BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan darah di atas normal dengan tekanan darah sistolik sebesar 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih (Roger, et al., 2012). Kondisi ini dapat mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) (Sherwood, 2007). Hipertensi berkontribusi sebesar 4,5 % dari seluruh penyakit yang ada di dunia dan prevalensinya meningkat pada negara berkembang, termasuk Indonesia. Hipertensi sendiri merupakan faktor resiko yang paling tinggi untuk memicu timbulnya penyakit kardiovaskuler, selain itu hipertensi juga berperan penting dalam perkembangan penyakit serebrovaskular, penyakit jantung iskemik, gagal jantung dan gagal ginjal (Williams & Wilkins, 2003). Langkah pertama dalam tatalaksana terapi pada hipertensi adalah memodifikasi pola hidup untuk menurunkan indikasi terjadinya hipertensi (Stevens, et al., 2001), seperti menurunkan berat badan pada obesitas, melakukan aktivitas fisik, mengurangi konsumsi alkohol, diet dengan meningkatkan konsumsi buah dan sayuran (Sacks, et al., 2001), mengurangi konsumsi lemak jenuh, mengurangi konsumsi natrium dan meningkatkan konsumsi kalium (He & Whelton, 1999). Selain terapi non farmakologi yang telah disebutkan sebelumnya, diperlukan pula terapi farmakologi untuk mengontrol tekanan darah pada penderita hipertensi. Salah satu terapi farmakologi untuk menangani hipertensi adalah dengan menggunakan obat yang berfungsi sebagai penghambat enzim ACE, karena ACE diketahui telah memegang peranan penting dalam pembentukan angiotensin II yang merupakan salah satu penyebab hipertensi. Angiotensin II merupakan hormon di dalam sirkulasi darah dan berperan penting dalam konstriksi pembuluh darah, adanya konstriksi ini menyebabkan tingginya tekanan darah dan meningkatkan beban jantung untuk memompa darah (Nancy & Sweitzer, 2003). Obat antihipertensi sintetik telah banyak digunakan saat ini seperti kaptopril (Chusman & Cheung, 1971), enalapril, benazepril dan lainnya (Depkes, 2006). Pemilihan obat-obatan antihipertensi saat ini banyak mengalami perubahan, karena perlu mempertimbangkan efikasi, efek samping yang ditimbulkan, pemakaian jangka panjang, dan nilai ekonomisnya. Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam keanekaragaman hayati termasuk tumbuhan dan tanaman yang di antaranya mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi obat. Perubahan pola pikir masyarakat dengan sikap back to nature membuat perkembangan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia semakin meningkat, apalagi dengan adanya program saintifikasi jamu yang merupakan suatu program dari Kementrian Kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan jamu di kalangan medis terutama dokter (Pramono, 2011), sehingga banyak tumbuhan dan tanaman yang dijadikan sebagai pengobatan untuk berbagai macam penyakit yang di antaranya hipertensi. Penggunaan herbal dan bahan alami untuk mengobati dan mengontrol penyakit sudah banyak dilakukan oleh masyarakat dunia (Rapavi, et al., 2000; Aceves-Avilla, et al., 2001), bahkan akhir-akhir ini terjadi peningkatan penelitian terhadap herbal dan bahan alami untuk mengobati berbagai penyakit (Navarro, et al., 1996; Okeke, et al., 2001). Industri farmasi juga berusaha mencari peluang pemanfaatan bahan alam dan turunannya sebagai bahan untuk obat (Van Elswijk & Irth, 2002). Salah satu tanaman obat tradisional yang dikembangkan ke arah fitofarmaka adalah obat antihipertensi. Penyakit hipertensi ditandai dengan tingginya tekanan darah sehingga pengobatannya ditujukkan untuk menurunkan tekanan darah. Herba seledri (Apium graveolans), daun kumis kucing (Orthosiphon stamineus), dan buah mengkudu (Morinda citrifolia) telah digunakan secara empiris oleh masyarakat untuk menurunkan tekanan darah. Tanaman tersebut masing-masing mempunyai berbagai khasiat dan kandungan senyawa aktif yang berbeda-beda, namun tetap saling mendukung dan berkaitan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian jus seledri kepada 40 orang subyek ibu rumah tangga yang menderita hipertensi terbukti dapat menurunkan tekanan darah sistolik dengan nilai median yaitu 11,50 + 9,26 SD mmHg dan tekanan darah diastolik menurun 4,50 + 13,58 SD mmHg (Rahmawati & Lelyana, 2010), pemakaian dosis harian dari ekstrak seledri juga mampu memberikan penurunan tekanan darah sebesar 12% dalam kurun waktu empat minggu (Fazal & Singla, 2012), senyawa aktif yang berperan dalam menurunkan tekanan darah ini adalah apigenin (Kooti, et al., 2014). Ekskresi natrium dan kalium meningkat secara signifikan (p < 0,05 dan < 0,01) pada 8 jam pertama setelah terapi dengan dosis tunggal (2 g/kg) dari ekstrak metanol daun kumis kucing yang diberikan kepada tikus galur Sprague Dawley dengan efektivitas yang sebanding dengan hidroklorotiazid (Arafat, et al., 2008), aktivitas diuretik ini disebabkan oleh adanya sinensetin dalam daun kumis kucing (Almatar, et al., 2014). Jus buah mengkudu yang diberikan pada tikus normal dengan dosis 5 dan 10 mg/kg, menunjukkan adanya peningkatan volume urin secara signifikan yang tergantung dosis dengan indeks diuretik 2,04 dan 2,36 untuk 5 mg/kg dan 10 mg/kg dosis, namun efektivitasnya belum sebanding dengan furosemid sebagai pembanding (Shenoy, et al., 2011), adanya kandungan skopoletin dalam buah mengkudu berperan penting dalam aktivitas hipotensif yang dihasilkan (Yang, et al., 2007). Aktivitas antihipertensi dari herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu telah cukup banyak dilakukan dalam beberapa penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, namun belum ada penelitian yang menguji aktivitas antihipertensi dengan mengkombinasikan ketiga tanaman tersebut. Berdasarkan hal yang dipaparkan di atas, maka dilakukan penelitian mengenai aktivitas antihipertensi dari kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu. Keberhasilan pengkombinasian ketiga tanaman tersebut dapat digunakan sebagai alternatif dalam pengatasan dan pengobatan penyakit hipertensi dan diharapkan dapat meningkatkan efek terapi pada penyakit hipertensi dengan adanya 3 mekanisme berbeda dari kombinasi tanaman tersebut. B. Rumusan Masalah 1. Apakah kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu dapat menurunkan tekanan darah tikus yang diinduksi fenilefrin? 2. Bagaimanakah efektivitas kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu dibandingkan kaptopril dalam menurunkan tekanan darah melalui dosis yang diberikan? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh pemberian kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu terhadap penurunan tekanan darah tikus galur Sprague Dawley yang diinduksi fenilefrin. 2. Mengetahui efektivitas kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu dibandingkan kaptopril dalam menurunkan tekanan darah melalui dosis yang diberikan. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Memberikan informasi mengenai manfaat kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu dalam menurunkan tekanan darah tikus Sprague Dawley betina serta informasi mengenai efektivitasnya dibandingkan dengan kaptopril. 2. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai alternatif terapi hipertensi berbasis alam yang lebih aman bagi masyarakat dibandingkan dengan terapi menggunakan obat-obatan sintesis yang banyak memiliki efek samping. 3. Bagi Institusi dan Mahasiswa Memberikan informasi yang dapat dijadikan dasar bagi tahap penelitian lebih lanjut. E. Tinjauan Pustaka 1. Hipertensi Hipertensi didefinisikan sebagai tingginya tekanan darah arteri yang menetap. Seseorang didiagnosis hipertensi apabila memiliki tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg dengan dilakukan dua atau lebih pengukuran yang masing-masing menggunakan dua atau lebih pengukur klinis (Saseen & Maclaughlin, 2009). Berdasarkan persamaan hydraulic, blood pressure (BP) secara langsung sebanding dengan produk dari cardiac output (CO) dan pheripheral vascular resistance (PVR): BP = CO x PVR (Katzung & Benowitz, 2009). Penyebab utama hipertensi adalah vasokonstriksi atau irama otot polos pembuluh darah yang berlebihan (Kelly, 2004). Vasokonstriksi pembuluh darah dipicu oleh senyawa vasokonstriktor seperti angiotensin II. Senyawa tersebut menyebabkan vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah sehingga tahanan perifer meningkat. Tahanan yang meningkat menghalangi laju aliran darah dari arteri yang akan meningkatkan tekanan arteri. Sementara itu konstriksi pada vena akan menggantikan darah yang keluar dari pembuluh darah perifer berukuran besar ke jantung. Jantung berdenyut dengan kekuatan lebih besar, sehingga memompa darah dalam jumlah yang lebih besar pula dan meningkatkan tekanan arteri. Jantung pun secara langsung dirangsang oleh sistem saraf otonom yang kemudian memperkuat pemompaan jantung. Sinyal saraf simpatis turut berpengaruh langsung untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas jantung yang juga memperkuat kemampuan jantung memompa volume darah lebih besar. Hal ini menimbulkan peningkatan tekanan arteri lebih tinggi lagi (Guyton, 2006). Angiotensin II dalam kaitannya dengan sistem renin angiotensin yaitu mengakibatkan dihasilkannya aldosteron. Aldosteron dapat digolongkan sebagai hormon antidiuretik karena aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium pada tubulus distal nefron ginjal. Reabsorpsi natrium diikuti dengan reabsorpsi air, sehingga terjadi retensi cairan. Kenaikan volume cairan dapat meningkatkan curah jantung yang menyebabkan terjadinya hipertensi (Reckelhoff, 2001; Guyton, 2006). Pada otot jantung dan otot polos vaskuler, ion Ca2+ berperan penting dalam peristiwa kontraksi. Meningkatnya kadar Ca2+ dalam sitosol akan meningkatkan kontraksi. Kadar Ca2+ yang tinggi di dalam sitosol disebabkan karena perbedaan konsentrasi yang tinggi antara ruang ekstrasel dan intrasel, di mana konsentrasi Ca2+ ekstrasel 10.000 kali lebih tinggi daripada konsentrasi Ca2+ intrasel. Adanya kontraksi pada otot jantung dan otot polos vaskuler akan meningkatkan resistensi perifer yang menyebabkan terjadinya hipertensi (Suyatna, 2012). Hipertensi merupakan penyakit yang heterogen, yang disebabkan oleh hal yang spesifik (hipertensi sekunder) atau dari penyebab yang tidak diketahui dengan patofisiologi yang tidak jelas (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunder terjadi sekitar lebih dari 10% dari seluruh kejadian, dan hampir seluruhnya disebabkan karena penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular, sedangkan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi primer adalah adanya abnormalitas humoral, abnormalitas pada ginjal, tingginya asupan natrium dan tingginya konsentrasi kalsium dalam intraseluler (Saseen & Maclaughlin, 2009). Hipertensi lama dan atau berat dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan organ (target organ damaged) pada jantung, otak, ginjal, mata, dan pembuluh darah perifer. Pengendalian berbagai faktor resiko pada hipertensi sangat penting dilakukan untuk mencegah komplikasi kardiovaskular, seperti modifikasi tekanan darah kelainan metabolik, merokok, alkohol, dan inaktivitas (Nafrialdi, 2012). Kebiasaan merokok akan meningkatkan aliran darah pada syraf simpatik yang akan meningkatkan cardiac output (Narkiewicz, et al., 1998). Peningkatan cardiac output ini menyebabkan kenaikan pada tekanan darah arteri (Katzung & Benowitz, 2009). Klasifikasi tekanan darah dari Joint National Committee (JNC) 7 dapat ditunjukkan pada Tabel I. Tabel I. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 7 (Anonim, 2003) Kategori Normal Prahipertensi Hipertensi, Derajat 1 Hipertensi, Derajat 2 TD Sistolik (mmHg) <120 120-139 140-159 ≥160 TD Diastolik (mmHg) <80 80-89 90-99 ≥100 Hipertensi dapat bertahan atau resisten. Adapun penyebab hipertensi yang resisten antara lain: pengukuran tekanan darah yang tidak sesuai, pemasukan natrium berlebih, terapi diuretik yang tidak cukup, pengobatan maupun dosis yang kurang ampuh, dan pemasukan alkohol berlebih (Anonim, 2003). Konsumsi alkohol berlebih akan meningkatkan aktivitas syaraf simpatik, menstimulasi sistem renin angiotensin aldosteron, meningkatkan konsentrasi Ca2+ intrasel, dan menstimulasi endotelium untuk melepas vasokonstriktor yang menyebabkan terjadinya hipertensi (Husain, et al., 2014). Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular. Strategi pengobatan hipertensi harus dimulai dengan perubahan gaya hidup berupa diet rendah garam, berhenti merokok, mengurangi konsumsi alkohol, aktivitas fisik yang teratur, dan menurunkan berat badan bagi pasien dengan berat badan berlebih. Selain dapat menurunkan tekanan darah, perubahan gaya hidup juga terbukti meningkatkan efektivitas obat antihipertensi dan menurunkan resiko kardiovaskular (Nafrialdi, 2012). Dalam terapi awal pada hipertensi, dikenal lima kelompok obat lini pertama yang lazim digunakan, yaitu: diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (angiotensin receptor blocker) dan antagonis kalsium (Nafrialdi, 2012). 2. Kaptopril Gambar 1. Struktur kimia kaptopril (Depkes, 1995) Struktur kimia kaptopril (Gambar 1) menunjukkan adanya gugus karboksilat (COOH) yang membuat kaptopril bersifat asam. Kaptopril mengandung tidak kurang dari 97,5% dan tidak lebih dari 102,0% C9H15NO3S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Kaptopril mudah larut dalam air, dalam metanol, dalam etanol, dan dalam kloroform (Depkes, 1995). Golongan angiotensin converting enzyme (ACE inhibitor) termasuk kaptopril pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1980. Sejak saat itu ACE inhibitor secara luas diresepkan untuk terapi hipertensi dan gagal jantung (Wood, 1995). Pengobatan dosis rendah dari ACE inhibitor sangat bermanfat untuk mencegah diabetes nefropati dan efektif dalam menurunkan mortalitas pada penyakit kardiovaskular (Petty, 2004). Angiotensinogen Bradikinin Rilis renin Angiotensin I ACE Fragmen nonaktif Angiotensin II ACEI Vasokonstriksi Retensi perifer HIPERTENSI Sekresi Aldosteron Retensi Na dan air Volume Tekanan darah Gambar 2. Skema mekanisme hipertensi oleh Angiotensin II (Hansen, et al., 1995) Kaptopril bekerja dengan menghambat enzim pengonversi peptidyl dipeptidase yang mengonversi angiotensin I ke angiotensin II. Angiotensin II merupakan hormon yang berperan penting dalam menyebabkan hipertensi, skema mekanisme hipertensi yang disebabkan oleh angiotensin II dapat dilihat pada Gambar 2. Penghambatan pada enzim peptidyl dipeptidase menyebabkan inaktivasi bradikinin, suatu vasodilator kuat, yang bekerja dengan cara menstimulasi pelepasan nitrat oksida dan prostasiklin. Aktivitas hipotensi kaptopril terjadi baik dari efek hambatan pada sistem angiotensin renin dan efek stimulasi pada sistem kinin-kallikrein (Katzung & Benowitz, 2009). Adanya stimulasi pada sistem kinin-kallikrein menyebabkan terjadinya angiodema yang merupakan efek samping dari penggunaan ACE inhibitor (Baram, et al., 2013). Mekanisme yang kedua telah dibuktikan bahwa antagonis reseptor bradikinin, icatibant, menurunkan efek penurunan tekanan darah kaptopril (Gainer, et al., 1998). Penghambatan pada enzim peptidyl dipeptidase ini menghasilkan efek 1) vasodilatasi lalu menurunkan resistensi vaskuler sehingga menurunkan tekanan darah, dan 2) menurunkan sekresi aldosteron, lalu menurunkan tekanan darah sehingga menurunkan beban akhir jantung (afterload) (Nugroho, 2012). Pada ginjal, ACE inhibitor menyebabkan peningkatan aliran plasma dan ekskresi natrium, menurunkan fraksi filtrasi namun tidak mempengaruhi filtrasi pada glomerulus (Brown & Vaughan, 1998). Monoterapi dengan ACE inhibitor akan menghambat pembentukan angiotensin II dan meningkatkan konsentrasi angiotensin I di dalam sirkulasi (Ritter, 2011). Kaptopril diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral dengan bioavailabilitas 70-75%. Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorpsi sekitar 30%, oleh karena itu obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan (Nafrialdi, 2012). Kaptopril didistribusi pada sebagian besar jaringan tubuh, namun tidak terdistribusi pada sistem syaraf pusat. Kaptopril pada awalnya diberikan pada dosis 25 mg, dua atau tiga kali sehari 1-2 jam sebelum makan. Respon pada tekanan darah maksimal terjadi 2-4 jam setelah pemberian obat. Pada interval 1-2 minggu dosis dapat ditambah sehingga tekanan darah dapat dikontrol (Katzung & Benowitz, 2009). Secara umum, pengunaan ACE inhibitor termasuk kaptopril dapat menyebabkan disfungsi renal ringan karena adanya peningkatan tekanan intraglomerular. Peningkatan serum kreatinin juga sering kali terjadi saat memulai penggunaan ACE inhibitor, jika terjadi peningkatan serum kreatinin lebih dari 30% maka dokter harus menghentikan penggunaan ACE inhibitor pada pasien hipertensi (Petty, 2004). 3. Fenilefrin Fenilefrin digunakan sebagai terapi pressor dari golongan agonis α1 selektif yang dapat meningkatkan tekanan darah dengan vasokonstriksi periferal tanpa adanya substansi vasokonstriksi serebral langsung, karena konsentrasi yang rendah dari reseptor α1 di pembuluh otak (Bevan, et al., 1987). Hal ini akan menyebabkan terjadinya takiaritmia, dan adanya agonis β dapat meningkatan kebutuhan oksigen miokard dibandingkan agen pressor lainnya. Aktivasi reseptor α1 akan menstimulasi enzim fosfolipase C (PLC) melalui protein Gq untuk menghidrolisis fosfatidil inositol difosfat (PIP2) menjadi inositol trifosfat (IP3) dan diasil gliserol (DAG). IP3 menstimulasi pelepasan Ca2+ dari retikulum sarkoplasma sedangkan DAG mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang selanjutnya menyebabkan terbukanya Reseptor Operated Ca2+ Channel (ROC) sehingga terjadi influks Ca2+. Ion Ca2+ intrasel yang meningkat akan berikatan dengan kalmodulin membentuk kompleks Ca2+- kalmodulin. Kompleks ini mengaktivasi myosin light chain kinase (MLCK) yang bergantung pada kalmodulin. MLCK akan memfosforilasi myosin light chain (MLC) sehingga terjadi interaksi antara aktin dan myosin dan menimbulkan kontraksi otot (Hidayat, et al., 2002). Pemberian fenilefrin dengan infus intravena dapat meningkatkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 30-35 mmHg di atas normal (Drummond, et al., 1989). Fenilefrin yang diberikan dengan dosis 60 µg/menit terbukti dapat meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolik lebih dari 150 dan 80 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik terjadi secara cepat setelah 1 jam pemberian fenilefrin (Kim & Kang, 2007). 4. Herba Seledri (Apium graveolans L. Herba) Herba seledri memang sudah digunakan sebagai agen antihipertensi (Gharouni & Sarkati, 2000). Apium graveolans telah digunakan secara tradisional di Morelos state untuk mencegah sakit gigi dan mengobati diare, hipertensi dan penyakit broncho pulmonary (Castillo & Monroy, 2007). Klasifikasi tanaman herba seledri adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Anak Kelas : Rosidae Ordo : Apiales Famili : Apiaceae Genus : Apium Spesies : Apium graveolans L. (Dalimartha, 2000) a. Morfologi Herba seledri memiliki bunga tunggal dan batang yang pendek, dengan daun yang bentuknya berlawanan, kelopak yang jelas berwarna putih kehijauan atau putih kekuningan yang terinfleksi ke atas dengan panjang ½-¾ mm. Herba seledri juga memiliki buah yang pendek yang panjangnya hanya 1 mm. Batang pada herba seledri berongga, gundul dan memiliki sudut yang tajam. Daun herba seledri menyirip yang berwarna hijau terang dengan selembaran yang luas pada sepanjang anterior. Tangkai bunga pada semua atau hampir semua daun hanya terdiri dari kelopak. Gagang bunga pada herba seledri memiliki panjang 2-3 mm. Herba seledri juga memiliki akar tebal yang sangat berbau harum (aromatik) (Backer & Van Den Brink, 1965). b. Kandungan Kimia Herba seledri mengandung flavonoid total tidak kurang dari 0,60% dihitung sebagai apiin (Kemenkes, 2010). Herba seledri mangandung flavonoid, saponin, tannin 1%, minyak atsiri 0,033%, flavo-glukosida (apiin), apigenin, kolin, lipase, asparagin, zat pahit, vitamin (A, B, dan C) (Dalimartha, 2000), 3-nbutylphthalide, dan sedanenolide (Fazal & Singla, 2012). Biji mengandung apiin, minyak menguap, apigenin, dan alkaloid (Dalimartha, 2000). c. Efek Farmakologi Pemberian kombinasi ekstrak seledri dan kumis kucing sebanyak 3 x 250 mg pada 72 subyek manusia selama 12 minggu dapat menurunkan tekanan darah sistolik rata-rata sebesar 24,72 mmHg, penurunan yang sama juga terjadi pada tekanan darah diastolik (Supari, 2002). Penurunan tekanan darah ini ditimbulkan oleh apigenin yang mempunyai efek vasorelaksasi atau vasodilatasi dengan mekanisme menghambat kontraksi dari pelepasan kalsium (antagonis kalsium) (Chan, et al., 2000). Apigenin juga mempunyai efek untuk menghambat protein kinase C, penghambatan ini terjadi pada siklus nukleotida fosfo-diesterase yang mengakibatkan penurunan pelepasan kalsium (Ko, 1991). Pemberian ekstrak etanol dari Apium graveolans secara intravena dengan dosis 0,5-15 mg/kgBB menyebabkan penurunan yang cukup tajam pada tekanan darah sistolik, diastolik dan tekanan darah arteri rata-rata pada kelinci yang dibius. Penelitian ini dilakukan dengan adanya atropin pada kelinci, pada kondisi ini efek hipotensif dan bradikardi dihambat secara parsial. Hambatan parsial ini menunjukkan adanya komponen kolinergik dalam aktivitas hipotensif dari Apium graveolans (Branković, et al., 2010). Pemberian ekstrak n-butylphtalide dari herba seledri pada tikus hipertensi sangat bermanfaat untuk terapi pemeliharaan hipertensi (Houston, 2005, Tsi & Tan, 1997, Wilson, 1970). Ekstrak heksan herba seledri yang diberikan selama 7 minggu dengan dosis 300 mg/kgBB secara oral dapat menurunkan tekanan darah sistolik hingga mencapai 112 mmHg pada tikus hipertensi dengan induksi deoksikortikosteron asetat (Moghadam, et al., 2013). Ekstrak diklorometana dan etil asetat dari Apium graveolans dengan dosis 110 dan 200 µg/ml secara signifikan menghambat CaCl2 yang menginduksi kontraksi, efek relaksan dengan menghambat aktivitas kanal Ca2+ yang ditunjukkan oleh ekstrak tersebut dihasilkan oleh apigenin yang diisolasi dari A. graviolans (Jorge, et al., 2013). 5. Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth., Folium) Kumis kucing telah banyak digunakan di beberapa negara Asia Tenggara terutama Indonesia. Daun kumis kucing sendiri telah digunakan sebagai diuretik, mencegah dan mengobati rematik, diabetes mellitus, hipertensi, tonsillitis, epilepsi, gangguan menstruasi, gonore, sifilis, batu ginjal, nefritis akut dan kronis, arthritis dan antipiretik (Adnyana, et al., 2013). Klasifikasi tanaman kumis kucing adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Sub Kelas : Sympetable Ordo : Tubiflorae Famili : Lamiaceae Genus : Orthosiphon Spesies : Orthosiphon stamineus Benth., (Backer & Van Den Brink, 1965) a. Morfologi Tanaman ini berjenis akar tunggang, batangnya berbentuk persegi empat agak beralur dan berwarna hijau keunguan. Daun berbentuk bulat telur, lonjong, berwarna hijau, panjang kurang dari 10 cm dan lebar 3 – 5 cm. Tangkai berbentuk bulat, berwarna ungu kehijauan, atau hijau tergantung varietas. Posisi daun pada batang berhadapan dan selang-seling, tulang daun bercabang-cabang (Bakti Husada, 2001). Bunga dari kumis kucing berwarna putih, biru atau ungu. Saat bunganya terbuka, benang sari dan putik akan memanjang keluar jauh melampaui kelopaknya, inilah mengapa disebut “kumis kucing”. Tanaman ini membutuhkan sinar matahari penuh dan tanah kebun yang lembab untuk tumbuh dan berbunga. Namun begitu, tanaman ini akan tumbuh sempurna dengan cahaya yang teduh dan iklim yang hangat (Adnyana, et al., 2013). b. Kandungan Kimia Daun Orthosiphon stamineus mengandung flavonoid sinensetin tidak kurang dari 0,10% (Depkes, 2008). Determinasi dari Orthosiphon stamineus menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi menunjukkan adanya kandungan flavonoid sinensetin, eupatorin dan 3'-hidroksi-5,6,7,4'-tetrametoksiflavon (Loon, et al., 2005). c. Efek Farmakologi Ekstrak metanol dari daun Orthosiphon stamineus dengan dosis 250, 500 dan 1000 mg/kg yang diberikan pada tikus selama 2 minggu memiliki efek antihipertensi yang signifikan, di mana dosis 250 mg/kg sebagai antihipertensi yang optimum. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah ekstrak Orthosiphon stamineus akan meningkatkan aliran urin dan ekskresi natrium pada urin, dan adanya pengaruh aktivitas reseptor antagonis adenosine A yang akan meningkatkan volume ekskresi urin (diuretik) dan menurunkan level asam urat dalam serum (Azizan, et al., 2012). Pemberian ekstrak air dan ekstrak metanol air dari daun Orthosiphon stamineus pada tikus yang telah diinduksi fenilefrin terbukti dapat menghambat kontraksi pada cincin aorta tikus. Ekstrak daun Orthosiphon stamineus memiliki peran dalam menurunkan vasokonstriksi sama seperti reseptor AT1 blocker (Manshor, et al., 2013). Dengan adanya reseptor AT1 blocker maka efek dari angiotensin II akan dihambat, dan ini akan berefek baik dan memiliki prognosis yang baik pada kondisi seperti hipertensi dan untuk menghambat vasokonstriksi (Unger, 2002). Adanya kandungan flavonoid sinensetin dan 3’-hidroksi- 5,6,7,4’tetrametoksiflavon pada Orthosiphon stamineus ternyata memiliki aktivitas diuretik pada tikus dengan pemberian intravena 10 mg/kgBB dari ekstrak kumis kucing (Almatar, et al., 2014). Aktivitas diuretik ini tentu akan menurunkan kadar kalium dan natrium dengan mengeluarkannya melalui urin. Eksresi natrium melalui urin ini akan menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi (Beaux, et al., 1998). Aktivitas antihipertensi metilriparichoromene A, neoortosifol A dan B, ortosifol A, tetrametilscutellarein, sinensetin, 5-hidroksi-6,7,3',4'- tetrametoksiflavon, eupatorin dan ortosifon A and B dari ekstrak Orthosiphon stamineus telah diteliti. Hasilnya menunjukkan bahwa volume urin meningkat seiring bertambahnya dosis. Selain itu tetrametilscutellarein, sinensetin dan neoortosifol A dan B menunjukkan adanya relaksasi pada kontraksi yang diinduksi dengan 60 Mm K+ atau l-fenilefrin (Adnyana, et al, 2013). 6. Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L. Fructus) Buah, bunga, daun, batang dan akar dari Morinda citrifolia telah digunakan untuk tujuan pengobatan sebagai obat tradisional berbasis tanaman. Faktanya, buah dari tanaman ini telah digunakan sebagai obat alternatif untuk antibakteri, antivirus, antifungi, antitumor, analgesik, hipotensif, antiinflamasi dan efek imuno-modulator (Nayak & Shettigar, 2010). Klasifikasi mengkudu adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Morinda Spesies : Morinda citrifolia L. (BPOM RI, 2008) a. Morfologi Habitus berupa pohon, tinggi 4-8 m, batang berkayu, bulat, kulit kasar, percabangan monopodial, penampang cabang muda segi empat, coklat kekuningan. Daun tunggal, bulat telur, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, panjang 10-40 cm, lebar 5-17 cm, pertulangan menyirip, tangkai pendek, daun penumpu bulat telur, panjang 1 cm, berwarna hijau. Bunga majemuk, bentuk bongkol, bertangkai, di ketiak daun, benang sari lima, melekat pada tabung mahkota, tangkai sari berambut, tangkai bakal buah panjang 3-5 cm, hijau kekuningan, mahkota bentuk terompet, leher berambut, panjang ±1 cm, putih. Buah bongkol, permukaan tidak teratur, berdaging, panjang 5-10 cm, hijau kekuningan. Biji keras, segi tiga, coklat kemerahan. Akar tunggang, coklat muda (BPOM RI, 2008). b. Kandungan Kimia Hasil identifikasi menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi dengan deteksi UV menunjukkan bahwa buah mengkudu mengandung derivat kumarin, seperti skopoletin, 7-hidroksikumarin, dan 4-hidroksikumarin (Ikeda, et al., 2009). Sembilan puluh enam komponen yang bersifat volatil dari buah mengkudu juga berhasil diidentifikasi, dengan asam oktanoat (70% dari total ekstrak) dan asam heksanoat (8% dari total ekstrak) sebagai komponen utamanya (Pino, et al., 2010). c. Efek Farmakologi Pemberian jus buah mengkudu sebesar 6 ml/kg pada subyek manusia terbukti dapat menurunkan tekanan darah setelah pemberian dosis pada hari ke 8. Efek penurunan tekanan darah ini dihasilkan karena adanya inhibisi pada angiotensin I converting enzyme (ACE) oleh jus buah mengkudu. Tingkat kematangan buah mengkudu mempengaruhi aktivitas hambatan pada angiotensin I converting enzyme (Yamaguchi, et al., 2002). Jus buah mengkudu matang memiliki efek inhibisi yang lebih besar dibandingkan buah yang masih hijau. Pemberian secara oral dari jus buah mengkudu ini dapat menurunkan tekanan darah sistolik dengan spontan pada tikus jantan yang hipertensi. Skopoletin adalah satu dari senyawa fenol yang penting di dalam jus buah mengkudu. Skopoletin memiliki peranan dalam menurunkan tekanan darah melalui efek vasodilatasi, yang mungkin memiliki aksi sebagai ACE inhibitor (Kumar, et al., 2010). Jus buah Morinda citrifolia menghambat kuat aktivitas angiotensin converting enzyme (ACE). Pemberian dosis tunggal secara oral dari jus ini menurunkan tekanan darah sistolik dengan spontan pada tikus jantan yang hipertensi. Hal ini membuktikan bahwa jus buah Morinda citrifolia memiliki komponen sebagai ACE inhibitor dan pemakaian rutin dari jus ini efektif untuk mencegah dan melawan hipertensi (Yang, et al., 2007). F. Landasan Teori Hipertensi terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Adanya angiotensin II di dalam plasma akan menyebabkan vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah sehingga tahanan perifer meningkat. Tahanan yang meningkat akan memperkuat kemampuan jantung memompa volume darah lebih besar, hal ini menimbulkan peningkatan tekanan arteri (Guyton, 2006). Angiotensin II juga berkaitan dengan sistem renin angiotensin yang mengakibatkan dihasilkannya aldosteron. Aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium pada tubulus distal nefron ginjal. Reabsorpsi natrium diikuti dengan reabsorpsi air, sehingga terjadi retensi cairan. Kenaikan volume cairan dapat meningkatkan curah jantung yang menyebabkan terjadinya hipertensi (Reckelhoff, 2001; Guyton, 2006). Pada otot jantung dan otot polos vaskuler, ion Ca2+ berperan penting dalam peristiwa kontraksi. Adanya kontraksi pada otot jantung dan otot polos vaskuler akan meningkatkan resistensi perifer yang menyebabkan terjadinya hipertensi (Suyatna, 2012). Hal ini menimbulkan pemikiran untuk melakukan penelitian dalam mengatasi berbagai faktor penyebab terjadinya hipertensi. Ekstrak herba seledri dalam berbagai jenis pelarut telah terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada berbagai subyek yang berbeda. Ekstrak etanol herba seledri menyebabkan penurunan yang cukup tajam pada tekanan darah sistolik, diastolik dan tekanan darah arteri rata-rata pada kelinci yang dibius (Branković, et al., 2010). Ekstrak diklorometana dan etil asetat dari herba seledri dengan dosis 110 dan 200 µg/ml secara signifikan menghambat CaCl2 yang menginduksi kontraksi, efek relaksan dengan menghambat aktivitas kanal Ca2+ yang ditunjukkan oleh ekstrak tersebut dihasilkan oleh apigenin yang diisolasi dari herba seledri (Jorge, et al., 2013). Apigenin mempunyai efek untuk menghambat protein kinase C dan efek vasorelaksasi atau vasodilatasi dengan mekanisme menghambat kontraksi dari pelepasan kalsium (Ko, 1991; Chan, et al., 2000). Adanya kandungan flavonoid sinensetin dan 3’-hidroksi- 5,6,7,4’tetrametoksiflavon pada daun kumis kucing memiliki aktivitas diuretik pada tikus dengan pemberian intravena 10 mg/kgBB dari ekstrak daun kumis kucing (Almatar, et al., 2014), adanya eksresi natrium melalui urin akan menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi (Beaux, et al., 1998). Kandungan tetrametilscutellarein, sinensetin, dan neoortosifol A dan B pada Orthosiphon stamineus juga menunjukkan efek relaksasi pada kontraksi yang diinduksi dengan 60 Mm K+ atau l-fenilefrin (Adnyana, et al, 2013). Ekstrak metanol daun Orthosiphon stamineus dengan dosis 250, 500 dan 1000 mg/kg yang diberikan pada tikus selama 2 minggu memiliki efek antihipertensi yang signifikan (Azizan, et al., 2012). Pemberian ekstrak air dan ekstrak metanol air dari daun Orthosiphon stamineus pada tikus yang telah diinduksi fenilefrin terbukti dapat menghambat kontraksi pada cincin aorta tikus (Manshor, et al., 2013). Pemberian jus buah mengkudu sebesar 6 ml/kg pada subyek manusia terbukti dapat menurunkan tekanan darah setelah pemberian dosis pada hari ke 8 (Yamaguchi, et al., 2002). Pemberian secara oral dari jus buah mengkudu ini dapat menurunkan tekanan darah sistolik dengan spontan pada tikus jantan yang hipertensi (Kumar, et al., 2010). Skopoletin adalah satu dari senyawa fenol yang penting di dalam jus buah mengkudu yang berperan dalam menurunkan tekanan darah melalui efek vasodilatasi, yang mungkin memiliki aksi sebagai ACE inhibitor dan pemakaian rutin dari jus ini efektif untuk mencegah dan melawan hipertensi (Kumar, et al., 2010; Yang, et al., 2007). Aktivitas herba seledri, daun kumis kucing dan buah mengkudu sebagai agen antihipertensi telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Masing-masing tanaman memiliki mekanisme dan senyawa aktif yang berbeda dalam menurunkan tekanan darah, sehingga dengan menggabungkan ketiga tanaman tersebut dapat diteliti untuk dikembangkan sebagai antihipertensi yang lebih efektif dan poten. Sebagai pembanding adalah ACE inhibitor sintetik yaitu kaptopril dengan alasan bahwa jenis antihipertensi ini sering digunakan untuk mengatasi hipertensi. G. Hipotesis 1. Kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu dapat menurunkan tekanan darah tikus galur Sprague Dawley yang diinduksi fenilefrin. 2. Kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu memiliki efektivitas sebanding dengan kaptopril dalam menurunkan tekanan darah melalui dosis yang diberikan.