MODUL PERKULIAHAN ETIK UMB Etos Kerja dan Kesuksesan Fakultas Program Studi Fakultas Ilmu Komputer Sistem Informasi Tatap Muka 04 Abstrak Kemajuan Kode MK Disusun Oleh A31181EL Yani Pratomo, S.S, M.Si. Kompetensi suatu bangsa turut Pada pertemuan kali ini, peserta dipengaruhi oleh Etos Kerja positif kuliah akan diajak berdiskusi yang ditumbuhkan oleh masyarakat tentang Etos Kerja. Diskusi diawali dalam bangsa tersebut. Agama dengan pemahaman tentang mendorong umatnya untuk memiliki bekerja dan pekerjaan, kemudian etos kerja positif yang tinggi. berlanjut dengan pengertian dan Sejumlah budaya lokal yang dianut hakikat Etos oleh bangsa-bangsa tertentu juga Faktor agama, Kerja itu filsafat, sendiri. budaya, turut mendorong kemunculan etos lingkungan, hingga sistem politik kerja positif yang tinggi. Etos kerja memberi pengaruh pada etos kerja turut menunjukkan suatu bangsa. kepribadian suatu bangsa. Bagaimana kita Etos kerja jua dapat membangun etos kerja yang berkaitan erat dengan produktifitas positif dan kesukesan suatu bangsa. untuk Indonesia? kemajuan bangsa Bekerja dan Memiliki Pekerjaan Bekerja dan Pekerjaan adalah dua kata yang melekat pada diri setiap manusia yang hidup. Setiap manusia yang hidup dalam kondisi fisik dan mental yang normal, secara umum akan memiliki dorongan untuk bekerja atau memiliki pekerjaan. Sudah barang tentu ada sejumlah faktor motivasi yang mendorong seseorang untuk bekerja atau mencari pekerjaan. Suatu kali saya pernah bekerja di sebuah perusahaan asing yang bergerak dalam bidang rantai pengadaan bahan baku produksi sepatu dengan merk sangat terkenal di dunia. Saya mengenal rekan saya ini berasal dari keluarga yang berada (hidup berkecukupan, bahkan lebih). Sejauh pengetahuan saya, keluarga besar beliau juga memiliki cukup banyak bisnis keluarga yang mapan dan salah satunya diserahkan pada dirinya. Saya lantas bertanya, untuk apa ia bekerja di sini? Bukankah bekerja di sini hanya akan menghabiskan waktunya saja dari pagi hingga petang? Bukankah lebih baik ia fokus menangani bisnis keluarganya saja? Ia menjawab bahwa bukanlah suatu kebanggaan baginya untuk menjalani bisnis keluarga, karena memang bukan ia sendiri yang membangun bisnis tersebut sejak awal. Bisnis tersebut sudah mapan dan sudah berjalan dengan sendirinya tanpa harus secara ketat ia awasi. Ia dibantu istri tidak membutuhkan banyak waktu untuk menjalankan bisnis tersebut, karena memang sudah dan sistem dan bagian operasionalnya sendiri. Di lain pihak, ia tetap ingin bekerja rutin dari pagi sampai sore untuk mencari nafkah atas dasar pekerjaan yang ia bangun. Berlatarbelakang pendidikan ilmu psikologi, ia memang berkeinginan untuk bekerja sebagai Manajer Sumber Daya Manusia (SDM) di sebuah perusahaan. Bagi dirinya, gaji yang didapat dari pekerjaannya sebagai Manajer SDM lebih membanggakan sebagai jerih payahnya dibandingkan penghasilan yang ia dapatkan dari menjalankan bisnis keluarganya. Begitulah motivasi yang ia bangun dalam menjalani pekerjaan rutinnya setiap hari. Logika yang umumnya kita miliki, untuk apa ia repot-repot berangkat pagi pulang petang, padahal ia cukup memperoleh pendapatan dari mengkontrol bisnis keluarganya dengan santai. Di lain pihak, ada teman saya lainnya yang dengan penuh keyakinan menyatakan keluar dari perusahaan tempatnya bekerja untuk memulai sebuah usaha yang sebelumnya sudah ia rintis sendiri. Bagi dirinya, mengelola usaha sendiri lebih membanggakan dibandingkan “hanya” menjadi karyawan di sebuah perusahaan. Padahal, dengan menjadi karyawan di sebuah perusahaan asing di bidang telekomunikasi, gaji rutin yang ia dapatkan setiap bulan tidaklah kecil. Dalam kondisi sudah memiliki istri dan anak, dalam pandangan saya sangatlah riskan bagi dirinya untuk mundur demi menjalankan sebuah ‘16 2 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id bisnis yang belum mapan. Saya sempat tanya, seandainya bisnis merugi atau keuntungan yang didapat kecil, apakah tidak repot nantinya? Padahal kalau tetap bekerja di perusahaan, setidaknya sudah ada pendapatan yang lebih pasti. Ia menjawab, kalau tidak memutuskan untuk fokus menjalani bisnis yang ia bangun, maka sampai kapanpun bisnis itu tidak akan pernah maju. “Sekarang ini saya harus berani ambil keputusan beresiko, bila memang ingin memajukan usaha sendiri. Buat saya jadi karyawan itu sama dengan jadi kacung saja. Lebih baik mengelola usaha sendiri, biarpun kecil kita yang menjadi bos”, ucapnya penuh keyakinan. Belakang saya dengar usahanya mulai menampakkan hasil, meskipun saya dengar juga ia harus bekerja lebih keras dibandingkan saat ia masih menjadi karyawan. Menilik cerita dua teman saya di atas, saya mengambil pelajaran bahwa terlepas dari perihal bekerja sebagai karyawan atau pun menjalankan usaha mandiri, namun keduanya memiliki etos kerja tinggi yang patut diapresiasi. Bagi mereka, bekerja adalah sebuah kemuliaan. Mereka juga memiliki kedudukan yang sama, yaitu laki-laki yang berperan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah bagi keluarga. Secara kultur dan agama, laki-laki berkewajiban pergi ke luar rumah dan kembali dengan membawa nafkah bagi istri serta anak-anak. Merupakan sebuah depresiasi bila laki-laki berdiam di rumah dan tidak menghasilkan nafkah bagi keluarga. Tentu dalam hal ini kita terlepas dulu dari perdebatan tentang istri yang bekerja ke luar rumah, sementara suami justru yang mengurus rumah tangga di rumah. Pembahasan di sini tidak lain adalah terkait dengan Etos Kerja yang dibangun seseorang sebagai bagian dari jalan hidup. Pengertian Etos Kerja Etos Kerja adalah sebuah istilah yang dikenal umum dalam masyarakat Indonesia dan merupakan bagian dari kosa kata bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata “etos” sebagai pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Sedangkan “etos kerja” adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. K. Bertens (1994 dalam Farida, 2015) mengatakan bahawa secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tempat hidup”. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata “etos” berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah “ethikos” yang berarti “teori kehidupan”, yang kemudian menjadi “etika”. ‘16 3 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dalam bahasa Inggris, “etos” dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain starting point, to appear, disposition, hingga disimpulkan sebagai character. Dalam bahasa Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai “sifat dasar”, “pemunculan” atau “disposisi (watak)”. Webster Dictionary mendefinisikan “etos” sebagai guiding beliefs of a person, group, or institution. Etos adalah keyakinan yang menuntun seseorang, kelompok, atau suatu institusi. Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of English Language, etos diartikan dalam dua pemaknaan, yaitu the disposition, character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that distinguishes it from other peoples or group, fundamental values, spirit, or mores. Makna di atas diterjemahkan menjadi disposisi, karakter, atau sikap khusus orang, budaya, atau kelompok yang membedakannya dari orang atau kelompok lain, nilai atau jiwa yang mendasari, dan seterusnya. Secara terminologis kata “etos” mengalami perubahan makna yang meluas serta digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda, yaitu: a. Suatu aturan umum atau cara hidup b. Suatu tatanan aturan perilaku. c. Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku. Dalam pengertian lain, etos dapat diartikan sebagai kehendak atau kemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam rangka mencapai cita-cita yang positif. Akhlak atau etos dalam terminology lain dipahami juga sebagai upaya membiasakan kehendak. Kesimpulannya, etos adalah sikap yang tetap dan mendasar yang melahirkan perbuatan-perbuatan dalam pola hubungan antaramanusia dengan dirinya sendiri dan diluar dirinya. Dari keterangan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kata “etos” dapat berarti watak atau karakter individu atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan yang disertai dengan semangat yang tinggi guna mewujudkan sesuatu keinginan atau cita-cita. Etos kerja juga merupakan refleksi dari sikap hidup yang mendasar. Oleh sebab itu, etos kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang berdimensi transenden. K.H. Toto Tasmara dalam bukunya yang berjudul Membudayakan Etos Kerja Islami (2002) memberi pemahaman “etos kerja” sebagai totalitas kepribadian serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna pada sesuatu, yang mendorong diri untuk bertindak dan meraih amal yang optimal. Adanya etos kerja ‘16 4 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id ada diri seseorang pedagang akan melahirkan semangat untuk menjalankan sebuah usaha dengan sungguh-sungguh, adanya keyakinan bahwa dengan berusaha secara maksimal hasil yang akan didapat tentunya maksimal pula. Dengan etos kerja tersebut, jaminan keberlangsungan usaha berdagang akan terus berjalan mengikuti waktu. Hakikat Etos Kerja Anoraga (2009 dalam Farida, 2015) memaparkan secara eksplisit beberapa sikap yang seharusnya mendasari seseorang dalam memberi nilai pada kerja, yang disimpulkan sebagai berikut: 1. Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia. 2. Bekerja adalah suatu berkat Tuhan. 3. Bekerja merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral. 4. Bekerja merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan berbakti. 5. Bekerja merupakan sarana pelayanan dan perwujudan kasih. Dalam tulisan lainnya, Kusnan (2004 dalam Farida 2015) menyimpulkan pemahaman bahwa etos kerja mencerminkan suatu sikap yang memiliki dua alternatif, positif dan negatif. Suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut: 1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia. 2. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur. 3. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia. 4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan. 5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah. Sedangkan individu atau kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja yang rendah, maka akan muncul ciri-ciri yang sebaliknya (Kusnan, 2004), yaitu: 1. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri. 2. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia. 3. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan. 4. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan. 5. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup. Dari berbagai aspek yang telah disebutkan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa seseorang yang memiliki etos kerja tinggi akan terus berusaha untuk memperbaiki ‘16 5 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dirinya, sehingga nilai pekerjaannya bukan hanya bersifat produktif materialistik, melainkan juga melibatkan kepuasaan spiritualitas dan emosional. Etos Kerja dalam Pemahaman Agama Agama memiliki peranan penting dalam membentuk etos kerja. Sebagai sebuah “jalan hidup” (way of life), maka agama mengatur berbagai ruang-lingkup hidup, termasuk di antaranya masalah etos kerja. Agama Islam termasuk agama yang banyak memberi petunjuk pada umatnya terkait etos kerja. Terlepas dari kenyataan bahwa saat ini umumnya umat Islam banyak hidup di negeri-negeri yang penduduknya memiliki achievement (pencapaian kerja) yang belum tergolong maju, akan tetapi blue print dasar ajaran agama Islam yang tertera dalam Kitab Suci Al-Quran maupun ajaran-ajaran Nabi Muhammad beserta sahabat-sahabat dalam generasi beliau justru banyak mendorong umatnya untuk giat bekerja. Dalam Islam, iman saja tidaklah berarti apa-apa dan akan dicap suatu kebohongan bila tidak diikuti dengan amaslushsholihaat atau amal sholih (amal saleh), yang tidak lain adalah bentuk aktualisasi iman dalam bentuk perbuatan baik. Bila iman hanya sekedar percaya, maka iblis bisa lebih beriman, karena iblis sangat percaya kepada Allah. Iblis pernah berdialog langsung dengan Allah, sehingga sangatlah mustahil bila iblis tidak percaya kepada Allah. Yang membedakan manusia beriman dengan iblis adalah ketaatan untuk beramal saleh atas perintah Allah SWT. Iblis membangkang dan bersikap sombong, sedangkan manusia beriman taat dan menjalankan segala bentuk perintah dan menghindari segala larangan sebagai bentuk kerja amal saleh. Umat Islam memiliki etos menhargai waktu sesuai firman Allah di Al-Quran dalam Surat ‘Al-Ashr (surat ke 103 ayat 1-3). Dalam surat tersebut Allah bersumpah demi waktu dan juga bersumpah bahwa manusia akan merugi (dalam hidup mereka), kecuali orangorang yang beriman, orang-orang yang beramal saleh, saling menasihati pada kebenaran, dan senantiasa bersabar. Jadi, manusia pasti akan mendapatkan kerugian waktu hidupnya bila tidak memanfaatkannya untuk empat hal tersebut, termasuk di antaranya adalah beramal saleh. Amal saleh menjadi dasar pijakan utama dalam aktualisasi hidup manusia yang juga harus diikuti dengan kesabaran. Usaha manusia tidaklah langsung menghasilkan keberhasilan, melainkan seringkali diiringi tantangan dan cobaan. Manusia diperintahkan untuk bersabar dan tidak boleh berputus-asa. Dalam surat ke-15 Al-Hijr ayat 56, Allah ‘16 6 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id SWT berfirman, “Tidak ada orang yang berputus-asa dari Rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat”. Orang-orang yang berputus asa akan dimasukkan dalam kelompok orang-orang yang kufur (ingkar kepada Allah). Sebagai contoh, orang yang merasa gagal dalam usahanya, lantas melakukan tindakan bunuh diri atau menyakiti dirinya sendiri, maka Allah tidak akan ridha pada orang-orang seperti ini. Bila telah selesai dalam mengerjakan sesuatu, kita diperintahkan untuk mengerjakan urusan lainnya, tidak lantas berpuas diri dan bersantai-santai. Perintah ini tertuang dalam A-Quran surat Al-Insyirah (surat ke 94) ayat ketujuh yang berbunyi,”Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” Para ulama memaknai ayat ini sebagai suatu perintah kerja keras yang berkelanjutan; selain juga tafsir yang menyebutkan bahwa setelah bekerja, kita genapi usaha kita dengan doa atau ibadah. Nabi Muhammad sangat mengapresiasi umatnya yang gemar bekerja keras. Suatu kali Nabi bersalaman dengan salah seorang sahabatnya, Mu’adz bin Jabal. Rasul merasakan tangan Mu’adz kasar dan tebal. Ketika ditanya oleh Rasul mengapa tangan Mu’adz demikian, maka Mu’adz menjawab tangannya demikian karena selalu digunakan untuk bekerja keras. Nabi lantas mencium tangan Mu’adz dan Nabi bersabda,”Tangan ini dicintai Allah dan Rasul-Nya, sehingga tangan ini tidak akan disentuh oleh api neraka!” Nabi juga sangat menghargai tangan putrinya, Fatimah Az-Zahra yang kasar, karena Fatimah rajin mengerjakan pekerjaan rumah dan menggiling gandum di rumahnya. Fatimah menggiling gandum untuk makan suaminya (Ali bin Abu Thalib) dan kedua putra mereka yang juga cucu Nabi. Nabi Muhammad SAW pun bersabda,”Siapa yang bekerja keras untuk mencari nafkah keluarganya, maka ia adalah mujahid fii sabiilillah (pejuang di jalan Allah)”. Di lain kesempatan Rasul juga bersabda: “Barangsiapa yang di waktu sorenya merasa kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapatkan ampunan.” Oleh sebab itu, berbahagialah orang-orang yang harus melakukan pekerjaan kasar, hingga tangannya kotor dan keras atau kakinya luka-luka dan sakit. Mereka yang melakukan itu semua dengan ikhlas maka dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya tidak akan tersentuh panas dan pedihnya api neraka, serta disamakan derajatnya dengan para pejuang di jalan Allah. Kerja keras dalam Islam juga mendorong dikabulkannya doa-doa. “Perbaikilah pekerjaanmu, maka niscaya doamu akan dikabulkan”. Ini maksudnya bila kita bekerja keras dengan baik, maka Allah akan mengabulkan doa-doa kita. Maka itu, bila kita punya ‘16 7 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id suatu keinginan, maka usahakanlah sebaik mungkin, setelah itu berdoa. Tentu saja berdoa saja tidak akan cukup, karena ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk berusaha lebih dulu (berikhtiar), lalu segera sambung dengan doa dan ibadah. Orang yang hanya duduk bersimpuh di masjid, akan tetapi malas keluar berusaha, sudah tentu Allah dan Rasul-Nya tidak suka pada yang demikian. Oleh sebab itu, sangatlah ironis bila ada orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, akan tetapi hidupnya penuh kesusahan dan kegalauan. Bila demikian, maka ini termasuk orang-orang yang hanya mengaku-aku beriman, tetapi ia sesungguhnya tidak paham akan ajaran Islam. Orang Islam yang benar-benar menjalankan ajaran agama, maka ia pastilah akan maju dan sukses. Ia pun tidak akan mudah berputus-asa, karena hidupnya bermakna dan memiliki harapan yang besar untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup saat di dunia maupun saat di akhirat kelak. Di dalam Agama Kristen juga dikenal adanya etos kerja yang didasari pada ajaran agama. Dasar pengkajian kembali makna etos kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max Weber. Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas (rationality) yang menurut Weber (1958) lahir dari Etika Protestan. Pada dasarnya, agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap, dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilainilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi. Weber memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar kesenangan --namun hemat dan bersahaja (asketik), dan suka menabung serta berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern. Sejak Weber menelurkan karya tulis “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” (1958), berbagai studi tentang etos kerja berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dengan kemajuan ekonomi, kemakmuran, dan modernitas (Sinamo, 2005 dalam Farida, 2015). ‘16 8 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Etos Kerja dalam Pemahaman Filsafat dan Budaya Dari sisi filsafat, tokoh sosialis marxisme asal Jerman, yaitu Karl Marx mempopulerkan paham “Three Satisfaction” (Thohir, 2001: 15). Pemahaman tersebut berbunyi bahwa manusia hanya membutuhkan tiga hal, yaitu sandang-pangan (pakaianmakanan), papan (perumahan), dan kebutuhan seks. Pandangan semacam ini memang menafikan agama, karena Karl Marx tergolong tokoh yang anti agama dan mengatakan bahwa agama hanyalah “the opium of people” (candu bagi masyarakat). Di sekolah dasar dulu saya juga ingat ketika guru menyebutkan bahwa tiga kebutuhan dasar pokok (kebutuhan primer) manusia adalah sandang, pangan, dan papan. Pelajaran ini mirip dengan pemahaman Karl Marx. Bagi orang-orang yang berpandangan materialisme seperti ini, maka motivasi kerja hanyalah didasarkan pada kebutuhan fisik semata. Pemegang pandangan ini pada umumnya adalah juga orang-orang yang memiliki etos kerja yang tinggi dan berkomitmen dalam pekerjaan. Hasil yang didapatkan dari pekerjaannya akan ia tukar dengan pakaian yang indah, makanan yang lezat, rumah yang besar dan bagus, serta pemenuhan kebutuhan seksualnya. Orang-orang di kalangan ini pada biasanya hanya meyakini bahwa hidup hanya satu kali di dunia ini saja, sehingga pencapaian yang tinggi dan kenikmatan hidup di dunia harus benar-benar didapatkan. Tokoh lain dari sisi filsafat adalah Abraham Maslow yang memperkenalkan Teori Hierarchy of Needs atau dikenal juga dengan “Five Satisfaction”. Kebutuhan-kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan fisiologik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial (mencintai dan dicintai), kebutuhan ego (self esteem), dan kebutuhan realisasi diri (self actualization). Maslow yang lebih dikenal sebagai ahli psikologi ini meyakini bahwa manusia memiliki etos kerja untuk mengejar kebutuhan-kebutuhan di atas secara berurutan. Bila kebutuhan dasar hidup (sandang-pangan-papan) telah terpenuhi, maka manusia akan mengejar kebutuhan berikutnya, yaitu rasa aman (beli asuransi, pasang kamera CCTV, membayar petugas keamanan). Bila yang kedua sudah terealisasi, maka selanjutnya manusia akan mengejar kebutuhan berupa kasih sayang, dengan cara menikah, memberikan donasi-donasi pada pihak-pihak yang ia sukai, atau bergabung pada kelompok-kelompok di mana ia bisa mencurahkan isi hati. Setelah hal tersebut tercapai, manusia akan terus bekerja keras untuk mengejar kepuasan berikutnya, yaitu self-esteem (peningkatan prestasi, mencari penghargaan atau rekognisi, hingga usaha untuk terus naik pangkat atau memperbesar usaha). Bila hal ini pun sudah berhasil dicapai, maka pada akhirnya manusia akan mengejar aktualisasi dirinya, seperti pengembangan hobi atau mengerjakan sesuatu yang tidak lagi semata-mata karir atau pengembangan usaha, melainkan lebih ke pengembangan sisi-sisi lain dalam hidupnya. ‘16 9 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Gambar 4.1 Piramida Kebutuhan (Abraham Maslow) yang memberi pengaruh pada motivasi kerja Berkaitan dengan budaya sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya. Etos budaya ini secara operasional juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki etos kerja. Masyarakat dengan nilai budaya maju umumnya berorientasi pada pencapaian hasil atau achievement. Masyarakat dengan nilai budaya seperti ini cenderung akan mengejar pencapaian, meskipun banyak hal yang harus dikorbankan. Lawan dari budaya semacam ini biasanya adalah masyarakat dengan nilai budaya afiliasi (affiliated people). Dalam budaya afiliasi, masyarakat lebih mengutamakan pada keberadaannya dalam komunitas yang ia cintai, terutama keluarga. Penganut budaya achievement umumnya tidak akan risau untuk pergi merantau ke manapun demi meraih pencapaian atau melakukan ekspansi usaha, sedangkan penganut budaya afiliasi lebih merasa nyaman berada di tengah-tengah keluarga atau lingkungannya, meskipun ia di dalamnya tetap merasa miskin dan hidup susah. Oleh sebab itu, penganut budaya achievement pada umumnya lebih maju dibandingkan penganut budaya afiliasi, karena penganut budaya achievement lebih memiliki etos kerja yang tinggi untuk memperoleh capaian maksimal dari target-target yang ia buat. Penganut achievement juga lebih “tahan banting” dan ‘16 10 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id enggan berhenti sebelum target tercapai. Sebaliknya, pemegang budaya afiliasi cenderung lebih mudah menyerah atau setidakya jeda untuk berkumpul kembali dengan orang-orang yang memiliki keterlibatan emosi dengannya, meskipun usahanya masih belum berhasil. Faktor Lingkungan, Sosial-budaya, dan Politik terhadap Etos Kerja Faktor lingkungan, sosial-budaya, dan politik suatu bangsa dapat memberi pengaruh besar pada etos kerja masyarakatnya. Bangsa Indonesia yang dikaruniai lingkungan alam yang kaya dan subur, ternyata diyakini memiliki etos kerja yang tidak sebaik bangsa-bangsa yang alamnya tidak sesubur dan sekaya bangsa Indonesia. Sangat mungkin faktor alam yang nyaman membuat masyarakat Indonesia berada pada zona nyaman, sehingga etos kerja yang muncul cenderung lemah. Bandingkan dengan bangsa-bangsa yang hidup di wilayah empat musim atau memiliki perbedaan iklim yang ekstrim dari waktu ke waktu, mereka cenderung lebih didorong untuk berpikir bagaimana bisa hidup (survive) dari musim ke musim. Juga bangsa dengan sumber daya alam yang kecil, seperti misalkan tetangga dekat kita Singapore. Negeri tetangga ini tidak bisa mengandalkan sumber daya alam, mengingat luas geografisnya yang sangat terbatas, hingga air tawar pun sulit mereka dapatkan. Berbekal wilayah yang strategis, mereka memanfaatkan betul peluang yang terbatas itu untuk meraih keberhasilan. Faktor sosial-budaya juga memberi pengaruh besar pada etos kerja. Bangsa Jerman, Jepang, dan Korea misalkan, mereka memiliki modal sosial yang kuat untuk maju bersama sebagai bangsa. Bangsa Jepang yang porak-poranda pasca Perang Dunia Kedua mampu bangkit dengan modal sosial yang kuat berupa semangat makoto yang tinggi. Semangat makoto ini adalah keinginan kuat untuk bersungguh-sungguh dan bersama-sama menjunjung tinggi kemurnian batin dan motivasi untuk maju serta pantang menyerah. Mereka juga menerapkan budaya samurai yang menjunjung tinggi rasa malu bila gagal atau kalah. Untuk itu, bangsa Jepang punya motivasi kuat untuk selalu unggul dalam segala hal. Selain itu, etos kerja bangsa Jepang juga dipengaruhi oleh budaya Konfusianisme dan Zen Buddhisme. Mereka saat ini menerapkan prinsip kerja liberalism, namun memiliki perbedaan berbanding liberalisme Barat. Liberalisme di Jepang dikenal sebagai liberalisme humanistik yang masih memegang prinsip-prinsip buddhisme dan makoto yang menjauhi keserakahan dan upaya pengejaran kekayaan semata, yang dapat berbuah “racun kehidupan”. Sedangkan masyarakat Jerman banyak dipengaruhi Etika Protestan yang menurut Max Weber merupakan cikal-bakal kapitalisme. ‘16 11 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Mungkin kita bertanya, bagaimana Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sebuah etika keagamaan menjadi dasarnya kapitalisme yang merupakan jalan hidup pengumpulan kekayaan dan kesuksesan dunia tanpa batas? Bagaimana paradoks ini dapat terjadi? Pemahaman Etika Protestan sebagai cikal-bakal kapitalisme sebenarnya berangkat dari tesis Max Weber dalam memahami bagaimana Etika Protestan justru mendorong kemajuan bangsa Jerman dan sebagian bangsa-bangsa lainnya di Eropa. Tidak sedikit orang mencela dan mengkritik pendapat Weber mengenai hubungan protestantisme dengan kapitalisme. Tesis Weber ini berangkat dari kondisi masyarakat di Eropa pada umumnya dan Jerman pada khususnya di awal abad ke-20 (tahun 1905), di mana kekuatan Gereja Katolik mendapatkan antitesis dari masyarakat Protestan. Masyarakat Protestan saat itu pada umumnya lebih maju, oleh karena prinsip etis masyarakat Protestan yang memisahkan urusan dunia dengan keagamaan (sekularisme). Bagi mereka (Protestan), kesuksesan tanpa batas di dunia juga merupakan kemuliaan hidup. Aktivitas sosial dari orang-orang Kristen di dunia ini adalah in majorem gloriam Dei (semua demi kemuliaan Tuhan) . Ciri ini kemudian diaktualisasikan dalam kerja sebagai suatu panggilan hidup untuk melayani kehidupan masyarakat di dunia. Seperti halnya penganut Calvinisme, masyarakat Protestan menganggap kerja sebagai panggilan suci. Prinsip ini menjadi etos kerja masyarakat Jerman yang diyakini berpengaruh besar pada kemajuan Jerman. Faktor politik juga memberi pengaruh besar pada etos kerja. Sistem politik yang terbuka pada umumnya mendorong etos kerja dan kemajuan dibandingkan sistem politik yang tertutup. Hal ini tentu masih bisa diperdebatkan lebih dalam. Sistem non-demokratis seperti pada era komunisme memang diyakini menghambat kemajuan, meskipun etos kerja masih ada dalam bentuk yang berbeda dengan masyarakat dengan system politik demokratis. Meski begitu, kita juga mendapati adanya sejumlah Negara yang terbilang maju, meskipun mereka tidak menerapkan demokratisasi politik secara penuh. Etos Kerja Bangsa Indonesia Bagaimana dengan etos kerja bangsa Indonesia? Benarkah apa yang disampaikan oleh budayawan dan mantan jurnalis Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia (1977) bahwa orang-orang Indonesia memiliki etos kerja yang: 1. Munafik atau hipokrit, suka berpura-pura, lain di mulut dan lain di hati 2. Enggan bertanggung jawab, suka mencari kambing hitam 3. Berjiwa feodal, gemar upacara, lebih suka dihormati daripada menghormati dan lebih mementingkan status daripada prestasi 4. Percaya tahayul, gemar hal-hal keramat, mistis dan gaib ‘16 12 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 5. Berwatak lemah, kurang kuat mempertahankan keyakinan dan gampang terintimidasi. 6. Dari kesemuanya, hanya ada satu yang positif, yaitu artistik dan dekat dengan alam. Dengan melihat keadaan saat ini, merupakan kenyataan pahit, yang memang tidak bisa kita pungkiri, dan memang begitu adanya. Namun tentunya dari 240-an juta jiwa rakyat Indonesia, tidak semua memiliki etos kerja buruk seperti disebutkan di atas. Banyak juga perusahaan yang menerapkan etos dan budaya kerja yang positif, seperti: 1. berorientasi kepada pelanggan 2. menjunjung integritas 3. berdisiplin 4. bekerjasama 5. saling percaya dan saling menghormati 6. pemberdayaan SDM 7. keseimbangan 8. kepemimpinan 9. kepedulian pada lingkungan. Itulah etos yang hendak ditegakkan dan diharapkan bisa mengubah bangsa kita menjadi lebih baik. Kita harapkan etos kerja tersebut bisa diimplementasikan dalam kerja nyata dan akan lebih baik lagi jika hal positif tersebut menyebar kepada semua Organisasi kerja diseluruh Indonesia. Lebih lanjut lagi beliau (Mochtar Lubis) mengatakan, bangsa Indonesia adalah negara yang kaya dan merupakan bangsa yang besar. Indonesia dikarunia sumber daya alam yang melimpah ruah dan jumlah penduduk yang besar. Itu merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Namun pada kenyataannya, rakyat miskin masih banyak, pengangguran masih besar, dan masih banyak anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah. Bagaimana dengan mahasiswa UMB? Etos kerja yang positif sudah harus diimplementasikan sejak masih belajar di kampus. Semangat belajar yang tinggi dengan dilandasi juga pada kejujuran akan menghantarkan lulusan UMB sebagai sarjana-sarjana yang memiliki etos kerja positif yang tinggi, berintegritas, dan berkontribusi positif pada kemajuan bangsa Indonesia di berbagai bidang.▀ ‘16 13 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Artiningrum, Primi and Arissetyo Nugroho. Etika dan Perilaku Profesional. Jakarta: Graha Ilmu, 2013 Farida. “Sarjana Profesional”. Modul Perkuliahan Etik UMB. Jakarta: Universitas Marcu Buana, 2015 Luth, Thohir. Antara Perut dan Etos Kerja dalam Perspektif Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2001 Sutanto, Jusuf. Kearifan Timur dalam Etos Kerja dan Seni Memimpin. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007 Tasmara, Toto. Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani, 2002 http://www.kamusbesar.com/ ‘16 14 Etik UMB (Modul 4) Yani Pratomo, S.S., M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id