BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan penyakit darah tinggi adalah
suatu keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan darah di atas normal
dengan tekanan darah sistolik sebesar 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah
diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih (Roger, et al., 2012). Kondisi ini dapat
mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian
(mortalitas) (Sherwood, 2007). Hipertensi berkontribusi sebesar 4,5 % dari
seluruh penyakit yang ada di dunia dan prevalensinya meningkat pada negara
berkembang, termasuk Indonesia. Hipertensi sendiri merupakan faktor resiko yang
paling tinggi untuk memicu timbulnya penyakit kardiovaskuler, selain itu
hipertensi juga berperan penting dalam perkembangan penyakit serebrovaskular,
penyakit jantung iskemik, gagal jantung dan gagal ginjal (Williams & Wilkins,
2003).
Langkah pertama dalam tatalaksana terapi pada hipertensi adalah
memodifikasi pola hidup untuk menurunkan indikasi terjadinya hipertensi
(Stevens, et al., 2001), seperti menurunkan berat badan pada obesitas, melakukan
aktivitas fisik, mengurangi konsumsi alkohol, diet dengan meningkatkan
konsumsi buah dan sayuran (Sacks, et al., 2001), mengurangi konsumsi lemak
jenuh, mengurangi konsumsi natrium dan meningkatkan konsumsi kalium (He &
Whelton, 1999). Selain terapi non farmakologi yang telah disebutkan sebelumnya,
diperlukan pula terapi farmakologi untuk mengontrol tekanan darah pada
penderita hipertensi. Salah satu terapi farmakologi untuk menangani hipertensi
adalah dengan menggunakan obat yang berfungsi sebagai penghambat enzim
ACE, karena ACE diketahui telah memegang peranan penting dalam pembentukan
angiotensin II yang merupakan salah satu penyebab hipertensi. Angiotensin II
merupakan hormon di dalam sirkulasi darah dan berperan penting dalam
konstriksi pembuluh darah, adanya konstriksi ini menyebabkan tingginya tekanan
darah dan meningkatkan beban jantung untuk memompa darah (Nancy &
Sweitzer, 2003).
Obat antihipertensi sintetik telah banyak digunakan saat ini seperti
kaptopril (Chusman & Cheung, 1971), enalapril, benazepril dan lainnya (Depkes,
2006). Pemilihan obat-obatan antihipertensi saat ini banyak mengalami
perubahan, karena perlu mempertimbangkan efikasi, efek samping yang
ditimbulkan, pemakaian jangka panjang, dan nilai ekonomisnya.
Indonesia
merupakan
negara
yang
memiliki
berbagai
macam
keanekaragaman hayati termasuk tumbuhan dan tanaman yang di antaranya
mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi obat.
Perubahan pola pikir masyarakat dengan sikap back to nature membuat
perkembangan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia semakin meningkat,
apalagi dengan adanya program saintifikasi jamu yang merupakan suatu program
dari Kementrian Kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan jamu
di kalangan medis terutama dokter (Pramono, 2011), sehingga banyak tumbuhan
dan tanaman yang dijadikan sebagai pengobatan untuk berbagai macam penyakit
yang di antaranya hipertensi.
Penggunaan herbal dan bahan alami untuk mengobati dan mengontrol
penyakit sudah banyak dilakukan oleh masyarakat dunia (Rapavi, et al., 2000;
Aceves-Avilla, et al., 2001), bahkan akhir-akhir ini terjadi peningkatan penelitian
terhadap herbal dan bahan alami untuk mengobati berbagai penyakit (Navarro, et
al., 1996; Okeke, et al., 2001). Industri farmasi juga berusaha mencari peluang
pemanfaatan bahan alam dan turunannya sebagai bahan untuk obat (Van Elswijk
& Irth, 2002).
Salah satu tanaman obat tradisional yang dikembangkan ke arah
fitofarmaka adalah obat antihipertensi. Penyakit hipertensi ditandai dengan
tingginya tekanan darah sehingga pengobatannya ditujukkan untuk menurunkan
tekanan darah. Herba seledri (Apium graveolans), daun kumis kucing
(Orthosiphon stamineus), dan buah mengkudu (Morinda citrifolia) telah
digunakan secara empiris oleh masyarakat untuk menurunkan tekanan darah.
Tanaman tersebut masing-masing mempunyai berbagai khasiat dan kandungan
senyawa aktif yang berbeda-beda, namun tetap saling mendukung dan berkaitan.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian jus seledri kepada
40 orang subyek ibu rumah tangga yang menderita hipertensi terbukti dapat
menurunkan tekanan darah sistolik dengan nilai median yaitu 11,50 + 9,26 SD
mmHg dan tekanan darah diastolik menurun 4,50 + 13,58 SD mmHg (Rahmawati
& Lelyana, 2010), pemakaian dosis harian dari ekstrak seledri juga mampu
memberikan penurunan tekanan darah sebesar 12% dalam kurun waktu empat
minggu (Fazal & Singla, 2012), senyawa aktif yang berperan dalam menurunkan
tekanan darah ini adalah apigenin (Kooti, et al., 2014). Ekskresi natrium dan
kalium meningkat secara signifikan (p < 0,05 dan < 0,01) pada 8 jam pertama
setelah terapi dengan dosis tunggal (2 g/kg) dari ekstrak metanol daun kumis
kucing yang diberikan kepada tikus galur Sprague Dawley dengan efektivitas
yang sebanding dengan hidroklorotiazid (Arafat, et al., 2008), aktivitas diuretik ini
disebabkan oleh adanya sinensetin dalam daun kumis kucing (Almatar, et al.,
2014). Jus buah mengkudu yang diberikan pada tikus normal dengan dosis 5 dan
10 mg/kg, menunjukkan adanya peningkatan volume urin secara signifikan yang
tergantung dosis dengan indeks diuretik 2,04 dan 2,36 untuk 5 mg/kg dan 10
mg/kg dosis, namun efektivitasnya belum sebanding dengan furosemid sebagai
pembanding (Shenoy, et al., 2011), adanya kandungan skopoletin dalam buah
mengkudu berperan penting dalam aktivitas hipotensif yang dihasilkan (Yang, et
al., 2007).
Aktivitas antihipertensi dari herba seledri, daun kumis kucing, dan buah
mengkudu telah cukup banyak dilakukan dalam beberapa penelitian yang telah
dijelaskan sebelumnya, namun belum ada penelitian yang menguji aktivitas
antihipertensi dengan mengkombinasikan ketiga tanaman tersebut. Berdasarkan
hal yang dipaparkan di atas, maka dilakukan penelitian mengenai aktivitas
antihipertensi dari kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah
mengkudu. Keberhasilan pengkombinasian ketiga tanaman tersebut dapat
digunakan sebagai alternatif dalam pengatasan dan pengobatan penyakit hipertensi
dan diharapkan dapat meningkatkan efek terapi pada penyakit hipertensi dengan
adanya 3 mekanisme berbeda dari kombinasi tanaman tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah
mengkudu dapat menurunkan tekanan darah tikus yang diinduksi fenilefrin?
2.
Bagaimanakah efektivitas kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis
kucing, dan buah mengkudu dibandingkan kaptopril dalam menurunkan
tekanan darah melalui dosis yang diberikan?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui pengaruh pemberian kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis
kucing, dan buah mengkudu terhadap penurunan tekanan darah tikus galur
Sprague Dawley yang diinduksi fenilefrin.
2.
Mengetahui efektivitas kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing,
dan buah mengkudu dibandingkan kaptopril dalam menurunkan tekanan
darah melalui dosis yang diberikan.
D. Manfaat Penelitian
1.
Bagi Ilmu Pengetahuan
Memberikan informasi mengenai manfaat kombinasi ekstrak herba seledri,
daun kumis kucing, dan buah mengkudu dalam menurunkan tekanan darah
tikus Sprague Dawley betina serta informasi mengenai efektivitasnya
dibandingkan dengan kaptopril.
2.
Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai alternatif terapi hipertensi
berbasis alam yang lebih aman bagi masyarakat dibandingkan dengan terapi
menggunakan obat-obatan sintesis yang banyak memiliki efek samping.
3.
Bagi Institusi dan Mahasiswa
Memberikan informasi yang dapat dijadikan dasar bagi tahap penelitian lebih
lanjut.
E. Tinjauan Pustaka
1.
Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai tingginya tekanan darah arteri yang
menetap. Seseorang didiagnosis hipertensi apabila memiliki tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg dengan
dilakukan dua atau lebih pengukuran yang masing-masing menggunakan dua atau
lebih pengukur klinis (Saseen & Maclaughlin, 2009). Berdasarkan persamaan
hydraulic, blood pressure (BP) secara langsung sebanding dengan produk dari
cardiac output (CO) dan pheripheral vascular resistance (PVR): BP = CO x PVR
(Katzung & Benowitz, 2009).
Penyebab utama hipertensi adalah vasokonstriksi atau irama otot polos
pembuluh darah yang berlebihan (Kelly, 2004). Vasokonstriksi pembuluh darah
dipicu oleh senyawa vasokonstriktor seperti angiotensin II. Senyawa tersebut
menyebabkan vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah sehingga tahanan
perifer meningkat. Tahanan yang meningkat menghalangi laju aliran darah dari
arteri yang akan meningkatkan tekanan arteri. Sementara itu konstriksi pada vena
akan menggantikan darah yang keluar dari pembuluh darah perifer berukuran
besar ke jantung. Jantung berdenyut dengan kekuatan lebih besar, sehingga
memompa darah dalam jumlah yang lebih besar pula dan meningkatkan tekanan
arteri. Jantung pun secara langsung dirangsang oleh sistem saraf otonom yang
kemudian memperkuat pemompaan jantung. Sinyal saraf simpatis turut
berpengaruh langsung untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas jantung yang
juga memperkuat kemampuan jantung memompa volume darah lebih besar. Hal
ini menimbulkan peningkatan tekanan arteri lebih tinggi lagi (Guyton, 2006).
Angiotensin II dalam kaitannya dengan sistem renin angiotensin yaitu
mengakibatkan dihasilkannya aldosteron. Aldosteron dapat digolongkan sebagai
hormon antidiuretik karena aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi
natrium pada tubulus distal nefron ginjal. Reabsorpsi natrium diikuti dengan
reabsorpsi air, sehingga terjadi retensi cairan. Kenaikan volume cairan dapat
meningkatkan curah jantung yang menyebabkan terjadinya hipertensi (Reckelhoff,
2001; Guyton, 2006).
Pada otot jantung dan otot polos vaskuler, ion Ca2+ berperan penting dalam
peristiwa kontraksi. Meningkatnya kadar Ca2+ dalam sitosol akan meningkatkan
kontraksi. Kadar Ca2+ yang tinggi di dalam sitosol disebabkan karena perbedaan
konsentrasi yang tinggi antara ruang ekstrasel dan intrasel, di mana konsentrasi
Ca2+ ekstrasel 10.000 kali lebih tinggi daripada konsentrasi Ca2+ intrasel. Adanya
kontraksi pada otot jantung dan otot polos vaskuler akan meningkatkan resistensi
perifer yang menyebabkan terjadinya hipertensi (Suyatna, 2012).
Hipertensi merupakan penyakit yang heterogen, yang disebabkan oleh hal
yang spesifik (hipertensi sekunder) atau dari penyebab yang tidak diketahui
dengan patofisiologi yang tidak jelas (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi
sekunder terjadi sekitar lebih dari 10% dari seluruh kejadian, dan hampir
seluruhnya disebabkan karena penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular,
sedangkan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi primer
adalah adanya abnormalitas humoral, abnormalitas pada ginjal, tingginya asupan
natrium dan tingginya konsentrasi kalsium dalam intraseluler (Saseen &
Maclaughlin, 2009).
Hipertensi lama dan atau berat dapat menimbulkan komplikasi berupa
kerusakan organ (target organ damaged) pada jantung, otak, ginjal, mata, dan
pembuluh darah perifer. Pengendalian berbagai faktor resiko pada hipertensi
sangat penting dilakukan untuk mencegah komplikasi kardiovaskular, seperti
modifikasi tekanan darah kelainan metabolik, merokok, alkohol, dan inaktivitas
(Nafrialdi, 2012). Kebiasaan merokok akan meningkatkan aliran darah pada syraf
simpatik yang akan meningkatkan cardiac output (Narkiewicz, et al., 1998).
Peningkatan cardiac output ini menyebabkan kenaikan pada tekanan darah arteri
(Katzung & Benowitz, 2009).
Klasifikasi tekanan darah dari Joint National Committee (JNC) 7 dapat
ditunjukkan pada Tabel I.
Tabel I. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 7 (Anonim, 2003)
Kategori
Normal
Prahipertensi
Hipertensi, Derajat 1
Hipertensi, Derajat 2
TD Sistolik
(mmHg)
<120
120-139
140-159
≥160
TD Diastolik
(mmHg)
<80
80-89
90-99
≥100
Hipertensi dapat bertahan atau resisten. Adapun penyebab hipertensi yang
resisten antara lain: pengukuran tekanan darah yang tidak sesuai, pemasukan
natrium berlebih, terapi diuretik yang tidak cukup, pengobatan maupun dosis yang
kurang ampuh, dan pemasukan alkohol berlebih (Anonim, 2003). Konsumsi
alkohol berlebih akan meningkatkan aktivitas syaraf simpatik, menstimulasi
sistem renin angiotensin aldosteron, meningkatkan konsentrasi Ca2+ intrasel, dan
menstimulasi endotelium untuk melepas vasokonstriktor yang menyebabkan
terjadinya hipertensi (Husain, et al., 2014).
Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk menurunkan mortalitas dan
morbiditas kardiovaskular. Strategi pengobatan hipertensi harus dimulai dengan
perubahan gaya hidup berupa diet rendah garam, berhenti merokok, mengurangi
konsumsi alkohol, aktivitas fisik yang teratur, dan menurunkan berat badan bagi
pasien dengan berat badan berlebih. Selain dapat menurunkan tekanan darah,
perubahan gaya hidup juga terbukti meningkatkan efektivitas obat antihipertensi
dan menurunkan resiko kardiovaskular (Nafrialdi, 2012).
Dalam terapi awal pada hipertensi, dikenal lima kelompok obat lini
pertama yang lazim digunakan, yaitu: diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik
(β-blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE inhibitor),
penghambat reseptor angiotensin (angiotensin receptor blocker) dan antagonis
kalsium (Nafrialdi, 2012).
2.
Kaptopril
Gambar 1. Struktur kimia kaptopril (Depkes, 1995)
Struktur kimia kaptopril (Gambar 1) menunjukkan adanya gugus
karboksilat (COOH) yang membuat kaptopril bersifat asam. Kaptopril
mengandung tidak kurang dari 97,5% dan tidak lebih dari 102,0% C9H15NO3S,
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Kaptopril mudah larut dalam air,
dalam metanol, dalam etanol, dan dalam kloroform (Depkes, 1995).
Golongan angiotensin converting enzyme (ACE inhibitor) termasuk
kaptopril pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1980. Sejak saat itu ACE
inhibitor secara luas diresepkan untuk terapi hipertensi dan gagal jantung (Wood,
1995). Pengobatan dosis rendah dari ACE inhibitor sangat bermanfat untuk
mencegah diabetes nefropati dan efektif dalam menurunkan mortalitas pada
penyakit kardiovaskular (Petty, 2004).
Angiotensinogen
Bradikinin
Rilis renin
Angiotensin I
ACE
Fragmen
nonaktif
Angiotensin II
ACEI
Vasokonstriksi
Retensi
perifer
HIPERTENSI
Sekresi
Aldosteron
Retensi Na dan air
Volume
Tekanan darah
Gambar 2. Skema mekanisme hipertensi oleh Angiotensin II (Hansen, et al., 1995)
Kaptopril bekerja dengan menghambat enzim pengonversi peptidyl
dipeptidase yang mengonversi angiotensin I ke angiotensin II. Angiotensin II
merupakan hormon yang berperan penting dalam menyebabkan hipertensi, skema
mekanisme hipertensi yang disebabkan oleh angiotensin II dapat dilihat pada
Gambar 2. Penghambatan pada enzim peptidyl dipeptidase menyebabkan
inaktivasi bradikinin, suatu vasodilator kuat, yang bekerja dengan cara
menstimulasi pelepasan nitrat oksida dan prostasiklin. Aktivitas hipotensi
kaptopril terjadi baik dari efek hambatan pada sistem angiotensin renin dan efek
stimulasi pada sistem kinin-kallikrein (Katzung & Benowitz, 2009). Adanya
stimulasi pada sistem kinin-kallikrein menyebabkan terjadinya angiodema yang
merupakan efek samping dari penggunaan ACE inhibitor (Baram, et al., 2013).
Mekanisme yang kedua telah dibuktikan bahwa antagonis reseptor bradikinin,
icatibant, menurunkan efek penurunan tekanan darah kaptopril (Gainer, et al.,
1998).
Penghambatan pada enzim peptidyl dipeptidase ini menghasilkan efek 1)
vasodilatasi lalu menurunkan resistensi vaskuler sehingga menurunkan tekanan
darah, dan 2) menurunkan sekresi aldosteron, lalu menurunkan tekanan darah
sehingga menurunkan beban akhir jantung (afterload) (Nugroho, 2012). Pada
ginjal, ACE inhibitor menyebabkan peningkatan aliran plasma dan ekskresi
natrium, menurunkan fraksi filtrasi namun tidak mempengaruhi filtrasi pada
glomerulus (Brown & Vaughan, 1998). Monoterapi dengan ACE inhibitor akan
menghambat pembentukan angiotensin II dan meningkatkan konsentrasi
angiotensin I di dalam sirkulasi (Ritter, 2011).
Kaptopril
diabsorpsi
dengan
baik
pada
pemberian
oral
dengan
bioavailabilitas 70-75%. Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorpsi
sekitar 30%, oleh karena itu obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan
(Nafrialdi, 2012). Kaptopril didistribusi pada sebagian besar jaringan tubuh,
namun tidak terdistribusi pada sistem syaraf pusat. Kaptopril pada awalnya
diberikan pada dosis 25 mg, dua atau tiga kali sehari 1-2 jam sebelum makan.
Respon pada tekanan darah maksimal terjadi 2-4 jam setelah pemberian obat.
Pada interval 1-2 minggu dosis dapat ditambah sehingga tekanan darah dapat
dikontrol (Katzung & Benowitz, 2009).
Secara umum, pengunaan ACE inhibitor termasuk kaptopril dapat
menyebabkan disfungsi renal ringan karena adanya peningkatan tekanan
intraglomerular. Peningkatan serum kreatinin juga sering kali terjadi saat memulai
penggunaan ACE inhibitor, jika terjadi peningkatan serum kreatinin lebih dari
30% maka dokter harus menghentikan penggunaan ACE inhibitor pada pasien
hipertensi (Petty, 2004).
3.
Fenilefrin
Fenilefrin digunakan sebagai terapi pressor dari golongan agonis α1
selektif yang dapat meningkatkan tekanan darah dengan vasokonstriksi periferal
tanpa adanya substansi vasokonstriksi serebral langsung, karena konsentrasi yang
rendah dari reseptor α1 di pembuluh otak (Bevan, et al., 1987). Hal ini akan
menyebabkan terjadinya takiaritmia, dan adanya agonis β dapat meningkatan
kebutuhan oksigen miokard dibandingkan agen pressor lainnya.
Aktivasi reseptor α1 akan menstimulasi enzim fosfolipase C (PLC) melalui
protein Gq untuk menghidrolisis fosfatidil inositol difosfat (PIP2) menjadi inositol
trifosfat (IP3) dan diasil gliserol (DAG). IP3 menstimulasi pelepasan Ca2+ dari
retikulum sarkoplasma sedangkan DAG mengaktivasi protein kinase C (PKC)
yang selanjutnya menyebabkan terbukanya Reseptor Operated Ca2+ Channel
(ROC) sehingga terjadi influks Ca2+. Ion Ca2+ intrasel yang meningkat akan
berikatan dengan kalmodulin membentuk kompleks Ca2+- kalmodulin. Kompleks
ini mengaktivasi myosin light chain kinase (MLCK) yang bergantung pada
kalmodulin. MLCK akan memfosforilasi myosin light chain (MLC) sehingga
terjadi interaksi antara aktin dan myosin dan menimbulkan kontraksi otot
(Hidayat, et al., 2002).
Pemberian fenilefrin dengan infus intravena dapat meningkatkan tekanan
darah arteri rata-rata sebesar 30-35 mmHg di atas normal (Drummond, et al.,
1989). Fenilefrin yang diberikan dengan dosis 60 µg/menit terbukti dapat
meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolik lebih dari 150 dan 80 mmHg.
Peningkatan tekanan darah sistemik terjadi secara cepat setelah 1 jam pemberian
fenilefrin (Kim & Kang, 2007).
4. Herba Seledri (Apium graveolans L. Herba)
Herba seledri memang sudah digunakan sebagai agen antihipertensi
(Gharouni & Sarkati, 2000). Apium graveolans telah digunakan secara tradisional
di Morelos state untuk mencegah sakit gigi dan mengobati diare, hipertensi dan
penyakit broncho pulmonary (Castillo & Monroy, 2007). Klasifikasi tanaman
herba seledri adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Anak Kelas
: Rosidae
Ordo
: Apiales
Famili
: Apiaceae
Genus
: Apium
Spesies
: Apium graveolans L.
(Dalimartha, 2000)
a. Morfologi
Herba seledri memiliki bunga tunggal dan batang yang pendek, dengan
daun yang bentuknya berlawanan, kelopak yang jelas berwarna putih kehijauan
atau putih kekuningan yang terinfleksi ke atas dengan panjang ½-¾ mm. Herba
seledri juga memiliki buah yang pendek yang panjangnya hanya 1 mm. Batang
pada herba seledri berongga, gundul dan memiliki sudut yang tajam. Daun herba
seledri menyirip yang berwarna hijau terang dengan selembaran yang luas pada
sepanjang anterior. Tangkai bunga pada semua atau hampir semua daun hanya
terdiri dari kelopak. Gagang bunga pada herba seledri memiliki panjang 2-3 mm.
Herba seledri juga memiliki akar tebal yang sangat berbau harum (aromatik)
(Backer & Van Den Brink, 1965).
b.
Kandungan Kimia
Herba seledri mengandung flavonoid total tidak kurang dari 0,60%
dihitung sebagai apiin (Kemenkes, 2010). Herba seledri mangandung flavonoid,
saponin, tannin 1%, minyak atsiri 0,033%, flavo-glukosida (apiin), apigenin,
kolin, lipase, asparagin, zat pahit, vitamin (A, B, dan C) (Dalimartha, 2000), 3-nbutylphthalide, dan sedanenolide (Fazal & Singla, 2012). Biji mengandung apiin,
minyak menguap, apigenin, dan alkaloid (Dalimartha, 2000).
c.
Efek Farmakologi
Pemberian kombinasi ekstrak seledri dan kumis kucing sebanyak 3 x 250
mg pada 72 subyek manusia selama 12 minggu dapat menurunkan tekanan darah
sistolik rata-rata sebesar 24,72 mmHg, penurunan yang sama juga terjadi pada
tekanan darah diastolik (Supari, 2002). Penurunan tekanan darah ini ditimbulkan
oleh apigenin yang mempunyai efek vasorelaksasi atau vasodilatasi dengan
mekanisme menghambat kontraksi dari pelepasan kalsium (antagonis kalsium)
(Chan, et al., 2000). Apigenin juga mempunyai efek untuk menghambat protein
kinase C, penghambatan ini terjadi pada siklus nukleotida fosfo-diesterase yang
mengakibatkan penurunan pelepasan kalsium (Ko, 1991).
Pemberian ekstrak etanol dari Apium graveolans secara intravena dengan
dosis 0,5-15 mg/kgBB menyebabkan penurunan yang cukup tajam pada tekanan
darah sistolik, diastolik dan tekanan darah arteri rata-rata pada kelinci yang dibius.
Penelitian ini dilakukan dengan adanya atropin pada kelinci, pada kondisi ini efek
hipotensif dan bradikardi dihambat secara parsial. Hambatan parsial ini
menunjukkan adanya komponen kolinergik dalam aktivitas hipotensif dari Apium
graveolans (Branković, et al., 2010).
Pemberian ekstrak n-butylphtalide dari herba seledri pada tikus hipertensi
sangat bermanfaat untuk terapi pemeliharaan hipertensi (Houston, 2005, Tsi &
Tan, 1997, Wilson, 1970). Ekstrak heksan herba seledri yang diberikan selama 7
minggu dengan dosis 300 mg/kgBB secara oral dapat menurunkan tekanan darah
sistolik hingga mencapai 112 mmHg pada tikus hipertensi dengan induksi
deoksikortikosteron asetat (Moghadam, et al., 2013).
Ekstrak diklorometana dan etil asetat dari Apium graveolans dengan dosis
110 dan 200 µg/ml secara signifikan menghambat CaCl2 yang menginduksi
kontraksi, efek relaksan dengan menghambat aktivitas kanal Ca2+ yang
ditunjukkan oleh ekstrak tersebut dihasilkan oleh apigenin yang diisolasi dari A.
graviolans (Jorge, et al., 2013).
5.
Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth., Folium)
Kumis kucing telah banyak digunakan di beberapa negara Asia Tenggara
terutama Indonesia. Daun kumis kucing sendiri telah digunakan sebagai diuretik,
mencegah dan mengobati rematik, diabetes mellitus, hipertensi, tonsillitis,
epilepsi, gangguan menstruasi, gonore, sifilis, batu ginjal, nefritis akut dan kronis,
arthritis dan antipiretik (Adnyana, et al., 2013). Klasifikasi tanaman kumis kucing
adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Sub Kelas
: Sympetable
Ordo
: Tubiflorae
Famili
: Lamiaceae
Genus
: Orthosiphon
Spesies
: Orthosiphon stamineus Benth.,
(Backer & Van Den Brink, 1965)
a.
Morfologi
Tanaman ini berjenis akar tunggang, batangnya berbentuk persegi empat
agak beralur dan berwarna hijau keunguan. Daun berbentuk bulat telur, lonjong,
berwarna hijau, panjang kurang dari 10 cm dan lebar 3 – 5 cm. Tangkai berbentuk
bulat, berwarna ungu kehijauan, atau hijau tergantung varietas. Posisi daun pada
batang berhadapan dan selang-seling, tulang daun bercabang-cabang (Bakti
Husada, 2001). Bunga dari kumis kucing berwarna putih, biru atau ungu. Saat
bunganya terbuka, benang sari dan putik akan memanjang keluar jauh melampaui
kelopaknya, inilah mengapa disebut “kumis kucing”. Tanaman ini membutuhkan
sinar matahari penuh dan tanah kebun yang lembab untuk tumbuh dan berbunga.
Namun begitu, tanaman ini akan tumbuh sempurna dengan cahaya yang teduh dan
iklim yang hangat (Adnyana, et al., 2013).
b.
Kandungan Kimia
Daun Orthosiphon stamineus mengandung flavonoid sinensetin tidak
kurang dari 0,10% (Depkes, 2008). Determinasi dari Orthosiphon stamineus
menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi menunjukkan adanya kandungan
flavonoid sinensetin, eupatorin dan 3'-hidroksi-5,6,7,4'-tetrametoksiflavon (Loon,
et al., 2005).
c.
Efek Farmakologi
Ekstrak metanol dari daun Orthosiphon stamineus dengan dosis 250, 500
dan 1000 mg/kg yang diberikan pada tikus selama 2 minggu memiliki efek
antihipertensi yang signifikan, di mana dosis 250 mg/kg sebagai antihipertensi
yang optimum. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah ekstrak Orthosiphon
stamineus akan meningkatkan aliran urin dan ekskresi natrium pada urin, dan
adanya pengaruh aktivitas reseptor antagonis adenosine A yang akan
meningkatkan volume ekskresi urin (diuretik) dan menurunkan level asam urat
dalam serum (Azizan, et al., 2012).
Pemberian ekstrak air dan ekstrak metanol air dari daun Orthosiphon
stamineus pada tikus yang telah diinduksi fenilefrin terbukti dapat menghambat
kontraksi pada cincin aorta tikus. Ekstrak daun Orthosiphon stamineus memiliki
peran dalam menurunkan vasokonstriksi sama seperti reseptor AT1 blocker
(Manshor, et al., 2013). Dengan adanya reseptor AT1 blocker maka efek dari
angiotensin II akan dihambat, dan ini akan berefek baik dan memiliki prognosis
yang baik pada kondisi seperti hipertensi dan untuk menghambat vasokonstriksi
(Unger, 2002).
Adanya
kandungan
flavonoid
sinensetin
dan
3’-hidroksi-
5,6,7,4’tetrametoksiflavon pada Orthosiphon stamineus ternyata memiliki
aktivitas diuretik pada tikus dengan pemberian intravena 10 mg/kgBB dari ekstrak
kumis kucing (Almatar, et al., 2014). Aktivitas diuretik ini tentu akan menurunkan
kadar kalium dan natrium dengan mengeluarkannya melalui urin. Eksresi natrium
melalui urin ini akan menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi (Beaux, et
al., 1998).
Aktivitas antihipertensi metilriparichoromene A, neoortosifol A dan B,
ortosifol
A,
tetrametilscutellarein,
sinensetin,
5-hidroksi-6,7,3',4'-
tetrametoksiflavon, eupatorin dan ortosifon A and B dari ekstrak Orthosiphon
stamineus telah diteliti. Hasilnya menunjukkan bahwa volume urin meningkat
seiring bertambahnya dosis. Selain itu tetrametilscutellarein, sinensetin dan
neoortosifol A dan B menunjukkan adanya relaksasi pada kontraksi yang
diinduksi dengan 60 Mm K+ atau l-fenilefrin (Adnyana, et al, 2013).
6.
Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L. Fructus)
Buah, bunga, daun, batang dan akar dari Morinda citrifolia telah
digunakan untuk tujuan pengobatan sebagai obat tradisional berbasis tanaman.
Faktanya, buah dari tanaman ini telah digunakan sebagai obat alternatif untuk
antibakteri, antivirus, antifungi, antitumor, analgesik, hipotensif, antiinflamasi dan
efek imuno-modulator (Nayak & Shettigar, 2010). Klasifikasi mengkudu adalah
sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Morinda
Spesies
: Morinda citrifolia L.
(BPOM RI, 2008)
a.
Morfologi
Habitus berupa pohon, tinggi 4-8 m, batang berkayu, bulat, kulit kasar,
percabangan monopodial, penampang cabang muda segi empat, coklat
kekuningan. Daun tunggal, bulat telur, ujung dan pangkal runcing, tepi rata,
panjang 10-40 cm, lebar 5-17 cm, pertulangan menyirip, tangkai pendek, daun
penumpu bulat telur, panjang 1 cm, berwarna hijau. Bunga majemuk, bentuk
bongkol, bertangkai, di ketiak daun, benang sari lima, melekat pada tabung
mahkota, tangkai sari berambut, tangkai bakal buah panjang 3-5 cm, hijau
kekuningan, mahkota bentuk terompet, leher berambut, panjang ±1 cm, putih.
Buah bongkol, permukaan tidak teratur, berdaging, panjang 5-10 cm, hijau
kekuningan. Biji keras, segi tiga, coklat kemerahan. Akar tunggang, coklat muda
(BPOM RI, 2008).
b.
Kandungan Kimia
Hasil identifikasi menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi dengan
deteksi UV menunjukkan bahwa buah mengkudu mengandung derivat kumarin,
seperti skopoletin, 7-hidroksikumarin, dan 4-hidroksikumarin (Ikeda, et al., 2009).
Sembilan puluh enam komponen yang bersifat volatil dari buah mengkudu juga
berhasil diidentifikasi, dengan asam oktanoat (70% dari total ekstrak) dan asam
heksanoat (8% dari total ekstrak) sebagai komponen utamanya (Pino, et al., 2010).
c. Efek Farmakologi
Pemberian jus buah mengkudu sebesar 6 ml/kg pada subyek manusia
terbukti dapat menurunkan tekanan darah setelah pemberian dosis pada hari ke 8.
Efek penurunan tekanan darah ini dihasilkan karena adanya inhibisi pada
angiotensin I converting enzyme (ACE) oleh jus buah mengkudu. Tingkat
kematangan buah mengkudu mempengaruhi aktivitas hambatan pada angiotensin I
converting enzyme (Yamaguchi, et al., 2002). Jus buah mengkudu matang
memiliki efek inhibisi yang lebih besar dibandingkan buah yang masih hijau.
Pemberian secara oral dari jus buah mengkudu ini dapat menurunkan tekanan
darah sistolik dengan spontan pada tikus jantan yang hipertensi. Skopoletin adalah
satu dari senyawa fenol yang penting di dalam jus buah mengkudu. Skopoletin
memiliki peranan dalam menurunkan tekanan darah melalui efek vasodilatasi,
yang mungkin memiliki aksi sebagai ACE inhibitor (Kumar, et al., 2010).
Jus buah Morinda citrifolia menghambat kuat aktivitas angiotensin
converting enzyme (ACE). Pemberian dosis tunggal secara oral dari jus ini
menurunkan tekanan darah sistolik dengan spontan pada tikus jantan yang
hipertensi. Hal ini membuktikan bahwa jus buah Morinda citrifolia memiliki
komponen sebagai ACE inhibitor dan pemakaian rutin dari jus ini efektif untuk
mencegah dan melawan hipertensi (Yang, et al., 2007).
F. Landasan Teori
Hipertensi terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Adanya
angiotensin II di dalam plasma akan menyebabkan vasokonstriksi atau
penyempitan pembuluh darah sehingga tahanan perifer meningkat. Tahanan yang
meningkat akan memperkuat kemampuan jantung memompa volume darah lebih
besar, hal ini menimbulkan peningkatan tekanan arteri (Guyton, 2006).
Angiotensin
II juga
berkaitan
dengan
sistem
renin
angiotensin
yang
mengakibatkan dihasilkannya aldosteron. Aldosteron menyebabkan peningkatan
reabsorpsi natrium pada tubulus distal nefron ginjal. Reabsorpsi natrium diikuti
dengan reabsorpsi air, sehingga terjadi retensi cairan. Kenaikan volume cairan
dapat meningkatkan curah jantung yang menyebabkan terjadinya hipertensi
(Reckelhoff, 2001; Guyton, 2006). Pada otot jantung dan otot polos vaskuler, ion
Ca2+ berperan penting dalam peristiwa kontraksi. Adanya kontraksi pada otot
jantung dan otot polos vaskuler akan meningkatkan resistensi perifer yang
menyebabkan terjadinya hipertensi (Suyatna, 2012). Hal ini menimbulkan
pemikiran untuk melakukan penelitian dalam mengatasi berbagai faktor penyebab
terjadinya hipertensi.
Ekstrak herba seledri dalam berbagai jenis pelarut telah terbukti dapat
menurunkan tekanan darah pada berbagai subyek yang berbeda. Ekstrak etanol
herba seledri menyebabkan penurunan yang cukup tajam pada tekanan darah
sistolik, diastolik dan tekanan darah arteri rata-rata pada kelinci yang dibius
(Branković, et al., 2010). Ekstrak diklorometana dan etil asetat dari herba seledri
dengan dosis 110 dan 200 µg/ml secara signifikan menghambat CaCl2 yang
menginduksi kontraksi, efek relaksan dengan menghambat aktivitas kanal Ca2+
yang ditunjukkan oleh ekstrak tersebut dihasilkan oleh apigenin yang diisolasi dari
herba seledri (Jorge, et al., 2013). Apigenin mempunyai efek untuk menghambat
protein kinase C dan efek vasorelaksasi atau vasodilatasi dengan mekanisme
menghambat kontraksi dari pelepasan kalsium (Ko, 1991; Chan, et al., 2000).
Adanya
kandungan
flavonoid
sinensetin
dan
3’-hidroksi-
5,6,7,4’tetrametoksiflavon pada daun kumis kucing memiliki aktivitas diuretik
pada tikus dengan pemberian intravena 10 mg/kgBB dari ekstrak daun kumis
kucing (Almatar, et al., 2014), adanya eksresi natrium melalui urin akan
menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi (Beaux, et al., 1998).
Kandungan tetrametilscutellarein, sinensetin, dan neoortosifol A dan B pada
Orthosiphon stamineus juga menunjukkan efek relaksasi pada kontraksi yang
diinduksi dengan 60 Mm K+ atau l-fenilefrin (Adnyana, et al, 2013). Ekstrak
metanol daun Orthosiphon stamineus dengan dosis 250, 500 dan 1000 mg/kg yang
diberikan pada tikus selama 2 minggu memiliki efek antihipertensi yang
signifikan (Azizan, et al., 2012). Pemberian ekstrak air dan ekstrak metanol air
dari daun Orthosiphon stamineus pada tikus yang telah diinduksi fenilefrin
terbukti dapat menghambat kontraksi pada cincin aorta tikus (Manshor, et al.,
2013).
Pemberian jus buah mengkudu sebesar 6 ml/kg pada subyek manusia
terbukti dapat menurunkan tekanan darah setelah pemberian dosis pada hari ke 8
(Yamaguchi, et al., 2002). Pemberian secara oral dari jus buah mengkudu ini
dapat menurunkan tekanan darah sistolik dengan spontan pada tikus jantan yang
hipertensi (Kumar, et al., 2010). Skopoletin adalah satu dari senyawa fenol yang
penting di dalam jus buah mengkudu yang berperan dalam menurunkan tekanan
darah melalui efek vasodilatasi, yang mungkin memiliki aksi sebagai ACE
inhibitor dan pemakaian rutin dari jus ini efektif untuk mencegah dan melawan
hipertensi (Kumar, et al., 2010; Yang, et al., 2007).
Aktivitas herba seledri, daun kumis kucing dan buah mengkudu sebagai
agen antihipertensi telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.
Masing-masing tanaman memiliki mekanisme dan senyawa aktif yang berbeda
dalam menurunkan tekanan darah, sehingga dengan menggabungkan ketiga
tanaman tersebut dapat diteliti untuk dikembangkan sebagai antihipertensi yang
lebih efektif dan poten. Sebagai pembanding adalah ACE inhibitor sintetik yaitu
kaptopril dengan alasan bahwa jenis antihipertensi ini sering digunakan untuk
mengatasi hipertensi.
G. Hipotesis
1.
Kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu
dapat menurunkan tekanan darah tikus galur Sprague Dawley yang diinduksi
fenilefrin.
2.
Kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu
memiliki efektivitas sebanding dengan kaptopril dalam menurunkan tekanan
darah melalui dosis yang diberikan.
Download