161 KEBIJAKAN POLITIK MUAWIYAH Khairuddin

advertisement
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2011
KEBIJAKAN POLITIK MUAWIYAH
disyari’atkan Allah SWT kepada hamba-Nya.1 Hal ini dapat dibuktikan
dengan pendekatan analisis historis.
Khairuddin
Program Pascasarjana UIN Suska Riau
Email: [email protected]
Dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam, terdapat
beberapa pemikir hukum Islam (mujtahid). Dari beberapa pemikir
tersebut hanya melembaga dalam empat aliran pemikiran (mazhab)
dan terakhir menjadi enam mazhab ditambah dengan mazhab Ja’fari
dan mazhab Zhahiriy.2 Pelembagaan pemikiran mujtahid tersebut,
selain upaya murid-murid yang mengembangkan pemikiran guru
mereka, juga tidak terlepas dari kebijakan politik. Pemikiran Abu
Hanifah baru membumi ketika Abu Yusuf diangkat menjadi Qadhi alQudhat, sehingga pemikiran-pemikiran Abu Hanifah dapat dijadikan
sebagai materi hukum di pengadilan.3 Dalam bukunya Al-Kharaj yang
dipersembahkan kepada Khalifah Harun al-Rasyid, Abu Yusuf
memberi pesan dalam kata pengantarnya : “Tegakkanlah kebenaran,
jauhkan diri anda dari memutuskan segala bentuk perkara dengan
hawa nafsu dan kemarahan. Pandanglah setiap manusia itu sama, yang
dekat ataupun yang jauh. Saya menasihati anda ya Amiril Mukminin
agar menjaga apa yang diperintahkan Allah SWT dan memelihara
amanah-Nya”.
Abstract
Muawiyah Policy: Medina states period ended with the death of Caliph
Ali ibn Abi Talib. Figure that rises to politics and governance is Muawiyah ibn
Abu Sufyan, the governor of the territory since ancient caliphate of Sham Umar
bin Khattab. He is the founder and also the first Caliph of Umayyad dynasty.
Among the policy of Muawiyah is a secular position and serves as the executive
head of government. Muawiyah is more direct policies on the expansion of political
power or territorial expansion of state territorial. More priority to those bloody
Arabs sit in government, non-Arab people do not have the same opportunity with
the extent of Arab people. Qadi (judge) has the freedom to decide the case. In
addition, it does not leave the element of religion in government. Religious
formalities are still adhered and sometimes still display the image of himself as a
warrior of Islam. The power of the caliph is absolute. So, the appearance of the
Umayyad dynasty rule which takes the form of monarchy, is the second half of the
practice of government in the history of the Islamic followers.
Keywords: Siyasah, Syar’iyah, Political.
Pendahuluan
Syari’at tidak dapat tegak tanpa dukungan politik dan
pemerintah. Ini dapat disimpulkan dari argumentasi Ibn Taimiyah
tentang pentingnya kepemimpinan umat. Ia membangun logika
berpikirnya dengan menjelaskan bahwa Allah mewajibkan amar ma’ruf
dan nahi munkar, tetapi itu tidak akan dapat wujud tanpa (atau paling
tidak, tidak akan sempurna) kalau tidak ditopang dengan kekuatan
politik dan pemerintahan. Demikian juga seluruh kewajiban yang
161
1 Lihat Syeikh al-Islam Taqiy al-Din Ahmad ibn Taimiyah, Al-Siyasah alSyar’iyyah fi Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyah, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000),
hlm. 138
2 Ini dapat dilihat dengan munculnya karya Muhammad Jawad Mughniyah,
Fiqh Lima Mazhab. Penulis memasukkan mazhab Ja’fariy sebagai mazhab kelima.
Dalam kajian ushulnya Abu Zahrah menulis buku Ushul al-Fiqh al-Ja’fariy. Mazhab
Zhahiriy sebenarnya telah disusun dasar-dasar berpikir serta aplikasinya dalam fiqh
oleh Ibn Hazm dengan karyanya dalam kajian Ushul, Al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam
dan dalam kajian fiqh, Al-Muhalla bi al-Atsar. Akhir-akhir ini mazhab Zhahiriy
menjadi lebih dikenal setelah adanya tesis Muhammad Muhammad Abid al-Jabiri
yang memberikan kesimpulan bahwa Ibn Hazm adalah peletak dasar-dasar berpikir
burhani dalam tradisi keilmuan Arab (Islam) dengan karyanya Takwin al-‘Aql al‘Arab dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Formasi Nalar Arab.
3 Lihat al-Syeikh Muhammad al-Khudlariy Bek, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy,
(Jakarta: Daar al-Kutub al-Islamiyah, 2008), hlm. 147 Lihat juga Mun’im A. Sirry,
Sejarah Fiqih Islam : Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 61-62
162
Khairuddin, Kebijakan Politik Muawiyah
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2011
Di sisi lain, mazhab Auza’iy, umpamanya, yang masih se zaman
dengan Abu Hanifah, menjadi lenyap. Pendapatnya hanya dapat
ditemukan dalam kitab-kitab fiqh perbandingan tetapi tidak eksis
sebagai mazhab resmi karena tidak didukung oleh politik. Sebenarnya
mazhab Auza’iy ini pernah menjadi mazhab resmi di Syiria hingga
abad ke sepuluh. Tetapi ketika Abu Zar’ah Muhammad bin Usman
dari mazhab Syafii diangkat sebagai hakim di Damaskus. Abu Zar’ah
senantiasa memberikan hadiah uang tunai sebesar seratus dinar bagi
siapapun yang sanggup menghapal buku Mukhtashar al-Muzanni
(termasuk buku pokok dalam mazhab Syafii). Secara alamiah mazhab
Syafii menjadi lebih dikenal karena dukungan politik dan mazhab
Auza’iy perlahan ditinggalkan.4 Ini adalah dua dari banyak kasus
tentang wujud atau tidaknya hukum syar’i ketika didukung atau tidak
didukung oleh politik.
makna ! atau " # $ %& % % , segala sesuatu yang
disyari’atkan Allah kepada hambanya berupa perintah agama.6
Berdasarkan pengertian secara bahasa ini dapat dipahami bahwa
siyasah syar’iyyah adalah upaya menegakkan syar’i yang diyakini
penguasa memiliki kemaslahatan.
Abdul Wahab Khalaf mengemukakan sebagaimana dikutip oleh
Prof. Dr. H. A. Djazuli, siyasah syar’iyah adalah pengurusan hal-hal yang
bersifat umum bagi negara Islam dengan cara menjamin perwujudan
kemaslahatan dan terhindar dari segala kemudharatan, selama dalam
batas-batas yang ditentukan syarak dan kaidah-kaidah umum yang
berlaku, sekalipun upaya ini tidak sejalan dengan ijtihad ulama.7 Ibn alQayyim al-Jauziyah mengutip pendapat Imam Syafii dan Ibn ‘Aqil.
Syafii menyebutkan:
'($ )* )
Pengertian Siyasah Syar’iyyah
Siyasah Syar’iyyah terdiri dari dua kata, siyasah dan syar’iyah. Kata
siyasah merupakan bentukan dari - – yang berarti
mensiasati. Ibn Manzhur juga menyebutkan makna “siyasah diperbolehkan hanya dalam persoalan yang sesuai
dengan syarak”. Sedangkan Ibn ‘Aqil menyebutkan:
/ 0 1 +*$ !2 % &"#$ 3- 4* 56# 7 +, -( +. , berupaya menegakkan sesuatu yang diyakini memiliki kemaslahatan.5
Adapun kata syar’iyyah merupakan bentukan dari kata – – – 8
.8$ " /9: )$ ;$ <
dan juga diartikan sebagai sumber air. Ibn Manzhur juga menyebutkan
“Siyasah adalah upaya yang dapat dilakukan dalam rangka
mendekatkan manusia kepada kebaikan dan menjauhkannya dari
kebinasaan, meskipun tidak ada wahyu dan hadis yang mengaturnya”.
Ketika menjelaskan pengertian siyasah syar’iyah, Ibn al-Qayyim memilih
Lihat Abu Ameenah Bilal Philips alih bahasa oleh M. Fauzi Arifin, Asal
Usul dan Perkembangan Fiqh : Analisis Historis atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi,
(Bandung: Nusamedia, 2005), hlm. 93-94
5 Lihat Ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Daar al-Shadir, 1990), jilid 6, hlm.
108
Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, jilid 8, hlm. 175 - 176
Lihat A. Djazuli, Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Ramburambu Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 28
8 Lihat Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim al-Jauziyah (selanjutnya
ditulis Ibn Qayyim) ditahqiq oleh Muhammad Jamil Ghazi, Al-Thuruq alHukumiyyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Kairo: Mathba’ah al-Madaniy, t.th.), hlm. 16
yang diberi tambahan ya nisbah, mempunyai arti datang, segera
6
4
163
7
164
Khairuddin, Kebijakan Politik Muawiyah
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2011
pendapat Ibn ‘Aqil ini dengan menambahkan komentar “asalkan tidak
bertentangan dengan prinsip umum syari’at Islam”.9 Apabila
pengertian siyasah syar’iyah tersebut dipahami lebih lanjut, maka dapat
dikatakan bahwa siyasah syar’iyyah mengandung beberapa unsur; [1] ada
kebijakan, hukum atau aturan; [2] dilakukan oleh penguasa; [3]
dimaksudkan untuk kemaslahatan rakyat; dan [4] tidak bertentangan
dengan prinsip umum syari’at Islam.
Terdapat beberapa tawaran tentang pembidangan dalam kajian
tentang siyasah syar’iyyah. Hasbi Ash Shiddieqy menawarkan delapan
pembidangan yang meliputi: [1] Siyasah Dusturiyah Syar’iyah; [2] Siyasah
Tasyri’iyyah Syar’iyyah; [3] Siyasah Qadhaiyah Syar’iyah; [4] Siyasah Maliyah
Syar’iyah; [5] Siyasah Idariyah Syar’iyah; [6] Siyasah Kharijiyah Syar’iyyah /
Siyasah Dauliyah; [7] Siyasah Tanfiziyah Syar’iyah; dan [8] Siyasah
Harbiyyah Syar’iyyah. Tawaran lain adalah terdapat empat pembidangan
yang meliputi: [1] Siyasah Dusturiyah; [2] Siyasah Maliyah; [3] Siyasah
Dauliyah; dan [4] Siyasah Harbiyah.
Dalam tulisan ini penulis melakukan pembidangan Siyasah
Syar’iyah yang meliputi tiga aspek penting : [1] Siyasah Dusturiyah (tata
negara), yang meliputi aturan pemerintahan, prinsip dasar yang
berkaitan dengan pendirian suatu pemerintahan serta aturan yang
berkaitan dengan hak-hak pribadi, masyarakat dan negara; [2] Siyasah
Kharijiyah (luar negeri), meliputi hubungan negara dengan negara
lainnya, kaidah yang melandasi hubungan tersebut dan tata aturan
tentang keadaan perang dan damai; dan [3] Siyasah Maliyah (harta),
meliputi sumber-sumber keuangan dan belanja negara.
Sekilas Tentang Dinasti Umayyah
Terbentuknya Dinasti ini dan Muawiyah memangku jabatan
Khalifah secara resmi, menurut ahli sejarah, terjadi pada tahun 661 M
/ 41 H. bukan pada pertengahan tahun 660 M / 40 H pada saat
Umayyah memproklamerkan diri menjadi Khalifah di Iliya (Palestina),
setelah pihaknya dinyatakan oleh majelis tahkim sebagai pemenang.12
Peristiwa itu terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibaiat oleh pengikut
setia Ali menjadi Khalifah, sebagai pengganti Ali bin Abi Thalib,
mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab ia tidak ingin lagi
terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerahkan
kekuasaan sepenuhnya kepada Muawiyah. Langkah penting Hasan bin
Ali ini dapat dikatakan sebagai upaya rekonsiliasi umat Islam yang
Lihat al-Hafizh Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi (selanjutnya ditulis
Suyuti), Tarikh al-Khulafa, (t.tp: Daar al-Kutub al-Islamiyah, t.th.), hlm. 181
11 Suyuti menjelaskan bahwa hadis yang diriwayatkan Muawiyah bin Abi
Sofyan dari Rasulullah SAW jumlahnya mencapai 163 hadis. Lihat Suyuti, Ibid.
12 Lihat al-Imam al-‘Allamah ‘Umdat al-Muarrikhin Abu Hasan Ali bin Abu
al-Karam Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Abd al-Wahid alSyaibaniy, lebih dikenal dengan Ibn Atsir (selanjutnya ditulis Ibn Atsir), Al-Kamil fi
al-Tarikh, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 1998), jilid 3, hlm. 272
10
Periode negara Madinah berakhir dengan wafatnya Khalifah Ali
bin Abi Thalib. Tokoh yang naik ke panggung politik dan
pemerintahan adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur wilayah
9
Syam sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab. Ia adalah pendiri dan
Khalifah pertama Dinasti ini. Muawiyah dilahirkan kira-kira 15 tahun
sebelum Hijrah. Ia masuk Islam pada hari penaklukan kota Mekah
bersama penduduk kota Mekah lainnya. Waktu itu ia berusia 23 tahun.
Rasulullah SAW ingin sekali mendekatkan orang-orang yang baru
masuk Islam diantara pemimpin-pemimpin keluarga ternama
kepadanya, agar perhatian mereka kepada Islam itu dapat terjamin dan
agar ajaran-ajaran Islam itu benar-benar tertanam dalam hati mereka.
Sebab itu Rasulullah SAW berusaha supaya Muawiyah menjadi lebih
akrab kepada beliau. Muawiyah bin Abu Sofyan diangkat menjadi
anggota dari sidang penulis wahyu.10 Muawiyah banyak meriwayatkan
hadis, baik yang langsung dari Rasulullah SAW ataupun dari sahabatsahabat terkemuka, termasuk dari saudara perempuannya, Habibah
binti Abu Sofyan, istri Rasulullah SAW dan dari Abdullah bin Abbas,
Sa’id bin Musayyab serta sahabat lainnya.11
Ibid.
165
166
Khairuddin, Kebijakan Politik Muawiyah
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2011
terpecah belah. Karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal
dengan tahun persatuan (‘amm al-jama'ah).13 Yaitu episode sejarah yang
mempersatukan umat kembali berada di bawah kekuasaan seorang
Khalifah. Rujuk dan perdamaian antara Hasan dan Muawiyah setelah
Muawiyah bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Hasan,
yaitu Muawiyah harus menjamin keamanan dan keselamatan jiwa dan
harta keturunan Ali bin dan pendukungnya. Pernyataan ini diterima
Muawiyah dan dibuat secara tertulis. Persetujuan Muawiyah ini
diimbangi oleh Hasan bin Ali dengan membaiatnya. Rakyat juga
menunjukkan ketaatan dengan membaiatnya.
Muawiyah dikenal sebagai seorang politikus dan administrator
yang pandai. Umar bin Khattab sendiri pernah menilainya sebagai
seorang yang cakap dalam urusan politik dan pemerintahan, cerdas
dan jujur. Ia juga dikenal sebagai seorang negarawan yang ahli
bersiasat, piawai dalam merancang taktik dan strategi, disamping
kegigihan dan keuletan serta kesediaannya menempuh segala cara
dalam berjuang, untuk mencapai cita-citanya karena pertimbangan
politik dan tuntutan situasi. Dengan kemampuan tersebut dan bakat
yang dimilikinya, Muawiyah dinilai berhasil merekrut para pemuka
masyarakat, politikus dan administrator bergabung ke dalam sistem
yang ia bangun untuk memperkuat posisi kepemimpinannya.
Muawiyah juga dikenal berwatak tegas dan keras, tetapi juga bersifat
toleran dan lapang dada. Hal ini dapat dilihat dalam ucapannya yang
terkenal sebagai prinsip yang ia terapkan dalam memimpin seperti
yang dijelaskan oleh Said ibn al-‘Ash:
Lihat Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn Katsir al-Dimasyqiy (selanjutnya ditulis
Ibn Katsir), Al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 2001), jilid
8, hlm. 17
13
167
C2, D8 B EF# )$ ،B C2, D8 2 EF# ) : / $ ?@
PQR S$& T* :. : /6 J I7 KL M # N.$ O6 .?G6 H 7 I"$ C" +# $ ،:
14
.U!& SR T*$
“Aku tidak mempergunakan pedangku kalau cambuk saja sudah
cukup, dan tidak pula kupergunakan cambukku kalau perkataan saja
sudah memadai, andaikata aku dengan orang lain memperebutkan
sehelai rambut, rambut itu tidak akan putus. Dikatakan, apa
maksudnya ya Amir al-Mukminin ? Ia menjawab: Apabila mereka
mengencangkannya
aku
kendorkan
dan
bila
mereka
mengendorkannya akan kukencangkan”.
Dinasti Umayyah di Syam berkuasa selama 91 tahun dan
dipimpin oleh 14 orang Khalifah yang diwariskan secara turun
temurun dalam lingkup keluarga Umaiyah. Untuk lebih jelasnya dapan
dilihat pada bagan berikut:
Lihat Ahmad bin Ishak bin Ja’far bin Wahab bin Wadhih al-Ya’kubiy alBagdadiy, Tarikh al-Ya’qubiy, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 1999), Juz 2, hlm.
166
14
168
Khairuddin, Kebijakan Politik Muawiyah
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2011
Dalam bidang Siyasah Dusturiyah, telah terdapat beberapa
perbedaan dibandingkan dengan pada masa nabi dan Khulafa alRasyidin. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam kebijakan politik
penguasa Dinasti ini seperti :
Pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke
Damaskus. Pemindahan pusat pemerintahan ini dilakukan oleh
Khalifah Dinasti Umayyah pertama, Muawiyah bin Abi Sufyan.
Siyasah Syar’iyah Pada Masa Dinasti Umayyah
Diakui atau tidak bahwa pada masa Dinasti Umayyah berbeda
dengan masa Rasulullah SAW dan Khulafa al-Rasyidin. Pada masa
Dinasti Umayyah tuntutan umat Islam atas pengendalian dan
pengarahan penguasa untuk memenuhi hajat hidup mereka semakin
meningkat. Hal ini merupakan konsekwensi langsung dari perluasan
kekuasaan politik Islam. Setelah masa kekhalifahan Abu Bakar alshiddiq, Umar ibn al-Khattab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi
Thalib, muncul kembali kekuasaan qabilah padang pasir, seperti
kekuasaan yang berlaku pada zaman sebelum nabi Muhammad SAW.
Hanya saja bentuknya yang lebih besar dan lebih terorganisir dalam
sistem kerajaan. Khalifah tidak lagi diserahkan kepada orang-orang
yang memiliki kualifikasi sebagai seorang pemimpin, tetapi diwariskan
secara turun temurun dalam satu keluarga besar Bani Umayyah. Secara
individual perlu diakui adanya Khalifah-khalifah yang bijaksana, arif,
adil, jujur dan memiliki kepedulian yang tinggi dalam mensejahterakan
rakyatnya seperti yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz.
169
Madinah sebagai pusat pemerintahan bagi banyak kalangan
dianggap sebagai sunnah nabi Muhammad SAW yang harus
dipertahankan. Karena perbuatan/kebijakan nabi menjadikan
Madinah sebagai pusat pemerintahan merupakan sunnah fi’liyah yang
harus diikuti.15 Karena itu pula Khalifah sebelumnya (Khulafa alRasyidin) tidak satu pun di antara mereka yang memindahkan pusat
pemerintahan tersebut. Keputusan Muawiyah bin Abi Sufyan ini
merupakan Siyasah Syar’iyah. Barangkali keputusan tersebut didasari
oleh berbagai pertimbangan : [1] Berdasarkan pertimbangan idiologi
keagamaan tidak ada sebuah nash sharih yang dapat dipertanggung
jawabkan secara syar’iy mewajibkan Madinah sebagai pusat
pemerintahan, sebaliknya juga tidak ada larangan syar’iy yang melarang
pemindahan pusat pemerintahan tersebut. Dengan demikian dapat
dikembalikan kepada kaedah dasar al-ashl fi al-asya’ al-ibahah; [2]
Pertimbangan politis dan keamanan dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan bagi masyarakat pada waktu itu. Damaskus jauh dari
Kufah, pusat kaum Syi’ah yang mendukung Ali bin Abi Thalib dan
jauh dari Hijaz, tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani
Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antara
dua Bani tersebut dalam memperebutkan kekuasaan; [3] Pertimbangan
strategi pemerintahan. Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suria)
15 Ini akan jelas ketika dikutip penjelasan sunnah dalam perspektif ahli hadis
yang cenderung mendefenisikan sunnah ebagai “segala sesuatu yang berasal dari
nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan bahkan sifat,
baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun setelah diangkat menjadi rasul”.
170
Khairuddin, Kebijakan Politik Muawiyah
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2011
adalah daerah yang berada di bawah genggaman pengaruh Muawiyah
bin Abu Sufyan selama 20 tahun sejak ia diangkat menjadi Gubernur
di distrik itu pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Sehingga ini
sebagai strategi bagi Muawiyah untuk membangun kekuatan politik
dalam rangka mewujudkan cita-citanya. Hal ini dapat dipahami karena
secara psikologis masyarakat Damaskus telah mengenal dengan baik
kebijakan politik Muawiyah bin Abi Sufyan yang telah memimpin
mereka selama 20 tahun.
Kedua, kebijakan dan keputusan politik penting yang dibuat
Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan adalah mengubah sistem
pemerintahan yang berbentuk khilafah dan bercorak syura atau
demokratis menjadi sistem monarki (kerajaan) dengan mengangkat
putranya, Yazid bin Muawiyah menjadi putra mahkota untuk
menggantikannya sebagai Khalifah.16
Hal ini berarti suksesi kepemimpinan berlangsung secara turun
temurun yang diikuti oleh Khalifah-khalifah pengganti Muawiyah bin
Abi Sufyan. Dengan demikian Muawiyah dituding yang mempelopori
meninggalkan tradisi di zaman Khulafa al-Rasyidin di mana Khalifah
ditetapkan melalui pemilihan oleh umat. Lebih dari itu, Muawiyah
telah dianggap melanggar asas musyawarah yang diperintahkan alQur'an agar segala urusan diputuskan berdasarkan musyawarah.
Karena itu, keputusan politik Muawiyah itu mendapat protes dari
umat Islam golongan Syi'ah, pendukung Ali bin Abi Thalib, Abd alRahman bin Abu bakar, Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubeir.
Bahkan tokoh kalangan masyarakat Madinah mengadakan dialog
dengan Muawiyah. Mereka menyarankan agar ia mengikuti jejak
Rasulullah SAW atau Abu Bakar al-Shiddiq atau Umar bin Khattab
dalam urusan Khalifah tidak mendahulukan qabilah dari umat.
Muawiyah tidak menggubris saran ini. Alasan yang dikemukakan
karena ia khawatir akan timbul kekacauan dan akan mengancam
stabilitas keamanan kalau ia tidak mengangkat putra mahkota sebagai
16
Ibn Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh, jilid 3, hlm. 275
171
penggantinya. Munawir Sadzali menilai bahwa Muawiyah dalam
mendapatkan kekuasaan dan mewariskannya melalui ketajaman
pedang dan tipu muslihat.17
Keputusan itu direkayasa oleh Muawiyah seolah-olah mendapat
dukungan dari pejabat penting pemerintah. Ia memanggil para
Gubernur datang ke Damaskus agar mereka membuat semacam
kebulatan tekad mendukung keputusannya. Ia meminta salah seorang
Gubernur yang bernama al-Dahhaq bin Qais al-Fahri agar setelah ia
berpidato dan memberi nasehat dalam suatu pertemuan, minta izin
berbicara dengan memuji Allah dan menyatakan, Yazid bin Muawiyah
adalah orang yang pantas memangku jabatan Khalifah setelah
Muawiyah. Kepada para Gubernur lain diminta oleh Muawiyah agar
membenarkan ucapan Dahhaq. Mereka memenuhi perintah itu,
kecuali Gubernur Ahnaf bin Qais.18 Walaupun Muawiyah merubah
sistem pemerintahan menjadi monarki, namun Dinasti ini tetap
memakai gelar Khalifah. Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai
Amir al-Mukminin. Dan status jabatan Khalifah diartikan sebagai wakil
Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al-Qur'an
(surat al-Baqarah: 30). Atas dasar ini Dinasti Umayyah menyatakan
bahwa keputusan-keputusan Khalifah didasarkan atas perkenan Allah.
Siapa yang menentangnya adalah kafir.
Jika kebijakan Muawiyah dalam merubah sistim pemerintahan ini
kita anggap sebagai dosa besar yang harus dipikul oleh Mu’awiyah,
rasanya juga tidak adil karena penilaian kita terhadap sejarah masa lalu
juga dipengaruhi oleh bias politik dan subjektivitas penulis sejarah.
Dalam menganalisa kebijakan Muawiyah bin Abi Sufyan ini perlu
dilihat beberapa sisi pandang : [1] Islam bukanlah satu-satunya negara
yang ada di dunia ketika itu. Di luar Islam ada tiga negara besar
17 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejaran dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 34
18 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2002), hlm. 167
172
Khairuddin, Kebijakan Politik Muawiyah
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2011
Byzantium, Persia dan Cina. Tiga negara yang disebutkan terakhir ini
menganut sistem monarkhi. Muawiyah sebagai mantan Gubernur
Damaskus sangat memahami ini karena beliau banyak berinteraksi
dengan mereka; [2] Alasan geografis dan wilayah barangkali salah satu
aspek penting yang harus dikedepankan. Mengingat wilayah kekuasaan
Islam pada saat itu luas, sementara pada sisi lain jarak tempuh yang
begitu jauh antara satu kota dengan kota lainnya hanya dapat
ditempuh dengan berjalan kaki dan menunggang binatang. Rasanya
sangat sulit untuk mendapatkan kesepakatan yang bulat (ijmak) dalam
memilih pemimpin pengganti Muawiyah. Hal ini juga ternyata secara
de facto belakangan diketahui bahwa ijmak yang diakui itu hanya terjadi
pada masa sahabat; [3] Realitas sejarah memberikan informasi bahwa
pada masa itu hanya monarkhi yang diinginkan oleh umat. Pernyataan
ini barangkali terlalu ekstrim. Tetapi ada hal yang perlu diperhatikan,
yaitu setelah Ali bin Abi Thalib meninggal dunia, penduduk Irak
mem-bai’at Hasan bin Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah pengganti
Ali. Setelah Hasan bin Ali meninggal terjadi pula pem-bai’at-an Husin
bin Ali sebagai Khalifah.19 Artinya kalaupun Muawiyah tidak
“merebut” kekuasaan, maka sistem yang terjadi juga kemungkinan
besar adalah monarkhi; [4] Muawiyah melakukan ini dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan. Karena kalau diserahkan kepada umat
kemungkinan pertumpahan darahpun akan terjadi. Di sisi lain adanya
seorang pemimpin merupakan hal yang dharuri. Dalam hal ini
barangkali perlu dipertimbangkan pendapat Ibn Taimiyah :
20
.+G -" H&8$ % X<# YZ * % 7 +Q
“enam puluh tahun di bawah pemerintahan yang zalim jauh
lebih baik dibandingkan satu malam tanpa pemimpin”
Lihat Philip K. Hitti alih bahasa oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riadi, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 235-236
20 Ibn Taimiyah, Al-Siyasah…hlm. 138
19
173
Ketiga, Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang
yang berjasa dalam perjuangannya mencapai puncak kekuasaan.
Seperti ‘Amr bin ‘Ash, ia diangkat kembali menjadi Gubernur di
Mesir, al-Mughirah bin Syu'bah diangkat menjadi Gubernur di wilayah
Persi. Ia juga memperlakukan dengan baik dan mengambil hati para
sahabat terkemuka yang bersifat netral terhadap berbagai kasus yang
timbul waktu itu, sehingga mereka berpihak kepadanya. Hal ini
dilakukan oleh Mu’awiyah dalam rangka mengamalkan ayat al-Qur’an
yang menyebutkan bahwa orang yang berbuat baik (amal shalih) akan
mendapatkan ganjaran kehidupan yang baik. Allah berfirman:
ُ:َ. c %ِ c8^ َf"ِ ;^ Sg c Z^ َ# ;^ Pg h7c9ِ i
^ c7َ$c ً
ckَB Hbcc8 g h7cِ
^ 7gََ( l%aK^ g c Sg $c َm:ُْ# $^ َ# ٍ َ.َT %^ a bac< َOdac %^ c
c+ُcd^ c
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S. An-Nahl: 97)
Keempat, menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap
berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan
menumpas kaum pemberontak. Khalifah menumpas kaum Khawarij
yang merongrong wibawa kekuasaannya dan mengkafirkannya.
Golongan ini menuduhnya tidak mau berhukum kepada al-Qur'an
dalam mewujudkan perdamaian dengan Ali bin Ali Thalib di perang
shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politiknya.
Kelima, Khalifah-khalifah Dinasti Umayyah mengadakan
pembaharuan di bidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya
dengan jabatan-jabatan baru yang dipengaruhi oleh kebudayaan
Byzantium. Pengelolaan administrasi pemerintahan dan struktur
pemerintahan Dinasti Umayyah merupakan penyempurnaan dari
pemerintahan Khulara al-Rasyidin yang diciptakan oleh Umar ibi al174
Khairuddin, Kebijakan Politik Muawiyah
Khattab. Wilayah kekuasaan yang luas itu sebagaimana pada periode
Negara Madinah, terbagi menjadi beberapa wilayah Provinsi. Setiap
Provinsi dikepalai oleh Gubernur dengan gelar Wali atau Amir yang
diangkat oleh Khalifah. Gubernur didampingi oleh seorang atau
beberapa katib (sekretaris), seorang hajib (pengawal) dan pejabatpejabat penting lain, yaitu shahib al-kharaj (pejabat pendapatan), shahib
al-syurthat (pejabat kepolisian) dan Qadhi (kepala keagamaan dan
hakim). Pejabat pendapatan dan qadhi diangkat oleh Khalifah dan
bertanggungjawab kepadanya.
Di tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lembaga dan
departemen, al-katib, al-hajib dan diwan. Lembaga al-katib terdiri dari
katib al-rasail (sekretaris Negara), katib al-Kharaj (sekretaris pendapatan
Negara), katib al-jund (sekretaris militer), katib al-Syurthath (sekretaris
kepolisian) dan katib al-qadhi (panitera). Katib al-rasail dianggap peling
penting posisinya. Karena itu pejabatnya selalu orang terpercaya dan
pandai serta dari keluarga kerajaan. Sekretaris yang terkenal selama
masa pemerintahan Bani Umayyah adalah : [1] Ziyad bin Abihi,
Sekretaris Abu Musa al-Asy’ari; [2] Salim, Sekretaris Hisyam bin Abd
al-Malik; dan [3] Abdul Hamid, Sekretaris Marwan bin Muhammad.
Para katib bertugas mengurus administrasi Negara secara baik
dan rapi untuk mewujudkan kemaslahatan Negara. Al-hajib (pengawal
dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau
siapapun yang ingin bertemu dengan Khalifah. Pada masa Dinasti
Umayyah diadakan jabatan baru, al-hijabah yaitu urusan pengawalan
Khalifah. Pengawalan Khalifah ini nampak jelas dalam kepemimpinan
Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Ketika Khalifah melantik
pengawalnya, ia memberikan amanat : “Engkau telah kuangkat
menjadi Kepala Pengawalku. Siapapun tidak boleh masuk tanpa
izinmu, kecuali muazzin, pengantar pos dan pengurus dapur“.
Lembaga ini belum dikenal di zaman Negara Madinah. Karenanya
siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsiung dengan Khalifah
tanpa melalui birokrasi tapi ada tiga orang yang boleh langsung
bertemu dengan Khalifah tanpa hajib, yaitu muadzdzin untuk
175
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2011
memberitahukan waktu shalat kepada Khalifah, shahib al-barid (pejabat
pos) yang membawa berita-berita penting untuk Khalifah, dan shahib
al-tha'am (petugas yang mengurus hal ihwal makanan di Istana.
Lembaga al-syurthath yang dipimpin oleh shabib al-syurtath bertugas
memelihara keamanan masyarakat dan Negara.
Lembaga lain adalah bi bidang pelaksanaan hukum, yaitu alnizham al-qadha'i terdiri dari tiga bagian, yaitu al-Qadha, al-hisbah dan almazhalim. Badan al-Qadha dipimpin oleh seorang qadhi yang bertugas
membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari
al-Qur'an, sunnah Rasulullah SAW, ijma' atau berdasarkan ijtihad.
Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan
hukum terhadap para pejabat, pegawai Negara yang melakukan
pelanggaran. Pejabat badan al-hisbah disebut al-muhtasib, tugasnya
menagani kriminal yang perlu penyelesaian segera. Pejabat badan almazhalim disebut qadhi al-mazhalim atau shahib al-mazhazlim. Kedudukan
badan ini lebih tinggi dari al-qadha dan al-hisbah. Karena badan ini
bertugas meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan keputusankeputusan hukum yang dibuat oleh qadhi dan muhtashib. Bila ada suatu
kasus perkara yang keputusannya dianggap perlu ditinjau kembali baik
perkara seorang rakyat maupun pejabat yang menyalahgunakan
jabatannya, badan ini menyelenggarakan mahkamat al-mazhalim, yang
mengambil tempat di masjid. Sidang ini dihadiri oleh lima unsur
lengkap, yaitu para pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha',
para katib dan para saksi, yang dipimpin oleh qadhi al-mazhalim. Berarti
pemerintahan Dinasti Umayyah, sebagaimana pada periode Negara
Madinah, peradilan bebas tetap dilaksanakan.
Dalam tubuh organisasi pemerintahan Dinasti Umaiyyah juga
dibentuk beberapa diwan atau departemen. [1] diwan al-rasail,
departemen yang mengurus surat-surat Negara dari Khalifah kepada
para Gubernur atau menerima surat-surat dari Gubernur. Departemen
ini memiliki dua sekretariat, untuk pusat menggunakan bahasa Arab,
dan untuk daerah menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia.
Tapi pada masa Khalifah Abd al-Malik diadakan arabisasi, yaitu hanya
176
Khairuddin, Kebijakan Politik Muawiyah
menggunakan bahasa Arab dalam surat-surat Negara. Politik Arabisasi
ini berlanjut pada masa putranya Khalifah al-Walid, yaitu penggunaan
bahasa Arab sebagai linguafranca dan bahasa ilmu pengetahuan untuk
seluruh wilayah pemerintahan. Pengaruhnya berlanjut sampai
sekarang. Misalnya Mesir dan Irak menggunakan bahasa Pahlawi dan
Kipti, dan Damaskus bahasa Grek, ini menggunakan bahasa Arab.
Kebijaksanaan ini mendorong seorang ulama Syibawaihi, untuk
menyusun al-kitab yang selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata
bahasa Arab. [2] diwan al-katib, Departemen Pencatatan yang bertugas
menyalin dan meregistrasi semua keputusan Khalifah atau peraturanperaturan pemerintah untuk dikirim kepada pemerintahan di daerah.
[3] diwan al-Kharaj, Departemen Pendapatan Negara yang diperoleh
dari al-kharaj, 'usyur, zakat, jizyah, fai dan ghanimah dan sumber lain.
Semua pemasukan keuangan yang diperoleh dari sumber-sumber itu
disimpan di Bait al-Mal (Kantor Perbendaharaan Negara). [4] Diwan alBarid, Departemen Pelayanan Pos yang bertugas melayani informasi
tentang berita-berita penting di daerah kepada pemerintah pusat dan
sebaliknya, sehingga Khalifah dapat mengetahui apa yang terjadi di
daerah dan memudahkannya untuk mengontrol jalannya pemerintahan
di daerah. [5] Diwan al-Jund, Departemen Pertahanan yang bertugas
mengorganisir militer. Personilnya mayoritas orang-orang Arab.
Adapun kebijakan pemerintahan Dinasti Umayyah dalam bidang
siyasah kharijiyah antara lain dalam bentuk:
Pertama, meneruskan perluasan wilayah kekuasaan Islam baik ke
Timur maupun ke Barat. Perluasan wilayah ini diteruskan oleh para
penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-Malik ke Timur, Khalifah
Abd al-Walid ke Barat dan ke Perancis di zaman Khalifah Umar bin
Abd al-Aziz. Perluasan wilayah di zaman Dinasti Umaiyah merupakan
ekspansi besar kedua setelah ekspansi besar pertama di zaman Umar
bin Khattab. Daerah-daerah yang dikuasai umat Islam di zaman
Dinasti ini meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suriah, Palestina,
Semenanjung Arabia, Irak, sebahagian dari Asia kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Rukmenia, Uzbek
177
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2011
dan Kirgis di Asia tengah dan pulau-pulau yang terdapat di laut
tengah, sehingga Dinasti ini berhasil membangun Negara besar di
zaman itu. Bersatunya berbagai suku bangsa di bawah naungan Islam
melahirkan benih-benih peradaban baru yang bercorak Islam,
sekalipun bagi Umaiyah lebih memusatkan perhatiannya kepada
pengembangan kebudayaan Arab. Benih-benih peradaban baru itu
kelak berkembang pesat di zaman Dinasti Abbasiyah, sehingga dunia
Islam menjadi pusat peradaban duia selama berabad-abad.
Kedua, baik Muawiyah, maupun para penggantinya membuat
kebijaksanaan yang berbeda dari zaman khulafa al-rasyidin. Mereka
merekrut orang-orang non muslim sebagai pejabat-pejabat dalam
pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan di
kesatuan-kesatuan tentara. Tapi di zaman Khalifah Umar bin Abd alAziz kebijaksanaan itu ia hapuskan. Karena orang-orang non muslim
(Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilege di dalam
pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam. Bahkan
menganggap rendah mereka. Dalam al-Qur'an memang terdapat
peringatan-peringatan yang tidak membolehkan orang-orang mukmin
merekrut orang-orang non muslim sebagai teman kepercayaan dalam
mengatur urusan orang mukmin, tetapi ada ayat lain yang
membolehkannya.
Ketiga, membangun kekuatan militer yang terdiri dari tiga
angkatan, darat, laut dan kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka
diberi gaji yang cukup, dua kali lebih besar daripada yang diberikan
Umar bin Khattab kepada tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas
menjaga dan menjamin stabilitas keamanan dalam negeri dan
mendukung kebijaksanaan politik luar negeri, yaitu memperluas
wilayah kekuasaan.
Adapun kebijakan pemerintahan Dinasti Umayyah dalam bidang
siyasah maliyah antara lain dalam bentuk:
Sumber pemasukan negara pada masa Dinasti Umayyah pada
dasarnya sama dengan apa yang berlaku pada masa Khulafa al178
Khairuddin, Kebijakan Politik Muawiyah
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2011
Rasyidin. Kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara berupa
pajak. Hanya saja mereka membedakan jumlah pajak yang dibebankan
kepada umat Islam dengan penduduk non muslim yang berada dalam
negeri-negeri yang baru ditaklukkan.
Adapun distribusi baitul mal diperuntukkan : [1] gaji pegawai
dan tentara serta biaya tata usaha negara; [2] pembangunan pertanian
dan termasuk irigasi; [3] ongkos bagi orang-orang hukuman dan
tawanan perang; [4] pembelian perlengkapan perang; dan [5] hadiahhadiah kepada para pujangga dan ulama.21
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Khalifah adalah
jabatan sekuler dan berfungsi sebagai kepala pemerintahan eksekutif.
Dinasti Umayyah ini lebih banyak mengarahkan kebijaksanaan pada
perluasan kekuasaan politik atau perluasan wilayah kekuasaan negara.
Dinasti ini bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang
berdarah Arab duduk dalam pemerintahan, orang-orang non Arab
tidak mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan orang-orang
Arab. Qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan
perkara. Di samping itu Dinasti ini tidak meninggalkan unsur agama
dalam pemerintahan. Formalitas agama tetap dipatuhi dan terkadang
menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam. Ciri lain Dinasti ini
kurang melaksanakan musyawarah. Karenanya kekuasaan Khalifah
mulai bersifat absolut. Dengan demikian tampilnya pemerintahan
Dinasti Umayyah yang mengambil bentuk monarki, merupakan babak
kedua dari praktek pemerintahan umat Islam dalam sejarah.
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).
Azhari, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsipprinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992).
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan
Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia 2002).
Bagdadiy, Ahmad bin Ishak bin Ja’far bin Wahab bin Wadhih alYa’kubiy, Tarikh al-Ya’qubiy, (Beirut: Daar al-Kutub alIlmiah, 1999), Juz 2.
Bek, Syeikh Muhammad al-Khudlariy, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy,
(Jakarta: Daar al-Kutub al-Islamiyah, 2008).
Hitti, Philip K., alih bahasa oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riadi, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi, 2005).
Ibn Katsir al-Dimasyqiy, Abu al-Fida’ al-Hafizh, Al-Bidayah wa alNihayah, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 2001).
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Daar al-Shadir, 1990), jilid VI dan
VII.
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abu Bakar, (ditahqiq oleh
Muhammad Jamil Ghazi), Al-Thuruq al-Hukumiyyah fi alSiyasah al-Syar’iyyah, (Kairo: Mathba’ah al-Madaniy, t.th.).
Ibn Taimiyah, Syeikh al-Islam Taqiy al-Din Ahmad, Al-Siyasah alSyar’iyyah fi Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyah, (Beirut: Daar alKutub al-Ilmiyah, 2000).
Bibliografi
21
A. Djazuli, Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Ramburambu Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2007).
Lihat A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),
hlm. 174
179
Philips, Abu Ameenah Bilal, alih bahasa oleh M. Fauzi Arifin, Asal
Usul dan Perkembangan Fiqh : Analisis Historis atas Mazhab,
Doktrin dan Kontribusi, (Bandung: Nusamedia, 2005).
180
Khairuddin, Kebijakan Politik Muawiyah
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2002).
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam : Sebuah Pengantar, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996).
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejaran dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 1993).
Suyuthi, Hafizh Jalal al-Din Abd al-Rahman, Tarikh al-Khulafa, (t.tp:
Daar al-Kutub al-Islamiyah, t.th.).
Syaibaniy, Imam al-‘Allamah ‘Umdat al-Muarrikhin Abu Hasan Ali bin
Abu al-Karam Muhammad bin Muhammad bin Abd alKarim bin Abd al-Wahid, lebih dikenal dengan Ibn Atsir,
Al-Kamil fi al-Tarikh, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah,
1998).
181
Download