BAB 20. KEMOTERAPI Bukti awal kesuksesan kemoterapi diperoleh dari pengobatan Indian kuno di Peru, yaitu mengobati malaria dengan pohon cinchona. Masyarakat Cina kuno benyak mengunakan substansi antimikroba untuk mengobati berbagai penyakit. Kemoterapi modern dimulai dari pekerjaan Paul Ehrlich di Jerman. Dia menemukan agen efektif untuk mengatasi tripanosomiasis dan sifilis. Agen tersebut adalah p-rosanilin dan arsfenamin masing-masing efektif terhadap tripanosomiasis dan sifilis. Pada tahun 1929 Alexander Fleming telah mengisolasi penisilin, tetapi tidak terapresiasi, Pada tahun 1939 Florey dan koleganya mengisolasi kembali penisilin, sehingga apresiasi terhadap penemuan penisilin oleh Fleming terangkat kembali. Pada tahun 1944 Waksman berhasil mengisolasi streptomisin, kloramfenikaol, tetrasiklin, dan eritromisin dari isolat mikroba tanah. Pada tahun 1960 perkembangan teknik fermentasi mengakibatkan peningkatan produksi agen kemoterapi baru secara modifiksi molekuler. Gambar 20.1 Lokasi aksi agen antimikroba. PABA, paraminobenzoic acid; DHFA, dihydrofolic acid; THFA, tetrahydrofolic acid. DASAR BIOKIMIA AKSI ANTIMIKROBA Sel-sel mikroba tumbuh dan membelah dalam jumlah besar selama infeksi di permukaan dan di dalam tubuh manusia. Selam tumbuh dan membelah, mikroba mengkonsumsi maupun menyintesis berbagai molekul. Agen antimikroba menggangu proses yang esensial bagi pertumbuhan atau pembelahan (Gambar 20.1). Agen antimikroba dapat dikatagorikan menjadi beberapa kelompok, yaitu penghambat dinding sel bakteri atau fungi, penghambat membran sel, penghambat sintesis asam nukleat, dan penghambat fungsi ribosom (Tabel 20.1). Agen antimikroba dapat berupa bakteri/fungisida (membunuh bakteri/fungi) atau bakterio/fungistatis (menghambat pertumbuhan bakteri/fungi). Agen bakterisida lebih efektif, tetapi agen bakteriostatis lebih menguntungkan karena dapat mengembangkan sistem pertahanan inang untuk meghnacurkan infeksi mikroba. Tabel 20.1 Mekanisme aksi agen antimikroba Lokasi Aksi Agen Antimikroba Menghambat sintesis dinding sel Menghambat enzim biosintesis Fosfomycin, Cycloserine Berkombinasi dg molekul karier Bacitracin Berkombinasi dg substrat dinding sel Vanomycin Menghambat polimerasi dan Penicillin, Cephalosporin, Carbapenem, perlekatan peptidoglikan baru Monobactam Menghambat membran sel Disorganisasi membran sel Tyrocidin, Polymyxin Memproduksi pori di membran Gramicidin Mengubah struktur membran fungi Polyene (amphotericin) Imidazole (ketoconazole, fluconazole) Menghambat sintesis asam nukleat Menghambat metabolisme nukleotida Adenosine arabinoside & Acyclovir (virus), Flucytosine (fungi) Agen perusak fungsi DNA template Intercalating agent, Chloroquine (parasite) Penghambat replikasi DNA Quinolone, Nitroimidazole Penghambat RNA polimerase Rifampin Menghambat fungsi ribosom Menghambat subunit 30S Streptomycin, Kanamycin, Gentamycin, Amikacin, Spectinomycin, Tetracycline Menghambat subunit 50S Chloramphenicol, Clindamycin, Fusudic acid, Erythromycin Menghambat metabolisme folat Menghambat asam pteroat sintase Sulfonamide Menghambat dihidrofolat reduktase Trimephoprim Penghambatan Sintesis Dinding Sel Bakteri dibekakan menjadi 2 kelompok berdasarkan properti dinding selnya, yaitu Gram positif dan Gram negatif. Dinding sel bakteri gram positif mengandung peptidoglikan, asam teikoat dan teikuronat, mengandung (atau tidak) amplop (pembungkus) polisakarida atau protein. Dinding sel bakteri gram negatif mengandung peptidoglikan, lipopolisakarida, pipoprotein, fosfolipid, dan protein. Lokasi kritis penyerangan agen anti dinding sel adalah peptidoglikan (Gambar 20.2). Peptidoglikan merupakan lapisan esensial bagi keberlangsungan hidup bakteri pada lingkungan hipotonis. Kerusakan lapisan ini mengakibatkan kerusakan kekakuan dinding sel bakteri, sehingga menyebabkan kematian. Gambar 20.2 Mekanisme aksi agen antimikroba dalam menghambat sintesis dinding sel bakteri Sintesis peptidoglikan melalui 3 tahapan. Tahap pertama adalah sintesis prekursor peptidoglikan dan aransemen awal prekursor peptidoglikan di sitoplasma. Sejumlah agen antimikroba dapat mengganggu proses ini. Fosfomisin memblok kerja enzim piruviltransferase. Sikloserin menghambat alanin rasemase dan D-alanil-D-alanin sintase. Tahap kedua adalah katalisasi enzim terikat membran. Basitrasin (antibiotik peptida) berinteraksi dengan derival undecaprenil alkohol, mencegah transfer lanjut muramilpentapeptida dari prekursor nukleotida ke peptidoglikan. Tahap ketiga adalah polimerisasi dan perlekatan peptidoglikan ke dinding sel. Antibiotik -laktam (Gambar 20.3) seperti penisilin, cefalosporin (oxacefem, cefamisin), penem, thienamisin (carbapenem), dan aztreonam (monobaktam) menghambat formasi dinding sel melalui protein-potein pengikat penisilin. Beberapa antibiotik -laktam membentuk septum di antara sel anakan, sehingga dihasilkan sel filamen panjang dan mudah mati. Pengikatan protein pengikat penisilin lainnya dapat mengakibatkan rapid-lisis. Aztreonam hanya mengikat protein pengikat penisilin bakteri gram negatif, sehingga tidak memberi efek pada bakteri gram positif. Vanomisin menginterupsi sintesis dinding sel melalui pembentukan kompleks dengan residu D-alanin prekursor peptidoglikan. Kompleks ini menghambat transfer peptidoglikan dari pembawa lipid ke rantai (tumbuh) peptidoglikan. Namun vanomisin tidak mampu menembus membran luar bakteri gram negatif. Gambar 20.3 Struktur dasar antibiotik -laktam. R dan R’ merupakan representasi senyawa rantai karbon. X dapat berupa hidrogen maupun gugus metoksi. Penicilin dan cephalosporin/cephamycin dingunakan untuk bakteri gram positif dan negatif. Monobactam hanya menghambat basilus gram negatif aerob. Clavulanic acid menghambat -laktamase. Thienamycin menghambat berbagai bakteri aerob dan anaerob Penghambatan Fungsi Membran sel Membran biologi terdiri atas lipid, protein, dan lipoprotein. Membran sel berperan sebagai pembatas (barrier) difusi molekul air, ion, nutrien, dan sistem transport. Beberapa agen antimikroba dapat mengakibatkan disorganisasi membran lipid ganda. Agen antimikroba dapat dikelompokan menjadi agen kationik, anionik, dan netral. Polimiksin B dan E menghambat bakteri gram negatif yang memiliki lipid permukaan bermuatan negatif. Aktivitas polimiksin dinetralisir oleh Mg2+ dan Ca2+ melalui kompetisi. Pada dasarnya polimiksin mendisorganisasi permeabilitas membran sel, sehingga asam nukleat dan kation keluar dan sel mati. Polimiksin jarang digunakan karena berpotensi toksis terhadap ginjal dan sistem saraf. Gramisidin menghasilkan pori pada membran dan biasanya digunakan secara topikal (lapisan permukaan). Membran fungi berisi sterol, sedangkan bakteri tidak memilikinya. Antibiotik polien yang mampu mengikat sterol membran mengakibatkan perubahan permeabilitas membran fungi. Hal ini mengakibatkan terjadinya asidifikasi internal, kebocoran protein sel, dan kehilangan ester fosfat, asam organik, dan nukleotida. Meskipun berbagai antibiotik polien ditemukan, tetapi hanya amfoterisin B (Gambar 20.3) yang digunakan luas. Nistatin digunakan sebagai agen topikal. Senyawa lain yang mengganggu sintesis membran fungi adalah imidazol, mikonazol, ketonazol, clotrimazol, dan flukonazol. Senyawa-senyawa ini menghambat inkorporasi subunit ergosterol, sehingga dapat langsung merusak membran. Gambar 20.4 Struktur amfoterisin B Penghambatan Sintesis Asam Nukleat Agen antimikroba dapat mengganggu sintesis asam nukleat pada level berbeda. Mereka dapat menghambat sintesis nukleotida, mengncegah fungsi template DNA, dan menghambat enzim polimerase dalam replikasid an transkripsi. Mengganggu Sintesis Nukleotida Sejumlah agen mengganggu sintesis purin dan pirimidin atau mengubah pengunaan nukleotida. Beberapa agen berperan sebagai analog nukleotida sehingga terinkorporasi pada polinukleotida. Flusitosin (5-fluorocytosine) merupakan agen antifungi khususnya antikhamir. Flusitosin di dalam sel fungi berubah bentuk menjadi 5fluoroaracfl yang menghambat enzim timidilat sintase, sehingga menghasilkan defisit timin dan sintesis impaired DNA. Adenosin arabinosida menghambat sintesis nukleotida virus. Adenosin arabinodida berperan sebagai analog DATP, sehingga menghambat DATP berinkorporasi pada DNA. Asiklovir juga merupakan analog nukleotida. Asiklovir menghambat kerja enzim timidin kinase pada virus herpes. Menghambat Fungsi Template DNA Sejumlah substansi mengikat DNA melalui interkalasi. Klorokuin dan mirasil D (lucanthone) masing-masing menghambat plasmodia dan schistosoma. Agen ini berinterkalasi dengan DNA sehingga menghambat sintesis asam nukleat. Pewarna akridin seperti proflavin juga bekerja melalui mekanisme interkalasi, tetapi tidak digunakan karena bersifat toksis dan karsinogenesis pada mammalia. Menghambat Polimerase terpandu DNA Rifamisin merukana kelompok antibiotik yang menghambat RNA polimerasi terpandu DNA (Gambar 20.5). Rantai polipeptida RNA polimerase melekat pada faktor spesifitas untuk mengenali tempat promotor untuk inisiasi transkripsi. Rifampin mengikat nonkovalen kuat subunit RNA polimerase dan mengganggu spesifitas proses inisiasi. Namun rifampin tidak memberi efek ketika polimerasi telah berlangsung. Gambar 20.5 Struktur Rifampin Menghambat Replikasi DNA DNA girase dan topoisomerase merupakan enzim sasaran agen antimikroba. DNA girase berperan dalam menetralisir tekanan torsional (efek supercoiling) selama replikasi DNA. Asam nalidiksat (Gambar 20.6) berinteraksi dengan DNA girase, sehingga menghambat ikatan antara subunit A DNA girase dan DNA. Penghambatan ini berakibat fatal dan menyebabkan kematian bakteri. Agen antimikroba kelompok kuinolon lainnya seperti ciprofloksasin dan ofloksasin juga berinteraksi dengan DNA girase. Kelompok nitroimidazol seperti metronidazol mampu memecah pita ganda DNA menjadi fragmen-fragmen DNA (Gambar 20.7). Metronodazol mampu menghambat pertumbuhan bakteri anaerob dan protozoa. Gambar 20.6 Struktur antibiotik kelompok kuinolon. Asam nalidiksat hanya menghambat bakteri gram negatif aerob.Gugus fluorin memberi efek mematikan terhadap bakteri gram positif, gugus piperazin meningkatkan aktivitas antimikroba terhadap Enterovacteriaceae dan gugus piperazin dan siklopropil memberi aktivitas antimikroba terhadap Pseudomonas. Gambar 20.7 Mekanisme metronidazol dalam memecah DNA menjadi beberapa fragmen Penghambatan Fungi Ribosom Sejumlah agen antibakteri bekerja menghambat fungsi ribosom. Ribosom bakteri terdiri atas 2 subunit, yaitu subunit besar (50S) dan kecil (30S). Kedua subunit ribosom ini merupakan sasaran agen antibakteri dan tidak berpengaruh terhadap ribosom sel inang. Selain kedua subunit ribosom, protein ribosom juga merupakan sasaran agen antibakteri. Gambar 20.8 Struktur antibiotika aminoglikosida Agen antibakteri kelompok aminoglikosida (Gambar 20.8) mampu mengikat subunit ribosom spesifik. Gugus hidroksil (OH) dan amin bebas (NH) dari aminoglikosida mampu mengikat protein khusus ribosom. Streptomisin merupakan antibakteri kelompok aminoglikosida pertama kali dipelajari. Streptomisin mengikat protein S12 pada subunit kecil ribosom, sehingga menyebabkan ribosom salah menterjemahkan urutan nukleotida mRNA (Gambar 20.9). Sekarang streptomisin jarang digunakan kecuali untuk mengobati tuberculosis. Aminoglikosida lainnya tidak hanya mengikat protein S12 ribosom 30S, tetapi juga mengikat protein L6 ribosom 50S. Spektinomisin merupakan antibiotik aminosilitol (berkerabat dengan aminogliksida) mengikat protein lain pada ribosom. Antibiotik ini bersifat bakteriostatis bukan bakteriosida dan biasanya digunakan untuk mengobati pasien gonorrhea yang resisten penisilin. Tetrasiklin (Gambar 20.10) merupakan antibiotik yang mengikat ribosom 30S khususnya menghambat asosiasi antara aminoasil-tRNA dan A-site dari ribosom 30S. tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas dan mampu menghambat bakteri, chlamida, dan mikoplasma. Gambar 20.9 Mekanisme penghambatan sintesi protein oleh antibiotik amninoglikosida Gambar 20.10 Struktur tetrasiklin dan tempat modifikasi turunan tetrasiklin Terdapat 3 kelompok obat penghambat ribosom 50S, yaitu kloramfenikol, makrolida, dan linsinoid. Kloramfenikol merupakan agen bakteriostatis dan menghambat bakteri gram positif dan negatif. Kloramfenikol menghambat proses pemanjangan peptida saat translasi dengan mengikat enzim peptidiltransferase ribosom 50S. Makrolida menghambat ribosom 50S melalui proses salah pemasangan pada proses pemanjangan peptida. Makrolida penting adalah eritromisin yang menghambat bakteri gram positif seperti Haemophilus, Mycoplasma, Chlamydia, dan Legionella. Makrolida baru dan lebih kuat aktivitas antibakteri daripada eritromisin adalah azitromisin dan claritromisin. Linsinoid berperan sama seperti makrolida. Linsinoid penting adalah clindamisin. Baik makrolida dan linsonoid merupakan agen bakteriostatik dan hanya menghambat pembentukan rantai peptida. Penghambatan Lainnya Trimethoprim dan sulfonamida mengganggu metabolisme folat pada sel bakteri dengan memblok (kompetisi) biosintesis tetrahidrofolat (Gambar 20.11). Bakteri dan parasit protozoa biasanya kehilangan sistem transport untuk mengambil asam folat dari lingkungannya. Biasanya mereka menyintesis asam folat. Folat merupakan prekursor asam nukleat (DNA, RNA, tRNA). Gambar 20.11 Struktur sulfolamida dan trimetoprim dan tempat penghambatannya pada metabolisme folat. RESISTENSI BAKTERI Bakteri mampu mengembangkan resistensi terhadap agen antimikroba. Terdapat beberapa cara untuk mengembangkan resistensi. Studi awal menunjukkan bahwa perkembangan resistensi bakteri terhadap agen antimikroba melalui mutasi tahap tunggal (single step mutation) kromosom. Mutasi satu asam amino pada enzim pteridin sintase dapat menghasilkan resistensi bakteri terhadap sulfonamida. Mutasi tahap tunggal juga teramati pada resistensi terhadap streptomisin. Shigella dysenteriae mampu mengembangkan resistensi terhadap beberapa antibiotika (sulfonanida, tetrasiklin, dan kloramfenikol). Proses resistensi multi antibiotik merupakan proses mutasi plasmid, bukan mutasi kromosom. Tipe resistensi ini disebut resistensi termediasi plasmid (Tabel 20.2). Resistensi termediasi plasmid terjadi pada semua bakteri. Bakteri memiliki transposon yang dapat disisipkan ke plasmid dan kromosom. Resistensi termediasi transposon merupakan mekanisme resistensi yang ditemukan pada beberapa tahun yang lalu. Tabel 20.2 Resistensi termediasi plasmid Antibiotik Mekanisme resistensi Penisilin, ampisilin, Hidrolisis -laktamase carbenisilin Oksasilin, metisilin Hidrolisis -laktamase Cefalosporin -Laktamase Kloramfenikol Asetilasi Tetrasiklin Blok permeabilitas Aminoglikosida (streptomisin, neomisin, kanamisin, tobramisin, amikasin) Makrolida-Linkonoid (eritromisin, clindamisin) Trimetoprim Asetilasi, fosforilasi, adenilasi Sulfonamida Fosfomisin Vanomisin Mikroba resisten Staphylococcus, enterococcus, enterobakteriaceae, pseudomonas, bacteroid Enterobakteriaceae, pseudomonas Staphylococcus, pseudomonas, bacteroid, enterobakteriaceae Staphylococcus, enterococcus, streptococcus, pseudomonas, enterobakteriaceae Staphylococcus, enterococcus, streptococcus, pseudomonas, enterobakteriaceae, bakteroid Staphylococcus, enterococcus, pseudomonas, enterobakteriaceae Mengubah 23S RNA Staphylococcus, enterococcus, bakteroid Mengubah dihidrofolat Staphylococcus, reduktase enterobakteriaceae Mengubah tetrahidro- Staphylococcus, enterococcus, pteroat sintase pseudomonas, streptococcus, enterobakteriaceae Mengubah glukosa Staphylococcus, enterobakteriaceae Protein baru Enterococcus Agen antimikroba menghasilkan tekanan selektif pada kromosom dan plasmid. Pemberian antibiotik dapat membunuh bakteria rentan dalam suatu populasi, tetapi tidak mampu membunuh bakteri resisten. Bakteri resisten ini kemudian berkembang dan memperbanyak diri. Dipandang pada sisi epidemologi, mutasi termediasi plasmid merupakan jenis mutasi terpenting. Hal ini karena plasmid mudah ditransfer, stabil, meliputi resistensi banyak kelompok antibiotik, dan merupakan karakteristik mikroba yang mampu menginfeksi dan mengkoloni sel inang rentan. Mekanisme dasar mikroba resisten terhadap agen antimikroba adalah mengubah reseptor agen, menurunkan pintu masuk agen, menghancurkan atau menonaktifkan agen, mengembangkan jalur metabolisme resistensi. Bakteri mampu mengembangkan lebih dari satu mekanisme tersebut. Perubahan Reseptor Resistensi -Laktam Pada tahun 1977 ditemukan Streptococcus pneumoniae galur resisten penisilin G di Afrika Selatan. Plasmid tidak bertanggung jawab terhadap resistensi ini. Protein pengikat penisilin pada S. pneumoniae galur resisten penisilin telah berubah, di mana penisilin terikat lemah. Perubahan protein pengikat penisilin juga teramati pada Staphylococcus aureus. Mikroba Staphylococcus resisten metilsilin juga resisten penisilin, cefalosporin, dan carbapenem. Resistensi Vanomisin Elemen transposabel tertentu mengkode enzim penyintesis dinding sel khusus. Struktur enzim ini berubah dari rantai D-Ala-D-Ala menjadi D-Ala-D-Lac, di mana tidak mampu mengikat vanomisin dan memungkinkan sintesis dinding sel berlangsung meskipun terdapat vanomisin. Resistensi vanomisin ditemukan pada bakteri enterococcus, tetapi tidak ditemukan pada isolat multi resisten S. aureus. Resistensi Makrolida-Linkomisin Resistensi makrolida-linkomisin teramati pada isolat Staphylococcus dan Streptococcus. Resistensi ini akibat metilasi 2 adenin pada komponen 23S dari RNA 50S. Resistensi ini termediasi plasmid dan dikode pada transposon. RNA termetilasi mengikat makrolida-linkomisin lebih lemah daripada RNA taktermetilasi. Resistensi ini diinduksi oleh eritromisin dan clindamisin. Induksi eritromisin lebih kuat daripada clindamisin. Resistensi Rifampin Resistensi rifampin pada bakteri disebabkan oleh perubahan 1 asam amino pada enzim RNA polimerase terpandu DNA. Derajat resistensi berhubungan dengan derajat perubahan enzim ini. Pada umumnya terdapat individu resisten dalam populasi bakteri, sehingga resistensi berkembang melalui seleksi alam selama terapi rifampin. Resistensi rifampin alami juga terjadi pada enterobacteriaceae dan Neisseria meningitides. Resistensi Sulfonamida-Trimetoprim Perubahan struktur enzim dihidropteroat sintase dapat memperlemah pengikatan sulfonamida dan memilih mengikat asam p-aminobenzoat. Resistensi sulfonamida disebabkan oleh mutasi titik atau akuisisi plasmid pengkode enzim dihidropteroat sintase. Resistensi trimetoprim disebabkan oleh perubahan struktur enzim dihidrofolat reduktase, sehingga mengikat lemah trimetoprim. Resistensi trimetoprim termediasi plasmid dan transposon. Resistensi Kuinolon Resistensi kuinolon disebabkan oleh mutasi pada subunit A atau B DNA girase. Resistensi fluorokuinolon sebagian besar disebabkan oleh mutasi kromosom. Mekanisme multi resisten isolat tunggal bakteri dapat memicu resistensi tinggi terhadap berbagai fluorokuinolon. Penurunan Pintu Masuk Agen Resistensi Tetrasiklin Pengambilan tetrasiklin oleh anggota enterobacteriaceae melalui 2 fase. Pertama, tetrasiklin mengikat permukaan sel dan masuk ke ruang periplasmik secara difusi. Fase ini cepat dan tidak bergantung pada energi. Kedua, tetrasiklin menembus membran sel mungkin melalui mekanisme proton motive force. Resistensi tetrasiklin teramati pada bakteri gram positif dan negatif. Pada kebanyakan kasus resistensi tetrasiklin melalui perubahan urutan nukleotida plasmid dan tidak terinduksi. Resistensi konstitutif pada Proteus spp. melalui perubahan kromosomal. Plasmid resisten tetrasiklin ditemukan pada kebanyakan bakteri enterik. H. Influenzae, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus faecalis memiliki plasmid resisten tetrasiklin. Streptococcus pneumoniae, Streptococcus agactiae, dan Clostridium difficile memiliki kromosom resisten tetrasiklin. Pada dasarnya resistensi tetrasiklin merupakan akibat penurunan akumulasi tetrasiklin. Aktivitas penurunan pengambilan dan peningkatan pembuangan dapat menurunkan akumulasi tetrasiklin dalam sel. Resistensi Fosfomisin Fosfomisin dan fosmidomisin dapat menghambat sintesis dinding sel dan masuk ke dalam sel melalui sistem transport gliserol fosfat atau glukosa 6-fosfat. Bakteri gram positif yang memiliki sistem transport glukosa 6-fosfat buruk, tidak mengambil agen ini. Resistensi fosfomisin biasanya akibat mutasi kromosomal. Reistensi fosfomisin akibat plasmid dan transposon terjadi pada Serratia marcescens. Gambar 20.12 Mekanisme resistensi aminoglikosida melalui modifikasi agen. Resistensi Aminoglikosida Modifikasi aminoglikosida dapat menyebabkan penurunan pengambilan aminoglikosida oleh bakteri (Gambar 20.12). Modifikasi ini dilakukan oleh sejumlah enzim. Gugus hidroksil dan asam amino bebas pada aminoglikosida merupakan bagian esensial untuk mengikat protein ribosom. Sejumlah enzim dapat mengasetilasi gugus amino bebas dan memfosforilasi atau mengadenilasi gugus hidroksil. Enzim-enzim ini biasanya berada pada ruang periplasmik. Selain memodifikasi agen, resistensi aminoglikosida dapat terjadi melalui perubahan tempat pengikatannya di ribosom 30S, tetapi hal ini jarang terjadi. Mekanisme modifikasi aminoglikosida ditemukan pada bakteri gram positif seperti S. aureus, S. faecalis, dan S. pyogenes. Mikroba anaerob Bacteroid biasanya resisten aminoglikosida, karena tidak memiliki sistem transport bergantung oksigen untuk mentransport agen menembus membran sel. Beberapa anggota enterobacteriaceae dan P. auruginosa resisten aminoglikosida melakukan modifikasi protein porin, sehingga aminoglikosida tidak dapat masuk. Perusakan atau Penonaktifan Agen Resistensi Kloramfenikol Banyak bakteri gram positif dan negatif resisten kloramfenikol. Resistensi ini akibat aktivitas enzim kloramfenikol transaetilase yang mengasetilasi gugus hidroksil kloramfenikol. Enzim ini merupakan enzim sitoplasmik, sehingga mekanisme penonaktifan terjadi di dalam sitoplasma bukan di ruang periplasma. Kloramfenikol terasetilasi mengikat lemah ribosom 50S. Resistensi -Laktam Mekanisme resistensi -laktam merupakan akibat aktivitas enzim penisilinase. Enzim ini menyerang senyawa -laktam seperti penisilin, cefalosporin, carbapenem, dan monobaktam. Karena menyerang senyawa -laktam, maka enzim ini disebut laktamase. Enzim -laktamase menyerang nukleus senyawa -laktam (Gambar 20.13). Enzim -laktamase dikode dari plasmid atau kromosom dan enzim ini merupakan enzim konstitutif maupun enzim induktif. Enzim -laktamase terdistribusi luas di alam (Tabel 20.3) dan pengelompokan enzim ini biasanya berdasarkan senyawa yang diserang seperti penisilinase, cefalosporinase, dan lainnya. Pada bakteri gram positif semua enzim -laktamase merupakan enzim ekstrasel, sedangkan pada bakteri gram negatif merupakan enzim periplasmik. Tabel 20.2 memuat daftar mekanisme resistensi mikroba terhadap antibiotik Gambar 20.13 Lokasi penyerangan enzim -laktamase Tabel 20.3 Distribusi enzim -laktamase di alam Jenis enzim Mikroba (terkode kromosom) Penisilinase Bacillus sp. Nocardia Mycobacterium Cefalosporinase induktif Cefalosporinase konstitutif -Laktamase spektrum luas Cefuroksimease Enterobacter Citrobacter freundii Serratia marcescens Pseudomonas aeruginosa Morganella morganii Providencia Enterobacter Citrobacter freundii Acinetobacter Bacteroid Klebsiella Bacteroid Legionella Moraxella Proteus Pseudomonas cepacia Oksasilinase Carbenisilinase Cefotaksimase Semua -laktam Mikroba (terkode plasmid) Streptococcus aureus Streptococcus epidermis Staphylococcus hemolyticus Enterococcus faecalis Enterobacteriaceae Haemophilus Neisseria gonorrhoae Pseudomonas E. coli Enterobacteriaceae Enterobacteriaceae Xanthomonas maltophila Pengembangan Jalur Metabolisme Resisten Tidak ada dinding sel yang tersintesis resisten -laktam, tetapi beberapa bakteri khususnya Streptococcus kehilangan enzim hidrolisis untuk pembentukan dinding sel baru, sehingga -laktam tidak melisis bakteri ini. Candida tertentu dan khamir Cryptococcus resisten flusitosin, karena mereka tidak mampu mengubah flusitosin ke bentuk aktif (fluorourasil). Fungi lainnya resisten polien dan inidazol karena menyintesis komponen membran melalui jalur metabolisme berbeda. KEMOTERAPI ANTIVIRUS Spesifisitas replikasi virus merupakan kunci dalam kemoterapi antivirus. Semula sulit menginterupsi siklus replikatif virus tanpa mempengaruhi metabolisme sel inang. Namun setelah diketahui adanya beberapa kejadian siklus replikatif virus yaitu replikasi virus dikontrol enzim virus spesifik dan siklus replikatif tidak terjadi di sel normal. Secara sistematik, siklus replikatif virus terdiri atas 10 tahap (Gambar 20.14), yaitu penempelan (adsopsi), penetrasi, pelepasan pembungkus (uncoating), transkripsi awal, translasi awal, replikasi genom virus, transkripsi akhir, translasi akhir, asembling, dan pelepasan partikel virus. Penempelan, penetrasi, dan pelepasan bungkusan merupakan kejadian khusus bagi virus dan tidak terjadi di sel inang normal. Tahap replikasi virus yang dikontrol enzim khusus virus adalah transkripsi RNA+ ke DNA, replikasi DNA ke DNA, dan pemutusan proteolitik protein prekursor virus. Berbagai tahapan dalam siklus replikatif di sel terinfeksi merupakan sasaran kemoterapi. Gambar 20.14 Siklus replikatif virus Agen antivirus yang telah disahkan dan beredar luas, adalah amantadine, rimantadine, ribavirin, idoxuridine, trifluridine, vidarabine, acyclovir, ganciclovir, foscarnet, zidovudine, didanosine, zalcitabine, stavudine, famciclovir, dan valaciclovir (Gambar 20.15). Dosis dan virus sasaran agen antivirus dapat dilihat pada Tabel 20.4, sedangkan mekanisme aksi agen antivirus dapat dilihat pada Tabel 20.5. Gambar 20.15 Struktur agen antivirus komersial Tabel 20.4 Dosis dan virus sasaran agen antivirus Agen antivirus Dosis Virus sasaran/Penyakit Agen anti-myxovirus Amantadine Rimantadine Ribavirin Agen anti-herpesvirus Idoxuridine Trifluridine Vidarabine 200 mg/hr, PO 200 mg/hr, PO 20 mg/hr, aerosol (3-6 hari), topikal Influenza A Influenza A RSV pada bayi 0,1% tetes mata, topikal 1% tetes mata, topikal 3% salep mata, topikal 15 mg/kg/hr (max 10 hr), IV 15 mg/kg/hr (max 10 hr), IV 10 mg/kg/hr (max 10 hr), IV Herpetik keratitis Herpetik keratitis Herpetik keratitis Herpetik ensefalitis Herpetik neonatal Infeksi VZV pd pasien terkompromi imun Herpetik keratitis Herpes kelamin Herpes noenatal Herpetik ensefalis Infeksi HSV pd pasien terkompromi imun Infeksi CMV pd pasien terkompromi imun Infeksi CMV pd pasien terkompromi imun Herpes Zoster Acyclovir 3% salep mata, topikal 5% salep, topikal 5x200 mg/kg/hr (5-10 hr), PO 30 mg/kg/hr (max 10 hr), IV 15 mg/kg/hr (max 7 hr), IV Ganciclovir 2x5 mg/kg/hr (14-21 hr), IV Foscarnet 3x60 mg/kg/hr (14-21 hr), IV Famciclovir 3x250, 500, 750 mg/hr (max 7 hr), PO 3x1000 mg/hr (max 7 hr), PO Valaciclovir Agen anti-retrovirus Zidovudine Didanosine Zalcitabine Stavudine Alfa-Interferon PO IV b hr mg 3x200 mg/hr, PO 2x125, 200, atau 300 mg/hr, PO 3x0,375 atau 0,75 mg/hr, PO 2x30 atau 40 mg/hr, PO 1x106 unit intralesi 3x/mg x 3w 5x106 unit SC/IM 3x/mg x 4b 3x106 unit SC/IM 3x/mg x 6b Herpes Zoster AIDS & AIDS-related AIDS & AIDS-related AIDS & AIDS-related AIDS & AIDS-related Condyloma acuminatum Hepatitis B Hepatitis C : per oral : intra vena : bulan : hari : minggu Amantadine dan Rimantadine Pengunaan klinis amantadine dan rimantadine terbatas pada profilaksis dan terapi awal infeksi virus influenza A. Profilaksis influenza merupakan indikasi khas pasien terkompromi imun, dan orang alergi vaksin influenza. Amantidine menghasilkan efek samping terhadap sistem saraf pusat, seperti halusinasi dan disorientasi. Rimantadine menghasilkan sedikit efek samping daripada amantidine (jika menggunakan dodis sama). Virus influenza A mampu mengembangkan resistensi terhadap amantidine dan rimantidine. Tabel 20.5 Mekanisme aksi dan sasaran utama agen antivirus Agen antivirus Mekanisme aksi Sasaran Utama Amantadine, rimantadine Belum diketahui Penetrasi, uncoating, asembling Ribavirin Fosforilasi oleh enzim sel Menghambat 5’capping mRNA virus, menghambat IMP dehidrogenase Idoxuridine Fosforilasi oleh enzim sel Inkorporasi ke DNA Trifluridine Fosforilasi oleh thimidin Menghambat thimidilat sintase kinase sel Vidarabine Fosforilasi oleh enzim sel Inkorporasi ke DNA, menghambat DNA polimerase Acyclovir Fosforilasi oleh thimidin Terminasi rantai DNA kinase virus, fosforilasi oleh enzim sel Ganciclovir Fosforilasi oleh protein Menghambat DNA polimerase kinase virus, fosforilasi oleh virus enzim sel Zidovudine, dindanosine, Fosforilasi oleh enzim sel Menghambat transkriptase-balik, zalcitabine, stavudine terminasi rantai DNA Foscarnet Belum diketahui Menghambat DNA polimerase virus & transkriptase-balik Ribavirin Meskipun efektif untuk infeksi ortho- dan paramyxo-virus, ribavirin hanya disetujui untuk pengobatan infeksi virus respiratory syncytial (RSV) pada bayi. Agen ini dimasukan ke tubuh melalui inhalasi. Partikel ribavirin kecil (diameter: 1-3 m) sehingga dapat mencapai saluran pernafasan bawah. Isoxuridine dan Trifluridine Karena berefek samping myelosuppressive, mutagenik, dan teratogenik, maka idoxuridine dan trifluridine hanya digunakan secara topikal. Trifluridin lebih efektif daripada idoxuridine ketika digunakan untuk mengobati herpetik keratitis mata. Idoxuridine dapat digunakan untuk pengobatan lesi kulit herpetik. Vidarabine Vidarabine digunakan baik secara topikal maupun sistemik untuk pengobatan infeksi virus herpes simpleks. Kekurangan serius vidarabine adalah kelarutan lemah pada media akuosa, sehingga memerlukan banyak volume cairan jika digunakan secara intravena. Vidarabine menghasilkan efek samping toksis, yaitu tremor, ataksia, seizure, myalgia, nausea, vomiting, dan diare. Acyclovir, Valaciclovir, dan Famciclovir Acyclovir digunakan dalam mengatasi infeksi virus herpes, yaitu herpes kelamin, herpetik ensefalis, dan infeksi HSV dan VZV pada pasien terkompromi imun. Acyclovir dapat digunakan secara topikal, oral, maupun intravena. HSV dan VZV mampu mengembangkan resistensi terhadap acyclovir. Valaciclovir dan Famciclovir merupakan agen antimikroba untuk pengobatan infeksi HSV dan VZZV secara oral. Ganciclovir dan Foscarnet Ganciclovir merupakan pilihan untuk pengobatan infeksi cytomegalovirus (CMV) pada pasien AIDS atau pasien defisiensi imun lainnya. Karena efektifvitas oral rendah (3%), maka ganciclovir diberikan secara intravena. Efek samping terapi ganciclovir adalah granulositopenia dan tombrositopenia. Foscarnet merupakan agen alternatif digunakan untuk pengobatan infeksi CMV, khususnya CMV retinitis pada pasien terkompromi imun. Zidovudine, Didanosine, Zalcitabine, dan Stavudine Zidovudine digunakan untuk pengobatan infeksi HIV-1 atau HIV-2. Zidovudine terserap baik secara oral (60%) dan cepat tersirkulasi. Efek samping serius zidovudine adalah anemia- dan leukopenia-megaloblastik. Didanosine, zalcitabine, dan stavudine telah digunakan untuk pengobatan infeksi HIV. Ketiga agen antivirus memiliki efek samping toksis, ayitu neuropati periferal dan pankreastitis. Kombinasi zidovudin, didanosine, dan zalcitabine digunakan untuk meningkatkan efektivitas dan mengurangi toksisitas. KEMOTERAPI ANTIFUNGI Pengembangan agen antifungi tertinggal dari pengembangan agen antibakteri. Hal ini karena konsekuensi struktur fungi mirip dengan struktur mammalia. Fungi adalah organisme eukariota, sehingga agen antifungi dapat menghasilkan efek toksis pada inang. Selain itu, fungi tumbuh lambat dan berbentuk multisel, maka cukup sulit mengatasi fungi dibandingkan bakteri. Terlepas dari keterbatasan, sejumlah perkembangan positif telah terjadi pada penemuan agen antifungi. Terdapat 3 kelompok agen antifungi, yaitu polien, azol, dan antimetabolit. Tabel 20.6 merangkum sejumlah agen antifungi penting dan umum digunakan Tabel 20.6 Agen antifungi utama dan pengunaannya Agen Mikosis sistemik Histo Blasto Parakoki Antifungi Kokidioido mikosis Polien AmfoterisinB + Mikosis oportunis Asper Candi Kripto Dermato plasmosis mikosis diomikosis gilosis diasis kokosis fitosis + + + + + + - Nistasin Pimarisin Imidazol Clotrimazol Mikonazol Ketokonazol Triazol Itrakonazol Flukonazol Anti metabolit 5Flucrositosin mc - - - - - mc - - - + + + + - mc mc + - + + + + + + ? + ? + ? + - mc + + + + + - - - - + + + - : mukokutan (bukan sistemik) candidiasis Polien Semua antibiotik polien diproduksi oleh Streptomyces. Polien berinteraksi dengan sterol membran sel dan membentuk kanal membran, sehingga sel berlubang (Gambar 20.16). Agen antifungi polien, yaitu nistatin, amfoterisin B, dan pimarisin. Gambar 20.16 Mekanisme umum agen antifungi Amfoterisin B merupakan agen antifungi untuk mengobati mikosis fatal dan mikosis lainnya. Amfoterisin B berspektrum luas untuk mengobati infeksi kapang dan khamir, termasuk jamur patogen dimorfis Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum, Blastomyces dermatitidis, dan Paracoccidioides brasiliensis. Agen ini merupakan pilihan utama untuk mengobati infeksi mukosa oportunis Candida spp., Cryptococcus neoformans, Aspergillus spp., dan Zygomycetes. Resistensi terhadap agen ini jarang ditemukan. Nistatin merupakan agen antifungi pertama yang sukses dikembangkan dan masih digunakan sampai sekarang. Nistatin menghasilkan efek samping toksis. Oleh karena itu, penggunaannya dibatasi secara topikal. Nistatin efektif mengobati infeksi khamir, seperti Candida sp. Pimarisin (natamisin) merupakan polien lainnya dan digunakan secara topikal. Pimarisisn digunakan untuk mengobati infeksi superfisial mikosis pada mata. Pimarisin efektif mengobati infeksi khamir dan kapang. Azol Agen antifungi azol debedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan jumlah molekul nitrogen pada struktur cincinnya, yaitu imidazol (2 nitrogen) dan triazol (3 nitrogen). Imidazol efektif secara klinis adalah clotrimazol, mikonazol, dan ketokonazol. Fua triazol penting, yaitu itrakonazol dan flukonazol. Secara umum, azol menghambat enzim bergantung sitokrom P450. Enzim ini terlibat dalam biosintesis sterol membran. Ketonazol dapat digunakan secara oral maupun topikal dan memiliki aktivitas antifungi cukup luas. Ketonazol efektif mengobati candidiasis mukosa dan mikosis kutan termasuk infeksi dermatofit, pityriasis versicolor, dan candidiasis kutan. Ketonazol tidak efektif untuk pengobatan aspergilosis atau infeksi sistemik khamir. Triazol mengantikan peranan amfoterisin dalam mengobati mikosis sistemik. Flukonazol secara rutin digunakan untuk mengobati candidemia non-neutropenik, kriptokokosis, dan kokidioidomikosis. Flukonasol digunakan secara oral. Azol tidak menghasilkan efek samping serius, tetapi pengunaan jangka panjang dapat berefek toksis pada hati. Toksisitas hati dijumpai pada pengunaan ketokonazol, tetapi tidak serius pada pengunaan triazol. 5-Fluorositosin Agen antimetabolit fungi yang tersedia, adalah 5-fluorositosin. 5-fluorositosin menghambat sintesis DNA dan RNA. Nukleotida DNA dikonversi menjadi 5-fluorourasil. Sedangkan nukeotida RNA dikonversi menjadi 5-fluorouridin trifosfat dan 5fluorodeoksiuridin monofosfat. 5-Fluorositosin jarang digunakan sebagai pengobatan tunggal, tetapi lebih sering dikombinasikan dengan agen antifungi lain. Kombinasi 5fluorositosin dan amfoterisin B merupakan pilihan untuk mengobati meningitis kriptokokal dam mikosis lainnya. Agen Antifungi Lain Griseofulvin merupakan agen antifungi produksi Penicillium griseofulvum. Secara in vitro efektif terhadap dermatofit dan menjadi pilihan untuk pengobatan infeksi kronis Trichophyton rubrum. Griseofulvin menghambat proses mitosis fungi. Kalium iodida dapat digunakan untuk pengobatan sporotrikosis kutan dan sporotrikosis limfokutan. Kalium iodida tidak efektif terhadap Sporothrix schenckii secara in vitro. Naftifin dan terbinafin merupakan agen antifungi kelompok alilamin. Mereka menghambat sintesis ergosterol pada tahap squalen epoksidase.