BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Iklan Sebagai Proses Pertukaran

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Iklan Sebagai Proses Pertukaran Tanda dan Makna
Proses yang terjadi pada sebuah iklan, pada dasarnya merupakan sebuah
proses komunikasi. Komunikasi sebagai transmisi pesan, bagaimana pengirim dan
penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode) dan
dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi.1
Sementara komunikasi itu sendiri merupakan hakikat interaksi sosial manusia.
Secara sederhana proses komunikasi dipahami sebagai proses penyampaian pesan
dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan tanda-tanda atau
lambang sebagai media. Akan tetapi, persoalan komunikasi tidaklah sederhana
sebagai suatu pengiriman pesan saja, namun komunikan juga merupakan proses
pertukaran makna-makna. Bahkan Fiske mengatakan bahwa komunikasi
merupakan proses generating of meaning atau pembangkit makna.
“Tatkala saya berkomunikasi dengan anda, anda memahami apa maksud
pesan saya, lebih kurang secara akurat. Agar komunikasi berlangsung,
saya harus membuat pesan dalam bentuk tanda.Pesan-pesan itu
mendorong anda untuk menciptakan makna untuk diri anda sendiri yang
terkait dalam beberapa hal dengan makna yang saya buat dalam pesan
saya. Makin banyak kita berbagi kode yang sama, maka makin dekatlah
makna kita berdua atas pesan yang datang pada masing-masing kata.”
(Fiske, 1990:59). 2
1
2
Fiske, John.Cultural And Communication Studies.Yogyakarta: PT.Jalasutra. Hal : 8
Op.Cit Hal : 23
1
Apabila terjadi distorsi atau kegagalan dalam proses komunikasi, maka hal
itu dapat disebabkan pengalaman dan pengetahuan kebudayaan yang berbedabeda dari setiap masyarakat. Sesungguhnya dalam ilmu komunikasi terdapat
bentuk komunikasi yang memberikan perhatian kepada interaksi komunikasi yang
melibatkan hubungan antara individu-individu dengan latar budaya yang berbeda,
yaitu komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya memberi ikatan
perhatian bagaimana orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda saling
menginterpretasikan dan berbagi makna.3 Proses komunikasi antar budaya ini
lebih memusatkan perhatian terhadap teks dan kebudayaan dengan menggunakan
metode semiotika (ilmu tentang tanda dan makna). Pesan merupakan seperangkat
lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator (Effendy, 1999:18).
Dalam bentuknya berupa gagasan yang telah diterjemahkan ke dalam simbolsimbol yang dipergunakan untuk menyatakan maksud tertentu (Liliweri, 1991:25).
Pesan merupakan konstruksi tanda yang berinteraksi dengan komunikan sehingga
menghasilkan makna. Sehingga pesan yang mengandung unsur-unsur budaya
yang berbeda itu dapat menghasilkan persepsi yang berbeda-beda pula dalam
penerimaan sebuah pesan.
Dalam proses komunikasi yang menentukan berhasil atau tidaknya sebuah
tanda menjadi sebuah makna tidak tergantung dari komunikator, akan tetapi
bagaimana tanda tersebut dapat dibaca oleh komunikan ketika terjadinya proses
interaksi dengan tanda (Fiske, 1990:10).4 Sebuah pesan memiliki dua jenis makna,
3
A. Sulhardi. Modul Ajar Mata Kuliah Komunikasi Antar Budaya. FIKOM Universitas Mercu
Buana.
4
Fiske, John.Cultural And Communication Studies. Yogyakarta: PT.Jalasutra. Hal : 29
2
yakni konotatif dan denotatif. Makna atau pengertian konotatif adalah yang
mengandung pengertian emosional atau
mengandung penilaian tertentu
(emotional or evaluative meaning). Sementara makna denotatif adalah yang
mengandung arti sebagaimana tercantum dalam kamus (dictionary meaning) dan
diterima secara umum oleh kebanyakan orang dengan bahasa dan kebudayaan
yang sama. Di mana pesan yang sama memiliki makna yang berbeda bagi masingmasing budaya dan konteks yang berbeda. Pesan komunikasi terdiri dari dua
aspek, yakni isi (content) dan lambang (symbol). Isi pesan umumnya adalah
pikiran, sedangkan lambang umumnya adalah bahasa (Effendy, 1999:12).
Proses komunikasi yang terjadi dalam iklan merupakan proses komunikasi
yang dipandang melalui perspektif psikologis. Proses komunikasi pada perspektif
ini terjadi pada diri komunikator dan komunikan (Effendi, 1993:31-32). Ada dua
pandangan umum dalam melakukan studi tentang komunikasi yaitu sebagai
“transmission of message dan production and exchange of meanings”(McQuail,
1987:94). Pandangan pertama melihat komunikasi sebagai proses penyampaian
pesan-pesan (transmission of messages). Hal ini berkaitan dengan bagaimana
pengirim (sender) dan penerima (receiver) menyampaikan serta menerima. Disini
komunikasi dimaknai sebagai suatu proses di mana seseorang berusaha
mempengaruhi tingkah laku atau pikiran orang lain. Pandangan ini melihat
interaksi sosial sebagai proses di mana seseorang berhubungan dengan yang lain,
atau mempengaruhi sikap, tingkah laku, respon emosional terhadap orang lain.
Suatu pesan dimaknai sebagai sesuatu yang ditransmisikan melalui proses
komunikasi. Maksud dan tujuan merupakan faktor penting dalam memutuskan
3
pesan apa yangdibentuk. Jika komunikasi membawa akibat yang lain dari yang
diharapkan, maka hal ini disebut sebagai kegagalan komunikasi (communication
failure), yang kemudian akan berusaha mencari pada tingkat mana yang
menyebabkan kegagalan itu terjadi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam
pandangan ini, komunikasi dilihat dari aspek prosesnya.5
Pandangan kedua, melihat komunikasi sebagai suatu aktifitas dari
produksi serta pertukaran makna-makna (production and exchange of meanings),
ini berkaitan dengan bagaimana pesan-pesan atau teks berinteraksi dengan orangorang dalam hal pembuatan makna. Pandangan ini melihat interaksi sosial dengan
menyatakan individu sebagai bagian dari sebuah kebudayaan atau masyarakat
tertentu. Pandangan ini juga tidak pernah mempertimbangkan kesalahpahaman
yang akan menyebabkan kegagalan komunikasi karena ini menyangkut perbedaan
latar belakang budaya antara pengirim dan penerima.6
Pada dasarnya tanda dalam sebuah iklan terdiri dari tanda-tanda verbal dan
non verbal. Tanda verbal mencakup bahasa yang kita kenal sedangkan tanda-tanda
non verbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan.7 Tanda dalam
iklan mengacu pada suatu rencana konstruksi berisi positioning pada karakteristik
konsumen tujuan.8 Untuk itu diperlukan suatu tampilan-tampilan yang sesuai
dengan karakteristik pasar ataupun produk. Ada dua jenis tampilan iklan, yaitu:
tampilan rasional dan tampilan emosional. Tampilan rasional (rational appeals),
5
http://publikasi.umy.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/3663/3073
http://publikasi.umy.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/3663/3073
7
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Rosdakarya: Bandung.2003. Hal: 116
8
William Wells, John Burnett, dan Sandra Moriarty. Advertising Principles and Practice. prentice
hall: New jersey. 2000. Hal: 67.
6
4
ditujukan pada kebutuhan fungsional dan praktis konsumen yang bisa didapat dari
produk barang ataupun jasa. Sedangkan, tampilan emosional (emotional appeals)
menggambarkan kebutuhan psikologis dan simbolis yang dibutuhkan konsumen
dari produk.9
2.2. Tanda dalam Iklan Televisi
Saussure menjelaskan “tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan
dari dua bidang, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan ‘bentuk’ atau
‘ekspresi’; dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan ‘konsep’ atau
‘makna’.
Menurut Berger dalam perspektif semotika periklanan, “penanda
(signifier) di dalam sebuah iklan dilihat sebagai sebuah elemen tanda atau
signeme, yaitu sebuah tanda dasar yang tidak dapat diturunkan lagi.”
Berbagai tanda di dalam struktur teks iklan tersusun atas signeme-signeme.
Sebagai contoh misalnya ikonik berupa gambar seorang ibu tua yang tersusun dari
beberapa satuan tanda (signeme) seperti rambut, warna rambut, tatanan rambut,
raut muka, gerak tubuh, model pakaian yang dikenakan, termasuk warna dan
tulisan yang terdapat pada ikonik tersebut. Berbagai Penanda + Petanda =
Tanda.10
Iklan bertujuan untuk memberi informasi kepada khalayak. Pada
umumnya, iklan yang bersifat informatif digunakan pada tahap perkenalan. Iklan
bertujuan untuk membujuk (persuasive), yakni untuk membentuk permintaan
9
William F. Arens. Contemporary Advertising. Mcgrawhill: Boston. 1999. Hal: 9
http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/file_skripsi/Isi_cover_329150775897.pdf
10
5
selektif merek tertentu pada benak konsumen dengan memberikan kelebihankelebihan produk. Iklan untuk mengingatkan (reminding), yaitu untuk
mengingatkan kembali kepada khalayak tentang produk yang sudah mapan agar
konsumen yakin bahwa produk yang dipilih adalah tepat.11
Iklan juga merupakan sebuah sistem tontonan yang utama di dalam sistem
produksi dan konsumsi masyarakat konsumer. Iklan merumuskan citra sebuah
produk, dan hubungan sosial di baliknya (status, prestis, kelas sosial). Iklan
menciptakan ilusi-ilusi tentang sensualitas, kehidupan selebritis, gaya hidup
ekslusif, gaya hidup bebas, kehidupan petualang, kota legenda, dan sebagainya.
Secara struktural, sebuah iklan terdiri dari tiga elemen tanda, yaitu gambar objek
atau produk yang diiklankan (object), gambar benda-benda di sekitar objek yang
memberikan konteks pada objek tersebut (context), serta tulisan atau teks (text),
yang memberikan keterangan tertulis, yang satu sama lainnya saling mengisi
dalam menciptakan suatu ide, gagasan, konsep, atau makna sebuah iklan. Mulai
dari makna yang eksplisit, yaitu makna berdasarkan apa yang tampak
(dennotative), serta makna lebih mendalam, yang berkaitan dengan pemahamanpemahaman ideologi dan kultural (connotative).
Selain itu, iklan mempunyai tingkatan-tingkatan makna yang kompleks
seperti 12:
1. Sign (Tanda) yaitu unsur terkecil bahasa. Tanda merupakan representasi
dari gejala yang memiliki kriteria seperti : nama (sebutan),peran, fungsi,
11
12
Suhandang, Kustadi, Manajemen Periklanan, Bandung : Nuansa, 2005. Hal : 13 – 15
Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009. Hal : 38
6
tujuan, keinginan. 13 Tanda adalah segala sesuatu yang dapat diamati atau
dibuat teramati (Zoest dalam Tinarbuko 2008:12). Tanda bisa berupa kata,
gerak, rambu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Tanda-tanda tersebut
melekat pada kehidupan masyarakat.
2. Signifier (Penanda), merupakan pemberi makna, bunyi yang bermakna
(aspek material), yaitu apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau
dibaca. 14 Penanda mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti
bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya
3. Signified (Petanda, merupakan konsep atau makna (meaning) yang ada
di balik penanda tersebut yang semuanya dapat digunakan untuk
melakukan realitas atau sebaliknya. Petanda terletak pada
level of
content.15Sebagai sebuah kombinasi antara gambar dan teks, sebuah iklan
jelas
menghasilkan
sebuah
informasi,
yaitu
berupa
representasi
pengetahuan (knowledge) tertentu, yang disampaikan melalui elemenelemen tanda sebuah iklan. Dalam hal ini, ketika informasi yang
ditawarkan sebuahiklan dikaitkan dengan realitas (reality), yaitu dunia
kenyataan di luar iklan (di dalam masyarakat yang konkret), maka sebuah
iklan dapat menjadi mirror of reality, yaitu menceritakan tentang sebuah
keberadaan yang nyata, atau sebaliknya yaitu refleksi dari sebuah realitas
yang palsu (false). 16
13
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2009. Hal : 124
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2009. Hal : 125
15
Tinarbuko, Sumbo.Semiotika Komunikasi Visual. 2008 Hal : 13
16
A. Piliang, Yasraf. Hipersemiotika. 2003 Hal : 281 - 282
14
7
Gambar-gambar bergerak disertai aneka warna menjadikan iklan di
televisi cenderung menarik perhatian khalayak. Melalui iklan televisi, konsumen
tidak perlu aktif, maksudnya pesan yang yang disampaikan akan tetap mereka
terima, suka atau tidak suka, sengaja atau tidak sengaja. 17
2.3. Sensualitas Endorser sebagai Pertukaran Tanda dan Makna
Sesungguhnya daya tarik sensual mempunyai beberap peran yang
potensial. Pertama, materi sensual dalam periklanan bertindak sebagai daya tarik
untuk mengambil perhatian yang juga memepertahankan perhatian tersebut untuk
waktu yang lebih lama. Seringkali dengan mempertunjukkan model yang menarik
dalam pose yang merangsang.18
Peran potensial kedua adalah untuk “meningkatkan ingatan” terhadap
pesan. Riset menunjukkan bahwa iklan yang berisi daya tarik sensual atau
simbolisme akan meningkatkan ingatan hanya apabila hal itu cocok dengan
kategori produk sesuai dengan pelaksanaan kreatif iklan.19
Daya tarik bisa diwakilkan dari endorsernya dengan menonjolkan
keindahan dan sensualitas. Dalam iklan yang ditayangkan oleh media massa tidak
terlepas dari figur dalam iklan demi menunjangnya informasi produk yang akan
disampaikan kepada khalayak. Figur atau yang biasa disebut dengan model atau
17
http://eprints.undip.ac.id/17806/1/Indriani_Triandjojo.pdf
Shimp, A. Terence. Periklanan Promosi, Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu.
Erlangga: Jakarta. 2003. hal: 481
19
Op.Cit
18
8
endorser merupakan faktor penunjang yang besar pada sebuah iklan. Karena
model bagian dari pencitraan yang mucul terhadap produk yang diiklankan.
Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan banyak digunakan dalam iklan.
keterlibatan tersebut didasari dua faktor utama, yaitu: pertama bahwa perempuan
adalah pasar yang sangat besar dalam industri. faktanya lebih banyak produk
industri diciptakan bagi manusia jenis kelamin ini. bagi laki-laki, produk yang
dimaksudkan untuk perawatan pribadi tidaklah sebanyak produk yang
dikhususkan bagi perempuan.20
Faktor kedua adalah bahwa perempuan luas dipercaya mampu menguatkan
pesan iklan.21 Perempuan merupakan elemen agar iklan mempunyai unsur
menjual. Karena mampu sebagai unsur menjual sehingga menghasilkan
keuntungan, maka penggunaan perempuan dalam iklan tampaknya merupakan
sesuatu yang sejalan dengan idiologi kapitalisme. Bagi pria, kehadiran perempuan
merupakan syarat penting bagi kemapanannya. Sementara bila target marketnya
perempuan, kehadiran peempuan merupakan wajah aktualisasi yang mewakili jati
dirinya/eksistensinya.22
Penggunaan perempuan dalam iklan setidaknya akan menambah daya tarik
khalayak untuk menikmati pesan iklan. Perempuan adalah sebuah iklan. Pelibatan
perempuan dalam iklan, akan membuat iklan makin sedap dinikmati. Sekedar
gambaran berdasar penelitian yang menarik tidak hanya laki-laki, ternyata
20
Widyatama, Rendra. Pengantar Periklanan. Pustaka Book Publisher. Yogyakarta. 2007. Hal: 41
Rendra Widyatama & Siswanta. 1997.
22
Martadi. Jurnal Diskomfis. 2001
21
9
perempuan lebih senang melihat (wajah) perempuan cantik dibanding (wajah)
laki-laki sekalipun berwajah gagah. Tampaknya fakta-fakta tersebut dapat
menguatkan kesimpulan bahwa iklan dipercaya akan mampu mendapatkan
pengaruh bila menggunakan perempuan sebagai salah satu ilustrasi atau
modelnya, bahkan sekalipun produk tersebut bukan dimaksudkan untuk
digunakan oleh perempuan.23
Televisi telah terjebak dalam pusaran perkembangan sistem kapitalisme
yang tersungkup cara pandang libidonomics (komodifikasi hasrat). Dalam
pandangan Piliang, cara kerja komodifikasi hasrat tak tanggung-tanggung. ia
langsung menggebrak pasar melalui semacam proliferasi dan multiplikasi segala
hal yang bersangkutan dengan tubuh perempuan. Maka dioptimalkanlah nilai
guna (use value) tubuh perempuan, nilai tukar (exchange value), serta nilai tanda
(signvalue).24
Keseluruhan nilai tubuh tersebut dioperasionalisasikan dalam sebuah
karya tayangan iklan oleh “intelektual tayangan” dengan menonjolkan tiga sisi
utama. Yakni, body appearance atau tampilan tubuh. Kedua produser condong
mengungkapkan dimensi atau aspek perilaku/manner badan, ketika menyorot
secara jelas perangkat tubuh yang memancarkan daya sensualitasnya. Terakhir
adalah cara menggaet nilai tubuh ke layar kaca dengan bertulang punggung pada
sisi aktivitas/gerakan tubuh perempuan.
23
24
Widyatama, Rendra. Pengantar Periklanan. Pustaka Book Publisher. Yogyakarta. 2007. Hal: 42
A.Piliang, Yasraf. Hipersemiotika. 2003. Hal : 379
10
Sebagai sebuah elemen di dalam media (iklan, film, musik) tubuh
perempuan mempunyai ‘nilai’ tertentu sebagai ‘alat tukar’:
Pertama, nilai diferensiasi (differentiation), di mana sebatang tubuh yang
telah mempunyai ‘makna’ dalam sebuah masyarakat (seksualitas, erotika, status,
prestise) dipindahkan ke dalam sistem sebuah tontonan (lawak, musik, film,
sinetron, iklan) sehingga membedakannya (diferensi) dari tontonan lain, yang
menggunakan tubuh lain.
Kedua, nilai penanda (signifier) sebuah tontonan termasuk iklan pada
awalnya tidak memiliki makna tertentu, diberikan nilai oleh orang yang sudah
memiliki makna dan nilai tersebut dalam masyarakat, yang di dalam semiotik
disebut peminjaman tanda (the borrowing sign)”.
2.4. Tanda dan Makna
2.4.1. Tanda
Mempelajari semiotika sama dengan kita mempelajari tentang berbagai
tanda. Cara kita berpakaian, apa yang kita rasakan, cara kita bersosialisasi, ketika
kita berbicara, ketika kita berkata, ketika tersenyum, ketika kita menangis, ketika
kita cemberut, ketika kita diam. Tanda-tanda itu sebenarnya bertebaran dimanamana di sekujur tubuh kita. Dengan tanda-tanda, kita mencoba mencari
keteraturan agar kita sedikit punya pegangan. Tanda-tanda adalah perangkat yang
kita pakai dalam upaya mencari dan menemukan jalan di tengah-tengah manusia
dan bersama-sama manusia.
11
Charles Sanders Peirce yang pernah menegaskan bahwa kita hanya bisa
berpikir dengan sarana tanda. Itulah sebabnya tanpa tanda kita tidak dapat
berkomunikasi. Bukankah bahwa komunikasi itu terjadi dengan bantuan tanda,
dan bukanlah pula bahwa proses pemberian arti memainkan peranan penting
dalam komunikasi? Sebaliknya, bukankah tanda itu tidak hanya dipakai dalam
komunikasi? Dalam kehidupan keseharian, di luar komunikasi pun kita banyak
menggunakan tanda, yaitu apabila kita berusaha memahami dunia dan jika kita
menyadari bahwa dalam cara-cara kita bertindak, sadar atau tidak sadar, kita
sebetulnya ditentukan oleh cara kita menginterpretasikan tanda.25
Ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda yang biasanya menjadi
rujukan para ahli. Pertama adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan
Ferdinand De Saussure (1857-1913) yang mengatakan bahwa tanda-tanda disusun
dari dua elemen yaitu aspek citra tentang bunyi dan sering diidentifikasi dengan
citra bunyi itu sebagai penanda. Jadi, dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun
konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Bagi Saussure hubungan
antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas) baik secara kebetulan maupun
ditetapkan. Menurut Saussure ini tidak berarti bahwa pemilihan penanda sama
sekali meninggalkan pembicara namun lebih dari adalah tak bermotif yakni
arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan
petanda. Sifat arbitraries ini berarti pula bahwa keberadaan sesuatu butir atau
sesuatu aturan tidak dapat dijelaskan dengan penjelasan yang sifatnya logis.
Menurut Saussure, prinsip kearbitreran bahasa atau tanda tidak dapat diberlakukan
25
Alex Sobur, M.Si.. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hal 31 - 35
12
secara mutlak atau sepenuhnya. Ada tanda-tanda yang benar-benar arbitrer, tetapi
ada pula yang hanya relatif.26
Dalam pandangan Arthur Asa Berger, seseorang harus mempelajari
apakah kata-kata memiliki arti dan apakah tanda-tanda memiliki arti. Dalam kasus
tentang kata-kata, kita mempunyai kamus yang memberi kita pengertian
konvensional tentang arti kata-kata; sementara dalam kasus tentang tanda-tanda
sering merupakan kisah yang berbeda. Pada umumnya, kita mengajarkan tandatanda dengan satu cara atau cara lain. Misalnya apa arti rambu-rambu jalan raya,
rambu-rambu mengemudi dan sebagainya. Kita minta dikirimi sebuah booklet
dari dinas angkutan dan mempelajari bagaimana tanda-tanda yang beragam
tersebut diinterpretasikan. Tanda-tanda tersebut tidak selalu jelas dengan beberapa
arti meskipun dalam beberapa arti dapat dipahami dengan menginterpretasikan
diagram-diagram dan gambar-gambar.
Kedua, adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan seorang
filsuf dan pemikir Amerika yang cerdas, Charles Sanders Peirce (1839-1914).
Peirce menandaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang
menyerupai, keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda-tanda
atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Ia mengggunakan
istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab akibat dan symbol
untuk asosiasi konvensional.27 Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi
tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya.
26
27
Ibid
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2009. Hal : 28
13
Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah
ikon. Kedua, menjadi kenyataan dari keberadaannya berkaitan dengan objek
individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih,
perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif
sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol.28
2.4.2. Makna
Kata pada dasarnya adalah satuan bentuk kebahasaan yang telah
mengandung satuan makna tertentu. Dalam hal ini dibedakan antara kata 29:
1. Autosemantris, yaitu kata yang telah memiliki satuan makna secara penuh
tanpa harus dilekatkan pada bentuk lain, contoh: pergi, tidur, malam. Kata
autosemantris dapat membentuk satuan persepsi tertentu pada diri
penanggapnya.
2. Sinsemantris (synsemantic), yaitu kata yang tidak memiliki satuan makna
secara mandiri karena satuan maknanya dibentuk oleh kata atayu bentuk
lainnya. kata sinsemantris adalah kata tugas, antara lain kata sambung,
misalnya: di, serta, dan lain sebagainya. kata sinsemantris tidak dapat
membuahkan satuan persepsi tertentu, karena satuan semntisnya terbentuk
atas dasar hubungannya dengan kata atau bentuk yang lain, maka satuan
persepsi yang dibuahkannya juga terbentuk setelah kata itu dilekatkan
pada kata yang lain.
28
29
Alex Sobur, Loc.Cit
Alex Sobur, Op.Cit, Hal.248
14
Sebuah
kata
adalah
juga
simbol,
sebab
keduanya
sama-sama
menghadirkan sesuatu yang lain. Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional
dan tidak membawa maknanya sendiri secara langsung bagi pembaca atau
pendengarnya
(kecuali
kata-kata
anomatopik,
misalnya
kata-kata
yang
menggambarkan suara kucing, bunyi senapan, dsb). Lebih jauh lagi, orang yang
berbicara membentuk pola-pola makna secara tidak sadar dalam kata-kata yang
dikeluarkannya. Pola-pola makna ini secara luas memberikan gambaran tentang
konteks hidup dan sejarah orang tersebut. Sebuah kata bisa memiliki konotasi
yang berbeda, tergantung pada pembicaranya. Jadi ketidakpastian atau kekaburan
makna suatu kata, dapat dikurangi dengan jalan melihat cara pemakaian kata itu.
Misalnya, kata jatuh yang merupakan bagian dari “ia jatuh hati”. Jatuh yang
pertama terhadi secara fisik, secara jasamaniah, sedangkan jatuh pada kalimat
kedua merupakan kiasan. Ternyata cara menghubungkan kata jatuh itulah yang
membantu kita dalam membentuk maknanya.
Karena semua simbol linguistik bebas diberi makna, kita perlu mencari
makna
tidak
saja
dari
kata
melainkan
juga
pada
orang
yang
mengkomunikasikannya. Kita perlu mengetahui bukan hanya apa yang dikatakan
seseorang melainkan juga apa yang dimaksudkannya.
Kesalahpahaman lain terjadi bila dua orang mengira mereka berbeda
pendapat karena menggunakan kata-kata yang berlainan, padahal sebenarnya
mereka sepakat pada konsep atau maksud yang dikandung oleh kata-kata tersebut.
Mereka menggunakan istilah yang berbeda yang memiliki referen yang sama.
15
Banyaknya kata dalam bahasa indonesia yang makna aslinya bijak, namun
karena terus menerus digunakan untuk menutup berbagai perbuatan yang
berlainan atau bertentangan dengan makna asli kata-kata yang bersangkutan telah
mengalami erosi makna dan telah menimbulkan reaksi semantik yang
menyebabkan kata-kata itu seakan tidak berdaya lagi untuk menyampaikan
sesuatu apa kepada kita.
Beberapa pakar komunikasi sering menyebut kata makna ketika mereka
merumuskan definisi komunikasi. Ada tiga hal yang dicoba jelaskan oleh para
filsuf dan linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna, ketiga hal
itu yakni 30:
1. Menjelaskan makna kata secara alamiah
2. Mendeskripsikan kalimat secara alamiah
3. Menjelaskan makna dalam proses komunikasi
Model proses makna menurut Wendell Johnson menawarkan sejumlah
implikasi bagi komunikasi antar manusia31:
1. Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata
melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati
makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata ini tidak secara
sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan.
Demikian pula makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan
sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan.
30
31
Alex Sobur, Op.Cit. 253 – 255
Alex Sobur, Op.Cit. 257 – 268
16
Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di
benak pendengar apa yang ada dalam benak kita. Reproduksi ini hanyalah
sebuah proses parsial dan selalu bisa berubah.
2. Makna berubah-ubah. Kata-kata relatif statis. Tetapi makna dari kata-kata
terus berubah dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari
makna.
3. Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu
pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai
kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.
4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat
dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah
komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkan
dengan acuan yang konkret dan dapat diamati.
5. Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu jumlah kata
dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Hal ini bisa
menimbulkan masalah bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua
orang yang sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya bertanya
bukan dengan membuat asumsi, ketidaksepakatan akan hilang bila makna
yang diberikan masing-masing pihak diketahui.
6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari
suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi
hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat
dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita.
17
Karenanya pemahaman yang sebenarnya pertukaran makna secara
sempurna barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi
tidak pernah tercapai.
Para ahli untuk membahas lingkup makna yang lebih besar membedakan
antara makna sebagai berikut32:
1. Makna denotatif, pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh
kata-kata (yang disebut sebagai makna referensial) yang biasanya kita
temukan dalam kamus. Sebagai contoh kata mawar berarti ‘sejenis
bunga’
2. Makna konotatif, makna konotatif ditambah dengan segala gambaran,
ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata mawar itu.
Makna denotasi bersifat langsung yaitu makna khusus yang terdapat dalam
sebuah tanda dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda.
Jika denotasi sebuah fakta adalah definisi objektif kata tersebut, maka
konotasi sebuah kata adalah subjektif atau emosionalnya. Ini sejalan dengan
pendapat Arthur Asa Berger yang menyatakan bahwa kata konotasi melibatkan
simbol-simbol, historis, dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional.
Dikatakan objektif sebab makna denotatif ini berlaku umum. Sebaliknya makna
konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna
umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau
makna denotatif hampir bisa dimengerti oleh orang banyak, maka makna
32
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Hal: 265
18
konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih kecil.
Jadi sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai
“nilai rasa”, baik positif maupun negatif.
Perubahan makna menyangkut
banyak
hal
meliputi: pelemahan,
pembatasan, penggantian, penggeseran, perluasan, dan juga kekaburan makna.
Perubahan makna tersebut bisa saja terjadi karena perubahan kata dari bahasa lain,
termasuk dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Kita dapat melihat tentang
bagaimana tanda-tanda tertentu berbeda makna dari orang-orang yang terbagi
dalam berbagai aspek seperti, geografis, demografis, suku dan budaya.
Kata dalam komunikasi pergaulan sosial ditentukan oleh hasil dari tawarmenawar yang tanpa henti. Dalam situasi tawar-menawar inilah berbagai
peristiwa lucu atau, kadang-kadang tragis dalam komunikasi bisa terjadi. Kata
pada dasarnya adalah satuan bentuk kebahasaan yang telah mengandung satuan
makna tertentu.33 Lepas dari itu, terkadang suatu kata mengalami erosi makna dari
maknanya yang asli, hal ini dapat dilihat pada reaksi semantic seseorang terhadap
suatu kata.
Setiap orang mempunyai hubungan mesra tersendiri dengan kata-kata
tertentu, yang bagi dirinya memiliki makna khusus. Contoh kata cinta. Bagi
seorang wanita yang hidup berbahagia dengan suaminya, kata cinta penuh dengan
makna ‘bahagia’, ‘beruntung’, ‘gairah hidup’, ‘senang hati’, dan sebagainya.
Akan tetapi seorang wanita yang patah hati korban hawa nafsu lelaki yang
33
Asep Ahmad Hidayat. Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Remaja Rosdakarya:
Bandung. 2004. Hal: 248
19
memakai kata cinta untuk mengelabuinya saja, kata cinta pasti mempunyai makna
lain sekali.34
2.5. Semiotika
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeon” yang berarti tanda.
Maka, semiotika berarti ilmu tentang tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang
berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungandengan
tanda, seperti sistem tanda, dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van
Zoest, 1996:1).
Jika Ferdinand de Saussure mengemukakan semiotika tingkat pertama,
atau yang biasa disebut denotatif, Roland Barthes membuat semotika tingkat
kedua dengan mengkaji mitos yang ada dalam masyarakat. Sistem semiotika
tingkat pertama adalah sistem linguistik, sistem semiotika tingkat kedua adalah
sistem mitos. Sistem kedua ini yang oleh Barthes disebut dengan konotatif yang
secara tegas ia bedakan dari denotatif.
Mitos berasal dari bahasa Yunani mytos yang berarti cerita. Biasanya
dipakai untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak
mempunyai kebenaran historis. Akan tetapi mitos tetap dibutuhkan agar manusia
dapat memahami lingkungan dan dirinya (Sunardi, 2002:103).
34
Op.Cit. Hal: 249
20
Teori mitos dikembangkan Barthes untuk melakukan kritik atas ideologi
budaya massa atau budaya media. Barthes menyatakan bahwa pada tingkat
penandaan kedua (konotasi) inilah mitos diciptakan dan digunakan. Seperti pada
mitos, Barthes juga mengartikan ideologi sebagai suatu bentuk ide dan praktik
yang mempertahankan status quo dan secara aktif mempromosikan nilai-nilai dan
kepentingan kelompok dominan dalam masyarakat (dalam Storey, 2004:116).
Barthes mengatakan bahwa ideologi berfungsi terutama pada level konotasi,
makna sekunder, makna yang seringkali tidak disadari, yang ditampilkan oleh teks
dan praktik (Storey,2004:8). Ideologi berusaha untuk menjadikan apa yang pada
faktanya parsial dan khusus menjadi universal dan legitimate, sekaligus juga
suatu usaha untuk melewatkan hal-hal yang bersifat kultural sebagai hal yang
alamiah.
Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yaitu
signifier, signified, dan sign. Untuk membedakan istilah-istilah yang dipakai
dalam semiotik tingkat pertama, Barthes menggunakan tiga istilah yang berbeda,
yaitu form, concept, dan signification. Berarti signifier=form, signified=concept,
sign=signification. Sebagai sistem semiotik tingkat dua, mitos mengambil sistem
semiotik tingkat pertama sebagai landasan. Jadi mitos adalah sistem yang terdiri
dari gabungan sistem linguistik dan sistem semiotik (Sunardi, 2002:104).
Semiotika tahap pertama (denotasi) tanda denotatifnya (denotative sign)
terdiri atas
signifier dan
signified, sedangkan semiotika tahap keduanya
(konotasi) tanda konotatif terdiri dari connotative signifier dan connotative
signified. Dalam denotatif kita akan melihat gambar atau foto begitu saja, tanpa
21
ada pemaknaan dibalik gambar (foto) itu. Denotatif kemudian menjadi landasan
(pijakan)
bagi
semiotika tingkat
kedua (konotasi dan
mitos).
Secara
semiotik,konotasi memang dibangun di atas denotasi. Dalam konotasi kita
menguraikan makna apa yang ada dibalik foto itu baru kemudian kita bisa
menarik mitos dari situ, dan setelah kita mengetahui mitosnya apa, kita dapat
menentukan ideologinya.
2.6. Semiotika Roland Barthes
Pada dasarnya lambang yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis,
yaitu verbal dan non verbal. Lambang verbal merupakan bahasa yang dikenal,
sedangkan lambang non verbal berupa bentuk dan warna yang disajikan dalam
iklan yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas.35 Untuk
menganalisa iklan, menurut Berger dalam Tinarbuko (2008:117), hal-hal berikut
ini perlu dipertimbangkan:
1. Penanda dan Petanda
2. Gambar, indeks, dan simbol
3. Fenomena sosiologis
4. Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
5. Desain dari iklan
35
Berger, Arthur Asa, (2005), Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer: Suatu Pengantar
Semiotika, Cetakan Kedua, Terjemahan oleh M. Dwi Marianto dan Sunarto. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
22
6. Publikasi yang ditemukan di dalam iklan dan khayalan yang diharapkan
oleh publikasi tersebut.
Menurut Roland Barthes, “semua objek kultural dapat diolah secara tekstual”.
Teks disini dalam arti luas. Teks tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik,
namun semiotik dapat meneliti teks dimana tanda-tanda terkodifikasi dalam
sebuah sistem”. Dengan demikian, semiotik dapat meneliti bermacam-macam teks
seperti berita, film, fiksi, puisi, drama, fashion, dan iklan.36
Dalam bahasa yang akan digunakan untuk mencari pemaknaan terhadap
kajian iklan pada kasus ini menggunakan pendekatan pada pemikiran Barthes
yang merupakan salah satu tokoh semiotik ternama. Karena dalam konsep
Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga
mengandung kedua bagian makna denotatif yang melandasi keberadaannya.
Acuan yang digunakan yakni melakukan penelitian berdasarkan denotatif dan
konotatif. Dimana nantinya pada kajian iklan Axe akan dibagi kedalam
pemaknaan terhadap bagian-bagian mana yang merupakan denotatif dan mana
pemaknaan yang berupa konotatif dari kemunculan iklan tersebut juga
berinterpretasi terhadap pemaparan pada kandungan arti terhadap bahasa tubuh
perempuan dalam iklan.
Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang
mencerminkan asumsi-asumsi dari sujatu masyarakat tertentu dalam waktu
tertentu. barthes kemudian menciptakan lima kode yang ditinjaunya yakni:
36
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi, Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
23
a. Kode
hermeneutik,
yakni
kode
teka-teki
berkisar
pada
harapanpembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan
yang muncul dalam teks.
b. Kode semik, yakni kode konotatif banyak menawarkan banyaksisi.
c. Kode simbolik, yakni didasarkan pada gagasan bahwa makna
berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan-baik dalam
taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun
pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses.
d. Kode proaretik, yakni kode tindakan atau lakuan dianggapnya
sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang.
e. Kode gnomik, yakni banyaknya jumlah kode kultural (Lecthe
dalam Sobur, 2001:196)
Barthes kemudian membangun sistem kedua yang disebut dengan
konotatif, yang didalam Mytologies-nya secara tegas ia bedakan daridenotatif atau
sistem tataran pertama. Kemudian barthes menciptakan peta tentang bagaimana
tanda bekerja (Cobley & Janzs, 1999).
24
Gambar 2.1.: Peta Tanda Roland Barthes37
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur
material: hanya jika mengenal tanda “singa”, barulah muncul konotasi harga diri,
kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan Jansz dalam Sobur).
Pada peta tanda Roland Barthes tersebut diatas dapat diuraikan secara
lebih sederhana bahwa munculnya sebuah makna denotasi tidak terlepas dari
adanya sebuah penanda dan juga petanda. Namun tanda denotasi juga dapat
membuat persepsi kepada sebuah penanda konotasi. Tetapi jika dapat mengenal
adanya bentuk seperti “bunga mawar” . maka persepsi petanda konotasi yang akan
muncul dari bunga mawar adalah cinta, romantis, dan kelembutan. Itu karena
sudah adanya kesepakatan pada sebagian masyarakat tertentu.
37
Op.Cit
25
2.7. Pesan Ikonik Terkodekan (Makna Konotatif)
Pada analisis level konotasi, tanda dimaknai menurut makna tambahannya
(makna konotasi). Pesan onotasi yang muncul dalam foto iklanyang hanya dapat
berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat.
Menurut Barthes, konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung pada saat
tanda bertemu dengan emosi dari penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya
(Fiske,1990:118), konotasi sebagian besar bersifat arbriter, spesifik pada kultur
tertentu, meski seringkali juga memiliki dimensi ikonik. Konotasi lebih bersifat
ekspresif, lebih melibatkan pengalaman subyektif daripada unsur objektif.
Konotasi merupakan cara yang penting dimana encoder mentrasmisikan emosi,
perasaan, atau penilaian mereka mengenai pesan dalam teks.
Roland
Barthes
menembangkan
dua
tingkatan
penandaan
yang
memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu
tingkat denotasi dan konotasi. Menurut Fiske, denotasi kadangkala dianggap
sebagai analogue code yaitu kode yang bekerja dalam suatu skala kontinyu.
menurut Spradley, makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata
(maknareferensial)”.
Konotasi adalah istilah Barthes untuk menyebut signifikasi terhadap kedua
yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan
atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaanya (makna ganda yang
lahir dari pengalaman kultural dan personal).
26
Maka dari itu, Berger dalam Tinarbuko (2008) mencoba membandingkan
antara konotasi dan denotasi sebagai berikut:
Tabel 2.2.: Perbandingan antara Konotasi dan Denotasi38
KONOTASI
DENOTASI
a. Pemakaian figur
a. Literatur
b. Petanda
b. Penanda
c. Kesimpulan
c. Jelas
d. Memberi kesan tentang makna
d. Menjabarkan
e. Dunia mitos
e. Dunia keberadaan atau eksistensi
Konotasi juga bisa dikatakan sebagai sebuah emosi atau perasaan yang
diyakini oleh sekelompok orang. Sehingga konotatif dapat merupakan sebuah
makna kiasan dari denotasi itu sendiri atau makna yang bukan sesungguhnya.39
Dalam pandangan Williamson pada teori semiotika, “iklan menganut
prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan
yang menghadirkan bintang film terkenal, figur bintang film tersebut dipinjam
mitosnya, ideologinya, imagenya, dan sifat-sifat glamournya dari bintang film
tersebut”.40
Makna konotatif dapat bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada
pergeseran dari makna umum yaitu denotatif. Konotasi yang mantap dapat
berkembang menjadi mitos, yaitu makna tersembunyi yang secara sadar
38
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2009. Hal: 264
Ibid. Hal: 266
40
Piliang, Yasraf Amir. Hiper-realitas Kebudayaan: Semiotika, Estetika, Posmodernisme, LKIS.
Yogyakarta: 1999. Hal: 20
39
27
disepakati oleh komunitas. Mitos yang mantap dapat berkembang menjadi sebuah
ideologi, yaitu sesuatu yang mendasari pemikiran sebuah komunitas sehingga
secara tidak sadar pandangan mereka dipengaruhi oleh ideologi tersebut.41
Konotasi menurut Piliang dipakai untuk menunjuk pada asosiasi-asosiasi
sosio-kultural dan personal (ideologi, emosi, dan sebagainya) dari tanda. Biasanya
akanberkaitan dengan kelas atau status sosial, usia, gender, etnisitas, dan
sebagainya dari interpreter”. Tanda konotasi lebih terbuka untuk beragam
interpretasi dalam bentuk konotasi daripada denotasi. Pada tingkat konotasi,
bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu
sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi. Makna
tersembunyi ini adalah makna yang menurut Barthes, merupakan kawasan dari
ideologi atau mitologi yang akan dibahas pada sub bab selanjutnya.42
Ketika konotasi dinaturalkan sebagai sesuatu yang hegemonik, artinya
diterima sebagai sesuatu yang normal dan alami, maka ia bertindak sebagai mitos,
yaitu konstruksi kultural dan tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada
sebelumnya dan melekat pada nalar awam.43
2.8. Pesan Ikonik Tak Terkodekan (Makna Denotatif)
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada
sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran.
41
Roland Barthes, Mitologi, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2009. Hal: 109
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, Depok: PPKB Universitas Indonesia, 2004. Hal: 94
43
Chris Barker, Cultural Studies,Teori dan Praktik, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2009. Hal: 74
42
28
Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam
sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda.
Denotasi juga merupakan makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas
penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas
konvensi tertentu secara objektif (Sobur,2006:263).
Pilliang (1998:14) mengartikan makna denotatifadalah hubungan eksplisit antara
tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif. Misalnya
ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicatat seperti
merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data
yang disampaikan. Dengan kata lain denotasi dapat merupakan sebagai kata yang
memiliki arti sesuai dengan apa yang ada didalam kamus bahasa indonesia, yang
dapat merupakan makna sesungguhnya atau makna yang sebenarnya dari apa
yang tertulis dan dilihat.
Spradley dalam Pilliang (1999:20), “Konotatif meliputi semua signifikansi
sugestif dari simbol yang lebih dari pada arti referensialnya”. Menurut Pilliang
(1998:17), “Makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan
perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi”.Sebagai contoh
seperti, gambar wajah orang tersenyum dapat diartikan sebagai suatu keramahan
dan kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, tersenyum bisa juga diartikan sebagai
ekspresipenghinaan terhadap seseorang. Untuk memahami makna konotatif, maka
unsur-unsur yang lain harus dipahami pula.
29
Lebih lanjut, Chris Barker menjelaskan bahwa denotasi adalah level
makna deskriptif dan literal yang secara tampak dimiliki semua anggota
kebudayaan. Pada level kedua, yaitu konotasi, makna terbentuk dengan
mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas; keyakinan,
sikap, kerangka kerja, dan ideologi suatu formasi sosial. Makna sebuah tanda
dapat dikatakan berlipat ganda jika makna tunggal tersebut disarati dengan makna
yang berlapis-lapis. Menurut Barthes, pada tingkat denotasi, bahasa menghadirkan
konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang
makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan
petandanya.
2.9. Ideologi dan Mitologi
Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologis urutan kedua atau
metabahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat
pertama (penanda dan petanda) yang membentuk makna denotatif menjadi
penanda pada urutan kedua pada makna mitologis konotatif.44 Lalu Barker
mengungkapkan, “Mitos menjadikan pandangan dunia tertentu tampak tak
terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan. Mitos bertugas memberikan
justifikasi ilmiah kepada maksud-maksud historis, dan menjadikan berbagai
peristiwa yang tak terduga tampak abadi.45
44
45
Ibid
Chris Barker, Cultural Studies,Teori dan Praktik, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2009. Hal: 75
30
Sedangkan dalam Stoney, ideologi merupakan salah satu konsep krusial
dalam kajian popular culture atau budaya popular. Dalam bukunya yang berjudul
Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan lanskap Konseptual Cultural Studies,
John Storey (2004:4) menuliskan ada lima makna konsep ideologi. Makna yang
yang dibahas hanya terkait dengan budaya pop, yaitu pertama, ideologi dapat
mengacu
pada
suatu
pelembagaan
gagasan-gagasan
sistematis
yang
diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu.46
Kedua,
definisi
ideologi
yang
menyiratkan
adanya
penopengan,
penyimpangan, atau pemnyembunyian realitas tertentu. Disini, ideologi digunakan
untuk menunjukkan bagaimana teks-teks dan praktik-praktik budaya tertentu
menghadirkan pelbagai citra tentang realitas yang sudah didistorsi atau
diselewengkan. Teks-teks dan praktis-praktis itulah yang kemudian memproduksi
apa yang disebut sebgai “kasadaran palsu”.47
Ketiga, definisi ideologi yang terkait dengan definisi kedua. Istilah
ideologi digunakan untuk mengacu pada “bentuk-bentuk ideologis”. Penggunaan
ini dimaksudkan untuk menarik perhatian pada cara-cara yang selalu digunakan
teks (media massa) untuk mempresentasikan citra tertentu tentang dunia (Storey,
2004:7). Karena teks-teks dalam media massa (film, TV, radio, koran, iklan, dan
lain-lain) melibatkan sebuah cerita tentang dunia, pada akhirnya seluruh teks
budaya bersifat politis. Teks-teks itu menawarkan berbagai penandaan ideologis.
Oleh karena itu menurut Hall, budaya pop adalah sebuah situs di mana
46
Storey, John. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies.
Yogyakarta: Qalam. 2004. Hal: 4
47
Op.Cit. Hal: 4
31
pemahaman sosial kolektif tercipta.48 Ada sebuah pemahaman bersama yang
menciptakan standarisasi pemahaman atau pengertian mengenai makna-makna
tertentu. Ada sebuah budaya yang relatif terstandarisasi dan homogen di antara
masyarakat. Misalnya tentang makna “cantik”, sebenarnya adalah suatu makna
yang standar. Apa yang dipikirkan orang ketika mendengar kata wanita cantik?
Kebanyakan orang akan membayangkan wanita yang bertubuh langsing, berkulit
putih mulus, berambut hitam lurus, wajah tanpa jerawat, bukan wanita yang
bertubuh gendut, berambut keriting dan berkulit hitam.
Kelima, definisi ideologi menurut Roland Barthes. Barthes menyatakan
bahwa ideologi berfungsi terutama pada level konotasi, makna sekunder, makna
yang seringkali tidak disadari, yang ditampilkan oleh teks dan praktik, atau yang
bisa ditampilkan oleh apapun.49 Dari definisi kedua, ketiga, dan keempat di atas,
diketahui bahwa ideologi menyiratkan adanya penopengan, penyimpangan dan
penyembunyian realitas tertentu. Ideologi digunakan untuk menunjukkan
bagaimana teks-teks dan praktik-praktik budaya tertentu menghadirkan berbagai
realitas yang sudah didistorsi atau diselewengkan. Teks-teks itu kemudian
menimbulkan apa yang disebut “kesadaran palsu”. Selain itu ideologi juga
digunakan oleh media massa untuk mempresentasikan citra tertentu tentang dunia,
dan menurut tesis kedua Althusser yang direpresentasikan di situ bukan situasi
yang riil, tetapi relasi yang imajiner. Artinya apa yang ditampilkan di media
48
Storey, John. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies.
Yogyakarta: Qalam. 2004. Hal: 7
49
Op.Cit. Hal: 8
32
massa tentang kecantikan adalah bukan hal yang sebenarnya, tetapi adalah suatu
hal yang sudah direkayasa.
Teks-teks yang ada dalam iklan telah didistorsi sedemikian rupa sehingga
yang muncul dalam gambaran orang ketika mendengar kata cantik adalah wanita
yang langsing tanpa tonjolan lemak di tubuh, berkulit putih mulus, berwajah
mulus tanpa jerawat, berambut hitam panjang lurus tanpa ketombe, tidak punya
masalah dengan bau badan maupun bau mulut, muda, pakaiannya fashionable.
Padahal dalam kenyataannya, wanita-wanita yang ditampilkan dalam iklan bisa
saja tidak secantik dalam iklan. Tubuh mereka bisa dilangsingkan dan kulitnya
diputihkan lewat kecanggihan teknologi digital.
Distorsi ini sengaja dibuat untuk memperlancar terwujudnya kepentingan
kelompok penguasa dalam mengendalikan sepenuhnya pihak yang lemah. Di sini
relevan dibicarakan tentang kapitalisme. Ideologi telah digunakan sebagai topeng
bagi para kapitalis untuk terus-menerus menciptakan bukan hanya produk-produk
baru, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan baru bagi sasaran pasarnya. Misalnya, dulu
orang tidak butuh deodoran, tetapi iklan telah menciptakan bahwa berkeringat itu
akan menimbulkan suatu masalah yang besar, yaitu bau badan dan bisa
mengakibatkan krisis kepercayaan diri. Padahal dulu sebelum ada deodoran,
mereka merasa baik-baik saja dengan kondisi mereka, tetapi sekarang ada
semacam “kewajiban” untuk menggunakan deodoran. Konsumen mempunyai
kebutuhan baru, yaitu menjaga bau badannya dengan menggunakan deodoran.
33
Distorsi dan penyelewengan teks mengakibatkan suatu “kesadaran palsu”.
Dalam hal kecantikan misalnya “kesadaran palsu” itu membuat orang berpikir
bahwa mereka tidak cantik, sehingga mereka harus berusaha dengan berbagai cara
seperti diet. Iklan telah membuat semua hal itu menjadi sebuah hal yang
menakutkan, memalukan, sehingga harus “dilawan” dengan berbagai produk yang
diiklankan. Akan tetapi konsumen seringkali tidak sadar, bahwa semua itu adalah
suatu hal yang pasti timbul, sehingga mereka malu jika tubuh mereka
menimbulkan bau yang tidak sedap, mudah berkeringat, dan-lain-lain.
Bentuk-bentuk kemudaan, kecantikan, kesuksesan yang ditampilkan dalam
iklan di media massa merupakan imajinasi yang dibangun dan berupa ideologi
(bisa juga disebut sistem makna). Althusser berpendapat bahwa ideologi
tergantung pada pembentukan daya tarik yang dilekatkan pada atensi individu.
Kemudian jika daya tarik ini sukses, individu akan memaknai identitas mereka
sebagai bagian dari sistem makna yang ditawarkan.50 (dalam Pappilon
Halamoan.M, 2004).
Althusser juga mengatakan bahwa ideologi itu tidak hanya berupa ide-ide
saja, tetapi juga berupa praktik. Sama halnya dengan identitas kecantikan. Dalam
kehidupan sehari-hari, banyak dijumpai perempuan-perempuan yang berdiet matimatian dengan berbagai macam cara, menjauhi gula karena akan membuat
tumpukan lemak; perempuan yang takut pada sinar matahari yang akan membuat
kulitnya hitam; perempuan yang menggunakan berbagai macam suntikan agar
kulitnya tetap kencang, menggunakan krim-krim pemutih, bahkan mengoperasi
50
http://jurnal.uajy.ac.id/jik/files/2012/05/JIK-Vo2-No1-2005_4.pdf
34
plastik wajahnya dan melakukan suntik silikon di hidung dan payudara;
menggunakan shampo tertentu atau perempuan yang rela antri di beauty center
untuk memutihkan kulit dan meluruskan rambut. Semua itu mereka lakukan agar
mereka bisa disebut “cantik”.51
Iklan tidak menghadirkan realitas sosial yang sesungguhnya. Apa yang
tampak dan hadir dalam iklan tidak lebih dari ilusi belaka yang tidak
mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Tanda-tanda (citra) iklan tidak
bercerita bohong, tetapi juga tidak bercerita yang sebenarnya. 52 Sekali lagi,
identitas wanita cantik yang ditampilkan oleh model-model dalam iklan bukanlah
realitas yang sebenarnya. Semua yang ada telah direkayasa untuk mempersuasi
orang. Identitas kesensualitasan dan kecantikan kini telah banyak dipengaruhi
oleh media massa dan budaya massa.53
Ideologi adalah system ide-ide yang diungkapkan dalam komunikasi.
Secara positif ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia (worldview)
yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan
memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Secara negatif, ideologi dilihat
sebagai kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan
dengan cara memutarbalikan pemahaman orang mengenai realitas sosial.54
51
Ibid
Ibrahim, Idi Subandy, & Suranto Hanif (ed). Wanita dan Media Konstruksi Ideologi Gender
Dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: PT Rosdakarya. 1998. Hal: 324
53
Ibid
54 Sobur, Alex. Analisis Teks media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2004. Hal: 61
52
35
Apter melukiskan ideologi itu berada pada perpotongan antara prinsip atau
tujuan filosofis, pilihan dan keyakinan individual, serta nilai-nilai umum dan
khusus. Perpotongan ini diikhtisarkan dalam gambar berikut ini:
Gambar 2.3.: Komponen-Komponen Ideologi55
Nilai, kepentingan, dan pilihan, jelas saling bertumpang tindih. Ideologi,
menurut Apter, merupakan atribut-atribut ini: kadang-kadang koheren dan
kadang-kadang tidak. Pilihan dapat diubah menjadi kepentingan dan kepentingan
menjadi nilai, atau pilihan dapat ditingkatkan kepada status nilai untuk mencapai
kepentingan.
Terdapat tiga dimensi yang dapat dipakai untuk melihat dan mengukur
kualitas
suatu
ideologi
(Alfian,
1995:93),
yakni:
(1)
kemampuannya
mencerminkan realitas yang hidup dalam masyarakat, (2) mutu idealisme yang
dikandungnya, dan (3) sifat fleksibelitas yang dimilikinya. Berikut ini sekedar
penjelasan singkat ketiga dimensi tersebut.
55
David E. Apter. 1996. Pengantar Analisis Politik. Jakarta: LP3ES. Hal: 236
36
Dimensi pertama ideologi ialah pencerminan realita yang hidup dalam
masyarakat dimana ia muncul pertama kalinya, paling tidak pada saat-saat
kelahirannya itu. Dengan kata lain, ideologi itu merupakan gambaran tentang
sejauh mana sesuatu masyarakat berhasil memahaminya sendiri.
Dimensi kedua dari ideologi adalah lukisan tentang kemampuannya
memberikan harapan kepada berbagai kelompok atau golongan yang ada dalam
masyarakat untuk mempunyai kehidupan bersama secara lebih baik dan untuk
membangun suatu masa depan yang lebih cerah.
Dimensi ketiga dari ideologi – erat kaitannya dengan kedua dimensi di
atas yang encerminkan kemampuan suatu iedologi dalam mempengaruhi dan
sekaligus
menyesuaikan
diri
dengan
pertumbuhan
atau
perkembangan
masyarakatnya. Mempengaruhi berarti ikut mewarnai proses perkembangan itu,
sedangkan menyesuaikan diri berarti bahwa masyarakat berhasil menemukan
interpretasi-interpretasi baru terhadap nilai-nilai dasar atau pokok dari ideologi itu
sesuai dengan realita-realita baru yang muncul dan mereka hadapi.56
2.10. Penggunaan Lambang: Komunikasi Non Verbal
Komunikasi
nonverbal
adalah
proses
komunikasi
dimana
pesan
disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi non verbal ialah
menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata,
penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbol-
56
Ibid. Hal: 220-221
37
simbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya
emosi, dan gaya berbicara.
Para ahli bidang komunikasi non verbal biasanya menggunakan definisi
"tidak menggunakan kata" dengan ketat, dan tidak menyamakan komunikasi nonverbal dengan komunikasi nonlisan. Contohnya, bahasa isyarat dan tulisan tidak
dianggap sebagai komunikasi nonverbal karena menggunakan kata, sedangkan
intonasi dan gaya berbicara tergolong sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi
non verbal juga berbeda dengan komunikasi bawah sadar, yang dapat berupa
komunikasi verbal ataupun nonverbal.57
Komunikasi nonverbal acapkali dipergunakan untuk menggambarkan
perasaan dan emosi. Jika pesan yang diterima melalui sistem verbal tidak
menunjukkan kekuatan pesan maka dapat menerima tanda-tanda nonverbal
lainnya sebagai pendukung.
Komunikasi nonverbal ialah komunikasi tanpa kata-kata (karena tidak
berkata-kata). Studi mengenai komunikasi nonverbal ini berakar dari komunikasi
antar budaya melalui karya Edward T. Hall (1959) : The Silent Language.
Menurut Hall budaya menggambarkan bagaimana cara dan langkah manusia
untuk memahami dan mengorganisirkan dunianya. Dunia itu terbentuk oleh
sekelompok orang yang melintasi hubungan antar manusia dan bahkan generasi.
Budayalah yang mempengaruhi sensori manusia ketika memproses kehidupannya,
proses itu bahkan menyusup sampai ke pusat sistem syaraf. Budaya selalu
57
Rakhmat, J. 1985. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosadakarya.
38
memiliki dua manifestasi, yakni manifestasi material dan simbol-simbol yang
mewarnai
bahasa,
adat
kebiasaan,
sejarah,
organisasi sosial,
termasuk
pengetahuan; dan manifestasi kedua, budaya diharapkan sebagai identitas
kelompok. Budaya dinyatakan dalam gaya interaksi verbal dan nonverbal;
misalnya melalui pepatah dan ungkapan, pranata sosial, upacara, cerita, agama,
bahkan politik.58 (Liliweri, 1994 : 89)
Secara sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan katakata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi non verbal
mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting
komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh
individ, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; jadi
definisi ini mnecakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian
dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan non
verbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakan bagi orang lain.59
Sistem kode nonverbal sering digolongkan menurut jenis aktivitas yang
digunakan dalam kode. Burgoon mengusulkan tujuh jenis: kinesik (aktivitas
tubuh); vokalis atau paralanguage (suara); penampilan fisik, haptics (touch);
proxemics (ruang); chronemics (waktu); dan artefak (objek). Dari semua ini,
kinesik dan proxemics telah dikaji secara luas. Ray Birdwhistell diakui sebagai
orang pertama di balik kinesik. Seorang antropolog yang tertarik dengan bahasa,
Birdwhistell menggunakan linguistik sebagai model karya kinesiknya. Pada
58
59
Liliweri, Alo. Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1994
Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal: 308
39
kenyataannya, hubungan ini sangat kuat yang mana istilah yang popular untuk
kinesik adalah bahasa tubuh.60 (LittleJohn 2011 : 159)
Jalaludin Rakhmat (1994) mengelompokkan pesan-pesan nonverbal
sebagai berikut:61
a. Pesan kinesik. Pesan nonverbal yang menggunakan gerakan tubuh yang
berarti, terdiri dari tiga komponen utama: pesan fasial, pesan gestural, dan
pesan postural.
b. Pesan fasial menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan
paling sedikit sepuluh kelompok makna: kebagiaan, rasa terkejut,
ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman,
minat,
ketakjuban, dan tekad. Leathers (1976) menyimpulkan penelitianpenelitian tentang wajah sebagai berikut:
1. Wajah mengkomunikasikan penilaian dengan ekspresi senang dan
taksenang, yang menunjukkan apakah komunikator memandang objek
penelitiannya baik atau buruk;
2. Wajah mengkomunikasikan berminat atau tak berminat pada orang
lain atau lingkungan;
3. Wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam situasi
situasi;
60
Stephen W. Littlejohn. Theories of Human Communication. Fifth Ed. New York: Wadsworth
Publishing Company. 1996.
61
Jalaludin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1994
40
4. Wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap
pernyataan sendiri; dan wajah barangkali mengkomunikasikan adanya
atau kurang pengertian.
c. Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata
dan tangan untuk mengkomunikasi berbagai makna.
d. Pesan postural berkenaan dengan keseluruhan anggota badan, makna yang
dapat disampaikan adalah:
1. Immediacy yaitu ungkapan kesukaan dan ketidak sukaan terhadap
individu yang lain. Postur yang condong ke arah yang diajak bicara
menunjukkan kesukaan dan penilaian positif;
2. Power mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator. Anda
dapat membayangkan postur orang yang tinggi hati di depan anda, dan
postur orang yang merendah;
3. Responsiveness, individu dapat bereaksi secara emosional pada
lingkungan secara positif dan negatif. Bila postur anda tidak berubah,
anda mengungkapkan sikap yang tidak responsif.
e. Pesan proksemik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang.
Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan keakraban kita
dengan orang lain.
f. Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan tubuh, pakaian, dan
kosmetik. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, orang sering
berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan persepsinya
41
tentang tubuhnya (body image). Erat kaitannya dengan tubuh ialah upaya
kita membentuk citra tubuh dengan pakaian, dan kosmetik.
g. Pesan paralinguistik adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan
dengan cara mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama
dapat menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan secara berbeda.
Rakhmat (1985) menjelaskan bahwa komunikasi non-verbal memiliki
beberapa fungsi, yaitu:62
a) Repetisi
Di sini komunikasi non-verbal memiliki fungsi untuk mengulang kembali
gagasan yang disajikan secara verbal. Misalnya setelah seseorang
menjelaskan penolakannya terhadap suatu hal, ia akan menggelengkan
kepalanya berulang kali untuk menjelaskan penolakannya.
b) Substitusi
Di sini komunikasi non-verbal memiliki fungsi untuk menggantikan
lambing-lambang verbal. Misalnya tanpa sepatah katapun seseorang
berkata, ia dapat menunjukkan persetujuan dengan menganggukanggukkan kepala.
c) Kontradiksi
Di sini komunikasi non-verbal memiliki fungsi untuk menolak pesan
verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya
62
Rakhmat, J. 1985. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosadakarya.
42
seseorang memuji prestasi rekannya dengan mencibirkan bibirnya sambil
berkata: “Hebat, kau memang hebat”.
d) Komplemen
Di sini komunikasi non-verbal memiliki fungsi untuk melengkapi dan
memperkaya makna pesan non-verbal. Misalnya air muka seseorang
menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata.
e) Aksentuasi
Di sini komunikasi non-verbal memiliki fungsi untuk menegaskan pesan
verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya seseorang mengungkapkan
kejengkelannya sambil memukul mimbar.
2.10.1. Ekspresi Wajah
Ekspresi wajah manusia dapat bersifat sadar dan tidak sadar. Jenis ekspresi
sadar pada efeknya merupakan jenis sinyal khusus. Pada tahun 1963, ahli
psikologi Paul Ekman mendirikan Human Interaction Laboratory di jurusan
psikiatri, University of California, San Fransisco, yang bertujuan mempelajari
sinyal wajah tipe ini. Turut bergabung dalam penyelidikannya adalah Wallace V.
Friesen di tahun 1965 dan Maureen O’Sullivan di tahun 1974. Selama bertahuntahun, Ekman dan timnya menentukan ekspresi-ekspresi wajah tertentu sebagai
tanda universal bagi emosi-emosi spesifik. Mereka menunjukkan bahwa dengan
membagi-bagi ekspresi wajah menjadi komponen-komponen karakteristik posisi
alis, bentuk mata, bentuk mulut, ukuran lubang hidung, dan seterusnya dalam
pelbagai kombinasi akan menentukan bentuk, X, dan makna, Y, dari ekpresi
43
bersangkutan. Ekman mendapati sedikit sekali variasi dalam pelbagai budaya dari
segi sifat komponen dan kombinasinya. Malah ia menunjukkan bahwa mungkin
saja untuk menulis “gramatika” wajah yang mengandung lebih sedikit variasi
kultural dibanding gramatika dalam bahasa.
Kisah semiotika wajah manusia tidak berhenti pada studi sinyal yang
terprogram secara biologis ini. Wajah di seluruh dunia dipandang sebagai tanda
diri. Inilah mengapa kita cenderung mengevaluasi kepribadian orang yang tak kita
kenal
berdasarkan penampilan wajahnya.dan tentu saja kita
mengenal
“kecantikan”, atau tiadanya kecantikan, seseorang berdasarkan bagaimana orang
itu ”terlihat”. Inilah mengapa hiasan dan pengubahan pada wajah menjadi
sokongan dan kegiatan representasi diri yang teramat penting, yang dapat dirunut
hingga asal muasal budaya. Riasan kosmetik yang kini kita kenakan memiliki
hubungan yang telah lama berlangsung dan tak terputus dengan praktik pacaran di
zaman dahulu. pengubahan yang dilakukan pada wajah dan alat-alat yang
digunakannya untuk memperindah selama masa pacaran merupakan penanda
sensual laten. Lipstik merah, misalnya, mengkonotasikan warna merah yang
diasosiasikan
dengan
kesuburan
perempuan;
kumis
pada
laki-laki
mengkonotasikan kejantanan; dan daftar ini bisa terus berlanjut. Sejak dahulu
kala, manusia mendandani wajah unutk mengungkapkan identitas seksual dan
gender sekaligus citra yang memikat. seperti yang telah dikatakan dengan jitu oleh
ahli antropologi Helen Fisher (1992: 272-273), bukti arkeologis yang ada memang
menyiratkan bahwa wajah yang dikonstruksi secara seksual adalah ciri dan
fenomenon representasi diri yang berasal dari moyang Cro-Magnon kita, yang
44
mengahabiskan waktu berjam-jam mendandani diri, mengepang rambut mereka,
dan memakai karangan bunga agar bisa saling pamer satu sama lain dalam cahaya
api unggun. Industri kosmetik dan perhiasan kontemporer adalah versi zaman
modern dari tradisi lama ini.63
Persepsi atas wajah sebagai penyedia keberadaan diri atau persona,
demikian keberadaan diri kadang disebut, merasuk dalam semiosfir di seluruh
dunia. Inilah mengapa kita menggunakan ekspresi konotatif yang mengukuhkan
persepsi bahwa wajah adalah tanda yang merepresentasikan orang di baliknya:
1. Kami berdebat sambil bertatap muka.
2. Jangan tunjukkan wajahmu di tempatku lagi.
3. Ia mengkritik penyelia itu langsung di depan mukanya.
4. Tampilkan lah wajah yang gembira.
5. Perasaanmu tampak jelas di wajahmu.
6. Kau dapat melihat kemunafikan di wajahnya.
7. Ia cuma sekadar tampang indah.
Persepsi ini mendasari praktik pembuatan potret diri. Potret diri adalah
representasi visual subjek yang penampilan wajahnya, berdasarkan gambaran
pelukis, secara tipikal ditafsirkan oleh mereka yang melihatnya sebagai penanda
diri—sebuah tanda yang dalam tafsiran kita mengungkapkan sifat, status sosial,
63
Danesi, Marcell. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori
Komunikasi. Yogyakarta : Jalasutra. 2010. Hal : 58 – 59
45
profesi, dan seterusnya, dari subjek. Potret adalah alat untuk memeriksa sifat
manusia.64
Bahasa wajah terutama berhubungan dengan bagaimana struktur wajah
menunjukkan sifat seseorang. Ekspresi wajah perlu diperhatikan walaupun tidak
membutuhkan perintah khusus untuk dimengerti. Berbagai jenis ekspresi wajah
seperti cinta, benci, gembira, sedih, senang, seriusm sakit, relaks, tergesa-gesa,
konsentrasi, tidak sabar, bahagia, cema, kau, tidak suka, menggoda, dan
sebagainya.
Dengan mengetahui arti ekspresi wajah ini kita dapat mengenal bagaimana
perasaan seseorang pada suatu saat dan itu akan mengingatkan pada situasi yang
sedang dijalani orang tersebut dari sini dapat disaadari bahwa manusia adalah
inidividu unik.
65
Sebagai contoh, bila seseorang memiliki mata besar, ia dianggap menarik,
sedangkan irama suara juga memiliki arti khusus. Tetapi bila berbibir kecil, serta
kaku, sebaiknya jangan berbicara bertele-tele, karena tidak akan mendapat apa
ayang anda harapkan darinya.
Setiap orang meiliki berbagai sifat. Semua sisi kepribadian manusia ini
berpadu untuk membentuk ciri individu. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa
biasanya hanya ada satu ciri khas yang menonjol dalam situasi kehidupan seharihari kadangkala dua ciri saling bersaing sampai salah satunya unggul. Tetapi pada
64
Danesi, Marcell.Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori
Komunikasi.Yogyakarta : Jalasutra, 2010. Hal : 60
65
Robert L. Whiteside. Face Language II. Frederick Fell Publishers
46
umumnya, situasi yang dihadapi hanyalah satu dimana akan menyukai efektivitas
bicara sesuai ciri yang menonjol pada lawan bicara, kita pun bisa
memanfaatkannya bila mau sehingga akan melakukan hal tersebut agar sesuai
dengan orang lain.
Berbicara
dengan
mengikuti satu
ciri
yang
menjadi
menonjol,
memungkinkan akan dapat memecah dinding yang ada di antara dua individu dan
memperlakukannya sebagi individu yang khusus dan unik dimana akan
mempunyai pandangan yang berbeda dan nada suara yang lebih ramah sehingga
akan lebih efektif.
Kecakapan ilmiah dan keahlian berkomunikasi non verbal membuat setiap
perjumpaan dengan orang lain menjadi pengalaman yang megesankan. Seseorang
belajar untuk memahami orang lain lewat isyarat yang disampaikannya dan
meiliki waktu yang cukup menyenangkan hanya dengan mengamati kebiasaan
bahasa tubuh mereka. Ketika seseorang melakukan kebohongan atau berusaha
untuk mempengaruhi orang lain, maka dengan persepsi dan intuisi yang
dimiliknya, orang lain dapat mengetahui hal itu dengan menampakkan sikap yang
benar-benar membosankan. Dengan demikian kita dapat membaca dan belajar
lebih banyak tentang bahasa tubuh yang memperbincangkan banyak persoalan.
2.10.2. Bahasa Tubuh (Body Language)
Bahasa tubuh adalah ilmu komunikasi yang mempelajari perasaan pribadi,
emosi, sikap, pikiran melalui gerakan tubuh seseorang. Seperti gerakan, postur,
47
ekspresi muka, gaya berjalan, posisi tubuh, dan gerak tubuh baik yang disengaja
maupun tidak sengaja dan disertakan dengan bahasa ucapan.
Menurut pandangan Liliweri, menjelaskan bahwa bahasa tubuh adalah
gerakan; tubuh yang merupakan sebagian perilaku non verbal (termasuk yang
anda miliki) dapat disampaikan melalui simbol komunikasi kepada orang lain.
Perilaku itu sangat tergantung dari erat tidaknya hubungan dengan orang lain.66
Dalam kamus komunikasi dari Onong U. Effendy bahwa kinsic
communication atau komunikasi kial/komunikasi kinesik adalah komunikasi yang
dilakukan dengan gerakan anggota tubuh; salah satu jenis komunikasi
nonverbal.67
Bahasa tubuh merupakan sinyal komunikasi non verbal yang unik, dimana
dengan seseorang menyampaikan pesan atau mengekspresikan diri melalui
gerakan secara sadar atau bawah sadar, gerakan tubuh serta ekspresi raut wajah.
Model komunikasi tersebut di atas dapat menjadi bahsa pengganti langsung dari
bahasa verbal atau berfungsi sebagai penguat atau sebagai penggambaran atau
sebagai media untuk menyembunyikan mood yang sebenarnya.68
Bahasa tubuh adalah komunikasi pesan nonverbal (tanpa kata-kata).
Bahasa tubuh merupakan proses pertukaran pikiran dan gagasan di mana pesan
yang disampaikan dapat berupa isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata,
sentuhan, artifak (lambang yang digunakan), diam, waktu, suara, serta postur dan
66
Liliweri, Alo. Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1994
Onong Uchyana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1994
68
Umar Bukhory. Body Language. Tugu Publisher, 2004
67
48
gerakan tubuh. Bahasa tubuh dipercayai sangat penting dalam melancarkan atau
menghambat efektifitas komunikasi tubuh.
Bidang yang menelaah bahasa tubuh (gestures) adalah kinesika (kinesics).
Suatu istilah yang diciptakan seorang perintis studi bahasa nonverbal, Ray L.
Birdwhistell dalam Body Talk (1987). Kinesika adalah pesan nonverbal yang
dituangkan dalam bentuk bahasa isyarat tubuh dan anggota tubuh dalam bukunya,
Kinesics and Context, Birdwhistell mengurutkan tujuh asusmsinya yang menjadi
dasar teorinya dalam bahasa tubuh, yakni sebagai berikut:69
a. Semua gerakan tubuh mempunyai makna penting dalam konteks
komunikasi. Seseorang selalu dapat memberikan makna terhadap aktivitas
tubuh.
b. Perilaku dapat dianalisis karena diatur dan pengaturan ini dapat dikupas
dengan analisis sistematis.
c. Walaupun aktivitas tubuh memiliki keterbatasan secara biologis,
kegunaan pergerakan tubuh dalam interaksi dianggap menjadi sebuah
bagian dari sistem sosial. Oleh karena itu, kelompok yang berbeda akan
menggunakan gesture - dan gerakan tubuh lainnya - secara berbeda.
d. Orang dipengaruhi oleh aktivitas tubuh orang lain yang terlihat.
e. Cara aktivitas tubuh yang berfungsi dalam komunikasi dapat diselidiki.
69
Stephen W. Littlejohn, Karen A. Foss. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication.
Jakarta: Salemba Humanika. 2009. hal: 159
49
f. Makna yang terungkap dalam hasil penelitian kinesik ini berasal dari
perilaku yang telah dikaji sebagaimana metode yang dikaji untuk
penelitian.
g. Seseorang yang menggunakan aktivitas tubuh akan memiliki ciri-ciri
idiosyncratic, tetapi juga akan menjadi bagian sistem sosial yang besar.
Sebagian besar isyarat yang menjadi dasar komunikasi adalah sama di
seluruh dunia seperti seseorang tertawa ketika ia bahagia dan melihat hal-hal lucu
atau menangis ketika sedih, geram atau berada dalam keadaan marah, anggukan
kepala menandakan sebuah penegasan atau pengiyaan. Kata tidak ditandai dengan
menggelengkan kepala dari satu sisi ke sisi yang lain dan ketika seseorang ragu
atau merasa tidak mengeti apa yang dinyatakan oleh orang lain, maka dengan
mudah dia bisa mengangkat bahunya.
Bagaimanapun, sebuah isyarat yang mengandung makna spesifik dalam
satu kebudayaan bisa saja mengandung makna yang berbeda bagi kebudayaan lain
pada saat yang berbeda, seperti menunjukkan ibu jari sebagai tanda setuju.
Komunikasi non verbal telah diganti oleh model wicara melalui proses
evolusi dimana bahasa tubuh tinggal menguatkan dan melengkapi pernyataanpernyataan yang dibicarakan atau mengekspresikan perasaan dan pandangan
seseorang atau sebagai tujuan untuk mengucapkan selamat. Maka ketika
seseorang bertanya kepada anda bagaimana manusia berkomunikasi satu sama
lain, anda tidak hanya berkata dengan kata-kata, namun juga menyampaikan
bahasa tubuh dan wajah yang bersifat non verbal.
50
Ray L. Birdwhistell mengemukakan lebih lanjut bahwa setiap anggota
tubuh seperti wajah (termasuk senyuman dan pandangan mata), tangan, kepala,
kaki, dan simbolik. Karena kita hidup, semua anggota badan kita senantiasa
bergerak. Dalam kajian pesan nonverbal dikenal beberapa jenis kinesik yaitu:70
a. Ekspresi wajah; berbagai penelitian melaporkan bahwa emosi dapat
ditunjukkan melalaui ekspresi wajah karena wajah dianggap sangat kuat
menampilkan ‘keadaan dalam’ seseorang yang membuat orang lain dapat
membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Sylvan S. Tomkins
menemukan sekurang-kurangnya ada 8 (delapan) dasar emosi wajah yang
meneganggkan, yakni emosi yang menyatakan surprise, minat, gembira,
gusar, takut, jijik atau muak, malu dan kesedihan yang mendalam.
Wajah manusia menyimpan banyak sekali misteri. Para ahli psikologi
menyebut wajah dan ekspresi wajah sebagai the organ of emotion. Karena
tanda-tanda yang ada di wajah berkaitan dengan perasaan manusia, dan
tanda-tanda itu dapat diinterpretasikan oleh orang lain disekeliling kita.
Wajah merupakan kekuatan saluran komunikasi nonverbal yang
diterjemahkan atau di-encode oleh pengirim kemudian di-decode oleh
penerima dengan makna yang berlaku dalam suatu konteks sosial dan
budaya tertentu.
b. Kontak mata dan pandangan; kontak mata/cara pandang mata
merupakan komunikasi nonverbal yang ditampilkan bersama ekspresi
70
Liliweri, Alo. Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1994. Hal:
197
51
wajah. Tak mengherankan kalau banyak orang menggerakkan alis mata
ketika mereka bercakap-cakap karena mereka menganggap bawah kontak
mata yang ditampilkan komunikator akan menarik umpan balik dari
komunikan.
Dalam Hattori (1987) pelbagai kebudayaan, pandangan mata kerap kali
ditafsirkan
sebagai
pernyataan
tingkat
keseriusan
perhatian,
mendengarkan, melihat, mengerti, melamun, menerawang, bingung,
marah, cinta, sayu, menggoda, sensual, menguasai, membiarkan, dan masa
bodoh yang semuanya harus ditafsir dalam konteks budaya tertentu.
c. Isyarat tangan; kita sering menyertai ucapan kita dengan isyarat tangan.
Sebagian orang menggunakan tangan mereka dengan leluasa, sebagain
lagi moderat, dan sebagian lagi hemat. Untuk memperteguh pesan verbal
mereka, orang-orang Perancis, Italia, Spanyol, Mexico, dan Arab termasuk
orang-orang yang sangat aktif menggunakan tangan mereka, lebih aktif
daripada orang Amerika, atau orang Inggris seakan-akan mereka tidak
mau diam. Penggunaan isyarat tangan dan maknanya jelas dari berlainan
dari budaya ke budaya.
d. Postur tubuh; postur tubuh bersifat simbolik. Postur tubuh memang
mempengaruhi citra diri. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara fisik dan karakter atau tempramen. Klasifikasi bentuk
tubuh dilakukan oleh Willlian Sheldon misalnya menunjukkan hubungan
52
antara bentuk tubuh dan tempramen. Sebagian anggapan mengenai bentuk
tubuh dan karakter yang dihubungkannya mungkin sekedar stereotip.
2.11. Sensualitas
Dewasa ini, perihal sensualitas seolah-olah sudah menjadi monopoli
golongan tertentu, khususnya perempuan. Mungkin saja sebenarnya, para
perempuan yang ingin atau bahkan selalu tampil sensual (seksi) berharap
memperlihatkan sebuah citra positif perempuan sebagai daya tarik lawan jenis,
yang tentunya menuntut penghormatan dan perlakuan selayaknya seorang pribadi
bermartabat.71
Sayangnya, tidak jarang sebagian besar orang, khususnya kaum lelaki
dengan penuh konsentrasi dan bola mata yang terbuka lebar, bahkan seperti takut
kehilangan momen yang berharga, menerjemahkan sensualitas perempuan sebagai
sekedar objek atau daya tarik biologis untuk memuaskan atau melampiaskan
birahinya. Sehingga, tidak jarang para perempuan ikut terjebak dalam pola pikir
negatif laki-laki, tampil seronok dengan mempertontonkan bagian-bagian intim
(sensual) tubuh, terutama berpakaian serba minim dan terbuka. Penampilan
seperti ini bisa saja mempengaruhi (mereduksi) citra perempuan di mata publik.72
Sensualitas sering dipersepsikan pada tubuh seorang wanita. Sensualitas
merupakan tataran imajinasi seksual individu terhadap objek yang dilihatnya.
Sensualitas tak lepas dari fashion, make-up serta tubuh itu sendiri. Perempuan
71
72
http://www.scribd.com/doc/72474933/bedhaya-ketawang-ready-to-show
Ibid
53
sebagai model iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik makin marak
digunakan. Menggunakan perempuan sebagai barang komoditi dalam iklan bukan
hal baru. Pengumbaran sensualitas untuk menarik perhatian pria dianggap wajar.
Sensualitas dan seksualitas perempuan dimasukkan ke dalam berbagai aspek
masyarakat tak terkecuali ke dalam media periklanan. Iklan adalah media untuk
promosi produk-produk yang beredar di masyarakat, tujuan utama iklan adalah
supaya produk yang diiklankan diminati masyarakat. Maka dari itu, iklan akan
dibuat sedemikian rupa supaya menarik perhatian masyarakat dan salah satu
pilihan yang menarik adalah dengan menggunakan perempuan sebagai obyek
utamanya dengan dibumbui dengan sisi sensual dan seksualnya, sehingga
kenyataan yang muncul adalah penggunaan sensualitas dan seksualitas perempuan
tersebut mengabaikan sisi psikologis, sosiologis, ekologis, estetika, dan
keterkaitan dengan produk yang diiklankan tersebut.73
Sebelum membahas hal ini lebih jauh, secara khusus dalam kaitannya
dengan dunia periklanan, penulis hendak memberikan sekilas gambaran sederhana
perihal sensualitas, yang mungkin lebih banyak menyinggung dunia perempuan
dibanding laki-laki, karena memang sepertinya tidak dapat dipungkiri bahwa
perempuan diciptakan Tuhan disertai dengan segala bentuk keindahan fisik
seolah-olah melebihi laki-laki.
Beberapa definisi sederhana dari sensualitas anatara lain adalah menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengartikan sensualitas yaitu “segala
73
http://psikologi-untar.blogspot.com/2012/11/body-image-dan-sensualitas-perempuan.html
54
sesuatu yg mengenai badani bukan rohani”.74 Pengertian kedua mengenai
sensualitas adalah the quality or state of being sensual or lascivious (sifat/karakter
yang sensual atau sesuatu yang menimbulkan birahi), devotedness to the
gratification of the bodily appetites (sesuatu yang diandalkan untuk memuaskan
selera/nafsu jasmaniah), a preoccupation with the body and satisfication of its
desire (suatu keasyikan yang berlebihan karena tubuh dan kepuasan atas
birahinya). 75
Definisi sederhana lainnya dikemukakan oleh Marshall Sylver dalam
bukunya Passion, Profit, & Power bahwa sensualitas adalah kemampuan untuk
merangsang secara positif semua indra orang lain.76 Jika Anda ingin menciptakan
sensualitas pada seseorang, pastikan Anda merangsang semua inderanya,
penglihatannya, penciumannya, pendengarannya, perabaannya, dan pengecapnya.
Jika Anda bersama partner Anda atau keluar untuk kencan, pasang music yang
menyenangkan, nyalakan api, perhatikanlah warna-warna, dan tekstur busana
yang dipakai oleh partner Anda.77
Melanjutkan pendapat Sita Aripurnami:
“Sensual sebenarnya bermaksud memenuhi kepuasan satu pihak, artinya
merangsang. Tetapi kata itu muncul karena berkaitan dengan kebutuhan siapa,
saya melihat ini muncul dari kebutuhan yang selama ini banyak didominasi lakilaki, karena kita tidak pernah mengatakan bahwa sensual selalu dikaitkan dengan
74
http://kbbi.web.id/
http://www.scribd.com/doc/72474933/bedhaya-ketawang-ready-to-show
76
Marshall Sylver. Passion, Profit, & Power. Jakarta: IKAPI. 2006. Hal: 144
77
Ibid
75
55
posisi perempuan. Kita tidak pernah mengatakan laki-laki bibirnya sensual.
Sebetulnya itu adalah cara laki-laki mendefinisikan cipta rasa penikmat.78
Definisi sederhana dari sensualitas: sifat/karakter yang sensualatau sesuatu
yang menimbulkan birahi, sesuatu yang diandalkan untuk memuaskan
selera/nafsu jasmaniah, suatu keasyikkan yang berlebihan karena tubuh dan
kepuasan atas birahinya. (webster dictionary, dalam Kussianto, 2006).
Membahas lebih lanjut perihal sensualitas, penulis ingin menunjukkan
suatu hal yang mungkin sudah tidak asing lagi, yaitu dalam kaitannya dengan
physical attraction (daya tarik fisik), bahkan ada yang menyebutnya bersinonim
dengan sensualitas.79
Daya tarik fisik pada dasarnya adalah sebuah persepsi masyarakat atau
budaya tertentu terhadap ciri-ciri atau karakter fisik individu, kelompok, ras, dan
suku bangsa, yang dianggap menarik, indah, dan “sedap” dipandang (looks good)
yang sebenarnya berlaku pula terhadap makhluk hidup lain, termasuk binatang.80
Daya tarik fisik ini dapat meliputi berbagai macam pengertian, termasuk
dan walaupun tidak terbatas hanya pada daya tarik sensual (sensual attraction),
wajah yang “manis” (cute) atau tampan, serta tubuh yang berotot. Secara umum
biasanya daya tarik fisik laki-laki ditentukan oleh: bentuk/postur tubuh yang
berotot (simbolisasi pria maskulin), bentuk dan warna rambut yang unik, struktur
wajah, dan lain-lain. Sedangkan pada wanita biasanya meliputi: postur/bentuk
78
Sita Aripurnami, Tentang Seksualitas: Masyarakat Sering Menggunakan Standar Ganda
(http://www.rahima.or.id/SR/05-02/Index.htm)
79
“Sensuality” (http://www.infoplease.com/thesaurus/sensuality)
80
“Physical Attractiveness” Wikipedia. (http://en.wikipedia.org/wiki/Physical_attractiveness)
56
tubuh yang proporsional, daerah sekitar pinggul, warna kulit, bentuk mata, dan
lain sebagainya. Namun, ciri-ciri tersebut sebenarnya bukan semata-mata
berdasarkan selera golongan tertentu, tetapi terkait juga dengan berbagai faktor
yang menyangkut kesehatan manusia.81
Perempuan yang bertubuh indah dan seksi cenderung dipandang lelaki
sebagai simbol sensualitas. Keindahan fisik perempuan diidentifikasikan dari
bentuk tubuh beserta proporsi bagian-bagian paling sentral secara seksual dan
melambangkan sensualitas perempuan, yang harus disesuaikan dengan standar
yang berlaku di masyarakat yang kian memposisikan persoalan seksualitas ke lini
depan.82
Walaupun
zaman
telah
berubah,
dimana
perempuan
mengalami
perkembangan yang cukup pesat pada masa sekarang, perempuan masih
cenderung diletakkan sebagai pemuas nafsu seksual laki-laki. Perempuan tetap
dijadikan sebagai sarana pengungkap erotis dan merupakan lambang keindahan,
sehingga hal-hal yang dianggap indah selalu dikaitkan dengan pesona
perempuan.83
Tidak hanya itu saja, daya tarik fisik seseorang juga dipengaruhi oleh
atribut-atribut tambahan, seperti cara berpakaian, jenis parfum yang digunakan,
serta produk-produk perawatan tubuh lainnya. Tidak menutup kemungkinan
81
Ibid
Melliana S, Annastasia. Menjelajah Tubuh: Perempuan dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta:
LKIS. Hal: 146
83
Ibid
82
57
bahwa daya tarik inilah yang pada akhirnya menentukan daya tarik sensual
seseorang.84
Memanfaatkan keindahan tubuh untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkan atau dianggap sebagai penggoda lelaki, ditambah kejadian-kejadian di
masyarakat yang melabeli kebanyakan perempuan cantik zaman sekarang lebih
mementingkan kecantikan lahiriah, sementara inteektualitas atau moralitas kurang
diperhatikan. Jadi, sensualitas perempuan dapat dikatakan seperti dua sisi mata
uangdengan
konsekuensinya
masing-masing,
tergantung
bagaimana
ia
menghayati sensualitasnya itu dan bagaimana ia mengekspresikannya ke luar.85
Maka terbentuklah sebuah konstruksi sensualitas yang terkait
dengan penelitian ini bahwa sensualitas diciptakan dalam iklan Axe versi Heaven
on Earth bukan saja sebagai daya tarik untuk menarik konsumen yang potensial,
tetapi objek pendukung yang datang dari endoser wanita yang menggoda dengan
cara komunikasinya melalui bahasa tubuh dan ekspresi wajah menjadi faktor
utama guna membangkitkan tanggapan atau reaksi emosional audiens. Bahwa
yang dikatakan sensual dan memiliki sensualitas adalah wanita-wanita yang
mengenakan busana dengan potongan minim sebagai pemikat pertama dalam
indra penglihatan dan bahasa-bahasa tubuh yang menggoda yang ditampilkan
dalam iklan Axe versi Heaven on Earth, seperti membelai tubuh, menggigit buah,
memijat kepala pria, dan meremas spons sabun yang dapat menggoda pria. Lantas
hal
84
85
tersebut
dijadikan
patokan
oleh
wanita
agar
mereka
dengan
Ibid
Op.Cit Hal: 149
58
kesensualitasannya bisa menjadi sebuah keinginan dan harapan yang diinginkan
oleh pria yang menjadi target konsumen Axe.
2.12. Konsep dan Mitos Bidadari
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata bidadari memiliki pengertian
yaitu: (1) putri atau dewi dari kayangan; (2) perempuan yang elok.86 Konsep
bidadari hadir dalam kepercayaan beberapa agama yaitu Hindu, Budha, dan Islam.
Juga hadir dalam beberapa cerita lokal kebudayaan daerah Jawa dan Kalimantan
Selatan.
Bidadari (Sanskerta: vidhyadharī) atau Apsara (Sanskerta: apsarā )
adalah makhluk berwujud manusia berjenis kelamin wanita yang tinggal di
kahyangan atau surga dalam kepercayaan Hindu. Tugas dan fungsi mereka adalah
menjadi penyampai pesan para dewa kepada manusia, sebagaimana para malaikat
dalam kepercayaan Semit. Ada kalanya mereka diutus untuk menguji sejauh mana
ketekunan seseorang (pria) dalam bertapa, dengan cara mencoba membangunkan
para petapa dari tapa mereka. Para bidadari memanfaatkan kecantikan fisik
mereka untuk menguji para petapa.87
Dalam penampilan fisik, mereka memang dilukiskan sebagai sosok yang
sangat cantik jelita dan sempurna tanpa cela dengan pakaian yang dikenakan
berupa selendang dan kain yang dijadikan pakaian tanpa lengan. Tak jarang
86
87
http://kbbi.web.id/
http://indonesiaindonesia.com/f/90275-makhluk-makhluk-legenda-mitos/
59
mereka diberikan kepada seseorang untuk diperistri sebagai hadiah atas jasa
mereka melakukan sesuatu yang luar biasa demi kebaikan, misalnya dalam
legenda Arjuna yang dijodohkan dengan bidadari Supraba setelah berhasil
menumpas Niwatakawaca yang meneror para dewa dan manusia.88
Kata "bidadari" dalam bahasa Indonesia dipengaruhi oleh bahasa
Sanskerta, begitu pula bahasa Jawa dan Bali. Dalam tradisi Jawa, bidadari yang
juga disebut hapsari, juga disebut widodari, sedangkan dalam bahasa Bali,
bidadari atau apsari dikenal dengan sebutan widyadari atau dedari. Istilah
widodari dari Jawa dan widyadari / dedari dari Bali, berasal dari kata vidhyadhari
dalam bahasa Sanskerta. Vidhya berarti "pengetahuan", sedangkan dharya berarti
"pemilik", "pemakai" atau "pembawa". Istilah Vidhyadhari tersebut kemudian
dikenal sebagai "bidadari" dalam bahasa Indonesia modern.89
Mitos bidadari dalam cerita lokal kebudayaan di daerah Jawa diperankan
oleh pemuda yang bernama Aryo Menak, sedangkan di Kalimantan Selatan
dikisahkan Datu Awang Sukma. Dongeng 7 bidadari dari Kalimantan Selatan
yang bertokohkan Datu Awang Sukma ini merupakan asal mula legenda Telaga
Bidadari yang ada di desa Pematang Gadung, dekat kabupaten Hulu Sungai
Selatan, Kalimantan Selatan. Kisah dari keduanya sangat mirip, hanya akhir kisah
saja yang sedikit berbeda.90
88
Ibid
Ibid
90
http://www.anneahira.com/dongeng-7-bidadari.htm
89
60
Dalam cerita lokal versi Jawa dengan judul Aryo Menak dan 7 bidadari
dikisahkan seorang lelaki bernama Aryo Menak adalah seorang pemuda tampan
yang hobi menerobos hutan belantara.kisah 7 bidadari ini menceritakan kesaktian
yang dimiliki oleh bidadari tersebut. Selama menjadi istri Aryo Menak, salah satu
istri yang dipinang Aryo Menak memasak sepanci nasi dari sebulir beras dan hal
itu tidak boleh dilihat suaminya. Suatu hari Aryo Menak merasa penasaran sampai
ia mengintip isi panci. Dan terkuaknya hal ini menyebabkan kesaktian bidadari
sirna. Karena bidadari merasa terkejut dan sedih, pada akhirnya ketujuh bidadari
tersebut kembali ke khayangan.91
Sedangkan dalam cerita versi Kalimantan Selatan dengan judul Telaga
Bidadari, memiliki cerita yang sangat mirip dengan cerita versi Jawa.
Perbedaannya terletak pada “tersangka utama”dalam cerita Jawa adalah sebulir
beras sedangkan dalam cerita Kalimantan Selatan adalah ayam hitam.92
Lain lagi konsep bidadari yang diciptakan oleh kebudayaan Barat
(western) yang ditampilkan dalam pakaian berupa gaun panjang berwarna putih
menjuntai hingga melebihi mata kaki. Secara etimologi kata angel dalam budaya
barat memiliki arti yaitu malaikat, bidadari, dan utusan Tuhan. Bidadari dalam
Meriam Webster Dictionary adalah an innocent or gentle person (seseorang yang
memiliki hati lembut dan tidak pernah memiliki kesalahan).93
Kata bidadari
berasal dari bahasa Yunani yaitu angelos, yang berarti utusan. Malakh, kata Ibrani
91
Ibid
Ibid
93
http://www.merriam-webster.com/thesaurus/angel?show=0&t=1377531967
92
61
untuk malaikat, juga berarti utusan, dan kedua kata baik bertepatan dengan kata
Persia untuk malaikat, angaros, sama artinya kurir.94
Kata "malaikat" biasanya bisa digunakan untuk menggambarkan siapa saja
yang membawa pesan ke yang lain, apakah manusia atau roh. Namun, dalam
beberapa agama, malaikat adalah roh utusan yang membawa pesan kebenaran
untuk membantu umat manusia, sementara sebaliknya, malaikat yang jatuh
mendatangkan pesan yang tidak benar untuk menyesatkan manusia dan
melampiaskan malapetaka di bumi.95
Sedangkan dalam penelitian ini, dimana Axe merupakan brand asli
Perancis dan produk ini berkembang di negara barat yang budayanya berbeda
dengan Indonesia. Salah satunya adalah dalam etika berpakaian, pada kebudayaan
Barat lebih berani dalam memperlihatkan atau menonjolkan bagian tubuhnya dan
sebaliknya budaya timur khususnya Indonesia lebih menjaga bagian tubuh. Dalam
konsep bidadari yang ada di negara-negara Barat bidadari digambarkan dengan
wanita cantik yang mengenakan gaun panjang berwarna putih, berambut panjang
lurus terurai, dan memiliki sayap putih. Tetapi Axe menggeser konsep bidadari
asli yang telah beredar sesuai sejarah yang berkembang di negara Barat dan
Indonesia dengan dalih yaitu strategi untuk mencapai tujuan utama dalam
pemasaran. Maka diciptakan dan digambarkanlah bidadari versi Axe ini dengan
unsur sexy dan modernnya yang terlihat sangat jelas dari wanita-wanita yang
memiliki karakteristik dan ciri-ciri yaitu mengenakan gaun mini dengan panjang
94
95
http://www.angelsghosts.com/angels_history
Ibid
62
di atas lutut dan potongan tanpa lengan, model rambut lurus, keriting, dan ikal
dengan potongan panjang dan pendek serta dengan warna rambut yang berbedabeda. Perbedaan karakteristik bidadari Axe versi Barat dan Indonesia hanya
terletak pada bahasa tubuh dan ekspresi wajah dari iklan Axe dimana bidadari Axe
versi Indonesia masih memperhatikan batasan kevulgaran karena untuk menjaga
adat ketimuran yang masih mementingkan nilai kesopanan dan etika dalam
beriklan.
2.13. Psikologi Warna
Kesukaan seseorang terhadap warna menurut penelitian ilmu jiwa
bisadiasosikan dengan sifat pembawaan orangnya. Sebagai contoh seseorang
menyukai warna merah akan menunjukkan bahwa orang tersebut bersifat
ekstrovert, pribadi yang intergratif dengan dunia luar, mudah menyesuaikan diri
dengan dunia, orang yang penuh vitalitas, lebih dikuasai oleh dorongan hatinya.96
Secara umum cahaya terang dan warna hangat memberikan kecenderungan
organisme manusia kepada aktifitas yang langsung keluar dan mengambil
peranan, memperlihatkan atraksi yang merangsang. Cahaya yang lebih lembut
dengan warna sejuk akan menunjukkan sikap lebih mundur, menarik diri,
membawa seseorang kepada sikap instropeksi, maka warna yang sejuk akan
mundur bahkan membunuh aktivitas.97
96
Darmaprawira W.A, Sulasmi. Warna Teori dan Kreativitas Penggunannya Ed. Ke-2.Bandung:
Penerbit ITB. 2002. Hal: 35
97
Ibid. Hal:37
63
Secara mutlak tentu tidak ada warna yang mmpunyai nilai intrinsic, walaupun
sifat pribadi seseorang dapat diteliti. Beberapa ahli menaksir sifat-sifat
kepribadian seseorang dihubungkan dengan nilai simbolis warna, yang lainnya
menganalisis nilai simbolisnya dalam istilah tingkah laku.Asosiasi psikologis
terhadap warna merupakan ikatan budaya suatu masyarakat tertentu yang telah
menjadi kesepakatan bersama.98
Rupanya seluruh warna spectrum telah disiapkan untuk suatu rangsangan sifat
dan emosi manusia. Berikut ini adalah warna-warna yang mempunyai asosiasi
dengan pribadi seseorang diambil dari buku Design in Dress oleh Marian L.
David (1987:135), sebagai berikut:
Tabel 2.4.: Klasifikasi dan Arti Warna
Warna
Merah
Arti Warna
cinta,
nafsu,
primitive,
kekuatan,
menarik,
berani,
bahaya,
dosa,
kekuatan,
pesat,
pengorbanan, vitalitas.
Merah jingga
semangat,
tenaga,
hebat, gairah.
Jingga
hangat, semangat muda, ekstremis,
menarik.
Kuning jingga
98
kebahagiaan,
penghormatan,
Ibid
64
kegembiraan, optimism, terbuka.
Kuning
cerah,
bijaksana,
terang,
bahagia,
hangat, pengecut, pengkhianatan.
Kuning hijau
persahabatan, muda, kehangatan, baru,
gelisah, berseri.
Hijau muda
kurang pengalaman, tumbuh, cemburu,
iri hati, kaya, segar, istirahat, tenang.
Hijau biru
tenang, santai, diam, lembut, setia,
kepercayaan.
Biru
damai,
setia,
konservatif,
pasif
terhormat, depresi, lembut, menahan
diri, ikhlas.
Biru ungu
spiritual, kelelahan, hebat, kesuraman,
kematangan, sederhana, rendah hati,
keterasingan, tersisih, tenang, sentosa.
Ungu
misteri,
kuat,
supremasi,
formal,
melankolis, pendiam, agung (mulia).
Merah ungu
tekanan,
intrik,
drama,
terpencil,
penggerak, teka-teki.
Abu-abu
tenang.
Hitam
kuat,
duka
cita,
resmi,
kematian,
keahlian, tidak menentu.
Putih
senang, harapan, murni, lugu, bersih,
65
spiritual, pemaaf, cinta, terang.
Coklat
hangat,
tenang,
alami,
bersahabat,
kebersamaan, tenang, sentosa, rendah
hati.
Sumber: Darmaprawira W.A, Sulasmi. Warna Teori Dan Kreativitas Penggunannya Ed. Ke-2. Bandung:
Penerbit ITB. 2002.
Dalam aktivitas manusia, warna membangkitkan kekuatan perasaan untuk
bangkit atau pasif, baik dalam penggunaan untuk interior maupun untuk
berpakaian, mulai dari kegairahan sampai kepada yang santai.Barren
melaporkan hasil penelitiannya bahwa warna mempengaruhi detak jantung,
aktivitas otak, pernafasan, dan tekanan darah.Sifat kewanitaan maupun sifat
kejantanan seseorang juga dapat diungkapkan melalui warna.Wanita lebih
menyukai warna hangat, pastel, dan lembut.Pria lebih menyukai warna-warna
yang tegas, tua, sejuk dengan intensitas yang kuat.99
1. Hitam
Warna hitam melambangkan kegelapan dan ketidakhadiran cahaya.Hitam
menandakan kekuatan yang gelap, lambang misteri, warna malam, dan
selalu diindikasikan dengan kebalikan dari sifat warna putih atau
berlawanan dengan cahaya terang. Sering juga dilambangkan sebagai
warna kehancuran, atau kekeliruan. Umumnya warna hitam diasosiasikan
dengan sifat negatif. Ungkapan-ungkapan seperti kambing hitam, ilmu
hitam (black magic), daftar hitam, pasar gelap (black market), daerah
99
Op.Cit. Hal: 38
66
hitam (black list), adalah tempat menunjukkan sifat-sifat negative
itu.Warna hitam juga dapat menunjukkan sifat-sifat yang positif, yaitu
menandakan sikap tegas, kukuh, formal, struktur yang kuat. Dari uraian
tadidapat disimpulkan bahwa warna memiliki arti perlambangan yang
tidak dapat dikesampingkan dalam hubungannya dengan penggunaannya.
Dalam
kehidupan
modern
dewasa
ini
lambang-lambang
yang
menggunakan warna masih tetap dipergunakan, walaupun sudah ada
pergeseran dalam nilai simbolnya.100
2. Putih
Warna putih memiliki karakter positif, merangsang, cemerlang, ringan,
dan sederhana.Putih melambangkan kesucian, polos, jujur, dan murni. Di
Cina,
warna
putih
melambangkan
duka
cita.
Warna
putih
mengimajinasikan kebalikan dari warna hitam, seperti adanya ungkapan
hati yang putih berarti menandakan bersihnya hati dari segala iri dan
dengki. Ada pula yang disebut ilmu putih sebagai kebalikan dari ilmu
hitam. Bila ilmu hitam dimaksudkan untuk mencelakakan seseorang, maka
ilmu putih justru kebalikannya, yaitu untuk menangkal atau membersihkan
seseorang dari pengaruh ilmu hitam.101
3. Coklat
Warna coklat biasanya terdiri dari merah dan kuning, dengan persentase
besar hitam. Akibatnya, ia memiliki banyak keseriusan sama hitam, tapi
100
101
Op.Cit. Hal: 47
Op.Cit. Hal: 48
67
lebih hangat dan lembut. Ini memiliki unsur sifat merah dan kuning.
Coklat
menandakan
keseriusan,
kehangatan,
nature,
membumi,
kehandalan, dukungan. Coklat memiliki asosiasi dengan bumi dan alam.
Ini adalah warna solid, dapat diandalkan dan kebanyakan orang merasa
tenang mendukung - lebih positif daripada yang warna paling populer
yaitu hitam, yang cenderung bersifat menekan, daripada mendukung.
68
69
Download