VI. PEMBAHASAN UMUM Oligosakarida merupakan salah satu sumber prebiotik yang dapat dijadikan sebagai nutrisi untuk pertumbuhan bakteri probiotik. Buah rumbia (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai penghasil oligosakarida. Hasil analisis High Performance Liquid Chromatography (HPLC) menunjukkan bahwa komponen oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia terdiri atas: sukrosa, rafinosa, dan stakhiosa. Oligosakarida tersebut dapat difermentasi oleh mikroba L.casei Rhamnosus dan B. bifidum, yang ditunjukkan dengan tumbuhnya koloni yang dikelilingi zona kuning (Gambar 8). Sukrosa, stakhiosa dan rafinosa merupakan komponen oligosakarida yang berperan sebagai prebiotik. Rafinosa adalah trisakarida yang terdiri dari monomer fruktosa, galaktosa dan glukosa. Smiricky-Tjardes et al. (2003) melaporkan secara in vitro rafinosa/stakhiosa lebih cepat difermentasi menghasilkan asam lemak rantai pendek dibandingkan dengan FOS. Pada kultur murni yang ditambahkan rafinosa dan stakhiosa hasilnya menunjukkan bahwa rafinosa dan stakhiosa dapat dimetabolisme dengan baik oleh Bifidobacterium dan Lactobacillus. MartinezVillaluenga et al. (2005) melaporkan bahwa L.casei Rhamnosus mampu memfermentasi gula-gula seperti glukosa, galaktosa, laktosa, mannosa, selobiosa, trehalosa dan rhamnosa, serta maltosa. Beberapa hasil penelitian lain menunjukkan bahwa bakteri asam laktat (BAL) mampu menghasilkan asam-asam organik sebagai hasil fermentasi gula seperti asam asetat dan laktat (Scheinbach 1998; Makinen dan Bigret 2004), asam propionat, diasetil, reuterin (Ouwehand dan Vesterlund 2004). Asam laktat dan asetat dapat menghambat bakteri lain (patogen) sedangkan asam propionat lebih baik dalam menghambat yeast dan kapang. Oligosakarida dapat berperan sebagai prebiotik karena tidak dapat dicerna, namun mampu menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria di dalam saluran pencernaan (Weese 2002; Manning dan Gibson 2004). Manning et al. (2004) menyebutkan bahwa laktulosa, oligofruktosa, galaktooligosakarida, oligosakarida kedelai, laktosukrosa, isomaltooligosakarida, glukooligosakarida, xylooligosakarida dan palatinosa merupakan oligosakarida yang berpotensi sebagai prebiotik. Bakteri B. bifidum, B. animalis, L.casei Rhamnosus, dan L. bulgaricus mampu menggunakan gula oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia sebagai media pertumbuhannya. Keberadaan oligosakarida (sukrosa, rafinosa dan stakhiosa) menyebabkan BAL dapat tumbuh dengan baik, yang ditandai dengan bertambahnya populasi bakteri sesuai dengan interval waktu inkubasi yaitu pertumbuhan BAL pada media oligosakarida dimulai pada 0 jam hingga jam ke-24 waktu inkubasi mencapai pertumbuhan eksponensial atau fase logaritma (fase log) dan selanjutnya terjadi pertumbuhan mendatar (fase statis) dan akhirnya terjadi penurunan pada jam ke36 dan jam ke-48 waktu inkubasi. Berbeda yang terjadi pada media kontrol (MRS basis tanpa gula) pertumbuhan BAL dimulai pada jam ke-0 inkubasi dan langsung terjadi penurunan populasi pada jam ke-12 dan jam ke-24 hingga jam ke-48 waktu inkubasi. Hal ini disebabkan sokongan nutrisi pada jam ke-12 hingga jam ke-48 sudah tidak tersedia lagi sehingga populasi bakteri mengalami penurunan, dan atau kematian. Genus bakteri Lactobacillus tumbuh lebih baik pada media oligosakarida dibanding genus Bifidobacterium. Batt (1999) menyebutkan bahwa genus Lactobacillus dapat tumbuh dengan baik pada media yang kaya akan molekul komplek dengan nutrien berupa gula-gula sederhana seperti oligosakarida karena Lactobacillus dapat langsung menggunakannya sebagai sumber karbon. Berbeda dengan bakteri Bifidobacterium pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan Lactobacillus, hal ini dikarenakan beberapa genus Bifidobacterium dikatagorikan slow grower, yaitu genus bakteri dengan laju pertumbuhan yang lambat bila dibandingkan dengan bakteri-bakteri lainnya. Dallas (1999) menyebutkan Bifidobacterium di dalam usus besar berkembang tidak secepat bakteri lain pada umumnya. Ballongue (2004) menyebutkan B. bifidum kurang baik dalam memanfaatkan glukosa sebagai sumber gula, B. bifidum akan tumbuh dengan baik ketika terdapat gula-gula yang menyerupai gula-gula yang terdapat dalam susu ibu yang mengandung laktoferin, laktulosa dan kandungan laktosa yang tinggi. L.casei Rhamnosus merupakan bakteri yang potensial digunakan sebagai probiotik, karena L.casei Rhamnosus bersifat fakultatif dan mampu memfermentasikan oligosakarida ekstrak tepung buah rumbia sebagai media pertumbuhannya, serta memiliki sifat adhesi yang baik. Boris et al. (1999) menyebutkan L.casei Rhamnosus memiliki sifat adhesi sehingga menyebabkan bakteri tersebut mampu melakukan kolonisasi pada epitel mukosa dengan pembentukan bacterial film yang berperan dalam menyingkirkan bakteri patogen dari mukosa usus. Pemberian Lactobacillus spp 108 CFU dalam ransum ayam pedaging secara nyata meningkatkan bobot hidup sebesar 1%, konsumsi ransum dan konversi ransum lebih efisien (2%) (Yu et al. 2007). Konsumsi ransum ayam pedaging (Tabel 17) secara akumulatif (0-6 minggu) perlakuan probiotik (R3 dan R7) lebih tinggi dibandingkan perlakuan prebiotik, sinbiotik maupun kontrol. Tingginya konsumsi ransum pada perlakuan probiotik, diduga akibat aktivitas mikroba probiotik yang berada dalam saluran pencernaan yang berpengaruh terhadap peningkatan palatabilitas, laju degradasi fraksi serat, dan laju aliran digesta pakan (Wallace dan Newbold 1992). Konsumsi ransum pada perlakuan sinbiotik lebih rendah dan lebih efisien dibandingkan perlakuan lain. Hal ini diduga kombinasi probiotik dan prebiotik dalam ransum telah memberi pengaruh menguntungkan pada saluran cerna ayam pedaging, yaitu memperbaiki survival dan implantasi suplemen mikroba hidup dalam saluran cerna. Adanya penambahan enzim pencernaan yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut akan meningkatkan kecernaan dan penyerapan zat-zat makanan yang ada pada ransum sehingga dengan konsumsi yang rendah kebutuhan zat-zat makanan sudah terpenuhi (Aunstrup 1979; Saono dan Jeanny 1982; Fardiaz 1992). Penggunaan sinbiotik dalam ransum memberi pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan dan bobot badan akhir ayam pedaging umur 6 minggu baik yang diinfeksi maupun yang tidak diinfeksi E.coli (Tabel 18 dan 19). Tingkat efisiensi penggunaan ransum yang baik merupakan faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan dan bobot badan akhir ayam pedaging pada perlakuan sinbiotik. Sinbiotik memberikan efek positif pada kondisi lingkungan yang buruk (ancaman mikroba patogen) terhadap pertumbuhan ayam pedaging. Efek tersebut diakibatkan penekanan terhadap pertumbuhan akibat kehadiran bakteri yang merugikan seperti E.coli dapat dihindari, dan hal tersebut terlihat pada hasil penelitian yang menunjukkan terjadinya penurunan jumlah koloni E.coli pada perlakuan ransum yang mengandung sinbiotik (Tabel 23), sehingga kemampuan mencerna dan menyerap zat-zat makanan dalam ransum berfungsi dengan baik karena adanya aktivitas mikroba probiotik dan peran prebiotik dalam saluran pencernaan ayam, sehingga terjadi efisiensi dalam penggunaan ransum. Demikian juga terhadap nilai konversi ransum ayam pedaging umur 6 minggu, penambahan prebiotik dan sinbiotik dalam ransum menunjukkan nilai konversi ransum lebih rendah (P<0,05) dibandingkan perlakuan kontrol yang diinfeksi E.coli (R5). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa pemberian prebiotik pada ayam pedaging dapat memperbaiki performa, konversi ransum, berat karkas, kualitas karkas, serta meningkatkan ketersediaan vitamin dan zat makanan lain (Daud et al. 2009; Yusrizal dan Chen 2003; Daud et al. 2007; Barrow 1992; Yeo dan Kim 1997). Efek positif penggunaan prebiotik oligosakarida terhadap performa ayam pedaging dilaporkan oleh Wageha et al. (2008), Rehman et al. (2009), Waldroup et al. (2003), Yusrizal dan Chen (2003), dan pada kalkun dilaporkan oleh Zdunczyk et al. (2005). Pemberian prebiotik, probiotik, dan sinbiotik dalam ransum tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap persentase mortalitas ayam pedaging umur 0-6 minggu (Tabel 21). Secara numerik persentase mortalitas akumulatif paling rendah terdapat pada perlakuan sinbiotik dan probiotik yang tidak diinfeksi bakteri E.coli (3,25% dan 3,75%), dan paling tinggi terdapat pada perlakuan kontrol yang diinfeksi E.coli (5,50%). Pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam ransum mempunyai dampak menguntungkan terhadap kesehatan ternak, diantaranya adalah probiotik mempunyai kemampuan merombak karbohidrat sederhana menjadi asam laktat. Seiring dengan meningkatnya asam laktat, pH menjadi rendah dan mikroba patogen tidak mampu bertahan hidup secara optimal. Efek lanjutnya daya tahan mikroba patogen menjadi marginal dan kritis dalam kompetisi. Selain itu mikroba probiotik dapat menetralisasi toksin dan produksi substansi yang bersifat antibakteri (Meyer dan Tungland 2001). Manning dan Gibson (2004) menyatakan prebiotik dapat mempengaruhi fungsi imun sehingga meningkatkan daya tahan tubuh, dan menekan pertumbuhan bakteri patogen sehingga terjadi peningkatan populasi bakteri probiotik dalam saluran pencernaan. Dengan demikian keberadaan probiotik dan prebiotik dalam ransum dapat menciptakan keseimbangan mikroflora usus, melalui mekanisme kerja prebiotik dan probiotik (CFNP TAP Review 2002; Newman 2001). Sehingga perkembangan organisme-organisme patogen yang menyebabkan penyakit akan mengalami hambatan sehingga meningkatkan respon imun dan menekan kematian ayam pedaging. Keberhasilan usaha ternak tidak hanya dipengaruhi oleh efisiensi ransum akan tetapi perlu juga dilihat indeks produksinya (Gambar 18). Indeks produksi ayam pedaging dipengaruhi oleh bobot badan akhir, persentase ayam hidup, lama pemeliharaan dan nilai konversi ransum. Indeks produksi ayam pedaging tertinggi dicapai pada perlakuan prebiotik dan sinbiotik, serta dinyatakan memperoleh prestasi istimewa. Dengan demikian penggunaan prebiotik dan sinbiotik dalam ransum memberi sumbangan yang cukup berarti bagi peningkatan keuntungan usaha ayam pedaging. Keadaaan histopatologi usus halus ayam pedaging akibat pemberian prebiotik, probiotik dan sinbiotik dalam ransum selama 6 minggu pemeliharaan tidak menunjukkan dampak negatif terhadap kondisi usus (duodenum, jejunum dan ileum) yang tercermin dari skor lesio relatif lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol yang diinfeksi E.coli (R5). Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan prebiotik, probiotik dan sinbiotik dalam ransum ayam pedaging tidak memberikan efek negatif terhadap ekosistem usus halus, bahkan sebaliknya prebiotik, probiotik dan sinbiotik ini dapat mempertahankan kondisi usus halus tetap baik meskipun ayam telah diinfeksi E.coli. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prebiotik, probiotik dan sinbiotik dapat mencegah dan mempertahankan mukosa usus dari serangan mikroba patogen. Perlindungan usus halus dari ancaman infeksi E.coli erat kaitannya dengan terpicunya fungsi sistem pertahanan mukosa ayam pedaging yang diperankan oleh sel goblet, sel mast mukosa, dan eosinofil sehingga sebagian besar E.coli dapat dikeluarkan dari saluran cerna sehingga membantu sistem imun ayam pedaging dengan cara meningkatkan produksi antibodi (Bloksma et al. 1979), meningkatkan aktivitas makrofag (Perdigon et al. 1986), limfosit, meningkatkan produksi musin dalam usus sehingga meningkatkan respon imun alami, menghambat patogen dalam usus karena persaingan dalam mendapatkan nutrisi dan membentuk biosurfaktan dan molekul koagregasi yang mencegah pelekatan dan penyebaran patogen pada sel epithelial, menurunkan pH dengan dihasilkannya asam laktat, sehingga tidak nyaman bagi patogen untuk tumbuh. Apabila bakteri patogen masuk kedalam usus, maka hal pertama yang akan terjadi adalah sistem perlawanan yang dilakukan oleh sel goblet dengan cara mengeluarkan cairan (mukus) untuk mengusir bakteri patogen. Jika sel goblet tidak dapat mengusir bakteri patogen maka sistem pertahanan seluler akan maju dengan cara mengeluarkan sel-sel limfosit, makrofag dan heterofil untuk menyerang bakteri patogen, sampai akhirnya terbentuk sarang radang (Balqis et al. 2007). Skor lesio usus halus pada semua segmen usus (duodenum, jejunum dan ileum) ayam pedaging yang diberi prebiotik, probiotik dan sinbiotik dalam ransum baik yang diinfeksi maupun yang tidak diinfeksi E.coli memberi skor lesio lebih rendah dibandingkan perlakuan kontrol yang diinfeksi E.coli (R5). Hal tersebut memberi gambaran bahwa ayam pedaging yang diberi ransum prebiotik, probiotik maupun sinbiotik sama baiknya dan lebih baik dibandingkan perlakuan kontrol yang diinfeksi E.coli (R5). Semakin kecil skor lesio yang dimiliki mengindikasikan kondisi organ pencernaan semakin baik (mendekati keadaan normal) dan sebaliknya semakin besar menunjukkan tingkat kerusakan semakin parah. Subsitusi prebiotik oligosakarida dari tepung buah rumbia dan formulasi sinbiotik dengan bakteri asam laktat kedalam ransum dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat dan menurunkan kolonisasi bakteri E.coli pada saluran pencernaan ayam pedaging. Hal ini ditunjukkan dengan populasi BAL pada saluran pencernaan ayam pedaging terjadi peningkatan dibandingkan dengan ayam pada perlakuan kontrol yang diinfeksi maupun yang tidak diinfeksi E.coli (Tabel 22). Pertumbuhan BAL tidak terpengaruh dengan adanya intervensi E.coli pada kelompok ayam yang diberi ransum prebiotik, probiotik dan sinbiotik. Meskipun terjadi sedikit penurunan jumlah BAL jika dibandingkan dengan kelompok ayam yang tidak diinfeksi E.coli, akan tetapi jumlahnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Penggunaan prebiotik, probiotik dan sinbiotik mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang masuk ke dalam saluran pencernaan ayam pedaging. Cao et al. (2005) menyebutkan penggunaan frukto-oligosakarida sebesar 0,4% dalam ransum dapat meningkatkan jumlah bakteri Bifidobacterium spp dan Lactobacillus spp dalam saluran pencernaan ayam pedaging umur 42 hari. Penggunaan prebiotik, probiotik dan sinbiotik dalam ransum mampu menurunkan populasi E. coli pada saluran pencernaan ayam pedaging umur 6 minggu (Tabel 23). Demikian juga halnya pada kelompok ayam pedaging yang diinfeksi E.coli, pemberian prebiotik, probiotik dan sinbiotik menurunkan jumlah E.coli pada sekum, duodenum, jejunum dan ileum. Rendahnya populasi E. coli pada perlakuan prebiotik disebabkan karena adanya peran komponen prebiotik oligosakarida yaitu rafinosa dan stakhiosa. Komponen prebiotik ini dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat dan Bifidobacteria sehingga menimbulkan kondisi asam, yang mengakibatkan iritasi pada mukosa usus atau terjadinya inflamasi (Ten Bruggencate et al. 2003). Kondisi asam, pertumbuhan E.coli dapat dihambat, sehingga inang terlindungi dari patogen. Penurunan jumlah E.coli pada saluran pencernaan ayam pedaging pada penelitian ini mengindikasikan bahwa bakteri E.coli tidak dapat menggunakan prebiotik oligosakarida dari tepung buah rumbia sebagai salah satu sumber nutrien untuk pertumbuhannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa efek buruk kehadiran E.coli dapat ditekan dengan adanya prebiotik dalam ransum karena kolonisasi E.coli dalam saluran pencernaan terhambat. Selain hal tersebut, mekanisme lain yang mungkin berperan adalah peranan senyawa oligosakarida itu sendiri yang dapat difermentasi oleh bakteri-bakteri yang menguntungkan di dalam usus besar (kolon), sehingga mampu menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria di dalam saluran pencernaan (Weese 2002; Manning dan Gibson 2004). Hasil fermentasi berupa asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid) akan menurunkan pH di dalam usus besar sehingga tercipta lingkungan asam yang tidak ideal untuk pertumbuhan E.coli. Hentges (1992) menjelaskan beberapa hipotesis muncul untuk menjelaskan mekanisme yang dapat menekan bakteri patogen. Beberapa faktor tersebut diantaranya muncul teori kompetisi terhadap nutrien, merubah kondisi lingkungan yang tidak ideal bagi patogen seperti dihasilkannya asam lemak terbang oleh flora usus, dan kompetisi untuk menempati ruang yang ada pada saluran pencernaan.