BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ide

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ide besar tulisan ini adalah menganalisa topik pembentukan sebuah identitas
yang dilakukan oleh komunitas mahasiswa Papua dalam membentuk identitas KePapua-annya di Yogyakarta. Ide tulisan
ini berawal dari pengalaman yang
dirasakan penulis ketika pertama kali bertemu dan berada dalam sebuah komunitas
yang jauh berbeda dengan komunitas-komunitas lainnya dalam interaksi
keseharian. Ketika bertemu dengan komunitas ini Nampak terlihat jelas perbedaan
antara komunitas ini dengan komunitas lainnya. Hal ini dapat terlihat dari
perbedaan rambut, warna kulit, dialeg, dan kebiasaan yang mereka lakukan.
Identitas dapat dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial. Etnisitas merupakan
ekspresi dari produk masa lalu, kebangkitan asal-usul yang sama, hubungan sosial,
dan kesamaan dalam nilai-nilai budaya dan ciri-ciri seperti bahasa dan agama. 1
Lebih lanjut dijelaskan bahwa dimensi sejarah tentang identitas menunjukkan
bahwa identitas itu tidak pasti, tidak konstan, dan tidak kekal, tetapi kadang berubah
dan dapat dibentuk atau dikonstruksi. Banyak faktor yang dapat berpengaruh dalam
konstruksi identitas, seperti halnya agama, kekuasaan, politik, dan lain sebagainya.
Identitas tentunya menggunakan penanda-penanda tertentu. Penanda-penanda
tersebut pada dasarnya berasal dari budaya etnis atau kelompok tersebut. Penanda
akan sangat bergantung pada keadaan dan konteks tertentu. Pada dasarnya, identitas
dapat berubah karena merupakan konstruksi sosial. Perubahan juga terjadi pada
penandanya. Konstruksi identitas tentunya terjadi pada berbagai etnis dan
komunitas. Salah satunya adalah komunitas mahasiswa Papua. Dalam membentuk
identitas ke-Papua-annya di Yogyakarta, mahasiswa Papua memiliki beberapa
penanda yang terlihat cukup jelas. Penanda komunitas mahasiswa Papua antara lain
dapat dilihat dari perbedaan jenis rambut, warna kulit, dialeg, dan kebiasaan yang
dilakukan.
1
King, Victor T. & Wilder, William D, 2003, The Modern Anthropology of South-east Asia, New
York: Routledge Curzon, hal. 198.
1
Deskripsi singkat yang disampaikan oleh Alfred Russel Walace tentang
penduduk asli Papua dalam bukunya yang berjudul The Malay Archipelago, the #
of the Orang-Utan and the Bird Paradise” yang di terbitkan pada tahun 1890
menyebutkan bahwa etnis Papua memiliki penanda warna kulit sangat gelap,
kecoklatan atau hitam, kadang-kadang hampir mendekati, tetapi tidak pernah sama
dengan pekatnya warna kulit ras Negroid. Etnis Papua sangat berbeda dalam warna
kulit yang melebihi Melayu, kadang-kadang agak hitam atau kecoklatan dengan
rambut sangat kasar dan kering.
Ditinjau dari segi etnologis, Kepulauan Aru dan Kei termasuk dalam kelompok
Papua. Namun demikian, secara geografis dan zoologis Kepulauan Aru dan Kei
merupakan bagian dari Maluku. Mayoritas penduduk di bagian utara Semenanjung
Gilolo, Seram, Timor, dan Flores memiliki postur tubuh yang tinggi dan berambut
keriting sehingga cenderung memiliki kemiripan dengan etnis Papua. Misalnya
saja, Penduduk Timor yang berkulit gelap kecoklatan, berambut keriting, dan
berhidung panjang tentunya dapat dinilai serupa dengan etnis Papua. 2 Di Papua
sendiri terdapat keanekaragaman latar belakang ras, yaitu Negroid, Melanosoid,
Mikronesia, dan Mongoloid. Keanekaragaman penduduk Papua juga dapat terlihat
dari 250 bahasa yang digunakannya. Pada beberapa daerah di Papua, penduduk
menggunakan bahasa lokal dengan dialeg berbeda-beda. Misalnya, masyarakat
Biak menggunakan satu bahasa, sedangkan Waropen menggunakan dua bahasa. 3
Apabila mengacu pada pengkategorian
yang dilakukan Hildred Geertz,
mengenai tipe tipe Penduduk Kepulauan Nusantara, terdapat 3 tipe masyarakat.
Pertama, masyarakat yang terpengaruh Hindu dan memiliki budaya padi seperti
terdapat di Jawa dan Bali, serta terpengaruh Islam khususnya di Jawa. Tipe kedua
adalah masyarakat pesisir dengan pengaruh Islam yang pada umumnya hidup
sebagai nelayan, pedagang, dan tukang serta sebagai petani padi. Tipe ketiga yaitu
masyarakat daerah pegunungan yang relatif terisolasi dari dunia luar dan tidak
banyak terpengaruh oleh Hindu dan Islam, sehingga banyak yang menjadi sasaran
2
Wallace, A.R, 1890, The Malay Archipelago, the Land of the Orang-Utan and the Bird Paradise,
London and New-York.
3
Koentjaraningrat, 1993, Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan.
2
kegiatan Misionaris Katolik maupun Protestan. Dalam hal ini, etnis Papua dapat
diklasifikasikan pada tipe kedua dan ketiga. Hal ini disebabkan suku Papua yang
ada di pesisir sudah lebih terbuka terhadap pengaruh pedagang Melayu dari Maluku
dan Sulawesi, namun suku Papua pedalaman dikategorikan pada tipe ketiga yang
hidup terisolasi serta menganut animisme. 4
Secara geografis, Papua terletak kurang lebih 1o dari Selatan katulistiwa, antara
130o Bujur Barat dan 141o Bujur Timur. Secara topografis, Papua terbagi dalam
tiga wilayah. Pertama, wilayah “kepala burung”, yang mencakup Manokwari, Fakfak, Sorong, Kaimana, Teminabuan, Bintuni, Ransiki, Ayamaru, dan Windesi.
Kedua, wilayah pegunungan tengah sampai utara, yakni Jayawijaya, Nabire,
Kepulauan Yapen, Biak, Numfor, Supiori, Sarmi, dan Jayapura. Ketiga, wilayah
selatan pegunungan tengah, yakni Mimika, Asmat, dan Merauke. 5
Berbeda dengan sejarah daerah-daerah di Indonesia lainnya yang pada
umumnya sudah lepas dari kolonialisme dan menyatakan kemerdekaan di tahun
1945, sampai dengan tahun 1962 Papua masih dibawah kekuasaan penjajah. Hal
inilah yang menyebabkan perbedaan corak pengenalan mengenai kebangsaan
Indonesia. Secara otomatis orang Papua lebih dahulu mengenal ke-Papua-an dari
pada ke-Indonesia-an. Dalam sejarahnya, pada masa kolonial orang Papua
menempati strata yang paling rendah dalam lingkungan sosial. Hal ini
mengakibatkan tidak dihargainya orang Papua oleh kaum pendatang. 6 Fenomena
ini pada akhirnya berakibat terhadap psikologis masyarakat Papua sehingga tercipta
pembedaan yang dilakukan oleh etnis Papua terhadap etnis lain yang berasal dari
luar.
Bagi etnis Papua, perbincangan mengenai identitas sangatlah rapuh. Pada satu
sisi, identitas dapat menguatkan posisi seseorang, namun di sisi lain dapat menjadi
ancaman. Identitas tak jarang menjadi faktor yang dikontestasikan dan
dinegosiasikan. Pada dasarnya, eksistensi identitas dalam kehidupan sosial
merupakan hal yang penting. Hal ini tentunya juga dirasakan oleh komunitas Papua
Geertz, Hildred, 1963, “Indonesian Cultures and Communities” in Indonesia, Ruth. MecVey (ed).
New Haven: HRAF Press, hal. 24-96.
5
Bernarda Meteray, 2012, Nasionalisme Ganda Orang Papua, Jakarta: Kompas, hal. 1.
6
Ibid, hal. 26.
4
3
yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Identitas Ke-Papua-an tentunya muncul
dan dikembangkan oleh komunitas Papua yang merantau jauh dari daerah asalnya.
Termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai lokusnya. Menurut data tahun
2011, di Dearah Istimewa Yogyakarta terdapat lebih kurang 7000 mahasiswa Papua
yang menempuh pendidikan pada berbagai jenjang, yaitu pendidikan diploma,
strata satu, pasca sajana, dan doktoral. Keseluruhan mahasiswa Papua ini tersebar
di seluruh akademi, politeknik, sekolah tinggi, serta universitas di Yogyakarta.7
Pola kedatangan para mahasiswa yang berasal dari tanah cendrawasih tersebut
disinyalir mengikuti pola kedaerahan berdasarkan kota dan kabupaten masingmasing. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya asrama yang disediakan oleh
pemerintah daerah masing masing kota dan kabupaten yang ada di Papua. Misalnya,
mahasiswa asal Serui masuk ke asrama Serui, ataupun daerah lainnya yang tinggal
mengikuti daerah asalnya. 8 Fakta tersebut secara eksplisit menunjukan bahwa
Papua juga tidak tergabung menjadi satu, melainkan multi-etnik.
Pada umumnya, masyarakat Papua baik mahasiswa maupun bukan, ikut serta
dalam komunitas atau aliansi orang Papua yang bersifat kemahasiswaan maupun
keagamaan seperti halnya Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Forum Komunikasi
Mahasiswa Papua-Yogyakarta (FKMPY), Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua
(IPMAPA), serta Forum Komunikasi Mahasiswa Katolik Papua (FKMKP). Dengan
adanya komunitas tersebut, mahasiswa Papua dapat saling mengenal satu sama lain
yang dulunya terpisahkan oleh kedaerahan. Dengan kebersamaan dalam organisasi
tersebut, mahasiswa Papua di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak lagi menjadi
bersuku-suku atau multi-etnik, namun melebur menjadi satu yang berada di bawah
identitas Ke-Papua-an.
Dengan predikat Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kota budaya, tidak
mengherankan apabila begitu banyak etnis yang datang dengan membawa
budayanya masing-masing tanpa ada paksaan untuk harus menjadi orang
Aloysius Budi Kurniawan, 2011, “Isu Disisir, Mahasiswa Papua Pulang Kampung”, Artikel Online,
http://regional.kompas.com/read/2011/12/01/08062138/Isu.Disisir.Mahasiswa.Papua.Pulang.Kamp
ung, diakses tanggal 29 Juni 2013.
8
Tidak semua mahasiwa asal Papua mengikuti pola kedaerahannya, terdapat juga mahasiswa Papua
yang langsung masuk ke asrama kampus masing masing, misalnya mahasiswa asal Sorong yang
sekolah tinggi pertanahan nasional mengikuti pola asrama kampus tersebut.
7
4
Yogyakarta. Dengan budayanya masing-masing, rasa nyaman dan kebetahan
merupakan modal utama untuk tetap memilih melanjutkan pendidikan di wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta, tanpa merasa takut adanya benturan budaya dengan
etnis lainnya. We know of no people without names, no languages or cultures in
which some manner of distinctions between self and other, we and they. 9 Kutipan
tersebut menunjukan bahwa tidak ada satu orang pun tanpa memiliki identitas yang
akan membedakannya dengan orang lain, begitu pula dengan komunitas Papua
yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan keberadaannya di Daerah Istimewa Yogyakata, konstruksi identitas KePapua-an tentunya terus mengalami perkembangan (dinamis). Sebagaimana yang
di tunjukan penelitian yang dilakukan oleh Habel Suwae (2012), melalui
penelitiannya yang berjudul “Konstruksi Identitas Ke-Papua-an Dalam Dinamika
Arus Demokrasi”. Studi ini memfokuskan pada pembentukan identitas warga
Papua dalam relasinya dengan narasi dominan, yaitu negara dan agama, di mana
keduanya selama ini merupakan faktor eksternal yang cukup dominan dalam
mengkonstruksi identitas Papua. Studi ini menemukan hasil bahwa di masa lalu
identitas Ke-Papua-an dikonstruksikan oleh kekuatan negara melalui politik
penyeragaman. Pada masa tersebut, orang Papua terus mengalami marginalisasi
dalam segala aspek kehidupan baik politik, ekonomi, maupun sosial-kebudayaan
oleh pemerintah pusat.
Melalui proyek kesatuan dan persatuan bangsa, orang Papua harus menjadi
orang Indonesia. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi konstruksi identitas
Papua oleh pusat berada dalam posisi yang dipandang sebagai daerah pinggiran.
Pada awalnya cara pandang pusat memang secara teritori, tetapi kemudian
merambat ke dalam bidang politik dan kebudayaan. Oleh karena itu, Papua
mengalami marginalisasi baik secara politik maupun kebudayaan.
Studi tentang identitas Papua juga dapat dijumpai pada tesis yang ditulis oleh
Martinus Christian Onweng (2011), dengan judul “Musik Membesak Sebagai
Politik Identitas Etnis Papua”. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa untuk
9
Craig Calhoun dalam Manuel Castells, 1997, The Power of Identity, Oxford: Blackwell, hlm. 6
5
menjaga budaya kelompok etnis di Papua sebagai simbol identitas, dibentuklah
kelompok Musik Mambesak. Hal ini disebabkan musik dianggap sebagai simbol
budaya etnis yang bisa dilestarikan. berdasarkan penjelasan tesis dapat dipahami
bahwa identitas sebuah komunitas bisa terbentuk melaui sarana dan media apapun,
salah satunya melalui musik.
Fakta lain mengenai hubungan antara musik dan pembentukan identitas dapat
diketahui dari penelitian yang dilakukan Wilton AW Djaya (2011), dengan judul
“Pembentukan Identitas Kolektif Melalui Musik Dalam Komonitas Jazz
Yogyakarta”. Temuan penting dari penelitian ini menunjukkan bahwa Komunitas
Jazz Yogyakarta membahasakan jam-session dengan bahasa mereka sendiri serta
mengemas acaranya dengan unsur-unsur lokal. Praktik-praktik ini yang kemudian
menjadi identitas kolektif mereka.
Di sisi lain, disertasi disusun oleh A.Muhrotien (2011), dengan judul
“Rekonstruksi Identitas Dayak pada Era Otonomi Daerah di Kalimantan Barat”
menemukan bahwa di era otonomi daerah identitas Dayak semakin menguat. Isu
putra daerah masih merupakan isu yang dominan, isu etnisitas masih menonjol di
Kalimantan Barat. Penguatan isu etnisitas ini terjadi seiring dengan perubahan
politik pada tingkat nasional dan adanya kebijakan desentralisasi atau otonomi
daerah. Dalam realitasnya, hal ini telah memunculkan sebuah fenomena politik
identitas. Proses politik dan rekrutmen kepemimpinan di daerah selama masa
sepuluh tahun terakhir cenderung didasarkan pada parameter-parameter asal-usul
daerah dan etnik. Menguatnya identitas Dayak juga dapat dilihat dari aspek budaya
Dayak. Identitas Dayak semakin menguat salah satunya disebabkan oleh kesadaran
internal sendiri untuk membangkitkan kembali semangat kedayakan dalam
berbagai bentuk termasuk dalam memperebutkan posisi penting dalam
kepemimpinan lokal.
Lebih lanjut konstruksi identitas orang dayak pernah ditulis oleh Zaenuddin
(2012) dalam disertasinya yang berjudul “Identitas Dayak Katab Kebahan di
Kabupaten Melawi Kalimantan Barat (Studi tentang Konstruksi Identitas EtnoReligio pada Masyarakat Dayak)”. Penelitian ini menemukan bahwa Identitas
Dayak Katab Kebahan merupakan model khusus identifikasi etno-religio di
6
Kalimantan Barat. Model tersebut merupakan hasil konstruksi dari sejarah etnisitas
Katab Kebahan yang mengakar pada kebudayaan Dayak Kebahan. Kondisi religius
Katab Kebahan yang menganut agama Islam sejak lama dan faktor globaliasi yang
mendorong peran aktif masyarakat Katab Kebahan dalam proses interaksi dan
integrasi dalam mayarakat Melawi. Ketiga faktor tersebut telah mendorong
menguatnya Identitas Dayak Katab Kebahan yang tetap memeluk Islam. Padahal,
pada umumnya kelompok etnis Dayak di Kalimantan Barat melakukan konversi
etnisitas menjadi Melayu setelah memeluk Islam pada masa kesultanan abad ke-17.
Setelah melakukan review terhadap penelitian tentang konstruksi pembentukan
sebuah identitas di atas, penelitian yang dilakukan peneliti ini tentunya memiliki
keunikan dan urgensi tersendiri sehingga menarik untuk di teliti. Alasan pertama
adalah masih jarangnya studi-studi yang mendalam tentang pembentukan identitas
Ke-Papua-an khususnya komunitas mahasiswa Papua di Yogyakarta kalaupun ada
studi-studi tersebut cenderung culture studies dan sangat etnosentris. Alasan kedua,
studi ini diharapkan akan dapat menambah khasanah teoritik bagi pengembangan
kajian politik identitas dimasa-masa mendatang yang berangkat dari realitas
empirik mahasiswa Papua di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan alasan ketiga,
keunikan yang dimiliki oleh penelitian ini adalah pembentukan identitas yang
dilakukan mahasiswa Papua dengan lebel “identitas Ke-Papua-an” di Daerah
Istimewa Yogyakarta merupakan fenomena yang unik, dimana identitas yang
dibangun tanpa mengikuti polarisasi suku dan etnik di daerahnya. Orang Papua di
Yogyakarta melebur menjadi satu identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta.
Fenomena yang mendasari penelitian ini tentunya sangat menarik untuk diteliti.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa identitas orang Papua di daerah asalnya
merupakan komunitas etnik yang kompleks yang terdiri dari kurang lebih 250 suku
yang bersifat otonom satu sama lain. Setiap kelompok suku secara kultural mandiri
dan unik dan tidak tunduk pada yang lain. Kepala suku atau pemimpin lokal tidak
memiliki otoritas yang penuh kecuali sebagai juru bicara masyarakatnya. Budaya
semacam ini sulit tumbuh di semua kelompok suku bangsa yang lain. 10
10
Bandingkan dengan studi yang sudah dilakukan oleh Johszua Mansoben, Sistem Politik
Tradisional di Irian Jaya, (Jakarta-Leiden: LIPI-RUL).
7
Kondisi kesukuan di Papua menyebabkan kehidupan budaya menjadi multietnis. Daerah Istimewa Yogyakarta tidak hanya dipenuhi oleh orang Jawa saja, akan
tetapi datang dari seluruh belahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka
setiap entitas yang berasal dari suatu suku bangsa akan berusaha untuk
mengeksistensikan suku bangsanya di daerah tempatnya menetap. Begitu pula
keadaan yang dialami komunitas Papua di kota pelajar ini. Fakta menunjukkan
bahwa ada komunitas Papua di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan akan ada
kecenderungan untuk melahirkan realitas Ke-Papua-an yang menjadi sesuatu yang
menarik untuk diteliti. Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah
mengenai kemampuan komunitas mahasiswa Papua yang di daerah asalnya terdiri
dari berbagai suku-suku dengan bahasa yang berbeda-beda mampu dalam
membangun identitasnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan beberapa
permasalahan terkait dengan pelaksanaan penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana komunitas mahasiswa Papua membangun identitas Ke-Papuaan di Daerah Istimewa Yogyakarta?
2. Bagaimana komunitas mahasiswa Papua mengekspresikan identitas KePapua-an tersebut di ruang publik?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui identitas komunitas Papua yang ada di Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan melacak material konstruksi apa yang membangun KePapua-an tersebut sebagai suatu realitas identitas.
2. Untuk mengetahui cara komunitas Papua ini mengekspresikan identitas KePapua-an diruang publik beserta implikasi aspek sosial, dan politik yang
ditimbulkan.
D. Landasan Konseptual
Ketika merumuskan identitas Ke-Papua-an dalam tulisan ini seolah materialnya
adalah “apa itu identitas Ke-Papua-an?. Dalam konteks ini peneliti sendiri tidak
akan berkutat di area seputar itu, tetapi ada yang lebih tepat serta mendesak dalam
8
memotret komunitas mahasiswa Papua dalam membentuk identitasnya, yaitu pada
aspek “bagaimana” proses merumuskan identitas itu sendiri. Alasan peneliti yang
lebih memilih “bagaimana menjadi Ke-Papua-an daripada mengkaji “apa itu KePapua-an”? disebabkan peneliti tidak ingin jatuh pada esensialisme. 11 Adapun yang
menjadi permasalahan sebenarnya adalah penciptaan ruang wacana yang dapat
melibatkan sebanyak mungkin partisipasi antar suku-suku Papua yang tersebar di
sejumlah asrama dan di berbagai aliansi mahasiswa yang ada di Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam membentuk identitas Ke-Papua-an tersebut.
Untuk melacak bagaimana sesungguhnya proses pembentukan identitas KePapua-an yang dilakukan oleh komunitas mahasiswa Papua di Yogyakarta, peneliti
menggunakan logika berfikir wacana postcolonial, yang mencoba menjelaskan pola
hubungan interaksi antara diri dengan yang bukan diri, ditambah dengan beberapa
konsep etnisitas sebagai penjelas tentang etnis Papua. Dalam tulisan ini, yang
menjadi pisau analisis untuk menjelaskan tentang konstruksi identitas Ke-Papuaan, penulis lebih menggunakan konsep yang di tawarkan oleh Manuel Castell
(1997) dalam bukunya “The Power of Identity”. Dan mengenai Ekspresi identitas
yang coba di munculkan di Yogyakarta, penulis lebih menggunakan konsep
pemikiran ruang publik yang di tawarkan oleh Habermas. Yang kesemuanya
penjabarannya diuraikan dalam sub-sub bab brikutnya. Dengan demikian tulisan ini
akan lebih memfokuskan kepada pola relasi diri antara Suku A dan Suku B yang
ada di dalam asrama, ataupun yang ada di dalam berbagai organisasi
kemahasiswaan Papua di Yogyakarta.
1. Diri dan “ The Other”
Kesadaran diri sendiri sebagai kesadaran individu yang berelasi dengan yang
lain, dalam konteks identitas diri adalah sesuatu yang dikonstruksikan oleh diri
sendiri oleh aktor-aktor komunitas budaya ternyata menyisakan ingatan-ingatan
kolektif kultural. Dalam arti ini, konsep postcolonial adalah semacam upaya
rekonstruksi diri. Pengandaian fundamental bagi keberhasilan rekonstruksi adalah
11
Untuk uraian lebih lengkap tentang istilah ini lihat Ashcroft, Bill, Gareth Griffths, Helen
Tiffin,1998, Key Concepts in Post-Colonial Studies, London and New York: Routledge, hlm. 7780.
9
bukan-diri. Hal ini disebabkan secara ontologis, hingga taraf tertentu, relasi diri
dengan yang bukan-diri tentu saja merupakan satu persoalan penting dalam kajian
pasca kolonialisme.
Bila dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, dalam merumuskan identitas diri,
bagaimana seharusnya individu memandang yang-lain, yang bukan-diri. Para
pemikir pascakolonialisme mengajukan jawaban yang berbeda-beda atas
pertanyaan ini. Dalam tataran praktis, hal ini memang menjadi kajian relasi dengan
yang bukan-diri mengambil bentuk yang bervariasi. Misalnya saja, ada yang
bersifat dialogis, tapi ada juga yang bersifat frontal-konfliktual.
Dewasa ini, pascakolonialisme berkembang sedemikian pesat yang diterapkan
ke dalam bidang yang semakin luas. Kajian pascakolonial tidak lagi sebatas
menyangkut relasi sebuah bangsa bekas jajahan dan penjajah, melainkan juga
diterapkan sebagai strategi politis maupun intelektual di kalangan kaum tertindas,
kaum migran, kaum buruh, orang-orang yang termarjinalisasi, kaum budak, gay,
lesbian dan lain-lain. Pascakolonialisme juga digunakan sebagai strategi untuk
menangani masalah ras, gender, keadilan dan berbagai problematika sosial lainnya.
Pada konteks ini, kajian pascakolonialisme tidak lagi menunjuk pada “negara pasca
kolonial”
(postcolonial
state),
melainkan
pada
“kondisi
pascakolonial”
(postcolonial condition).12
Sikap dialogis menjadi model yang tepat dalam berelasi dengan “yang-lain”
(the Other). Hegel misalnya mengatakan bahwa keberadaan diri juga tergantung
dari “yang-lain”, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, secara ontologisme
“yang-lain juga hadir dalam diri, dan sebaliknya. Konsep diri tidak mungkin
memperoleh kesadaran akan identitas diri tanpa adanya “yang-lain” yang memberi
pengakuan atas keberadaan diri, dan itulah prasyarat fundamental sebuah identitas.
Karena itu, Hegel mengatakan bahwa subyek atau identitas tidak pernah diam
secara absolut pada diri sendiri, melainkan selalu mendefinisikan dalam
relasionalitasnya dengan “yang-lain”. Identitas atau subyek berarti berada pada diri
sendiri sekaligus berada pada “yang-lain”, atau dalam bahasa Hegel, sebagai
Stephen Slemon, “Post-colonial Critical Theories”, dalam Gregory Castle (ed.), Postcolonial
Discourses: An Anthology (Massachusetts: Blackwell, 2001),hlm. 102.
12
10
subyek maka posisi diri “berada pada diri sendiri dan berada pada “yang-lain” (Beisich-selhst-seinim Anderssein). Hegel menyebut ini “kesadaran pada dan bagi
dirinya sendiri” (an-und-fur-sich-sein). 13
Namun kesadaran ini juga sekaligus merupakan momen transformasi diri
karena kemudian sang diri menyadari bahwa “yang-lain” bukan lagi sebagai “yanglain”, melainkan sebagai bagian esensial dari diri saya. Namun demikian, karena
relasi dialektis kesadaran diri ini bersifat resiprokal, transformasi serupa juga
dialami kesadaran diri yang lain semua yang ditemui adalah diri sendiri. Dalam
mentransformasi semua yang ditemui itu, terjadi pula transformasi diri sendiri.
Transformasi kedua kesadaran diri ini adalah kata lain dari sikap saling mengakui,
di mana yang satu tidak semata-mata tidak mengobyekan yang lain, melainkan
kedua-duanya menjadi subyek.
Poin penting yang bisa dipetik dari ontologi sosial Hegel ini adalah konsep
relasi dengan “yang-lain” merupakan elemen yang tidak terhindarkan dalam
keberadaan individu. Bahkan bisa dikatakan bahwa esensi keberadaan individu
terletak dalam logika relasionalitas tersebut. Oleh karena itu, mendestruksi “yanglain”, sebagaimana dianjurkan oleh para pemikir yang disebut di atas, secara
ontologis sama dengan mendestruksi diri sendiri. Gaya berpikir semacam ini
barangkali tidak begitu cocok (compatible) dengan gaya konsep pasca
kolonialisme. Namun demikian, kenyataan sebenarnya menunjukan bahwa
tindakan yang positif dan dialogis jauh lebih konstruktif dan produktif
dibandingkan dengan tindakan yang destruktif.14
2. Etnis, Etnisitas, dan Identitas
Etnik atau etnos dalam bahasa yunani mengacu pada pengertian identik pada
dasar letak geografis dalam suatu batas-batas wilayah dengan sistem politik
tertentu. Kata etnis menjadi suatu predikat identitas seseorang atau kelompok.
Misalnya saja seseorang atau kelompok yang menjadi Jawa, Bugis, Sunda, Inggris,
13
G.W.F. Hegel, 1998, Phinomenologie des Geistes (Fenomenologi Roh), Hamburg: Felix Meiner.
Kata Pengantar (Vorrede), hlm. 25
14
Bruno Leibruckss, Sprache und Bewusstsein, Band 5, die zweite Revolution derr
Denkungsart,Hegel: Phanomenologie des Geistess (Frankfurt/M: Akademische Verlagsgesellschaft,
1970),hlm. 85.
11
Belanda, atau Afrika, atau menjadi Madura, Papua, Cina, sekaligus juga tidak bisa
meminta untuk menjadi Batak, Minahasa, atau Melayu dan sebagainya. Predikat
tersebut menjadi suatu yang ‘taken for granted’ yang diperoleh sedari awal
kelahiran.15
Ikatan-ikatan etnis tersebut terwujud dalam kumpulan orang, kelengkapankelengkapan primordial seperti derajat, martabat, bahasa, adat istiadat dan atau
yang dibebankan setiap anggota yang di lahirkan dalam kelompok tersebut dan
menjadikannya serupa dengan anggota kelompok yang lain. Karakteristik yang
melekat pada satu kelompok etnis ditandai dengan tumbuhnya perasaan “sense of
community” (perasaan dalam satu kelompok). Perasaan tersebut menimbulkan
kesadaran akan hubungan yang kuat, dan dapat tumbuh pula perasaan “kekitaan”
pada diri anggotanya. Penggunaan kata “kita” dalam identifikasi kelompok etnis
meniliki dua pandangan pengertian, yaitu: (1) sebagai sebuah unit obyektif yang
dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang, atau (2) hanya sekedar
produk pemikiran seseorang yang kemudian menyatakannya sebagai suatu
kelompok etnis.16
Berdasarkan penjelasan di atas, secara sederhana dapat dipahami bahwa makna
etnis dari penampakan fisik adalah tubuh. Ciri khas fisik tersebut berfungsi sebagai
penanda yang menegaskan “siapa kita” dan “siapa mereka” yang bisa
membangkitkan rasa solidaritas dan persaudaraan. Pada beberapa kasus, identitas
etnis dapat menimbulkan permusuhan. Bisa dipahami bahwa kelompok etnis adalah
suatu suku bangsa yang memiliki budaya dan bahasa tersendiri dalam sebuah
komunitas masyarakat yang hidup berinteraksi dan berdialog dengan unit yang lain.
Jadi sebenarnya makna etnis adalah sebuah pola relasi antar manusia. Dalam hal ini
adalah pola yang diwarnai adanya pembatasan atas dasar ciri-ciri dan penampilan
fisik seperti warna kulit, warna rambut, agama, bahasa, dan adat istiadat. 17 Ada
yang menarik dari pendapat yang dikemukakan oleh Federik Barth yang
15
Lihat Rex, John dan Beatrice Drury (eds), 1993, Ethnic Mobilization in Multicultural Europe.
Avebury, hlm. 8
16
Manger, Martin N., 1994, Race and Ethnic Relations, American and Global Perspective,
California: Wordswarth Publishing Company,hlm. 13
17
Ubed
Abdillah,
2002,
PolitikIdentitasEtnis: PergulatanTandaTanpa Identitas,
Magelang,Yayasan Indonesia Tera, hlm. 79.
12
memandang
identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial yang kompleks,
manakala batasan-batasan simbolik terus-menerus membangun dan di bangun dari
faktor hitungan sejarah, dari bahasa, dan pengalaman masa lampau. 18 Dari sisi yang
berbeda Erikson menegaskan bahwa kemunculan kelompok etnis tersebut paling
sedikit telah menjalin hubungan atau kontak dengan etnis yang lain, dan masingmasing menerima gagasan dan ide-ide perbedaan diantara mereka seperti secara
kultural. 19
Pemaparan konsep tentang etnis tersebut di atas menimbulkan pertanyaan besar
mengenai apa bedanya kata “etnis” dan “etnisitas” itu sendiri. Untuk jawabannya,
dapat dijelaskan bahwa kata etnisitas itu sendiri seperti yang dijelaskan oleh Barker,
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.
Etnisitas merupakan konsep relasional yang mendasarkan pada kategorisasi
identifikasi diri (Self identification). 20 Lebih lanjut Barker menjelaskan bahwa
apabila syarat ini terpenuhi maka tidak ada yang namanya etnisitas, karena etnisitas
pada hakikatnya adalah sebuah aspek pola hubungan, bukan milik suatu kelompok.
Hubungan relasi tersebut tidak selamanya merupakan hubungan yang harmonis.
Konflik atau ketegangan antar kelompok etnis merupakan bagian dari relasi
tersebut, di mana seseorang bisa dikatakan sebagai orang jawa, Batak, dan Papua
hanya dengan kerangka hubungan interaksi sosial.
Konsep etnisitas yang dipaparkan oleh Jan Nederveen Pieterse memandang
etnisitas sebagai politik kultural yang dilakukan oleh kelompok dominan 21 .
Sementara Dwiyer Denis menyatakan etnisitas merupakan aspek yang penting
dalam konteks hubungan antar kelompok. Pada trend ini muncul gagasan tentang
perbedaan “kami” dan “mereka” dan perbedaan atas klaim terhadap dasar asal usul
dan karakteristik budaya. Jika tidak ada pembedaan antara “orang dalam”(insider)
18
Barth, Frederik (ed). 1988. Kelompok etnis dan Batasannya. Terjemahan Nining L. Susilo. Jakarta
: UI Press.
19
Erikson, Erik H. 1989. Identitas dan siklus Hidup Manusia. Terjemahan Agus Cremes. Jakarta:
Gramedia.
20
Barker Chris, 2004, Culture Studies: Teori dan Praktik, Yogyakarta, Kreasi Wacana, hlm. 193
21
Pieterse, Jan Nederveen, 1996, “ Variieties of Ethnic Politics and Ethnicity Discourse”,dalam
Wilmsen, Edwin N, dan Mc Allister, Patrick (ed), The Politics of Difference, Chicago & London,
The University Press of Chicago, hlm. 2.
13
dan “orang luar” (outsider), maka tidak akan ada yang namanya etnisitas. 22
Terdapat tiga pendekatan teoritis yang bisa digunakan dalam menjelaskan
fenomena etnisitas. Pendekatan tersebut adalah pendekatan primordialisme,
konstruktivisme, dan pendekatan instrumentalisme. Sebagaimana yang dijabarkan,
sebagai berikut:
1. Pendekatan Primordialisme
Pandangan ini melihat fenomena etnis dalam kategori-kategori sosio-biologis.
Pendekatan ini umumnya beranggapan bahwa kelompok-kelompok sosial
dikarakteristikan oleh gambaran seperti kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa,
dan organisasi sosial yang memang disadari sebagai sesuatu yang “given”, dari
sananya dan tidak bisa dibantah. Argumentasi kaum primordialis tersebut
menegaskan bahwa identitas etnis diperoleh sejak manusia itu dilahirkan.
Sedangkan identitas kolektif dibangun melalui proses bersama dalam komunitas
melalui ikatan-ikatan penyejarahan yang sama yang dilakukan dalam sosialisasi
komunitas. 23
Sementara dalam kondisi masyarakat modern, konsep primordialisme sering
dimanifestasikan dalam tindakan-tindakan yang mengarah pada tribalisme. Dan
secara mendasar kaum primordialis merasa pesimis dengan pandangan yang
menganggap bahwa manusia dapat hidup dalam satu kondisi multikultural dan
multietnis.24
2. Pendekatan Konstruktivisme
Pendekatan konstruktivis ini lebih menarik perhatian, yang
memandang
identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial yang kompleks, manakala batasanbatasan simbolik terus-menerus membangun dan dibangun oleh manfaat mitologi,
suatu hitungan sejarah, dari bahasa dan pengalaman masa lampau, yang bersumber
dari cerita nenek moyang, dan ikatan-ikatan kultural. Dimana manusia menyadari
identitas dirinya secara otomatis. Dalam pendekatan ini para kelompok-kelompok
22
Ethnicity and Development; Geographical Perspective, Jhon Wiky & Sons Ltd, hlm. 3
Nurul Aini, 2003, Wacana Kritis Etnis Minoritas terhadap Kuasa, Skripsi Jurusan Sosiologi,
Universitas Gadjah Mada, hlm. 69.
24
Lihat Pieterse, Jan Nederveen, 1996, “ Variieties of Ethnic Politics and Ethnicity Discourse”,
halm. 27.
23
14
etnis bukan semata-mata kategori sosial melainkan merupakan sebuah kesadaran
kultural. 25
3. Pendekatan Instrumentalisme
Pendekatan ini lebih menaruh perhatian pada proses manipulasi dan mobilisasi
politik elit yang berkuasa manakala kelompok-kelompok sosial tersebut tersusun
atas dasar atribut-atribut awal etnisitas seperti, kebangsaaan, agama, ras, dan
bahasa. Dalam konteks ini keterikatan dan identitas dalam etnis bukan dipandang
sebagai sesuatu yang tetap. Menurut kaum instrumentalis relasi etnis akan selalu
berubah. Pandangan ini senada dengan yang diutarakan oleh kaum konstruktivis
yang menekankan pada aspek kesedaran etnis yang terbangun melalui konstruksi
sosial. Adapun titik letak perbedaan dari dua argumen penting atau dua pendekatan
tersebut terletak pada kaum instrumentalis lebih melihat dinamika kelompok etnis
pada aspek kekuasaan. Secara sederhana etnis dipandang sebagai pembentukan atau
produk wacana politik yang dilakukan oleh elit-elit yang berkuasa, yang selalu
memanipulasi dan memanfaatkan etnis sebagai komodifikasi kepentingan politik
semata.26
Dalam penjabaran teoritik ini, peneliti merasa perlu juga menjelaskan konsep
identitas dalam masyarakat yang majemuk sebagai penanda batas antara etnis,
etnisitas dan identitas itu sendiri. Kata identitas sendiri merupakan kata kunci yang
bisa mengacu pada konotasi apa saja: sosial, politik, budaya, dan sebagainya.
Identitas di situasi tertentu, bisa diartikan kekhawatiran, ketakutan atau keakuan.
Pendefinisian ini terjadi pada tataran ternd identitas dalam posisi defensif. Dalam
situasi globalsasi contohnya, muncul identitas bangsa (nasional). Sedangkan dalam
kajian psikologi perkembangan menjadi suatu pertanyaan. Karena identitas
bukanlah sesuatu yang final.
Jean Buadrillard seorang tokoh modernis mengatakan bahwa penelitian tentang
identitas tidaklah mudah. Dia pun menyangsikan adanya suatu identitas yang pasti
25
Lihat pula Lambang dalam Nurul Aini, 2003, Wacana Kritis Etnis Minoritas terhadap Kuasa,
Skripsi Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, hlm. 70.
26
Lihat Mathias Koening, “Democratic Governance in Multicultural Societies, Social Conditions
for the Implementation of International Human Rights through Multicultural Societies”, dalam
MOST-Management of Social Transformation, Edisi 2 No. 11 Februri, 23, 1999, (Discussion paper).
15
pada suatu subyek yang selama ini melekat (orisinilitasnya) karena semuanya telah
mengalami dekonstruksi. Di mana dalam kondisi kemajemukan suatu subyek akan
kehilangan identitasnya, “in the desert one loose one’s identity”). 27
Akan tetapi, penelusuran identitas dapat kita telsuri pada tataran fundamental
dan individual. Pada tingkatan ini, identitas memberikan pengertian tentang lokasi
personal. Dimana Jonathan Rutherford menganologikan identitas dengan sebuah
rumah yang dipakai sebagai tempat kembali dari mana berasal. Sayangnya, banyak
orang ternyata tidak punya rumah, homeless, tunawisma, tidak kembali dan tidak
tahu dari mana berangkat, terus-menerus dalam pencarian dan pengembaraan.
Pencarian tentang sebuah identitas erat kaitannya dengan ranah humanitas dan
psikologi manusia. Salah satu pengaruh akibat modernisme adalah terkikisnya sisi
humanitas dari diri manusia. Di mana problem hilangnya identitas kemanusiaan
menjadi bagian dari problem orang-orang modern. 28
Sementara Dalam tataran diskursus sosiologi, identitas diartikan sebagai hasil
interaksi antar individu. Di mana Identitas seseorang tidak semata-mata ada secara
inhern dalam dirinya sebagai individu, melainkan hasil kontruksi sosial. Dengan
demikian konsep identitas merupakan sesuatu yang bersifat sosial, terbangun
melalui proses sosialisasi dan berada dalam sebuah sosialitas atau realitas sosial
tertentu.29 Berbagai macam situasi Identitas dapat pula diartikan sebagai konstruksi
diskursif bahasa yang senantiasa berubah mengikuti perubahan waktu, tempat dan
kegunaan. Di mana identitas kerapkali dibicarakan pada aspek kehidupan manusia
yang menyangkut aspek etnisitas, ras, kewarganegaraan, kekerasan etnis, migrasi,
asimilasi, serta hubungan individu dengan Negara.
Chris Barker, misalnya mendefinisikan identitas sebagai sesuatu yang bersifat
sosial dan kultural. Pendefinisian tersebut didasarkan dengan dua alasan. Pertama,
karena gagasan mengenai apa dan siapakah seseorang pada dasarnya merupakan
sebuah persoalan kultural. Seseorang adalah produk budayanya. Kedua, bahasa dan
praktek sosial menjadi sumber proyek identitas, pada dasarnya bersifat sosial.
27
Baudillard, Jean. 1988. The Ecstasy of Communication, Semiotext (e). New York, hlm. 47
Rutherford Jonathan.1990. identity, Community, Culture, Difference. London Lawrence &
Wishart.
29
Falk, Pasi. 1994. The Consuming Body. London : Sage Publication Inc., hlm. 12
28
16
Bahasa tidak dapat berkerja tanpa ada komunitas tertentu yang menerima,
mempraktekkan, dan mendukungnya. 30 Penjabaran identitas dalam masyarakat
terkadang lebih bersifat membicarakan kategorisasian etnis dalam suatu komunitas.
Padahal komunitas bisa jadi memiliki sistem klasifikasi yang berbeda, khususnya
ketika kita mendefinisikan diri mereka sendiri (merujuk suatu komunitas), dan
masyarakat yang hidup sebagai komunitas tetangganya dalam kehidupan seharihari.
Namun kajian-kajian identitas dewasa ini diperluas melampaui konteks lokal
yang mencakup jarak diantara komunitas-komunitas secara fisik dan kultural.
Beberapa studi tentang etnis minoritas menunjukan bahwa seringkali kaum
komunitas minoritas dan kelompok-kelompok marjinal lainnya terbukti lebih
memiliki masalah yang kompleks dan problematis terutama ketika menentukan
batas-batas penanda sebuah identitas dalam sebuah komunitas di masyarakat.
3. Konstruksi Pembentukan Identitas
Castells misalnya di tahun-1997, menulis dalam buku “The Power of Identity”
menjelaskan konstruksi identitas terbentuk dari nilai dan pengetahuan. Proses
konstruksi tersebut didasari oleh atribut kultural yaitu mengutamakan atas sumber
makna lain. Karena identitas merupakan sumber nilai, pengalaman dan
pengetahuan dan atribut kultural yang menjadi nilai bagi Individu atau aktor
kolektif. Namun ini memungkinkan terjadinya pluralitas identitas yang didasari
oleh sumber tekanan dan kontradiksi antara representasi diri (self representatif) dan
aksi sosial (social action).
Castells melihat bahwa identitas dibangun melalui prespektif sosiologis, maka
argumen utama dari tulisan tersebut, bahwa konstruksi identitas merupakan
bangunan dari sejarah, letak geografi, biologi, Agama, memori kolektif dan
personal fantasies, serta kekuasaan. Tetapi individu, kelompok sosial dan
masyarakat mengelolah semua itu dan mengatur ulang nilainya. Hal tersebut lebih
deterministik yang berakar pada struktur sosial dalam ruang dan waktu. Castells
juga berasumsi bahwa yang membangun identitas kolektif sangat ditentukan isi
30
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice. London and New Delhi.
SagePublication, hlm. 167).
17
simbol identitas tersebut dan nilai yang mereka bawah untuk dapat mengidentikasi
dalam menempatkan diri. Karena menurutnya konstruksi identitas sosial selalu
ditandai oleh hubungan kekuasaan, dan perbedaan bentuk dan asal usul bangunan
identitas.31
Merujuk pada apa yang disampaikan Manuel Castelles
dengan jelas
mengatakan bahwa “The construction of identities uses building materials from
history, from geography, from biology, from productive and reproductive
institutions, from collective memory and from personal fantasies, from power
apparatuses and religious revelations”. Castell memandang identitas dari level
komunitas. Menerjemahkan identitas sebagai sesuatu yang kolektif bukan individu.
Konsep identitas yang dijelaskannya menjadi sangat berkonsep kelompok seolah
menegaskan bahwa di dalam diri individu itu sendiri ada perasaan sense of
belonging and sense of difference yang mampu dikonstruksikan sendiri. Artinya
pembentukan awal identitas berada di level individual dan mungkin saja antara satu
dengan yang lainnya berbeda. 32
Identitas adalah sumber manusia tentang makna dan pengalaman. Melalui
identitas kita dapat memahami bagaimana konstruksi makna dalam suatu basis
atribut budaya, sehingga kemudian menjadi terprioritaskan dibanding sumber
makna yang lain. Identitas harus dibedakan dengan apa yang dalam sosiologi
disebut sebagai peran yang didefinisikan melalui norma-norma yang terstrukturkan
oleh institusi dan organisasi masyarakat. Besarnya pengaruh peran dalam
mempengaruhi perilaku seseorang tergantung pada negosiasi dan pengaturan antara
individu dan institusi atau organisasi masyarakatnya. Sementara identitas adalah
sumber makna bagi aktor itu sendiri dan dengan sendirinya dibangun melalui proses
individuasi.
Namun demikian, Manuel Castells menyebutkan bahwa identitas juga bisa
berasal dari institusi dominan, mereka bisa menjadi identitas hanya ketika dan jika
aktor sosial menginternalisasikannya, dan mereka mengkonstruksikan maknanya
didalam internalisasi ini. Namun identitas merupakan sumber makna yang paling
31
32
Castells, Manuel. 1997. The Power of Identity. Oxford: Blackwell.
Ibid
18
kuat daripada peran, karena proses konstruksi pribadi dan individuasi yang
melibatkan mereka. Dalam makna yang sederhana, identitas mengatur makna,
sementara peran mengatur fungsi.
Dalam perspektif sosiologi, semua menyepakati bahwa seluruh identitas adalah
dikonstruksikan. Permasalahan utama dalam hal ini adalah, bagaimana, dari apa,
oleh siapa, dan untuk apa. Sebagai sebuah hipotesis Manuel Castells menyebutkan
bahwa secara umum, siapa yang mengkonstruksikan identitas kolektif, dan untuk
apa, secara luas menunjukkan makna simbolik dari identitas ini, hal tersebut berarti
bagi mereka yang mengidentifikasikan diri mereka dengan identitas ini atau
menempatkan diri mereka diluar identitas tersebut. Dikarenakan konstruksi sosial
identitas selalu dalam konteks yang ditandai dengan relasi kekuasaan, Manuel
Castells membuat perbedaan diantara tiga bentuk dan asal bangunan identitas 33:
a. Legitimizing identity: diperkenalkan oleh institusi masyarakat dominan
untuk memperluas dan merasionalisasikan dominasi mereka terhadap aktor
sosial, merupakan inti dari teori otoritas dan dominasi Sennet, namun juga
cocok dengan berbagai teori nasionalisme.
b. Resistance Identity : dihasilkan oleh aktor-aktor yang berada dalam
posisi/kondisi terdevaluasi, dan/atau terstigmatisasi oleh logika dominasi,
sehingga membangun parit perlawanan dan pertahanan dalam basis dengan
prinsip bentuk yang berbeda, atau melawan, seperti yang disebutkan oleh
Calhoun ketika menjelaskan munculnya identitas politik.
c. Project Identity : ketika seorang aktor sosial, dengan basis materi budaya
apapun yang melekat padanya, membangun sebuah identitas baru yang
mengubah posisi mereka, dan dengan demikian mencari transformasi
struktur sosial secara keseluruhan. Dalam hal ini, bangunan identitas adalah
sebuah proyek kehidupan yang berbeda, bisa berasal dari sebuah identitas
yang tertindas, namun kemudian berkembang menuju transformasi
masyarakat sebagai perpanjangan dari proyek identitas ini. Contohnya
33
Ibid, hlm. 8
19
masyarakat post patriarki, pembebasan perempuan, laki-laki dan anak,
melalui realisasi identitas perempuan.
Selain konsep pembentukan identitas di atas, kontruksi identitas pun secara
sosial pernah dijelaskan oleh Peter L. Beerger dan Thomas Luckmann. Yang
mencoba menganalisis proses dimana orang menciptakan realitas sosial sehari-hari.
Meraka menyebut proses tersebut sebagai proses kontruksi realitas simbolik.
Menurut Berger dan Luckmann, dunia sosial adalah produk manusia, ia adalah
konstruksi manusia dan bukan merupakan sesuatu yang terberi begitu saja. Dunia
sosial dibangun melalui tipifikasi-tipifikasi yang memiliki referensi utama pada
objek dan peristiwa yang dialami secara rutin oleh individu dan dialami bersama
dengan orang lain dalam sebuah pola yang taken for granted. 34
Antony Giddens, misalnya memahami identitas diri sebagai keahlian seseorang
yang berusaha mengkonstruksi cerita identitas yang saling bertalian di mana diri
membentuk lintasan perkembangan dari pengalaman masa lalu menuju masa
depan.35 Lebih lanjut Gidens pun menjelaskan bahwa identitas diri bukan sifat yang
distingtif, atau merupakan kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh individu. Dimana
identitas diri dapat dimaknai sebagai pengertian secara refleksi oleh seorang dalam
biografi yang dimilikinya. Oleh karena itu, identitas dapat dipahami sebagai sebuah
konstruksi tentang diri yang terus berproses, tidak statis, terus mengalami
pencarian, dan adaptif terhadap situasi, serta fleksibel dengan perubahan.
36
Konstruksi identitas pernah pula diulas oleh Ben Anderson pada tahun-1991
lewat tulisannya yang menceritakan paska masuknya negara dalam proses
konstruksi identitas. Dalam kondisi tersebut Identitas etnis menghubungkan dirinya
dengan konstruksi negara baru dan melepaskan identitas-identitas tradisionalnya
yang lama. Dan proses konstruksi identitas di-era tersebut selalu terkait dengan
identitas nasional di mana individu atau kelompok memasukkan pertimbangan
identitas nasional sebagai perioritas utama. Namun demikian, kelemahan argumen
34
Lihat Berger, Peter L. and Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, LP3ES, Jakarta,1990,
hlm. 23
35
Giddens, Anthony, Modernity and Self-Identity:Self and Society in the late Modern Age, Polity
Press, Cambridge,1991, hlm. 75
36
Lihat juga Giddens, 1991, hlm. 53.
20
Anderson dalam tulisannya adalah tidak lebih jauh menjelaskan mengapa
masyarakat tradisional melepaskan identitas mereka yang lama demi mengganti
dengan idenitas yang baru.37 Sebagai penjabaran konsep Anderson tersebut peneliti
mencoba memecahkan pertanyaan ini dalam penelitian yang hendak dilakukan
dengan mencoba menjelaskan apa yang membuat sebuah etnis (khususnya
mahasiswa papua) melakukan peleburan identitas menjadi identitas Ke-Papua-an di
Yogyakarta?
4. Ruang Publik
Banyak cara sebuah komunitas mengekspresikan identitas mereka di ranah
publik mulai dari cara berpenampilan, berbicara, dan bahkan sampai dalam
berperilaku. Kesemuanya itu menurut peneliti adalah strategi perjuangan untuk
mendapatkan pengakuan dikalangan kelompok-kelompuk tertentu. Modal simbol
identitas yang dimiliki kelompok Papua, untuk mewujudkan sasaran perjuangan
tersebut dibutuhkan waktu yang cukup lama. Apalagi bila diperjuangkan untuk
mendapatkan pengakuan identitasnya ditingkat Nasional. Perjuangan tersebut
sebagai suatu kondisi, di mana subyek (komunitas mahasiswa Papua) dapat
melestarikan keunikan dan karakter-karakter spesifiknya dengan dukungan dari
komunitas tempat ia tinggal.
Ruang publik tidak merupakan suatu ruang fisik, tetapi suatu ruang sosial yang
diproduksi oleh tindakan komunikatif. Ruang publik juga bukan suatu institusi atau
organisasi politik, tetapi suatu ruang tempat warganegara terlibat dalam deleberasi
dialogal mengenai isu publik, juga bukan institusi pengambilan keputusan, bukan
pula suatu pertemuan publik dengan agenda tertentu. Tetapi ruang publik dapat
diartikan sebagai suatu arena dan tempat dilakukan pembicaraan yang “tak terikat
secara institusional”. Melalui dialog dalam ruang publik kita mengaitkan “apa yang
ada dalam diri kita, “dengan apa yang ada dalam kelompok komunitas,
“pengalaman personal”, ataupun dengan makna dunia politik”. 38
37
Ben Anderson. 1991, Komunitas-Komunitas Imajiner; Renungan Tentang Asal-Usul Dan
Penyebaran Nasionalisme. Terjemahan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist
Press
38
Di rangkum dari Joohan Kim & Eun Joo Kim, “ Theorizing Dialogic Delliberation; hlm. 63.
21
Habermas misalnya merumuskan apa itu “ruang publik” beserta unsur-unsur
yang terkait di dalamnya dengan mengatakan ruang publik pertama-tama
dimaksudkan suatu wilayah kehidupan sosial yang kita maknai apa yang disebut
opini publik terbentuk. Dimana akses kepada ruang publik terbuka bagi semua
warganegara. Sebagian dari ruang pubilk terbentuk dalam setiap pembicaraan
dimana pribadi-pribadi berkumpul untuk membentuk suatu ‘publik’. Bila publik
menjadi besar, komunikasi ini menuntut suatu sarana untuk diseminasi dan
pengaruh; zaman sekarang surat kabar dan majalah, radio dan televisi menjadi
media ruang publik.39
Konsep ruang publik secara normatif, seringkali didefinisikan sebagai suatu
arena kehidupan sosial, tempat orang dapat berkumpul bersama, dan secara bebas
mengidentifikasi dan mendiskusikan berbagai bentuk permasalahan sosial. Sejalan
dengan meningkatnya intensitas diskusi dan berjalannya waktu, proses-proses yang
terjadi didalam ruang pubilk nantinya akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan
politik di masyarakat. 40 Secara ideal, ruang publik juga sering dibayangkan sebagai
ruang diskursif, dimana setiap orang dan setiap kelompok dapat berkumpul untuk
membicarakan soal-soal yang berkaitan dengan kepentingan bersama, sehingga bila
mungkin mereka bisa sampai pada keputusan bersama. Ruang publik dapat
dipandang sebagai sebagai suatu teater raksasa di dalam masyarakat modern.
Dimana partisipasi politik didorong melalui pembicaraan dan diskusi politik. Di
dalam ruang publiklah opini publik yang sesungguhnya bisa dibentuk.41
Ruang publik juga seringkali dipahami sebagai ruang penghubung antara ruang
privat di satu sisi, dan ruang otoritas publik (sphere of public authority) di sisi lain.
Ruang privat berkaitan dengan keluarga, sementara ruang otoritas publik berkaitan
langsung dengan legitimasi suatu pemerintahan Negara tertentu. Ruang publik
J. Habermas, “The public sphere”. Dalam C. Mukerji& M. Schudson (Epds), Rethingking popular
Culture; Contemporary perspektives in Culture Studies. Berkeley; University of California
prews,1991, hal 398. Seperti dikutip oleh Joohan Kim & Eun Joo Kim “ Theorizing Dialogic
Delliberation; Everyday political talk as Communicative Action and Dialogue”. Dalam
Communication Theory 18 (2008), hlm. 65.
40
Lihat , http://en.wikipedia.org/wiki/Public_sphere, di unduh pada Senin, 11 februari 2013, pada
pukul, 17:04 pm.
41
Lihat, Reza A.A Watimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta, Kanisius, 2007, hlm.
97-150.
39
22
bergerak di dalam tegangan di antara dua ruang ini sedemikian rupa sehingga
negara, mau tidak mau, menjalankan pemerintahannya dengan terus-menerus
berkonsultasi pada opini publik melalui ruang publik.
Senada dengan hal tersebut di atas, Habermas sangat tegas menjelaskan ruang
publik memberikan peran yang penting dalam proses demokrasi. Ruang publik
merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga
negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhankebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik harus bersifat otonom, tanpa
intervensi dari pemerintah. Ruang publik merupakan sarana warga berkomunikasi,
berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap terhadap problematika politik.
Ruang publik tidak hanya sebagai institusi atau organisasi yang legal, melainkan
adalah komunikasi antar warga itu sendiri.
Teori ruang publik lainnya mendasarkan diri pada pengandaian normatif, bahwa
setiap keputusan politik terbentuk di dalam ruang publik, dan pemerintah yang
dianggap sah adalah pemerintah yang setiap tindakannya mengacu terus pada
proses diskursif yang berlangsung di dalam ruang publik. Akan tetapi, ini tetap
merupakan suatu bentuk pengandaian ‘normatif’. Faktanya, ruang publik selalu
didistorsi oleh kekuasaan, sehingga tidak pernah ada keputusan politik yang
didasarkan pada mekanisme diskursif ruang publik yang sungguh adil, serta
mencerminkan apa yang sesungguhnya menjadi kepentingan bersama. Menurut
Richard Rorty ruang publik tidak selalu didasarkan pada rasionalitas. Banyak
keputusan-keputusan yang diperdebatkan di dalam ruang publik sering kali lebih
memberi porsi pada sentimen-sentimen dan afeksi-afeksi, yang tidak didasarkan
pada argumentasi rasional. Ruang publik ini disebut juga sebagai ruang publik
peotik (peotic public sphere). 42
Diskursus Ruang publik merupakan wilayah otonom dari impretatif-impretatif
pasar dan negara yang dianggap sebagai syarat terpenting dalam demokrasi yang
didalamnya membawa kebebasan berfikir, berbicara, berkomunikasi tanpa
42
Lihat Richard Rorrty, Contingency, irony, and solidarity, Cambridge, Cambridge University
press, 1989.
23
diskirminasi, manipulasi dan represif. 43 Walaupun diskursus ruang publik mendapat
perdebatan antara pemikiran Arendt dan Habermas akan tetapi benang merah dari
diskursus Ruang publik kedua pemikir ini saling berhubungan. Arendt memikirkan
ruang publik sebagai sesuatu yang tidak terkontaminasi kepentingan-kepentingan
kekuasaan rezim dan kepentingan ekonomis. Sementara Habermas menghitung
“kekerasan Struktural” dan memungkinkan komunikasi yang terdistorsi secara
sistematis sebagai sesuatu yang beroperasi di dalam ruang publik.
44
Dengan konsep yang lebih sedehana Habermas membagi-bagi ruang publik,
sebagai tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik,
sebagai pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi
sukarela, dst.), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst.), keprivatan
(wilayah perkembangan individu dan moral), dan legalitas (struktur-struktur hukum
umum dan hak-hak dasar).45 Dengan demikian, maka ruang publik begitu banyak
terdapat di tengah-tengah masyarakat. Ruang publik tidak dapat dibatasi. Di mana
ada masyarakat yang berkomunikasi, berdiskusi tentang tema-tema yang relefan,
maka disitulah akan hadir ruang publik. Ruang publik berifat bebas dan tidak
terbatas. Ia tidak terikat dengan kepentingan-kepentingan pasar ataupun
kepentingan-kepentingan politik.
Dalam konteks Identitas kolektif ala Castells, identitas adalah bentuk
perlawanan atas tekanan-tekanan sosio-politik dari kelompok etnis. Dan
perlawanan identitas dilakukan sebagai gerakan sosial yang terjadi dalam
masyarakat yang dibungkus dengan identitas kolektif yang belum mendapatkan dan
memanfaatkan teknologi informasi.
46
Bila castells mengasumsikan identitas
sebagai sebuah gerakan sosial pada masyarakat jaringan.Dari sisi yang lain
pemikiran Habermas dan Arendt lebih menyoroti tentang ruang publik sebagai
kebebasan maka, dalam konteks kelompok komunal papua, gerakan identitas sosial
terbentuk diranah ruang publik sebagai arena perjuangan kepentingan.
43
F.budi Hardiman. (eds) Ruang public, melacak partisipasi demokratik, dari polis sampai
cyberspace. 2010. Yogyakarta. Kanisius,hlm. 185
44
Ibid, hlm. 190.
45
Ibid, hlm. 128
46
Lihat Manuel Castels. Dalam buku The Power Identity.
24
Gerakan komunitas Papua dalam membentuk identitas mereka di ruang publik
melalui himpunan atau forum mahasiswa, dengan adanya ruang komunikasi,
berkespresi dan berdisuki antara sesama mahasiswa, komunitas ini dapat
mengakomodasi kepentingan kolektif yang lama terbangun dalam memori alam
pikir mereka yakni kemerdekaan Papua. Perkembangan teknologi komunikasi dan
bahan bacaan serta menjadi peluang besar bagi mereka dalam memanfaatkan
teknologi untuk memperkuat identitas Ke-Papua-an.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Apabila ditinjau dari pendekatan yang digunakan, maka metode penelitian ini
merupakan studi lapangan dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian
kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi
obyek yang alamiah di mana peneliti berperan sebagai instrumen kunci, dengan
teknik pengumpulan data yang dilakukan secara gabungan dan analisis data bersifat
induktif guna memperoleh hasil penelitian yang lebih menekankan makna daripada
generalisasi.
47
Pendekatan kualitatif pada penelitian ini dilakukan melalui
wawancara dan observasi langsung ke lokasi yang menjadi obyek utama penelitian,
yaitu komunitas mahasiswa Papua yang tersebar di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Apabila ditinjau dari metode analisisnya, maka penelitian ini dapat digolongkan
dalam jenis penelitian deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik merupakan
penelitian yang dilakukan melalui upaya untuk menjelaskan data dan fakta di
lapangan dengan kata-kata tertulis, kemudian menganalisisnya secara mendalam.
Tujuan analisis penelitian ini untuk menelusuri secara deskriptif tentang keberadaan
komunitas-komunitas mahasiswa Papua di berbagai asrama di Yogyakarta
(berdasarkan Kabupaten) dalam membangun identitasnya. Pada tahap analisis,
peneliti akan mengkaji secara mendalam tentang komunitas-komunitas mahasiswa
Papua yang tersebar di berbagai asrama, dari berbagai daerah asalnya dalam cara
dan konstruksi identitasnya. Dalam membentuk peleburan identitas kesukuan
47
Sugiyono, 2011, Metode Penelitian: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung:
Alfabeta, hal. 8.
25
menjadi identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta, komunitas tersebut tentunya
mengekspresikan identitas di ruang publik.
Bagi peneliti, identitas “Ke-Papua-an adalah identitas baru yang coba di
konstruksikan yang muncul di Yogyakarta. Untuk menjelaskan hal tersebut, peneliti
lebih menggunakan pendekatan teoritis “Manuel Castells”, yang dibantu dengan
penjabaran teoritik logika berpikir diri dan “the other” dalam kajian postcolonial.
Dalam usaha mengembangkan teori tersebut di atas, maka studi lapangan ini
digunakan untuk mengidentifikasi situasi kondisi dinamika komunitas mahasiswa
Papua dan identitasnya. Disamping itu, penelitian ini juga merupakan studi
dokumentasi yang membimbing peneliti pada penelusuran data sekunder dari
segenap teks yang berkaitan dengan pembentukan identitas “ke-Papua-an” di
Yogyakarta.
2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan melalui studi secara mendalam terhadap proses
pembentukan identitas Ke-Papua-an oleh komunitas mahasiswa Papua yang
terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelusuran data dilaukan secara
langsung pada beberapa komunitas mahasiswa Papua yang tinggal di asrama
ataupun yang tinggal di luar asrama. Dengan mempertimbangkan fisibilitas yang
dimiliki peneliti dan mengingat banyaknya jumlah asrama Papua di kota
Yogyakarta, maka penelusuran data hanya dibatasi pada komunitas mahasiswa
Papua beserta organisasi/aliansi serta paguyuban-paguyuban yang berada di asrama
Propinsi sebagai asrama pusat, dan di beberapa asrama kabupaten/kota yang
dianggap mampu membantu untuk menjelaskan kebersamaan di asrama ataupun di
berbagai organisasi-organisasi kemahasiswaan yang diikutinya.
Pemilihan asrama yang dijadikan sebagai lokasi pengumpulan data penelitian
didasarkan atas pertimbangan intensitas pola interaksi antar suku-suku yang ada
lebih beragam. Berbagai suku-suku yang berasal di daerahnya dengan tingkat
perbedaan tersebut, diyakini dapat mewakili kompleksitas Papua di daerahnya.
Asrama-asrama berdasarkan Kabupaten yang ada di Yogyakarta merupakan
representasi kehidupan orang Papua yang memiliki hak otonom antara satu suku
dengan suku yang lain. Penelitian ini memfokuskan pada peleburan identitas Papua
26
yang masih berdasarkan suku-suku tersebut, menjadi identitas kebersamaan di
tanah rantau yang dilakukan oleh komunitas mahasiswa Papua yang terpencar di
berbagai asrama dengan latar belakang suku yang berbeda-beda pula. Peleburan
identitas Ke-Papua-an tersebut tentunya dilakukan pada berbagai organisasi dan
asrama-asrama Papua di kota Yogyakarta.
Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian.
Oleh karena itu, seorang peneliti harus terampil dalam mengumpulkan data agar
mendapatkan data yang valid. Ada bermacam-macam cara yang dapat
dipergunakan untuk mengumpulkan data, informasi serta menguji data dan
informasi tersebut. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
 Wawancara
Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk
memperoleh informasi dari terwawancara. Wawancara dalam studi ini dilakukan
melalui wawancara mendalam terhadap informan yang dianggap mengetahui
masalah konstruksi pembentukan identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta. Tipe
wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalalah tidak terstruktur, yaitu
dengan cara memberi kebebasan dan kesempatan pada informan untuk
mengeluarkan pendapatnya.
Informan penelitian ini meliputi beberapa macam yaitu informan utama dan
informan biasa. Informan utama yaitu sumber data yang mengetahui dan memiliki
berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Informan utama yang
dipilih dalam penelitian ini adalah tokoh agama serta ketua paguyuban atau asrama
komunitas mahasiswa Papua yang tersebar di kota Yogyakarta. Alasan dipilihnya
informan utama tersebut adalah dengan pertimbangan bahwa tokoh-tokoh tersebut
merupakan pihak yang memahami tentang permasalahan yang dibahas dalam
penelitian.
Informan biasa adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi
tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Dengan demikian, informan biasa harus
mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian. Informan yang dipilih
dalam penelitian ini adalah para mahasiswa Papua di asrama ataupun di berbagai
27
organisasi komunitas Papua. Dalam proses wawancara, peneliti dapat mengajukan
pertanyaan yang bersifat terbuka, sehingga dapat memunculkan pandangan dan
opini dari subjek penelitian. adapun jumlah keseluruhan informan dalam penelitian
ini adalah sebanyak 6 orang.
 Obsevasi
Observasi adalah kegiatan pengamatan terhadap suatu objek dengan
menggunakan seluruh alat indra manusia, yakni melalui penglihatan, penciuman,
pendengaran, peraba, dan mengecap. Observasi ini digunakan untuk penelitian
yang telah direncanakan untuk memperoleh data lapangan. Pengamatan langsung
di lokasi penelitian dilakukan untuk menemukan lokasi asrama mahasiswa Papua
sebagai obyek kajian. Lebih lanjut, pengamatan secara akurat dilakukan untuk
mengamati perilaku mahasiswa Papua baik secara individu atau kelompok dalam
membentuk peleburan identitas melalui organisasi mahasiswa sebagai wadah.
Pengamatan secara akurat juga dilakukan untuk mengamati ekspresi identitas KePapua-an yang terbentuk di ruang publik, baik secara fisik maupan ruang publik
dalam tataran diskursif.
 Analisis Dokumen
Studi pustaka dilakukan dengan mencari dan membaca berbagai dokumen dan
literatur yang berbentuk buku-buku, jurnal, maupun artikel-artikel sesuai dengan
aspek yang akan diteliti. Studi ini dilakukan untuk memperoleh landasan keilmuan
sebagai penunjang dalam mempelajari dan menganalisa permasalah penelitian.
Selain itu, studi pustaka juga dilakukan untuk mengetahui posisi obyek yang akan
diteliti melalui penelitian-penelitian sebelumnya atau sejenis yang telah ada.
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu 48 . Analisis dokumen
adalah sebuah gambaran dari isu atau masalah, yang dapat dikonstruksikan melalui
dokumen-dokumen seperti surat-surat, memo-memo, pengumuman-pengumuman,
hasil kerja, hasil peniaian, arsip-arsip, laporan-laporan, time table atau tabel waktu,
kebijakan, dan pengaturan. Dokumentasi diperlukan karena metode dokumentasi
mempunyai nilai lebih dalam pengungkapan terhadap sesuatu hal dan kejadian yang
48
Sugiyono, 2010, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, hal. 82.
28
telah didokumentasikan. Metode dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan
data sekunder melalui dokumen-dokumen yang telah tersedia. Dokumentasi
diperlukan dalam penelitian ini karena data yeng diperoleh dapat digunakan sebagai
bahan untuk melakukan triangulasi data penelitian. Data yang diperoleh melalui
metode dokumentasi adalah data bahan tertulis yang bisa digunakan untuk
memperkuat hasil penelitian sehubungan dengan konstruksi identitas komunitas
mahasiswa Papua di Daerah Istimewa Yogyakarta.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan salah satu proses yang terintegrasi dalam pelaksanaan
penelitian ini. Dengan demikian, kegiatan ini sangat berkaitan dengan jenis
penelitian yang dipilih, rumusan masalah dan tujuan penelitian, jenis data, serta
asumsi-asumsi teoritis yang melandasi kegiatan penelitian. Setiap rangkaian dan
tahapan dalam penelitian ini sangat diperhatikan agar mampu melakukan analisis
data sehingga penelitian yang dilaksanakan bersifat koheren.
Analisis data pada penelitian ini dilakukan melalui analisis deskriptif kualitatif.
Analisis data secara deskriptif kualitatif dilakukan terhadap data hasil penelitian.
Hasil penelitian tersebut antara lain data mengenai identitas komunitas Papua yang
ada di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan melacak material konstruksi yang
membangun Ke-Papua-an tersebut sebagai suatu realitas identitas. Selain itu,
analisis juga dilakukan terhadap data mengenai cara komunitas Papua ini
mengekspresikan identitas Ke-Papua-an yang telah dibentuk diruang publik beserta
implikasi aspek sosial, dan politik yang ditimbulkan.
Analisis data secara kualitatif dilakukan dengan menganalisis data hasil
penelitian. Proses penemuan yang sistematis dari catatan interview, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain yang telah dikumpulkan untuk meningkatkan
pemahaman terhadap data dalam penelitian ini, sehingga penemuan dapat
disajikan. 49 Analisis data harus dilakukan dengan pendekatan yang baik, yaitu
menguji validitas temuan-temuan dengan meramalkan apa yang terjadi pada kasus
selanjutnya enam bulan atau satu tahun sebelumnya.
49
Robert C. Bogdan & Sari K. Biklen, 2003, Qualitative Research for Education: An Introduction
to Theory and Methods, Boston: Ally and Bacon, Inc, hal. 153.
29
Download