BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Fashion dan Modernitas Pada abad Pertengahan, identitas di Eropa Barat sangat dibatasi, bahkan terdapat aturan tertulis yang mendikte apa yang boleh atau tidak boleh dipakai oleh orang dari kelas yang berbeda. Masyarakat modern menghapus kode-kode pakaian dan fashion yang kaku, dan sejak tahun 1700-an perubahan fashion pakaian dan penampilan mulai berkembang. Meski pasar kapitalis mendikte bahwa hanya kelas-kelas tertentu saja yang mempu membeli pakaian mahal, yang menandakan kekuasaan dan previlise sosial, pasca- Revolusi Perancis, fashion didemokritisasi di negara-negara yang mengalami revolusi demokrasi, sehingga siapapun yang membeli pakaian dan make-up tertentu dapat mengenakan dan menunjukkan apa yang mereka mau. Pada abad ke-18, filsuf David Hume merumuskan masalah identitas pribadi, tentang apa yang menjadikan diri sejati seseorang, bahkan menyatakan bahwa tidak ada jati diri yang substansial maupun transendental. Isu tersebut menjadi obsesi bagi Rousseau, Kierkegaard, dan banyak orang Eropa lain yang mengalami perubahan cepat, kehancuran tatanan masyarakat tradisional, dan kemunculan modernitas. Fashion menawarkan model-model dan bahan untuk membangun identitas. Masyarakat tradisional memiliki peran sosial dan kode-kode aturan yang relatif baku, sehingga pakaian dan penampilan seseorang secara langsung menunjukkan kelas sosial, profesi, dan statusnya. Identitas dalam masyarakat tradisional biasanya ditentukan oleh kelahiran, pernikahan, serta keahlian, dan daftar peran yang ada dibatasi seketat mungkin. Dalam modernitas, fashion adalah konstituen penting identitas seseorang, yang membantu menentukan bagaimana dia dikenali dan diterima (Wilson 1985; Ewen 1988). Fashion menawarkan pilihan pakaian, gaya, dan citra yang dengannya seseorang dapat menciptakan identitas individual. Di satu sisi, fashion adalah fitur konstituen modernitas, yang ditafsirkan sebagai era sejarah yang ditandai oleh inovasi terus menerus, penghancuran yang tanda penciptaan yang baru (Berman: 1982). Fashion sendiri dianggap sebagai sumber penciptaan citarasa, gaya, pakaian, dan perilaku baru. Tentu saja, Fashion dalam masyarakat modern dibatasi oleh kode-kode gender, realitas ekonomi, dan kekuatan konformitas sosial yang terus mendikte apa yang boleh dan tidak boleh dipakai, apa yang mungkin dan tidak mungkin. 2.2 Fashion Sebagai Komunikasi Davis menjelaskan bahwa fashion dan pakaian adalah bentuk komunikasi nonverbal karena tidak menggunakan kata-kata lisan atau tertulis (Davis, 1992). Namun kemudian muncul pertanyaan apakah fashion dan pakaian dapat diperlakukan analog dengan bahasa lisan dan tertulis. Ketika Umberto Eco menyatakan “berbicara melalui” pakaian, misalnya, spertinya yang dia maksudkan bahwa dia menggunakan pakaiannya untuk melakukan apa yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata lisan dalam konteks lain (Eco, 1973:59). Metafora Eco tampaknya menunjukkan bahwa pakaian dibentuk menjadi sesuatu yang menyerupai kalimat, pakaian atau setelan pakaian, yang banyak kesamaannya dengan cara kata-kata dirangkai dalam kalimat. Dalam The Language of Clothes, Lurie menunjukkan keyakinannya bahwa disana ada analogi langsung. Dia menyatakan bahwa disana ada banyak busana yang berbeda, yang masing-masing memiliki kosakata dan tata bahasanya masing-masing (Lurie, 1992: 4). Dalam kajian seperti ini, pakaian sama dengan kata-kata dan mungkin bisa dikombinasikan menjadi “kalimat. Lurie menunjukkan bahwa petani bagi-hasil, misalnya, yang hanya punya sedikit pakaian, akan hanya bisa menyusun beberapa “kalimat... yang hanya mengekspresikan konsep-konsep yang sangat dasar”, sedangkan “pemuka fashion... bisa saja memiliki ratusan kata di wadah pennyimpanannya” dan akan mampu “mengekspresikan begitu banyak makna” (Lurie, 1992: 5). 2.2.1 Komunikasi Non Verbal Menurut Ronald Adler dan George Rodman, komunikasi nonverbal memiliki empat karakteristik yaitu keberadaannya, kemampuannya menyampaikan pesan tanpa bahasa verbal, sifat ambiguitasnya dan keterikatannya dalam suatu kultur tertentu. Eksistensi atau keberadaan komunikasi nonverbal akan dapat diamati ketika kita melakukan tindak komunikasi secara verbal, maupun pada saat bahasa verbal tidak digunakan. Atau dengan kata lain, komunikasi nonverbal akan selalu muncul dalam setiap tindakan komunikasi, disadari maupun tidak disadari. Keberadaan komunikasi nonverbal ini pada gilirannya akan membawa kepada cirinya yang lain, yaitu bahwa kita dapat berkomunikasi secara nonverbal, karena setiap orang mampu mengirim pesan secara nonverbal kepada orang lain, tanpa menggunakan tanda-tanda verbal. Karakteristik lain dari komunikasi nonverbal adalah sifat ambiguitasnya, dalam arti ada banyak kemungkinan penafsiran terhadap setiap perilaku. Sifat ambigu atau mendua ini sangat penting bagi penerima (receiver) untuk menguji setiap interpretasi sebelum sampai pada kesimpulan tentang makna dari suatu pesan nonverbal. Dan karakteristik terakhir adalah bahwa komunikasi nonverbal terikat dalam suatu kultur atau budaya tertentu. Maksudnya, perilaku-perilaku yang memiliki makna khusus dalam satu budaya, akan mengekspresikan pesan-pesan yang berbeda dalam ikatan kultur yang lain. Penampilan fisik juga merupakan cara mengekspresikan penandaan nonverbal tertentu. Hal ini dapat kita rasakan ketika memberikan stereotipe tertentu yang berkaitan dengan keadaan fisik seseorang. Misalnya orang yang gemuk dianggap sebagai periang dan orang yang kurus sebagai orang yang serius. Demikian pula dengan panjang atau potongan rambut tertentu. Beberapa karakter fisik lainnya yang dianggap berperan dalam penandaan nonverbal mencakup berat badan, tinggi badan, wama kulit, kontur wajah, dan berbagai jenis bekas luka atau cacat fisik. Sementara itu atribut lain yang berhubungan erat dengan penampilan fisik, dan sangat jelas berperan sebagai penanda makna tertentu adalah cars berpakaian. Biasanya ketika orang memilih dan memutuskan untuk memakai pakaian tertentu, maka dia secara sadar telah menggunakan tanda nonverbal untuk mengekspresikan makna melalui kesan tertentu dalam penampilannya. Seperti dikemukakan oleh Ronald B. Adler dan George Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication, bahwa salah satu kategori komunikasi nonverbal yang penting adalah clothing atau cara berpakaian. Pakaian yang dikenakan merupakan satu alat komunikasi. Orang-orang dengan sengaja mengirimkan pesan tentang diri mereka melalui apa yang mereka kenakan dan kits berusaha menginterpretasikannya berdasarkan pada pakaian yang dikenakan. 2.2.2 Komunikasi Artifaktual Komunikasi artifaktual didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui pakaian, dan penataan pelbagai artefak, misalnya, pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau furnitur di rumah dan penataannya, ataupun dekorasi ruangan. Karena fashion atau pakaian menyampaikan pesan-pesan nonverbal, ia termasuk komunikasi nonverbal. Pakaian yang kita pakai bisa menampilkan berbagai fungsi. Sebagai bentuk komunikasi, pakaian bisa menyampaikan pesan artifaktual yang bersifat nonverbal. Pakaian bisa melindungi kita dari cuaca buruk atau dalam olahraga tertentu dari kemungkinan cedera. Pakaian juga mambantu kita mnyembunyikan bagain-bagian tertentu dari tubuh kita dan karenanya pakaian memiliki suatu fungsi kesopanan (modesty function). Menurut Desmond Morris, dalam Manwatching: A Field Guide to Human Behavior (1977), pakaian juga menampilkan peran sebagai pajangan budaya (cultural display) karena ia mengomunikasikan afiliasi budaya kita. Mengenali negara atau daerah asal-usul seseorang dari pakaian yang mereka kenakan. Petunjuk artifaktual meliputi segala macam penampilan (appearance) sejak potongan tubuh, kosmetik yang dipakai, baju, tas, pangkat, badge, dan atribut-atribut lainnya. Randal P. Harrison menyebutkan Artifactual Codes ini seperti manipulation of dress, kosmetik (make-up), perlengkapan, obyek seni, simbol status, arsitektur, dan sebagainya. Karen Dion, Ellen Berscheid, dan Elaine Walster di tahun 1972 meneliti apakah penampilan menarik atau tidak menarik menimbulkan asumsi-asumsi tertentu? Apakah orang yang cantik cenderung dianggap berperilaku baik atas dasar kemungkinan sukses dalam hidupnya? Mereka memperlihatkan tiga buah foto kepada para mahasiswa undergraduate. Foto yang pertama menunjukkan orang yang cantik; kedua, rata-rata; dan ketiga, berwajah jelek. Mahasiswa diharuskan memberikan penilaian tentang kepribadian orang dalam foto itu dengan mengisi angket ukuran kepribadian. Kemudian mereka harus memperkirakan kemungkinan perkawinannya dan keberhasilan dalam kariernya. Subjek-subjek eksperimen terbukti menilai orang cantik lebih bahagia dalam pernikahannya, dan lebih mungkin berhasil memperoleh pekerjaan yang baik, ketimbang rekan-rekannya yang berwajah jelek (Rakhmat, 2007: 88). Penampilan fisik seseorang dapat mempengaruhi reaksi dari orang-orang lainnya. Orang yang gemuk berharap langsing, dan juga orang yang kurus. Warna kulit, warna rambut, panjang rambut, penampilan secara umum, riasan wajah, dan perhiasan juga akan mempengaruhi orang lain. Pakaian, kadang-kadang membuat orang dapat berkomunikasi, mengenal status ekonomi, pekerjaan serta nilai sama baiknya dengan citra diri. Sehingga penampilan fisik dapat mewarnai persepsi orang terhadap pesan dari seseorang (Anderson, 1990 dalam Faturakhman, 2000:32). 2.3 Hijab dan Jilbab Hijab menurut Al-Quran artinya penutup secara umum. Allah SWT dalam surat Al Ahzabayat 58 memerintahkan kepada para sahabat Nabi SAW waktu mereka meminta suatu barang pada istri Nabi SAW untuk memintanya dari balik hijab. Secara umum, hijab dapat diartikan sebagai tirai pembatas. Sedangkan jilbab, sebagaimana disimpulkan oleh Al Qurthuby: "Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh". Kecuali Wajah dan telapak tangan. Hal ini seperti yang tertuang juga dalam firman Allah "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri mukminin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal dan tidak mudah diganggu (QS 33:59). Dengan melihat uraian diatas jadi jilbab bukanlah kerudung, melainkan baju jubah atau pakaian longgar bagi perempuan yang menutupi seluruh anggota tubuh atau aurat perempuan. Karena itu, anggapan bahwa jilbab sama dengan kerudung merupakan sesuatu yang salah dan harus diluruskan. Banyak perempuan muslim yang mengaku sudah berjilbab, padahal dia hanya berkerudung karena menutup kepalanya saja sedangkan bagian lainnya terbuka atau meskipun tertutup tetapi sangat menonjolkan bagian tubuh dengan berpakaian ketat. Karena Jilbab tak sekedar penutup kepala hingga menutupi dada, ia melindungi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Sehingga memang terkadang kata hijab dimaksudkan untuk makna jilbab. Adapun makna lain dari hijab adalah sesuatu yang menutupi atau menghalangi dirinya. Hijab berasal dari kata hajaban yang artinya menutupi, dengan kata lain al-Hijab adalah benda yang menutupi sesuatu. Dr. Muhammad Ismail dalam tulisannya “The Hijab.. Why?” menjelaskan beberapa kebajikan dari hijab antara lain hijab merupakan wujud ketaatan kepada Allah SWT, hijab sebagai perisai wanita, serta hijab merupakan tindakan yang benar untuk menutupi wanita (aurat). Berkaitan dengan kebenaran berhijab, dijelaskan dalam Al-Quran: ﻳﺎ ﻳ ﺎ ﺎ ﺎ ﺎ ﺎ ﺎ ﻳ ى “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” 2.4 Ekonomi Politik Pada awalnya ekonomi politik dimaksudkan untuk memberikan saran mengenai pengelolaan masalah-masalah ekonomi kepada para penyelenggara negara. Selanjutnya, ekonomi politik diartikan sebagai analisis ekonomi terhadap proses politik (Deliarnov, 2002: 8-9). Namun tidak hanya itu saja, ekonomi olitik memiliki cakupan yang luas. Tidak hanya melibatkan ilmu ekonomi dan politik saja, kadang juga melibatkan ilmu sosial, budaya, hukum dan psikologi. Politik ekonomi media berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta kearah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan (Sudibyo, 2001:2). Dalam pendekatan politik ekonomi media, kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media dan efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat. Istilah ekonomi politik diartikan secara sempit oleh Mosco sebagai: studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk didalamnya sumbersumber yang terkait dengan komunikasi (Boyd Barrett, 1995: 186). Boyd Barrett secara lebih gamblang mengartikan ekonomi politik sebagai studi tentang kontrol dan pertahanan dalam kehidupan sosial (Boyd Barrett, 1995: 186). Pada dasarnya, fokus dari pendekatan ini adalah hubungan antara struktur ekonomi dan dinamika industri media dan konten ideologis media. Pendekatan ekonomi politik saat ini banyak diterapkan pada kasus internet. Fuchs (2009) berdasarkan ide Smythe menyatakan bahwa kunci dari ekonomi internet terletak pada komodifikasi pengguna yang memiliki akses gratis yang menyampaikan target bagi pengiklan dan agen publikasi, seperti menyediakan konten kepada penyedia jaringan dan pemilik situs tanpa biaya. Dalam teori ekonomi politik hal yang dapat dilihat adalah struktur media yang cenderung menuju ke arah monopoli dan bagaimana media menjadikan konten dan khalayak menjadi sebuah komoditas (McQuail, 2011: 105-106).