PUSTAKAWAN SEBAGAI AGEN PERUBAHAN: STUDI KASUS DI PERPUSTAKAAN DAN DOKUMENTASI MPR RI Agung Nurjana Yohanes Sumaryanto Abstrak Penelitian membahas tentang peran pustakawan sebagai agen perubahan dengan studi kasus di Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI yang dipandang dari konsep agen dalam teori strukturasi yang dikembangkan oleh Anthony Giddens. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Informan dalam penelitian ini berjumlah delapan orang yaitu Kepala Bagian, Kepala Sub-bagian, dan para staf dengan strategi purposive sampling. Temuan dalam penelitian ini dikupas dengan pisau teori Strukturasi yang dikembangkan oleh Anthony Giddens. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ada pustakawan di Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI yang memilki kesesuaian dengan konsep Agen menurut Anthony Giddens. Pustakawan tersebut melakukan tindakan atau agensi dalam struktur dan menghasilkan dampak yaitu perubahan Perubahan yang dilakukannya menghasilkan dampak bagi kemajuan organisasi. Kata Kunci: Pustakawan, Agen Perubahan, Perubahan, Abstract This research discussed about agent of change concept by Anthony Giddens in Library of House of Peoples Deliberation (MPR RI) in this case is the librarian. This research use qualitative approach with study case strategy. The method for aggregating data is with interview, observation, and document analysis. There are eight informants in this research. The informants are head officer, sub-head officer, and all staff with purposive sampling strategy. The data that found from this research striped with structuration theory by Anthony Giddens. This research found a librarian that have a same character with the agent of change concept by Anthony Giddens. The librarian takes a steps or agency in the structure of his organization and producing impact. The impact is a change. This change makes impact for his organization. Keywords: Librarian, Agent of Change, Change Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 Pendahuluan Perpustakaan dan Dokumentasi Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia (MPR RI) adalah perpustakaan khusus yang tergolong ke dalam jenis perpustakaan departemen atau lembaga negara nondepartemen. Perpustakaan parlemen ini merupakan kelanjutan dari Bibliotheca Volktrad milik Pemerintahan Hindia Belanda. Perpustakaan ini diambil alih dan dijadikan asset negara hingga saat ini. Sejak 1946 hingga saat ini, Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI mengalami banyak perubahan khususnya dalam rentang waktu 2008 hingga 2013. Sejak 1990 hingga 2007, Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI menempati lokasi yang tidak strategis. Saat itu Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI menempati bagian belakang gedung Nusantara V. Awal 2007, Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI akhirnya dipindahkan ke lokasi yang lebih strategis dan lebih baik yaitu di lantai dasar gedung Nusantara IV. Perpindahan itu dilakukan atas inisiatif pimpinan MPR RI yang membandingkan kondisi Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI dengan Perpustakaan Parlemen Mesir saat itu. Mereka melihat begitu maju dan megahnya Perpustakaan Parlemen Mesir saat itu. Perpustakaan Parlemen Mesir memiliki banyak koleksi dan terletak di lokasi strategis yaitu di bagian depan komplek gedung parlemen sehingga keberadaannya disadari dan dapat terjangkau oleh orang-orang yang beraktivitas di komplek parlemen. Inisiatif pimpinan MPR RI saat itu dilaksanakan pada tahun 2007. Langkah awal adalah memindahkan lokasi perpustakaan ke lokasi yang lebih strategis. Setelah menempati lokasi baru di lantai dasar gedung Nusantara IV MPR RI muncul permasalahan. Perpustakaan dan Dokumentasi harus dikembangkan sebagaimana yang diusulkan pimpinan MPR RI saat itu. Pengembangan dan pengadaan koleksi digenjot sehingga koleksi buku-buku terbitan terbaru banyak menumpuk di lantai menunggu untuk diolah. Dengan alasan efisiensi anggaran tahun berjalan, pengadaan dan pengembangan koleksi massif dilakukan. Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 Hal itu tidak dibarengi dengan upaya peningkatan kuantitas dan kualitas kemampuan tenaga perpustakaan yang minim pengetahuan kepustakawanan. Tenaga perpustakaan yang mengelola Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI adalah pegawai struktural dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda yang ditempatkan di Bagian Perpustakaan dan Dokumentasi. Selain itu, minimnya fasilitas pendukung operasional perpustakaan seperti teknologi informasi dan komunikasi juga menghambat pengembangan perpustakaan saat itu Enam tahun setelah perpindahan lokasi, pada 2013, terjadi banyak perubahan yang signifikan. Perubahan terjadi secara fisik dan substansi. Secara fisik, perubahan terlihat pada koleksi yang semakin tertata rapih, pelayanan penelusuran yang semakin cepat, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang memadai. Secara substansial, perubahan dapat dilihat dari tergabungnya Perpustakaan MPR RI dalam komunitas perpustakaan khusus nasional, peningkatan keahlian pustakawan dan peningkatan jumlah pustakawan. Perubahan yang signifikan itu membuat penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian ini. Rumusan Masalah Permasalahan ini akan lebih jelas bila penulis tuangkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana pustakawan melakukan perubahan sehingga memberikan dampak yang signifikan bagi Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI? 2. Apa saja faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut? Tinjauan Teoritis Pustakawan Dinamika perpustakaan tidak lepas dari penyelenggaranya yaitu para pustakawan. Pustakawan memiliki peran penting bagi keberhasilan atau bahkan kegagalan suatu perpustakaan. Pustakawan, berdasarkan Undang-undang No. 43 tahun 2007, adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 Shaffer menambahkan bahwa pustakawan sebagai suatu pekerjaan yang tujuan utamanya adalah menyalurkan informasi dan materi informasi pada penggunanya secara luas yang beraneka ragam latar belakang dan minat baca. Kepustakawan menuntut personil yang menyiapkan pengetahuan lebih jauh mengenai subjek bahan keperpustakaan dan peningkatan tekhnik (1968 : 83). Terlebih lagi di milenia informasi seperti sekarang ini, pustakawan memiliki peran penting sebagai agen perubahan. Strukturasi Strukturasi adalah teori yang dikembangkan seorang sosiolog asal Inggris bernama Anthony Giddens. Teori strukturasi memandang bahwa yang terjadi antara agen dan struktur adalah hubungan yang saling membutuhkan atau timbal balik. Dalam teori strukturasi muncul beberapa istilah penting antara lain agen, agensi, struktur, dualitas, serta ruang dan waktu. Dalam bukunya, Anthony Giddens menyebutkan soal knowledeability atau, menurutnya, jangkauan pengetahuan yang menunjukkan bahwa kita semua memiliki tujuan yaitu sebagai agen yang berpengetahuan yang mempunyai alasan-alasan terhadap apa yang diperbuat. Agen, menurut Anthony Giddens, memiliki aspek mendasar yaitu memiliki kemampuan mendasar untuk dapat memahami apa yang mereka lakukan pada saat mereka melaksanakan tindakannya tersebut atau dengan kata lain memiliki kemampuan refleksif. Kemampuan refeleksif yang dimilliki agen dijalankan dalam perilaku sehari-hari yang berkelanjutan dalam konteks aktivitas sosial. Akan tetapi, refleksivitas ini hanya bekerja dalam tataran diskursif saja. Selain itu agen juga tidak boleh berjarak dalam struktur. Agen harus menggunakan rules dan resources yang ada di dalam struktur, juga bagaimana struktur membatasi serta memudahkan agen dalam melakukan tindakannya. Agen juga harus mampu memanfaatkan dan mengelola kekuasaan-kekuasaan kausal baik yang ada pada dirinya atau yang dimiliki oleh orang lain. Giddens menghubungkan agen beserta pengetahuan yang dimilikinya tersebut dengan struktur. Seperti yang telah dijelaskan, yaitu bagaimana ia menggunakan rules dan resources yang ada di dalam struktur, juga bagaimana struktur membatasi serta memudahkan agen dalam melakukan tindakannya. Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 Giddens memahami struktur sebagai rules (aturan) dan resources (sumber daya)., diimplikasikan dalam reproduksi sistem sosial dan juga merupakan dasar dari teori strukturasi. Resources dapat digerakkan dalam berbagai cara untuk menjalankan aktivitas dan mencapai tujuan melalui penggunaan bentuk dan tingkat kekuasaan yang berbeda-beda. Sementara rules dapat menciptakan berbagai kombinasi metodologi dan cara untuk mengarahkan bagaimana orang berinteraksi, berkomunikasi, dan saling menyesuaikan satu sama lainnya. Selain itu rules dan resources juga menjadi perantara (mediating) antara ikatan-ikatan yang terdapat dalam hubungan sosial. Struktur dalam hal ini dianggap memiliki sifat yang memudahkan (enabling) sekaligus memaksa (constraining). Selain mengaitkan teori strukturasi dengan struktur, Giddens juga mengelaborasi penjelasan teori strukturasi dengan menambahkan unsur kekuasaan (power). Menurutnya, kekuasaan dan kebebasan dalam masyarakat tidak bertentangan. Di dalam strukutur terjadi agensi. Agensi tidak mengacu pada serangkaian tindakan terpisah yang digabung bersama-sama, namun lebih mengarah pada perilaku yang berlangsung secara berkesinambungan. Agensi mengacu bukan pada maksud-maksud yang dimiliki manusia dalam melakukan sesuatu melainkan pada kemampuannya dalam melakukan hal itu. Melalui tindakan atau aktivitasnya, agen mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan dari dilakukannya aktivitas-aktivitas tersebut. Sesuai dengan gagasan dalam teori strukturasi, segala tindakan sosial terdiri atas praktik-praktik sosial, ditempatkan dalam ruang dan waktu, dan diatur dalam keahlian dan kemampuan yang dimiliki agen. Namun, kemampuan pengetahuan tersebut selalu dibatasi oleh kondisi-kondisi yang tidak diketahui dan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan dari tindakan yang dilakukan agen. Perubahan Perubahan dan dinamikanya berlangsung sangat cepat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan perekonomian dan perkembangan hubungan internasional merupakan perubahan yang berdampak bagi dunia keperpustakaan (Stueart, 1987 : 222). Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 Walaupun perubahan kadang terpaksa dalam sebuah organisasi dengan pengaruh dari luar, perubahan lebih sering datang dari dalam sebagai kalkulasi upaya dari tiap-tiap bagian orang yang bekerja di suatu organisasi (Stueart 1987 : 224). Menurut Stueart ada dua kategoti perubahan yaitu perubahan yang tidak direncanakan dan yang direncanakan. Perubahan yang tidak direncanakan terjadi begitu saja yang disebabkan pengaruh dari dalam maupun luar organisasi. Perubahan yang direncanakan membawa pembaharuan atau memasukkan kembali bagian dari organisasi dan orang-orang yang bekerja di organisasi tersebut secara terencana. Dalam konteks strukturasi, konsep perubahan menurut Anthony Giddens memiliki kesesuaian dengan konsep perubahan menurut Stueart yaitu tentang perubahan yang direncanakan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Giddens, perubahan akan terjadi jika agen bertindak pada tataran kesadaran diskursif. Kesadaran diskursif adalah kesadaran agen untuk bertindak dan mengetahui alasan atas tindakannya itu sehingga mampu menjelaskan mengapa ia melakukan tindakannya itu secara verbal. Kesadaran ini menunjukkan kesesuaian dengan konsep Stueart bahwa agen merencanakan tindakan untuk perubahan yang direncanakannya. Jeff Davidson menjelaskan bahwa perubahan merujuk pada sebuah terjadinya sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahan bisa juga bermakna melakukan hal-hal dengan cara baru, mengikuti prosedur-prosedur manajemen baru, penggabungan (merging), melakukan reorganisasi, atau terjadinya peristiwa yang bersifat mengganggu (disruptive) yang sangat signifikan. (Davidson, 2005:3). Menurut Michel Beer (2000: 452), berubah itu adalah memilih tindakan yang berbeda dari sebelumnya, perbedaan itulah yang menghasilkan suatu perubahan. Jika pilihan hasilnya sama dengan yang sebelumnya berarti akan memperkuat status quo yang ada. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus karena untuk memahami fenomena-fenomena yang terdapat di Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 lapangan atau tempat penelitian. Berdasarkan dengan pendekatan dan metode digunakan, maka penentuan informan berdasarkan dengan teknik sampel bertujuan (Purposive Sampling). Gorman dan Clayton (2005: 128) menerangkan bahwa Purposive Sampel merupakan salah satu pilihan penulis yang merepresentasikan dari suatu populasi yang memiliki karakteristik yang relevan terhadap penelitian yang dilakukan oleh penulis. Kriteria informan yang dipilih ialah berdasarkan dengan lamanya pustakawan menjabat di perpustakaan yaitu minimal pada rentang 20072013 dan bersedia menjadi informan selama proses penelitian berlangsung. Informan pada penelitian ini berjumlah 10 orang yang masing-masing nama informan disamarkan dengan nama bukan sebenarnya, yaitu Socrates, Aristoteles, Plato, Kierkegaard, Kant, Hegel, Nietszche, Simone, Regina, dan Irene. Informan tersebut terdiri dari kepala bagian perpustakaan, sub-kepala bagian, staf, dan tenaga perbantuan (magang). Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan studi dokumen. Pada proses wawancaram, penulis mengumpulkan informasi dengan melakukan wawancara kepada informan yang telah dipilih. Penelitian ini menggunakan wawancara semi terstuktur. Sulistyo-Basuki (2006: 173) mengatakan bahwa wawancara semi terstruktur (tidak berencana) tidak memiliki persiapan sebelumnya, dalam arti kalimat dan urutan pertanyaan yang diajukan tidak harus mengikuti ketentuan secara ketat. Wawancara akan dilakukan dengan pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh penulis, namun saat proses wawancara berlangsung, urutan pertanyaan akan disesuaikan dengan kondisi saat wawancara dilakukan karena terkadang jawaban yang didapat merupakan jawaban yang tidak terduga yang dapat memperluas pertanyaan penulis namun tetap pada topik penelitian. Penulis memakai wawancara terbuka dan tertutup. Pada wawancara terbuka, pertanyaan yang disusun secara cermat dengan tujuan untuk memberikan kalimat pertanyaan yang sama kepada setiap informan. Namun pada informan tertentu, penulis menggunakan pertanyaan yang berbeda. Hal ini dikarenakan jabatan dari informan yang berbeda. Proses selanjutnya ialah observasi, dimana penulis akan langsung turun ke lapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas individu-individu di tempat penelitian. Penulis akan mengamati lokasi penelitian (Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI) secara langsung untuk melihat bagaimana kegiatan serta implementasi kerjasama perpustakaan dilakukan. Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 Proses terakhir ialah studi dokumen. Dokumen-dokumen akan yang menunjang terhadap penelitian akan dikumpulkan. Dokumen dalam penelitian ini merupakan alat pengumpulan data. Gorman dan Clayton (2005: 40) menyatakan bahwa untuk dapat memahami suatu organisasi maka haruslah mengerti mengenai sejarah akar dari organisasi tersebut. Selain itu dikatakan pula bahwa hampir tidak mungkin memahami organisasi manapun hanya dimasa saat ini tanpa mengetahui masa lalunya dari organisasi tersebut. Penulis akan mengkaji dokumen seperti dokumen teknis pelaksanaan seperti tugas, pokok, dan fungsi organisasi, deskripsi kerja dan dokumen penunjang lain. Setelah data dan informasi yang dibutuhkan pada penelitian ini terkumpul, langkah selanjutnya ialah menganalisis data. Pada analisis data ini penulis akan menggunakan pendekatan analisis Miles dan Huberman (1992) yang terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan (Miles dan Huberman, 1992: 16). Dalam penelitian ini, setelah penulis mendapatkan informasi dari melakukan proses wawancara, observasi, dan studi dokumen maka penulis akan memilih informasi lalu menyederkanakan informasi terpilih atau yang sesuai tersebut untuk nantinya akan ditransformasikan. Tahap selanjutnya ialah penyajian data, dimana pada tahap ini data yang telah direduksi dapat disajikan berupa deskripsi ke dalam bentuk narasi yang merupakan hasil dari temuan di lapangan berdasarkan dengan observasi serta wawancara yang telah dilakukan. Pada penelitian ini, penulis melakukan penyajian data dengan matriks yang dirancang untuk menggabungkan informasi yang tersusun kedalam suatu bentuk yang mudah untuk dilihat. Penulis dapat menentukan apakah akan menarik suatu kesimpulan yang benar. Tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan. Tahap ini merupakan akhir dari proses analisis data setelah melakukan proses reduksi data dan penyajian data. Tahap ini dilakukan dengan melihat secara keseluruhan proses kegiatan penelitian dan akan diintepretasikan. HASIL PENELITIAN Pada awal perpindahan, tahun 2007 hingga 2011 lalu, koleksi menumpuk dan berserakan di lantai perpustakaan. Hal ini menimbulkan banyak masalah. Pertama Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 adalah kesan pemustaka terhadap pelayanan perpustakaan. Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI dianggap tidak siap untuk melayani kebutuhan pemustaka. Kedua, dengan tidak tersusunnya koleksi di rak maka pemustaka tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya atau gangguan dalam temu kembali informasi. Ketiga, mengganggu kenyamanan kunjungan pemustaka dan juga kinerja pustakawan itu sendiri. Permasalahan ini dirasakan di sektor pelayanan perpustakaan. Penumpukan koleksi terjadi karena kebijakan dalam hal pengadaan koleksi yang kurang tepat. Dalam hal ini bukan jenis atau kategori koleksinya yang kurang tepat melainkan kebijakan terkait kuantitas pengadaan koleksinya. Mengingat keterbatasan kuantitas dan kualitas pustakawan yang ada di Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI, penggenjotan pengadaan koleksi dalam rangka pengembangan Perpustakaan dan Dokumentasi MPR menjadi tidak bijak karena justru menimbulkan masalah-masalah yang ditimbulkan tadi. Dengan alasan efisiensi penggunaan anggaran berjalan, pengadaan koleksi seolah-olah menjadi hal yang utama dibandingkan kebutuhan perpustakaan lainnya. Hal seperti ini sudah lumrah terjadi di berbagai institusi pemerintahan. Agar anggaran dana untuk institusi tidak dikurangi tahun-tahun berikutnya, maka dana yang dianggarkan tahun berjalan harus digunakan semaksimal mungkin walau terkadang penggunaannya sering kurang bijak. Peningkatan jumlah koleksi tanpa dibarengi peningkatan kualitas dan kuantitas pustakawan yang notabene akan mengelola koleksi-koleksi tersebut justru akan menambah masalah. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, setidaknya muncul tiga permasalahan baru jika peningkatan jumlah koleksi tanpa dibarengi peningkatan kualitas dan kuantitas pustakawan terjadi. Pertama adalah kesan pemustaka terhadap pelayanan perpustakaan. Citra adalah hal yang penting bagi organisasi. Persepsi orang terkait kinerja organisasi biasanya muncul dari yang terlihat secara fisik. Perpustakaan MPR RI dianggap tidak siap untuk melayani kebutuhan pemustaka. Jika hal demikian terjadi maka akan berimbas pada citra organisasi secara keseluruhan. Hal ini akan menurunkan tingkat kepercayaan publik kepada Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI. Mereka Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 akan menganggap bahwa kebutuhan informasinya tidak dapat terpenuhi di pusat informasi tersebut. Hal ini secara otomatis menurunkan pemanfaatan Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI sebagai sumber informasi. Koleksi-koleksi yang sudah tertata pun menjadi tidak dimanfaatkan jika kepercayaan publik rendah kepada Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI. Kedua, dengan tidak tersusunnya koleksi di rak maka pemustaka tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya. Seperti yang sudah dijelaskan, dengan tidak tersusunnya koleksi di rak maka pemustaka tidak bisa melakukan penelusuran koleksi baik secara langsung di rak ataupun penelusuran di katalog atau pangkalan data online. Hal ini jelas akan menjadi kendala bagi Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI untuk mewujudkan misinya sebagai perpustakaan yang memberikan pelayanan prima bagi pemustaka. Menurut Standar Perpustakaan Khusus yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Indonesia, pelayanan prima adalah jasa perpustakaan yang berorientasi mengutamakan kepuasan pemakainya serta bersifat proaktif untuk mendapatkan nilai tambah melalui pemanfaatan teknologi informasi. Dari definisi diatas, setidaknya ada dua hal yang menggagalkan upaya Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI untuk mewujudkan pelayanan prima. Hal itu adalah orientasi kepuasan pemakai dan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak tercapai. Meskipun secara filosofi Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI memiliki kehendak untuk berorientasi pada kepuasan pemakai akan tetapi pada praktiknya tidak seperti itu. Praktik yang terjadi memang terlihat upaya untuk memuaskan kebutuhan pemustaka akan informasi. Jalan yang ditempuh adalah peningkatan jumlah koleksi. Namun hal yang menjadi paradoks adalah kuantitas dan kualitas pustakawan yang tidak mencukupi dan minim pengetahuan tentang perpustakaan. Menjadi paradoks karena pustakawan yang bertugas untuk mengelola koleksi yang terus bertambah namun secara kemampuan pustakawan tidak dapat mengerjakan pengolahan koleksi dengan maksimal dan efisien sehingga justru menimbulkan masalah baru. Hal berikutnya adalah kegagalan pemanfaatan teknologi informasi. Pemustaka di Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI tidak dapat melakukan penelusuran semua koleksi yang sudah dimasukkan ke dalam pangkalan data. Hal Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 itu terjadi karena data yang sudah dimasukkan ke pangkalan data tidak dapat dihubungkan secara online karena meskipun data sudah diolah tetapi fisik koleksi belum ditata di rak karena harus menunggu pengadaan rak waktu itu. Untuk mengatasi permasalahan pada waktu itu, pemustaka diizinkan melakukan permintaan kepada pustakawan untuk melakukan penelusuran melalui pangkalan data offline tersebut yang kemudian jika koleksi ditemukan maka akan dilakukan peminjaman. Selanjutnya permasalahan ketiga, menggannggu kenyamanan kunjungan pemustaka dan juga kinerja pustakawan itu sendiri. Meskipun secara fisik lokasi Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI terkesan mewah namun ketika memasuki ruang koleksi akan terkesan kumuh. Ruangan perpustakaan telah menjadi gudang buku yang menumpuk di lantai. Hal ini selain menurunkan citra institusi juga memberi kesan tidak nyaman bagi pemustaka. Tidak hanya pemustaka yang terganggu, tetapi juga pustakawannya. Mereka tidak leluasa bekerja dan beraktivitas. Secara psikologis juga membebani mereka karena melihat pekerjaan yang sangat banyak setiap waktu. Hal ini dapat menurunkan kinerja pustakawan jika tidak dimanage secara tepat oleh team leader. DISKUSI Dalam konteks permasalahan yang dihadapi lembaga informasi seperti perpustakaan, khususnya Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI, maka pustakawan memiliki peran penting sebagai agen perubahan bagi organisasi. Sesuai dengan konsep agen menurut Anthony Gidddens, maka pustakawan agen adalah pustakawan yang memiliki kemampuan mendasar untuk dapat memahami apa yang mereka lakukan pada saat mereka melaksanakan tindakannya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI. Pustakawan juga harus bisa memanfaatkan kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam struktur baik yang ia miliki atau dimiliki oleh orang lain untuk berinisiatif dan bertindak melakukan perubahan. Untuk menjawab tantangan itu, sesuai dengan konsep strukturasi Anthony Giddens, pustakawan harus melakukan agensi di dalam struktur. Agensinya dapat berupa tindakan persuasif melalui pendekatan kultural. Pendekatan kultural ini dapat Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 berupa upaya menasihati, memberikan perhatian dan apresiasi yang sepadan atas kinerja rekan kerja, membuka alur komunikasi dua arah secara berimbang, dan memotivasi untuk mengangkat semangat kerja pada taraf yang lebih tinggi atau pola kepemimpinan transformasional (transformational leadership). Pendekatan kultural ini oleh pustakawan Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI dilakukan untuk mengelola pengaruh SDM yang ada agar sejalan dengan visi pustakawan agen dalam mencapai agenda perubahan. Pendekatan kultural ini dapat dijadikan jalan untuk memberdayakan rules, resources, dan power yang ada di dalam struktur Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI. Berbicara rules, resources, dan power, maka struktur adalah situasi dan kondisi yang harus dihadapi pustakawan sebagai agen. Dalam struktur ini, pustakawan harus mampu memberdayakan rules, resources, dan power yang ada. Rules dapat menciptakan berbagai kombinasi metodologi dan cara untuk mengarahkan bagaimana orang berinteraksi, berkomunikasi, dan saling menyesuaikan satu sama lainnya. Rules yang ada di lembaga informasi, khususnya di Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI dapat berupa aturan formal seperti kode etik pustakawan dan kode etik organisasi yang disesuaikan oleh lembaga induk. Selain itu rules dapat juga berupa simbol-simbol kebudayaan seperti konsep kekeluargaan dengan pendekatan relasi ayah-anak dan status sosial-budaya. Sementara Resources dapat digerakkan dalam berbagai cara untuk menjalankan aktivitas dan mencapai tujuan melalui penggunaan bentuk dan tingkat kekuasaan yang berbeda-beda. Resources yang ada di lembaga informasi, khususnya di Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI dapat berupa Sumber Daya Manusia (Pustakawan), anggaran tahunan, sarana dan prasarana fisik, ilmu pengetahuan, dan kemampuan praktis. Selain rules dan resources, power juga menjadi perantara (mediating) antara ikatan-ikatan yang terdapat dalam hubungan sosial. Power atau kekuatan dapat digunakan pustakawan agen dalam mengelola pengaruh dan memanfaatkan kekuasaan-kekuasaan kausal yang ada dalam rangka mewujudkan agenda perubahan organisasi informasi seperti Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI. Power yang ada di lembaga informasi, khususnya di Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI dapat berupa status pustakawan sebagai pimpinan formal Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 atau informal (informal leader). Status pustakawan sebagai pimpinan formal didapat dari jalur struktural melalui jenjang karier sedangkan pimpinan informal didapat sebagai dampak dari tindakan terhadap situasi dan kondisi sosial budaya yang ada. Poin terpenting bukanlah statusnya, akan tetapi kemampuan pustakawan agen dalam memanfaatkan kekuasaan yang ada untuk mewujudkan agenda perubahan. Konsep agen, agensi, dan struktur terangkum dalam satu teori strukturasi yang memandang antara agen dan struktur adalah suatu bentuk dualitas (saling membutuhkan). Dalam konteks lembaga informasi seperti Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI, dualitas terjadi ketika pustakawan yang memanfaatkan struktur dengan memberdayakan rules, resources, dan power yang ada untuk melancarkan agensinya. Contoh yang mungkin dijelaskan adalah kondisi dimana pustakawan bidang pelayanan perpustakaan yang memengaruhi rekan kerjanya yang memiliki kekuasaan setara secara formal dan bertanggung jawab untuk melakukan pengadaan koleksi bahan pustaka untuk mengalokasikan dan meninjau anggaran pengadaan agar lebih mengutamakan kebutuhan mendesak seperti peningkatan kemampuan dan kualitas kerja pustakawan yang bertugas untuk mengolah bahan pustaka yang sudah over quota dalam Rencana Anggaran Kerja Tahunan (RKAT). Contoh lainnya adalah kemampuan pustakawan dalam memperjuangkan hal-hal penting yang sering luput dari pengawasan seperti memengaruhi atasan untuk mewujudkan peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan pustakawan yang ada sehingga berdampak pada peningkatan kinerja dan performa organisasi. Contoh selanjutnya adalah bagaimana pustakawan mengelola wewenang yang didelegasikan atasan untuk mewujudkan ide-ide perubahan untuk diwujudkan bersama tiap anggota organisasi. Konsep-konsep yang sekilas nampak ideal tadi bukanlah suatu hal tanpa celah. Setidaknya ada dua faktor yang memengaruhi konsep-konsep strukturasi yaitu faktor pendukung dan penghambat. Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan melalui cara strukturasi yang dilakukan pustakawan tidak lain adalah rules, resources, dan power yang ada. Faktor pendukung yang ada dalam rules, resources, dan power adalah ketersediaan Sumber Daya Manusia (Pustakawan), anggaran kerja tahunan, dan juga kekuasaan yang dimiliki atau dipengaruhi Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 pustakawan agen. Faktor penghambat antara lain pengetahuan pustakawan yang kurang mumpuni karena tidak memiliki latar belakang pendidikan ilmu perpustakaan dan hanya memperoleh pengetahuan mengenai perpustakaan melalui pelatihan dan diklat. Selain itu kuantitas pustakawan yang tidak seimbang dengan dengan tanggung jawab organisasi yang besar juga menjadi faktor penghambat bagi perubahan. Faktor pendukung, penghambat, sekaligus solusi berada di dalam rules, resources, dan power yang ada. Semuanya tergantung pada kemampuan pustakawan agen dalam melancarkan agensinya. Kemampuan pustakawan dalam memberdayakan struktur menghasilkan perubahan. Seperti yang terjadi di Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI. Perubahan yang terjadi di Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI adalah perubahan pola kerja, perubahan kebijakan, dan perubahan pelayanan. Perubahan pola kerja khususnya terjadi pada aktivitas pengolahan bahan pustaka. Pola kerja yang sebelumnya tidak sesuai dengan job desc yang sudah ditentukan oleh pimpinan Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI sehingga tidak jelas pertanggungjawaban kerja pustakawan. Karena keterbatasan SDM baik secara kualitas dan kuantitas membuat rangkap beberapa pegawai/pustakawan merangkap deskripsi kerja. Akan tetapi saat ini sudah jelas pembagian tugas sehingga jelas siapa mengerjakan apa. Dengan deskripsi kerja yang jelas dan teratur, pola kerja menjadi lebih sistematis dan jelas baik pelaksanaanya ataupun pertanggungjawabannya. Perubahan kebijakan terlihat dari bagaimana pustakawan agen memengaruhi Kepala Subbagian Pengadaan Materi Perpustakaan, Kepala Bagian Perpustakaan dan Dokumentasi, dan Kepala Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal MPR RI. Pustakawan agen memengaruhi Kepala Subbagian Pengadaan Materi Perpustakaan dan Kepala Bagian Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI agar mengalokasikan anggaran untuk memenuhi kebutuhan perpustakaan yang lebih penting dan mendesak. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan yang bersifat fisik dan substansial. Perubahan pelayanan terjadi akibat dari adanya perubahan pola kerja yang sebelumnya tidak jelas deskripsi kerjanya. Saat ini sistem pelayanan sudah berubah. Pelayanan sirkulasi tidak lagi diurus oleh petugas administrasi kantor Perpustakaan Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 dan Dokumentasi MPR RI tetapi sudah dikelola oleh pustakawan sirkulasi sehingga memudahkan dan mempercepat layanan kepada pemustaka untuk melakukan peminjaman atau pengembalian koleksi. Untuk urusan keanggotaan, perihal itu tetap dikelola oleh bagian administrasi perpustakaan. Perubahan ini berdampak pada kecepatan dan pelayanan pemustaka. Perubahan-perubahan tersebut kemudian menghasilkan dampak yang terlihat secara fisik dan substansial. Secara fisik, perubahan terlihat pada koleksi yang semakin tertata rapih, pelayanan penelusuran yang semakin cepat, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang memadai sedangkan secara substansial, perubahan dapat dilihat dari tergabungnya Perpustakaan MPR RI dalam komunitas perpustakaan khusus nasional, peningkatan keahlian pustakawan dan peningkatan jumlah pustakawan. KESIMPULAN Dari pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan dari temuan penelitian ini adalah agensi yang dilakukan pustakawan sebagai Agen yaitu melakukan pendekatan kultural, penerapan pola transformational leadership, dan mengembangkan pola hubungan Ayah-Anak. Pustakawan agen memaksimalkan deskripsi kerja yang merupakan salah satu rules di Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI dengan memengaruhi bawahan untuk melaksanakan deskripsi kerja dengan pendekatan kultural. Pustakawan agen mendeskripsikan pendekatan kultural sebagai tindakan persuasif (ajakan) kepada rekan kerja baik sesama pimpinan atau para bawahan untuk meningkatkan kinerja. Pustakawan agen melakukan pendekatan kultural dalam bentuk penyampaian dukungan dan motivasi untuk mendekatkan diri dengan bawahannya agar tercipta komunikasi dua arah atau berlaku interaktif. Hal ini bertujuan agar terciptanya hubungan yang harmonis antara atasan dan bawahan. Selain itu, untuk menciptakan keterbukaan dalam kaitannya dengan aktivitas organisasi ataupun pribadi. Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 Berdasarkan teori kepemimpinan, Pustakawan agen menerapkan gaya kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional yang diterapkan Pustakawan agen adalah salah satu bentuk tindakannya sebagai informal leader. Informal leader berbeda dengan structural leader. Informal leader didapat bukan karena pemilihan secara formal untuk menempati struktur organisasi seperti structural leader. Informal leader dipilih karena karakter kepemimpinan yang dimiliki dan diterapkannya dalam aktivitas sehari-hari. Seorang pemimpin yang transforming selalu berupaya untuk meningkatkan kesadaran pengikut dengan cara menanamkan semangat yang ideal dan nilai-nilai moralitas yang tinggi. Dalam konteks ini, Pustakawan agen yang terpilih sebagai informal leader tidak memiliki kekuasaan secara struktural akan tetapi kekuasaan secara kultural. Prasyarat kepemimpinan transformasional, yang juga telah dilengkapai oleh Pustakawan agen, antara lain selalu terbuka, interaktif, komunikasi, dan dialog dengan pengikut-pengikutnya dalam membangun tujuan yang transformatif. Dalam hal ini, ada kesepakatan yang timbal-balik dengan pengikut-pengikut yang didasarkan pada nilai, tujuan, dan keyakinan bersama. Agensi terakhir adalah pengembangan pola relasi ayah-anak. Relasi ayahanak yang ditimbulkan dari bentuk sapaan „abi’ merupakan bentuk pendekatan kultural Pustakawan agen kepada bawahan dan rekan kerja yang tentunya. Peneliti melihat keterkaitan antara sapaan „Abi‟ dengan rules dalam konteks budaya yaitu relasi atau hubungan ayah-anak. Dalam konteks budaya, relasi ayah-anak berarti merujuk pada simbol budaya pada suatu sistem feodal dimana sang ayah berkuasa dan memiliki pengaruh atas diri sang anak hingga batas-batas tertentu. SARAN Perubahan yang telah terjadi di Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI bisa lebih besar dan fundamental jika kesadaran kolektif pustakawan jauh lebih besar dan luas. Kesadaran ini bisa di dapat dari pengetahuan. Dalam hal ini pengetahuan adalah studi ilmu perpustakaan dan informasi. Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 Dengan ilmu yang koheren dengan objek kajian dan sesuai dalam tataran praktis, perubahan akan menjadi lebih besar karena pemahaman hal-hal yang fundamental dan penting sesuai dengan kebutuhan kondisi perpustakaan saat ini bisa mendapatkan porsi lebih untuk diperjuangkan. Untuk itu, saya menyarankan kepada pengelola Pimpinan Perpustakaan dan Dokumentasi MPR RI agar: 1. Menerapkan karakteristik kepemimpinan transformasional dalam aktivitas pengelolaan perpustakaan yaitu selalu terbuka, interaktif, komunikasi, dan dialog dengan pengikut-pengikutnya dalam membangun tujuan yang transformatif. Dalam hal ini, ada kesepakatan yang timbal-balik dengan pengikut-pengikut yang didasarkan pada nilai, tujuan, dan keyakinan bersama. 2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas pustakawan tidak hanya melalui pelatihan atau diklat perpustakaan tetapi juga melalui pendidikan formal ilmu perpustakaan. Menerapkan sistem evaluasi dua arah antar pimpinan dan bawahan agar terjadi keterbukaan dan keharmonisan dalam bekerja. KEPUSTAKAAN Albritton, L. Rosie. (1990). Developing Leadership Skill: A Source Book For Librarians. Colorado: Libraries Unlimited, Inc. Boyatzis, Richard. (2006). Resonant Leadership. Jakarta: Esensi Giddens, Anthony. (2010). Teori Strukturasi : Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jenkins, Richard. (2010). Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Bantul, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Maulana, Eko. (2012). Kepemimpinan Transformasional Perpustakaan. Jakarta: Multicerdas Publishing Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013 dalam Birokrasi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. (2002). Standar Perpustakaan Khusus. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta. 17 hlm. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. (2007). Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Bab I pasal 1. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. (1999). Pedoman Umum Penyelenggaraan Perpustakaan Khusus. Jakarta: Perpustakaan Nasional R.I. Pendit, Putu Laxman. (2003). Penelitian ilmu perpustakaan dan informasi : suatu pengantar diskusi epistemology dan metodologi. Jakarta : JIP-FSUI. Rivai, Veithzal. Dkk. (2010). Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada Roberts, Sue. (2008). Leadership: The Challenge For The Information Profession. London: Facet Publishing Shaffer, Dale Eugene. (1968). The Maturity of Librarianship as a profession. Metuchen, N.J : The Scarecrow Press, Inc. Stueart, D. Robert. (1987). Library Management. Littleton, Colorado: Libraries Unlimited, inc. Sulistyo - Basuki. (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sumardji, P. (1988). Perpustakaan: Organisasi dan Tatakerjanya. Jakarta: Kanisius Wei, Wei, et all. (2002). Leadership and Management Principles in Libraries in Developing Countries. Colorado: The Haworth Press, Inc., Pustakawan sebagai..., Agung Nurjana, FIB UI, 2013