7 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatra

advertisement
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Geologi Regional
Cekungan Sumatra Tengah (CST) merupakan cekungan busur belakang (back arc
basin) yang berkembang di sepanjang tepi paparan Sunda, sebagai akibat dari
penunjaman Lempeng Samudra Hindia terhadap Lempeng Benua Asia. Deformasi
geologi daerah ini berkembang dari serangkaian blok-blok yang naik turun akibat
gerakan transformasi yang divergen berarah Timur-Barat, antara Lempeng Sunda
dan Samudra Hindia. Geometri cekungan ini berbentuk asimetris memanjang ke
arah Baratlaut-Tenggara. Cekungan ini diperkirakan menelusuri kemiringan
antiklin yang luas, dengan kemiringan yang landai mengarah Baratlaut-Tenggara
dan dipotong oleh sekelompok sesar kecil (strike slip), sesar tertutup (sealing)
dan terbuka (non sealing) dan merupakan daerah pemindahan.
Pada Gambar II.1 terlihat empat bagian khas pada CST, yaitu Kubu high di bagian
Baratlaut, central deep pada tengah cekungan, mountain front pada Barat
cekungan dan Rokan uplift serta dataran pantai (coastal plain) di Timur cekungan.
Adanya pergerakan berupa tumbukan antara Lempeng Asia dengan Lempeng
Samudera Hindia dengan posisi menyudut menimbulkan dexral wrenching stress
yang kuat, sehingga struktur yang banyak dijumpai pada CST memiliki
karakteristik wrench tectonic, seperti sesar besar bersudut, upthrust dan flower
structure. Disamping itu juga terjadi peleburan pada zona Benioff yang berada
pada lapisan mantel. Tektonik CST mempunyai ciri adanya sesar blok dan sesar
transcurrent seperti pengangkatan, tektonik gravitasi, pergerakan meluncur dan
lipatan kompresi.
Secara umum, stratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah menurut Yarmanto
dan Aulia, 1996 (op. cit. Arif, 2003) tersusun atas beberapa unit formasi, mulai
dari paling tua adalah batuan dasar (basement), Kelompok Pematang, Kelompok
Sihapas, Formasi Telisa, Formasi Petani, dan Formasi Minas, seperti terlihat pada
Tabel II1. Kelompok Sihapas diendapkan secara tidak selaras di atas Kelompok
7
Pematang dengan proses sedimen yang bersifat transgresif, terdiri dari batupasir
dengan sisipan serpih, lapisan batugamping setempat-setempat pada bagian bawah
dan serpih pada bagian atas perlapisan.
Gambar II.1
Lokasi daerah penelitian di Cekungan Sumatra Tengah.
Kelompok Sihapas ini terdiri dari Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi
Bekasap, dan Formasi Duri. Kelompok Sihapas memiliki porositas dan
permeabilitas tinggi dan merupakan reservoar yang bagus. Ketebalan maksimum
mencapai 3300 kaki yang merupakan angka ekonomis sebagai suatu batuan
reservoar di CST (Mertosono dan Nayoan, 1974, op. cit. Arif, 2003).
Secara stratigrafi daerah penelitian terletak pada Formasi Bekasap. Formasi ini
diendapkan secara selaras di atas Formasi Bangko, tersusun oleh litologi batupasir
halus sampai kasar, bersifat masif dan berselang-seling dengan serpih tipis.
Formasi ini diperkirakan berumur Miosen Awal (N6) hal ini ditunjukkan oleh
kandungan foraminifera yang menunjukkan umur Miosen Awal (NN2-NN3) dan
kadang ditemukan juga lapisan tipis batubara dan batugamping. Formasi ini
8
diperkirakan diendapkan pada daerah intertidal, estuarin, dan inner neritic hingga
middle - outer neritic, dengan ketebalan 1300 kaki.
Tabel II.1
Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Tengah (Yarmanto &
Aulia, 1996 op. cit. Arif, 2003).
Formasi Telisa diendapkan secara selaras di atas Formasi Bangko, memiliki
hubungan menjari dengan Formasi Duri dan Formasi Bekasap. Litologi penyusun
Formasi Telisa adalah marine shale dan lanau agak gampingan, berumur Miosen
Awal (N6-N11), di beberapa tempat formasi ini terlihat sejajar. Formasi ini
9
diendapkan pada lingkungan laut dangkal dengan ketebalan 1600 kaki. Formasi
ini dikenal sebagai batuan tudung dari reservoir Kelompok Sihapas di CST.
II.1.1 Kerangka Geologi Daerah Penelitian
Arif (2003) menyebutkan lapangan Kotabatak merupakan antiklin tak-simetris
dengan sumbu utama berarah Baratlaut-Tenggara, dibatasai oleh sesar naik
Kotabatak di bagian Timurlaut, sejajar dengan sumbu utamanya (Gambar II.2).
Pada sisi Timurlaut ini kemiringannya besar sedangkan pada sisi Baratdaya lebih
landai. Sesar normal yang berkembang umumnya berarah Timurlaut-Baratdaya.
Reservoir utamanya terletak pada Formasi Bekasap, yang terdiri dari tiga unit
stratigrafi utama yaitu: lapisan batupasir A, B dan C. Lapisan batupasir A yang
menjadi objek penelitian, merupakan bagian paling atas dari Formasi Bekasap,
secara litofasies dipisahkan menjadi lapisan bartupasir A1, A2, A3 dan A4
(Gambar II.3).
Gambar II.2
Peta puncak strukur Formasi Bekasap dan penampang seismik
pada dua lintasan utama (Arif, 2003, Figure 3.1).
10
Gambar II.3
Kolom stratigrafi objek penelitian (Arif, 2003, Figure 3.2).
II.1.2 Lingkungan Pengendapan Umum Daerah Penelitian
Arif (2003) menyatakan, Formasi Bekasap di lapangan Kotabatak pada umumnya
diendapkan pada lingkungan laut dangkal – transisi, tropik, dominasi pengaruh
pasang naik dan pasang surut laut, dengan suplai sedimen siliklastik yang teratur.
Energi gelombang laut sedikit berpengaruh pada embayment karena beberapa
faktor: terbatasnya pembentukan gelombang normal dan badai; posisi ekuator
pada masa lalu berada di luar sabuk siklon tropis, (hampir identik dengan posisi
sekarang); dan kurangnya daerah terbuka terhadap laut besar atau tubuh air yang
menghasilkan gelombang. Hal ini dikenali dengan jarangnya dijumpai fitur-fitur
struktur sedimen seperti ripples, hummocky/swaley cross-stratification dan
endapan badai pada Formasi Bekasap.
Sedimen utama pada Formasi Bekasap di Kotabatak diendapkan sebagai tidal
sand bars, tidal sand flats dan sub tidal marine shale didalam embayment yang
luas, dangkal dan hampir seperti interior platform. Selain karena arus pasang surut
yang normal, transportasi sedimen juga dipengaruhi oleh semi permanent long
11
shore dan arus laut, jadi merupakan kondisi yang terjaga dengan kombinasi aksi
pasang surut, geografi dan kondisi batimetri yang tidak teratur.
Hampir seluruh sekuen batupasir laut di Kotabatak identik dengan fenomena
klasik penghalusan ke atas, yang merupakan penggatian (succession) lower shore
face. Namun, karena tidak satupun dari batupasir ini ada untuk secara langsung
dihubungkan ke pantai yang secara luas tersingkap atau merupakan dataran luas,
maka dalam studi itu (Arif, 2003) batupasir tersebut disebut sebagai endapan tidal
bar. Dengan demikian lapangan Kotabatak berada pada area dengan kondisi
basinward dengan endapan utama dari darat selama Formasi Bekasap diendapkan.
Terdapat lima fasies lingkungan pengendapan yang dapat diidentifikasi dalam
studi tersebut, yaitu lag, tidal sand bar, tidal sand flat, estuarine channel dan
marine shale (Gambar II.4).
Gambar II.4
Deskripsi batu inti dan interpretasi fasies lingkungan pengendapan
pada sumur Kotabatak#119 (Arif, 2003, Figure 3.3).
12
II.2 Geostatistik
Geostatistik didefinisikan sebagai teknik statistik yang dipakai untuk mencari
hubungan antar ruang (spatial relationship) dari sekelompok variabel dalam
memperkirakan nilai dari variabel tersebut pada lokasi lain yang tidak mempunyai
data (7, p. 12). Variabel ini termasuk sifat petrofisika seperti permeabilitas dan
porositas, informasi seismik berupa nilai impedansi atau variabel geologi seperti
pasir dan serpih.
Pada kenyataannya, secara umum sifat resevoir mempunyai hubungan antar
ruang, bila jarak antara dua data yang diukur makin besar maka kemiripan kedua
data tersebut berkurang. Di atas jarak tertentu hubungan antara dua data bisa
menjadi tidak berkorelasi. Geostatistik menggunakan fungsi korelasi (yang
disebut variogram) untuk mengkuantifikasi hubungan antar ruang tersebut.
Dewasa ini geostatistik dipakai untuk berbagai keperluan, diantaranya untuk
interpolasi, ekstrapolasi, analisis distribusi ruang atau jarak, perkiraan
ketidakpastian (analisis resiko) dan interkorelasi atribut.
II.2.1 Variogram
Variogram mengukur derajat kemiripan antara dua sampel data pada suatu jarak
tertentu (3), yang secara matematis tidak lain merupakan rata-rata (aritmatika) dari
kuadrat beda nilai suatu pasangan data pada jarak lag tertentu (7, p. 55).
r
r 2
1 N
γ( h) = ∑ ( z( xi)−z( xi+ h))
2N i=1
dimana N adalah jumlah pasangan data yang terpisah pada vektor jarak h. Secara
grafis variogram digambarkan dalam Gambar II.2.
Parameter variogram meliputi lag yaitu jarak antara dua data (pasangan), range
yaitu jarak dimana nilai variogram mencapai nilai konstan, sill yaitu nilai
variogram konstan setelah range tercapai dan nugget yang menunjukan
karakteristik data dengan perubahan yang besar pada jarak yang masih pendek.
13
Pada keadaan tertentu nugget bisa merupakan suatu error yang terukur pada
akuisisi data, jadi sebaiknya error itu harus dikoreksi terlebih dahulu.
II.2.2 Kriging
Kriging adalah sebuah tool untuk melakukan estimasi suatu parameter pada lokasi
yang tidak punya data sebagai suatu kombinasi linier dari parameter di sekitarnya.
N
z* = ∑ λ i zi
i =1
dimana Z* adalah nilai estimasi pada lokasi yang tidak punya data, Zi nilai data
tetangga ke i dan λi adalah bobot yang diberikan pada data ke i yang merupakan
fungsi dari posisi. Jadi Z* adalah nilai rata-rata dari data-data tetangga yang diberi
bobot. Bobot ini diperoleh dari variogram dan kriging memakai teknik MVUE
(Minimum Variance Unbiased Estimation) sehingga nilai Z* tidak bias (pasti) dan
mempunyai kesalahan minimum (7, p. 98).
Cov(0) = 0
(uncorrelated)
sill
C
γ(h)
nugget Co
(error
measure)
Gambar II.5
range
h
a
Variogram sebagai fungsi jumlah pasangan data pada vektor jarak
h (3).
Adapaun teknik co-kriging menggunakan parameter kedua (yang disebut soft data
atau data sekunder) untuk melakukan estimasi parameter pertama pada lokasi
yang tidak punya data. Tentu saja soft data harus memiliki kerapatan yang lebih
ekstensif. Sedangkan colocated co-kriging menggunakan hanya satu sampel
14
parameter soft data untuk melakukan estimasi parameter pertama pada lokasi
yang tidak punya data.
II.2.3 Simulasi Kondisional
Simulasi kondisional adalah prosedur dimana parameter di lokasi yang tidak
punya data disimulasikan (tidak diestimasikan), sedemikian rupa sehingga kondisi
(akhirnya) tetap terjaga seperti sebelumnya. Nilai parameter hasil simulasi pada
titik i+1 mempunyai variabilitas yang lebih kecil daripada data aslinya karena
tidak mengikutsertakan data hasil simulasi pada titik i (hanya berdasarkan data
asli).
Salah satu teknik untuk melakukan simulasi kondisional adalah dengan
mengasumsikan bahwa reservoir dapat dipecah-pecah menjadi blok grid yang
diskrit. Didalam suatu grid diasumsikan sifatnya seragam (homogen). Maka
pendefinisian dimensi SGRID harus cukup halus bila kita menginginkan deskripsi
reservoir yang makin detil. Teknik simulasi menggunakan grid ini cukup fleksibel
untuk mengsimulasikan baik variabel yang diskrit (misalnya fasies atau rock type)
maupun variabel yang kontinyus (seperti permeabilitas atau porositas).
Kelemahan utama dari teknik ini adalah pada asumsinya bahwa semua sifat
reservoir dapat dengan baik dipecah-pecah kedalam bentuk struktur blok grid.
Tentu saja hal ini kemungkinan akan menjadi tidak benar pada kondisi geologi
yang kompleks baik dalam bentuk maupun ukurannya.
II.2.4 Simulasi Kondisional: Simulasi Sekuensial
Teknik simulasi sekuensial dikembangkan untuk menyertakan data hasil simulasi
pada suatu blok grid (akumulasi jumlah data) untuk simulasi pada blok grid
berikutnya. Dengan demikian sesuai namanya Sequential Gausian Simulation
(SGS) dengan collocated co-kriging adalah simulasi sekuensial pada domain
Gausian menggunakan teknik collocated co-kriging. Teknik ini menggunakan
collocated co-kriging namun kunjungan untuk estimasi ke lokasi yang tidak punya
sampel dilakukan secara acak sampai semua titik dikunjungi dan mengikut
sertakan titik sebelumnya sebagai titik kriging.
15
Langkah-langkah yang dilakukan adalah pertama transformasi data ke domain
Gaussian; kedua adalah membuat variogram pada domain Gaussian; ketiga
seleksi lintasan kunjungan ke blok grid secara acak; keempat estimasi pada lokasi
blok grid yang tidak punya data dengan teknik collocated co-kriging dan; kelima
transformasi balik ke distribusi awal.
Keuntungan yang diperoleh menggunakan teknik ini adalah bahwa akumulasi
jumlah data dipakai untuk estimasi pada blok grid berikutnya; nilai parameter
disimulasikan berdasarkan nilai estimasi dan variasi kesalahannya dan; bahwa
persoalan
ketidakpastian
setempat
diselesaikan
dengan
realisasi
jamak
menggunakan lintasan kunjungan yang berbeda (acak).
II.3 Aplikasi Teknik Geostatistik Dalam Industri Minyak dan Gas Bumi
Aplikasi teknik geostatistik collocated co-kriging telah dipakai dalam industri
minyak dan gas bumi untuk membantu pemetaan sifat reservoir pada berbagai
lapangan minyak tertentu dengan memanfaatkan salah satu keunggulan data
seismik 3D yaitu pada kerapatan datanya secara lateral. Beberapa contoh publikasi
yang mengitegrasikan data seismik untuk pemetaan sifat reservoir yang dapat
dikemukakan antara lain adalah:
1. Seismik Porosity Mapping in the Ekofisk Field Using a new Form of
Collocated Cokriging, P.M. Doyen, SPE, Western Atlas International, and
L.D. den Boer, Western Atlas International, and W.R. Pillet, Fina
Exploration Norway, SPE 36498, 1996.
Doyen dkk. memanfaatkan korelasi antara data rata-rata porositas dengan
data rata-rata impedansi seismik sintetik seperti pada Gambar II.3. Yang
dimaksud dengan data impedansi seismik sintetik adalah data hasil
penghitungan impedansi seismik yang diperoleh dari perkalian antara
densitas dan kecepatan batuan pada data log sumur. Namun dalam
pemetaan data porositas menggunakan teknik collocated cokriging, tetap
digunakan data impedansi seismik nyata sebagai data sekunder.
16
2. Seismic Integration for Better Modeling of Rock Type Based Reservoir
Characterization: A Field Case Example, Bahar, A., SPE, Kelkar and
Association, Inc., Abdel-Aal, O., SPE, Ghani, A., Silva, F.P., SPE, ADCO,
and Kelakar, M., SPE, The University of Tulsa, SPE 88793, 2004.
Bahar dkk. memanfaatkan korelasi yang baik antara data rata-rata
porositas dengan data rata-rata impedansi seismik hasil inversi seperti pada
Gambar II.4. Berbeda dengan Doyen, Bahar menggunakan data impedansi
seismik nyata untuk korelasinya dengan data porositas. Dalam
korespondesinya dengan peneliti melalui surat elektronik, Bahar
menyebutkan bahwa pada kasus ini, sebenarnya terdapat tiga lapisan
reservoir yang diteliti, namun hanya satu lapisan reservoir saja yang data
porositasnya mempunyai korelasi baik dengan data impedansi seismik.
Dua lapisan reservoir yang lain data porositasnya tidak berkorelasi baik
dengan data impedansi seismik hasil inversi sehingga pada kedua lapisan
tersebut tidak dilakukan integrasi seismik dalam modeling reservoir.
Gambar II.6
Plot silang antara data rata-rata porositas dengan data rata-rata
impedansi seismik sintetik yang dihitung dari data log sumur
(Doyen, 1996, Figure 4).
17
Gambar II.7
Plot silang antara data rata-rata porositas dengan data rata-rata
impedansi seismik nyata (Bahar, 2004, Figure 8).
18
Download