akibat keracunan
HCN dalam jaringan manusia atau binatang adalah 0.03 (lambung), 0.5 (darah),
0.03 (hati), 0.11 (ginjal), 0.07 (otak) , dan 0.2 (urin) mg/100g (EPA, 1990).
28
Jumlah sianida dalam plasma darah manusia normal adalah < 140 µg/L dan dalam
jaringan lain adalah < 0.5 mg Sianida/kg (Feldstein dan Klendshoj, 1954).
Pada umumnya proses metabolisme sianida terjadi dalam jaringan. Pada
mamalia, sistem metabolisme sianida terjadi melalui jalur utama dan beberapa
jalur kecil. Pada jalur utama, hidrogen sianida diubah menjadi tiosianat dengan
bantuan enzim Rhodanese,
yaitu thiosulfate sulphurtransferase atau 3-
mercaptopyruvate sulphurtransferase (Oaks dan Johnson, 1972). Kedua enzim
ini didistribusi ke mana -mana dalam tubuh.
Lang (1933) telah membuktikan bahwa agar tubuh dapat mempertahankan
diri dari tingkat keracunan, sianida harus diubah menjadi tiosianat dengan bantuan
enzim rhodanase. Namun hal ini tidak dapat terjadi tanpa kehadiran tiosulfat
yang berperan dalam mengurangi racun sianida. Tingkat keracunan yang akut
dapat terjadi jika penyerapan sianida melebihi jumlah yang dibutuhkan tubuh
dalam proses metabolisme. Keadaan ini sangat bergantung pada status gizi atau
tingkat kecukupan gizi tubuh.
Selain itu, tiosianat organik dapat juga dibentuk dari sianida oleh enzim
glutathione S-transferase yang pada umumnya digunakan sebagai insektisida atau
obat pembunuh serangga (Okhawa dan Casida, 1971). Perubahan sianida menjadi
tiosianat yang tidak beracun dengan bantuan enzim rhodanase dapat dilakukan
dengan pemberian sulfur (sodium tiosulfat) dalam intravenous (ATSDR, 1989 dan
Westley, 1980).
Keracunan tiosianat sangat nyata lebih rendah dari sianida,
tetapi telah lama diketahui bahwa tingkat tiosianat dalam darah dapat
menghambat tingkat penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid, yang dengan demikian
akan mengubah bentuk tiroksin (Hartung, 1982).
Agency for Toxic Substances and Disease Registry (1989) menjelaskan
lebih lanjut bahwa beberapa jalur minor yang terjadi dalam metabolisme sianida
adalah
pengubahan sianida
penggabungan
menjadi
menjadi
1-carbon
2-aminothiazoline-4-carboxylic acid,
metabolic
pool,
digabung
dengan
hydroxycobalamin sehingga membentuk cyanocobalamin (B12), dan kombinasi
dengan cystine membentuk 2-aminothiazoline-4-carboxylic acid ( Gambar 4).
29
Gambar 4 Metabolisme Sianida (Okhawa dan Casida, 1971) .
Jalur umum yang digunakan untuk mengeluarkan sianida pada manusia
dan hewan adalah melalui urin dalam bentuk tiosianat. Pengeluaran tiosianat
melalui paru-paru dan feses jumlah sangat kecil (EPA, 1985). Beberapa HCN
bebas dikeluarkan tanpa mengalami perubahan, yaitu dalam pernapasan, air liur
(ludah), dan keringat (Hartung, 1982).
Tiosianat dan Stabilitas Iodin dalam Tubuh
Dampak sianida secara tidak langsung pada fungsi tiroid adalah melalui
produksi tiosianat.
Tiosianat menyebar pada setiap organ tubuh sama sepe rti
iodin. Secara relatif, tiosianat bersifat non-toksin jika berada pada tingkat normal
dalam darah. Peningkatan tiosianat menghasilkan keracunan sianida tingkat subakut walaupun demikian dapat menurunkan fungsi kerja tiroid dalam transpor
iodin tubuh, khususnya jika digabungkan dengan kondisi kekurangan iodin. Iodin
berperan penting dalam kasus gondok endemik dan kretinisme.
30
Taurog et al. (1947) dan Salter et al. (1945) mengatakan bahwa tiosianat
dapat berperan
antagonis dengan iodin, di antaranya da lam hambatan proses
transpor aktif iodin menuju kelenjar tiroid dan mempengaruhi konsentrasi iodin
eksratiroidal dalam jaringan serta proses sintesis hormon tiroid (Gambar 5).
Gambar 5 Jenis Inhibitor yang Berperan Aktif pada Tahap Pembebasan dan
Biosintesis Hormon Tiroid (Ingbar dan Braverman, 1986) .
Pada Gambar 5 terlihat bahwa tiosianat (SCN- ) dan per khlorate (ClO4-)
berperan penting sebagai inhibitor dalam proses transpor iodin. ECETOC (2004)
mengatakan bahwa pada tikus yang diberi makan bubur bubuk singkong akan
mengalami
pembesaran
kelenjar
tiroid
dan
penurunan
kadar
MIT
(monoiodotirosin) dan DIT (diiodotirosin) dalam darah.
Oke (1980) menemukan bahwa tikus yang mengkonsumsi ubi kayu 100%
selama 7 (tujuh) hari secara signifikan menurunkan keseimbangan atau kestabilan
kerja kelenjar gondok, meningkatkan berat kelenjar tiroid, dan menurunkan
pengambilan 131I oleh kelenjar tiroid.
31
Kreutler et al. (1978) menunjukkan bahwa tiosianat dapat berdampak pada
pertumbuhan dan fungsi kelenjar tiroid pada anak tikus. Sianida dan tiosianat
dapat mengakibatkan pembentukan gondok dan peningkatan sekresi TSH pada
hewan yang kekurangan iodin, tetapi tidak pada hewan yang kecukupan iodin.
Dengan demikian, diyakini bahwa tiosianat dapat menjadi faktor etiologi dalam
wilayah gondok endemik dan kretinisme. Di wilayah tersebut asupan iodin sangat
rendah dan tiosianat dominan dalam diet. Konsentrasi tiosianat dapat menghambat
pengambilan iodin sebesar 50% (Greer et al., 1966).
Dijelaskan pula bahwa tiosianat juga mampu mengeluarkan atau
melepaskan iodin dari kelenjar tiroid dengan cara menghambat pengambilan iodin
oleh kelenjar tiroid (Vanderland dan vanderland (1974). Hal ini terjadi karena
adanya peran antagonis dari tiosianat tersebut.
World Health Organization (1965) menyatakan bahwa asupan sampai
batas 10 mg/kg HCN dalam tepung ubi kayu tidak menyebabkan keracunan akut
atau kronis. Selanjutnya pada Tabel 12 akan terlihat beberapa hasil penelitian
yang menunjukkan tingkat penggunaan dosis dalam diet dan jumlah konsumsi zat
goiterogen yang bersifat toksik.
.
Tabel 12 Tingkat Penggunaan Dosis dalam Diet dan Jumlah Konsumsi Zat Goiterogen yang bersifat Toksik pada beberapa Hasil Riset
No
Nama Peneliti /
Tahun
1
Hartung, 1982
2
3
US. Air Force, 1989
ATSDR, 1989
4
Gettler
1938
dan
5
Palmer
1979
dan
6
Tewe and Maner, 1981
7
Tewe
1981b
8
Ballantyne, 1983
9
Lessel, 1971
10
Conn, 1979
11
Osuntokun, 1981
12
Barrett et al., 1977
13
Oke, 1980
dan
Baine,
Olson,
Maner,
KCN
50100
39
20
50
NaCN
50100
6,4
-
100
Kand. Goiterogenik (Sianida) ….mg/kg diet
HCN [KAg(CN)2]
SilCN
SCN- (Ca(CN)2)
CN -
Objek
Manusia
(O)
-
-
-
-
-
-
8,5
-
21
-
123
-
-
39
-
-
-
-
-
-
-
-
-
200
-
-
-
-
-
-
-
Tikus (O)
-
-
-
-
-
-
-
227521
Anak
Sapi
(D)
500
-
21
-
-
-
-
-
Tikus (D)
7,87
5,05
1,09
-
-
-
-
-
Kelinci (I)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3,7
4,0
-
-
-
-
0,61
1,31
1,72
-
-
Tikus (O)
Tikus (O)
Anjing
(O)
Hasil
Subjek pingsan (fisik lemah & gangguan pernafasan)
Tidak dijelaskan
Tidak dijelaskan
155 menit → mati
21 menit → mati
8 menit → mati
Peningkatan berat hati (oral)
Peningkatan berat tiroid, hati dan spleen dibanding
dengan anak sapi yang induknya diberi diet 31 mg
CN/kg diet dengan waktu periode yang sama.
Serum Tiosianat secara nyata meningkat pada tikus
yang menyusui dan pada anak yang sementara di sapih
serta pada tahap pertumbuhan sesudah di sapih.
Tanda-tanda keracunan dan kematian setelah 3 – 12
menit sesudah diberi diet tersebut.
Tikus (I)
Hasil yang diperoleh adalah tingkat kematian meningkat
pada semua dosis suntikan.
Tikus (O)
Anjing
(O)
Tidak dijelaskan
Intake HCN setiap hari dari Cassava di atas 50 mg
merupakan jumlah yang sangat berbahaya di daerah
endemic GAKI Nigeria
Hasilnya sesudah 4 hari 7 ekor tikus yang mendapat
Pemberian Linamarin sebanyak 50 mg dan 30 mg dalam 0,5 ml
Tikus (D)
pemberian linamarin sebanyak 50 mg “mati”
Dampak pada tikus yang 100 % hanya mengkonsumsi cassava selam a 7 hari penelitian terhadap tiroid adalah nyata terjadi peningkatan berat tiroid,
menurunkan daya tahan kelenjar tiroid terhadap keseimbangan iodin (D)
-
50
-
-
-
-
-
Manusia
(D)
8
Sambungan :
No
Nama Peneliti /
Tahun
KCN
NaCN
Kand. Goiterogenik (Sianida) ….mg/kg diet
(Ca(CN)2)
HCN
[KAg(CN)2]
SilCN SCN-
CN -
Objek
Hasil
Peningkatan nilai ETU sebanyak 20,2 mg/l sedangkan
parameter lain mengalami perubahan tidak bermakna.
Pada kandungan tiosianat sebanyak 19 mg/l, ditandai
dengan adanya peningkatan nilai ETU menjadi 3,5 mg/l.
Sedangkan parameter lain berubah tetapi masih tetap
berada dalam batasan normal.
Meningkatkan berat tiroid pada kelompok tikus I-SE+
dan I-S E- .
Indikator wilayah endemic GAKI. (nilai ETU 5,9 – 6,4
mg/l).
Terjadi penurunan sekresi dua hormon tiroid (T4 dan
T3) akibat penurunan fungsi tiroid.
Total intake sianida 0, HCN 24 dan Tiosianat 48 mg/kg.
• Sesudah 1 hari pemberian dosis ditemukan kasus
Dyspnoea, Ataxia, Tremors dan Hypothermia.
• Sesudah 2 hari pemberian dosis dua ekor
hamster mati dengan dosis 12 mg dan satu ekor
mati degan dosis 14 mg.
Sesudah 3 minggu pemberian dosis terjadi
perkembangan pembengkakan kelenjar thyrois dan
kanker usus besar.
• 37, 2 mg HCN dari almonds berbahaya untuk
orang dewasa.
• 6,2 mg HCN dari almonds berbahaya untuk anakanak.
• Nilai EYU rendah dengan kategori endemic
sedang.
14
Dahlberg et al., 1984
-
-
-
-
-
8
-
-
Manusia
(D)
15
Dahlberg et al, 1985
-
-
-
-
-
3,9-19
-
-
Manusia
(D)
16
Contempre et al., 2003
-
20
-
-
-
-
-
-
Tikus (D)
17
Ance dkk. 2001
-
-
-
-
-
23,7 29,3
-
-
Manusia
(D)
18
Philbrick et al., 1979
1500
-
-
-
-
-
-
-
Tikus (D)
19
Umoh et al., 1986
-
-
30
-
-
-
-
-
Tikus (D)
20
Frakes et al., 1985
-
-
10;12;
14
-
-
-
-
-
Hamster
(O)
21
Olusi et al., 1979
5 dan
10
-
-
-
-
-
-
-
Tikus (D)
22
Askar and Moral, 1983
Shargg et al., 1982
-
-
37,2
dan
6,2
-
-
-
-
-
Manusia
(D)
23
Picauly, 1999
-
-
56
-
-
-
-
-
Manusia
(D)
Keterangan :
KCN
: Potasium Sianida
NaCN : Sodium Sianida
HCN
: Hidrogen Cianide
SilCN : Silver Sianida
SCN: Tiosianat
(Ca(CN)2) : Calcium Sianida
Bentuk Pemberian Dosis : (O) untuk Oral ; (D) untuk Diet dan (I) untuk Injection atau suntikan
[ KAg(CN)2]] : Potasium Silver Sianida
CN: Sianida
9
KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
Kerangka Pemikiran
Baik buruknya tingkat konsumsi dan penyerapan iodin merupakan salah satu
faktor etiologi munculnya permasalahan GAKI pada suatu daerah. Studi epidemiologi
menyimpulkan bahwa jika asupan iodin cukup maka seseorang dapat terhindar dari
masalah gangguan akibat kekurangan iodin. Meskipun demikian masalah GAKI dapat
pula timbul pada seseorang yang mengkonsumsi iodin dalam jumlah cukup tetapi
disertai dengan konsumsi zat goiterogen (tiosianat) dalam jumlah yang tinggi.
Selanjutnya studi epidemiologi telah menemukan suatu kenyataan bahwa pada
daerah endemik GAKI, tingkat konsumsi goiterogenik lebih tinggi jika dibandingkan
dengan daerah non-endemik.
Namun, hasil penelitian epidemiologi yang lain
menunjukkan bahwa pada daerah non-endemik dan endemik sama -sama mempunyai
nilai kandungan iodin dalam urin yang relatif rendah (< 100 ìg/L) dan kandungan
tiosianat dalam urin yang tinggi (41 – 46 ìg/L). Keadaan ini secara tidak langsung
menggambarkan bahwa kedua daerah tersebut sama-sama mempunyai tingkat konsumsi
bahan pangan sumber goiterogenik yang tinggi dibanding bahan pangan sumber iodin.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah GAKI adalah
meningkatkan asupan iodin melalui program intervensi GAKI dengan bentuk fortifikasi
garam ber iodin.
Kerangka pemikiran konseptual dari interaksi antara iodin dan
goiterogenik terhadap
Gambar 6.
munculnya
masalah
kekurangan iodin dapat dilihat pada
35
Konsumsi pangan mengandung
iodin ( µg/g)
Defisiensi
Iodin
GAKI
Asupan
Iodin
Rendah
Asupan
Iodium
Asupan
Iodin
Cukup
Asupan
Goiterogenik tinggi
GAKI
Asupan
Goiterogenik rendah
Konsumsi Goiterogenik
( ì g/g )
Asupan Iodin tinggi
Intervensi GAKI :
Fortifikasi Garam beriodin
Keterangan :
adalah Garis Intervensi (Langkah Pemecahan Masalah GAKI)
adalah Garis Permasalahan
adalah Garis Hubungan Antarvariabel
adalah Variabel yang tidak diteliti
adalah Variabel yang diteliti
Gambar 6 Kerangka Pemikiran Munculnya Masalah GAKI.
Bebas
GAKI
36
DEFINISI OPERASIONAL
1. Dinamika iodin adalah persentase (%) penyerapan I131 dalam organ tubuh tikus
seperti kulit, ginjal, hati, jantung, otak, kelenjar tiroid, dan kelenjar saliva.
2. Zat goiterogen adalah zat yang dapat menghambat penyerapan dan metabolisme
iodin dalam tubuh. Zat ini terbagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok tiosianat,
kelompok tiourea, dan kelompok kelebihan iodin.
3. Nilai urinary iodine excretion (UIE) atau ekskresi iodin melalui urin tikus adalah
kandungan iodin yang terdapat dalam urin tikus.
4. Tikus yang kurang iodin adalah tikus percobaan yang kandungan iodin dalam
urinnya lebih rendah 1154 ì gI/L.
5. Tikus yang tidak kurang iodin (normal) adalah tikus yang kandungan iodin dalam
urinnya lebih besar dari 1155 ì gI/L.
6. Ransum yang kurang kandungan iodin adalah ransum tikus percobaan yang dibuat
dengan komposisi kurang iodin.
7. Ransum yang cukup kandungan iodin adalah makanan tikus percobaan yang dibuat
dengan komposisi cukup kandungan iodin berdasarkan standar AOAC (1984) .
8. Ransum kelompok tikus fortifikasi dibuat dengan penambahan KIO3 sebanyak 30
ppm/g ransum sebagai sumber iodin.
9. Ransum yang mengandung kalium sianida (KCN) adalah ransum kurang kandungan
iodin dan ransum cukup kandungan iodin yang masing-masing ditambahkan kalium
sianida dengan konsentrasi rendah (0.06 mgKCN/kg bb tikus ) dan konsentrasi tinggi
(0.6 mgKCN/kg bb tikus ).
37
BAHAN DAN METODE
Disain Penelitian
Penelitian merupakan pure experimental study, dengan menggunakan
binatang percobaan di laboratorium (Aswar, 1999). Rancangan yang digunakan
adalah Rancangan Kelompok dengan perlakuan fortifikasi KIO3 dan penambahan
KCN pada ransum yang digunakan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung
dari bulan April sampai November 2005
dengan uraian sebagai berikut.
1.
Pemberian makan tikus dan pengamatan fisiologi tubuh tikus dilakukan di
Laboratorium Gizi Masyarakat, Fakultas Pertanian, IPB Bogor.
2.
Analisis kandungan iodin dalam urin dilakukan di Laboratorium Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang dan analisis kandungan iodin
dalam feses dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Balitbang Cimanggu,
Bogor.
3.
Penyuntikan isotop
131
I, pembedahan tikus dan persiapan sampel untuk
analisis T3 , T4 dilakukan di Laboratorium Isotop, Fakultas Kedokteran
Hewan IPB dan pembacaan cacahan dilakukan di Balai Penelitian dan
Pengembangan Ternak Ciawi, Bogor.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi hewan percobaan,
kandang dan peralatan percobaan, dan ransum percobaan.
Hewan Percobaan
Tikus yang digunakan adalah tikus putih betina strain Wistar lepas sapih
(umur 21 hari) yang diperoleh dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan,
Jakarta. Kelompok anak tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang
38
berasal dari induk tikus yang normal.
Adapun pertimbangan untuk tidak
menggunakan tikus yang dilahirkan dari induk yang hipotiroid menurut Edmon
dan Geffith (1949) dan Malole dan Pramono (1989) adalah
•
Anak yang dilahirkan dari induk ini cenderung dalam keadaan cacat serta
mengalami gangguan fungsi permanen dari semua organ tubuh termasuk
kelenjar tiroid, sehingga sudah tidak layak lagi untuk dijadikan hewan
percobaan.
•
Jumlah anak tikus yang dilahirkan cenderung lebih kecil dari jumlah normal
yang lahir yaitu 4 – 6 ekor sehingga sangat kecil kemungkinan untuk
memperoleh jumlah anak tikus yang diinginkan.
•
Jenis kelamin dan BB (g) cenderung lebih bervariasi sementara dalam
penelitian ini sangat dibutuhkan keseragaman dalam indikator tersebut.
Sebelum masuk dalam tahap percobaan, tikus diadaptasikan dengan
lingkungan baru selama tiga hari dan selama itu sudah diberikan ransum standar
dan air aquades (air minum) secara adlibitum.
Kandang dan Peralatan Percobaan
Kandang untuk tikus dibuat dari bahan stainless steel, dengan ukuran
masing-masing kandang 40, 30, dan 25 cm3. Kandang-kandang standar tersebut
dilengkapi dengan tempat makan dan minum.
Gambar 7 menunjukkan bahwa
kandang juga dilengkapi dengan disain khusus sebagai tempat untuk menampung
hasil pembuangan urin dan feses dengan bentuk segitiga terbalik dan terbuat dari
bahan alumunium (Edmon dan Geffith, 1949; Malole dan Pramono, 1989).
Kandang-kandang disusun berjajar pada rak besi di dalam laboratorium
tikus di
Laboratorium Metabolik Gizi Masyarakat, Fakultas Pertanian IPB,
Bogor.
Peralatan standar lain yang dibutuhkan seperti Timbangan OHAUS
model PP 600 dengan ketelitian 0.1mg untuk menimbang bobot badan tikus dan
peralatan pembuat dan pe nyimpan ransum yang terdiri atas mesin giling, baskom,
panci, dan lemari pendingin serta peralatan pembiusan, pembedahan, pengambilan
sampel darah di laboratorium.
39
Gambar 7 Contoh Kandang Tikus Percobaan
Ransum Tikus Percobaan
Ransum yang diberikan pada tikus percobaan terbagi atas 12 jenis dengan
komposisi seperti yang terlihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Komposisi 12 jenis Ransum Tikus Perlakuan
Komposisi
Ransum Perlakuan
CMC (g/100g)
Minyak Mazola
(g/100g)
Casein (g/100g)
Pati Jagung (g/100g)
Vitamin Mixture
(g/100g)
Mineral Mixture
g/100g)
Mineral Mixture*)
(g/100g)
Iodin (ppm)**
Iodin (ppm)**
KCN (mg/kg)
KCN (mg/kg)
KCN (mg/kg)
1.00
1
√
2
√
3
√
Jenis Ransum Tikus Per lakuan
4 5
6
7 8
9 10
√ √ √ √ √ √
√
7.88
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
11.68
69.29
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
1.00
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
4.88
√
√
√
√
√
√
-
-
-
-
-
-
4.88
-
-
-
-
-
-
√
√
√
√
√
√
30.0
0.00
0.00
0.06
0.60
√
√
-
√
√
-
√
√
√
√
-
√
√
-
√
√
√
√
-
√
√
-
√
√
√
√
-
√
√
-
√
√
Jumlah
11
√
12
√
Keterangan : *) adalah mineral mixture yang dalam komposisinya dikurangi Iodin
**) adalah KIO3 dalam bentuk iodin
Komposisi 12 jenis ransum :
1. Ransum 1 : Ransum standar cukup iodin, tidak difortifikasi dan tidak ditambahkan KCN
2. Ransum 2 : Ransum standar cukup iodin, tidak difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.06 mg
3. Ransum 3 : Ransum standar cukup iodin, tidak difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.6 mg
4. Ransum 4 : Ransum standar cukup iodin, difortifikasi dan tidak ditambahkan KCN
5. Ransum 5 : Ransum standar cukup iodin, difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.06 mg
6. Ransum 6 : Ransum standar cukup iodin, difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.6 mg
7. Ransum 7 : Ransum standar kurang iodin, tidak difortifikasi dan tidak ditambahkan KCN
8. Ransum 8 : Ransum standar kurang iodin, tidak difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.06 mg
9. Ransum 9 : Ransum standar kurang iodin, tidak difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.6 mg
10. Ransum 10: Ransum standar kurang iodin, difortifikasi dan tidak ditambahkan KCN
11. Ransum 11: Ransum standar kurang iodin, difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.06 mg
12. Ransum 12: Ransum standar kurang iodin, difortifikasi dan ditambahkan KCN 0.6 mg
40
Metode Peneliti an
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua (2) tahap. Tahap pertama adalah
tahap pra-penelitian untuk menentukan nilai kandungan iodin dalam urin tikus
yang kekurangan iodin dan tidak kekurangan iodin.
Tahap kedua adalah tahap penelitian yang diawali dengan pengelompokan
sebanyak 72 tikus menjadi dua (2) kelompok yaitu kelompok tikus yang diberikan
ransum kurang iodin (KI) dan kelompok tikus yang diberikan ransum cukup iodin
(TKI) masing-masing 36 ekor tikus. Kemudian kedua kelompok tersebut dibagi
menjadi empat (4) kelompok perlakuan yaitu KI -TF (Kurang Iodin yang tidak
difortifikasi KIO3), KI-F (Kurang Iodin yang difortifikasi KIO3), TKI-TF (Tidak
Kurang Iodin yang difortifikasi KIO 3), dan TKI-F (Tidak Kurang Iodin yang
difortifikasi KIO3 ).
Semua kelompok tikus perlakuan diberikan 12 jenis ransum selama 35
hari, sehingga setiap jenis ransum diberikan kepada tiga (3) ekor tikus dalam
setiap kelompok. Selanjutnya 72 ekor tikus tersebut diambil sampel darah dan
dilanjutkan dengan penyuntikan isotop
131
I, pembiusan, pembedahan dan
dilakukan analisis hormon tiroid dan radionuklida.
Tahap Pra-Penelitian
Tahap pra-penelitian dilakukan untuk mengetahui status iodin dari tikus
percobaan melalui analisis konsentrasi iodin dalam urin (UIE) tikus. Tahap ini
menggunakan sembilan (9) ekor tikus betina. Tikus tersebut dibagi menjadi tiga
(3) kelompok dengan masing-masing kelompok
beranggotakan tiga (3) ekor
tikus.
Kelompok tikus pertama diberi ransum cukup iodin, kelompok tikus kedua
diberi ransum kurang iodin dan sianida sebanyak 0.06 mgKCN/bb tikus.
Selanjutnya, kelompok tikus ketiga diberi ransum kurang iodin dan sianida 0.6
mgKCN/bb tikus.
Ketiga kelompok tikus diberi makan selama 10 hari.
Selanjutnya urin dikumpulkan untuk dianalisis konsentrasi iodin dalam urin tikus
percobaan dengan menggunakan metode spektrofotometer
Gambar 8 menunjukkan prosedur kerja dari tahap pra-penelitian.
(Lampiran 1).
41
9 ekor anak tikus betina
Diberi makan selama
10 hari dengan komposisi KCN dalam ransum sebagai
berikut :
Tikus Kontrol
Ransum standar
(3 ekor tikus)
Ransum standar tanpa mineral iodin
+ 0.06 mg KCN / gr bobot tikus
(3 ekor tikus)
Ransum standar tanpa mineral
iodin + 0.6 mg KCN / gr bobot tikus
(3 ekor tikus)
Urin selama 10 hari dikumpulkan dan kandungan
iodine dianalisis kandungan iodium dengan
Metode Spectrofotometer
Perbandingan hasil analisis kandungan
iodium dalam urin antara tikus kontrol
dengan tikus percobaan
Penetapan Kategori Status Iodin berdasarkan Nilai
UIE dalam Urin Tikus (TKI dan KI)
Gambar 8 Penentuan Kandungan Iodin dalam Urin Tikus.
42
Tahap Penelitian
1. Tahap Penentuan Kelompok Tikus Percobaan
Pada tahap ini dilakukan pengelompokan 72 ekor tikus menjadi dua (2)
kelompok tikus yaitu KI (kurang iodin) dan TKI (tidak kurang iodin). Tikus
kelompok KI dihasilkan dari pemberian ransum kurang iodin sedangkan TKI
dihasilkan dari pemberian ransum cukup iodin. Tikus percobaan dimasukkan ke
dalam kandang metabolik.
Pemberian ransum dilakukan selama 15 hari.
Setiap hari kandang
dibersihkan, tikus ditimbang bobot badan dan urin tikus dikumpulkan. Pada akhir
waktu perlakuan (hari ke -16) , urin ter kumpul, kemudian dianalisis konsentrasi
iodinnya menggunakan metode spektrofotometer (Lampiran 1) dan pertambahan
bobot badan tikus selama 15 hari perlakuan juga diukur (Gambar 9).
2. Tahap Perlakuan Pemberian Jenis Ransum
Dua kelompok tikus (KI dan TKI) yang terbentuk diberikan ransum yang
difortifikasi dan tidak difortifikasi KIO3 dengan penambahan KCN dosis ganda
(0.0, 0.06, dan 0.6 mg) pada semua kelompok tikus. Untuk mempermudahkan
peneliti dalam pember ian ransum maka secara sengaja tikus dibagi dalam empat
kelompok perlakuan yaitu kelompok tikus KI-TF (Kurang Iodin yang tidak
difortifikasi KIO3), KI-F (Kurang Iodin yang difortifikasi KIO3), TKI-TF (Tidak
Kurang Iodin yang difortifikasi KIO 3), dan TKI-F (Tidak Kurang Iodin yang
difortifikasi KIO3). Selanjutnya kepada setiap kelompok tikus perlakuan diberi
makan 12 jenis ransum (ransum dan air secara adlibitum) selama 35 hari dengan
jenis ransum yang telah ditambahkan sianida (KCN) sebanyak 0.06 atau 0.6
mgKCN/bobot badan tikus.
Selama perlakuan dilakukan pencatatan terhadap ada tidaknya perubahan
anatomi dan fisiologi tubuh dan bobot badan ditimbang. Urin dan feses
dikumpulkan selama 35 hari untuk dilakukan analisis kandungan iodin dengan
menggunakan metode spektrofotometer (Lampiran 1-3), selanjutnya dilakukan
pembedahan dan analisis kimia setiap minggu pertama, ketiga , dan kelima
percobaan (Gambar 10).
43
72 ekor anak Tikus strain Wistar
sehat umur lepas sapih (21 hari)
Dimasukkan ke dalam kandang metabolik.
Tiap kandang 1 ekor tikus
Pemberian 2 jenis ransom percobaan
+ minum secara adlibitum (Hari 1)
Pembersihan kandang; penimbangan BB,
pengumpulan urin
Pemberian 2 jenis ransom percobaan
+ minum secara adlibitum (Hari 2)
Pemberian 2 jenis ransom percobaan
+ minum secara adlibitum (Hari 15)
Analisis kandungan iodin dalam urin tikus
36 anak tikus kelompok KI
36 anak tikus kelompok TKI
Gambar 9 Penentuan Kelompok Tikus.
44
72 anak tikus
kelompok KI
18 anak tikus
perlakuan KI-TF
18 anak tikus perlakuan
KI + KIO3
18 anak tikus
TKI-TF
18 anak tikus perlakuan
TKI + KIO 3
BB (g) ditimbang dengan NeracaOhaus
Diberikan 12 jenis ransum perlakuan
(minggu ke 1)
kandang dibersihkan, perubahan fisiologi tubuh dicatat,
BB (g) ditimbang; urin & f eses dikumpulkan
(minggu ke 1)
Pengambilan darah, penyuntikkan 131I, pembedahan,
analisis hormon tiroid dan radionuklida minggu 1
Diberikan 12 jenis ransum perlakuan
(minggu ke 3)
kandang dibersihkan, perubahan fisiologi tubuh
dicatat, BB (g) ditimbang; urin & feses dikumpulkan
(minggu ke 3)
Pengambilan darah, penyuntikkan 131I, pembedahan,
analisis hormon tiroid dan radionuklida minggu 3
Diberikan 12 jenis ransum perlakuan
(minggu ke 5)
kandang dibersihkan, perubahan fisiologi tubuh
dicatat, BB (g) ditimbang; urin & feses dikumpulkan
(minggu ke-5)
Pengambilan darah, penyuntikkan 131I, pembedahan,
analisis hormon tiroid dan radionuklida minggu 5
Gambar 10 Tahap Perlakuan.
45
3. Tahap Pembedahan dan Analisis Kimia
Distribusi iodin dalam tubuh tikus dan konsentrasi hormon T4 dan T3
diketahui melalui proses pembedahan dan analisis kimia serum darah tikus
percobaan.
Sebelum dilakukan proses pengambilan darah, tikus percobaan
dihangatkan ke dalam desikator yang bersuhu 100oC selama satu menit.
Selanjutnya, tikus dikeluarkan dan dilakukan pengambilan sampel darah melalui
ekor sebanyak 5 – 10 mL. Analisis konsentrasi T4 dan T3 dalam sampel darah
dilakukan dengan metode Radioimmunoassay.
Setelah proses pengambilan sampel darah selesai, tikus disuntik isotop 131 I
dosis 0.1 mLCi dan dipindahkan ke kandang selama dua jam. Selanjutnya, tikus
dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam tempat bedah. Tikus tersebut dibersihkan
dari bulu dengan cara mencukur daerah toraks sampai daerah perut dan dioleskan
alkohol 70%. Setelah itu, tikus dibius dengan ether dan dibiarkan sampai pingsan
(Gambar 11). Organ tubuh tikus yang akan dianalisis kandungan iodinnya adalah
kelenjar tiroid, kelenjar saliva, jantung, hati, otak, ginjal, dan kulit.
46
72 ekor tikus perlakuan
Tikus dimasukkan dan didiamkan dalam desikator selama ± 1 menit suhu 100oC
analisa T 4 dan T 3
dalam serum darah
menggunakan metode
Radioimmunoassay
Tikus dikeluarkan & diambil darah melalui ekor 5 - 10 mL
disuntikkan Isotop I-131 (jarum suntik ukuran 20x0,5 mm) dosis 0.1 mCi
Tikus dipindahkan ke kandang selama 2 jam
Tikus dikeluarkan dan di letakkan pada tempat bedah
Kulit dibersihkan dari bulu dengan cara dicukur daerah toraks (dada)
sampai daerah perut dan dioleskan alkohol 70%.
Tikus dibius atau dianaesthesi dengan ether
Tikus dibiarkan sampai pingsan
Dibuka daerah dada sampai daerah perut, dan diambil organ tubuh tikus yang akan dianalisis
kandungan iodiumnya adalah kelenjar tiroid, kelenjar saliva, jantung, hati, otak, ginjal dan kulit.
Counting (pembacaan) dengan menggunakkan
sistem pengesan sinar gamma otomatis
Gambar 11 Pengambilan Darah, Penyuntikkan Isotop 131 I, Pembedahan, Analisis
Hormon Tiroid dan Analisis Radionuklida.
47
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan
perlakuan yang digunakan adalah rancangan faktoria l dengan
2 faktor yaitu
faktor, dosis KCN dalam ransum tikus (D) serta faktor lama waktu pengamatan
(W).
Yang menjadi kelompok percobaan adalah kelompok tikus (T) dengan
empat (4) status iodin yang berbeda . Dengan demikian terdapat 36 kombinasi
taraf faktor dengan keterangan seperti yang terlihat di bawah ini :
D
: besarnya dosis KCN yang diberikan yaitu 0, 0.06, dan 0.6 mg/g bb tikus.
W
: waktu pemberian ransum sekaligus melakukan analisis kimia, yaitu
minggu I, III dan V (terakhir).
T
: 1. Tikus yang kekurangan iodin.
2. Tikus yang tidak kekurangan iodin / normal.
3. Tikus yang kekurangan iodin + fortifikasi garam beriodin.
4. Tikus yang tidak kekurangan iodin + fortifikasi garam beriodin.
Masing-masing kombinasi taraf faktor diulang sebanyak 2 kali sehingga
diperole h 72 satuan percobaan atau 72 ekor tikus (Gaspersz, 1994 dan Steel dan
Torrie, 1980).
Satu satuan percobaan terdiri atas satu ekor tikus yang terpilih.
Model Linier bagi rancangan percobaan yang digunakan di atas adalah
Yi jkl = µ + Ki + α j + βk + δ l + (α
α j βkδ l )+ ε ijk
Dimana :
Yijkl
adalah nilai semua variabel pengamatan pada tikus percobaan kelompok
ke i, dosis KCN ke j, pengamatan pada minggu ke k, dan fortifikasi
KIO 3 ke l.
µ
adalah nilai tengah umum
Kl
adalah pengaruh setiap kelompok percobaan ke i ( i = 1,2)
αi
adalah pengaruh kandungan KCN dalam ransum tikus pada dosis ke j
(j = 1,2,3)
βj
adalah pengaruh waktu pengamatan pada minggu ke k (k = 1,2,3)
δl
adalah pengaruh peubah KIO3 dalam ransum tikus ke l (l = 1,2)
ε ijk
adalah gala t (error)
48
Jenis dan Analisis Data
Jenis data yang dikumpulkan
1. Bobot badan dan panjang badan tikus perlakuan sejak berumur lepas sapih
sampai umur terakhir pengamatan yaitu 70 hari. Data ini diukur dengan
interval waktu 2 hari dengan menggunakan timbangan OHAUS model PP
600 dan penggaris 30 cm.
2. Pencatatan perubahan fisiologis tubuh tikus percobaan dengan interval
minggu pengamatan, meliputi anggota tubuh (mata dan bulu), Kebiasaan
Makan, penampakkan tubuh, dan tingkah laku tikus.
3. Nilai UIE dan feses dari tikus percobaan pada awal dan akhir perlakuan.
4. Distribusi iodin dalam organ tubuh tikus perlakuan yang diberikan dosis
KCN yang berbeda.
5. Persentase pengambilan 131 I dalam organ tikus.
Analisis Data
Data kandungan iodin dalam urin dan feses, konsentrasi T3 dan T4,
panjang dan bobot badan, dan persentase penyerapan 131I dalam organ tubuh tikus
perlakuan ditabulasi dan ditampilkan dalam bentuk dia gram batang.
Untuk melihat beberapa aspek seperti hubungan, pengaruh, dan uji beda
antara masing-masing variabel (independent dan dependent) digunakan perangkat
statistik SPSS 12.0 for Windows.
Jenis alat statistik yang digunakan adalah
Analisis Korelasi Pearson, Analisis Univariat dan Uji Beda Duncan dengan
tingkat kepercayaan 95 dan 99 % (α = 0.05 dan 0.01).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Iodin Hewan Perlakuan
Tikus putih strain Wistar digunakan dalam penelitian ini dengan alasan
bahwa pada umumnya tikus mempunyai struktur anatomi tubuh yang lebih
lengkap dibanding binatang vetebrata lain dan hampir sama dengan manusia
(Gambar 12). Edmon dan Griffith (1949) mengatakan bahwa beberapa hal dari
tikus yang memiliki kesamaan dengan manusia seperti perlengkapan organ dan
sistem pencernaan serta elemen darah walaupun jumlahnya relatif sedikit.
Ket : Kelenjar endokrin pada (a) manusia dan (b) tikus. A= hipotalamus, B=Pituitari (anterior dan
posterior), C= tiroid (termasuk sel C), D= paratiroid, E= usus, F= adrenal (korteks dan
modula), G= pankreas, H= ginjal, I= ovari (pada betina) dan J= testis (pada jantan).
Gambar 12 Beberapa Kesamaan Organ Tubuh antara Manusia dan Tikus (Alias
Kamis, 1999).
Sumber http://www.nap.edu/openbook/0309051266/html/11.html (2000)
menjelaskan bahwa kecukupan gizi (contohnya kecukupan iodin) untuk tikus
sama dengan kecukupan gizi untuk manusia dan memiliki pola makan yang sama
50
kecuali lebih aktif makan pada malam hari atau hewan nocturnal (Malole dan
Pramono, 1989).
A. Tahap Pra-Penelitian
Sampai saat ini penelitian dengan menggunakan bahan antitiroid untuk
mengakibatkan kondisi kurang iodin atau hipotiroid pada hewan perlakuan lebih
banyak ditujukan untuk mengetahui fungsi kerja kelenjar tiroid dan hormon tiroid.
Diantaranya, Sigit (1992) dalam penelitiannya memberikan tiourea (H2NCSH 2)
secara ad libitum pada anak tikus untuk menjadikan anak tikus kurang iodin.
Sedangkan Susanto (2000) hanya menggunakkan jenis ransum yang kurang iodin
untuk menjadikan anak tikus putih yang kurang iodin.
Tahap pra-penelitian ini menggunakan jenis ransum yang berbeda . Adapun
tujuannya adalah untuk mengetahui kandungan iodin dalam urin tikus yang tidak
kurang iodin dan kurang iodin. Tikus yang tidak kurang iodin diberi ransum
standar cukup iodin sedangkan tikus yang kurang iodin diberi ransum kurang
iodin dan ditambahkan sianida dosis ganda (0.06 dan 0.6 mgKCN/kg bb) selama
10 hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus yang tidak kurang iodin
mempunyai sebaran kandungan iodin dalam urin dari 1555 sampai 3276 µg/L.
Sedangkan secara umum tikus yang kurang iodin mempunyai sebaran kandungan
iodin dalam urin dari 403 sampai 1154 µg/L (Tabel 14).
Tabel 14 Kandungan Iodin dalam Urin Tikus (µg/L) Tahap Pra Penelitian
Nomor Sampel
1
2
3
Rerata
Kontrol
1555
2872
3276
2568
Tikus Perlakuan
Perlakuan A
(0.06 mgKCN)
1154
1153
1154
1154
Perla kuan B
(0.6 mgKCN)
914
403
1043
787
Tabel 14 menunjukkan adanya perbedaan yang jelas antara besar
kandungan iodin dalam urin ketiga kelompok tikus, dimana kandungan iodin
dalam urin tikus tidak kurang iodin lebih tinggi dibanding kandungan iodin dalam
51
urin tikus kurang iodin (Perlakuan A dan B). Hal ini menunjukkan bahwa sianida
dapat berperan dalam menurunkan kandungan iodin urin tikus perlakuan A dan B.
Sehubungan dengan hasil yang diperoleh pada tahap pra-penelitian, maka
untuk membedakan status iodin secara umum pada tahap perlakuan digunakan
dua batasan kandungan iodin dalam urin di atas. Status kurang iodin adalah
kelompok tikus yang mempunyai kandungan iodin dalam urin kurang dari 1154
µg/L (selang 787 sampai 1154 µg/L), sedangkan status iodin cukup adalah
kelompok tikus yang mempunyai kandungan iodin dalam urin sebesar lebih dari
1155 µg/L (selang 1155 sampai 2568 µg/L ).
B. Tahap Pene litian (Penentuan Kelompok Perlakuan)
Tahap penentuan ke lompok perlakuan bertujuan untuk mengkondisikan
tikus menjadi kelompok kurang iodin (KI) dan tidak kurang iodin (TKI) serta
mengetahui peranan sianida dalam menghambat penyerapan iodin dalam tubuh.
Untuk itu pembentukan kelompok tikus perlakuan menggunakan jenis ransum
yang berbeda yaitu jenis ransum cukup iodin diberikan kepada kelompok tikus
Tidak Kurang Iodin (TKI), sedangkan jenis ransum yang kurang iodin diberikan
kepada kelompok tikus Kurang Iodin (KI).
Pemberian ransum berlangsung
selama 15 hari perlakuan.
Status iodin tikus ditentukan dengan menggunakan indikator urinary
iodine excretion (UIE). Hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok tikus TKI
mempunyai kandungan UIE yang meningkat dari 1982.7 µg/L pada minggu I
menjadi 1988 µg/L pada minggu II. Selanjutnya, kelompok tikus KI mempunyai
kandungan UIE pada minggu I sebesar 1238 µg/L kemudian menurun menjadi
1125.5 µg/L pada minggu II (Gambar 13). Data ini sesuai dengan hasil yang
diperoleh pada tahap pra-penelitian, yaitu kelompok tikus TKI mempunyai
kandungan UIE lebih tinggi dari 1155 µg/L (selang 1155 sampai 2568 µg/L)
dibanding kelompok tikus KI yang mempunyai kandungan UIE lebih rendah dari
1154 (787 - 1154 µg/L).
Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui bahwa tidak terdapat
perbe daan rerata
kandungan UIE yang bermakna (p>0. 01) antarminggu
52
pengamatan, tetapi terdapat perbedaan rerata kandungan UIE yang bermakna
2000
400
Minggu 2
1988
800
Minggu 2
1125.5
1200
Minggu 1
1982.7
1600
Minggu 1
1238
Kandungan Iodin dalam Urin
(mcg/L)
(p<0. 01) antarkelompok tikus perlakuan (Gambar 13).
0
KI
Gambar 13
TKI
Kondungan Iodin dalam Urin Masa Penentuan Kelompok Tikus
Kurang Iodin (KI) dan Tidak Kurang Iodin (TKI).
Rendahnya sumbangan iodin dari ransum yang dikonsumsi merupakan
salah satu faktor utama rendahnya konsentrasi iodin dalam urin hewan perlakuan.
Ingbar dan Braverman (1986) menya takan bahwa pemberia n suplemen atau
fortifikasi iodin pada ransum akan memperbaiki status kurang iodin.
Zimmermann et al. (2005) dan Zimmermann (2006) mengatakan bahwa
pemberian
supplemen
atau
fortifikasi
iodin
secara
berlebihan
dapat
mengakibatkan kondisi seperti kurang iodin. Jika pemberian iodin dalam jumlah
sedikit pada tikus atau manusia tidak memberikan perubahan terhadap perbaikan
status iodin terutama dalam penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid (Wolff dan
Chaikoff, 1948 dan Nagataki dan Ingbar, 1964).
Akan tetapi, apabila iodin
diberikan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh maka akan
memberikan pengaruh positif pada perubahan status iodin terutama pada
penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid.
Analisis univariat menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata
yang bermakna pada pertambahan bobot badan kelompok tikus perlakuan
(p>0.05) antarminggu maupun kelompok tikus perlakuan (Gambar 14). Kondisi
ini menunjukkan bahwa kelompok tikus KI dan TKI tidak mempunyai
permasalahan dengan konsumsi pangan.
53
Minggu 1
54.9
30
20
Minggu 2
55.4
40
Minggu 2
54.6
50
Minggu 1
54.3
Bobot Badan (g)
60
10
KI
TKI
Gambar 14 Bobot Badan (g) selama Masa Penentuan Kelompok Tikus Perlakuan.
Kelompok tikus perlakuan selanjutnya dibagi menjadi empat (4) kelompok
yakni kelompok tikus yang diberikan ransum kurang iodin -tidak fortifikasi (KITF), kurang iodin -fortifikasi (KI-F), tidak kurang iodin -tidak fortifikasi (TKI-TF),
dan tidak kurang iodin-fortifikasi (TKI-F).
Peranan Tiosianat dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus
Iodin merupakan zat gizi yang dibutuhkan tubuh walaupun da lam jumlah
yang sangat sedikit. Iodin yang diserap oleh kelenjar tiroid akan digunakan untuk
sintesis hormon tiroid (T4 dan T3). Selanjutnya hormon T 4 (tiroksin ) berfungsi
dalam sintesis protein yang merupakan enzim dalam oksidasi fosforilasi di
mitokondria yang mengubah NADH dan FADH2 menjadi ATP.
ATP ini
selanjutnya dimanfaatkan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh
baik untuk manusia maupun hewan.
Pada Tabel 15 terlihat bahwa kelompok tikus KI-TF dan TKI-F
mengalami penurunan persentase pengambilan
131
I sampai minggu terakhir
pengamatan untuk kelompok tikus tanpa pemberian tiosianat (0 mgKCN). Iodin
yang tidak diserap oleh kelenjar tiroid pada kelompok KI-TF menyebar dan
terkumpul lebih banyak pada organ tubuh ginjal (3.8%), jantung (2.89%), dan
kelenjar saliva (4.2%). Sedangkan pada ke lompok tikus TKI-F, iodin yang tidak
diserap oleh kelenjar tiroid menyebar dan terkumpul lebih banyak di kulit (4.5%),
ginjal (5.9%), hati (5.5%), dan kelenjar saliva sebesar 4.5% (Lampiran 7).
54
Tabel 15 Persentase pengambilan
Perlakuan
Waktu
Pengamatan
Minggu I
Minggu III
Mimggu V
131
I (%) oleh Kelenjar Tiroid Kelompok Tikus
Kel. Tikus
Kel. Tikus
Kel. Tikus
Kel. Tikus
KI-TF
KI-F
TKI-TF
TKI-F
(mgKCN)
(mgKCN)
(mgKCN)
(mgKCN)
0 0.06 0.6
0
0.06 0.6
0
0.06 0.6
0
0.06 0.6
1.7 1.5 0.9 14.0 6.6 3.2 10.8 9.6 3.5 19.9 4.8 4.2
1.6 1.2 0.8 17.0 8.6 3.3 12.3 8.8 3.3 4.5 4.3 2.5
1.4 1.0 0.5 23.1 10.5 3.6 13.9 8.0 1.6 9.0 3.4 2.0
Kelompok tikus KI-F dan TKI-TF mempunyai persentase pengambilan
131
I oleh kelenjar tiroid meningkat sampai minggu terakhir pengamatan (Tabel
15). Besar persentase pengambilan131 I oleh kelenjar tiroid pada kelompok tikus
KI-F dan TKI-TF berada dalam interval rujukan Wartofsky (1998), yaitu 10
sampai 30% untuk kategori persentase pengambilan
Pemberian tiosianat dosis
pengambilan
0. 06
131
mgKCN
I normal dalam tubuh.
menurunkan
persentase
131
I oleh kelenjar tiroid pada semua kelompok tikus perlakuan
dibanding tanpa pemberian tiosianat. Penurunan persentase pengambilan
131
I ini
terus terjadi sampai minggu terakhir pengamatan di kelompok KI-TF (1.5 menjadi
1.0%), TKI-F (4.8 menjadi 3.4%), dan TKI-TF (9.6 menjadi 8.0%) kecuali pada
kelompok tikus KI-F yang mengalami peningkatan sampai minggu terakhir
pengamatan dari 6.6 menjadi 10.5% (Tabel 16). Lampiran Tabel 2 menunjukkan
bahwa
131
I terse but menyebar dan terkumpul lebih banyak di organ tubuh kulit
(5.2%), ginjal (5.7%), dan kelenjar saliva sebesar 6.8% untuk kelompok KI-TF.
Sedangkan pada kelompok tikus TKI-F peningkatan persentase pengambilan
131
I
terjadi di organ tubuh kulit (6.3%), ginjal (6.1%), jantung (5.9%), dan kelenjar
saliva (5.1%).
Kemudian untuk kelompok tikus TKI-TF terjadi peningkatan
persentase pengambilan
131
I hanya pada organ tubuh kelenjar saliva yaitu sebesar
10.3%.
Penambahan tiosianat dosis
persentase pengambilan
131
perlakuan dan mengalami
0.6 mgKCN menyebabkan penurunan
I oleh kelenjar tiroid pada semua kelompok tikus
penurunan sampai minggu terakhir pengamatan
dibanding dosis perlakuan 0 dan 0.06 mgKCN. Perbandingan nilai persentase
pengambilan
131
I oleh kelenjar tiroid antara dosis perlakuan 0.6 mgKCN dengan
dosis perlakuan tanpa KCN, terlihat bahwa terjadi penurunan persentase
pengambilan 131I sekitar 50% pada semua kelompok perlakuan (Tabel 15). Hal ini
55
menandakan bahwa kondisi kekurangan iodin semakin diperparah akibat
penambahan dosis tiosianat.
Untuk kelompok TKI-TF peningkatan persentase pengambilan
131
I terjadi
pada organ tubuh seperti kulit, ginjal, jantung, dan kelenjar saliva berturut-turut
sebesar 5.6%, 5.8% , 4.0%, dan 4.0%. Sedangkan pada kelompok tikus TKI-F
peningkatan persentase pengambilan
131
I terjadi pada organ tubuh seperti kulit,
ginjal, dan kelenjar saliva berturut-turut sebesar 4.1%, 3.3%, dan
Selanjutnya
kelompok
pengambilan
131
tikus
KI-TF
mempunyai
peningkatan
3.0%.
persentase
I terjadi pada organ tubuh seperti kulit, ginjal, hati, dan kelenjar
saliva berturut-turut sebesar 5.6%, 5.0%, 4.7%, dan 4.0%. Kemudian
kelompok tikus KI-F peningkatan persentase pengambilan
131
pada
I terjadi pada organ
tubuh seperti kulit, ginjal, hati, jantung, dan kelenjar saliva berturut-turut sebesar
5.2%, 6.8% , 4.5%, 5.5%, dan 3.4%.
Greer et al . (1966) menyatakan bahwa semakin besar penambahan dosis
tiosianat maka fungsi kerja tiroid dalam tubuh dapat menurun sebanyak 50%.
Keadaan seperti ini dialami oleh anak-anak di Ubangi (Zaire) yang kurang iodin
akibat kelebihan konsumsi cassava (ubi kayu). Persentase pengambilan
131
I pada
anak-anak ini sebesar 1.1 – 9.4% (Thilly et al., 1993).
Analisis univariat menunjukkan bahwa pemberian tiosianat secara
bermakna (p<0.01) dapat menurunkan persentase pengambilan
131
I oleh kelenjar
tiroid pada semua kelompok tikus perlakuan. Pemberian tiosianat dosis nol KCN,
0.06 mgKCN, dan 0.6 mgKCN menunjukkan adanya perbedaan pengaruh yang
bermakna (p<0.05).
Pada Gambar 15 terlihat bahwa sampai minggu ke -5, pemberian tiosianat
dosis 0.6 mgKCN lebih jelas menunjukkan penurunan persentase pengambilan
131
I oleh kelenjar tiroid pada semua kelompok tikus perlakuan.
Keadaan di atas
menunjukkan bahwa tiosianat tidak saja berperan pada kondisi kurang iodin (tikus
kelompok KI -TF dan KI-F), tetapi juga pada kondisi normal (tikus kelompok
TKI-TF dan TKI-F). Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Wilson dan Foster
(1992) bahwa sifat menghambat dari senyawa tiosianat akan efektif pada
konse ntrasi iodin dalam darah yang normal atau yang lebih rendah. Hal ini
56
disebabkan karena tiosianat pada kondisi tersebut dapat menghambat mekanisme
transport aktif iodin ke dalam kelenjar tiroid (Gaitan, 1980).
Persentase Pengambilan
131
I (%)
25.0
M1
20.0
M3
M5
0
0.06
15.0
10.0
5.0
0.0
0
0.06
0.6
KI-TF
0
0.06
0.6
KI-F
Gambar 15 Persentase pengambilan
TKI-TF
131
0.6
0
0.06
0.6
TKI-F
I (%) dalam Kelenjar Tiroid Tikus
Perlakuan.
Ingbar dan Braverman (1986) dan Brown-Grant (1961) menyatakan bahwa
organ tubuh lain yang biasa menjadi pool iodin selain kelenjar tiroid adalah cairan
lambung, kelenjar saliva, ke lenjar susu, ovari, testes, placenta dan kulit. Apabila
data pada Lampiran 7 divisualisasikan, maka akan diperoleh hasil seperti yang
disajikan pada Gambar 16. Hasil penelitian yang ditampilkan pada Gambar 16
menunjukkan bahwa organ tubuh yang paling sering menjadi pool iodin selain
kulit dan kelenjar saliva juga pada organ tubuh seperti jantung, hati, dan ginjal.
Brown-Grant (1961) menyatakan bahwa kelenjar saliva dapat mensekresi
radioaktif iodin dalam bentuk iodin anorganik (iodida), sehingga dapat juga
digunakan sebagai indikator analisis status iodin.
Sedangkan Linder (1992)
mengatakan bahwa iodin yang terkumpul di sel-sel target dan hati, akan
didegradasi dan dikonservasi untuk digunakan kembali jika dibutuhkan tubuh.
Hal ini seperti yang dialami oleh masyarakat di USA (Amerika Serikat) yang
mana dalam prakteknya simpanan iodin yang terkumpul pada sel-sel target atau
pada beberapa organ tubuh dapat menjadi cukup untuk proses kerja fungsi tiroid.
131
Persentase Pengambilan
I
131
Persentase Pengambilan
I
131
Persentase Pengambilan
I
57
1.0
0.9
0.8
Saliva
0.7
Tiroid
0.6
0.5
0.4
Otak
Jantung
Hati
0.3
0.2
0.1
0.0
Ginjal
Kulit
0 mgKCN
0.06 mgKCN
0.6 mgKCN
KI-TF
1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
Saliva
Tiroid
Otak
Jantung
Hati
Ginjal
Kulit
0 mgKCN
0.06 mgKCN
0.6 mgKCN
KI-F
1.0
0.9
0.8
Saliva
0.7
Tiroid
0.6
Otak
0.5
Jantung
0.4
Hati
0.3
Ginjal
0.2
Kulit
0.1
0 mgKCN
0.06 mgKCN
0.6 mgKCN
131
Persentase Pengambilan
I
TKI-TF
1.0
0.9
0.8
Saliva
0.7
0.5
Tiroid
Otak
0.4
Jantung
0.3
Hati
0.2
Ginjal
Kulit
0.6
0.1
0.0
0 mgKCN
0.06 mgKCN
0.6 mgKCN
TKI-F
Gambar 16 Rerata Pool
Iodin selain Kelenjar Tiroid dalam Tubuh Tikus
(Keterangan : 1. Kelenjar Saliva, 2. Kelenjar Tiroid, 3. Otak, 4. Jantung, 5. Hati,
6. Ginjal, dan 7. Kulit).
58
Lebih lanjut pada Gambar 16 memperlihatkan bahwa organ tubuh yang
lebih sering menjadi pool iodin pada saat terjadi penurunan persentase
pengambilan
131
I seiring dengan pertambahan dosis KCN adalah kulit.
Peningkatan persentase pengambilan
131
I oleh organ tubuh kulit terjadi pada
semua kelompok tikus perlakuan.
Pengaruh Tiosianat dalam Kejadian Kekurangan Iodin
Kejadian
kekurangan
iodin
di
dalam
penelitian
ini
ditentukan
menggunakan metode UIE (urinary iodine excretion) dan konsentrasi hormon
tiroid (T3 dan T4) dalam darah.
Brody (1999) dan Ganong (1989) mengatakan
bahwa saluran ekskresi utama iodin adalah mela lui saluran kencing (urin)
sebanyak 80% dan cara ini merupakan indikator utama pengukuran jumlah
pemasukan dan status iodin. Pengeluaran iodin melalui feses hanya sekitar 20%
dari total pengeluaran.
Tabel 16 menunjukkan bahwa
kandungan iodin
sampai minggu terakhir pengamatan
kelompok tikus KI-TF terus mengalami penurunan seiring
dengan peningkatan dosis tiosianat. Penurunan tersebut berturut-turut sebesar 841
menjadi 779 µg/L (tanpa tiosianat), 830 menjadi 782 µg/L (dosis 0.06 mgKCN),
dan 790 menjadi 767 µg/L (dosis 0.6 mgKCN). Pada setiap minggu pengamatan
terlihat pola penurunan yang sama sebagai akibat dari penambahan tiosianat
sampai dosis 0.6 mgKCN, berturut-turut sebesar 841 menjadi 790 µg/L (minggu
I), 817 menjadi 790 µg/L (minggu III), dan 779 menjadi 767 µg/L (minggu V).
Hal ini menandakan bahwa dalam kondisi kekurangan iodin, pemberian tiosianat
(KCN) dapat secara bermakna (p<0.05) terhadap penurunan kandungan iodin
dalam urin tikus perlakuan.
Tabel 16 Kandungan UIE (ìg/L) pada Kelompok Tikus Perlakuan selama Lima
Minggu Pengamatan
Waktu
Pengamatan
Minggu I
Minggu III
Mimggu V
Kel. Tikus
KI-TF (mgKCN)
0
841
817
779
0.06
830
783
782
0.6
790
790
767
Kel. Tikus
KI-F
(mgKCN)
0
0.06
0.6
984
1035 902
915
867
1088
1110 1079 1124
Kel. Tikus
TKI-TF
(mgKCN)
0
0.06
0.6
1681
1756 1766
2045
2034 2066
2124
2056 2072
Kel. Tikus
TKI-F
(mgKCN)
0
0.06
0.6
1767 1688
1704
2036 1966
2063
2073 2106
2033
59
Dachlberg et al. (1984) dan Dachlberg et al. (1985) menyatakan bahwa
semakin tinggi dosis tiosianat yang diberikan, maka semakin rendah kandungan
UIE dan pengambilan iodin oleh kelenjar tiroid. Hal yang sama terjadi pada
kelompok tikus KI-TF, dimana semakin tinggi dosis tiosianat diberikan semakin
rendah kandungan UIE dan persentase pengambilan
131
I oleh kelenjar tiroid
(Gambar 15 dan 17).
Lang (1933) juga menyatakan bahwa kejadian kekurangan iodin dapat
disebabkan oleh peranan tiosianat dalam menghambat penyerapan iodin melalui
kelenjar tiroid dan mengikat iodin organik (monoiodotirosine dan diiodotirosine
yang merupakan bagian dari tiroglobulin) yang berada pada setiap sel sehingga
menyebabkan persaingan yang berat antara tiosianat dan tiroksin serum yang
terikat protein sebagai hasil dari peningkatan tiroksin serum.
Tabel 16 memberikan informasi lain bahwa kelompok tikus KI-F dan
TKI-TF yang mempunyai kandungan iodin dalam urin (UIE) sampai minggu
terakhir pengamatan yang relatif lebih tinggi sampai minggu terakhir pengamatan
pada setiap dosis tiosianat. Hal serupa juga dialami oleh kelompok tikus TKI -F,
namun
pada pemberian tiosianat dosis 0.6 mgKCN sampai minggu terakhir
terlihat akan menurunkan kandungan iodin dalam urin (UIE).
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa pemberian tiosianat tidak
mempunyai pengaruh yang bermakna (p>0.05) terhadap perubahan kandungan
iodin dalam urin (UIE) antarkelompok tikus perlakuan.
Analisis Duncan
menunjukkan bahwa kelompok tikus KI-TF dan KI-F memberikan pengaruh yang
bermakna (p<0.05) pada perubahan kandungan UIE tikus perlakuan seiring
dengan penambahan tiosianat dosis 0.6 mgKCN.
Lebih lanjut Gambar 17 menunjukkan bahwa kelompok tikus KI-TF dan
KI-F mempunyai kandungan UIE lebih rendah dibanding kelompok tikus TKI -TF
dan TKI -F. Rendahnya kandungan UIE pada kelompok tikus KI-TF dan KI-F
merupakan suatu hal yang lazim terjadi pada tempat-tempat dimana terjadi
defisiensi iodin, seperti yang dijumpai oleh Thaha dkk. (1997) di Pulau Seram
Barat, Thilly et al. (1993) di Ubangi, Zaire dan Malawi dan Lombardi et al.
(1999) di Pescopagano Itali bagian selatan.
60
Kandungan Iodin dalam Urin (mcg/L)
2500
M1
2000
M3
M5
1500
1000
500
0
0
0.06
0.6
0
KI-TF
0.06
KI-F
0.6
0
0.06
TKI-TF
0.6
0
0.06
0.6
TKI-F
Gambar 17 Kandungan Iodin dalam Urin Tikus Perlakuan.
Burgi et al. (1990), Jinkou et al. (2002), Zimmermann et al. (2005) dan
Zimmermann et al. (2005) mengatakan bahwa kondisi UIE rendah dapat
diperbaiki dengan pemberian fortifikasi garam beriodin.
Hasil penelitian ini hal
serupa kecuali pada kelompok KI-F yang mengalami peningkatan kandungan
iodin dalam urin tetapi belum mencapai batas normal (>1155 µg/L) sesuai dengan
hasil pra-penelitian.
Dari Gambar 17 juga terlihat bahwa kandungan UIE kelompok tikus
perlakuan TKI-TF, TKI-F, dan KI-F mempunyai kecenderungan untuk terus
meningkat sampai minggu ke-5. Walaupun demikian kandungan UIE ini relatif
sama antar dosis perlakuan. Kandungan UIE yang tinggi pada kelompok tikus
TKI-TF dan TKI-F menandakan bahwa tanpa tiosianat sudah banyak iodin yang
tidak terpakai dan akhirnya dibuang lewat urin. Kandungan UIE kelompok tikus
KI-F dipengaruhi karena iodin yang ditambahkan dipakai oleh kelenjar tiroid
sehingga tidak terbuang lewat urin.
Kelompok tikus yang cukup iodin (TKI-TF dan TKI-F) dengan
penambahan tiosianat dosis tinggi hanya dapat berpengaruh dalam menurunkan
persentase pengambilan
cenderung tidak menurun.
131
I oleh kelenjar tiroid, sedangkan kandungan UIE
61
Tabel 17 menunjukka n bahwa konsentrasi T4 dan T3 pada kelompok tikus
KI-TF sangat rendah bila dibandingkan dengan rujukkan untuk manusia dan
mengalami penurunan sampai minggu ke-5. Penambahan dosis tiosianat sebesar
0.6 mgKCN menurunkan konsentrasi ini lebih besar sampai minggu ke 5. Nilai
konsentrasi ini menandakan bahwa kelompok tikus KI-TF berada dalam status
hipotiroid, berdasarkan rujukan dari Kaplan (1982) dan Ingbar dan Braverman
(1986) yang mengelompokkan bahwa konsentrasi T3 sebesar 20-160 ng/dL
dengan rerata 48 ng/dL dan T4 kurang dari 5 µg/dL termasuk dalam status
hipotiroid atau kekurangan iodin.
Penelitian yang dilakukan oleh Escobar et al. (1985) juga menemukan
bahwa tikus yang kurang iodin mempunyai kandungan T4 sekitar 1.1 – 2.8 µg/dL
dan T 3 sekitar 19 – 43 ng/dL. Tikus normal yang diberikan dosis KCN 0, 0.15,
0.3, dan 0.6 mg tidak mengalami perubahan konsentrasi T4 dan T3 (Soto-Blanco et
al., 2002).
Diperjelas juga oleh Brody (1999) bahwa kondisi kurang iodin dapat
mengakibatkan penurunan produksi T4 dan T3 dan menurunkan kecepatan
metabolisme energi serta memobilisasi mekanisme produksi TSH dan retensi
iodin dalam tubuh. Dengan demikian, diketahui bahwa tikus yang tidak kurang
iodin mempunyai konsentrasi T4 dan T3 yang lebih tinggi dibanding tikus kurang
iodin.
Tabel 17 Konsentrasi T3 (ng/dL) dan T4 (µg/dL) Kelompok Tikus Perlakuan
selama Lima Minggu Pengamatan
Waktu
Pengamatan
Hormon T 3
(ng/dL)
Minggu 1
Minggu 3
Mimggu 5
Hormon T 4
(µg/dL)
Minggu 1
Minggu 3
Mimggu 5
Kel. Tikus
KI-TF (mgKCN)
Kel. Tikus
KI-F
(mgKCN)
0
0.06
0.6
Kel. Tikus
TKI-TF
(mgKCN)
0
0.06
0.6
0
Kel. Tikus
TKI-F
(mgKCN)
0.06
0.6
0
0.06
0.6
78
71
70
63
61
61
43
42
41
108
128
132
174
105
177
109
163
139
149
167
167
126
126
131
113
112
82
125
128
132
115
108
94
143
103
97
4
4
4
4
4
3
4
4
3
6
7
7
6
6
6
6
5
5
8
8
8
6
6
6
6
5
5
6
6
6
6
6
6
6
5
5
Jika konsentrasi T3 (75 – 222 ng/dL) dan T4 (5-10.7 µg/dL) dibandingkan
dengan rujukkan berdasarkan Kaplan (1982) dan Ingbar dan Brave rman (1986)
maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata konsentrasi T3 dan T4 relatif
sama tinggi pada kelompok tikus TKI -TF, TKI-F, dan KI-F (Lampiran 8).
62
Gambar 18 dan 19 menunjukkan bahwa kelompok tikus TKI-TF, TKI -F
dan KI-TF sama-sama mengalami penurunan konsentrasi T3 dan T4 periode
minggu 1 sampai minggu ke-5 seiring dengan pe nambahan tiosianat dosis 0.06
dan 0.6 mgKCN.
180
M1
Konsentrasi T 3 Darah (ng/dL)
160
M3
140
M5
120
100
80
60
40
20
0
0
0.06
0.6
0
KI-TF
0.06
0.6
0
KI-F
0.06
0.6
0
TKI-TF
0.06
0.6
TKI-F
Gambar 18 Konsentrasi T3 Tikus Perlakuan.
Konsentrasi T4 Darah (mcg/dL)
8
M1
7
M3
6
M5
5
4
3
2
1
0
0
0.06
KI-TF
0.6
0
0.06
KI-F
0.6
0
0.06
0.6
0
TKI-TF
0.06
0.6
TKI-F
Gambar 19 Konsentrasi T4 Tikus Perlakuan.
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi T3 dan
T4 dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan pada kelompok tikus (p<0.01).
Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
63
(p<0.05) antar kelompok tikus perlakuan TKI-TF, TKI-F dan KI-TF dengan
kelompok tikus KI-F pada dosis tiosianat 0.6 mgKCN.
Perubahan konsentrasi hormon T4 dan T3 pada kelompok tikus TKI -TF,
TKI-F, dan KI-F (Gambar 18 – 19) tidak berbeda jauh dengan yang ditemukan
oleh Jackson et al. (1985) bahwa dengan pemberian dosis tiosianat 0, 0.4, 0.7,
dan 1.2 mgKCN/bb tikus normal, terjadi penurunan kandungan T4 dan T3 pada
minggu keenam.
Selanjutnya sampai minggu ke-18 kandungan T3 dan T4
menurun masing-masing sebanyak 15 sampai 35%.
Kajian pustaka lain seperti Philbrick et al. (1979) mengatakan bahwa
pemberian KCN sebesar 1500 dan 2240 mg/kg dapat menurunkan kandungan T4
dan T3 serta mengganggu fungsi tiroid dalam waktu 48 jam. Tidak berbeda jauh
dengan penelitian Olusi et al. (1979) yang menemukan bahwa pemberian KCN
dosis 500 dan 1000mg/kg selama tujuh hari dapat menurunkan kandungan T4
sekitar 54 – 75% pada tikus normal. Hal tersebut berarti bahwa tiosianat yang
diberikan dalam bentuk KCN dalam jumlah kecil akan membutuhkan waktu yang
relatif lama untuk mengganggu fungsi kelenjar tiroid pada tikus cukup iodin
dibanding tikus kurang iodin.
Konsentrasi Iodin dalam Feses (mcg/g)
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
M1
M3
0.2
M5
0.1
0.0
0
0.06
KI-TF
0.6
0
0.06
KI-F
0.6
0
0.06
TKI-TF
0.6
0
0.06
0.6
TKI-F
Gambar 20 Konsentrasi Iodin dalam Feses Tikus Perlakuan.
Berdasarkan Gambar 20 dan Lampiran 8 diketahui bahwa
tidak ada
perbedaan yang bermakna (p>0.05) dalam hal kandungan iodin yang terbuang
bersama feses pada semua kelompok tikus perlakuan dan semua dosis perlakuan.
64
Hal ini diduga bahwa proses absorbsi iodin dalam usus semua tikus perlakuan
tidak mengalami perubahan yang bermakna sebagai akibat pemberian dosis
tiosianat. Ganong (1989) mengatakan bahwa jumlah sisa iodin yang tidak diserap
akan diekskresikan bersama feses dapat mencapai 20% perhari.
Peranan Kalium Iodida (KIO3) dalam Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus
Fortifikasi garam beriodin merupakan salah satu cara penanggulangan
masalah kurang iodin dengan menggunakan fortifikan kalium iodad (KIO3) dan
kalium iodit (KI).
Penelitian ini menggunakan fortifikan KIO3 sebanyak 30
ppm/tikus sesuai dengan anjuran DepKes RI.
Tabel 18 menunjukkan bahwa kelompok tikus KI-F mempunyai
persentase pengambilan
131
I oleh kelenjar tiroid lebih besar (19.0%) dibanding
kelompok tikus TKI -F (8.6%) walaupun tidak diberikan tiosianat. Jika
dibandingkan antara kondisi tanpa pemberian tiosianat dengan pemberian
tiosianat dosis 0.6 mgKCN, terlihat bahwa persentase pengambilan 131I menurun
sekitar 50% terjadi pada kelompok tikus KI-F dan TKI-F.
Tabel 18 Peranan Kalium Iodat (KIO3) Terhadap Status Iodin Tikus Perlakuan
Variabel
Persentase pengambilan
Kandungan UIE (µg/L)
Konsentrasi T4 (µg/dL)
Konsentrasi T3(ng/dL)
131
I (%)
KI-F (mgKCN)
0
0.06 0.6
19.0 5.1
2.7
1003 994 1038
7
6
5
123
152
137
TKI-F(mgKCN)
0
0.06 0.6
8.6
4.0
2.5
1959 1920 1933
6
6
6
129
106
114
Kelompok tikus perlakuan TKI-F memberikan hasil yang berbeda dari
keadaan yang diharapkan yaitu mempunyai persentase pengambilan
kelenjar tiroid
lebih dari 10%.
131
I oleh
Diduga hal ini dapat terjadi karena adanya
mekanisme penghambatan (obstruction) sebagai akibat dari tingginya asupan
tiosianat yang menyebabkan terganggunya fungsi kelenjar tiroid. Kondisi tersebut
sesuai dengan yang diperoleh oleh
ECETOC (2004) dan DECOS (2002) bahwa
pada waktu penambahan tiosianat, kelompok tikus TKI-F sama-sama dengan
kelompok tikus lain mengalami penurunan persentase pengambilan
131
I. Hal ini
sesuai dengan pendapat Van der Laan dan Van der Laan (1965) yang menyatakan
65
bahwa jika kadar tiosianat darah lebih tinggi dar i asupan iodin maka akan terjadi
penghambatan pembentukan MIT, DIT, T3 , dan T4.
Berdasarkan indikator persentase pengambilan
131
I, maka hasil penelitian
ini dapat menyanggah pendapat dari Wood (1965) yang menyatakan bahwa efek
tiosianat tidak akan muncul jika diberikan secara bersamaan dengan KIO3 dalam
ransum tikus. Hal ini disebabkan karena pemberian tiosianat (KCN) bersamaan
dengan KIO3 pada kelompok tikus TKI-F dan KI-F menyebabkan penurunan
persentase pengambilan
131
I oleh kelenjar tiroid.
Tabel 18 juga menunjukkan bahwa kandungan UIE pada kelompok tikus
KI-F lebih rendah (994-1038 µg/L) dibanding kelompok tikus TKI-F (1920-1959
µg/L). Hasil yang sama juga diperoleh pada tahap pra-penelitian diketahui bahwa
kandungan UIE pada kelompok tikus KI-F masuk dalam status kurang iodin (<
1154 µg/L) dibanding kelompok tikus TKI-F (> 1555 µg/L).
Dari Tabel 18 terlihat bahwa konsentrasi T4 dan T3 relatif tidak berbeda
antara kelompok tikus TKI-F dan KI-F, walau diberikan tiosianat dosis 0.06 dan
0.6 mgKCN. Konsentrasi T4 dan T3 tersebut masih berada dalam batasan normal
rujukan Kaplan (1982), Ingbar dan Braverman (1986), Larsen et al. (1987),
Vanderpass dan Thyli (1994), Wilber (1996), dan ICCIDD (2003).
Kandungan iodin dalam urin dan persentase pengambilan131 I sekaligus
menunjukkan bahwa kelompok tikus KI-F masih berada dalam status kurang
iodin, walaupun konsentrasi T4 dan T3 masih dalam kategori normal sesuai
dengan yang dijumpai pada penelitian Okamura et al. (1981). Hal ini berbeda
dengan pendapat dari Bourdoux et al. (1978) yang menyatakan bahwa kondisi
defisiensi iodin menyebabkan penurunan uptake
131
I oleh kelenjar tiroid disertai
gangguan sintesis hormon tiroksin dan terjadi peningkatan ekskresi iodida dalam
urin.
Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 18 terlihat bahwa
pemberian fortifikan KIO3 sebanyak 30 ppm belum dapat memberikan perubahan
yang berarti pada kelompok tikus KI-F dan TKI-F yang diberi tiosianat. Hal ini
terjadi karena asupan tiosianat dalam tubuh kelompok tikus perlakuan KI-F masih
melebihi asupan iodin. Oleh karena itu penulis merasa bahwa jumlah fortifikan
yang dianjurkan DepKes , yaitu KIO3 sebesar 30 ppm agar ditinjau kembali. Hal
66
ini disebabkan karena Lamaz et al. (1972) dalam penelitiannya juga menemukan
bahwa pemberian tambahan KIO3 sebanyak 30 ppm hanya dapat mengurangi
pengaruh tiosianat dalam tubuh sebesar 25% , sedangkan sebanyak 100 ppm dapat
menekan pengaruh tiosianat menjadi 6%.
Dachlberg et al. (1984)
dalam
penelitiannya juga membuktikan bahwa tikus yang diberikan iodin sebanyak 400
mgI dalam ransum yang mengandung 19 mg tiosianat dapat meningkatkan
kandungan UIE dan konsentrasi tiroksin (T4).
Dengan demikian terlihat bahwa anjuran DepKes RI untuk mengkonsumsi
garam beriodium dengan kandungan KIO3 sebanyak 80 ppm masih layak khusus
untuk daerah yang benar-benar kekurangan iodium dan banyak mengkonsumsi
bahan makanan sumber goiterogen.
Hubungan antara Dosis KCN dengan
Perubahan Dinamika Iodin dalam Tubuh Tikus
Semua kelompok tikus perlakuan mengalami penurunan persentase
pengambilan
131
I oleh kelenjar tiroid pada saat pemberian tiosianat 0.06 dan 0.6
mgKCN/bb tikus, sebaliknya terjadi peningkatan persentase pengambilan
131
I di
organ tubuh seperti kulit, ginjal, hati, jantung, dan kelenjar saliva (Lampiran 7).
Analisis korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
(p<0.01) dosis KCN
dalam ransum dengan persentase pengambilan
131
I oleh
kelenjar tiroid dan organ tubuh lain dari tikus perlakuan.
Keadaan di atas menunjukkan bahwa peningkatan dosis KCN dapat
menurunkan kandungan iodin dalam kelenjar tiroid. Sejalan dengan yang
dinyatakan oleh
Pennington dan Schoen (1996) bahwa populasi yang
mengkonsumsi pangan sumber tiosianat dalam jumlah yang banyak akan
mengalami gangguan pengambilan iodin oleh kelenjar tiroid.
Ingbar dan
Braverman (1986) juga mengatakan bahwa selain oleh kelenjar saliva,
peningkatan persentase pengambilan
seperti kulit dan ginjal.
131
I dapat terjadi pada bagian tubuh lain
Sementara hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
peningkatan kandungan iodin dapat terjadi dalam organ tubuh seperti kulit, ginjal,
hati, jantung, dan kelenjar saliva (Gambar 16).
67
Peningkatan persentase pengambilan
131
I oleh ginjal merupakan salah satu
dampak yang menyerupai gangguan fungsi ginjal dalam menampung sisa mineral
iodin yang tidak terserap (Schultz, 1984 dan ATSDR, 1997). Bentuk gangguan
ini dapat terjadi mengingat fungsi normal dari ginjal yang tidak mampu untuk
menyimpan mineral hasil sisa penyerapan tubuh.
Winarno (1997 dan Brody (1999) mengatakan bahwa pada kondisi normal,
pembuangan iodin dalam jumlah yang lebih kecil dikeluarkan melalui
kulit.
Lampiran 7 menunjukkan bahwa penambahan tiosianat 0.6 mgKCN menyebabkan
peningkatan persentase pengambilan
131
I di bagian kulit pada semua kelompok
tikus perlakuan.
Kreutler et al. (1978) menunju kkan bahwa bahan pangan sumber tiosianat
dapat berdampak negatif pada pertumbuhan tiroid dan fungsinya pada anak tikus.
Hal ini disebabkan karena tiosianat dapat menyebabkan pembentukan gondok dan
tingginya TSH pada hewan yang kekurangan iodin tetapi tidak pada hewan yang
cukup iodin. Dengan demikian, diyakini bahwa tiosianat dapat menjadi faktor
etiologi dalam wilayah gondok endemik dan kretinisme.
Di wilayah tersebut
asupan iodin sangat rendah dan tiosianat dominan dalam diet. Konsentrasi
tiosianat dapat menghambat pengambilan iodin sebesar 50% (Greer et al., 1966).
Lampiran 8 menunjukkan bahwa kelompok tikus perlakuan KI-TF yang
mendapat tiosianat mempunyai kandungan UIE lebih rendah dibanding kelompok
tikus TKI -TF, TKI-F dan KI-F yang diberi tiosianat dosis 0 sampai 0.6 mg/bb
tikus.
Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna (p<0.01) antara kelompok tikus perlakuan dan waktu pengamatan
dengan perubahan kandungan UIE tikus perlakuan. Kelompok tikus perlakuan
yang mendapat tiosianat akan mengalami perubahan kandungan UIE setiap
minggu pengamatan.
Peningkatan konsentrasi iodin dalam urin kelompok tikus KI-F (867
menjadi 1124 ìg/L) dan TKI-F (1688 menjadi 2106 ìg/L) dapat disejajarkan
dengan kejadian yang dialami oleh anak remaja di Czechoslovakia dan
Switzerland (wilayah endemik GAKI) yang mempunyai kandungan iodin dalam
urin rendah.
Setelah diberikan fortifikasi garam beriodin kandungan tersebut
meningkat menjadi 150 µgI/L (Burgi et al. , 1990).
68
Penurunan konsentrasi iodin dalam urin kelompok tikus KI-TF mungkin
dapat disamakan dengan yang dialami oleh anak-anak sekolah yang kurang iodin
di Albania yang prevalensi GAKI sebesar 87% kandungan UIE hanya sebesar 43
µgI/L dengan konsentrasi hormon tiroksin yang rendah. Pada masyarakat tersebut
konsumsi singkong lebih dominan dibandingkan maka nan pokok lainnya ,
termasuk anak-anak yang berada di wilayah tersebut (Zimmermann et al. , 2006).
Batasan dari ICCIDD (2003), Ingbar dan Braverman (1986) dan Kaplan
(1982) menunjukkan bahwa kelompok tikus KI-TF termasuk dalam kelompok
hipotiroid (kurang iodin) karena mempunyai konsentrasi T4 dan T3 yang lebih
rendah dibanding kelompok tikus TKI-TF; TKI -F, dan KI-F (Lampiran 8). Hasil
analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
(p<0.05) antara pemberian dosis KCN dengan perubahan konsentrasi T4 dan T3
tikus perlakuan.
Banyak penelitian dengan hasil yang bervariasi tentang hubungan antara
tiosianat (KCN dan HCN) dan dinamika iodin dalam tubuh. Sousa et al. (2002)
menemukan bahwa terjadi perubahan fungsi tiroid, tetapi tidak memberikan
perubahan konsentrasi T4 dan T3 tikus perlakuan dengan pemberian KCN dengan
dosis 3.0 sampai 9.0 mg/kg selama15 hari. Soto-Blanco et al. (2002) mengatakan
bahwa perlakuan KCN dosis 40 dan 80 mg/kg pada tikus tidak mendapatkan hasil
bahwa peruba han konsentrasi T4 dan T3. Akan tetapi, dengan perlakuan KCN
dosis 1500 dan 2240 mg/kg, konsentrasi T4 dan T3 pada tikus menurun (Philbrick
et al., 1979). Begitu pula dengan perlakuan 5 sampai 10 gram/100gr ransum
dapat menurunkan konsentrasi T4 (Olusi et al., 1979).
Berdasarkan rangkuman hasil penelitian di atas terlihat bahwa semakin
tinggi dosis tiosianat semakin kelihatan pengaruhnya terhadap konsentrasi T4 dan
T3. Akan tetapi hal yang berbeda terjadi pada hasil penelitian Jakson et al.(1985)
bahwa pemberian KCN pada tikus perlakuan (0, 0.4, 0.7, dan 1.2mg/kg) selama
lima minggu dapat menurunkan konsentrasi T4 dan T3.
69
Dampak Fisiologi Kurang Iodin pada Tubuh Tikus
Bentuk bawaan hipotiroid dapat didiagnosa melalui program penapisa n
dengan membuat evaluasi terhadap perubahan fisiologis yang dialami oleh anakanak yang hipotiroid (Ingbar dan Braverman, 1986) seperti yang terlihat pada
Tabel 19.
Tabel 19 Indikator Neonatal Hypothyorid Indeks (NHI) pada Anak-anak
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Indikator NHI Quebec
Perubahan pada kulit kepala
Rambut rontok
Alis mata rontok
Malas (Inactivity)/agresif (hyperactivity)
Kulit warna kuning
Tidak tahan suhu dingin
Wajah yang pucat (khas)
Kulit kering
Sembelit
Gangguan makan
Sumber : Study Quebec dalam Ingbar dan Braverman (1986).
Ingbar dan Braverman (1986) menyatakan bahwa jika skor Neonatal
Hypothyroid Indeks (NHI) lebih kecil dari tiga (3) pada suatu populasi maka
relatif tidak dijumpai masalah kekurangan iodin namun jika skor NHI lebih besar
dari tiga (3) maka
informasi ini dapat digunakan sebagai petunjuk adanya
masalah akibat kekurangan iodin.
Hal ini sesuai dengan yang dijumpai oleh
Letarte et al. (1981) bahwa dalam populasi normal anak mempunyai nilai NHI < 3
sedangkan 90% dari anak-anak hipotiroid mempunyai nilai NHI > 4. Hal yang
dapat dis impulkan adalah perubahan fisiologis sangat berhubungan dengan
kondisi kurang iodin. Dalam kajian kepustakaan Ingbar dan Braverman (1986)
disimpulkan bahwa kondisi kekurangan atau kelebihan hormon tir oid dapat
menyebabkan dampak kekurangan iodin yang permanent terutama pada aspek
nomor dan fungsi sel.
Pada tahap pertumbuhan cepat (growth spurt) dibutuhkan intensitas kerja
hormon T4 dan T3 yang cukup.
Hal ini disebabkan karena hormon tiroid (T4 dan
T3) yang cukup akan memberikan efek secara langsung ke semua jaringan tubuh
sehingga berpengaruh pada proses pertumbuhan dan perkembangan (Dunn,2000
dan Linder, 1992). Pada kondisi ini, hormon tiroid akan berada pada semua inti
70
sel, hampir semua jaringan tubuh dan organ tubuh. Oleh karena itu, jika terjadi
kekurangan iodin maka secara langsung mempengaruhi kondisi dalam dan luar
tubuh. Kondisi ini seperti yang dialami oleh kelompok tikus kurang iodin yang
diberikan ransum tidak fortifikasi KIO 3 (KI-TF).
Selanjutnya dampak produksi hormon tiroid lebih banyak berbeda pada
setiap jaringan tubuh kelompok orang dewasa , seperti peningkatan aktivitas
lipolitik dalam jaringan adiposa, modulasi sekresi gonadotropin oleh pituitary, dan
perbaikan sel proliveratif seperti sel pertumbuhan dan perawatan rambut (Freinkel
dan Freinkel, 1972).
Lebih lanjut dikatakan juga bahwa pada pasien hipotiroid, pertumbuhan
anak rambut (rambut baru) berkurang disertai dengan peningkatan jumlah rambut
yang rontok atau gugur. Keada an yang tidak normal ini diikuti dengan proses
pemulihan pada kondisi eutiroid.
Diasumsikan bahwa konsentrasi fisiologi
hormon tiroid mungkin tidak hanya merangsang pertumbuhan rambut baru tapi
selalu dibutuhkan untuk perawatan normal.
Tabel 20 dan Gambar 21-24 menunjukkan bahwa kelompok tikus KI -TF
mempunyai perubahan fisiologi tubuh seperti pancaran mata berwarna merah
tidak cerah, memiliki
tubuh yang kotor serta bulu yang rontok (botak) pada
sekitar daerah kepala sampai punggung juga daerah otot paha, bersikap lebih
agresif dan memiliki postur tubuh pendek dan ringan. Hal ini diduga karena
rendahnya asupan iodin bagi aktivitas organ tubuh dalam proses pertumbuhan.
Tabel 20 Perubahan Dampak Fisiologi Tubuh Tikus Perlakuan
Indikator
A. Anggota Tubuh
• Mata
• Bulu
B. Kebiasaan Makan
C. PenampakanTubuh
D. Tingkah laku Tikus
Pengamatan Bentuk Perubahan
Kelompok KI
Kelompok TKI
Kel. KI -TF
Kel.KI -F
Kel. TKI-TF
Kel. TKI-F
0
0.06
0.6
0
0.06 0.6
0
0.06 0.6
0
0.06 0.6
2
2
1
3
2
2
2
1
3
2
2
3
1
3
2
1
1
1
2
2
1
1
1
2
2
1
2
1
2
2
1
1
1
2
1
1
1
2
2
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
3
2
2
2
Keterangan :
•
Mata : 1. berwarna merah cerah ; 2. berwarna merah tidak cerah
•
Bulu : 1. Utuh dan bersih ; 2. Utuh dan kotor ; 3. Rontok dan kotor
•
Kebiasaan Makan : 1. Banyak ; 2. Sedang ; 3. Sedikit
•
Tingkah Laku : 1. Normal ; 2. Agresif ; 3. Diam dan lesu
•
Penampakan Tubuh : 1. Panjang dan ringan ; 2. Panjang dan berat ; 3. Pendek dan Ringan ; 4. Pendek dan berat
2
3
2
2
2
71
Sebaliknya, kelompok tikus TKI-F yang mempunyai konsentrasi T3 (12914 ng/dL) dan T4 (6 µg/dL) yang normal, justru mempunyai perubahan fisiologis
yang relatif sama dengan perubahan fisiologis tubuh dari kelompok tikus KI-F.
Kasus yang terjadi pada masyarakat provinsi Jiansu (China) yang mengkonsumsi
air minum fortifikasi 546 mgI/L dan masyarakat Hokaido (Jepang) yang
mengkonsumsi ganggang laut dengan asupan 80-200 mgI/hari. Dalam kasus ini
muncul dampak antitiroid seperti dampak kurang iodin , yaitu menyebabkan
gondok pada anak-anak dan orang dewasa. Dicurigai, kelompok tikus TKI -F
mempunyai persentase pengambilan iodin oleh kelenjar tiroid rendah tetapi semua
jaringan dan organ tubuh tikus dapat berubah menjadi “pool iodin ” sehingga
dampak yang ditimbulkan tidak saja dalam bentuk gondok tetapi perubahan
secara menyeluruh dalam bentuk perubahan fisik sampai pada penurunan IQ
individu.
Gambar 21 – 24 menunjukkan bahwa kelompok tikus TKI -TF mempunyai
kondisi fisiologi tubuh yang jauh lebih baik dari kelompok tikus TKI-F, KI-TF
dan KI-F.
Gambar 21 Kelompok Tikus TKI-TF
Gambar 23 Kelompok Tikus KI-TF.
Gambar 22 Kelompok Tikus TKI-F
Gambar 24 Kelompok Tikus KI-F.
72
Grekin RJ (2002) dan Lee (2001) menyatakan bahwa sejumlah perubahan
fisiologi akibat dari kekurangan iodin adalah lidah bengkak dan suara parau,
kelopak mata tampak lebih cembung, kelelahan atau keletihan dan wajah
kelihatan suram, depresi, tidak tahan terhadap suhu dingin, sering tidur, rambut
kusam/kering/kasar dan rontok, sembelit, kulit kering/bersisik atau kekuningkuningan, otot kejang, peningkatan kolesterol, gampang sakit, kaki bengkak atau
mati rasa pada kaki dan tangan.
Ebling dan Jhonson (1964), dan Griem dan Malkinson (1967) juga
menyatakan bahwa tikus yang kekurangan hormon T4 akan mengalami hambatan
pertumbuhan rambut.
Hal ini disebabkan karena diduga hormon T4 dapat
merangsang perubahan siklus pertumbuhan setiap sel folikel rambut (Gambar 23).
Selanjutnya Holt dan Marks (1977) mengatakan bahwa rendahnya hormon T3
dapat menyebabkan dampak perubahan yang sangat cepat pada kulit manusia
(kulit ari) seperti kulit yang kering serta pecah-pecah.
Olusi et al, (1979) menambahkan bahwa pemberian tiosianat pada tikus
yang kurang iodin menyebabkan penurunan kadar iodin kelenjar tiroid,
konsentrasi T4 menjadi rendah, naiknya kadar TSH dalam serum serta terjadi
sejumlah perubahan fisiologi tubuh teristimewa munculnya gondok (bentuk
pembesaran kelenjar gondok).
Hal ini disebabkan karena
tiosianat (KCN)
menghambat penyerapan iodin oleh kelenjar tiroid sehingga merangsang TSH
untuk
membentuk
tiroglobulin
beriodin
dalam
tiroid,
dimana
MIT
(monoiodothyronine) lebih banyak dari DIT (diiodothironine) dan produksi T4
rendah.
Gambar 25 menunjukkan bahwa perubahan pertambahan bobot badan
tikus perlakuan dapat berfluktuasi (berubah naik -turun) dari minggu pertama
sampai minggu terakhir pengamatan. Namun, rerata bobot badan kelompok tikus
TKI-F dan KI-TF cenderung tidak berbeda sampai pemberian tiosianat dosis 0.6
mgKCN pada semua kelompok tikus perlakuan. Uji Duncan menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p<0.05) bobot badan antara kelompok
tikus perlakuan.
Philbrick et al, (1979) menyatakan bahwa tikus yang mendapat dosis 9.0
mgKCN/bb mengalami penurunan bobot badan sebanyak 70% dibanding bobot
73
badan tikus control (Sousa et al., 2002). Pemberian tiosianat sebanyak 800 dan
1600 mgKCN/kg dapat menurunkan bobot badan tikus perlakuan (Olusi et al.,
1979). Selain itu, pemberian tiosianat sebanyak 1500 dan 2240 mgKCN/kg dapat
menurunkan bobot badan tikus.
Mengingat dosis KCN yang diberikan pada penelitian ini masih relatif
rendah dibanding dosis yang digunakan oleh Philbrick et al, (1979), (Sousa et al. ,
2002) , dan (Olusi et al., 1979) diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan bobot
badan yang bermakna antarkelompok tikus perlakuan akibat rendahnya dosis
tiosianat yang diberikan.
100.0
Bobot Badan Tikus (g)
M1
M3
M5
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
0
0.06
0.6
KI-TF
0
0.06
KI-F
0.6
0
0.06
0.6
0
TKI-TF
0.06
0.6
TKI-F
Gambar 25 Bobot Badan (g) Tikus Percobaan.
Demikian pula halnya pada perubahan panjang badan tikus perlakuan.
Jika dibanding dengan ukuran panjang badan awal dan akhir pengamatan, terlihat
bahwa ada perubahan pertambahan panjang badan tikus perlakuan dengan rerata
pertambahan panjang 1-2 cm per minggu pengamatan. Uji Duncan menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan panjang badan yang bermakna antara kelompok
tikus perlakuan (p>0. 05).
74
Panjang Badan Tikus (cm)
14.0
12.0
10.0
M1
8.0
M3
M5
6.0
4.0
2.0
0.0
0
0.06
KI-TF
0.6
0
0.06
KI-F
0.6
0
0.06
TKI-TF
0.6
0
0.06
0.6
TKI-F
Gambar 26 Panjang Badan (cm) Tikus Perlakuan.
Gambar 26 menunjukkan bahwa panjang badan tikus perlakuan relatif
tidak berbeda dan setiap minggu pengamatan yang sama cenderung meningkat
seiring dengan penambahan tiosianat. Namun, belum dapat dipastikan bahwa
pertambahan panjang badan tikus perlakuan tersebut sebagai akibat dari pengaruh
pemberian tiosianat.
75
KESIMPULAN
Tanpa pemberian tiosianat, kelompok tikus yang diberi ransum kurang
iodin dan tidak fortifikasi (KI-TF) dan kelompok tikus yang diberi ransum cukup
iodin dan fortifikasi (TKI-F) mempunyai persentase pengambilan
131
I sangat
rendah berturut -turut 1.5% dan 8.6% dibanding kelompok tikus yang diberi
ransum cukup iodin dan tidak difortifikasi (TKI -TF) sebesar 12.8% dan kelompok
tikus yang diberi ransum kurang iodin dan difortifikasi (KI-F) sebesar 20.1%.
Iodin-131 yang tidak diserap oleh kelenjar tiroid, terkumpul di organ tubuh ginjal,
jantung, dan kelenjar saliva.
Pemberian tiosianat menurunkan persentase pengambilan 131I oleh kelenjar
tiroid di semua kelompok tikus percobaan (TKI -TF, TKI-F, KI-TF, dan KI-F).
Tiap perlakuan dosis KCN mempunyai pengaruh yang berbeda dalam
menurunkan persentase pengambilan
131
I oleh kelenjar tiroid di semua kelompok
tikus percobaan.
Pemberian tiosianat dosis
pengambilan
131
0.06 mgKCN
menurunkan
I pada semua kelompok tikus percobaan.
penurunan yang terjadi yang diurutkan mulai dari pengambilan
persentase
Urutan persentase
131
I yang terendah
adalah KI-TF (dari 1.5 menjadi 1.2%), TKI-F (dari 8.6 menjadi 4.0%), KI-F (dari
19.1 menjadi 5.1%), dan TKI-TF (dari 12. 8 menjadi 8.6%). Iodin yang tidak
diserap oleh kelenja r tiroid, menyebar dan terkumpul di organ tubuh kulit; ginjal,
hati, jantung, dan kelenjar saliva.
Pemberian
pengambilan
131
tiosianat
dosis
0.6
mgKCN
menurunkan
persentase
I oleh kelenjar tiroid pada semua kelompok tikus perlakuan jauh
lebih rendah dibanding dengan persentase pengambilan
ransum tanpa KCN.
131
I tikus yang diberikan
Urutan penurunan yang terjadi adalah KI-TF (dari 1.5
menjadi 0.7%), TKI-F (dari 8.6 menjadi 2.5%), TKI-TF (dari 12.8 menjadi 2.6%),
dan KI-F (dari 19.1 menjadi 2.7%). Iodin tersebut tertampung pada organ tubuh
lain seperti kulit, hati, ginjal, jantung, dan kelenjar saliva.
Indikator nilai UIE, konsentrasi T4 dan T3 serta persentase pengambilan
131
I dalam organ tubuh, menunjukkan bahwa pemberian fortifikasi iodin 30 ppm
ternyata belum efektif untuk meningkatkan status iodin tikus kelompok KI-F dan
76
TKI-F. Ada hubungan yang bermakna (p<0.01) antara pemberian dosis KCN
dengan perubahan persentase pengambilan
131
I oleh kelenjar tiroid.
Ada
hubungan yang bermakna (p<0.05) antara kelompok tikus percobaan dengan
kandungan iodin dalam urin, konsentrasi T3 dan T4.
Kelompok tikus KI-TF dan TKI-F mengalami perubahan fisiologis yang
relatif sama. Ciri-ciri perubahan tersebut seperti pancaran mata berwarna merah
tidak cerah, memiliki
tubuh yang kotor serta bulu yang rontok (botak) pada
sekitar daerah kepala sampai punggung juga daerah otot paha, bersikap lebih
agresif dan memiliki postur tubuh pendek dan ringan.
Saran
1. Penelitian ini mengindikasikan individu dengan konsumsi iodin dan tiosianat
yang tinggi dapat memberikan gejala fisik dan kimia yang relatif sama dengan
kasus kekurangan iodin. Oleh karena itu disarankan agar pada wilayahwilayah dengan konsumsi zat-zat goiterogen yang tinggi (tiosianat/SCN-),
pendekatan penanggulangan GAKI dengan strategi “Blanket Approach” pada
daerah endemik sedang dan berat perlu ditinjau kembali.
2. Penelitian ini tidak mngikutkan analisis kandungan SCN- dalam urin tikus
percobaan. Oleh karena itu disarankan agar melakukan penelitian lanjutan
guna melihat interaksi antara iodin dengan SCN-
DAFTAR PUSTAKA
(ACGIH) American Conference of Govermental Industrial Hygienists. 2001.
Hydrogen Cyanide and Cyanide Salt. In : Documentation of the
Treshold Values and Biological Exposure Indices, 8th ed. Cincinnati,
OH, American Conference of Goverme ntal Industrial Hygienists, pp.
1-6.
(AOAC) Association of Agricultural Chemist. 1984. Official Methods of Analisis
of The Association of Official Agricultural Chemist. Association of
Agricurtural Chemist, Washington. D.C.
Aswar A. 1999. Pengantar Epidemiologi. Staf Pengajar bagian Ilmu Kedokteran
Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penerbit
Binarupa Aksara. Jakarta.
Astawan. M. 2003. Iodium Cegah Lost Generation. Dalam Kompas Edisi 16
Januari 2003, Bagian Rubrik Gizi. Jakarta .
ATSDR (Agency for Toxic Substances and Disease Registry).
1989.
Toxicological Profile for Cyanide. ATSDR/TP-88/12; PB90-162058.
Prepared by Syracuse Research Corporation for ATSDR, U.S. Public
Health Service, under Contract No. 68-C8-0004.
Bourdoux P, Delange F, Gerard M, Mafuta M, Hamson A and Ermans AM.
1978. Journal Clinical Endocrinology and Metabolic, 46: 613-621.
Boyages EC. 1993. Iodine Deficiency Disorders. Clinical Review 49. Journal of
Clinical Endocrinology and Metabolism, 21:13-15.
Broddy T. 1999. Nutritional Biochemistry. Academic Press. Inc. USA.
Brown-Grant. K.
1961. Extrathyroidal Iodide Concentrating Mechanism.
Physiol Rev 41: 189.
Burgi H, Supersaxo Z and Selz. 1990. Iodine Defeciency Disease in Switzerland
OneHundred Years after Theodor Kocher’s Survey : A Historical
Review with some new Goiter Prevalence Data.
Acta
Endocrinologica. 123, 577.
(CAC). 1991. Codex Alimentarius, Vol. XII, Suppl 4. Codex Standard for Edible
Cassava Flour (African Regional Standart).
Rome, Food and
Agriculture of the United Nations (CODEXSTAND 176) .
78
(CICAD) Concise International Chemical Assessment Document.
2004.
Hydrogen Cyanide and Cyanide; Human Health Aspects. Concise
International Chemical Assessment Document 61. Geneva.
Chapman BA. 1982. A Medical Geography of Endemic Goiter in Central Java.
A Disertation Submited to the Graduate Division of the University of
Hawai. USA.
Conn EE. 1979a. Cyanide and cyanogenic glycosides. In Rosenthal, G.A. &
Janzen, D.H. (eds.), Herbivores: Their interaction with secondary plant
metabolites, Academic Press, Inc., New York-London, pp 387-412.
Conn EE. 1979b. Cyanogenic glycosides. International review of biochemistry.
In Biochemistry and Nutrition 1A, Neuberger, A., & Jukes, T.H.
(eds), University Park Press.
Contempre B, Escobar GM, Denef JF, Dumont JE and Many MC. 2004.
Thiocyanate Induces Cell Necrosis and Fibrosis in Selenium- and
Iodine- Deficient Rats Thyroids : A Potential Experimental Model for
Myxedematous Endemic Cretinism in Central Africa. J. Endocrinol,
145: 2994 -1002.
Dachlan DM dan Thaha AR. Analisis Konsumsi Zat Goitrogen dan Iodin
terhadap GAKY di Propindi Maluku. Jurnal Medika Nusantara. 1:1-7.
Dachlberg A, Bergmark A, Eltom M, Bjork L and Claesson O. 1984. Intake of
Thiocyanate by Way of Milk and its Possible Effect on Thyroid
Function. Journal Clinical Nutrition. 41:416-420.
Dachlberg A, Bergmark A, Eltom M, Bjork L and Claesson O. 1985. Effect of
Thiocyanate Levels in Milk on Thyroid Function in Iodine Deficient
Subjects. Journal Clinical Nutrition. 41:1010-1014.
(DECOS) Ducth Expert Committee on Occupational Standard. 2002. Hidrogen
Cyanide, Sodium Cyanide and Potassium Cyanide. The Hague,
Minister and State Secretary of Social Affair and Employment, Ducth
Expert Committee on Occupational Standard.
Delange F, Ekpechi L and Rosling H. 1994. Cassava cianogenesis and iodine
deficiency disorders. Acta Horticultura : International workshop on
cassava safety. Bokanga M, Esser AJA.
DeLong GR, Leslie PW, Wang SH, Jiang XM, Zhang ML, Rakeman M, Jiang JY,
Ma T and Cao XY. 1997. Effect on Infant Mortality of Iodination of
Irrigation Water in a Severity Iodine Deficiency Area of China. Journal
of Pediatric Neurology, Duke University Medical Center, DurhamUSA.
79
DepKes.RI. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005.
Pemerintah Republik Indonesia bekerjasama dengan World Health
Organization.
DepKes RI., 2003. Survey Nasional Pemetaan GAKI. Kerjasama BAPPENASDEPDAGRI, Jakarta.
Dickson WM. 1984. Endocrine Glands. In: Duke’s Physiology of Domestic
Animals. MJ, Swenson (Ed). Comstock Publishing Associates,
Cornell University Press. Ithaca.
Dillon DC and Milliez J. 2000. Reproductive Failure in Women Living in Iodine
Deficient Areas of West Africa. ORSTOM-Nutrition, BP 1386.
Dakar, Senegal.
Djojosoebagio SAH. 1989. Dasar-Dasar Radioisotop dan Radiasi dalam Biologi.
Pusat Antar Universitas – IPB.
Djokomoeljanto R. 1993. Hipothyroidi di Derah Defisiensi Iodium. Kumpulan
Naskah Simposium GAKI. Hal. 35-46. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Dunn JT and FV der Haar. 1990. A Practical Guide to the Correction of Iodine
Deficiency. International Council for Control Iodine Deficiency
Disorders. The Netherlands.
Dunn JT.
2000 IODINE. Professor of Internal Medicine Division of
Endocrinology. University of Virginia School of Medicine.
Ebling FJ and Jhonson E. 1964. The Action of Hormones on Spontaneus
Growth Cycles in The Rat. J. Endocrinol. 29:193-197.
(ECETOC) European Centre for Ecotoxicology and Toxicology of Chemical.
2004. Hydrogen Cyanide, Sodium and Potassium Cyanides and
Aceton Cyanohydrin. Brussel, European Centre for Ecotoxicology and
Toxicology of Chemical, in press (ECETOC Joint Assessment of
Commodity Chemicals)
Edmon JF and Gr iffith JQ. 1949. The Rat in Laboratory Investigation. Hafner
Press. A Division of Macmillan Publishing Co., Inc. New York.
Elizar. 1989. Pemeriksaan Kadar Iodin dalam Garam Konsumen yang Beredar di
Pasar Kotamadya Padang dan sekitarnya. Laporan penelitian proyek
PPPT Institut Keguruan Ilmu Pendidikan. Padang.
80
Elnour A, Hambraeus L, Eltom M, Dramaix M and Bourdoux P. 2000. Endemic
Goiter with Iodine Sufficiency: A Possible Role for the Consumption
of Pearl Millet in the Etiology of Endemic Goiter. Original Research
Communication. Journal Nutrition. 71:56-66.
(EPA) Enviromental Protection Agency. 1990. Summary Review of Health
Effects Associated with Hydrogen Cyanide, Health Issue Assessmment
Enviromental Criteria and Assessmment Office, Office of Health and
Enviroment Assessmment, Office of Research and Development, US
Enviromental Protection Agency Research Triangle Park, North
Carolina, USA.
Escobar del Rey F, Pastor R, Mallol J and Morreale de Escobar. 1985. Effect of
Maternal Iodine Deficiency on the Content of T4 and T3 in Rat
Palcenta. Ann Endocrinol (Paris) 45:A 138 (Abstract).
Feldstein M and Klendshoj NC. 1954. The Determination of Cyanide in
Biologic Fluids by Microdiffusion Analysis. Journal of Laboratory
and Clinical Medicine 44:166-170.
Freinkel RK dan Freinkel N.
1972.
Hair Growth and Alopecia in
Hypothyroidism. Arch Dermatol 106:349-352.
Ganong WF. 1989. Review of Medical Physiology, 14th Ed. A Lange Medical
Book. Prentice Hall International Inc.
Gaitan E, Meyer JD, Merina H. 1974. Environmental Goitrogens, in Colombia,
in Dunn JT, Medeiros -Neto GA(eds) : Endemic Goiters and
Cretinism. PAHO Sci Pub. No. 292, Washington, PAHO, pp. 107117.
Gaitan E. 1980. Goitrogens in the Ethiology of Endemic Goiter in Stanbury JB.,
Hetzel BS (eds). Endemic Goiter and Endemic Cretinism Iodine
Nutrition in Health and Disease. Jhon Willey and Son, Toronto.
Gaspersz V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Untuk Ilmu-ilmu Pertanian,
Ilmu-ilmu Teknik dan Biologi. Penerbit ARMICO. Jakarta.
Gudjarati. 1992. Essential of Econometrics. Baruch College. City University of
New York.
Grekin
RJ. 2002. Iodine Deficiency. Departemen of Internal Medicine.
University of Michigan Health System.
Greer MA, Stott AK and Milne KA. 1966. Endocrinology. 79:237-247.
Griem ML and Malkinson FD. 1967. Some Studies on The Effects of Radiation
Modifiers on Growing Hair. Radiat Res. 30:431- 435.
81
Hartung R. 1982. "Cyanides and nitrites." In: Patty's Industrial Hygiene and
Toxicology, vol. 2C, G.D. Clayton and E. Clayton, eds. John Wiley &
Sons, New York, NY, pp. 4845-4900.
Hector CT, Swennen.B, Bourdoux.P, Ntambue.K, Reyes.RM, Gilles.J and
Vanderpas.JB.
1993. The Epidemiology of Iodine-Deficiency
Disorders in Relation to Goitrogenic Factors and Thyroid-StimulatingHormon Regulation. Am.J. Clin. Nutr Suppl.57:267S-270S.
Hetzel and Clugston GA. 1996. IODINE. In Shils Maurice E., Olson JA and
Shike M. Modern Nutrition in Health and Disease. Eight Edition.
Vol. 1. New York. USA.
Hetzel BS and Dunn JT. 1989. The Iodine deficiency disorders : Their nature and
prevention. Annual Review of Nutrition.
Hetzel, Dunn JT and Stanbury JB. 1987. The Prevention and Control of Iodine
Deficiency Disorders (Eds). Elsevier, Amsterdam/New York/Oxford.
http://risk.Isd.ornl.gov/tox/profiles/cyanidefVI.shtml.
pada tanggal 13 Pebruari 2005.
Profiles Cyanide. Dikopi
http://www.nap.edu/openbook/0309051266/html/11.html. Nutrient Requirement
of The Laboratory Rats. The National Academy of Science. New York.
USA. Dikopi pada tanggal 3 April 2005.
http://risk.Isd.ornl.gov/tox/pengantar/Endokrinologi/verterbrata/fVI.shtml.
Pengantar Endokrinologi Veterbrata. Kamis A. 1999. Dikopi pada
tanggal 2 Juni 2006.
Holt P dan Marks MB. 1977. The Epidermal Response to Change in Thyroid
Status. J. Invest Dermatol 68:299-301.
Ingbar SH and Braverman LE. 1986. The Thyroid. A Fundamental and Clinical
Text. J.B. Lippincot Company. Philadelphia.
Jalal F.
1998. Agenda Perumusan Program Gizi Repelita VII untuk mendukung
Manusia yang Pengambangan Sumberdaya Berkualitas. Widayakarya
Nasional Pangan dan Gizi (MKNPG) VI, Serpong. Jakarta.
JECFA. 1993. Cyanogenic Glycoside. In : Toxicologycal Evaluation of Certain
Food and Naturally Occurring Toxicants. Geneva, World Health
Organization, 39th Meeting of the Joint FAO/WHO Expert Committee
on Food Additives (WHO Food Additives Series 30). Available at :
http:wwww.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v30je18.htm.
82
Jackson LC, Bloch EF, Jackson RT, Chandler JP, Kim YL and Malveaux F.
1985. Influence of Dietary Cyanide on Immunoglobulin and
Thyocianate Levels in the Serum of Liberian Adults. Journal of the
National Medical Association, 77: 777-782.
Jinkou Z, Peihua W, Qinlan Z, Hua W and Xiaoshu. 2002. Ecology of High
Iodine Intake and Endemic Goitre in Three Counties of Jiangsu
Province, China. Supported by : Jiangsu 135 Medical Researc Fund,
The for Endemic Disease Control and Departement of Publich Health,
Jiangsu Provincial Government, China.
Kaplan. 1982. Prevalence of Abnormal Thyroid Function Test Results in Patient
with Acute Medical Illnesses. Am J Med 72:9-16.
Kreutler PA, Varbanov V, Goodman W and Stanbury JB. 1978. Am. J. Clin.
Nutrition 31, 282-289.
Lamaz L, Dorris ML, and Taurog. 1972. Evidence for a Catalytic Role for
Thyroid Peroxidase in the Convertion of diiodotyrosine to Thyroxine.
Endocrinology 90:1417.
Lang K. 1933. Die Rhodanbildung im Tierkörper. Biochem Z., 259: 243-256.
Lee S. 2001. Iodine Deficiency. Medical Journal. Volume 2. Number 9.
Letarte J, Dassaulth JH and Guyda H. 1981. Clinical and Laboratory
Investigation of Early Detected Hypothyroid Infants. In Collu R,
Ducharme JR and Guyda H (eds): Pedia tric Endocrinology, p 433.
New York, Raven Press.
LIPI.
1998.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi.
Pengetahuian Indonesia. Jakarta.
Lembaga Ilmu
Linder MC. 1992. Biokimia dan Nutrisi Metabolisme. Dengan Pemakaian
secara Klinis, UI Press. Jakarta.
Lombardi AF, Antonangeli L, Martino E, Vitti P, Maccherini D, Leoli F, Rago T,
Grasso L, Valeriano R, Balestrieri A and Pinchera A. 1999. The
Spectrum of Thyroid Disorders in an Iodine-Deficient Community :
The Pescopagano Survey. Original Studies. The Jurnal of Clinical
Endecrinology and Metabolism. Vol. 84, No. 2: 561-566.
Lotfi M, Mannar VGM, Merx RJHM and PN van Heuvel. 1996. Micronutrient
Fortification of Foods. Current Practices, Research and Opportunities.
The Micronutrient Intiative and International Agriculture Center.
Netherlands.
83
Malole MBM dan Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan
di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat
Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB.
Montogomery RD. 1969. Toxic Constituents of Plant Foodstuffs. (I.E. Liener,
ed) pp. 143-157. Academic Press, New York and London.
Nagataki S and Ingbar SH. 1964. Relation Between Qualitative and Quantitative
alterations in Thyroid Hormone Syntesis Induced by VaryingDoses of
Iodide. Endocrinology 74:731.
Nartey F. 1980. Toxicological Aspects of Cyanogenesis in Tropical Foodstuffs
in Toxicology in the Tropics.
Editors R.L.
Smith and
Bababummni.E.A, Taylor and Francis Ltd. London, 53-73.
Oaks A and Johnson F.J. 1972. Phytochem. 11, 5465-3471.
Oke OL. 1980. Toxicity of cyanogenic glycosides. Food Chemistry, 6: 97-109.
Olson RE, Broquist CO, Chichester WJ, Darby AC, Colbye RM and Stalvey.
1984. Present Knowledge in Nutrition. Fifth Edition. The Nutrition
Foundation Inc. Washington.
Olusi SO, Oke OL and Odusote A. 1979. Effects of Cyanogenic Agent on
Reproduction and Noenatal Development in Rats. Biology of the
Neonate, 36:233-234.
Pennington J and Schoen S. 1996. Composition of Core Foods of The U.S. Food
Supply, III. Copper, Manganese, Selenium and Iodine. 1982-1991. J.
Food Comp. Anal. 8, 171-217.
Picauly I. 1999. Pola Konsumsi Pangan dan Kebiasaan Pengolahan Pangan serta
Status Iodium Ibu Hamil di Daerah Endemik GAKI Kecamatan
Salahutu, Propinsi Maluku. Tesis Magister Science pada Institut
Pertanian Bogor. IPB.
Philbrick DJ, Hopkins JB, Hill DC, Alexander JC and Thomson RG. 1979. Effect
of Prolonged Cyanide and Thyocianate Feeding in Rats. Journal of
Toxicology and Enviromental Health, 5:579-592.
Querido A. 1979. Thyroid Physiology and Iodine Metabolisme in Relation to
Goiter and Cretinism. Cermin Dunia Kedokteran. No. 14.
Radiological Health Handbook. 1970.
Rosling H. 1987. Cassava Toxity and Food Security. Ed. Rosling. Tryck
Kontakt, Uppsala, Sweden, pp 3-40.
84
Saurberlich. 1998. Assessment of Nutritional Status. Second Edition. CRC
Press. Boca Raton London New York, Washington DC.
Sigit K. 1992. Pertumbuhan dan Perkembangan Otak Fetus Tikus (Rattus sp)
dari Induk Hipotiroid. Disertasi Doktoral pada Institut Pertanian
Bogor.
Schultz V.
1984.
Clinical Pharmacokinetics of Nitroprusside, Cyanide,
Thiosulfate and Thiocyanate. Clinical Pharmacokinetics, 9:239-251.
Soto-Blanco B, Marioka PC and Gorniak SL. 2002. Effect of Long-term lowdose Cyanide Administration
to Rats.
Ecotoxicology and
Enviromental Safety, 53:37-41.
Sousa AB, Soto-Blanco B, Guerra JL, Kimura ET ang Gorniak SL. 2002. Does
Prolonged Oral Exposure to Cyanide Promote Hepatotoxity and
Neprotixity ? Toxicology, 174 ;87-95.
Steel RGD and Torrie JH.
1980. Principle and Procedures Statistic.
Biometrical Approach. Mc. Grawl-Hill Kogakusha, Ltd. Tokyo.
A
Sterling K. 1979. Thyroid Hormone Action at The Cell Level. N Engl J Med
300: 117
Susanto
A. 2000. Pengaruh Suplementasi Selenium, Metionin, dan Iodin
terhadap Pertumbuhan dan Kecerdasan Anak Tikus dari Induk
Kekurangan Iodin. Disertasi Doktoral pada Institut Pertanian Bogor.
Thaha AR, Dachlan DM dan Jafar N. 1997. Analisis Faktor Resiko Coastal
Goiter. Jurnal GAKI. Vol. 1, Nomor 1 hal 9-17. thn. 2002. Jakarta.
Thilly CH, Swennen B, Bourdoux P, Ntambue K, Moreno-Reyes R, Gillies J and
Vanderpas JB. 1993. The Epidemiology of Iodine-Deficiency
Disorders in Relation to Goioterogenic Factors and ThyroidStimulating-Hormon Regulation. Am J Clin Nutr Suppl. 57:267-270.
Tezic T. 1998. Iodine Deficiency Disorders and Their Prevention. Profesor of
Pediatric; Director, Sami Ulus Children’s Hospital, Ankara, Turkey.
U.S. Air Force. 1989. "Cyanide." In: The Installation Restoration Program
Toxicology Guide, Vol. 4. Wright-Patterson Air Force Base, Ohio, pp.
56-1 to 56-38.
U.S. EPA. 1984. Health Effects Assessment for Cyanides. Prepared by the
Environmental Criteria and Assessment Office, Cincinnati, OH for the
Emergency and Remedial Response Office, Washington, DC.
EPA/540/1-86-011.
85
U.S. EPA. 1985. Drinking Water Criteria Document for Cyanide (Final Draft).
Prepared by the Environmental Criteria and Assessment Office for the
Office of Drinking Water, Cincinnati, OH. ECAO-CIN-442, PB86117793.
Vand der Land and Van der Land. 1947. Endocrinology, 40, 403-416.
Venesland B, Castric PA, Conn EE, Salomonson LP, Volini M and Westley I.
1982. Cyanide Metabolism. Fed. Poc ., 41(10) : 2639-2648.
Williams SR. 1974. Nutrition and Diet Therapy. The CV Mosby Company.
Sant Louis.
WHO. 1965. Evaluation of the hazards to consumers resulting from the use of
fumigants in the protection of food. Report of the second Joint Meeting
of FAO Committee on Pesticides in Agriculture and the WHO Expert
Committee on Pesticides Residues, FAO Meeting Report No
Pl/1965/10/2: WHO Food series 28.65.
WHO . 2001. Assessment of Iodine Deficiency Disorders and Monitoring their
Elimination : A Guide for Programme Managers. Second Edition.
Geneva.
Wilson JD and Foster DW. 1992. Williams Texbook of Endocrinology. 8th
edition. WB Saunders Company, Philadelphia.
Wolff J dan Chaikoff IL. 1948. Plasma In Organic Iodide as a Homeostatic
Regulator of Thyroid Function. Journal Biology Chemical. 174:555.
Wood. T. 1965. Journal Science Fundamental Agriculture. 6, 300-305.
Zimmermann MB, Ito Y, Hess SY, Fujieda K and Molinary L. 2005. High Tiroid
Volume in Children with Excess Dietary Iodine Intakes. Original
Research Communication. American Journal Nutrition. Vol. 81. No.
4, 840-844.
Zimmermann MB, Connolly K, Bozo M, Bridson J, Rohner F and Grimci L.
2006. Iodine Supplementation Improves Cognition in Iodine-Deficient
Schoolchildren in Albainia: A Randomized, Controlled, Double-Blind
Study.
Original Research Communication.
American Journal
Nutrition. Vol. 83. No. 1, 108-114.
86
87
88
89
90
Lampiran 1 Prosedur analisis kandungan iodin dalam urin (UIE)
Urin dikocok hingga merata dalam tabung yang tertutup rapat. Setelah itu,
sampel urin dipipet sebanyak 250 ìl ke dalam tabung uji ukuran 10 x 100 mm.
Setiap iodin standar dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung uji yang
ditambahkan H 2O. Ammonium persulfat di tambahkan sebanyak 1 mL ke setiap
tabung uji. Setelah itu, semua tabung dipanaskan selama 60 menit pada suhu 9198o C.
Tabung didinginkan sampai mencapai suhu ruang sebelum ditambahkan
3.5 mL larutan asam arsenat dan
dihomogenisasi dengan vorteks selama 15
menit. Setelah itu, ditambahkan 400 µl larutan ceric ammonium sulfat ke setiap
tabung uji dan dilakukan pencampuran lebih cepat sekitar 15 sampai 30 detik
interval waktu antartabung uji dengan menggunakan stopwatch.
Tepat setelah 30 menit, ditambahkan ceric ammonium sulfat pada tabung
pertama, absorbans dibaca dengan menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 420 nm. Masing-masing tabung dibaca dengan interval 30
waktu detik sehingga waktu penambahan larutan ceric ammonium sulfat sampai
dibaca pada masing-masing tabung adalah 30 menit.
Lampiran 2 Prosedur analisis kandungan iodin dalam feses
Setelah proses pengabuan dan pelarutan, ke dalam 0.250 mL larutan
sampel ditambahkan 500 g KClO3 kemudian dilarutkan dalam 910 mL H2 O dan
dipanaskan selama ± 4 jam. Selanjutnya diaduk dan ditambahkan HClO3 mL
sedikit demi sedikit (15 mL/menit). Larutan disimpan dalam freezer semalam,
disaring dengan Buchner lalu disimpan dalam refrigerator.
Larutan biang tersebut ditambahkan dengan 0.750 asam khlorida
kemudian didinginkan.
Sebelum ditambahkan 3.5 mL asam arsenic 0.2 N,
terlebih dahulu ditambahkan 5 g As2O3 dan 25 g NaCl dan 200 mL H2 SO4 5 N
dan 500 mL H2O kemudian dipanaska n sambil diaduk, didinginkan lalu
diencerkan sampai 1 L Setelah itu dicampurkan dan didiamkan selama 15 menit.
87
Larutan cerium (IV) sulfat sebanyak 200 mL diencerkan dengan larutan
H2 SO4 (1+35) sampai 600 L. Kemudian, ditambahkan 13.2 g NH4 SO4, 83 mL
H2 SO4 pekat dan 1.8 g NaCl. Kemudian, diencerkan menjadi 1000 mL dengan
H2O.
Setelah itu, ditambahkan larutan cerium ammonium sulfat 0.5 mL
kemudian dicampurkan dan didiamkan selama 30 menit.
Tepat menit ke 30
preparat dibaca pada panjang gelombang 405 nm (Lampiran 5).
Lampiran 3 Proses Pembuatan Kurva Standar
1.8850 g KIO3 ditimbang dan dilarutkan dengan H2 O sampai 100 mL
untuk menghasilkan 10000 ìg/mL iodin.
Setelah itu, larutan tersebut dipipet
masing-masing sebanyak 0.0, 0.05, 0.10, 0.15, 0.20, dan 0.25 mL. Kemudian
ditambahkan H2O masing-masing sebanyak 0.25, 0.20, 0.15, 0.10, 0.05, dan 0.0
mL.
Larutan asam khlorid sebanyak 0.75 mL ditambahkan sebelum
ditambahkan larutan asam arsenat sebanyak 3.5 mL. Kemudian sebelum diaduk,
larutan tersebut masih ditambahkan dengan larutan Cerium (IV) Asam Sulfat 0.5
mL. Selanjutnya diaduk dan didiamkan selama 30 menit dan dilakukan proses
pembacaan pada λ 405 nm (Lampiran 6).
88
Lampiran 4
Prosedur analisis kandungan iodium dalam feses
(Metode Spektrofotometer).
0.250 ml larutan sampel
0.750 asam khlorida
dipanaskan 110o C dalam ruang
asam 50 menit
Didinginkan
3.5 ml asam arsenat 0.2 N
500 gr KCIO 3 dilarutkan dalam 910
ml H2O lalu dipanaskan ± 4 jam,
diaduk dan ditambahkan HClO3 ml
sedikit demi sedikit (15 ml/menit).
Disimpan dalam freezer semalam,
disaring dengan Buchner lalu
disimpan dalam refrigerator
5 gr As2 O3 ditambahkan 25 gr NaCl
ditambahkan 200 ml H2 SO4 5 N
lalu ditambahkan 500 ml H2O
kemudian dipanaskan sambil
diaduk, didinginkan lalu diencerkan
sampai 1 L
dicampur dan didiamkan 15
menit
larutan cerium ammonium
sulfat 0.5 ml
dicampurkan dan didiamkan
selama 30 menit
tepat menit ke 30 preparat
dibaca pada interval 405 nm
200 ml larutan cerium (IV) sulfat
(larutan ini dibuat dengan
melarutkan 166.15 gr cerium (IV)
sulfat ke dalam 1000 ml H 2O lalu
didiamkan selama 48 jam kemudian
disaring), diencerkan dengan
larutan H2 SO4 (1+35) sampai 600 l
kemudian ditambahkan 13.2 gr
(NH4)2SO4, 83 ml H 2SO4 pekat dan
1.8 gr NaCl kemudian diencerkan
menjadi 1000 ml dengan H2O
89
Lampiran 5
Prosedur Analisis Kandungan Iodin dalam Feses
(Metode Spektrofotometer).
Pembuatan Kurva Standar
Ditimbang 1.8850 g KIO3
Dilarutkan dengan H 2O sampai 100 mL ∼ 10000 ìg/mL iodin
dipipet
0.0 mL
dipipet
0.05 mL
dipipet
0.10 mL
dipipet
0.15 mL
dipipet
0.20 mL
dipipet
0.25 mL
+ H2O
0.25 mL
+ H2O
0.20 mL
+ H2O
0.15 mL
+ H2O
0.10 mL
+ H2O
0.05 mL
+ H2O
0.0 mL
+ Asam
khlorida
0.75 mL
+ Asam
khlorida
0.75 mL
+ Asam
khlorida
0.75 mL
+ Asam
khlorida
0.75 mL
+ Asam
khlorida
0.75 mL
+ Asam
khlorida
0.75 mL
+ Asam
Arsenik
3.5 mL
+ Asam
Arsenik
3.5 mL
+ Asam
Arsenik
3.5 mL
+ Asam
Arsenik
3.5 mL
+ Asam
Arsenik
3.5 mL
+ Asam
Arsenik
3.5 mL
+ Cerium
(IV) As am
Sulfat 0.5 mL
+ Cerium
(IV) As am
Sulfat 0.5 mL
+ Cerium
(IV) As am
Sulfat 0.5 mL
+ Cerium
(IV) As am
Sulfat 0.5 mL
+ Cerium
(IV) As am
Sulfat 0.5 mL
+ Cerium
(IV) As am
Sulfat 0.5 mL
Diaduk dan didiamkan selama 30 menit
Dibaca pada Spektrofotometer λ 405 nm
90
Lampiran 6 Perubahan Dampak Fisiologi Tubuh Tikus Percobaan
Indikator
Pengamatan Bentuk Perubahan
Kelompok KI
Kelompok TKI
Kel. KI-TF
Kel.KI-F
Kel. TKI-TF
Kel. TKI-F
0 0.06 0.6 0 0.06 0.6 0 0.06 0.6 0 0.06 0.6
Minggu I
A. Anggota
Tubuh :
• Mata
• Bulu
B. Kebiasaan
Makan
C. Penampakan
Tubuh
D. Tingkah laku
Tikus
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1
2
1
2
1
2
1
1
1
2
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
1
2
1
2
1
2
1
1
1
1
1
1
2
3
2
2
2
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
1
1
3
3
3
4
4
4
2
2
2
1
1
1
2
2
2
2
2
2
1
1
1
2
2
2
2
2
2
3
2
3
2
3
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
2
2
2
3
2
2
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
3
3
4
4
4
4
4
4
2
2
2
2
2
2
2
3
3
2
2
2
1
1
1
3
2
3
Minggu III
A. Anggota
Tubuh :
• Mata
• Bulu
B. Kebiasaan
Makan
C. Penampakan
Tubuh
D. Tingkah laku
Tikus
Minggu V
A. Anggota
Tubuh :
• Mata
• Bulu
B. Kebiasaan
Makan
C. Penampakan
Tubuh
D. Tingkah laku
Tikus
Keterangan :
A. Mata : 1. Cerah dan berwarna merah bening ; 2. Suram dan berwarna merah kabur
B. Kaki : 1. Tegak dan berotot ; 2. Tegak dan tidak berotot
C. Bulu : 1. Utuh dan bersih ; 2. Utuh dan kotor ; 3. Rontok dan kotor
D. Kebiasaan Makan : 1. Banyak ; 2. Sedang ; 3. Sedikit
E. Tingkah Laku : 1. Normal ; 2. Agresif ; 3. Diam dan lesu
F. Penampakan Tubuh : 1. Panjang dan ringan ; 2. Panjang dan berat ; 3. Pendek dan Ringan ; 4.
Pendek dan berat
91
Lampiran 9 Tahap Penentuan Kelompok
Uji Pengaruh antar Subjek
Variabel Terikat : Kandungan Iodin dalam Urin (µg/L)
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
(DB)
2
1
1
1
1
4
3
0.987)
Jumlah
Kuadrat (JK)
Model dikoreksi 649242.170
Intercept
10030522.4
Kelompok
645772.960
Minggu
3469.210
Galat
2872.960
Total
10682637.5
Total dikoreksi
652115.130
Cat : R-Sq = 0.996 (Adj R-Sq =
Kuadrat
Tengah (KT)
324621.085
10030522.41
645772.960
3469.210
2872.960
F-Hitung
Pvalue
112.992
3491.335
224.776
1.208
0.066
0.011
0.042
0.470
Korelasi Pearson
Variabel Terikat : Kandungan Iodin dalam Urin (µg/L)
Urin
Urin
Korelasi Pearson
2 ekor
N
Kelompok
Korelasi Pearson
2 ekor
N
Minggu
Korelasi Pearson
2 ekor
N
Tingkat Signifikansi = 0.01**
1
.
4
.995**
.005
4
-.073
.927
4
Kelompok Minggu
.995**
-.073
.005
.927
4
4
1
0.000
.
1.000
4
4
0.000
1
1.000
.
4
4
Uji Pengaruh antar Subjek
Variabel Terikat : Bobot Badan (g)
Derajat
Bebas
(DB)
Model dikoreksi
2.690
2
Intercept
11881.000
1
Kelompok
1.000
1
Minggu
1.690
1
Galat
.250
1
Total
11883.940
4
Total dikoreksi
2.940
3
Cat : R-Sq = 0.915 (Adj R-Sq = 0. 745)
Sumber
Keragaman
Jumlah
Kuadrat (JK)
Kuadrat
Tengah
F-Hitung P-value
(KT)
1.345
5.380
.292
11881.000 47524.000
0.003
1.000
4.000
.295
1.690
6.760
.234
.250
92
Korelasi Pearson
Variabel Terikat : Bobot Badan (g)
Kelompok
Kelompok
Minggu
Bobot Badan
Korelasi Pearson
2 ekor
N
Korelasi Pearson
2 ekor
N
Korelasi Pearson
2 ekor
N
Minggu
1
.
4
.000
1.000
4
.583
.417
4
Bobot
Badan
.000
1.000
4
1
.
4
.758
.242
4
.583
.417
4
.758
.242
4
1
.
4
Tingkat Signifikansi = 0.01**
Lampiran 10 Tahap Perlakuan
Uji Pengaruh antar Subjek
Variabel Terik at : Persentase Pengambilan Iodin oleh Kelenjar Tiroid (%)
Sumber Keragaman
Jumlah
Kuadrat (JK)
Model dikoreksi
1063.551
Intercept
1442.734
Dosis
424.181
Kelompok
384.783
Minggu
7.854
Dosis* Minggu
10.494
Dosis* Kelompok
172.393
Kelompok*Minggu 63.886
Galat
112.086
Total
2618.370
Total dikoreksi
1175.636
Cat : R-Sq = 0.905 (Adj R-Sq = 0. 722)
Derajat
Bebas
(DB)
23
1
2
3
2
4
6
6
12
36
35
Kuadrat
Tengah
(KT)
46.241
1442.734
212.090
128.248
3.927
2.624
28.732
10.648
9.340
F-Hitung P-value
4.951
154.461
22.707
13.730
.420
.281
3.076
1.140
0.003
0.000
0.000
0.000
.666
.885
.046
.397
93
Korelasi Pearson
Variabel Terikat : Persentase Pengambilan Iodin oleh Kelenjar Tiroid (%)
Iodtiroid
Iodtiroid
Korelasi
2 ekor
N
Kelompok Korelasi
2 ekor
N
Minggu
Korelasi
2 ekor
N
Dosis
Korelasi
2 ekor
N
Tingkat Signifikansi =
Pearson
1
.
36
.248
.144
36
-.076
.659
36
-.598
.000
36
Pearson
Pearson
Pearson
Minggu
Kelompok Dosis
.248
-.076
-.598
.144
.659
.000
36
36
36
1
.000
.000
.
1.000
1.000
36
36
36
.000
1
.000
1.000
.
1.000
36
36
36
.000
.000
1
1.000
1.000
.
36
36
36
0.01**
Analisis Duncan
Variabel : Dosis Tiosianat (KCN)
Dosis
3.00
2.00
1.00
Sig.
Tingkat Signifikansi
Subset
N
1
12
12
12
2
2.3583
5.9000
.078
10.7333
1.000
= 0.05
Variabel : Kelompok Perlakuan
Kelompok
1.00
4.00
3.00
2.00
Sig.
Tingkat Signifikansi
N
1
1.2000
9
9
9
9
Subset
2
6.1111
7.9889
1.000
.217
3
7.9889
10.0222
.184
= 0.05
Variabel : Waktu Pengamatan
Waktu Pengamatan
3.00
2.00
1.00
Sig.
Tingkat Signifikansi
N
12
12
12
= 0.05
Subset
1
5.9167
6.0917
6.9833
.432
94
Uji Pengaruh antar Subjek
Variabel Terikat : Kandungan Iodin dalam Urin (µg/L)
Derajat
Bebas
(DB)
Model dikoreksi
10482856.9
23
Intercept
73156660.0
1
Dosis
1934.389
2
Kelompok
9976112.528
3
Minggu
248795.056
2
Dosis* Minggu
18038.778
4
Dosis* Kelompok
5709.389
6
Kelompok*Minggu 232266.722
6
Galat
32166.111
12
Total
83671683.0
36
Total dikoreksi
10515023.0
35
Cat : R-Sq = 0.997 (Adj R-Sq = 0.991)
Jumlah
Kuadrat (JK)
Sumber Keragaman
Kuadrat
Tengah (KT)
F-Hitung
455776.385
170.034
73156660.03 27292.075
967.194
.361
3325370.843 1240.574
124397.528
46.408
4509.694
1.682
951.565
.3556
38711.120
14.442
2680.509
Pvalue
.000
.000
.704
.000
.000
.218
.894
.000
Korelasi Pearson
Variabel Terikat : Kandungan Iodin dalam Urin (µg/L)
Urin
Urin
Korelasi
2 ekor
N
Kelompok Korelasi
2 ekor
N
Minggu
Korelasi
2 ekor
N
Dosis
Korelasi
2 ekor
N
Tingkat Signifikansi =
Pearson
1
.
36
.000
1.000
36
.000
1.000
36
.903**
.000
36
Pearson
Pearson
Pearson
Minggu
Kelompok Dosis
.000
.000 .903**
1.000
1.000
.000
36
36
36
1
.000
.149
.
1.000
.387
36
36
36
.000
1
.000
1.000
.
.998
36
36
36
.149
.000
1
.387
.998
.
36
36
36
0.01**
Analisis Duncan
Variabel : Dosis Tiosianat (KCN)
Dosis
2.00
3.00
1.00
Sig.
Tingkat Signifikansi
N
12
12
12
= 0.05
Subset
1
1415.1667
1430.4167
1431.0000
.490
95
Variabel : Kelompok Perlakuan
Kelompok
1.00
2.00
4.00
3.00
Sig.
Tingkat Signifikansi
N
9
9
9
9
1
797.6667
Subset
2
3
1011.5556
1.000
1.000
1937.3333
1955.5556
.470
= 0.05
Variabel : Minggu Pengamatan
Minggu
1.00
2.00
3.00
Sig.
Tingkat Signifikansi
N
12
12
12
1
1312.0000
Subset
2
3
1455.8333
1.000
1.000
1508.7500
1.000
= 0.05
Uji Pengaruh antar Subjek
Variabel Terikat : Konsentrasi T3 dalam Darah (ng/dL)
Sumber Keragaman
Jumlah
Kuadrat (JK)
Model dikoreksi
50122.444
Intercept
416885.444
Dosis
918.389
Kelompok
32386.111
Minggu
953.722
Dosis* Minggu
3111.444
Dosis* Kelompok
7778.722
Kelompok*Minggu 4974.058
Galat
9722.111
Total
476730.000
Total dikoreksi
59844.556
Cat : R-Sq = 0.883 (Adj R-Sq = 0.526)
Derajat
Bebas
(DB)
23
1
2
3
2
4
6
6
12
36
35
Kuadrat
Tengah
F-Hitung
(KT)
2179.237
2.690
416885.444 514.562
459.194
.567
10795.370
13.325
476.861
.589
777.861
.960
1296.454
1.600
829.009
1.023
810.176
Pvalue
.039
.000
.582
.000
.570
.464
.230
.456
96
Korelasi Pearson
Variabel Terikat : Konsentrasi T3 dalam Darah (ng/dL)
T3
T3
Korelasi
2 ekor
N
Kelompok Korelasi
2 ekor
N
Minggu
Korelasi
2 ekor
N
Dosis
Korelasi
2 ekor
N
Tingkat Signifikansi =
Pearson
1
.
36
.317
.059
36
-.019
.912
36
-.101
.558
36
Pearson
Pearson
Pearson
Kelompok Minggu
Dosis
.317
-.019
-.101
.059
.912
.558
36
36
36
1
.000
.000
.
1.000
1.000
36
36
36
.000
1
.000
1.000
.
1.000
36
36
36
.000
.000
1
1.000
1.000
.
36
36
36
0.01**
Analisis Duncan
Variabel : Dosis Tiosianat (KCN)
Dosis
3.00
1.00
2.00
Sig.
Tingkat Signifikansi
Subset
1
N
12
12
12
100.5000
110.5833
111.7500
.375
= 0.05
Variabel : Kelompok Perlakuan
Kelompok
1.00
4.00
3.00
2.00
Sig.
Tingkat Signifikansi
N
1
61.0000
9
9
9
9
Subset
2
101.8889
130.3333
1.000
.056
3
130.3333
137.2222
.617
= 0.05
Variabel : Minggu Pengamatan
Minggu
2.00
3.00
1.00
Sig.
Tingkat Signifikansi
N
12
12
12
= 0.05
Subset
1
100.4167
110.2500
112.1667
.355
97
Uji Pengaruh antar Subjek
Variabel Terikat : Konsentrasi T4 dalam Darah (ìg/dL)
Jumlah
Kuadrat (JK)
Sumber Keragaman
Model dikoreksi
74.417
Intercept
1034.694
Dosis
2.722
Kelompok
36.972
Minggu
2.722
Dosis* Minggu
4.111
Dosis* Kelompok
18.611
Kelompok*Minggu 9.278
Galat
11.889
Total
1121.000
Total dikoreksi
86.306
Cat : R-Sq = 0.862 (Adj R-Sq = 0.598)
Derajat
Bebas
(DB)
23
1
2
3
2
4
6
6
12
36
35
Kuadrat
Tengah
(KT)
3.236
1034.694
1.361
12.324
1361
1.028
3.102
1.546
.991
F-Hitung
Pvalue
3.266
1044.364
1.374
12.439
1.374
1.037
3.131
1.561
.019
.000
.290
.001
.290
.428
.044
.241
Korelasi Pearson
Variabel Terikat : Konsentrasi T4 dalam Darah (ìg/dL)
T4
T4
Korelasi
2 ekor
N
Kelompok Korelasi
2 ekor
N
Minggu
Korelasi
2 ekor
N
Dosis
Korelasi
2 ekor
N
Tingkat Signifikansi =
Pearson
1
.
36
.345*
.039
36
-.066
.702
36
-.176
.305
36
Pearson
Pearson
Pearson
Kelompok Minggu
Dosis
.345*
-.066
-.176
.039
.702
.305
36
36
36
1
.000
.000
.
1.000
1.000
36
36
36
.000
1
.000
1.000
.
1.000
36
36
36
.000
.000
1
1.000
1.000
.
36
36
36
0.05*
Analisis Duncan
Variabel : Dosis Tiosianat (KCN)
Dosis
3.00
2.00
1.00
Sig.
Tingkat Signifikansi
N
12
12
12
= 0.05
Subset
1
5.0000
5.4167
5.6667
.144
98
Variabel : Kelompok Perlakuan
Kelompok
1.00
4.00
2.00
3.00
Sig.
Tingkat Signifikansi
N
1
3.7778
9
9
9
9
Subset
2
3
5.2222
6.0000
1.000
.123
6.0000
6.4444
.362
= 0.05
Variabel : Minggu Pengamatan
Minggu
2.00
12
3.00
12
1.00
12
Sig.
Tingkat Signifikansi = 0.05
N
Subset
1
5.0000
5.4167
5.6667
.144
Korelasi Pearson
Variabel Terikat : Hubungan antara Dosis KCN dengan
Perubahan Dinamika Iodium dalam Tubuh Tikus
Dosis
Iodtiroid Urin
T3
T4
Dosis
Korelasi
1
-.598**
.000
-.101
-.176
Pearson
.
.000
.998
.558
.305
2 ekor
36
36
36
36
36
Iodtiroid N
-.598**
1
.162 .535** .607**
Korelasi
.000
.
.346
.001
.000
Pearson
36
36
36
36
36
Urin
2 ekor
.000
.162
1
.287 .331*
N
.998
.346
.
.090
.049
Korelasi
36
36
36
36
36
T3
Pearson
-.101
.535**
.287
1 .837**
2 ekor
.558
.001
.090
.
.000
N
36
36
36
36
36
T4
Korelasi
-.176
.607**
.331* .837**
1
Pearson
.305
.000
.049
.000
.
2 ekor
36
36
36
36
36
N
Pearson
Korelasi
2 ekor
N
Tingkat Sigifikansi = 0.01**
Tingkat Signifikansi = 0.05*
99
Download