2 organizations and the important aspects of the relation which will then be carried out in-depth interviews to get a more focused answer. The analysis will be conducted using two stages, that are crosstab analysis and coding analysis. Respondents in this study were employees occupying the same position or level that works interconnected. Research show the patterns of interpersonal relationships among co-workers in work established in promotive interaction, and non work interaction established in united interaction. That pattern of interpersonal relationships are supported by personal character who dominated with high agreeableness and openness. In other that, background similarity (age, marital status, and job), same purpose and knowledge also support to form the positive interpersonal relation. Keywords : interpersonal relationship, coworker relationship, job satisfaction Relasi interpersonal merupakan hal yang penting dalam perkembangan emosi dan sosial seseorang. Melalui relasi, individu menerima bantuan-bantuan dalam hal menyelesaikan tugas dan tantangan, menerima dukungan emosional dalam kehidupan sehari-hari dan menjalin hubungan persahabatan. Dapat dikatakan relasi interpersonal merupakan hal penting karena menjadi sumber utama kebahagiaan dan penyangga terhadap stress (Martin & Dowson, 2009). Pentingnya relasi berkaitan dengan fundamennya, Lewis (1998) menyatakan bahwa ada beberapa konsep yang mendasari hubungan interpersonal, yaitu kelekatan (attachment), koneksi dan pemisahan (connection and separation), negosiasi (negotiation), ketakutan yang tidak disadari (unconscious fear), kekuatan (power), pemeliharaan keseimbangan (maintenance of balance), perubahan dalam keseimbangan (changes in the balance), kesehatan (health), keseimbangan yang optimal (the optimal balance) dan nilai-nilai (values). Ada beberapa tipe relasi interpersonal yang dapat terbentuk apabila seseorang menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan dengan keluarga, hubungan romantis, afiliasi, dan persahabatan. Secara umum, afiliasi adalah kebutuhan dasar untuk berhubungan dengan orang lain. Banyak 3 motif yang mendorong orang untuk berafiliasi, tetapi tiga yang utama adalah perbandingan sosial, pengurangan kecemasan, dan mencari informasi (Dwyer, 2000). Untuk hubungan persahabatan, teman merupakan orang-orang yang disukai dan dengan persahabatan seseorang akan merasa bahagia melakukan sesuatu. Persahabatan bersifat universal, untuk segala usia, untuk segala kelas dan kultur, dan untuk pria dan wanita. Perlu ditekankan bahwa norma dan aturan merupakan hal yang paling penting dalam persahabatan (Dwyer, 2000). Ada variasi dalam tingkat keintiman dan stabilitas persahabatan. Persahabatan masa kanak-kanak cenderung cukup stabil, sementara yang terjadi selama masa remaja dan dewasa awal biasanya merupakan yang paling dekat dan paling bertahan lama. Seiring bertambahnya usia dan pengalaman menikah, persahabatan menjadi kurang penting bagi kehidupan seseorang dan tidak sedekat pada masa sebelumnya. Orang dewasa cenderung untuk menarik teman-teman mereka dari lingkungan terdekat dan dari tempat kerja. Hubungan ini biasanya kurang intim daripada kedekatan dengan teman pada masa dewasa awal. Hasil penelitian dari Gallup (dalam Dwyer, 2000), menunjukkan bahwa persahabatan dan dukungan dari lingkungan sosial di tempat kerja berkaitan dengan komitmen dan employee engagement. Dukungan rekan kerja, termasuk mentoring dari rekan kerja, keramahan dan pengaruh yang positif, dapat dikaitkan dengan meningkatnya kepuasan kerja, job involvement dan komitmen organisasi (Dechner, 2011). Hal tersebut terjadi karena rekan kerja merupakan sumber dukungan dan informasi yang penting. 4 Pengalaman komunikasi dengan rekan kerja sangat mempengaruhi kinerja sehingga mereka dapat memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas pekerjaannya (Shockley & Zalabak, 2006). Hasil penelitian lain menemukan bahwa pertukaran informasi antar rekan kerja secara signifikan berhubungan dengan pendapatan dan beban kerja organisasi secara keseluruhan. Individu yang puas dengan pengalaman komunikasi dalam organisasi cenderung lebih efektif performanya dan lebih puas terhadap pekerjaannya dibandingkan dengan mereka yang memiliki hubungan komunikasi yang kurang baik (Shockley & Zalabak, 2006). Selain itu, relasi antar kerja juga dapat mempengaruhi iklim organisasi, kinerja karyawan, dan akhirnya dapat berpengaruh pada produktivitas organisasi (Griffith, 2006). Relasi antar rekan kerja merupakan bagian penting dari pengalaman individu dalam bekerja. Rekan kerja adalah anggota kelompok kerja pada tingkat struktural yang hampir sama dalam organisasi. Relasi dengan rekan kerja dapat dicirikan dengan adanya tugas bersama dan adanya interaksi sosial yaitu saling berkomunikasi mengenai informasi pekerjaan, memberikan saran atau masukan, mengevaluasi prestasi, dan memberikan umpan balik personal. Rekan kerja saling menukaran informasi mengenai persyaratan pekerjaan, memberikan dukungan sosial, dan memberikan nasihat tanpa secara resmi mengevaluasi kinerja rekannya (Shockley & Zalabak, 2006). Hasil penelitian menemukan bahwa relasi interpersonal di tempat kerja memiliki dampak yang menguntungkan bagi individu dan organisasi. Penelitian telah menunjukkan bahwa pertemanan atau persahabatan di tempat kerja dapat 5 meningkatkan sikap individu karyawan seperti komitmen kerja, engagement, persepsi terhadap dukungan organisasi dan kepuasan kerja (Dachner, 2011). Terkait dengan hal itu, kepuasan kerja dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi turnover serta absensi kerja (Ganguli, 2010). Rakhmat (2012), menyatakan bahwa model peranan memandang relasi interpersonal sebagai pangung sandiwara. Setiap orang harus memainkan peranannya sesuai dengan “naskah” yang telah dibuat masyarakat. Relasi interpersonal berkembang baik bila setiap individu bertindak sesuai dengan ekspektasi peranan dan tuntutan peranan, memiki keterampilan peranan dan kerancuan peranan. Ekspektasi peranan mengacu pada kewajiban, tugas dan hal yang berkaitan dengan posisi tertentu dalam kelompok. Tuntutan peranan adalah desakan sosial yang memaksa individu untuk memenuhi peranan yang telah dibebankan kepadanya. Keterampilan sosial yang menjadikan individu dapat memenuhi peranan yang telah dibebankan kepadanya. Desakan sosial dapat berwujud sebagai sanksi sosial dan dikenakan bila individu menyimpang dari peranannya. Keterampilan peranan adalah kemampuan memainkan peranan tertentu, kadang disebut juga sebagai keterampilan sosial. Konflik peranan terjadi bila individu tidak sanggup mempertemukan berbagai tuntutan yang kontradiktif. Berkaitan dengan model peranan diatas, dimana individu harus bertindak sesuai dengan tuntutan perannya, Hackmann & Oldham (dalam Elizur, 1986) mengklasifikasikan relasi interpersonal menjadi dua yaitu relasi interpersonal yang terbentuk dalam konteks pekerjaan (work) dan relasi interpersonal yang 6 terbentuk dalam konteks bukan pekerjaan (non-work). Elizur (1986), kembali menjelaskan mengenai aspek-aspek yang terdapat dalam relasi interpersonal baik dalam konteks pekerjaan (work) maunpun diluar pekerjaan (non-work). Aspek yang terdapat dalam konteks pekerjaan berupa task identity, feedback from others, feedback from job, skill variety, dealing on job, autonomy dan task significant. Sedangkan aspek yang terdapat dalam relasi interpersonal yang terbentuk dalam konteks bukan pekerjaan (non-work) dapat berupa autonomy, physical variety, dealing dan feedback from others. Hubungan interpersonal yang terjalin di tempat kerja merupakan interaksi hari ke hari antara rekan kerja, atau manajer dan karyawan. Hubungan ini adalah bagian alami dari lingkungan kerja dan biasanya menyenangkan dan kreatif, tapi terkadang menjadi sumber ketegangan dan frustrasi (Stoetzer, 2010). Komponen penting dari hubungan unterpersonal di tempat kerja adalah adanya kepercayaan interpersonal (Gallardo dkk, 2010). Tiga hal yang mendasari kepercayaan adalah kepastian atau keyakinan bahwa sesama anggota kelompok akan berperilaku kooperatif, keyakinan bahwa anggota kelompok memiliki kompetensi untuk memenuhi harapan peran, dan kesediaan untuk menempatkan nasib seseorang ditangan anggota kelompok (Sweeney, 2009) Adanya perbedaan peranan dalam konteks pekerjaan (work) dan bukan pekerjaan (non-work) maka terdapat pula perbedaan kepentingan seperti tugas dan tujuan yang akan dicapai. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Shockley & Zalabak (2006), bahwa relasi interpersonal di organisasi terbentuk karena adanya tugas yang penting dan pertimbangan sosial. Tidak seperti pada hubungan 7 personal, organisasi pada dasarnya adalah sebuah bangunan tempat pertemuan banyak pribadi yang diperlukan untuk penyelesaian tugas, dengan kata lain relasi interpersonal yang terjalin di tempat kerja terbentuk karena adanya kebutuhan untuk menyelesaikan tugas atau tujuan bersama. Adanya kebutuhan untuk menyelesaikan tugas atau tujuan bersama membuat tiap individu dalam suatu organisasi dapat saling ketergantungan (interdepeden) antara satu dengan lainnya. Dasar pemikiran dari teori interdepedensi sosial adalah adanya struktur tujuan dari beberapa orang dalam situasi tertentu dan dinamikanya berpengaruh terhadap hasil interaksinya (Jhonson & Jhonson, 2005). Tujuan dari penggambarkan interaksi tersebut adalah untuk menggambarkan secara tepat karakter dari struktur situasi, misalnya menggambarkan bagaimana seseorang dapat mempengaruhi perilaku orang lain selama terjadinya interaksi. Interaksi didefinisikan sebagai perilaku individu yang berurutaan atau bersamaan yang dapat mempengaruhi hasil di masa depan baik langsung maupun tidak langsung dari setiap individu. Interaksi menggambarkan kebutuhan, pikiran, motif dan perilaku dua orang dalam hubungan satu sama lain pada situasi saling ketergantungan secara spesifik. Dalam sebuah interaksi terlihat bahwa terdapat kesempatan untuk mendukung dan memfasilitasi orang lain untuk mencapai tujuannya serta menghambat atau menghalangi orang lain untuk mencapai tujuannya. Untuk menganalisis bagaimana perilaku seseorang dapat mempengaruhi perilaku orang lain dapat dilihat dari struktur situasi yang berkaitan dengan derajat dan tipe depedensinya, yaitu dapat dilihat dari actor control, partner control, dan joint control. Actor control adalah dampak dari 8 perilaku seseorang terhadap hasil yang ia peroleh sendiri. Partner control adalah dampak dari perilaku seseorang terhadap hasil yang orang lain terima. Joint control adalah dampak dari perilaku bersama terhadap hasil yang diterima olah masing-masing orang (Van Lange, Kruglanski & Higgins, 2012). Menurut Johnson & Johnson (2005), terdapat beberapa bentuk dari interaksi, yaitu promotive interaction diartikan sebagai individu yang terlibat dalam tindakan yang memungkinkan meningkatkan setiap keberhasilan orang lain dalam dalam mencapai tujuan bersama. Hal ini terdiri dari sejumlah variabel yang meliputi bantuan, pertukaran sumberdaya yang diperlukan, komunikasi yang efektif, pengaruh timbal balik, kepercayaan dan management konflik. Oppositional interaction diartikan sebagai individu yang terlibat dalam tindakan yang memungkinkan untuk menghambat keberhasilan orang lain dalam mencapai tujuannya. Individu tersebut memfokuskan pada peningkatan produktivitas dirinya dan menghalangi orang lain untuk mencapai produktivitas yang lebih baik dari yang ia lakukan. Hal ini terdiri dari beberapa variabel seperti terhalangnya orang lain dalam pencapaian tujuan, taktik untuk mengancam dan memaksa, komunikasi yang tidak efektif, ketidakpercayaan, dan perjuangan untuk menang dalam konflik. No interaction diartikan sebagai individu yang terlibat dalam tindakan yang mendukung pencapaian tujuan dirinya sendiri tanpa mempengaruhi pencapaian tujuan orang lain, individu ini hanya fokus pada peningkatan produktifitas dan pencapaian dirinya, serta mengabaikan usaha orang lain yang tidak relevan. 9 Promotive Interaction A B Oppositional Interaction A B No Interaction A B Gambar 1 Bentuk Interaksi Terdapat proses perkembangan dalam interaksi antar individu atau kelompok. Tiap individu yang terlibat dalam interaksi akan mencari tahu mengenai individu lain yang berhubungan dalam interaksi tersebut, mencoba untuk saling bergantung atau saling menolong dan mengatasi konflik yang ada dalam hubungan interaksi. Proses perkembangan tersebut terdapat lima tahapan yang dilalui dalam interaksi antar individu, yaitu forming (orientasi), storming (konflik), norming (perkembagan struktur), performing (work), dan adjourning (pembubaran / dissolution). Pada tahapan pertama, tiap individu akan saling mencoba untuk mengenal satu sama lain. Kedua, mereka akan menemukan masalah dalam berinteraksi dan solusi untuk mengatasi konflik tersebut dapat meningkatkan performa interaksi. 10 Ketiga, akan terbentuk norma dan aturan dalam tatacara berinteraksi antar individu. Tiap individu akan meningkatkan kepercayaan dan komunikasi. Keempat, individu-individu yang saling berinteraksi akan bekerjasama sebagai satu kesatuan untuk mencapai tujuan bersama, mereka akan berorientasi pada tugas dan menekankan performansi. Kelima, merupakan tahap terakhir dalam perkembangan interaksi dimana setiap individu akan mengakhiri aturan-aturan, menyelesaikan tugas, dan mengurangi ketergantungan terhadap individu lain. Berdasarkan teori interdepedensi (Jhonson & Jhonson, 2005), bentuk tujuan dari individu dalam suatu situasi menentukan bagaimana individu tersebut berinteraksi, dan sebaliknya bentuk interaksi juga dapat menentukan suatu situasi. Dijelaskan oleh Rusbult & Van Lange (2003) bahwa bentuk teori interdepedensi melibatkan dua individu dimana masing-masing individu dapat menetapkan salah satu dari dua perilaku yang menghasilkan empat kombinasi yang merupakan konsekuensi dari interaksi mereka. Bentuk kombinasi perilaku dari teori interdepedensi social tersebut dapat berupa interdepedensi, depedensi, indepedensi dan helplessness. Depedensi terbentuk saat pencapaian tujuan individu dipengaruhi oleh tindakan individu lain, akan tetapi tidak berlaku sebaliknya. Tingkat depedensi menggambarkan sejauh mana seorang individu bergantung pada partner interaksi, dalam hasilnya dipengaruhi oleh tindakan partner (Rusbult & Van Lange, 2003). Interdepedensi terbentuk ketika pencapaian tujuan seseorang saling dipengaruhi oleh tindakan masing-masing individu dan orang lain. Situasi dikatakan saling 11 bergantung ketika situasi melibatkan saling mengontrol dan pengendalian bersama (Rusbult & Van Lange, 2003). Indepedensi terbentuk ketika tercapaianya tujuan individu tidak dipengaruhi oleh tindakan individu lain dan begitu juga sebaliknya, tercapainya tujuan tergantung dari upaya masing-masing individu. Situasi dikatakan tidak berbergantung ketika masing-masing individu mampu mencapai tujuannya masing-masing dengan usahanya sendiri walaupun tanpa bantuan dari pihak lain (Rusbult & Van Lange, 2003). Situasi ketidakberdayaan terjadi ketika masing-masing individu tidak ada yang mampu untuk mempengaruhi pencapaian tujuan. Pada saat masing-masing individu membutuhkan pertolongan untuk pencapaian tujuan, namun tidak tersedianya bantuan dari pihak lain, sehingga tujuannya tersebut tidak dapat tercapai. Terdapat dua tipe dari interdepedensi sosial yaitu interdepedensi positif, ketika tindakan seseorang mendorong pencapaian tujuan bersama, dan interdepedensi negatif, ketika tindakan seseorang menghambat pencapaian tujuan orang lain (Jhonson & Jhonson, 2005). Interdepedensi positif akan terbentuk apabila terdapat hubungan positif diantara pencapaian tujuan individu, dan individu tersebut merasa ia dapat mencapai tujuannya jika orang lain yang terkait kooperasi saling terkait untuk mencapai tujuan bersama. Interdepedensi negatif terbentuk ketika terdapat hubungan yang negatif diantara pencapaian tujuan individu, individu merasa mereka dapat mencapai tujuan mereka jika individu lain yang terkait kompetisi gagal untuk mencapai tujuan mereka. Lebih lanjut dijelaskan bahwa 12 interdepedensi positif merupakan hasil dari suatu proses interaksi yang saling mendukung (promotive interaction), sedangkan interdepedensi negatif merupakan hasil dari proses interaksi yang saling bertentangan (oppositional interaction). Pada umumya hubungan yang positif antara anggota kelompok menghasilkan rendahnya ketidakhadiran, berkurangnya PHK dan kemungkinan besar anggota kelompok akan melakukan upaya untuk mencapai tujuan, merasa bertanggungjawab untuk berprestasi, mau mengambil tugas-tugas yang sulit, termotivasi untuk belajar, bertahan dalam pekerjaan untuk mencapai tujuan, memiliki moral yang baik, bersedia menanggung rasa sakit dan frustasi untuk mencapai tujuan, berkomitmen untuk keberhasilan dan kesuksesan masing-masing anggota kelompok (Jhonson & Jhonson, 2005). Positif dan negatifnya interdepedensi berdasarkan pada hasil tujuan bersama (Jhonson & Jhonson, 2005). Dijelaskan lebih lanjut bahwa interdepedensi positif dan negatif dapat tersusun atas peran yang saling melengkapi, kelompok kontingensi dan pembagian informasi. Interdepedensi positif dan negatif dapat dilihat dari tiga aspek yaitu keluar (outcome), sarana (means), dan batas (boundary). Pertama, ketika seseorang berada dalam situasi kooperatif atau kompetitif, mereka bertujuan untuk menuju hasil yang diinginkan, seperti tujuan dan penghargaan. Kedua, sarana interdepedensi meliputi sumberdaya, peran dan tugas yang saling bergantung satu sama lain bukan yang terlepas antara satu dengan yang lainnya. Ketiga, batas-batas yang ada di antara individu dan kelompok dapat menentukan siapa yang saling bergantung dengan siapa. 13 Kerjasama atau kooperasi dapat meningkatkan prestasi yang lebih tinggi dan produktivitas yang lebih besar daripada kompetisi. Salah satu alasannya adalah ketika bekerja dalam kelompok yang kompetitif, individu cenderung untuk membentuk strategi untuk melindungi diri, sedangkan pada kelompok yang kooperatif, individu akan menjelaskan apa yang ia ketahui kepada anggota kelompok yang lain untuk mendukung tercapainya tujuan. Kooperatif mendorong seseorang untuk bekerjasama dengan orang lain dan belajar dari satu sama lain, yang terdiri dari lima unsur: saling ketergantungan positif, tanggungjawab individu dan pribadi, meningkatkan interaksi, interpersonal dan keterampilan dalam kelompok kecil, dan group process (Johnson dan Johnson, 2005). Kompetisi mendorong seseorang untuk memperjuangkan hasil terhadap satu sama lain dan terdiri dari beberapa unsur, yaitu keyakinan bahwa hanya ada satu pemenang dan orang lain harus gagal, saling ketergantungan negatif, berjuang untuk keuntungan pribadi, dan mendapatkan perlawanan dari anggota kelompok yang lain (Johnson dan Johnson, 2005). Deutsch (1985) menyatakan bahwa lebih mudah untuk berpindah dari situasi kooperasi menjadi kompetisi, daripada berpindah dari situasi kompetisi menjadi kooperasi. Menurut Eatough (2010), adanya perilaku kompetitif (bersaing) dapat menimbulkan konflik interpersonal dengan rekan kerja. Interpersonal konflik merupakan stressor yang dapat berdampak pada organizational outcomes, dimana hal tersebut nantinya dapat berdampak negatif pada sikap dan perilaku karyawan (Haq, 2011). Konflik interpersonal dengan rekan kerja didefinisikan sebagai ketegangan atau pertentangan dalam suatu hubungan rekan kerja (Eatough, 2010). 14 Setidaknya terdapat lima sumber konflik (Rakhmat, 2012) : a. Kompetisi, salah satu pihak berusaha memperoleh sesuatu dengan mengorbankan orang lain, b. Dominasi, salah satu pihak berusaha mengendalikan pihak lain sehingga orang tersebut merasa hak-haknya dilanggar, c. Kegagalan, masing-masing berusaha menyalahkan pihak lain apabila tujuan bersama tidak tercapai, d. Provokasi, salah satu pihak terus menerus berbuat sesuatu yang ia ketahui menyinggung perasaan yang lain, e. Perbedaan nilai, kedua pihak tidak sepakat tentang nilai-nilai yang mereka anut. Menurut Jehn (dalam Boz, 2011), konflik interpersonal ditempat kerja dapat terbagi dalam dua tipe, yaitu konflik dalam hubungan interpersonal (interpersonal conflict) dan konflik dalam tugas (task conflict). Konflik dalam hubungan interpersonal terdiri dari ketidaksesuaian yang dirasakan antara anggota kelompok seperti perbedaan pendapat tentang nilai-nilai, sikap, politik aspek atau norma keluarga. Di sisi lain, konflik dalam tugas terdiri dari pekerjaan yang berhubungan dengan perselisihan tentang bagaimana melaksanakan tugas-tugas tertentu seperti perbedaan dalam sudut pandang, ide dan pendapat. Adanya interdepedensi juga memungkinkan untuk menjadi penyebab dari situasi konflik, ketika masing-masing pihak menjadi saling tergantung untuk mencapai tujuan mereka sehingga memberikan konteks interpersonal dimana konflik mungkin timbul (Barki & Hartwick, 2001). Konflik interpersonal tersebut 15 dapat mengurangi kepuasan kerja dan menyebabkan rendahnya psychological wellbeing pada karyawan (Boz, 2011). Hasil wawancara yang diperoleh dari pengambilan data awal di PT. United Tractors menunjukkan bahwa relasi interpersonal antar rekan kerja terjalin dengan baik tanpa ada kesenjangan sosial dan komunikasi yang terbentuk juga berjalan dengan lancar. Antar karyawan bebas berdiskusi dan meminta pertolongan dengan rekan kerjanya. Hasil Employee Engagement Survey (EES) yang pernah dilakukan di PT. United Tractors menunjukkan bahwa karyawan memiliki hubungan antarpribadi dan komunikasi yang baik antar sesama karyawan yang terjalin di perusahaan. Hubungan antarpribadi dan komunikasi yang positif tersebut membantu dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan yang terlihat dari Employee Opinion Survey (EOS). Dimana hasil survey tersebut menunjukkan bahwa karyawan merasa puas atas sistem manajemen yang selama ini telah dijalankan. Meskipun hasil wawancara awal dan hasil survey menyatakan bahwa relasi interpersonal rekan kerja terjalin dengan baik, pada kenyataannya saat pelaksanaan pekerjaan, masih terjadi saling melempar tanggung jawab. Oleh karena itu dapat dikatakan masih adanya konflik diantara rekan kerja dalam relasi interpersonal tersebut. Berdasarkan pengamatan awal peneliti, konflik tersebut dapat terjadi karena karyawan di PT. United Tractors selain memiliki job description yang sesuai dengan posisi mereka dalam struktur organisasi, mereka juga dituntut untuk menjalankan tugas-tugas lain untuk menunjang KPI (Key Performance Indicator). 16 Tugas-tugas tersebut dibuat berdasarkan kebutuhan organisasi dan melibatkan orang-orang yang berkepentingan dalam melaksanakan dan menerima keuntungan atas tugas tersebut. Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanakan tugas belum ada pembagian tanggungjawab secara jelas dan pasti mengenai perannya. Tugas tersebut juga memiliki batas waktu yang singkat dalam pengerjaannya sehingga dapat memberi tekanan yang lebih besar kepada karyawan. Hal itu memicu terjadinya konflik diantara rekan kerja dalam relasi interpersonal tersebut. Selain itu, tugas-tugas untuk menunjang KPI juga dapat memicu terjadinya kompetisi antar rekan kerja. Adanya dinamika hubungan interpersonal dari hubungan yang positif dan konflik tersebut membuat peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai komponen atau aspek-aspek apa saja yang membentuk dinamika tersebut. Berdasarkan penjelasan diatas, maka permasalahan penelitian yang diangkat adalah : bagaimana bentuk dinamika relasi interpersonal antara rekan kerja yang ada di perusahaan saat ini sehingga dapat mencapai kepuasan kerja? Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pola-pola relasi interpersonal dan menyusun komponen atau aspek-aspek penting dari relasi interpersonal yang dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Secara praktis, manfaat penelitian ini diharapkan dapat membantu calon karyawan maupun karyawan yang sudah bekerja untuk dapat membangun pola relasi interpersonal yang efektif dengan mempertimbangkan aspek-aspek penting dari relasi interpersonal yang dapat mempengaruhi relasi tersebut. Bagi perusahaan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan rekomendasi pengembangan relasi interpersonal yang efektif antar