BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ide besar tulisan ini adalah menganalisa topik pembentukan sebuah identitas yang dilakukan oleh komunitas mahasiswa Papua dalam membentuk identitas KePapua-annya di Yogyakarta. Ide tulisan ini berawal dari pengalaman yang dirasakan penulis ketika pertama kali bertemu dan berada dalam sebuah komunitas yang jauh berbeda dengan komunitas-komunitas lainnya dalam interaksi keseharian. Ketika bertemu dengan komunitas ini Nampak terlihat jelas perbedaan antara komunitas ini dengan komunitas lainnya. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan rambut, warna kulit, dialeg, dan kebiasaan yang mereka lakukan. Identitas dapat dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial. Etnisitas merupakan ekspresi dari produk masa lalu, kebangkitan asal-usul yang sama, hubungan sosial, dan kesamaan dalam nilai-nilai budaya dan ciri-ciri seperti bahasa dan agama. 1 Lebih lanjut dijelaskan bahwa dimensi sejarah tentang identitas menunjukkan bahwa identitas itu tidak pasti, tidak konstan, dan tidak kekal, tetapi kadang berubah dan dapat dibentuk atau dikonstruksi. Banyak faktor yang dapat berpengaruh dalam konstruksi identitas, seperti halnya agama, kekuasaan, politik, dan lain sebagainya. Identitas tentunya menggunakan penanda-penanda tertentu. Penanda-penanda tersebut pada dasarnya berasal dari budaya etnis atau kelompok tersebut. Penanda akan sangat bergantung pada keadaan dan konteks tertentu. Pada dasarnya, identitas dapat berubah karena merupakan konstruksi sosial. Perubahan juga terjadi pada penandanya. Konstruksi identitas tentunya terjadi pada berbagai etnis dan komunitas. Salah satunya adalah komunitas mahasiswa Papua. Dalam membentuk identitas ke-Papua-annya di Yogyakarta, mahasiswa Papua memiliki beberapa penanda yang terlihat cukup jelas. Penanda komunitas mahasiswa Papua antara lain dapat dilihat dari perbedaan jenis rambut, warna kulit, dialeg, dan kebiasaan yang dilakukan. 1 King, Victor T. & Wilder, William D, 2003, The Modern Anthropology of South-east Asia, New York: Routledge Curzon, hal. 198. 1 Deskripsi singkat yang disampaikan oleh Alfred Russel Walace tentang penduduk asli Papua dalam bukunya yang berjudul The Malay Archipelago, the # of the Orang-Utan and the Bird Paradise” yang di terbitkan pada tahun 1890 menyebutkan bahwa etnis Papua memiliki penanda warna kulit sangat gelap, kecoklatan atau hitam, kadang-kadang hampir mendekati, tetapi tidak pernah sama dengan pekatnya warna kulit ras Negroid. Etnis Papua sangat berbeda dalam warna kulit yang melebihi Melayu, kadang-kadang agak hitam atau kecoklatan dengan rambut sangat kasar dan kering. Ditinjau dari segi etnologis, Kepulauan Aru dan Kei termasuk dalam kelompok Papua. Namun demikian, secara geografis dan zoologis Kepulauan Aru dan Kei merupakan bagian dari Maluku. Mayoritas penduduk di bagian utara Semenanjung Gilolo, Seram, Timor, dan Flores memiliki postur tubuh yang tinggi dan berambut keriting sehingga cenderung memiliki kemiripan dengan etnis Papua. Misalnya saja, Penduduk Timor yang berkulit gelap kecoklatan, berambut keriting, dan berhidung panjang tentunya dapat dinilai serupa dengan etnis Papua. 2 Di Papua sendiri terdapat keanekaragaman latar belakang ras, yaitu Negroid, Melanosoid, Mikronesia, dan Mongoloid. Keanekaragaman penduduk Papua juga dapat terlihat dari 250 bahasa yang digunakannya. Pada beberapa daerah di Papua, penduduk menggunakan bahasa lokal dengan dialeg berbeda-beda. Misalnya, masyarakat Biak menggunakan satu bahasa, sedangkan Waropen menggunakan dua bahasa. 3 Apabila mengacu pada pengkategorian yang dilakukan Hildred Geertz, mengenai tipe tipe Penduduk Kepulauan Nusantara, terdapat 3 tipe masyarakat. Pertama, masyarakat yang terpengaruh Hindu dan memiliki budaya padi seperti terdapat di Jawa dan Bali, serta terpengaruh Islam khususnya di Jawa. Tipe kedua adalah masyarakat pesisir dengan pengaruh Islam yang pada umumnya hidup sebagai nelayan, pedagang, dan tukang serta sebagai petani padi. Tipe ketiga yaitu masyarakat daerah pegunungan yang relatif terisolasi dari dunia luar dan tidak banyak terpengaruh oleh Hindu dan Islam, sehingga banyak yang menjadi sasaran 2 Wallace, A.R, 1890, The Malay Archipelago, the Land of the Orang-Utan and the Bird Paradise, London and New-York. 3 Koentjaraningrat, 1993, Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan. 2 kegiatan Misionaris Katolik maupun Protestan. Dalam hal ini, etnis Papua dapat diklasifikasikan pada tipe kedua dan ketiga. Hal ini disebabkan suku Papua yang ada di pesisir sudah lebih terbuka terhadap pengaruh pedagang Melayu dari Maluku dan Sulawesi, namun suku Papua pedalaman dikategorikan pada tipe ketiga yang hidup terisolasi serta menganut animisme. 4 Secara geografis, Papua terletak kurang lebih 1o dari Selatan katulistiwa, antara 130o Bujur Barat dan 141o Bujur Timur. Secara topografis, Papua terbagi dalam tiga wilayah. Pertama, wilayah “kepala burung”, yang mencakup Manokwari, Fakfak, Sorong, Kaimana, Teminabuan, Bintuni, Ransiki, Ayamaru, dan Windesi. Kedua, wilayah pegunungan tengah sampai utara, yakni Jayawijaya, Nabire, Kepulauan Yapen, Biak, Numfor, Supiori, Sarmi, dan Jayapura. Ketiga, wilayah selatan pegunungan tengah, yakni Mimika, Asmat, dan Merauke. 5 Berbeda dengan sejarah daerah-daerah di Indonesia lainnya yang pada umumnya sudah lepas dari kolonialisme dan menyatakan kemerdekaan di tahun 1945, sampai dengan tahun 1962 Papua masih dibawah kekuasaan penjajah. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan corak pengenalan mengenai kebangsaan Indonesia. Secara otomatis orang Papua lebih dahulu mengenal ke-Papua-an dari pada ke-Indonesia-an. Dalam sejarahnya, pada masa kolonial orang Papua menempati strata yang paling rendah dalam lingkungan sosial. Hal ini mengakibatkan tidak dihargainya orang Papua oleh kaum pendatang. 6 Fenomena ini pada akhirnya berakibat terhadap psikologis masyarakat Papua sehingga tercipta pembedaan yang dilakukan oleh etnis Papua terhadap etnis lain yang berasal dari luar. Bagi etnis Papua, perbincangan mengenai identitas sangatlah rapuh. Pada satu sisi, identitas dapat menguatkan posisi seseorang, namun di sisi lain dapat menjadi ancaman. Identitas tak jarang menjadi faktor yang dikontestasikan dan dinegosiasikan. Pada dasarnya, eksistensi identitas dalam kehidupan sosial merupakan hal yang penting. Hal ini tentunya juga dirasakan oleh komunitas Papua Geertz, Hildred, 1963, “Indonesian Cultures and Communities” in Indonesia, Ruth. MecVey (ed). New Haven: HRAF Press, hal. 24-96. 5 Bernarda Meteray, 2012, Nasionalisme Ganda Orang Papua, Jakarta: Kompas, hal. 1. 6 Ibid, hal. 26. 4 3 yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Identitas Ke-Papua-an tentunya muncul dan dikembangkan oleh komunitas Papua yang merantau jauh dari daerah asalnya. Termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai lokusnya. Menurut data tahun 2011, di Dearah Istimewa Yogyakarta terdapat lebih kurang 7000 mahasiswa Papua yang menempuh pendidikan pada berbagai jenjang, yaitu pendidikan diploma, strata satu, pasca sajana, dan doktoral. Keseluruhan mahasiswa Papua ini tersebar di seluruh akademi, politeknik, sekolah tinggi, serta universitas di Yogyakarta.7 Pola kedatangan para mahasiswa yang berasal dari tanah cendrawasih tersebut disinyalir mengikuti pola kedaerahan berdasarkan kota dan kabupaten masingmasing. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya asrama yang disediakan oleh pemerintah daerah masing masing kota dan kabupaten yang ada di Papua. Misalnya, mahasiswa asal Serui masuk ke asrama Serui, ataupun daerah lainnya yang tinggal mengikuti daerah asalnya. 8 Fakta tersebut secara eksplisit menunjukan bahwa Papua juga tidak tergabung menjadi satu, melainkan multi-etnik. Pada umumnya, masyarakat Papua baik mahasiswa maupun bukan, ikut serta dalam komunitas atau aliansi orang Papua yang bersifat kemahasiswaan maupun keagamaan seperti halnya Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Forum Komunikasi Mahasiswa Papua-Yogyakarta (FKMPY), Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA), serta Forum Komunikasi Mahasiswa Katolik Papua (FKMKP). Dengan adanya komunitas tersebut, mahasiswa Papua dapat saling mengenal satu sama lain yang dulunya terpisahkan oleh kedaerahan. Dengan kebersamaan dalam organisasi tersebut, mahasiswa Papua di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak lagi menjadi bersuku-suku atau multi-etnik, namun melebur menjadi satu yang berada di bawah identitas Ke-Papua-an. Dengan predikat Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kota budaya, tidak mengherankan apabila begitu banyak etnis yang datang dengan membawa budayanya masing-masing tanpa ada paksaan untuk harus menjadi orang Aloysius Budi Kurniawan, 2011, “Isu Disisir, Mahasiswa Papua Pulang Kampung”, Artikel Online, http://regional.kompas.com/read/2011/12/01/08062138/Isu.Disisir.Mahasiswa.Papua.Pulang.Kamp ung, diakses tanggal 29 Juni 2013. 8 Tidak semua mahasiwa asal Papua mengikuti pola kedaerahannya, terdapat juga mahasiswa Papua yang langsung masuk ke asrama kampus masing masing, misalnya mahasiswa asal Sorong yang sekolah tinggi pertanahan nasional mengikuti pola asrama kampus tersebut. 7 4 Yogyakarta. Dengan budayanya masing-masing, rasa nyaman dan kebetahan merupakan modal utama untuk tetap memilih melanjutkan pendidikan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, tanpa merasa takut adanya benturan budaya dengan etnis lainnya. We know of no people without names, no languages or cultures in which some manner of distinctions between self and other, we and they. 9 Kutipan tersebut menunjukan bahwa tidak ada satu orang pun tanpa memiliki identitas yang akan membedakannya dengan orang lain, begitu pula dengan komunitas Papua yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan keberadaannya di Daerah Istimewa Yogyakata, konstruksi identitas KePapua-an tentunya terus mengalami perkembangan (dinamis). Sebagaimana yang di tunjukan penelitian yang dilakukan oleh Habel Suwae (2012), melalui penelitiannya yang berjudul “Konstruksi Identitas Ke-Papua-an Dalam Dinamika Arus Demokrasi”. Studi ini memfokuskan pada pembentukan identitas warga Papua dalam relasinya dengan narasi dominan, yaitu negara dan agama, di mana keduanya selama ini merupakan faktor eksternal yang cukup dominan dalam mengkonstruksi identitas Papua. Studi ini menemukan hasil bahwa di masa lalu identitas Ke-Papua-an dikonstruksikan oleh kekuatan negara melalui politik penyeragaman. Pada masa tersebut, orang Papua terus mengalami marginalisasi dalam segala aspek kehidupan baik politik, ekonomi, maupun sosial-kebudayaan oleh pemerintah pusat. Melalui proyek kesatuan dan persatuan bangsa, orang Papua harus menjadi orang Indonesia. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi konstruksi identitas Papua oleh pusat berada dalam posisi yang dipandang sebagai daerah pinggiran. Pada awalnya cara pandang pusat memang secara teritori, tetapi kemudian merambat ke dalam bidang politik dan kebudayaan. Oleh karena itu, Papua mengalami marginalisasi baik secara politik maupun kebudayaan. Studi tentang identitas Papua juga dapat dijumpai pada tesis yang ditulis oleh Martinus Christian Onweng (2011), dengan judul “Musik Membesak Sebagai Politik Identitas Etnis Papua”. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa untuk 9 Craig Calhoun dalam Manuel Castells, 1997, The Power of Identity, Oxford: Blackwell, hlm. 6 5 menjaga budaya kelompok etnis di Papua sebagai simbol identitas, dibentuklah kelompok Musik Mambesak. Hal ini disebabkan musik dianggap sebagai simbol budaya etnis yang bisa dilestarikan. berdasarkan penjelasan tesis dapat dipahami bahwa identitas sebuah komunitas bisa terbentuk melaui sarana dan media apapun, salah satunya melalui musik. Fakta lain mengenai hubungan antara musik dan pembentukan identitas dapat diketahui dari penelitian yang dilakukan Wilton AW Djaya (2011), dengan judul “Pembentukan Identitas Kolektif Melalui Musik Dalam Komonitas Jazz Yogyakarta”. Temuan penting dari penelitian ini menunjukkan bahwa Komunitas Jazz Yogyakarta membahasakan jam-session dengan bahasa mereka sendiri serta mengemas acaranya dengan unsur-unsur lokal. Praktik-praktik ini yang kemudian menjadi identitas kolektif mereka. Di sisi lain, disertasi disusun oleh A.Muhrotien (2011), dengan judul “Rekonstruksi Identitas Dayak pada Era Otonomi Daerah di Kalimantan Barat” menemukan bahwa di era otonomi daerah identitas Dayak semakin menguat. Isu putra daerah masih merupakan isu yang dominan, isu etnisitas masih menonjol di Kalimantan Barat. Penguatan isu etnisitas ini terjadi seiring dengan perubahan politik pada tingkat nasional dan adanya kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah. Dalam realitasnya, hal ini telah memunculkan sebuah fenomena politik identitas. Proses politik dan rekrutmen kepemimpinan di daerah selama masa sepuluh tahun terakhir cenderung didasarkan pada parameter-parameter asal-usul daerah dan etnik. Menguatnya identitas Dayak juga dapat dilihat dari aspek budaya Dayak. Identitas Dayak semakin menguat salah satunya disebabkan oleh kesadaran internal sendiri untuk membangkitkan kembali semangat kedayakan dalam berbagai bentuk termasuk dalam memperebutkan posisi penting dalam kepemimpinan lokal. Lebih lanjut konstruksi identitas orang dayak pernah ditulis oleh Zaenuddin (2012) dalam disertasinya yang berjudul “Identitas Dayak Katab Kebahan di Kabupaten Melawi Kalimantan Barat (Studi tentang Konstruksi Identitas EtnoReligio pada Masyarakat Dayak)”. Penelitian ini menemukan bahwa Identitas Dayak Katab Kebahan merupakan model khusus identifikasi etno-religio di 6 Kalimantan Barat. Model tersebut merupakan hasil konstruksi dari sejarah etnisitas Katab Kebahan yang mengakar pada kebudayaan Dayak Kebahan. Kondisi religius Katab Kebahan yang menganut agama Islam sejak lama dan faktor globaliasi yang mendorong peran aktif masyarakat Katab Kebahan dalam proses interaksi dan integrasi dalam mayarakat Melawi. Ketiga faktor tersebut telah mendorong menguatnya Identitas Dayak Katab Kebahan yang tetap memeluk Islam. Padahal, pada umumnya kelompok etnis Dayak di Kalimantan Barat melakukan konversi etnisitas menjadi Melayu setelah memeluk Islam pada masa kesultanan abad ke-17. Setelah melakukan review terhadap penelitian tentang konstruksi pembentukan sebuah identitas di atas, penelitian yang dilakukan peneliti ini tentunya memiliki keunikan dan urgensi tersendiri sehingga menarik untuk di teliti. Alasan pertama adalah masih jarangnya studi-studi yang mendalam tentang pembentukan identitas Ke-Papua-an khususnya komunitas mahasiswa Papua di Yogyakarta kalaupun ada studi-studi tersebut cenderung culture studies dan sangat etnosentris. Alasan kedua, studi ini diharapkan akan dapat menambah khasanah teoritik bagi pengembangan kajian politik identitas dimasa-masa mendatang yang berangkat dari realitas empirik mahasiswa Papua di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan alasan ketiga, keunikan yang dimiliki oleh penelitian ini adalah pembentukan identitas yang dilakukan mahasiswa Papua dengan lebel “identitas Ke-Papua-an” di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan fenomena yang unik, dimana identitas yang dibangun tanpa mengikuti polarisasi suku dan etnik di daerahnya. Orang Papua di Yogyakarta melebur menjadi satu identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta. Fenomena yang mendasari penelitian ini tentunya sangat menarik untuk diteliti. Sebagaimana diketahui bersama bahwa identitas orang Papua di daerah asalnya merupakan komunitas etnik yang kompleks yang terdiri dari kurang lebih 250 suku yang bersifat otonom satu sama lain. Setiap kelompok suku secara kultural mandiri dan unik dan tidak tunduk pada yang lain. Kepala suku atau pemimpin lokal tidak memiliki otoritas yang penuh kecuali sebagai juru bicara masyarakatnya. Budaya semacam ini sulit tumbuh di semua kelompok suku bangsa yang lain. 10 10 Bandingkan dengan studi yang sudah dilakukan oleh Johszua Mansoben, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, (Jakarta-Leiden: LIPI-RUL). 7 Kondisi kesukuan di Papua menyebabkan kehidupan budaya menjadi multietnis. Daerah Istimewa Yogyakarta tidak hanya dipenuhi oleh orang Jawa saja, akan tetapi datang dari seluruh belahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka setiap entitas yang berasal dari suatu suku bangsa akan berusaha untuk mengeksistensikan suku bangsanya di daerah tempatnya menetap. Begitu pula keadaan yang dialami komunitas Papua di kota pelajar ini. Fakta menunjukkan bahwa ada komunitas Papua di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan akan ada kecenderungan untuk melahirkan realitas Ke-Papua-an yang menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti. Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah mengenai kemampuan komunitas mahasiswa Papua yang di daerah asalnya terdiri dari berbagai suku-suku dengan bahasa yang berbeda-beda mampu dalam membangun identitasnya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan beberapa permasalahan terkait dengan pelaksanaan penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana komunitas mahasiswa Papua membangun identitas Ke-Papuaan di Daerah Istimewa Yogyakarta? 2. Bagaimana komunitas mahasiswa Papua mengekspresikan identitas KePapua-an tersebut di ruang publik? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui identitas komunitas Papua yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan melacak material konstruksi apa yang membangun KePapua-an tersebut sebagai suatu realitas identitas. 2. Untuk mengetahui cara komunitas Papua ini mengekspresikan identitas KePapua-an diruang publik beserta implikasi aspek sosial, dan politik yang ditimbulkan. D. Landasan Konseptual Ketika merumuskan identitas Ke-Papua-an dalam tulisan ini seolah materialnya adalah “apa itu identitas Ke-Papua-an?. Dalam konteks ini peneliti sendiri tidak akan berkutat di area seputar itu, tetapi ada yang lebih tepat serta mendesak dalam 8 memotret komunitas mahasiswa Papua dalam membentuk identitasnya, yaitu pada aspek “bagaimana” proses merumuskan identitas itu sendiri. Alasan peneliti yang lebih memilih “bagaimana menjadi Ke-Papua-an daripada mengkaji “apa itu KePapua-an”? disebabkan peneliti tidak ingin jatuh pada esensialisme. 11 Adapun yang menjadi permasalahan sebenarnya adalah penciptaan ruang wacana yang dapat melibatkan sebanyak mungkin partisipasi antar suku-suku Papua yang tersebar di sejumlah asrama dan di berbagai aliansi mahasiswa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam membentuk identitas Ke-Papua-an tersebut. Untuk melacak bagaimana sesungguhnya proses pembentukan identitas KePapua-an yang dilakukan oleh komunitas mahasiswa Papua di Yogyakarta, peneliti menggunakan logika berfikir wacana postcolonial, yang mencoba menjelaskan pola hubungan interaksi antara diri dengan yang bukan diri, ditambah dengan beberapa konsep etnisitas sebagai penjelas tentang etnis Papua. Dalam tulisan ini, yang menjadi pisau analisis untuk menjelaskan tentang konstruksi identitas Ke-Papuaan, penulis lebih menggunakan konsep yang di tawarkan oleh Manuel Castell (1997) dalam bukunya “The Power of Identity”. Dan mengenai Ekspresi identitas yang coba di munculkan di Yogyakarta, penulis lebih menggunakan konsep pemikiran ruang publik yang di tawarkan oleh Habermas. Yang kesemuanya penjabarannya diuraikan dalam sub-sub bab brikutnya. Dengan demikian tulisan ini akan lebih memfokuskan kepada pola relasi diri antara Suku A dan Suku B yang ada di dalam asrama, ataupun yang ada di dalam berbagai organisasi kemahasiswaan Papua di Yogyakarta. 1. Diri dan “ The Other” Kesadaran diri sendiri sebagai kesadaran individu yang berelasi dengan yang lain, dalam konteks identitas diri adalah sesuatu yang dikonstruksikan oleh diri sendiri oleh aktor-aktor komunitas budaya ternyata menyisakan ingatan-ingatan kolektif kultural. Dalam arti ini, konsep postcolonial adalah semacam upaya rekonstruksi diri. Pengandaian fundamental bagi keberhasilan rekonstruksi adalah 11 Untuk uraian lebih lengkap tentang istilah ini lihat Ashcroft, Bill, Gareth Griffths, Helen Tiffin,1998, Key Concepts in Post-Colonial Studies, London and New York: Routledge, hlm. 7780. 9 bukan-diri. Hal ini disebabkan secara ontologis, hingga taraf tertentu, relasi diri dengan yang bukan-diri tentu saja merupakan satu persoalan penting dalam kajian pasca kolonialisme. Bila dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, dalam merumuskan identitas diri, bagaimana seharusnya individu memandang yang-lain, yang bukan-diri. Para pemikir pascakolonialisme mengajukan jawaban yang berbeda-beda atas pertanyaan ini. Dalam tataran praktis, hal ini memang menjadi kajian relasi dengan yang bukan-diri mengambil bentuk yang bervariasi. Misalnya saja, ada yang bersifat dialogis, tapi ada juga yang bersifat frontal-konfliktual. Dewasa ini, pascakolonialisme berkembang sedemikian pesat yang diterapkan ke dalam bidang yang semakin luas. Kajian pascakolonial tidak lagi sebatas menyangkut relasi sebuah bangsa bekas jajahan dan penjajah, melainkan juga diterapkan sebagai strategi politis maupun intelektual di kalangan kaum tertindas, kaum migran, kaum buruh, orang-orang yang termarjinalisasi, kaum budak, gay, lesbian dan lain-lain. Pascakolonialisme juga digunakan sebagai strategi untuk menangani masalah ras, gender, keadilan dan berbagai problematika sosial lainnya. Pada konteks ini, kajian pascakolonialisme tidak lagi menunjuk pada “negara pasca kolonial” (postcolonial state), melainkan pada “kondisi pascakolonial” (postcolonial condition).12 Sikap dialogis menjadi model yang tepat dalam berelasi dengan “yang-lain” (the Other). Hegel misalnya mengatakan bahwa keberadaan diri juga tergantung dari “yang-lain”, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, secara ontologisme “yang-lain juga hadir dalam diri, dan sebaliknya. Konsep diri tidak mungkin memperoleh kesadaran akan identitas diri tanpa adanya “yang-lain” yang memberi pengakuan atas keberadaan diri, dan itulah prasyarat fundamental sebuah identitas. Karena itu, Hegel mengatakan bahwa subyek atau identitas tidak pernah diam secara absolut pada diri sendiri, melainkan selalu mendefinisikan dalam relasionalitasnya dengan “yang-lain”. Identitas atau subyek berarti berada pada diri sendiri sekaligus berada pada “yang-lain”, atau dalam bahasa Hegel, sebagai Stephen Slemon, “Post-colonial Critical Theories”, dalam Gregory Castle (ed.), Postcolonial Discourses: An Anthology (Massachusetts: Blackwell, 2001),hlm. 102. 12 10 subyek maka posisi diri “berada pada diri sendiri dan berada pada “yang-lain” (Beisich-selhst-seinim Anderssein). Hegel menyebut ini “kesadaran pada dan bagi dirinya sendiri” (an-und-fur-sich-sein). 13 Namun kesadaran ini juga sekaligus merupakan momen transformasi diri karena kemudian sang diri menyadari bahwa “yang-lain” bukan lagi sebagai “yanglain”, melainkan sebagai bagian esensial dari diri saya. Namun demikian, karena relasi dialektis kesadaran diri ini bersifat resiprokal, transformasi serupa juga dialami kesadaran diri yang lain semua yang ditemui adalah diri sendiri. Dalam mentransformasi semua yang ditemui itu, terjadi pula transformasi diri sendiri. Transformasi kedua kesadaran diri ini adalah kata lain dari sikap saling mengakui, di mana yang satu tidak semata-mata tidak mengobyekan yang lain, melainkan kedua-duanya menjadi subyek. Poin penting yang bisa dipetik dari ontologi sosial Hegel ini adalah konsep relasi dengan “yang-lain” merupakan elemen yang tidak terhindarkan dalam keberadaan individu. Bahkan bisa dikatakan bahwa esensi keberadaan individu terletak dalam logika relasionalitas tersebut. Oleh karena itu, mendestruksi “yanglain”, sebagaimana dianjurkan oleh para pemikir yang disebut di atas, secara ontologis sama dengan mendestruksi diri sendiri. Gaya berpikir semacam ini barangkali tidak begitu cocok (compatible) dengan gaya konsep pasca kolonialisme. Namun demikian, kenyataan sebenarnya menunjukan bahwa tindakan yang positif dan dialogis jauh lebih konstruktif dan produktif dibandingkan dengan tindakan yang destruktif.14 2. Etnis, Etnisitas, dan Identitas Etnik atau etnos dalam bahasa yunani mengacu pada pengertian identik pada dasar letak geografis dalam suatu batas-batas wilayah dengan sistem politik tertentu. Kata etnis menjadi suatu predikat identitas seseorang atau kelompok. Misalnya saja seseorang atau kelompok yang menjadi Jawa, Bugis, Sunda, Inggris, 13 G.W.F. Hegel, 1998, Phinomenologie des Geistes (Fenomenologi Roh), Hamburg: Felix Meiner. Kata Pengantar (Vorrede), hlm. 25 14 Bruno Leibruckss, Sprache und Bewusstsein, Band 5, die zweite Revolution derr Denkungsart,Hegel: Phanomenologie des Geistess (Frankfurt/M: Akademische Verlagsgesellschaft, 1970),hlm. 85. 11 Belanda, atau Afrika, atau menjadi Madura, Papua, Cina, sekaligus juga tidak bisa meminta untuk menjadi Batak, Minahasa, atau Melayu dan sebagainya. Predikat tersebut menjadi suatu yang ‘taken for granted’ yang diperoleh sedari awal kelahiran.15 Ikatan-ikatan etnis tersebut terwujud dalam kumpulan orang, kelengkapankelengkapan primordial seperti derajat, martabat, bahasa, adat istiadat dan atau yang dibebankan setiap anggota yang di lahirkan dalam kelompok tersebut dan menjadikannya serupa dengan anggota kelompok yang lain. Karakteristik yang melekat pada satu kelompok etnis ditandai dengan tumbuhnya perasaan “sense of community” (perasaan dalam satu kelompok). Perasaan tersebut menimbulkan kesadaran akan hubungan yang kuat, dan dapat tumbuh pula perasaan “kekitaan” pada diri anggotanya. Penggunaan kata “kita” dalam identifikasi kelompok etnis meniliki dua pandangan pengertian, yaitu: (1) sebagai sebuah unit obyektif yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang, atau (2) hanya sekedar produk pemikiran seseorang yang kemudian menyatakannya sebagai suatu kelompok etnis.16 Berdasarkan penjelasan di atas, secara sederhana dapat dipahami bahwa makna etnis dari penampakan fisik adalah tubuh. Ciri khas fisik tersebut berfungsi sebagai penanda yang menegaskan “siapa kita” dan “siapa mereka” yang bisa membangkitkan rasa solidaritas dan persaudaraan. Pada beberapa kasus, identitas etnis dapat menimbulkan permusuhan. Bisa dipahami bahwa kelompok etnis adalah suatu suku bangsa yang memiliki budaya dan bahasa tersendiri dalam sebuah komunitas masyarakat yang hidup berinteraksi dan berdialog dengan unit yang lain. Jadi sebenarnya makna etnis adalah sebuah pola relasi antar manusia. Dalam hal ini adalah pola yang diwarnai adanya pembatasan atas dasar ciri-ciri dan penampilan fisik seperti warna kulit, warna rambut, agama, bahasa, dan adat istiadat. 17 Ada yang menarik dari pendapat yang dikemukakan oleh Federik Barth yang 15 Lihat Rex, John dan Beatrice Drury (eds), 1993, Ethnic Mobilization in Multicultural Europe. Avebury, hlm. 8 16 Manger, Martin N., 1994, Race and Ethnic Relations, American and Global Perspective, California: Wordswarth Publishing Company,hlm. 13 17 Ubed Abdillah, 2002, PolitikIdentitasEtnis: PergulatanTandaTanpa Identitas, Magelang,Yayasan Indonesia Tera, hlm. 79. 12 memandang identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial yang kompleks, manakala batasan-batasan simbolik terus-menerus membangun dan di bangun dari faktor hitungan sejarah, dari bahasa, dan pengalaman masa lampau. 18 Dari sisi yang berbeda Erikson menegaskan bahwa kemunculan kelompok etnis tersebut paling sedikit telah menjalin hubungan atau kontak dengan etnis yang lain, dan masingmasing menerima gagasan dan ide-ide perbedaan diantara mereka seperti secara kultural. 19 Pemaparan konsep tentang etnis tersebut di atas menimbulkan pertanyaan besar mengenai apa bedanya kata “etnis” dan “etnisitas” itu sendiri. Untuk jawabannya, dapat dijelaskan bahwa kata etnisitas itu sendiri seperti yang dijelaskan oleh Barker, merupakan sesuatu yang tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Etnisitas merupakan konsep relasional yang mendasarkan pada kategorisasi identifikasi diri (Self identification). 20 Lebih lanjut Barker menjelaskan bahwa apabila syarat ini terpenuhi maka tidak ada yang namanya etnisitas, karena etnisitas pada hakikatnya adalah sebuah aspek pola hubungan, bukan milik suatu kelompok. Hubungan relasi tersebut tidak selamanya merupakan hubungan yang harmonis. Konflik atau ketegangan antar kelompok etnis merupakan bagian dari relasi tersebut, di mana seseorang bisa dikatakan sebagai orang jawa, Batak, dan Papua hanya dengan kerangka hubungan interaksi sosial. Konsep etnisitas yang dipaparkan oleh Jan Nederveen Pieterse memandang etnisitas sebagai politik kultural yang dilakukan oleh kelompok dominan 21 . Sementara Dwiyer Denis menyatakan etnisitas merupakan aspek yang penting dalam konteks hubungan antar kelompok. Pada trend ini muncul gagasan tentang perbedaan “kami” dan “mereka” dan perbedaan atas klaim terhadap dasar asal usul dan karakteristik budaya. Jika tidak ada pembedaan antara “orang dalam”(insider) 18 Barth, Frederik (ed). 1988. Kelompok etnis dan Batasannya. Terjemahan Nining L. Susilo. Jakarta : UI Press. 19 Erikson, Erik H. 1989. Identitas dan siklus Hidup Manusia. Terjemahan Agus Cremes. Jakarta: Gramedia. 20 Barker Chris, 2004, Culture Studies: Teori dan Praktik, Yogyakarta, Kreasi Wacana, hlm. 193 21 Pieterse, Jan Nederveen, 1996, “ Variieties of Ethnic Politics and Ethnicity Discourse”,dalam Wilmsen, Edwin N, dan Mc Allister, Patrick (ed), The Politics of Difference, Chicago & London, The University Press of Chicago, hlm. 2. 13 dan “orang luar” (outsider), maka tidak akan ada yang namanya etnisitas. 22 Terdapat tiga pendekatan teoritis yang bisa digunakan dalam menjelaskan fenomena etnisitas. Pendekatan tersebut adalah pendekatan primordialisme, konstruktivisme, dan pendekatan instrumentalisme. Sebagaimana yang dijabarkan, sebagai berikut: 1. Pendekatan Primordialisme Pandangan ini melihat fenomena etnis dalam kategori-kategori sosio-biologis. Pendekatan ini umumnya beranggapan bahwa kelompok-kelompok sosial dikarakteristikan oleh gambaran seperti kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa, dan organisasi sosial yang memang disadari sebagai sesuatu yang “given”, dari sananya dan tidak bisa dibantah. Argumentasi kaum primordialis tersebut menegaskan bahwa identitas etnis diperoleh sejak manusia itu dilahirkan. Sedangkan identitas kolektif dibangun melalui proses bersama dalam komunitas melalui ikatan-ikatan penyejarahan yang sama yang dilakukan dalam sosialisasi komunitas. 23 Sementara dalam kondisi masyarakat modern, konsep primordialisme sering dimanifestasikan dalam tindakan-tindakan yang mengarah pada tribalisme. Dan secara mendasar kaum primordialis merasa pesimis dengan pandangan yang menganggap bahwa manusia dapat hidup dalam satu kondisi multikultural dan multietnis.24 2. Pendekatan Konstruktivisme Pendekatan konstruktivis ini lebih menarik perhatian, yang memandang identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial yang kompleks, manakala batasanbatasan simbolik terus-menerus membangun dan dibangun oleh manfaat mitologi, suatu hitungan sejarah, dari bahasa dan pengalaman masa lampau, yang bersumber dari cerita nenek moyang, dan ikatan-ikatan kultural. Dimana manusia menyadari identitas dirinya secara otomatis. Dalam pendekatan ini para kelompok-kelompok 22 Ethnicity and Development; Geographical Perspective, Jhon Wiky & Sons Ltd, hlm. 3 Nurul Aini, 2003, Wacana Kritis Etnis Minoritas terhadap Kuasa, Skripsi Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, hlm. 69. 24 Lihat Pieterse, Jan Nederveen, 1996, “ Variieties of Ethnic Politics and Ethnicity Discourse”, halm. 27. 23 14 etnis bukan semata-mata kategori sosial melainkan merupakan sebuah kesadaran kultural. 25 3. Pendekatan Instrumentalisme Pendekatan ini lebih menaruh perhatian pada proses manipulasi dan mobilisasi politik elit yang berkuasa manakala kelompok-kelompok sosial tersebut tersusun atas dasar atribut-atribut awal etnisitas seperti, kebangsaaan, agama, ras, dan bahasa. Dalam konteks ini keterikatan dan identitas dalam etnis bukan dipandang sebagai sesuatu yang tetap. Menurut kaum instrumentalis relasi etnis akan selalu berubah. Pandangan ini senada dengan yang diutarakan oleh kaum konstruktivis yang menekankan pada aspek kesedaran etnis yang terbangun melalui konstruksi sosial. Adapun titik letak perbedaan dari dua argumen penting atau dua pendekatan tersebut terletak pada kaum instrumentalis lebih melihat dinamika kelompok etnis pada aspek kekuasaan. Secara sederhana etnis dipandang sebagai pembentukan atau produk wacana politik yang dilakukan oleh elit-elit yang berkuasa, yang selalu memanipulasi dan memanfaatkan etnis sebagai komodifikasi kepentingan politik semata.26 Dalam penjabaran teoritik ini, peneliti merasa perlu juga menjelaskan konsep identitas dalam masyarakat yang majemuk sebagai penanda batas antara etnis, etnisitas dan identitas itu sendiri. Kata identitas sendiri merupakan kata kunci yang bisa mengacu pada konotasi apa saja: sosial, politik, budaya, dan sebagainya. Identitas di situasi tertentu, bisa diartikan kekhawatiran, ketakutan atau keakuan. Pendefinisian ini terjadi pada tataran ternd identitas dalam posisi defensif. Dalam situasi globalsasi contohnya, muncul identitas bangsa (nasional). Sedangkan dalam kajian psikologi perkembangan menjadi suatu pertanyaan. Karena identitas bukanlah sesuatu yang final. Jean Buadrillard seorang tokoh modernis mengatakan bahwa penelitian tentang identitas tidaklah mudah. Dia pun menyangsikan adanya suatu identitas yang pasti 25 Lihat pula Lambang dalam Nurul Aini, 2003, Wacana Kritis Etnis Minoritas terhadap Kuasa, Skripsi Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, hlm. 70. 26 Lihat Mathias Koening, “Democratic Governance in Multicultural Societies, Social Conditions for the Implementation of International Human Rights through Multicultural Societies”, dalam MOST-Management of Social Transformation, Edisi 2 No. 11 Februri, 23, 1999, (Discussion paper). 15 pada suatu subyek yang selama ini melekat (orisinilitasnya) karena semuanya telah mengalami dekonstruksi. Di mana dalam kondisi kemajemukan suatu subyek akan kehilangan identitasnya, “in the desert one loose one’s identity”). 27 Akan tetapi, penelusuran identitas dapat kita telsuri pada tataran fundamental dan individual. Pada tingkatan ini, identitas memberikan pengertian tentang lokasi personal. Dimana Jonathan Rutherford menganologikan identitas dengan sebuah rumah yang dipakai sebagai tempat kembali dari mana berasal. Sayangnya, banyak orang ternyata tidak punya rumah, homeless, tunawisma, tidak kembali dan tidak tahu dari mana berangkat, terus-menerus dalam pencarian dan pengembaraan. Pencarian tentang sebuah identitas erat kaitannya dengan ranah humanitas dan psikologi manusia. Salah satu pengaruh akibat modernisme adalah terkikisnya sisi humanitas dari diri manusia. Di mana problem hilangnya identitas kemanusiaan menjadi bagian dari problem orang-orang modern. 28 Sementara Dalam tataran diskursus sosiologi, identitas diartikan sebagai hasil interaksi antar individu. Di mana Identitas seseorang tidak semata-mata ada secara inhern dalam dirinya sebagai individu, melainkan hasil kontruksi sosial. Dengan demikian konsep identitas merupakan sesuatu yang bersifat sosial, terbangun melalui proses sosialisasi dan berada dalam sebuah sosialitas atau realitas sosial tertentu.29 Berbagai macam situasi Identitas dapat pula diartikan sebagai konstruksi diskursif bahasa yang senantiasa berubah mengikuti perubahan waktu, tempat dan kegunaan. Di mana identitas kerapkali dibicarakan pada aspek kehidupan manusia yang menyangkut aspek etnisitas, ras, kewarganegaraan, kekerasan etnis, migrasi, asimilasi, serta hubungan individu dengan Negara. Chris Barker, misalnya mendefinisikan identitas sebagai sesuatu yang bersifat sosial dan kultural. Pendefinisian tersebut didasarkan dengan dua alasan. Pertama, karena gagasan mengenai apa dan siapakah seseorang pada dasarnya merupakan sebuah persoalan kultural. Seseorang adalah produk budayanya. Kedua, bahasa dan praktek sosial menjadi sumber proyek identitas, pada dasarnya bersifat sosial. 27 Baudillard, Jean. 1988. The Ecstasy of Communication, Semiotext (e). New York, hlm. 47 Rutherford Jonathan.1990. identity, Community, Culture, Difference. London Lawrence & Wishart. 29 Falk, Pasi. 1994. The Consuming Body. London : Sage Publication Inc., hlm. 12 28 16 Bahasa tidak dapat berkerja tanpa ada komunitas tertentu yang menerima, mempraktekkan, dan mendukungnya. 30 Penjabaran identitas dalam masyarakat terkadang lebih bersifat membicarakan kategorisasian etnis dalam suatu komunitas. Padahal komunitas bisa jadi memiliki sistem klasifikasi yang berbeda, khususnya ketika kita mendefinisikan diri mereka sendiri (merujuk suatu komunitas), dan masyarakat yang hidup sebagai komunitas tetangganya dalam kehidupan seharihari. Namun kajian-kajian identitas dewasa ini diperluas melampaui konteks lokal yang mencakup jarak diantara komunitas-komunitas secara fisik dan kultural. Beberapa studi tentang etnis minoritas menunjukan bahwa seringkali kaum komunitas minoritas dan kelompok-kelompok marjinal lainnya terbukti lebih memiliki masalah yang kompleks dan problematis terutama ketika menentukan batas-batas penanda sebuah identitas dalam sebuah komunitas di masyarakat. 3. Konstruksi Pembentukan Identitas Castells misalnya di tahun-1997, menulis dalam buku “The Power of Identity” menjelaskan konstruksi identitas terbentuk dari nilai dan pengetahuan. Proses konstruksi tersebut didasari oleh atribut kultural yaitu mengutamakan atas sumber makna lain. Karena identitas merupakan sumber nilai, pengalaman dan pengetahuan dan atribut kultural yang menjadi nilai bagi Individu atau aktor kolektif. Namun ini memungkinkan terjadinya pluralitas identitas yang didasari oleh sumber tekanan dan kontradiksi antara representasi diri (self representatif) dan aksi sosial (social action). Castells melihat bahwa identitas dibangun melalui prespektif sosiologis, maka argumen utama dari tulisan tersebut, bahwa konstruksi identitas merupakan bangunan dari sejarah, letak geografi, biologi, Agama, memori kolektif dan personal fantasies, serta kekuasaan. Tetapi individu, kelompok sosial dan masyarakat mengelolah semua itu dan mengatur ulang nilainya. Hal tersebut lebih deterministik yang berakar pada struktur sosial dalam ruang dan waktu. Castells juga berasumsi bahwa yang membangun identitas kolektif sangat ditentukan isi 30 Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice. London and New Delhi. SagePublication, hlm. 167). 17 simbol identitas tersebut dan nilai yang mereka bawah untuk dapat mengidentikasi dalam menempatkan diri. Karena menurutnya konstruksi identitas sosial selalu ditandai oleh hubungan kekuasaan, dan perbedaan bentuk dan asal usul bangunan identitas.31 Merujuk pada apa yang disampaikan Manuel Castelles dengan jelas mengatakan bahwa “The construction of identities uses building materials from history, from geography, from biology, from productive and reproductive institutions, from collective memory and from personal fantasies, from power apparatuses and religious revelations”. Castell memandang identitas dari level komunitas. Menerjemahkan identitas sebagai sesuatu yang kolektif bukan individu. Konsep identitas yang dijelaskannya menjadi sangat berkonsep kelompok seolah menegaskan bahwa di dalam diri individu itu sendiri ada perasaan sense of belonging and sense of difference yang mampu dikonstruksikan sendiri. Artinya pembentukan awal identitas berada di level individual dan mungkin saja antara satu dengan yang lainnya berbeda. 32 Identitas adalah sumber manusia tentang makna dan pengalaman. Melalui identitas kita dapat memahami bagaimana konstruksi makna dalam suatu basis atribut budaya, sehingga kemudian menjadi terprioritaskan dibanding sumber makna yang lain. Identitas harus dibedakan dengan apa yang dalam sosiologi disebut sebagai peran yang didefinisikan melalui norma-norma yang terstrukturkan oleh institusi dan organisasi masyarakat. Besarnya pengaruh peran dalam mempengaruhi perilaku seseorang tergantung pada negosiasi dan pengaturan antara individu dan institusi atau organisasi masyarakatnya. Sementara identitas adalah sumber makna bagi aktor itu sendiri dan dengan sendirinya dibangun melalui proses individuasi. Namun demikian, Manuel Castells menyebutkan bahwa identitas juga bisa berasal dari institusi dominan, mereka bisa menjadi identitas hanya ketika dan jika aktor sosial menginternalisasikannya, dan mereka mengkonstruksikan maknanya didalam internalisasi ini. Namun identitas merupakan sumber makna yang paling 31 32 Castells, Manuel. 1997. The Power of Identity. Oxford: Blackwell. Ibid 18 kuat daripada peran, karena proses konstruksi pribadi dan individuasi yang melibatkan mereka. Dalam makna yang sederhana, identitas mengatur makna, sementara peran mengatur fungsi. Dalam perspektif sosiologi, semua menyepakati bahwa seluruh identitas adalah dikonstruksikan. Permasalahan utama dalam hal ini adalah, bagaimana, dari apa, oleh siapa, dan untuk apa. Sebagai sebuah hipotesis Manuel Castells menyebutkan bahwa secara umum, siapa yang mengkonstruksikan identitas kolektif, dan untuk apa, secara luas menunjukkan makna simbolik dari identitas ini, hal tersebut berarti bagi mereka yang mengidentifikasikan diri mereka dengan identitas ini atau menempatkan diri mereka diluar identitas tersebut. Dikarenakan konstruksi sosial identitas selalu dalam konteks yang ditandai dengan relasi kekuasaan, Manuel Castells membuat perbedaan diantara tiga bentuk dan asal bangunan identitas 33: a. Legitimizing identity: diperkenalkan oleh institusi masyarakat dominan untuk memperluas dan merasionalisasikan dominasi mereka terhadap aktor sosial, merupakan inti dari teori otoritas dan dominasi Sennet, namun juga cocok dengan berbagai teori nasionalisme. b. Resistance Identity : dihasilkan oleh aktor-aktor yang berada dalam posisi/kondisi terdevaluasi, dan/atau terstigmatisasi oleh logika dominasi, sehingga membangun parit perlawanan dan pertahanan dalam basis dengan prinsip bentuk yang berbeda, atau melawan, seperti yang disebutkan oleh Calhoun ketika menjelaskan munculnya identitas politik. c. Project Identity : ketika seorang aktor sosial, dengan basis materi budaya apapun yang melekat padanya, membangun sebuah identitas baru yang mengubah posisi mereka, dan dengan demikian mencari transformasi struktur sosial secara keseluruhan. Dalam hal ini, bangunan identitas adalah sebuah proyek kehidupan yang berbeda, bisa berasal dari sebuah identitas yang tertindas, namun kemudian berkembang menuju transformasi masyarakat sebagai perpanjangan dari proyek identitas ini. Contohnya 33 Ibid, hlm. 8 19 masyarakat post patriarki, pembebasan perempuan, laki-laki dan anak, melalui realisasi identitas perempuan. Selain konsep pembentukan identitas di atas, kontruksi identitas pun secara sosial pernah dijelaskan oleh Peter L. Beerger dan Thomas Luckmann. Yang mencoba menganalisis proses dimana orang menciptakan realitas sosial sehari-hari. Meraka menyebut proses tersebut sebagai proses kontruksi realitas simbolik. Menurut Berger dan Luckmann, dunia sosial adalah produk manusia, ia adalah konstruksi manusia dan bukan merupakan sesuatu yang terberi begitu saja. Dunia sosial dibangun melalui tipifikasi-tipifikasi yang memiliki referensi utama pada objek dan peristiwa yang dialami secara rutin oleh individu dan dialami bersama dengan orang lain dalam sebuah pola yang taken for granted. 34 Antony Giddens, misalnya memahami identitas diri sebagai keahlian seseorang yang berusaha mengkonstruksi cerita identitas yang saling bertalian di mana diri membentuk lintasan perkembangan dari pengalaman masa lalu menuju masa depan.35 Lebih lanjut Gidens pun menjelaskan bahwa identitas diri bukan sifat yang distingtif, atau merupakan kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh individu. Dimana identitas diri dapat dimaknai sebagai pengertian secara refleksi oleh seorang dalam biografi yang dimilikinya. Oleh karena itu, identitas dapat dipahami sebagai sebuah konstruksi tentang diri yang terus berproses, tidak statis, terus mengalami pencarian, dan adaptif terhadap situasi, serta fleksibel dengan perubahan. 36 Konstruksi identitas pernah pula diulas oleh Ben Anderson pada tahun-1991 lewat tulisannya yang menceritakan paska masuknya negara dalam proses konstruksi identitas. Dalam kondisi tersebut Identitas etnis menghubungkan dirinya dengan konstruksi negara baru dan melepaskan identitas-identitas tradisionalnya yang lama. Dan proses konstruksi identitas di-era tersebut selalu terkait dengan identitas nasional di mana individu atau kelompok memasukkan pertimbangan identitas nasional sebagai perioritas utama. Namun demikian, kelemahan argumen 34 Lihat Berger, Peter L. and Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, LP3ES, Jakarta,1990, hlm. 23 35 Giddens, Anthony, Modernity and Self-Identity:Self and Society in the late Modern Age, Polity Press, Cambridge,1991, hlm. 75 36 Lihat juga Giddens, 1991, hlm. 53. 20 Anderson dalam tulisannya adalah tidak lebih jauh menjelaskan mengapa masyarakat tradisional melepaskan identitas mereka yang lama demi mengganti dengan idenitas yang baru.37 Sebagai penjabaran konsep Anderson tersebut peneliti mencoba memecahkan pertanyaan ini dalam penelitian yang hendak dilakukan dengan mencoba menjelaskan apa yang membuat sebuah etnis (khususnya mahasiswa papua) melakukan peleburan identitas menjadi identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta? 4. Ruang Publik Banyak cara sebuah komunitas mengekspresikan identitas mereka di ranah publik mulai dari cara berpenampilan, berbicara, dan bahkan sampai dalam berperilaku. Kesemuanya itu menurut peneliti adalah strategi perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dikalangan kelompok-kelompuk tertentu. Modal simbol identitas yang dimiliki kelompok Papua, untuk mewujudkan sasaran perjuangan tersebut dibutuhkan waktu yang cukup lama. Apalagi bila diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan identitasnya ditingkat Nasional. Perjuangan tersebut sebagai suatu kondisi, di mana subyek (komunitas mahasiswa Papua) dapat melestarikan keunikan dan karakter-karakter spesifiknya dengan dukungan dari komunitas tempat ia tinggal. Ruang publik tidak merupakan suatu ruang fisik, tetapi suatu ruang sosial yang diproduksi oleh tindakan komunikatif. Ruang publik juga bukan suatu institusi atau organisasi politik, tetapi suatu ruang tempat warganegara terlibat dalam deleberasi dialogal mengenai isu publik, juga bukan institusi pengambilan keputusan, bukan pula suatu pertemuan publik dengan agenda tertentu. Tetapi ruang publik dapat diartikan sebagai suatu arena dan tempat dilakukan pembicaraan yang “tak terikat secara institusional”. Melalui dialog dalam ruang publik kita mengaitkan “apa yang ada dalam diri kita, “dengan apa yang ada dalam kelompok komunitas, “pengalaman personal”, ataupun dengan makna dunia politik”. 38 37 Ben Anderson. 1991, Komunitas-Komunitas Imajiner; Renungan Tentang Asal-Usul Dan Penyebaran Nasionalisme. Terjemahan Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press 38 Di rangkum dari Joohan Kim & Eun Joo Kim, “ Theorizing Dialogic Delliberation; hlm. 63. 21 Habermas misalnya merumuskan apa itu “ruang publik” beserta unsur-unsur yang terkait di dalamnya dengan mengatakan ruang publik pertama-tama dimaksudkan suatu wilayah kehidupan sosial yang kita maknai apa yang disebut opini publik terbentuk. Dimana akses kepada ruang publik terbuka bagi semua warganegara. Sebagian dari ruang pubilk terbentuk dalam setiap pembicaraan dimana pribadi-pribadi berkumpul untuk membentuk suatu ‘publik’. Bila publik menjadi besar, komunikasi ini menuntut suatu sarana untuk diseminasi dan pengaruh; zaman sekarang surat kabar dan majalah, radio dan televisi menjadi media ruang publik.39 Konsep ruang publik secara normatif, seringkali didefinisikan sebagai suatu arena kehidupan sosial, tempat orang dapat berkumpul bersama, dan secara bebas mengidentifikasi dan mendiskusikan berbagai bentuk permasalahan sosial. Sejalan dengan meningkatnya intensitas diskusi dan berjalannya waktu, proses-proses yang terjadi didalam ruang pubilk nantinya akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik di masyarakat. 40 Secara ideal, ruang publik juga sering dibayangkan sebagai ruang diskursif, dimana setiap orang dan setiap kelompok dapat berkumpul untuk membicarakan soal-soal yang berkaitan dengan kepentingan bersama, sehingga bila mungkin mereka bisa sampai pada keputusan bersama. Ruang publik dapat dipandang sebagai sebagai suatu teater raksasa di dalam masyarakat modern. Dimana partisipasi politik didorong melalui pembicaraan dan diskusi politik. Di dalam ruang publiklah opini publik yang sesungguhnya bisa dibentuk.41 Ruang publik juga seringkali dipahami sebagai ruang penghubung antara ruang privat di satu sisi, dan ruang otoritas publik (sphere of public authority) di sisi lain. Ruang privat berkaitan dengan keluarga, sementara ruang otoritas publik berkaitan langsung dengan legitimasi suatu pemerintahan Negara tertentu. Ruang publik J. Habermas, “The public sphere”. Dalam C. Mukerji& M. Schudson (Epds), Rethingking popular Culture; Contemporary perspektives in Culture Studies. Berkeley; University of California prews,1991, hal 398. Seperti dikutip oleh Joohan Kim & Eun Joo Kim “ Theorizing Dialogic Delliberation; Everyday political talk as Communicative Action and Dialogue”. Dalam Communication Theory 18 (2008), hlm. 65. 40 Lihat , http://en.wikipedia.org/wiki/Public_sphere, di unduh pada Senin, 11 februari 2013, pada pukul, 17:04 pm. 41 Lihat, Reza A.A Watimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta, Kanisius, 2007, hlm. 97-150. 39 22 bergerak di dalam tegangan di antara dua ruang ini sedemikian rupa sehingga negara, mau tidak mau, menjalankan pemerintahannya dengan terus-menerus berkonsultasi pada opini publik melalui ruang publik. Senada dengan hal tersebut di atas, Habermas sangat tegas menjelaskan ruang publik memberikan peran yang penting dalam proses demokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhankebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik harus bersifat otonom, tanpa intervensi dari pemerintah. Ruang publik merupakan sarana warga berkomunikasi, berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap terhadap problematika politik. Ruang publik tidak hanya sebagai institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi antar warga itu sendiri. Teori ruang publik lainnya mendasarkan diri pada pengandaian normatif, bahwa setiap keputusan politik terbentuk di dalam ruang publik, dan pemerintah yang dianggap sah adalah pemerintah yang setiap tindakannya mengacu terus pada proses diskursif yang berlangsung di dalam ruang publik. Akan tetapi, ini tetap merupakan suatu bentuk pengandaian ‘normatif’. Faktanya, ruang publik selalu didistorsi oleh kekuasaan, sehingga tidak pernah ada keputusan politik yang didasarkan pada mekanisme diskursif ruang publik yang sungguh adil, serta mencerminkan apa yang sesungguhnya menjadi kepentingan bersama. Menurut Richard Rorty ruang publik tidak selalu didasarkan pada rasionalitas. Banyak keputusan-keputusan yang diperdebatkan di dalam ruang publik sering kali lebih memberi porsi pada sentimen-sentimen dan afeksi-afeksi, yang tidak didasarkan pada argumentasi rasional. Ruang publik ini disebut juga sebagai ruang publik peotik (peotic public sphere). 42 Diskursus Ruang publik merupakan wilayah otonom dari impretatif-impretatif pasar dan negara yang dianggap sebagai syarat terpenting dalam demokrasi yang didalamnya membawa kebebasan berfikir, berbicara, berkomunikasi tanpa 42 Lihat Richard Rorrty, Contingency, irony, and solidarity, Cambridge, Cambridge University press, 1989. 23 diskirminasi, manipulasi dan represif. 43 Walaupun diskursus ruang publik mendapat perdebatan antara pemikiran Arendt dan Habermas akan tetapi benang merah dari diskursus Ruang publik kedua pemikir ini saling berhubungan. Arendt memikirkan ruang publik sebagai sesuatu yang tidak terkontaminasi kepentingan-kepentingan kekuasaan rezim dan kepentingan ekonomis. Sementara Habermas menghitung “kekerasan Struktural” dan memungkinkan komunikasi yang terdistorsi secara sistematis sebagai sesuatu yang beroperasi di dalam ruang publik. 44 Dengan konsep yang lebih sedehana Habermas membagi-bagi ruang publik, sebagai tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, sebagai pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dst.), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst.), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), dan legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar).45 Dengan demikian, maka ruang publik begitu banyak terdapat di tengah-tengah masyarakat. Ruang publik tidak dapat dibatasi. Di mana ada masyarakat yang berkomunikasi, berdiskusi tentang tema-tema yang relefan, maka disitulah akan hadir ruang publik. Ruang publik berifat bebas dan tidak terbatas. Ia tidak terikat dengan kepentingan-kepentingan pasar ataupun kepentingan-kepentingan politik. Dalam konteks Identitas kolektif ala Castells, identitas adalah bentuk perlawanan atas tekanan-tekanan sosio-politik dari kelompok etnis. Dan perlawanan identitas dilakukan sebagai gerakan sosial yang terjadi dalam masyarakat yang dibungkus dengan identitas kolektif yang belum mendapatkan dan memanfaatkan teknologi informasi. 46 Bila castells mengasumsikan identitas sebagai sebuah gerakan sosial pada masyarakat jaringan.Dari sisi yang lain pemikiran Habermas dan Arendt lebih menyoroti tentang ruang publik sebagai kebebasan maka, dalam konteks kelompok komunal papua, gerakan identitas sosial terbentuk diranah ruang publik sebagai arena perjuangan kepentingan. 43 F.budi Hardiman. (eds) Ruang public, melacak partisipasi demokratik, dari polis sampai cyberspace. 2010. Yogyakarta. Kanisius,hlm. 185 44 Ibid, hlm. 190. 45 Ibid, hlm. 128 46 Lihat Manuel Castels. Dalam buku The Power Identity. 24 Gerakan komunitas Papua dalam membentuk identitas mereka di ruang publik melalui himpunan atau forum mahasiswa, dengan adanya ruang komunikasi, berkespresi dan berdisuki antara sesama mahasiswa, komunitas ini dapat mengakomodasi kepentingan kolektif yang lama terbangun dalam memori alam pikir mereka yakni kemerdekaan Papua. Perkembangan teknologi komunikasi dan bahan bacaan serta menjadi peluang besar bagi mereka dalam memanfaatkan teknologi untuk memperkuat identitas Ke-Papua-an. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Apabila ditinjau dari pendekatan yang digunakan, maka metode penelitian ini merupakan studi lapangan dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah di mana peneliti berperan sebagai instrumen kunci, dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan secara gabungan dan analisis data bersifat induktif guna memperoleh hasil penelitian yang lebih menekankan makna daripada generalisasi. 47 Pendekatan kualitatif pada penelitian ini dilakukan melalui wawancara dan observasi langsung ke lokasi yang menjadi obyek utama penelitian, yaitu komunitas mahasiswa Papua yang tersebar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Apabila ditinjau dari metode analisisnya, maka penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis penelitian deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik merupakan penelitian yang dilakukan melalui upaya untuk menjelaskan data dan fakta di lapangan dengan kata-kata tertulis, kemudian menganalisisnya secara mendalam. Tujuan analisis penelitian ini untuk menelusuri secara deskriptif tentang keberadaan komunitas-komunitas mahasiswa Papua di berbagai asrama di Yogyakarta (berdasarkan Kabupaten) dalam membangun identitasnya. Pada tahap analisis, peneliti akan mengkaji secara mendalam tentang komunitas-komunitas mahasiswa Papua yang tersebar di berbagai asrama, dari berbagai daerah asalnya dalam cara dan konstruksi identitasnya. Dalam membentuk peleburan identitas kesukuan 47 Sugiyono, 2011, Metode Penelitian: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, hal. 8. 25 menjadi identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta, komunitas tersebut tentunya mengekspresikan identitas di ruang publik. Bagi peneliti, identitas “Ke-Papua-an adalah identitas baru yang coba di konstruksikan yang muncul di Yogyakarta. Untuk menjelaskan hal tersebut, peneliti lebih menggunakan pendekatan teoritis “Manuel Castells”, yang dibantu dengan penjabaran teoritik logika berpikir diri dan “the other” dalam kajian postcolonial. Dalam usaha mengembangkan teori tersebut di atas, maka studi lapangan ini digunakan untuk mengidentifikasi situasi kondisi dinamika komunitas mahasiswa Papua dan identitasnya. Disamping itu, penelitian ini juga merupakan studi dokumentasi yang membimbing peneliti pada penelusuran data sekunder dari segenap teks yang berkaitan dengan pembentukan identitas “ke-Papua-an” di Yogyakarta. 2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan melalui studi secara mendalam terhadap proses pembentukan identitas Ke-Papua-an oleh komunitas mahasiswa Papua yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelusuran data dilaukan secara langsung pada beberapa komunitas mahasiswa Papua yang tinggal di asrama ataupun yang tinggal di luar asrama. Dengan mempertimbangkan fisibilitas yang dimiliki peneliti dan mengingat banyaknya jumlah asrama Papua di kota Yogyakarta, maka penelusuran data hanya dibatasi pada komunitas mahasiswa Papua beserta organisasi/aliansi serta paguyuban-paguyuban yang berada di asrama Propinsi sebagai asrama pusat, dan di beberapa asrama kabupaten/kota yang dianggap mampu membantu untuk menjelaskan kebersamaan di asrama ataupun di berbagai organisasi-organisasi kemahasiswaan yang diikutinya. Pemilihan asrama yang dijadikan sebagai lokasi pengumpulan data penelitian didasarkan atas pertimbangan intensitas pola interaksi antar suku-suku yang ada lebih beragam. Berbagai suku-suku yang berasal di daerahnya dengan tingkat perbedaan tersebut, diyakini dapat mewakili kompleksitas Papua di daerahnya. Asrama-asrama berdasarkan Kabupaten yang ada di Yogyakarta merupakan representasi kehidupan orang Papua yang memiliki hak otonom antara satu suku dengan suku yang lain. Penelitian ini memfokuskan pada peleburan identitas Papua 26 yang masih berdasarkan suku-suku tersebut, menjadi identitas kebersamaan di tanah rantau yang dilakukan oleh komunitas mahasiswa Papua yang terpencar di berbagai asrama dengan latar belakang suku yang berbeda-beda pula. Peleburan identitas Ke-Papua-an tersebut tentunya dilakukan pada berbagai organisasi dan asrama-asrama Papua di kota Yogyakarta. Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian. Oleh karena itu, seorang peneliti harus terampil dalam mengumpulkan data agar mendapatkan data yang valid. Ada bermacam-macam cara yang dapat dipergunakan untuk mengumpulkan data, informasi serta menguji data dan informasi tersebut. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Wawancara Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Wawancara dalam studi ini dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap informan yang dianggap mengetahui masalah konstruksi pembentukan identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta. Tipe wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalalah tidak terstruktur, yaitu dengan cara memberi kebebasan dan kesempatan pada informan untuk mengeluarkan pendapatnya. Informan penelitian ini meliputi beberapa macam yaitu informan utama dan informan biasa. Informan utama yaitu sumber data yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Informan utama yang dipilih dalam penelitian ini adalah tokoh agama serta ketua paguyuban atau asrama komunitas mahasiswa Papua yang tersebar di kota Yogyakarta. Alasan dipilihnya informan utama tersebut adalah dengan pertimbangan bahwa tokoh-tokoh tersebut merupakan pihak yang memahami tentang permasalahan yang dibahas dalam penelitian. Informan biasa adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Dengan demikian, informan biasa harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah para mahasiswa Papua di asrama ataupun di berbagai 27 organisasi komunitas Papua. Dalam proses wawancara, peneliti dapat mengajukan pertanyaan yang bersifat terbuka, sehingga dapat memunculkan pandangan dan opini dari subjek penelitian. adapun jumlah keseluruhan informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 6 orang. Obsevasi Observasi adalah kegiatan pengamatan terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra manusia, yakni melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan mengecap. Observasi ini digunakan untuk penelitian yang telah direncanakan untuk memperoleh data lapangan. Pengamatan langsung di lokasi penelitian dilakukan untuk menemukan lokasi asrama mahasiswa Papua sebagai obyek kajian. Lebih lanjut, pengamatan secara akurat dilakukan untuk mengamati perilaku mahasiswa Papua baik secara individu atau kelompok dalam membentuk peleburan identitas melalui organisasi mahasiswa sebagai wadah. Pengamatan secara akurat juga dilakukan untuk mengamati ekspresi identitas KePapua-an yang terbentuk di ruang publik, baik secara fisik maupan ruang publik dalam tataran diskursif. Analisis Dokumen Studi pustaka dilakukan dengan mencari dan membaca berbagai dokumen dan literatur yang berbentuk buku-buku, jurnal, maupun artikel-artikel sesuai dengan aspek yang akan diteliti. Studi ini dilakukan untuk memperoleh landasan keilmuan sebagai penunjang dalam mempelajari dan menganalisa permasalah penelitian. Selain itu, studi pustaka juga dilakukan untuk mengetahui posisi obyek yang akan diteliti melalui penelitian-penelitian sebelumnya atau sejenis yang telah ada. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu 48 . Analisis dokumen adalah sebuah gambaran dari isu atau masalah, yang dapat dikonstruksikan melalui dokumen-dokumen seperti surat-surat, memo-memo, pengumuman-pengumuman, hasil kerja, hasil peniaian, arsip-arsip, laporan-laporan, time table atau tabel waktu, kebijakan, dan pengaturan. Dokumentasi diperlukan karena metode dokumentasi mempunyai nilai lebih dalam pengungkapan terhadap sesuatu hal dan kejadian yang 48 Sugiyono, 2010, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, hal. 82. 28 telah didokumentasikan. Metode dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder melalui dokumen-dokumen yang telah tersedia. Dokumentasi diperlukan dalam penelitian ini karena data yeng diperoleh dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan triangulasi data penelitian. Data yang diperoleh melalui metode dokumentasi adalah data bahan tertulis yang bisa digunakan untuk memperkuat hasil penelitian sehubungan dengan konstruksi identitas komunitas mahasiswa Papua di Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan salah satu proses yang terintegrasi dalam pelaksanaan penelitian ini. Dengan demikian, kegiatan ini sangat berkaitan dengan jenis penelitian yang dipilih, rumusan masalah dan tujuan penelitian, jenis data, serta asumsi-asumsi teoritis yang melandasi kegiatan penelitian. Setiap rangkaian dan tahapan dalam penelitian ini sangat diperhatikan agar mampu melakukan analisis data sehingga penelitian yang dilaksanakan bersifat koheren. Analisis data pada penelitian ini dilakukan melalui analisis deskriptif kualitatif. Analisis data secara deskriptif kualitatif dilakukan terhadap data hasil penelitian. Hasil penelitian tersebut antara lain data mengenai identitas komunitas Papua yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan melacak material konstruksi yang membangun Ke-Papua-an tersebut sebagai suatu realitas identitas. Selain itu, analisis juga dilakukan terhadap data mengenai cara komunitas Papua ini mengekspresikan identitas Ke-Papua-an yang telah dibentuk diruang publik beserta implikasi aspek sosial, dan politik yang ditimbulkan. Analisis data secara kualitatif dilakukan dengan menganalisis data hasil penelitian. Proses penemuan yang sistematis dari catatan interview, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang telah dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap data dalam penelitian ini, sehingga penemuan dapat disajikan. 49 Analisis data harus dilakukan dengan pendekatan yang baik, yaitu menguji validitas temuan-temuan dengan meramalkan apa yang terjadi pada kasus selanjutnya enam bulan atau satu tahun sebelumnya. 49 Robert C. Bogdan & Sari K. Biklen, 2003, Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, Boston: Ally and Bacon, Inc, hal. 153. 29