AMOBILISASI ENZIM PROTEASE DARI Bacillus subtilis ITBCCB148 MENGGUNAKAN BENTONIT (Skripsi) Oleh ANA FEBRIANTI WULANDARI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016 ABSTRACT THE IMMOBILITATION OF PROTEASE FROM Bacillus Subtilis ITBCCB148 BY BENTONITE By Ana Febrianti Wulandari Protease is widely used commercially in food and non-food industry. For a certain industrial processes, the enzyme must be set up at extreme level of both pH and temperature. This research was aimed to improve the stability of protease from Bacillus Subtilis ITBCCB148 to immobilization techniques by adsorption of the enzyme on bentonite. Some sequential steps in this research were including production, isolation, purification and immobilization of purified enzymes. The results showed a specific activity of the purified enzyme of 1528,87 U/mg, increased of 13.04 folds than the crude extract. The purified protease has an optimum temperature at 50ºC, whereas the immobilized enyme at 55ºC. the residual activity on 60°C for 60 minutes for purified enzyme was 2.694%, while the immobilized enzyme was 17.599%. Kinetic datas of purified enzyme results were KM = 6.200 mg mL-1 substrate, Vmax = 200 μmol mL-1 minute-1, t1/2 = 12.6 minutes, ki = 0.055 min-1 and ΔGi = 98.115 KJ mol-1. While the datas of the immobilized enzyme were KM = 4.285 mg mL-1 substrate, Vmax = 142.857 μmol mL-1 minute-1, t1/2 = 23.1 minutes, ki = 0.03 minute-1 and ΔGi = 101.295 KJ mol-1. Based on impairment of ki, increment in half-time (t1/2), and the value of ΔGi, the immobilization by bentonite can improve the stability of protease from Bacillus subtilis ITBCCB148. Key words: Protease, Bacillus subtilis ITBCCB148, Enzyme immobilization, Bentonite ABSTRAK AMOBILISASI ENZIM PROTEASE DARI Bacillus subtilis ITBCCB148 MENGGUNAKAN BENTONIT Oleh Ana Febrianti Wulandari Protease banyak digunakan secara komersial dalam industri pangan dan non-pangan. Agar dapat digunakan dalam proses industri, maka enzim harus dapat bekerja pada pH dan suhu ekstrim. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas enzim protease dari isolat bakteri Bacillus subtilis ITBCCB148 melalui proses amobilisasi dengan metode penyerapan fisik (adsorpsi) enzim menggunakan bentonit. Adapun tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi proses produksi, isolasi, pemurnian dan amobilisasi enzim hasil pemurnian. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas spesifik enzim hasil pemurnian sebesar 1528,87 U/mg, meningkat kemurniannya 13,04 kali dibandingkan ekstrak kasar enzim. Enzim protease memiliki suhu optimum 50ºC, sedangkan enzim amobil pada suhu 55ºC. Uji stabilitas termal pada suhu 60ºC selama 60 menit untuk enzim hasil pemurnian masih memiliki aktivitas sisa 2,694%, sedangkan enzim amobil sebesar 17,599%. Data kinetika enzim hasil pemurnian diperoleh KM = 6,200 mg mL-1 substrat dan Vmaks = 200 μmol mL-1 menit-1, t1/2 = 12,6 menit, ki = 0,055 menit-1 dan ΔGi = 98,115 KJ mol-1. Sedangkan data kinetika enzim hasil amobilisasi diperoleh KM = 4,285 mg mL-1 substrat dan Vmaks = 142,857 μmol mL-1 menit-1, t1/2 = 23,1 menit, ki = 0,03 menit-1 dan ΔGi = 101,295 KJ mol-1. Berdasarkan penurunan nilai ki , peningkatan waktu paruh (t1/2), dan nilai ΔGi, menunjukkan bahwa amobilisasi menggunakan bentonit dapat meningkatkan stabilitas enzim protease dari Bacillus subtilis ITBCCB148. Kata kunci : Protease, Bacillus subtilis ITBCCB148, Amobilisasi enzim, Bentonit AMOBILISASI ENZIM PROTEASE DARI Bacillus subtilis ITBCCB148 MENGGUNAKAN BENTONIT Oleh ANA FEBRIANTI WULANDARI Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS Pada Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pringsewu pada tanggal 4 Februari 1995, sebagai anak pertama dari dua bersaudara, putri dari Bapak Ngadimin dan Ibu Karimi. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Banyumas pada tahun 2005. Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Candipuro pada tahun 2008 dan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Candipuro pada tahun 2011. Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA Unila melalui jalur SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tertulis. Pada tahun 2014, penulis telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa Gunung Terang Kab. Lampung Selatan. Tahun 2015, penulis telah melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia FMIPA Unila. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum Sains Dasar tahun 2014, asisten praktikum Biokimia pada periode 20142016 untuk mahasiswa S1 Jurusan Biologi FMIPA Unila, mahasiswa S1 Jurusan Kimia FMIPA Unila. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Kimia Medik untuk mahasiswa Kedokteran FK Unila. Dalam bidang organisasi, penulis pernah terdaftar sebagai Kader Muda Himpunan Mahasiswa Kimia (KAMI) FMIPA periode 2011-2012, sebagai anggota biro penerbitan Himpunan Mahasiswa Kimia (HIMAKI) periode 2012-2013, dan sebagai anggota bidang sosial masyarakat Himpunan Mahasiswa Kimia (HIMAKI) periode 2013-2014. Kupersembahkan karya ini kepada : ALLAH S.W.T Rosulullah SAW beserta keluarganya Junjunganku, suri tauladanku, yang kunanti-nantikan syafa’atnya di hari kebangkitan kelak Kedua Orang tua ku, Bapak dan Mama yang telah merawat, membesarkan, dan mendidik dengan sepenuh hati sehingga penulis bisa sampai pada tahap ini. Terimakasih atas kasih sayang yang begitu tidak terkira.. Adindaku (Inggit Dwi Karimah) yang selalu penulis sayangi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Yandri A.S.,M.S. Guru-guru yang selalu membagi ilmu untukku Seluruh keluarga Cheven (Chemistry Eleven) yang selalu menyemangatiku dan Almamater Tercinta MOTTO Expect for the best, Plan for the worst, Action whatever it takes! (Bong Chandra) If you FAIL, never give up, because F.A.I.L means “First Attempt In Learning”. END is not the end. In fact, E.N.D means “Effort Never Dies”. If you get NO as an answer, remember N.O means “Next Opportunity” (delyjny) If you want the rainbow, you have to deal the rain. (Tfios) Senyum manismu dihadapan saudaramu adalah shadaqoh. (HR Thirmidzi) SANWACANA Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul ”Amobilisasi Enzim Protease dari Bacillus subtilis ITBCCB148 Menggunakan Bentonit” sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung. Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik berupa bimbingan, saran, kritik yang membangun, maupun dukungan moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yandri A.S.,M.S. selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing serta memberikan motivasi kepada penulis selama menjalankan penelitian dan selama menjadi mahasiswa dari awal penelitian sampai terselesaikannya penyusunan skripsi ini. Bapak Mulyono, Ph.D. selaku Pembahas I yang memberikan bimbingan, nasihat, kritik, dan saran kepada penulis. Ibu Dr. Mita Rilyanti, M.Si.selaku Pembahas II yang telah memberikan bimbingan, sumbangan pikiran, kritik, dan saran selama penyusunan skripsi. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terselesaikannya penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Warsito, S.Si., DEA, Ph.D., selaku dekan FMIPA Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M. T., selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Hardoko Insan Qudus, M.S. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran, bimbingan, motivasi, dan nasihat kepada penulis. 4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 5. Bapak dan Mama, yang tiada hentinya memberikan cinta kasih, do’a, motivasi, dukungan dan nasihat serta menantikan keberhasilanku. 6. Adikku tersayang Inggit Dwi Karimah yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 7. Pakde Ibnu Suyanto, Mama Mboes, serta anak-anak dan cucu-cucunya yang selalu memberikan semangat kepada penulis. 8. Ayah H. Nasarudin Tepar dan Ibu Hj. Desmiyati selaku orang tua kedua penulis yang selalu memberikan do’a dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Temanku, sahabatku, keluargaku yang selalu berbagi canda tawa selama lebih dari 4 tahun ini dan selalu memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu : Mega, Yulia, Rina, Dewi, dan Nira. 10. Ever Lasting Partner (Aprilia isma Denila dan Uswatun Hasanah) sebagai teman berbagi saran, yang telah mebantu dan menemani selama penulis melakukan penelitian. 11. Penghuni Istana Rapunzel, Sang Princess mba Putri Amalia, teman seangkatanku Windi dan Azies, serta adik-adik tingkatku Erlita, Ma’ul, Ruwai, Diani, Fifi, Putri, dan Syatira yang selalu membantu dan menemani penulis selama penelitian. 12. Teman-teman seperjuangan (Cheven), terimakasih atas kebersamaannya dalam menuntut ilmu menggapai impian juga canda-tawa-bahagia yang selalu kita hadirkan, Anorteam’s: Yunia, Rio Woo, Irkham, Melly Antika, Melly Novita, Nopitasari, Tamara, Asti dan Nico. Biokimteam’s: Ajeng, Ay”, dan Jeje. Organikteam’s: Miftah, Wagiran, Arik, Juned, Mirfat, Ridho, Andri, Lili, Rio Feb. Fisikteam’s: Lusi, Vevi, Gegek, Yudha, Yusry, Umee, Eva, Ramos, Ivan, Tata, Fatma. Analitikteam’s: Daniar, Ayu .F, Mila, Fani, Anggino, Mardian, Cimoy, Lewi, Ari. 13. Saudara-saudaraku, Arrum Maishah Saba Putri dan Sisca Marya Susanti yang selalu memberikan semangat dan dukungannya. 14. Keluarga “Wanita Muslimah”, Mba Nab, Mega, Desti, Nita, dan Lia yang selalu memberikan saran, motivasi dan semangat. 15. Laboran Biokimia : Pak Jon dan Uni yang telah membantu melancarkan penulis selama menjalani penelitian. 16. Staf Administrasi : Pak Gani dan Mba Nora yang membantu penulis dalam mengurus persyaratan maupun berkas selama kuliah dan penelitian. 17. Himaki FMIPA Unila yang senantiasa memberikan pengalaman kepada penulis. 18. Kakak dan adik tingkat penulis dari tahun 2008 - 2013. Semoga segala bentuk bantuan dan dukungan yang diberikan mendapat balasan pahala dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa dan para pembaca umumnya. Aamiin. Bandar Lampung, Oktober 2016 Penulis, Ana Febrianti Wulandari DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI........................................................................................................... i DAFTAR GAMBAR............................................................................................ iii DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv PENDAHULUAN.................................................................................................. 1 A. Latar Belakang ........................................................................................... 1 B. Tujuan Penelitian........................................................................................ 3 C. Manfaat Penelitian...................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4 A. Enzim ......................................................................................................... 4 B. C. D. E. 1. Klasifikasi Enzim … ………………………………………………….5 2. Sifat Katalitik Enzim………..…………………………………………6 3. Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim………....... ……………7 4. Teori Pembentukan Enzim-Substrat..………………………..………10 Protease .............................................................................................................. 12 Bacillus subtilis........................................................................................13 Stabilitas Enzim ....................................................................................... 14 1. Stabilitas Termal Enzim.……………………………………………..15 2. Stabilitas pH Enzim ............................................................................ 16 3. Kadar Air ............................................................................................ 16 Pemurnian Enzim...................................................................................... 17 1. Sentrifugasi ......................................................................................... 17 2. Fraksinasi ............................................................................................ 17 3. Dialisis ................................................................................................ 18 F. Penentuan Kadar Protein Metode Lowry.................................................. 19 G. Amobilisasi Enzim……………………………………………………….20 1. Metode Penjebakan ............................................................................. 21 2. Metode Pengikatan.............................................................................. 22 H. Kinetika Reaksi Enzim............................................................................. 23 I. Bentonit .................................................................................................... 25 METODE PENELITIAN ................................................................................... 29 A. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 29 ii B. Alat dan bahan Penelitian......................................................................... 29 C. Prosedur Penelitian................................................................................... 30 1. Persiapan Pendahuluan........................................................................ 30 2. Pembuatan Media Inokulum, Fermentasi, Dan Larutan Pereaksi....... 30 3. Inokulasi Bakteri Bacillus subtilis ITBCCB148 ................................. 31 4. Isolasi Enzim Protease ........................................................................ 32 5. Uji Aktivitas dan Penentuan Kadar Protein Enzim Protease .............. 32 6. Pemurnian Enzim Protease ................................................................. 33 7. Amobilisasi Enzim Protease ............................................................... 36 8. Hasil Pemurnian dan Amobilisasi....................................................... 37 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 40 A. Produksi dan Isolasi Enzim Protease ...................................................... 40 B. Pemurnian Enzim Protease....................................................................... 40 1. Fraksinasi Bertingkat dengan Ammonium Sulfat [(NH4)2SO4] ........ 41 2. Dialisis ............................................................................................... 42 C. Penentuan pH Pengikatan Enzim Protease Hasil Amoobilisasi ............... 44 D. Karakterisasi Enzim Protease Hasil Pemurnian dan Enzim Protease Hasil Amobilisasi.............................................................................................. 45 1. Penentuan suhu optimum enzim protease hasil pemurnian dan enzim protease hasil amobilisasi .................................................................. 45 2. Penentuan stabilitas termal enzim protease hasil pemurnian dan enzim protease hasil amobilisasi .................................................................. 46 3. Penentuan KM dan Vmaks enzim protease hasil pemurnian dan enzim hasil amobilisasi ................................................................................ 47 4. Pemakaian berulang enzim amobil.................................................... 48 5. Perubahan konstanta laju inaktivasi(ki), waktu paruh (t1/2), dan energi akibat denaturasi (ΔGi) enzim protease hasil pemurnian dan enzim protease hasil amobilisasi ....................................................... 50 a. Waktu paruh (t1/2) dan konstanta laju inaktivasi termal (ki) ........ 51 b. Perubahan energi akibat denaturasi (ΔGi) ................................... 51 V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ............................................................................................... 53 B. Saran ...................................................................................................... 54 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Hubungan Aktivitas Enzim Dengan Suhu ........................................................ 8 2. Hubungan Kecepatan Reaksi Dengan pH ......................................................... 8 3. Hubungan Kecepatan Reaksi Dengan Konsentrasi Enzim ............................... 9 4. Teori Kunci Gembok dan Kecocokan Enzim ................................................. 11 5. Diagram Lineweaver Burk .............................................................................. 25 6. Skema Fraksinasi Enzim Dengan Amonium Sulfat........................................ 34 7. Diagram Alir Penelitian .................................................................................. 39 8. Hubungan antara kejenuhan ammonium sulfat (0-90%) dengan aktivitas spesifik enzim protease dari Bacillus subtilis ITBCCB148............................ 41 9. Hubungan antara kejenuhan ammonium sulfat (0-40%) dan (40-90%) dengan aktivitas spesifik enzim protease dari Bacillus subtilis ITBCCB148 ............. 42 10. Aktivitas unit enzim protease pada beberapa pH pengikatan ......................... 44 11. Suhu optimum enzim protease hasil pemurnian dan enzim protease hasil amobilisasi ...................................................................................................... 45 12. Stabilitas termal enzim protease hasil pemurnian dan enzim protease hasil amobilisaasi..................................................................................................... 46 13. Grafik Lineweaver-Burk enzim protease hasil pemurnian dan enzim protease hasil amobilisasi .............................................................................................. 48 14. Pemakaian berulang enzim protease menggunakan bentonit.......................... 49 15. Grafik In (Ei/E0) enzim protease hasil pemurnian dan hasil amobilisasi dengan bentonit ............................................................................................... 50 16. Hubungan antara pH dengan aktivitas unit (U/mL) enzim protease............... 61 17. Kurva standar tirosin ....................................................................................... 69 18. Kurva standar serum albumin ......................................................................... 70 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Aplikasi Enzim Dalam Proses Industri ............................................................. 5 2. Pemurnian enzim protease dari Bacillus subtilis ITBCCB148 ....................... 43 3. Nilai konstanta laju inaktivasi (ki), waktu paruh (t1/2) dan energi akibat denaturasi (ΔGi) enzim protease hasil pemurnian dan enzim protease hasil amobilisasi ...................................................................................................... 50 4. Hubungan antara berbagai tingkat kejenuhan ammonium sulfat(0-90%) dengan aktivitas spesifik enzim protease ........................................................ 59 5. Hubungan antara kejenuhan ammonium sulfat fraksi (0-40%) dan (40-90%) dengan aktivitas spesifik enzim protease ....................................................... 59 6. Pengikatan enzim protease pada matriks (bentonit) dalam berbagai pH ........ 60 7. Hubungan antara pH dengan aktivitas unit (U/mL) enzim protease............... 61 8. Hubungan antara suhu dengan aktivitas unit (U/mL) enzim protease hasil pemurnian dan enzim hasil amobilisasi .......................................................... 62 9. Hubungan antara suhu dengan aktivitas sisa (%) enzim protease hasil pemurnian dan enzim hasil amobilisasi .......................................................... 62 10. Data untuk penentuan KM dan Vmaks enzim protease hasil pemurnian berdasarkan persamaan Lineweaver-Burk....................................................... 63 11. Data untuk penentuan KM dan Vmaks enzim protease hasil amobilisasi berdasarkan persamaan Lineweaver-Burk....................................................... 63 12. Hubungan antara aktivitas unit (U/mL) enzim protease hasil pemurnian dan enzim hasil amobilisasi selama inaktivasi termal 55°C .................................. 64 13. Hubungan antara aktivitas sisa (%) enzim protease hasil pemurnian dan enzim hasil amobilisasi selama inaktivasi termal 55°C .................................. 64 14. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim protease hasil pemurnian selama inaktivasi termal 50°C......................................................................... 65 15. Penentuan ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim protease hasil amobilisasi selama inaktivasi termal 55°C ..................................................... 65 16. Hubungan antara pengulangan enzim protease hasil pemurnian dengan aktivitas unit (U/mL)....................................................................................... 68 v 17. Absorbansi tirosin pada berbagai konsentrasi untuk menentukan kurva standar tirosin .............................................................................................................. 69 18. Absorbansi serum albumin (BSA) pada berbagai konsentrasi untuk menentukan kurva standar protein .................................................................. 70 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini penggunaan enzim pada proses industri sangat pesat, salah satunya sebagai biokatalis. Kelebihan enzim dibandingkan katalis biasa adalah (1) produk yang dihasilkan tinggi; (2) bekerja pada pH yang relatif netral dan suhu yang relatif rendah; dan (3) bersifat spesifik dan selektif terhadap substrat tertentu. Enzim telah banyak digunakan dalam bidang industri pangan, farmasi dan industri kimia lainnya. Dalam bidang pangan misalnya amilase, invertase, glukosa-isomerase, papain, dan bromelin, sedangkan dalam bidang kesehatan contohnya amilase, lipase, dan protease (Boyer, 1971). Protease merupakan enzim proteolitik yang dapat menguraikan protein menjadi asam amino dan mengkatalisis pemutusan ikatan peptida pada protein. Protease dibutuhkan secara fisiologi untuk kehidupan organisme pada tumbuhan, hewan maupun mikroorganisme (Rao et al., 1998). Isolasi enzim protease banyak dihasilkan dari mikroorganisme. Sebagai sumber enzim, mikroorganisme lebih menguntungkan karena pertumbuhannya cepat, dapat tumbuh pada berbagai macam substrat, lebih mudah ditingkatkan hasilnya melalui pengaturan kondisi pertumbuhan dan rekayasa 2 genetik, serta mampu menghasilkan enzim yang ekstrim. Adanya mikroorganisme yang unggul merupakan salah satu faktor penting dalam usaha produksi enzim (Kosim, 2009). Secara umum enzim cenderung sulit dipisahkan di akhir reaksi sehingga kemampuan penggunaan ulangnya terbatas (Krajewska, 2004). Selain itu struktur enzim tidak stabil terhadap perubahan pH dan suhu, sehingga mudah mengalami denaturasi. Tingginya harga enzim juga menjadikan proses enzimatis tidak ekonomis jika digunakan pada skala yang besar (Tan et al., 2010). Beberapa kelemahan tersebut dapat diatasi dengan mengikatkan enzim pada matriks pendukung yang tidak larut dalam air. Teknik ini dikenal dengan imobilisasi enzim, dimana enzim terimobilisasi mampu mempertahankan aktivitasnya dan dapat digunakan secara berulang maupun proses kontinyu (Jegannathan et al., 2008). Roosdiana (2013), telah melakukan amobilisasi enzim pektinase dari Bacillus subtilis menggunakan bentonit dan menghasilkan waktu optimum pektinase teradsorpsi adalah pada waktu pengocokkan 4 jam dan aktivitas pektinase sebesar 642,7 µg/g.menit. Sedangkan Sutrisno (2014) melaporkan bahwa waktu optimum enzim xilanase dari Trichoderma viride yang teradsorpsi adalah waktu pengocokan 3 jam dengan peningkatan aktivitas sebesar 10,245 unit. Meriyanti (2014), telah berhasil meningkatkan stabilitas enzim selulase dari Aspergillus niger L-51 yang memiliki suhu optimum enzim selulase hasil amobil pada 65oC dan enzim hasil pemunian 3 memiliki suhu optimum 60oC. Selain itu, enzim hasil amobil memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan enzim hasil pemurnian. Penelitian ini menggunakan Bacillus subtilis ITBCCB148 sebagai sumber enzim protease. Enzim tersebut kemudian diamobil dengan bentonit sebagai matriks atau bahan pendukung. Bentonit digunakan sebagai matriks karena bentonit mempunyai luas permukaan yang sangat besar, dan mempunyai kemampuan adsorpsi yag tinggi (Puslitbang, 2005). B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Memperoleh enzim protease dari Bacillus subtilis ITBCCB148 dengan aktivitas dan kemurnian yang tinggi 2. Memperoleh enzim protease dari Bacillus subtilis ITBCCB148 dengan kestabilan yang tinggi melalui amobilisasi fisik menggunakan bentonit. C. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi tentang cara meningkatkan stabilitas enzim protease. 2. Memberikan informasi mengenai pengaruh bentonit terhadap stabilitas enzim protease dari Bacillus subtilis ITBCCB148. 3. Enzim protease dengan stabilitas yang tinggi dapat digunakan dalam proses industri. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Enzim Enzim merupakan senyawa protein yang dapat mengkatalisis seluruh reaksi kimia dalam sistem biologis. Fungsi enzim sebagai katalis untuk proses biokimia terjadi di dalam sel maupun di luar sel. Suatu enzim dapat mempercepat reaksi 108 sampai 1011 kali lebih cepat dibandingkan dengan reaksi yang dilakukan tanpa katalis. Enzim dapat berfungsi sebagai katalis yang sangat efisien , disamping itu mempunyai derajat kekhasan yang tinggi. Seperti katalis lainnya, enzim dapat menurunkan energi aktivasi suatu reaksi kimia (Poedjadi,1994). Salah satu fungsi yang paling menonjol dari protein adalah aktivitas enzim. Enzim mempunyai fungsi khusus antara lain yaitu : (1) menurunkan energi aktivasi, (2) mempercepat reaksi pada suhu dan tekanan tetap tanpa mengubah besarnya tetapan kesetimbangan, dan (3) mengendalikan reaksi (Page, 1997). Kelebihan enzim dibandingkan katalis biasa adalah enzim bersifat spesifik dibandingkan dengan katalis anorganik, bekerja pada pH yang relatif netral dan suhu yang relatif rendah, aman, mudah dikontrol, dapat menggantikan bahan kimia yang 5 berbahaya, serta dapat didegradasi secara biologis (Page, 1997). Enzim digunakan dalam sebagian besar sektor industri, terutama industri makanan. Selain itu, enzim juga digunakan dalam industri deterjen, farmasi dan tekstil. Aplikasi enzim pada bidang industri dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel l. Beberapa enzim yang dihasilkan mikroba dan aplikasinya (Fowler, 1988) Enzim Amilase Sumber Bacillus subtilis Aspergillus oryzae Penicillium Roquefort Aspergillus niger Penicillinase Bacillus subtilis Invertase Aspergillus oryzae Saccharomyces cerevisiae Selulase Aspergillus niger Tricoderma sp. Pektinase Aspergillus niger Protease Clostridium sp. Aplikasi Tekstil, pelarutan pati, produksi glukosa Degradasi penisilin Industri permen Pengurang viskositas, membantu sistem pencernaan Klarifikasi wine dan jus buah, pelunak, membantu system Pencernaan 1. Klasifikasi enzim Klasifikasi enzim dapat dibedakan sebagai berikut : a. Menurut Wirahadikusumah (2001), berdasarkan fungsinya enzim dapat dibedakan menjadi enam kelas dan tiap kelas mempunyai beberapa subkelas. Dalam tiap subkelas, nama resmi dan nomor klasifikasi dari tiap enzim melukiskan reaksi yang dikatalisis berdasarkan IUPAC yaitu: 1. Oksidoreduktase, mengkatalisis reaksi oksidasi-reduksi. Contoh : NAD oksido reduktase (CEIUB); Alkohol dehidrogenase (Trivial) 6 2. Transferase, mengkatalisis perpindahan gugus molekul dari suatu molekul ke molekul yang lain, seperti gugus amino, karbonil, metal, asil, glikosil atau fosforil. Contoh : Glukosa-6-transferase (CEIUB); Glukokinase (trivial) 3. Hidrolase, berperan dalam reaksi hidrolisis. Contoh : -1-4-glukan-4glukanohidrolase (CEIUB); -amilase (trivial) 4. Liase, mengkatalisis reaksi adisi atau pemecahan ikatan rangkap dua. Contoh: 2-Asam oksalokarboksi-liase (CEIUB); piruvat dekarboksilase (trivial) 5. Isomerase, mengkatalisis reaksi isomerisasi. Contoh: Alanina rasemase (CEIUB); alanina rasemase (trivial) 6. Ligase, mengkatalisis pembentukan ikatan dengan bantuan pemecahan ikatan dalam ATP. Contoh: Karbondioksida ligase (CEIUB); piruvat karboksilase (trivial) b. Menurut Lehninger (1985), klasifikasi enzim berdasarkan cara terbentuknya dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Enzim konstitutif, yaitu enzim yang jumlahnya dipengaruhi kadar substratnya, misalnya enzim amilase. 2. Enzim adaptif, yaitu enzim yang pembentukannya dirangsang oleh adanya substrat, contohnya enzim β-galaktosidase yang dihasilkan oleh bakteri E.coli yang ditumbuhkan di dalam medium yang mengandung laktosa. 2. Sifat katalitik enzim Sifat-sifat katalitik dari enzim (Page, 1989) ialah sebagai berikut: a. Enzim mampu meningkatkan laju reaksi pada kondisi biasa (fisiologi) dari tekanan, suhu dan pH. 7 b. Enzim memiliki selektivitas yang tinggi terhadap substrat (substansi yang mengalami perubahan kimia setelah bercampur dengan enzim) dan jenis reaksi yang dikatalisis. c. Enzim memberikan peningkatan laju reaksi yang tinggi dibanding dengan katalis biasa. 3. Faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah sebagai berikut: a. Suhu Suhu sangat mempengaruhi aktivitas enzim pada waktu mengkatalisis suatu reaksi. Seluruh enzim memerlukan jumlah panas terutama untuk dapat aktif. Sejalan dengan meningkatnya suhu, makin meningkat pula aktivitas enzim. Secara umum, setiap peningkatan sebesar 10°C di atas suhu minimum, aktivitas enzim akan meningkat sebanyak dua kali lipat. Aktivitas enzim meningkat pada kecepatan ini hingga mencapai kondisi optimum. Peningkatan suhu yang melebihi suhu optimumnya menyebabkan lemahnya ikatan di dalam enzim secara struktural (Pratiwi, 2008). Pada suhu maksimum enzim akan terdenaturasi karena struktur protein terbuka dan gugus non polar yang berada di dalam molekul menjadi terbuka keluar, kelarutan protein di dalam air yang polar menjadi turun, sehingga aktivitas enzim juga akan turun (Lehninger, 2005). Hubungan antara aktivitas enzim dengan suhu ditunjukkan dalam Gambar 1. 8 Gambar 1. Hubungan aktivitas enzim dengan suhu (Poedjiadi, 1994) b. pH Enzim pada umumnya bersifat amfolitik, yang berarti enzim mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun gugus basanya, terutama pada gugus residu terminal karboksil dan gugus terminal aminonya, diperkirakan perubahan kereaktifan enzim akibat perubahan pH lingkungan. Perubahan pH akan mempengaruhi efektivitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim-substrat. Selain itu, pH yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan akan mengakibatkan menurunnya aktivitas enzim (Winarno, 1989). Hubungan kecepatan reaksi dengan pH ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 2. Hubungan kecepatan reaksi dengan pH (Page, 1997). 9 c. Konsentrasi enzim dan substrat Semakin tinggi konsentrasi enzim maka kecepatan reaksi akan semakin meningkat hingga pada batas konsentrasi tertentu dimana hasil hidrolisis akan konstan dengan naiknya konsentrasi enzim yang disebabkan penambahan enzim sudah tidak efektif lagi (Reed, 1975). Hubungan antara laju reaksi enzim dengan konsentrasi enzim ditunjukkan dalam Gambar 3. Gambar 3. Hubungan kecepatan reaksi dengan konsentrasi enzim (Page,1997). Pertambahan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi apabila konsentrasi enzim tetap. Kompleks enzim substrat akan terbentuk apabila ada kontak antara enzim dengan substrat. Kontak ini terjadi pada suatu tempat atau bagian enzim yang disebut bagian aktif. Pada konsentrasi substrat rendah, bagian aktif enzim ini hanya menampung sedikit substrat. Bila konsentrasi substrat diperbesar, makin banyak substrat yang dapat berhubungan dengan enzim pada bagian aktif tersebut. Konsentrasi kompleks enzim substrat makin besar dan hal ini menyebabkan makin besarnya kecepatan reaksi. Pada keadaan bertambah besarnya konsentrasi substrat 10 tidak menyebabkan bertambah besarnya konsentrasi kompleks enzim substrat, sehingga jumlah hasil reaksinya pun tidak bertambah besar (Wuryanti, 2004). d. Aktivator dan inhibitor Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam reaksi katalisnya. Aktivator adalah senyawa atau ion yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis. Komponen kimia yang membentuk enzim disebut juga kofaktor. Kofaktor tersebut dapat berupa ion-ion anorganik seperti Zn, Fe, Ca, Mn, Cu dan Mg atau dapat pula sebagai molekul organik kompleks yang disebut koenzim (Martoharsono, 1984). Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh senyawa penghambat enzim (inhibitor). Inhibitor dapat bersaing dengan substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim sehingga dapat terjadi pengurangan laju reaksi. Inhibitor biasanya menyerupai substrat normal dengan bentuk tiga dimensinya. Karena persamaan ini, enzim dapat berikatan dengan inhibitor (Pratiwi, 2008). 4. Teori pembentukkan enzim-substrat Cara kerja enzim dapat dijelaskan dengan dua teori, yaitu teori kunci-gembok (lock and key theory) dan teori kecocokan yang terinduksi (induced fit theory), yang ditunjukkan dalam Gambar 4. 11 Gambar 4. Teori kunci-gembok dan kecocokan induksi (Page, 1997) Menurut teori kunci-gembok, enzim dan substrat bergabung bersama membentuk kompleks, seperti kunci yang masuk dalam gembok. Hal ini dikarenakan adanya kesesuaian bentuk ruang antara substrat dengan sisi aktif enzim, sehingga sisi aktif enzim cenderung kaku. Di dalam kompleks, substrat dapat bereaksi dengan energi aktivasi yang rendah. Setelah bereaksi, kompleks lepas dan melepaskan produk serta membebaskan enzim. Sedangkan menurut teori kecocokan yang terinduksi, sisi aktif enzim merupakan bentuk yang fleksibel. Ketika substrat memasuki sisi aktif enzim, bentuk sisi aktif termodifikasi melingkupi substrat membentuk kompleks. Ketika produk sudah terlepas dari kompleks, enzim tidak aktif menjadi bentuk yang lepas. Sehingga, substrat yang lain kembali bereaksi dengan enzim tersebut. 12 B. Protease Protease merupakan kelompok enzim-enzim yang sangat kompleks yang menduduki posisi sentral dalam aplikasinya pada bidang fisiologis dan produk-produk komersil. Protease ekstraseluler sebagian besar berperan dalam hidrolisis substrat polipeptida besar. Enzim proteolitik intraseluler memainkan peran penting dalam metabolisme dan proses regulasi pada sel hewan, tumbuhan dan mikroorganisme, seperti menggantikan protein, memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis protein. Protease intraseluler berperan dalam fungsi fisiologis lainnya, seperti pencernaan, maturasi hormon, perakitan virus, respon imun, inflamantasi, fertilisasi, koagulasi darah, fibrinolisis, kontrol tekanan darah, sporulasi, germinasi dan pathogenesis. Protease juga diimplikasikan dalam peran regulasi ekspresi gen, perbaikan DNA, dan sintesis DNA (Rao et al., 1998). Protease dihasilkan dari tiga sumber utama, yaitu tanaman, hewan dan mikroba. Enzim papain, bromelin dan fisin merupakan protease yang dihasilkan dari tanaman. Sedangkan tripsin, kemotripsin, pepsin, dan rennin merupakan protease yang berasal dari hewan. Kelemahan tanaman sebagai sumber protease adalah kesulitan untuk melakukan ekstraksi enzim efisien karena membutuhkan peralatan berat untuk menghancurkan jaringan tanaman yang besar dan keras (Lehninger, 2005). Selain itu, pertumbuhan tanaman terlalu lama untuk produksi enzim skala besar. Produksi protease dari hewan pun sangat terbatas, membutuhkan jumlah hewan dan biaya yang besar karena proses ekstraksi enzim dari jaringan hewan sulit dilakukan. Enzim dari 13 hewan paling banyak digunakan dalam industri pangan adalah kimosin, yaitu pada industri keju. Sedangkan enzim tanaman yang paling banyak digunakan dalam industri pangan adalah papain dan bromelin. Pada tahun 1950-1960, pemanfaatan enzim dari hewan dan tanaman mulai digantikan oleh enzim mikrobial (Nagodawithana and Reed, 1993). Mikroba merupakan sumber protease terbaik karena pertumbuhan mikroba relatif cepat dan mudah diatur sehingga mutu enzim yang dihasilkan lebih seragam (Standbury dan Whitaker, 1984). Sebagian besar enzim mikroba yang dihasilkan secara komersial adalah enzim ekstraseluler yang diproduksi di dalam sel dan dikeluarkan ke cairan lingkungan sekitar tempat sel tumbuh. Lehninger (2005) mengatakan bahwa hal ini merupakan salah satu kelebihan mikroba dibandingkan hewan dan tanaman yang membutuhkan proses penghancuran sel untuk mendapatkan enzim yang diinginkan. Contoh mikroba penghasil enzim yang aman untuk pangan adalah Aspergillus niger, A. orizae, A. awamori, Mucor miehei, Bacillus subtilis, B. licheniformis, dan Saccharomyces cereviseae (Nagodawithana and Reed, 1993). C. Bacillus subtilis Bacillus subtilis adalah bakteri Gram positif yang biasanya ditemukan di dalam tanah. Bakteri ini mempunyai kemampuan membentuk pertahanan diri yang kuat, dengan membentuk endospora yang bersifat melindungi sehingga dapat tahan pada kondisi lingkungan yang ekstrim (Nakano and Zuber, 1998). 14 Bacillus subtilis tidak secara langsung termasuk sebagai patogen pada manusia, bagaimanapun Bacillus subtilis dapat mengkontaminasi makanan tetapi tidak sampai menyebabkan makanan menjadi beracun (Ryan & Ray, 2004). Sporanya dapat bertahan hidup pada pemanasan ekstrim yang seringkali digunakan untuk memasak makanan dan juga mampu membuat produk pangan roti menjadi busuk atau rusak (Gielen dkk., 2004). D. Stabilitas Enzim Enzim merupakan golongan protein, sehingga mempunyai sifat fisik dan kimia yang mirip dengan protein. Beberapa enzim tidak stabil dan mudah terdenaturasi, sehingga aktifitas enzimnya hilang. Setiap enzim mempunyai suhu dan pH optimum untuk aktivitasnya. Dalam melakukan aktivitasnya, enzim dipengaruhi oleh lingkungannya. Pengaruh tersebut dapat mengganggu stabilitas enzim sehingga menjadi masalah yang sering dihadapi dalam industri. Stabilitas merupakan sifat penting yang harus dimiliki oleh enzim dalam aplikasinya sebagai biokatalis. Stabilitas enzim dapat didefinisikan sebagai kestabilan aktivitas enzim selama penyimpanan dan penggunaan enzim tersebut, serta kestabilan terhadap senyawa yang bersifat merusak seperti pelarut tertentu (asam, basa) dan oleh pengaruh temperatur dan pH ekstrim (Kazan et al., 1997). Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan enzim yang mempunyai stabilitas tinggi, yaitu (1) menggunakan enzim yang memiliki stabilitas ekstrim alami 15 dan mengusahakan peningkatan stabilitas enzim yang secara alami tidak atau kurang stabil (Junita, 2002), (2) Menurut Illanes (1999), untuk meningkatkan stabilitas enzim dapat dilakukan dengan penggunaan zat aditif, modifikasi kimia, amobilisasi dan rekayasa protein. 1. Stabilitas termal enzim Pada suhu yang terlalu rendah kemantapan enzim tinggi, tetapi aktivitasnya rendah. Sedangkan pada suhu yang terlalu tinggi aktivitas enzim tinggi, tetapi kemantapannya rendah. Daerah suhu saat kemantapan dan aktivitas enzim cukup besar disebut suhu optimum (Wirahadikusumah, 2001). Dalam industri, pada proses reaksinya menggunakan suhu tinggi bertujuan untuk mengurangi tingkat kontaminasi dan masalah viskositas serta meningkatkan laju reaksi. Namun, suhu tinggi merupakan masalah utama dalam stabilitas enzim, karena enzim umumnya tidak stabil pada suhu tinggi. Proses inaktivasi enzim pada suhu tinggi berlangsung dalam dua tahap, yaitu : a. Adanya pembukaan partial (partial unfolding) struktur sekunder, tersier dan atau kuartener molekul enzim. b. Perubahan struktur primer enzim karena adanya kerusakan asam amino-asam amino tertentu oleh panas (Ahern and Klibanov, 1987). 16 2. Stabilitas pH enzim Perubahan aktivitas enzim akibat perubahan pH lingkungan disebabkan terjadinya perubahan ionisasi enzim, substrat atau kompleks enzim substrat, serta perubahan kemampuan peningkatan dan pengaruh laju reaksi. Pada umumnya enzim menunjukkan aktivitas maksimum pada suatu kisaran pH yang disebut pH optimum, yang umumnya antara pH 4,5-8,0 (Winarno, 1986). Enzim tertentu mempunyai kisaran pH optimum yang sangat sempit. Di sekitar pH optimum enzim mempunyai stabilitas yang tinggi. Dalam hal ini, enzim yang sama sering kali pH optimumnya berbeda tergantung dari sumber enzim tersebut. Pada reaksi enzimatik, sebagian besar enzim akan kehilangan aktivitas katalitiknya secara cepat dan irreversibel pada pH yang jauh dari rentang pH optimum untuk reaksi enzimatik. Inaktivasi ini terjadi karena unfolding molekul protein sebagai hasil dari perubahan kesetimbangan elektrostatik dan ikatan hidrogen (Kazan et al., 1997). 3. Pengaruh Kadar Air Air memegang peranan penting pada kedua tahap di atas. Oleh karena itu, dengan menggunakan air seperti pada kondisi mikroakueus, reaksi inaktivasi oleh panas dapat diperlambat dan stabilitas termal enzim akan meningkat. Stabilitas termal enzim akan jauh lebih tinggi dalam kondisi kering dibandingkan dalam kondisi basah. Adanya air sebagai pelumas membuat konformasi suatu molekul enzim menjadi sangat fleksibel, sehingga bila air dihilangkan molekul enzim akan menjadi lebih kaku (Virdianingsih, 2002). 17 E. Pemurnian Enzim Pemurnian enzim adalah salah satu cara untuk memisahkan protein enzim dari protein jenis lain dan kontaminan. Menurut Judoamidjojo dkk. (1989), proses pengisolasian dan pemurnian enzim berlangsung beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Sentrifugasi Proses ini bertujuan untuk memisahkan enzim dari sisa-sisa dinding sel, dimana molekul yang memiliki berat molekul tinggi dapat mengendap di dasar tabung dengan cepat bila disentrifugasi dengan kecepatan tinggi. Kecepatan pengendapan molekul bergantung pada beberapa faktor, yaitu berat molekul, bentuk molekul dan viskositas larutan. Proses ini akan menimbulkan panas, sehingga dapat mendenaturasi enzim. Untuk menghindarinya maka sentrifugasi dilakukan pada suhu 2-4oC (sentrifugasi dingin). Sel-sel mikroba biasanya mengalami sedimentasi pada kecepatan 5000 rpm selama15 menit (Scopes, 1982; Walsh and Headon, 1994). 2. Fraksinasi Cara pemurnian enzim yang umum dilakukan adalah dengan proses pengendapan bertahap atau biasa disebut sebagai fraksinasi. Fraksinasi yang sering dilakukan adalah dengan senyawa elektrolit menggunakan garam ammonium sulfat, natrium klorida atau natrium sulfat (Suhartono dkk, 1992). Menurut Wirahadikusumah (2001), meningkatnya kekuatan ion akan menyebabkan kelarutan enzim semakin besar yang disebut dengan salting in. Jika kandungan ion 18 semakin tinggi akan menyebabkan kelarutan enzim menurun dan mengendap yang disebut dengan salting out. Ammonium sulfat sering dipakai untuk mengendapkan enzim karena kelebihannya, yaitu: kebanyakan enzim tahan terhadap garam tersebut (tidak terdenaturasi), memiliki kelarutan yang besar, mempunyai daya pengendapan yang cukup besar dan mempunyai efek penstabil terhadap kebanyakan enzim. Perlakuan penambahan ammonium sulfat dilakukan dengan meningkatkan kejenuhan dari larutan enzim, dengan pembagian fraksi : (0-20)% jenuh, (20-40)% jenuh, (60-80)% jenuh, dan (80100)% jenuh. Pengendapan ini dikenal sebagai salting out (Judoamijojo dkk.,1989). 3. Dialisis Dialisis adalah proses pemisahan molekul terlarut berdasarkan ukuran molekulnya menggunakan membran semipermeabel berdasarkan difusi partikel zat terlarut. Membran yang biasa digunakan adalah selofan yang berbentuk selang. Difusi zat terlarut bergantung pada suhu dan viskositas larutan. Pada suhu tinggi laju difusi meningkat, tetapi sebagian besar protein dan enzim akan terdenaturasi. Proses dialisis harus dilakukan pada suhu 4-8°C dalam ruang dingin, karena protein dan enzim stabil pada suhu tersebut (Pohl, 1990). Menurut Baehaki dkk. (2011) molekul dengan berat molekul lebih kecil dari 20.000 Dalton dapat melalui membran, sedangkan yang berat molekulnya lebih besar akan tertahan di dalam membran. Jika membran berisi larutan protein atau enzim dimasukkan dalam larutan buffer, maka molekul kecil dalam larutan protein atau 19 enzim akan keluar dari pori-pori membran seperti garam anorganik dan molekul protein atau enzim yang berukuran besar tetap dalam membran. Keluarnya molekul menyebabkan distribusi ion-ion tidak seimbang di dalam dan di luar membran. Untuk memperkecil pengaruh ini digunakan larutan buffer dengan konsentrasi rendah di luar membran (Lehninger, 1982). Molekul yang lebih kecil akan terus terdifusi keluar membran hingga ion-ion dalam membran seimbang atau dapat diabaikan (Boyer, 1993). F. Penentuan kadar protein dengan metode Lowry. Kandungan protein di dalam enzim sangat berpengaruh terhadap daya katalitik enzim tersebut. Pada umumnya dengan meningkatnya kadar protein dalam suatu enzim, maka daya katalitiknya akan meningkat. Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan kadar protein adalah metode Lowry. Penentuan kadar protein bertujuan untuk mengetahui bahwa protein enzim masih terdapat pada setiap fraksi pemurnian (tidak hilang dalam proses pemurnian) dengan aktivitas yang baik. Metode ini bekerja pada kondisi alkali dan ion tembaga (II) akan membentuk kompleks dengan protein. Ketika reagen folin-ciocelteau ditambahkan, maka reagen akan mengikat protein. Ikatan ini secara perlahan akan mereduksi reagen folin menjadi heteromolibdenum dan mengubah warna kuning menjadi biru. Pada metode ini, pengujian kadar protein didasarkan pada pembentukan kompleks Cu2+ dengan ikatan peptida yang akan tereduksi menjadi Cu+ pada kondisi basa. Cu+ 20 dan rantai samping tirosin, triptofan dan sistein akan bereaksi dengan reagen folinciocelteau. Reagen ini bereaksi menghasilkan produk tidak stabil yang tereduksi secara lambat menjadi molibdenum atau tungesteen blue. Protein akan menghasilkan intensitas warna yang berbeda tergantung pada kandungan triptofan dan tirosinnya. Karena itu, protein yang berbeda akan memberikan tingkat warna yang berbeda (Alexander and Griffith, 1993). Metode ini relatif sederhana dan dapat diandalkan serta biayanya relatif murah. Namun, metode ini mempunyai kelemahan yaitu sensitif terhadap perubahan pH dan konsentrasi protein yang rendah. Untuk mengatasinya adalah dengan cara menggunakan volume sampel yang sangat kecil sehingga tidak mempengaruhi reaksi ( Lowry et al., 1951). G. Amobilisasi enzim Amobilisasi enzim merupakan konsep yang cukup baru dan sangat menarik perhatian pada industri yang menggunakan enzim.Misalnya, pada industri makanan, enzim dimasukkan bersama dengan substrat dan reaksi dibiarkan untuk berlangsung. Ketika perubahan yang diinginkan telah tercapai maka enzim dinonaktifkan dengan cara pemanasan atau merubah pH dalam sistem. Jadi penggunaan dari enzim adalah sekali pakai, sedangkan pemurnian enzim sangat mahal. Untuk mengatasi masalah ini maka enzim diikat pada senyawa yang tidak larut yang disebut sebagai matrik sehingga enzim dapat mengikuti reaksi dan dapat diambil kembali setelah selesainya reaksi. 21 Pengikatan enzim pada matriks yang tidak larut dalam air ini disebut sebagai amobilisasi (Johnson, 1978). Enzim amobil dapat didefinisikan sebagai enzim yang secara fisik ditempatkan pada suatu ruang tertentu sehingga dapat menahan aktivitas katalitiknya, oleh karena itu dapat digunakan secara berulang (Chibata, 1978). 1. Metode penjebakan Penjebakan enzim berdasarkan pada penempatan enzim dalam kisi-kisi matriks polimer atau membrane. Penjebakan enzim dalam dilakukan dalam gel atau serat polimer. Matriks yang banyak digunakan adalah kalsium alginat, kappa-karagenan, resin sintetis dan poliakrilamida. Sedangkan serat yang digunakan yaitu selulosa triasetat dan polimer- polimer lainnya. Keuntungan menggunakan teknik ini adalah secara relatif struktur alami enzim tidak mengalami gangguan fisik. Hal ini karena enzim tidak terikat dengan bahan pendukung, sehingga tidak terjadi perubahan konformasi enzim atau inaktivasi enzim. Akibatnya untuk membentuk kompleks enzim- substrat sangat kecil kemungkinannya, karena enzim tidak berada pada permukaan bahan pendukung. Teknik ini merugikan karena (1) terjadi kebocoran yang kontinyu karena ukuran pori-pori terlalu besar, (2) interaksi antara substrat dan enzim kurang karena jeratan gel dan (3) kehilangan aktivitas enzim karena terbentuknya zat-zat radikal bebas pada reaksi polimerisasi (Judoamidjojo, 1990). 22 2. Metode pengikatan a. Teknik penyerapan fisik (adsorpsi) Amobilisasi secara penyerapan fisik termasuk salah satu teknik amobilisasi enzim yang sangat sederhana. Amobilisasi ini dapat dilakukan dengan bahan pendukung seperti bentonit, silika gel, zeolit, dan alumina. Ikatan kimia yang dapat terbentuk adalah ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, dan gaya van der waals yang bersifat lemah sehingga kemungkinan untuk merubah konformasi enzim secara fisik dapat diabaikan. Disamping itu, cara ini mempunyai keuntungan, yaitu dapat membentuk amobil yang lebih banyak daripada hasil amobilisasi dengan cara lain, karena pada cara ini enzim akan berada langsung pada permukaan bahan pendukung yang lebih banyak pula. b. Teknik ikatan ion Cara ikatan ion dapat dilakukan pada bahan pendukung yang mengandung residu penukar ion, baik penukar anion maupun penukar kation. Ikatan yang terbentuk relatif lebih kuat daripada adsorbsi sehingga kemungkinan perubahan konformasi lebih besar. Bahan pendukung yang dapat digunakan adalah DEAE selulosa dan karboksil metal selulosa (CMC). c. Teknik ikatan kovalen Cara ikatan kovalen berdasarkan pada pembentukan ikatan kovalen antara enzim dengan gugus reaktif yang terdapat pada bahan pendukung. Cara ini sukar dilakukan, tetapi enzim amobil yang terbentuk stabil terhadap konsentrasi substrat dan ion yang 23 tinggi. Bahan pendukung yang mengandung gugus reaktif, seperti NH2, COOH, dan CNBr (Chibata,1978). 3. Teknik ikatan silang Cara ikatan silang dapat terbentuk antara molekul enzim yang berikatan kovalen satu sama lain oleh zat berikatan silang seperti glutaraldehid, yang membentuk struktur tiga dimensi yang tidak larut dalam air. Reagen pengikat silang harus memiliki dua atau lebih gugus fungsi. Reagen pembentuk ikatan silang yang sering digunakan adalah glutaraldehid, turunan isosianat, bisdiazobenzidina, N,N-etilen bismaleimida, dan N,N-polimetilen bisodoaseomida. Kerugian dalam pemakaian cara ini adalah dapat terjadinya inaktivasi enzim akibat pembentukan ikatan antara pusat aktif enzim dengan zat pengikat silang (Wiseman, 1985). Enzim teramobilisasi dapat mengalami perubahan sifat bergantung pada proses amobilisasinya. Akibat yang merugikan adalah menurunnya aktivitas spesifik enzim, karena adanya efek tahanan difusi yang mnghalangi bertemunya enzim dengan substrat (Judoamidjojo dkk, 1989). Sedangkan akibat yang menguntungkan adalah meningkatnya stabilitas dan daya tahan enzim terhadap lingkungan yang ekstrim. H. Kinetika reaksi enzim Parameter dalam kinetika reaksi enzim adalah konstanta Michaelis-Menten (KM) dan laju reaksi maksimum (Vmaks). Berdasarkan postulat Michaelis dan Menten 24 pada suatu reaksi enzimatis terdiri dari beberapa fase yaitu pembentukan kompleks enzim substrat (ES), dimana E adalah enzim dan S adalah substrat, modifikasi dari substrat membentuk produk (P) yang masih terikat dengan enzim (EP) dan pelepasan produk dari molekul enzim (Shahib, 2005). Setiap enzim memiliki sifat dan karakteristik yang spesifik seperti yang ditunjukkan pada sifat spesifisitas interaksi enzim terhadap substrat yang dinyatakan dengan nilai tetapan Michaelis-Menten (KM). Nilai KM didefinisikan sebagai konsentrasi substrat tertentu pada saat enzim mencapai kecepatan setengah kecepatan maksimum. Setiap enzim memiliki nilai KM dan Vmaks yang khas dengan substrat spesifik pada suhu dan pH tertentu (Kamelia dkk, 2005). Nilai KM yang kecil menunjukkan bahwa kompleks enzim-substrat sangat mantap dengan afinitas tinggi terhadap substrat, sedangkan jika nilai KM suatu enzim besar maka enzim tersebut memiliki afinitas rendah terhadap substrat (Page,1997). Nilai KM suatu enzim dapat dihitung dengan persamaan Lineweaver-Burk yang diperoleh dari persamaan Michaelis-Menten yang kemudian dihasilkan suatu diagram Lineweaver-Burk yang ditunjukkan pada Gambar 5. 25 V0 Vmaks S K M [S] Persamaan Michaelis-Menten 1 K M [S] V0 Vmaks [S] 1 K 1 1 M V0 Vmaks S Vmaks Persamaan Lineweaver-Burk 1 V0 Slope KM Vmaks 1 V maks 1 KM 1 S Gambar 5. Diagram Lineweaver-Burk ( Suhartono, 1989) I. Bentonit Salah satu bahan alam yang dapat digunakan pada pengelolaan limbah adalah bentonit. Bentonit banyak dimanfaatkan dalam beberapa bidang industri, misalnya industri sabun, zat pengisi aspal, farmasi, pengisi resin, semen dan kecantikan (Zulkarnain, 1991). Bentonit adalah clay (tanah liat) yang sebagian besar terdiri 26 dari montmorillonit dengan mineral- mineral seperti kwarsa, kalsit, dolomit, feldspars dan mineral lainnya. Montmorillonit merupakan bagian dari kelompok smectit (struktur lembaran) dengan komposisi kimia secara umum (Mg,Ca)O.Al2O3.5SiO2.nH2O. Struktur monmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri dari dua silikon oksida tetrahedral dan satu alumunium oksida oktahedral. Pada tetrahedral, 4 atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur. Empat ikatan silikon terkadang disubtitusi oleh tiga ikatan alumunium. Pada oktahedral atom alumunium berkoordinasi dengan enam atom oksigen atau gugusgugus hidroksil yang berlokasi pada ujung oktahedron. Al3+ dapat digantikan oleh Mg2+, Fe3+, Zn2+, Ni2+, Li+ dan kation lainnya. Subtitusi isomorphous dari Al3+ untuk Si4+ pada tetrahedral dan Mg2+ atau Zn2+ untuk Al3+ pada oktahedral menghasilkan muatan negatif pada permukaan clay. Hal ini diimbangi dengan adsorpsi kation di lapisan interlayer (Puslitbang, 2005). Adanya atom-atom yang terikat pada masing-masing lapisan struktur montmorillonit memungkinkan air atau molekul lain masuk di antara unit lapisan. Akibatnya kisi akan membesar pada arah vertikal. Selain itu, adanya pergantian atom Si oleh Al menyebabkan terjadinya penyebaran muatan negatif pada permukaan bentonit. Bagian inilah yang disebut sisi aktif (active site) dari bentonit dimana bagian ini dapat menyerap kation dari senyawa-senyawa organik atau dari ion-ion senyawa logam. 27 Dalam keadaan kering bentonit mempunyai sifat fisik berupa partikel butiran yang halus, kilap lilin, lunak, plastis, berwarna kuning muda hingga abu-abu, bila diraba terasa licin, dan bila dimasukkan ke dalam air akan menyerap air. Massa jenis bentonit 2,2 – 2,8 g/L, indeks bias 1,547 – 1,557, dan titik lebur 1330 – 1430°C. Komposisi standar bentonit, yaitu 55,40% SiO2, 20,10% Al2O3, 3,7% Fe2O3, 0,49% CaO, 2,49% MgO, 2,76% Na2O3, 0,60% K2O, 13,5 % habis terbakar (Puslitbang, 2005). Sebelum digunakan dalam berbagai aplikasi, bentonit harus diaktifkan dan diolah terlebih dahulu. Aktivasi bentonit, tidak mengubah susunan kimia, melainkan susunan fisiknya (daya serap, luas permukaan, kapasitas pertukaran kation, dan sifat plastis). Menurut Supeno (2007), ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk aktivasi bentonit, yaitu : 1. Secara Pemanasan Pada proses ini, bentonit dipanaskan pada temperatur 300-350°C untuk memperluas permukaan butiran bentonit. 2. Aktivasi dengan Asam Aktivasi asam dilakukan dengan mereaksikan asam dengan bentonit sehingga terjadi pertukaran antara mineral kation (Al3+, Ca2+, Mg2+) dengan ion H+. Secara bersamaan, asam juga mengekstrak alumina dari struktur bentonit sehingga meningkatkan luas permukaan internal bentonit. Tergantung dari tingkat aktivasinya, luas permukaan dapat meningkat hingga 4–5 kali lipat. Bentonit yang terdapat di 28 alam secara umum memiliki luas permukaan berkisar antara 50–70 m2/g, sedangkan bentonit hasil aktivasi asam dapat memiliki luas permukaan 120–320 m2/g tergantung dari tingkat aktivasinya. Dengan meningkatnya luas permukaan, maka kapasitas adsorpsi pun bertambah, sehingga bentonit jenis ini dapat digunakan sebagai bahan pengadsorpsi (adsorben). 3. Aktivasi dengan Basa Aktivasi basa dilakukan dengan cara menambahkan garam natrium. Pada proses ini terjadi penggantian ion kalsium dengan ion natrium, sehingga menghasilkan bentonit teraktivasi yang memiliki karakteristik seperti natural natrium bentonit, yaitu sifat koloidal di dalam air, kemampuan mengembang, dan sifat pengikat air. Pada proses aktivasi basa, luas permukaan bentonit tidak bertambah sehingga tidak dapat digunakan sebagai adsorben. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari – Juni 2016 di Laboratorium Biokimia, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung. B. Alat dan Bahan Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, kapas, kain kasa, karet gelang, alumunium foil, kertas, neraca analitik (Ohaus), mikropipet 100-1000 μL, cawan petri, jarum ose, lampu spritus, inkubator, laminar air flow, autoklaf, shaker incubator, sentrifuga, lemari pendingin, dan spektrofotometri UVVIS. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nutrient Agar (NA), bentonit alam, ekstrak ragi, pepton, kalium fosfat (KH2PO4), natrium klorida (NaCl), magnesium sulfat (MgSO4), glukosa, buffer fosfat (NaH2PO4 dan Na2HPO4), 30 kasein, Tri Chloroacetic Acid (TCA), tirosin, natrium hidroksida (NaOH), natrium karbonat (Na2CO3), tembaga (II) sulfat pentahidrat (CuSO4.5H2O) 1%, akuades, Na/K tartrat 1%, dan reagen follin-ciocalteau. Adapun mikroorganisme yang digunakan adalah bakteri Bacillus subtilis ITBCCB148 penghasil enzim protease yang diperoleh dari Laboraturium Mikrobiologi dan Teknologi Bioproses Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. C. Prosedur Penelitian 1. Persiapan pendahuluan Seluruh alat-alat yang akan digunakan terlebih dahulu dicuci bersih, dikeringkan dan dilakukan sterilisasi agar alat-alat tersebut terhindar dari mikroba yang tidak diinginkan. Sterilisasi alat dilakukan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. Seluruh kegiatan dilakukan secara aseptik di dalam laminar air flow kecuali proses inkubasi. 2. Pembuatan media inokulum, media fermentasi, dan larutan pereaksi a. Media Inokulum Media inokulum dibuat dengan komposisi sebagai berikut: ekstrak ragi 0,5%, pepton 0,5%, KH2PO4 0,1%, NaCl 0,25%, MgSO4 0,005%, dan glukosa 0,25% dilarutkan dalam 50 mL akuades. Selanjutnya larutan dipanaskan, dan disterilkan pada suhu 121ºC, tekanan 1 atm, selama 15 menit dalam autoklaf. 31 b. Pembuatan Media Fermentasi Media inokulum dibuat dengan komposisi sebagai berikut: ekstrak ragi 0,5%, pepton 0,5%, KH2PO4 0,1%, NaCl 0,25%, MgSO4 0,005%, dan glukosa 0,25% dilarutkan dalam 1000 mL akuades. Selanjutnya larutan dipanaskan, dan disterilkan pada suhu 121ºC, tekanan 1 atm, selama 15 menit dalam autoklaf. c. Pembuatan pereaksi untuk pengukuran aktivitas protease metode Kunitz Larutan kasein : kasein 1% dilarutkan dalam buffer fosfat pH 5;5,5;6;6,5;7 Larutan TCA : TCA 5% dilarutkan dalam akuades Larutan standar : larutan tirosin dengan kadar 100 ppm, 200 ppm, 400 ppm, 600 ppm, dan 800 ppm d. Pembuatan pereaksi untuk pengukuran kadar protein metode Lowry Pereaksi A : 2 gram Na2CO3 dilarutkan dalam 100 mL NaOH 0,1 N. Pereaksi B : 5 mL larutan CuSO4.5H2O 1% ditambahkan ke dalam 5 mL larutan Na(K) tartrat 1%. Pereaksi C : 2 mL pereksi B ditambahkan 100 mL pereaksi A Pereaksi D : reagen folin ciocelteau diencerkan dengan akuades 1:1. Larutan standar : larutan BSA (Bovine Serum Albumin) dengan kadar 0, 20, 40, 60, 80, 100, 120, dan 140 ppm. 3. Inokulasi Bakteri Bacillus subtilis ITBCCB148 Sebanyak 3 ose Bacillus subtilis ITBCCB148 dari media agar miring dipindahkan ke dalam 50 mL medium inokulum secara aseptis lalu dikocok dalam Waterbath shaker 32 incubator dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 30oC selama 24 jam. Selanjutnya sebanyak 2 mL media inokulum diinokulasi dalam media fermentasi dan dikocok dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 30oC selama 72 jam. 4. Isolasi Enzim Protease Prinsip sentrifugasi berdasarkan kecepatan sedimentasi dengan cara pemusingan. Sentrifugasi digunakan untuk memisahkan enzim ekstraseluler dari sisa-sisa sel. Sentrifugasi dilakukan pada suhu rendah (dibawah suhu kamar) untuk menjaga kehilangan aktivitas enzim (Suhartono, 1989). Setelah media fermentasi yang berisi Bacillus subtilis ITBCCB148 dikocok menggunakan shaker incubator selama 72 jam selanjutnya biakan disentrifugasi dengan kecepatan 5000rpm pada selama 20 menit. Filtrat yang diperoleh disebut ekstrak kasar enzim yang akan diuji aktivitasnya dengan metode Kunitz, dan diukur kadar proteinnya dengan metode Lowry. 5. Uji aktivitas dan penentuan kadar protein enzim protease Uji aktivitas protein dilakukan pada tahap isolasi, tiap tahap pemurnian, dan pada saat karakterisasi hasil isolasi dan pemurnian. Penentuan kadar protein hanya dilakukan pada tahap isolasi dan pada tahap pemurnian. 33 a. Uji aktivitas metode Kunitz Pengukuran didasarkan pada jumlah peptide yang terlarut dalam TCA (asam trikloroasetat). Prosedur pengujian yaitu sebanyak 1 mL kasein dan 1 mL enzim dicampur dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60ºC. Kemudian ditambahkan 3 mL TCA, diaduk, dan didiamkan selama 30 menit agar pengendapan sempurna. Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan penyaringan atau sentrifugasi. Absorbansi filtrat diukur pada penjang gelombang 280 nm. Kontrol dibuat dengan menambahkan TCA sebelum enzim, kemudian diinkubasi. Aktivitas enzim dihitung berdasarkan jumlah asam amino (peptida sederhana) yang terbentuk dengan menggunakan kurva standar tirosin. b. Penentuan kadar protein metode Lowry Sebanyak 0,1 mL enzim, 0,9 mL aquades, dan 5mL pereaksi C dicampur lalu dibiarkan selama 10 menit pada suhu kamar. Kemudian ditambahkan 0,5 mL pereaksi D dan diaduk sempurna. Untuk kontrol 0,1 mL enzim diganti dengan 1 mL aquades. Lalu serapannya diukur menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada λ 750 nm. Untuk menentukan konsentrasi protein enzim digunakan kurva standar albumin. 6. Pemurnian enzim protease Setelah enzim protease diisolasi, selanjutnya enzim tersebut dimurnikan menggunakan metode fraksinasi dengan menggunakan ammonium sulfat (NH4)2SO4 dan dialisis. 34 a. Fraksinasi Ekstrak kasar enzim yang telah diperoleh selanjutnya diendapkan dengan menggunakan ammonium sulfat (NH4)2SO4 pada berbagai derajat kejenuhan yaitu 0-15%; 15-30%; 30-45%; 45-60%; 60-75%, dan 75-90%. Skema fraksinasi dapat dilihat pada Gambar 6. Ekstrak kasar enzim + (NH4)2SO4 (0-15%) Endapan (F1) Filtrat + (NH4)2SO4 (15-30%) Endapan (F2) Filtrat + (NH4)2SO4 (30-45%) Endapan (F3) Filtrat + (NH4)2SO4 (45-60%) Endapan (F4) Filtrat + (NH4)2SO4 (60-75%) Endapan (F5) Filtrat + (NH4)2SO4 (75-90%) Endapan (F6) Filtrat Gambar 6. Skema proses fraksinasi enzim dengan ammonium sulfat 35 Endapan protein enzim yang didapatkan pada tiap fraksi kejenuhan ammonium sulfat, dipisahkan dari filtratnya dengan sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 20 menit. Kemudian endapan yang diperoleh dilarutkan dengan buffer fosfat 0,1 M pH 6,0 dan diuji aktivitasnya dengan metode Kunitz dan diukur kadar proteinnya dengan metode Lowry untuk mengetahui pada fraksi-fraksi mana terdapat enzim protease dengan aktivitas spesifik yang tinggi. b. Dialisis Endapan enzim dari tiap fraksi hasil fraksinasi kemudian dimurnikan dengan cara dialisis melalui membran semipermeabel (kantong selofan). Endapan tersebut dimasukkan kedalam kantong selofan dan didialisis menggunakan buffer fosfat pH 6 0,01 M selama 24 jam pada suhu dingin (Pohl, 1990). Selama dialisis, dilakukan pergantian bufer selama 4-6 jam agar konsentrasi ion-ion di dalam kantong dialisis dapat dikurangi. Hal ini juga digunakan untuk mencegah kantong selofan tersebut pecah. Untuk mengetahui bahwa sudah tidak ada lagi ion-ion garam dalam kantong, maka diuji dengan menambahkan larutan Ba(OH)2 atau BaCl2. Bila masih ada ion sulfat dalam kantong, maka akan terbentuk endapan putih BaSO4. Semakin banyak endapan yang terbentuk, maka semakin banyak ion sulfat yang ada dalam kantong. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas dengan metode Kunitz dan diukur kadar proteinnya dengan metode Lowry. 36 7. Amobilisasi enzim protease a. Preparasi matriks bentonit Serbuk bentonit diayak menggunakan ayakan berukuran 140 mesh. Sebanyak 4 g bentonit dikocok dengan 16 mL larutan HCl 2 M pada temperatur kamar dengan kecepatan pengocokan 150 rpm selama 4 jam. Kemudian campuran disaring menggunakan kertas saring Whatman no. 42 dan residunya (padatan) dicuci dengan akuades sampai pH 6,0. Kemudian padatan dikeringkan pada temperatur 105°C hingga diperoleh berat konstan (Meriyanti, 2014). b. Penetapan pH untuk proses pengikatan enzim protease pada bentonit Sebanyak 1 mL enzim protease diikatkan pada matriks dengan variasi pH 5; 5,5; 6;6,5; 7; 7,5 dan 8 menggunakan buffer fosfat 0,1 M dan diaduk selama 5-10 menit. Campuran tersebut dibiarkan hingga mengendap. Selanjutnya supernatant didekantasi dan diuji aktivitas enzimnya. c. Penentuan aktivitas dan pemakaian berulang enzim protease Sebanyak 1 gram matriks enzim amobil ditambah 4 mL buffer fosfat 0,05 M pH 6 dan 1 mL kasein. Selanjutnya campuran diinkubasi pada suhu 60°C selama 30 menit. sampel disaring hingga diperoleh endapan dan filtrat. Filtrat diuji aktivitas enzimnya. 37 Endapan sebagai enzim protease amobil yang telah dipakai dilakukan perulangan hingga 7 kali. Setiap perulangan diuji aktivitas enzimnya. 8. Hasil Pemurnian dan Amobilisasi a. Penentuan suhu optimum Untuk mengetahui suhu optimum, digunakan variasi suhu yaitu 45;50; 55; 60; 65; dan 70°C dengan pH optimum yang telah ditentukan. Selanjutnya dilakukan pengukuran aktivitas enzim dengan metode Kunitz. b. Penentuan nilai KM dan Vmaks Konstanta Michaelis-Menten dan laju reaksi maksimum (Vmaks) enzim sebelum dan sesudah diamobilisasi ditentukan dari persamaan Lineweaver-burk. Untuk membuat kurva Lineweaver-burk dilakukan dengan menguji aktivitas enzim protease menggunakan metode Kunitz dengan variasi konsentrasi substrat 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1,0% dalam buffer fosfat pada pH dan suhu optimum selama 30 menit. c. Penentuan stabilitas termal dan stabilitas pH enzim Uji stabilitas termal enzim sebelum dan sesudah amobilisasi dilakukan dengan mengukur aktivitas sisa enzim setelah diinkubasi selama 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit pada pH dan suhu optimumnya (Virdianingsih, 2002). 38 Aktivitas sisa = Aktivitas enzim setelah perlakuan x 100% Aktivitas enzim awal (tanpa perlakuan) d. Penentuan konstanta laju inaktivasi (ki), waktu paruh (t1/2), dan perubahan energi akibat denaturasi (ΔGi) Penentuan nilai ki (konstanta laju inaktivasi termal) enzim protease hasil pemurnian dan hasil modifikasi kimia dilakukan dengan menggunakan persamaan kinetika inaktivasi orde 1: 1n (Ei/E0)= -ki t (1) Sedangkan untuk perubahan energi akibat denaturasi (∆Gi) enzim hasil pemurnian dan hasil modifikasi kimia dilakukan dengan menggunakan persamaan: ∆Gi=-RT 1n(ki h/kB T) (2) Keterangan : R = konstanta gas (8,315 J K-1 mol-1) T = suhu absolut (K) ki = konstanta laju inaktivasi termal h = konstanta Planck (6,63 x 10-34 J det) kB= konstanta Boltzman (1,381 x 10-23 JK-1) Secara keseluruhan, penelitian ini terangkum dalam diagram alir penelitian yang ditunjukkan dalam Gambar 7. 39 Produksi enzim protease Ekstrak kasar enzim protease Pemurnian enzim protease : 1. Fraksinasi dengan ammonium sulfat 2. Dialisis Enzim protease hasil pemurnian Amobilisasi fisik Enzim protease Enzim hasil amobil Penentuan suhu Penentuan Km Penentuan optimum dan Vmax stabilitas termal Uji aktivitas enzim protease metode Kunitz dan kadar protein metode Lowry Gambar 7. Diagram alir penelitian V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Aktivitas spesifik enzim protease hasil pemurnian hingga tahap dialisis sebesar 1528,87 U/mg, meningkat 13,04 kali dengan perolehan 16,57% dibandingkan ekstrak kasar enzim 2. Enzim protease hasil pemurnian memiliki suhu optimum 50ºC dan enzim protease hasil amobilisasi dengan bentonit memiliki suhu optimum 55ºC 3. Uji stabilitas enzim hasil pemurnian pada suhu 60ºC selama 60 menit masih memiliki aktivitas 2,694% sedangkan uji stabilitas enzim hasil amobilisasi pada suhu 60ºC selama 60 menit masih memiliki aktivitas 17,599%, 4. Enzim protease hasil pemurnian memiliki KM = 6,200 mg mL-1 substrat, Vmaks = 200 μmol mL-1 menit-1, t1/2 = 12,6 menit, ki = 0,055 menit-1 dan ΔGi = 98,115 kJ mol-1, sedangkan enzim hasil amobilisasi memiliki , KM = 4,285 mg mL-1 substrat, Vmaks = 142,857 μmol mL-1 menit-1, t1/2 = 23,1 menit, ki = 0,03 menit-1, dan ΔGi = 101,295 kJ mol-1. 5. Pemakaian berulang enzim hasil amobilisasi dapat digunakan sebanyak 3 kali. 54 6. Proses amobilisasi enzim protease dari Bacillus subtilis ITBCCB148 menggunakan bentonit dapat meningkatkan suhu dan dapat mempertahankan stabilitas termal dengan baik dibandingkan enzim hasil pemurnian. B. Saran Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut menggunakan bahan pengamobil alternatif, sehingga dapat diketahui matriks yang paling tepat untuk peningkatan stabilitas enzim protease. DAFTAR PUSTAKA Ahern, T.J. and A.M. Klibanov. 1987. Why do enzyme irreversibly inactive at high temperature. Biotec 1. Microbial Genetic Engineering and Enzyme Tecnology. Gustav fischer. Stuttgart. New York. Alexander, R.R. and J.M. Griffith. 1993. Basic Biochemical Methods, 2nded. Wiley-Liss, Inc. New York. Baehaki, A., Rinto and A. Budiman. 2011. Isolasi dan Karakterisasi Protease dari Bakteri Tanah Rawa Indralaya, Sumatra Selatan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Universitas Sriwijaya. Sumatra Selatan. 22 (1). Boyer, H.W., and Carlton, B. C. 1971. Production of Two Proteolytic Enzymes by A Transformable Strain of Bacillus subtilis, Arch. Biochem. Biophys, 128:442-445. Chibata, I. 1978. Immobilized Enzymes. Halsted Press Book. Tokyo. Eijsink, G.H., Sirgit, G. Torben, V. and Bertus van de Burg. 2005. Directed Evolution of Enzym Stability. Biomolecular Engineering. Elsevier Science Inc. New York. 23: 21-30. Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S. 1992. Kimia Organik Jilid II. Erlangga. Jakarta. Fowler, M. W. 1988. “Enzyme Technology” in Biotechnology For Engineers, Biological System in Technological Processes, Edited : Scragg, A. H., John Wiley & Sons. New York. Gielen, S., Aerts, R., dan Seels, B., 2004. Biocontrol Agents of Botrytis Cinerea Tested in Climate Chambers by Making Artificial Infection on Tomato Leaf. Commun Agric Appl Biol Sci 69 (4): 631-9. Girindra, A. 1993. Biokimia I. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hartmeier, W. 1988. Immobilized Biocatalysts : An Introduction. Springer Verlag. Weinheim. Illanes, A. 1999. Stability of Biocatalysts. Electronic Journal of Biotechnology. Universitas Catolica de Valparaiso. Chile. 2(1) 56 Jegannathan, K. R., Abang, S., Poncelet, D., Chan, E. S., and Ravindra, P., 2008, Production of Biodiesel using Immobilized Lipase-a Critical Review, Crit. Rev. Biotechnol., 28, 253–64. Johnson, E.L., dan Stevenson, R. (1978). Basic Liquid Chromatography. Terjemahan Kosasih Padmawinata (1991). Dasar Kromatografi Cair. ITB. Bnadung. Halaman 4-8. Judoamidjojo, M., Abdul A.D., dan Endang, G.S. 1990. Teknologi Fermentasi. Rajawali Press. Jakarta. Junita. 2002. Mempelajari Stabilitas Termal Enzim Protease dari Bacillus stearothermophillus Dalam Pelarut Heksana, Toluena, dan Benzena. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kamelia, R., Muliawati, S., dan Dessy, N. 2005. Isolasi dan Karakterisasi Protease Intraseluler Termostabil dari Bakteri Bacillus stearothermophilus RP 1. Departemen Kimia ITB. Bandung Kazan, D. H. Ertan and A. Erarslan. 1997. Stabilization of Escherichia coli Penicillin G Acylase Agains Thermal Inactivation by Cross-linking with Dextran Dialdehyde Polymers. App. Micro. Biotech. 48: 191-197. Kosim, M., dan Putra, S.R. 2009. Pengaruh Suhu Pada Protease Dari Bacillus substilis. ITS Press. Surabaya. Krajewska, B., 2004, Application of Chitin- and Chitosan-Based Materials for Enzyme Immobilizations: A Review, Enzyme Microb. Technol., 35, 126139. Lehninger, A.L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta. Lehninger, A.L. 2005. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta. Lowry, O. H., N. J., Rosebrough, A. L., Farr, and R. J. Randall. 1951. Protein measurement with the folin phenol reagent. J. Biol. Chem. 193-265. Martoharsono, S.1981. Biokimia. UGM Press. Yogyakarta.91. Meriyanti, D. 2014. Amobilisasi Enzim Selulase Dari Aspergillus niger L-51 Menggunakan Bentonit. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. Nagodawithana, and Reed. 1993. Enzymes in Food Processing (Food Science and Technology). San Diego Manning, F.C and R.E Thompson 1995. Oilfield Processing, Crude Oil. Penn Well Books. Vol. 2. Pp. 5. Nakano, M.M., and Zuber, P., 1998. Anaerobic growth of a "strict aerobe" (Bacillus subtilis). Annu Rev Microbiol 52: 165-90. 57 Page, D.S. 1997. Prinsip-Prinsip Biokimia. Erlangga. Jakarta. Poedjiadi, A.1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta.UI-Press. 155, 158-160. Pohl, T. 1990. Concentration of protein removal of salute dalam M.P. Deutscher, Methods of Enzymology: Guide to Protein Purification. Academic Press. New York. Vol :182. Pratiwi, S.T.2008. Mikrobiologi Farmasi. Erlangga. Yogyakarta. Puslitbang, T. 2005. Bentonit Alam Terpilar Sebagai Material Katalis. Direktorat Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batubara. Jakarta. Rao, M.M., A.M. Tanksale, M.S. Gatge, V.V. Desphande. 1998. Molekular And Biotechnological Aspect Of Microbial Protease, Microbial. And Mol. Biol. Rev., 62(3):597-635. Reed, G. 1975. Enzymes in Food Processing. Academic Press. New York. 212. Roosdiana, A., Novia S. D. R., dan Sutrisno. 2013. Amobilisasi Pektinase dari Bacillus subtilis menggunakan Matriks Pasir Laut Teraktivasi HCl. Universitas Brawijaya. Malang. Kimia Student Journal. Vol. 1. No. 2. PP 215-221. Ryan, K.J., dan Ray, C.G. 2004. Sherris Medical Microbiology, 4th ed., McGraw Hill. Book Company Inc. New York. Sariningsih, R. 2000. Produksi Enzim Protease Oleh Bacillus subtilis BAC-4. (Skripsi). Universitas Padjajaran. Bandung. Scopes, R.K. 1982. Protein Purification. Springer Verlag. New York. Shahib, M.N. 2005. Biologi Molekuler Medik I. Universitas Padjajaran Press. Bandung. Suhartono, M.T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. PAU. Bioteknologi ITB. Bogor. 322. Supeno, M. 2007. Bentonit Terpilar Alam sebagai Material Katalis/ CoKatalis Pembuatan Gas Hidrogen dan Oksigen dari Air, Disertasi. Universitas Sumatra Utara. Medan. Sutrisno, Mardiana, dan Chanif, M. 2014. Optimasi Amobilisasi Xilanase Dari Trichoderma viride Menggunakan Matriks Bentonit. Kimia Student Journal. Universitas Brawijaya. Malang. Tan, T., Lu, J., Nie, K., Deng, L., and Wang, F., 2010, Biodiesel Production with Immobilized Lipase : A Review, J. Biotechnol. Adv., 28, 628-634. 58 Virdianingsih, R. 2002. Mempelajari Stabilitas Termal Enzim Protease dari Bacillus pumilus y1 dalam Pelarut Heksana, Toluena, dan Benzena. (Skripsi). Institute Pertanian Bogor. Bogor. Walsh, G. and D.R. Headon. 1994. Protein Biotechnology. John Willey and Sons. New York. Winarno, F.G. 1986. Enzim Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Halaman 155. Wirahadikusumah, M. 1989. Biokimia: Protein, Enzim dan Asam Nukleat. ITB Press. Bandung. Wirahadikusumah. 1997. Biokimia: Protein, Enzim dan Asam Nukleat. ITB Press. Bandung. Wiseman, A.S. 1985. Handbook of Enzymes Biotechnology, 2nd ed. Ellies Harwood Lim Chicester. Wuryanti. 2004. Isolasi dan Penentuan Aktivasi Spesifik Enzim Bromelin dari Buah Nanas (Ananas comosus L.). Artikel: JKSA, 7(3) : 83-87 Zulkarnain, A K. 1991. Kimia Analisis Kualitatif. Departemen Perindustrian. Yogyakarta.