A Three-Gap Macroeconomic Model Application

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Selama tiga dekade terakhir, perekonomian Indonesia sudah mengalami
perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan
melakukan kebijakan deregulasi. Telah disadari pula pentingnya perubahanperubahan yang terjadi dalam perekonomian dunia, sehingga pemerintah
mempersiapkan negara untuk sebuah orde baru dalam perekonomian. Pemerintah
Indonesia merangkul globalisasi sebagai sebuah paradigma dasar yang menuntun
kebijakan ekonomi masa depan.
Akan tetapi, pada kenyataannya, lemahnya fundamental ekonomi, baik
secara makro maupun mikro, telah membuat perekonomian Indonesia rentan
terhadap contagion effect, sehingga gejolak nilai tukar bath Thailand pada
pertengahan tahun 1997 dengan mudah menulari nilai tukar rupiah atas mata uang
asing terutama terhadap mata uang dollar Amerika Serikat (AS). Jatuhnya nilai
mata uang rupiah yang diikuti dengan peningkatan inflasi, lalu dengan cepat
menyeret Indonesia ke dalam krisis ekonomi. Selanjutnya, perekonomian
Indonesia berbalik sangat cepat dari pertumbuhan yang tinggi menjadi kontraksi
ekonomi hanya dalam waktu beberapa bulan. Kemudian terjadi pula pelarian
modal yang sangat besar, serta peningkatan pengangguran yang sangat tinggi.
Dampak langsung dari krisis ekonomi adalah peningkatan harga-harga
yang sangat dramatis. Biaya hidup meningkat sangat cepat, sehingga
menimbulkan peningkatan jumlah masyarakat yang berada di bawah garis
kemiskinan. Menurut hasil studi Levinshon (1999), dampak kenaikan harga
terhadap biaya hidup penduduk miskin rata-rata mencapai 130%. Namun
2
demikian, dalam studi tersebut Levinshon menemukan bahwa pada periode
September 1997 sampai dengan Oktober 1998, terdapat kelompok-kelompok
masyarakat yang mendapat peningkatan pendapatan sebagai akibat dari
peningkatan harga mata uang asing, yaitu kelompok masyarakat yang
menghasilkan barang dan jasa yang secara langsung dapat diekspor, serta
kelompok masyarakat yang dapat secara cepat mengalihkan aset-asetnya ke dalam
denominasi mata uang asing (dollar AS).
Dalam bidang ekonomi, krisis telah mengakibatkan neraca pembayaran
memburuk secara drastis. Seluruh investor asing maupun domestik, secara tibatiba menarik investasinya dari perekonomian Indonesia, sehingga terjadi capital
flight yang sangat besar dalam waktu singkat. Radelet & Sachs (1998)
mengatakan bahwa ketidakseimbangan dalam neraca transaksi modal mempunyai
dampak yang lebih kuat dalam mendorong defisit neraca pembayaran
dibandingkan dengan ketidakseimbangan dalam neraca transaksi berjalan, yang
pada akhirnya mendorong depresiasi mata uang rupiah menjadi lebih dalam.
Menurut McLeod (1998), besarnya dampak kejatuhan nilai rupiah
terhadap sektor riil, banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang tidak
tepat (counterproductive) terhadap shock yang terjadi. Hal tersebut terjadi dengan
mekanisme berikut: Jatuhnya nilai rupiah, ternyata tidak mendorong ekspor
seperti yang diperkirakan. Hal ini karena banyak industri pengekspor yang bahan
bakunya sangat tergantung dari bahan baku impor. Turunnya nilai rupiah, secara
langsung justru memotong nilai asset perusahaan swasta akibat meningkatnya
nilai pinjaman luar negeri yang didominasi mata uang asing (dollar AS). Hal ini
3
mengakibatkan perusahaan swasta melakukan penundaan terhadap rencana
investasi, dan masyarakat mengurangi konsumsi.
Menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 1997 tersebut dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi
permintaan,
melambatnya
pertumbuhan
ekonomi
terutama
berasal
dari
melemahnya permintaan domestik, khususnya konsumsi rumah tangga dan
investasi swasta. Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi yang melambat
bersumber dari melemahnya kegiatan perekonomian, baik di sektor non-migas
maupun sektor migas.
Krisis nilai tukar rupiah selanjutnya memporakporandakan sendi-sendi
perekonomian nasional, sehingga banyak perusahaan yang dilikuidasi. Sedangkan
perusahaan yang masih beroperasi cenderung berproduksi jauh di bawah kapasitas
terpasang. Hal ini telah menyebabkan kesempatan kerja semakin sempit dan
tingkat pengangguran pun semakin tinggi. Depresiasi nilai tukar rupiah yang
demikian besar ditambah dengan rawannya keamanan, lalu menyebabkan
terjadinya krisis kepercayaan di kalangan investor asing. Hal ini mengakibatkan
investasi portofolio mengalir ke luar dari Indonesia, dan investasi langsung juga
mengalami penurunan tajam.
Krisis kepercayaan juga menulari para kreditur asing, menyebabkan
mereka tidak bersedia melakukan roll-over terhadap hutang luar negeri swasta
yang telah jatuh tempo dan enggan memberikan pinjaman baru, sehingga arus
keluar modal (capital outflow) meningkat tajam menjadi US$10.9 miliar pada
tahun 1997/1998. Dalam tahun yang sama, capital inflow berupa investasi asing
4
langsung adalah US$1.8 miliar, sehingga lalu lintas modal bersih swasta
mengalami defisit sebesar US$9.1 miliar.
Langkah yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi krisis adalah
mengundang International Monetary Fund (IMF). Bantuan IMF terdiri dari tiga
bentuk mekanisme (Radelet and Sachs, 1998).
Pertama, bantuan dana untuk
cadangan Bank Indonesia agar dapat menjamin pembayaran hutang luar negeri
Indonesia. Kedua, bantuan dana untuk tambahan modal Bank Indonesia dalam
rangka mendukung kebijakan melaksanakan intervensi di pasar uang sebagai
usaha stabilisasi mata uang rupiah. Ketiga, bantuan keahlian yang diharapkan
dapat meningkatkan kepercayaan donor dan investor. Hal ini penting karena IMF
sering dijadikan acuan oleh investor asing dan negara serta institusi donor,
sehingga kesepakatan yang telah dicapai (oleh IMF dan pemerintah Indonesia)
merupakan sinyal bagi investor asing untuk kembali menanamkan modalnya di
Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Program-program Bank Dunia dan IMF di negara-negara sedang
berkembang terutama fokus pada pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi
serta memperoleh balance of payment yang surplus dan penciptaan lapangan kerja
yang luas. Dalam mencapai empat tujuan di atas secara simultan, seringkali
mengalami
keterbatasan
karena
adanya
berbagai
perubahan
dan
ketidakseimbangan internal dan eksternal dalam perekonomian.
Pada tahun 1970an dan 1980an, para ekonom percaya bahwa peningkatan
ketidakseimbangan internal dan eksternal terutama disebabkan oleh faktor-faktor
domestik
dan
asing
seperti
akumulasi
hutang,
beban
debt-service,
5
ketidakseimbangan fiskal, crowding out investasi swasta, capital flight,
goncangan terms of trade, perubahan tingkat suku bunga asing, dan penurunan
aktivitas di negara-negara maju (White, 1992 dalam Iqbal, 1996). Oleh karena itu
perlu dibangun suatu metodologi yang memasukkan faktor-faktor tersebut untuk
menganalisis keseimbangan internal dan keseimbangan eksternal dalam suatu
perekonomian.
Program-program bantuan IMF kepada Indonesia dalam mengatasi krisis
ekonomi 1997, juga disertai prasyarat berupa rekomendasi strategi dan kebijakan
program stabilisasi
yang pada dasarnya tetap memperhatikan
masalah
keseimbangan internal dan eksternal. Karena itu masalah keseimbangan internal
dan eksternal pada perekonomian Indonesia serta kebijakan fiskal dan moneter
dalam penelitian ini akan dianalisis pada periode sebelum krisis ekonomi Asia
tahun 1997 dan pada periode krisis ekonomi. Tahun 1997-2000 merupakan
periode krisis ekonomi sebelum menuju periode transisi ekonomi tahun 20012005 (Haryanto, 2007).
Secara ringkas, permasalahan dalam penelitian ini adalah menyelidiki
mengenai ketidakseimbangan internal: yakni faktor besaran tabungan dan
investasi dalam negeri yang berpengaruh terhadap penerimaan dan pengeluaran.
Sedangkan keseimbangan eksternal menyangkut perdagangan mencakup impor
dan ekspor. Secara khusus, fokus masalah pada tiga ketidakseimbangan tersebut.
Dewasa ini pola pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat ditopang oleh kekuatan
konsumsi dan fiskal pemerintah, sedangkan kekuatan investasi seharusnya dapat
diperkuat dari mobilisasi tabungan sehingga pertumbuhan ekonomi secara
6
seimbang tidak bertumpu pada konsumsi tetapi dapat bersumber dari investasi,
fiskal pemerintah dan perdagangan.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia yang berawal dari krisis nilai
tukar rupiah pada semester kedua tahun 1997 tersebut ternyata telah
mengakibatkan makin melebarnya ketidakseimbangan internal dan eksternal
dalam perekonomian. Tabungan dalam negeri tidak efektif dapat menjadi sumber
investasi yang dominan. Maka diperlukan suatu analisis mengenai dampak dari
ketidakseimbangan internal dan eksternal. Dalam penelitian ini, pengukuran
keseimbangan internal menggunakan analisis kesenjangan tabungan dan
kesenjangan fiskal, sedangkan pengukuran keseimbangan eksternal diambil dari
indikator kesenjangan neraca perdagangan. Salah satu model pilihan adalah
menggunakan three-gap analysis.
Dilihat dari kacamata three-gap, krisis ekonomi Indonesia 1997
menyebabkan makin kecilnya (jika surplus) atau makin dalamnya (jika defisit)
kesenjangan tabungan, kesenjangan fiskal dan kesenjangan valuta asing
(perdagangan). Data yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik menunjukkan
bahwa kesenjangan tabungan di Indonesia dari rata-rata positif 9.5% pada tahun
1969-1996 menjadi −3.4% pada tahun 1997-2000. Kesenjangan valuta asing dari
rata-rata 17.6% pada tahun 1969-1996 menjadi rata-rata 3.1% pada tahun 19972000. Sedangkan untuk kesenjangan fiskal, rata-rata −1.7%. Three-gap dalam
perekonomian Indonesia selama tahun 1969-2000, secara lebih terperinci dapat
dilihat pada Tabel 1 dalam Bab II.
Memperhatikan ketidakseimbangan dalam perekonomian Indonesia, maka
diperlukan analisis lebih lanjut untuk mempelajari kesenjangan-kesenjangan
7
tersebut. Dengan memperhatikan bahwa semenjak masa krisis Asia 1997, ternyata
kesenjangan fiskal makin defisit, namun kesenjangan valuta asing masih positif
tapi menurun. Defisit fiskal semakin besar karena ketidakmampuan sektor
perpajakan ketika pendapatan per kapita menurun. Maka analisis three-gap dapat
digunakan sebagai dasar untuk mempelajari alternatif kebijakan makroekonomi
yang sebaiknya diterapkan dalam perekonomian Indonesia, baik pada masa
sebelum krisis, pada masa krisis ekonomi serta untuk perekonomian ke depan
setelah masa krisis dan transisi ekonomi. Dalam penelitian ini, periode tahun
1990-1996 merupakan periode normal, sedangkan tahun 1997-2000 merupakan
periode krisis ekonomi di Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak
kebijakan fiskal dan moneter terhadap kinerja perekonomian Indonesia.
Memperhatikan bahwa dalam perekonomian terdapat kesenjangan internal
(kesenjangan tabungan dan kesenjangan fiskal) dan kesenjangan eksternal
(kesenjangan valuta asing), maka dibuat suatu model makroekonomi yang
memperlakukan tiga kesenjangan tersebut sebagai variabel endogen. Kesenjangan
tabungan merupakan kesenjangan sumberdaya sektor swasta, yakni selisih antara
tabungan dengan investasi. Kesenjangan fiskal adalah selisih antara penerimaan
dengan pengeluaran pemerintah, sedangkan kesenjangan valuta asing adalah
selisih antara ekspor dengan impor.
Simulasi historis dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan faktorfaktor eksternal, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter Indonesia pada periode
sebelum krisis ekonomi Asia 1997 dan pada periode krisis ekonomi. Hasil
8
simulasi dapat memberi dampak positif atau negatif pada variabel tujuan, yaitu
variabel yang dianggap mewakili kinerja perekonomian. Secara khusus, tujuan
penelitian ini adalah sbb.:
1. Membangun
Model
Makroekonomi
Three-Gap
Indonesia
dengan
mengintegrasikan kesenjangan tabungan, kesenjangan fiskal dan kesenjangan
valuta asing.
2. Melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian
Indonesia
termasuk
kesenjangan
tabungan,
kesenjangan
fiskal
dan
kesenjangan valuta asing.
3. Melakukan analisis dampak kebijakan fiskal dan moneter terhadap kinerja
perekonomian Indonesia pada periode sebelum krisis ekonomi (tahun 19901996) dan pada periode krisis ekonomi (tahun 1997-2000).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa
pemahaman terhadap permasalahan ekonomi Indonesia, termasuk analisis atas
kebijakan pada periode sebelum dan pada periode krisis ekonomi. Hasil analisis
diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pembuat kebijakan ekonomi
Indonesia.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Model makroekonomi three-gap Indonesia menitikberatkan dari sisi
permintaan agregat (pendekatan sisi pengeluaran) yang meliputi bidang fiskal dan
bidang moneter. Kebijakan bidang fiskal meliputi penerimaan pemerintah
termasuk surat berharga government bonds (obligasi pemerintah) dan pinjaman
luar negeri pemerintah. Di bidang moneter mengambil variabel tabungan, money
9
supply (jumlah uang beredar), tingkat suku bunga dan cadangan devisa. Semua
kebijakan makroekonomi fiskal dan moneter akan diaudisi menggunakan model
makroekonomi three-gap yang pada mulanya digunakan oleh Bacha (1990),
Taylor (1990, 1993), Solimano (1990), Iqbal (1996) dan Wang (1998).
Penelitian ini tidak mengupas lebih jauh sisi penawaran agregatnya (tidak
dilakukan pendekatan sisi produksi). Pertimbangan yang mendasarinya adalah
bahwa secara teoritis kedua pendekatan tersebut menghasilkan pendapatan
nasional yang sama. Di samping itu, kompleksnya sektor produksi serta kendala
ketersediaan data menyebabkan penelitian ini tidak melibatkan sisi penawaran
agregat secara terperinci. Dengan demikian, perhitungan produk domestik bruto
dalam penelitian ini dilihat dari sisi pengeluaran nasional yang terdiri dari
komponen konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series tahunan periode tahun
1969-2000. Tahun 1969 dipilih sebagai awal periode estimasi karena tahun 1969
adalah tahun dimulainya rencana pembangunan jangka panjang Indonesia yang
diawali dengan Pembangunan Lima Tahun I (Pelita I) pada rejim Orde Baru.
Dengan terjadinya krisis ekonomi yang dimulai dari krisis nilai tukar tahun
1997, struktur perekonomian Indonesia akan berubah menjadi struktur yang baru.
Tetapi untuk menyederhanakan alat analisis, maka periode tahun 1997-2000
dimasukkan dalam estimasi model penelitian agar dapat dilakukan simulasi
historis pada periode tersebut, dengan tujuan untuk menganalisis dampak
kebijakan fiskal dan moneter pada periode krisis. Dasar pemikirannya adalah
bahwa meskipun struktur perekonomian berubah karena krisis, tetapi terdapat
kontribusi dari permasalahan ekonomi yang lalu yang menyebabkan terjadinya
10
krisis tersebut. Periode sebelum krisis yang dianalisis dalam penelitian ini adalah
tahun 1990-1996. Periode krisis adalah tahun 1997-2000.
Download