| 289 BUDAYA LOKAL VERSUS BUDAYA GLOBAL Maimun Fuadi UIN Ar-Raniry Banda Aceh e-mail: [email protected] ABSTRACT Najm al-Din al-Thufi al-Hanbali is a smart, intelligent, productive and brave Islamic Scholars. He was considered as controversial person among his colleagues, because of his views on mashlahah are different from the other scholars of Usul -Fiqh in general. He said that the most important sources of Islamic law are the texts (Al-Quran and Al-Sunnah ). It is no problem if both are relevant with mashlahah. However, if they contradict the mashlahah, the solutions that can be taken is prioritizing mashlahah of texts by specification(takhsis), not eliminating texts . At this point Thufi’s thought is considered as controversy. This article will attempt to examine this controversy using argumentative and philosophical approach to be able to point it objectively not tendentiously. Najm al-Din al-Thufi al-Hanbali adalah sosok ulama yang berpikiran cerdas, produktif dan berani. Ia dikalangan sejawatnya dianggap kontroversial karena pandangannya tentang mashlahah yang berbeda dari pandangan ulama Ushul-Fiqh pada umumnya. Ia mengatakan bahwa sumber hukum yang paling utama adalah nash (Al-Qur’an dan Al-Sunnah) , apabila keduanya sejalan dengan mashlahah maka tentu tidak ada masalah, tapi apabila ia kontradiktif dengan mashlahah maka solusi yang dapat diambil adalah mendahulukan mashlahah dari nash dengan cara takhsis bukan dengan mengelimenasi nash. Pada titik inilah Thufi dianggap kontroversial. Artikel ini akan mencoba menelaah kontroversi ini dengan pendekatan filosofis-argumentatif untuk dapat memposisikannya secara obyektif dan tidak tendensius. Keyword : Controversy, Mashlahah, Nash Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 290 | Budaya Lokal Versus Budaya Global PENDAHULUAN Konsekuensi dari perkembangan sains dan teknologi modern, terutama dalam bidang komunikasi, adalah terjadinya globalisasi (Bakti, 2014: 1). Terjadinya globalisasi yang bergulir di dunia saat ini telah membawa konsekuensi bentrokan antarbudaya. Modernisasi teknologi komunikasi sekarang ini telah membawa kemajuan seperti mesin giling yang menyangkal dan menghapus perbedaan budaya dengan cara tidak hanya menawarkan keuntungan (rasionalisasi, kontrol standardisasi) tetapi juga kerugian (keterasingan, perpindahan, kekecewaan). Berkembangnya budaya global di tengah identitas budaya lokal telah menjadi bentuk ‘kekecewaan dunia’ hari ini (Pieterse, 1996: 1389). Keterlibatan teknologi komunikasi telah menjadi unsur terpenting terjadinya globalisasi. Terjadinya proses ini telah banyak merubah cara pandang dan pola hidup masyarakat di berbagai bidang, baik itu bidang ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya. Di dalam kaitan ini, menarik untuk diamati, bahwa media massa –terutama televisi dipandang sebagai media yang sangat spektakular dalam memfasilitasi terjadinya proses ini. Jaringan televisi di tuduh memegang peran besar dalam memfasilitasi penyebaran identitas global ke ranah lokal. Bermula dari kontinuitas tersebutlah, sehingga terjadi saling mempengaruhi dan ketergantungan antara media global dan lokal. Di dalam situasi begini, kesalahan dalam merespon globalisasi bisa berakibat fatal pada memudarnya identitas budaya lokal. Fenomena disiarkannya ‘budaya global’ di berbagai media dan terjadinya perubahan cara pandang dan prilaku masyarakat merupakan bukti nyata telah terjadi pergeseran. Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi inti pertanyaan penelitian ini adalah: Bagaimana relasi globalisasi media dengan identitas budaya lokal dan global dewasa ini? Pertanyaan mayor ini, kemudian dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan minor yang lebih terfokus: Bagaimana hubungan media global dengan media televisi lokal (nasional)? Apakah hubungan tersebut mempengaruhi identitas budaya lokal atas budaya global? Serta, bagaimana peran media televisi di Indonesia pada era global sekarang ini? Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 Maimun Fuadi | 291 Berdasarkan inti pertanyaan penelitian di atas, maka yang menjadi tesis statemen dalam penelitian ini adalah: bahwa terjadinya relasi globalisasi media dengan media lokal telah membawa konsekuensi terhadap identitas budaya lokal. Semakin baik dan seimbang relasi antara teknologi komunikasi media lokal dan global, maka semakin baik dan seimbang pula identitas budaya lokal dan global. Sebaliknya, semakin buruk dan tidak seimbang relasi teknologi komunikasi media lokal atas media global, maka semakin memudar pula identitas budaya lokal atas budaya global. PERSPEKTIF TEORI GLOBALISASI DALAM STUDI MEDIA; TINJAUAN TEORI Secara aplikatif, kajian ini sepenuhnya menerapkan perspektif teori globalisasi dalam studi media (Gill Branston and Roy Stafford: 2003: 404), dan beberapa teori yang relevan lainnya. Perspektif teori globalisasi ini kemudian melahirkan berbagai perspektif dan pendekatan, seperti pendekatan imperialisme budaya, homogenisasi, oligopoli, dan beberapa perdebatan yang pada gilirannya melahirkan beberapa konsekuensi kecenderungan sesuai dengan arah pendekatannya. Perspektif teori globalisasi menunjukkan, bahwa globalisasi adalah khas modern, ia tumbuh dari ekspansi perdagangan di akhir Abad Pertengahan dan diikuti oleh pertumbuhan imperialis dan kemudian pasca-imperialis Barat atas seluruh dunia. Globalisasi dikatakan terjadi ketika aktifitas berlangsung di arena global; dan sengaja diselenggarakan pada skala global; melibatkan banyak saling ketergantungan, sehingga kegiatan lokal di berbagai belahan dunia dibentuk oleh satu sama lain; dan sering melibatkan teknologi yang memungkinkan sesuatu menjadi lebih cepat, baik dalam berhubungan maupun berkomunikasi (Gill Branston and Roy Stafford: 2003: 404405). Secara historis, ditemukan dan dikembangkannya teknologi komunikasi telah menjadi unsur terpenting terjadinya globalisasi. Menurut Thompson, sebagaimana dikutip oleh Branston, ditemukannya Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 292 | Budaya Lokal Versus Budaya Global kertas dan percetakan di China, pembangunan dan pengembangan sistem komunikasi kabel bawah laut di Eropa, dan pembentukan kantor berita internasional merupakan langkah awal terjadinya proses global (Thompson, 1997: 152-159). Beberapa pengamat menilai, bahwa terjadinya globalisasi beserta karakteristik yang menyertainya telah menunjukkan adanya proses homogenisasi, yang mengarah ke ‘McWorld’ (Branston and Stafford, 2003: 406). Pengamat yang lain menilai, bahwa karakteristik ‘lokal’ bertahan, kadang-kadang dalam bentuk loyalitas agama atau etnis budaya terbelakang; kadang-kadang dalam bentuk makananmanakan lokal, kostum, adat istiadat dan latarbelakang sejarah (Branston and Stafford, 2003: 406). Sejak awal penyebarannya, perusahaan media global telah terkait erat dengan sejarah imperialis. Terdapat bukti yang cukup signifikan di mana sebagian besar berita, informasi dan hiburan dari negara-negara Barat utama yang dipimpin oleh Amerika Serikat di sampaikan melalui satu arah ke seluruh dunia. Secara signifikan, arus regional seringkali tergantung pada penyebaran bahasa global (Branston and Stafford, 2003: 408). Teori media dengan cara yang sepenuhnya politik dapat menunjukkan bukti ini. Melalui pendekatan ekonomi politik, Herbert Schiller– sebagaimana dikutip oleh Branston mengungkapkan, banyak dari globalisasi komunikasi telah di dorong sejak Perang Dunia Kedua untuk kepentingan komersial dari perusahaan besar yang berbasis di AS. Hal ini bukan lompatan raksasa untuk menyatakan bahwa kekuatan media AS adalah bentuk imperialisme budaya (Branston and Stafford, 2003: 408). Herbert Schiller juga berpendapat, dominasi iklan media komersil AS tidak hanya menjadikan model AS popular di seluruh dunia, namun juga telah mendorong dan menanamkan budaya konsumerisme untuk satu keinginan menjadi gaya Amerika. Budaya tradisional akan hancur dalam proses ini, dan bentuk-bentuk baru dari ketergantungan budaya akan terbentuk dan mencerminkan hubungan dengan kekuasaan imperialis (Branston and Stafford, 2003: 408). Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 Maimun Fuadi | 293 Namun, beberapa kritikan telah menggugat argumen Schiller tersebut: Pertama, ia mengembangkan kasusnya pada tahun 1950 dan 1960-an ketika Amerika Serikat mendominasi ekonomi sistem global yang tampak aman dan tidak tertandingi. Para ahli berpendapat, itu tidak cukup menggambarkan pergeseran dari periode pasca-1945, maupun signifikansi dan keteguhan dari sistem kepercayaan, misalnya agama dan nasionalisme (Branston and Stafford, 2003: 408-409). Kedua, hal ini bahkan lebih sulit seperti diakui Schiller, untuk menerapkan teori pada tahun 1990 dan setelahnya. Restrukturisasi global kini sampai batas tertentu mengikis ekonomi keunggulan AS. Beberapa media utama AS telah dibeli oleh perusahaan-perusahaan asing, seperti Sony Jepang membeli Columbia dan gambar TriStar pada tahun 1989; dan perusahaan Perancis Vivendi membeli Universal Studios pada tahun 2000. Para kritikus berpendapat, bahwa dominasi media AS dapat tergantikan. Ketiga, Schiller kemudian berpendapat bahwa gagasan imperialisme budaya Amerika harus diganti dengan ‘transnasional dominasi budaya perusahaan’ suatu istilah yang dapat disingkat menjadi ‘TNC’. Kritikus berpendapat bahwa istilah ini tidak memadai untuk arus jaringan yang kompleks dan penggunaan produk media di dunia kontemporer. Keempat, tesis imperialisme budaya menyiratkan, bahwa sebelum kedatangan media AS, negara Dunia Ketiga sedang menikmati masa keemasan, nyaman dengan tradisi dan warisan budaya otentik yang kemudian ternoda oleh nilai-nilai yang dipaksakan dari luar. Para kritikus berpendapat, bahwa ini merupakan risiko dari sebuah negara yang lebih lemah. Jika sering menggambarkan adat istiadat sebagai warisan budaya yang mesti dipelihara, pada kenyataannya warisan budaya telah terbentuk dari proses yang sangat panjang dan brutal sebagai pertukaran dari adanya konflik antar budaya yang jauh telah berlangsung sebelum intervensi AS dan usaha kolonial Eropa. Namun, kita tidak perlu mengadopsi model imperialisme media yang sepenuhnya ditiup oleh kepentingan para konglomerat yang sebenarnya belum menumbuhkan ‘pasar bebas’ atau global (Branston Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 294 | Budaya Lokal Versus Budaya Global and Stafford, 2003: 411). Para konglomerat media beroperasi sebagai oligopoli - sebuah organisasi besar bersama yang mendominasi pasar. Mereka sering bekerja sama (seperti kartel) untuk mengabadikan ‘perdagangan bebas’ dengan perjanjian yang menguntungkan kepentingan mereka (Branston and Stafford, 2003: 411). Mari kita kembali ke perdebatan yang telah dijelaskan sebelumnya. Pertama, pertanyaan lain telah diajukan dari model imperialisme media yang penekanan kepemilikan bisa menyiratkan apa yang diinginkan pada setiap televisi di AS. Misalnya, mau tidak mau mengungkapkan hanya nilai konsumtif, baik dalam program itu sendiri, maupun melalui iklan yang membiayainya. Ini mengabaikan keanekaragaman gambar, tema dan informasi yang bisa dan memang harus muncul pada pembiayaan televisi komersil (Branston and Stafford, 2003: 412). Kedua, adakalanya yang terjadi bahwa kekuatan proses global yang terpusat seperti Branding dapat bekerja melawan kepentingan pemiliknya. Merek global olahraga, seperti Kacang Olimpiade tidak hanya publisitas untuk Nike dan lain-lain, tetapi secara bersamaan menjadi ‘profil berita besar’ tentang eksploitasi pekerja anak di Indonesia, Pakistan, dan lain-lain oleh perusahaan yang sama (Branston and Stafford, 2003: 412). Ketiga, model imperialisme media dapat menyiratkan bahwa penonton pasti menjadi, atau ingin menjadi konsumen hanya sebagai akibat menonton program tersebut. Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan situasi yang lebih kompleks. Roger Silverstone menunjukkan bahwa metafora terjemahan menjadi cara yang lebih baik untuk memahami apa yang terjadi di dalam arus global ini (Silverstone, 1999: 109). Demikianlah beberapa perspektif teori globalisasi dalam studi media yang nantinya akan dijadikan ukuran dan pertimbangan dalam menganalisis penelitian ini lebih lanjut, terutama untuk menemukan kecenderungan-kecenderungan sebagaimana nantinya akan terlihat dalam beberapa kasus di lapangan. Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 Maimun Fuadi | 295 METODE PENELITIAN Jika diperhatikan dari tujuannya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian deskriptif kualitatif, karena bertujuan untuk menjelaskan dan menggambarkan relasi globalisasi media dengan media lokal, khususnya pada media televisi di Indonesia. Adanya relasi ini dapat ditemukan dengan melihat keterkaitan dan saling mempengaruhi antara media global dan media televisi Indonesia, terutama dengan mengamati beberapa sifat dan bentuk program tayangan acara televisi di Indonesia. Adanya relasi ini tentunya juga dapat berakibat pada terjadinya benturan dan pembauran identitas budaya masyarakat yang menyaksikan siaran televisi tersebut. Sumber informasi dan data dalam penelitian ini di peroleh melalui 2 (dua) sumber, yakni sumber data lapangan dan dokumentasi. Sumber data lapangan bersifat studi observasi, yakni dengan jalan mengamati semua program acara yang ditayangkan oleh televisi di Indonesia, serta dampak yang ditimbulkannya pada realitas kehidupan sosial masyarakat. Adapun sumber data dokumentasi di dapat dengan mempelajari segenap teori-teori, terutatama perspektif teori globalisasi dalam studi media yang ditemukan dari sejumlah literatur ilmiah, baik dalam bentuk buku, artikel, majalah, dan tulisan lainnya yang relevan. Data dokumentasi yang berhubungan dengan program acara yang ditayangkan oleh televisi di Indonesia juga diperlukan, ditambah dengan beberapa informasi lain, berupa tanggapan dan komentar yang datang dari pemirsa. Data yang telah terkumpul kemudian akan di analisis dengan teknik deskriptif kualitatif, yang merupakan suatu alur kegiatan yang meliputi reduksi data (mengelompokkan, mengklasifikasikan dan mengorganisasikan), penyajian data, dan penarikan kesimpulan.( Lexy J. Moleong, 1999 : 10) Deskriptif analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara menganalisis data dari beberapa dokumentasi dan hasil observasi yang kemudian akan di ambil suatu kesimpulan dengan cara induktif. Data yang telah tersusun selanjutnya akan disajikan menjadi laporan penelitian. Sebelum dijadikan laporan akhir akan diadakan seminar Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 296 | Budaya Lokal Versus Budaya Global untuk mendapatkan masukan atau kritikan demi penyempurnaan laporan ini. STUDI KASUS STASIUN TELEVISI DI INDONESIA Lebih jauh, desain penelitian ini bersifat studi kasus, di mana objek studi akan difokuskan pada stasiun televisi di Indonesia. Mengingat jumlah stasiun televisi di Indonesia sampai sekarang ini semakin meningkat, seperti Stasiun Televisi TVRI, RCTI, SCTV, INDOSIAR, ANTV, MNC TV, METRO TV, TRANS TV, GLOBAL TV, TRANS 7, TV ONE, dan sebagainya, maka dalam penelitian ini, peneliti mencoba memfokuskan studi kasus pada satu stasiun televisi saja, yaitu Stasiun Televisi ANTV. Semua program acara yang ditayangkan oleh Stasiun Televisi ANTV selama satu minggu, mulai dari tanggal 06 sampai 12 Oktober 2014 akan di jadikan bahan studi dalam kasus penelitian ini.( Lihat Lampiran Program Acara Siaran Televisi ANTV). Alasan di pilihnya Stasiun Televisi ANTV menjadi fokus studi dalam penelitian ini, di dasarkan pada program acara yang ditayangkannya, di mana banyak diminati oleh masyarakat Indonesia hampir segala umur, dari ibu rumah tangga, pemuda-pemudi, sampai dengan anak-anak. Hal ini disebabkan oleh besarnya program acara hiburan yang ditayangkannya, seperti film, kartun, sinetron, berita olah raga, dan berbagai bentuk informasi lainnya. Sebagai media masa sosial, tentunya Stasiun Televisi ANTV tidak hanya berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan. Stasiun Televisi ANTV juga berfungsi sebagai media propaganda guna membujuk pemirsa. Sebagai media propaganda, Stasiun Televisi ANTV telah menjadi media terpenting dalam memfasilitasi penyebaran suatu ide, gagasan, produk budaya sesuai dengan kepentingan tertentu kepada pemirsa. Oleh karena itu, kebanyakan jaringan dan stasiun televisi telah menjual beberapa bagian waktu penyiarannya kepada sponsor untuk membiayai siaran mereka.( Karen Hornick, 2006 : th) Berdasarkan hasil survey diketahui, bahwa sumber pendapatan penyiaran televisi di seluruh dunia berkisar antara 45-50% dari pengiklanan, 40-45% dari biaya langganan, dan 10% dari pembiayaan swasta. (http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi) Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 Maimun Fuadi | 297 Di samping itu, dengan mengangkat salah satu stasiun televisi, maka relasi globalisasi media dengan media lokal di Indonesia, khususnya dengan melihat keterkaitan program acara yang ditayangkan oleh Stasiun Televisi ANTV akan lebih mudah dilakukan. Melalui pendekatan teori globalisasi diharapakan dapat ditemukan benang merah tentang ada-tidaknya saling keterkaitan dan mempengaruhi tersebut sebagaimana akan dijelaskan pada analisis di bawah ini. RELASI MEDIA GLOBAL DENGAN MEDIA TELEVISI LOKAL DI INDONESIA Relasi media global dengan media lokal, khususnya pada media televisi di Indonesia dapat ditemukan dengan melihat ada tidaknya saling keterkaitan dan mempengaruhi antara media global dan media televisi di Indonesia, terutama dengan mengamati beberapa sifat dan bentuk program tayangan acara televisi di Indonesia. Untuk menemukan ada tidaknya keterkaitan ini, menurut perspektif teori globalisasi, globalisasi dikatakan terjadi ketika aktifitas melibatkan banyak saling ketergantungan, sehingga kegiatan lokal di berbagai belahan dunia dibentuk oleh satu sama lain; dan sering melibatkan teknologi yang memungkinkan sesuatu menjadi lebih cepat, baik dalam berhubungan maupun berkomunikasi.( Gill Branston and Roy Stafford, 2003 : 404-405) Berdasarkan teori di atas, untuk lebih jelas melihat ada tidaknya keterkaitan proses global-lokal dalam realitas program acara televisi di Indonesia, marilah sejenak kita menonton tayangan acara pada Stasiun Televisi ANTV sebagai berikut: Lihatlah ketika film serial Tom and Jerry ala Amerika disiarkan pada setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu pada Jam 07.30 WIB. Maka segala macam tingkah laku (ideologi), dan pernik-pernik assesoris seperti mainan, baju/kaos digandrungi oleh anak-anak kita. Lihatlah penampilan para anak muda dengan potongan rambut jambul yang di cat berwarna-warni dengan model rambut kulit durian atau berakhir dengan kucir di belakang kepala–hanya karena habis menonton siaran acara “Lensa Olah Raga” dan “Total Football”. Lihatlah bagaimana media global telah menciptakan Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 298 | Budaya Lokal Versus Budaya Global dan menayangkan ajang “Seputar Obrolan Selebriti” yang pada gilirannya menginspirasi para produsen dan industri media televisi lokal untuk ikut membuat dan menayangkan tanyangan yang sama, hingga para remaja putra-putri dari seluruh tanah air tekun mengikuti budaya mereka. Berdasarkan temuan di atas, keterlibatan teknologi komunikasi telah menjadi unsur utama terjadinya proses global. (John B. Thompson, 1997 : 152-159) Jaringan televisi ANTV berperan besar dalam memfasilitasi penyebaran identitas budaya global ke ranah lokal. Bermula dari kontinuitas konteks tersebutlah, sehingga terjadinya saling mempengaruhi dan ketergantungan antara ‘lokal’ dan ‘global’. Banyaknya film, beragam permainan, dan pentas semacam “festival” ala Barat, seperti Indonesia Idol, Akademi Fantasi, Kontes Dangdut atau unjuk kemampuan khusus dan semacamnya, itu semua telah mencerminkan adanya saling keterkaitan dan mempengaruhi antara media global dan media pertelevisian lokal di Indonesia. Andi Faisal Bhakti bahkan mengemukakan, bahwa konsekuensi dari globalisasi sudah begitu menglobal hari ini dan tercermin dengan istilah 5F (Fun, Fashion, Food, Facility, dan Fantacy). (Andi Faisal Bakti, tt : 1) Lihatlah berbagai Brand tingkat tinggi yang ada bersama kita sekarang ini, dari model Levi’s, Lea, Polo, Seiko, Omega, Rolex, Parker, Nike, Adidas, Reebok, Ferari, Mercy, BMW serta merek-merek lainnya telah menjadi bagian kehidupan kita. Melalui perspektif teori globalisasi juga mengindikasikan, bahwa terdapatnya hubungan global-lokal tersebut cenderung memantapkan eksistensi nilai-nilai yang berasal dari negara-negara maju dan menyingkirkan nilai-nilai tradisional di negara-negara berkembang dan miskin. Karakteristik lokal bertahan, adakalanya hanya dalam bentuk loyalitas agama atau etnis terbelakang; adakalanya hanya dalam bentuk makanan-manakan lokal, kostum, adat istiadat dan latarbelakang sejarah. Terjadinya perubahan pola pikir dan perilaku kehidupan masyarakat membuktikan telah terjadi pergeseran. (Gill Branston and Roy Stafford, 2003 : 406) Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 Maimun Fuadi | 299 Hal ini mungkin bisa di maklumi, karena sejak awal penyebarannya, perusahaan media global telah terkait erat dengan sejarah imperialis. Selain terdapat bukti yang cukup signifikan, sebagian besar berita, informasi dan hiburan dari negara-negara maju yang dipimpin oleh Amerika Serikat di sampaikan melalui satu arah ke seluruh dunia. (Gill Branston and Roy Stafford, 2003 : 408) Hal ini tidaklah mengherankan, jika kemudiannya nilai-nilai negara maju dianggap modern sehingga harus dianut karena dipromosikan secara terus menerus kebanyak wilayah dan negara. Fenomena di atas, kemudian diperparah pula oleh ketidakmampuan pemerintah dan media lokal dalam membetengi nilainilai identitas budaya lokal mereka, karena memang telah tertinggal dalam semua lini, baik dalam penguasaan dan pengembangan teknologi komunikasi, maupun dalam penguasaan ilmu pengetahuan secara umum. Sehingga tidak ada jalan pilihan lain bagi media lokal selain memilih untuk ikut mempromosikan budaya global yang memang telah terlanjur dianggap modern. Dari ilustrasi di atas, maka dapat dipahami bahwa adanya relasi antara media global dengan media pertelevisian lokal telah melahirkan konsekuensi bagi bergesernya pemahaman dan prilaku identitas budaya lokal masyarakat, dan beralih pada pengamalan dan prilaku identitas budaya global. Realitas ini semakin cepat pula terbentuk sebagai akibat oleh ketidakmampuan pemerintah dan media lokal dalam menjaga dan membentengi identitas budaya lokal dari budaya global, sehingga berita dan informasi yang disampaikan oleh negara maju menjadi satu arah dan tidak seimbang. BUDAYA LOCAL VS BUDAYA GLOBAL: ANTARA PERDEBATAN IMPERIALISME BUDAYA DAN HOMOGENISASI Sejak awal penyebarannya, perusahaan media global telah terkait erat dengan sejarah imperialis. Bukti tersebarnya berita dan hiburan dari negara-negara Barat utama yang di sampaikan melalui satu arah dan tidak seimbang ke seluruh dunia telah mengindikasi terjadinya imperialisme budaya yang kemudian melahirkan homogenisasi budaya global atas semua identitas budaya lokal. Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 300 | Budaya Lokal Versus Budaya Global Pendekatan teori imperialisme budaya yang melahirkan homogenisasi sulit untuk disanggah, terutama dengan melihat susunan program acara pada stasiun televisi di Indonesia. Buktikanlah, misalnya dengan melihat susunan program acara yang ditayangkan oleh Stasiun Televisi ANTV, di mana hampir 70% program acara menayangkan produks negara luar. Di mulai dengan film kartun animasi spesial ”Masha and the Bear, Sinema Pagi Tom & Jerry, sinetron Ramayana, Mahabharata, Mahadewa, Seputar Obrolan Selebriti, Little Khrisna, Chhota Bheem, Mr. Bean, Curious George, Legenda 12 Bintang, The Adventure of Hatim, dan Jodha Akbar, dan lainnya”. Sungguh tragis dan menyedihkan, bahwa program acara ini hampir setiap waktu dan hari ditayangkan oleh ANTV. Bahkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama sejumlah pakar menemukan, bahwa pada sejumlah tayangan tersebut kerap memuat kekerasan, penggunaan senjata tajam untuk menyakiti dan melukai, kata-kata kasar, hingga perilaku yang tidak pantas. Ini tentunya berdampak buruk bagi perkembangan fisik dan mental anak. KPI juga menyoroti adanya unsur-unsur mistis, muatan porno, dan sifat-sifat negatif, seperti emosi kemarahan, serakah, pelit, rakus, dendam, iri, malas, dan jahil dalam beberapa tayangan siaran tersebut. Realitas ini tentunya berbeda dengan identitas budaya dan kearifan lokal kita–namun inilah yang terjadi dalam realitas pertelevisian di Indonesia. Dengan demikian, terjadinya globalisasi media telah mempengaruhi dan menghancurkan eksistensi dan identitas budaya lokal di Indonesia. Teori media dengan cara yang sepenuhnya politik kepentingan telah menunjukkan bukti ini. Lihatlah hari ini, di mana kita duduk di depan televisi setiap hari, setiap malam, semua umur, semua warna kulit, dan keyakinan. Kita percaya dengan ilusi yang di putar dari sini. Kita menganggap televisi sebagai realitas. Kita melakukan apa saja yang dikatakan oleh televisi. Kita berpakaian seperti di televisi, makan makanan yang ada di televisi, membesarkan anak seperti di televisi, bahkan kita berpikir seperti di televisi. “Televisi sekarang telah mengawal anak-anak di seluruh dunia bahkan sebelum mereka memiliki izin untuk menyeberang jalan”.( Joshua Meyrowitz , 1985 : 238) Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 Maimun Fuadi | 301 Bergulirnya globalisasi beserta karakteristik yang menyertainya telah menunjukkan adanya proses homogenisasi yang mengarah ke ‘McWorld’.( Robert Herman and McChesney, 1997: th) Globalisasi yang ditopang oleh perkembangan teknologi komunikasi ini telah menciptakan apa yang sering di sebut oleh ilmuwan Kanada, Marshal McLuhan, sebagai “perkampungan global” (“global village”), di mana sekat-sekat antar wilayah tidak lagi berlaku, dan masing-masing individu dapat berinteraksi satu dengan yang lain tanpa halangan.( Marshall McLuhan, 1964 : th) Kemampuan berita yang dipancarkan melalui satelit secara simultan oleh stasiun penyiaran ke seluruh dunia dalam suatu waktu bersamaan telah menciptakan “global public sphere” dan kosmopolitanisme sebagai dasar terbentuknya warga negara dunia (global citizenship).( Mugdha dan Simon Cottle, 2007 : 51-78) Herbert Schiller sebagaimana dikutip Branston, adalah salah seorang yang paling terkenal dari mereka yang membuat argumen ‘imperialisme budaya’. Dia berpendapat bahwa dominasi iklan media komersil AS tidak hanya menjadikan model AS popular di seluruh dunia, namun juga telah mendorong budaya konsumerisme.( Gill Branston and Roy Stafford, 2003 : 408) Schiller juga menambahkan, bahwa gagasan imperialisme budaya juga dapat bergeser pada ‘transnasional dominasi budaya perusahaan’ suatu istilah yang dapat disingkat menjadi ‘TNC’. ( Gill Branston and Roy Stafford, 2003 : 408 - 409) Ini menunjukkan, bahwa perusahaan media juga dapat menyebarkan ide, gagasan, dan produk demi kepentingannya kepada seluruh khalayak, seperti halnya Stasiun Televisi ANTV di Indonesia. Namun demikian, argumen Schiller tersebut yang terkesan antiglobalisasi juga menuai kritikan dari mereka pro-globalisasi. Proglobalisasi menilai, bahwa fenomena ini merupakan risiko dari sebuah negara yang lebih lemah. ( Gill Branston and Roy Stafford, 2003 : 409) Jika kita sepakat dengan perspektif ini, maka dapatlah dengan mudah menyimpulkan, bahwa realitas yang terjadi pada tayangan televisi di ANTV hari ini merupakan perwakilan dari sebuah negara yang lemah, bodoh dan tertinggal dalam semua lini. Inilah realitas nyata negara Indonesia sesungguhnya. Pecundang tidak lain disebabkan oleh negara Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 302 | Budaya Lokal Versus Budaya Global dan perusahan media yang usang dan tidak kompetitif.( Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, 2012 : 901) Selain mengikis hak-hak kebebasan warga negara, beberapa anti-globalisasi mencela cara di mana media global menghegemoni selera, tradisi dan bahkan bahasa lokal yang khas. Tradisi budaya lokal telah kalah menghadapi serangan budaya Coca-Cola/McDonald’s/Levi’s Jeans. Nilai-nilai tradisional telah terkikis oleh acara televisi, film, dan music Pop buatan AS. Budaya konsumtif ini mempromosikan individuaisme, narsisme, dan keserakahan hingga menggerogoti standar moral dan keyakinan agama. maka kelompok-kelompok etnis, nasional, dan agama berusaha mengekang apa yang mereka anggap sebagai keunikan, martabat, dan nilai-nilai mereka. Kemudian persepsi dapat memicu reaksi terhadap globalisasi dan Amireka Serikat, yang dipandang pendukung utamanya. ( Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, 2012: 899-900) Pro globalisasi juga menambahkan, bahkan– jika sering menggambarkan adat istiadat sebagai warisan budaya yang mesti dipelihara, pada kenyataannya warisan budaya manusia di mana saja telah terbentuk dari proses yang sangat panjang dan brutal sebagai pertukaran dari adanya konflik antar budaya yang jauh telah berlangsung sebelum intervensi AS dan usaha kolonial Eropa. ( Gill Branston and Roy Stafford, 2003 : 409) Realitas ini dapat dibuktikan dengan mudah, lihatlah identitas budaya lokal kita hari ini, apakah murni lahir dari masyarakat kita? Akhirnya, hibriditas sebagai bagian dari budaya ‘global-lokal’ yang telah terbentuk, ini tidak lain akibat dari diaspora yang pedih oleh adanya modernitas. ( Gill Branston and Roy Stafford, 2003 : 409) Dari beberapa pendapat di atas, kelihatannya globalisasi kontroversial dalam beberapa hal. Tampaknya, kekhawatiran bahwa globalisasi merongrong identitas lokal berlebihan. Batas lokal dan nasional, agama, hukum, institusi media, struktur perpajakan, dan lain-lain tetap eksis dan memiliki kekuatan ekonomi dan ideologi. Memang, identitas nasional tampaknya berubah, tetapi tidak dilenyapkan dengan globalisasi, kecuali pada sebuah negara yang lemah, bodoh dan usang. Oleh karena itu, angin segar ini paling tidak telah memberikan Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 Maimun Fuadi | 303 kesempatan dan peluang kepada kita untuk merevitalisasikannya kembali dengan cara melihat beberapa kencenderungan yang mungkin bisa terjadi di masa depan. PERAN MEDIA TELEVISI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL Sebagai media massa sosial, televisi tidak hanya berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan. Televisi juga dapat berfungsi sebagai media propaganda guna membujuk pemirsa. Sebagai media propaganda, televisi telah menjadi media utama dalam memfasilitasi penyebaran suatu ide, gagasan, produk budaya sesuai dengan kepentingan tertentu kepada pemirsa. Namun demikian, untuk menjalankan peran ini, media televisi masih membutuhkan seperangkat teknologi komunikasi terbaru, yang dapat beroperasi lintas batas negara. Menurut Thompson, sebagaimana dikutip oleh Puji Rianto mengemukakan, bahwa perkembangan media dan komunikasi tidak hanya dalam jaringan-jaringan transmisi informasi di antara individu yang masih mempunyai hubungan-hubungan sosial. Namun, perkembangan media dan komunikasi menciptakan bentuk-bentuk tindakan dan interaksi dan hubungan sosial jenis baru – suatu bentuk hubungan yang berbeda jika dibandingkan dengan bentuk hubungan face-to-face yang hadir dalam hampir keseluruhan sejarah manusia. Di sini, komunikasi memberikan kontribusi bagi globalisasi dunia dalam tiga cara. Pertama, komunikasi global menyediakan “infrastructures” bagi aliran data, berita, dan citra lintas batas negara bangsa yang memungkinkan berkembang. Kedua, komunikasi global telah mendorong peningkatan permintaan melalui “channels of desire” periklanan global. Ketiga, komunikasi global memberdayakan kelompok-kelompok marginal (the silent voices) di negara-negara periferi akan hak menentukan nasib sendiri (self-determination) dan keadilan sosial yang biasanya hadir dalam bentuk pemujaan mendalam atas identitas vis-a-vis komoditas di negara-negara center.( Puji Rianto, 2008 : 70) Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 304 | Budaya Lokal Versus Budaya Global Dengan melihat pendapat di atas, maka terasa sedih rasanya ketika hendak membenturkan teori ini dengan realitas pertelevisian nasional, terutama Stasiun Televisi ANTV. Sejauh pantauan penulis, kelihatannya tidak satupun media pertelevisian nasional yang mampu berperan secara optimal untuk bersaing dalam kancah internasional. Bahkan, pada tingkatan lokal-pun eksistensi televisi nasional masih harus dipertanyakan! Oleh karena itu, tidak mengherankan jika media televisi lokal hanya mampu menelurkan program-program yang sebagian besarnya terkait erat dengan berita, informasi dan hiburan budaya dari negara-negara maju yang pada hakikatnya hanya di sampaikan satu arah ke seluruh dunia. ( Gill Branston and Roy Stafford, 2003 : 408) Sebagai perbandingan, sangat penting untuk melihat bagaimana jaringan televisi global telah menantang hubungan-hubungan tradisional antara negara melalui jangkauan siarannya yang bersifat transnasional: Terdapat tiga tipe coverage, yakni multi-territory, pan-regional, dan global. Stasiun televisi yang mempunyai coverage multi-territory biasanya muncul karena tidak mempunyai cukup sumber daya untuk mengembangkan siaran pan-regional atau karena alasan-alasan ketakutan sebagai akibat ketiadaan brand dan bahan-bahan untuk menyelenggarakan siaran pan-regional. Siaran-siaran televisi panregional biasanya mampu menjangkau keseluruhan kawasan regional. Saluran Pan-Eropa, misalnya, mampu menjangkau keseluruhan wilayah Eropa, Euronews, dan Eurosport (yang saat ini berada di bawah kendali TF1, stasiun siaran swasta Perancis), Mezzo, saluran musik klasik Lagardere, dan Fox Kids. Meskipun tidak menjangkau keseluruhan Eropa, tetapi setidaknya menjangkau 30 hingga 55 kawasan dengan 15 bahasa. Kelompok terakhir adalah jaringan televisi yang mempunyai jangkauan global. Jaringan televisi seperti MTV, CNN, dan Discovery telah menjangkau tidak hanya Eropa, tetapi juga lebih dari 150 negara yang berada di kawasan seperti Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Pasifik, Amerika dan kadang-kadang Afrika. Stasiun-stasiun ini mempunyai orientasi program global yang disiarkan selama 24 jam non-stop. Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 Maimun Fuadi | 305 Orientasi siarannya yang 24 Jam ini telah membuatnya mempunyai kemampuan untuk meliput dunia secara real time. CNN World Report dan BBC World, misalnya, dapat meliput krisis dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia sebagaimana terjadi. .( Puji Rianto, 2008 : 71) Berdasarkan realitas tersebut, maka dapatlah kita pastikan bahwa peran media televisi di Indonesia yang kemudian kita bandingkan dengan apa yang terjadi pada ranah teknologi media komunikasi global hari ini sangat jauh tertinggal. Jika kita tidak mau membuka mata, maka tidaklah mengherankan jika dikatakan, bahwa istilah ‘globalisasi’ memang telah membuat proses ini tampak seperti ‘kekuatan alam’, yang menyebar tepat di atas planet kita. ( Gill Branston and Roy Stafford, 2003 : 412) Kita hanya mampu menerima dari apa yang tidak kita inginkan seraya membunuh identitas diri secara perlahan, dan selamanya akan menjadi pecundang di negeri sendiri. Pada sisi lain, model imperialisme media yang mana penekanan kepemilikan bisa menyiratkan apa yang diinginkan baik dalam program itu sendiri, maupun melalui iklan yang membiayainya, ( Gill Branston and Roy Stafford, 2003 : 417) maka sudah semestinya media televisi di Indonesia dapat menumbuhkan dan membuat program-program mereka sendiri sesuai dengan nilai-nilai dan identitas budaya lokal dan juga menarik bagi global sehingga dapat menarik sponsor untuk membiayai mereka. (Andi Faisal Bakti, 2014: th) Dengan demikian, sudah waktunya bagi media televisi lokal dan nasional di Indonesia untuk menjalankan peran dan fungsinya secara baik dengan seperangkat teknologi komunikasi terbaru dan dapat beroperasi lintas batas negara, sebagaimana gambaran beberapa teori di atas. Integrasi, interkoneksi, dan bahkan interdependensi ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan media dan teknologi komunikasi yang beroperasi lintas batas negara tersebut. Dengan begitu, diharapkan media televisi lokal dan nasional dapat bermain sejajar dengan berbagai jejaring televisi transnasional, khususnya dalam jangkauan siarannya. Sehingga kemudian mampu menapik dan mengatakan bahwa proses globalisasi bukanlah “kekuatan alam” yang menyebar tepat di atas planet bumi – akan tetapi tidak lain dari hasil Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 306 | Budaya Lokal Versus Budaya Global cipta, karsa dari manusia yang mempunyai kreatifitas dan modernitas dalam arti yang lebih luas. KESIMPULAN Berdasarkan beberapa hasil analisis, maka dapatlah di buat suatu kesimpulan, bahwa: Relasi media global dengan media lokal, khususnya pada media televisi di Indonesia dapat ditemukan dengan menganalisis semua program acara yang ditayangkan oleh televisi lokal di Indonesia. Di temukannya saling keterkaitan dan mempengaruhi antara media global dan lokal telah membuktikan adanya relasi ini. Tedapatnya relasi ini pada gilirannya telah membawa dampak negatif terhadap identitas budaya lokal. Adanya dampak negatif ini tidak lain di sebabkan oleh ketidakmampuan media lokal (khususnya media televisi nasional) dalam mengimbangi perkembangan teknologi komunikasi media global dan modernisasi dewasa ini. Realitas ini diperparah pula oleh ketidakperdulian pemerintah dan media televisi lokal dalam membentengi nilai-nilai identitas budaya lokal mereka. Sehingga sebagian besar berita, informasi, dan hiburan dari negaranegara maju hanya di sampaikan melalui satu arah tanpa ada yang mengimbangi. Oleh karena itu, revitalisasi media televisi lokal dan nasional di Indonesia secara berkesinambungan merupakan suatu keniscayaan guna menatap identitas budaya lokal yang lebih cerah. Sudah waktunya bagi televisi lokal dan nasional untuk menjalankan peran dan fungsinya secara baik dengan seperangkat teknologi komunikasi terbaru dan dapat beroperasi lintas batas negara. Dengan begitu, diharapkan media televisi lokal dan nasional dapat bermain sejajar dengan berbagai jejaring televisi transnasional. Sehingga kemudian mampu menapik dan mengatakan bahwa proses globalisasi bukanlah “kekuatan alam”, akan tetapi tidak lain dari hasil cipta karsa manusia yang mempunyai kreatifitas dan modernitas dalam arti luas. Dengan demikian, globalisasi bukanlah sesuatu hal yang negatif atau positif sehingga mesti dijauhi atau dihilangkan. Globalisasi merupakan suatu proses yang mesti ditanggapi secara kritis, terutama Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 Maimun Fuadi | 307 dengan upaya mengembangkan kreativitas yang datang dari “dalam” kebudayaan sendiri, dan memilah “unsur luar” yang memang lebih baik. Globalisasi merupakan kesempatan antara harapan dan tantangan, peluang antara memilih ingin menjadi ‘pemenang atau pecundang’! DAFTAR PUSTAKA Bakti, Andi Faisal. “Globalisasi: Dakwah Cerdas Era Globalisasi Antara Tantangan dan Harapan”. Lihat: http://www.andifaisalbakti.net/ MakalahDAKWAH-at-UNJ.pdf. Di akses pada tanggal 6 Desember 2014. _______. “The Role of Islamic Media In The Globalization Era: Between Religious Principles and Values of Globalization, The Challenges and The Opportunities”. http://www.andifaisalbakti.net/articles. Di akses pada tanggal 5 Desember 2014. Branston, Gill and Roy Stafford (2003). The Media Student’s Book. London and New York: Routledge. Herman, Robert and McChesney (1997). The Global Media: The New Visionaries of Corporate Capitalism. London: Chassell. Hoed, Benny H (2001). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu. Hornick, Karen. “That Was the Year That Was”. American Heritage. Oktober 2006. Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi. Di akses pada tanggal 4 Desember 2014. http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi. Di akses pada tanggal 4 Desember 2014. Klein, Naomi (2001). No Logo. London: Flamingo. Lihat: http://www.tribunnews.com/nasional/2014/09/23/kpi-ini-limaacara-tv-yang-berbahaya-bagi-anak-anak. Di akses pada tanggal 14 Desember 2014. Mansbach, Richard W. & Kirsten L. Rafferty (2012). Introduction to Global Politik. Terj. Amat Asnawi. Bandung: Nusa Media. McArthur, John (2000). The Selling of ‘Free Trade’: NAFTA, Washington, and the Subversion of America Democracy. London and Berkeley: University of California Press. Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014 308 | Budaya Lokal Versus Budaya Global McLuhan, Marshall (1964). Understanding Media: The Extensions of Man. London: Routledge and Kegan Paul. Meyrowitz, Joshua (1985). No Sense of Place: The Impact of Electronic Media on Social Behavior. New York: Oxford University Press. Moleong, Lexy J (1999). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mugdha dan Simon Cottle (2007). “Global Mediation: on the Changing Ecology of Satellite Television News”. Volume 3. No. 1. Pieterse, Jan Nederveen (1996). “Globalization and Culture Three Paradigms”. Economic and Political Weekly. Vol. 31. No. 23. Rantanen, Terhi (2006). The Media and Globalization. London and New Delhi: Sage Publications. Rianto, Puji. “Globalisasi Media dan Transformasi Politik Internasional”, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 5, Nomor 1, Juni 2008. Silverstone, Roger (1999). Why Study the Media? London: Sage. Imanto, Teguh. Budaya Populer dan Realitas Media. Lihat: http:// www.esaunggul.ac.id/ article/budaya-populer-dan-realitas-media/ Di akses pada tanggal 5 Desember 2014. Thompson, John B (1997). The Media and Modernity: A Social Theory of the Media. Cambridge: Polity. Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014