2 Permasalahan perilaku selalu menjadi permasalahan yang dibahas seharihari di Taman Kanak-kanak baik oleh guru maupun orangtua. Salah satu permasalahan yang selalu menjadi keluhan oleh guru dan orangtua siswa adalah perilaku agresif siswa Taman Kanak-kanak. Banyaknya peristiwa agresif di sekitar anak dikhawatirkan berkembang menjadi contoh bagi anak lain untuk melakukan perilaku yang sama. Jumlah kasus-kasus perilaku agresif anak juga semakin hari semakin meningkat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014. KPAI mencatat dalam empat tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan jumlah kasus sebanyak 1.615. Pada 2012 sebanyak 426 kasus dan 2011 kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 261 kasus (Kpai, 2014). Kasus pengaduan anak di sektor pendidikan tahun 2011 adalah sebanyak 338 kasus, pada tahun 2012 sebanyak 552 kasus, tahun 2013 sebanyak 371 kasus dan sampai bulan Agustus 2014 sebanyak 247 kasus. Kasus yang menjadi pengaduan diantaranya adalah tawuran pelajar, diskriminasi dan intimidasi pendidikan, kekerasan disekolah dan lain-lain. Kasus kekerasan disekolah atau bullying selalu menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan (Republika, 2014). Metro TV pernah menyiarkan kasus anak usia tujuh tahun tega membunuh temannya yang berusia enam tahun gara-gara meminjam uang Rp 1000,- dan sampai bertikai (Kompasiana, 2013). Observasi yang dilakukan Zwagery (2012) pada empat Taman Kanakkanak di Kalimantan menunjukkan bahwa siswa taman kanak-kanak mulai menunjukkan adanya perilaku agresif seperti memukul, menendang, berkelahi, menjambak teman seusianya, merusak properti sekolah. Selain itu bentuk perilaku agresif yang dikeluhkan sebanyak 60% perilaku memukul, 30% perilaku menendang, 15% perilaku merebut, 10% merusak peralatan sekolah, 50% perilaku berteriak, 25% perilaku membentak dan menggunakan kata-kata yang kurang pantas 10%. Hasil studi tahun 2012 pada 91 guru TK di Yogyakarta diketahui bahwa setiap guru masih menghadapi perilaku siswa seperti mengejek, menjahili teman, bertengkar, berteriak, berkelahi, marah, mengamuk, melawan guru dan tidak patuh (Fahrunnisa, 2014). 3 Salah satu permasalahan perilaku yang menjadi keluhan guru pada Praktek Kerja Profesi Psikologi tahun 2014 sampai 2015 di salah satu Taman Kanakkanak di Yogyakarta adalah mengenai perilaku siswa yang melakukan perilaku agresif. Guru mengeluhkan perilaku siswa yang cenderung agresif, kondisi kelas menjadi kacau dan tidak terkendali karena guru hanya fokus untuk mengatasi perilaku anak yang agresif tersebut. Anak-anak lain juga bergantian mengadu pada guru akibat perilaku anak yang agresif tersebut. Perilaku yang sering muncul adalah memukul bagian tubuh dan kepala teman dengan tangan atau topi, merampas, merebut mainan, mengigit, melempar mainan, menendang kursi dan pintu kelas, berkata kasar, berteriak, mengancam serta menakut-nakuti teman. Hasil preliminary study yang dilakukan peneliti tanggal 7-12 September 2015 di empat sekolah Taman Kanak-Kanak di Pekanbaru menunjukkan bahwa semua guru membenarkan bahwa anak-anak masih menunjukkan perilaku agresif. Guru juga sering mendapatkan keluhan dari orangtua akibat perilaku agresif anak mereka. Sementara itu preliminary study yang dilakukan di empat sekolah Taman Kanak-kanak di Yogyakarta tanggal 21-24 September 2015 juga menunjukkan hal yang sama. Siswa Taman Kanak-kanak di sekolah tersebut cenderung masih melakukan perilaku agresif. Perilaku agresif yang sering muncul seperti memukul temannya, mencubit teman, menarik, menyeret, menjambak, mendorong, menendang, berkelahi, memaksa melempar benda, merusak properti sekolah membentak, berteriak, berkata kasar, menghasut dan memutuskan hubungan pertemanan. Perilaku agresif membuat siswa lainnya terganggu, tidak bisa belajar, menangis, mengeluh dan terpengaruh untuk mengikuti perilaku agresif tersebut. Perilaku anak yang agresif cenderung membuat konsentrasi guru terganggu dan kelas menjadi kurang kondusif untuk melakukan pembelajaran. Hasil preliminary study juga menunjukkan, bahwa anak yang berperilaku agresif cenderung ditolak oleh teman-temannya dan kurang memiliki teman. Menurut guru, perilaku agresif ini merupakan masalah yang selalu ada setiap tahunnya. Perilaku ini cenderung banyak muncul di awal tahun pelajaran karena anak-anak masih membawa nilainilai dari rumah dan belum diajarkan peraturan di sekolah. Setelah beberapa bulan sekolah, biasanya perilaku agresif anak-anak sudah mulai menurun namun masih 4 sering muncul. Perilaku agresif anak juga banyak dipengaruhi oleh orangtua dan lingkungan rumah, sehingga pihak sekolah masih harus berupaya untuk mengurangi kecenderungan perilaku agresif salah satunya dengan mengenalkan peraturan di sekolah, disiplin dan nilai-nilai kepada anak. Sementara itu, sekolah belum memiliki program untuk menurunkan perilaku agresif siswa. Agresivitas anak usia dini seringkali dianggap tidak berbahaya, sehingga masyarakat cenderung membiarkannya dan fokus pada pengendalian agresivitas orang dewasa atau remaja. Namun, beberapa ahli sepakat bahwa penanganan dan pencegahan perilaku agresif harus dilakukan sejak masa kanakkanak. Salah satu pendekatan terbaik untuk mencegah berbagai masalah agresi pada masa yang akan datang adalah dengan cara mengintervensinya sejak dini (Woolfolk, 2009). Pengendalian perilaku agresif sejak usia dini diperkuat oleh sebuah studi jangka panjang pada anak usia dini yang menunjukkan bahwa pengendalian agresivitas perlu dilakukan agar tidak muncul dampak negatif pada anak yang dapat berlanjut hingga usia dewasa. Mengabaikan perilaku agresif pada masa kanak-kanak dapat menjadi cikal bakal perilaku kekerasan pada masa remaja (Kotch, Lewis, Hussey, English, Thompson, Litrownik, Runyan, Bangdiwala, Margolis & Dubowitz, 2008). Alatupa, Pulkki-Raback, Hintsanen, Mullola, Lipsanen & KeltikangasJarvinen (2011) juga melakukan penelitian jangka panjang pada partisipan yang berusia tiga, enam dan sembilan tahun. Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa anak dengan masalah perilaku (salah satunya agresif) menunjukkan efek jangka panjang. Perilaku agresif merupakan faktor penting untuk memprediksi performansi siswa di sekolah, terutama pada siswa laki-laki. Anak laki-laki yang memiliki perilaku agresif tinggi diprediksi memiliki nilai rata-rata kelas yang buruk pada tingkat tiga dan enam di sekolah Dasar serta tingkat sembilan di sekolah menengah pertama. Penelitian oleh Kamper & Ostrov (2013) menunjukkan bahwa agresi relasional berhubungan dengan penyesuaian sosial psikologis di masa yang akan datang. Penelitian Kokko, Tremblay, Lacourse, Nagin, & Vitaro (2006) pada 1025 anak laki-laki berusia enam sampai 12 tahun menujukkan bahwa agresi fisik dapat 5 memprediksi kekerasan fisik dan putus sekolah pada anak laki-laki. Ketika anak usia dini yang memiliki perilaku agresif memasuki sekolah, mereka tidak hanya rendah dalam bidang akademik namun juga secara sosial, dan kedua jenis kegagalan ini saling berinteraksi untuk mempercepat pertumbuhan perilaku agresif (Dodge, Coie, & Lynam, 2006). Oleh karena itu intervensi sebelum memasuki masa sekolah sangat penting untuk dilakukan sebagai pencegahan masalah dimasa yang akan datang. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa perilaku agresif adalah perilaku yang menyebabkan kerugian atau kerusakan (Forgas, Kruglanski, & Williams, 2011; Myers, 2012; Smith & Hart, 2011). Perilaku agresif juga berarti perilaku yang bertujuan untuk menyakiti atau melukai orang lain atau benda milik orang lain (Dodge, Coie, & Lynam, 2006). Essa (2014) menyatakan perilaku agresif sebagai perilaku sengaja yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain. Perilaku agresif menurut Baron & Branscombe (2012) adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk menyakiti orang lain dengan berbagai cara untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Perilaku agresif didefinisikan juga sebagai perilaku fisik atau verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain (Myers, 2012). Para ahli psikologi sosial secara umum memfokuskan penyebab munculnya agresi menjadi tiga bagian yaitu (1) disebabkan akar biologis yang mendorong agresi, seperti pengaruh neurologis, genetis dan biokimia, (2) agresi adalah sebagai respon dari frustasi, (3) perilaku agresif adalah perilaku yang dipelajari, melalui pengamatan dan memperhatikan konsekuensi yang didapat dari perilaku agresif tersebut (Myers, 2012). Sementara itu, perilaku agresif pada masa kanak-kanak dipengaruhi diantaranya oleh pengaruh biologis, pengaruh pola pengasuhan dan keluarga, pengaruh teman sebaya serta adanya pengaruh media (Smith & Hart, 2011). Sebuah penelitian oleh Bingenheimer, Brennan, & Earls (2005) menyatakan bahwa kelompok masyarakat yang akrab dengan kekerasan seperti geng remaja akan memberikan model bagi anggota yang lebih muda untuk bertindak agresif. Teman sebaya juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan agresi. Anak-anak menghabiskan waktu mereka dengan teman sebaya. Ketika teman prasekolah mereka melakukan perkelahian, maka perilaku agresif mereka 6 cenderung mempengaruhi rekan-rekan yang lainnya (Smith & Hart, 2011). Penelitian yang dilakukan selama dua tahun oleh Ostrov, Gentile, & Crick (2006) menunjukkan bahwa paparan media televisi juga dapat mempengaruhi perilaku agresif pada anak-anak. Paparan media berhubungan dengan agresi relasional pada anak perempuan dan agresi fisik pada anak laki-laki di sekolah. Selain itu, melalui media masa anak-anak pertama kali melihat kekerasan dan akan mempengaruhi anak berperilaku agresif dalam situasi berikutnya (Myers, 2012). Perilaku agresif dikategorikan menjadi empat perilaku agresif yaitu agresi fisik, agresi verbal, agresi relasional serta agresi nonverbal (Ostrov & Keating, 2004). Perilaku agresi fisik adalah perilaku yang menyakiti orang lain menggunakan kekuatan fisik atau ancaman fisik seperti memukul, mendorong, menendang, menarik, meninju, merampas, mengekang dengan kuat dan merusak barang orang lain. Agresi verbal adalah perilaku yang menyakiti atau mengancam orang lain secara verbal seperti menyumpahi, memanggil dan membuat julukan, menantang, menyakiti dengan kata-kata, menghina, mengancam. Perilaku agresi relasional didefinisikan perilaku yang merugikan atau mengancam merugikan hubungan dengan menyakiti, merusak atau menyakiti orang lain seperti menggosip, menyebarkan rumor, dengki dengan berbohong, mengeluarkan teman dari kelompok, memutuskan pertemanan, mengabaikan teman sebaya (Burr, Ostrov, & Jansen, 2005; Ostrov & Keating, 2004; Ostrov, Murray-Close, Godleski, & Hart, 2013; Smith & Hart, 2011). Perilaku agresi nonverbal berupa ekspresi wajah yang menunjukkan mengganggu, dagu yang menunjukkan penolakan atau tanda mengancam orang lain (Ostrov & Keating, 2004). Ilmuan psikologi yang melihat agresi sebagai perilaku proaktif, lebih berkonsentrasi untuk mengajarkan individu yang agresif berperilaku dengan cara yang tidak agresif. Salah satu cara untuk menyingkirkan perilaku yang tidak diinginkan adalah menggantinya dengan perilaku yang diinginkan. Pendekatan ini dirasakan lebih efektif untuk mengurangi agresi dengan menggunakan prinsip pembelajaran modifikasi perilaku yang berfokus pada penguatan perilaku non agresif, salah satunya perilaku prososial. Hal ini disebut sebagai differential 7 reinforcement of alternative behavior dalam terminologi modifikasi perilaku (Bushman & Huesmann, 2010). Mengembangkan perilaku prososial adalah bahan utama dalam membentuk persahabatan dan hubungan teman sebaya yang sukses. Perilaku prososial termasuk pada perilaku yang tepat pada teman sebaya dan dirancang untuk menguntungkan orang lain (Landau & Gioia, 2009). Keterampilan prososial dapat memberikan perkembangan interaksi yang sehat dengan teman sebaya dan termasuk kemampuan memecahkan masalah sosial. Domain prososial ini memungkinkan anak untuk mengenal segundang konsep solusi untuk masalah sosial seperti ekspresi wajah, niat, empati, dan memiliki harapan yang realistis akan situasi sosial. Hasil adaptasi ini, membuat anak menghasilkan kemampuan pemecahan masalah sehat daripada memilih untuk melakukan agresi (Holmes, Yoon , Voith, Kobulsky, & Steigerwald, 2015). Penelitian Zimmer-Gembeck, Geiger, & Crick (2005) memperkuat adanya hubungan perilaku prososial dan perilaku agresif. Penelitian ini menemukan bahwa anak-anak prasekolah lebih menyukai teman mereka yang prososial, mereka juga cenderung menolak teman mereka yang mengganggu dan berperilaku agresif. Perilaku agresif dan prososial dapat memprediksi hubungan dengan teman sebaya dimasa yang akan datang, selain itu perasaan disukai dan tidak disukai oleh teman sekelas sangat penting untuk membentuk perilaku agresif dan prososial di masa depan. Anak yang memiliki kompetensi prososial juga diprediksi memiliki kekuatan di area yang berhubungan dengan akademik serta keterampilan sosial emosional (Hyson & Taylor, 2011). Perilaku prososial berpengaruh terhadap perkembangan sosialisasi anak dengan teman sebayanya. Anak yang mampu bersosialisasi, secara umum akan mudah menerima reaksi yang positif dari teman sebaya ketika menunjukkan tindakan prososial. Anak-anak yang memiliki prososial yang kuat jika dibandingkan dengan teman sebayanya juga menunjukkan perilaku yang lebih baik dalam menyesuaikan diri, terampil secara sosial, lebih ekspresif, suka berteman dan asertif. Selain itu anak usia dini yang memiliki perilaku prososial yang kuat cenderung mudah beradaptasi, memiliki 8 coping dan melakukan kontrol diri yang baik. Perilaku prososial juga berasosiasi dengan pencapaian kesuksesan dan kepuasan hati, kompetensi sosial, kemampuan akademik (Eisenberg & Mussen, 1989). Oleh karena itu, pengembangan keterampilan prososial perlu dilakukan dalam upaya mengurangi perilaku agresif. Penelitian prososial dikembangkan dalam upaya mengurangi perilaku agresif diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Liu, Teng, Lan, & Yao (2015) menunjukkan hasil bahwa paparan media prososial dapat mengurangi agresi. Penelitian Sudlow (2013) menunjukkan bahwa lirik prososial membantu untuk menurunkan perilaku agresif partisipan dalam berdebat. Hasil analisis data pada penelitian Fahrunnisa (2014) menunjukkan bahwa Program Kegiatan Bermain Prososial (KBP) dapat menurunkan perilaku agresif siswa di kelas Taman Kanak-kanak. Hasil pengamatan McCabe & Frade (2007) bahwa siswa kelas tiga yang berpartisipasi menunjukkan peningkatan keterampilan netral atau prososial dan penurunan agresi. Perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku sukarela untuk menolong orang lain (Papalia & Feldman, 2014). Perilaku prososial merujuk kepada perilaku yang menunjukkan keinginan untuk menolong atau memberikan manfaat pada seseorang atau sekelompok orang (Eisenberg & Mussen, 1989). Prososial juga berarti perilaku menolong yang dirasakan sebagai perilaku yang positif (Sturmer & Snyder, 2010). Perilaku prososial adalah tindakan sukarela terhadap orang lain seperti peduli, berbagi, menghibur, dan bekerjasama (Slavin, 2009). Menurut Beaty (2013) perilaku prososial adalah perilaku yang mencerminkan kepedulian atau perhatian dari seseorang anak ke anak lainnya, misalnya dengan membantu, menghibur, atau hanya tersenyum pada anak lain. Jackson & Tisak (2001) melakukan review terhadap sejumlah penelitian prososial dan melakukan kategorisasi perilaku prososial menjadi empat aspek perilaku yaitu menolong, berbagi, menghibur dan bekerjasama. Untuk dapat memunculkan perilaku prososial bergantung kepada perkembangan kognisi, salah satunya anak harus memiliki kemampuan perspective taking yaitu kemampuan untuk memahami kondisi orang lain (Bar-Tal & Raviv, 1982). Perspective taking bergantung pada kondisi mental seseorang 9 dan menjadi suatu hal yang penting bagi kemampuan sosial karena merupakan bagian kecil yang mungkin menjadikan seseorang mampu secara sosial dengan siapa ia berinteraksi (Matson, 2009). Selman (1975) meneliti mengenai proses sosial perspective taking dengan menganalisa respon anak-anak. Pada level pertama, yaitu anak-anak yang kecil berusia empat sampai enam tahun mencoba mengatasi egosentrisme dan mampu dengan jelas membedakan perspektif subjektif diri dan orang lain. Ia mulai memahami bahwa dalam situasi yang sama, pikiran dan perasaan orang lain mungkin sama atau berbeda dari diri sendiri, atau bahwa orang lain mungkin berpikir secara berbeda tentang peristiwa sosial tergantung pada informasi yang tersedia bagi mereka. Artinya, semua orang memiliki kemampuan interpretatif subjektif. Berdasarkan penelitian mengenai perspective-taking yang dilakukan Wu & Keysar (2007) pada anak-anak di atas empat tahun menunjukkan bahwa mereka sudah mampu memahami pendapat orang lain dan mampu mengungkapkan pendapatnya. Anak-anak usia empat dan lima tahun sering menunjukkan perilaku prososial yang membuktikan bahwa mereka memahami apa yang orang lain butuhkan. Perilaku yang paling umum dari perilaku ini adalah berbagi, bekerja sama, dan membantu (Woolfolk, 2009). Anak usia dini berada pada perkembangan kognitif praoperasional yang berkembang mulai usia dua hingga tujuh tahun. Pada fase praoperasional ini, anak dikarakteristikkan dengan perluasan besar-besaran dalam menggunakan pemikiran simbolis. Kemampuan kognitif pada masa ini yang sudah berkembang diantaranya adalah menggunakan simbol, memahami identitas, memahami sebab akibat, kemampuan mengkategorikan, memahami angka, berempati, dan theory of mind (Papalia & Feldman, 2014). Bermain peran merupakan salah satu metode yang disarankan digunakan guru untuk membantu perkembangan siswa. Konteks bermain peran adalah anakanak terlibat dalam bermain imajinatif dan simbolik memberikan kesempatan penting bagi anak-anak untuk latihan dan mengembangkan kompetensi sosial. Dalam bermain drama, anak-anak menggunakan simbol bermain, mereka dapat memperluas permainan simbolik ini untuk masuk dengan anak-anak lain (Rogers & Evan, 2008). Hal ini dapat mendukung kesesuaian pengembangan sifat-sifat 10 sosial positif yang dipupuk dalam berbagai kegiatan prasekolah dan pusat pembelajaran. Kegiatan yang mungkin paling alami difasilitasi dalam bermain drama dan sosiodrama (Essa, 2014). Bermain peran dapat digambarkan sebagai metode pemecahan masalah kelompok yang memungkinkan individu lebih muda menjelajahi permasalahan manusia secara spontan yang diikuti dengan diskusi yang dipandu. Bermain peran menolong individu yang lebih muda mengatasi egosentrisme sendiri. Bermain peran merupakan proses empati, dengan menempatkan diri pada situasi berbeda, seseorang kadang mampu merasakan ketika berada pada posisi orang lain. Pembelajaran bermain peran juga dapat meningkatkan suasana emosional kelas. Tujuan pembelajaran bermain peran adalah menolong anak untuk belajar bahwa perilaku dan perasaan mereka mempengaruhi perilaku dan perasaan orang lain (Shaftel & Shaftel, 1982). Bermain peran dapat memiliki dampak positif dengan memerankan tema dan cerita dalam bermain peran yang memungkinkan anak melakukan praktek komunikasi dengan emosi dan mengarah ke arah regulasi emosi (De-Souza & Radell, 2011). Bermain peran juga muncul untuk mendukung berbagai keterampilan dan kemampuan penting yang berkontribusi untuk proses belajar selanjutnya (Rogers & Evan, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian bahwa guru Taman Kanak-kanak di Malaysia mengakui bahwa bermain merupakan media penting dalam proses belajar mengajar. Anak-anak menggunakan metode bermain agar berkontribusi terhadap fisik, kognitif, spiritual dan sosial emosional perkembangan (Norsuhaily, 2010). Konten media pendidikan dapat mentransfer tidak hanya fitur tradisional perilaku prososial seperti menolong, bekerja sama dan berbagi, tetapi media pendidikan juga dapat meningkatkan keterampilan relasional inklusif anak-anak dengan mengajarkan mereka cara pendekatan kelompok dan individu (Ostrov, Gentile, & Crick, 2006). Kemampuan anak untuk akur dengan teman sebaya juga bergantung kepada pengetahuan sosial. Anak-anak perlu mengetahui tujuan apa yang harus dicapai pada situasi ambigu, bagaimana memulai dan memelihara ikatan sosial dan skenario apa yang harus diikuti untuk berteman (Santrock, 2007). 11 Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak di usia dini sangat penting untuk diberikan cukup peluang untuk berbagai jenis bermain karena bermain peran mendorong pemikiran yang representatif, membantu anak-anak untuk mengembangkan sudut pandang orang lain, dapat menampilkan kompetensi bahasa anak-anak, dapat melibatkan pemecahan masalah, mendorong kemampuan pengambilan keputusan dan negosiasi (Rogers & Evans, 2008). Bermain peran juga penting bagi perkembangan intelektual dan juga bahasa, anak-anak mengingat ide dan kata yang sebenarnya sudah mereka rasakan (Singer & Singer, dalam Beaty, 2013). Bermain peran memberikan mereka bantuan proses pemecahan masalah yang sangat berbeda dengan cara selangkah demi selangkah, anak akan menjelajahi pengalaman unik, membantu menciptakan ruang kelas yang demokratis di mana setiap anak bernilai dan dihargai, membantu anak-anak untuk belajar berfikir bagaimana melakukan refleksi, kritis menginternalisasi informasi, menciptakan makna pribadi serta pemahaman melalui interaksi yang realistis dalam dunia di sekitar mereka. Melalui gerakan bermain peran, katarsis dan perbaikan, klien akan mampu mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk hubungan sosial yang positif (Pecaski McLenan, 2011). Penelitian Gezait, Mey & Abdullah (2012) menunjukkan bahwa menggunakan psikodrama memiliki implikasi penting dan penggunaan psikodrama harus diperhatian lebih serius untuk kurikulum sekolah. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan drama sosial dengan perkembangan kemampuan sosial. Melalui bermain, anak-anak memiliki banyak kesempatan untuk belajar mengenai aturan-aturan sosial dengan melihat identitas orang lain dan memberlakukannya disituasi umum, dengan cara negosiasi dengan teman sebaya jika terjadi konflik (Essa, 2014). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Ekawati, Lasmawan, & Dantes (2013) bahwa melalui metode bermain peran dapat meningkatkan kemampuan sosial anak TK B. Diakhir pelaksanaan kemampuan sosial anak meningkat menjadi 100% dan tidak ada yang memiliki kemampuan sosial kurang. Gezait, Mey, & Abdullah (2012) melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa terapi psikodrama merupakan intervensi yang tepat 12 untuk remaja dengan perilaku agresif. Intervensi ini efektif untuk mengurangi perilaku agresi. Sekolah merupakan lokasi penting bagi intervensi untuk mencegah atau mengurangi perilaku agresif. Sekolah merupakan tempat terjadinya agresi yang cukup banyak. Sekolah juga merupakan satu-satunya tempat yang memiliki akses pengaturan yang hampir menyeluruh untuk anak-anak. Program universal merupakan salah satu program yang disarankan dalam intervensi. Program universal adalah program intervensi yang disampaikan didalam setting kelas kepada semua siswa didalam kelas, anak-anak tidak dipilih untuk mendapatkan intervensi. Program Universal memberikan efek yang lebih besar pada siswa yang lebih muda serta pada anak-anak dengan status sosial ekonomi rendah jika dibandingkan dengan anak dari kelas menengah (Wilson & Lipsey, 2007). Kebijakan yang direkomendasikan bersifat universal merupakan kurikulum berbasis kelas yang mencakup pengajaran keterampilan sosial harus dipandang sebagai dasar pengajaran yang melayani semua anak. Anak-anak dengan perilaku agresif harus menerima pengajaran sosial pemecahan masalah dan keterampilan prososial lainnya serta intervensi dari para ahli dan anggota keluarga yang diperlukan. Program intervensi universal dapat dirancang untuk mengajarkan empati, kontrol impuls dan kemampuan memecahkan masalah sosial untuk anak prasekolah sampai sekolah menengah (McCabe & Frade, 2007). Hasil studi sejumlah penelitian pada program berbasis sekolah yang universal dilakukan oleh Hann, Whitley, Whethington, Lowly, Crosby, Fullilove (2007) menunjukkan dasar yang kuat bahwa program universal berbasis sekolah dapat menurunkan perilaku kekerasan pada anak usia dini sampai masa remaja. Penelitian ini mengacu kepada observational learning dari Bandura (1976). Proses observasi ataupun perhatian sangat penting dalam pembelajaran (modeling) tingkah laku karena tingkah laku yang baru tidak akan diperoleh tanpa adanya proses observasi maupun perhatian pembelajaran. Metode belajar sosial yang memandang bahwa semua perilaku merupakan hasil dari proses belajar yang berlangsung dalam situasi sosial melalui perilaku meniru atau mencontoh (modeling). Gambar 1 menunjukan proses seorang individu bisa 13 mempelajari keterampilan baru melalui proses pengamatan (observational) terhadap model melalui empat tahapan, yaitu: attention, retention, production dan motivational. Modeled Events Attentional Processes Retention Processess Motor Reproduction Processes Motivational Processes Matching Performances Gambar 1. Skema Proses Belajar Melalui Pengamatan (Observational Learning) Pembelajaran Bermain Peran Prososial akan menggunakan modul bermain peran “Aku Sayang Kawan” yang disusun oleh (Alfiyah, 2014) menggunakan dasar teori prososial dari Jackson & Tisak (2001). Penelitian ini terbukti dapat meningkatkan pengetahuan prososial siswa taman kanak-kanak dengan hasil analisis data menggunakan anava campuran diperoleh nilai F = 27,20 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan skor pengetahuan perilaku prososial dari pretest ke posttest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang signifikan. Modul disusun dalam delapan sesi berdasarkan aspek-aspek terhadap perilaku prososial yang meliputi menolong, berbagi, menghibur dan bekerjasama. Modul bermain peran dituangkan kedalam aktifitas kelas bermain peran yang terdiri dari delapan aktivitas tema prososial sehari-hari. - Permasalahan agresifitas di sekolah: Mengganggu proses belajar mengajar Peer rejection Keluhan guru dan orangtua Perlu dilakukan intervensi sebagai pencegahan masalah perilaku pada masa yang akan datang Pembelajaran Bermain Peran Prososial Terdiri dari Aspek : Menolong, berbagi, menghibur, kerjasama Disusun oleh Alifiyah (2014) menggunakan teori Prososial dari Jackson & Tisak (2004) Perilaku agresif siswa Taman Kanakkanak pada kelompok eksperimen menurun Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Melalui proses pembelajaran, siswa akan mempelajari pengetahuan baru dengan cara mengamati orang lain ketika teman sebaya melakukan perilaku prososial saat bermain peran. Gambar 2 menunjukkan kerangka berpikir peneliti bahwa dengan memberikan perlakuan kepada siswa berupa pembelajaran Bermain 14 Peran Prososial diperkirakan akan meningkatkan keterampilan secara sosial sehingga dapat menurunkan perilaku agresif. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin membuktikan bahwa dengan memberikan pembelajaran bermain peran prososial dapat menurunkan perilaku agresif pada siswa Taman Kanak-kanak. Implikasi penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat memberikan kontribusi pada keilmuan psikologi pendidikan, dapat digunakan sebagai media pembelajaran di Taman Kanak-kanak untuk menumbuhkan perilaku prososial serta menjadi salah satu upaya untuk menurunkan perilaku agresif siswa Taman kanak-kanak. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bermain peran prososial dapat menurunkan perilaku agresif siswa pada kelompok eksperimen yang diberikan perlakuan daripada perilaku agresif siswa pada kelompok kontrol di Taman Kanak-kanak.