PolMark Indonesia-Political Consulting Mau ke Manakah Pemilu Kita? 18 September 2010 - Tiga kali pemilihan umum demokratis (?) sudah digelar pada era reformasi. Apa yang kita dapatkan? Setidaknya di Senayan kini terdapat 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang kita pilih dan (awalnya) kita percaya mengemban amanat sebagai wakil rakyat. Para ahli pemilu meyakini tidak ada sistem pemilu yang dianggap terbaik. Semua sistem memiliki kelebihan dan kekurangan. Seiring pengalaman berpemilu, pada akhirnya akan ditemukan ”perkawinan” perangkat teknis pemilu yang kita anggap cocok. Perubahan (baca: perbaikan) menjadi keharusan. Dalam setiap perdebatan tentang rancangan ketentuan, pasti setiap pihak yang berkepentingan memperjuangkan usulannya berikut argumentasi yang mendasari. Ada menang dan kalah, ada pula kompromi. Jamaknya: pembahasan aturan pemilu mesti didahului dengan perumusan tujuan perbaikan dalam pemilu. Kesepahaman tentang tujuan itulah yang akan mendasari kompromi politik. Mengutip tulisan mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu, Didik Supriyanto, Menetapkan Tujuan Berpemilu, tiga tujuan pemilu, yaitu keterwakilan politik, integritas politik, dan pemerintahan efektif, masing-masing tak saling memperkuat, tetapi justru menegasikan. Sebagai contoh, mengedepankan tujuan pemerintahan efektif akan menimbulkan ketidakpuasan banyak kelompok yang tidak terwakili sehingga stabilitas politik pun sangat rentan. Dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang disiapkan Badan Legislasi DPR termuat tujuan revisi UU Pemilu, antara lain ”menyempurnakan sistem pemilu yang disesuaikan dengan sistem politik dan pemerintahan menuju pelembagaan demokrasi demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, efektif, dan stabil”. Dari rumusan itu, tersurat keinginan aturan pemilu diharapkan bisa mendorong terciptanya pemerintahan efektif. Pemikiran sederhana: jika tujuan pemerintahan efektif yang dikedepankan, sistem pemilu yang efektif adalah sistem mayoritas atau yang di sini lebih dikenal sebagai sistem distrik. Sistem ini akan cenderung menghasilkan lebih sedikit partai politik yang memiliki wakil di parlemen. Hanya, tiga kali pemilu era reformasi mengukuhkan pilihan pada sistem proporsional. Sistem ini condong pada pengedepanan tujuan keterwakilan politik. Mengutip Sistem Pemilu (ACE Project, 1998), sistem proporsional umumnya disukai, antara lain, karena sedikit suara yang terbuang, mempermudah akses parpol kecil untuk mengirimkan wakilnya di parlemen, dan mendorong terpilihnya wakil kelompok minoritas. Fakta lain di Indonesia, dalam persaingan berpemilu (setidaknya sejak era reformasi) senantiasa terbaca keinginan: partai yang besar ingin penciutan demi efektivitas pemerintahan, sementara yang masih kecil ingin tetap diberikan kesempatan lebih panjang untuk memperebutkan kepercayaan rakyat. Tidaklah mengherankan jika masih saja ada politisi ”itu-itu-saja” yang tidak kapok berkompetisi sekalipun gagal dalam beberapa kali pemilu. Pemerintahan efektif Dalam rumusan UU Pemilu, keinginan untuk mendapatkan pemerintahan yang efektif seiring sejalan dengan keinginan menyederhanakan sistem kepartaian. Ketentuan electoral threshold, ambang batas suara, pernah dijajal pada Pemilu 1999 dan 2004, tetapi tidak mampu membendung keinginan politisi parpol untuk tetap ikut berkompetisi walau harus lewat ”ganti jubah” parpol. Ketentuan parliamentary threshold (PT), ambang batas suara di parlemen, yang diterapkan pada Pemilu 2009, sepertinya dirasa belum cukup karena masih memberikan kesempatan parpol yang ditetapkan sebagai peserta pemilu untuk dapat langsung mengikuti pemilu berikutnya. Kondisi itulah yang mendasari keinginan ”memangkas” dari hulu ke hilir. Di muara persaingan masuk ke parlemen, peningkatan nilai ambang batas (PT) dan penciutan daerah pemilihan diyakini menjadi cara efektif untuk melakukan seleksi ketat. Bisa pula keinginan penyederhanaan fraksi, yaitu lewat persyaratan lebih berat bagi parpol atau gabungan parpol untuk membentuk fraksi di parlemen, nantinya akan dimasukkan dalam revisi UU mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Ketentuan sekali parpol ditetapkan sebagai peserta pemilu berhak mengikuti pemilu berikutnya juga kerap dianggap tak efisien. Argumentasi yang kerap dilontarkan, semakin banyak parpol peserta pemilu, semakin besar pula anggaran yang mesti disediakan, terutama terkait dengan pencetakan surat suara. Keinginan pemangkasan peserta pemilu itu tersirat dalam draf revisi Badan Legislasi DPR. Ada pengetatan persyaratan parpol untuk bisa ditetapkan sebagai peserta pemilu. Misalnya, ada ketentuan penyertaan rekening atas nama parpol berikut saldo minimal. Juga ada syarat kepemilikan kantor tetap untuk jangka waktu sekurang-kurangnya lima tahun. Memang, rumusan itu bisa didalihkan untuk menjadikan parpol dikelola sebagai organisasi modern, bukan wadah untuk http://www.polmarkindonesia.com Powered by Joomla! Generated: 28 October, 2017, 14:26 PolMark Indonesia-Political Consulting petualangan politik. Hanya, merujuk pengalaman selama ini, akankah ketentuan itu efektif? Akhir kata, tidak ada pilihan yang terbaik. Setiap sistem berikut perangkat teknisnya pastilah memiliki kekurangan yang pasti tidak bisa memuaskan semua pihak. Namun, yang dibutuhkan adalah keberanian menetapkan ukuran, memilih, dan mempertanggungjawabkannya. Adalah ”dosa besar” penguasa jika menjegal dan menutup kesempatan untuk berkompetisi secara fair. Biarlah pemilu menjadi uji kompetensi yang sesungguhnya. (sumber: Kompas) http://www.polmarkindonesia.com Powered by Joomla! Generated: 28 October, 2017, 14:26