SAMBUTAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONALPADA LOKAKARYA TENTANG INTELECTUAL PROPERTY CRIME DIKAITKAN DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN E-MEDICINE Bandung 27-28 Juli 2007 Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh Yth. Para Guru Besar Fakulas Hukum Universitas Padjajaran; Dekanat Fakulas Hukum Universitas Padjajaran; Para Kepala Pusat di Lingkungan Badan Pembinaan Hukum Nasional; Para Penyaji, moderator dan peserta Lokakarya yang berbahagia. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T., karena pada pagi ini kita dapat berkumpul di ruangan ini untuk mengikuti : LOKAKARYA TENTANG INTELLECTUAL PROPERTY CRIME DIKAITKAN DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN E-MEDICINE, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung. Hadirin peserta lokakarya yang berbahagia, Peredaran obat sudah menjadi trend global. Tak hanya terjadi di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 10 persen dari total obat yang beredar di dunia adalah obat palsu. Menurut WHO, persentase peredaran obat palsu akan semakin besar di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dalam laporan yang disampaikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), di Indonesia terdapat sekitar 1.800 jenis obat diduga palsu dengan nilai Rp2,5 triliun. Dan, BPOM sampai saat ini hanya mampu menangani 1% dari total obat palsu yang beredar di masyarakat tersebut. Ini merupakan suatu ancaman yang serius bagi masyarakat kita. Oleh karena itu perlindungan terhadap masyarakat atas beredarnya obat-obatan yang diindikasikan palsu dan sangat berbahaya bagi kesehatan harus menjadi perhatian bersama. Hadirin yang saya hormati, Ketersediaan obat bagi masyarakat merupakan salah satu komitmen pemerintah dalam melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini tertuang dalam Bab 28 Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (Bab 28 RPJMN), dimana dalam arahan tersebut dikatakan bahwa untuk dapat meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, akan dilaksanakan “program obat dan perbekalan kesehatan serta program pengawasan obat dan makanan”. Idealisme dan tugas mulia yang diemban pemerintah tentu tidak selalu berjalan dengan mulus. Pengadaan obat, khususnya obat jadi kini mengalami berbagai permasalahan, seperti banyaknya obat-obatan ilegal yang beredar di masyarakat. Jenis obat-obatan illegal yang berkembang saat ini meliputi : obat palsu, obat-obatan kadaluwarsa, kemasan yang tidak aman dan jaringan distribusi tidak resmi. Obat jadi (bentuk sediaan yang siap dipakai) yang beredar di Indonesia dapat dikelompokkan atas beberapa kategori seperti : a). Obat jadi dengan merek dagang tertentu yang diproduksi atas lisensi pemegang HaKI (lisensi ini dapat berupa paten bahan aktif/bulk pharmaceutical, formula, teknologi formulasi atau merek dagang dan/atau kombinasinya); b) Obat jadi dengan merek dagang tertentu yang diproduksi berdasarkan hasil pengembangan formula dan teknologi formulasi sendiri (tanpa lisensi) menggunakan bahan obat yang masih dilindungi paten atau perlindungan paten yang sudah kadaluwarsa; c) Obat jadi generik (tidak bermerek dagang). Pelanggaran HaKI atas jenis-jenis produk "obat jadi" ini, tentu akan menjadi kasus pelanggaran hukum, khususnya dengan diberlakukannya TRIPs. Obat-obatan illegal, dalam pengertian obat palsu menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 242/Menkes/SK/V/1990 adalah obat yang diproduksi oleh pihak yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang- undangan, obat yang tidak terdaftar, dan obat yang kadar zat khasiatnya menyimpang lebih dari 20 persen di bawah batas kadar yang ditetapkan. Kita semua sekarang ini tidak terlepas dari Hak Atas Kekayaan Intelektual mulai dari baju yang kita pakai, kita bawa flash disk yang berisi lagu-lagu yang dilindungi dengan copy right dan lain-lain. Adapun Hak Atas Kekayaan Intelektual yang sangat terkait dengan obat-obatan: Merek, Paten, Rahasia dagang. HaKI perlu dilindungi karena HaKI merupakan karya individual untuk menghasilkan sesuatu sehingga harus mendapatkan insentif. Banyaknya pembajakan akan menurunkan motivasi dari para creator dan akan menurunkan jumlah dari creator karena hak ekonomi nya telah dilanggar. HaKI juga untuk melindungi konsumen, karena apabila yang dibajak/dipalsu misalnya adalah obat-obatan bisa dibayangkan betapa rugi dan terdholiminya konsumen yang membutuhkan obat tersebut. Kerugian yang diderita masyarakat (masyarakat konsumen dan masyarakat produsen) atas beredarnya obat palsu sangat besar. Konsumen yang menggunakan obat palsu pastinya akan terancam kesehatannya. Bila banyak konsumen mengonsumsi obat palsu tentu bangsa dan generasigenerasinya juga akan terancam. Demikian pula halnya dengan masyarakat produsen obat-obatan (pemegang lisensi), obat palsu dinilai sangat merugikan. Pencatutan nama misalnya disamping merugikan secara finansial seperti tidak dibayarnya royalti HaKI, secara moral juga mengancam kredibilitas perusahaannya. Dan dari kesemuanya tentu berujung pada negara, kerugian negara tak terhitungkan seperti tidak dibayarnya pajak hingga dicap sebagai negara pemalsu (dalam konteks global). Oleh karena itu mengingat sudah demikian parahnya tingkat sindikasi pemalsu obat ini, maka pelmalsuan obat yang dalam undang-undang HaKI hanya dianggap sebagai suatu pelanggaran seharusnya dikategorikan sebagai suatu kejahatan (crime). Dianggap sebagai suatu kejahatan karena disana terlihat ada niat jahat dari pelakunya. Hadirin yang saya hormati, Atas merebaknya peredaran obat palsu pada saat ini, pencegahan dan penanggulangan harus menjadi prioritas. Ketersedian perangkat regulasi dan penegakan hukumnya harus menjadi agenda dalam pembangunan hukum, khususnya pembangunan hukum kesehatan. Beberapa perangkat regulasi di bidang kesehatan sebenarnya telah tersedia, namun semuanya belum dianggap cukup untuk mengakomodir berbagai permasalahan yang muncul di bidang kesehatan, khususnya atas pemalsuan obat-obatan. Peraturan perundangundangan di bidang kesehatan tersebut, misalnya adalah : Undang-undang Nomor 23/1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Pelaksananannya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 72/1992 tentang Pengamanan Ketersediaan Farmasi. Perangkat regulasi lainnya yang berkaitan dengan masalah pemalsuan obat adalah masalah kekayaan intelektual, seperti paten dan merek. Perangkat regulasi ini penting dalam kaitannya memberikan perlindungan kepada penemu dan produsen obat-obatan dari pemalsuan. Saat ini di bidang Kekayaan Intelektual peraturan yang telah tersedia adalah Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Undang-undang No. 15 tentang Merek. Tak kalah pentingnya dalam memberikan perlindungan kepada konsumen, secara khusus, dikeluarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Beberapa praktisi dan pengamat dibidang HaKI dan Kesehatan menilai bahwa peraturan perundang-undang yang ada saat ini mengandung beberapa kelemahan. Misalnya ketentuan mengenai sanksi dari undang-undang kesehatan, dinilai terlalu ringan, sehingga hal ini tidak membuat jera dari pelaku tindak pidana (pemalsu obat). Demikian pula dengan undang undang HakI, yang menganggap bahwa pemalsuan adalah pelanggaran. Oleh karena itu untuk menghadapi berbagai permasalahan yang ada dan mengantisipasi kondisi akan datang, telah dilakukan beberapa perubahan dan pembentukan hukum baru atas undang-undang terkait dengan bidang kesehatan. Beberapa RUU yang diajukan tersebut seperti terlihat dari daftar prolegnas 2005-2009, yaitu : RUU Kesehatan (perubahan), RUU Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, RUU tentang Praktik Kefarmasian, RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan, dan RUU tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam mengenai Prior Informed Consent untuk Bahan-Bahan Kimia Berbahaya dan Pestisida dalam Perdagangan Internasional. Keberadaan RUU ini nantinya diharapkan akan memberikan perlindungan kepada masyarakat mengenai kesehatan mereka serta memberikan jaminan bahwa obat-obatan yang dikonsumsi oleh masyarakat benar-benar berkualitas dan terhindar dari pemalsuan, serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Hadirin yang saya hormati, Disamping pembenahan atas perangkat regulasi yang ada saat ini, hal yang tidak boleh terabaikan adalah penegakan hukum. Sebenarnya ini yang paling krusial. Kinerja lembaga yang bertanggung jawab atas penegakan hukum khususnya dalam melakukan pemberantasan peredaran obat palsu lebih diintensifkan. Institusi terkait dengan pelaksanaan penegakan hukum di bidang ini adalah Mahkamah Agung, Polri, Kejaksaan Agung, BPOM, Departemen Hukum dan HAM, Bea Cukai, Departemen Industri dan Perdagangan. Tidak kalah pentingnya upaya untuk menanggulangi perederan obat palsu adalah infrastruktur sistem informasi pengobatan. Saat ini Indonesia memang belum memiliki sistem informasi pengobatan (e-medicine). Bahkan berdasarkan data atas munculnya kasus-kasus pemalsuan obat dikarenakan Indonesia belum belum mempunyai daftar obat esensial. Oleh karena itu untuk memberikan informasi yang transparan kepada publik mengenai pengobatan dan menghindari masyarakat mengonsumsi obat palsu, kiranya segera diupayakan pembangunan sistem informasi pengobatan elektronik (e-medicine). Hadirin yang saya hormati, Memerangi peredaran obat palsu memang tak bisa dilakukan secara reaksioner, namun harus dilakukan secara berkelanjutan. Dan, ini merupakan tugas kita bersama. Penanggulangan pencegahan dan pengawasan terhadap peredaran obat palsu memang membutuhkan perhatian yang serba ekstra dan intensif. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan misalnya : melakukan pengawasan atas produk import, menyediakan akses pengaduan, menginformasikan temuan obat palsu kepada publik, memberikan informasi yang membantu konsumen membuat pilihan. Selain itu, produsen juga berkewajiban melakukan upaya-upaya penanggulangan beredarnya obat palsu, misalnya membuat pengamanan pada produk, melakukan pengawasan di mengumumkan edukasi pada tempat-tempat temuan seluruh penjualan, pemalsuan rantai dan obat, distribusi, tak dan kalah melakukan pentingnya menyediakan akses informasi/pengaduan. Untuk apotek dan apoteker tentunya juga harus mengupayakan dan menjamin produk yang dijual bukan produk palsu, menggunakan jalur legal, edukasi konsumen. Dan, bagi masyarakat juga diupayakan untuk meningkatkan pengetahuan tentang obat, tidak terpengaruh harga lebih murah, memanfaatkan jalur informasi yang ada, dan berani bertindak apabila ada kecurigaan. Hadirin yang saya hormati, Keterkaitan HaKI dengan Industri Farmasi yang akan dibahas hari ini, adalah misalnya mengenai Merek, banyak kemiripan merek antara satu produk dengan produk yang lainnya seperti aqua dengan aquaria. Atau kompetisi yang tidak fair, seperti memanfaatkan ketenaran merek lain. Obat palsu sudah dibuat di laboratorium kelas pabrik dan sudah dipasarkan di internet, dan juga sudah memasuki pasar Amerika Serikat. Untuk itu pada pagi ini kita akan memotret keterkaitan HaKI dan perlindungan konsumen serta pemalsuan obat-obatan melalui dunia maya. Sebagai konsekuensi dari perkembangan masyarakat dan teknologi sering berakibat hukum selalu tertinggal. Demikian halnya dengan hukum di bidang kesehatan dan HaKI, karenanya tidak salah apabila perangkat regulasi di bidang kesehatan dan HaKI membutuhkan berbagai pembaharuan. Untuk menjawab dan mendapatkan masukan atas hal tersebut, khususnya dalam mengantisipasi berbagai bentuk kejahatan di bidang kesehatan yang berkaitan dengan masalah Intelektual Property Right, diadakan lokakarya ini. Dari lokakarya selama 1 (satu) hari ini diharapkan ada masukan-masukan konkrit dan rasional untuk : pertama, membuat kebijakan tentang penanggulangan dan pengawasan obat-obat palsu; kedua, memberikan rekomendasi dan masukan-masukan atas peraturan yang akan dibentuk seperti peraturan di bidang kesehatan dan peraturan di bidang HaKI. Demikian sambutan saya dalam mengawali Lokakarya ini. Dengan mengucapkan Bismilahirrahamanirrahim, secara resmi Lokakarya ini saya buka. Bandung, 28 Juli 2007 KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL PROF. DR. AHMAD M. RAMLI, S.H., MH