BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Industri perbankan Indonesia telah mengalami pasang surut. Dimulai pada tahun 1983 ketika berbagai macam deregulasi mulai dilakukan pemerintah, kemudian bisnis perbankan berkembang dengan pesat pada kurun waktu 1988-1996. Pada pertengahan tahun 1997, industri perbankan akhirnya terpuruk sebagai imbas dari krisis ekonomi yang melanda perekonomian Indonesia. Dengan perkembangan perekonomian nasional yang dinamis dengan tantangan yang semakin kompleks saat ini memerlukan sektor-sektor yang dapat menunjang perkembangan perekonomian kearah pertumbuhan. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa investasi dalam jumlah yang besar sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan Pramono, 2000:1). Salah satu sektor perekonomian adalah sektor perbankan yang berfungsi sebagai financial intermediary yaitu pihak mediator antara kelompok masyarakat yang kelebihan dana (surplus unit) dengan masyarakat yang kekurangan dana (deficit unit). Suatu sistem perbankan dalam kondisi yang bangkrut dapat mengakibatkan fungsi bank sebagai lembaga intermediry tidak akan berfungsi dengan optimal. Terganggunya fungsi intermediary akan mengakibatkan alokasi dan penyediaan dana dari perbankan untuk kegiatan investasi dan membiayai sektor-sektor yang produktif dalam perekonomian 1 Analisis Risiko Keuangan..., Novi Lestari, Fak. Ekonomi UMP, 2011 2 menjadi terbatas, sehingga perbankan nasional harus memiliki kelembagaan perbankan yang kokoh dengan didukung oleh infrastruktur perbankan yang baik sehingga secara fundamental masih harus diperkuat untuk dapat mengatasi gejolak internal maupun eksternal, belum kokohnya fundamental perbankan nasional merupakan tantangan besar yang bukan hanya bagi industri perbankan secara umum, tetapi juga bagi Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasnya, sehingga fungsi financial intermediary menjadi sektor kepercayaan yang mempunyai kedudukan strategis sebagai penunjang perkembangan perekonomian nasional (Lukman, 2001: 43) Tingkat kesehatan bank menggambarkan kemampuan suatu bank untuk menjalankan kegiatan usahanya secara normal, kemampuan mengenai distribusi aktivanya, keefektifan pengguna aktivanya, hasil usaha atau pendapatan yang telah dicapai, beban-beban tetap yang harus dibayar, serta potensi kesehatan yang dialaminya. Bank Indonesia akan memberikan kesempatan yang lebih luas dalam mengembangkan usaha bagi bank yang dapat menunjukkan tingkat kesehatan yang baik, dan sebaliknya bank yang menunjukkan tingkat kesehatan yang kurang baik akan diberikan perhatian khusus berupa batasan-batasan dalam operasional bank yang bersangkutan. Oleh karena itu, peran perbankan menjadi sangat penting yaitu memperlancar arus pembangunan pada umumnya dan pembangunan pada sektor ekonomi pada khususnya (Simorangkir, 1998:3). Tingkat kesehatan bank dapat dinilai dari beberapa indikator. Salah satu sumber utama indikator yang dijadikan dasar penilaian adalah laporan Analisis Risiko Keuangan..., Novi Lestari, Fak. Ekonomi UMP, 2011 3 keuangan bank yang bersangkutan. Berdasarkan laporan itu akan dapat dihitung sejumlah rasio keuangan yang lazim dijadikan dasar penilaian tingkat kesehatan bank. Kinerja suatu perusahaan dapat dinilai dengan menggunakan laporan keuangan. Laporan keuangan tidak hanya mencerminkan kondisi suatu perusahaan pada masa lalu tetapi juga dapat digunakan untuk memprediksi kondisi keuangan suatu perusahaan pada masa mendatang. Salah satu teknik yang digunakan untuk menilai perusahaan adalah analisis rasio keuangan. Indikator kinerja suatu perbankan dapat dilihat dari rasio likuiditas, rasio rentabilitas, rasio risiko usaha bank, rasio permodalan dan rasio efisiensi usaha. Rasio keuangan tersebut diharapkan dapat digunakan untuk mendeteksi kesulitan keuangan. Kesulitan keuangan suatu perusahaan dapat tercermin dari indikator kinerja yakni apabila perusahaan mengalami kesulitan keuangan jangka pendek (likuiditas) yang tidak segera diatasi akan mengakibatkan kesulitan keuangan jangka panjang (solvabilitas) sehingga dapat berujung pada kebangkrutan suatu perusahaan (Suharman, 2007). Misalnya kasus Bank Century. Bank Century adalah hasil merger tiga bank, yaitu bank Pikko, bank CIC, dan bank Danpac pada 6 Desember 2004 atau dua bulan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilantik di periode pertama masa pemerintahannya. Dua bank yang disebut pertama sebenarnya sudah tidak layak hidup, karena mempunyai masalah dengan surat-surat berharga (SSB) dalam valuta asing dan memiliki rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) di bawah ketentuan minimum 8%. Analisis Risiko Keuangan..., Novi Lestari, Fak. Ekonomi UMP, 2011 4 Berdasarkan temuan BPK, Bank Indonesia diduga telah memberikan kelonggaran terhadap persyaratan merger dengan melakukan halhal sebagai berikut: 1. Aset berupa SSB yang semula dinyatakan macet oleh BI, kemudian dianggap lancar untuk memenuhi ketentuan CAR minimal 8 persen dalam rangka merger. 2. Pemegang saham pengendali yang sebenarnya dinyatakan tidak lulus fit and proper test tetap dipertahankan. 3. Pengurus bank, yaitu komisaris dan direksi bank ditunjuk tanpa melalui fit and proper test. 4. Laporan keuangan Bank Pikko dan Bank CIC yang dijadikan dasar merger, sebenarnya diberi opini disclaimer oleh Kantor Akuntan Publik. Merger ketiga bank sudah dilakukan dan bank yang baru diberi nama Century. Tetapi, hanya dua bulan setelah merger, tepatnya 28 Februari 2005, posisi rasio kecukupan modal (CAR) Bank Century sudah negatif. Berdasarkan laporan itu, sesuai ketentuan, semestinya Bank Century sudah harus ditetapkan dalam status Pengawasan Khusus. Namun atas usul Direktur Pengawasan Bank yang disetujui oleh Deputi Gubernur, Bank Century hanya dinyatakan berstatus Dalam Pengawasan Intensif. Posisi CAR yang negatif itu sebenarnya adalah konsekuensi tak terhindarkan dari penyakit bawaan sebelum merger di mana ada aset berupa surat-surat berharga (SSB) sebesar 203 juta dolar yang berkualitas rendah, dan 116 juta dolar di antaranya masih dikuasai pemegang saham. Analisis Risiko Keuangan..., Novi Lestari, Fak. Ekonomi UMP, 2011 5 Dalam situasi seperti itu, menurut peraturan yang dibuat Bank Indonesia, semestinya para pemegang saham Bank Century wajib melakukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang besarnya 100%. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005, tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Jadi bila bank punya aset yang tidak baik yang semestinya dicoret dari daftar aktiva, maka harus dicadangkan dana pengganti sesuai jumlahnya. Seperti ketentuan pencadangan untuk kredit macet. Menurut laporan BPK, Bank Indonesia menyetujui untuk tidak melakukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif terhadap surat-surat berharga tersebut. Berarti modal Century tidak akan terancam dan bank masih bisa hidup. Sepanjang tahun 2005 hingga 2007, menurut BPK, hasil pemeriksaan Bank Indonesia sebenarnya juga menemukan adanya pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang dilakukan Bank Century namun Bank Indonesia tidak mengambil tindakan yang tegas. Selain itu, Posisi Devisa Neto (PDN) yang dilakukan Bank Century semestinya dikenai denda sebesar Rp 22 miliar, tetapi Bank Indonesia justru memberikan diskon denda sebesar 50%. Sehingga manajemen Bank Century hanya membayar denda Rp 11 miliar. Jika Bank Indonesia bertindak tegas terhadap Bank Century, terutama mengenai penerapan ketentuan PPAP, maka bank tersebut seharusnya ditempatkan Dalam Pengawasan Khusus sejak 31 Oktober 2005. Tapi nyatanya, status itu baru disematkan pada Bank Century pada 6 November 2008. Analisis Risiko Keuangan..., Novi Lestari, Fak. Ekonomi UMP, 2011 6 Pada 31 Oktober dan 3 November 2008, manajemen Bank Century mengajukan pinjaman Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Indonesia sebesar Rp 1 triliun. Karena pengajuan itu, maka Bank Indonesia mulai menempatkan para pengawasnya pada 6 November 2008, dan pada hari yang sama langsung mengeluarkan surat yang melarang penarikan dana dari rekening simpanan milik pihak terkait (baik giro, tabungan, maupun deposito). Surat Deputi Gubernur BI (DpG) No.10/9/DpG/DPB1/Rahasia itu ditujukan kepada manajemen Bank Century (manajemen lama), yang memerintahkan agar tidak melayani penarikan dana dari rekening milik pihak terkait dengan bank, dan atau pihak-pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Pada tanggal 14 November 2008 Bank Indonesia akhirnya mengabulkan permohonan FPJP untuk Bank Century sebesar Rp 689 miliar dari Rp 1 triliun yang diminta. Dana tersebut lalu digunakan untuk dua jenis kebutuhan besar: pertama untuk melunasi transaki antar-bank sebesar Rp 28,2 miliar, dan keperluan pembayaran Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp 661 miliar. Para nasabah banyak yang menarik dana melalui rekening masingmasing. Untuk itu, Bank Indonesia perlu memperhatikan keterkaitan faktor-faktor risiko bank dalam kaitannya pada permasalahan industri perbankan, maka diperlukan suatu upaya pemantauan yang berkelanjutan atas faktor-faktor risiko yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha perbankan tersebut. Dalam hal ini, diperlukan Analisis Risiko Keuangan..., Novi Lestari, Fak. Ekonomi UMP, 2011 7 pemantauan berkelanjutan atas indikator-indikator internal perbankan yang secara dini diyakini dapat memberikan informasi mengenai adanya permasalahan dalam industri perbankan. Untuk itu, kajian mengenai indikator-indikator internal yang dapat digunakan sebagai informasi awal adanya potensi kegagalan bank perlu dilakukan sehingga tindakan-tindakan preventif dapat segera dilakukan sebelum permasalahan yang systematic risk dapat membahayakan perbankan nasional. Dengan demikian, perlu penelitian ini memfokuskan pada ANALISIS RISIKO KEUANGAN SEBAGAI PREDIKTOR DALAM MEMPREDIKSI TINGKAT KESEHATAN USAHA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah: a. Apakah rasio keuangan: likuiditas, kredit, solvabilitas, tingkat bunga, efisiensi, dapat dipergunakan dalam memprediksi tingkat kesehatan usaha BPR tiga tahun mendatang? b. Apakah rasio keuangan: likuiditas, kredit, solvabilitas, tingkat bunga, efisiensi, dapat dipergunakan dalam memprediksi tingkat kesehatan usaha BPR dua tahun mendatang? c. Apakah rasio keuangan: likuiditas, kredit, solvabilitas, tingkat bunga, efisiensi, dapat dipergunakan dalam memprediksi tingkat kesehatan usaha BPR satu tahun mendatang? Analisis Risiko Keuangan..., Novi Lestari, Fak. Ekonomi UMP, 2011 8 1.3. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini tidak membahas mengenai faktor manajemen dan faktor yang bersifat teknis, sosial, ekonomi yang mendasari kinerja perbankan karena sulitnya mencari data yang relevan mengenai hal yang diteliti. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah rasio keuangan yang terdiri dari: likuiditas, kredit, solvabilitas, tingkat bunga, efisiensi yang didasarkan pada laporan keuangan dapat dipergunakan dalam memprediksi tingkat kesehatan usaha BPR satu tahun mendatang, dua tahun mendatang dan tiga tahun mendatang. 1.2. Manfaat Penelitian Dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: a. Bagi peneliti Memperluas wawasan pengetahuan yang berhubungan dengan rasio-rasio keuangan dalam memprediksi tingkat kesehatan usaha BPR. b. Bagi perusahaan Memberikan salah satu contoh aplikasi rasio-rasio keuangan yang dapat digunakan dalam memprediksi tingkat kesehatan usaha bank. Analisis Risiko Keuangan..., Novi Lestari, Fak. Ekonomi UMP, 2011 9 c. Bagi investor (nasabah) dan Kreditur (pihak bank) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan para investor (nasabah) dan kreditur (pihak bank) tentang tambahan alat analisis yang dapat mereka gunakan untuk menganalisis sebuah perusahaan tempat mereka menanamkan modalnya atau dalam memberikan kredit untuk mengetahui apakah perusahaan tersebut akan mengalami kebangkrutan dikemudian hari atau tidak sehingga dapat mengantisipasi risiko yang mungkin terjadi. d. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan referensi bagi peneliti selanjutnya. Analisis Risiko Keuangan..., Novi Lestari, Fak. Ekonomi UMP, 2011