Relasi interpersonal merupakan hal yang penting dalam

advertisement
2
organizations and the important aspects of the relation which will then be
carried out in-depth interviews to get a more focused answer. The analysis
will be conducted using two stages, that are crosstab analysis and coding
analysis. Respondents in this study were employees occupying the same
position or level that works interconnected. Research show the patterns of
interpersonal relationships among co-workers in work established in
promotive interaction, and non work interaction established in united
interaction. That pattern of interpersonal relationships are supported by
personal character who dominated with high agreeableness and openness. In
other that, background similarity (age, marital status, and job), same purpose
and knowledge also support to form the positive interpersonal relation.
Keywords : interpersonal relationship, coworker relationship, job satisfaction
Relasi interpersonal merupakan hal yang penting dalam perkembangan emosi
dan sosial seseorang. Melalui relasi, individu menerima bantuan-bantuan dalam
hal menyelesaikan tugas dan tantangan, menerima dukungan emosional dalam
kehidupan sehari-hari dan menjalin hubungan persahabatan. Dapat dikatakan
relasi interpersonal merupakan hal penting karena menjadi sumber utama
kebahagiaan dan penyangga terhadap stress (Martin & Dowson, 2009).
Pentingnya relasi berkaitan dengan fundamennya, Lewis (1998) menyatakan
bahwa ada beberapa konsep yang mendasari hubungan interpersonal, yaitu
kelekatan (attachment), koneksi dan pemisahan (connection and separation),
negosiasi (negotiation), ketakutan yang tidak disadari (unconscious fear),
kekuatan (power), pemeliharaan keseimbangan (maintenance of balance),
perubahan dalam keseimbangan (changes in the balance), kesehatan (health),
keseimbangan yang optimal (the optimal balance) dan nilai-nilai (values).
Ada beberapa tipe relasi interpersonal yang dapat terbentuk apabila seseorang
menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan
dengan keluarga, hubungan romantis, afiliasi, dan persahabatan. Secara umum,
afiliasi adalah kebutuhan dasar untuk berhubungan dengan orang lain. Banyak
3
motif yang mendorong orang untuk berafiliasi, tetapi tiga yang utama adalah
perbandingan sosial, pengurangan kecemasan, dan mencari informasi (Dwyer,
2000).
Untuk hubungan persahabatan, teman merupakan orang-orang yang disukai
dan dengan persahabatan seseorang akan merasa bahagia melakukan sesuatu.
Persahabatan bersifat universal, untuk segala usia, untuk segala kelas dan kultur,
dan untuk pria dan wanita. Perlu ditekankan bahwa norma dan aturan merupakan
hal yang paling penting dalam persahabatan (Dwyer, 2000). Ada variasi dalam
tingkat keintiman dan stabilitas persahabatan. Persahabatan masa kanak-kanak
cenderung cukup stabil, sementara yang terjadi selama masa remaja dan dewasa
awal biasanya merupakan yang paling dekat dan paling bertahan lama. Seiring
bertambahnya usia dan pengalaman menikah, persahabatan menjadi kurang
penting bagi kehidupan seseorang dan tidak sedekat pada masa sebelumnya.
Orang dewasa cenderung untuk menarik teman-teman mereka dari lingkungan
terdekat dan dari tempat kerja. Hubungan ini biasanya kurang intim daripada
kedekatan dengan teman pada masa dewasa awal. Hasil penelitian dari Gallup
(dalam Dwyer, 2000), menunjukkan bahwa persahabatan dan dukungan dari
lingkungan sosial di tempat kerja berkaitan dengan komitmen dan employee
engagement.
Dukungan rekan kerja, termasuk mentoring dari rekan kerja, keramahan dan
pengaruh yang positif, dapat dikaitkan dengan meningkatnya kepuasan kerja, job
involvement dan komitmen organisasi (Dechner, 2011). Hal tersebut terjadi karena
rekan kerja merupakan sumber dukungan dan informasi yang penting.
4
Pengalaman komunikasi dengan rekan kerja sangat mempengaruhi kinerja
sehingga mereka dapat memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas
pekerjaannya (Shockley & Zalabak, 2006).
Hasil penelitian lain menemukan bahwa pertukaran informasi antar rekan
kerja secara signifikan berhubungan dengan pendapatan dan beban kerja
organisasi secara keseluruhan. Individu yang puas dengan pengalaman
komunikasi dalam organisasi cenderung lebih efektif performanya dan lebih puas
terhadap pekerjaannya dibandingkan dengan mereka yang memiliki hubungan
komunikasi yang kurang baik (Shockley & Zalabak, 2006). Selain itu, relasi antar
kerja juga dapat mempengaruhi iklim organisasi, kinerja karyawan, dan akhirnya
dapat berpengaruh pada produktivitas organisasi (Griffith, 2006).
Relasi antar rekan kerja merupakan bagian penting dari pengalaman individu
dalam bekerja. Rekan kerja adalah anggota kelompok kerja pada tingkat struktural
yang hampir sama dalam organisasi. Relasi dengan rekan kerja dapat dicirikan
dengan adanya tugas bersama dan adanya interaksi sosial yaitu saling
berkomunikasi mengenai informasi pekerjaan, memberikan saran atau masukan,
mengevaluasi prestasi, dan memberikan umpan balik personal. Rekan kerja saling
menukaran informasi mengenai persyaratan pekerjaan, memberikan dukungan
sosial, dan memberikan nasihat tanpa secara resmi mengevaluasi kinerja rekannya
(Shockley & Zalabak, 2006).
Hasil penelitian menemukan bahwa relasi interpersonal di tempat kerja
memiliki dampak yang menguntungkan bagi individu dan organisasi. Penelitian
telah menunjukkan bahwa pertemanan atau persahabatan di tempat kerja dapat
5
meningkatkan sikap individu karyawan seperti komitmen kerja, engagement,
persepsi terhadap dukungan organisasi dan kepuasan kerja (Dachner, 2011).
Terkait dengan hal itu, kepuasan kerja dapat meningkatkan produktivitas dan
mengurangi turnover serta absensi kerja (Ganguli, 2010).
Rakhmat (2012), menyatakan bahwa model peranan memandang relasi
interpersonal sebagai pangung sandiwara. Setiap orang harus memainkan
peranannya sesuai dengan “naskah” yang telah dibuat masyarakat. Relasi
interpersonal berkembang baik bila setiap individu bertindak sesuai dengan
ekspektasi peranan dan tuntutan peranan, memiki keterampilan peranan dan
kerancuan peranan.
Ekspektasi peranan mengacu pada kewajiban, tugas dan hal yang berkaitan
dengan posisi tertentu dalam kelompok. Tuntutan peranan adalah desakan sosial
yang memaksa individu untuk memenuhi peranan yang telah dibebankan
kepadanya. Keterampilan sosial yang menjadikan individu dapat memenuhi
peranan yang telah dibebankan kepadanya. Desakan sosial dapat berwujud
sebagai sanksi sosial dan dikenakan bila individu menyimpang dari peranannya.
Keterampilan peranan adalah kemampuan memainkan peranan tertentu, kadang
disebut juga sebagai keterampilan sosial. Konflik peranan terjadi bila individu
tidak sanggup mempertemukan berbagai tuntutan yang kontradiktif.
Berkaitan dengan model peranan diatas, dimana individu harus bertindak
sesuai dengan tuntutan perannya, Hackmann & Oldham (dalam Elizur, 1986)
mengklasifikasikan relasi interpersonal menjadi dua yaitu relasi interpersonal
yang terbentuk dalam konteks pekerjaan (work) dan relasi interpersonal yang
6
terbentuk dalam konteks bukan pekerjaan (non-work). Elizur (1986), kembali
menjelaskan mengenai aspek-aspek yang terdapat dalam relasi interpersonal baik
dalam konteks pekerjaan (work) maunpun diluar pekerjaan (non-work). Aspek
yang terdapat dalam konteks pekerjaan berupa task identity, feedback from others,
feedback from job, skill variety, dealing on job, autonomy dan task significant.
Sedangkan aspek yang terdapat dalam relasi interpersonal yang terbentuk dalam
konteks bukan pekerjaan (non-work) dapat berupa autonomy, physical variety,
dealing dan feedback from others.
Hubungan interpersonal yang terjalin di tempat kerja merupakan interaksi hari
ke hari antara rekan kerja, atau manajer dan karyawan. Hubungan ini adalah
bagian alami dari lingkungan kerja dan biasanya menyenangkan dan kreatif, tapi
terkadang menjadi sumber ketegangan dan frustrasi (Stoetzer, 2010). Komponen
penting dari hubungan unterpersonal di tempat kerja adalah adanya kepercayaan
interpersonal (Gallardo dkk, 2010). Tiga hal yang mendasari kepercayaan adalah
kepastian atau keyakinan bahwa sesama anggota kelompok akan berperilaku
kooperatif, keyakinan bahwa anggota kelompok memiliki kompetensi untuk
memenuhi harapan peran, dan kesediaan untuk menempatkan nasib seseorang
ditangan anggota kelompok (Sweeney, 2009)
Adanya perbedaan peranan dalam konteks pekerjaan (work) dan bukan
pekerjaan (non-work) maka terdapat pula perbedaan kepentingan seperti tugas dan
tujuan yang akan dicapai. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Shockley &
Zalabak (2006), bahwa relasi interpersonal di organisasi terbentuk karena adanya
tugas yang penting dan pertimbangan sosial. Tidak seperti pada hubungan
7
personal, organisasi pada dasarnya adalah sebuah bangunan tempat pertemuan
banyak pribadi yang diperlukan untuk penyelesaian tugas, dengan kata lain relasi
interpersonal yang terjalin di tempat kerja terbentuk karena adanya kebutuhan
untuk menyelesaikan tugas atau tujuan bersama.
Adanya kebutuhan untuk menyelesaikan tugas atau tujuan bersama membuat
tiap individu dalam suatu organisasi dapat saling ketergantungan (interdepeden)
antara satu dengan lainnya. Dasar pemikiran dari teori interdepedensi sosial
adalah adanya struktur tujuan dari beberapa orang dalam situasi tertentu dan
dinamikanya berpengaruh terhadap hasil interaksinya (Jhonson & Jhonson, 2005).
Tujuan dari penggambarkan interaksi tersebut adalah untuk menggambarkan
secara tepat karakter dari struktur situasi, misalnya menggambarkan bagaimana
seseorang dapat mempengaruhi perilaku orang lain selama terjadinya interaksi.
Interaksi didefinisikan sebagai perilaku individu yang berurutaan atau
bersamaan yang dapat mempengaruhi hasil di masa depan baik langsung maupun
tidak langsung dari setiap individu. Interaksi menggambarkan kebutuhan, pikiran,
motif dan perilaku dua orang dalam hubungan satu sama lain pada situasi saling
ketergantungan secara spesifik. Dalam sebuah interaksi terlihat bahwa terdapat
kesempatan untuk
mendukung dan memfasilitasi orang lain untuk mencapai
tujuannya serta menghambat atau menghalangi orang lain untuk mencapai
tujuannya.
Untuk
menganalisis
bagaimana
perilaku
seseorang
dapat
mempengaruhi perilaku orang lain dapat dilihat dari struktur situasi yang
berkaitan dengan derajat dan tipe depedensinya, yaitu dapat dilihat dari actor
control, partner control, dan joint control. Actor control adalah dampak dari
8
perilaku seseorang terhadap hasil yang ia peroleh sendiri. Partner control adalah
dampak dari perilaku seseorang terhadap hasil yang orang lain terima. Joint
control adalah dampak dari perilaku bersama terhadap hasil yang diterima olah
masing-masing orang (Van Lange, Kruglanski & Higgins, 2012).
Menurut Johnson & Johnson (2005), terdapat beberapa bentuk dari interaksi,
yaitu promotive interaction diartikan sebagai individu yang terlibat dalam
tindakan yang memungkinkan meningkatkan setiap keberhasilan orang lain dalam
dalam mencapai tujuan bersama. Hal ini terdiri dari sejumlah variabel yang
meliputi bantuan, pertukaran sumberdaya yang diperlukan, komunikasi yang
efektif, pengaruh timbal
balik, kepercayaan dan management
konflik.
Oppositional interaction diartikan sebagai individu yang terlibat dalam tindakan
yang memungkinkan untuk menghambat keberhasilan orang lain dalam mencapai
tujuannya. Individu tersebut memfokuskan pada peningkatan produktivitas dirinya
dan menghalangi orang lain untuk mencapai produktivitas yang lebih baik dari
yang ia lakukan. Hal ini terdiri dari beberapa variabel seperti terhalangnya orang
lain dalam pencapaian tujuan, taktik untuk mengancam dan memaksa, komunikasi
yang tidak efektif, ketidakpercayaan, dan perjuangan untuk menang dalam
konflik. No interaction diartikan sebagai individu yang terlibat dalam tindakan
yang mendukung pencapaian tujuan dirinya sendiri tanpa mempengaruhi
pencapaian tujuan orang lain, individu ini hanya fokus pada peningkatan
produktifitas dan pencapaian dirinya, serta mengabaikan usaha orang lain yang
tidak relevan.
9
Promotive Interaction
A
B
Oppositional
Interaction
A
B
No Interaction
A
B
Gambar 1 Bentuk Interaksi
Terdapat proses perkembangan dalam interaksi antar individu atau kelompok.
Tiap individu yang terlibat dalam interaksi akan mencari tahu mengenai individu
lain yang berhubungan dalam interaksi tersebut, mencoba untuk saling bergantung
atau saling menolong dan mengatasi konflik yang ada dalam hubungan interaksi.
Proses perkembangan tersebut terdapat lima tahapan yang dilalui dalam interaksi
antar
individu,
yaitu
forming
(orientasi),
storming
(konflik),
norming
(perkembagan struktur), performing (work), dan adjourning (pembubaran /
dissolution).
Pada tahapan pertama, tiap individu akan saling mencoba untuk mengenal satu
sama lain. Kedua, mereka akan menemukan masalah dalam berinteraksi dan
solusi untuk mengatasi konflik tersebut dapat meningkatkan performa interaksi.
10
Ketiga, akan terbentuk norma dan aturan dalam tatacara berinteraksi antar
individu. Tiap individu akan meningkatkan kepercayaan dan komunikasi.
Keempat, individu-individu yang saling berinteraksi akan bekerjasama sebagai
satu kesatuan untuk mencapai tujuan bersama, mereka akan berorientasi pada
tugas dan menekankan performansi. Kelima, merupakan tahap terakhir dalam
perkembangan interaksi dimana setiap individu akan mengakhiri aturan-aturan,
menyelesaikan tugas, dan mengurangi ketergantungan terhadap individu lain.
Berdasarkan teori interdepedensi (Jhonson & Jhonson, 2005), bentuk tujuan
dari individu dalam suatu situasi menentukan bagaimana individu tersebut
berinteraksi, dan sebaliknya bentuk interaksi juga dapat menentukan suatu situasi.
Dijelaskan oleh Rusbult & Van Lange (2003) bahwa bentuk teori interdepedensi
melibatkan dua individu dimana masing-masing individu dapat menetapkan salah
satu dari dua perilaku yang menghasilkan empat kombinasi yang merupakan
konsekuensi dari interaksi mereka. Bentuk kombinasi perilaku dari teori
interdepedensi
social
tersebut
dapat
berupa
interdepedensi,
depedensi,
indepedensi dan helplessness.
Depedensi terbentuk saat pencapaian tujuan individu dipengaruhi oleh
tindakan individu lain, akan tetapi tidak berlaku sebaliknya. Tingkat depedensi
menggambarkan sejauh mana seorang individu bergantung pada partner interaksi,
dalam hasilnya dipengaruhi oleh tindakan partner (Rusbult & Van Lange, 2003).
Interdepedensi terbentuk ketika pencapaian tujuan seseorang saling dipengaruhi
oleh tindakan masing-masing individu dan orang lain. Situasi dikatakan saling
11
bergantung ketika situasi melibatkan saling mengontrol dan pengendalian bersama
(Rusbult & Van Lange, 2003).
Indepedensi terbentuk ketika tercapaianya tujuan individu tidak dipengaruhi
oleh tindakan individu lain dan begitu juga sebaliknya, tercapainya tujuan
tergantung dari upaya masing-masing individu. Situasi dikatakan tidak
berbergantung ketika masing-masing individu mampu mencapai tujuannya
masing-masing dengan usahanya sendiri walaupun tanpa bantuan dari pihak lain
(Rusbult & Van Lange, 2003).
Situasi ketidakberdayaan terjadi ketika masing-masing individu tidak ada yang
mampu untuk mempengaruhi pencapaian tujuan. Pada saat masing-masing
individu membutuhkan pertolongan untuk pencapaian tujuan, namun tidak
tersedianya bantuan dari pihak lain, sehingga tujuannya tersebut tidak dapat
tercapai.
Terdapat dua tipe dari interdepedensi sosial yaitu interdepedensi positif, ketika
tindakan seseorang mendorong pencapaian tujuan bersama, dan interdepedensi
negatif, ketika tindakan seseorang menghambat pencapaian tujuan orang lain
(Jhonson & Jhonson, 2005). Interdepedensi positif akan terbentuk apabila terdapat
hubungan positif diantara pencapaian tujuan individu, dan individu tersebut
merasa ia dapat mencapai tujuannya jika orang lain yang terkait kooperasi saling
terkait untuk mencapai tujuan bersama. Interdepedensi negatif terbentuk ketika
terdapat hubungan yang negatif diantara pencapaian tujuan individu, individu
merasa mereka dapat mencapai tujuan mereka jika individu lain yang terkait
kompetisi gagal untuk mencapai tujuan mereka. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
12
interdepedensi positif merupakan hasil dari suatu proses interaksi yang saling
mendukung (promotive interaction), sedangkan interdepedensi negatif merupakan
hasil dari proses interaksi yang saling bertentangan (oppositional interaction).
Pada umumya hubungan yang positif antara anggota kelompok menghasilkan
rendahnya ketidakhadiran, berkurangnya PHK dan kemungkinan besar anggota
kelompok
akan
melakukan
upaya
untuk
mencapai
tujuan,
merasa
bertanggungjawab untuk berprestasi, mau mengambil tugas-tugas yang sulit,
termotivasi untuk belajar, bertahan dalam pekerjaan untuk mencapai tujuan,
memiliki moral yang baik, bersedia menanggung rasa sakit dan frustasi untuk
mencapai tujuan, berkomitmen untuk keberhasilan dan kesuksesan masing-masing
anggota kelompok (Jhonson & Jhonson, 2005).
Positif dan negatifnya interdepedensi berdasarkan pada hasil tujuan bersama
(Jhonson & Jhonson, 2005). Dijelaskan lebih lanjut bahwa interdepedensi positif
dan negatif dapat tersusun atas peran yang saling melengkapi, kelompok
kontingensi dan pembagian informasi. Interdepedensi positif dan negatif dapat
dilihat dari tiga aspek yaitu keluar (outcome), sarana (means), dan batas
(boundary). Pertama, ketika seseorang berada dalam situasi kooperatif atau
kompetitif, mereka bertujuan untuk menuju hasil yang diinginkan, seperti tujuan
dan penghargaan. Kedua, sarana interdepedensi meliputi sumberdaya, peran dan
tugas yang saling bergantung satu sama lain bukan yang terlepas antara satu
dengan yang lainnya. Ketiga, batas-batas yang ada di antara individu dan
kelompok dapat menentukan siapa yang saling bergantung dengan siapa.
13
Kerjasama atau kooperasi dapat meningkatkan prestasi yang lebih tinggi dan
produktivitas yang lebih besar daripada kompetisi. Salah satu alasannya adalah
ketika bekerja dalam kelompok yang kompetitif, individu cenderung untuk
membentuk strategi untuk melindungi diri, sedangkan pada kelompok yang
kooperatif, individu akan menjelaskan apa yang ia ketahui kepada anggota
kelompok yang lain untuk mendukung tercapainya tujuan. Kooperatif mendorong
seseorang untuk bekerjasama dengan orang lain dan belajar dari satu sama lain,
yang terdiri dari lima unsur: saling ketergantungan positif, tanggungjawab
individu dan pribadi, meningkatkan interaksi, interpersonal dan keterampilan
dalam kelompok kecil, dan group process (Johnson dan Johnson, 2005).
Kompetisi mendorong seseorang untuk memperjuangkan hasil terhadap satu
sama lain dan terdiri dari beberapa unsur, yaitu keyakinan bahwa hanya ada satu
pemenang dan orang lain harus gagal, saling ketergantungan negatif, berjuang
untuk keuntungan pribadi, dan mendapatkan perlawanan dari anggota kelompok
yang lain (Johnson dan Johnson, 2005).
Deutsch (1985) menyatakan bahwa lebih mudah untuk berpindah dari situasi
kooperasi menjadi kompetisi, daripada berpindah dari situasi kompetisi menjadi
kooperasi. Menurut Eatough (2010), adanya perilaku kompetitif (bersaing) dapat
menimbulkan konflik interpersonal dengan rekan kerja. Interpersonal konflik
merupakan stressor yang dapat berdampak pada organizational outcomes, dimana
hal tersebut nantinya dapat berdampak negatif pada sikap dan perilaku karyawan
(Haq, 2011). Konflik interpersonal dengan rekan kerja didefinisikan sebagai
ketegangan atau pertentangan dalam suatu hubungan rekan kerja (Eatough, 2010).
14
Setidaknya terdapat lima sumber konflik (Rakhmat, 2012) :
a. Kompetisi, salah satu pihak berusaha memperoleh sesuatu
dengan
mengorbankan orang lain,
b. Dominasi, salah satu pihak berusaha mengendalikan pihak lain sehingga orang
tersebut merasa hak-haknya dilanggar,
c. Kegagalan, masing-masing berusaha menyalahkan pihak lain apabila tujuan
bersama tidak tercapai,
d. Provokasi, salah satu pihak terus menerus berbuat sesuatu yang ia ketahui
menyinggung perasaan yang lain,
e. Perbedaan nilai, kedua pihak tidak sepakat tentang nilai-nilai yang mereka
anut.
Menurut Jehn (dalam Boz, 2011), konflik interpersonal ditempat kerja dapat
terbagi dalam dua tipe, yaitu konflik dalam hubungan interpersonal (interpersonal
conflict) dan konflik dalam tugas (task conflict). Konflik dalam hubungan
interpersonal terdiri dari ketidaksesuaian yang dirasakan antara anggota kelompok
seperti perbedaan pendapat tentang nilai-nilai, sikap, politik aspek atau norma
keluarga. Di sisi lain, konflik dalam tugas terdiri dari pekerjaan yang berhubungan
dengan perselisihan tentang bagaimana melaksanakan tugas-tugas tertentu seperti
perbedaan dalam sudut pandang, ide dan pendapat.
Adanya interdepedensi juga memungkinkan untuk menjadi penyebab dari
situasi konflik, ketika masing-masing pihak menjadi saling tergantung untuk
mencapai tujuan mereka sehingga memberikan konteks interpersonal dimana
konflik mungkin timbul (Barki & Hartwick, 2001). Konflik interpersonal tersebut
15
dapat mengurangi kepuasan kerja dan menyebabkan rendahnya psychological
wellbeing pada karyawan (Boz, 2011).
Hasil wawancara yang diperoleh dari pengambilan data awal di PT. United
Tractors menunjukkan bahwa relasi interpersonal antar rekan kerja terjalin dengan
baik tanpa ada kesenjangan sosial dan komunikasi yang terbentuk juga berjalan
dengan lancar. Antar karyawan bebas berdiskusi dan meminta pertolongan dengan
rekan kerjanya. Hasil Employee Engagement Survey (EES) yang pernah dilakukan
di PT. United Tractors menunjukkan bahwa karyawan memiliki hubungan
antarpribadi dan komunikasi yang baik antar sesama karyawan yang terjalin di
perusahaan. Hubungan antarpribadi dan komunikasi yang positif tersebut
membantu dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan yang terlihat dari
Employee Opinion Survey (EOS). Dimana hasil survey tersebut menunjukkan
bahwa karyawan merasa puas atas sistem manajemen yang selama ini telah
dijalankan.
Meskipun hasil wawancara awal dan hasil survey menyatakan bahwa relasi
interpersonal rekan kerja terjalin dengan baik, pada kenyataannya saat
pelaksanaan pekerjaan, masih terjadi saling melempar tanggung jawab. Oleh
karena itu dapat dikatakan masih adanya konflik diantara rekan kerja dalam relasi
interpersonal tersebut.
Berdasarkan pengamatan awal peneliti, konflik tersebut dapat terjadi karena
karyawan di PT. United Tractors selain memiliki job description yang sesuai
dengan posisi mereka dalam struktur organisasi, mereka juga dituntut untuk
menjalankan tugas-tugas lain untuk menunjang KPI (Key Performance Indicator).
16
Tugas-tugas tersebut dibuat berdasarkan kebutuhan organisasi dan melibatkan
orang-orang yang berkepentingan dalam melaksanakan dan menerima keuntungan
atas tugas tersebut. Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanakan tugas belum
ada pembagian tanggungjawab secara jelas dan pasti mengenai perannya. Tugas
tersebut juga memiliki batas waktu yang singkat dalam pengerjaannya sehingga
dapat memberi tekanan yang lebih besar kepada karyawan. Hal itu memicu
terjadinya konflik diantara rekan kerja dalam relasi interpersonal tersebut. Selain
itu, tugas-tugas untuk menunjang KPI juga dapat memicu terjadinya kompetisi
antar rekan kerja. Adanya dinamika hubungan interpersonal dari hubungan yang
positif dan konflik tersebut membuat peneliti ingin mengetahui lebih dalam
mengenai komponen atau aspek-aspek apa saja yang membentuk dinamika
tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka permasalahan penelitian yang diangkat
adalah : bagaimana bentuk dinamika relasi interpersonal antara rekan kerja yang
ada di perusahaan saat ini sehingga dapat mencapai kepuasan kerja?
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pola-pola relasi interpersonal dan
menyusun komponen atau aspek-aspek penting dari relasi interpersonal yang
dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Secara praktis, manfaat penelitian
ini diharapkan dapat membantu calon karyawan maupun karyawan yang sudah
bekerja untuk dapat membangun pola relasi interpersonal yang efektif dengan
mempertimbangkan aspek-aspek penting dari relasi interpersonal yang dapat
mempengaruhi relasi tersebut. Bagi perusahaan, diharapkan penelitian ini dapat
memberikan rekomendasi pengembangan relasi interpersonal yang efektif antar
Download