bab 2 tinjauan pustaka

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Materialisme
2.1.1. Pengertian Materialisme
Menurut (Richins & Dawson, 1992) yang dimaksud dengan materialisme ialah
sekumpulan keyakinan tentang pentingnya kepemilikan di dalam kehidupan seseorang.
Keyakinan ini merupakan manifestasi dari tingkat dimana kepemilikan materi
merupakan sumber utama dari kepuasan dan ketidakpuasan seseorang dalam hidupnya
(Rindfleisch, Burroughs, & Denton, 1997).
Menurut (Belk, 1985) materialisme sebagai bagian dari ciri kepribadian yang
dimiliki setiap orang. Di kemudian hari, Richins dan Dawson memperluas konsep Belk
dan mendefinisikan materialisme sebagai nilai individu yang menganut pentingnya
kepemilikan benda, kompetisi, dan pendapatan keuntungan sebagai kesejahteraan
manusia .Sifat dan perilaku yang condong pada nilai materialisme disebut dengan
materialistik. Menurut Belk (1985) materialisme berhubungan erat dengan tiga dimensi
yaitu: kepemilikan (possessiveness), ketidakdermawanan (nongenerosity) dan
kecemburuan (invy).
Sedangkan Richins & Dawson (1992) menilai bahwa nilai – nilai material
dihubungkan dengan kepercayaan diri yang rendah, ketidakpuasan dengan kehidupan,
dan ketidakpuasan dengan penghasilan yang tinggi. Individu yang materialistis
cenderung menilai kesuksesan dirinya maupun orang lain dari jumlah dan kualitas
kepemilikan yang telah dikumpulkan. Remaja akan cenderung konsumtif karena materi
dianggap sebagai tujuan hidup yang utama, sumber kebahagiaan, dan kesuksesan
(Richins & Dawson, 1992).
Kasser, Ryan, Couchman, & Sheldon (2004) mencatat bahwa orientasi individu
materialistik yang mengarah kepada kepemilikan, uang, citra diri, dan status dilaporkan
memiliki kesejahteraan subjektif yang lebih rendah. Mereka juga memaparkan bahwa
remaja yang materialistik memiliki aktualisasi diri dan vitalitas yang lebih rendah,
demikian juga dengan kecenderungan lebih banyak untuk mengalami depresi dan
kecemasan.
2.1.2. Dimensi Materialisme
Richins & Dawson (1992) menyatakan bahwa materialisme mencakup 3 dimensi
yaitu sebagai berikut:
Acquisition Centrality, yaitu nilai yang menganggap bahwa penting
untuk memiliki materi guna mencapai tujuan hidup.
Happiness, yaitu kepemilikan sebagai keharusan untuk mencapai
kepuasan dan kesejahteraan dalam hidup.
Success, yaitu kepercayaan bahwa kesuksesan seseorang dinilai dari
materi-materi yang mereka miliki.
2.1.3. Penyebab Materialisme
Ada beberapa faktor yang menyebabkan materialisme (Kasser, Ryan,
Couchman, & Sheldon, 2004) yaitu sebagai berikut:
Insecurity, yaitu kecenderungan individu untuk mengatasi rasa cemas
dan ragu tentang perasaan berharga, mengatasi tantangan secara efektif,
dan perasaan aman terhadap dunia yang sulit diprediksi; dengan cara
memiliki materi-materi dalam rangka mengatasi perasaan tidak aman
(insecurity) tersebut.
Keterpaparan terhadap model dan nilai materialisme, dalam bentuk
pesan-pesan implisit dan eksplisit yang menampilkan pentingnya uang
dan kepemilikan. Gaya hidup yang materialistik pada anggota keluarga
dan teman sebaya, juga yang ditampilkan oleh media, menimbulkan
materialisme pada individu.
Pengiklanan dan penyebaran kapitalisme. Iklan-iklan yang terpengaruh
oleh kapitalisme memperlihatkan model-model yang dapat menimbulkan
perasaan inferioritas. Oleh karena itu, individu yang terpengaruh akan
berusaha mengurangi rasa inferioritas itu dengan cara memiliki uang atau
materi-materi lainnya yang ditampilkan oleh iklan tersebut.
2.1.4. Dampak Materialisme
Ada tiga hal yang menjadi dampak dari materialisme menurut Kasser, Ryan,
Couchman, & Sheldon (2004), yaitu:
•
Competence. Individu yang materialistik mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan akan perasaan kompeten. Materialisme dihubungkan
dengan rendahnya self-esteem dan narsisistik. Orang yang materialistik juga
sering membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga dapat
menimbulkan perasaan buruk terhadap diri sendiri. Pada akhirnya, individu
akan menjadi semakin materialistik, padahal riset menyatakan bahwa tujuantujuan yang bersifat materialistik berefek kecil dalam meningkatkan
kebahagiaan dan kesejahteraan.
•
Relatedness. Hubungan interpersonal antara individu-individu yang
materialistik relatif singkat dan ditandai dengan reaksi emosi yang ekstrim
dan konflik, bukan dengan kepercayaan dan kebahagiaan.
•
Autonomy. Autonomy adalah perasaan bahwa individu memiliki pilihan,
kepemilikan, dan keterlibatan yang mendalam terhadap aktivitas individu
tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa materialism merupakan
keyakinan utama individu bahwa uang dan kepemilikan atau kekayaan dipertimbangkan
sebagai sesuatu yang relative tinggi dan menonjol dalam kehidupan seseorang
dibandingkan penerimaan diri, persahabatan, serta rasa kemanusiaan sehingga individu
menjadi setia dan taat pada kebutuhan serta keinginan terhadap materi. Uang dan
kepemilikan atau kekayaan juga dianggap sebagai sumber kebahagiaan serta kepuasan
dan ketidakpuasan dalam kehidupannya, dengan demikian tolak ukur kesuksesan
individu didasarkan pada kesuksesan materi. Tingkat materialisme seseorang dapat
dipengaruhi banyak faktor lingkungan, termasuk komunikasi keluarga, komunikasi
dengan teman sebaya, dan ekspos televisi (John, 1999 dalam Clark, Martin, & Bush,
2001).
2.2. Psychological well being
2.2.1. Pengertian Psychological well being
Ryff (1989) mendefinisikan psychological well being sebagai hasil atau
penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalamanpengalaman hidupnya. Berdasarkan teori Ryff (1989) mendefinisikan psychological
well being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap
diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah
lakunya sendiri dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan
kebutuhannya. Psychological well being oleh Ryff (1989) suatu keadaan dimana
individu ampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan yang
hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, mampu
mengontorol lingkungan eksternal, memiliki arti hidup, serta mampu merealisasikan
potensi diri secara kontinyu.
Menurut Ryff (1989) psychological well being adalah sebuah konsep yang
berusaha untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan
kriteria fungsi psikologi positif. Individu yang memiliki psychological well being yang
positif adalah orang yang mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu,
mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian
terhadap tekanan sosial, maupun menerima diri apa adanya, memiliki arti dalam hidup,
serta mampu mengontrol lingkungan eksternal (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
2.2.2. Dimensi Psychological well being
Dimensi-dimensi yang membentuk psychological well-being menurut Ryff
(dalam Wells, 2010) :
1. Penerimaan diri (Self-acceptance)
Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan seseorang menerima
dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa lalunya. Seseorang
yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang memahami dan menerima
berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat
mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap
kehidupan yang dijalaninya.
Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan
diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri
sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai
pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.
2. Hubungan positif dengan orang lain (positif relation with others)
Hubungan positif yang dimaksud adalah kemampuan individu menjalin
hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang tinggi dalam
dimensi ini ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh
kepercayaan dari orang lain. Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan
saling percaya dan hangat dengan orang lain.
Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan
orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan
dengan orang lain, menandakan bahwa ia kurang baik dalam dimensi ini.
3. Otonomi (autonomy)
Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan
untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku.
Seseorang yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan
bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri
dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini.
Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan
memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan
berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis.
4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Individu dengan PWB yang baik memiliki kemampuan untuk memilih
dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan
kata lain, ia mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian
diluar dirinya. Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk
memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi
yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui
aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam
dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan
sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.
5. Tujuan Hidup (purpose in life)
Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mencapai
tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai rasa keterarahan dalam hidup,
mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai
keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup, dan
mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka ia dapat dikatakan
mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik. Sebaliknya, seseorang yang kurang
baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin
dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu
kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup
lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita.
6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan
individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai
seorang manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal
dalam berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini
adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan
keterbukaan terhadap pengalaman. Seseorang yang baik dalam dimensi ini
mempunyai perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai
sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya, dan
mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu.
Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan
ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru,
mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang stagnan, dan tidak
tertarik dengan kehidupan yang dijalani.
2.2.3. Faktor Yang Mempengaruhi Psychological well being
Menurut Ryff dan Singer (dalam Anwar & Hidayat, 2008) faktor-faktor yang
mempengaruhi psychological well being seorang individu adalah sebagai berikut:
a) Usia
Menunjukan bahwa penguasaan lingkungan dan otonomi mengalami
peningkatan seiring dengan bertambahnya usia. Pertumbuhan pribadi dan
tujuan hidup menunjukkan penurunan seiring dengan bertambahnya usia.
Hubungann positif dengan orang lain dan penerimaan diri secara
signifikan bervariasi berdasarkan usia.
b) Jenis Kelamin
Menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam aspek menjalin hubungan
dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi antara pria dan wanita.
Sementara penerimaan diri, otonomi dan keyakinan bahwa hidup
mempunyai makna dan tujuan tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan.
c) Budaya
Memperlihatkan bahwa sisi nilai budaya yang berbeda seperti
individualistik mempengaruhi psychological well being pada dimensi
penerimaan diri dan otonomi sedangkan pada masyarakat dengan nilai
budaya kolektif menunjukkan pengaruh yang tinggi terhadap dimensi
hubungan positif dengan orang lain.
d) Status Sosial Ekonomi
Meliputi faktor pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan dapat
mempengaruhi psychological well being pada dimensi penerimaan diri
memiliki tujuan dalam hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan.
2.3. Pekerja Seks Komersial
2.3.1. Pengertian Pekerja Seks Komersial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) pelacuran atau prostitusi berarti
pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi
perdagangan. Dalam bahasa Indonesia terdapat berbagai istilah yang dipergunakan
untuk menunjuk pengertian Pekerja Seks Komersial (PSK), seperti : Prostitusi, Pelacur,
Wanita Nakal, Wanita Tuna Susila (WTS), Wanita Penghibur, Kupu-kupu Malam dan
masih banyak lagi nama-nama lain untuk panggilan wanita PSK yang dikenal dalam
masyarakat. Namun kesepakatan umum adalah “prostitusi atau prostitution” dan
pelacuran atau PSK. Kata prostitusi berasal dari kata latin yaitu pro-situere atau prostaturee yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan,
dan pengendakan (Kartini, 2005).
2.3.2. Faktor Sosio-Kultural Remaja Perempuan Menjadi Pekerja Seks
Komersial
Koentjoro (2004) menyatakan terdapat beberapa hal yang termasuk ke dalam
faktor sosio-kultural yang menyebabkan perempuan menjadi pekerja seks komersial
(PSK) :
1) Orang setempat yang menjadi model pelacur yang sukses.
Bahwa ketika pelacur kembali ke desanya, mereka memamerkan gaya
hidup mewah dengan maksud memancing kecemburuan orang lain.
2) Sikap permisif dari lingkungannya.
Bahwa ada desa tertentu yang bangga dengan reputasi bisa mengirimkan
banyak pelacur ke kota. Serta banyak keluarga pelacur yang mengetahui
bahkan mendukung kegiatan anak atau istri mereka karena dapat
menerima uang secara teratur. Para pelacur sangat sering membagikan
makanan dan materi yang dimilikinya kepada para tetangganya. Wajar
jika kemudian banyak pelacur dikenal sebagai orang yang dermawan .
Keadaan tersebut berangsur-angsur menimbulkan sikap toleran terhadap
keberadaan pelacur.
3) Adanya peran instigator (penghasut).
Instigator sering diartikan sebagai pihak-pihak tertentu yang memberikan
pengaruh buruk, dalam hal ini adalah orang yang mendorong seseorang
menjadi pelacur. Instigator itu sendiri diantaranya adalah orangtua,
suami, pelacur, bekas pelacur atau mucikari (mereka adalah suami yang
menjual istri atau orangtua yang menjual anak-anaknya untuk
mendapatkan barang-barang mewah).
4) Peran sosialisasi.
Di beberapa daerah di Jawa, ada kewajiban yang dibebankan dipundak
anak untuk menolong, mendukung dan mempertahankan hubungan baik
dengan orangtua ketika orangtua mereka lanjut usia. Jika anak
perempuan dianggap sebagai padi atau barang dagangan, maka harapan
orangtua semacam ini secara sadar atau tidak sadar akan mempengaruhi
anak perempuan mereka. Karena pelacuran telah menjadi produk budaya,
maka dapat diasumsikan bahwa sosialisasi pelacuran telah terjadi sejak
usia dini.
5) Ketidakefektifan pendidikan dalam meningkatkan status sosial ekonomi.
Sebagain orang memandang pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan
status sosial ekonomi dan kualitas kehidupan. Ketiadaan jaminan
keamanan sosial ditengah-tengah keterbatasan lapangan pekerjaan tentu
menjadi sebuah masalah besar bagi rakyat yang tidak memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang tidak memadai. Oleh karena itu,
orangtua rela mengeluarkan uang banyak untuk menyekolahkan anaknya.
Tetapi karena keterbatasan lapangan pekerjaan, setelah lulus pendidikan
belasan tahun pun banyak anak yang tidak mendapatkan pekerjaan.
Dilain pihak, perempuan muda yang menjadi pelacur ketika lulus SD,
ditahun- tahun berikutnya sudah dapat membangun rumah dan
menikmati gaya hidup mewah. Dalam beberapa kasus, dapat dimengerti
bahwa pilihan melacur pada komunitas tertentu dianggap sebagai pilihan
yang rasional.
2.4. Remaja
2.4.1. Pengertian Remaja
Menurut Golinko (dalam Rice & Dolgin, 2008) “remaja” berasal dari bahasa
latin yaitu ‘adolescere’ yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Dalam
Kamus Psikologi, remaja merupakan suatu tahap periodisasi perkembangan manusia
yang berada pada di antara usia pubertas sampai dengan memasuki usia dewasa.
Batasan remaja yang digunakan untuk masyarakat Indonesia, yaitu mereka yang
berusia 11-24 tahun dan belum menikah (Sarlito, dalam Gunarsa, 2006). Bagi mereka
yang berusia 11-24 tahun tetapi sudah menikah tidak lagi disebut remaja. Sementara
mereka yang berusia 24 tahun keatas tapi belum menikah dan masih menggantungkan
hidupnya kepada orang tua, masih disebut remaja (Gunarsa, 2006).
2.4.2. Batas Usia Remaja
Batasan usia yang digunakan pada tahap perkembangan remaja berdasarkan
Papalia, Olds & Feldman (2009) dimulai dari usia 12 tahun hingga usia 20 tahun.
Berbeda dengan Hurlock (1978) yang membagi masa remaja menjadi dua tahap, yaitu
masa remaja awal yang dimulai pada usia 13 hingga 17 tahun dan masa remaja akhir
yaitu pada usia 17 hingga 22 tahun. Adanya pembedaan yang dilakukan oleh Hurlock
tersebut dikarenakan pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi
perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
Sedangkan di Indonesia, untuk menentukan batasan usia masa remaja
mempunyai beberapa kesulitan. Menurut Sarwono (2006), hal tersebut disebabkan oleh
sulitnya menentukan umur permulaan masa dewasa. Selain itu juga karena negara
Indonesia mempunyai kebudayaan yang beragam antara daerah yang satu dengan yang
lain, sehingga sulit untuk menentukan batasan usia remaja. Sebagai contoh di beberapa
daerah di Indonesia, anak yang sudah mencapai tinggi badan menyamai tinggi badan
orangtuanya sudah dianggap dewasa. Anak yang sudah dianggap dewasa akan dicarikan
jodohnya dan akan dinikahkan. Namun, di daerah lain di Indonesia menggolongkan
anak tersebut sebagai ‘anak tanggung’. Hal itu karena mereka bukan merupakan anakanak lagi, tetapi juga belum dipastikan bahwa mereka telah mencapai kedewasaan. Dari
sudut hukum, kedewasaan ditentukan dari umur dan status pernikahan. Dengan
demikian mereka yang sudah menikah walaupun usianya kurang dari 17 tahun, sudah
dianggap dewasa dan mempunyai hak pilih dalam pemilihan umum.
Maka dari itu, batasan usia remaja yang digunakan dalam penelitian ini adalah
berdasarkan pada batasan usia remaja Indonesia yang dinyatakan oleh Sarwono (2006)
sebagai batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia adalah 11 sampai 24 tahun dan
belum menikah, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Usia belasan tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda
seksual sekunder mulai tampak (kriteria fisik).
2. Dari banyaknya masyarakat Indonesia, usia sebelas tahun sudah
dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga
masyarakat tidak lagi memperlakukan remaja sebagai anak-anak (kriteria
sosial).
3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan
jiwa, seperti tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dari
perkembangan psikoseksual, dan tercapainya puncak perkembangan
kognitif maupun moral (kriteria psikologis).
4. Batas usia 24 tahun merupakan batas usia maksimal, yaitu untuk
memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih
menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh
sebagai orang dewasa.
2.4.3. Perkembangan Sosial Remaja
Pada Teori Erikson, usia remaja yang berada antara 10 sampai 20 tahun berada
pada tahap identity versus identity confusion. Remaja dihadapkan pada pertanyaan
siapakah diri mereka sebenarnya, apakah mereka, dan hendak kemana mereka menuju
dalam hidupnya. Remaja dihadapkan pada peran baru dan status dewasa yang berkaitan
dengan pekerjaan dan asmara. Orang tua sebaiknya memberi kesempatan pada remaja
untuk mengeksplorasi peran yang berbeda dan jalan yang berbeda dalam peran tertentu.
Bila remaja mengeksplorasi peran tersebut dalam cara yang baik dan mendapatkan jalan
yang positif untuk diikuti dalam hidupnya, identitas positif akan terbentuk. Jika remaja
kurang mengeksplorasi peran yang berda dan jalan ke masa depan yang positif tidak
ditentukan maka kekacauan identitas akan terjadi (Santrock, 2003).
Banyak remaja memandang teman sebaya adalah aspek terpenting dalam
kehidupan mereka. Beberapa remaja akan melakukan apapun supaya menjadi anggota
dalam sebuah kelompok. Bagi remaja, dikucilkan berarti stress, frustasi, dan kesedihan.
Sullivan (dalam Santrock, 2003) alasan remaja memilih teman adalah mereka yang
memiliki kesensitifan terhadap hubungan yang lebih akrab dan menciptakan
presahabatan dengan teman sebaya yang dipilih (Santrock, 2003).
2.4.4. Kematangan Seksual Remaja
Karaktertik pubertas pada laki-laki bermula dari bertambahnya ukuran penis dan
testikel, pertumbuhan rambut yang masih lurus di daerah kemaluan, sedikit perubahan
suara, ejakulasi pertama (karena mimpi basah atau masturbasi), rambut kemaluan
tumbuh menjadi ikal, mulai masa pertumbuhan maksimum, pertumbuhan rambut ketika,
perubahan suara semakin jelas dan mulai tumbuh rambut di bagian wajah (Santrock,
2003).
Pada remaja putri berawal dari payudara membesar, rambut kemaluan mulai
tumbuh, lalu muncul rambut di ketiak. Seiring dengan perubahan tersebut, tinggi badan
bertambah, pinggul menjadi lebih lebar daripada bahu. Menstruasi pertama datang agak
lambat di akhir siklus pubertas. Menstruasi awalnya tidak teratur dan mungkin juga
tidak terjadi ovulasi pada setiap mesntruasi selama beberapa tahun pertama sesudah
menstruasi pertama. Perubahan suara tidak terjadi dalam pubertas remaja putri
(Santrock, 2003).
2.4.5. Tahapan & Perkembangan Remaja
Dalam tahap dan tugas perkembangan remaja, Santrock (2003) menyatakan
bahwa individu yang memasuki tahap remaja telah menunjukkan penampilan fisik yang
matang sehingga mampu untuk melakukan tugas-tugas sebagai orang dewasa seperti
bekerja, menikah, dan mempunyai anak. Pada perkembangan kognitif remaja telah
terjadi peningkatan dalam berpikir abstrak, idealistik dan logis. Pada perkembangan
psikososial, terjadinya peningkatan dalam kematangan seksual remaja sehingga
meningkatkan minat terhadap relasi romantis dengan lawan jenis. Pada tahap ini remaja
mulai menyadari peran masing-masing sebagai individu yang bekerja dan sebagai
orangtua bagi anak-anak mereka kelak.
Mendukung pernyataan tersebut, Rice & Dolgin (2008) mengemukakan bahwa
remaja merupakan masa perubahan besar dalam hubungannya dengan teman sebaya.
Remaja mulai melepaskan diri dari keluarga dan menghabiskan waktu lebih banyak
dengan teman sebaya. Oleh karena kemampuan kognitif sosial remaja yang semakin
luas dari ketika remaja masih anak-anak, sehingga remaja memiliki pemahaman yang
lebih baik tentang orang lain. Hal tersebut menjadi langkah awal remaja untuk memiliki
interaksi yang lebih intim dan bermakna.
Seperti halnya, ketika remaja pindah sekolah, selesai dari sekolah dasar
dilanjutkan ke sekolah menengah, dan kemudian dari sekolah menengah menuju
perguruan tinggi, sehingga dari adanya perkembangan fisik yang terjadi melalui
kematangan seksual muncul keinginan untuk membentuk hubungan yang romantis
dengan lawan jenis yang dimulai dengan persahabatan, hubungan romantis dan menuju
pada pernikahan.
2.5. Kerangka Berfikir
Gambar 2.1 Kerangka berpikir
Sumber : Tabel Peneliti
Pada penelitian ini, responden penelitian yang ingin dilihat materialisme dan
psychological well being-nya adalah remaja perempuan yang berprofesi sebagai pekerja
seks komersial.
Koentjoro (2004) mengatakan bahwa secara umum terdapat lima alasan
eksternal yang paling mempengaruhi dalam menuntun seorang perempuan menjadi
seorang pekerja seks komersial, diantaranya adalah materialisme, modeling, dukungan
orangtua, lingkungan yang permisif, dan faktor ekonomi. Mereka yang hidupnya
berorientasi pada materi akan menjadikan banyaknya jumlah uang yang dikumpulkan
dan kepemilikan sebagai tolak ukur keberhasilan hidup. Banyaknya pekerja seks
komersial yang berhasil mengumpulkan banyak materi atau kekayaan akan menjadi
model pada orang lain sehingga dapat dengan mudah ditiru (dalam Nasution &
Sihaloho, 2012).
Dari sekian banyaknya faktor yang menjadi pendorong bagi para remaja
perempuan untuk berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK), peneliti
memfokuskan faktor pendorong materialisme untuk menjadi variable pada penelitian
ini. Apa yang menjadi tujuan hidup bagi seseorang mempengaruhi pencapaiannya atas
kebahagiaan. Tidak semua tujuan akan membawa pada kebaikan, bahkan beberapa di
antara tujuan-tujuan tersebut ada yang berdampak negatif bagi kesejahteraan hidup. Hal
tersebut akan terbukti jika kita memperhatikan kondisi masyarakat kita dan juga ceritacerita yang beredar di ruang publik tentang orang-orang yang hidupnya penuh
masalah karena mengejar tujuan-tujuan duniawi, seperti harta, ketenaran, dan
penampilan. Fenomena semacam itu dinamakan materialisme. Menurut Richins &
Dawson (1992) yang dimaksud dengan materialisme ialah sekumpulan keyakinan tetang
pentingnya kepemilikan di dalam kehidupan seseorang. Keyakinan ini merupakan
manifestasi dari tingkat dimana kepemilikan materi merupakan sumber utama dari
kepuasan dan ketidakpuasan seseorang dalam hidupnya (Rindfleisch, Burroughs, &
Denton, 1997).
Secara tidak langsung, materialisme pun tidak lepas dari sistem sosial dan
ekonomi yang tengah berlangsung. Materialisme erat kaitannya dengan konsumerisme
(Dittmar, 2008), yang mana itu identik dengan perilaku menkonsumsi atau membeli
barang-barang. Materialisme tidak hanya berwujud nilai yang mempengaruhi sikap
seseorang terhadap harta benda, tetapi juga dimanifestasikan dalam perilaku-perilaku
yang kompleks. Di sini materialisme pun berdampak buruk dengan menimbulkan
persoalan ekonomi dan lingkungan karena dorongan mengonsumsi menuntut
peningkatan produksi yang mana itu berarti eksploitasi sumber daya. Materialisme pun
ditandai oleh gaya hidup yang berlebih-lebihan sampai mewah, di mana tidak ada
tempat bagi kesederhanaan.
Materialisme sebagai salah satu sisi gelap dari perilaku konsumen (Hirschman
dalam Burroughs & Rindfleisch, 2002) telah banyak diteliti oleh para ahli baik di
negara-negara barat, maupun di negara-negara timur. Tingginya perhatian para ahli
terhadap materialisme adalah karena materialisme dinilai telah banyak menimbulkan
berbagai konsekuensi negatif terhadap kesejahteraan psikologis (psychological wellbeing) individu seperti: menurunnya tingkat kepuasan hidup (Richins & Dawson dalam
Burroughs & Rindfleisch, 2002), menurunnya tingkat kebahagiaan (Belk dalam
Burroughs & Rindfleisch, 2002), serta meningkatnya tingkat depresi (Kasser & Ryan
dalam Burroughs & Rindfleisch, 2002). Berbagai konsekuensi negatif tersebut tentunya
tidak berkesesuaian dengan tujuan awal dari individu dalam mengejar materi yakni
sebagai cara untuk menunjukkan keberbasilan mereka dalam hidup, mencari
kebahagiaan dan meraih apa yang disebut sebagai "good life".
Psychological well-being menurut Ryff (dalam Papalia, 2008), individu yang
memiliki kesejahteraan psikologis yang positif adalah individu yang memiliki respon
positif terhadap dimensi-dimensi psychological well being, yaitu penerimaan diri (self
acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with other),
otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup
(purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).
Peneliti berasumsi bahwa materialisme berdampak negatif pada setiap dimensi
psychological well-being. Self acceptance yang rendah membuat remaja hanya fokus
pada kepemilikan dan materialisme, maka akan membuat remaja tidak akan pernah puas
terhadap dirinya sendiri sehingga ia akan terus menerus bekerja sebagai PSK untuk bisa
memenuhi kepuasannya dalam memiliki harta benda. Remaja yang memiliki autonomy
rendah hanya fokus pada kepemilikan dan materialisme, maka biasanya ia akan
membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, apabila menurut penilaian orang
lain harta benda yang dimiliki remaja tersebut belum banyak maka ia akan menjadi
terpacu untuk mencari uang lebih banyak lagi. Pada dimensi environmental mastery,
remaja yang berprofesi sebagai PSK hanya fokus dengan materi saja maka ia akan sulit
untuk bergaul dengan orang di lingkungan sekitarnya atau dengan suatu komunitas dan
sulit untuk mengatur kehidupan sehari-harinya dengan baik, sehingga kehidupan sehariharinya terasa cukup melelahkan untuk dijalani. Pada dimensi positif relationship with
others dikarenakan hanya fokus pada kepemilikan dan materialisme membuat remaja
yang berprofesi sebagai PSK sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai
ikatan pertemanan dengan sebayanya, begitupun dengan keluarga, karena yang ia
fikirkan hanya bagaimana caranya ia dapat mengumpulkan uang untuk membeli suatu
barang yang diinginkannya. Pada dimensi purpose in life remaja yang berprofesi
sebagai psk hanya fokus pada kepemilikan dan materialisme, sehingga remaja biasanya
merasa bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupannya agar
kehidupannya lebih berarti, yang ia fikirkan hanya bagaimana ia dapat terus bertahan
mendapatkan banyak uang agar memberi barang yang diinginkannya untuk memenuhi
kepusannya. Sehingga pada dimensi personal growth remaja yang berprofesi sebagai
PSK hanya fokus pada kepemilikan dan materialisme akan memilih untuk terus
berprofesi sebagai PSK, karena remaja tersebut sulit untuk mengembangkan sikap dan
tingkah laku baru, oleh karena itu remaja tersebut berfikir bahwa sikap dan tingkah laku
yang dianggap nyaman hanya dengan berprofesi sebagai PSK untuk mendapatkan
keuntungan berupa materi sehingga dapat memenuhi kepuasannya dalam memiliki harta
benda.
Download