Robohnya Tembok Seksualitas Arab Ditulis oleh Chaerul Arif Selasa, 19 November 2013 04:21 Resensi Buku Seks & Hijab karya Shereen El Feki Koran Tempo | Minggu, 17 November 2013 | Riky Ferdianto Shereen El Feki memaparkan masalah dan revolusi seksualitas di dunia Arab. Banyak klaim, sedikit afirmasi. Tidak banyak literatur yang membahas seksualitas dalam masyarakat Arab. Topik itu seolah selesai dalam bingkai spiritualitas dan hanya bisa dijangkau mereka yang terikat dalam norma pernikahan. Selebihnya adalah represi. Siapa pun yang berusaha menerabas tata nilai itu pasti berujung pada sanksi badan atau dikucilkan dari lingkungan sosial. Boleh jadi, norma itulah yang membuat jumlah penderita AIDS di kawasan Arab jauh lebih kecil dibanding di wilayah lain, seperti Afrika, Eropa timur, dan Asia. Buku Seks dan Hijab: Gairah dan Intimitas di Dunia Arab yang Berubah, yang diterjemahkan dari Sex and the Citadel: Intimate Life in a Changing Arab World , ini mengajak kita mem-baca ulang data statistik penderita AIDS. Lewat penelitian yang mendalam,perempuanketurunan Mesir-Inggris dan aktivis AIDS, Shereen El Feki, itu membeber-kan realitas yang cukup mengejutkan dalam masyarakat Arab. Kondisi yang terjadi belakangan ini, menurut dia, mirip dengan peradaban Barat ketika berada di ambang revolusi seksual, yang tidak lagi mengurung wacana seksualitas dalam ruang privat. Tembok-tembok pembatas ranah privat-publik itu perlahan mulai keropos. Bahkan, ada pula yang berusaha melakukan perlawanan lewat tafsir agama ataupun konvensi sosial. Fenomena seks komersial di kawasan al-Batniyya, Kairo, merupakan contoh. Di lokasi inilah para sharamiit-bahasa slang Arab Mesir untuk menyebut pelacur-banyak bertebaran untuk melayani kebutuhan pelanggan, termasuk para mahasiswa Universitas al-Azhar. Konon, fenomena ini berakar pada sistem pergundikan yang mengambil legitimasi dari surat al-Mu’minun ayat 5-6. Ini tentu bukan barang baru. 1/3 Robohnya Tembok Seksualitas Arab Ditulis oleh Chaerul Arif Selasa, 19 November 2013 04:21 Yang cukup mengejutkan adalah soal seksualitas di kalangan remaja. Sejumlah penelitian di beberapa negara Arab, seperti Tunisia, Maroko, Aljazair, Libanon, dan Yordania, menyatakan sepertiga kaum lelaki pernah melakukan hubungan pranikah. Sedangkan perempuan yang pernah melakukannya terdata sebanyak 80 persen. Sekalipun banyak yang menyangsikan data tersebut, foto "Revolusioner Foto Telanjang" yang diunggah Aliaa Elmahdy dalam laman blog-nya setidaknya memperlihatkan pergeseran nilai tentang seksualitas. Semua pergeseran nilai itu selalu berada dalam sebuah tegangan yang beririsan dengan norma agama, tradisi, kebudayaan, politik, dan ekonomi. Struktur itu berkelindan dalam relasi kekuasaan lelaki-perempuan, yang muda-tua, serta pemerintah dan warga. Dalam tegangan itulah muncul kebutuhan untuk mendefinisikan ulang identitas dan orientasi seksual, peran gender, keintiman, dan persoalan reproduksi. Seks menjadi cerminan dari berbagai kondisi yang menyebabkan adanya peneguhan atau perlawanan atas sistem nilai tertentu. Tentu ada ganjalan secara metodologis ketika menyebut istilah Arab. Dunia Arab, yang terdiri atas 22 negara dengan 370 juta penduduk, sesungguhnya bukanlah entitas tunggal yang bisa dideskripsikan dengan mudah. Terlebih jika meng-ingat perbedaan ideologi politik masing-masing negara dan keyakinan masing-masing orang. Variabel itu sepertinya luput dalam penelitian ini. Kisah yang dinarasikan penulis pun cenderung menggeneralisasi identitas Arab dari serpihan puzzle, khususnya ketika berinteraksi dengan segelintir masyarakat Mesir. Penulis juga memberi gambaran yang terlampau dramatis ihwal para aktivis yang mengubah lanskap perpolitikan Mesir (halaman 121-123). Lapangan Tahrir, yang menjadi jantung pergerakan mahasiswa, dia ilustrasikan laiknya miniatur Woodstock yang sarat dengan pesta narkotik dan seks bebas. Sayangnya, anggapan itu tidak banyak memiliki afirmasi. Yang terjadi kemudian adalah menem-patkan praduga di atas fakta. Bahkan, penulis memaksakan cara pandang yang menganggap seksualitas sebagai pemicu gejolak revolusi sosial. Buku ini secara tegas memberikan apresiasi terhadap mereka yang menemukan kebahagiaan dalam miniatur kehidupan mereka sendiri, merayakan peng-hargaan terhadap hak-hak individu, serta menolak kepatuhandan konsensus yang menjadi cirri rezim otoriter. Dukungan yang sama ia perlihatkan terhadap para ulama dan praktisi hokum yang berjuang untuk mengusulkan undang-undang yang lebih adil, tidak terkecuali bagi mereka yang menuntut pengakuan terhadap kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). 2/3 Robohnya Tembok Seksualitas Arab Ditulis oleh Chaerul Arif Selasa, 19 November 2013 04:21 El Fike sangat sadar bahwa keyakinannya itu bertolak belakang dengan sistem nilai yang dianut mayoritas masyarakat muslim di Arab. Meruntuhkan benteng seksualitas dalam ikatan pernikahan tentu membawa risiko yang tidak kecil. Terlebih jika mengingat kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Komisi Global untuk HIV dan Hukum, lembaga bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas melakukan advokasi reformasi hukum dan isu seputar seksualitas. Akankah paradigma itu menekan jumlah penderita HIV, atau sebaliknya? 3/3