PENDAHULUAN Dampak logam berat pada

advertisement
PENDAHULUAN
Dampak logam berat pada lingkungan
semakin meningkat akhir-akhir ini, khususnya
di lingkungan perairan. Logam berat tersebut
pada
umumnya
diakibatkan
oleh
meningkatnya populasi, ketidakteraturan arus
urbanisasi, pengembangan teknologi dan
industri, serta peningkatan pemanfaatan
industri (Igwe & Abia 2007). Salah satu
logam berat yang merupakan sumber polusi
adalah logam kromium (Cr). Logam ini
banyak
digunakan
dalam
industri
elektroplating, penyamakan kulit, pulp, serta
proses pemurnian bijih dan petroleum.
Kromium dapat membentuk tiga macam
senyawa yang masing-masing berasal dari
proses oksidasi CrO (kromium oksida), yaitu
Cr2+ disebut kromium divalen, Cr3+ disebut
kromium trivalen, dan Cr6+ disebut kromium
heksavalen (Bastarache 2002). Kromium
trivalen merupakan bentuk yang paling
banyak berada di lingkungan. Kromium
trivalen dibutuhkan oleh manusia karena
bersama-sama dengan insulin menjaga kadar
gula darah. Kromium heksavalen memiliki
sifat yang lebih toksik jika dibandingkan
dengan
kromium
trivalen.
Kromium
heksavalen dapat menyebabkan kerusakan
hati, ginjal, pendarahan, kerusakan saluran
pernapasan, dan kanker paru (Kusnoputranto
1996). Oleh karena itu, kandungan logam
berat kromium dalam limbah industri harus
diminimalkan sebelum limbah dibuang ke
lingkungan.
Beberapa metode yang sudah berkembang
untuk pembersihan logam Cr(VI) dari
lingkungan perairan, antara lain secara kimia
menggunakan koagulan, secara fisika dengan
adsorpsi menggunakan arang aktif, dan secara
biologi menggunakan mikroba (Forlink 2000).
Namun, metode tersebut memiliki beberapa
kekurangan. Pengolahan limbah secara kimia
menggunakan koagulan akan menghasilkan
lumpur dalam jumlah besar, sedangkan
penggunaan arang aktif dalam pengolahan
limbah meskipun sangat efektif, tetapi
memerlukan biaya yang cukup tinggi
(Manurung et al. 2004). Saat ini dicari
adsorben yang mudah didapat serta ekonomis.
Adsorben alami yang berasal dari liat atau
sumber daya mineral menjadi alternatif dalam
penanganan cemaran logam berat di
lingkungan.
Bentonit merupakan sumber daya mineral
yang melimpah di Indonesia, akan tetapi
belum optimum pemanfaatannya. Cadangan
bentonit di Indonesia sekitar 380 juta ton,
merupakan aset potensial yang harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya (Syuhada et al.
2009). Salah satu aplikasi bentonit yang saat
ini banyak dikaji oleh institusi penelitian
internasional dan nasional adalah pemanfaatan
bentonit sebagai adsorben. Permukaan
bentonit memiliki muatan negatif, sehingga
bentonit memiliki kemampuan mengadsorpsi
ion-ion logam yang bermuatan positif,
sedangkan
kemampuannya
dalam
mengadsorpsi anion sangat rendah. Oleh
sebab itu, pengembangan pemanfaatan
bentonit sebagai adsorben anion penting untuk
diteliti.
Penelitian ini memodifikasi bentonit
dengan HDTMABr yang merupakan surfaktan
akan
kationik.
Kation
HDTMA+
menggantikan kation-kation pada ruang
antarlapisan bentonit melalui pertukaran
kation dan mengubah sifat permukaan
bentonit yang awalnya bersifat hidrofilik
menjadi hidrofobik atau organofilik sehingga
bentonit hasil modifikasi tersebut dapat
meningkatkan kemampuan adsorpsi anion
logam, seperti CrO42- atau Cr2O72-.
Penelitian ini bertujuan menentukan
kemampuan bentonit asal Leuwiliang yang
dimodifikasi HDTMABr dalam mengadsorpsi
Cr(VI) dan menentukan kondisi optimum
adsorpsi Cr(VI) terkait dengan parameter serta
sifat adsorpsi melalui persyaratan isoterm
adsorpsi meliputi pH adsorpsi, waktu kontak
adsorpsi, isoterm adsorpsi, serta dapat
mengetahui kemampuan desorpsi Cr(VI) dari
organobentonit.
TINJAUAN PUSTAKA
Bentonit
Bentonit
merupakan
istilah
yang
digunakan di dalam dunia perdagangan untuk
sejenis batuliat yang mengandung lebih dari
85% montmorilonit. Bentonit mempunyai
rumus kimia Al2O3.4SiO2.XH2O, yaitu
senyawa
silikat
dan
alumina
yang
mengandung air terikat secara kimia
(Sukandarrumidi 1999).
Bentonit mempunyai warna dasar putih
dengan sedikit kecokelatan, kemerahan, atau
kehijauan tergantung dari jenis dan jumlah
fragmen mineralnya. Bentonit bersifat lunak,
ringan, mudah pecah, terasa seperti sabun,
mudah menyerap air, dan dapat melakukan
pertukaran ion. Berat jenis bentonit berkisar
antara 2.4 sampai 2.8 g/mL. Ukuran partikel
koloid bentonit sangat kecil dan mempunyai
2 1
kapasitas penukar ion yang tinggi dengan
pertukaran ion terutama diduduki oleh ion-ion
Ca2+ dan Mg2+.
Struktur montmorilonit (Gambar 1) terdiri
atas tiga lembar, yaitu satu lembar aluminol
(AlO62-) berbentuk oktahedral pada bagian
tengah yang diapit oleh dua buah lembar
silanol (SiO42-) berbentuk tetrahedral. Di
antara lapisan-lapisan silikat tersebut terdapat
ruang antarlapisan yang berisi kation
monovalen
maupun bivalen yang dapat
dipertukarkan, seperti Na+, Ca2+, dan Mg2+
(Syuhada et al. 2009).
Heksadesiltrimetilamonium (HDTMA)
Heksadesiltrimetilamonium adalah suatu
tetra substitusi kation amonium dengan
pengikatan nitrogen bervalensi lima secara
permanen dan rantai lurus panjang alkil (C16).
Rumus molekulnya adalah C19H42N+ (Gambar
2). HDTMA merupakan garam amonium
kuartener dengan kation organik yang dapat
dipertukarkan dengan kation anorganik yang
berada dalam ruang antarlapisan bentonit.
Adsorpsi Cr(VI) di perairan menggunakan
montmorilonit yang dimodifikasi dengan
HDTMA telah diteliti oleh Majdan et al.
(2006). Penelitian ini melaporkan bahwa
Cr(VI) sebagian besar teradsorpsi dengan
membentuk kompleks antara rantai alkil
surfaktan dan anion bikromat atau kromat.
Gambar 2 Struktur HDTMABr
Organobentonit
Gambar 1 Struktur montmorilonit
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
bentonit berpotensi sebagai adsorben senyawa
non-kationik melalui proses aktivasi terlebih
dahulu. Penelitian Ceyhan & Baybas (1999)
menunjukkan
bahwa
bentonit
yang
dimodifikasi HDTMA dapat mengadsorpsi zat
warna tekstil. Iskandar & Djajakirana (2006)
melakukan penelitian terhadap absorpsi zat
organik dan anorganik pada limbah cair di
industri tekstil, pupuk, pestisida, pulp, dan
kertas menggunakan bentonit yang diaktivasi
dengan HDTMA. Penelitian ini melaporkan
bahwa HDTMA-bentonit dapat menurunkan
konsentrasi anion dikromat secara nyata pada
cairan limbah. HDTMA-bentonit juga dapat
menurunkan pH, warna, turbiditas, total
padatan, Chemical Oxygen Demand (COD),
dan Biology Oxygen Demand (BOD) pada
limbah cair industri tekstil dan pupuk. Selain
itu, Ramos et al. (2008) melaporkan bahwa
bentonit yang dimodifikasi HDTMA mampu
mengadsorpsi Cr(VI) dengan kapasitas
adsorpsi maksimum terjadi pada pH 5.
Bentonit memiliki kemampuan adsorpsi
yang rendah terhadap ion Cr(VI). Hal ini
disebabkan bentonit memiliki permukaan
yang bermuatan negatif, sedangkan ion Cr(VI)
yang terdapat di dalam perairan biasanya
dalam bentuk anion, sehingga terjadi tolakmenolak antara anion Cr(VI) dengan
permukaan bentonit. Kapasitas adsorpsi dari
bentonit ini dapat dinaikkan dengan
mengubah sifat permukaan bentonit melalui
modifikasi bentonit dengan HDTMABr.
Modifikasi bentonit dengan menggunakan
senyawa organik membentuk organobentonit
diawali tahap swelling. Sebelum ditambahkan
surfaktan,
bentonit
murni
dibiarkan
mengembang di dalam air (swelling) untuk
meningkatkan basal spacing (jarak basal)
sehingga mempermudah pertukaran kation.
Surfaktan yang mengandung amonium
kuartener seperti HDTMA memiliki muatan
positif pada ion nitrogen yang berfungsi
sebagai atom pusat yang berikatan dengan
empat radikal organik. Pertukaran kation
bertujuan untuk mengubah bentonit yang
bersifat hidrofilik (menarik air) menjadi
bersifat hidrofobik (menolak air), sehingga
dapat dicampur dengan material yang bersifat
hidrofobik juga seperti polimer (Syuhada et
al. 2009).
Konsentrasi, waktu mengembang, dan sifat
surfaktan dapat mempengaruhi kualitas
organobentonit yang dihasilkan (Syuhada et
3 1
al. 2009). Bentonit alam pada awalnya
mengandung kation-kation seperti Na+, Mg2+,
atau Ca2+ yang terikat secara ionik dengan
permukaan bentonit yang bermuatan negatif.
Kation-kation yang terdapat pada ruang
antarlapisan bentonit dapat dipertukarkan
dengan kation lain, termasuk surfaktan yang
bermuatan positif. Jarak basal bentonit
bertambah besar dengan masuknya surfaktan,
yaitu dari 12.69 Å menjadi 19.53 Å seperti
terlihat pada Gambar 3 (AG 2009). Pertukaran
kation anorganik dengan kation organik pada
kerangka bentonit dapat meningkatkan daya
adsorpsi bentonit terhadap anion.
Pewarnaan dengan DPC cukup sensitif dengan
nilai adsorptivitas molar berkisar 40.000
L/mol cm pada panjang gelombang 540 nm
(Clesceri et al. 2005).
Pengukuran kromium total menggunakan
metode spektrofotometri memerlukan suatu
pengoksidasi kuat sehingga kromium dengan
tingkat oksidasi lebih rendah dapat dianalisis
dengan metode ini. Menurut Clesceri et al.
(2005) beberapa oksidator yang dapat
digunakan adalah KMnO4, K2S2O8, dan
HClO4. Selain itu, Noroozifar dan Khorasani
(2003) menyatakan bahwa serium(IV) juga
efektif untuk mengoksidasi kromium trivalen
menjadi kromium heksavalen.
Adsorpsi
Gambar 3 Perubahan struktur bentonit
menjadi organobentonit.
Kromium
Kromium (Cr) merupakan salah satu
logam berat yang termasuk dalam unsur
transisi golongan VIB periode 4. Kromium
mempunyai nomor atom 24 dan nomor massa
51.996 g/mol. Logam ini berwarna putih
perak dan lunak jika dalam keadaan murni
dengan massa jenis 7.9 g/cm3 dan mempunyai
titik didih 2658 ºC (Sugiyarto 2003).
Kromium mempunyai konfigurasi elektron
3d54s1. Jika dalam keadaan murni, kromium
larut dengan lambat sekali dan dalam asam
encer membentuk garam Cr(II) (Vogel 1990).
Kromium
termasuk
logam
yang
mempunyai daya racun tinggi. Daya racun
kromium ditentukan oleh valensi ionnya.
Logam Cr6+ merupakan bentuk yang paling
banyak dipelajari sifat racunnya dikarenakan
Cr6+ merupakan racun yang sangat kuat dan
dapat mengakibatkan terjadinya keracunan
akut dan keracunan kronis (Soemirat 2002).
Kromium dapat diukur dengan beberapa
metode.
Salah
satunya
adalah
spektrofotometri sinar tampak. Kromium
heksavalen bila ditambah larutan 1,5difenilkarbazida (DPC) dalam larutan asam
membentuk kompleks berwarna violet yang
intensitasnya sebanding dengan banyaknya
kromium
heksavalen
dalam
contoh.
Peristiwa terakumulasinya partikel pada
suatu permukaan disebut adsorpsi (Atkins
1999). Partikel atau zat yang terakumulasi
pada permukaan disebut adsorbat, sedangkan
material tempat terjadinya adsorpsi disebut
adsorben. Adsorpsi merupakan suatu proses
pemisahan yang di dalamnya komponenkomponen tertentu dalam fase cair ditransfer
ke suatu permukaan adsorben padat. Adsorpsi
biasanya terjadi pada dinding-dinding pori
atau pada sisi spesifik dalam partikel (Mc
Cabe et al. 2001). Berdasarkan pada jenis
gaya tarik, dikenal adsorpsi fisik (fisisorpsi)
yang melibatkan gaya van der Waals, dan
adsorpsi kimia (kemisorpsi) yang melibatkan
reaksi kimia (Alberty & Silbey 1992).
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
adsorpsi antara lain sifat fisik dan kimia
adsorben (luas permukaan, ukuran pori, dan
komposisi kimia), sifat fisik dan kimia
adsorbat (ukuran, kepolaran, dan komposisi
kimia molekul), konsentrasi adsorbat dalam
fase cair, karakteristik fase cair (pH dan suhu),
dan kondisi operasional adsorpsi. Kemampuan
adsorben mengadsorpsi adsorbat ditentukan
dengan menghitung isoterm adsorpsi.
Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi menunjukkan hubungan
kesetimbangan antara konsentrasi adsorbat
dalam fluida dan pada permukaan adsorben,
pada suhu tetap. Kesetimbangan terjadi saat
laju pengikatan adsorben terhadap adsorbat
sama dengan laju pelepasannya.
Ada tiga isoterm adsorpsi umum untuk
adsorpsi gas atau cairan pada permukaan
padatan, yaitu isoterm Langmuir, Freundlich,
dan Brunaue-Emmett-Teller (BET). Isoterm
Langmuir maupun Freundlich digunakan
untuk tekanan gas atau konsentrasi larutan
1
yang rendah, sedangkan isoterm BET ialah
modifikasi isoterm Langmuir pada tekanan
tinggi (Alberty & Silbey 1992).
Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich merupakan isoterm
yang paling umum digunakan dan dapat
mencirikan proses adsorpsi dengan lebih baik
(Jason 2004). Menurut Atkins (1999) pada
proses adsorpsi zat terlarut oleh permukaan
padatan diterapkan isoterm Freundlich yang
diturunkan secara empiris dengan persamaan:
k, n
adsorben dalam larutan
= konstanta empiris
BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat
yang
digunakan
adalah
spektrofotometer UV-tampak Shimadzu 1700.
Bahan yang digunakan dalam penelitian
adalah bentonit asal Leuwiliang.
Metode
x
= kC
m
1n
Apabila
dilogaritmakan, persamaan akan
x
1
menjadi: Log = Log k + Log C
m
n
x
(µg/g) adalah jumlah adsorbat yang
dengan
m
teradsopsi per satuan bobot adsorben, C (ppm)
adalah konsentrasi kesetimbangan adsorbat
dalam larutan setelah adsorpsi, sedangkan k
dan n adalah tetapan empiris yang
menunjukkan ikatan antara adsorbat dengan
adsorben.
Isoterm Langmuir
Isoterm Langmuir diturunkan berdasarkan
pada persamaan berikut:
x
=
m
αβ C
1 + βC
Isoterm Langmuir dipelajari untuk
menggambarkan pembatasan sisi adsorpsi
dengan asumsi bahwa sejumlah tertentu sisi
sentuh adsorben ada pada permukaannya dan
semuanya memiliki energi yang sama, serta
adsorpsi bersifat dapat balik (Atkins 1999).
Konstanta α, β dapat ditentukan dari kurva
hubungan C terhadap C dengan persamaan:
x
m
C
x
m
=
1
αβ
+
1
α
C
Keterangan:
x
= jumlah adsorbat teradsorpsi per
m
unit bobot adsorben
m
= bobot adsorben
C
= konsentrasi keseimbangan
Penelitian meliputi empat tahap, yaitu
penyiapan bentonit lolos ayakan 200 mesh,
penentuan kapasitas tukar kation (KTK)
bentonit, pembuatan organobentonit dengan
memodifikasi
bentonit
menggunakan
HDTMABr, dan analisis organobentonit
(Lampiran 1). Modifikasi bentonit dengan
HDTMABr menggunakan jumlah HDTMABr
bervariasi berdasarkan nilai KTK bentonit,
yaitu 100% KTK, 50% KTK, dan 25% KTK
(Lampiran 2). Seratus persen KTK artinya
jumlah HDTMABr yang ditambahkan
ekivalen dengan nilai KTK bentonit, yaitu
setiap molekul HDTMABr dianggap bereaksi
atau menggantikan posisi satu kation dapat
tukar monovalen pada bentonit.
Analisis
organobentonit
meliputi
penentuan
keasaman
dengan
metode
Titrimetri, penentuan kondisi optimum
adsorpsi Cr(VI) oleh organobentonit yang
meliputi penentuan pH optimum, penentuan
waktu kontak, penentuan isoterm dan
kapasitas adsorpsi Cr(VI), serta desorpsi
Cr(VI) dari organobentonit.
Pengukuran konsentrasi Cr(VI) mengikuti
prosedur pada metode standar (Clesceri et al.
2005). Sebanyak 10 mL larutan dimasukkan
ke
dalam
tabung reaksi,
kemudian
ditambahkan 7 tetes H2SO4-air (1:1) dan 0.2
mL DPC 0.25%, lalu dikocok dan diukur
serapannya pada panjang gelombang 540 nm
dengan spektrofotometer (Lampiran 4). Kurva
standar dibuat menggunakan larutan standar
K2Cr2O7 dengan konsentrasi 0, 0.1, 0.2, 0.4,
0.6, dan 0.8 ppm.
Penentuan Kapasitas Tukar Kation (KTK)
KTK ditentukan dengan cara destilasi.
Contoh dijenuhkan dengan larutan amonium
asetat 1 N pH 7, kemudian kadar amonium
yang setara dengan jumlah kation yang
dipertukarkan pada bentonit ditetapkan
dengan cara destilasi.
Download