PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul PERTIMBANGAN MASLAHAH DAN MAFSADAH KELUARGA BERENCANA MENURUT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI’I, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Mei 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada juurusan Ahwal al-Syakhshiyah Program Studi Peradilan Agama. Jakarta, 14 Juni 2010 Mengesahkan Dekan, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP. 1955 0505 1982 03 10 12 PANITIA SIDANG MUNAQASYAH 1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 195003061976031001 (…………………..) 2. Sekretaris : Kamarusdiana, M.Ag., M.H NIP. 197202241998031 (….…………..……) 3. Pembimbing :Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM (……..…….) NIP. 1955 0505 1982 03 10 12 4. Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 195003061976031001 (.…..………………) 5. Penguji II : Hotnidah Nasution, S.Ag., M.A NIP. 197106301997032 (….…………..……) PERTIMBANGAN MASLAHAH DAN MAFSADAH KELUARGA BERENCANA MENURUT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI’I Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: IMAMUL HAFIDIN NIM : 105044101410 Di Bawah Bimbingan Pembimbing, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP: 195505051982031012 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SAYKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M PERTIMBANGAN MASLAHAH DAN MAFSADAH KELUARGA BERENCANA MENURUT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI’I Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Imamul Hafidin NIM: 105044101410 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S 1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 14 Januari 2010 Imamul Hafidin KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum.Wr. Wb. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba selain puji dan syukur kepada Allah Swt, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita di permukaan bumi ini. Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhamad Saw, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya, hingga akhir zaman. Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERTIMBANGAN MASLAHAH DAN MAFSADAH KELUARGA BERENCANA MENURUT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI‟I” sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah dan Hukum. Dalam menyelesaikan skripsi ini tidak mengalami kesulitan serta hambatan yang penulis alami dan berkat kesungguhan hati, kerja keras dan motivasi serta bantuan dari para pihak, maka segala kesulitan tersebut memberikan hikmah tersendiri bagi para penulis. Maka atas tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk serta dukungan terutama kepada kedua i orang tua penulis yang selalu mencurahkan kasih sayang dan doanya serta berharap ananda dapat dapat menjadi anak yang mulia dan sukses dalam menempuh hidup di dunia dan akhirat. “Semoga amal baik keduanya mendapat balasan yang setimpal disisi Yang Maha Kuasa”. Amin. Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan rasa terima kasih dan do‟a semoga Allah Swt membalasnya. 2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH. Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan ilmu yang berharga. Dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya yang sangat membantu penulis dalam memperoleh referensi-referensi untuk karya ilmiah ini. ii 4. Teristimewa buat Umi (Hj. Mu‟inah Khairayah) dan Aba (H.M. Usman Khatib) tercinta yang selalu memberikan motifasi inspirasi hidup kepada saya, serta kedua kakak (Isnani, Arif Rahman) dan kedua adikku (Imamatul Azimah, dan Achmad Rifa‟i A‟idin) tercinta, Paman dan kedua Bibiku (Paklek Shaleh, Bulek Fatimah, dan Bulek Aliyah) yang telah banyak membantu saya selama di Jakarta dalam masa pendidikan saya, serta seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan doa, dukungan baik moril maupun materil yang tak terhingga dalam menyelasaikan skripsi ini. 5. Terimakasih juga kepada teman-teman seperjuangan (Beni, Awang, Yusuf, Ayub, kak Manan, Ghulam, Kvie, Leman) dan teman-teman kosan atas (Yeyen, Zeky, Fitri, Arfah, Mega Neng Yayah, Sri Pujianti), terima kasih untuk semua canda, tawa, kekonyolan dan yang terpenting adalah motivasinya. 6. Sahabat-sahabat IMM Cab. Ciputat yang senantiasa tidak lepas mengawasiku masuk ke dalam pengabdianmu dan yang selalu memberikan arahan yang baik. 7. Sahabat-sahabat di Yayasan An-Nahdlah Pondok Petir Sawangan Depok (Muhaimin, Saipul, Suyut, Fauzi, Ari, Mursyidi, Dayat, Asri, dll) karena kalianlah saya mempunyai kesempatan tersenyum dan tertawa bahagia selama penyusunan skripsi ini. iii Akhirnya, harapan penulis, semoga atas segala bantuan dan perhatian yang diberikan mendapatkan balasan yang berlipat dari Allah Swt, amin. Selain itu semoga segala aktivitas yang kita kerjakan diberikan kemudahan dan menjadi nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr Wb. Jakarta, 14 Januari 2010 Penulis iv MOTTO PENULIS “Kebiasaan itu belum tentu benar, namun kebenaran itu haruslah dibiasakan” ___oo00oo___ “Manusia yang kaya adalah manusia yang selalu merasa cukup dan bersyukur, sebaliknya manusia yang berlimpah karunia namun merasa kurang dan kikir akan rasa syukur adalah kemiskinan yang sesungguhnya.” ___oo00oo___ “Ketika Allah ingin menaikkan derajat manusia, pastilah ujian sebagai tiket berharga menuju sesuatu yang lebih baik, dan Allah tidak akan memberi ujian diluar kemampuan manusia itu sendiri.” ___oo00oo___ “Kesempatan tak selalu datang dua kali maka gunakanlah kesempatan itu sebaik-baiknya karena mungkin itu adalah kesempatan terakhirmu” ___oo00oo___ v DAFTAR ISI KATA PENGANTAR………………………………...………………..…………….i MOTTO PENULIS…………………………………………….……………..…….v DAFTAR ISI………………………………………………………….……..…….vi TRANSLITERASI……………………………………………………..……….…viii BAB I PENDAHULUAN………………………………….…..……….………….1 A. Latar Belakang Masalah……………..……………..…...…………….1 B. Batasan dan Rumusan Masalah……………………….…………..….7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………..…..……….8 D. Tinjauan Pustaka…………………………………...………………....9 BAB II E. Metode Penelitian…………………………………..…..……………10 F. Sistematika Penulisan..........................................................................11 TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA BERENCANA...........13 A. Pengertian Pernikahan.........................................................................13 B. Kriteria Keluarga Sejahtera dalam Islam.............................................16 C. Pengertian Keluarga Berencana...........................................................18 D. Macam-Macam Alat Kontrasepsi........................................................24 vi BAB III METODE ISTINBAT HUKUM IMAM HANAFI DAN IMAM SYAFI’I…………………………………………………………………..33 A. Metode Isntinbat Hukum Imam Hanafi, Pola Pemikiran serta Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya…………………..…..33 B. Metode Isntinbat Hukum Imam Syafi‟i, Pola Pemikiran serta Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya….………………...….37 C. Konsep Maslahah dan Mafsadah………………………………...…..43 BAB IV PENDAPAT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI’I TENTANG KELUARGA BERENCANA...............................................46 A. Pengertian Al-„Azl……………………………………….……......…46 B. Pandangan Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi‟i.............................58 C. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Hanafi dengan Syafi‟i................68 D. Analisa Penulis....................................................................................43 BAB V PENUTUP ..................................................................................................73 A. Kesimpulan..........................................................................................73 B. Saran-Saran..........................................................................................75 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………........…77 vii TRANSLITERASI Skripsi ini menggunakan alih aksara (translitersi) yang mengikuti atau sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam pedoman transliterasi arab-latin dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006-2007. I. Konsonan Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر II. Latin tidak dilambangkan B T Ts J H Kh D Dz R Arab ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف Latin z s sy s d t z „ gh f Vokal Pendek Arab ق ك ل م ن و هـ ء ي III. Latin q k l m n w h , y Vokal Panjang _َ_ :a أا :â -َ-- :i ﺇي :î _َ_ :u أو :û viii IV. Vokal Rangkap V. أي : ai أو : au Singkatan Swt : Subhanahu wa ta’ala Saw : Shalla Allah ‘alaihi wa Sallam Ra : Radhiya Allah ‘anhu H : Tahun Hijriyah M : Tahun Masehi m : Tahun Milad W : Wafat Tt : Tanpa Tempat Tth : Tanpa Tahun Tp : Tanpa Penerbit Ed : Editor ix 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut sejarah peradaban manusia, hubungan keluarga dikenal sebagai suatu persekutuan (unit) terkecil, pertama dan utama dalam masyarakat. Dari persekutuan inilah manusia berkembang biak baik menjadi suatu komunitas masyarakat dalam wujud marga, puak, kabilah, dan suku yang seterusnya menjadi suatu umat dan bangsa-bangsa yang bertaburan dimuka bumi ini. Keluarga merupakan inti dari jiwa dari suatu bangsa.1 Kemajuan dan keterbelakangan suatu komoditas bangsa menjadi cerminan dari keadaan keluarga, keluarga yang hidup pada bangsa tersebut. Begitu penting peran keluarga, maka dapat di temui bahwa semua agama dan kepercayaan yang menjadi sumber acuan nilai norma masyarakat, memiliki ajaran yang mengatur masalah keluarga.2 Sebelumnya pernikahan adalah hal mendasar dalam pembentukan keluarga Islam. Nabi Muhammad SAW memuji institusi suatu persekutuan (unit) terkecil dalam masyarakat ini sebagai bagian dari sunnah beliau. Menurut beliau, kehidupan manunggal secara permanen atas kehendak sendiri bukanlah cara yang terbaik dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. 1 Aminuddin Yakub, KB dalam Polemik: Melacak Pesan Subtantif Islam, (Jakarta: PBB UIN, KAS, 2003) h. 3. 2 Ibid., h. 4. 2 Pernikahan juga merupakan ibadah yang dengannya wanita Muslimah telah menyempurnakan setengah dari agamanya serta akan menemui Allah SWT. dalam keadaan suci dan bersih.3 Dalam hal ini Pernikahan merupakan sunnatullah bagi hamba-hamba-Nya untuk menempuh bahtera kehidupan, dan Allah SWT tidak ingin dunia ini statis atau berkembang biak menurut keinginan penghuninya. Akan tetapi Allah swt mengatur naluri dan menetapkan pokok-pokok dan kaidah-kaidah, sehingga dapat memelihara martabat manusia. Sedangkan manusia harus memelihara keutamaan, kesucian dan keluhuran budi pekertinya dengan cara-cara yang salah satunya adalah melakukan pernikahan.4 Meskipun demikian, perintah berkeluarga ini harus dibarengi dengan kesiapan fisik, mental dan kemampuan material. Syarat ini penting karena dalam kehidupan berkeluarga terdapat hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh suami isteri. Bagi mereka yang belum mampu berkeluarga diperintahkan untuk tetap memelihara kesucian dirinya. Disamping itu, salah satu tujuan utama disyari‟atkannya berkeluarga adalah untuk memiliki keturunan. Al-Qur‟an juga mengingatkan dan menegaskan bahwa memiliki keturunan merupakan ketentuan dan karunia Allah SWT. 3 Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 4 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Muslimah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), h. 253. 378. 3 Kehadiran anak dalam keluarga merupakan Qurra A‟yun (buah hati yang menyejukkan [QS. Al-Furqân: 74]), dan merupakan Zînah Hayât al-Dunyâ (perhiasan kehidupan manusia [QS. Al-Kahfi: 46]). Namun tentu saja seorang anak akan menjadi buah hati dan perhiasan dunia jikalau ia tumbuh menjadi manusia yang baik dan berkualitas. Al-Qur‟an juga mengingatkan bahwa seorang anak juga dapat menjadi musuh dan ujian (fitnah), dalam arti terkadang dapat menjerumuskan orang tua melakukan perbuatan yang di larang agama akibat cintanya kepada anak. Anak juga merupakan amanah, dan menjaga amanah adalah kewajiban orang beriman. Oleh karena itu, orang tua berkewajiban memberi nafkah dan memenuhi kebutuhan anak, baik secara materiil maupun secara spiritual sehingga anak itu mencapai usia dewasa. Berkaitan dengan kesejahteraan keluarga, M.Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Membumikan Al-Qur‟an” menyebutkan bahwa jika kemampuan material seseorang / keluarga atau kapasitas ruangan keluarga yang tersedia hanya cukup untuk 10 orang – misalnya – kemudian ia mengundang 15 orang, maka keluarga tersebut dikatakan tidak efektif dan tidak baik karena ia mengabaikan faktor keseimbangan dalam kehidupan keluarga tersebut yang pada dasarnya di tuntut oleh ajaran Islam.5 Jikalau dilihat pada dasawarsa tahun 1990-an terakhir di Indonesia, diperkirakan jumlah penduduknya bertambah menjadi 193 juta jiwa, setelah jumlah 5 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan,2003), h. 256-257. 4 179,3 juta jiwa yang terdapat pada tahun 1990. Jumlah 147,5 juta jiwa pada sensus tahun 1980, 119,2 juta jiwa pada tahun 1971, 97 juta jiwa pada tahun 1961, yang tadinya dilakukan sensus kependudukan pada tahun 1930 itu hanya 61 juta jiwa saja. 6 Kepadatan penduduk tersebut yang secara signifikan itu sebab beberapa anggota keluarga yang tidak mempertimbangkan pengaturan jumlah dalam keluarganya. Ada suatu Ka‟idah Fiqh menyebutkan “ أنضرر يزالKesulitan itu harus dihilangkan”,7 bahwa suatu hal, dimana sebuah tindakan manusia yang akan diperkirakan timbulnya suatu kemudlaratan lebih lanjut, maka tindakan tersebut seyogyanya ditinggalkan. Ketika diperkirakan dalam suatu keluarga dikhawatirkan akan mendapatkan kekurangan dari sektor ekonomi rumah tangga atau sektor-sektor yang lain yang dapat memberikan dampak mudlarat terhadap suatu keluarga tersebut, disebabkan tiadanya pertimbangan perencanaan kehamilan sebab kebanyakan jumlah anak, atau bahkan bisa jadi dapat melebihi dari kadar kemampuan keluarga tersebut, maka hal itu hendaknya ditinggalkan karena dampaknya adalah kemudlaratan. Kalau kita tahu salah satu langkah dari pemerintah untuk menempuh pembatasan perimbangan dalam suatu keluarga adalah membentuk Program yang disebut dengan Keluarga Berencana (KB). Sejak tahun 1973 keluarga berencana (KB) sudah dicantumkan dalam GBHN dan mutlak harus dilaksanakan oleh seluruh rakyat 6 Kantor Menteri Negara Kependudukan / Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional, 25 Tahun Gerakan Keluarga Berencana, (Jakarta: Keluarga Sejahtera), h. 5. 7 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh : Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 147. 5 Indonesia, dengan ketentuan pelaksanaannya harus dilandasi dengan cara sukarela dan dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama.8 Pentingnya pengendalian pertumbuhan dan jumlah penduduk dengan program KB ini memiliki implikasi terhadap peningkatan ekonomi dan kualitas sumberdaya manusia, karena anak yang banyak dan penduduk yang besar akan membawa manfaat, jika mereka benar-benar memiliki kualitas sumberdaya yang tinggi. Namun sebaliknya, jika kualitas mereka rendah, maka anak dan penduduk yang banyak itu, akan berubah menjadi beban yang cukup berat bagi keluarga itu sendiri atau bahkan buat Negara ini (salah satu pidato yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rapat Kerja (Raker) tentang membahas Program Keluarga Berencana (KB) Nasional pada tahun 2005).9 Kendatipun wakil-wakil rakyat telah menetapkan KB itu dalam GBHN, masih ada persoalan lain yang perlu dituntaskan, yaitu bagaimana pandangan agama Islam menanggapi soal KB itu, karena mayoritas bangsa Indonesia menganut agama Islam. Tidakkah fungsi KB ini ternyata bertolak belakang dengan perintah Nabi yang menyuruh kita menikah dengan perempuan yang dapat memberikan keturunan yang produktif pula, karena dengan melaksanakan KB itu berarti sebuah pasangan suami istri (pasutri) sudah berkeinginan tidak memfungsikan pernikahan lagi sebagai proses memberikan keturunan atau bahkan karena punya motivasi kekhawatiran kekurangan 8 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Hadîtsah: Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996), h. 28. 9 http://kbi.gemari.or.id/ 6 rezeki yang bertentangan dengan keimanan akan qadla‟ dan qadar Allah SWT yang telah menentukan rezeki setiap hamba-hamba-Nya. Dari sisi Negara yang telah memberikan kebijakan bahwa program KB itu menjadi salah satu amanat dalam GBHN, begitu juga Negara Indonesia ini yang penduduknya adalah mayoritas umat Muslim, maka sepantasnyalah kita telusuri latar belakang pembentukan program KB tersebut dan bagaimanakah pandangan madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‟i tentang masalah KB, dimana kedua ulama fikih tersebut adalah merupakan tokoh ulama bidang fikih yang dianut oleh mayoritas umat Muslim di Indonesia, terutama madzhab Syafi‟i. B. Batasan dan Rumusan Masalah Maka jelas bahwa masalah Keluarga Berencana menurut pendapat kedua madzhab tersebut (madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‟i) memerlukan penelitian secara intensif, karena masalah KB merupakan masalah akar dalam sebuah kehidupan bermasyarakat yang penulis anggap urgen untuk diadakan penelitian, dan juga sebab kedua madzhab tersebut merupakan madzhab fikih yang di anut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Agar pembahasan dalam skripsi ini terarah dan lebih spesifik, mengingat materi dalam fikih kedua madzhab tersebut tidak hanya membahas masalah pernikahan saja, akan tetapi bahasannya meliputi waris, wakaf, zakat, dsb. Maka, pada skripsi ini dibatasi hanya pada pertimbangan maslahah dan mafsadah Keluarga Berencana menurut madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‟i. 7 Setelah mengetahui Pembatasan Masalahnya, maka penulis membuat rumusan-rumusan masalah dengan bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagaimana berikut: 1. Bagaimanakah pendapat madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‟i tentang permasalahan KB ? 2. Dimanakah letak persamaan dan perbedaan pendapat kedua madzhab tersebut? 3. Bagaimana maslahah dan mafsadah Keluarga Berencana ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui maksud pembahasan yang dikemukakan oleh Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi‟i tentang Program KB. 2) Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pendapatnya. 3) Untuk mengetahui maslahah dan mafsadah dalam melaksanakan Program KB. 8 Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1) Bagi penulis dapat menambah sebuah wawasan pengetahuan tentang Program KB (keluarga berencana) secara umum dan menurut pendapat Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi‟i. 2) Dapat mengetahui antara maslahah dan mafsadahnya Program KB dalam sebuah kehidupan berkeluarga. 3) Bagi Fakultas dapat memberikan sumbangan kepustakaan dalam rangka pengembangan akademis. D. Tinjauan Pustaka Tinjauan kepustakaan (Literatur) yang berkaitan dengan topik pembahasan, atau bahkan yang memberikan inspirasi dan mendasari dilakukannya penulisan skripsi ini. Diantaranya: 1. Al-Rahim Umran, Islam dan KB, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1997). Buku ini memberikan banyak pengertian tentang KB yang di konsep oleh pengarangnya dengan berbagai literatur modern dan klasik. 2. Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaiah Asasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002). Buku ini yang menjadikan dasar masalah dalam 9 penulisan skripsi ini atas adanya unsur maslahah dan mudlaratnya Program KB yang telah membumi di kalangan masyarakat. 3. Aminuddin Yakub, KB dalam Polemik: Melacak Pesan Subtantif Islam, (Jakarta : PBB UIN, KAS, 2003). Buku ini menekankan bahwa Islam merupakan agama yang universal yang mencakup terhadap aspek kehidupan umat manusia terutama tentang mengkontribusikan sebuah hukum. E. Metode Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Penulisan skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai literatur yang relevan dengan pokok masalah Program Keluarga Berencana (KB) yang penulis jadikan sebagai sumber penulisan, yang kemudian diidentifikasi secara sistematis dan analisis dengan berbagai sumber primer dan sekunder. 2. Metode Pembahasan Metode pembahasan yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif analisis perbandingan. Metode deskriptif yaitu suatu pembahasan yang bermaksud untuk membuat gambaran mengenai data-data dalam rangka menguji hipotesa atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu sedang berjalan dari pokok masalah. 10 Sedangkan metode analitis perbandingan yaitu suatu pembahasan dengan cara memberikan penafsiran-penafsiran dan perbandingan terhadap data yang telah terkumpul dan tersusun. Jadi, metode deskriptif analisis perbandingan adalah suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah tersusun dan terkumpul dengan cara memberikan interpretasi dan analisa perbandingan terhadap data tersebut. 3. Teknik Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman kepada buku penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hiayatullah Jakarta tahun 2009. F. Sistematika Penulisan Merujuk pada apa yang dituliskan diatas dan metode yang digunakan, disamping itu untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membagi pembahasan ini menjadi lima bab pembahasan: BAB I: PENDAHULUAN, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian Tinjauan Penulisan. Pustaka, Metodologi Penelitian dan Sistematika 11 BAB II: TINJAUAN UMUM KELUARGA BERENCANA, Pernikahan, TENTANG Pengertian PERNIKAHAN yang terdiri Keluarga dari Sejahtera DAN Pengertian dalam Islam, Pengertian Keluarga Berencana, Macam-Macam Alat Kontrasepsi. BAB III: MENGENAL IMAM HANAFI DAN IMAM SYAFI’I, yang membahas tentang: Biografi Singkat Imam Hanafi, Pola Pemikiran serta Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya, Biografi Singkat Imam Syafi‟i, Pola Pemikiran serta Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya, BAB IV: PENDAPAT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI’I TENTANG KELUARGA BERENCANA, yang membahas tentang: Pengertian al-‟Azl, Keluarga Berencana dalam Pandangan Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi‟i, Persamaan dan Perbedaan Pendapat Madzhab Hanafi dengan Madzhab Syafi‟i mengenai KB, Analisa Penulis. BAB V: PENUTUP, yang berisikan Kesimpulan yang diambil berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan juga membuat Saran-Saran serta Daftar Pustaka. 12 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA BERENCANA A. Pengertian Pernikahan Pernikahan adalah salah satu kodrat dalam perjalanan hidup manusia. Pernikahan bukan hanya sekedar jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan menuju pintu perkenalan, akan tetapi juga menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan lainnya. Disamping itu juga pernikahan merupakan jalan untuk menghindarkan manusia dari kebiasaan hawa nafsu yang menyesatkan. Dan pengertian pernikahan itu sendiri dapat dilihat dari segi bahasa dan istilah. Secara bahasa nikah berasal dari bahasa Arab نكح ي ْن ِكح نِكاحا.10 Sedangkan dalam Kamus Besar Indonesia nikah mempunyai arti hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri secara resmi.11 Ada juga arti nikah menurut syara‟ yaitu akad yang membolehkan seorang laki-laki bergaul bebas dengan perempuan tertentu dan pada akad menggunakan akad nikah.12 Jadi apabila antara laki-laki dan perempuan yang sudah siap untuk membentuk suatu rumah tangga, maka hendaklah perempuan harus melakukan akad 10 11 12 Syarifuddin, Kamus Al-Mishbah, (Jakarta: Bina Aksara, t.t.)., h. 573 Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. 3, h. 614 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahli Sunnah dan Negara-negara Islam, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. 1, h. 104 13 nikah terlebih dahulu. Dalam al-Qur'an bahwa pernikahan disebut dengan nikâh dan mîtsâq (perjanjian).13 Nikah pada hakekatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan seluruh tubuh wanita untuk penikmatan sebagai tujuan primer.14 Pengertian hak milik, sebagaimana yang dapat ditemukan hampir semua definisi dari fuqaha, ialah milk al-intifâ‟, yaitu hak milik penggunaan atau pemakai suatu benda. Bagi ulamâ Hanafiah akad nikah membawa konsekuensi bahwa suami istri berhak memiliki kesenangan (milk al-mut‟ah) dari istrinya, dari ulamâ Mâlikiyah akad nikah membawa akibat pemilikan bagi suami untuk mendapatkan kelezatan (taladzudz) dari istrinya. Sedangkan bagi ulama Syafi‟iyah akad membawa akibat suami memiliki kesempatan untuk melakukan jimâ‟ (bersetubuh) dengan istrinya.15 Sebagian ulamâ Syâfi‟iyyah memandang bahwa akad nikah bukanlah untuk memberikan hak milik pada kaum laki-laki saja akan tetapi kedua belah pihak. Maka golongan itu berpendapat bahwa seorang istri berhak menuntut persetubuhan dari 13 Dengan kata Nikah. Perhatikan surat An Nisâ‟ (4) : 3 dan An-Nûr (24): 32, sedangkan kata mîtsâq dalam surat An-Nisâ‟ (4) : 21 14 Bakri A. Rahman dan Ahmadi Sukadja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undangundang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), h. 13 15 Abd Ar-Rahmân al-Jazîri, Kitâb al-Fiqh „Alâ Al-Madzâhib Al-Arba‟ah, (Beirut: Dâr alFikr, 1969), h. 2-3. 14 suami dan suami berkewajiban memenuhinya sebagaimana suami berhak menentukan persetubuhan dari istrinya.16 Sedangkan menurut UU No. 1/1974 tentang perkawinan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.17 Adapun syarat sah perkawinan itu apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang maupun hukum Islam. Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing. Sedangkan menurut hukum perkawinan Islam yang dijadikan pedoman sah dan tidaknya pernikahan itu adalah dipenuhinya rukun pernikahan berdasarkan hukum agama Islam. Rukun merupakan sebagian dari hakekat pernikahan itu sendiri dan jika tidak dipenuhi maka pernikahan tidak akan terjadi.18 Rukun pernikahan tersebut antara lain : 1. Adanya kedua mempelai 2. Adanya wali dari pihak calon mempelai wanita 3. Adanya dua orang saksi 16 Ibid., h. 40 17 Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan, (Jakarta: PT. Pradya Paramita), No. 1/1974, pasal 2 ayat (1) 18 Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan Ulasan secara Sosiologi Hukum, (Jakarta: Pradia Paramita1986), cet. 1, h. 31 15 4. Adanya shighat akad nikah atau ijab qabul 5. Mahar atau mas kawin.19 B. Kriteria Keluarga Sejahtera dalam Islam Yang dimaksud dengan keluarga adalah unit sosial dasar dan perkawinan adalah lembaga Islam yang sifatnya fundamental. Perkawinan dan pembentukan keluarga adalah tanggung jawab yang serius dan harus tunduk kepada peraturan yang spesifik.20 Di samping itu haruslah ditanamkan sikap amanah bersama dalam membina sebuah keluarga. Titik ini semestinya menjadi acuan awal ketika menempatkan masalah rumah tangga sebagai sentral pembinaan umat. Biasanya masalah-masalah yg timbul dalam keluarga karena masing-masing pihak tidak bisa memenuhi amanah tersebut.21 Keluarga selalu dipandang sebagai institusi masyarakat terkecil tempat bernaung dan penggantungan hidup anggota-anggotanya mulai dari orangtua, anakanak, hingga anggota keluarga lainnya yang hidup bersama, seperti kakek, nenek, bibi, uwak, dan sebagainya. Begitu besarnya peran keluarga sebagai tempat bernaung dan penggantungan hidup, segenap anggotanya pasti mengharapkan suasana aman, nyaman, tenteram dan dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya, baik lahiriah maupun batiniah. Dengan demikian, keluarga sejahtera yang antara lain ditandai dengan 19 Slamet Abidin dan H. Aminudin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 72 20 „Umran, Islam…, h. 11. 21 http://www.acehforum.or.id/keluarga-islam 16 tercukupinya kebutuhan lahir batin serta memiliki hubungan yang serasi antar anggota keluarga, akan selalu menjadi idaman, dambaan dan cita-cita bagi setiap insan manusia. Agama Islam memiliki prinsip bahwa membangun keluarga sejahtera merupakan upaya yang wajib ditempuh oleh setiap pasangan (keluarga) yang telah diawali dengan pernikahan Islami. Dalam agama Islam, keluarga sejahtera disubstansikan dalam bentuk Keluarga Sakinah (keluarga yang harmonis atau sejahtera). Dasar utama membangun keluarga sejahtera ini adalah penjelasan ayat 21 dalam Surat Ar-Rûm yang berbunyi: Artinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(Ar-Rûm:21). Ayat tersebut menjelaskan tujuan berkeluarga adalah untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan atas dasar kasih sayang. Yaitu keluarga yang saling cinta-mencintai dan sayang-menyayangi sehingga anggota keluarga merasa aman, 17 tenteram, tenang dan damai, bahagia dan sejahtera namun dinamis menuju kehidupan yang lebih baik di dunia maupun di akhirat. KH. Sahal Mahfudz (Mantan Ketua Umum MUI), menjelaskan bahwa keluarga yang sejahtera senantiasa mengutamakan terciptanya ketentraman dan kedamain dalam rumah tangga, hingga membangkitkan semangat untuk saling memadu keharmonisan dan kasih sayang diantara seluruh anggota keluarganya.22 Maka dari itulah perencanaannya yang berkaitan dengan kesejahteraan dalam keluarga adalah layak.23 C. Pengertian Keluarga Berencana Untuk dapat dengan mudah memahami arti dari pengertian Keluarga Berencana ini, adalah dengan mendefinisikannya. Keluarga Berencana merupakan kata majmuk dari pada dua kata, yaitu Keluarga dan Berencana. Keluarga secara etimologi berarti “Ibu bapak dengan anak-anaknya seisi rumahnya; seluruh isi rumah yang menjadi tanggungjawab batin”.24 Secara terminologi, keluarga yang dimaksud disini adalah suatu kesatuan sosial yang terkecil dalam masyarakat, yang diikat dalam tali perkawinan yang sah.25 Sedangkan kata Berencana merupakan akar kata dari “rencana”, yang mendapat awalan ber yang berarti konsep atau cara. Rencana berarti 22 http://zanikhan.multiply.com/journal/item/4674/._KELUARGA_BERENCANA_DALAM_ ISLAM 23 „Umran, Islam…, h. 11. 24 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. 3, h. 741. 25 Masfuk Zuhdi, Masa‟il al-Fiqhiyah, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990), h. 5. 18 “rancangan” atau rangka sesuatu yang akan dikerjakan. 26 Berencana artinya “cara atau konsep merencanakan atau merancangkan”. Setelah diketahui dari perpaduan dua buah kata Keluarga Berencana, maka dapat diartikan dengan cara merencanakan keluarga meliputi; jumlah, jarak lahir, penggunaan alat kontrasepsi dan sebagainya. Adapun pengertian logisnya adalah mengatur keluarga tentang jumlah atau jarak kelahiran dengan cara menggunakan alat-alat kontrasepsi tertentu.27 Pengertian secara umum keluarga berencana adalah suatu usaha yang mengatur banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa sehingga bagi ibu maupun bayinya dan bagi ayah serta keluarganya atau masyarakat yang bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran tersebut. Baik kerugian tersebut dilihat dari segi kemampuan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan tanggung jawab lain yang dapat menjamin keluarga tersebut menjadi keluarga yang sejahtera dan bahagia.28 Apabila permasalahan keluarga dilihat dalam hubungannya dengan ajaran dan hukum Islam, maka lebih dahulu dapat difahami bahwa istilah tersebut haruslah diartikan dalam konotasi yang khas, yaitu dalam pengertian cara atau proses 26 Depdikbud, Kamus…, h. 741. 27 Masfudli Sahli, Biologi Perkawinan tentang Syahwat, Jima‟, dan KB, (Solo: CV. Aneka, tt), h. 145. 28 Bahan Pendidikan dan Kependudukan, (Jakarta: DPPTAI, 1981), h. 187. 19 mengatur kelahiran anak secara individual disebabkan oleh beberapa hal yang menyebabkan suami isteri harus melakukan hal demikian.29 Adapun istilah Keluarga Berencana itu sendiri mempunyai persamaan arti dalam istilah Inggris Family Planing atau Planed Parenthood. Sedangkan dalam istilah bahasa Arab dikenal dengan sebutan اننسم تنظيم (pengaturan keturunan/kelahiran). Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Muhammad Syalthut yang mendefinisikan istilah tersebut sebagai “pengaturan kelahiran atau usaha mencegah kehamilan sementara atau selamanya sehubungan dengan situasi dan kondisi tertentu baik bagi keluarga yang bersangkutan maupun bagi kepentingan masyarakat dan Negara”.30 Jika setelah ditinjau dari definisi diatas, maka dapat diambil suatu pengertian bahwa KB merupakan pengeturan rencana kelahiran anak dengan menggunakan suatu cara atau alat yang dapat mencegah kehamilan. Hal ini berarti KB bukanlah birth control atau تحديد اننسمyang berkonotasi pembatasan atau pencegahan kehamilan, yang kotroversial dengan salah satu daru tujuan perkawinan yaitu melanjutkan keturunan. Disebutkan pada tanggal 6 sampai 10 Juli 1995, Rekomendasi Muktamar dan Keputusan Majlis Tarjih ke-23 di Banda Aceh mengatakan bahwa program KB 29 H.S.M. Nasaruddin latif, Keluarga Berencana Ditinjau dai Sudut Agama Islam, Dalam Pandangan Agama Terhadap KB, (Panitia ADHOC KB, tt), h. 12, 24. 30 Chuzaimah T. Yanggo dan Hafidz Anshary AZ., (ed), Keluarga Berencana Menurut Tinjauan Hukum Islam, Dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: LSIK, 1994), cet.1, h. 143. 20 adalah ( تنظيم اننسمpengaturan jarak kelahiran) dan bukanlah ( تحديد اننسمpembatasan jumlah anak).31 Jadi Keluarga Berencana merupakan perencanaan besarnya keluarga dengan berusaha mengatur kelahiran dan merencanakan keluarga kecil yakni keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan tiga anak atau panca warga. Di Indonesia, KB selain untuk kepentingan Nasional juga sangat berkaitan dengan pribadi suami isteri. Harun Nasution dalam hal ini menekankan bahwa sebaiknya keluarga dihubungkan dengan keadaan ekonominya. Kalau kondisi ekonominya memang tidak dapat memikul, lebih baik kelahiran anak dijarangkan, dengan demikian pertumbuhan jasmani dan pendidikan anak akan dapat terjamin. Kalau jumlah anak banyak, sedangkan keadaan ekonominya tidak sepadan, keharmonisan keluarga akan terganggu. Keluarga bahagia adalah keluarga yang dapat menyesuaikan kelahiran dengan kesanggupan ekonomi.32 UU No. 10 tahun 1992 mengamanatkan bahwa KB bertujuan “untuk mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera yang diupayakan dengan peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui empat paket dukungan yaitu, pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga dan peningkatan kesejateraan keluarga”.33 31 Rekomendasi Muktmar dan Keputusan Majlis Tarjih, Republika, (Jakarta), 11 Juli 1995, h. 10, t.d. 32 Syaiul Muzani (ed), Islam Nasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), cet. 1, h. 440. 33 BKKBN, Panduan Pelayanan KB Sektor Swasta, ( Jakarta: Kantor Menteri Kependudukan, 1995), h. 35. 21 Dalam konsep yang lebih luas, maka KB mempunyai tujuan sebagai berikut: a. Terpeliharanya kesehatan ibu dan anak baik secara fisik maupun psikis. b. Mengatur kehamilan atau kelahiran sesuai dengan kemampuan manusia yang terbatas. c. Terpeliharanya keselamatan jiwa, jasmani dan rohani anak serta tersedianya pendidikan anak. d. Terjaminnya keselamatan agama orang tua yang dibebani kewajiban mencukupi kebutuhan hidup keluarga. e. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang harkat dan tanggung jawab keluarga.34 Secara khusus program Keluarga Berencana bertujuan : 1. Agar orang tua dapat memahami dan menyadari: a. Keuntungan berkeluarga. b. Pengaruh besarnya keluarga terhadap kesejahteraan keluarga baik pangan dan gizi, kesehatan atau pendidikan, perumahan serta kesempatan kerja c. Manfaat pengaturan penjarakan kehamilan. d. Pentingnya kesejahteraan hidup melalui pembentukan keluarga kecil. 2. Agar orang tua dapat memahami dan menyadari tentang perubahan penduduk dan pengaruhnya terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan kesehatan serta akibat ledakan penduduk terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam serta pelestariannya. 3. Agar orang tua, khususnya yang usianya muda dapat memahami dan menyadari manfaat tentang pendewasaan perkawinan. 4. Agar orang tua memahami pentingnya mempersiapkan kelahiran bayi sehat, memelihara dan membinanya agar tumbuh menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yang sehat jasmani dan rohani.35 34 LKK-NU dan BKKBN, Pedoman Penerangan tentang Keluarga Berencana, (Jakarta: t.p, 1982), cet. 2, h. 111. 35 Depdikbud dan BKKBN, Pedoman Pendidikan Keluarga Berencana untuk Tutor dan Sumber Belajar, (Jakarta: t.p, 1987), h.11. 22 Tujuan-tujuan tersebut akan lebih mudah dicapai apabila suatu keluarga relatif kecil, yang secara ekonomis lebih mudah dijangkau, dan secara psikologis antara suami isteri akan mendapatkan keadaan keluarga yang sakînah mawaddah warahmah. Dari sanalah diharapkan akan hadir generasi manusia yang potensial dan berkualitas menuju terciptanya masyarakat yang baik dan yang terpenting mendapatkan Ridla dari Allah SWT.36 Peserta keluarga berencana (akseptor KB) adalah pasangan usia subur dimana salah seorang dari padanya menggunakan salah satu cara atau alat kontrasepsi untuk tujuan pencegahan kehamilan, baik melalui program maupun non program. Pencegahan kehamilan ini meliputi hal-hal sebagaimana berikut: a) Kekhawatiran akan nasib anak-anaknya; kesehatannya buruk atau pendidikannya tidak teratasi.37 b) Agar bayi memperoleh susuan dengan baik dan cukup, dan dikhawatirkan kehadiran anak selanjutnya dalam waktu cepat membuat hak susuannya tidak terpenuhi. 36 Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), cet. 2, 37 Yusuf al-Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Jakarta: Era Intermedia, 1998), cet.II, h. 21. h.285-288. 23 c) Menjarangkan anak untuk memungkinkan penyusuan dan penjagaan kesehatan ibu dan anak.38 Adapun metode yang digunakan di waktu lebih dini dalam kerja tentang perencanaan keluarga (KB) adalah metode al-„azl, dan karena semua kitab fikih sampai masa-masa akhir ini menggunakan istilah al-„azl tersebut, dan penulis akan tetap mempertahankan istilah tersebut di banyak kesempatan dalam penulisan skripsi ini. Semua aturan tentang al-„azl berlaku dengan menggunakan analogi pada metodemetode kontrasepsi lain. Hal ini yang ditekankan oleh ulama ahli fikih. D. Macam-Macam Alat Kontrasepsi Sudah diketahui bahwa satu-satunya metode kontrasepsi yang dilakukan pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW. adalah al-„azl. Al-„azl merupakan metode kontrasepsi yang paling klasik dan relative lebih aman serta merupakan “embrio” muncul dan berkembagnya metode-metode kontrasepsi modern. Dengan adanya kemajuan ilmu dan teknologi ini telah ditemukan berbagai macam alat kontrasepsi yang fungsinya sama dengan al-„azl yakni mencegah kehamilan.39 38 „Umran, pada pendahuluan bukunya yang berjudul “Islam…, h. xxvii. 39 Pusat Studi Wanita, Relasi Suami Isteri dalam Islam, (Jakarta: PSW, 2004), h. 138. 24 Kontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah atau melawan dan konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut. Alat kontrasepsi bekerja dengan cara yang bermacam-macam tetapi pada umumnya mempunyai fungsi : 1. Mengusahakan agat tidak terjadi ovulasi 2. Melumpuhkan sperma 3. Menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma Sebenarnya ada cara yang baik dalam pemilihan alat kontrasepsi. Sebelumnya harus mencari informasi terlebih dahulu tentang cara-cara KB berdasarkan informasi yang lengkap, akurat dan benar. Untuk itu dalam memutuskan suatu cara kontrasepsi sebaiknya mempertimbangkan penggunaan kontrasepsi yang rasional, efektif dan efisien.40 Pada umumnya cara atau metode kontrasepsi dapat dibagi menjadi metode kontrasepsi sederhana dan modern. 1. Metode Kontrasepsi Sederhana Metode Kontrasepsi Sederhana adalah suatu cara yang dikerjakan sendiri oleh peserta KB tanpa pemeriksaan medis terlebih dahulu. Metode ini terdiri dari dua 40 http:/psikis.bkkbn.go.id/gemopria.articles.php 25 macam yaitu metode kontrasepsi sederhana tanpa alat atau obat dan metode kontrasepsi sederhana dengan alat atau obat. a) Metode kontrasepsi sederhana tanpa alat atau obat (1) Senggama Terputus Senggama terputus adalah metode keluarga berencana tradisional, dimana pria mengeluarkan alat kelaminnya dari vagina sebelum pria mencapai ejakulasi sehingga sperma tidak masuk ke dalam vagina dan kehamilan dapat dicegah. (2) Pantang Berkala Pantang berkala adalah tidak melakukan senggama pada masa subur seorang wanita yaitu waktu terjadinya ovulasi. Agar kontrasepsi dengan cara ini berhasil, seorang wanita harus benar-benar mengetahui masa ovulasinya (waktu dimana sel telur siap untuk dibuahi). Kerugian dengan cara ini adalah masa puasa bersenggama sangat lama sehingga menimbulkan rasa kecewa dan kadang-kadang berakibat pasangan tersebut tidak mentaati. b) Metode kontrasepsi sederhana dengan alat atau obat (1) Kondom Kondom merupakan selubung atau sarung karet yang dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Cara kerja kondom yaitu untuk menghalangi terjadinya pertemuan sperma dan sel telur dengan cara mengemas sperma diujung selubung karet yang 26 dipasang pasa penis sehingga sperma tersebut tidak tercurah ke dalam saluran reproduksi perempuan, selain itu kondom juga dapat mencegah penularan mikroorganisme (HIV/AIDS) dari satu pasangan kepada pasangan yang lain. Secara ilmiah didapatkan hanya sedikit angka kegagalan kondom yaitu 212 kehamilan per 100 perempuan per tahun. Keuntungan menggunakan kondom adalah : a. Efektif bila digunakan dengan benar b. Tidak mengganggu kesehatan pengguna c. Murah dan dapat dibeli secara umum Kerugian menggunakan kondom adalah : a. Agak mengganggu hubungan seksual (mengurangi sentuhan langsung) b. Harus selalu tersedia setiap kali berhubungan seksual c. Cara penggunaan sangat mempengaruhi keberhasilan kontrasepsi. (2) Diafragma Diafragma adalah kap berbentuk bulat cembung, terbuat dari karet yang diinsersikan ke dalam vagina sebelum berhubungan seksual dan menutup serviks. Cara kerjanya yaitu menekan sperma agar tidak mendapatkan akses mencapai saluran alat reproduksi bagian atas. Keuntungan menggunakan diafragma adalah : a. Tidak mengganggu reproduksi ASI 27 b. Tidak mengganggu kesehatan pengguna c. Tidak mengganggu hubungan seksual karena telah terpasang sampai 6 jam sebelumnya Kerugian menggunakan diafragma adalah : a. Pemasangannya membutuhkan keterampilan b. Untuk pemakaian¸ perlu instruksi dan cara pemasangan oleh tenaga klinik yang terlatih c. Pada beberapa pengguna menjadi penyebab infeksi saluran uretra 2. Metode Kontrasepsi Modern a) Kontrasepsi Hormonal (1) Pil KB Pil KB adalah suatu cara kontrasepsi untuk wanita yang berbentuk pil/tablet di dalam strip yang berisi gabungan hormone estrogen dan hormon progesteron atau yang hanya terdiri dari hormon progesteron saja. Keuntungan menggunakan pil KB adalah : a. Mudah menggunakan b. Mudah dihentikan setiap saat c. Dapat digunakan jangka panjang selama perempuan masih ingin menggunakannya untuk mencegah kehamilan d. Kesuburan segera kembali setelah penggunaan pil dihentikan Kerugian menggunakan pil KB adalah : a. Memerlukan disiplin dari pemakai 28 b. Dapat mengurangi ASI pada pil yang mengandung estrogen c. Kembalinya kesuburan agak lambat (2) Suntik KB Suntik KB ini mencegah lepasnya sel telur dari indung telur wanita, dan mengentalkan lendir mulut rahim, sehingga spermatozoa (sel mani) tidak dapat masuk ke dalam rahim. Keuntungan menggunakan suntik KB adalah : a. Jangka panjang b. Risiko terhadap kesehatan kecil c. Aman Kerugian menggunakan suntik KB adalah : a. Terjadi perubahan pada pola haid b. Kemungkinan terlambatnya pemulihan kesuburan setelah penghentian pemakaian (3) Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK/Implant/Susuk KB) AKBK yaitu kontrasepsi yang disusupkan di bawah kulit. Dengan disusupkannya implan dibawah kulit, setiap hari dilepaskan secara tetap suatu hormon ke dalam darah melalui proses difusi dari kapsul-kapsul yang terbuat dari bahan silastik tersebut, sehingga dapat menghambat terjadinya ovulasi. Keuntungan menggunakan susuk KB adalah : a. Tidak menekan produksi ASI 29 b. Tidak terdapat faktor lupa c. Masa pakai jangka panjang (3-5 th) d. Dapat digunakan oleh ibu yang tidak cocok dengan hormone estrogen Kerugian menggunakan susuk KB adalah : a. Implant harus dipasang dan diangkat oleh petugas kesehatan yang terlatih b. Petugas kesehatan perlu dilatih khusus dan praktek untuk pemasangan dan pengangkatan implant c. Implant sering mengubah pola haid d. Intra Uterine Devices (IUD,AKDR) IUD/AKDR adalah suatu alat kontrasepsi yang dimasukkan ke dalam rahim yang bentuknya bermacam-macam, terdiri dari plastik. Keuntungan menggunakan IUD adalah : a. Praktis b. Jangka panjang dan sangat efektif karena tidak perlu lagi mengingatingat Kerugian menggunakan IUD adalah : a. Tidak dapat dilepas oleh dirinya sendiri (pengguna) b. Sedikit nyeri setelah pemasangan AKDR c. Kontrasepsi mantap Kontrasepsi mantap (kontap) adalah salah satu kontrasepsi dengan tindakan pembedahan pada saluran telur wanita atau saluran mani yang 30 mengakibatkan orang atau pasangan yang bersangkutan tidak akan memperoleh keturunan lagi. Kontrasepsi mantap dibagi menjadi dua macam: a) Vasektomi (MOP) Vasektomi adalah prosedur klinik untuk menghentikan kapasitas reproduksi pria dengan jalan melakukan operasi kecil sehingga alur transportasi sperma terhambat dan proses fertilisasi tidak terjadi. Keuntungan MOP adalah : a. Efektif b. Sederhana c. Cepat, hanya memerlukan waktu 5-10 menit d. Menyenangkan bagi akseptor karena memerlukan anestesi lokal saja e. Biaya rendah f. Secara kultural, sangat dianjurkan di negara-negara dimana wanita merasa malu untuk ditangani oleh dokter pria untuk kurang tersedia dokter wanita dan paramedis wanita Kerugian MOP adalah : a. Diperlukan suatu tindakan operatif b. Kadang-kadang menyebabkan komplikasi seperti pendarahan atau infeksi 31 c. Tidak dapat dilakukan pada orang yang masih ingin mempunyai keturunan lagi b) Tubektomi (MOW) Tubektomi adalah prosedur bedah suka rela untuk menghentikan fertilitas seorang perempuan secara permanen. Keuntungan MOW adalah : a. Sangat efektif b. Permanen c. Tidak mempengaruhi proses menyusui d. Baik bagi akseptor apabila kehamilan akan menjadi risiko kesehatan yang serius e. Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual Kerugian MOW adalah : a. Harus dipertimbangkan sifat permanen metode kontrasepsi ini (tidak dapat dipulihkan kembali), kecuali dengan operasi rekanalisasi b. Akseptor dapat menyesal dikemudian hari c. Rasa sakit atau ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan. 32 BAB III METODE ISTINBAT HUKUM IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI’I A. METODE ISTINBAT HUKUM IMAM HANAFI, POLA PEMIKIRAN SERTA PENYEBARAN DAN PERKEMBANGAN MADZHABNYA a. Metode Istinbat Hukum Imam Hanafi Dalam pandangan Imam Hanafi, ijtihad itu dibagi menjadi dua bagian: yaitu, ijtihad dengan nash dan ijtihad dengan selain nash. Pertama ia melihat nash Al-Quran sebagai sumber tertinggi. Jika tidak menemukan, maka menengok ke Sunnah Nabi SAW. Tetang Sunnah ini, ia lebih memilih beristidlal dengan Qiyas daripada hadis ahad. Jika tidak menemukan dalam Sunnah, maka ia mencari pada Qaul Sahabat. Jika banyak Qaul yang berbeda-beda maka memilih salah satunya dan meninggalkan yang lain. Jika pencarian Qaul ini pada generasi tabi‟in, maka ia berijtihad sendiri sebagaimana mereka berijtihad. Alasannya karena mereka masih segenerasi. Adapun ijtihad dengan selain nash, pertama ia menggunakan qiyas setelah tidak menemukan qaul sahabat tadi. Jika dengan qiyas justru bertentangan dengan nash, ijma, dan maslahat, maka menggunakan istihsan. Tentang istidlal dengan istihsan ini, ia lebih profesional dan sering menerapkannnya dibanding dengan para ulama lainnya pada masanya. Jika dengan istihsan tidak menemukan, maka ia menggunakan ijma‟. Menurutnya ijma‟ dapat terjadi pada masa sesudah sahabat. Jika 33 masih tidak menemukan dalil ijma‟, maka ia menggunakan dalil „urf salih, yaitu „urf yang tidak bertentangan dengan nash dan maqasid. Dalam beristidlal dengan „urf ini Abu Hanifah termasuk yang paling banyak menerapkannnya khususnya dalam lapangan aqd at-tijarah atau muamalat madiyyah secara umum. Dan dialah orang yang pertama kali yang merumuskan konsep akad dalam fiqh muamalat, sejalan dengan profesinya sebagai saudagar.41 Jadi urutan dasar beliau dalam beristinbat hukum sebagaimana berikut: 1. Al-Kitab 2. As-Sunnah 3. Aqwalush Shahabah 4. Al-Qiyas 5. Al-Istihsan dan 6. Urf Sebagai seorang ulama‟, Imam Hanafi tidak membenarkan seseorang bertaqlid kepada beliau tanpa mengetahui dasar/dalil yang beliau pergunakan. Begitu juga kepada ulama-ulama lainnya. Beliau menginginkan supaya seseornag bersikap kritis dalam menerima fatwa dan ajaran agama, sehingga tidak ada seorang ulama pun yang dikultuskan. Beliau pernah berkata: “Tidak halal bagi seseorang yang akan 41 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet.1, hal. 74. 34 memberi garwa dengan perkataanku, selama ia belum mengerti dari mana sumber perkataanku itu”.42 b. Pola Pemikiran Serta Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18 tahun hidup pada masa dinasti Abbasiyyah. Alih kekuasaan dari Umayyah yang runtuh kepada Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di Kufah sebagai ibu kota Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah kedua Abbasiyah, Abu Ja‟far Al-Mansur (754-775 M), sebagai ibu kota kerajaan pada tahun 762 M. Dari perjalanan hidupnya itu, Abu Hanifah sempat menyaksikan trageditragedi besar di Kufah. Di satu segi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya sehingga menjadi salah seorang ulama besar. Di sisi lain ia merasakan kota Kufah sebagai kota teror yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Basrah dan Kufah di Iraq melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang; seperti ilmu sastra, teologi, tafsir, fikih, hadis, dan tasawwuf. Kedua kota bersejarah ini mewarnai intelektual Abu Hanifah ditengah berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik dan pertentangan tradisional suku Arab Utara, Arab Selatan dan Persi. Oleh sebab itu pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu sangat 42 187. M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. 4, hal. 35 dipengaruhi latar belakang kehidupan serta pendidikannya, juga tidak terlepas dari sumber hukum yang ada. Beliau dikenal sebaga salah satu ulama Ahlu Ra‟yi. Ketika menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari Al-Qur‟an atau Hadis, beliau lebih banyak menggunakan ra‟yi dari pada khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, maka metode qiyâs dan istihsanlah yang beliau pakai dalam menetapkan suatu hukum.43 Penyebaran Madzhab Imam Abu Hanifah tidak lepas dari usaha para muridmuridnya dan pengikut-pengikutnya, hal ini dibuktikan banyaknya buah fikiran beliau yang dikodifikasikan oleh para muridnya setelah beliau meninggal dunia, sehingga menjadi madzhab ahli ra‟yi yang hidup dan berkembang. Madzhab ini kemudian terkenal dengan beberapa nama, yaitu Madzhab Hanafî dan Madzhab Ahli Ra‟yi, disamping namanya menurut versi sejarah Hukum Islam dikenal dengan sebutan “Madzhab Kûfah”. Dengan banyaknya buah fikiran Imam Abu Hanifah yang dikodifikasikan oleh murid-muridnya dan dengan banyaknya para pengikut beliau yang tersebar diberbagai negara, seperti; Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syiria, 43 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos, 1997), cet.3, h.97-98. 36 Mesir dan Libanon, maka mazhab Hanafi tersebar diseluruh pelosok dunia dan termasuk dalam golongan mayoritas disamping madzhab Syafi‟i.44 Selanjutnya diantara para murid Imam Abu Hanifah terdapat kira 40 orang ulama yang gigih menyebarluaskan aliran madzhab Hanafi ini, lagi pula seperti murid beliau yaitu Imam Abu Yusuf diberi jabatan sebagai seorang qadhi (hakim), pada pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian Imam Abu Yusuf melantik pula para hakim dari madzhab Hanafi yang kemudian disebarluaskan di seluruh jajahan negeri Iraq, Khurrasan, Syam, Mesir dan daerah lain di Utara Afrika, sehingga dari situlah madzhab Hanafi jadi banyak dikenal dan dipergunakan banyak orang.45 B. METODE ISTINBAT HUKUM IMAM SYAFI’I, POLA PEMIKIRAN SERTA PENYEBARAN DAN PERKEMBANGAN MADZHABNYA a. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi’i Imam Syafi‟i yang terkenal sebagai seorang yang membela madzhab Maliki dan mempertahankan madzhab ulama Madinah hingga terkenallah beliau dengan sebutan Nasyirus Sunnah (Penyebar Sunnah). Hal ini adalah hasil mempertemukan antara fiqh Madinah dengan fiqh Irak. Beliau telah berhasil mempertemukan antara h.46. 44 Ibid, h.101-102. 45 Mustafa Suhaimi, Imam Abu Hanifah, (Jakarta: Progressive Products Supply, 1990), cet. 1, 37 thariqat ahlur ra‟yi dengan thariqat ahlul hadist. Oleh karena itu madzhabnya tidak terlalu condong kepada ahlul hadist saja.46 Cara beliau beristinbat sebuah hukum secara berurutan adalah pertama beliau berpegang pada Kitabullah, jika tidak menemukan dalam Kitabullah, maka menggunakan hadist mutawatir. Jika masih tidak menemukannya, maka mencari hadis ahad. Menurutnya hadis ahad itu termasuk dalil dzanni al-wurud, oleh karena itu dapat dijadikan dalil jika telah memenuhi beberapa syarat, yaitu: para rawinya itu (1) tsiqah; (2) berakal; (3) dabit; (4) mendengar sendiri; dan (5) tidak menyalahi ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis. Jika tidak menemukan hadis ahad, maka beliau melihat pada dzhair an-nass AlQuran dan sunnah secara berurutan dan dengan teliti beliau mencari segi-segi kekhususannya. Jika masih tidak menemukan, maka berpegang pada ijma‟. Konsep ijma‟-nya adalah bejwa ijma‟ yang otoritatif itu haris merupakan hasil kesepakatan ulama seluruh dunia, tanpa kecuali. Oleh karena itu beliau hanya menerima ijma‟ para sahabat yang karena itu yang paling mungkin terjadi kesepakatan seluruh ulama, namun ijma‟ setelah generasi sahabat, beliau menolaknya. Beliau mensyaratkan adanya ijma‟ sahabat ini harus berdasarkan pada Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu, beliau hanya menerima ijma‟ sarih dan menolak ijma‟ sukuti. Jika tidak menemukan ijma‟ sahabat, maka beliau menerapkan metode qiyas, jika tidak menemukan pada qiyas, maka beliau mencari pada qaul sahabat. Dalam 46 Ibid, …., hal. 211. 38 salah satu riwayat, beliau banya menggunakan dalil qaul sahabat ini dalam qaul qadim-nya dan bukan dalam qaul jadid-nya, tetapi menurut Rabi‟ Ibn Sulaiman bahwa beliau juga menggunakan dalam qaul jadid-nya. Menurutnya, dalil Istihsan tidak menjadi hujjah, menurutnya “barang siapa yang beristihsan, maka sama halnya telah membuat Syariat” sementara otoritas tasyri‟ hanyalah di “tangan” Tuhan. Secara terperinci beliau menyebutkan alasannya menolak istihsan: (1) Ber-istihsan sama halnya menganggap bahwa Syariat ini tidak meng-cover semua masalah hukum, sementara Syariat ini berlaku untuk semua zaman dan konteks; (2) Bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan RasulNya oleh karena itu, semua itu harus disandarkan kepada semua ketetapannya; (3) Nabi tidak pernah menjelaskan hukum-hukumnya dengan beristihsan tetapi dengan wahyu dan qiyas; (4) Nabi pernah mengingkari keputusan sahabat yang menggunakan istihsan; (5) Istihsan adalah teori hukum yang tidak ada patokan dan ukurannya sehingga akan menghantarkan kepada perselisihan; dan (6) Jika istihsan diperbolehkan, maka banyak sekali hukum ini akan dapat diistinbatakan oleh orang yang berakal saja tanpa melibatkan ahli ilmu. Tampak sekali peran rasio dibatasi oleh As-Syafi‟i dalam beristidlal dan hanya menambahkan metodenya dengan memakai qiyas dan membatasi penggunaan maslahat, sehingga dapat mengimbangi dinamika hukum masyarakat.47 47 Mughits, Kritik Nalar…., hal. 79-81. 39 Jadi secara berurutan, Imam Syafi‟i dalam beristinbat hukum yang dipakai dasarnya adalah: 1. Al-Quran 2. As-Sunnah 3. Ijma‟ 4. Qiyas 5. Istidlal (Istishab)48 b. Pola Pemikiran Serta Penyebaran dan Perkembangan Madzhabnya Imam Syafi’i Imam Syafi‟i adalah termasuk dari “Ahlul Hadîst”, beliau juga termasuk imam “Rihlah fi Talab al-Fiqh”, pernah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik dan ke Iraq untuk menuntut ilmu juga kepada Muhammad bin Al-Hasan, yaitu salah seorang murid Imam Abu Hanifah, karena itu Imam Syafi‟i digolongkan sebagai seorang yang beraliran “Ahlul-Hadîst” namun pengetahuannya tentang fiqh “Ahlu al-Ra‟yi” tentu akan mempengaruhi kepada pola pikir dan metodenya dalam menetapkan sebuah hukum. Di lain itu, pengetahuan Imam Syafi‟i tentang masalah sosial kemasyarakatan sangat luas. Beliau menyaksikan secara langsung kehidupan masyarakat pedalaman 48 Ali Hasan, Perbandingan…., hal. 211-212 40 (Baduwi) dan menyaksikan pula kehidupan masyarakat yang sudah maju peradabannya pada tingkat awal di Iraq dan Yaman. Beliau juga telah menyaksikan kehidupan orang zuhud dan ahlu al-hadîts. Pengetahuan Imam Syafi‟i dalam bidang ekonomi memberikan bekal baginya dalam ijtihadnya pada masalah hukum muamalah dan hukum-hukum yang beraneka ragam, dan tentu ini juga yang dapat mempengaruhi terhadap pola pikir dalam madzhabnya. Menurut Musthafa Al-Siba‟iy, bahwa Imam Syafi‟ilah yang pertama kali meletakkan dasar pertama kaidah periwayatan hadis, dan beliau pula yang mempertahankan sunnah melebihi gurunya, yaitu Imam Malik . dalam bidang hadis, Imam Syafi‟i berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Berkembangnya madzhab Syafi‟i ialah pada mulanya di Mesir dan mendapat pengikut yang besar di sana. Imam Syafi‟i ketika datang ke Mesir pada umumnya pengikut madzhab |Hanafi dan madzhab Maliki. Kemudian setelah beliau membukukan kitabnya “Al-Jadîd” dan mengajarkannya di masjid Amr bin Ash, maka mulailah berkembang madzhab beliau di Mesir, lebih-lebih kala itu orang yang menerima pelajaran dari Imam Syafi‟i banyak dari ulama dan cendekiawan di Mesir dan berpengaruh disana. Maka dengan demikian halnya, berkembanglah aliran madzhab Imam Syafi‟i dengan pesat dan cepatnya. Kemudian berkembang pula di Iraq dan dapat kemajuan di Baghdad. Lalu Khurrasan, Pakistan, Tauran, Syam, Yaman, lalu menerobos masuk di daerah-daerah 41 sungai Saihun dan Jaihun, Persia, Hijaz, India dan sebagian daerah-daerah Afrika dan Andalusia setelah tahun 300 Hijriyah. Dari itu, dapat dikatakan sampai saat ini madzhab Syafi‟i adalah madzhab mayoritas yang banyak diikuti oleh penduduk dunia. Penyebaran dan perkembangan madzhab Syafi‟i ini tidak terlepas dari usaha para sahabat dan murid-murid beliau.49 C. Konsep Maslahah dan Mafsadah Dalam kajian ilmu Ushul Fiqh, pembahasan tentang Maslahah dan Mafsadah ini disebutkan dengan istilah Al-Maslahah Al-Mursalah, sedangkan pembahasan Mafsadah disebut dengan istilah sebaliknya dari Al-Maslahah Al-Mursalah. a. Pengertian Maslahah Maslahah Mursalah (kesejahteraan umum) yakni yang dimutlakkan, (maslahah bersifat umum) menurut istilah Ulama Ushul yaitu, maslahah dimana syari‟ tidak mensyariatkan hukum untuk mewujudkan maslahah itu, yang tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pematalannya. Maslahah itu disebut mutlak karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan.50 Jumhur ulama berpendapat, bahwasannya Maslahah Mursalah adalah hujjah syar‟iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian 49 50 Moenawar, Biografi…, h.246-248. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 8, hal. 123. 42 yang tidak hukumnya dalam nash atau ijma‟ atau qiyas ataupun istihsan, disyari‟atkan pada hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syari‟. Dalil mereka atas kehujjahan mashlahah mursalah ini ada dua hal, yaitu: 1. Bahwasannya kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habishabisnya. 2. Bahwasannya orang yang meneliti pembentukan hukum oleh para sahabat, tabi‟in dan para imam mujtahid. Maka ia akan merasa jelas bahwasannya mereka telah mensyariatkan berbagai hukum untuk merealisir kemaslahatan umum ini, bukan karena adanya dalil yang mengakuinya.51 Menurut pandangan madzhab Hanafi dan Syafi‟i, maslahah mursalah sebenarnya merupakan kemaslahatan yang diragukan dan tidak dapat dijadikan hujjah, mereka menjelaskan bahwa semua kemaslahatan sudah dijelaskan oleh nash baik yang diterima maupun yang ditolak, jika berusaha mencari kemaslahatan selain ketentuan nash. Menurut madzhab Zahiri yang sejalan dengan pendapat madzhab Hanafi dan Syafi‟i bahwa maslahat yang mereka terima adalah maslahat yang disebutkan dengan nash secara jelas dan mereka menolak jika tidak ditunjukkan oleh nash. Oleh karena itu mereka menolak Maslahah Mursalah, sebab tidak dijelaskan 51 117-118. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra Group, 1994), cet. 1, hal. 43 oleh nash. Bahkan penggunaan Maslahah Mursalah bisa menimbulakan kerusakan, karena berdasarkan akal semata. Akan tetapi, Imam Syafi‟i sendiri adan sebagian pengikut Imam Abu Hanifah serta Ibnu Taimiyah, kesemuanya berpegang dan berhujjah dengan Maslahah Mursalah serta menyatakan sebagai dalil hukum sepanjang ia termasuk hal yang dituntut oleh syari‟ untuk dipelihara.52 Namun setelah dicermati kedua madzhab tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya menolak Maslahah Mursalah, artinya meraka menekankan jika Maslahah Mursalah memang dapat dikategorikan sebagai kemaslahatan yang dikehendaki oleh syari‟ untuk dipelihara, bukan berdasarkan hawa nafsu dan akal semata, maka ia dapat diterima. Kedua madzhab tersebut nampaknya menekankan pada kehati-hatian dalam menggunakan Maslahah Mursalah.53 52 Jalâluddîn Abdurrahmân, Al-Masalih Al-Mursalah wa Makânatuhâ Fi at-Tasyrî‟, (Mesir: Matba‟ah al-Sa‟adah), cet. 1, hal. 57-58. 53 170-171. Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), cet. 1, hal. 44 BAB IV PENDAPAT MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI’I TENTANG KELUARGA BERENCANA A. Pengertian Al-’Azl Al-‟azl berasal dari akar kata عََزال-َيَعََزل-َ عََزلberarti َ( اَلَفَصَلpengisolasian) atau َ( ال َْمَنَعَ َعَنَ َ َالعَمَلmelepas/meninggalkan perbuatan). Lebih detail lagi al-‟azl diterjemahkan dengan: 54 عزل المجامع من المرأة قارب الن زال ف ن زع وأمن َارج الفرج ”Seorang suami yang melepaskan diri dari isterinya ketika hendak ejakulasi, mencabut penis dari vagina dan berejakulasi di luar vagina”. Dalam perkembangannya, kini al-‟azl dikenal dengan coitus interuptus, senggama terputus, yaitu melakukan ejakulasi di luar vagina sehingga sperma tidak bertemu dengan indung telur isteri. Dengan demikian memungkinkan tidak terjadinya kehamilan karena indung telur tidak dapat dibuahi oleh sperma suami.55 54 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet. 14, h. 927. 55 Chuzaimah T Yanggo dan Hafidz Anshary AZ (ed), Keluarga Berencana Menurut Tinjuauan Hukum Islam dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), cet. 2, h. 145. 45 Abdul Qodir Djaelani memberikan pengertian bahwa al-‟azl adalah apabila senggama sedang dilakukan tatkala orgasme telah sampai pada titik puncaknya dan sperma akan keluar, suami cepat-cepat menarik penisnya dari vagina isteri agar sperma itu keluar di luar vagina. Tujuannya agar tidak terjadi pembuahan.56 Abu Laits as-Samarqand, dalam kitab Bustân al-‟Ârifîn mengatakan bahwa al‟azl adalah seorang suami yang menyetubuhi isterinya, kemudian menarik penisnya sebelum ejakulasi karena takut terjadi hamil.57 Ibn al-Mundzir dalam kitab Lisân al-‟Arab mendefinisikan al-‟azl dengan mencabut zakar dari vagina isteri karena khawatir terjadi kehamilan. Al-‟azl dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pertemuan sperma dengan sel telur sehingga pembuahan pada rahim tidak terjadi.58 Keterangan al-‟azl ini dapat kita peroleh dari beberapa hadis Nabi Muhammad SAW, yang salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dari Jabir r.a. berkata: ”Kami melakukan al-‟azl (coitus interuptus) di masa Rasulullah SAW. Sedangkan ketika itu al-Qur‟an masih turun”.59 Dalam hadis yang lain diterangkan bahwa seseorang pernah mendatangi Rasullah SAW dan berkata: ”Kami melakukan al-‟azl, 56 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995) cet. 1, h. 188. 57 Abû Laits as-Samarqand, Nasr bin Muhammad, Bustân al-„Ârifîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), cet. 1, h. 359. 58 59 Ibn al-Mundzîr, Lisân al-„Arab, (Beirut: Dâr as-Sadar, 1994), jilid 2, cet. 3, h. 440-441. A. Razak dan Rais Latif, Terjemah Hadis Shahih Muslim, (Jakarta: al-Husna, 1980), jilid 2, cet. 1, h. 190. 46 tetapi kami mempunyai tetangga Yahudi yang mengatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan pembunuhan bayi”. ”Mereka berbohong” jawab Rasulullah. ”Tindakan itu bukanlah pembunuhan bayi. Engkau boleh melakukannya, tetapi jika Allah SWT. menghendaki lahirnya seorang bayi, ia akan lahir”. Setelah beberapa waktu orang tersebut melaporkan bahwa isterinya melahirkan, Rasulullah bersabda: ”Bukankah aku pernah mengatakan jika Allah SWT. menghendaki lahirnya seorang bayi, maka ia akan lahir”.60 Kedua hadis di atas, menunjukkan bahwa perbuatan al-‟azl yang dilakukan sebagai upaya menghindari kehamilan dapat dibenarkan karena Nabi sendiri tidak melarang sahabat-sahabatnya melakukan al-‟azl. Andaikata al-‟azl dilarang, pasti ditegaskan dalam ayat-ayat al-Qur‟an yang masih turun pada waktu itu atau ditegaskan oleh Nabi sendiri. Nabi SAW. hanya menegaskan bahwa al-‟azl hanya sekedar ikhtiar manusia untuk menghindari kehamilan, sedangkan kepastiannya berada di tangan Tuhan. Secara esensial dan sarîh, kedua hadis inilah yang dapat dijadikan dasar hukum (nas) tentang diperbolehkannya al-‟azl menurut hukum Islam, sekaligus untuk menganalogikan penggunaan alat kontrasepsi seperti kondom dan sejenisnya. 60 Jaziar Radianti (Pentj), Etika Pengobatan Islam : Penjelajahan Seorang Neomoderns, (Bandung: Mizan, 1999), cet. 1, h. 154. 47 B. Keluarga Berencana Dalam Pandangan Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i a. Pandangan Imam Hanafi dan Madzhabnya Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad asy- Syaibani mengizinkan melakukan al-„azl dengan catatan ada persetujuan dari isterinya.61 Ulama modern madzhab Hanafiyah berpendapat tentang kebolehan al-„azl tanpa harus izin dari isterinya sebab terdapat suatu alasan (udzur), semisal mereka (suami dan isteri) sedang ada di perjalanan jauh, berada di kawasan perang yang mengakibatkan khawatir akan anak jika isteri melahirkan, atau sebab buruknya perilaku isteri yang kemudian akan melangsungkan perceraian dan khawatir jika ia hamil.62 At-Tahâwî (m. 933 M.) berpendapat bahwa melakukan al-„azl tidak dilarang. Ketika mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang hal itu, beliau tidak melarangnya.63 Sedangkan menurut Al-Kasânî (m.1197 M.) melakukan al-„azl tanpa 61 Abû al-Mu‟ayyis Muhammad ibn Mahmûd al-Khawârizmî, al- Jâmi Masânid al-Imâm al„Azham (Beirut Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, tt.), jilid 2, h. 118-119. 62 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), cet. 3, 63 Abû Ja‟far at-Tahawi, Musykil al-„Atsâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995), jilid 3, h. 108. h. 34-35. 48 ada persetujuan dari isteri “tidak disukai” atau makruh hukumnya. 64 Ia menerangkan bahwa ejakulasi adalah jalan untuk mendapatkan anak dan ini adalah hak isteri; sedangkan melakukan al-„azl dapat merebut haknya itu. Namun jika si isteri memberikan persetujuan, barulah al-„azl diperbolehkan (tidak makruh).65 Begitu juga menurut pendapatnya Al-Marghînanî (m. 1197 M.) berpendapat bahwa melakukan al-„azl diperbolehkan dengan catatan ada persetujuan dari isterinya.66 Lalu kemudian Al-Bâberti menguatkan pendapat Al- Marghînanî tentang harus ada izin dari si isteri terlebih dahulu. Ia mengingatkan bahwa Ibnu Mas‟ûd pernah ditanyai tentang hal ini dan ia jawab, “Tidak ada salahnya dengan itu”. Al-Kamâl ibn al-Humam (m.1457 M.), dalam kitabnya Syarkh Fath al-Qadîr, menyatakan bahwa al-„azl diizinkan oleh mayoritas ulama („âmmat al-„ulamâ).67 Setelah menjelaskan sikap mayoritas ulama tentang perlunya persetujuan isteri dalam al-„azl, ia menambahkan bahwa persetujuannya dapat diabaikan dalam kondisi dan realitas kehidupan yang buruk atau di saat terdapat sebuah kekhawatiran akan 64 Adapun dalam madzhab Hanafi, pengertian makruh itu lebih dekat kepada larangan, yakni makruh tahrim. 65 „Alâ‟uddin Abî Bakar bin Mas‟ûd al-Kasâni al-Hanafi, al-Badâ‟i as-Sanâ‟i fi Tartîb alSyar‟î, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), jilid 2, h. 234, 335. 66 67 Al-Marghînanî, Hidâyah al-Muhtadî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1965), jilid 2, h. 494-495. Al-Kamâl ibn al-Humam, Syarh Fathul Qadîr „Alâ al-Hidâyah Syarh Bidâyah al-Mubtadi‟, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1972), jilid 2, h. 494. 49 melahirkan anak yang nakal dan lain sebagainya yang cenderung mengandung kemafsadatan terhadap kedua pasangan dan keturunannya.68 Salah satu ulama madzhab Hanafiyah, yaitu Ibn Nujaim (m.1562 M.) mengukuhkan bahwa pendapat ulama yang benar adalah bolehnya al-„azl dengan adanya persetujuan dari isteri. Ia mendukuung ketetapan bahwa persetujuan isteri dapat diabaikan dalam masa-masa yang tidak baik. Bahkan menurutnya wanita juga boleh menutup rahimnya sebagaimana praktek-praktek yang dilakukan dalam masa Ibn Nujaim dan ia menganggap praktek itu diperbolehkan dengan catatan ada persetujuan dari suaminya. Tulisannya merupakan rujukan pertama tentang penggunaan pessary (alat pencagah kehamilan yang dimasukkan ke dalam farji, semacam spiral) di masa dini.69 Begitu juga menurut pendapat Ibn Abidîn (abad ke-19) persetujuan dari isteri dapat diabaikan bilamana ada dalam masa-masa yang tidak mendukung, termasuk bilamana pasangan pasangan itu sedang melakukan perjalanan yang meletihkan dan panjang. Ia juga merujuk pada prinsip “Taghayyur al-Ahkâm bi Taghayyur alAzminah (berubahnya hukum dengan sebab berubahnya waktu)”.70 311. 68 Ibid, h. 495. 69 Ibn Nujaim, al-Bahr ar-Râ‟iq, (Beirut: Dâr al- Kutub, 1995), Jilid III, h. 214-215. 70 Muhammad Amîn Ibn Abidîn, Hasyiyah Radd al-Mukhtâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1966), h. 50 Syekh „Abd al-Majîd Sâlim seorang Mufti Besar Mesir akhirnya mengeluarkan fatwa di tahun 1937 dengan meringkaskan hukum dari madzhab Hanafi. Beliau mengukuhkan bahwa penggunaan al-‟azl atau tindakan lain guna mencegah kehamilan diizinkan dengan adanya persetujuan dari isterinya. Namun persetujuan ini dapat diabaikan pada saat-saat kerusakan agama, untuk mengelakkan dari lahirnya anak yang nakal. b. Pandangan Imam Syafi’i dan Madzhabnya Imam Syafi‟i berpendapat bahwa al-‟azl diperbolehkan dengan bebas tanpa perlu izin dari isterinya. Argumen beliau bahwa si isteri mempunyai hak dalam berhubungan intim, namun tidak berhak akan ejakulasi, walaupun hal yang demikian ini banyak para Fuqaha‟ yang menentangnya yang menetapkan perlunya persetujuan dari isteri, dan beberapa diantaranya yang sama sekali tidak mengizinkan al-‟azl.71 Imam Syafi‟i mendapatkan suatu rujukan dalam al-Qur‟an tentang masalah besarnya jumlah keluarga. Yakni, yang terdapat dalam surat an-Nisa‟ yang memerintahkan kaum Muslimin yang tidak dapat berlaku adil dengan isteri-isterinya untuk puas dengan satu isteri saja. Kebanyakan mufassir mengartikannya bahwa merasa puas dengan satu isteri merupakan suatu jalan untuk mengelakkan ketidakadilan. Akan tetapi Imam Syafi‟i yang ahli bahasa Arab menyimpulkan bahwa ayat: 71 „Umran, Islam…, h. 189. 51 .... Artinya: ” Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. An-Nisa:3) mengandung makna yang lebih jauh. Beliau mengartikan, “agar supaya Anda tidak mengandung terlalu banyak anak.” Diriwayatkan oleh Ibn al-Qayyim dalam bukunya tentang anak yang baru lahir,72 bahwa Imam Syafi‟i menjelaskan sebagaimana berikut: . أي ل تكث رعيالكم: " بقولو " :فسرالمام الشافعى ق ولو ت عاىل .وىذا القول من المام يدل على أن قلة العيال أوىل “Imam Syafi‟i menafsirkan firman Allah SWT. : ذانِك أ ْدنى أال تعوْ نوْ اdengan: ”Janganlah Anda memperbanyak jumlah anggota keluargamu”. Penafsiran Imam Syafi‟i tersebut menunjukkan bahwa tidak memperbanyak jumlah anggota keluarga itu lebih utama.73 Imam Syafi‟i yang menjadi pendiri madzhab Syafi‟iah berpandangan liberal tentang masalah perencanaan keluarga. Ibn al-Qayyim mengutipnya yang mengatakan ”Kami melaporkan tentang beberapa sahabat Nabi bahwa mereka mengizinkan al-‟azl dan tidak memandangnya salah. Imam Syafi‟i juga terkenal 72 As-Syafi‟i diambil dalam bukunya Ibn al-Qayyim, Tuhfat, h. 8. 73 ‘Umran, Islam…, h. 124. 52 karena keterangan tentang frasa ذانِك أ ْدنى أال تعوْ نوْ اpada ayat 3 surat an-Nisa diatas mengenai satu ketimbang empat isteri , beliau mengartikannya berbeda, yakni ”Kamu tidak akan mempunyai anak-anak yang berlipat ganda”. Al-Fairuzabadî asy-Syîrazî (m. 1083 M.), adalah salah seorang ahli fiqh dini yang menyeberang dan mengambil sikap atas pendapat jumhur ulama yang mengizinkan al-‟azl hanya bila disetujui oleh isteri. Ia melanjutkan. ”Dalam kasus isteri merdeka, apabila dengan persetujuannya, makan diizinkan dan apabila tidak, satu pendapat (qîla) tetap mengizinkannya al-‟azl, sebab isteri berhak akan hubungan seksual tetapi tidak ejakulasi. Pendapat yang kedua (qîla) tidak mengizinkan al-‟azl , karena hal itu adalah cara pencegah keturunan.” Namun beliau sendiri tidak menentukan mana dari keduanya yang benar.74 Adapun melakukan al-„azl karena takut akan lahirnya anak itu hukumnya makruh sekalipun ada izin dari isterinya, baik isterinya wanita merdeka atau budak karena itu adalah jalan akan terputusnya keturunan. Sedangkan yang telah maklum hukum melakukan al-„azl adalah makruh. Al-Ghazâli memberikan tafsiran yang detail tentang al-‟azl untuk yang pertama kalinya. Para pemikir masa kini mendapatkan di dalamnya segala unsur tesis modern tentang subyek ini. 74 Al-Fairuzzabadî Asy-Syîrazî, al-Muhadzdzab,(Mesir: Zahanâ „Alî Yûsuf, tt.), Jilid 2, h. 66. 53 Keterangan ini dimulai dengan suatu tujuan pada perbagai pendapat tentang al-‟azl. Ia menyimpulkan bahwa pandangan yang sahîh adalah halalnya al-‟azl secara bebas. Tandasnya lagi, al-‟azl bukanlah merupakan suatu pembunuhan dan tidak seperti aborsi atau pembunuhan anak, dimana terdapat kejahatan terhadap janin yang telah berbentuk atau anak yang telah lahir.75 Ia kemudian menyangkali pendapatpendapat orang yang tidak memperbolahkan al-‟azl secara mutlak, termasuk orangorang yang mengutip pada hadis Judâmah yaitu: عن جدامة بنت وىب أَت ع َّكاشة قالت حضرت رسول اللَّو صلَّى اللَّو عليو الروم وفارس ُّ وسلَّم ف أناس وىو ي قول لقد َهمت أن أن هى عن الغيلة ف نظرت ف فإذا ىم يغيلون أولدىم فل يضُّر أولدىم ذلك شيئًا ثَّ سألوه عن العزل ف قال .) ( رواه مسلم.رسول اللَّو صلَّى اللَّو عليو وسلَّم ذلك الوأد اْلف ُّي 76 Artinya: “Dari Judamah binti Wahb al-Asadiyah (saudara perempuan „Ukasyah) yang berkata, “Saya bersama-sama orang-orang lain mendengarkan pembicaraan Nabi. Saat itu beliau bersabda: “ Saya hampir melarang al-ghailah, tetapi kemudian saya mempertimbangkan orang Roma dan Persia, dan mendapatkan bahwa perempuan-perempuan mereka biasa menyusui anakanak mereka dalam keadaan hamil tanpa akibat buruk”. Kemudian mereka bertanya kepada Nabi tentang al-„azl, lalu beliau bersabda: “Al-„Azl itu adalah pembunuhan anak secara tersembunyi (al-wa‟d al-khafî)” (HR.Muslim). 75 Abû Hamîd Al-Ghazâli, Ihya „Ulumuddîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1975), jilid 2, h. 53-54. 76 Muslim, Sahîh…, jilid 7, h.324. 54 kemudian ia mengemukakan salah satu hadis yang relevan dari sahabat Jabîr r.a. tentang diperbolehkannya al-‟azl, sebagaimana berikut: َّب صلَّى اللَّو عليو وسلَّم عن عمرو عن عطاء عن جابر قال كنَّا ن عزل على عهد الن ي 77 .والقرآن ي نزل ) ولو كان شيئًا ي ن هى عنو لن هانا القرأن:(زادسفيان راوى اْلديث Artinya: "Dari „Amr dari „Atha‟ dari Jabir berkata, kami melakukan al-„azl pada masa Rasulullah, padahal pada waktu itu al-Qur‟an sedang turun” (HR. Bukhari). (Sufyan yang juga perawi hadis menambahkan “Andaikata al-„azl itu dilarang, maka al-Qur‟an yang sedang turun itu memberikan larangan”). Al-Ghazâli mengizinkan al-„azl demi alasan kesehatan dan ekonomi, dan bahkan untuk memelihara tubuh dan kecantikan wanita demi melanggengkan kesenangan suaminya (yang absah). Ia mengemukakan bahwa anak yang lebih sedikit akan menghindarkan pada kemudlaratan yang imbasnya adalah dapat meningkatkan pada ketakwaan (Qillatul haraj Mu‟înun „alâ-dîn). Ia tidak mendapatkan alasan untuk melarang al-„azl atau untuk membatasi pelaksanaannya dengan berbagai persyaratan, dengan mengajukan argumen bahwa apabila mengelakkan perkawinan tidak dilarang maka menjauhi kehamilan pun juga tidak dilarang.78 77 Bukhârî, Sahîh…, jilid 16, h. 220. 78 „Umran, Islam…, h. 191. 55 Dalam mendukung sangkalan al-Ghazâlî terhadap hadis Judamah diatas, Imâm az-Zabadî yang hidup hampir tujuh abad kemudian dari masa al-Ghazâlî, memberikan kutipan-kutipan tambahan dari sunah dan dari penelitian ulama lain sejak masa al-Ghazali. Ia menyimpulkan bahwa tidak ada dasar untuk menyamakan al-„azl dengan wa‟ad al-khâfî (pembunuhan sembunyi-sembunyi). Ia juga mengomentari hadis Judamah dengan menerangkan bahwa redaksinya menunjukkan bahwa al-„azl dipraktekkan di zaman Nabi dan dengan adanya persetujuan beliau. Kemudian hal ini terus dilakukan oleh generasi sahabat dan tabi‟in.79 Al-Hâfidz al-„Irâqi (m. abad ke-15 M.), bekerjasama dengan ayahnya, „Abdul Rahmân ibn al-Husain al-„Irâqi, membuat kasus singkat dalam Tarh at-Tatsrib untuk al-„azl. Mereka meninjau dua pendapat Syafi‟i mengenai wanita merdeka, yakni apabila ia setuju maka al-„azl diperbolehkan, dan apabila ia tidak setuju maka menurut pendapat al-Ghazâli, ar-Rafi‟i, dan an-Nawawi ialah halalnya. Tiga ulama madzhab Syafi‟i yang tidak mengizinkan al-„azl adalah: Ibn Habbân, Ibn Yûnus, dan Ibn „Abd as-Salâm. Sedangkan kedua „Iraqi (al-Hâfidz dan „Abdul Rahmân) tidak sependapat dan secara khusus menolak pendapat Ibn Hibbân yang mendasarkan pendapatnya pada hadis Judâmah. Bahkan keduanya menyatakan bahwa dalam madzhab mereka (madzhab Syafi‟i) mengizinkan al-„azl dengan bebas tanpa tergantung pada persetujuan dari isteri.80 79 Muhammad ibn Muhammad al-Husainî az-Zabidî, Itâf as-Sâdat al-Muttaqîn bi Syarh Ihyâ‟ „Ulûmuddîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1989), jilid 5, h. 59. 80 Al-„Irâqi, Tarh at-Tastrîb, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), jilid 10, h. 59-63. 56 Ibn Hajar al-„Asqalâni (m. 1449 M.), dalam kitabnya Fath al-Bâri, suatu syarah atas kitab Sahîh al-Bukharî, menjelaskan bahwa al-„azl diizinkan. Dalam meninjau karya-karya ulama lain, baik dalam madzhab Syafi‟i atau madzhab lain, beliau mencatat syarat persetujuan isteri dalam madzhab-madzhab lain. Namun dalam madzhab Syafi‟i termasuk ulama Muta‟akhkhirun (ulama belakangan), percaya bahwa si wanita mempunyai hak atas hubungan seksual, namun tidak punya hak atas ejakulasi. Oleh karena itu, al-„azl diizinkan sekalipun tanpa persetujuan dari isteri. Menurut Ibn Hajar, jalan yang sahîh adalah halalnya al-„azl tanpa adanya persetujuan dari isterinya.81 Begitu juga asy-Sya‟rani (m. 1565 M.) dalam kitabnya al-Mîzan menerangkan akan kebolehan al-„azl tanpa perlu adanya persetujuan isteri, diterangkan oleh kenyataan bahwa kita tidak tahu apakah Allah SWT. akan menciptakan suatu makhluk dari sperma itu. Kemungkinan sperma itu tumpah atau jika tidak, kemungkinan mengendap. Maka dari situ asy-Sya‟rani sependapat dengan kebolehan secara bebas seperti pendapat Imam Syafi‟i.82 Dalam kitab Irsyâd as-Sârî, suatu syarah lain dari kitab Sahîh Bukhârî, alQastallânî (m. 1517 M.) mengutip an-Nawâwî dalam menetapkan halalnya al-„azl dengan karâhah tanzîhiyyah sambil merujuk, walaupun tidak mensyaratkan pada 81 Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bâri: Syarh Sahîh al-Imâm Abî „Abdillâh Muhammad Ibn Ismâ‟il al-Bukhârî, (Kairo: al-Khairiyah, tt), h. 244-249. 82 125. Abd al-Wahhâb Asy-Sya‟rani, Kitâb al-Mîzân, (Beirut: Alâm al-Kutub, 1989), jilid 2, h. 57 persetujuan isteri. Dalam pandangannya, al-„azl membantu menjamin bahwa jumlah anak dapat ditanggung secara ekonomi.83 Lalu kemudian pendapat inilah yang dijadikan banyak rujukan atas keabsahan penggunaan kontrasepsi untuk membatasi jumlah anak demi alasan ekonomi. C. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Madzhab Hanafi dengan Madzhab Syafi’i mengenai KB Apabila dilihat dari pendapat-pendapat ulama madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‟i tentang permasalahan Keluarga Berencana sebagai metode kontrasepsi dalam sebuah hubungan suami isteri diatas, serta penggunaan metode kontrasepsi klasik (al„azl) yang menjadi embrio bermunculannya metode kontrasepsi modern, maka dapat ditemukan antara lain tentang persamaan dan perbedaan daripada pendapat-pendapat mereka sebagaimana berikut: a. Ketentuan-ketentuan pendapat madzhab Hanafi tentang al-„azl: Madzhab Hanafi yang kemudian dijelaskan oleh Imam Hanafi sendiri dan para pengikutnya tentang metode al-„azl adalah sebagaimana berikut: 1) Al-„azl merupakan metode kontrasepsi klasik yang diperbolehkan dalam Islam. 83 Syihâbuddîn Ahmad bin Muhammad al-Qastallâni, Irsyâd as-Sârî li Syarh Sahih alBukhâri, (Beirut Dâr al-Kitâb al-„Arâbi, 1984), jilid 8, h. 99-100. 58 2) Diperbolehkannya al-„azl harus mendapat persetujuan daripada isterinya terlebih dahulu.84 3) Dalam keadaan-keadaan tertentu yang tidak mendukung untuk hamil dan mempunyai anak, maka suami diperbolehkan al-„azl tanpa ada persetujuan dari pada isterinya.85 4) Al-„azl yang merupakan metode klasik dapat dikembangkan menjadi metode yang modern seperti dewasa ini, dengan catatan di gunakan pada semestinya. b. Ketentuan-ketentuan pendapat madzhab Syafi‟i tentang al-„azl: Madzhab Syafi‟i yang kemudian dijelaskan oleh Imam Syafi‟i sendiri dan para pengikutnya tentang metode al-„azl adalah sebagaimana berikut: 1) Al-„azl merupakan metode kontrasepsi klasik yang diperbolehkan dalam Islam. 2) Al-‟azl bukanlah merupakan suatu pembunuhan (wa‟d) dan tidak seperti aborsi.86 84 Al-Marghînanî, Hidâyah….., hal. 494-495. 85 Al-Kamâl, Syarh ......, hal. 494. 86 az-Zabidî, Itâf as-Sâdat……, hal. 59. 59 3) Tidak ada persyaratan persetujuan dari isterinya terlebih dahulu atas kebolehan melakukan al-„azl dalam keadaan bagaimanapun.87 4) Dalam hal persetujuan dari isteri oleh suami dalam melakukan al-„azl, pendapat ini lebih liberal dari pada pendapat yang dikemukakan oleh madzhab Hanafi.88 5) Dalam melakukan persetubuhan, isteri mempunyai hak seksual, namun tidak mempunyai hak dalam ejakulasi.89 6) Adapun melakukan al-„azl karena takut akan lahirnya anak itu hukumnya makruh sekalipun ada izin dari isterinya.90 7) Al-„azl yang merupakan metode klasik dapat di kembangkan menjadi metode yang modern seperti dewasa ini, dengan catatan digunakan pada semestinya. c. Perasamaan dan Perbedaannnya Dalam kedua madzhab ini menjelaskan tentang hal yang menunjukkan adanya kebolehan melaksanakan KB secara umum bahwa metode kotrasepsi klasik ini telah 87 Al-Ghazâli, Ihya….., hal. 53-54. 88 Umran, Islam…, hal. 124. 89 al-„Asqalânî, Fath al-Bâri……, hal. 249. 90 Asy-Syîrazî, al-Muhadzdzab,……hal. 66. 60 ditemukan juga pada masa Nabi Muhammad SAW. masih hidup, yang dilakukan oleh para sahabatnya, padahal al-Quran masih deras-derasnya turun pada masa itu. Setelah melihat perkembangan zaman yang semakin lama semakin menunjukkan akan kecanggihannya, mayoritas ulama utamanya kedua madzhab tersebut (madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‟i) tetap mempertahankan akan kebolehan melakukan pencegahan kehamilan dengan menggunakan alat kotrasepsi yang telah berkembang dewasa ini (alat kontrasepsi modern), begitu juga dengan menggunakan alat kontrasepsi klasik yaitu al-„azl, dengan catatan penggunaannya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah di atur oleh syari‟at Islam. Dengan melihat dari pendapat-pendapat kedua madzhab diatas, maka penulis menemukan perbedaan-perbedaan yang jelas. Bahwasannya perbedaan yang jelas itu dimana si isteri menurut pendapat mayoritas madzhab Syafi‟i termasuk pendapat Imam Syafi‟i sendiri tidak mempunyai hak untuk melakukan ejakulasi dalam persetubuhan yang berakibatnya si suami tidak harus dan tidak wajib meminta persetujuan dari isterinya terlebih dahulu.91 Pendapat ini berbeda dengan pendapat dalam madzhab Hanafi yang mewajibkan suami harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada isterinya untuk melakukan pencegahan kehamilan, sebab isterinya juga menurut madzhab ini mempunyai hak dalam melakukan ejakulasi dalam suatu persetubuhan.92 91 Al-Ghazâli, Ihya….., hal. 53-54. 61 Dalam madzhab Hanafi menjelaskan tentang si suami diperbolehkan melakukan al-„azl dalam suatu persetubuhan tanpa harus meminta izin dari isterinya, walaupun isterinya tidak mengizinkan apabila ditakutkan pada suatu hal tidak baik yang akan terjadi. Maksudnya keadaan yang tidak baik ini seperti hal yang dikemukakan oleh Al-Kamâl ibn al-Humam dalam Syarh Fathul Qadîr „Alâ alHidâyah Syarh Bidâyah al-Mubtadi‟ adalah kekhawatiran akan melahirkan anak yang nakal dan lain sebagainya yang cenderung mengandung kemafsadatan terhadap kedua pasangan dan keturunannya.93 Sedangkan menurut Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhu adalah semisal mereka (suami dan isteri) sedang ada di perjalanan jauh, berada di kawasan perang yang mengakibatkan khawatir akan anak jika isteri melahirkan, atau sebab buruknya perilaku isteri yang kemudian akan melangsungkan perceraian dan khawatir jika ia hamil dan juga berbagai alasan yang lain.94 Pendapat ini tentunya berbeda dengan pendapat dalam madzhab Syafi‟i yang membolehkan al-„azl secara mutlak. D. Analisa Penulis Setelah penulis sebutkan beberapa pendapat-pendapat dari beberapa sumber keterangan permasalah KB oleh kedua madzhab diatas (Hanafiah dan Syafi‟iah) dan 92 Al-Marghînanî, Hidâyah….., hal. 494-495. 93 Al-Kamâl, Syarh Fathul Qadîr……., hal. 495. 94 az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm….., hal. 108. 62 lainnya, begitu juga setelah penulis mempertimbangkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah ini, maka dapat di analisa tentang ketentuan hukum dan ada empat hal pokok yang menjadi pertimbangan masing-masing individu dalam melaksanakan KB, sebagaimana berikut: 1. Segi ekonomi. Suami isteri hendaknya mempertimbangkan mengenai pendapatan dan pengeluaran dalam rumah tangga. 2. Segi sosial. Suai isteri hendaknya dapat memikirkan mengenai pendidikan anak, kesehatan keluarga, perumahan dan keperluan rekreasi untuk keluarga. 3. Segi lingkungan. Biasanya jika penduduk banyak, sedangkan sarana tidak memadai, maka akan terjadi kerusakan lingkungan, seperti numpuknya sampah, banyaknya limbah yang kotor, sarana air yang tidak bersih dan lainlainnya. Hal ini memang tidak hanya tertuju kepada satu keluarga saja, tetapi berlaku umum, dan menyangkut dengan kepadatan penduduk. 4. Segi kehidupan beragama. Ketentuan hidup beragama dalam satu keluarga, banyak faktor penentuannya, seperti faktor ekonomi, sosial, lingkungan tempat tinggal, dan kemampuan ilmu yang dimiliki suami isteri dalam mendidik anak dan keharmonisan antara semua keluarga. 5. Dalam hal ini, penulis lebih setuju dengan pendapat yang dikemukakan dalam madzhab Hanafi tentang penggunaan alat kontrasepsi termasuk al-„azl ketika hendak melakukan persetubuhan, bahwasannya suami harus mendapatkan izin dari isterinya terlebih dahulu dan juga sebaliknya, demi tercapainya harapan 63 yang harmonis dalam sebuah keluarga dan demi kebaikan masa depan keturunan yang menjadi buah daripada pernikahan mereka. Mengenai program KB, jika program ini dimaksudkan untuk membatasi kelahiran, maka hukumnya tidak boleh. Karena Islam tidak mengenal pembatasan kelahiran (tahdîd an-nasl). Bahkan, terdapat banyak hadis yang mendorong umat Islam untuk memperbanyak anak. Misalnya: Tidak bolehnya membunuh anak apalagi karena takut miskin (QS. al-Isra‟: 31), perintah menikahi perempuan yang subur dan banyak anak, penjelasan yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW. berbangga di Hari Kiamat dengan banyaknya pengikut beliau (HR. Nasa‟i, Abu Dâwûd, dan Ahmad), dan sebagainya. Akan tetapi yang diperbolehkan dalam Islam adalah pengaturan kelahiran (tanzîm an-nasl). Hal ini didasarkan pada para sahabat yang melakukan al-„azal di masa Nabi SAW., dan beliau tidak melarang hal tersebut. (HR. Bukhâri dan Muslim). Dalam keadaan tertentu Islam tidak menghalangi pengaturan kelahiran dengan cara pencegahan atau pengobatan. Semua dilakukan demi menjaga kesehatan badan, pembentukan manusia yang berkualitas, kemaslahatan masyarakat, dan lain sebagainya.95 Disamping itu, untuk membangkitkan semangat saling memadu keharmonisan dan kasih sayang diantara anggota keluarga itu akan tercapai jika sebelumnya telah 95 Muhammad Sa‟îd Ramadân al-Bûti, Tahdîd al-Nasl, (Damaskus: Maktabah al-Farâbî, 1998), cet. 4, hal. 7. 64 dipikirkan dan direncanakan apa saja yang seharusnya diperlukan dalam membina hubungan yang harmonis dalam keluarga. “Pasangan yang bijak adalah pasangan yang merencanakan sebelumnya agar keluarga nantinya memiliki perbandingan antara kuantitas dan kualitas secara seimbang untuk menuju keluarga yang sejahtera,” 65 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Menyimpulkan dari beberapa uraian diatas, bahwa tidak ada ayat Al-Qur‟an dan Hadis Nabi SAW yang berbicara tegas tentang hukum ber-KB. Secara subtansial KB tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, bahkan ia merupakan salah satu bentuk implementasi semangat Islam dalam mewujudkan sebuah kemaslahatan dan menolak kemafsadatan (Jalb alMasâlih wa Dar‟u al-Mafâsid). 2. Al-„azl bukanlah pembunuhan atau Wa‟d, hal itu tidak bertentangan dengan taqdîr / tawakkal kepada Allah SWT dalam permasalahan rizeki. Perencanaan keluarga tidak bertentangan dengan seruan hadis untuk memperbanyak jumlah banyak anak, sebab sebenarnya Nabi SAW lebih bangga terhadap keluarga yang memperhatikan hal kualitas keluarga daripada hal kuantitas dalam keluarga. 3. Para sahabat, sesuai dengan hadis yang telah disebutkan di atas, mereka pernah melakukan al-„azl tanpa adanya larangan dari Nabi SAW. Maka dari situlah diindikasikan diperbolehkannya al-„azl. Kecuali hadis dari Judamah yang itu pun masih dipermasalahkan akan keotentikan hadisnya oleh para kritikus hadis. Asumsi ini menunjukkan bahwa al-„azl tidak dilarang sebagai 66 salah satu metode kontrasepsi dan al-„azl inilah yang kemudian menjadi embrio bermunculannnya metode kontrasepsi modern. 4. Menurut Madzhab Hanafiah dan Syâfi‟iah, secara garis besar mereka memperbolehkan al-„Azl (metode kontrasepsi klasik dalam ber-KB), dengan syarat ada persetujuan isteri terlebih dahulu, walaupun Imam Syafi‟i sendiri dan beberapa pengikutnya berpendapat tidak memerlukan syarat persetujuan isteri dalam melakukan al-„azl. 5. Islam menyetujui semua metode kontrasepsi, asalkan aman, absah, dan dinyatakan keamanannnya menurut medis. Ukurannya adalah tidak ada mafsadah dalam menggunakannya, bahkan akan mendapatkan sebuah kemaslahatan bagi keluarga tersebut dan Negara pada umumnya. Al-„azl adalah metode yang ada di masa dini Islam, dan sekarang telah ada metode pil, spiral, suntikan, dan metode-metode lain yang ditemukan oleh kedokteran modern. Allah SWT. Maha Mengetahui atas kemaslahatan hamba-hambaNya. 6. Selain itu, KB merupakan hak suami isteri, dan bukan kewajiban. Tidak boleh ada sebuah tekanan, lebih-lebih intimidasi dari pihak lain dalam ber-KB. Suami isterilah yang berhak menentukan sikap mereka dalam ber-KB, termasuk dalam mengatur jumlah anak (Tanzîm al-Nasl). 67 B. Saran-saran Setelah penulis memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan Keluarga Berencana (KB), selanjutnya penulis akan memberikan saran-saran sebagaimana berikut: 1. Kepada para ahli hukum Islam hendaknya mengadakan penelitian-penelitian secara mendalam dan kontinyu tentang KB menurut masing-masing madzhab/literatur selain Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi‟i dalam memilih hukum yang sesuai dengan corak dan karakter demi kemaslahatan bangsa Indonesia. 2. Hendaknya dalam memperhatikan dan menilai sesuatu itu harus dilandasi dengan nilai-nilai spiritual, ilmu dan pemikiran yang lurus dan benar. 3. Menyediakan perancanaan keluarga dan pelayanan konsultasi tanpa paksa, memberikan informasi secara luas mengenai metode-metode kontrasepsi yang efektif dan aman yang tidak bertentangan dengan syari‟at Islam. 4. Begitu pentingnya permasalah KB ini untuk diketahui sehingga perlu adanya kitab-kitab dan buku-buku lainnya, khususnya bagi pemerhati studi hukum. Akan tetapi langkanya literatur yang tersedia, maka sebaiknya kepada para pihak yang berwenang diharapkan melakukan pengadaan kitab-kitab dan buku-buku lainnya untuk mempermudah proses pemahaman bagi para mahasiswa dan masyarakat luas terhadap kitab-kitab fikih dan ilmu lainnya. 68 5. Kemudian yang tidak kalah pentingnya untuk direnungkan kemungkinan dampak mafsadah yang akan timbul dari program KB itu. Sebagaimana diketahui, bahwa setiap warga peserta KB menggunakan alat kontrasepsi (alat pencegahan kehamilan). Apabila penjualan alat-alat tersebut tidak terkontrol dan dapat dibeli di sembarangan tempat, maka ada kemungkinan akan dipergunakan oleh para remaja (terutama) dan oleh orang-orang dewasa dalam mengadakan hubungan seks. Keberanian dalam melakukan hubungan seks itu lebih menonjol karena sudah ada penangkal untuk tidak hamil dan terhindar dari penyakit AIDS dengan mempergunakan alat kontrasepsi tersebut. Sebagai anak bangsa dan umat beragama, barangkali kita semua sependapat, bahwa kesuksesan program KB tidak menginginkan ada dampak lainnya yang merupakan hal negatif yang sukar diobati. Sukses di satu sektor tetapi dampak buruk di sektor lain. Oleh karena itu, diharapkan bahwa pelaksanaan KB harus dibarengi dan berjalan seiring dengan program lainnya, seperti pembinaan mental bangsa dan meningkatkan pendidikan agama, serta meningkatkan kesadaran masyarakat dan bernegara. Kesemuanya itu memerlukan sarana yang tidak sedikit, disamping sebuah kesadaran. Oleh karena itu adanya kordinasi perlu ditingkatkan lagi dalam semua bidang yang terkait. 69 DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an al-Karim. Abbas, Sirojuddin. Tabaqât As-Syâfi‟iyah. Jakarta: PT. Pustaka Tarbiyah, 1975. Abî Bakar, „Alâ‟uddin Abî Bakar bin Mas‟ûd al-Kasâni al-Hanafi. al-Badâ‟i as-Sanâ‟i fi Tartîb al-Syar‟î. (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996. Abidin, Slamet dan Aminudin, H. Fiqih Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Amin, Husain Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001. Amîn, Muhammad, Ibn Abidîn. Hasyiyah Radd al-Mukhtâr. Beirut: Dâr al-Fikr, 1966. Al-„Asqalânî, Ahmad bin „Alî bin Hajar. Fath al-Bâri: Syarh Sahîh al-Imâm Abî „Abdillâh Muhammad Ibn Ismâ‟il al-Bukhârî. Kairo: al-Khairiyah, tt.. Bahan Pendidikan dan Kependudukan. Jakarta: DPPTAI, 1981. BKKBN. Panduan Pelayanan KB Sektor Swasta. Kependudukan, 1995. Jakarta: Kantor Menteri Al-Bûti, Muhammad Sa‟îd Ramadân, Tahdîd al-Nasl. Damaskus: Maktabah alFarâbî, 1998. Chalil, Moenawar. Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1989. Dahlan, Abdul Aziz, at all. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru an Hoeve, 1996. 70 Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahli Sunnah dan Negara-negara Islam. Yogyakarta: Bulan Bintang, 1980. Departemen Agama RI. Al-Jumânatul Al-„Aliyy, al-Qur‟an dam Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit J-ART, 2005. Departemen P dan K. Kamus Besar Indonesi. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Depdikbud dan BKKBN. Pedoman Pendidikan Keluarga Berencana untuk Tutor dan Sumber Belajar. Jakarta: t.p, 1987. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995. Al-Ghazâli, Abû Hamîd. Ihya „Ulumuddîn. Beirut: Dâr al-Fikr, 1975. Ghazali, M. Bahri, at all. Perbandingan Madzhab. Jakarta: PT. Pedoman Ilmu Jaya, 1992. Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah Al-Hadîtsah: Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996. -----------. Perbandingan Madzhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Al-Husaini, M. H. Al-Hamad. Riwayat Sembilan Imam Fiqh. Jakarta: Pustaka Hidayat, 2000. Ichsan, Ahmad. Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan Ulasan secara Sosiologi Hukum. Jakarta: Pradia Paramita1986. Al-„Irâqi. Tarh at-Tastrîb. Beirut: Dâr al-Fikr, 1988. Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh Muslimah. Jakarta: Pustaka Amani, 1995. Al-Jazîri, „Abd Ar-Rahman. Kitâb al-Fiqh „Alâ Al-Madzâhib Al-Arba‟ah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1969. 71 Al-Kamâl, ibn al-Humam. Syarh Fathul Qadîr „Alâ al-Hidâyah Syarh Bidâyah alMubtadi‟. Beirut: Dâr al-Fikr, 1972. Kantor Menteri Negara Kependudukan / Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional. 25 Tahun Gerakan Keluarga Berencana. Jakarta: Keluarga Sejahtera. Kauma, Fuad. Perjalanan Spiritual Empat Madzhab. Jakarta: Kalam Mulia, 1999. Al-Khawârizmî, Abû al-Mu‟ayyis Muhammad ibn Mahmûd. al- Jâmi Masânid al-Imâm al-„Azham. Beirut Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, tt.. Khudari, Muhammad, Bik. Târikh At-Tâsyri‟ Al-Islâmi. Mesir: At-Tijâriyat AlKubra, 1970. Latif, H.S.M., Nasaruddin. Keluarga Berencana Ditinjau dai Sudut Agama Islam, Dalam Pandangan Agama Terhadap KB. Panitia ADHOC KB, tt. LKK-NU dan BKKBN. Pedoman Penerangan tentang Keluarga Berencana. Jakarta: t.p, 1982. Al-Makky, Muhammad Sultân. Hal Al-Muslim: Mulzam bi Al-Ittibâ‟ Madzhab AlMu‟în Min Madzhab Al-Arba‟ah. Mekkah: Jam‟iyyah Ihyâ, 1974. Al-Maraghi, Abdullah Musthafa. Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah. Yogyakarta: PT. LKPSM, 2001. Al-Marghînanî. Hidâyah al-Muhtadî. Beirut: Dâr al-Fikr, 1965. Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh : Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. ----------. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003. 72 Munawwir, Ahmad Warson, al- Munawwir Qamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984. Al-Mundzîr, Ibn. Lisân al-„Arab. Beirut: Dâr as-Sadar, 1994. Mushthafa, Nasib. Manaqib Imam Syafi‟i. Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2001. Muzani, Syaiful, (ed). Islam Nasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung: Mizan, 1995. Nujaim, Ibn. al-Bahr ar-Râ‟iq. Beirut: Dâr al- Kutub, 1995. Pusat Studi Wanita. Relasi Suami Isteri dalam Islam. Jakarta: PSW, 2004. Al-Qardhawi, Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Era Intermedia, 1998. Ahmad Syihâbuddîn bin Muhammad al-Qastallâni. Irsyâd as-Sârî li Syarh Sahih al- Bukhâri. Beirut: Dâr al-Kitâb al-„Arâbi, 1984. Radianti, Jaziar (Pentj). Etika Pengobatan Islam : Penjelajahan Seorang Neomoderns. Bandung: Mizan, 1999. Rahman, Bakri, A. dan Ahmadi Sukadja. Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang- undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW. Jakarta: Hidakarya Agung, 1981. Ramayulis. Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga. Jakarta: Kalam Mulia, 1990. Ramli. Terjemahan Muqaranatul Madzahib fi Al-Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Razak A. dan Rais Latif. Terjemah Hadis Shahih Muslim. Jakarta: al-Husna, 1980. 73 Rekomendasi Muktmar dan Keputusan Majlis Tarjih. Republika. Jakarta: 11 Juli 1995. [ Saefudin, Didin. Zaman Keemasan Islam. Jakarta: PT Grasindo, 2002. Sahli, Masfudli. Biologi Perkawinan tentang Syahwat, Jima‟, dan KB. Solo: CV. Aneka, tt. Salam, Muhiddi Abdus. Pola Pikir Imam Syafi‟i. Jakarta: Fikahati Aneka, 1995. As-Samarqand, Abû Laits, Nasr bin Muhammad. Bustân al-„Ârifîn. Beirut: Dâr alFikr, 1989. Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur‟an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan,2003. Suhaimi, Mustafa. Imam Abu Hanifah. Jakarta: Progressive Products Supply, 1990. Asy-Sya‟rani, Abd al-Wahhâb. Kitâb al-Mîzân. Beirut: Alâm al-Kutub, 1989. Syarifuddin. Kamus Al-Mishbah. Jakarta: Bina Aksara, t.t. Asy-Syarqawi, Abdurrahman. Riwayat Sembilan Imam Fiqh. Bandung: Pustaka Hidayah, 2009. Asy-Syîrazî, Al-Fairuzzabadî. al-Muhadzdzab. Mesir: Zahanâ „Alî Yûsuf, tt.. Asy-Syurbasi, Ahmad. Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab. Jakarta: Bumi Aksara, 1991. At-Tahawi, Abû Ja‟far. Musykil al-„Atsâr. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995. 74 Umran, Abd Al-Rahim. Islam dan KB. Jakarta: PT Lentera Basritama, 1997. Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan. Jakarta: PT. Pradya Paramita. Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqh Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007. Yakub, Aminuddin. KB dalam Polemik: Melacak Pesan Subtantif Islam. Jakarta: PBB UIN, KAS, 2003. \ Yanggo, Chuzaimah, T, dan Hafidz Anshary, AZ (ed). Keluarga Berencana Menurut Tinjuauan Hukum Islam dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. ----------. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta: Logos, 1997. Az-Zabidî, Muhammad ibn Muhammad al-Husainî. Itâf as-Sâdat al-Muttaqîn bi Syarh Ihya‟ „Ulûmuddîn. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1989. Az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhu. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1989. Zuhdi, Masfuk. Masâ‟il al-Fiqhiyah. Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990. http://www.acehforum.or.id/keluarga-islam http:/psikis.bkkbn.go.id/gemopria.articles.php http://kbi.gemari.or.id/ http://zanikhan.multiply.com/journal/item/4674/._KELUARGA_BERENCANA_DA LAM_ISLAM