imamaul hafidin-fsh

advertisement
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PERTIMBANGAN MASLAHAH DAN MAFSADAH
KELUARGA BERENCANA MENURUT MADZHAB HANAFI DAN
MADZHAB SYAFI’I, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Mei
2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Program Strata 1 (S1) pada juurusan Ahwal al-Syakhshiyah Program Studi Peradilan
Agama.
Jakarta, 14 Juni 2010
Mengesahkan
Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
NIP. 1955 0505 1982 03 10 12
PANITIA SIDANG MUNAQASYAH
1. Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA
NIP. 195003061976031001
(…………………..)
2. Sekretaris
: Kamarusdiana, M.Ag., M.H
NIP. 197202241998031
(….…………..……)
3. Pembimbing :Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM (……..…….)
NIP. 1955 0505 1982 03 10 12
4. Penguji I
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA
NIP. 195003061976031001
(.…..………………)
5. Penguji II
: Hotnidah Nasution, S.Ag., M.A
NIP. 197106301997032
(….…………..……)
PERTIMBANGAN MASLAHAH DAN MAFSADAH
KELUARGA BERENCANA
MENURUT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI’I
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
IMAMUL HAFIDIN
NIM : 105044101410
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
NIP: 195505051982031012
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SAYKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
PERTIMBANGAN MASLAHAH DAN MAFSADAH
KELUARGA BERENCANA
MENURUT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI’I
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Imamul Hafidin
NIM: 105044101410
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S 1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 14 Januari 2010
Imamul Hafidin
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.Wr. Wb.
Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba selain puji dan
syukur kepada Allah Swt, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap
langkah-langkah kita di permukaan bumi ini. Tak lupa pula, shalawat serta salam
tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhamad Saw, keluarga, para
sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya,
hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“PERTIMBANGAN
MASLAHAH
DAN
MAFSADAH
KELUARGA
BERENCANA MENURUT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI‟I”
sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas
Syariah dan Hukum. Dalam menyelesaikan skripsi ini tidak mengalami kesulitan
serta hambatan yang penulis alami dan berkat kesungguhan hati, kerja keras dan
motivasi serta bantuan dari para pihak, maka segala kesulitan tersebut memberikan
hikmah tersendiri bagi para penulis. Maka atas tersusunnya skripsi ini penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk serta dukungan terutama kepada kedua
i
orang tua penulis yang selalu mencurahkan kasih sayang dan doanya serta berharap
ananda dapat dapat menjadi anak yang mulia dan sukses dalam menempuh hidup di
dunia dan akhirat. “Semoga amal baik keduanya mendapat balasan yang setimpal
disisi Yang Maha Kuasa”. Amin.
Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi
ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar dalam
memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada penulis hingga
selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan rasa terima kasih dan
do‟a semoga Allah Swt membalasnya.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH.
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan
ilmu yang berharga. Dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya
yang sangat membantu penulis dalam memperoleh referensi-referensi untuk karya
ilmiah ini.
ii
4. Teristimewa buat Umi (Hj. Mu‟inah Khairayah) dan Aba (H.M. Usman Khatib)
tercinta yang selalu memberikan motifasi inspirasi hidup kepada saya, serta kedua
kakak (Isnani, Arif Rahman) dan kedua adikku (Imamatul Azimah, dan Achmad
Rifa‟i A‟idin) tercinta, Paman dan kedua Bibiku (Paklek Shaleh, Bulek Fatimah,
dan Bulek Aliyah) yang telah banyak membantu saya selama di Jakarta dalam
masa pendidikan saya, serta seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan doa,
dukungan baik moril maupun materil yang tak terhingga dalam menyelasaikan
skripsi ini.
5. Terimakasih juga kepada teman-teman seperjuangan (Beni, Awang, Yusuf, Ayub,
kak Manan, Ghulam, Kvie, Leman) dan teman-teman kosan atas (Yeyen, Zeky,
Fitri, Arfah, Mega Neng Yayah, Sri Pujianti), terima kasih untuk semua canda,
tawa, kekonyolan dan yang terpenting adalah motivasinya.
6. Sahabat-sahabat IMM Cab. Ciputat yang senantiasa tidak lepas mengawasiku
masuk ke dalam pengabdianmu dan yang selalu memberikan arahan yang baik.
7. Sahabat-sahabat di Yayasan An-Nahdlah Pondok Petir Sawangan Depok
(Muhaimin, Saipul, Suyut, Fauzi, Ari, Mursyidi, Dayat, Asri, dll) karena kalianlah
saya mempunyai kesempatan tersenyum dan tertawa bahagia selama penyusunan
skripsi ini.
iii
Akhirnya, harapan penulis, semoga atas segala bantuan dan perhatian yang
diberikan mendapatkan balasan yang berlipat dari Allah Swt, amin. Selain itu semoga
segala aktivitas yang kita kerjakan diberikan kemudahan dan menjadi nilai ibadah di
sisi-Nya. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Jakarta, 14 Januari 2010
Penulis
iv
MOTTO PENULIS
“Kebiasaan itu belum tentu benar, namun kebenaran itu haruslah
dibiasakan”
___oo00oo___
“Manusia yang kaya adalah manusia yang selalu merasa cukup
dan bersyukur, sebaliknya manusia yang berlimpah karunia
namun merasa kurang dan kikir akan rasa syukur adalah
kemiskinan yang sesungguhnya.”
___oo00oo___
“Ketika Allah ingin menaikkan derajat manusia, pastilah ujian
sebagai tiket berharga menuju sesuatu yang lebih baik, dan Allah
tidak akan memberi ujian diluar kemampuan manusia itu sendiri.”
___oo00oo___
“Kesempatan tak selalu datang dua kali maka gunakanlah
kesempatan itu sebaik-baiknya karena mungkin itu adalah
kesempatan terakhirmu”
___oo00oo___
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………...………………..…………….i
MOTTO PENULIS…………………………………………….……………..…….v
DAFTAR ISI………………………………………………………….……..…….vi
TRANSLITERASI……………………………………………………..……….…viii
BAB I
PENDAHULUAN………………………………….…..……….………….1
A. Latar Belakang Masalah……………..……………..…...…………….1
B. Batasan dan Rumusan Masalah……………………….…………..….7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………..…..……….8
D. Tinjauan Pustaka…………………………………...………………....9
BAB II
E.
Metode Penelitian…………………………………..…..……………10
F.
Sistematika Penulisan..........................................................................11
TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA BERENCANA...........13
A. Pengertian Pernikahan.........................................................................13
B. Kriteria Keluarga Sejahtera dalam Islam.............................................16
C. Pengertian Keluarga Berencana...........................................................18
D. Macam-Macam Alat Kontrasepsi........................................................24
vi
BAB III METODE ISTINBAT HUKUM IMAM HANAFI DAN IMAM
SYAFI’I…………………………………………………………………..33
A. Metode Isntinbat Hukum Imam Hanafi, Pola Pemikiran serta
Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya…………………..…..33
B. Metode Isntinbat Hukum Imam Syafi‟i, Pola Pemikiran serta
Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya….………………...….37
C. Konsep Maslahah dan Mafsadah………………………………...…..43
BAB IV PENDAPAT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI’I
TENTANG KELUARGA BERENCANA...............................................46
A. Pengertian Al-„Azl……………………………………….……......…46
B. Pandangan Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi‟i.............................58
C. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Hanafi dengan Syafi‟i................68
D. Analisa Penulis....................................................................................43
BAB V PENUTUP ..................................................................................................73
A. Kesimpulan..........................................................................................73
B. Saran-Saran..........................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………........…77
vii
TRANSLITERASI
Skripsi ini menggunakan alih aksara (translitersi) yang mengikuti atau sesuai
dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam pedoman transliterasi arab-latin
dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi) yang
diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006-2007.
I.
Konsonan
Arab
‫ا‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
II.
Latin
tidak dilambangkan
B
T
Ts
J
H
Kh
D
Dz
R
Arab
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
‫غ‬
‫ف‬
Latin
z
s
sy
s
d
t
z
„
gh
f
Vokal Pendek
Arab
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫و‬
‫هـ‬
‫ء‬
‫ي‬
III.
Latin
q
k
l
m
n
w
h
,
y
Vokal Panjang
_َ_
:a
‫أا‬
:â
-َ--
:i
‫ﺇي‬
:î
_َ_
:u
‫أو‬
:û
viii
IV. Vokal Rangkap
V.
‫أي‬
: ai
‫أو‬
: au
Singkatan
Swt
: Subhanahu wa ta’ala
Saw
: Shalla Allah ‘alaihi wa Sallam
Ra
: Radhiya Allah ‘anhu
H
: Tahun Hijriyah
M
: Tahun Masehi
m
: Tahun Milad
W
: Wafat
Tt
: Tanpa Tempat
Tth
: Tanpa Tahun
Tp
: Tanpa Penerbit
Ed
: Editor
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut sejarah peradaban manusia, hubungan keluarga dikenal sebagai suatu
persekutuan (unit) terkecil, pertama dan utama dalam masyarakat. Dari persekutuan
inilah manusia berkembang biak baik menjadi suatu komunitas masyarakat dalam
wujud marga, puak, kabilah, dan suku yang seterusnya menjadi suatu umat dan
bangsa-bangsa yang bertaburan dimuka bumi ini. Keluarga merupakan inti dari jiwa
dari suatu bangsa.1 Kemajuan dan keterbelakangan suatu komoditas bangsa menjadi
cerminan dari keadaan keluarga, keluarga yang hidup pada bangsa tersebut. Begitu
penting peran keluarga, maka dapat di temui bahwa semua agama dan kepercayaan
yang menjadi sumber acuan nilai norma masyarakat, memiliki ajaran yang mengatur
masalah keluarga.2
Sebelumnya pernikahan adalah hal mendasar dalam pembentukan keluarga
Islam. Nabi Muhammad SAW memuji institusi suatu persekutuan (unit) terkecil
dalam masyarakat ini sebagai bagian dari sunnah beliau. Menurut beliau, kehidupan
manunggal secara permanen atas kehendak sendiri bukanlah cara yang terbaik dalam
kehidupan beragama dan bermasyarakat.
1
Aminuddin Yakub, KB dalam Polemik: Melacak Pesan Subtantif Islam, (Jakarta: PBB UIN,
KAS, 2003) h. 3.
2
Ibid., h. 4.
2
Pernikahan juga merupakan ibadah yang dengannya wanita Muslimah telah
menyempurnakan setengah dari agamanya serta akan menemui Allah SWT. dalam
keadaan suci dan bersih.3
Dalam hal ini Pernikahan merupakan sunnatullah bagi hamba-hamba-Nya
untuk menempuh bahtera kehidupan, dan Allah SWT tidak ingin dunia ini statis atau
berkembang biak menurut keinginan penghuninya. Akan tetapi Allah swt mengatur
naluri dan menetapkan pokok-pokok dan kaidah-kaidah, sehingga dapat memelihara
martabat manusia. Sedangkan manusia harus memelihara keutamaan, kesucian dan
keluhuran budi pekertinya dengan cara-cara yang salah satunya adalah melakukan
pernikahan.4
Meskipun demikian, perintah berkeluarga ini harus dibarengi dengan kesiapan
fisik, mental dan kemampuan material. Syarat ini penting karena dalam kehidupan
berkeluarga terdapat hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang harus dipenuhi
oleh suami isteri. Bagi mereka yang belum mampu berkeluarga diperintahkan untuk
tetap memelihara kesucian dirinya.
Disamping itu, salah satu tujuan utama disyari‟atkannya berkeluarga adalah
untuk memiliki keturunan. Al-Qur‟an juga mengingatkan dan menegaskan bahwa
memiliki keturunan merupakan ketentuan dan karunia Allah SWT.
3
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h.
4
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Muslimah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), h. 253.
378.
3
Kehadiran anak dalam keluarga merupakan Qurra A‟yun (buah hati yang
menyejukkan [QS. Al-Furqân: 74]), dan merupakan Zînah Hayât al-Dunyâ (perhiasan
kehidupan manusia [QS. Al-Kahfi: 46]). Namun tentu saja seorang anak akan
menjadi buah hati dan perhiasan dunia jikalau ia tumbuh menjadi manusia yang baik
dan berkualitas. Al-Qur‟an juga mengingatkan bahwa seorang anak juga dapat
menjadi musuh dan ujian (fitnah), dalam arti terkadang dapat menjerumuskan orang
tua melakukan perbuatan yang di larang agama akibat cintanya kepada anak. Anak
juga merupakan amanah, dan menjaga amanah adalah kewajiban orang beriman. Oleh
karena itu, orang tua berkewajiban memberi nafkah dan memenuhi kebutuhan anak,
baik secara materiil maupun secara spiritual sehingga anak itu mencapai usia dewasa.
Berkaitan dengan kesejahteraan keluarga, M.Quraish Shihab dalam bukunya
yang berjudul “Membumikan Al-Qur‟an” menyebutkan bahwa jika kemampuan
material seseorang / keluarga atau kapasitas ruangan keluarga yang tersedia hanya
cukup untuk 10 orang – misalnya – kemudian ia mengundang 15 orang, maka
keluarga tersebut dikatakan tidak efektif dan tidak baik karena ia mengabaikan faktor
keseimbangan dalam kehidupan keluarga tersebut yang pada dasarnya di tuntut oleh
ajaran Islam.5
Jikalau dilihat pada dasawarsa tahun 1990-an terakhir di Indonesia,
diperkirakan jumlah penduduknya bertambah menjadi 193 juta jiwa, setelah jumlah
5
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan,2003), h. 256-257.
4
179,3 juta jiwa yang terdapat pada tahun 1990. Jumlah 147,5 juta jiwa pada sensus
tahun 1980, 119,2 juta jiwa pada tahun 1971, 97 juta jiwa pada tahun 1961, yang
tadinya dilakukan sensus kependudukan pada tahun 1930 itu hanya 61 juta jiwa saja. 6
Kepadatan penduduk tersebut yang secara signifikan itu sebab beberapa anggota
keluarga yang tidak mempertimbangkan pengaturan jumlah dalam keluarganya.
Ada suatu Ka‟idah Fiqh menyebutkan
‫“ أنضرر يزال‬Kesulitan itu harus
dihilangkan”,7 bahwa suatu hal, dimana sebuah tindakan manusia yang akan
diperkirakan timbulnya suatu kemudlaratan lebih lanjut, maka tindakan tersebut
seyogyanya ditinggalkan. Ketika diperkirakan dalam suatu keluarga dikhawatirkan
akan mendapatkan kekurangan dari sektor ekonomi rumah tangga atau sektor-sektor
yang lain yang dapat memberikan dampak mudlarat terhadap suatu keluarga tersebut,
disebabkan tiadanya pertimbangan perencanaan kehamilan sebab kebanyakan jumlah
anak, atau bahkan bisa jadi dapat melebihi dari kadar kemampuan keluarga tersebut,
maka hal itu hendaknya ditinggalkan karena dampaknya adalah kemudlaratan.
Kalau kita tahu salah satu langkah dari pemerintah untuk menempuh
pembatasan perimbangan dalam suatu keluarga adalah membentuk Program yang
disebut dengan Keluarga Berencana (KB). Sejak tahun 1973 keluarga berencana (KB)
sudah dicantumkan dalam GBHN dan mutlak harus dilaksanakan oleh seluruh rakyat
6
Kantor Menteri Negara Kependudukan / Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional, 25
Tahun Gerakan Keluarga Berencana, (Jakarta: Keluarga Sejahtera), h. 5.
7
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh : Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 147.
5
Indonesia, dengan ketentuan pelaksanaannya harus dilandasi dengan cara sukarela
dan dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama.8 Pentingnya pengendalian
pertumbuhan dan jumlah penduduk dengan program KB ini memiliki implikasi
terhadap peningkatan ekonomi dan kualitas sumberdaya manusia, karena anak yang
banyak dan penduduk yang besar akan membawa manfaat, jika mereka benar-benar
memiliki kualitas sumberdaya yang tinggi. Namun sebaliknya, jika kualitas mereka
rendah, maka anak dan penduduk yang banyak itu, akan berubah menjadi beban yang
cukup berat bagi keluarga itu sendiri atau bahkan buat Negara ini (salah satu pidato
yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rapat Kerja
(Raker) tentang membahas Program Keluarga Berencana (KB) Nasional pada tahun
2005).9
Kendatipun wakil-wakil rakyat telah menetapkan KB itu dalam GBHN, masih
ada persoalan lain yang perlu dituntaskan, yaitu bagaimana pandangan agama Islam
menanggapi soal KB itu, karena mayoritas bangsa Indonesia menganut agama Islam.
Tidakkah fungsi KB ini ternyata bertolak belakang dengan perintah Nabi yang
menyuruh kita menikah dengan perempuan yang dapat memberikan keturunan yang
produktif pula, karena dengan melaksanakan KB itu berarti sebuah pasangan suami
istri (pasutri) sudah berkeinginan tidak memfungsikan pernikahan lagi sebagai proses
memberikan keturunan atau bahkan karena punya motivasi kekhawatiran kekurangan
8
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Hadîtsah: Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum
Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996), h. 28.
9
http://kbi.gemari.or.id/
6
rezeki yang bertentangan dengan keimanan akan qadla‟ dan qadar Allah SWT yang
telah menentukan rezeki setiap hamba-hamba-Nya.
Dari sisi Negara yang telah memberikan kebijakan bahwa program KB itu
menjadi salah satu amanat dalam GBHN, begitu juga Negara Indonesia ini yang
penduduknya adalah mayoritas umat Muslim, maka sepantasnyalah kita telusuri latar
belakang pembentukan program KB tersebut dan bagaimanakah pandangan madzhab
Hanafi dan madzhab Syafi‟i tentang masalah KB, dimana kedua ulama fikih tersebut
adalah merupakan tokoh ulama bidang fikih yang dianut oleh mayoritas umat Muslim
di Indonesia, terutama madzhab Syafi‟i.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Maka jelas bahwa masalah Keluarga Berencana menurut pendapat kedua
madzhab tersebut (madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‟i) memerlukan penelitian
secara intensif, karena masalah KB merupakan masalah akar dalam sebuah kehidupan
bermasyarakat yang penulis anggap urgen untuk diadakan penelitian, dan juga sebab
kedua madzhab tersebut merupakan madzhab fikih yang di anut oleh mayoritas umat
Islam di Indonesia. Agar pembahasan dalam skripsi ini terarah dan lebih spesifik,
mengingat materi dalam fikih kedua madzhab tersebut tidak hanya membahas
masalah pernikahan saja, akan tetapi bahasannya meliputi waris, wakaf, zakat, dsb.
Maka, pada skripsi ini dibatasi hanya pada pertimbangan maslahah dan mafsadah
Keluarga Berencana menurut madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‟i.
7
Setelah mengetahui Pembatasan Masalahnya, maka penulis membuat
rumusan-rumusan masalah dengan bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagaimana
berikut:
1. Bagaimanakah pendapat madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‟i tentang
permasalahan KB ?
2. Dimanakah letak persamaan dan perbedaan pendapat kedua madzhab
tersebut?
3. Bagaimana maslahah dan mafsadah Keluarga Berencana ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui maksud pembahasan yang dikemukakan oleh Madzhab
Hanafi dan Madzhab Syafi‟i tentang Program KB.
2) Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pendapatnya.
3) Untuk mengetahui maslahah dan mafsadah dalam melaksanakan Program
KB.
8
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1) Bagi penulis dapat menambah sebuah wawasan pengetahuan tentang Program
KB (keluarga berencana) secara umum dan menurut pendapat Madzhab
Hanafi dan Madzhab Syafi‟i.
2) Dapat mengetahui antara maslahah dan mafsadahnya Program KB dalam
sebuah kehidupan berkeluarga.
3) Bagi Fakultas dapat memberikan sumbangan kepustakaan dalam rangka
pengembangan akademis.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan kepustakaan (Literatur) yang berkaitan dengan topik pembahasan,
atau bahkan yang memberikan inspirasi dan mendasari dilakukannya penulisan
skripsi ini.
Diantaranya:
1. Al-Rahim Umran, Islam dan KB, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1997).
Buku ini memberikan banyak pengertian tentang KB yang di konsep oleh
pengarangnya dengan berbagai literatur modern dan klasik.
2. Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaiah Asasi, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002). Buku ini yang menjadikan dasar masalah dalam
9
penulisan skripsi ini atas adanya unsur maslahah dan mudlaratnya Program
KB yang telah membumi di kalangan masyarakat.
3. Aminuddin Yakub, KB dalam Polemik: Melacak Pesan Subtantif Islam,
(Jakarta : PBB UIN, KAS, 2003). Buku ini menekankan bahwa Islam
merupakan agama yang universal yang mencakup terhadap aspek kehidupan
umat manusia terutama tentang mengkontribusikan sebuah hukum.
E. Metode Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Penulisan
skripsi
ini
sepenuhnya
menggunakan
metode
penelitian
kepustakaan (library research), yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai literatur
yang relevan dengan pokok masalah Program Keluarga Berencana (KB) yang penulis
jadikan sebagai sumber penulisan, yang kemudian diidentifikasi secara sistematis dan
analisis dengan berbagai sumber primer dan sekunder.
2. Metode Pembahasan
Metode pembahasan yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif
analisis perbandingan. Metode deskriptif yaitu suatu pembahasan yang bermaksud
untuk membuat gambaran mengenai data-data dalam rangka menguji hipotesa atau
menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu sedang berjalan dari
pokok masalah.
10
Sedangkan metode analitis perbandingan yaitu suatu pembahasan dengan cara
memberikan penafsiran-penafsiran dan perbandingan terhadap data yang telah
terkumpul dan tersusun. Jadi, metode deskriptif analisis perbandingan adalah suatu
pembahasan yang bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah
tersusun dan terkumpul dengan cara memberikan interpretasi dan analisa
perbandingan terhadap data tersebut.
3. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman kepada buku penulisan
Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hiayatullah Jakarta tahun 2009.
F. Sistematika Penulisan
Merujuk pada apa yang dituliskan diatas dan metode yang digunakan,
disamping itu untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membagi
pembahasan ini menjadi lima bab pembahasan:
BAB I:
PENDAHULUAN, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tinjauan
Penulisan.
Pustaka,
Metodologi
Penelitian
dan
Sistematika
11
BAB II:
TINJAUAN
UMUM
KELUARGA
BERENCANA,
Pernikahan,
TENTANG
Pengertian
PERNIKAHAN
yang terdiri
Keluarga
dari
Sejahtera
DAN
Pengertian
dalam
Islam,
Pengertian Keluarga Berencana, Macam-Macam Alat Kontrasepsi.
BAB III:
MENGENAL IMAM HANAFI DAN IMAM SYAFI’I, yang
membahas tentang: Biografi Singkat Imam Hanafi, Pola Pemikiran
serta Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya, Biografi
Singkat Imam Syafi‟i, Pola Pemikiran serta Penyebaran dan
Perkembangan Madzhabnya,
BAB IV:
PENDAPAT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI’I
TENTANG
KELUARGA
BERENCANA,
yang
membahas
tentang: Pengertian al-‟Azl, Keluarga Berencana dalam Pandangan
Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi‟i, Persamaan dan Perbedaan
Pendapat Madzhab Hanafi dengan Madzhab Syafi‟i mengenai KB,
Analisa Penulis.
BAB V:
PENUTUP, yang berisikan Kesimpulan yang diambil berdasarkan
rumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan
juga membuat Saran-Saran serta Daftar Pustaka.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA BERENCANA
A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan adalah salah satu kodrat dalam perjalanan hidup manusia.
Pernikahan bukan hanya sekedar jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan
menuju pintu perkenalan, akan tetapi juga menjadi jalan untuk menyampaikan
pertolongan antara satu dengan lainnya. Disamping itu juga pernikahan merupakan
jalan untuk menghindarkan manusia dari kebiasaan hawa nafsu yang menyesatkan.
Dan pengertian pernikahan itu sendiri dapat dilihat dari segi bahasa dan istilah.
Secara bahasa nikah berasal dari bahasa Arab ‫نكح ي ْن ِكح نِكاحا‬.10 Sedangkan dalam
Kamus Besar Indonesia nikah mempunyai arti hubungan antara laki-laki dan
perempuan untuk menjadi suami istri secara resmi.11
Ada juga arti nikah menurut syara‟ yaitu akad yang membolehkan seorang
laki-laki bergaul bebas dengan perempuan tertentu dan pada akad menggunakan akad
nikah.12 Jadi apabila antara laki-laki dan perempuan yang sudah siap untuk
membentuk suatu rumah tangga, maka hendaklah perempuan harus melakukan akad
10
11
12
Syarifuddin, Kamus Al-Mishbah, (Jakarta: Bina Aksara, t.t.)., h. 573
Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. 3, h. 614
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahli Sunnah dan Negara-negara Islam, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. 1, h. 104
13
nikah terlebih dahulu. Dalam al-Qur'an bahwa pernikahan disebut dengan nikâh dan
mîtsâq (perjanjian).13
Nikah pada hakekatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk
memberikan kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan seluruh tubuh wanita
untuk penikmatan sebagai tujuan primer.14 Pengertian hak milik, sebagaimana yang
dapat ditemukan hampir semua definisi dari fuqaha, ialah milk al-intifâ‟, yaitu hak
milik penggunaan atau pemakai suatu benda.
Bagi ulamâ Hanafiah akad nikah membawa konsekuensi bahwa suami istri
berhak memiliki kesenangan (milk al-mut‟ah) dari istrinya, dari ulamâ Mâlikiyah
akad nikah membawa akibat pemilikan bagi suami untuk mendapatkan kelezatan
(taladzudz) dari istrinya. Sedangkan bagi ulama Syafi‟iyah akad membawa akibat
suami memiliki kesempatan untuk melakukan jimâ‟ (bersetubuh) dengan istrinya.15
Sebagian ulamâ Syâfi‟iyyah memandang bahwa akad nikah bukanlah untuk
memberikan hak milik pada kaum laki-laki saja akan tetapi kedua belah pihak. Maka
golongan itu berpendapat bahwa seorang istri berhak menuntut persetubuhan dari
13
Dengan kata Nikah. Perhatikan surat An Nisâ‟ (4) : 3 dan An-Nûr (24): 32, sedangkan kata
mîtsâq dalam surat An-Nisâ‟ (4) : 21
14
Bakri A. Rahman dan Ahmadi Sukadja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undangundang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), h. 13
15
Abd Ar-Rahmân al-Jazîri, Kitâb al-Fiqh „Alâ Al-Madzâhib Al-Arba‟ah, (Beirut: Dâr alFikr, 1969), h. 2-3.
14
suami dan suami berkewajiban memenuhinya sebagaimana suami berhak menentukan
persetubuhan dari istrinya.16
Sedangkan menurut UU No. 1/1974 tentang perkawinan bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.17 Adapun syarat sah perkawinan itu apabila
telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang maupun hukum
Islam. Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa
pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing. Sedangkan
menurut hukum perkawinan Islam yang dijadikan pedoman sah dan tidaknya
pernikahan itu adalah dipenuhinya rukun pernikahan berdasarkan hukum agama
Islam. Rukun merupakan sebagian dari hakekat pernikahan itu sendiri dan jika tidak
dipenuhi maka pernikahan tidak akan terjadi.18
Rukun pernikahan tersebut antara lain :
1. Adanya kedua mempelai
2. Adanya wali dari pihak calon mempelai wanita
3. Adanya dua orang saksi
16
Ibid., h. 40
17
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan, (Jakarta: PT. Pradya
Paramita), No. 1/1974, pasal 2 ayat (1)
18
Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan
Ulasan secara Sosiologi Hukum, (Jakarta: Pradia Paramita1986), cet. 1, h. 31
15
4. Adanya shighat akad nikah atau ijab qabul
5. Mahar atau mas kawin.19
B. Kriteria Keluarga Sejahtera dalam Islam
Yang dimaksud dengan keluarga adalah unit sosial dasar dan perkawinan
adalah lembaga Islam yang sifatnya fundamental. Perkawinan dan pembentukan
keluarga adalah tanggung jawab yang serius dan harus tunduk kepada peraturan yang
spesifik.20 Di samping itu haruslah ditanamkan sikap amanah bersama dalam
membina sebuah keluarga. Titik ini semestinya menjadi acuan awal ketika
menempatkan masalah rumah tangga sebagai sentral pembinaan umat. Biasanya
masalah-masalah yg timbul dalam keluarga karena masing-masing pihak tidak bisa
memenuhi amanah tersebut.21
Keluarga selalu dipandang sebagai institusi masyarakat terkecil tempat
bernaung dan penggantungan hidup anggota-anggotanya mulai dari orangtua, anakanak, hingga anggota keluarga lainnya yang hidup bersama, seperti kakek, nenek,
bibi, uwak, dan sebagainya. Begitu besarnya peran keluarga sebagai tempat bernaung
dan penggantungan hidup, segenap anggotanya pasti mengharapkan suasana aman,
nyaman, tenteram dan dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya, baik lahiriah maupun
batiniah. Dengan demikian, keluarga sejahtera yang antara lain ditandai dengan
19
Slamet Abidin dan H. Aminudin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 72
20
„Umran, Islam…, h. 11.
21
http://www.acehforum.or.id/keluarga-islam
16
tercukupinya kebutuhan lahir batin serta memiliki hubungan yang serasi antar
anggota keluarga, akan selalu menjadi idaman, dambaan dan cita-cita bagi setiap
insan manusia.
Agama Islam memiliki prinsip bahwa membangun keluarga sejahtera
merupakan upaya yang wajib ditempuh oleh setiap pasangan (keluarga) yang telah
diawali dengan pernikahan Islami. Dalam agama Islam, keluarga sejahtera
disubstansikan dalam bentuk Keluarga Sakinah (keluarga yang harmonis atau
sejahtera).
Dasar utama membangun keluarga sejahtera ini adalah penjelasan ayat 21
dalam Surat Ar-Rûm yang berbunyi:
            
        
Artinya:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.”(Ar-Rûm:21).
Ayat tersebut menjelaskan tujuan berkeluarga adalah untuk mencapai
ketenteraman dan kebahagiaan atas dasar kasih sayang. Yaitu keluarga yang saling
cinta-mencintai dan sayang-menyayangi sehingga anggota keluarga merasa aman,
17
tenteram, tenang dan damai, bahagia dan sejahtera namun dinamis menuju kehidupan
yang lebih baik di dunia maupun di akhirat.
KH. Sahal Mahfudz (Mantan Ketua Umum MUI), menjelaskan bahwa
keluarga yang sejahtera senantiasa mengutamakan terciptanya ketentraman dan
kedamain dalam rumah tangga, hingga membangkitkan semangat untuk saling
memadu keharmonisan dan kasih sayang diantara seluruh anggota keluarganya.22
Maka dari itulah perencanaannya yang berkaitan dengan kesejahteraan dalam
keluarga adalah layak.23
C. Pengertian Keluarga Berencana
Untuk dapat dengan mudah memahami arti dari pengertian Keluarga
Berencana ini, adalah dengan mendefinisikannya. Keluarga Berencana merupakan
kata majmuk dari pada dua kata, yaitu Keluarga dan Berencana. Keluarga secara
etimologi berarti “Ibu bapak dengan anak-anaknya seisi rumahnya; seluruh isi rumah
yang menjadi tanggungjawab batin”.24 Secara terminologi, keluarga yang dimaksud
disini adalah suatu kesatuan sosial yang terkecil dalam masyarakat, yang diikat dalam
tali perkawinan yang sah.25 Sedangkan kata Berencana merupakan akar kata dari
“rencana”, yang mendapat awalan ber yang berarti konsep atau cara. Rencana berarti
22
http://zanikhan.multiply.com/journal/item/4674/._KELUARGA_BERENCANA_DALAM_
ISLAM
23
„Umran, Islam…, h. 11.
24
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. 3, h. 741.
25
Masfuk Zuhdi, Masa‟il al-Fiqhiyah, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990), h. 5.
18
“rancangan” atau rangka sesuatu yang akan dikerjakan. 26 Berencana artinya “cara
atau konsep merencanakan atau merancangkan”.
Setelah diketahui dari perpaduan dua buah kata Keluarga Berencana, maka
dapat diartikan dengan cara merencanakan keluarga meliputi; jumlah, jarak lahir,
penggunaan alat kontrasepsi dan sebagainya. Adapun pengertian logisnya adalah
mengatur keluarga tentang jumlah atau jarak kelahiran dengan cara menggunakan
alat-alat kontrasepsi tertentu.27
Pengertian secara umum keluarga berencana adalah suatu usaha yang
mengatur banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa sehingga bagi ibu maupun
bayinya dan bagi ayah serta keluarganya atau masyarakat yang bersangkutan tidak
akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran tersebut. Baik
kerugian tersebut dilihat dari segi kemampuan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan
tanggung jawab lain yang dapat menjamin keluarga tersebut menjadi keluarga yang
sejahtera dan bahagia.28
Apabila permasalahan keluarga dilihat dalam hubungannya dengan ajaran dan
hukum Islam, maka lebih dahulu dapat difahami bahwa istilah tersebut haruslah
diartikan dalam konotasi yang khas, yaitu dalam pengertian cara atau proses
26
Depdikbud, Kamus…, h. 741.
27
Masfudli Sahli, Biologi Perkawinan tentang Syahwat, Jima‟, dan KB, (Solo: CV. Aneka,
tt), h. 145.
28
Bahan Pendidikan dan Kependudukan, (Jakarta: DPPTAI, 1981), h. 187.
19
mengatur kelahiran anak secara individual disebabkan oleh beberapa hal yang
menyebabkan suami isteri harus melakukan hal demikian.29
Adapun istilah Keluarga Berencana itu sendiri mempunyai persamaan arti
dalam istilah Inggris Family Planing atau Planed Parenthood. Sedangkan dalam
istilah
bahasa
Arab
dikenal
dengan
sebutan
‫اننسم‬
‫تنظيم‬
(pengaturan
keturunan/kelahiran). Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Muhammad
Syalthut yang mendefinisikan istilah tersebut sebagai “pengaturan kelahiran atau
usaha mencegah kehamilan sementara atau selamanya sehubungan dengan situasi dan
kondisi tertentu baik bagi keluarga yang bersangkutan maupun bagi kepentingan
masyarakat dan Negara”.30
Jika setelah ditinjau dari definisi diatas, maka dapat diambil suatu pengertian
bahwa KB merupakan pengeturan rencana kelahiran anak dengan menggunakan suatu
cara atau alat yang dapat mencegah kehamilan. Hal ini berarti KB bukanlah birth
control atau ‫ تحديد اننسم‬yang berkonotasi pembatasan atau pencegahan kehamilan,
yang kotroversial dengan salah satu daru tujuan perkawinan yaitu melanjutkan
keturunan.
Disebutkan pada tanggal 6 sampai 10 Juli 1995, Rekomendasi Muktamar dan
Keputusan Majlis Tarjih ke-23 di Banda Aceh mengatakan bahwa program KB
29
H.S.M. Nasaruddin latif, Keluarga Berencana Ditinjau dai Sudut Agama Islam, Dalam
Pandangan Agama Terhadap KB, (Panitia ADHOC KB, tt), h. 12, 24.
30
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafidz Anshary AZ., (ed), Keluarga Berencana Menurut
Tinjauan Hukum Islam, Dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: LSIK, 1994), cet.1,
h. 143.
20
adalah ‫( تنظيم اننسم‬pengaturan jarak kelahiran) dan bukanlah ‫( تحديد اننسم‬pembatasan
jumlah anak).31
Jadi Keluarga Berencana merupakan perencanaan besarnya keluarga dengan
berusaha mengatur kelahiran dan merencanakan keluarga kecil yakni keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu, dan tiga anak atau panca warga.
Di Indonesia, KB selain untuk kepentingan Nasional juga sangat berkaitan
dengan pribadi suami isteri. Harun Nasution dalam hal ini menekankan bahwa
sebaiknya keluarga dihubungkan dengan keadaan ekonominya. Kalau kondisi
ekonominya memang tidak dapat memikul, lebih baik kelahiran anak
dijarangkan, dengan demikian pertumbuhan jasmani dan pendidikan anak
akan dapat terjamin. Kalau jumlah anak banyak, sedangkan keadaan
ekonominya tidak sepadan, keharmonisan keluarga akan terganggu. Keluarga
bahagia adalah keluarga yang dapat menyesuaikan kelahiran dengan
kesanggupan ekonomi.32
UU No. 10 tahun 1992 mengamanatkan bahwa KB bertujuan “untuk
mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera yang diupayakan dengan
peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui empat paket dukungan
yaitu, pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan
keluarga dan peningkatan kesejateraan keluarga”.33
31
Rekomendasi Muktmar dan Keputusan Majlis Tarjih, Republika, (Jakarta), 11 Juli 1995, h.
10, t.d.
32
Syaiul Muzani (ed), Islam Nasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,
(Bandung: Mizan, 1995), cet. 1, h. 440.
33
BKKBN, Panduan Pelayanan KB Sektor Swasta, ( Jakarta: Kantor Menteri Kependudukan,
1995), h. 35.
21
Dalam konsep yang lebih luas, maka KB mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Terpeliharanya kesehatan ibu dan anak baik secara fisik maupun psikis.
b. Mengatur kehamilan atau kelahiran sesuai dengan kemampuan manusia yang
terbatas.
c. Terpeliharanya keselamatan jiwa, jasmani dan rohani anak serta tersedianya
pendidikan anak.
d. Terjaminnya keselamatan agama orang tua yang dibebani kewajiban
mencukupi kebutuhan hidup keluarga.
e. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang harkat dan tanggung jawab
keluarga.34
Secara khusus program Keluarga Berencana bertujuan :
1. Agar orang tua dapat memahami dan menyadari:
a. Keuntungan berkeluarga.
b. Pengaruh besarnya keluarga terhadap kesejahteraan keluarga baik pangan
dan gizi, kesehatan atau pendidikan, perumahan serta kesempatan kerja
c. Manfaat pengaturan penjarakan kehamilan.
d. Pentingnya kesejahteraan hidup melalui pembentukan keluarga kecil.
2. Agar orang tua dapat memahami dan menyadari tentang perubahan penduduk
dan pengaruhnya terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan kesehatan serta
akibat ledakan penduduk terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam
serta pelestariannya.
3. Agar orang tua, khususnya yang usianya muda dapat memahami dan
menyadari manfaat tentang pendewasaan perkawinan.
4. Agar orang tua memahami pentingnya mempersiapkan kelahiran bayi sehat,
memelihara dan membinanya agar tumbuh menjadi manusia Indonesia
seutuhnya, yang sehat jasmani dan rohani.35
34
LKK-NU dan BKKBN, Pedoman Penerangan tentang Keluarga Berencana, (Jakarta: t.p,
1982), cet. 2, h. 111.
35
Depdikbud dan BKKBN, Pedoman Pendidikan Keluarga Berencana untuk Tutor dan
Sumber Belajar, (Jakarta: t.p, 1987), h.11.
22
Tujuan-tujuan
tersebut akan lebih mudah dicapai apabila suatu keluarga
relatif kecil, yang secara ekonomis lebih mudah dijangkau, dan secara psikologis
antara suami isteri akan mendapatkan keadaan keluarga yang sakînah mawaddah
warahmah.
Dari sanalah diharapkan akan hadir generasi manusia yang potensial dan
berkualitas menuju terciptanya masyarakat yang baik dan yang terpenting
mendapatkan Ridla dari Allah SWT.36
Peserta keluarga berencana (akseptor KB) adalah pasangan usia subur dimana
salah seorang dari padanya menggunakan salah satu cara atau alat kontrasepsi untuk
tujuan pencegahan kehamilan, baik melalui program maupun non program.
Pencegahan kehamilan ini meliputi hal-hal sebagaimana berikut:
a) Kekhawatiran
akan
nasib
anak-anaknya;
kesehatannya
buruk
atau
pendidikannya tidak teratasi.37
b) Agar bayi memperoleh susuan dengan baik dan cukup, dan dikhawatirkan
kehadiran anak selanjutnya dalam waktu cepat membuat hak susuannya tidak
terpenuhi.
36
Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), cet. 2,
37
Yusuf al-Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Jakarta: Era Intermedia, 1998), cet.II,
h. 21.
h.285-288.
23
c) Menjarangkan anak untuk memungkinkan penyusuan dan penjagaan
kesehatan ibu dan anak.38
Adapun metode yang digunakan di waktu lebih dini dalam kerja tentang
perencanaan keluarga (KB) adalah metode al-„azl, dan karena semua kitab fikih
sampai masa-masa akhir ini menggunakan istilah al-„azl tersebut, dan penulis akan
tetap mempertahankan istilah tersebut di banyak kesempatan dalam penulisan skripsi
ini. Semua aturan tentang al-„azl berlaku dengan menggunakan analogi pada metodemetode kontrasepsi lain. Hal ini yang ditekankan oleh ulama ahli fikih.
D. Macam-Macam Alat Kontrasepsi
Sudah diketahui bahwa satu-satunya metode kontrasepsi yang dilakukan pada
masa kehidupan Nabi Muhammad SAW. adalah al-„azl. Al-„azl merupakan metode
kontrasepsi yang paling klasik dan relative lebih aman serta merupakan “embrio”
muncul dan berkembagnya metode-metode kontrasepsi modern.
Dengan adanya kemajuan ilmu dan teknologi ini telah ditemukan berbagai
macam alat kontrasepsi yang fungsinya sama dengan al-„azl yakni mencegah
kehamilan.39
38
„Umran, pada pendahuluan bukunya yang berjudul “Islam…, h. xxvii.
39
Pusat Studi Wanita, Relasi Suami Isteri dalam Islam, (Jakarta: PSW, 2004), h. 138.
24
Kontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah atau melawan dan
konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel
sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Kontrasepsi adalah menghindari
atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang
matang dengan sel sperma tersebut.
Alat kontrasepsi bekerja dengan cara yang bermacam-macam tetapi pada
umumnya mempunyai fungsi :
1. Mengusahakan agat tidak terjadi ovulasi
2. Melumpuhkan sperma
3. Menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma
Sebenarnya ada cara yang baik dalam pemilihan alat kontrasepsi. Sebelumnya
harus mencari informasi terlebih dahulu tentang cara-cara KB berdasarkan informasi
yang lengkap, akurat dan benar. Untuk itu dalam memutuskan suatu cara kontrasepsi
sebaiknya mempertimbangkan penggunaan kontrasepsi yang rasional, efektif dan
efisien.40
Pada umumnya cara atau metode kontrasepsi dapat dibagi menjadi metode
kontrasepsi sederhana dan modern.
1.
Metode Kontrasepsi Sederhana
Metode Kontrasepsi Sederhana adalah suatu cara yang dikerjakan sendiri oleh
peserta KB tanpa pemeriksaan medis terlebih dahulu. Metode ini terdiri dari dua
40
http:/psikis.bkkbn.go.id/gemopria.articles.php
25
macam yaitu metode kontrasepsi sederhana tanpa alat atau obat dan metode
kontrasepsi sederhana dengan alat atau obat.
a) Metode kontrasepsi sederhana tanpa alat atau obat
(1) Senggama Terputus
Senggama terputus adalah metode keluarga berencana tradisional, dimana
pria mengeluarkan alat kelaminnya dari vagina sebelum pria mencapai
ejakulasi sehingga sperma tidak masuk ke dalam vagina dan kehamilan
dapat dicegah.
(2) Pantang Berkala
Pantang berkala adalah tidak melakukan senggama pada masa subur
seorang wanita yaitu waktu terjadinya ovulasi. Agar kontrasepsi dengan cara
ini berhasil, seorang wanita harus benar-benar mengetahui masa ovulasinya
(waktu dimana sel telur siap untuk dibuahi). Kerugian dengan cara ini adalah
masa puasa bersenggama sangat lama sehingga menimbulkan rasa kecewa
dan kadang-kadang berakibat pasangan tersebut tidak mentaati.
b) Metode kontrasepsi sederhana dengan alat atau obat
(1) Kondom
Kondom merupakan selubung atau sarung karet yang dipasang pada penis
saat berhubungan seksual.
Cara kerja kondom yaitu untuk menghalangi terjadinya pertemuan sperma
dan sel telur dengan cara mengemas sperma diujung selubung karet yang
26
dipasang pasa penis sehingga sperma tersebut tidak tercurah ke dalam
saluran reproduksi perempuan, selain itu kondom juga dapat mencegah
penularan mikroorganisme (HIV/AIDS) dari satu pasangan kepada pasangan
yang lain.
Secara ilmiah didapatkan hanya sedikit angka kegagalan kondom yaitu 212 kehamilan per 100 perempuan per tahun.
Keuntungan menggunakan kondom adalah :
a. Efektif bila digunakan dengan benar
b. Tidak mengganggu kesehatan pengguna
c. Murah dan dapat dibeli secara umum
Kerugian menggunakan kondom adalah :
a. Agak
mengganggu
hubungan
seksual
(mengurangi
sentuhan
langsung)
b. Harus selalu tersedia setiap kali berhubungan seksual
c. Cara penggunaan sangat mempengaruhi keberhasilan kontrasepsi.
(2) Diafragma
Diafragma adalah kap berbentuk bulat cembung, terbuat dari karet yang
diinsersikan ke dalam vagina sebelum berhubungan seksual dan menutup
serviks. Cara kerjanya yaitu menekan sperma agar tidak mendapatkan akses
mencapai saluran alat reproduksi bagian atas.
Keuntungan menggunakan diafragma adalah :
a. Tidak mengganggu reproduksi ASI
27
b. Tidak mengganggu kesehatan pengguna
c. Tidak mengganggu hubungan seksual karena telah terpasang sampai
6 jam sebelumnya
Kerugian menggunakan diafragma adalah :
a. Pemasangannya membutuhkan keterampilan
b. Untuk pemakaian¸ perlu instruksi dan cara pemasangan oleh tenaga
klinik yang terlatih
c. Pada beberapa pengguna menjadi penyebab infeksi saluran uretra
2.
Metode Kontrasepsi Modern
a) Kontrasepsi Hormonal
(1) Pil KB
Pil KB adalah suatu cara kontrasepsi untuk wanita yang berbentuk
pil/tablet di dalam strip yang berisi gabungan hormone estrogen dan hormon
progesteron atau yang hanya terdiri dari hormon progesteron saja.
Keuntungan menggunakan pil KB adalah :
a. Mudah menggunakan
b. Mudah dihentikan setiap saat
c. Dapat digunakan jangka panjang selama perempuan masih ingin
menggunakannya untuk mencegah kehamilan
d. Kesuburan segera kembali setelah penggunaan pil dihentikan
Kerugian menggunakan pil KB adalah :
a. Memerlukan disiplin dari pemakai
28
b. Dapat mengurangi ASI pada pil yang mengandung estrogen
c. Kembalinya kesuburan agak lambat
(2) Suntik KB
Suntik KB ini mencegah lepasnya sel telur dari indung telur wanita, dan
mengentalkan lendir mulut rahim, sehingga spermatozoa (sel mani) tidak
dapat masuk ke dalam rahim.
Keuntungan menggunakan suntik KB adalah :
a. Jangka panjang
b. Risiko terhadap kesehatan kecil
c. Aman
Kerugian menggunakan suntik KB adalah :
a. Terjadi perubahan pada pola haid
b. Kemungkinan
terlambatnya
pemulihan
kesuburan
setelah
penghentian pemakaian
(3) Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK/Implant/Susuk KB)
AKBK yaitu kontrasepsi yang disusupkan di bawah kulit. Dengan
disusupkannya implan dibawah kulit, setiap hari dilepaskan secara tetap
suatu hormon ke dalam darah melalui proses difusi dari kapsul-kapsul yang
terbuat dari bahan silastik tersebut, sehingga dapat menghambat terjadinya
ovulasi.
Keuntungan menggunakan susuk KB adalah :
a. Tidak menekan produksi ASI
29
b. Tidak terdapat faktor lupa
c. Masa pakai jangka panjang (3-5 th)
d. Dapat digunakan oleh ibu yang tidak cocok dengan hormone estrogen
Kerugian menggunakan susuk KB adalah :
a. Implant harus dipasang dan diangkat oleh petugas kesehatan yang
terlatih
b. Petugas kesehatan perlu dilatih khusus dan praktek untuk
pemasangan dan pengangkatan implant
c. Implant sering mengubah pola haid
d. Intra Uterine Devices (IUD,AKDR)
IUD/AKDR adalah suatu alat kontrasepsi yang dimasukkan ke dalam
rahim yang bentuknya bermacam-macam, terdiri dari plastik.
Keuntungan menggunakan IUD adalah :
a. Praktis
b. Jangka panjang dan sangat efektif karena tidak perlu lagi mengingatingat
Kerugian menggunakan IUD adalah :
a. Tidak dapat dilepas oleh dirinya sendiri (pengguna)
b. Sedikit nyeri setelah pemasangan AKDR
c. Kontrasepsi mantap
Kontrasepsi mantap (kontap) adalah salah satu kontrasepsi dengan
tindakan pembedahan pada saluran telur wanita atau saluran mani yang
30
mengakibatkan orang atau pasangan yang bersangkutan tidak akan
memperoleh keturunan lagi.
Kontrasepsi mantap dibagi menjadi dua macam:
a) Vasektomi (MOP)
Vasektomi adalah prosedur klinik untuk menghentikan kapasitas
reproduksi pria dengan jalan melakukan operasi kecil sehingga alur
transportasi sperma terhambat dan proses fertilisasi tidak terjadi.
Keuntungan MOP adalah :
a. Efektif
b. Sederhana
c. Cepat, hanya memerlukan waktu 5-10 menit
d. Menyenangkan bagi akseptor karena memerlukan anestesi
lokal saja
e. Biaya rendah
f. Secara kultural, sangat dianjurkan di negara-negara dimana
wanita merasa malu untuk ditangani oleh dokter pria untuk
kurang tersedia dokter wanita dan paramedis wanita
Kerugian MOP adalah :
a. Diperlukan suatu tindakan operatif
b. Kadang-kadang menyebabkan komplikasi seperti pendarahan
atau infeksi
31
c. Tidak dapat dilakukan pada orang yang masih ingin
mempunyai keturunan lagi
b) Tubektomi (MOW)
Tubektomi adalah prosedur bedah suka rela untuk menghentikan
fertilitas seorang perempuan secara permanen.
Keuntungan MOW adalah :
a. Sangat efektif
b. Permanen
c. Tidak mempengaruhi proses menyusui
d. Baik bagi akseptor apabila kehamilan akan menjadi risiko
kesehatan yang serius
e. Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual
Kerugian MOW adalah :
a. Harus dipertimbangkan sifat permanen metode kontrasepsi
ini (tidak dapat dipulihkan kembali), kecuali dengan operasi
rekanalisasi
b. Akseptor dapat menyesal dikemudian hari
c. Rasa sakit atau ketidaknyamanan dalam jangka pendek
setelah tindakan.
32
BAB III
METODE ISTINBAT HUKUM IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI’I
A. METODE ISTINBAT HUKUM IMAM HANAFI, POLA PEMIKIRAN
SERTA PENYEBARAN DAN PERKEMBANGAN MADZHABNYA
a.
Metode Istinbat Hukum Imam Hanafi
Dalam pandangan Imam Hanafi, ijtihad itu dibagi menjadi dua bagian: yaitu,
ijtihad dengan nash dan ijtihad dengan selain nash. Pertama ia melihat nash Al-Quran
sebagai sumber tertinggi. Jika tidak menemukan, maka menengok ke Sunnah Nabi
SAW. Tetang Sunnah ini, ia lebih memilih beristidlal dengan Qiyas daripada hadis
ahad. Jika tidak menemukan dalam Sunnah, maka ia mencari pada Qaul Sahabat. Jika
banyak Qaul yang berbeda-beda maka memilih salah satunya dan meninggalkan yang
lain. Jika pencarian Qaul ini pada generasi tabi‟in, maka ia berijtihad sendiri
sebagaimana mereka berijtihad. Alasannya karena mereka masih segenerasi.
Adapun ijtihad dengan selain nash, pertama ia menggunakan qiyas setelah
tidak menemukan qaul sahabat tadi. Jika dengan qiyas justru bertentangan dengan
nash, ijma, dan maslahat, maka menggunakan istihsan. Tentang istidlal dengan
istihsan ini, ia lebih profesional dan sering menerapkannnya dibanding dengan para
ulama lainnya pada masanya. Jika dengan istihsan tidak menemukan, maka ia
menggunakan ijma‟. Menurutnya ijma‟ dapat terjadi pada masa sesudah sahabat. Jika
33
masih tidak menemukan dalil ijma‟, maka ia menggunakan dalil „urf salih, yaitu „urf
yang tidak bertentangan dengan nash dan maqasid. Dalam beristidlal dengan „urf ini
Abu Hanifah termasuk yang paling banyak menerapkannnya khususnya dalam
lapangan aqd at-tijarah atau muamalat madiyyah secara umum. Dan dialah orang
yang pertama kali yang merumuskan konsep akad dalam fiqh muamalat, sejalan
dengan profesinya sebagai saudagar.41
Jadi urutan dasar beliau dalam beristinbat hukum sebagaimana berikut:
1. Al-Kitab
2. As-Sunnah
3. Aqwalush Shahabah
4. Al-Qiyas
5. Al-Istihsan dan
6. Urf
Sebagai seorang ulama‟, Imam Hanafi tidak membenarkan seseorang
bertaqlid kepada beliau tanpa mengetahui dasar/dalil yang beliau pergunakan. Begitu
juga kepada ulama-ulama lainnya. Beliau menginginkan supaya seseornag bersikap
kritis dalam menerima fatwa dan ajaran agama, sehingga tidak ada seorang ulama pun
yang dikultuskan. Beliau pernah berkata: “Tidak halal bagi seseorang yang akan
41
Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), cet.1, hal. 74.
34
memberi garwa dengan perkataanku, selama ia belum mengerti dari mana sumber
perkataanku itu”.42
b.
Pola Pemikiran Serta Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya
Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18 tahun
hidup pada masa dinasti Abbasiyyah. Alih kekuasaan dari Umayyah yang runtuh
kepada Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di Kufah sebagai ibu kota Abbasiyah
sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah kedua
Abbasiyah, Abu Ja‟far Al-Mansur (754-775 M), sebagai ibu kota kerajaan pada tahun
762 M.
Dari perjalanan hidupnya itu, Abu Hanifah sempat menyaksikan trageditragedi besar di Kufah. Di satu segi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya
sehingga menjadi salah seorang ulama besar. Di sisi lain ia merasakan kota Kufah
sebagai kota teror yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Basrah dan Kufah
di Iraq melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang; seperti ilmu sastra, teologi,
tafsir, fikih, hadis, dan tasawwuf. Kedua kota bersejarah ini mewarnai intelektual Abu
Hanifah ditengah berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik dan
pertentangan tradisional suku Arab Utara, Arab Selatan dan Persi. Oleh sebab itu pola
pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu sangat
42
187.
M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. 4, hal.
35
dipengaruhi latar belakang kehidupan serta pendidikannya, juga tidak terlepas dari
sumber hukum yang ada.
Beliau dikenal sebaga salah satu ulama Ahlu Ra‟yi. Ketika menetapkan
hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari Al-Qur‟an atau Hadis, beliau lebih
banyak menggunakan ra‟yi dari pada khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang
bertentangan, maka metode qiyâs dan istihsanlah yang beliau pakai dalam
menetapkan suatu hukum.43
Penyebaran Madzhab Imam Abu Hanifah tidak lepas dari usaha para muridmuridnya dan pengikut-pengikutnya, hal ini dibuktikan banyaknya buah fikiran
beliau yang dikodifikasikan oleh para muridnya setelah beliau meninggal dunia,
sehingga menjadi madzhab ahli ra‟yi yang hidup dan berkembang.
Madzhab ini kemudian terkenal dengan beberapa nama, yaitu Madzhab
Hanafî dan Madzhab Ahli Ra‟yi, disamping namanya menurut versi sejarah Hukum
Islam dikenal dengan sebutan “Madzhab Kûfah”.
Dengan banyaknya buah fikiran Imam Abu Hanifah yang dikodifikasikan oleh
murid-muridnya dan dengan banyaknya para pengikut beliau yang tersebar diberbagai
negara, seperti; Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syiria,
43
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos, 1997),
cet.3, h.97-98.
36
Mesir dan Libanon, maka mazhab Hanafi tersebar diseluruh pelosok dunia dan
termasuk dalam golongan mayoritas disamping madzhab Syafi‟i.44
Selanjutnya diantara para murid Imam Abu Hanifah terdapat kira 40 orang
ulama yang gigih menyebarluaskan aliran madzhab Hanafi ini, lagi pula seperti murid
beliau yaitu Imam Abu Yusuf diberi jabatan sebagai seorang qadhi (hakim), pada
pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian Imam Abu Yusuf melantik pula
para hakim dari madzhab Hanafi yang kemudian disebarluaskan di seluruh jajahan
negeri Iraq, Khurrasan, Syam, Mesir dan daerah lain di Utara Afrika, sehingga dari
situlah madzhab Hanafi jadi banyak dikenal dan dipergunakan banyak orang.45
B. METODE ISTINBAT HUKUM IMAM SYAFI’I, POLA PEMIKIRAN
SERTA PENYEBARAN DAN PERKEMBANGAN MADZHABNYA
a.
Metode Istinbat Hukum Imam Syafi’i
Imam Syafi‟i yang terkenal sebagai seorang yang membela madzhab Maliki
dan mempertahankan madzhab ulama Madinah hingga terkenallah beliau dengan
sebutan Nasyirus Sunnah (Penyebar Sunnah). Hal ini adalah hasil mempertemukan
antara fiqh Madinah dengan fiqh Irak. Beliau telah berhasil mempertemukan antara
h.46.
44
Ibid, h.101-102.
45
Mustafa Suhaimi, Imam Abu Hanifah, (Jakarta: Progressive Products Supply, 1990), cet. 1,
37
thariqat ahlur ra‟yi dengan thariqat ahlul hadist. Oleh karena itu madzhabnya tidak
terlalu condong kepada ahlul hadist saja.46
Cara beliau beristinbat sebuah hukum secara berurutan adalah pertama beliau
berpegang pada Kitabullah, jika tidak menemukan dalam Kitabullah, maka
menggunakan hadist mutawatir. Jika masih tidak menemukannya, maka mencari
hadis ahad. Menurutnya hadis ahad itu termasuk dalil dzanni al-wurud, oleh karena
itu dapat dijadikan dalil jika telah memenuhi beberapa syarat, yaitu: para rawinya itu
(1) tsiqah; (2) berakal; (3) dabit; (4) mendengar sendiri; dan (5) tidak menyalahi ahli
ilmu yang juga meriwayatkan hadis.
Jika tidak menemukan hadis ahad, maka beliau melihat pada dzhair an-nass AlQuran dan sunnah secara berurutan dan dengan teliti beliau mencari segi-segi
kekhususannya. Jika masih tidak menemukan, maka berpegang pada ijma‟. Konsep
ijma‟-nya adalah bejwa ijma‟ yang otoritatif itu haris merupakan hasil kesepakatan
ulama seluruh dunia, tanpa kecuali. Oleh karena itu beliau hanya menerima ijma‟
para sahabat yang karena itu yang paling mungkin terjadi kesepakatan seluruh ulama,
namun ijma‟ setelah generasi sahabat, beliau menolaknya. Beliau mensyaratkan
adanya ijma‟ sahabat ini harus berdasarkan pada Al-Quran dan As-Sunnah. Di
samping itu, beliau hanya menerima ijma‟ sarih dan menolak ijma‟ sukuti.
Jika tidak menemukan ijma‟ sahabat, maka beliau menerapkan metode qiyas,
jika tidak menemukan pada qiyas, maka beliau mencari pada qaul sahabat. Dalam
46
Ibid, …., hal. 211.
38
salah satu riwayat, beliau banya menggunakan dalil qaul sahabat ini dalam qaul
qadim-nya dan bukan dalam qaul jadid-nya, tetapi menurut Rabi‟ Ibn Sulaiman
bahwa beliau juga menggunakan dalam qaul jadid-nya.
Menurutnya, dalil Istihsan tidak menjadi hujjah, menurutnya “barang siapa
yang beristihsan, maka sama halnya telah membuat Syariat” sementara otoritas
tasyri‟ hanyalah di “tangan” Tuhan. Secara terperinci beliau menyebutkan alasannya
menolak istihsan: (1) Ber-istihsan sama halnya menganggap bahwa Syariat ini tidak
meng-cover semua masalah hukum, sementara Syariat ini berlaku untuk semua
zaman dan konteks; (2) Bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan RasulNya oleh
karena itu, semua itu harus disandarkan kepada semua ketetapannya; (3) Nabi tidak
pernah menjelaskan hukum-hukumnya dengan beristihsan tetapi dengan wahyu dan
qiyas; (4) Nabi pernah mengingkari keputusan sahabat yang menggunakan istihsan;
(5) Istihsan adalah teori hukum yang tidak ada patokan dan ukurannya sehingga akan
menghantarkan kepada perselisihan; dan (6) Jika istihsan diperbolehkan, maka
banyak sekali hukum ini akan dapat diistinbatakan oleh orang yang berakal saja tanpa
melibatkan ahli ilmu. Tampak sekali peran rasio dibatasi oleh As-Syafi‟i dalam
beristidlal dan hanya menambahkan metodenya dengan memakai qiyas dan
membatasi penggunaan maslahat, sehingga dapat mengimbangi dinamika hukum
masyarakat.47
47
Mughits, Kritik Nalar…., hal. 79-81.
39
Jadi secara berurutan, Imam Syafi‟i dalam beristinbat hukum yang dipakai
dasarnya adalah:
1. Al-Quran
2. As-Sunnah
3. Ijma‟
4. Qiyas
5. Istidlal (Istishab)48
b.
Pola Pemikiran Serta Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya
Imam Syafi’i
Imam Syafi‟i adalah termasuk dari “Ahlul Hadîst”, beliau juga termasuk
imam “Rihlah fi Talab al-Fiqh”, pernah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada
Imam Malik dan ke Iraq untuk menuntut ilmu juga kepada Muhammad bin Al-Hasan,
yaitu salah seorang murid Imam Abu Hanifah, karena itu Imam Syafi‟i digolongkan
sebagai seorang yang beraliran “Ahlul-Hadîst” namun pengetahuannya tentang fiqh
“Ahlu al-Ra‟yi” tentu akan mempengaruhi kepada pola pikir dan metodenya dalam
menetapkan sebuah hukum.
Di lain itu, pengetahuan Imam Syafi‟i tentang masalah sosial kemasyarakatan
sangat luas. Beliau menyaksikan secara langsung kehidupan masyarakat pedalaman
48
Ali Hasan, Perbandingan…., hal. 211-212
40
(Baduwi) dan menyaksikan pula kehidupan masyarakat yang sudah maju
peradabannya pada tingkat awal di Iraq dan Yaman.
Beliau juga telah menyaksikan kehidupan orang zuhud dan ahlu al-hadîts.
Pengetahuan Imam Syafi‟i dalam bidang ekonomi memberikan bekal baginya dalam
ijtihadnya pada masalah hukum muamalah dan hukum-hukum yang beraneka ragam,
dan tentu ini juga yang dapat mempengaruhi terhadap pola pikir dalam madzhabnya.
Menurut Musthafa Al-Siba‟iy, bahwa Imam Syafi‟ilah yang pertama kali
meletakkan dasar pertama kaidah periwayatan hadis, dan beliau pula yang
mempertahankan sunnah melebihi gurunya, yaitu Imam Malik . dalam bidang hadis,
Imam Syafi‟i berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
Berkembangnya madzhab Syafi‟i ialah pada mulanya di Mesir dan mendapat
pengikut yang besar di sana. Imam Syafi‟i ketika datang ke Mesir pada umumnya
pengikut madzhab |Hanafi dan madzhab Maliki. Kemudian setelah beliau
membukukan kitabnya “Al-Jadîd” dan mengajarkannya di masjid Amr bin Ash,
maka mulailah berkembang madzhab beliau di Mesir, lebih-lebih kala itu orang yang
menerima pelajaran dari Imam Syafi‟i banyak dari ulama dan cendekiawan di Mesir
dan berpengaruh disana. Maka dengan demikian halnya, berkembanglah aliran
madzhab Imam Syafi‟i dengan pesat dan cepatnya.
Kemudian berkembang pula di Iraq dan dapat kemajuan di Baghdad. Lalu
Khurrasan, Pakistan, Tauran, Syam, Yaman, lalu menerobos masuk di daerah-daerah
41
sungai Saihun dan Jaihun, Persia, Hijaz, India dan sebagian daerah-daerah Afrika dan
Andalusia setelah tahun 300 Hijriyah.
Dari itu, dapat dikatakan sampai saat ini madzhab Syafi‟i adalah madzhab
mayoritas yang banyak diikuti oleh penduduk dunia. Penyebaran dan perkembangan
madzhab Syafi‟i ini tidak terlepas dari usaha para sahabat dan murid-murid beliau.49
C. Konsep Maslahah dan Mafsadah
Dalam kajian ilmu Ushul Fiqh, pembahasan tentang Maslahah dan Mafsadah ini
disebutkan dengan istilah Al-Maslahah Al-Mursalah, sedangkan pembahasan
Mafsadah disebut dengan istilah sebaliknya dari Al-Maslahah Al-Mursalah.
a. Pengertian Maslahah
Maslahah Mursalah (kesejahteraan umum) yakni yang dimutlakkan,
(maslahah bersifat umum) menurut istilah Ulama Ushul yaitu, maslahah dimana
syari‟ tidak mensyariatkan hukum untuk mewujudkan maslahah itu, yang tidak ada
dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pematalannya. Maslahah itu disebut
mutlak karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan.50
Jumhur ulama berpendapat, bahwasannya Maslahah Mursalah adalah hujjah
syar‟iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian
49
50
Moenawar, Biografi…, h.246-248.
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 8, hal. 123.
42
yang tidak hukumnya dalam nash atau ijma‟ atau qiyas ataupun istihsan, disyari‟atkan
pada hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum
tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti
pengakuan dari syari‟.
Dalil mereka atas kehujjahan mashlahah mursalah ini ada dua hal, yaitu:
1. Bahwasannya kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habishabisnya.
2. Bahwasannya orang yang meneliti pembentukan hukum oleh para sahabat,
tabi‟in dan para imam mujtahid. Maka ia akan merasa jelas bahwasannya
mereka
telah
mensyariatkan
berbagai
hukum
untuk
merealisir
kemaslahatan umum ini, bukan karena adanya dalil yang mengakuinya.51
Menurut pandangan madzhab Hanafi dan Syafi‟i, maslahah mursalah
sebenarnya merupakan kemaslahatan yang diragukan dan tidak dapat dijadikan
hujjah, mereka menjelaskan bahwa semua kemaslahatan sudah dijelaskan oleh nash
baik yang diterima maupun yang ditolak, jika berusaha mencari kemaslahatan selain
ketentuan nash. Menurut madzhab Zahiri yang sejalan dengan pendapat madzhab
Hanafi dan Syafi‟i bahwa maslahat yang mereka terima adalah maslahat yang
disebutkan dengan nash secara jelas dan mereka menolak jika tidak ditunjukkan oleh
nash. Oleh karena itu mereka menolak Maslahah Mursalah, sebab tidak dijelaskan
51
117-118.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra Group, 1994), cet. 1, hal.
43
oleh nash. Bahkan penggunaan Maslahah Mursalah bisa menimbulakan kerusakan,
karena berdasarkan akal semata. Akan tetapi, Imam Syafi‟i sendiri adan sebagian
pengikut Imam Abu Hanifah serta Ibnu Taimiyah, kesemuanya berpegang dan
berhujjah dengan Maslahah Mursalah serta menyatakan sebagai dalil hukum
sepanjang ia termasuk hal yang dituntut oleh syari‟ untuk dipelihara.52
Namun setelah dicermati kedua madzhab tersebut sebenarnya tidak
sepenuhnya menolak Maslahah Mursalah, artinya meraka menekankan jika Maslahah
Mursalah memang dapat dikategorikan sebagai kemaslahatan yang dikehendaki oleh
syari‟ untuk dipelihara, bukan berdasarkan hawa nafsu dan akal semata, maka ia
dapat diterima. Kedua madzhab tersebut nampaknya menekankan pada kehati-hatian
dalam menggunakan Maslahah Mursalah.53
52
Jalâluddîn Abdurrahmân, Al-Masalih Al-Mursalah wa Makânatuhâ Fi at-Tasyrî‟, (Mesir:
Matba‟ah al-Sa‟adah), cet. 1, hal. 57-58.
53
170-171.
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), cet. 1, hal.
44
BAB IV
PENDAPAT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI’I TENTANG
KELUARGA BERENCANA
A. Pengertian Al-’Azl
Al-‟azl berasal dari akar kata ‫عََزال‬-َ‫يَعََزل‬-َ‫ عََزل‬berarti َ‫( اَلَفَصَل‬pengisolasian) atau
َ‫( ال َْمَنَعَ َعَنَ َ َالعَمَل‬melepas/meninggalkan perbuatan). Lebih detail lagi al-‟azl
diterjemahkan dengan:
54
‫عزل المجامع من المرأة قارب الن زال ف ن زع وأمن َارج الفرج‬
”Seorang suami yang melepaskan diri dari isterinya ketika hendak ejakulasi,
mencabut penis dari vagina dan berejakulasi di luar vagina”.
Dalam perkembangannya, kini al-‟azl dikenal dengan coitus interuptus,
senggama terputus, yaitu melakukan ejakulasi di luar vagina sehingga sperma tidak
bertemu dengan indung telur isteri. Dengan demikian memungkinkan tidak terjadinya
kehamilan karena indung telur tidak dapat dibuahi oleh sperma suami.55
54
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet.
14, h. 927.
55
Chuzaimah T Yanggo dan Hafidz Anshary AZ (ed), Keluarga Berencana Menurut
Tinjuauan Hukum Islam dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1996), cet. 2, h. 145.
45
Abdul Qodir Djaelani memberikan pengertian bahwa al-‟azl adalah apabila
senggama sedang dilakukan tatkala orgasme telah sampai pada titik puncaknya dan
sperma akan keluar, suami cepat-cepat menarik penisnya dari vagina isteri agar
sperma itu keluar di luar vagina. Tujuannya agar tidak terjadi pembuahan.56
Abu Laits as-Samarqand, dalam kitab Bustân al-‟Ârifîn mengatakan bahwa al‟azl adalah seorang suami yang menyetubuhi isterinya, kemudian menarik penisnya
sebelum ejakulasi karena takut terjadi hamil.57
Ibn al-Mundzir dalam kitab Lisân al-‟Arab mendefinisikan al-‟azl dengan
mencabut zakar dari vagina isteri karena khawatir terjadi kehamilan. Al-‟azl
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pertemuan sperma dengan sel telur
sehingga pembuahan pada rahim tidak terjadi.58
Keterangan al-‟azl ini dapat kita peroleh dari beberapa hadis Nabi Muhammad
SAW, yang salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dari Jabir r.a. berkata:
”Kami melakukan al-‟azl (coitus interuptus) di masa Rasulullah SAW. Sedangkan
ketika itu al-Qur‟an masih turun”.59 Dalam hadis yang lain diterangkan bahwa
seseorang pernah mendatangi Rasullah SAW dan berkata: ”Kami melakukan al-‟azl,
56
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995) cet. 1, h. 188.
57
Abû Laits as-Samarqand, Nasr bin Muhammad, Bustân al-„Ârifîn, (Beirut: Dâr al-Fikr,
1989), cet. 1, h. 359.
58
59
Ibn al-Mundzîr, Lisân al-„Arab, (Beirut: Dâr as-Sadar, 1994), jilid 2, cet. 3, h. 440-441.
A. Razak dan Rais Latif, Terjemah Hadis Shahih Muslim, (Jakarta: al-Husna, 1980), jilid 2,
cet. 1, h. 190.
46
tetapi kami mempunyai tetangga Yahudi yang mengatakan bahwa perbuatan tersebut
merupakan pembunuhan bayi”. ”Mereka berbohong” jawab Rasulullah. ”Tindakan itu
bukanlah pembunuhan bayi. Engkau boleh melakukannya, tetapi jika Allah SWT.
menghendaki lahirnya seorang bayi, ia akan lahir”. Setelah beberapa waktu orang
tersebut melaporkan bahwa isterinya melahirkan, Rasulullah bersabda: ”Bukankah
aku pernah mengatakan jika Allah SWT. menghendaki lahirnya seorang bayi, maka ia
akan lahir”.60
Kedua hadis di atas, menunjukkan bahwa perbuatan al-‟azl yang dilakukan
sebagai upaya menghindari kehamilan dapat dibenarkan karena Nabi sendiri tidak
melarang sahabat-sahabatnya melakukan al-‟azl. Andaikata al-‟azl dilarang, pasti
ditegaskan dalam ayat-ayat al-Qur‟an yang masih turun pada waktu itu atau
ditegaskan oleh Nabi sendiri. Nabi SAW. hanya menegaskan bahwa al-‟azl hanya
sekedar ikhtiar manusia untuk menghindari kehamilan, sedangkan kepastiannya
berada di tangan Tuhan.
Secara esensial dan sarîh, kedua hadis inilah yang dapat dijadikan dasar
hukum (nas)
tentang diperbolehkannya al-‟azl menurut hukum Islam, sekaligus
untuk menganalogikan penggunaan alat kontrasepsi seperti kondom dan sejenisnya.
60
Jaziar Radianti (Pentj), Etika Pengobatan Islam : Penjelajahan Seorang Neomoderns,
(Bandung: Mizan, 1999), cet. 1, h. 154.
47
B.
Keluarga Berencana Dalam Pandangan Madzhab Hanafi dan Madzhab
Syafi’i
a. Pandangan Imam Hanafi dan Madzhabnya
Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad asy-
Syaibani mengizinkan melakukan al-„azl dengan catatan ada persetujuan dari
isterinya.61
Ulama modern madzhab Hanafiyah berpendapat tentang kebolehan al-„azl
tanpa harus izin dari isterinya sebab terdapat suatu alasan (udzur), semisal mereka
(suami dan isteri) sedang ada di perjalanan jauh, berada di kawasan perang yang
mengakibatkan khawatir akan anak jika isteri melahirkan, atau sebab buruknya
perilaku isteri yang kemudian akan melangsungkan perceraian dan khawatir jika ia
hamil.62
At-Tahâwî (m. 933 M.) berpendapat bahwa melakukan al-„azl tidak dilarang.
Ketika mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang hal itu, beliau tidak
melarangnya.63 Sedangkan menurut Al-Kasânî (m.1197 M.) melakukan al-„azl tanpa
61
Abû al-Mu‟ayyis Muhammad ibn Mahmûd al-Khawârizmî, al- Jâmi Masânid al-Imâm al„Azham (Beirut Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, tt.), jilid 2, h. 118-119.
62
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), cet. 3,
63
Abû Ja‟far at-Tahawi, Musykil al-„Atsâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995), jilid 3,
h. 108.
h. 34-35.
48
ada persetujuan dari isteri “tidak disukai” atau makruh hukumnya. 64 Ia menerangkan
bahwa ejakulasi adalah jalan untuk mendapatkan anak dan ini adalah hak isteri;
sedangkan melakukan al-„azl dapat merebut haknya itu. Namun jika si isteri
memberikan persetujuan, barulah al-„azl diperbolehkan (tidak makruh).65
Begitu juga menurut pendapatnya Al-Marghînanî (m. 1197 M.) berpendapat
bahwa melakukan al-„azl diperbolehkan dengan catatan ada persetujuan dari
isterinya.66 Lalu kemudian Al-Bâberti menguatkan pendapat Al- Marghînanî tentang
harus ada izin dari si isteri terlebih dahulu. Ia mengingatkan bahwa Ibnu Mas‟ûd
pernah ditanyai tentang hal ini dan ia jawab, “Tidak ada salahnya dengan itu”.
Al-Kamâl ibn al-Humam (m.1457 M.), dalam kitabnya Syarkh Fath al-Qadîr,
menyatakan bahwa al-„azl diizinkan oleh mayoritas ulama („âmmat al-„ulamâ).67
Setelah menjelaskan sikap mayoritas ulama tentang perlunya persetujuan isteri dalam
al-„azl, ia menambahkan bahwa persetujuannya dapat diabaikan dalam kondisi dan
realitas kehidupan yang buruk atau di saat terdapat sebuah kekhawatiran akan
64
Adapun dalam madzhab Hanafi, pengertian makruh itu lebih dekat kepada larangan, yakni
makruh tahrim.
65
„Alâ‟uddin Abî Bakar bin Mas‟ûd al-Kasâni al-Hanafi, al-Badâ‟i as-Sanâ‟i fi Tartîb alSyar‟î, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), jilid 2, h. 234, 335.
66
67
Al-Marghînanî, Hidâyah al-Muhtadî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1965), jilid 2, h. 494-495.
Al-Kamâl ibn al-Humam, Syarh Fathul Qadîr „Alâ al-Hidâyah Syarh Bidâyah al-Mubtadi‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1972), jilid 2, h. 494.
49
melahirkan anak yang nakal dan lain sebagainya yang cenderung mengandung
kemafsadatan terhadap kedua pasangan dan keturunannya.68
Salah satu ulama madzhab Hanafiyah, yaitu Ibn Nujaim (m.1562 M.)
mengukuhkan bahwa pendapat ulama yang benar adalah bolehnya al-„azl dengan
adanya persetujuan dari isteri. Ia mendukuung ketetapan bahwa persetujuan isteri
dapat diabaikan dalam masa-masa yang tidak baik. Bahkan menurutnya wanita juga
boleh menutup rahimnya sebagaimana praktek-praktek yang dilakukan dalam masa
Ibn Nujaim dan ia menganggap praktek itu diperbolehkan dengan catatan ada
persetujuan dari suaminya. Tulisannya merupakan rujukan pertama tentang
penggunaan pessary (alat pencagah kehamilan yang dimasukkan ke dalam farji,
semacam spiral) di masa dini.69
Begitu juga menurut pendapat Ibn Abidîn (abad ke-19) persetujuan dari isteri
dapat diabaikan bilamana ada dalam masa-masa yang tidak mendukung, termasuk
bilamana pasangan pasangan itu sedang melakukan perjalanan yang meletihkan dan
panjang. Ia juga merujuk pada prinsip “Taghayyur al-Ahkâm bi Taghayyur alAzminah (berubahnya hukum dengan sebab berubahnya waktu)”.70
311.
68
Ibid, h. 495.
69
Ibn Nujaim, al-Bahr ar-Râ‟iq, (Beirut: Dâr al- Kutub, 1995), Jilid III, h. 214-215.
70
Muhammad Amîn Ibn Abidîn, Hasyiyah Radd al-Mukhtâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1966), h.
50
Syekh „Abd al-Majîd Sâlim seorang Mufti Besar Mesir akhirnya
mengeluarkan fatwa di tahun 1937 dengan meringkaskan hukum dari madzhab
Hanafi. Beliau mengukuhkan bahwa penggunaan al-‟azl atau tindakan lain guna
mencegah kehamilan diizinkan dengan adanya persetujuan dari isterinya. Namun
persetujuan ini dapat diabaikan pada saat-saat kerusakan agama, untuk mengelakkan
dari lahirnya anak yang nakal.
b. Pandangan Imam Syafi’i dan Madzhabnya
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa al-‟azl diperbolehkan dengan bebas tanpa
perlu izin dari isterinya. Argumen beliau bahwa si isteri mempunyai hak dalam
berhubungan intim, namun tidak berhak akan ejakulasi, walaupun hal yang demikian
ini banyak para Fuqaha‟ yang menentangnya yang menetapkan perlunya persetujuan
dari isteri, dan beberapa diantaranya yang sama sekali tidak mengizinkan al-‟azl.71
Imam Syafi‟i mendapatkan suatu rujukan dalam al-Qur‟an tentang masalah
besarnya jumlah keluarga. Yakni, yang terdapat dalam surat an-Nisa‟ yang
memerintahkan kaum Muslimin yang tidak dapat berlaku adil dengan isteri-isterinya
untuk puas dengan satu isteri saja. Kebanyakan mufassir mengartikannya bahwa
merasa puas dengan satu isteri merupakan suatu jalan untuk mengelakkan
ketidakadilan. Akan tetapi Imam Syafi‟i yang ahli bahasa Arab menyimpulkan bahwa
ayat:
71
„Umran, Islam…, h. 189.
51
      
....
Artinya:
” Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS.
An-Nisa:3)
mengandung makna yang lebih jauh. Beliau mengartikan, “agar supaya Anda tidak
mengandung terlalu banyak anak.” Diriwayatkan oleh Ibn al-Qayyim dalam bukunya
tentang anak yang baru lahir,72 bahwa Imam Syafi‟i menjelaskan sebagaimana
berikut:
.‫ أي ل تكث رعيالكم‬:‫ " بقولو‬   " :‫فسرالمام الشافعى ق ولو ت عاىل‬
.‫وىذا القول من المام يدل على أن قلة العيال أوىل‬
“Imam Syafi‟i menafsirkan firman Allah SWT. : ‫ ذانِك أ ْدنى أال تعوْ نوْ ا‬dengan:
”Janganlah Anda memperbanyak jumlah anggota keluargamu”. Penafsiran
Imam Syafi‟i tersebut menunjukkan bahwa tidak memperbanyak jumlah
anggota keluarga itu lebih utama.73
Imam Syafi‟i yang menjadi pendiri madzhab Syafi‟iah berpandangan liberal
tentang masalah perencanaan keluarga. Ibn al-Qayyim mengutipnya yang
mengatakan ”Kami melaporkan tentang beberapa sahabat Nabi bahwa mereka
mengizinkan al-‟azl dan tidak memandangnya salah. Imam Syafi‟i juga terkenal
72
As-Syafi‟i diambil dalam bukunya Ibn al-Qayyim, Tuhfat, h. 8.
73
‘Umran, Islam…, h. 124.
52
karena keterangan tentang frasa ‫ ذانِك أ ْدنى أال تعوْ نوْ ا‬pada ayat 3 surat an-Nisa diatas
mengenai satu ketimbang empat isteri , beliau mengartikannya berbeda, yakni ”Kamu
tidak akan mempunyai anak-anak yang berlipat ganda”.
Al-Fairuzabadî asy-Syîrazî (m. 1083 M.), adalah salah seorang ahli fiqh dini
yang menyeberang dan mengambil sikap atas pendapat jumhur ulama yang
mengizinkan al-‟azl hanya bila disetujui oleh isteri. Ia melanjutkan. ”Dalam kasus
isteri merdeka, apabila dengan persetujuannya, makan diizinkan dan apabila tidak,
satu pendapat (qîla) tetap mengizinkannya al-‟azl, sebab isteri berhak akan hubungan
seksual tetapi tidak ejakulasi. Pendapat yang kedua (qîla) tidak mengizinkan al-‟azl ,
karena hal itu adalah cara pencegah keturunan.” Namun beliau sendiri tidak
menentukan mana dari keduanya yang benar.74
Adapun melakukan al-„azl karena takut akan lahirnya anak itu hukumnya
makruh sekalipun ada izin dari isterinya, baik isterinya wanita merdeka atau budak
karena itu adalah jalan akan terputusnya keturunan. Sedangkan yang telah maklum
hukum melakukan al-„azl adalah makruh.
Al-Ghazâli memberikan tafsiran yang detail tentang al-‟azl untuk yang
pertama kalinya. Para pemikir masa kini mendapatkan di dalamnya segala unsur tesis
modern tentang subyek ini.
74
Al-Fairuzzabadî Asy-Syîrazî, al-Muhadzdzab,(Mesir: Zahanâ „Alî Yûsuf, tt.), Jilid 2, h. 66.
53
Keterangan ini dimulai dengan suatu tujuan pada perbagai pendapat tentang
al-‟azl. Ia menyimpulkan bahwa pandangan yang sahîh adalah halalnya al-‟azl secara
bebas. Tandasnya lagi, al-‟azl bukanlah merupakan suatu pembunuhan dan tidak
seperti aborsi atau pembunuhan anak, dimana terdapat kejahatan terhadap janin yang
telah berbentuk atau anak yang telah lahir.75 Ia kemudian menyangkali pendapatpendapat orang yang tidak memperbolahkan al-‟azl secara mutlak, termasuk orangorang yang mengutip pada hadis Judâmah yaitu:
‫عن جدامة بنت وىب أَت ع َّكاشة قالت حضرت رسول اللَّو صلَّى اللَّو عليو‬
‫الروم وفارس‬
ُّ ‫وسلَّم ف أناس وىو ي قول لقد َهمت أن أن هى عن الغيلة ف نظرت ف‬
‫فإذا ىم يغيلون أولدىم فل يضُّر أولدىم ذلك شيئًا ثَّ سألوه عن العزل ف قال‬
.)‫ ( رواه مسلم‬.‫رسول اللَّو صلَّى اللَّو عليو وسلَّم ذلك الوأد اْلف ُّي‬
76
Artinya:
“Dari Judamah binti Wahb al-Asadiyah (saudara perempuan „Ukasyah) yang
berkata, “Saya bersama-sama orang-orang lain mendengarkan pembicaraan
Nabi. Saat itu beliau bersabda: “ Saya hampir melarang al-ghailah, tetapi
kemudian saya mempertimbangkan orang Roma dan Persia, dan
mendapatkan bahwa perempuan-perempuan mereka biasa menyusui anakanak mereka dalam keadaan hamil tanpa akibat buruk”. Kemudian mereka
bertanya kepada Nabi tentang al-„azl, lalu beliau bersabda: “Al-„Azl itu
adalah pembunuhan anak secara tersembunyi (al-wa‟d al-khafî)”
(HR.Muslim).
75
Abû Hamîd Al-Ghazâli, Ihya „Ulumuddîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1975), jilid 2, h. 53-54.
76
Muslim, Sahîh…, jilid 7, h.324.
54
kemudian ia mengemukakan salah satu hadis yang relevan dari sahabat Jabîr r.a.
tentang diperbolehkannya al-‟azl, sebagaimana berikut:
‫َّب صلَّى اللَّو عليو وسلَّم‬
‫عن عمرو عن عطاء عن جابر قال كنَّا ن عزل على عهد الن ي‬
77
.‫والقرآن ي نزل‬
)‫ ولو كان شيئًا ي ن هى عنو لن هانا القرأن‬:‫(زادسفيان راوى اْلديث‬
Artinya:
"Dari „Amr dari „Atha‟ dari Jabir berkata, kami melakukan al-„azl pada masa
Rasulullah, padahal pada waktu itu al-Qur‟an sedang turun” (HR. Bukhari).
(Sufyan yang juga perawi hadis menambahkan “Andaikata al-„azl itu
dilarang, maka al-Qur‟an yang sedang turun itu memberikan larangan”).
Al-Ghazâli mengizinkan al-„azl demi alasan kesehatan dan ekonomi, dan
bahkan untuk memelihara tubuh dan kecantikan wanita demi melanggengkan
kesenangan suaminya (yang absah). Ia mengemukakan bahwa anak yang lebih sedikit
akan menghindarkan pada kemudlaratan yang imbasnya adalah dapat meningkatkan
pada ketakwaan (Qillatul haraj Mu‟înun „alâ-dîn). Ia tidak mendapatkan alasan untuk
melarang al-„azl atau untuk membatasi pelaksanaannya dengan berbagai persyaratan,
dengan mengajukan argumen bahwa apabila mengelakkan perkawinan tidak dilarang
maka menjauhi kehamilan pun juga tidak dilarang.78
77
Bukhârî, Sahîh…, jilid 16, h. 220.
78
„Umran, Islam…, h. 191.
55
Dalam mendukung sangkalan al-Ghazâlî terhadap hadis Judamah diatas,
Imâm az-Zabadî yang hidup hampir tujuh abad kemudian dari masa al-Ghazâlî,
memberikan kutipan-kutipan tambahan dari sunah dan dari penelitian ulama lain
sejak masa al-Ghazali. Ia menyimpulkan bahwa tidak ada dasar untuk menyamakan
al-„azl dengan wa‟ad al-khâfî (pembunuhan sembunyi-sembunyi). Ia juga
mengomentari hadis Judamah dengan menerangkan bahwa redaksinya menunjukkan
bahwa al-„azl dipraktekkan di zaman Nabi dan dengan adanya persetujuan beliau.
Kemudian hal ini terus dilakukan oleh generasi sahabat dan tabi‟in.79
Al-Hâfidz al-„Irâqi (m. abad ke-15 M.), bekerjasama dengan ayahnya, „Abdul
Rahmân ibn al-Husain al-„Irâqi, membuat kasus singkat dalam Tarh at-Tatsrib untuk
al-„azl. Mereka meninjau dua pendapat Syafi‟i mengenai wanita merdeka, yakni
apabila ia setuju maka al-„azl diperbolehkan, dan apabila ia tidak setuju maka
menurut pendapat al-Ghazâli, ar-Rafi‟i, dan an-Nawawi ialah halalnya. Tiga ulama
madzhab Syafi‟i yang tidak mengizinkan al-„azl adalah: Ibn Habbân, Ibn Yûnus, dan
Ibn „Abd as-Salâm. Sedangkan kedua „Iraqi (al-Hâfidz dan „Abdul Rahmân) tidak
sependapat dan secara khusus menolak pendapat Ibn Hibbân yang mendasarkan
pendapatnya pada hadis Judâmah. Bahkan keduanya menyatakan bahwa dalam
madzhab mereka (madzhab Syafi‟i) mengizinkan al-„azl dengan bebas tanpa
tergantung pada persetujuan dari isteri.80
79
Muhammad ibn Muhammad al-Husainî az-Zabidî, Itâf as-Sâdat al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ‟
„Ulûmuddîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1989), jilid 5, h. 59.
80
Al-„Irâqi, Tarh at-Tastrîb, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), jilid 10, h. 59-63.
56
Ibn Hajar al-„Asqalâni (m. 1449 M.), dalam kitabnya Fath al-Bâri, suatu
syarah atas kitab Sahîh al-Bukharî, menjelaskan bahwa al-„azl diizinkan. Dalam
meninjau karya-karya ulama lain, baik dalam madzhab Syafi‟i atau madzhab lain,
beliau mencatat syarat persetujuan isteri dalam madzhab-madzhab lain. Namun dalam
madzhab Syafi‟i termasuk ulama Muta‟akhkhirun (ulama belakangan), percaya
bahwa si wanita mempunyai hak atas hubungan seksual, namun tidak punya hak atas
ejakulasi. Oleh karena itu, al-„azl diizinkan sekalipun tanpa persetujuan dari isteri.
Menurut Ibn Hajar, jalan yang sahîh adalah halalnya al-„azl tanpa adanya persetujuan
dari isterinya.81
Begitu juga asy-Sya‟rani (m. 1565 M.) dalam kitabnya al-Mîzan menerangkan
akan kebolehan al-„azl tanpa perlu adanya persetujuan isteri, diterangkan oleh
kenyataan bahwa kita tidak tahu apakah Allah SWT. akan menciptakan suatu
makhluk dari sperma itu. Kemungkinan sperma itu tumpah atau jika tidak,
kemungkinan mengendap. Maka dari situ asy-Sya‟rani sependapat dengan kebolehan
secara bebas seperti pendapat Imam Syafi‟i.82
Dalam kitab Irsyâd as-Sârî, suatu syarah lain dari kitab Sahîh Bukhârî, alQastallânî (m. 1517 M.) mengutip an-Nawâwî dalam menetapkan halalnya al-„azl
dengan karâhah tanzîhiyyah sambil merujuk, walaupun tidak mensyaratkan pada
81
Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bâri: Syarh Sahîh al-Imâm Abî „Abdillâh
Muhammad Ibn Ismâ‟il al-Bukhârî, (Kairo: al-Khairiyah, tt), h. 244-249.
82
125.
Abd al-Wahhâb Asy-Sya‟rani, Kitâb al-Mîzân, (Beirut: Alâm al-Kutub, 1989), jilid 2, h.
57
persetujuan isteri. Dalam pandangannya, al-„azl membantu menjamin bahwa jumlah
anak dapat ditanggung secara ekonomi.83 Lalu kemudian pendapat inilah yang
dijadikan banyak rujukan atas keabsahan penggunaan kontrasepsi untuk membatasi
jumlah anak demi alasan ekonomi.
C.
Persamaan dan Perbedaan Pendapat Madzhab Hanafi dengan Madzhab
Syafi’i mengenai KB
Apabila dilihat dari pendapat-pendapat ulama madzhab Hanafi dan madzhab
Syafi‟i tentang permasalahan Keluarga Berencana sebagai metode kontrasepsi dalam
sebuah hubungan suami isteri diatas, serta penggunaan metode kontrasepsi klasik (al„azl) yang menjadi embrio bermunculannya metode kontrasepsi modern, maka dapat
ditemukan antara lain tentang persamaan dan perbedaan daripada pendapat-pendapat
mereka sebagaimana berikut:
a. Ketentuan-ketentuan pendapat madzhab Hanafi tentang al-„azl:
Madzhab Hanafi yang kemudian dijelaskan oleh Imam Hanafi sendiri dan
para pengikutnya tentang metode al-„azl adalah sebagaimana berikut:
1) Al-„azl merupakan metode kontrasepsi klasik yang diperbolehkan dalam
Islam.
83
Syihâbuddîn Ahmad bin Muhammad al-Qastallâni, Irsyâd as-Sârî li Syarh Sahih alBukhâri, (Beirut Dâr al-Kitâb al-„Arâbi, 1984), jilid 8, h. 99-100.
58
2) Diperbolehkannya al-„azl harus mendapat persetujuan daripada isterinya
terlebih dahulu.84
3) Dalam keadaan-keadaan tertentu yang tidak mendukung untuk hamil
dan mempunyai anak, maka suami diperbolehkan al-„azl tanpa ada
persetujuan dari pada isterinya.85
4) Al-„azl yang merupakan metode klasik dapat dikembangkan menjadi
metode yang modern seperti dewasa ini, dengan catatan di gunakan
pada semestinya.
b. Ketentuan-ketentuan pendapat madzhab Syafi‟i tentang al-„azl:
Madzhab Syafi‟i yang kemudian dijelaskan oleh Imam Syafi‟i sendiri dan
para pengikutnya tentang metode al-„azl adalah sebagaimana berikut:
1) Al-„azl merupakan metode kontrasepsi klasik yang diperbolehkan dalam
Islam.
2) Al-‟azl bukanlah merupakan suatu pembunuhan (wa‟d) dan tidak seperti
aborsi.86
84
Al-Marghînanî, Hidâyah….., hal. 494-495.
85
Al-Kamâl, Syarh ......, hal. 494.
86
az-Zabidî, Itâf as-Sâdat……, hal. 59.
59
3) Tidak ada persyaratan persetujuan dari isterinya terlebih dahulu atas
kebolehan melakukan al-„azl dalam keadaan bagaimanapun.87
4) Dalam hal persetujuan dari isteri oleh suami dalam melakukan al-„azl,
pendapat ini lebih liberal dari pada pendapat yang dikemukakan oleh
madzhab Hanafi.88
5) Dalam melakukan persetubuhan, isteri mempunyai hak seksual, namun
tidak mempunyai hak dalam ejakulasi.89
6) Adapun melakukan al-„azl karena takut akan lahirnya anak itu
hukumnya makruh sekalipun ada izin dari isterinya.90
7) Al-„azl yang merupakan metode klasik dapat di kembangkan menjadi
metode yang modern seperti dewasa ini, dengan catatan digunakan pada
semestinya.
c. Perasamaan dan Perbedaannnya
Dalam kedua madzhab ini menjelaskan tentang hal yang menunjukkan adanya
kebolehan melaksanakan KB secara umum bahwa metode kotrasepsi klasik ini telah
87
Al-Ghazâli, Ihya….., hal. 53-54.
88
Umran, Islam…, hal. 124.
89
al-„Asqalânî, Fath al-Bâri……, hal. 249.
90
Asy-Syîrazî, al-Muhadzdzab,……hal. 66.
60
ditemukan juga pada masa Nabi Muhammad SAW. masih hidup, yang dilakukan oleh
para sahabatnya, padahal al-Quran masih deras-derasnya turun pada masa itu.
Setelah melihat perkembangan zaman yang semakin lama semakin
menunjukkan akan kecanggihannya, mayoritas ulama utamanya kedua madzhab
tersebut (madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‟i) tetap mempertahankan akan
kebolehan melakukan pencegahan kehamilan dengan menggunakan alat kotrasepsi
yang telah berkembang dewasa ini (alat kontrasepsi modern), begitu juga dengan
menggunakan alat kontrasepsi klasik yaitu al-„azl, dengan catatan penggunaannya
harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah di atur oleh syari‟at Islam.
Dengan melihat dari pendapat-pendapat kedua madzhab diatas, maka penulis
menemukan perbedaan-perbedaan yang jelas. Bahwasannya perbedaan yang jelas itu
dimana si isteri menurut pendapat mayoritas madzhab Syafi‟i termasuk pendapat
Imam Syafi‟i sendiri tidak mempunyai hak untuk melakukan ejakulasi dalam
persetubuhan yang berakibatnya si suami tidak harus dan tidak wajib meminta
persetujuan dari isterinya terlebih dahulu.91 Pendapat ini berbeda dengan pendapat
dalam madzhab Hanafi yang mewajibkan suami harus minta persetujuan terlebih
dahulu kepada isterinya untuk melakukan pencegahan kehamilan, sebab isterinya
juga menurut madzhab ini mempunyai hak dalam melakukan ejakulasi dalam suatu
persetubuhan.92
91
Al-Ghazâli, Ihya….., hal. 53-54.
61
Dalam madzhab Hanafi menjelaskan tentang si suami diperbolehkan
melakukan al-„azl dalam suatu persetubuhan tanpa harus meminta izin dari isterinya,
walaupun isterinya tidak mengizinkan apabila ditakutkan pada suatu hal tidak baik
yang akan terjadi. Maksudnya keadaan yang tidak baik ini seperti hal yang
dikemukakan oleh Al-Kamâl ibn al-Humam dalam Syarh Fathul Qadîr „Alâ alHidâyah Syarh Bidâyah al-Mubtadi‟ adalah kekhawatiran akan melahirkan anak yang
nakal dan lain sebagainya yang cenderung mengandung kemafsadatan terhadap kedua
pasangan dan keturunannya.93 Sedangkan menurut Wahbah az-Zuhaili dalam
kitabnya al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhu adalah semisal mereka (suami dan isteri)
sedang ada di perjalanan jauh, berada di kawasan perang yang mengakibatkan
khawatir akan anak jika isteri melahirkan, atau sebab buruknya perilaku isteri yang
kemudian akan melangsungkan perceraian dan khawatir jika ia hamil dan juga
berbagai alasan yang lain.94 Pendapat ini tentunya berbeda dengan pendapat dalam
madzhab Syafi‟i yang membolehkan al-„azl secara mutlak.
D. Analisa Penulis
Setelah penulis sebutkan beberapa pendapat-pendapat dari beberapa sumber
keterangan permasalah KB oleh kedua madzhab diatas (Hanafiah dan Syafi‟iah) dan
92
Al-Marghînanî, Hidâyah….., hal. 494-495.
93
Al-Kamâl, Syarh Fathul Qadîr……., hal. 495.
94
az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm….., hal. 108.
62
lainnya, begitu juga setelah penulis mempertimbangkan beberapa hal yang berkaitan
dengan masalah ini, maka dapat di analisa tentang ketentuan hukum dan ada empat
hal pokok yang menjadi pertimbangan masing-masing individu dalam melaksanakan
KB, sebagaimana berikut:
1. Segi ekonomi. Suami isteri hendaknya mempertimbangkan mengenai
pendapatan dan pengeluaran dalam rumah tangga.
2. Segi sosial. Suai isteri hendaknya dapat memikirkan mengenai pendidikan
anak, kesehatan keluarga, perumahan dan keperluan rekreasi untuk keluarga.
3. Segi lingkungan. Biasanya jika penduduk banyak, sedangkan sarana tidak
memadai, maka akan terjadi kerusakan lingkungan, seperti numpuknya
sampah, banyaknya limbah yang kotor, sarana air yang tidak bersih dan lainlainnya. Hal ini memang tidak hanya tertuju kepada satu keluarga saja, tetapi
berlaku umum, dan menyangkut dengan kepadatan penduduk.
4. Segi kehidupan beragama. Ketentuan hidup beragama dalam satu keluarga,
banyak faktor penentuannya, seperti faktor ekonomi, sosial, lingkungan
tempat tinggal, dan kemampuan ilmu yang dimiliki suami isteri dalam
mendidik anak dan keharmonisan antara semua keluarga.
5. Dalam hal ini, penulis lebih setuju dengan pendapat yang dikemukakan dalam
madzhab Hanafi tentang penggunaan alat kontrasepsi termasuk al-„azl ketika
hendak melakukan persetubuhan, bahwasannya suami harus mendapatkan izin
dari isterinya terlebih dahulu dan juga sebaliknya, demi tercapainya harapan
63
yang harmonis dalam sebuah keluarga dan demi kebaikan masa depan
keturunan yang menjadi buah daripada pernikahan mereka.
Mengenai program KB, jika program ini dimaksudkan untuk membatasi
kelahiran, maka hukumnya tidak boleh. Karena Islam tidak mengenal pembatasan
kelahiran (tahdîd an-nasl). Bahkan, terdapat banyak hadis yang mendorong umat
Islam untuk memperbanyak anak. Misalnya: Tidak bolehnya membunuh anak apalagi
karena takut miskin (QS. al-Isra‟: 31), perintah menikahi perempuan yang subur dan
banyak anak, penjelasan yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW. berbangga di
Hari Kiamat dengan banyaknya pengikut beliau (HR. Nasa‟i, Abu Dâwûd, dan
Ahmad), dan sebagainya.
Akan tetapi yang diperbolehkan dalam Islam adalah pengaturan kelahiran
(tanzîm an-nasl). Hal ini didasarkan pada para sahabat yang melakukan al-„azal di
masa Nabi SAW., dan beliau tidak melarang hal tersebut. (HR. Bukhâri dan Muslim).
Dalam keadaan tertentu Islam tidak menghalangi pengaturan kelahiran dengan
cara pencegahan atau pengobatan. Semua dilakukan demi menjaga kesehatan badan,
pembentukan manusia yang berkualitas, kemaslahatan masyarakat, dan lain
sebagainya.95
Disamping itu, untuk membangkitkan semangat saling memadu keharmonisan
dan kasih sayang diantara anggota keluarga itu akan tercapai jika sebelumnya telah
95
Muhammad Sa‟îd Ramadân al-Bûti, Tahdîd al-Nasl, (Damaskus: Maktabah al-Farâbî,
1998), cet. 4, hal. 7.
64
dipikirkan dan direncanakan apa saja yang seharusnya diperlukan dalam membina
hubungan yang harmonis dalam keluarga. “Pasangan yang bijak adalah pasangan
yang merencanakan sebelumnya agar keluarga nantinya memiliki perbandingan
antara kuantitas dan kualitas secara seimbang untuk menuju keluarga yang sejahtera,”
65
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Menyimpulkan dari beberapa uraian diatas, bahwa tidak ada ayat Al-Qur‟an
dan Hadis Nabi SAW yang berbicara tegas tentang hukum ber-KB. Secara
subtansial KB tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, bahkan ia
merupakan salah satu bentuk implementasi semangat Islam dalam
mewujudkan sebuah kemaslahatan dan menolak kemafsadatan (Jalb alMasâlih wa Dar‟u al-Mafâsid).
2. Al-„azl bukanlah pembunuhan atau Wa‟d, hal itu tidak bertentangan dengan
taqdîr / tawakkal kepada Allah SWT dalam permasalahan rizeki. Perencanaan
keluarga tidak bertentangan dengan seruan hadis untuk memperbanyak jumlah
banyak anak, sebab sebenarnya Nabi SAW lebih bangga terhadap keluarga
yang memperhatikan hal kualitas keluarga daripada hal kuantitas dalam
keluarga.
3. Para sahabat, sesuai dengan hadis yang telah disebutkan di atas, mereka
pernah melakukan al-„azl tanpa adanya larangan dari Nabi SAW. Maka dari
situlah diindikasikan diperbolehkannya al-„azl. Kecuali hadis dari Judamah
yang itu pun masih dipermasalahkan akan keotentikan hadisnya oleh para
kritikus hadis. Asumsi ini menunjukkan bahwa al-„azl tidak dilarang sebagai
66
salah satu metode kontrasepsi dan al-„azl inilah yang kemudian menjadi
embrio bermunculannnya metode kontrasepsi modern.
4. Menurut Madzhab Hanafiah dan Syâfi‟iah, secara garis besar mereka
memperbolehkan al-„Azl (metode kontrasepsi klasik dalam ber-KB), dengan
syarat ada persetujuan isteri terlebih dahulu, walaupun Imam Syafi‟i sendiri
dan beberapa pengikutnya berpendapat tidak memerlukan syarat persetujuan
isteri dalam melakukan al-„azl.
5. Islam menyetujui semua metode kontrasepsi, asalkan aman, absah, dan
dinyatakan keamanannnya menurut medis. Ukurannya adalah tidak ada
mafsadah dalam menggunakannya, bahkan akan mendapatkan sebuah
kemaslahatan bagi keluarga tersebut dan Negara pada umumnya. Al-„azl
adalah metode yang ada di masa dini Islam, dan sekarang telah ada metode
pil, spiral, suntikan, dan metode-metode lain yang ditemukan oleh kedokteran
modern. Allah SWT. Maha Mengetahui atas kemaslahatan hamba-hambaNya.
6. Selain itu, KB merupakan hak suami isteri, dan bukan kewajiban. Tidak boleh
ada sebuah tekanan, lebih-lebih intimidasi dari pihak lain dalam ber-KB.
Suami isterilah yang berhak menentukan sikap mereka dalam ber-KB,
termasuk dalam mengatur jumlah anak (Tanzîm al-Nasl).
67
B.
Saran-saran
Setelah penulis memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan Keluarga
Berencana (KB), selanjutnya penulis akan memberikan saran-saran sebagaimana
berikut:
1. Kepada para ahli hukum Islam hendaknya mengadakan penelitian-penelitian
secara mendalam dan kontinyu tentang KB menurut masing-masing
madzhab/literatur selain Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi‟i dalam
memilih hukum yang sesuai dengan corak dan karakter demi kemaslahatan
bangsa Indonesia.
2. Hendaknya dalam memperhatikan dan menilai sesuatu itu harus dilandasi
dengan nilai-nilai spiritual, ilmu dan pemikiran yang lurus dan benar.
3. Menyediakan perancanaan keluarga dan pelayanan konsultasi tanpa paksa,
memberikan informasi secara luas mengenai metode-metode kontrasepsi yang
efektif dan aman yang tidak bertentangan dengan syari‟at Islam.
4. Begitu pentingnya permasalah KB ini untuk diketahui sehingga perlu adanya
kitab-kitab dan buku-buku lainnya, khususnya bagi pemerhati studi hukum.
Akan tetapi langkanya literatur yang tersedia, maka sebaiknya kepada para
pihak yang berwenang diharapkan melakukan pengadaan kitab-kitab dan
buku-buku lainnya untuk mempermudah proses pemahaman bagi para
mahasiswa dan masyarakat luas terhadap kitab-kitab fikih dan ilmu lainnya.
68
5. Kemudian yang tidak kalah pentingnya untuk direnungkan kemungkinan
dampak mafsadah yang akan timbul dari program KB itu. Sebagaimana
diketahui, bahwa setiap warga peserta KB menggunakan alat kontrasepsi (alat
pencegahan kehamilan). Apabila penjualan alat-alat tersebut tidak terkontrol
dan dapat dibeli di sembarangan tempat, maka ada kemungkinan akan
dipergunakan oleh para remaja (terutama) dan oleh orang-orang dewasa dalam
mengadakan hubungan seks. Keberanian dalam melakukan hubungan seks itu
lebih menonjol karena sudah ada penangkal untuk tidak hamil dan terhindar
dari penyakit AIDS dengan mempergunakan alat kontrasepsi tersebut.
Sebagai anak bangsa dan umat beragama, barangkali kita semua
sependapat, bahwa kesuksesan program KB tidak menginginkan ada dampak
lainnya yang merupakan hal negatif yang sukar diobati. Sukses di satu sektor
tetapi dampak buruk di sektor lain.
Oleh karena itu, diharapkan bahwa pelaksanaan KB harus dibarengi
dan berjalan seiring dengan program lainnya, seperti pembinaan mental
bangsa dan meningkatkan pendidikan agama, serta meningkatkan kesadaran
masyarakat dan bernegara. Kesemuanya itu memerlukan sarana yang tidak
sedikit, disamping sebuah kesadaran. Oleh karena itu adanya kordinasi perlu
ditingkatkan lagi dalam semua bidang yang terkait.
69
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an al-Karim.
Abbas, Sirojuddin. Tabaqât As-Syâfi‟iyah. Jakarta: PT. Pustaka Tarbiyah, 1975.
Abî Bakar, „Alâ‟uddin Abî Bakar bin Mas‟ûd al-Kasâni al-Hanafi. al-Badâ‟i as-Sanâ‟i fi
Tartîb al-Syar‟î. (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996.
Abidin, Slamet dan Aminudin, H. Fiqih Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Amin, Husain Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001.
Amîn, Muhammad, Ibn Abidîn. Hasyiyah Radd al-Mukhtâr. Beirut: Dâr al-Fikr,
1966.
Al-„Asqalânî, Ahmad bin „Alî bin Hajar. Fath al-Bâri: Syarh Sahîh al-Imâm Abî
„Abdillâh Muhammad Ibn Ismâ‟il al-Bukhârî. Kairo: al-Khairiyah, tt..
Bahan Pendidikan dan Kependudukan. Jakarta: DPPTAI, 1981.
BKKBN. Panduan Pelayanan KB Sektor Swasta.
Kependudukan, 1995.
Jakarta: Kantor Menteri
Al-Bûti, Muhammad Sa‟îd Ramadân, Tahdîd al-Nasl. Damaskus: Maktabah alFarâbî, 1998.
Chalil, Moenawar. Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab. Jakarta: Bulan
Bintang, 1989.
Dahlan, Abdul Aziz, at all. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru an
Hoeve, 1996.
70
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahli Sunnah dan Negara-negara Islam. Yogyakarta: Bulan Bintang, 1980.
Departemen Agama RI. Al-Jumânatul Al-„Aliyy, al-Qur‟an dam Terjemahnya.
Bandung: CV Penerbit J-ART, 2005.
Departemen P dan K. Kamus Besar Indonesi. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Depdikbud dan BKKBN. Pedoman Pendidikan Keluarga Berencana untuk Tutor dan
Sumber Belajar. Jakarta: t.p, 1987.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995.
Al-Ghazâli, Abû Hamîd. Ihya „Ulumuddîn. Beirut: Dâr al-Fikr, 1975.
Ghazali, M. Bahri, at all. Perbandingan Madzhab. Jakarta: PT. Pedoman Ilmu Jaya,
1992.
Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah Al-Hadîtsah: Pada Masalah-masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996.
-----------. Perbandingan Madzhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Al-Husaini, M. H. Al-Hamad. Riwayat Sembilan Imam Fiqh. Jakarta: Pustaka
Hidayat, 2000.
Ichsan, Ahmad. Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan
Ulasan secara Sosiologi Hukum. Jakarta: Pradia Paramita1986.
Al-„Irâqi. Tarh at-Tastrîb. Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh Muslimah. Jakarta: Pustaka Amani, 1995.
Al-Jazîri, „Abd Ar-Rahman. Kitâb al-Fiqh „Alâ Al-Madzâhib Al-Arba‟ah. Beirut: Dâr
al-Fikr, 1969.
71
Al-Kamâl, ibn al-Humam. Syarh Fathul Qadîr „Alâ al-Hidâyah Syarh Bidâyah alMubtadi‟. Beirut: Dâr al-Fikr, 1972.
Kantor Menteri Negara Kependudukan / Badan Kordinasi Keluarga Berencana
Nasional. 25 Tahun Gerakan Keluarga Berencana. Jakarta: Keluarga
Sejahtera.
Kauma, Fuad. Perjalanan Spiritual Empat Madzhab. Jakarta: Kalam Mulia, 1999.
Al-Khawârizmî, Abû al-Mu‟ayyis Muhammad ibn Mahmûd. al- Jâmi Masânid al-Imâm
al-„Azham. Beirut Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, tt..
Khudari, Muhammad, Bik. Târikh At-Tâsyri‟ Al-Islâmi. Mesir: At-Tijâriyat AlKubra, 1970.
Latif, H.S.M., Nasaruddin. Keluarga Berencana Ditinjau dai Sudut Agama Islam,
Dalam Pandangan Agama Terhadap KB. Panitia ADHOC KB, tt.
LKK-NU dan BKKBN. Pedoman Penerangan tentang Keluarga Berencana. Jakarta:
t.p, 1982.
Al-Makky, Muhammad Sultân. Hal Al-Muslim: Mulzam bi Al-Ittibâ‟ Madzhab AlMu‟în Min Madzhab Al-Arba‟ah. Mekkah: Jam‟iyyah Ihyâ, 1974.
Al-Maraghi, Abdullah Musthafa. Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah. Yogyakarta:
PT. LKPSM, 2001.
Al-Marghînanî. Hidâyah al-Muhtadî. Beirut: Dâr al-Fikr, 1965.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh : Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002.
----------. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003.
72
Munawwir, Ahmad Warson, al- Munawwir Qamus Arab Indonesia, Yogyakarta:
Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984.
Al-Mundzîr, Ibn. Lisân al-„Arab. Beirut: Dâr as-Sadar, 1994.
Mushthafa, Nasib. Manaqib Imam Syafi‟i. Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim,
2001.
Muzani, Syaiful, (ed). Islam Nasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution. Bandung: Mizan, 1995.
Nujaim, Ibn. al-Bahr ar-Râ‟iq. Beirut: Dâr al- Kutub, 1995.
Pusat Studi Wanita. Relasi Suami Isteri dalam Islam. Jakarta: PSW, 2004.
Al-Qardhawi, Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Era Intermedia, 1998.
Ahmad Syihâbuddîn bin Muhammad al-Qastallâni. Irsyâd as-Sârî li Syarh Sahih al-
Bukhâri. Beirut: Dâr al-Kitâb al-„Arâbi, 1984.
Radianti, Jaziar (Pentj). Etika Pengobatan Islam : Penjelajahan Seorang
Neomoderns. Bandung: Mizan, 1999.
Rahman, Bakri, A. dan Ahmadi Sukadja. Hukum Perkawinan Menurut Islam,
Undang- undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW. Jakarta: Hidakarya
Agung, 1981.
Ramayulis. Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga. Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
Ramli. Terjemahan Muqaranatul Madzahib fi Al-Ushul. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999.
Razak A. dan Rais Latif. Terjemah Hadis Shahih Muslim. Jakarta: al-Husna, 1980.
73
Rekomendasi Muktmar dan Keputusan Majlis Tarjih. Republika. Jakarta: 11 Juli
1995.
[
Saefudin, Didin. Zaman Keemasan Islam. Jakarta: PT Grasindo, 2002.
Sahli, Masfudli. Biologi Perkawinan tentang Syahwat, Jima‟, dan KB. Solo: CV.
Aneka, tt.
Salam, Muhiddi Abdus. Pola Pikir Imam Syafi‟i. Jakarta: Fikahati Aneka, 1995.
As-Samarqand, Abû Laits, Nasr bin Muhammad. Bustân al-„Ârifîn. Beirut: Dâr alFikr, 1989.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab dalam
Membina Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur‟an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan,2003.
Suhaimi, Mustafa. Imam Abu Hanifah. Jakarta: Progressive Products Supply, 1990.
Asy-Sya‟rani, Abd al-Wahhâb. Kitâb al-Mîzân. Beirut: Alâm al-Kutub, 1989.
Syarifuddin. Kamus Al-Mishbah. Jakarta: Bina Aksara, t.t.
Asy-Syarqawi, Abdurrahman. Riwayat Sembilan Imam Fiqh. Bandung: Pustaka
Hidayah, 2009.
Asy-Syîrazî, Al-Fairuzzabadî. al-Muhadzdzab. Mesir: Zahanâ „Alî Yûsuf, tt..
Asy-Syurbasi, Ahmad. Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab. Jakarta: Bumi
Aksara, 1991.
At-Tahawi, Abû Ja‟far. Musykil al-„Atsâr. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995.
74
Umran, Abd Al-Rahim. Islam dan KB. Jakarta: PT Lentera Basritama, 1997.
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan. Jakarta: PT.
Pradya Paramita.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqh Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2007.
Yakub, Aminuddin. KB dalam Polemik: Melacak Pesan Subtantif Islam. Jakarta:
PBB UIN, KAS, 2003.
\
Yanggo, Chuzaimah, T, dan Hafidz Anshary, AZ (ed). Keluarga Berencana Menurut
Tinjuauan Hukum Islam dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
----------. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta: Logos, 1997.
Az-Zabidî, Muhammad ibn Muhammad al-Husainî. Itâf as-Sâdat al-Muttaqîn bi Syarh
Ihya‟ „Ulûmuddîn. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1989.
Az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhu. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1989.
Zuhdi, Masfuk. Masâ‟il al-Fiqhiyah. Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990.
http://www.acehforum.or.id/keluarga-islam
http:/psikis.bkkbn.go.id/gemopria.articles.php
http://kbi.gemari.or.id/
http://zanikhan.multiply.com/journal/item/4674/._KELUARGA_BERENCANA_DA
LAM_ISLAM
Download